Download - serat cemporet
NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SERAT CEMPORET
KARYA R. NG. RANGGAWARSITA
S K R I P S I
Disusun dalam Rangka Menyelesaikan Studi Strata 1
untuk memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Nama : Rudianto
Nim : 2102403002
Program Studi : Pend. Bahasa & Sastra Jawa
Jurusan : Bahasa & Sastra Indonesia
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2007
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang
panitia ujian skripsi pada :
Semarang, Agustus 2007
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Drs. Sukadaryanto, M.Hum Drs. Agus Yuwono, M.Si NIP 131764057 NIP 132049997
ii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 23 Agustus 2007
Panitia Ujian Skripsi
Ketua Sekretaris
Prof. Dr. Rustono, M. Hum Drs. Widodo Nip. 131281222 Nip. 132084944
Penguji I, Penguji II, Penguji III,
Drs. Bambang Indiatmoko, M. Si Drs. Agus Yuwono, M. Si Drs. Sukadaryanto, M. Hum NIP. 131678181 NIP. 132049997 NIP. 131764057
iii
SARI Rudianto. 2007. Nilai-nilai Pendidikan dalam Serat Cemporet Karya R. Ng
Ranggawarsita. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Sukadaryanto, M. Hum, Pembimbing II: Drs. Agus Yuwono, M. Si.
Kata Kunci: Peran Tokoh Binatang, dan Nilai-nilai Pendidikan melalui Peran
Tokoh Binatang dalam Serat Cemporet.
Karya sastra Serat Cemporet menghadirkan binatang sebagai bagian dari tokoh cerita. Namun bukan berarti bahwa Serat Cemporet adalah cerita binatang atau yang sering disebut fabel pada umumnya. Kemunculan tokoh binatang yang diceritakan sebagai wujud deformasi atau penjelmaan dari tokoh manusia. Terdapat empat tokoh binatang, yaitu burung menco, banteng, anjing, kera, dan anjing. Dari ke empat tokoh binatang tersebut, memainkan peran yang berbeda satu sama lainnya. Tokoh merupakan pelaku yang mengemban peristiwa yang dikisahkan, yang kemudian dapat ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan perbuatan.
Melalui tokoh-tokoh binatang, karya sastra akan lebih menarik dan menyenangkan untuk di baca. Sehingga tujuan karya sastra yang dapat memberikan manfaat berupa penyampaian gagasan, pandangan hidup, tanggapan atas kehidupan sekitar dan sebagainya dapat tersampaikan kepada pembaca. Baik secara tersirat maupun tersurat, dari kedirian atau sisi kehidupan tokoh dapat diambil nilai-nilai kehidupan yang menyaran pada penanaman budi pekerti dan moral pada pembaca.
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dimunculkan dalam penulisan skripsi ini adalah 1) Bagaimana peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan? 2) Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terdapat dalam Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang? Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan dan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang. Manfaat penelitian ini bagi pembaca yaitu memberikan gambaran tentang peran tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan dan memberikan informasi yang berhubungan dengan nilai-nilai pendidikan dalam Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori strukturalisme naratif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan objektif, yang menitik beratkan pada teks sastra sebagai objek penelitian. Teori struktural naratif digunakan untuk mengetahui jalinan peristiwa dan hubungan sebab akibat yang terkandung di dalamnya. Langkah awal dalam penelitian ini adalah mencari insiden-insiden yang terdapat dalam cerita, yang menyaran pada tokoh binatang. Sehingga dapat diketahui peristiwa yang berupa tindakan dan kejadian yang diemban oleh tokoh binatang, dan wujud atau
iv
eksistensinya yang berupa watak dan latar dari tokoh binatang. Data tersebut dianalisis menggunakan metode analisis deskriptif. Dengan cara mendeskripsikan data dapat ditemukan peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet.
Hasil dari penelitian ini mengungkap peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia pendidikan, menyaran kedudukan dan fungsinya sebagai tokoh pembawa ajaran budi pekerti luhur. Serta mengungkap nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang. Dalam penelitian ini, ditemukan nilai-nilai pendidikan yang berupa nilai pendidikan religius yang terdiri dari percaya akan takdir, ungkapan rasa syukur, dan sikap kepasrahan; nilai pendidikan etika yang terdiri dari tutur kata, dan sopan santun atau tata krama; nilai pendidikan sosial yang terdiri dari tolong menolong, kasih sayang, kesetiaan, dan kesetiakawanan; nilai pendidikan moral yang terdiri dari sikap sabar, menepati janji, rela berkorban, rendah hati, dan tidak mudah putus asa.
Berdasarkan temuan tersebut, saran yang diberikan yaitu pembaca diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet dalam kehidupan sehari-hari. Teks Serat Cemporet, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan ajar dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.
v
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar
hasil karya saya sendiri bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, Agustus 2007
Rudianto
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Barang siapa tidak pernah merasakan pahitnya mencari ilmu
(walau sesaat) maka ia akan terjerumus dalam kebodohan yang hina selama hayat.
(Imam Syafi’i)
Belajarlah, karena tiada seorang pun yang dilahirkan dengan membawa ilmu. Dan jelas tak sama
orang yang berilmu dengan orang yang bodoh. (Imam Syafi’i)
Siapa takut menghadapi kesulitan akan tetap dalam
kesulitan, siapa mundur menghadapi rintangan, tidak akan pernah sampai pada tujuan.
(H.N. Casaon)
PERSEMBAHAN
1. Ayah dan Ibu dengan limpahan doa dan kasih sayang,
terimakasih sudah memberikan kepercayaan untuk
saya sekaligus memfasilitasi, sehingga skripsi ini
tuntas saya selesaikan.
2. Kakak dan adikku, yang selalu hadir dan menjernihkan
kembali kebuntuan pikiran-pikiran saya ketika menulis
skripsi.
3. Almamaterku
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan
petunjuk dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul ”NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM SERAT
CEMPORET KARYA R. NG. RANGGAWARSITA.”
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Pembimbing I, bapak Drs. Sukadaryanto, M.Hum, dan Pembimbing II, bapak
Drs. Agus Yuwono, M.Si, yang telah memberikan bimbingan, dan arahan
kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
2. Rektor Universitas Negeri Semarang selaku pimpinan Universitas Negeri
Semarang.
3. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, yang telah memberi izin dalam pembuatan
skripsi ini.
4. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi kemudahan
dalam penyelesaian skripsi ini.
5. Ayah dan ibu yang senantiasa mendoakan serta memberikan dorongan baik
secara moral maupun spiritual dan segala yang tak ternilai.
6. Kakak dan adekku yang telah memberikan waktu, perhatian dan semua yang
tak terlupakan sehingga penulis ingin segera menyelesaikan skripsi ini.
7. Sahabatku Fery, Yoga, Erfi, Esti, Erna, Fitri yang tak henti-hentinya
memberikan solusi dan semangat kepada penulis.
8. Rekan-rekan satu ”perjuangan”, PBSJ angkatan 2003 dengan segala kenangan
manisnya. Ayo Semangat...!!!!
viii
9. Kelurga Besar ” Pandhawa Cost ”, Bapak Sodri sekeluarga, santo, eko, arif,
yang tiada henti memotivasi penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.
10. Orang-orang yang tanpa sengaja memberikan inspirasi, motivasi, dan
semangat agar cepat diselesaikannya skripsi ini.
Doa dan harapan yang selalu penulis panjatkan kepada Allah Swt,
semoga amal dan kebaikan saudara mendapat imbalan dari-Nya. Akhirnya
penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Semarang, Agustus 2007
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERSETUJUAN BIMBINGAN.................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii
SARI ................................................................................................................ iv
PERNYATAAN.............................................................................................. vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................. vii
KATA PENGANTAR.................................................................................... viii
DAFTAR ISI................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Permasalahan ............................................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 10
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 11
2.1 Naratologi..................................................................................... 11
2.1.1 Strukturalisme Naratif............................................................. 12
2.1.2 Insiden..................................................................................... 15
2.2 Tokoh dan Penokohan.................................................................. 18
2.2.1 Pengertian Tokoh .................................................................... 19
2.2.2 Pengertian Penokohan............................................................. 20
2.3 Hubungan Karya Sastra dengan Pendidikan ................................ 21
2.3.1 Pengertian Nilai....................................................................... 23
2.3.2 Pengertian Pendidikan............................................................. 25
2.3.3 Jenis Nilai-nilai Pendidikan .................................................... 26
x
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 32
3.1 Pendekatan Penelitian................................................................... 32
3.2 Sasaran Penelitian......................................................................... 33
3.3 Teknik Analisis Data .................................................................... 34
BAB IV PERAN TOKOH BINATANG, DAN NILAI-NILAI
PENDIDIKAN MELALUI PERAN TOKOH BINATANG
DALAM SERAT CEMPORET ........................................................ 36
4.1 Struktur Naratif Teks Serat Cemporet.......................................... 36
4.1.1 Insiden-insiden dalam Serat Cemporet ................................... 37
4.1.2 Peristiwa (event) dalam Serat Cemporet................................. 41
4.1.2.1 Tindakan (action) ............................................................... 41
4.1.2.2 Kejadian (happening)......................................................... 46
4.1.3 Wujud atau Eksistensinya ....................................................... 50
4.1.3.1 Watak (character) .............................................................. 51
4.1.3.2 Latar (setting) ..................................................................... 57
4.2 Peran Tokoh Binatang dalam Serat Cemporet pada Dunia
Pendidikan.................................................................................... 63
4.2.1 Burung Menco......................................................................... 66
4.2.2 Banteng .................................................................................. 70
4.2.3 Kera ......................................................................................... 75
4.2.4 Anjing...................................................................................... 78
4.3 Nilai-nilai Pendidikan melalui Peran Tokoh Binatang dalam
Serat Cemporet ............................................................................ 81
4.3.1 Nilai Pendidikan Religius ....................................................... 82
4.3.1.1 Percaya akan Takdir........................................................... 82
4.3.1.2 Memanjatkan Rasa Syukur ................................................ 84
4.3.1.3 Sikap Pasrah....................................................................... 85
4.3.2 Nilai Pendidikan Etika ............................................................ 87
4.3.2.1 Tutur Kata .......................................................................... 87
4.3.2.2 Sopan Santun atau Tata Krama.......................................... 89
xi
4.3.3 Nilai Pendidikan Sosial ........................................................... 90
4.3.3.1 Tolong Menolong............................................................... 90
4.3.3.2 Kasih Sayang...................................................................... 92
4.3.3.3 Kesetiaan............................................................................ 93
4.3.3.4 Kesetiakawanan ................................................................. 95
4.3.4 Nilai Pendidikan Moral ........................................................... 96
4.3.4.1 Sikap Sabar ........................................................................ 97
4.3.4.2 Menepati Janji .................................................................... 98
4.3.4.3 Rela Berkorban................................................................... 99
4.3.4.4 Rendah Hati........................................................................ 101
4.3.4.5 Tidak Mudah Putus Asa ..................................................... 102
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 104
5.1 Simpulan....................................................................................... 104
5.2 Saran............................................................................................. 106
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 107
LAMPIRAN.................................................................................................... 109
A. Sinopsis Serat Cemporet .............................................................. 109
B. Urutan Sekuen Serat Cemporet.................................................... 129
xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan merupakan aspek penting untuk menghasilkan generasi yang
lebih baik, manusia sebagai makhluk individu yang berkepribadian utuh memiliki
wawasan budaya yang luas dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang
hidup dan berkembang di suatu masyarakat, menggambarkan pendidikan dalam
suatu yang sangat luas, menyangkut kehidupan seluruh umat manusia yang
digambarkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencapai suatu kehidupan
yang lebih baik (Munib, 2005: 29-30).
Kehadiran karya sastra di tengah-tengah masyarakat, diharapkan dapat
memberikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi masyarakat. Sastra diciptakan bukan
hanya sekedar sebagai suatu keindahan, melainkan juga dimaksudkan untuk
menyampaikan nilai-nilai kehidupan. Di samping nilai estetik, dalam karya sastra
juga terdapat nilai etik atau moral. Moral dalam cerita menurut Kenny (dalam
Nurgiyantoro, 2005: 321), biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang
berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat
ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca.
Karya sastra merupakan karya yang diciptakan hanya berupa hasil rekaan
dari pengarang. Meskipun demikian, tetap ada kaitannya dengan realitas dalam
dunia nyata. Pengarang hidup di tengah-tengah masyarakat, bahannya (inspirasi)
1
2
dari sebuah karya sastra diambil dari dunia nyata. Jadi, karya sastra merupakan
pandangan pengarang tentang keseluruhan kehidupan. Oleh sebab itu, kebenaran
dalam karya sastra merupakan kebenaran menurut idealnya pengarang.
Sastra sebagai hasil dari budaya menjadi salah satu kebutuhan
masyarakat, yaitu sebagai sarana untuk berekspresi, menghibur dan sekaligus
mendidik masyarakat. Dengan demikian, sastra memiliki tujuan menyampaikan
kebaikan dan kebenaran. Mengajarkan manusia untuk selalu berfikir positif dan
bertindak agar tidak keliru dalam menjalani kehidupannya. Berisi tentang nasehat
dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran yang harus ditiru, serta kejahatan
atau keburukan yang sebenarnya tidak boleh dilakukan.
Dalam kesusastraan jawa, R. Ng. Ranggawarsita merupakan salah satu
pengarang yang sangat produktif di jamannya. Beliau merupakan pujangga besar
yang pernah hidup di pulau jawa. Pujangga agung Kraton Surakarta yang
sekaligus juga pujangga rakyat. Masa hidup Ki Pujangga antara tahun jawa 1728
sampai dengan 1802 atau tahun masehi 1802 sampai dengan 1873.
Karyanya sangat berguna bagi perkembangan sastra jawa. Salah satu
karyanya adalah Serat Cemporet, yang isinya menceritakan perjalanan Raden
Mas Permana yang ditakdirkan menikah dengan Rara Kumenyar, anak angkat Ki
Buyut Cemporet. Di samping bernilai estetik, juga memberikan pandangan-
pandangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Serat Cemporet dihadirkan
bukan hanya sebagai karya sastra yang menghibur, tetapi juga dapat diambil nilai-
nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.
3
Nilai-nilai pendidikan yang bermanfaat berisi ajaran yang bernilai tinggi
yang mendidik dan berguna bagi pembacanya, dapat dijadikan sebagai salah satu
pedoman hidup dalam berfikir dan bertindak. Ajaran-ajaran tersebut, salah
satunya dapat diperoleh dengan mengungkap nilai-nilai pendidikan yang
terkandung dalam Serat Cemporet.
Adapun bentuk teks sastra tersebut, berupa tembang macapat dengan
rincian sebagai berikut. Pupuh I Dhandhanggula 54 bait, pupuh II sinom 41 bait,
pupuh III Asmaradana 51 bait, pupuh IV Kinanthi 73 bait, pupuh V Mijil 75 bait,
pupuh VI Gambuh 47 bait, pupuh VII Dhandhanggula 90 bait, pupuh VIII Sinom
69 bait, pupuh IX Asmaradana 71 bait, pupuh X Kinanthi 63 bait, pupuh XI
Dhandhanggula 45 bait, pupuh XII Maskumambang 67 bait, pupuh XIII Gambuh
56 bait, pupuh XIV Mijil 52, pupuh XV Asmaradana 32 bait, pupuh XVI Sinom
35 bait, pupuh XVII Pangkur 40 bait, pupuh XVIII Pucung 48 bait, pupuh XIX
Asmaradana 56 bait, pupuh XX Sinom 37 bait, pupuh XXI Durma 36 bait, pupuh
XXII Dhandhanggula 34 bait, pupuh XXIII Asmaradana 43 bait, pupuh XXIV
Durma 31 bait, pupuh XXV Kinanthi 59 bait, pupuh XXVI Sinom 54 bait, pupuh
XXVII Dhandhanggula 40 bait, pupuh XXVIII Sinom 38 bait, pupuh XXIX
Pucung 53 bait, pupuh XXX Durma 30 bait, pupuh XXXI Asmaradana 57 bait,
pupuh XXXII Sinom 34 bait.
Secara garis besar, Serat Cemporet merupakan karya sastra yang
menyenangkan dan sekaligus berguna. Dianggap berguna karena pengalaman
jiwa yang dibeberkan secara kongkrit dalam setiap ceritanya, dan dikatakan
4
menyenangkan karena cara pembeberannya. Oleh sebab itu, jika sebuah karya
sastra menunjukan sifat-sifat menyenangkan dan berguna, maka karya sastra itu
dapat dianggap sebagai karya sastra yang bernilai (Noor, 2005: 14).
Dalam hal ini penulis menjadikan Serat Cemporet sebagai objek
penelitian, karena dalam karya sastra tersebut, banyak mengandung nilai-nilai
pendidikan yang masih relevan dengan kehidupan masyarakat sekarang. Dengan
kata lain, nilai- nilai pendidikan yang di dalamnya merupakan nasehat dan
anjuran yang dapat diambil dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Khususnya
bagi para generasi muda yang sedang mengalami masa peralihan ke arah
kedewasaan.
Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita merupakan karya sastra
lama yang diterbitkan oleh Albert Rusche, di Surakarta pada tahun 1896.
Selanjutnya pada tahun 1987 dialih aksara dan alih bahasakan oleh Sudibjo Z.
Hadisutjipto. Serat Cemporet ditulis dalam bentuk metrum macapat, dengan
kecermatan susunan kalimat, dan tidak sedikit terdapat purwakanti, serta
kehalusan bahasanya. Ditinjau dari nama pengarang, bukan merupakan sesuatu
yang aneh karena pengarang lahir dan hidup di lingkungan keraton, dengan gelar
kebangsawanan seperti: R.M (Raden Mas), R.Ng (Raden Ngabehi), dan lain-lain.
Selain itu, pengarang dengan kreatifitas dan imajinasinya, menulis cerita
tersebut tampak kongkrit. Meskipun hanya sebuah karya yang bersifat fiktif
(rekaan), tetapi dikemas seolah-olah ada dan pernah terjadi. Pembaca dapat
menemukan sebuah realitas kehidupan dengan segala peristiwa itu benar-benar
5
ada dan pernah terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya keyakinan
itu, pembaca (peminat sastra) akan memilih dan menelaah nilai-nilai yang
terkandung di dalam karya fiksi tersebut.
Dalam Serat Cemporet, pengarang menghadirkan tokoh-tokoh, baik dari
kalangan manusia, binatang, maupun dari golongan dewa-dewa serta siluman
berpadu dalam sebuah cerita yang padat kisahnya. Pengarang juga menghadirkan
tokoh-tokoh binatang yang bukan sembarang binatang, melainkan wujud
deformasi dari manusia.
Tokoh merupakan unsur yang terpenting dalam sebuah cerita fiksi. Sifat
dan tingkah laku tokoh memegang peranan penting, karena dari kedua unsur
tersebut akan memberikan pengalaman berharga yang mungkin tidak ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari. Penampilan kehidupan dan jati diri para pelaku
cerita dalam perjalan hidupnya, dapat juga dipakai sebagai pedoman pembaca
dalam kehidupan bermasyarakat.
Tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet, bagi para pembaca
mempunyai fungsi didaktis, yaitu sebagai tokoh pembawa ajaran budi pekerti
luhur. Maupun sebagai tokoh yang kehadiran dan tingkah lakunya menyadarkan
kemungkinan etika yaitu pantas atau tidak pantas untuk ditiru di kehidupan
sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Berisikan pesan yang sarat dengan
ajaran dan nasehat untuk dapat ditafsirkan dan dipetik oleh pembaca (peminat
sastra).
6
Lahirnya tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet sebagai wujud
jelmaan dari tokoh manusia. Disebabkan karena seorang tokoh dalam cerita
tersebut salah langkah dalam menjalankan hidupnya, sehingga dewa marah dan
mengutuknya. Untuk menebus dosanya, dikutuklah menjadi seekor binatang. Hal
tersebut dilakukan untuk memperbaiki kesalahannya supaya tidak terulang lagi
dikemudian hari.
Tokoh-tokoh binatang tersebut, merupakan bentuk fantasi atau sering
disebut dengan khayalan dari pengarang. Melahirkan sebuah karya sastra yang
penuh dengan simbolisme, yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan yang
diambil oleh pengarang dari pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan.
Pengarang membeberkan cerita demi cerita dengan memperhitungkan kaidah etik
dan estetik karya sastra. Untuk mencapai itu, akibat yang muncul dalam Serat
Cemporet adalah upaya pengelabuhan, berupa simbolisme (pelambangan),
kondensasi (pemadatan), substitusi (penggantian), dan simptom-simptom tertentu
yang berulang-ulang menampakan gejala dalam wacana (Rader dalam Noor,
2005: 98).
Dalam Serat Cemporet simbolisasi (pelambangan) terungkap melalui
alur, tokoh, latar, dan penceritaan. Burung menco merupakan salah satu tokoh
binatang yang ada dalam Serat Cemporet. Selain burung menco, terdapat tokoh
binatang lainnya, seperti; anjing, kera, dan banteng.
Pada umumnya sebuah karya sastra banyak dijumpai peristiwa-peristiwa
dan permasalahan yang sama atau hampir sama dengan kehidupan masyarakat.
7
Tentunya tidak jauh dengan waktu dan tempat di mana pengarang tinggal. Karya
sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta
refleksinya terhadap gejala-gejala sosial disekitarnya, sehingga kebenaran dalam
karya sastra ialah kebenaran yang dianggap ideal oleh pengarangnya, kebenaran
yang lebih tinggi sehingga sudah sepantasnya berlaku (Noor, 2005: 12).
Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa sastra merupakan pandangan
dunia pengarang terhadap lingkungan disekitarnya. Meskipun pandangan tersebut
bukan semata-mata fakta empiris yang bersifat langsung. Namun, merupakan
suatu gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat mempersatukan kelompok sosial
masyarakat. Eksistensi sastra yang sarat dengan nilai sosial itu, menjadikannya
tidak bersifat pasif terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa sastra mempunyai segi-segi yang bermanfaat dan
berdaya guna tinggi. Apabila pembaca sendiri tidak melupakan atau tetap
memperhatikan segi-segi intrinsik yang membangun karya sastra tersebut.
Demikian juga, dalam Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita.
Pengarang ingin menyampaikan peristiwa dan permasalahannya lewat cerita demi
cerita. Daya imajinasi dan kreatifitasnya, merefleksikan kehidupan nyata disetiap
cerita yang ditulisnya. Meskipun tidak sedikit cerita yang ditulis penuh dengan
simbolisme. Pengarang tidak membeberkan sesuatu yang menjadi kunci
permasalahan secara langsung, tetapi dituturkan melalui tanda yang dapat berupa
ikon, indeks, atau simbol. Dikemas menjadi sebuah karya sastra yang
menyenangkan dan berguna bagi pembacanya.
8
Pesan yang tersirat maupun tersurat tersebut, salah satunya terdapat nilai-
nilai pendidikan yang bernilai tinggi yang berguna bagi pembacanya. Untuk
masyarakat pada umumnya dan bagi pelajar khususnya. Oleh karena itu, perlu
diungkap isi atau pesan apa dibalik karya sastra tersebut. Untuk memperoleh
kejelasan secara pasti apa sebenarnya yang ingin diceritakan atau isi pesan apa
yang ingin disampaikan. Untuk mengetahui karya sastra ini layak atau tidak layak
dibaca oleh masyarakat khususnya pelajar, perlu diteliti nilai-nilai pendidikan
yang terkandung di dalamnya terlebih dahulu.
Setelah membaca Serat Cemporet, secara keseluruhan dan berulang-
ulang akan ditemukan aspek-aspek kehidupan seperti; nilai sosial, moral,
pendidikan dan lain sebagainya. Pembaca diajak oleh pengarang untuk menikmati
permasalahan di setiap peristiwa dalam cerita yang dituturkan secara detil dalam
Serat Cemporet tersebut. Bukan saja sebagai penghibur, tetapi dapat ditelaah dan
dipetik nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya.
Sehubungan dengan itu, penulis menjadikan Serat Cemporet sebagai
objek penelitian. Membedah makna yang terkandung di dalamnya yang berkaitan
dengan nilai-nilai pendidikan, melalui peran tokoh-tokoh binatang yang terdapat
dalam Serat Cemporet yang akan dikaji. Di dalamnya terdapat pesan berupa
petunjuk dan nasehat yang bernilai tinggi, yang disampaikan baik secara tersirat
maupun tersurat.
9
1.2 Permasalahan
Dalam Serat Cemporet karya Ki Pujangga Ranggawarsita, kisah-kisah
yang tertulis penuh dengan simbolisme. Sebagian dari kisah-kisah simbolisme itu
bukan untuk dipercaya apa yang tersurat, tetapi untuk dicerna apa yang tersirat.
Pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi cerita saja,
untuk menghibur. Melainkan ada sesuatu yang ingin disampaikan melalui cerita
fiksi tersebut, berupa pesan, amanat, anjuran atau nasehat bagi pembaca.
Setelah membaca secara keseluruhan dan berulang-ulang, diperoleh
suatu pesan yang ditujukan kepada pembaca. Di dalamnya terdapat tentang nilai-
nilai kebenaran yang berhubungan dengan masalah hidup dan kehidupan, yang
ditampilkan lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya. Berdasarkan latar
belakang di atas, masalah-masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:
1) Bagaimanakah peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia
pendidikan ?
2) Nilai-nilai pendidikan apa saja yang terdapat dalam Serat Cemporet karya R.
Ng. Ranggawarsita melalui peran tokoh-tokoh binatang ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan latar belakang dan permasalahan di atas yang akan
dikaji, tujuan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
1) Mengungkap peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia
pendidikan.
10
2) Mengungkap nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh-tokoh binatang dalam
Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
secara teoritis maupun manfaat secara praktis.
Manfaat secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah ilmu kebahasaan dan kesusastraan.
Manfaat secara praktis, dengan mengetahui isi, latar belakang, pesan, ide,
ilmu, maksud, dan tujuan penelitian Serat Cemporet, diharapkan menjadi
dorongan dan minat baca. Meningkatkan ilmu dan menambah wawasan serta
cakrawala baru bagi para pembacanya. Bagi generasi sekarang dan generasi
penerus di masa yang akan datang. Supaya dapat dijadikan motivasi dalam
melaksanakan pendidikan nasional. Hasil penelitian ini, diharapkan juga dapat
digunakan sebagai bahan ajar oleh guru. Mendidik siswanya untuk selalu berfikir
positif dan membekali siswa untuk memiliki wawasan yang luas tentang
budayanya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Naratologi
Istilah naratologi pada awalnya digunakan di Perancis, yang sering di
sebut naratologi strukturalis. Naratologi (narratology) mengambil masalah
pembicaraan terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan wacana naratif,
bagaimana menyiasati peristiwa-peristiwa cerita ke dalam sebuah bentuk yang
terorganisasikan yang bernama plot (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2005: 113).
Naratologi merupakan ilmu yang mengkaji tentang masalah yang
berhubungan dengan seluk-beluk (struktur) karya sastra yang berdasarkan pada
struktur naratif karya sastra. Tingkat analisis naratif dari ahli logika menyatakan
bahwa struktur naratif terdiri atas struktur sintagmatik yang berhubungan dengan
alur, dan paradigmatik yang berhubungan dengan karakter dan tema
(Sukadaryanto dalam Darmayanti, 2006: 8).
Menurut Fokkema (1998: 77-90) naratologi merupakan ilmu yang secara
khusus menelaah tentang masalah-masalah naratif, yang berorientasi pada teks
sastra. Hubungannya dengan perjalanan para tokoh dan tindakannya dalam
peristiwa yang diceritakan. Mengidenfikasikan suatu tindakan tokoh, yang tidak
mungkin lepas dari tempatnya dalam perjalanan narasi. Fungsi-fungsi para tokoh
berperan sebagai unsur-unsur yang stabil dan konstan dalam cerita pada sebuah
teks naratif (Propp dalam Fokkema, 1998: 79).
11
12
Pengkajian naratologi menyaran pada peristiwa yang ditampilkan dalam
karya sastra. Mencari kejelasan peristiwa demi peristiwa yang dikisahkan,
berdasarkan hubungan kausalitas. Kegiatan tersebut berkaitan dengan pemplotan
atau pengaluran. Kegiatan pemplotan meliputi kegiatan memilih peristiwa yang
akan diceritakan dan kegiatan menata (mengolah dan menyiasati) peristiwa-
peristiwa itu ke dalam struktur linear karya fiksi (Nurgiyantoro, 2005: 113).
Chamamah-Suratno (dalam Darmayanti, 2006: 8) memberikan batasan
yang lebih lengkap melalui naratologi sebagai ilmu yang mempelajari pengaluran
atau penempatan peristiwa-peristiwa penokohan, tipologi atau penempatan
spasial peristiwa dan masalah-masalah penuturan dan tuturan dalam sebuah teks
naratif.
Berdasarkan dari beberapa kutipan di atas, dapat dikatakan bahwa
naratologi adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah seluk-beluk struktur
naratif di dalam sebuah karya sastra.
2.1.1 Strukturalisme Naratif
Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan
dengan persepsi dan deskripsi struktur (Hawk dalam Pradopo, 2002: 54). Karya
sastra pada hakikatnya tersusun dari jalinan unsur di dalam keseluruhan
struktur. Unsur-unsur tersebut sebagai pembangun sebuah karya sastra,
sehingga menghasilkan makna menyeluruh. Mendasarkan bahwa karya sastra
13
bersifat otonom, yang memiliki makna yang hanya dapat diperoleh dari karya
sastra itu sendiri.
Naratif merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan
suatu kejadian atau peristiwa sehingga tampak seolah-olah pembaca melihat
atau mengalami sendiri peristiwa itu (Keraf, 2003: 135-136). Karya naratif
bersifat imajinatif atau rekaan. Jadi, karya naratif mengisahkan suatu kejadian
atau peristiwa yang bersifat imajiner. Namun, tidak sedikit mengandung
kebenaran yang menyaran pada masalah hidup dan kehidupan manusia.
Dalam analisis terhadap pemahaman suatu karya naratif, dapat
dilakukan dengan kajian strukturalisme, yang menekankan pada deskripsi
struktural. Struktur merupakan keseluruhan relasi antara berbagai unsur sebuah
teks (Noor, 2005: 78). Menurut kaum strukturalisme, karya naratif adalah
sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagi unsur
pembangunnya. Struktur karya naratif dapat diartikan sebagai susunan,
penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya
yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam
Nurgiyantoro, 2005: 36).
Menurut kaum strukturalis, menganggap bahwa setiap narasi
mempunyai dua aspek. Membagi unsur teks ke dalam aspek cerita dan aspek
wacana. Aspek cerita merupakan peristiwa yang berupa aksi dan kejadian,
sedangkan aspek wacana berupa bentuk yang ingin diungkapkan (Chatman
dalam Nurgiyantoro, 2005: 27).
14
Cerita terdiri dari peristiwa dan wujud keberadaannya atau
eksistensinya. Peristiwa berupa tindakan aksi dan kejadian, sedangkan
eksistensinya terdiri dari tokoh (characters) dan latar (setting). Menurut
Chatman (dalam Nurgiyantoro, 2005: 27) wacana merupakan media atau sarana
untuk mengungkapkan gagasan cerita.
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan di atas, oleh Chatman
(dalam Nurgiyantoro, 2005: 28) secara ringkas disajikan dalam bentuk diagram
sebagai berikut.
Tindakan Action peristiwa Event Kejadian Bentuk Happening
Tokoh Cerita Wujud Character Eksistent
Teks Naratif Substansi Latar
Setting
Wacana
Bertumpu dari uraian di atas, untuk membatasi analisis struktur pada
skripsi ini, pembahasan hanya pada peran tokoh-tokoh binatang pada dunia
pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang
terdapat dalam Serat Cemporet. Dapat disimpulkan bahwa penciptaan unsur-
15
unsur tokoh, dan nilai-nilai pendidikan merupakan bagian dari teks, di luar
linguistik. Di samping itu, penelitian juga tidak dapat dilepaskan dari sistem
tanda dan penanda. Sehingga dapat diperoleh kejelasan tentang peran tokoh
binatang pada dunia pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh
binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet.
2.1.2 Insiden
Dalam literatur bahasa inggris istilah action (aksi, tindakan) dan event
(peristiwa atau kejadian) sering diartikan sama, meskipun keduanya menyaran
pada dua hal yang berbeda. Action merupakan suatu aktivitas yang dilakukan
oleh tokoh, misalnya memukul, memarahi, dan sebagainya. Cakupan event
lebih luas daripada action. Event menyaran pada sesuatu yang dilakukan dan
dialami tokoh di luar aktivitas, misalnya peristiwa alam, seperti gempa bumi,
banjir, gunung meletus dan lain-lain. Untuk menyederhanakan, Nurgiyantoro
(2005: 117) masalah action dan event dirangkum menjadi satu istilah, yaitu
peristiwa atau kejadian.
Berkaitan dengan peristiwa atau kejadian Sukada (dalam Darmayanti
2006: 12) menggunakan istilah insiden untuk menyebut event. Insiden adalah
peristiwa atau kejadian yang terkandung dalam cerita, baik besar maupun kecil
(Sukada dalam Darmayanti, 2006: 12). Secara garis besar, insiden merupakan
unsur pembangun atau pembentuk struktur cerita. Dalam landasan teori ini,
menggunakan istilah insiden dan peristiwa yang artinya dianggap sama.
16
Menurut Luxemburg (1992: 150) mengartikan peristiwa sebagai
peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Bertumpu dari
pengertian itu, dapat dibedakan kalimat-kalimat tertentu yang menampilkan
peristiwa dengan yang tidak menampilkan peristiwa.
Mengingat peristiwa yang ditampilkan dalam karya naratif tidak
sedikit, tidak semua peristiwa berfungsi sebagai pendukung cerita. Oleh sebab
itu, perlu analisis untuk menyeleksi dan menentukan peristiwa, Luxemburg
(dalam Nurgiyantoro, 2005: 118-119) membagi peristiwa menjadi tiga jenis,
yaitu:
1) Peristiwa Fungsional
Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukan
dan atau mempengaruhi perkembangan plot. Urut-urutan peristiwa
fungsional merupakan inti cerita sebuah karya fiksi yang bersangkutan.
Kehadiran peristiwa-peristiwa itu dalam kaitannya dengan logika cerita
merupakan suatu keharusan. Namun, penentuan apakah sebuah peristiwa
bersifat fungsional atau bukan baru dapat dilakukan setelah gambaran cerita
dan plot secara keseluruhan diketahui. Di samping itu, kadar
kefungsionalnya peristiwa fungsional itu sendiri sering tidak sama.
2) Peristiwa Kaitan
Peristiwa kaitan adalah peristiwa-peristiwa yang berfungsi
mengaitkan peristiwa-peristiwa penting (peristiwa fungsional) dalam
pengurutan penyajian cerita. Peristiwa kaitan kurang mempengaruhi
17
pengembangan cerita, dapat dipandang sebagai peristiwa selingan. Selain
itu, peristiwa kaitan juga akan memperlengkap cerita, menyambung logika
cerita, memperkuat adegan dan peristiwa fungsional, dan dapat memberikan
kesan ketelitian terhadap berbagai adegan yang dikisahkan.
3) Peristiwa Acuan
Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung
berpengaruh dan atau berhubungan dengan perkembangan plot, melainkan
mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya berhubungan dengan masalah
perwatakan atau suasana yang melingkupi batin seorang tokoh. Peristiwa
acuan menceritakan suasana alam dan batin seorang tokoh, sewaktu
mengalami kejadian tertentu yang penting. Peristiwa acuan sering
memberikan berbagai informasi yang penting artinya bagi pembaca dan
sekaligus memberikan wawasan cerita secara lebih luas.
Berdasarkan uraian di atas, insiden dapat dikatakan sebagai peristiwa
atau kejadian yang berupa tingkah laku atau tindakan dari tokoh yang
menyebabkan peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain.
Insiden oleh Sukada (dalam Darmayanti, 2006: 13) dibedakan menjadi dua,
yaitu sebagai berikut.
1) Insiden pokok yang mengandung ide-ide pokok cerita yang menjuruskan
kesimpulan cerita adanya plot.
18
2) Insiden sampingan yaitu insiden yang menyimpang dari sebab-akibat yang
logis, yang mengandung ide-ide sampingan dan karena itu tidak menjurus
atau tidak menunjang adanya plot.
Chatman (dalam Nurgiyantoro, 2005: 120) membedakan peristiwa
menjadi dua, yaitu kernel (kernels) dan satelit (satelits). Kernel adalah peristiwa
utama yang menentukan perkembangan plot (cerita). Dalam karya naratif,
kernel tidak dapat di hilangkan karena akan merusak logika cerita. Kernel
merupakan momen naratif yang menaikkan inti naratif pada arah seperti yang
dimaksudkan oleh peristiwa (Nurgiyantoro, 2005: 121).
Satelit adalah peristiwa pelengkap yang diperlukan untuk menunjukan
eksistensi kernel sebagai peristiwa utama. Satelit dapat saja dihilangkan tanpa
harus merusak logika cerita, walau penghilangan unsur peristiwa itu tentu saja
akan mengurangi kadar keindahan karya naratif karya yang bersangkutan
(Chatman dalam Nurgiyantoro, 2005: 121).
2.2 Tokoh dan Penokohan
Dalam sebuah karya naratif terdapat unsur-unsur pembangun cerita,
salah satunya adalah tokoh dan penokohan. Unsur pembangun tersebut, tidak
kalah penting dengan unsur pembangun lainnya di dalam sebuah karya naratif.
Kehadirannya mengemban, mengalami, dan melaksanakan sesuatu dalam setiap
peristiwa yang diceritakan. Perjalanan kehidupan tokoh dapat juga dijadikan
19
cermin pribadi manusia dalam kehidupan nyata. Adapun pengertian tokoh dan
penokohan menurut beberapa ahli sastra, sebagai berikut.
2.2.1 Pengertian Tokoh
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi
sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita (Aminuddin, 2002: 79).
Tokoh atau pelaku pada umumnya berupa manusia, tetapi tidak sedikit dalam
cerita fiktif, tokoh berupa binatang, dewa-dewa atau makhluk gaib lainnya.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165), mengemukakan
tokoh adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa
menyebutkan tokoh cerita tidak dapat dipisahkan dengan watak yang
dimilikinya.
Penyebutan nama tokoh tertentu menyaran pada perwatakan yang
dimilikinya. Meskipun tokoh dan watak merupakan sesuatu yang berbeda,
tetapi satu sama lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari, selalu
memiliki watak-watak tertentu (Aminuddin, 2002: 80).
Ditinjau dari berkembang atau tidaknya perwatakan, tokoh terdiri atas
tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang
20
secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan
sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang
adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan
sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang
dikisahkan (Alten dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 2005: 188)
Berdasarkan pengertian tokoh dan jenis-jenisnya yang telah diuraikan
di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh dalam karya sastra yang
memiliki sifat dan tingkah laku baik dapat dijadikan teladan. Sebaliknya tokoh-
tokoh yang memiliki sifat dan tingkah laku kurang baik, dijadikan sebagai suatu
pengalaman dan pelajaran hidup. Dapat diartikan, bahwa tokoh-tokoh dalam
karya sastra merupakan cermin manusia dengan segala kekurangan dan
kelebihan yang dimilikinya.
2.2.2 Pengertian Penokohan
Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan
perwatakan. Penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca
(Nurgiyantoro, 2005: 166). Penokohan sering juga disebut karakter, meskipun
keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Selanjutnya, penokohan dan
karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan perwatakan menunjuk pada
penempatan tokoh-tokoh tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2005:
21
165). Penokohan merupakan bagian atau unsur yang memiliki peran besar
dalam membangun sebuah totalitas karya naratif.
Menurut Suharianto (2005: 20) penokohan ialah pelukisan mengenai
tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa:
pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan
sebagainya.
Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan
penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 167). Demikian juga dalam Serat
Cemporet, pengarang menghadirkan tokoh-tokoh binatang sebagai media untuk
menyampaikan pesan, amanat, moral, yang ingin disampaikan kepada pembaca.
2.3 Hubungan Karya Sastra dengan Pendidikan
Pada umumnya karya sastra yang berhasil selalu mengandung nilai-nilai
luhur, yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Karya sastra merupakan salah
satu media dalam pelaksanaan pendidikan. Meskipun hanya sebuah kreasi
manusia, karya sastra mampu memaparkan realitas dalam kehidupan sehari-hari,
yang dapat dijadikan cermin dalam kehidupan bermasyarakat. Karya sastra fiksi
tidak lebih merupakan pengejawantahan usaha sastrawan dalam rangka
mengabadikan nilai-nilai yang menurut keyakinannya bermanfaat bagi penikmat
karya sastra itu (Suharianto, 1982: 17-19). Dapat diartikan bahwa di dalam karya
22
sastra terdapat nilai-nilai pendidikan yang layak untuk diambil dan diterapkan
dalam kehidupan nyata.
Menurut Baribin (1985: 79) dari karya sastra dapat ditemukan buah
pikiran atau renungan dari penulis dan sanggup menyadari nilai-nilai yang lebih
halus berarti telah dapat mengapresiasi atau menangkap nilai yang terkandung
dalam karya sastra tersebut. Berdasarkan kutipan tersebut, pembaca (peminat
sastra) bukan hanya sekadar membaca teks sastra saja, tetapi seyogyanya dapat
menangkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai yang ditawarkan
penulis lewat karya sastra yang disuguhkan, yang tentunya dapat ditafsirkan
setelah selesai membaca.
Mengenai tujuan karya sastra yang dapat memberikan manfaat,
Suharianto (1982: 19) menyatakan, pengarang melalui karyanya bermaksud
menyampaikan gagasan, pandangan hidup, tanggapan atas kehidupan sekitar dan
sebagainya dengan cara yang diusahakan menarik atau menyenangkan, di
samping itu pengarang bermaksud pula menyampaikan nilai-nilai yang menurut
keyakinannya bermanfaat bagi para penikmat karyanya.
Karya sastra diciptakan bukan sekadar tujuan estetik saja, tetapi ada
maksud lain yang ingin di sampaikan pengarang. Pandangan dan pengalaman
pengarang tentang hidup dan kehidupan yang dituangkan melalui media karya
sastra. Disampaikan kepada pembaca tentang nilai-nilai kehidupan, baik secara
tersirat maupun tersurat. Suharianto (1982: 18) mengemukakan, kaitannya fungsi
karya sastra dengan masyarakat, yaitu sastra bukan semata-mata untuk
23
memberikan hiburan kepada penikmatnya, melainkan juga memberikan sesuatu
yang memang dibutuhkan manusia pada umumnya, yakni nilai-nilai yang anggun
dan sering terlepas dari pengamatan sehari-hari.
Dalam membaca sebuah teks sastra, unsur utama yang harus
diperhatikan yaitu memahami makna yang terkandung dalam bacaan sastra.
Untuk memahami makna tersebut, bagi aliran fenomenologi pembaca harus
mampu memahami realitas tersurat yang digambarkan pengarang serta mampu
mengasosiasi dan mengabstraksikannya (Aminuddin, 2002: 51). Bertumpu
pemahaman makna tersebut, maka akan diperoleh nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
Karya sastra “Serat Cemporet” merupakan cerita naratif yang bersifat
rekaan atau fiktif. Meskipun bersifat fiktif, tetapi di dalamnya terdapat piwulang
atau nilai-nilai pendidikan, yang berisi ajaran tentang norma kelakuan individu
dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai pendidikan yang pada dasarnya
menuntun individu supaya melakukan kebaikan, menjalankan suatu perbuatan
atau tindakan yang bertanggungjawab, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain.
2.3.1 Pengertian Nilai
Nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi
kemanusiaan (KBBI, 1995: 690). Nilai dapat dijadikan ukuran oleh seseorang
atau suatu masyarakat untuk menetapkan apa yang benar atau baik untuk
24
dilakukan dan apa yang jelek atau buruk untuk ditinggalkan dan sebagainya.
Menurut Daroeso (1989: 20) nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas
terhadap sesuatu atau hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku
seseorang, karena sesuatu hal itu menyenangkan, memuaskan, menguntungkan
atau merupakan suatu sistem keyakinan. Oleh sebab itu nilai bersifat normatif,
merupakan keharusan untuk diwujudkan dalam tingkah laku manusia.
Dapat diartikan bahwa nilai adalah sesuatu yang merupakan ukuran
masyarakat untuk menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu hal yang
dianggap baik dan benar. Nilai yang di junjung tinggi ini dijadikan norma untuk
menentukan ciri-ciri manusia yang ingin dicapai dalam praktik pendidikan.
Nilai dapat diperoleh secara normatif bersumber dari norma masyarakat, norma
filsafat, dan pandangan hidup, bahkan juga dari keyakinan keagamaan yang
dianut oleh seseorang (Munib, 2004: 34).
Perubahan kondisi sosial-ekonomi sejalan dengan perkembangan ilmu
dan teknologi. Membawa perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, cara
menghargai hidup dan kenyataan. Tentunya perlu suatu nilai untuk menjadi
pegangan hidup seseorang. Menurut Hurlocks (dalam Soeparwoto, 2004: 100)
mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu
atau kelompok sosial untuk membuat keputusan mengenai apa yang
dibutuhkannya, atau sebagai sesuatu yang ingin dicapai.
Bertumpu dari uraian di atas, dapat diselaraskan bahwa nilai adalah
sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, masyarakat, atau bangsa yang
25
dijadikan norma atau kriteria dalam hidup dan kehidupan. Nilai merupakan
tolak ukur yang diyakini kebenarannya, mengenai sesuatu yang dibutuhkan
sebagai tujuan yang hendak dicapai.
2.3.2 Pengertian Pendidikan
Nilai merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Pengertian
pendidikan menurut Dewantoro (dalam Munib, 2006: 32) adalah upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak. Pendidikan merupakan sebuah proses panjang dalam
pembentukan manusia seutuhnya. Memberikan kemampuan kepada seseorang
(peserta didik) untuk dapat hidup secara mandiri. Peserta didik menjadi objek
utama di dalam proses pendidikan.
Dalam UUSPN No.2 Tahun 1989 menyatakan, bahwa pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan bagi peranannya di masa yang
datang (Munib, 2006: 33). Jadi, pendidikan dapat diartikan sebagai perbuatan
atau cara pembentukan sikap seseorang untuk dapat hidup dan berkembang
menjadi dewasa. Menghasilkan manusia yang lebih baik, yang berkepribadian
dan berbudaya.
Dictionary of Education (dalam Munib, 2006: 33) menyatakan, bahwa
pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan
bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat ia hidup,
26
proses sosial yakni orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih
dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga dia dapat
memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan
kemampuan individu yang optimal.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah pembentukan individu menjadi manusia yang mandiri,
bertanggung jawab, mampu memahami dan melaksanakan norma-norma atau
nilai-nilai dalam hidup dan kehidupannya. Membimbing generasi muda untuk
menjadi suatu generasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Jadi, yang dimaksud dengan nilai pendidikan adalah sesuatu yang
menjadi ukuran untuk dicapai melalui pelaksanaan pendidikan. Ukuran tersebut
bersifat normatif, tidak hanya di dapat dari praktik pendidikan. Namun
bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat, norma agama dan pandangan
hidup seseorang.
2.3.3 Jenis Nilai-nilai Pendidikan
Nilai pendidikan memiliki kedudukan sebagai tolak ukur seberapa
berharganya kehidupan bagi manusia. Menghargai pentingnya arti kehidupan,
mengingat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak terlepas dengan manusia
lain. Dapat diartikan dalam kehidupan masyarakat, bahwa nilai pendidikan
dapat membentuk kemaslahatan dan kesejahteraan manusia sebagai anggota
masyarakat. Hadikusuma (1999: 25) membagi nilai-nilai pendidikan itu atas
27
pendidikan keindahan, pendidikan kesusilaan, pendidikan sosial, pendidikan
politik, pendidikan ekonomi, pendidikan agama dan pendidikan ketrampilan.
Nilai-nilai pendidikan di atas terkandung juga di dalam sebuah karya
sastra. Mengingat karya sastra mengemukakan persoalan hidup dan kehidupan
manusia, yang di dalamnya menyangkut nilai-nilai pendidikan. Tarigan (1985:
194) menyebutkan nilai-nilai dalam suatu karya sastra dapat berupa:
1) Nilai hedonik, yaitu apabila suatu karya sastra dapat memberikan
kesenangan secara langsung kepada kita.
2) Nilai artistik, yaitu memanifestasikan ketrampilan seseorang.
3) Nilai kultural, mengandung hubungan bila suatu karya sastra yang
mendalam dengan suatu masyarakat atau suatu peradaban dan kebudayaan.
4) Nilai etis, moral, dan religius, yaitu bila dari suatu karya sastra terpancar
ajaran-ajaran yang ada sangkut pautnya dengan etika, moral, dan agama.
5) Nilai praktis, yaitu karya-karya yang mengandung hal-hal praktis yang
dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai nilai-nilai
pendidikan, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan merupakan konsep
yang dijadikan panutan hidup manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Nilai-nilai pendidikan tersebut, terdiri dari:
1) Nilai Pendidikan Religius
Istilah religi sering disamakan artinya dengan pengertian agama.
Namun, pengertian religi cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan
28
pengertian agama. Pengertian religi menyangkut adanya kekuatan lain di
luar diri manusia yang sifatnya supra natural, yang secara umum disebut
Tuhan (Munib, 2006: 17). Agama lebih menyangkut hubungan individu
dengan Tuhannya. Dapat dikatakan bahwa agama adalah wujud dari
kesadaran dan pengakuan manusia akan adanya kekuatan lain di luar
dirinya.
Nilai pendidikan religi berhubungan dengan kesadaran akan Tuhan,
menciptakan manusia menjadi individu yang bertaqwa kepada Tuhannya.
Kesadaran tersebut direalisasikan dengan taat dan patuh menjalankan
perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, seperti yang diajarkan dalam
agama yang dipeluknya. Setiap agama pada hakikatnya sama, yaitu
mengajarkan umatnya untuk bertauhid kepada Tuhan pencipta alam beserta
isinya.
2) Nilai Pendidikan Etika
Etika adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan
oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia
seharusnya menjalankan kehidupannya (Suseno, 2001: 6). Etika merupakan
konvensi masyarakat yang menyaran pada sikap dan tindakan seseorang,
menyangkut pantas atau kurang pantas, benar atau kurang benar, tentang
sikap atau tindakan individu yang bersangkutan. Mewujudkan kehidupan
manusia yang selaras dengan tata karma dan adat-istiadat dalam kehidupan
bermasyarakat.
29
Menurut Soegito (2006: 87) etika adalah sebuah ilmu, yaitu sebagai
salah satu cabang ilmu filsafat yang mengajarkan bagaimana hidup secara
arif atau bijaksana, memberi ajaran tentang bagaimana seseorang harus
berperilaku dalam kehidupannya secara bermoral. Etika menyaran pada
tanggungjawab dan kewajiban seseorang sebagai makhluk individu,
makhluk sosial, dan makhluk religius. Etika menjadi konsep manusia untuk
bertindak dan bertingkah laku terhadap sesama, menuju terciptanya
kebahagiaan hidup.
3) Nilai Pendidikan Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak mungkin terlepas
dari manusia lain. Sosial adalah sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat
(KBBI, 1994: 958). Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu
membutuhkan kehadiran manusia lain. Dapat diartikan bahwa manusia
memiliki sifat ketergantungan atau membutuhkan hubungan dengan sesama
di dalam lingkup yang disebut masyarakat. Untuk itu, manusia perlu hidup
berkelompok atau bermasyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Nilai pendidikan sosial bersumber dari adanya kenyataan bahwa
manusia tidak akan mampu hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain.
Manusia memiliki sifat saling ketergantungan antara manusia yang satu
dengan lainnya. Jadi, manusia dituntut untuk mampu hidup berkelompok,
memenuhi segala kebutuhannya yang tak lain membutuhkan bantuan
manusia lain.
30
4) Nilai Pendidikan Moral
Dalam bahasa Arab, moral yang berarti budi pekerti sama dengan
pengertian akhlak, sedangkan dalam konsep Indonesia moral berarti
kesusilaan (Soegito, 2006: 73). Moral merupakan suatu nilai yang dijadikan
acuan untuk mengatur tingkah laku dan perbuatan manusia dalam
kehidupan di masyarakat. Selain itu, juga dapat digunakan untuk
membedakan antara tindakan atau tingkah laku manusia yang baik dan yang
buruk di dalam hubungannya antara manusia satu dengan lainnya.
Menurut Soeparwoto (2004: 99) moral merupakan serangkaian
nilai-nilai yang di dalamnya memuat kaidah, norma, tata cara kehidupan,
adat-istiadat, dan pranata sebagai standar baik-buruknya perilaku individu
atau kelompok yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial, budaya, dan religi
dari individu atau kelompok masyarakat.
Nilai pendidikan moral menyaran pada petunjuk tentang bagaimana
seseorang melangkah dalam hidup. Untuk itu, moralitas adalah sebuah
“pranata” seperti halnya agama, politik, bahasa dan sebagainya yang sudah
ada sejak dahulu kala dan diwariskan secara turun-temurun (Soegito, 2006:
87). Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu
oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai anggotanya (Rogers
dalam Soeparwoto, 2004: 99)
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai kebenaran,
31
dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca (Nurgiyantoro,
2005: 321). Pengarang mempunyai tujuan menyampaikan suatu saran yang
berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, lewat cerita
yang bersangkutan, yang dapat diambil dan ditafsirkan oleh pembaca. Saran
tersebut, berupa petunjuk tentang berbagai hal yang berhubungan dengan
masalah kehidupan, seperti sikap dan tingkah laku yang ditampilkan lewat
tokoh cerita.
Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca
diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang
disampaikan, yang diamanatkan (Nurgiyantoro, 2005:321). Kehadiran karya
sastra bukan hanya bertujuan untuk hiburan belaka. Melainkan menawarkan
pesan moral yang menyangkut masalah hidup dan kehidupan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan merupakan suatu upaya penghampiran dengan dasar
pertimbangan bahwa sebuah penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang tersusun
secara sistematis dan metodis (Ratna, 2004: 35). Dalam skripsi ini, teks sastra
menjadi objek penelitian, maka pendekatan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang menitik beratkan pada karya sastra
atau teks sastra sebagai sebuah struktur.
Pendekatan objektif berhubungan erat dengan teori struktur naratif, yang
menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya sastra yang
bersangkutan. Pendekatan objektif memandang karya sastra sebagai dunia otonom
yang memiliki keunikannya sendiri, yang membedakan karya yang satu dengan
yang lain.
Analisis dengan pendekatan objektif dalam karya sastra, dalam hal ini
Serat Cemporet sebagai objek utamanya, dilakukan dengan mengidenfikasi,
mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik karya
sastra yang bersangkutan. Untuk menemukan peran tokoh-tokoh binatang, dan
nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang dalam Serat Cemporet,
terlebih dahulu mengetahui jalinan peristiwa dan hubungan sebab-akibat yang ada
32
33
di dalamnya. Hal tersebut dapat diungkap dengan pendekatan objektif, dengan
menggunakan teori struktural naratif.
Penggunaan teori struktural naratif merupakan salah satu cara untuk
membongkar karya sastra lewat struktur cerita, sehingga dapat mengetahui suatu
maksud tertentu dari suatu peristiwa yang dideskripsikan. Jadi, dapat diartikan
bahwa peran tokoh-tokoh binatang, nilai dan wujudnya dalam Serat Cemporet
dapat diketahui lewat peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita.
3.2 Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah mengungkap nilai-nilai pendidikan
dan peran tokoh-tokoh binatang pada dunia pendidikan, yang terdapat dalam
Serat Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita.
Data pada penelitian ini yaitu piwulang atau ajaran yang dapat diungkap
melalui peran tokoh binatang dan peristiwa dalam Serat Cemporet, yang
digunakan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan dan peran tokoh-tokoh
binatang pada dunia pendidikan yang terdapat dalam karya sastra tersebut.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks Serat
Cemporet karya R. Ng. Ranggawarsita yang sudah dialih aksara dan dialih
bahasakan oleh Sudibjo Z. Hadisutjipto. Diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka
tahun 1987, setebal 415 halaman. Bagian pertama menggunakan bahasa Indonesia
dan bagian kedua menggunakan bahasa Jawa. Karya sastra Serat Cemporet
tersebut merupakan cetakan ke enam.
34
3.3 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik kualitatif yang
bersifat deskriptif, yaitu mengkaji teks sastra Serat Cemporet dengan menitik
beratkan pada jalinan peristiwa dan hubungan sebab-akibat yang berupa tindakan
tokoh, yang ada di dalamnya. Sehingga membentuk sebuah totalitas kemaknaan
terpadu, yang membuat karya sastra lebih bermanfaat bagi kehidupan. Dalam hal
ini, lebih mengutamakan pendalaman tentang struktur teks sastra.
Sebelum dilakukan analisis mengenai nilai-nilai pendidikan dan peran
tokoh binatang pada dunia pendidikan, terlebih dahulu dibuat insiden-insiden
yang menunjukan peristiwa dan tindakan tokoh-tokoh binatang dalam Serat
Cemporet.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis obyek
kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Membaca teks Serat Cemporet secara cermat dan teliti supaya dapat
memahami keseluruhan isi karya sastra tersebut.
2) Menentukan tokoh-tokoh, yang dalam hal ini adalah tokoh binatang yang
menjadi obyek penelitian.
3) Menentukan insiden-insiden dalam cerita yang akan menjadi obyek kajian
penelitian yang berupa tindakan yang dilakukan tokoh-tokoh binatang.
4) Mencari dan mencatat peristiwa dan wujud dalam Serat Cemporet.
5) Mendeskripsikan peran tokoh-tokoh binatang pada dunia pendidikan.
35
6) Menganalisis nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam Serat Cemporet
melalui peristiwa yang diperkuat dengan kalimat-kalimat yang mengandung
nilai-nilai pendidikan.
7) Menyimpulkan hasil dari analisis teks Serat Cemporet.
BAB IV
PERAN TOKOH BINATANG, DAN NILAI-NILAI
PENDIDIKAN MELALUI PERAN TOKOH BINATANG
DALAM SERAT CEMPORET
4.1 Struktur Naratif Teks Serat Cemporet
Kajian yang akan di analisis pada bab empat ini adalah peran tokoh
binatang pada dunia pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh
binatang dalam Serat Cemporet. Peran tokoh binatang pada dunia pendidikan
dapat terlihat dari watak dan latar. Nilai-nilai pendidikan dapat diungkap lewat
peristiwa, yang berupa tindakan dan kejadian yang dialami tokoh-tokoh binatang.
Cerita naratif yang menyajikan tokoh binatang atau sering disebut fabel,
cenderung disukai anak usia sekolah. Terlebih cerita tentang tokoh binatang yang
terdapat dalam Serat Cemporet. Tokoh binatang yang bukan sembarang binatang,
melainkan wujud deformasi atau penjelmaan dari tokoh manusia. Dimana
pembaca diajak menikmati dunia maya yang penuh dengan imajinatif. Setiap
pembaca memiliki tokoh idola yang berbeda-beda, yang patut ditiru dan menjadi
teladan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh yang memiliki sifat dan tingkah laku
baik, dijadikan sebagai teladan. Begitupun sebaliknya, tokoh yang memiliki sifat
dan tingkah laku kurang baik, dijadikan sebagai suatu pengalaman dan pelajaran
hidup.
36
37
Melalui teori struktur naratif dengan menggunakan pendekatan objektif,
dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk membongkar teks sastra Serat
Cemporet. Membedah teks sastra yang memiliki kualitas moral tinggi. Selain itu,
melalui peran tokoh binatang, terdapat juga amanat yang dapat dijadikan nasehat
atau petuah bagi para pembacanya. Watak dan tindakan tokoh-tokoh binatang
seperti halnya pribadi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Cermin pribadi
manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya.
Langkah awal dalam mengungkap peran tokoh binatang pada dunia
pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang yang
terdapat dalam Serat Cemporet, perlu terlebih dahulu mengetahui struktur naratif
yang ada di dalamnya. Terdiri dari insiden, peristiwa, dan wujud keberadaannya
atau eksistensinya. Peristiwa terdapat dua unsur, yaitu tindakan dan kejadian.
Begitu juga di dalam wujud eksistensinya terdapat dua unsur, yaitu berisi watak
dan latar. Dibahas satu persatu secara urut, sebagai berikut.
4.1.1 Insiden-insiden dalam Serat Cemporet
Insiden-insiden yang ada dalam Serat Cemporet, digunakan untuk
mengetahui tindakan dan kejadian yang dialami oleh tokoh-tokoh cerita.
Berikut ini akan disajikan insiden-insiden yang ada dalam Serat Cemporet,
berkenaan dengan tindakan dan kejadian yang dialami oleh tokoh-tokoh
binatang.
38
Penyusunan insiden yang terdapat dalam Serat Cemporet, dipilih yang
berhubungan atau yang dialami oleh tokoh-tokoh binatang. Penyajian insiden
dimulai dari pupuh I sampai pupuh XXXII, sebagai berikut.
1. Banteng 1.1 Banteng pergi ke hutan meninggalkan istana kerajaan.
1.1.1 Banteng menghadang di tengah jalan, membuat Ki Buyut ketakutan. 1.1.2 Banteng mendekam, Ki Buyut jadi tidak takut. 1.1.3 Banteng menolong Ki Buyut yang sedang tersesat di hutan. 1.1.3.1 Banteng merendahkan tubuhnya supaya ditunggangi. 1.1.3.2 Banteng berjalan dibelakang mengikuti terbangnya menco.
1.2 Banteng tiba di rumah Ki Buyut Cemporet, di desa Cengkarsari. 1.2.1 Banteng membantu mengolah tanah pertanian.
1.3 Banteng masuk kembali ke dalam hutan, membagi tugas dengan burung menco.
1.3.1Banteng tetap bertugas memberikan pertolongan kepada orang lain. 1.3.1.1 Banteng menolong Dewi Suretna yang sedang tersesat di hutan. 1.3.1.2 Banteng mengajak Dewi Suretna ke rumah Buyut Cemporet. 1.3.1.3 Banteng merendahkan tubuh, Dewi Suretna naik di atas
punggungnya. 1.4 Banteng mohon diri kembali ke hutan meneruskan tugasnya untuk
menolong orang lain. 1.4.1 Banteng bertemu dengan menco di hutan. 1.4.2 Banteng diajak menco menghadap Raden Pramana
1.5 Banteng dan menco serta Raden Pramana meneruskan perjalanan ke desa Cengkarsari.
1.6 Banteng dan rombongan telah sampai di desa Cengkarsari, tempat kediaman Buyut Cemporet.
1.6.1 Banteng mendapat tugas menghadap pengantin mempersembahan pakaian kebesaran.
1.7 Banteng menghadap Rajaputra, setelah melihat adiknya berubah ujud seperti semula, yaitu menjadi Raden Prawasata.
1.7.1 Banteng mengharap belas kasih supaya menjadi manusia kembali. 1.7.2 Banteng kecewa bepergiaannya ke hutan telah meninggalkan
keberuntungan. 1.7.3 Banteng hendak bunuh diri, jika Raden Pramana tidak mau
membantu mengembalikan ujudnya sebagai manusia. 1.7.4 Banteng mendapat perintah supaya memasang akar mimang di
perempatan-perempatan jalan besar. 1.8 Banteng diperintahkan pergi ke kahyangan bersama kedua kakak
kandung Raden Pramana yang cebol dan ujil.
39
1.8.1 Banteng menghadap Dewi Mulat hendak melamar kedua putri. 1.8.2 Banteng bertemu dengan Raden Margana yang sedang mencari
kedua putri. 1.8.3 Banteng dan Raden Margana berperang memperebutkan kedua
putri. 1.8.4 Banteng membunuh Raden Margana dalam peperangan.
1.9 Banteng berada di perkebunan yang indah dalam keadaan sangat sedih. 1.9.1 Banteng berada di bawah pohon beringin. 1.9.2 Banteng mendapat petunjuk akan penyembuhannya untuk menjadi
manusia lagi. 1.9.3 Banteng menumbangkan pohon beringin. 1.9.4 Banteng mengambil Cupu Permata di tempat tancapan akar tunjang. 1.9.5 Banteng mengoleskan minyak Cupu Permata di seluruh tubuhnya. 1.9.6 Banteng merasa mengantuk, antara tertidur dan terjaga. 1.9.7 Banteng kembali keujudnya seperti dulu, yaitu Raden Prawasakala.
2. Burung Menco 2.1 Menco pergi ke hutan meninggalkan istana kerajaan.
2.1.1 Menco berkidung hinggap di dahan nagasari. 2.1.2 Suara Menco di dengar Ki Buyut Cemporet. 2.1.3 Menco didekati Ki Buyut. 2.1.3 Menco menunjukan jalan kepada Ki Buyut yang tersesat di hutan. 2.1.4 Menco tiba di rumah Ki Buyut, di desa Cengkarsari. 2.1.5 Menco membantu Ki Buyut menanam umbi-umbian.
2.2 Menco kembali pergi ke hutan, membagi tugas dengan banteng. 2.3 Menco sampai di negeri Pagelen dan hinggap di pohon angsoka.
2.3.1 Menco melihat banyak wanita di taman. 2.3.2 Menco berdendang dengan suara yang lembut dan merdu. 2.3.3 Menco bertemu dengan putra raja Pagelen. 2.3.4 Menco menjadi piaraan kesayangan putra raja.
2.4 Menco meninggalkan taman bunga di Pagelen. 2.5 Menco pergi ke Cengkarsari menjenguk orang tua angkatnya.
2.5.1 Menco melihat wanita cantik di sendang. 2.5.2 Menco menyanyikan sebuah lagu tembang gede. 2.5.3 Menco mengejutkan Dewi Suretna / Rara kumenyar. 2.5.4 Menco memperkenalkan diri sebagai binatang kesayangan Raden
Pramana. 2.5 Menco mohon ijin kembali ke negeri Pagelen, menghadap rajaputra.
2.5.1 Menco terbang mengepak-ngepakkan sayapnya di angkasa. 2.5.2 Menco berhenti di hutan hinggap di pohon seraya berkidung 2.5.3 Menco mendapat dua teman baru sesama burung menco. 2.5.4 Menco mengajak kedua temannya ke negeri Pagelen.
2.6 Menco menghadap Raden Pramana.
40
2.6.1 Menco menceritakan kecantikan Rara Kumenyar di desa Cengkarsari.
2.6.2 Menco memperkenalkan ke dua teman barunya sesama burung untuk sama-sama mengabdi kepada Raden Pramana.
2.7 Menco sedih teman barunya si sumping meninggal saat menjalankan tugas.
2.8 Menco dan cunduk serta Raden Pramana melarikan diri dari kerajaan. 2.9 Menco diperintah raden Pramana mencari banteng di hutan.
2.9.1 Menco bertemu banteng dan diajak menghadap gusti junjungannya. 2.9.1 Menco dan banteng menghadap Raden Pramana.
2.10Menco bersama rombongan melanjutkan perjalanan ke desa Cengkarsari.
2.10.1 Menco mengabarkan kepada Ki Buyut perihal kedatangan Raden Pramana.
2.11 Menco dan rombongan sampai desa cengkarsari. 2.11.1 menco mendapat tugas menghadap sang pengantin
mempersembahkan pakaian kebesaran. 2.12 Menco melihat gustinya sedang berperang dengan Raden Jaka Sudana.
2.12.1 Menco hendak menangkap panah dari Raden Jaka Sudana. 2.12.2 Menco jamang dan cunduk mati tertembus panah. 2.12.3 Menco jamang mayatnya lenyap berubah ujudnya menjadi semula.
3. Anjing 3.1 Anjing terlunta-lunta di hutan mencari ibu tirinya, yaitu Rara jonggrang. 3.2 Anjing sampai di desa Sokakarwi. 3.2.1 Anjing bersembunyi di pagar milik penduduk. 3.2.2 Anjing mendengar sayembara dari Rara Nawangsih, yang dikira suara
ibu tirinya. 3.2.3 Anjing membawa teropong milik Rara nawangsih dengan mulutnya. 3.2.4 Anjing menyerahkan teropong kepada Rara Nawangsih. 3.2.5 Anjing menikah dengan Rara Nawangsih karena telah memenangkan
sayembara. 3.2.6 Anjing berubah menjadi manusia di waktu malam hari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa insiden adalah
peristiwa atau kejadian yang berisi tindakan atau aktivitas tokoh cerita, yang
menyebabkan peralihan dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain. Insiden-
insiden yang dialami oleh tokoh-tokoh binatang di atas, merupakan bagian dari
deretan peristiwa yang dikisahkan dalam Serat Cemporet.
41
Berikut ini akan dilanjutkan pembahasan mengenai peristiwa dan
wujud atau eksistensinya, berkenaan dengan tokoh-tokoh binatang yang
terdapat dalam Serat Cemporet.
4.1.2 Peristiwa (event) dalam Serat Cemporet
Peristiwa (event) dalam sebuah karya naratif berfungsi sebagai
pendukung jalannya cerita. Tokoh adalah pelaku yang mengemban setiap
peristiwa yang dikisahkan. Lakuan, gerak, atau aktivitas tokoh yang dalam
sebuah cerita naratif berupa deskripsi, dapat dilihat lewat peristiwa yang
diceritakan. Dapat dikatakan bahwa cerita naratif memaparkan tentang deretan
peristiwa.
Secara garis besar peristiwa terbagi menjadi dua unsur, yaitu tindakan
dan kejadian. Kedua unsur tersebut, artinya sering dianggap sama atau hampir
sama. Namun dalam penulisan skripsi ini, ke dua unsur tersebut diartikan
sebagai sesuatu hal yang berbeda. Pembahasan dilanjutkan mengenai kejadian
dan tindakan yang dialami oleh tokoh binatang dalam teks sastra Serat
Cemporet, sebagai berikut.
4.1.2.1 Tindakan (action)
Peristiwa yang berkaitan dengan masalah tolong-menolong yang
terdapat dalam Serat Cemporet, terlihat pada peristiwa burung menco dan
banteng ketika menolong Ki Cemporet dan istrinya yang tersesat di hutan.
Terdapat dalam pupuh ke IV (kinanthi) bait ke 56-57, sebagai berikut.
42
Dene sangkaning pakantuk, wewah tembung sawatawis, amung asring dana karya, awrat entheng den lampahi, tedah marga wong kasasar, atutulung suker sakit (pupuh IV, bait 56). Duk miyarsa Kyai Buyut, anggarjita muwus aris, angger lamun makatena, kaleresan ing samangkin, ulun lawan nyai somah, samya nandhang kawlas asih. (pupuh IV, bait 57) Terjemahan bebasnya :
Caranya memperoleh dan mendapat tambahan beberapa patah kata, ialah karena seringnya memberikan bantuan. Berat dan ringan kami lakukan atau menunjukan jalan kepada mereka yang tersesat tak tahu jalan serta menolong orang yang mengalami kesulitan atau sakit. (pupuh IV, bait 56) Mendengar penjelasan itu Kyai Buyut berpikir, lalu ujarnya lembut, “Nak jika demikian sungguh kebetulan. Saya dan istri saya ini sedang tertimpa kesusahan. (pupuh IV, bait 57)
Pada ke dua bait di atas, merupakan deretan peristiwa yang berupa
tindakan yang dilakukan oleh burung menco dan banteng ketika menolong Ki
Buyut Cemporet dan istrinya ketika tersesat di hutan.
Masalah tolong-menolong juga terdapat pada pupuh V (mijil) bait ke
4-5, sebagai berikut.
Sang andaka lan sang menco paksi, kesah sakarongron, prapteng wana rembug andum gawe, bantheng tetep lumastareng kardi, tetulung kaswasih, atuduh marga yu. (pupuh V, bait 4) Sang menco nedya anuhoni, met reh karahayon, kang tinuju mring praja Pagelen, sawusira sesewangan kapti, ngambara sang paksi, andaka kalaku. (pupuh V, bait 5) Terjemahan bebasnya : Suatu waktu banteng dan burung pergi berdua, masuk ke dalam hutan, kemudian bersepakat membagi tugas. Banteng tetap bertugas seperti biasanya, yakni memberi pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan, terutama kepada orang-orang yang tersesat. (Pupuh V, bait 4)
43
Sedangkan si burung menco akan menunaikan tugas dengan cara-cara memberikan tuntunan ke arah keselamatan. Yang dituju ialah negeri Pagelen. Sesudah menentukan tujuan masing-masing, si burung terbang melayang, sedangkan banteng tetap berjalan. (pupuh V, bait 5)
Dua bait di atas, menceritakan peristiwa burung menco dan banteng
akan tekadnya untuk menolong sesama, dengan membagi tugas. Tindakan
tersebut dilakukannya dengan ikhlas untuk berbuat kebaikan. Selain itu,
untuk menebus dosa-dosa di masa lalu. Supaya Tuhan mengampuni dan
merubah wujudnya seperti semula.
Masalah tolong-menolong terdapat juga pada pupuh V bait 38,
sebagai berikut.
Saben wonten janma kawlas asih, mbebekta rekaos, amba ingkang tulung nggawakake, tuwin lelampah bingung ing margi, kula anjalari, asuka pinulung. (pupuh V, bait 38) Terjemahan bebasnya : Setiap kali ada orang yang kesusahan, misalnya karena barang yang dibawanya terlalu berat, sayalah yang menolong membawakannya. Demikian pula jika ada orang bingung dalam perjalanan, saya pun memberi pertolongan. (pupuh V, bait 38)
Pada pupuh V bait ke 38 di atas, menggambarkan peristiwa banteng
melakukan tindakan menolong sesama yang sedang kesusahan. Banteng
menolong dengan membawakan barang-barang yang berat. Di samping itu,
memberikan pertolongan kepada orang lain yang tersesat di hutan belantara,
dengan cara menunjukan jalan.
Masalah tolong menolong juga diperlihatkan dalam pupuh V, bait ke
47 berukut ini.
44
Nulya mendhak andaka turnyaris, suwawi sang sinom, anumpaka gigire pun bantheng, sang dyah rara laju anuruti, pan sampun anitih, andaka lumaku. (pupuh V, bait 47) Terjamahan bebasnya : Banteng lalu merendahkan tubuhnya seraya berkata lembut, “Silakan Dewi, naiklah kepunggung si banteng ini.” Sang Dewi tanpa ragu-ragu menurut. Sesudah naik, berjalanlah si banteng. (pupuh V, bait 47)
Pada pupuh V bait ke 47 merupakan peristiwa banteng melakukan
tindakan menolong Dewi Suretna yang tersesat di hutan. Dewi suretna adalah
putri raja Jepara yang dipaksa menikah oleh ayahnya. Karena tidak mau di
paksa menikah, kemudian Dewi Suretna melarikan diri dari kerajaan. Dalam
pelariannya, Dewi Suretna tersesat di hutan dan ditolong oleh banteng.
Kemudian diajaklah Dewi Suretna ke rumah Ki Buyut Cemporet di desa
Cengkarsari.
Tindakan burung menco untuk menghibur orang lain dan
memberikan tuntunan tentang kehidupan, berupa petuah dan nasehat. Lihat
kutipan pupuhVII bait ke 13 berikut ini.
Wus palastha pangidunging paksi, narpatmaja Dyan Jaka pramana, kapirenan ing pranane, rumaket wuwusipun, lah kukila sira sayekti, pratameng pamicara, wignya nembang kidung, liwat dening pasang yogya, dadi rowang ngimur-imur anrang wingit, mengeti rengating tyas. (pupuh VII bait 13)
Terjemahan bebasnya : Selesailah sudah si burung berkidung. Raja putra, Raden Jaka Pramana hatinya sangat puas, lalu ujarnya ramah, “Hai burung! Engkau benar-benar mahir berbicara, ahli membawakan kidung. Sungguh hangat kebetulan untuk menjadi teman, penghibur penerang kesedihan dan memberi peringatan pada hati yang retak.” (pupuh VII bait 13)
45
Kutipan pupuh di atas menggambarkan burung menco melakukan
tindakan memberikan teladan yang baik bagi kehidupan. Kepandaian menco
untuk menggubah kata-kata indah dan menyanyikan dengan suara merdu,
bukan hanya untuk menghibur tetapi juga memberikan nasehat untuk orang
lain. Pada kutipan di atas, menco menghibur sekaligus memberikan petuah
atau nasehat kepada Raden Pramana untuk tidak bersedih hati.
Tindakan anjing untuk menolong Nawangsih yang sedang kesulitan
karena teropongnya jatuh di bawah rumah. Lihat kutipan pupuh XVIII bait ke
9-10 berikut ini.
Gupuh-gupuh, anggondhol taropong wau, lajeng tumaracag, prapteng ranggon mawas liring, sarya ngulungaken taropong kang rentah. (pupuh XVIII bait 9) Sang dyah sampun, anampeni sarya ngungun, amiduhung dahat, dennya muwus pasanggiri, rumaos yen kasiku dening jawata. (pupuh XVIII bait 10) Terjemahan bebasnya : Gopoh-gopoh ia membawa teropong tadi dengan mulutnya, lalu cepat-cepat menaiki tangga. Setibanya di atas ia memperhatikannya sejenak seraya menyerahkan teropong yang jatuh. (pupuh XVIII, bait 9) Si gadis telah menerima dengan perasaan heran, dan sangat menyesal, mengapa ia telah mengucapkan sayembara. Ia merasa telah mendapat amarah dewata. (pupuh XVIII, bait 10)
Kutipan di atas menggambarkan tindakan anjing menolong Rara
Nawangsih mengambilkan teropong miliknya. Kemudian atas janji Rara
Nawangsih, siapa yang dapat menolongnya mengambilkan teropong akan
diberi hadiah. Bila perempuan akan dijadikan saudara, dan jika laki-laki akan
dijadikan suami. Namun yang menolong bukan manusia, tetapi seekor anjing.
46
Seketika Rara Nawangsih menyesal termakan janji yang pernah diucapkan.
Hal tersebut, membuat Rara Nawangsih hendak bunuh diri. Setelah anjing
menghiburnya dan menceritakan siapa sebenarnya dia, kemudian Rara
Nawangsih menepati janjinya untuk menikah dengan anjing (Raden
Jayasandika).
4.1.2.2 Kejadian (happening)
Tindakan dan kejadian merupakan dua istilah yang sering digunakan
secara bersamaan atau bergantian. Meskipun sebenarnya dua istilah tersebut
menyaran pada sesuatu hal yang berbeda. Tindakan merupakan suatu
aktivitas yang dilakukan oleh tokoh cerita. Sedangkan kejadian lebih
menyaran pada sesuatu yang dialami oleh tokoh cerita. Untuk
menyerderhanakan ke dua istilah tersebut, dapat dikatakan bahwa tindakan
adalah sebab, sedangkan kejadian sebagai akibat. Perhatikan kutipan pupuh
XIII (gambuh), bait ke 17-18 berikut ini.
Andaka kang anyangkul, mbektakaken ing sapurugipun, salaminya makaten ing reh pakarti, nganthos kathah mitranipun, para juragan kumroyok. (pupuh XIII bait 17) Sing kang sampun sarju, rumaos yen kapotangan tuhu, sedya males amingsungsung sawatawis, nanging kewran patranipun, denira mrih kapanujon. (pupuh XIII bait 18) Terjemahan bebasnya : Dalam keadaan seperti itu, bantenglah yang menolong mambawakan sampai kemanapun juga. Demikianlah selalu pekerjaannya, sehingga banyak sahabatnya. Tak terhitung banyaknya para saudagar, (pupuh XIII, bait 17)
47
Dan barang siapa sudah kenal baik, benar-benar merasa berhutang budi, lalu ingin memberi hadiah ala kadarnya, akan tetapi bingung tentang caranya yang sekiranya sesuai. ((pupuh XIII, bait 18)
Kutipan pupuh di atas, menggambarkan kejadian tentang banteng
yang memiliki kebaikan budi untuk menolong sesama. Tanpa mengharap
balas jasa dari orang yang sudah ditolongnya. Tetap diingat dan mengakuinya
menjadi teman, itu sudah lebih dari cukup bagi banteng. Kejadian tersebut,
membuat banteng memiliki teman yang banyak.
Kejadian yang terjadi pada peristiwa banteng diperintahkan oleh
Raden Pramana untuk memasang akar mimang pada perempatan-perempatan
jalan besar. Perhatikan kutipan pupuh XX bait 25-26 berikut ini.
Ri sampunira mangkana, wau sang narendrasiwi, Rahaden Jaka Pramana, ganjaran anggili, arta myang busanadi, maring ki Buyut Ni Buyut, pan ing antara dina, risang andaka tinuding, kinen amasanga ingkang oyot mimang. (pupuh XX bait 25) Aneng dalan gung prapatan, pan sampun den laksanani, saben wonten wong aliwat, bingung datan wring ing margi, sinungan tuduh sami, dening sang warna ngun-angun, kinen apita kena, bubuyut ing Cengkarsari, yeku bisa anangekken kaelingan. (pupuh XX bait 26) Terjemahan bebasnya : Sesudah berlangsung demikian itu, kemudian raja putra Raden Jaka Pramana tak putus-putusnya memberi anugerah uang dan pakaian yang indah-indah kepada Ki dan Nyi Buyut. Beberapa hari kemudian banteng mendapat perintah supaya memasang akar mimang, (pupuh XX bait 25) Di peremptan-perempatan jalan besar. Hal itu sudah dilaksanakan. Akibatnya, setiap ada orang lewat menjadi bingung tak tahu jalan. Mereka diberi petunjuk oleh banteng supaya bertanya kepada Buyut Cengkarsari, karena dialah yang bisa mengembalikan ingatan orang. (pupuh XX bait 26)
48
Kutipan di atas menggambarkan kejadian banyak orang yang
tersesat di dalam hutan. Sebagian besar dari mereka adalah para saudagar.
Kejadian tersebut terjadi karena banteng memasang akar mimang di setiap
perempatan jalan. Setiap ada orang lewat menjadi bingung dan kemudian
diberi petunjuk oleh banteng supaya bertanya kepada Ki Cemporet. Setelah
diberi petunjuk oleh Ki Cemporet, banyak hadiah yang diterima dari para
saudagar sebagai ucapan terimakasih.
Kejadian yang menyebabkan kedua menco ingin mengikuti jamang
untuk mengabdi pada Raden Pramana, di kerajaan Pagelen. Perhatikan
kutipan pupuh XI bait 9-10 berikut ini.
Henengana dhukuh Cengkarsari, warnanen malih sang menco jamang, arerendhonan lampahe, miyang srining wana gung, kawuryan ing pala menuhi, kacaryan dadya raryan, sarya angingidung, swara manis awiletan, sakathahing manuk-manuk amarani, kayungyun amiyarsa. (pupuh XI bait 9) Nulya wonten paksi menco kalih, jalu estri nedya amiluta, madraweng nata basane, dahat dennya kapencut, amiluta ing tembung adi, jamang kalangkung suka, samya sinung sanggup, cipta lamun antuk rowang, kalihira milua suwiteng gusti, ing pagelen Kuthaarja. (pupuh XI bait 10) Terjemahan bebasnya : Kita tinggalkan dahulu desa Cengkarsari, untuk menceritakan kembali si menco jamang, yang perjalanannya dilakukannya dengan sabar sambil melihat keindahan hutan. Tampaklah bermacam-macam buah-buahan, yang menyebabkannya merasa senang sampai ia berhenti seraya berkidung dengan suaranya merdu merayu, sehingga segenap burung mendekatinya karena tertarik mendengar suaranya. (pupuh XI bait 9) Kemudian ada dua ekor burung menco jantan betina ingin turut serta belajar. Dengan kata-kata yang halus ke dua burung itu menyatakan keinginannya yang sangat agar dapat mengucapkan kata-kata yang
49
terpuji. Jamang menanggapinya dengan gembira serta menyanggupinya. Ia telah berpikir, bahwa dirinya akan mendapatkan teman, dan kedua-duanya akan turut serta mengabdi kepada gustinya di kota Pagelen. (pupuh XI bait 10)
Kutipan di atas merupakan kejadian bertemunya jamang dengan ke
dua burung menco, yang kemudian diajak bersama-sama mengabdi kepada
Raden Pramana di negeri Pagelen. Ke dua menco tertarik kepada jamang
yang dapat menyanyikan kakawin dengan fasih dan indah. Selain itu, jamang
juga dapat berkata-kata seperti halnya manusia. Ke dua menco berkeinginan
mengikuti jamang supaya dapat belajar dari jamang.
Kejadian yang menceritakan berubahnya burung menco jamang
menjadi semula, yaitu berwujud manusia. Lihat kutipan pupuh XIX bait ke
40-41 berikut ini.
Anampani kang jemparing, tuna dungkaping panyendhal, ngenani badane dhewe, dadya menco karo pisan, kataman ing senjata, kapisanan niba lampus, amurca kuwandanira. (pupuh XIX bait 40) Cundhuk tetep ngemasi, pan sampun nunggil kahanan, lan sumping ing kamulyane, dene raga menco jamang, waluya warna janma, babar kadadyan ing dangu, narpatmajeng Parambanan. (pupuh XIX bait 41) Terjemahan bebasnya : Maksudnya hendak menangkap panah itu. Akan tetapi karena tangkapannya meleset, yang kena malahan badannya sendiri. Akibatnya kedua burung menco itu terkena senjata, langsung jatuh, dan mati, bangkainya hilang. (pupuh XIX bait 40) Menco cunduk tetap mati, karena sudah manunggal lagi dengan sumping di alam baka. Sedangkan tubuh menco jamang kembali menjadi manusia seperti keadaannya di masa lampau, ialah rajaputra Prambanan. (pupuh XIX bait 41)
50
Kutipan di atas merupakan kejadian burung menco Jamang terbebas
dari kutukannya. Jamang telah kembali wujudnya menjadi manusia, yaitu
Raden Prawasata. Sedangkan Cunduk mati dan mayatnya musnah, menyusul
dan menyatu dengan suaminya yaitu Sumping.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peristiwa adalah
deretan cerita yang dikisahkan. Peristiwa berupa tindakan dan kejadian yang
diemban oleh tokoh cerita. Dari tindakan dan kejadian akan diperoleh wujud
atau eksistensinya, yang berupa watak dan latar berikut ini.
4.1.3 Wujud atau Eksistensinya
Tokoh-tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet ini,
memiliki karakter yang berbeda-beda. Sedangkan latar yang digunakan dalam
cerita tersebut, menggambarkan kehidupan kerajaan dan kehidupan di
lingkungan pedesaan yang terdapat di tengah hutan belantara. Lingkungan
pedesaan pada waktu itu, satu sama lain letak desanya saling berjauhan.
Masyarakat kebanyakan menetap dan mendirikan rumah di tengah-tengah hutan
belantara. Jauh dari lingkungan kerajaan, yang penuh dengan keramaian.
Kehidupan kerajaan dan pedesaan merupakan kehidupan masyarakat
Indonesia, khususnya kehidupan masyarakat jawa pada jaman dahulu. Sebagian
besar masyarakat menetap di lingkungan pedesaan di sekitar hutan, gunung,
dan sungai. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bertani
dengan menggarap hutan sebagai lahan pertanian. Di samping itu, hutan
51
merupakan tempat kehidupan binatang. Pembahasan dilanjutkan mengenai
watak dan latar yang berhubungan dengan tokoh-tokoh binatang yang terdapat
dalam Serat Cemporet, sebagai berikut.
4.1.3.1 Watak (character)
Peristiwa yang berupa tindakan dan kejadian yang dialami oleh
tokoh-tokoh binatang di atas, secara tidak langsung menyaran pada watak
yang dimiliki oleh setiap tokoh-tokoh binatang yang terdapat dalam Serat
cemporet. Dapat ditemukan pada peristiwa banteng dan menco menolong Ki
Buyut Cemporet dan istrinya yang tersesat di hutan. Tokoh banteng dan
menco digambarkan seperti yang terdapat dalam pupuh IV bait ke 48-50
berikut ini.
Andika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pareki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. (pupuh IV, bait 48) Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. (pupuh IV, bait 49) Kyai buyut duk angrungu, kadi tan bisa mangsuli, saking dahat katambetan, sato bisa mardaweng ling, tan tumpangso tembungira, rumaket amamalat sih. (pupuh IV, bait 50) Terjemahan bebasnya : Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak serta tahu tata karma dan sopan santun. Baru kali inilah saya bertemu.” (pupuh IV, bait 48) Banteng menyahut, “Kyai, kuminta anda memaklumi. Karena saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku lakukan hanya mendekam saja. Itupun sudah kuanggap baik.” (pupuh IV, bait 49) Hampir-hampir Kyai Buyut tidak dapat menjawab ketika mendengar ucapan si banteng, karena benar-benar tidak menduga ada binatang
52
dapat bercakap-cakap dengan baik. Kata-katanya tidak tumpang-tindih, ramah lagi bersahabat. (pupuh IV, bait 50)
Peristiwa yang terdapat pada pupuh IV bait ke 48-50 di atas,
menggambarkan watak burung menco dan banteng. Burung menco adalah
binatang yang pandai berbahasa dengan baik, tahu tata krama dan sopan
santun, dapat menempatkan diri dengan siapa dia berbicara. Meskipun Ki
Buyut Cemporet adalah orang desa terlebih hanya rakyat jelata, tetapi burung
menco menghormati dan sopan terhadapnya. Hal itu dilakukan karena Ki
Buyut lebih tua darinya, dan sudah kewajiban yang muda untuk menghormati
yang lebih tua.
Watak banteng tidak jauh berbeda dari adiknya, si burung menco.
Menghormati orang yang lebih tua, tahu sopan santun dan tata krama. Dapat
menempatkan diri dengan siapa dia berbicara. Menganggap Ki Buyut
Cemporet orang yang lebih tua darinya, tanpa menilik latar belakang ki
Buyut. Seorang tua renta yang pekerjaannya mencari kayu di hutan, dan
hanya rakyat jelata.
Burung menco dan banteng mempunyai akhlak mulia, yang sulit
rasanya bila dibandingkan dengan kekayaan yang berupa materi.
Menunjukan watak manusia yang selalu merendahkan diri, tidak sombong,
dan tidak angkuh, meskipun mereka berdua merupakan putra raja. Perhatikan
pupuh IV, bait ke 53-54 berikut ini.
Muhung mangke nuhun dunung, sinten paduka kakalih, menco aris saurira, satuhunipun Kiyai, paksi wawanan kewala, lawan andaka puniki. (pupuh IV, bait 53)
53
Pan enggih sato satuhu, tan kalebet kulit daging, among panggih amimitran, sami sasabeng wanadri, sarawunganing rarasan, dhateng kula basa adhi. (pupuh IV, bait 54) Terjemahan bebasnya : Akan tetapi saya ingin bertanya, siapakah sebenarnya anak berdua?” menco menjawab lembut, “Kyai, sesungguhnya saya ini memang hanya burung hutan belaka. Banteng inipun (pupuh IV, bait 53) Benar-benar binatang. Bukan sanak bukan saudara, akan tetapi sejak bertemu lalu bersahabat, sama-sama mengembara di dalam hutan. Untuk mempererat persaudaraan, ia memanggil adik kepada saya. (pupuh IV, bait 54)
Kutipan di atas, menggambarkan watak burung menco dan banteng
yang selalu rendah hati dan tidak angkuh. Meskipun mereka berdua
merupakan putra raja, tetapi tidak mau mengakuinya. Di samping itu, untuk
menghilangkan syah-prasangka, agar tidak menimbulkan pertanyaan yang
pada akhirnya Ki Buyut tahu jika mereka sedang dikutuk menjadi binatang
hutan. Hal tersebut dilakukan bukan hendak untuk berbohong, tetapi sudah
menjadi pesan dari ayahandanya, yaitu Prabu Sri Kala.
Watak mulia burung menco dan banteng untuk menolong manusia
dapat terlihat dalam peristiwa pada pupuh V, bait ke 4-5 berikut ini.
Sang andaka lan sang menco paksi, kesah sakarongron, prapteng wana rembug andum gawe, bantheng tetep lumastareng kardi, tetulung kaswasih, atuduh marga yu. (pupuh V, bait 4) Sang menco nedya anuhoni, met reh karahayon, kang tinuju mring praja Pagelen, sawusira sesewangan kapti, ngambara sang paksi, andaka kalaku. (pupuh V, bait 5)
54
Terjemahan bebasnya : Suatu waktu banteng dan burung pergi berdua, masuk ke dalam hutan, kemudian bersepakat membagi tugas. Banteng tetap bertugas seperti biasanya, yakni memberi pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan, terutama kepada orang-orang yang tersesat. (Pupuh V, bait 4) Sedangkan si burung menco akan menunaikan tugas dengan cara-cara memberikan tuntunan ke arah keselamatan. Yang dituju ialah negeri Pagelen. Sesudah menentukan tujuan masing-masing, si burung terbang melayang, sedangkan banteng tetap berjalan. (pupuh V, bait 5)
Kutipan di atas, melukiskan kebaikan budi burung menco dan
banteng untuk menolong manusia. Pembagian tugas antara menco dan
banteng untuk menolong manusia yang sedang dilanda kesusahan. Banteng
memberikan pertolongan kepada orang-orang yang mengalami kesulitan dan
tersesat di hutan, sedangkan si menco pergi ke negeri pagelen untuk
memberikan tuntunan ke arah keselamatan.
Banteng merupakan pribadi yang suka menolong orang lain yang
sedang kesusahan. Perhatikan kutipan pupuh V bait 37-38 berikut ini.
Angandika kusumaning adi, teka bisa kang wong, lan manusa paran kamulane, dene sipate sato sireki, bantheng anauri, saking atutulung. (pupuh V, bait 37 Saben wonten janma kawlas asih, mbebekta rekaos, amba ingkang tulung nggawakake, tuwin lelampah bingung ing margi, kula anjalari, asuka pinulung. (pupuh V, bait 38) Terjemahan bebasnya : Sang Dewi bertanya, demikian, “Bagaimana engkau bisa bergaul dengan manusia, sedangkan engkau sendiri adalah binatang. Bagaimana asal mulanya?” Banteng menjawab, “dengan memberi pertolongan. (pupuh V, bait 37) Setiap kali ada orang yang kesusahan, misalnya karena barang yang dibawanya terlalu berat, sayalah yang menolong membawakannya.
55
Demikian pula jika ada orang bingung dalam perjalanan, saya pun memberi pertolongan. (pupuh V, bait 38)
Banteng memiliki watak suka menolong sesama yang sedang
kesulitan. Kutipan di atas, banteng menolong Dewi Suretna ketika tersesat di
hutan. Pelariannya dari kerajaan jepara, karena tidak mau dipaksa menikah
dengan putra raja pagelen. Membuat Dewi Suretna terlunta-lunta dan tersesat
di hutan belantara. Kebaikan budi banteng yang suka menolong orang lain,
membawa dewi Suretna keluar dari hutan, dan diajaknya ke desa
Cengkarsari. Perhatikan kutipan pupuh V bait ke 39-40 berikut ini.
Balik paduka wanudya pundi, dahat nyalawados, munggweng wana tan wonten rowange, dene memela memelas asih, kados ngemu sedhih, paran dunungipun. (pupuh V, bait 39) Tan katenta punapa pun patik, mila amamartos, bok manawi saged madhangake, asarana tulung sawatawis, sangdyah amangsuli, samedaneng wuwus. (pupuh V, bait 40) Terjemahan bebasnya : Sebaliknya, paduka ini wanita dari mana. Sungguh sangat asing berada dalam hutan tanpa teman, mengapa demikian menyedihkan, dan tampaknya juga sedang bersedih hati. Bagimana sebenarnya? (pupuh V, bait 39) Bukan karena sembrono saya bertanya. Siapa tahu saya dapat membantu memberikan sarana pertolongan ala kadarnya.” Sang Dewi menjawab, akan tetapi berpura-pura ujarnya. (pupuh V, bait 40)
Kutipan pupuh di atas menggambarkan watak banteng yang suka
menolong orang lain. Membantu Dewi Suretna yang tersesat sendiri di hutan
belantara. Diajak ke tempat Ki Buyut Cemporet, yang kemudian menjadi
tabir pembuka bertemu dengan jodohnya, Raden Pramana.
56
Burung menco memiliki watak tidak sombong dan selalu rendah
hati. Meskipun ia pandai menggubah kata-kata dan didendangkan dengan
suara merdunya, tetapi tidak membuatnya besar kepala atau menyombongkan
diri. Kepandaiannya tidak lain digunakan untuk menghibur orang lain.
Perhatikan kutipan pupuh V bait 75, dan pupuh VI bait 1-2 berikut ini.
Bok kang genah tembunging kakawin, enak kapyarseng wong, menco muwus dene daya-deye, yen widagda mardaweng kakawin, tembung kramaniti, dereng pati gambuh. (pupuh V, bait 75) Makaten yektinipun, saking dahat wonten kang tinurut, mung babasan napak tilas nurun sungging, ing saenggen-enggen anggung, anggupita swaraning wong. (pupuh VI, bait 1) Tinular kang apatut, kinarya met permuting tyas limut, lami-lami lumaksana sawatawis, laju anggegulang lagu, nanging tanggel maksih mogul. (pupuh VI, bait 2) Terjemahan bebasnya : Coba kata-kata kakawinnya yang baik, tentu akan enak didengar. “Tiba-tiba si menco menyela, katanya, “Akh, mengapa harus tergesa-gesa. Jika harus menggunakan kata-kata yang teratur seperti yang sudah mahir memperhalus kakawin, saya memang belum mampu. (pupuh V, bait 75) Yang demikian itu sesungguhnya karena benar-benar ada yang ditiru, jadi ibaratnya hanya mengikuti saja atau meniru apa adanya apa yang diucapkan manusia di sembarang tempat. (pupuhVI, bait 1) Tentu saja di ambil yang patut. Yaitu mengambil sesuatu yang dapat dijadikan penyuluh hati yang sedang lupa. Lama-kelamaan serba sedikit dapat melaksanakannya. Kemudian diteruskan dengan mempelajari lagu, akan tetapi serba tanggung dan masih setengah-setengah. (pupuhVI, bait 2)
Kepandaiannya dalam menggubah kata-kata indah dan menyanyikan
dengan suara merdunya, tidak membuat burung menco sombong. Namun
sebaliknya, ia selalu merendahkan diri seolah-olah tidak mempunyai
kelebihan apa-apa. Dengan suara merdunya, burung menco menghibur orang
57
lain yang sedang sedih hati. Kata-kata digubah sedemikian indah, sehingga
tak jarang dari mereka yang mendengarkan terkagum-kagum.
4.1.3.2 Latar (setting)
Latar (setting) yang digunakan dalam Serat Cemporet,
mengggambarkan kehidupan kerajaan dan pedesaan di Indonesia, khususnya
kehidupan masyarakat jawa pada jaman dahulu. Kehidupan pedesaan yang
terletak di tengah-tengah hutan, yang jauh dari keramaian kota. Begitu pula
binatang yang ada dalam Serat Cemporet juga hidup disekitar pedesaan di
tengah-tengah hutan dan di lingkungan kerajaan, sebagai berikut.
1. Banteng adalah binatang hutan yang bertubuh besar dan memiliki tenaga
yang kuat. Perhatikan kutipan berikut pupuh IV, bait ke 49 berikut ini.
Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. (pupuh IV bait 49) Terjemahan bebasnya : Banteng menyahut, “Kyai ku minta anda memaklumi. Saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku lakukan hanya mendekam saja. Itupun sudah ku anggap baik. (pupuh IV bait 49)
Kutipan di atas menggambarkan banteng sebagai binatang hutan
yang rendah hati, dan tahu tentang kebiasaan manusia yang baik. Banteng
merupakan binatang yang hidup dan kehidupannya di hutan. Lihat
kutipan pupuh V bait ke 35-36 berikut ini.
58
Sajarwa sapa sira iki, ingsun tembe tumon, sato bias arentes tembunge, sang andaka aturira aris, dhuh sang rara putri, paduka andangu. (pupuh V bait 35) Inggih amba pan sato sayekti, sagede miraos, amung asring mirengake, rerasaning janma sawatawis, ing alami-alamisaged imbal wuwus. (pupuh V bait 36) Terjemahan bebasnya :
Berkatalah dengan terus terang siapa engkau sebenarnya. Baru kali ini aku melihat, ada binatang dapat berkata-kata demikian lengkap. ”Banteng pun menjawab dengan suara lembut juga, ujarnya, “Wahai, Sang Dewi. Jika anda bertanya . (pupuh V bait 35) Sesungguhnya saya benar-benar binatang. Bias berkata-kata, hanya karena sering mendengarkan orang bercakap-cakap. Lama-kelamaan dapat juga berkata-kata.” (pupuh V bait 36)
Kutipan pupuh di atas menggambarkan hutan sebagai tempat
bertemunya banteng dengan Dewi Suretna yang sedang tersesat. Banteng
adalah bianatang hutan yang hidup dilingkungan hutan belantara. Lihat
pupuh XXIII, bait ke 15. berikut ini.
Heh andaka paran wadi, durung tutug aturira, teka marawayan luhe, sajatine sira sapa, dene ta sato wana, teka awidagdeng wuwus, kaya tataning manusa. (pupuh XXIII bait 15)
Terjemahan bebasnya :
“Hai banteng. Apa sebabnya, kata-katamu belum selesai tiba-tiba air matamu bercucuran. Siapakah sebenarnya engkau ini? Engkau binatang hutan, akan tetapi dapat bercakap-cakap seperti manusia. (pupuh XXIII bait 15)
Kutipan di atas menunjukan bahwa banteng adalah binatang
yang kehidupannya di hutan. Banteng mendapat perintah dari gusti
junjungannya melamar ke dua putri, sebagai jembatan untuk
59
kesembuhannya. Banteng adalah binatang hutan yang mampu menerjang
apa saja yang ada didepannya. Lihat kutipan pupuh XIII, bait 41 berikut.
Mantep suwita ing gusti, nora nganggo lelemeran, katanggor baya pakewoh, aja dumeh sato wana, kokira kurang sura, sun sumarah soroh amuk, duk myarsa Raden Margana. (pupuh XXIII bait 41)
Terjemahan bebasnya :
Mantap dalam pengabdiannya kepada gusti, tidak gentar menghadapi halangan dan rintangan. Mentang-mentang binatang hutan, lalu kau kira tidak berani? Ku nyatakan bahwa aku menantangmu! ”Raden Margana ketika mendengar tantangan. (pupuh XXIII bait 41)
Kutipan pupuh di atas menunjukan bahwa banteng adalah
binatang hutan yang tidak gentar apa pun yang dihadapinya. Meskipun
nyawa taruhannya, banteng menantang berperang tanding dengan Raden
Margana untuk memperebutkan kedua putri raja.
2. Burung Menco atau burung beo adalah binatang hutan yang memiliki
sayap dan bisa terbang. Kepandaiannya menirukan suara-suara yang
didengar, selain itu juga mahir menirukan suara yang dibicarakan oleh
orang-orang yang ada didekatnya. Lihat kutipan pupuh IV bait ke 48
berikut ini.
Andaika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pereki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. (pupuh IV bait 48) Terjemahan bebasnya :
Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak dan tahu akan tata krama dan sopan santun. (pupuh IV bait 48)
60
Kutipan pupuh di atas menunjukan bahwa burung menco adalah
binatang hutan yang pandai menirukan dan berkata-kata seperti halnya
manusia. Kepandaian burung menco juga dapat menirukan segala macam
bunyi yang pernah didengarkannya. Lihat kutipan pupuh VI bait ke 43
berikut ini.
Ngoceh sawetu-wetu, anyenyengkok nguni kang rinungu, bebujengan sato peksi ing wanadri, ginuyu-guyu anjelu, sinengguh mbabarang betho. (pupuh VI bait 43) Terjemahan bebasnya : Mengoceh asal berbunyi saja, meniru apa yang saya dengar di masa yang lalu, yakni binatang, unggas serta burung-burung di hutan karena ditertawakan, merasa agak kesal. Mungkin saya ini di kira datang mengamen. (pupuh VI bait 43).
Kutipan pupuh di atas menggambarkan burung menco yang
tinggal di hutan, sehingga dapat menirukan suara binatang hutan lainnya.
Burung menco adalah binatang hutan yang pandai menirukan segala
macam suara yang didengarkannya. Lihat kutipan pupuh V bait ke 73-74
berikut ini.
Ana pawongan amuwus aris, wus adating menco, atitiron kang dadi unine, ingsun kira menco ing wanadri, katara kang uni, cawuh campur bawur.(pupuh V bait 73) Ana ingkang angemperi paksi, ana memper sato, ana memper kodhok lawa laren, ana memper gegegremetan siti, ana kaya pitik, iwen kang den ingu. (pupuh V bait 74) Terjemahan bebasnya : Seorang diantara para wanita itu berkata lembut, “Akh, sudah adatnya burung mencomeniru-niru segala macam bunyi. Saya kira
61
menco itu menco hutan. Kentara dari suaranya, yang campur aduk. (pupuh V bait 73) Ada yang mirip suara burung, ada yang mirip suara binatang, ada yang mirip suara katak rawa, ada yang mirip suara binatang melata, ada yang mirip suara ayam atau unggas piaraan (pupuh V bait 74).
Kutipan di atas menggambarkan burung menco yang pandai
menirukan segala jenis bunyi-bunyian atau suara dari binatang lainnya
yang hidup di hutan. Selain itu, burung menco juga pandai menirukan
suara atau kata-kata yang diucapkan manusia. Lihat kutipan pupuh VI
bait 1 berikut ini.
Mekaten yektinipun pra pawongan cethi, suka amiraos, suara apa mangkene unine, ting celebung teka nganggo dhong-dhing, nulya den utati, tan antara dangu. (pupuh VI bait 1) Terjemahan bebasnya : Yang demikian itu sesungguhnya karena benar-benar ada yang di tiru, jadi ibaratnya hanya mengikuti saja atau meniru apa adanya apa yang diucapkan oleh manusia di sembarang tempat. (pupuh VI bait 1)
Kutipan di atas menggambarkan burung menco yang bukan saja
dapat meniru suara-suara binatang, tetapi juga mahir dalam menirukan
segala macam suara yang diucapkan oleh manusia. Kepandaian burung
menco menirukan suara yang diucapkan manusia juga terdapat dalam
pupuh VIII bait ke 4 berikut ini.
Myang dhanghyang kang mekayangan, rumaksa sajroning beji, teka langka katalika, manuk bisa basa janmi, lan widagdeng kekawin, ura-ura manis arum, ingsun tembe tumingal, kang kadi warnanta iki, paksi raras sarwa sri sarwa sambada. (pupuh VIII bait 4)
62
Terjemahan bebasnya : Atau barang kali danyang yang bertempat tinggal, dan sekaligus sebagai penjaga patirtan ini. Sebab benar-benar tidak masuk akal, burung dapat berkata-kata, serta mahir akan kakawin dan menyanyikannya dengan merdu. Baru kali ini saya melihat burung seperti engkau. Sangat bagus, serba indah, dan ujudnya serba selaras.” (pupuh VIII bait 4)
Kutipan pupuh di atas menggambarkan burung menco yang
bukan saja pandai menirukan suara manusia. Lebih dari itu, menco juga
dapat mendendangkan lagu dengan suaranya yang merdu seperti halnya
manusia
3. Anjing adalah binatang yang hidup dan kehidupannya di hutan. Bertubuh
sedang, berkaki empat, dan memiliki ekor. Anjing juga sering dianggap
sebagai binatang yang memiliki kesetiaan terhadap majikannya.
Perhatikan kutipan pupuh XVIII, bait ke 8 berikut ini.
Myarsa wuwus, makaten rumaos antuk, pasang yogyapara, kapanggih kang den ulati, dennya dahat kasamaran swara nira. (pupuh XVIII bait 8) Terjemahan bebasnya : Mendengar kata-kata demikian itu merasa mendapat jalan yang baik untuk menemui orang-orang yang selama ini dicari. Yang menyebabkan ia demikian khilaf, (bahwa yang bersuara itu adalah Rara Jonggrang) ialah karena suaranya Rara kumenyar sama benar dengan suara Rara Jonggrang. (pupuh XVIII bait 8)
Kutipan di atas menggambarkan anjing sebagai binatang hutan
yang setia, tetap tidak berputus asa untuk terus mencari ibu tirinya.
63
Anjing tidak tahu jika ibu tirinya sudah meninggal, yang Kemudian
membuat anjing terlunta-lunta sampai di desa Sokakarwi.
4. Kera adalah binatang yang memiliki tubuh mirip seperti manusia, tetapi
badannya kecil dan berekor. Kepandaian kera meniru gerakan yang
dilakukan oleh manusia. Kehadiran tokoh kera dalam Serat Cemporet
tidak dikisahkan kedirian atau sisi kehidupannya. Namun tidak bisa
diabaikan, karena akan mempengaruhi jalannya cerita.
Setelah menentukan berbagai macam struktur cerita yang berupa
kejadian, tindakan, watak, dan latar yang diemban oleh tokoh-tokoh binatang
yang ada dalam Serat Cemporet, pembahasan dilanjutnya mengenai peran tokoh-
tokoh binatang pada dunia pendidikan dan nilai-nilai pendidikan melalui peran
tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet.
4.2 Peran Tokoh Binatang dalam Serat Cemporet pada Dunia Pendidikan
Tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet, dihadirkan sebagai bagian
dari cerita naratif. Kedudukannya sejajar dengan tokoh-tokoh lainnya. Kehadiran
tokoh-tokoh binatang menciptakan dan mendukung tujuan karya sastra yang
bersangkutan, yaitu sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral,
tentang hidup dan kehidupan. Tokoh-tokoh binatang hadir disertai deskripsi
kediriannya yang berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri
fisiknya. Peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada dunia
64
pendidikan dapat diketahui lewat watak dan latar yang melekat pada kedirian
tokoh binatang.
Secara keseluruhan teks sastra Serat Cemporet, berisikan tentang
perjalanan cinta antara Dewi Suretna dengan Raden Pramana. Dewi suretna
merupakan putri raja Sri Sadana dari kerajaan Jepara. Sedangkan Raden Pramana
adalah putra Prabu Sri Manuhun dari kerajaan Pagelen. Raden Pramana dan Dewi
Suretna merupakan saudara sepupu, yang dijodohkan oleh kedua ayahnya.
Namun, Tuhan memiliki jalan lain untuk mempertemukan mereka.
Dewi Suretna melarikan diri dari kerajaan, karena tidak mau dipaksa
menikah dengan putra raja Pagelen. Dewi Suretna menolak karena malu
dinikahkan dengan pemuda yang cacat. Putra raja Pagelen memiliki tiga anak,
dua dari tiga anak tersebut cebol atau kerdil. Anak pertama yang bernama Raden
Jaka Pratana dan anak ke dua yang bernama Raden Jaka Sangara, yang memiliki
kekurangan kecacatan fisik. Sedangkan anak bungsunya yang bernama Raden
Jaka Pramana, merupakan pemuda yang gagah tanpa kekurangan suatu apapun.
Raden Pramana menolak dinikahkan dengan Dewi Suretna, yang tak lain
adik sepupunya, dengan alasan karena tidak mau melangkahi ke dua saudara
kandungnya. Keduanya belum menikah, belum ada satupun yang mau dinikahi
karena mereka memiliki kekurangan cacat fisik, bertubuh cebol dan kerdil. Dewi
Suretna berprasangka akan dinikahkan dengan salah satu dari kedua saudara yang
cebol dan kerdil itu. Padahal sebenarnya ia akan dinikahkan dengan Raden
Pramana, anak bungsu dari putra Prabu Sri Manuhun. Tanpa dipikir panjang
65
Dewi Suretna melarikan diri dari kerajaan, yang kemudian membuatnya tersesat
di hutan belantara. Bertemu dan di tolong oleh seekor banteng yang dapat
berkata-kata layaknya manusia. Selanjutnya, Dewi Suretna diajak ketempat
kediaman Ki Buyut Cemporet di desa Cengkarsari. Oleh Ki Buyut, Dewi Suretna
diangkat menjadi anak dan diberi nama Rara Kumenyar.
Melalui perantara burung menco, Dewi Suretna dan Raden Pramana
dipertemukan. Dengan bantuan cincin Manik Adiwarna, yang dapat merekam
rupa wajah seseorang yang ada di depannya. Burung menco membawa cincin
tersebut ke desa Cengkarsari dan diberikan ke Dewi Suretna, begitu juga
sebaliknya. Atas kehendak Tuhan keduanya dipertemukan di desa Cengkarsari
dan menikah. Pertemuannya itu tidak terlepas dari jasa burung menco, sebagai
penghubung yang mempersatukan mereka berdua..
Demikian ringkas cerita yang terdapat dalam Serat Cemporet, tokoh-
tokoh yang ada di dalamnya selain diperankan oleh manusia, juga terdapat tokoh
cerita yang diperankan oleh binatang. Tokoh-tokoh binatang yang terdiri dari
burung Menco, Banteng, Kera, dan Anjing. Ke empat tokoh binatang tersebut,
memiliki watak atau karakter yang berbeda satu sama lainnya, yang dapat
menjadi teladan kita dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap tokoh binatang memiliki sifat tertentu dengan peran yang melekat
padanya. Dalam Serat Cemporet, terdapat empat tokoh binatang, yaitu burung
Menco, Banteng, Anjing, dan Kera. Burung Menco dan Banteng dapat dikatakan
menjadi tokoh utamanya, karena mereka menjadi fokus penceritaan. Melalui
66
perantara tokoh binatang, pengarang memberikan pesan atau amanat yang sarat
dengan petuah atau nasehat tentang hidup dan kehidupan. Pembahasan
dilanjutkan mengenai peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat Cemporet pada
dunia pendidikan, sebagai berikut.
4.2.1 Burung Menco
Salah satu tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet yaitu
burung menco. Burung menco merupakan wujud deformasi dari Raden
Prawasata, putra bungsu Raja Sri Kala dari kerajaan Prambanan. Raden
Prawasata memiliki kegemaran menembangkan kidung kakawin, sehingga
waktunya dihabiskan untuk bernyanyi. Tidak heran lagi jika Ia dapat merangkai
kata-kata sedemikian indah dan didendangkan dengan suara merdunya.
Burung menco yang sering disebut juga burung beo, merupakan
sebangsa atau jenis burung yang pandai menirukan suara-suara yang
didengarnya. Kebanyakan dari burung beo, tak jarang juga dapat meniru kata-
kata yang sering diucapkan oleh manusia. Kepandaian yang dimilikinya
merupakan pembeda jika dibandingkan dengan burung lainnya, sebagai ciri
khas yang dimilikinya.
Dikisahkan, ketika Raja Sri Kala hendak menghibur diri pergi berburu
ke hutan bersama barisan pemburu, dan hanya memperoleh sedikit hewan
buruan. Dengan perasaan kecewa Sri Baginda pulang. Setibanya di kota secara
kebetulan melihat keadaan yang tidak mengenakan. Melihat Raden Arya
67
Prawasakala sedang menebang habis dahan-dahan beringin, sehingga menutupi
jalan. Pada waktu yang bersamaan mendengar suara Raden Prawasata yang
sedang mendendangkan lagu dengan suara merdunya.
Kekecewaan Sri Baginda lengkaplah sudah. Berburu hanya mendapat
sedikit hewan buruan, melihat Arya Prawasakala menebang pohon beringin
sampai habis, sehingga menutupi jalan yang akan dilewatinya. Di tambah suara
si bungsu yang sedang bernyanyi. Kekesalan Sri Baginda yang bertumpuk-
tumpuk membuatnya keterlepasan di dalam berkata. Putra yang tua seperti
banteng lepas di padang, yang sok pemberani dan tidak sabaran. Putra yang
muda sok pintar, pekerjaannya hanya berdendang seperti burung beo.
Ucapan Sri Baginda, tidak terduga menjadi kenyataan. Raden Arya
Prawasakala berubah wujud menjadi banteng (dibahas pada sub bagian
selanjutnya) dan Raden Prawasata berubah wujud menjadi seekor burung beo.
Meskipun keduanya berubah wujud menjadi binatang, tetapi masih bisa
berkata-kata layaknya manusia biasa. Dengan kejadian itu, Sri Baginda
menyesal dan sangat sedih, melihat keadaan ke dua anaknya yang berwujud
binatang. Perasaan bersalah karena menyumpahi ke dua putranya yang
berakibat menjadi kenyataan.
Peran tokoh burung Menco pada dunia pendidikan dapat diketahui
melalui percakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan yang dialaminya pada
peristiwa yang dikisahkan. Lihat kutipan pupuh VI, bait ke 17-18 berikut ini.
68
Pawongan siji matur, wonten menco saged angingidung, lukitaning kakawin putus patitis, teteh kadi janma tuhu, kang rumuhun anyalemong. (pupuh VI bait 17) Sareng kang kantun wau, urut-runtut ukaraning kidung, dodongengan rinumpakeng sekar kawi, asasmita karya pemut, limiting tyas kamituhon. (pupuh VI bait 18) Terjemahan bebasnya : Seorang pelayan menjawab demikian, “Ada seekor menco dapat berkidung. Kakawin yang dibawakannya lengkap dan tepat. Ucapannya jelas, fasih seperti manusia betul-betul. Akan tetapi mula-mula tidak karuan ucapannya. (pupuh VI bait 17) Kemudian yang belakangan kalimat kidungnya teratur dan berurutan, berupa dongeng yang digubah dengan kata-kata kawi, memberi acuan berupa peringatan kepada hati yang khilaf karena menurut hal-hal yang tidak benar.” (pupuh VI bait 18)
Kehadiran burung menco pada kutipan di atas, mengemban peran
sebagai tokoh cerita yang mengajarkan manusia untuk menjalankan kehidupan
dengan baik. Tidak terlalu menuruti nafsu yang akhirnya akan menyesal
dikemudian hari. Kehati-hatian dan dipikir masak-masak sebelum melangkah,
agar mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
Selain berperan sebagai tokoh yang memberikan tuntunan kehidupan,
burung menco juga memiliki sifat rendah hati yang melekat pada peran yang
diceritakan. Lihat kutipan pupuh VI bait ke 23-24 sebagai berikut.
Sang kulila lan matur, inggih amba kang wau ngingidung, nanging dereng lebda widagdeng kakawin, namung tembung maksih widhung, aben manis kirang manggon. (pupuh VI bait 23) Nanging tyas kumacelu, sumerepa sawatawis lowung, kinarya wit sisinaon murweng kawi, myang mardapa mardi lagu, sampun ngantos kabesturon. (pupuh VI bait 24)
69
Terjemahan bebasnya : Si burung menjawab lembut, ujarnya, “Benar, sayalah yang tadi berkidung, namun sesungguhnya belun mahir atau ahli dalam hal kakawin, dan hanya sekedar merangkai kata, itupun masih kaku. Dalam mempertautkan kata-kata yang baik, sering kali masih kurang tepat. (pupuh VI bait 23) Meskipun demikian memberanikan diri dengan pengetahuan yang sedikit. Lumayan untuk bekal mempelajari kata-kata kawi, dan untuk mengembangkan kemampuan bernyanyi, agar supaya tidak bodoh. (pupuh VI bait 24)
Pada kutipan di atas, menggambarkan kedirian menco memerankan
tokoh cerita yang memiliki sifat rendah hati. Kepandaiaanya menggubah dan
mendendangkan tembang kakawin tidak membuatnya sombong. Di samping
itu, memberikan pesan bahwa meskipun ilmu pengetahuan yang dimilikinya
hanya sedikit, tetapi dapat dimanfaatkan. Untuk menghibur sekaligus
memberikan teladan kepada orang lain.
Burung menco juga berperan sebagai tokoh yang memiliki sifat yang
tidak pernah ingkar bila sudah berjanji. Perhatikan kutipan pupuh IX bait ke 28
berikut.
Dipun sabil ing panggalih, sampun lalu kalayatan, emutha dhateng pun sinom, tebih-tebih limampahan, nedya reksa-rumeksa, condhong cundhuking sarembug, wekasan karya duhkita. (pupuh IX bait 28) Terjemahan bebasnya : Sabarkanlah hati sang Dewi, dan jangan terlanjur lupa diri. Ingatlah kepada sinom, yang telah jauh datang memenuhi janji, dengan niat saling menjaga dan membina persesuaian dan kesepakatan pendapat, akan tetapi pada akhirnya hanya membuat kesedihan (pupuh IX bait 28)
70
Peran tokoh menco menjadi tokoh yang berpegang teguh pada janji,
dari kutipan di atas, menggambarkan burung menco (sinom) yang telah
menepati janjinya untuk menemui Rara Kumenyar. Selain itu, menco juga
berperan sebagai tokoh yang memiliki sopan santun dan tata karma. Perhatikan
kutipan pupuh IV, bait ke 48 berikut ini.
Andika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pereki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. (pupuh IV bait 48) Terjemahan bebasnya : Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak dan tahu akan tata krama dan sopan santun. (pupuh IV bait 48)
Kutipan di atas menggambarkan peran menco sebagai tokoh yang
memiliki tata krama dan sopan santun di hadapan orang lain, terlebih orang
yang lebih tua umurnya.
4.2.2 Banteng
Tokoh banteng merupakan wujud deformasi dari Raden Arya
Prawasakala. Putra ketiga Prabu Sri Kala, kakak dari Raden Prawasata (burung
menco). Raden Arya Prawasakala bernasib sama seperti adiknya, berubah
wujud menjadi seekor binatang. Perbuatannya yang sekehendak hati menebang
pohon beringin sampai habis sehingga menutup jalan yang akan dilewati sang
ayah. Membuat ayahnya marah dan tak terkendalikan perkataaannya.
71
Menyumpahi anaknya seperti seekor Banteng, yang memiliki sifat tak sabar dan
berbuat sesuka hati.
Ucapan Prabu Sri Kala berbuah kenyataan yang pahit, yang harus di
jalani oleh anaknya. Menjadi seekor banteng, tetapi masih bisa berkata seperti
manusia. Kejadian berubahnya Raden Arya Prawasakala bersamaan dengan
adiknya yang berubah menjadi burung menco. Ketika Prabu Sri Kala hendak
pulang dari berburu di hutan, dan hanya mendapatkan hasil yang sedikit.
Membuat sang Prabu kesal ditambah jalan yang akan dilaluinya terhalang
dengan dahan pohon beringin.
Peran tokoh banteng pada dunia pendidikan dapat diungkap melalui
watak dan latar. Berupa tingkah laku, percakapan, pikiran, perasaan yang
dialami pada setiap peristiwa yang diembannya. Peran banteng sebagai tokoh
yang suka menolong orang lain, lihat pupuh VIII bait ke 17 berikut.
Andaka kang anyangkul, mbektakaken ing sapurugipun, salaminya makaten ing reh pakarti, nganthos kathah mitranipun, para juragan kumroyok. (pupuh XIII bait 17) Terjemahan bebasnya : Dalam keadaan seperti itu, bantenglah yang menolong mambawakan sampai kemanapun juga. Demikianlah selalu pekerjaannya, sehingga banyak sahabatnya. Tak terhitung banyaknya para saudagar, (pupuh XIII, bait 17) Kutipan di atas menunjukan peran banteng yang suka menolong orang
lain yang sedang kesusahan. Lihat kutipan pupuh XIII bait 18-19 berikut ini.
72
Sing kang sampun sarju, rumaos yen kapotangan tuhu, sedya males amingsungsung sawatawis, nanging kewran patranipun, denira mrih kapanujon. (pupuh XIII bait 18) Andaka duk angrungu, cara janma wangsulaning wuwus, yen pituwas kang sayekti tanpa kardi, angger tansah awas emut, amet mitra lair batos. (pupuh XIII bait 19)
Terjemahan bebasnya : Dan barang siapa sudah kenal baik, benar-benar merasa berhutang budi, lalu ingin memberi hadiah ala kadarnya, akan tetapi bingung tentang caranya yang sekiranya sesuai. ((pupuh XIII, bait 18) Banteng yang mendengar ujar orang-orang yang ditolongnya lalu menjawab, bahwa balas jasa itu sebenarnya tidak ada manfaatnya. Yang penting ialah, asal tetap ingat, dan tak lupa mengakui sebagai teman baik lahir maupun batin. (pupuh XIII, bait 19) Kutipan di atas, menggambarkan Banteng berperan sebagai tokoh yang
suka menolong orang lain tanpa pamrih. Dilakukan dengan iklas untuk berbuat
kebaikan, sehingga banyak dari orang yang pernah ditolongnya merasa
berhutang budi. Tujuan banteng hanya ingin menebus dosa-dosanya agar
terbebas dari kutukan, dan menambah persaudaraan.
Meskipun banteng hanya seekor binatang, tetapi memiliki tata krama
dan sopan santun. Perhatikan kutipan pupuh IV, bait ke 49-50 berikut.
Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. (pupuh IV, bait 49) Kyai buyut duk angrungu, kadi tan bisa mangsuli, saking dahat katambetan, sato bisa mardaweng ling, tan tumpangso tembungira, rumaket amamalat sih. (pupuh IV, bait 50)
Terjemahan bebasnya : Banteng menyahut, “Kyai, kuminta anda memaklumi. Karena saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku
73
lakukan hanya mendekam saja. Itupun sudah kuanggap baik.” (pupuh IV, bait 49) Hampir-hampir Kyai Buyut tidak dapat menjawab ketika mendengar ucapan si banteng, karena benar-benar tidak menduga ada binatang dapat bercakap-cakap dengan baik. Kata-katanya tidak tumpang-tindih, ramah lagi bersahabat. (pupuh IV, bait 50) Peran banteng digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sopan santun
dan tata krama. Tutur kata dan tingkah lakunya menghormati orang yang lebih
tua umurnya. Tidak melihat latar belakang lawan bicaranya. Ki Buyut
Cemporet adalah rakyat jelata, yang pekerjaannya mencari kayu di hutan,
sedangkan banteng masih keturunan raja. Namun demikian, banteng tetap
menghormatinya.
Banteng juga berperan sebagai tokoh yang mudah putus asa.
Perhatikan pupuh XX bait ke 8 berikut ini.
Mangke ulun kadyaparan, yen tan ruwat warna janmi, saking pitulung paduka, baya milalu ngemasi, ngandika narpasiwi, pan sarya amijilken luh, he yayi den narima, papancening jawatadi, temenana pamintana pangaksama. (pupuh XX bait 8) Terjemahan bebasnya : “Sekarang bagaimana saya ini jika tidak dapat kembali berujud atas pertolongan paduka. Mungkin saya akan bunuh diri,” demikian ujar banteng. Raja putra menjawab dengan air mata bercucuran, “Adikku, terimalah ketentuan dewata, dan mohonlah ampun dengan sungguh-sungguh. (pupuh XX bait 8)
Pada kutipan di atas, banteng berperan sebagai tokoh yang memiliki
sifat mudah putus asa. Sewaktu melihat adiknya sudah menjadi manusia lagi,
tetapi si banteng masih tetap pada ujudnya sebagai binatang hutan. Sehingga
membuat banteng berputus asa, hendak bunuh dari. Selain itu, banteng juga
74
memiliki sifat kasih sayang terhadap saudaranya. Perhatikan kutipan pupuh
XXIII, bait ke 15-16 berikut.
Heh andaka paran wadi, durung tutug aturira, teka marawayan luhe, sajatine sira sapa, dene ta sato wana, teka awidagdeng wuwus, kaya tataning manusa. (pupuh XXIII bait 15) Andaka umatur aris, ulun nguni darbe kadang, kados makaten warnine, pramila amba kengetan, awit ing sapunika, kawarti elos ing dalu, tan kantenan lenging prenah. (pupuh XXIII bait 16) Terjemahan bebasnya : “Hai banteng. Apa sebabnya, kata-katamu belum selesai tiba-tiba air matamu bercucuran. Siapakah sebenarnya engkau ini? Engkau binatang hutan, akan tetapi dapat bercakap-cakap seperti manusia. (pupuh XXIII bait 15) Banteng menjawab dengan suara perlahan, “Dulu saya mempunyai saudara, yang rupanya seperti itu. Mengapa saya teringat kepadanya, karena sekarang ini ada berita bahwasanya mereka pergi dengan diam-diam di waktu malam, hilang tak tentu rimbanya.” (pupuh XXIII bait 16)
Tokoh banteng mengemban peran sebagai tokoh yang memiliki
kasih sayang terhadap saudaranya. Sewaktu melihat ke dua putri yang akan
dijodohkan dengan putra raja Pagelen. Banteng menangis teringat akan ke
dua saudara perempuannya. Sebenarnya ke dua putri tersebut memang kakak
perempuannya, tetapi banteng tidak menyapanya karena sedang mengemban
tugas untuk melamar ke dua putri tersebut, sebagai calon pengantin ke dua
putra raja Pagelen.
75
4.2.3 Kera
Tokoh kera adalah wujud deformasi dari Retna Srenggana, putri
Sanghyang Srenggadewa. Mereka merupakan keturunan dari bangsa dewa.
Sanghyang Srenggadewa putra Sanghyang Naba, yang masih keturunan Sang
hyang Wisnu. Putri Retna Srenggana dikutuk menjadi seekor binatang kera,
karena tindakannya yang terlalu menurutkan hawa nafsu. Menginginkan supaya
dapat melihat segala sesuatu yang gaib.
Awalnya Retna Srenggana meminta Manik Mustika Pranawa, untuk
dapat melihat segala jenis binatang yang hidup di dunia, dan ingin melihat
segala macam keindahan serta yang gaib-gaib. Permintaannya dipenuhi sang
ayah, yang tidak lain adalah Sanghyang Srenggadewa. Ayahnya memenuhinya
karena tujuan dari Retna Srenggana sangat mulia. Ingin menolong dunia,
memberikan pertolongan kepada umat manusia sebagai sarana hidupnya.
Setelah permintaannya telah terpenuhi, yaitu menginginkan Manik
Mustika Pranawa. Ternyata belum membuatnya puas, sehingga menginginkan
kesaktian yang pernah dimiliki oleh Dewi Rukmawati, Putri Hyang Antaboga.
Meminta Mustika Manikara, yang pernah dimiliki oleh Dewi Rukmawati.
Namun ditolak oleh ayahnya, karena memang tidak diijinkan dan merupakan
rahasia dewata. Retna Srenggana tetap bersikeras untuk dapat memilikinya.
Shanghyang Srenggadewa melihat anaknya yang keras kepala dan
terlalu menuruti nafsu, sehingga membangkitkan amarahnya. Tanpa disengaja
terucap kata-kata yang tidak dapat dikendalikan lagi. Menyumpahi anaknya
76
tidak ada bedanya seperti kera. Terlalu menuruti nafsunya seperti berwatak
kera, ingin meniru kesaktian yang dimiliki orang lain yang sebenarnya tidak
diijinkan dan rahasia dewata.
Seketika Retna Srenggana berubah menjadi seekor kera. Tanpa
disadari Shangyang Srenggadewa, kekhilafan menyumpahi anaknya berbuah
menjadi kenyataan, yang harus ditanggung putri kesayangannya. Kera
merupakan sebangsa binatang yang berwujud seperti halnya manusia. Namun
badannya kecil, berbulu dan memiliki ekor.
Peran tokoh kera pada dunia pendidikan dapat diungkap lewat kejadian
dalam peristiwa yang dikisahkan. Kehadiran tokoh kera sebagai seorang tokoh
yang tidak diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupan, kepribadian dan
jati dirinya. Perhatikan kutipan pupuh XIX bait 8- 9 berikut ini.
Wong banget ardaning kapti, kaya ambeking wanara, awekasan putraningong, nemahi rupa kuthila, ingsun ketun kalintang, tan anyana yen tumuwuh, mawae ruweding wardaya. (pupuh XIX bait 8) Dadi ngsun lawan swami, anglindung sakarsaning hyang, nganti lawas antarane, ingsun mesu nungku pudya, aneng pura punika, temah retuning lelembut, suyud panjenenganingwang. (pupuh XIX bait 9) Terjemahan bebasnya : Orang yang terlalu menurutkan nafsunya itu seperti berwatak kera. Itulah sebabnya anakku akhirnya berujud seperti kera. Aku benar-benar sangat menyesal, tak menduga kalau kata-kata itu berakibat demikian, sehingga menimbulkan keruwetan hati. (pupuh XIX bait 8) Yang tak dapat lagi menahan kesedihan, waktu itu ialah ibunya. Benar-benar berat sekali penderitaannya. Tak lama kemudian ada petunjuk, bahwa tentang anakmu itu tak lama lagi akan mendapat pertolongan. Sekarang terimalah dengan sabar. (pupuh XIX bait 9)
77
Kehadiran tokoh kera mengemban peran sebagai tokoh yang
memberikan gambaran seseorang yang terlalu menuruti nafsu. Keinginan yang
tidak kenal batas yang akhirnya mendatangkan penderitaan, yaitu berubah
wujud menjadi seekor kera sebagai kutukan dewata. Keinginannya yang terlalu
menuruti kehendak nafsu, juga berakibat bukan pada dirinya sendiri. Perhatikan
pupuh XIX bait ke 17-18 berikut ini.
Musthika Pranawa nguni, kasrah sang Dewi Srenggana, mukti sari sakangrongron, lamining antaranira, anggarbini sang retna, sapraptaning masanipun, mijil kembar samya pria. (pupuh XIX bait 17) Pan samya siwah kang warni, kang sepuh mulus apethak, awak janma rai kethek, dene wau kang taruna, adhapur palawija, warni janma cemeng mulus, rai lutung kasinungan. (pupuh XIX bait 18) Terjemahan bebasnya : Mustika pranawa yang pernah diceritakan tadi diserahkan kepada Dewi Srenggana. Berdua selalu mengenyam kasih dan cinta. Beberapa kemudian sang dewi mengandung, dan setelah tiba waktunya ia melahirkan bayi kembar laki-laki. (Pupuh XIX bait 17) Ujud keduanya sangat berbeda. Yang tua putih mulus, bertubuh manusia berwajah kera. Sedang yang muda berbentuk bongkok, bertubuh manusia berwajah kera hitam legam. (pupuh XIX bait 18) Kutipan di atas, melukiskan dampak dari tokoh kera yang mengemban
peran sebagai tokoh yang memiliki sifat keras kepala. Semua kemauannya yang
harus dituruti, sehingga ia dikutuk menjadi kera. Penderitaannya bukan saja
ditanggung oleh dirinya sendiri, tetapi keluarga dan keturunannya. Setelah
melahirkan bayi, keduanya bertubuh manusia tetapi berwajah kera. Hal tersebut
memberikan hikmah, untuk selalu berhati-hati dalam bertindak. Sekali salah
langkah dalam bertindak, keluarga ikut menanggung akibatnya.
78
4.2.4 Anjing
Tokoh anjing merupakan wujud penjelmaan dari Raden Jayasandika,
putra Prabu Baka dari kerajaan Prambanan. Menurut cerita, ia terkena kutukan
dari Raden Bandung Bandawasa. Ketika peperangan, negeri prambanan
ditaklukan oleh Raden Bandung Bandawasa. Prabu Baka mati ditangannya,
dalam suatu peperangan. Untuk membalas kematian sang ayah, Raden
Jayasandika membunuh Raden Bandung Bandawasa dengan cara licik. Tidak
layak jika di sebut kesatria, dengan menipu Raden Bandung Bandawasa masuk
ke dalam Istana. Kemudian dijerumuskan ke dalam sumur oleh Raden
Jayasandika beramai-ramai dengan bala tentaranya.
Kehadiran tokoh anjing muncul dalam alur cerita sorot balik. Namun
kehadiran tokoh anjing tidak dapat diabaikan, karena ikut berperan dalam
jalannya cerita. Tokoh anjing merupakan wujud penjelmaan dari Raden
Jayasandika, yang tidak lain adalah kakek buyut dari Raden Arya Prawasakala
(banteng) dan Raden Prawasata (burung menco). Raden Jayasandika beristrikan
Rara Nawangsih, adik tirinya. Dari pernikahannya memiliki putra yang
bernama Raden Suputra, yang bergelar Adipati Kalang Andaka. Raden Suputra
memiliki dua anak, yaitu Dewi Jempina dan Patih Anila. Selanjutnya Dewi
Jempina menikah dengan Prabu Sri Kala. Dianugerahi empat putra, dua
diantaranya yaitu yang dikutuk menjadi banteng dan burung menco.
Tokoh anjing dihadirkan sewaktu Raden Margana mencari dua putri
Prabu Sri Kala dari kerajaan Prambanan, yang melarikan diri dari istana. Atas
79
saran Umbul Wibra, Raden Margana dan Ki Buyut Malandangan pergi ke
gunung wilis menemui pertapa hitam. Kemudian pertapa hitam (Shangyang
Srenggadewa) bertanya tentang asal-usul Raden Margana. Diceritakan asal-usul
Raden Margana oleh Ki Buyut dari awal sampai akhir. Raden Margana anak
dari patih Anila yang masih keturunan dari Raden Jayasandika (anjing)
Kehadiran tokoh anjing hanya sedikit ditampilkan keadaan kediriannya
atau sebagai seorang tokoh yang hanya sedikit diungkapkan sisi kehidupannya.
Kehadiran tokoh anjing tidak bisa diabaikan, karena masih ada hubungan
keterkaitan dengan tokoh utama. Peran tokoh anjing pada dunia pendidikan
dapat ditemukan lewat tindakan, kejadian dan percakapan. Perhatikan kutipan
pupuh XVII, bait ke 38-39 berikut ini.
Pinumpu Randha Dhadhapan, kasinungan nama Rara Nawangsih, warnanen kang angluru, Raden Jayasandika, angalaya saparan kalawun-lawun, cariyosipun ing kina, antuk soting Bandung nguni. (pupuh XVII bait 38) Temahan dadya srenggala, maksih mungseng denira angulati, maring papacanganipun, tan wruh yen sampun lina, dahat dennya marsudi sidaning laku, minta parmaning jawata, luwaring asalah warni. (pupuh XVII bait 39) Terjemahan bebasnya : Bayi itu dipungut oleh randa dadapan, diberi nama Rara Nawangsih. Tersebutlah raden Jaya Sandika yang masih tetap mencari Rara Jonggrang, terlunta-lunta tak karuan. Menurut cerita kuno, ia terkena oleh kutukan Raden Bandung, (pupuh XVII bait 38) Sehingga menjadi anjing, namun masih tetap mencari tunangannya, karena tidak tahu bahwa yang dicarinya sudah tidak ada. Ia berusaha sangat keras supaya berhasil, sekaligus mohon kepada dewata, agar terbebas dari ujudnya yang salah. (pupuh XVII bait 39)
80
Dari kutipan di atas, merupakan gambaran tokoh anjing mengemban
peran menjadi tokoh yang tidak mudah putus asa. Mencari ibu tirinya, yaitu
Rara Jonggrang yang telah meninggal, membuatnya terlunta-lunta. Namun
tetap bersikeras untuk mencari. Tokoh anjing juga mengemban peran menjadi
tokoh yang percaya adanya Tuhan, yang dapat menolongnya terbebas dari
kutukan Raden Bandung Bandawasa.
Penampilan kehidupan dan jatidiri tokoh-tokoh binatang hanyalah model
atau cermin pribadi kehidupan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya, dapat diambil dan diterapkan
kebaikan yang melekat pada kedirian tokoh binatang. Sebaliknya sifat dan
tingkah laku yang kurang baik, dapat dijadikan pengalaman sebagai pelajaran
yang sangat berharga.
Penafsiran terhadap sikap, watak, dan kualitas pribadi tokoh-tokoh
binatang mendasarkan diri pada apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan.
Ucapan dan tindakan tokoh-tokoh binatang, tentunya memberikan pengaruh pada
dunia pendidikan. Peran tokoh-tokoh binatang yang mengemban tugas sebagai
pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, merupakan sesuatu yang ingin
disampaikan dalam penanaman pendidikan budi pekerti.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh binatang yang terdapat dalam
Serat Semporet memiliki peran penting pada dunia pendidikan. Secara langsung
atau pun tidak langsung, memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan.
81
Pembahasan dilanjutkan mengenai nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam
Serat Cemporet melalui peran tokoh binatang.
4.3 Nilai-nilai Pendidikan melalui Peran Tokoh Binatang dalam Serat Cemporet
Berdasarkan deretan peristiwa di atas, yang berupa tindakan dan
kejadian tokoh-tokoh binatang, dapat diketahui nilai-nilai pendidikan yang
terkandung di dalam Serat Cemporet. Melalui kejadian dan tindakan para tokoh
binatang dapat diambil teladan-teladan yang baik untuk diterapkan dalam
kehidupan nyata. Teladan yang berupa petuah atau nasehat dari tokoh-tokoh
binatang yang sangat berguna bagi penanaman pendidikan moral untuk anak usia
sekolah.
Sebuah karya naratif tidak sedikit mengandung pesan nilai-nilai
pendidikan yang ditawarkan kepada pembaca. Nilai-nilai pendidikan yang
tentunya banyak sekali jenisnya untuk dapat ditafsirkan dan dipetik oleh
pembaca. Mengingat cara berpikir seseorang (pembaca) berbeda satu sama
lainnya. Penafsiran tersebut, dapat memberikan pandangan yang berbeda-beda
baik dari segi jenis dan aspek pendidikan yang terkandung di dalamnya.
Dapat diartikan bahwa jenis dan aspek nilai pendidikan yang terkandung
dalam karya naratif mencakup masalah yang sangat kompleks, bersifat tak
terbatas. Masalah hidup dan kehidupan, menyangkut hubungan manusia dengan
dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain, dan manusia dengan lingkungan
alam, serta manusia dengan Tuhannya.
82
Dalam penulisan skripsi ini, nilai pendidikan dibagi menjadi empat jenis.
Terbagi menjadi nilai pendidikan religius, nilai pendidikan etika, nilai pendidikan
sosial, dan nilai pendidikan moral.
4.3.1 Nilai Pendidikan Religius
Nilai pendidikan religius mengajarkan tentang kesadaran akan
keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam dan segala isinya. Mengakui ke-Esaan
dan kekuasaan Tuhan dengan bertaqwa dan beriman hanya kepada-Nya.
Manusia adalah makhluk Tuhan, diciptakan dengan hak dan kewajiban yang
sama, untuk menjalankan perintahNya dan menjauhi apa yang menjadi
laranganNya.
Nilai pendidikan religius yang terdapat dalam Serat Cemporet, terbagi
menjadi tiga aspek, yaitu percaya akan takdir, memanjatkan rasa syukur, dan
sikap pasrah, sebagai berikut.
4.3.1.1 Percaya akan Takdir
Istilah takdir sering disamakan dengan nasib, yaitu suatu perjalanan
hidup yang sudah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hidup ini semua
telah dicatat dan diatur, sedangkan manusia hanya menjalaninya. Perhatikan
kutipan pupuh IX bait 39-41 berikut ini.
Babasane ingsun iki, lir sela kelem ing tirta, elok bisane timbule, tiwas tuna tanpa guna, malah katula-tula, menco alon aturipun, yen sampun karsaning dewa. (pupuh IX, bait 39)
83
Yekti tan saged sumingkir, andhap luhur kalampahan, sampun kathah tuladane, para ratu kina-kina, amek darahe sudra, awkasan dados luhur, tan pilih tibaning begja. (pupuh IX, bait 40) Sinten kang saged amasthi, tekaning begya druhaka, lawan tekaning kapaten, miwah tekane ing lara, ghaib kang murweng titah, kawula muhung anglindhung, sumendhe ing karsaning hyang. (pupuh IX, bait 41) Terjemahannya : Diri saya boleh diibaratkan seperti batu yang terbenam ke dalam air, mustahil rasanya akan dapat timbul kembali. Sudah merugi ternyata tak ada manfaatnya, malahan semakin terlanjur-lanjur susah.” Menco menanggapinya dengan suara lembut, “Jika sudah menjadi kehendak dewata, (pupuh IX, bait 39) Pasti tidak dapat disingkiri. Tinggi-rendah dapat saja terlaksana, dan sudah banyak contohnya, para raja di jaman kuno, banyak yang mengambil keturunan orang kebanyakan, yang akhirnya menjadi tinggi juga, karena keberuntungan itu jatuhnya tidak memiliki tempat. (pupuh IX, bait 40) Siapa yang dapat menentukan datangnya keberuntungan, mala-petaka dan datangnya maut, serta datangnya sakit. Semua itu merupakan gaibnya Yang Maha Kuasa. Manusia hanya berlindung dan berserah kepada kehendak Tuhan.” (pupuh IX, bait 41) Kutipan pupuh di atas menunjukan bahwa semua yang akan dan
yang telah terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan. Di hadapan Tuhan semua
manusia mempunyai kedudukan yang sama. Tuhan Maha pencipta, memiliki
hak mutlak mengatur garis hidup terhadap ciptaanNya. Manusia sebagai
ciptaanNya sekadar menjalankan yang telah ditentukan. Bila memang sudah
menjadi takdir dariNya, tentang hidup, mati, rejeki, jodoh, maka tidak dapat
di tolak. Perhatikan kutipan pupuh XIV, bait ke 34-36 berikut ini.
Paksi menco ngimur ngarih-arih, ing sang prabu anom, dhuh dhuh sampun ngagengken wirage, tiwas maweh muwuhi wiyadi, mindhak tanpa kardi, ambabawur laku. (pupuh XIV, bait 34)
84
Rehning lalakon sampun karakit, rumaket ing pakon, lineketan ing sapakantuke, mring Ki Buyut mangkin, nirken sanggarunggi, ing tyas den tuwajuh. (pupuh XIV, bait 35) Lagya kinuncang dening dewadi, dadining lalakon, kedah makaten ing pamitane, ewed punapa sampun kapipit, weweraning wadi, rinimbageng rembug. (pupuh XIV, bait 36) Terjemahan bebasnya :
Burung menco berusaha menyabarkan rajaputra, demikian ujarnya, “Aduhai Gusti, jangan memperturutkan perasaan rindu. Itu hanya akan menambah susah, tambahan lagi tak ada faedahnya, dan akan mempersulit laku. (pupuh XIV, bait 34) Karena lakon itu sebenarnya sudah diatur, taatilah perintah, dan dekatilah dengan sabar. Lenyapkanlah kecurigaan perasaan Ki dan Nyi Buyut, dan sabarkanlah hati Gusti. (pupuh XIV, bait 35) Sekarang ini Gusti sedang digoncang oleh dewata. Pelaksanaannya harus ditempuh dengan melamarnya. Tidak ada hal-hal yang perlu diragukan karena memang sudah terpepet, dan sudah diketahui pula rahasianya. Bukankah lebih baik dibicarakan saja secara terus-terang.” (pupuh XIV, bait 36) Kutipan di atas menggambarkan bahwa lakon atau perjalanan hidup
manusia sudah diatur. Segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia itu
merupakan kehendakNya. Maka sebagai manusia harus dapat menerima
dengan ikhlas, apapun pemberianNya.
4.3.1.2 Memanjatkan Rasa Syukur
Memanjatkan rasa syukur dapat diartikan sebagai tanda terimakasih
atau ingat atas apa yang diberikan oleh Tuhan. Mensyukuri anugerah yang
diberikan Tuhan, perhatikan kutipa pupuh XIII, bait ke 45-46 berikut.
Jamang manaru atur, rumesep sih mesem wuwusipun, yen makaten rama andika ing mangkin, kabrokan nampeni bratu, mung amardi karahayon. (pupuh XIII bait 44)
85
Ki Buyut lon sumahur, ora luwih mung tumandho kulup, rumahabe ambau-reksa ing gusti, atas karsaning dewa gung, ananing lelakon elok. (pupuh XIII, bait 45) Jamang malih amuwus, yen makaten sukur bagya sewu, pan jawata sipat mirah lawan asih, dipun sarju tyas tuwajuh, pangayaming karahayon. (pupuh XIII bait 46)
Terjemahan bebasnya :
Dengan tersenyum manis jamang turut berbicara, katanya, “Ayah, dengan demikian sekarang anda kedatangan dan menerima keluarga bertumpuk-tumpuk, yang harus anda gendong.” (pupuh XIII bait 44) Ki Buyut menjawab lembut, “Tak lain aku hanya menerima, Anakku. Dan turut serta menjaga Gusti atas kehendak dewa agung, karena adanya lakon yang ajaib.” (pupuh XIII bait 45) Jamang berkata lagi, “Jika demikian beribu-ribu Syukur, karena dewa bersifat pemurah dan pengasih. Terimalah dengan sabar dan tawakal bayangan keselamatan ini. (pupuh XIII bait 46) Kutipan di atas menggambarkan ungkapan rasa syukur burung
menco diakui anak oleh Ki Buyut cemporet. Begitu sebaliknya, Ki Buyut
menerima burung menco sebagai anugerah yang diberikan kepadanya.
Memberi pesan bahwa dalam hidup ini kita harus menikmati dan mensyukuri
apa yang diberikan Tuhan.
4.3.1.3 Sikap pasrah
Sikap pasrah berarti menyerahkan diri sepenuhnya pada kehendak
Tuhan. Menerima apa yang telah diberikan, karena segala sesuatu sudah di
atur dan sudah menjadi kehendakNya. Perhatikan kutipan XIII, bait ke 5-6
berikut.
Dadi datan beda lan manusa jati. Jamang sumaruna, bagya Cundhuk sira mangkin, antuk sabdaning bandara. (pupuh XII, bait 5) Tatakinen tekeng ati den nastiti, aywa uwas-uwas, lakinira angemasi, pupusen ing panarima. (pupuh XII, bait 6)
86
Terjemahan bebasnya :
Sehingga tak ubahnya dengan manusia. “Jamang menyambung, ujarnya, “Cunduk, engkau sungguh beruntung, mendapat amanat dari gusti. (pupuh XII, bait 5) Resapkanlah sampai ke hati dengan baik, jangan was-was. Kematian suamimu itu terimalah dengan sabar dan tabah.”(pupuh XII, bait 6) Kutipan di atas menunjukkan bahwa hidup manusia ada yang
mengatur dan menuntun, hendaknya sebagai manusia harus memiliki sikap
pasrah. Menjalani proses hidup dengan sabar dan tawakal.
Sikap pasrah juga diperlihatkan lewat peran tokoh banteng dalam
pupuh IV, bait ke 67-68 berikut ini.
Sabab titahing dewa gung, janma sato mina paksi, wus pinanci sowing-sowang, kang amasthi dadya bukti, yekti saged angupaya, myang amilih kang pakolih. (pupuh IV bait 67) Buyut latah sarya wuwus, adhuh sutengulun yekti, dene dahat asambawa, teka ndadak andadilah, kang tan pisan maka tena, inggih benjang den titeni. (pupuh IV bait 68) Terjemahan bebasnya : Sebabnya ialah, karena makhluk itu, baik manusia, hewan, ikan maupun burung sudah mendapat bagian masing-masing, apa yang tersedia sebagai makanannya, sehingga pasti dapat mencari serta memilih mana yang tepat baginya. (pupuh IV bait 67) Mendengar ucapan banteng itu Kyai Buyut tertawa seraya ujarnya, “Wahai anak-anakku, mengapa membuat kias segala, dan mengapa pula menduga-duga yang bukan-bukan. Lihatlah saja, bagaimana kelak (pupuh IV bait 68) Kutipan pupuh di atas, menggambarkan banteng berpasrah diri
kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Sebagai salah satu makhluk ciptaanNya,
seyogyanya harus memiliki sikap pasrah terhadap kehendakNya. Segala
sesuatu telah diatur dan dibagi kepada umatNya, sehingga manusia
87
hendaknya tidak merisaukan masalah pembagiannya. Seperti halnya rejeki,
dalam hidup sudah diberikan menurut bagiannya sendiri-sendiri.
4.3.2 Nilai Pendidikan Etika
Etika berhubungan dengan baik atau buruk sikap dan tindakan
seseorang dalam hidup bermasyarakat. Etika menjadi konsep manusia untuk
melakukan tindakan atau tingkah laku terhadap sesama dalam menjalani hidup.
Nilai pendidikan etika meliputi dua aspek, yaitu tutur kata dan sikap sopan
santun atau tata karma, sebagai berikut.
4.3.2.1 Tutur Kata
Tinggi rendahnya seseorang dapat dilihat dari tutur katanya, oleh
sebab itu hendaknya harus dijaga dalam setiap tindakan dan perbuatan.
Perhatikan pupuh V bait ke 1-2 berikut ini.
Sapraptaning dhukuh Cengkarsari, buyut lanang wadon, datan anggop-anggop panganggape, maring sira sang andaka paksi, kadi suta yekti, lamun imbal wuwus. (pupuh V bait 1) Tembung ngoko kewala pakolih, bantheng lawan menco, maksih nganggo krama basane, lulus samya tulung dana kardi, Ki Buyut lestari, adol kang tinemu (pupuV bait 2) Terjemahan bebasnya : Setibanya di desa Cengkarsari, Kyai Buyut suami istri benar-benar tak segan-segan lagi menganggap banteng dan burung sebagai anak-anaknya. Jika bercakap-cakap. (pupuh V bait 1) Kyai Buyut menggunakan bahasa ngoko, sedangkan banteng dan burung menggunakan bahasa krama. Mereka masih terus berbuat kebaikan dan membantu bekerja. Ki buyut masih tetap menjual barang-barang yang ditemukan (pupuh V bait 2)
88
Kutipan di atas menunjukkan sikap burung menco dan banteng yang
menggunakan bahasa krama. Hubungan antara anak dan orang tua hendaknya
agar selalu harmonis dengan menggunakan bahasa yang baik. Orang tua
kepada anaknya dengan menggunakan bahasa jawa ragam ngoko, sedangkan
anak kepada orang tua hendaknya menggunakan bahasa jawa ragam krama.
Menunjukan sebagai anak yang berbakti kepada ke dua orang tuanya.
Tutur kata juga dapat menjadi ukuran baik-buruknya seseorang.
Perhatikan kutipan pupuhXV bait ke 11-12 berikut ini.
Ing warnanira sarimbit, yayah dewa ngejawantah, pantes patute tinonton, senen sumunu sumunar, pae samaning janma, samya tan nduga ing kalbu, kalawan menco andaka. (pupuh XV bait 11) Teka labdeng krama niti, dene dahat kaelokan, warna-warna pangangene, ri sampunira mangkana, lajeng samya bujana, ambul ambengan kinembul, samya suka parisuka. (pupuh XV bait 12) Terjemahan bebasnya : Rupa kedua mempelai, yang bagaikan dewa turun ke bumi, sangat patut dan pantas untuk ditonton. Rona wajahnya bercahaya kemilauan, berbeda dengan orang kebanyakan. Mereka betul-betul tidak habis mengerti. Demikian pula tentang si burung menco serta banteng, (pupuh XV bait 11) Yang ternyata dapat berbicara sopan seperti manusia. Sungguh sangat ajaib. Bermacam-macam dugaan mereka. Sesudah itu lalu makan bersama, masing-masing mengambil piring, dan semua merasa gembira. (pupuh XV bait 12) Kutipan di atas menggambarkan tentang manusia yang dapat
dikatakan baik apabila mampu bertutur kata dengan baik dan sopan. Seperti
dalam ungkapan jawa “Ajining diri gumantung ana ing lati”, mengandung arti
bahwa tinggi rendahnya seseorang tergantung pada tutur katanya.
89
4.3.2.2 Sopan Santun atau Tata Krama
Sikap sopan santun atau tata krama berhubungan dengan tindakan
dan tingkah laku seseorang yang dapat menempatkan diri dihadapan orang
lain. Lihat kutipan pupuh IV bait 48-49 berikut ini.
Andika bangsaning manuk, teka lebdeng kramaniti, lawan punika andaka, atutut dipun pareki, wrin tata tetep tapsila, saweg punika amanggih. (pupuh IV, bait 48) Bantheng anambungi wuwus, aksama andika Kyai, rehning amba sato wana, mboten saged tata linggih, mung angger nglengger kewala, pangraos sampun prayogi. (pupuh IV, bait 49)
Terjemahan bebasnya : Anda termasuk bangsa burung, mengapa mahir berbahasa sempurna. Dan banteng ini, didekati juga jinak serta tahu tata karma dan sopan santun. Baru kali inilah saya bertemu.” (pupuh IV, bait 48) Banteng menyahut, “Kyai, kuminta anda memaklumi. Karena saya ini binatang hutan yang tidak dapat duduk dengan baik, yang bisa aku lakukan hanya mendekam saja. Itu pun sudah ku anggap baik.” (pupuh IV, bait 49) Kutipan di atas menggambarkan banteng yang memiliki sikap dan
tingkah laku sopan dihadapan orang lain. Meskipun hanya seekor banteng
tetapi tahu tentang sopan santun dan tata krama. Memberikan pesan bahwa
hendaknya manusia dapat menempatkan diri sesuai tata krama dan sopan
santun. Sikap Sopan santun juga dijadikan sebagai tolak ukur penilaian baik
buruknya seseorang di masyarakat.
90
4.3.3 Nilai Pendidikan Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial, yang dalam hidup dan
kehidupannya membutuhkan manusia lain. Manusia memiliki rasa
ketergantungan terhadap sesama. Untuk itu, manusia perlu hidup berkelompok
atau bermasyarakat. Nilai pendidikan sosial dijadikan konsep bagi setiap
prilaku manusia sebagai anggota masyarakat.
Melalui peran tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet,
nilai pendidikan sosial meliputi empat aspek, yaitu tolong menolong, kasih
sayang, kesetiaan, dan kesetiakawanan, sebagai berikut.
4.3.3.1 Tolong Menolong
Manusia adalah makhluk sosial, hidup bermasyarakat memerlukan
keberadaan manusia lain. Oleh sebab itu, manusia hendaknya saling tolong
menolong, Bantu membantu, saling mau memberi dan menerima. Perhatikan
kutipan pupuh XVIII, bait ke 17-18 berikut ini.
Andaka kang anyangkul, mbektakaken ing sapurugipun, salaminya makaten ing reh pakarti, nganthos kathah mitranipun, para juragan kumroyok. (pupuh XIII bait 17) Sing kang sampun sarju, rumaos yen kapotangan tuhu, sedya males amingsungsung sawatawis, nanging kewran patranipun, denira mrih kapanujon. (pupuh XIII bait 18)
Terjemahan bebasnya :
Dalam keadaan seperti itu, bantenglah yang menolong mambawakan sampai kemanapun juga. Demikianlah selalu pekerjaannya, sehingga banyak sahabatnya. Tak terhitung banyaknya para saudagar, (pupuh XIII, bait 17)
91
Dan barang siapa sudah kenal baik, benar-benar merasa berhutang budi, lalu ingin memberi hadiah ala kadarnya, akan tetapi bingung tentang caranya yang sekiranya sesuai. ((pupuh XIII, bait 18) Kutipan di atas menggambarkan sikap banteng yang suka menolong
orang lain. Memberikan pesan bahwa tolong menolong hendaknya diniatkan
dengan iklas, tidak mengharap imbalan. Berawal dari tolong menolong akan
mendatangkan rejeki, berupa teman yang banyak. Perhatikan kutipan pupuh
V, bait ke 38-39 berikut.
Angandika kusumaning adi, teka bisa kang wong, lan manusa paran kamulane, dene sipate sato sireki, bantheng anauri, saking atutulung. (pupuh V, bait 37 Saben wonten janma kawlas asih, mbebekta rekaos, amba ingkang tulung nggawakake, tuwin lelampah bingung ing margi, kula anjalari, asuka pinulung. (pupuh V, bait 38) Balik paduka wanudya pundi, dahat nyalawados, munggweng wana tan wonten rowange, dene memela memelas asih, kados ngemu sedhih, paran dunungipun. (pupuh V, bait 39)
Terjemahan bebasnya :
Sang Dewi bertanya, demikian, “Bagaimana engkau bisa bergaul dengan manusia, sedangkan engkau sendiri adalah binatang. Bagaimana asal mulanya?” Banteng menjawab, “dengan memberi pertolongan. (pupuh V, bait 37) Setiap kali ada orang yang kesusahan, misalnya karena barang yang dibawanya terlalu berat, sayalah yang menolong membawakannya. Demikian pula jika ada orang bingung dalam perjalanan, saya pun memberi pertolongan. (pupuh V, bait 38) Sebaliknya, paduka ini wanita dari mana. Sungguh sangat asing berada dalam hutan tanpa teman, mengapa demikian menyedihkan, dan tampaknya juga sedang bersedih hati. Bagimana sebenarnya? (pupuh V, bait 39) Kutipan di atas menggambarkan Banteng yang suka menolong orang
yang sedang kesusahan, membuat banteng mempunyai teman yang banyak.
92
Memberi pesan bahwa dalam hidup hendaknya berpedoman dengan
keutamaan budi, yaitu memiliki sikap tolong menolong terhadap sesama.
4.3.3.2 Kasih Sayang
Sikap kasih sayang yang berupa cinta kasih seorang adik terhadap
kakaknya diperlihatkan dalam pupuh XXIII, bait 15-16 berikut ini.
Heh andaka paran wadi, durung tutug aturira, teka marawayan luhe, sajatine sira sapa, dene ta sato wana, teka awidagdeng wuwus, kaya tataning manusa. (pupuh XXIII bait 15) Andaka umatur aris, ulun nguni darbe kadang, kados makaten warnine, pramila amba kengetan, awit ing sapunika, kawarti elos ing dalu, tan kantenan lenging prenah. (pupuh XXIII bait 16)
Terjemahan bebasnya :
“Hai banteng. Apa sebabnya, kata-katamu belum selesai tiba-tiba air matamu bercucuran. Siapakah sebenarnya engkau ini? Engkau binatang hutan, akan tetapi dapat bercakap-cakap seperti manusia. (pupuh XXIII bait 15) Banteng menjawab dengan suara perlahan, “Dulu saya mempunyai saudara, yang rupanya seperti itu. Mengapa saya teringat kepadanya, karena sekarang ini ada berita bahwasanya mereka pergi dengan diam-diam di waktu malam, hilang tak tentu rimbanya.” (pupuh XXIII bait 16) Kutipan di atas menggambarkan tentang kasih sayang seorang adik
terhadap kakak kandungnya. Diperlihatkan ketika banteng sedang
menunaikan tugas untuk melamar dua putri yang hendak dinikahkan dengan
ke dua putra raja dari Pagelen. Setelah bertemu kedua putri yang sebenarnya
adalah kakak kandungnya sendiri, banteng mencucurkan air mata teringat
akan saudara kandungnya yang telah lama tidak bertemu. Namun banteng
yang sedang menjalankan amanah dari gustinya, dan waktunya juga tidak
93
tepat untuk melepaskan rindu, banteng tidak langsung bertatap muka dengan
ke dua saudaranya, tetapi langsung pergi menyelesaikan tugasnya.
4.3.3.3 Kesetiaan
Kesetiaan dapat diartikan sebagai sikap patuh dan setia terhadap
atasan atau junjungannya. Diperlihatkan dalam pupuh VIII, bait ke 66 berikut
ini.
Dumugining byar raina, menco kinen wangsul nuli, maring dhukuh Cengkarsari, amawa sarana wadi, minangka angyakteni, wasiat paringing ibu, nenggih warna kalpika, sinung sosotya dumeling, panengrannya supe Manik Adiwarna. (pupuh VIII bait 66) Terjemahan bebasnya : Setelah hari pagi datang kembali, si menco segera diperintahkan supaya kembali ke Cengkarsasari, membawa sebuah sarana rahasia, yang akan dipakai sebagai sarana pembuktian. Sebuah wasiat pemberian ibunya berbentuk cincin dengan permata yang bercahaya-cahaya, bernama cincin Manik Adiwarna, itulah yang dijadikan sarana. (pupuh VIII bait 66) Kutipan di atas menunjukan kesetiaan menco terhadap junjungannya.
Mempersatukan Raden Pramana dengan dambaan hatinya, Rara Kumenyar.
Sebenarnya keduanya sudah dijodohkan, tetapi mereka menolak dengan
alasan tertentu. Atas kehendak Tuhan yang mempertemukan mereka dengan
perantara burung menco. Kesetiaan menco terhadap junjungannya, sebagai
telangkai cinta mempertemukan Raden Pramana dengan Rara Kumenyar,
yang telah ditakdirkan berjodoh oleh Tuhan.
94
Sikap kesetiaan juga diperlihatkan banteng, sewaktu melamar kedua
putri untuk dinikahkan dengan kedua putra raja Pagelen. Lihat kutipan pupuh
XXIII, bait ke 12-13 berikut.
Paran dennya marek ngarsi, andaka matur sajarwa, lamun nyuwun sakangrongron, Dewi Mulat ngandika, saking pakoning sapa, andaka alon umatur, karsaning Dewi Sriwulan. (pupuh XXIII bait 12) Pan nedya jinatukrami, lawan gusti narpatmaja, tembung ngebun-ebun sore, dereng dugi aturira, andaka duk umulat, ing warnanira sang ayu, rajaputri sekaliyan. (pupuh XXIII bait 13) Terjemahan bebasnya : “Apa gerangan keperluan datang menghadap?” Banteng menjawab, bahwa ia hendak minta kedua putri. Dewi Mulat bertanya lagi, “Siapa yang menyuruhmu?” Banteng menjawab, atas perintah Dewi Sriwulan, (pupuh XXIII bait 12) Karena hendak dijodohkan dengan gusti, rajaputra, jadi maksud kedatangannya adalah hendak melamar. Belum selesai berkata-kata banteng melihat kedua putri. (pupuh XXIII bait 13) Kutipan di atas, menunjukan sikap kesetiaan banteng terhadap gusti
junjungannya. Perintah dari Dewi Sriwulan untuk melamar kedua putri yang
diasuh oleh Dewi Mulat, untuk dinikahkan dengan ke dua putra raja Pagelen.
Banteng akan berujud seperti semula, bila kedua putri raja Prambanan dan
kedua putra raja Pagelen telah menikah. Sikap kesetiaan banteng menjalankan
perintah yang diberikan oleh Dewi Sriwulan, membuat banteng diberi
petunjuk tentang kesembuhannya keujud semula oleh Tuhan.
95
4.3.3.4 Kesetiakawanan.
Sikap kesetiakawanan merupakan sikap positif yang harus dimiliki
manusia dalam hidup bermasyarakat. Sikap kesetiakawanan banteng
diperlihatkan pada pupuh XIII, bait ke 19 berikut ini
Andaka duk angrungu, cara janma wangsulane wuwus, yen pituwas kang sayekti tanpa kardi, angger tansah awas emut, amet mitra lair batos. (pupuh XIII bait 19)
Terjemahan bebasnya :
Banteng yang mendengar ujar orang-orang yang ditolongnya lalu menjawab dengan bahasa manusia, bahwa balas jasa itu sebenarnya tidak ada manfaatnya. Yang penting ialah, agar tetap ingat, dan tak lupa mengakui sebagai teman baik lahir maupun batin. (pupuh XIII bait 19) Kutipan di atas menggambarkan peran tokoh banteng yang memiliki
sikap kesetikawanan terhadap manusia. Kebaikan budi untuk menolong
sesama tanpa mengharap imbalan, akan mendatangkan teman yang banyak
dalam hidup bermasyarakat.
Sikap kesetiakawanan juga diperlihatkan burung menco Jamang.
Lihat kutipan pupuh XI bait 13-14 berikut ini.
Rajaputra langkung sukeng galih, amiyarsa turing paksi jamang, ingaras-aras embune, pangandikanya arum, mata kapen ingsun ningali, sira anggawa rowang, menco kalihipun, apa ta kalebu warga, lawan sira paksi jamang matur aris, pukulan jeng bandara. (pupuh XI bait 13) Inggih muhung sami bangsa peksi, panggih wonten samadyaning wana, sami andon wohing aren, kawula angingidung, kapiluyu kedah kepengin, wuwulang basa krama, atemahan lumut, manawi paduka karsa, sakarongron paksi kedah andadasih, dados kanyhi kawula. (pupuh XI bait 14)
96
Terjemahan bebasnya : Rajaputra sangat gembira mendengar cerita si burung jamang, lalu ubun-ubunnya diciumi seraya ujarnya lembut, “Kalau tidak salah aku melihat engkau membawa kawan. Keduanya juga burung menco. Apakah mereka juga termasuk keluargamu?” Menco menjawab hormat, “gusti, junjunganku, (pupuh XI bait 13) Mereka itu hanya sesama bangsa burung, yang ketemu di tengah perjalanan di tengah hutan. Waktu itu sama-sama beristirahat, kemudian saya berkidung, dan akhirnya merasa tertarik, dan menyatakan keinginan mereka untuk mendapat pelajaran bahasa yang baik. Itulah sebabnya mereka turut kemari. Jika paduka berkenan, kedua burung itu akan turut mengabdi menjadi teman saya.” (pupuh XI bait 14) Kutipan di atas menunjukan menco Jamang yang memiliki sikap
kesetiakawanan. Menerima burung menco Cunduk dan Sumping sebagai
sahabatnya, karena keduanya ingin belajar berbahasa dengan baik kepada
menco Jamang. Diajaklah keduanya ikut mengabdi kepada junjungannya.
Merupakan gambaran bahwa manusia tidak dapat mengerjakan sesuatu
sendiri, butuh hubungan dengan sesama untuk membantu sehingga dapat
meringankan pekerjaannya.
4.3.4 Nilai Pendidikan Moral
Moral berhubungan dengan budi pekerti atau kesusilaan tindakan dan
prilaku seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Mengutamakan nilai-nilai
keluhuran budi di atas segalanya, dengan melakukan perbuatan yang mulia.
Berpedoman pada keutamaan budi, dengan perbuatan mengasihi, dan
menyayangi semua makhluk Tuhan. Dalam menjalani proses hidup ini yang
97
terpenting adalah berbuat kebaikan terhadap sesama, dan menghindarkan diri
dari perbuatan yang tercela.
Nilai pendidikan moral lewat peran tokoh-tokoh binatang dalam Serat
cemporet, terbagi menjadi lima aspek, yaitu sikap sabar, menepati janji, rela
berkorban, rendah hati, dan tidak mudah putus asa.
4.3.4.1 Sikap Sabar
Sikap sabar merupakan prilaku terpuji yang harus dimiliki oleh
setiap manusia. Semua agama menjelaskan bahwa Tuhan mengasihi orang
yang memiliki sifat sabar. Perhatikan kutipan pupuh XII, bait ke 5-6 berikut.
Dadi datan beda lan manusa jati. Jamang sumaruna, bagya Cundhuk sira mangkin, antuk sabdaning bandara. (pupuh XII, bait 5) Tatakinen tekeng ati den nastiti, aywa uwas-uwas, lakinira angemasi, pupusen ing panarima. (pupuh XII bait 6)
Terjemahan bebasnya :
Sehingga tak ubahnya dengan manusia. “Jamang menyambung, ujarnya, “Cunduk, engkau sungguh beruntung, mendapat amanat dari gusti. (pupuh XII bait 5) Resapkanlah sampai ke hati dengan baik, jangan was-was. Kematian suamimu itu terimalah dengan sabar dan tabah.”(pupuh XII, bait 6) Kutipan di atas, menggambarkan burung menco jamang yang
memiliki sikap sabar. Dengan mengingatkan kepada Cunduk yang ditinggal
mati oleh suaminya, sumping sewaktu menjalankan tugas. Memberikan pesan
bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia sudah diatur atas
kehendakNya. Sebagai manusia hendaknya menerima dan menjalankan apa
adanya dengan sabar dan tawakal.
98
Sikap sabar juga diperlihatkan dalam diri banteng. Perhatikan pupuh
ke IV, bait ke 67-68 berikut ini.
Sabab titahing dewa gung, janma sato mina paksi, wus pinanci sowing-sowang, kang amasthi dadya bukti, yekti saged angupaya, myang amilih kang pakolih. (pupuh IV bait 67) Buyut latah sarya wuwus, adhuh sutengulun yekti, dene dahat asambawa, teka ndadak andadilah, kang tan pisan maka tena, inggih benjang den titeni. (pupuh IV bait 68) Terjemahan bebasnya : Sebabnya ialah, karena makhluk itu, baik manusia, hewan, ikan maupun burung sudah mendapat bagian masing-masing, apa yang tersedia sebagai makanannya, sehingga pasti dapat mencari serta memilih mana yang tepat baginya. (pupuh IV bait 67) Mendengar ucapan banteng itu Kyai Buyut tertawa seraya ujarnya, “Wahai anak-anakku, mengapa membuat kias segala, dan mengapa pula menduga-duga yang bukan-bukan. Lihatlah saja, bagaimana kelak (pupuh IV bait 68) Kutipan di atas menunjukan kesabaran banteng dalam menjalani
hidup. Menerima apa yang telah diberikan, karena segala sesuatu sudah diatur
atas kehendakNya. Bahwa apapun yang diberikan oleh Tuhan telah
disesuaikan dengan bagiannya masing-masing. Terpenting menerima apa
adanya dan bersyukur atas rahmat yang telah diberikan Tuhan.
4.3.4.2 Menepati Janji
Sikap menepati janji merupakan gambaran manusia yang memiliki
ahklak mulia. Perhatikan kutipan pupuh IX bait ke 7 berikut.
Sang kukila matur aris, boten watak doracara, pun menco pancene ngoceh, nanging sawecanira, ing catur ajrih oncat, si anom kalulutingsun, meh milalu lalawora. (pupuh IX bait 7)
99
Terjemahan bebasnya : Si burung menjawab dengan suara lembut, ujarnya, “Memang benar, sebagai burung menco saya biasa mengoceh. Akan tetapi tak mempunyai watak pembohong dalam segala ucapannya. Takut ingkar janji. Saya datang agak terlambat, karena lama minta penjelasan akan segala pesan. (pupuh IX bait 7) Kutipan di atas menggambarkan sikap burung menco yang dapat
dipegang ucapannya, atau suka menepati janji bila sudah berjanji sebelumnya.
Ucapannya selalu dibuktikan melalui perbuatan. Lihat kutipan pupuh IX bait
ke 28 berikut ini.
Dipun sabil ing panggalih, sampun lalu kalayatan, emutha dhateng pun sinom, tebih-tebih limampahan, nedya reksa-rumeksa, condhong cundhuking sarembug, wekasan karya duhkita. (pupuh IX bait 28) Terjemahan bebasnya : Sabarkanlah hati sang Dewi, dan jangan terlanjur lupa diri. Ingatlah kepada sinom, yang telah jauh datang memenuhi janji, dengan niat saling menjaga dan membina persesuaian dan kesepakatan pendapat, akan tetapi pada akhirnya hanya membuat kesedihan (pupuh IX bait 28)
Kutipan di atas menggambarkan burung menco memenuhi janjinya
untuk menemui Rara Kumenyar. Memberikan pesan bahwa manusia
hendaknya berpegang teguh pada janjinya. Bukan hanya diucapkan saja,
tetapi harus ditindakan dalam bentuk perbuatan atau tidak mengingkarinya.
4.3.4.3 Rela berkorban
Rela berkorban termasuk sikap hidup yang terpuji. Berani berkorban
tidak berarti mencari muka atau pujian, tetapi sikap berani menanggung
100
resiko demi memberikan bantuan kepada orang lain. Perhatikan kutipan
pupuh XIX, bait ke 40-41 berikut ini.
Anampani kang jemparing, tuna dungkaping panyendhal, ngenani badane dhewe, dadya menco karo pisan, kataman ing senjata, kapisanan niba lampus, amurca kuwandanira. (pupuh XIX bait 40) Cundhuk tetep ngemasi, pan sampun nunggil kahanan, lan sumping ing kamulyane, dene raga menco jamang, waluya warna janma, babar kadadyan ing dangu, narpatmajeng Parambanan. (pupuh XIX bait 41) Terjemahan bebasnya : Maksudnya hendak menangkap panah itu. Akan tetapi karena tangkapannya meleset, yang kena malahan badannya sendiri. Akibatnya kedua burung menco itu terkena senjata, langsung jatuh, dan mati, bangkainya hilang. (pupuh XIX bait 40) Menco cunduk tetap mati, karena sudah manunggal lagi dengan sumping di alam baka. Sedangkan tubuh menco jamang kembali menjadi manusia seperti keadaannya di masa lampau, ialah rajaputra Prambanan. (pupuh XIX bait 41)
Kutipan di atas menunjukan burung menco mau berkorban demi
gusti junjungannya. Sewaktu peperangan Raden Pramana hendak di panah
oleh Raden Margana, maksud menco menyelamatkan gustinya tetapi panah
tersebut menembus dadanya. Kedua burung menco mati, cunduk jazadnya
lenyap sedangkan jamang kembali keujud semula. Memberikan pesan moral
bahwa jika mau berkorban membantu orang lain akan mendatangkan
kemuliaan pada diri manusia itu sendiri.
Rela berkorban demi atasan atau gusti junjungannya juga
diperlihatkan pada diri banteng. Perhatikan kutipan pupuh XXIII bait ke 40-
41 berikut ini.
101
Katon apa ingsun iki, dinuta sapisan kala, kapalang nora kalakon, sun labuhi banten nyawa, nadyan tumekeng pejah, anuhoni ing pituduh, yeku caraka utama. (pupuh XXIII bait 40) Mantep suwita ing gusti, nora nganggo lelemeran, katanggor baya pakewoh, aja dumeh sato wana, kokira kurang sura, sun sumarah soroh amuk, duk myarsa Raden Margana. (pupuh XXIII bait 41)
Terjemahan bebasnya : Alangkah malunya aku, diutus sekali saja karena ada penghalang lalu tidak berhasil. Aku bela tugasku dengan pengorbanan nyawa. Kendatipun harus mati, aku akan tetap memegang teguh petunjuk. Itulah duta utama. (pupuh XXIII bait 40) Mantap dalam pengabdiannya kepada gusti, tidak gentar menghadapi halangan dan rintangan. Mentang-mentang binatang hutan, lalu kau kira tidak berani? Ku nyatakan bahwa aku menantangmu! ”Raden margana ketika mendengar tantangan. (pupuh XXIII bait 41)
Kutipan di atas menunjukan pengorbanan banteng demi gusti
junjungannya, meskipun harus tempur di medan peperangan dan nyawa
taruhannya. Melukiskan seseorang yang mengutamakan keluhuran budi,
perupa pengabdian terhadap atasan dengan mengorbankan dirinya sendiri.
4.3.4.4 Rendah Hati
Sikap hidup yang berupa sikap rendah hati dapat diartikan tidak
menyombongkan diri, tidak angkuh, tidah congkak, tetapi selalu andap asor,
wani ngalah luhur wekasane. Memberikan pengertian bahwa semakin tinggi
ilmu yang diperolehnya semakin merendah prilakunya. Perhatikan kutipan
pupuh VI bait 23-24 berikut ini.
Sang kulila lan matur, inggih amba kang wau ngingidung, nanging dereng lebda widagdeng kakawin, namung tembung maksih widhung, aben manis kirang manggon. (pupuh VI bait 23)
102
Nanging tyas kumacelu, sumerepa sawatawis lowung, kinarya wit sisinaon murweng kawi, myang mardapa mardi lagu, sampun ngantos kabesturon. (pupuh VI bait 24) Terjemahan bebasnya : Si burung menjawab lembut, ujarnya, “Benar, sayalah yang tadi berkidung, namun sesungguhnya belun mahir atau ahli dalam hal kakawin, dan hanya sekedar merangkai kata, itupun masih kaku. Dalam mempertautkan kata-kata yang baik, sering kali masih kurang tepat. (pupuh VI bait 23) Meskipun demikian memberanikan diri dengan pengetahuan yang sedikit. Lumayan untuk bekal mempelajari kata-kata kawi, dan untuk mengembangkan kemampuan bernyanyi, agar supaya tidak bodoh. (pupuh VI bait 24)
Kutipan di atas menunjukan sikap burung menco yang rendah hati,
tidak menyombongkan kepandaiannya. Meskipun menco pandai menggubah
kata-kata kawi dan dinyanyikan dengan suara merdunya, tetapi tidak
membuat menco sombong. Namun kepandaiannya dimanfaatkan untuk
menghibur sekaligus memberikan tuntunan hidup.
4.3.4.5 Tidak Mudah Putus Asa
Sikap tidak mudah putus asa merupakan sikap hidup yang terpuji.
Mempercayai bahwa Tuhan memberikan cobaan hidup pada umatNya sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki pada diri manusia itu sendiri. Lihat kutipan
pupuh XVII, bait ke 38-39 berikut ini.
Pinumpu Randha Dhadhapan, kasinungan nama Rara Nawangsih, warnanen kang angluru, Raden Jayasandika, angalaya saparan kalawun-lawun, cariyosipun ing kina, antuk soting Bandung nguni. (pupuh XVII bait 38) Temahan dadya srenggala, maksih mungseng denira angulati, maring papacanganipun, tan wruh yen sampun lina, dahat dennya marsudi
103
sidaning laku, minta parmaning jawata, luwaring asalah warni. (pupuh XVII bait 39) Terjemahan bebasnya : Bayi itu dipungut oleh randa dadapan, diberi nama Rara Nawangsih. Tersebutlah raden Jaya Sandika yang masih tetap mencari Rara Jonggrang, terlunta-lunta tak karuan. Menurut cerita kuno, ia terkena oleh kutukan Raden Bandung, (pupuh XVII bait 38) Sehingga menjadi anjing, namun masih tetap mencari tunangannya, karena tidak tahu bahwa yang dicarinya sudah tidak ada. Ia berusaha sangat keras supaya berhasil, sekaligus mohon kepada dewata, agar terbebas dari ujudnya yang salah. (pupuh XVII bait 39)
Sikap hidup anjing yang tidak mudah putus asa mencari ibu tirinya,
yang sebenarnya sudah meninggal. Hendaknya dijadikan pengalaman dan
pelajaran hidup, bahwa Tuhan Maha Mengetahui kekuatan yang ada pada diri
manusia untuk menghadapi cobaan yang diberikanNya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan permasalahan peran tokoh binatang pada
dunia pendidikan, dan nilai-nilai pendidikan melalui peran tokoh binatang
dalam Serat Cemporet Karya R. Ng. Ranggawarsita yang telah diuraikan di
atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Analisis terhadap peran tokoh binatang pada dunia pendidikan, hanyalah
salah satu dari beberapa pembahasan dalam mengupas teks Serat
Cemporet. Dapat dikatakan bahwa analisa tidak dilakukan secara
menyeluruh, hanya pada peran tokoh-tokoh binatang saja. Adapun peran
tokoh-tokoh binatang pada dunia pendidikan, sebagai berikut.
a. Burung Menco
Burung Menco merupakan penjelmaan dari Raden Prawasata,
putra raja Sri Kala dari kerajaan Pagelen. Burung menco mengemban
peran sebagai tokoh cerita yang mengajarkan tentang tuntunan dan
keselamatan dalam kehidupan. Kepandaiannya dalam hal menggubah
kata dan mendendangkan dengan suara merdunya, dimanfaatkan untuk
memberikan teladan tentang keutamaan budi kepada orang lain.
b. Banteng
Banteng merupakan penjelmaan dari Raden Prawasakala, kakak
kandung Raden Prawasata (Menco). Banteng mengemban peran sebagai
104
105
tokoh cerita yang memberikan teladan tentang sopan santun atau tata
krama terhadap orang lain, terlebih terhadap orang tua. Prilakunya
berpegang teguh pada budi pekerti luhur, menolong dan membantu
orang lain tanpa pamrih.
c. Kera
Kehadiran tokoh kera tidak dikisahkan secara jelas tentang
kedirian atau sisi kehidupannya. Namun dari peristiwa yang diceritakan,
tokoh kera mengemban peran sebagai tokoh yang memiliki sifat keras
kepala, semua keinginannya harus terpenuhi. Sumber dari penderitaan
(berwujud Kera) adalah keinginan yang tidak kenal batas.
d. Anjing
Tokoh anjing dimunculkan pada alur cerita sorot balik, sebagai
penjelmaan dari Raden Jayasandika. Tentang kedirian atau sisi
kehidupannya tidak diceritakan dengan jelas. Kediriaan tokoh anjing
hanya dimunculkan sedikit, tetapi tidak bisa diabaikan karena memiliki
hubungan keterkaitan dengan tokoh utama (Menco dan Banteng). Tokoh
anjing mengemban peran sebagai tokoh yang memiliki sikap tidak
mudah putus asa dalam menjalankan hidup.
2. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam Serat Cemporet melalui peran
tokoh-tokoh binatang adalah: nilai pendidikan religius meliputi percaya
akan takdir, memanjatkan rasa syukur, dan sikap pasrah; nilai pendidikan
etika meliputi tutur kata dan sopan santun atau tata krama; nilai pendidikan
sosial meliputi tolong menolong, kasih sayang, kesetiaan, kesetiakawanan;
106
dan nilai pendidikan moral meliputi sikap sabar, menepati janji, rela
berkorban, rendah hati, dan tidak mudah putus asa.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini, disarankan kepada
pembaca dan peminat sastra bahwa :
1. Pembaca diharapkan dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan melalui
peran tokoh-tokoh binatang yang terdapat dalam Serat Cemporet dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Teks Serat Cemporet, dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan
ajar dalam pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah.
107
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Baribin, Raminah. 1985. Teori dan Apresiasi Prosa Fiksi. Semarang: IKIP Semarang Press.
Darmayanti, Nur Eva. 2005. Struktur Naratif dan Nilai-nilai Pendidikan dalam Fabel Berbahasa Jawa. Skripsi. FBS. UNNES.
Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Tangerang: Cakrawala.
Fokkema.D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. (Terjemahan J. Praptadiharja dan Kepler Silaban).
Ihsan, Fuad. 1995. Dasar-dasar Kependidikan. Semarang: IKIP Semarang.
Luxemburg, Jan Van. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya (Terjemahan Dick Hartoko).
Moeliono, Anton M . 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. Munib, Achmad. Hadikusuma, Kunaryo. Budiyono. Suryono, Sawa. 2004. Pengantar
Ilmu Pendidikan. Semarang: UPT UNNES Press. Noor, Redyanto. 2005. Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fasindo.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University press.
Poerbatjaraka dan Hadidjaja, Tardjan. 1952. Kepustakan Djawa. Jakarta: Djambatan. Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya. Purwadi. 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media
Ranggawarsita. 1987. Serat Cemporet. Jakarta: Balai Pustaka (Alih aksara dan alih bahasa Sudibjo Z. Hadisutjipto).
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Soegito, Ari Tri. Suprayogi. Rachman, Maman. Pramono, Suwito Eko. Suyahmo. 2006. Pendidikan Pancasila. Semarang: UPT UNNES Press.
Soeparwoto. 2004. Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT UNNES Press.
Soesilo. 2005. Piwulang dan Ungkapan Budaya Jawa. Yogyakarta: AK Group.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan, Jakarta: Pustaka Jaya.
Suharianto, S . 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Pustaka.
108
Sukadaryanto. 1983. Tokoh-tokoh Binatang dalam Serat Cemporet Antara Deformasi dan Peruwatan. Makalah. Fakultas Sastra UGM
Sumardjo, Jacob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Suseno, Franz Magnis. 2001. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan (Terjemahan Okke K.S. Zaimar).
Zaidin, Abdul Rozak. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
SINOPSIS SERAT CEMPORET
Karya sastra Serat Cemporet ditulis oleh R. Ng Ranggawarsita, atas
perintah Sri Baginda Paku Buwana IX. Disusun dalam bentuk metrum macapat,
berisi suri teladan tentang kehidupan. Menceritakan sebuah negara Purwacarita
dari Pustaka Rajaweda. Negara yang aman sejahtera berkat wibawa raja yang
bergelar Sri Mahapunggung, anak dari Raja Suwelacala. Sri Mahapunggung
merupakan anak bungsu dari enam bersaudara.
Anak pertama adalah Raden Jaka Panuhun yang bergelar Sri Manuhun,
memerintah di darah Pagelen. Anak kedua bernama Raden Jaka Sandanggarba,
memerintah di daerah Jepara dan bergelar Sri Sadana. Anak ketiga bernama
Raden Jaka Karungkala, memerintah di daerah Prambanan dan bergelar Prabu Sri
Kala. Anak keempat bernama Jaka Tunggulmetung, memerintah di daerah
Pagebangan dengan gelar Sri Malaras. Anak kelima bernama Raden Jaka
Petungtantara, memerintah di Medangkawit dengan gelar Raja Resi Sri Madewa.
Adapun anak keenam bernama Jaka Kanduyu yang menjadi raja di Purwacarita,
bergelar Sri Mahapunggung.
Sri Manuhun yang bertahta di Pagelen, memiliki dua anak yang cebol
dan wujil. Kedua-duanya cacat, yang cebol diberi nama Raden Jaka Pratana dan
yang wujil bernama Raden Jaka Sangara. Hal itu membuat sang raja malu dan
sedih karena keduanya tidak sempurna layaknya manusia. Atas petunjuk Dewata,
Sri Baginda meminta tolong kepada seorang buyut yang bertempat tinggal di
daerah Sendangkulon. Sri Baginda menemui Ki Buyut Samalangu dengan
109
110
menyamar dan tanpa diiringi oleh pengawal. Ki Buyut yang beristrikan jin yang
bernama Dyah Ratna Sriwulan, sudah tahu sebelumnya akan kedatangan Sri
Baginda ke rumahnya.
Kedatangan Sri Baginda disambut dengan gembira oleh Ki Buyut. Sri
Baginda mengungkapkan maksud kedatangannya yang tidak lain meminta
pertolongan kepada Ki Buyut, sesuai dengan petunjuk dewata. Ki Buyut
mempersiapkan tujuh lembar daun tal kuning ditaruh di dalam kotak kecil
tertutup. Sri baginda disuruh memilih salah satu sastra wedar tanpa aksara yang
dikehendaki. Setelah mengambilnya, kemudian tampak ada tulisan berisikan
supaya menikah dengan Srini, anak dari buyut Samalangu. Kemudian mengambil
lagi selembar daun tal, sampai ketiga kalinya semua tidak ada bedanya. Aksara
dan kalimatnya sama seperti yang pertama. Rara Srini diboyong ke istana menjadi
permaisuri Sri Baginda. Ki Buyut sendiri diangkat menjadi sesepuh dan pendeta
istana. Tidak lama kemudian Rara Srini hamil, dan lahirlah anak laki-laki yang
tampan yang diberi nama Raden Jaka Pramana.
Diceritakan kerajaan Jepara yang diperintah oleh Sri Sadana dan
memiliki permaisuri yang bernama Dewi Rajaadi. Memiliki lima anak, yaitu Arya
Laksana, Arya Anggliskara, Arya Artadaya, Raden kertabasa, dan Dewi Suretna.
Putri bungsu Sri Baginda yang tidak lain adalah Dewi Suretna, setelah dewasa
tidak dapat hidup hemat dan cermat. Menjadi seorang pemboros yang
menghambur-hamburkan harta, kegemarannya mendermakan hartanya untuk
rakyatnya. Kehendak sang ayah, Dewi Suretna akan dinikahkan dengan Raden
Jaka Pramana. Putra raja Pagelen yang tidak lain masih saudara sepupu Dewi
111
Suretna. Namun Dewi Suretna menolak kemauan ayahandanya, karena
berprasangka akan dinikahkan dengan putra raja Pagelen yang cacat, yaitu kakak
kandung dari Raden Jaka Pramana. Hal tersebut, membuat Dewi suretna
melarikan diri dari istana kerajaan.
Berganti cerita, dikisahkan kerajaan Prambanan yang bertahta bergelar
Prabu Sri Kala dengan permaisuri bernama Dewi Jempina, putra Adipati Kalang
Andaka. Memiliki empat orang anak, yaitu Dewi Karagan, Dewi Jonggrangan,
Arya prawasakala, dan Raden Prawasata. Sri Baginda memiliki kegemaran
berburu di hutan. Suatu hari saat Sri Baginda berburu di hutan, tidak seperti
biasanya mendapatkan banyak hewan buruan. Sri baginda pulang dengan perasaan
kecewa karena hanya mendapatkan sedikit hewan buruan. Setibanya di kota
secara kebetulan melihat keadaan yang tidak mengenakan. Melihat Raden Arya
Prawasakala sedang menebang habis dahan-dahan beringin, sehingga menutupi
jalan.
Pada waktu yang bersamaan mendengar suara Raden Prawasata yang
sedang mendendangkan lagu dengan suara merdunya. Kekecewaan Sri Baginda
lengkaplah sudah. Berburu hanya mendapat sedikit hewan buruan, melihat Arya
Prawasakala menebang pohon beringin sampai habis, sehingga menutupi jalan
yang akan dilewatinya. Di tambah suara si bungsu yang sedang bernyanyi.
Kekesalan Sri Baginda yang bertumpuk-tumpuk membuatnya keterlepasan di
dalam berkata. Putra yang tua seperti banteng lepas di padang, yang sok
pemberani dan tidak sabaran. Putra yang muda sok pintar, pekerjaannya hanya
berdendang seperti burung beo.
112
Ucapan Sri Baginda, tidak terduga menjadi kenyataan. Raden Arya
Prawasakala berubah wujud menjadi banteng dan Raden Prawasata berubah
wujud menjadi seekor burung beo. Meskipun keduanya berubah wujud menjadi
binatang, tetapi masih bisa berkata-kata layaknya manusia biasa. Dengan kejadian
itu, Sri Baginda menyesal dan sangat sedih, melihat keadaan kedua anaknya yang
berwujud binatang. Perasaan bersalah karena menyumpahi kedua putranya yang
berakibat menjadi kenyataan. Atas petunjuk Dewata, keduanya diperintahan untuk
berkelana menjalankan kebaikan kepada orang lain yang kesusahan.
Kedua binatang hutan yang tidak lain merupakan wujud deformasi dari
Raden Arya Prawasakala (banteng), dan Raden Prawasata (burung beo),
memohon ijin kepada sang ayah untuk pergi meninggalkan istana. Berbuat
kebajikan menolong sesama untuk menebus dosa-dosanya dan supaya kembali
kewujud semula. Peristiwa itu kemudian terdengar oleh kedua saudara tuanya,
yang bernama Dewi Karagan dan Dewi Jonggrangan. Bahwa kedua adik
kandungnya mengalami salah rupa terkena kutukan dan diusir dari kerajaan.
Kemudian kedua putri tersebut, melarikan diri dari kerajaan menjari kedua adik
kandungnya. Sri Baginda bertambah kesedihannya, dengan kepergian keempat
anak-anaknya. Kedua putri tersesat dihutan dan bertemu dengan Dewi Mulat dari
kalangan bidadari, putra Batara Caksu keturunan Hyang Darmadewa.
Dewi Karagan dan Dewi Jonggrangan diijinkan untuk melengkapi jumlah
bidadari dan harus tinggal ditempat Dewi Mulat. Keduanya ditugasi untuk
menjaga istana emas yang di sembah-sembah oleh para siluman dan makhluk
halus penghuni sepanjang jurang di sekitar hutan. Keduanya diberitahu oleh Dewi
113
Mulat bahwa kedua adik kandungnya akan sembuh dari kutukan. Kemudian kedua
putri menetap dengan segenap siluman dan dewa, sembari menunggu adik-
adiknya yang salah rupa kembali berubah wujud menjadi manusia. Sementara itu
di negeri Prambanan, Prabu sri Kala hatinya benar-benar tergoncang. Kedua
anaknya yaitu Raden Arya Prawasakala dan Raden Prawasata tertimpa kutukan
berubah rupa menjadi binatang hutan. Bertambah kedua putrinya, Dewi Karagan
dan dewi Jonggrangan yang melarikan diri dari istana kerajaan menyusul kedua
adik kandungnya. Prabu Sri Kala memerintahkan Raden Margana, putra Patih
Tumenggung Anila adik dari permaisuri untuk mencari kedua putrinya. Jika
berhasil mencarinya akan dianugerahkan salah satu putrinya untuk dinikahi
sebagai istrinya. Berangkatlah Raden margana seorang diri tanpa pengawal dan
dengan cara menyamar.
Tersebutlah negeri Jepara, bertahta Raja sri Sadana, yang selalu
berikhtiar memberi tuntunan kepada putrinya, Dewi suretna. Supaya dapat berlaku
hemat dan teliti tidak memperturutkan kegemarannya menghambur-hamburkan
harta kerajaan. Memberi pertolongan kepada orang-orang yang hidupnya susah,
tetapi tidak diperhitungkan. Sehingga Dewi Suretna terkenal dengan sebutan
seorang putri utama yang dimasyurkan sejak jaman dahulu kala, yang ditandai
dengan sifat asih dan pemurah. Hal itu membuat sang ayah marah, karena Dewi
Suretna akan dinikahkan dengan putra raja Pagelen tetapi tidak hilang juga sikap
hidup pemborosan terhadap harta kekayaan negara.
Dewi Suretna melarikan diri dari kerajaan, karena tidak mau dipaksa
menikah dengan putra raja Pagelen. Dewi Suretna menolak karena malu
114
dinikahkan dengan pemuda yang cacat. Putra raja Pagelen memiliki tiga anak, dua
dari tiga anak tersebut cebol atau kerdil. Anak pertama yang bernama Raden Jaka
Pratana dan anak ke dua yang bernama Raden Jaka Sangara, yang memiliki
kekurangan kecacatan fisik. Sedangkan anak bungsunya yang bernama Raden
Jaka Pramana, merupakan pemuda yang gagah tanpa kekurangan suatu apapun.
Dewi Suretna berprasangka akan dinikahkan dengan salah satu dari kedua saudara
yang cebol dan kerdil itu. Padahal sebenarnya ia akan dinikahkan dengan Raden
Pramana, anak bungsu dari putra Prabu Sri Manuhun. Tanpa dipikir panjang Dewi
Suretna melarikan diri dari kerajaan, yang kemudian membuatnya tersesat di
hutan belantara. Bertemu dan di tolong oleh seekor banteng yang dapat berkata-
kata layaknya manusia. Selanjutnya, Dewi Suretna diajak ketempat kediaman Ki
Buyut Cemporet di desa Cengkarsari. Oleh Ki Buyut, Dewi Suretna diangkat
menjadi anak dan diberi nama Rara Kumenyar.
Di daerah Medangsewu ada sebuah desa besar dan terpencil, yang
membangun adalah Ki Cemporet. Semula seorang mantri di negeri purwacarita,
yang diperhentikan karena di anggap kurang pandai. Digantikan oleh menantunya
sendiri yang bernama Demang Cemuris. Ki Cemporet dijadikan buyut di luar
kota, membuka hutan dan dijadikan tempat tinggal yang kemudian diberi nama
desa Cengkarsari. Ki Buyut menetap di desa tersebut, dengan istrinya dan cucunya
yang diangkat anak bernama Jaka Kulampis. Mata pencaharian Ki Buyut
mengambil kayu dan mengumpulkan ranting-ranting kering di hutan. Sedangkan
Nyi Buyut mencari daun jati serta daun pohon palasa. Hutan sebagai lahan
pekerjaan yang menjadi sumber sandang pangannya.
115
Dikisahkan seperti biasanya Ki dan Nyi Buyut pergi ke hutan mengambil
kayu dan daun jati sebagai sumber rejekinya. Setibanya di hutan belantara,
keduanya mencari kayu dan daun jati yang dikumpulkan untuk di jual di warung.
Setelah pekerjaannya selesai keduanya hendak pulang, tetapi tersesat di hutan.
Tidak disangka bertemu dengan seekor burung beo (menco) yang sedang
berkidung dengan merdunya. Kemudian keduanya mendekat tertarik suara yang
menawan hati. Namun, tiba-tiba Ki dan Nyi Buyut terkejut melihat banteng yang
sedang menghadang di jalan. Mereka hendak lari, tetapi tertahan karena
mendengar suara burung beo yang dapat berkata layaknya manusia. Sama halnya
banteng yang juga dapat berkata dengan sopan santun dan tahu tata krama.
Membuat Ki dan Nyi Buyut terheran-heran melihat keajaiban, binatang hutan
yang pandai berkata-kata seperti halnya manusia pada umumnya.
Ki Buyut dan istrinya memohon pertolongan pada kedua binatang hutan
tersebut. Keduanya, baik menco dan banteng menyanggupi dengan syarat mereka
diakui sebagai anak angkat. Menco menunjukan jalan dengan terbang di angkasa
dan banteng mengikuti terbangnya si menco. Mereka berempat menuju ke desa
Cengkarsari, tempat tinggal Ki Buyut Cemporet dengan istrinya. Ketika dalam
perjalanan mereka sampai ketepi hutan, seringkali menemukan perhiasan dan
beberapa pucuk keris seperti pakaian para prajurit. Setibanya di desa Cengkarsari,
Ki buyut dan istrinya benar-benar tidak enggan lagi mengakui menco dan banteng
sebagai anak angkatnya. Meskipun mereka berdua hanya seekor binatang hutan,
tetapi dapat berkata-kata dengan sopan. Kedua binatang hutan tersebut, membantu
bercocok tanam di kebun. Sedangkan Ki Buyut menjual barang-barang temuannya
116
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga membuat desa Cengkarsari
semakin bertambah sejahtera.
Pada waktu yang bersamaan, yaitu tentang perjalanan putra raja jepara
dalam usaha mencari adik kandungnya. Raden Sudana dan pamannya, Arya Tiron
berunding untuk menentukan langkah agar menemukan Dewi Suretna. Perjalanan
Raden Sudana sampai ke lereng utara gunung Purwapada menemui pertapa sakti
bernama Resi Panurta, yang tinggal dipertapaan Martawu. Raden Sudana diberi
petunjuk bahwa yang dicari masih terselubung oleh tatanan yang berasal dari
sudutnya Hyang Utipati, pembuat lakon umatnya. Tujuannya ialah menjodohkan
pasangan pria dan wanita melalui cara atau lakon yang aneh. Mendengar berita
tersebut, Raden Sudana merasa tentram hatinya.
Raja putri jepara, Dewi Suretna yang sedang dicari oleh kakak
kandungnya, terlunta-lunta di hutan yang akhirnya sampai di daerah Medangsewu.
Tersebutlah si banteng yang selalu memberikan bantuan kepada manusia, bertemu
dengan Dewi Suretna yang sedang tersesat di hutan. Kemudian sang dewi di
tolong keluar dari hutan, di bawa ke desa Cengkarsari ke tempat Ki Buyut
Cemporet. Ki Buyut merasa senang hatinya dengan kedatangan sang dewi. Ki
Buyut mengakui sang dewi menjadi anak angkatnya dan diberi nama Rara
Kumenyar.
Diceritakan tentang negeri Pagelen, yang bertahta Sri Manuhun dengan
permaisuri Dewi Srini dan memiliki putra yang gagah dan tampan bernama Raden
Pramana. Raden Pramana menolak dinikahkan dengan Dewi Suretna, yang tak
lain adik sepupunya, dengan alasan karena tidak mau melangkahi kedua saudara
117
Satu ayah. Keduanya belum menikah, belum ada satupun yang mau dinikahi
karena mereka memiliki kekurangan cacat fisik, bertubuh cebol dan kerdil. Raden
Pramana selalu bercengkrama menghibur diri di taman dengan emban
pengasuhnya yang bernama Nyai wilasita. Tersebutlah burung menco yang
hinggap beristirahat di pohon angsoka di taman istana Pagelen. Mengidungkan
tembang merdu yang membuat penasaran para emban yang sedang bercengkrama
di taman. Oleh salah satu emban, kejadian tersebut diceritakan kepada raja putra.
Ditemuinya burung menco oleh Raden Pramana dan diajak menetap di Pagelen
sebagai temannya.
Dahulu kala ada seorang raja. Kerajaannya adalah di daerah Mamenang.
Raja yang bijaksana dan sangat termasyur di seluruh dunia, bergelar Prabu
Jayamisena. Permaisurinya ialah Dyah Citraswara, putri seorang biku yaitu
Begawan Citradana. Suatu ketika permaisuri berbadan dua, kemudian melahirkan
bayi dampit atau kembar siam. Laki-laki dan perempuan berari-ari tunggal.
Setelah melahirkan kedua bayinya yang kembar, Dewi Citraswara meninggal
dunia. Dalam waktu yang tidak lama, Sri Baginda mengikuti kepergian
permaisurinya ke alam baka. Seluruh negeri menjadi gempar, tidak ada yang dapat
dijadikan pimpinan. Bayi laki-laki dan perempuan tersebut, akhirnya menjadi
putra angkat pamannya. Raja Matahun yang mengambil dan mengasuhnya seperti
putranya sendiri. Keduanya diberi nama, yang laki-laki bernama Raden Kiswara
dan yang perempuan bernama Dewi kiswari.
Setelah kedua anak itu dewasa, eyangnya Resi Citradana berusaha keras
agar kedua anak itu secara tekun mempelajari sastra Weda. Ilmu pengetahuan
118
weda berguna untuk mengetahui masalah puji serta sembah, tataran dalam jabatan
keagamaan, dalam melaksanakan darma yang utama. Di samping itu, pamannya
raja Matahun yang bergelar Jayakusuma mendidik masalah kebahasaan yang baik.
Perilaku yang menjurus ke arah keselamatan, dan membekali ilmu pemerintahan
untuk menciptakan kewiraan yang utama. Setelah dewasa, Raden Kiswara
menjadi seorang yang benar-benar cerdas dan tajam pemikirannya. Tidak pernah
merasa bingung dalam setiap menghadapi persoalan yang menimpanya. Dalam
mengendalikan pemerintahan sebagai pengganti ayahnya, namanya menjadi
masyur. Dialah Sri Baginda Kusumawicitra atau Sang Ajipamasa, yang
menguasai seluruh tanah jawa.
Tersebutlah yang menjelma menjadi burung menco meninggalkan taman
bunga di Pagelen. Hendak menjenguk orang tuanya, yaitu Ki Buyut Cemporet di
desa Cengkarsari. Ketika si menco tiba di patirtan dekat rumahnya, menco melihat
wanita berparas cantik yang sedang bersedih hati. Sesudah menyusun dan mereka-
reka kata, mulailah si menco melagukan sebuah kidung tembang gede. Suaranya
halus dan merdu, sayup-sayup mengalun menarik hati. Karena hari masih terlalu
pagi, kehadiran menco mengejutkan Rara Kumenyar. Dengan perasaan ragu-ragu
sang dewi mencoba melihat-lihat ke atas. Ia melihat seekor burung menco
hinggap di sebuah ranting pohon beringin. Menco memperkenalkan diri dengan
nama Jamang, sebagai binatang peliharaan putra raja pagelen. Kemudian Rara
Kumenyar menceritakan asal-usul dirinya, yang sekarang diakui anak oleh Ki
Buyut Cemporet. Si burung menco menjadi saudara angkat dari Rara kumenyar,
dan diberi nama Sinom sebagai tanda keakraban saudara muda.
119
Burung menco atau sinom menceritakan tentang perihal gustinya, Raden
Pramana yang sedang sakit rindu dengan putri Jepara. Menco tidak tahu jika Rara
Kumenyar adalah Dewi Suretna, putri Jepara. Mendengar cerita dari menco
menjadikan Rara Kumenyar semakin bersedih hati. Karena sudah salah paham
hendak dinikahkan dengan putra raja yang cacat. Namun baru mengetahui bahwa
sebenarnya hendak dinikahkan dengan Raden Pramana, yang gagah dan tampan.
Setelah bercerita panjang lebar, menco pamit untuk pulang ke Pagelen. Sembari
terbang menco berjanji akan menemui Rara kumenyar lagi besok pagi di tempat
yang sama.
Tersebutlah di petamanan Pagelen, Raden Pramana gundah gelisah
kehilangan burung kesayangannya yang pergi tanpa pamit. Tidak lama kemudian
menco pulang menghampiri gustinya. Menceritakan perihal kepergiannya ke
dukuh Cengkarsari menemui orang tuanya. Di samping itu, menco juga
menceritakan tentang seorang wanita cantik yang dijumpainya di patirtan dekat
rumahnya. Raden Jaka Pramana terkagum-kagum mendengar cerita dari menco,
yang akhirnya membuatnya rindu kepada Rara Kumenyar sang dara dari
Cengkarsari.
Keesokan harinya menco diperintahkan supaya kembali ke desa
Cengkarsari. Membawa sebuah sarana rahasia, yang akan dipakai sebagai sarana
pembuktian. Sebuah wasiat pemberian ibunya berbentuk cincin dengan permata
yang bercahaya, bernama cincin Manik Adiwarna. Khasiat cincin tersebut dapat
menghirup warna, di dalamnya tampak ujud dari Raden Pramana. Kemudian
dikalungkan di leher menco Jamang supaya di bawa ke Cengkarsari.
120
Di desa Cengkarsari tampak Rara Kumenyar sedang menanti kedatangan
menco jamang untuk memenuhi janjinya bertemu di sendang dekat rumahnya.
Tidak lama kemudian si menco Jamang telah datang terbang merendah mendekati
sang dewi. Menco Jamang menyerahkan cincin Manik Adiwarna sebagai sarana
pembuktian. Di dalamnya terdapat gambar rupa Raden Pramana, agar Rara
Kumenyar dapat melihatnya. Sesudah memperhatikan gambar sang raja putra
dengan seksama, cincin Manik Adiwarna diusapkan di muka sang dewi. Rupa
sang dewi pun terekam di dalam cincin menyatu dengan gambar Raden Pramana.
Menco Jamang kembali ke Pagelen dengan membawa cincin Manik
Adiwarna yang sudah tertera gambar sang dewi, untuk diperlihatkan kepada
Raden Pramana. Melihat gambar sang dewi, Raden Pramana merasa takjub dan
terpesona akan kecantikan Rara Kumenyar. Gambar sang dewi tidak henti-
hentinya di pandang. Tidak jauh berbeda, Rara kumenyar pun terbayang-bayang
ketampanan Raden Jaka Pramana. Hatinya sangat gundah dan menyesal karena
dulu menolak dinikahkan dengan Raden Pramana. Memilih melarikan diri dari
istana kerajaan, karena salah sangka hendak dinikahkan dengan putra raja Pagelen
yang cacat.
Selanjutnya keesokan hari menco diperintahkan untuk kembali
menyerahkan cincin Manik Adiwarna kepada Rara Kumenyar. Cincin tersebut,
dipakai di jari telunjuk sang dewi. Setelah menyerahkan cincin, menco Jamang
terbang melesat ke angkasa kembali ke negeri Pagelen. Perjalanannya dilakukan
dengan sabar sembari menikmati keindahan alam. Seraya berkidung dengan
suaranya yang merdu dan merayu, sehingga tidak sedikit burung yang
121
mendekatinya karena tertarik mendengar suaranya. Ada dua ekor sesama burung
menco jantan dan betina ingin belajar dari menco Jamang. Menco Jamang
menanggapinya dengan gembira, keduanya diajak turut serta mengabdi kepada
gustinya di negeri Pagelen.
Setelah sampai di negeri Pagelen menco Jamang langsung menghadap
gustinya. Menceritakan perjalanannya sebagai utusan ke dukuh Cengkarsari.
Bahwa tugasnya menyerahkan permata mulia sudah diterima oleh sang dewi.
Selain itu, menco Jamang memperkenalkan kedua teman barunya, sesama burung
menco. Rajaputra sangat senang menerima keduanya, menambah binatang
kesayangannya sebagai penghibur hati. Keduanya diberi nama oleh Raden
Pramana. Menco betina diberinama Cunduk, dan menco jantan diberinama
Sumping.
Raden Pramana siang dan malam tidak pernah berpisah dengan ketiga
burung kesayangannya. Raden Pramana memberikan perintah pada kedua burung
menco, Sumbing dan Cunduk untuk mendengarkan pembicaraan ayah bundanya.
Sri Baginda melihat kedua burung tersebut, yang kemudian melesatkan anak
panah. Menco Sumbing mati terkena anak panah dan Cunduk dapat melarikan diri
melesat terbang ke angkasa. Menco Cunduk meninggalkan taman menemui
menco Jamang, memberitahu kematian suaminya. Sesudah berusaha
menghiburnya, Jamang lalu menghadap gustinya bersama Cunduk. Rajaputra
menyesal ketika mendengar kematian Sumping. Peristiwa tersebut, membuat
Raden Pramana bertekad untuk meninggalkan istana. Tekad bulat sang rajaputra
untuk pergi diam-diam menuruti dorongan keinginannya.
122
Ketika hari telah larut malam, sang raja putra berganti pakaian dengan
pakaian yang sudah kumal seperti pakaian seorang cantrik. Kedua menco di bawa
ketika keduanya masih dalam keadaan tertidur. Dalam perjalanannya, Raden
Pramana bertemu dengan neneknya yang bernama Dyah Sriwulan. Memberi
petunjuk agar Raden Pramana pergi ke Cengkarsari untuk mengabdi kepada Ki
Buyut Cemporet. Neneknya menceritakan tentang Rara Kumenyar yang
sesungguhnya adalah rajaputri Jepara, yang telah ditakdirkan menjadi jodohnya.
Raden Pramana diberi sebuah sarana berupa mustika bernama
Wandirawani. Sebelum pergi, neneknya memerintahkan kepada Raden Pramana
untuk mencari banteng yang dapat berkata-kata seperti manusia. Memberitahukan
bahwa banteng dan burung menco itu memang harus menjadi temannya. Setelah
hari menjelang pagi, Raden Pramana melanjutkan perjalannya. Menco Jamang
diperintahkan oleh gustinya untuk mencari banteng hutan. Jamang segera melesat
terbang ke angkasa mencari banteng. Bertemulah mereka di hutan Medangsewu,
dan banteng diajak menghadap gustinya.
Setibanya Raden Pramana dan rombongan sampai di desa Cengkarsari,
Ki dan Nyi Buyut telah mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya. Di
desa Cengkarsari inilah Raden Pramana dan Rara Kumenyar bertemu. Sesudah
persiapannya selesai, lengkap dengan segenap hiasannya, kemudian keduanya
melangsungkan pernikahan. Menco dan banteng mendapat tugas supaya
menghadap sang pengantin mempersembahkan pakaian kebesaran. Kedua
mempelai yaitu Raden Pramana dan Rara Kumenyar atau Dewi Suretna merasa
bahagia, tanpa aral apa pun. Selalu rukun dan saling mencinta.
123
Tersebutlah di negeri Pagelen sepeninggalan Raden Pramana, ayah
bundanya sangat sedih. Seluruh istana menjadi gempar mencarinya kemana-mana.
Hilangnya Raden Pramana terdengar oleh kedua saudaranya yang cacat, yaitu
Raden Jaka Pratana dan Raden Jaka Sangara. Keduanya lalu meninggalkan istana
untuk mencari adik kesayangannya. Raja Sri Manuhun sangat sedih, masih
terbayang kepergian raja putra yang muda, sekarang bertambah sedih karena
kepergian raja putra yang tua.
Diceritakan kembali, Raden Margana yang di utus untuk mencari kedua
putri Prambanan yang melarikan diri dari istana. Raden Margana bersama Buyut
Malandangan sampai di gunung Wilis, menemui pertapa hitam. Keduanya
mengutarakan niatnya bertanya perihal kedua putri Prambanan. Pertapa hitam
(Shangyang Srenggadewa) menyanggupi dengan syarat Raden Margana mau
diambil menjadi menantunya. Pertapa hitam selalu memaksa, memancing
kemarahan Raden Margana. Raden Margana menolak dengan keras,
menghunuskan pedang dan membunuhnya.
Pertapa hitam ditikamnya, sekejap suasana menjadi gelap. Ketika sinar
terang memancar kembali, tampaklah sebuah istana yang megah. Raden Margana
dan Buyut Malandangan terkejut dan bukan main herannya. Tampaklah utusan
raja memanggil keduanya, untuk menghadap Sri Baginda. Sri Baginda berterus
terang bahwa dirinyalah yang menjadi pertapa hitam, yang di bunuh oleh Raden
Margana. Keduanya, Buyut Malandangan dan Raden Margana merasa ketakutan.
Setibanya di hadapan raja, kemudian pertapa hitam (Shangyang
Srenggadewa) bertanya tentang asal-usul Raden Margana. Diceritakan asal-usul
124
Raden Margana oleh Ki Buyut dari awal sampai akhir. Raden Margana anak dari
patih Anila yang masih keturunan dari Raden Jayasandika yang menjelma
menjadi anjing. Ketika peperangan di negeri Prambanan, banyak sekali yang ingin
mengambil Rara jonggrang. Salah satu diantaranya ialah Bandung Bandawasa,
anak dari Raden Darmamaya. Setelah negeri Prambanan ditaklukan, Rara
Jonggrang akan diperistri. Akan tetapi sang dewi menolak keras, karena sudah
terlanjur cinta dengan suaminya yang telah meninggal, yaitu Prabu Baka.
Rara Jonggrang mengajukan persyaratan meminta seribu buah candi.
Permintaan itu terpenuhi oleh Bandung Bandawasa. Akan tetapi kesudahannya
sang dewi menghilang. Raden Bandung Bandawasa mencarinya dan bertemu
dengan Raden Jayasandika. Raden Bandung Bandawasa dibujuk dengan manis,
dipersilahkan masuk ke dalam istana. Lalu ditangkap beramai-ramai oleh bala
tentara Prambanan, Raden Bandung Bandawasa mati dijerumuskan ke dalam
sumur. Pelarian Rara Jonggrang sampai di tepi kali Opak, melahirkan seorang
anak perempuan. Setelah melahirkan, Rara Jonggrang meninggal. Bayi
perempuan anak dari Rara Jonggrang dipungut oleh Randa Dadapan, diberi nama
Rara Nawangsih. Tersebutlah Raden Jayasandika yang masih tetap mencari Rara
Jonggrang, terlunta-lunta di hutan.
Menurut cerita kuna, Raden Jayasandika terkena kutukan Raden Bandung
bandawasa sehingga menjadi anjing. Meskipun ujudnya seekor anjing, Raden
Jayasandika masih tetap mencari ibu tirinya, tidak tahu jika yang dicarinya sudah
meninggal. Dikisahkan Rara Nawangsih yang dipungut oleh Randa Dadapan
sudah dewasa, siang malam pekerjaannya menenun. Suatu hari teropongnya jatuh
125
ke tanah, menjadi sedih karena tidak dapat mengambilnya. Maka ia memutuskan
mengadakan semacam sayembara. Barang siapa dapat menolong mengambilkan
teropongnya, jika laki-laki akan menjadi suaminya. Jika perempuan akan
dianggap sebagai saudara sehidup semati. Pada waktu itu, anjing merah (Raden
Jayasandika) mendengarnya. Dalam benaknya, bahwa yang mengadakan
sayembara itu adalah Rara Jonggrang, yang selama ini dicarinya. Disebabkan
suara Rara Nawangsih sama benar dengan suara Rara Jonggrang.
Anjing merah tergopoh-gopoh membawa teropong dengan mulutnya,
cepat-cepat menaiki tangga. Setibanya di atas, anjing menyerahkan teropongnya
kepada Rara Nawangsih. Rara Nawangsih menerima dengan perasaan heran dan
sangat menyesal, mengapa ia telah mengucapkan sayembara. Akan tetapi ia
menerimanya sebagai takdir, dan hendak bunuh diri. Anjing yang melihat gelagat
itu, lalu menghiburnya dan menjelaskan siapa sebenarnya dia. Lalu memohon
agar terbebas dari ujudnya sebagai anjing, dan kembali menjadi manusia.
Permohonannya terkabul, diijinkan berujud manusia hanya pada waktu malam
hari, siang hari kembali berujud anjing lagi. Oleh karena itu dapatlah mereka
berkasih-kasihan sampai mempunyai seorang anak laki-laki.
Sebelum selesai Buyut Malandangan menceritakan asal-usul Raden
Margana, seekor kera datang dari dalam istana mendekati Raden Margana. Lalu
mendapat isyarat dari Sri Baginda agar kera itu segera di bunuh. Raden Margana
segera menghunuskan kerisnya, kera mati ditikamnya. Mayat kera lenyap berganti
seorang perempuan cantik. Sri Baginda segara memeluk bahu putrinya yang sudah
terbebas dari kutukan dewata. Raden Margana telah membebaskan kutukan, dan
126
hendak dinikahkannya sebagai hadiah. Sesungguhnya yang menjadi kera adalah
sebangsa bidadari, namanya Retna Srenggana. Dikutuk berujud kera karena
bersikeras ingin meniru kesaktian sang Dewi Rukmawati, putri Hyang Antaboga.
Akan tetapi tidak diijinkan karena hal itu merupakan rahasia dewata. Retna
Srenggana tetap keras kepala menginginkan Mustika Manikara. Sehingga
membangkitkan amarah sang ayah, dan keluarlah kata-kata yang tak terkendalikan
lagi. Orang yang terlalu menuruti nafsunya itu seperti berwatak kera. Itulah
sebabnya Retna Srenggana berubah ujud menjadi kera. Kata-kata tersebut berbuah
kenyataan pahit.
Berganti cerita, tersebutlah di desa cengkarsari, beritanya sudah
menyebar tentang pernikahan Dewi Suretna dengan Raden Pramana. Terdengar
juga oleh Raden sudana yang sedang mencari adiknya. Dengan cepat Raden
Sudana pergi ke desa Cengkarsari hendak menjemput adiknya. Setibanya di desa
Cengkarsari, melihat sang adik sedang bergandengan tangan dengan Raden
Pramana. Adiknya hendak direbut kembali melalui suatu peperangan. Raden
Pramana menerima tantangannya, berperang tanding mengadu pedang. Raden
Jaka Sudana segera melesatkan anak panahnya. Kedua burung menco segera
bertindak, maksudnya hendak menangkap panah itu. Akan tetapi mengenai
badannya, keduanya jatuh dan mati.
Menco Cunduk tetap mati, menyusul Sumbing di alam baka. Sedangkan
tubuh menco Jamang kembali menjadi manusia, rajaputra Prambanan Raden
Prawasata. Kemudian Raden Prawasata menghadap Raden Jaka Pramana,
menceritakan dari awal sampai akhir. Memberi penjelasan sejak terkena kutukan
127
sampai teruwat menjadi manusia kembali. Atas bujukan adiknya, Raden Sudana
menyudahi peperangan. Kemudian Raden Sudana meninggalkan desa
Cengkarsari, kembali ke negeri jepara memberikan kabar kepada ayah bundanya.
tentang keadaan adik kandungnya.
Tersebutlah banteng setelah pulang dari hutan memberikan pertolongan
kepada orang lain, merasa senang dan heran melihat adiknya terbebas dari
kutukan. Banteng mengiba kepada Raden Pramana, agar terbebas dari kutukan
seperti adiknya. Tidak lama kemudian datanglah kedua kakak Raden Pramana
yang cacat. Keduanya berpelukan, semua menangis karena sudah lama tidak
bertemu. Keduanya pun ikut menetap di desa Cengkarsari dengan Raden
Pramana.
Kedua kakak Raden Pramana belum juga mendapat jodoh, karena
tubuhnya yang cacat. Atas petunjuk dewata, dengan perantara banteng akan
menjadi sarana perkawinan mereka berdua. Banteng pun diberi tahu dan mereka
berdua menurut supaya dapat berkumpul di alam siluman. Menemui jodohnya,
yaitu kedua putri raja Prambanan. Banteng menghadap Dewi Mulat, hendak
melamar kedua putri Prambanan yang tidak lain adalah kakak kandung dari
banteng. Disana banteng bertemu dengan Raden Margana yang sedang di utus
mencari kedua putri Prambanan. Perang tanding pun tidak bisa dihindarkan, yang
kemudian Raden Margana mati di medan pertempuran. Banteng memenangkan
peperangan dan dapat membawa kedua putri Prambanan untuk dinikahkan dengan
kedua putra Pagelen. Dewi Karagan dijodohkan dengan Raden Pratana, sedangkan
Dewi Jonggrangan dijodohkan dengan Raden Jaka Sangara.
128
Sesudah menjadi perantara perjodohan kedua kakaknya dengan kedua
putra raja Pagelen. Banteng diberi petunjuk tentang perihal kesembuhannya
terbebas dari kutukan menjadi manusia kembali. Ketika banteng berada di
perkebunan, ia mendapat petunjuk jika ingin sembuhdi bawah pohon beringin ini
ada sebuah permata, yang berisi minyak dirpanimala (cahaya kesembuhan).
Khasiatnya dapat memulihkan segala macam keadaan yang salah rupa. Banteng
mengikuti petunjuk, pohon beringin ditumbangkan.
Setelah roboh, dicarinya di tempat tancapan akar tunjang dan ditemukan
cupu istimewa. Cupu itu di buka dan diambil minyaknya, lalu dioleskan ke
seluruh tubuhnya. Setelah selesai mengoleskan minyak keseluruh tubuhnya, ia
merasa lesu dan terasa mengantuk sampai tertidur. Ketika terbangun, ia heran
melihat ujudnya yang sudah pulih seperti dahulu kala. Menjadi manusia kembali,
yaitu rajaputra Prambanan Raden Prawasakala. Waktu itu juga, ia sudah berada di
tengah-tengah hutan. Sudah kembali ke dunia manusia dan tidak dapat lagi
melihat kahyangan.
URUTAN SEKUEN SERAT CEMPORET
Penyajian sekuen dimulai dari pupuh I sampai pupuh XXXII, sebagai
berikut.
S.1 Raja Sri Kala berburu ke hutan.
S.2 Sri Baginda beristirahat di bekas istana Raja Baka.
S.3 Sri Baginda kecewa karena para pemburu hanya memperoleh hasil sedikit.
S.4 Sri baginda pulang dengan perasaan tidak puas.
S.5 Setibanya di Kota, sri Baginda secara kebetulan mengetahui perbuatan yang
serampangan.
S.6 Raden Arya Prawasakala menebang dahan-dahan beringin yang menutup
jalan.
S.7 Sri Baginda terkejut melihatnya, di tambah Sri Baginda mendengar suara Raja
Putra yang muda.
S.8 Raden Arya Prawasata sedang mendendangkan lagu.
S.9 Sri Baginda semakin kesal dan marah kepada kedua Raja Putra.
S.10 Sri Baginda keterlepasan berkata, dan ucapannya menjadi kenyataan.
S.11 Kedua putranya mengalami salah rupa.
S.12 Putra yang tua menjadi banteng besar, putra yang muda menjadi burung beo
(menco).
S.13 Keduanya sangat sedih, bersama-sama menghadap sri Baginda.
S.14 Sri Baginda sangat menyesal dan sedih.
S.15 Sri Baginda mendengar petunjuk dewata.
129
130
S.16 Di perintahkanlah keduanya bertapa atau berprihatin menyamar diri.
S.17 Ke dua putranya berpamitan dan sesudah mendapat ijin lalu berangkat.
S.18 Tersebutlah Ki Buyut dan istrinya, seperti biasa pergi ke hutan mengambil
kayu dan pohon jati.
S.19 Ki Buyut dan istrinya tersesat di hutan.
S.20 Keduanya sudah seperti berputus asa, beristirahat sambil memikirkan jalan
keluar.
S.21 Keduanya mendengar suara burung beo (menco) bernyanyi.
S.22 Keduanya terkejut melihat kedatangan seekor banteng.
S.23 Ki Buyut hendak lari, tetapi tidak jadi karena mendengar panggilan si
burung.
S.24 Ki Buyut terhuran-neran mendengar keajaiban tersebut.
S.25 Karena si banteng mendekam, Ki Buyut menjadi tidak takut.
S.26 Ki Buyut dan istrinya mendekat
S.27 Banteng dan burung menco bercakap-cakap dengan Ki Buyut dan istrinya.
S.28 Ki Buyut terkagum-kagum melihat binatang yang pandai berkata-kata seperti
manusia.
S.29 Ki Buyut meminta pertolongan kepada banteng dan burung menco.
S.30 Banteng dan menco menyanggupi, dengan syarat keduanya diangkat menjadi
anak.
S.31 Ki Buyut menerima mereka menjadi anak dengan senang hati.
S.32 Banteng merendahkan tubuhnya, Ki buyut dan istrinya naik kepunggung
banteng.
131
S.33 Banteng berjalan di belakang mengikuti terbangnya menco.
S.34 Perjalanan mereka sampai ke tepi hutan, menemukan perhiasan dan beberapa
pucuk keris di sepanjang jalan.
S.35 Banteng dan rombongan tiba di desa Cengkarsari.
S.36 Banteng dan menco membantu Ki Buyut bekerja di ladang, menamam umbi-
umbian dan sejenisnya.
S.37 Banteng dan menco pergi ke hutan.
S.38 Banteng dan menco membagi tugas, menco pergi ke kerajaan pagelen dan
banteng tetap di hutan.
S.39 Banteng berjalan mengelilingi hutan.
S.40 Banteng bertemu dengan Dewi Suretna, yang sedang tersesat di hutan.
S.41 Banteng menolong dewi Suretna dan diajak ke desa Cengkarsari.
S.42 Banteng memohon diri kembali ke hutan, meneruskan tugasnya berbuat
kebaikan untuk menolong orang lain.
S.43 Burung menco sampai di negeri Pagelen, hinggap di pohon angsoka.
S.44 Burung menco melihat wanita-wanita sedang bercengkrama di taman.
S.45 Burung menco bersenandung menghibur para wanita di taman.
S.46 Burung menco bertemu dengan raja putra Pagelen.
S.47 Burung menco dipelihara sebagai hiburan oleh Raden Pramana.
S.48 Burung menco terharu hatinya, dan menyanyikan kidung kakawin.
S.49 Raden Jaka Pramana terhibur hatinya.
S.50 Burung menco hinggap di tangan Jaka Pramana, di bawa masuk ke istana,
dan kemudian di beri nama Jamang.
132
S.51 Jamang dirawat dan dipelihara dengan baik di dalam istana
S.52 Jamang meninggalkan meninggalkan taman bunga di kerajaan Pagelen, tanpa
seijin Raden Pramana.
S.53 Jamang pergi ke desa Cengkarsari menjenguk orang tua angkatnya.
S.54 Jamang bertemu dengan Rara Kumenyar (Dewi suretna) di sendang dekat
rumah orang tua angkatnya.
S.55 Jamang terkagum-kagum melihat kecantikan Rara Kumenyar.
S.56 Jamang mendendangkan lagu tembang gede, supaya terdengar oleh Rara
kumenyar.
S.57 Rara Kumenyar terkagum-kagum melihat burung menco yang pandai
berdendang.
S.58 Burung menco hinggap di pohon beringin, membuat Rara Kumenyar
terkejut.
S.59 Menco memperkenalkan diri dengan nama jamang, sebagai burung
kesayangan Raden Pramana, putra raja Pagelen.
S.60 Menco diberi nama sinom oleh Rara Kumenyar.
S.61 Menco berpamitan dan terbang ke angkasa pulang ke negeri Pagelen.
S.62 Menco langsung menghadap Raden Pramana, menceritakan tentang ke
beradaan gadis cantik yang bernama Rara Kumenyar di desa Cengkarsari.
S.63 Raden Pramana penasaran, menco diperintahkan kembali ke Cengkarsari
dengan membawa cincin Manik adiwarna.
S.64 Rara kumenyar menunggu datangnya menco di sendang dekat desa
Cengkarsari.
133
S.65 Rara Kumenyar meragukan janji sinom (panggilan akrab si jamang).
S.66 Menco ternyata datang memenuhi janji yang pernah diucapkan kepada Rara
Kumenyar.
S.67 Menco membawa cincin Manik Adiwarna, yang kemudian diberikan kepada
Rara Kumenyar sesuai pesan gustinya.
S.68 Rara Kumenyar menerima cincin Manik Adiwarna, dan ternyata menco tidak
bohong tentang perihal gustinya.
S.69 Rara Kumenyar teramat sedih dan menyesal mengingat perbuatan yang telah
dilakukan dimasa lalu.
S.70 Menco mendekat dan menghibur Rara kumenyar yang sedang bersedih hati.
S.71 Cincin Manik Adiwarna diusapkan di wajah Rara Kumenyar, seketika
wajahnya terekam didalamnya.
S.71 Sang Dewi terasa terkagum-kagum melihat khasiat cincin tersebut.
S.72 Menco berpamitan pulang ke kerajaan Pagelen, tempat Raden Pramana.
S.73 Menco langsung menuju kehadapan gusti junjungannya menyerahkan
kembali cincin Manik Adiwarna.
S.74 Raden Pramana tertegun dan takjub melihat kecantikan paras Rara
Kumenyar.
S.75 Menco diperintahkan ke desa Cengkarsari lagi, membawa cincin Manik
Adiwarna untuk diserahkan kembali kepada Rara Kumenyar.
S.76 Menco memohon diri, berpamitan dan terbang menuju desa Cengkarsari
menemui Rara Kumenyar.
134
S.77 Menco sampai di desa Cengkarsari, tepatnya di sendang yang terletak di
pinggiran desa Cengkarsari.
S.78 Rara Kumenyar melihat menco terbang di atas sendang dengan
mendendengkan lagu merdu.
S.79 Menco menghampiri Rara Kumenyar.
S.80 Menco menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu di utus Raden Pramana
menyerahkan cincin Manik Adiwarna sebagai pertanda kasih.
S.81 Rara Kumenyar sangat bahagia, cincin Manik Adiwarna pemberian Raden
Pramana di pakai di jari telunjuknya.
S.82 Menco berpamitan pulang kembali ke istana, sambil mencari teman.
S.83 Dalam perjalanan pulang, jamang bertemu dengan dua ekor burung menco.
S.84 Dua burung menco mengikuti jamang untuk mengabdi kepada Raden
Pramana.
S.85 Jamang dan kedua burung menco menghadap Raden Pramana.
S.86 Jamang menceritakan perjalannya sebagai utusan ke dukuh Cengkarsari.
S.87 Raden Pramana sangat bahagia dan semakin sayang kepada jamang, setelah
mendengar ceritanya.
S.88 Jamang memperkenalkan kedua burung menco kepada Raden Pramana.
S.89 Raden Pramana memberikan nama kepada kedua burung menco, yang betina
diberi nama cunduk, dan yang jantan diberi nama sumbing.
S.90 Kehadiran jamang, cunduk dan sumping membuat Raden Pramana sangat
bahagia, sampai lupa makan dan tidur.
135
S.91 Raden Pramana memerintahkan cunduk dan sumbing pergi ke istana
mendengarkan pembicaraan ayah bundanya.
S.92 Kehadiran cunduk dan sumbing diketahui Sri Baginda, sehingga
membuatnya murka.
S.93 Sri Baginda mengambil anak panah dan busurnya, kemudian diarahkan
kepada kedua burung menco.
S.94 Menco jantan (sumbing) terkena panah, jatuh dan mati, Menco betina
(cunduk) menjerit dan terbang ke atas.
S.95 Cunduk meninggalkan taman untuk menemui jamang.
S.96 Cunduk dan jamang menghadap Raden Pramana, memberitahukan bahwa
sumbing mati, di bunuh Sri Baginda.
S.97 Raden Pramana merasa menyesal dan sedih atas kematian sumbing.
S.98 Jamang dan cunduk tertidur di tempat tidurnya masing-masing.
S.99 Raden Pramana membawa kedua burung menco yang sedang tertidur, pergi
dari istana Pagelen dengan diam-diam.
S.100 Dalam perjalanan, Raden Pramana dan kedua burung menco bertemu
dengan Dyah Sriwulan.
S.101 Raden Pramana dan kedua burung menco, diperintahkan oleh Dyah
Sriwulan pergi ke Cengkarsari mengabdi kepada Ki Buyut Cemporet.
S.102 Jamang disuruh Raden Pramana mencari banteng saudaranya di hutan.
S.103 Jamang bertemu dengan banteng, kemudian diajak menghadap Raden
Pramana.
S.104 Banteng diperintahkan oleh Raden Pramana mencari beringin putih.
136
S.105 Banteng pergi mencari beringin putih, dan menemukan yang kemudian
diserahkan kepada Raden Pramana.
S.106 Banteng dan kedua burung menco, bersama Raden Pramana melanjutkan
perjalanan ke dukuh Cengkarsari.
S.107 Jamang mendahului sampai di rumah Ki Buyut, untuk memberitahukan
tentang kedatangan Raden Pramana.
S.108 Rombongan Raden Pramana telah sampai di dukuh cengkarsari, di
kediaman Ki Buyut Cemporet.
S.109 Raden Pramana tidak sabar ingin bertemu dengan Rara Kumenyar, yang
ditakdirkan sebagai jodohnya.
S.110 Raden Pramana den Rara Kumenyar menikah di kediaman Ki Buyut
Cemporet, di desa Cengkarsari.
S.111 Buyut Malandangan dan Raden Margana mencari kedua putri Prambanan
yang melarikan diri dari istana.
S.112 Buyut Malandangan dan Raden Margana dianjurkan oleh Ki Umbul Wibra
untuk menemui pertapa hitam di gunung Wilis.
S.113 Raden Margana menemui pertapa hitam di gunung wilis, yang kemudian
menikamnya karena tidak mau memberitahukan perihal ke dua putri yang
hilang.
S.114 Raden Margana dan Buyut Malandangan masuk ke istana siluman, yang
rajanya tak lain adalah Shangyang Srenggadewa yang menyamar menjadi
pertapa hitam.
137
S.115 Raden margana dijodohkan dengan Retna Srenggana yang berwujud kera,
putri dari pertapa hitam.
S.116 Shangyang Srenggadewa menanyakan keterangan asal-usul keluarga Raden
Margana.
S.117 Ki Buyut menjawab dengan menjelaskan asal-usul Raden Pramana dengan
runtut.
S.118 Ki Buyut menceritakan kakek buyutnya Raden Margana, yaitu Raden
Jayasandika.
S.119 Raden Jayasandika membunuh Bandung Bandawasa dengan
menjerumuskan ke sumur.
S.120 Raden Jayasandika dikutuk menjadi seekor anjing oleh bandung
Bandawasa.
S.121 Seekor anjing (Raden Jayasandika) mencari ibu tirinya yang bernama Rara
jonggrang.
S.122 Anjing tidak tahu jika ibu tirinya telah meninggal, setelah melahirkan
bayinya.
S.123 Bayi dari Rara jonggrang dirawat dan diangkat anak oleh randa Dadapan.
S.124 Anjing tidak kenal putus asa untuk tetap mencari ibu tirinya, pencariannya
membawa anjing ke desa Sokakarwi.
S.125 Anjing bersembunyi di pagar, agar tidak diketahui penduduk desa.
S.126 Anjing bertemu dengan Rara Nawangsih, yang tidak lain adalah adik
tirinya.
138
S.127 Rara Nawangsih mengadakan sayembara, yang dapat menolongnya akan
diberi hadiah, jika perempuan dijadikan saudara dan jika laki-laki dijadikan
suami.
S.128 Anjing mendengarnya, dan kemudian anjing menolong Rara Kumenyar
dengan membawa teropong yang jatuh di bawah rumah.
S.129 Rara nawangsih hendak bunuh diri karena yang akan menjadi suaminya
adalah seekor anjing.
S.130 Anjing menikah dengan rara nawangsih, setelah menjelaskan siapa
sebenarnya.
S.131 Anjing memohon kepada Dewata agar terbebas dari wujudnya sebagai
seekor anjing.
S.132 Dewata mengabulkan, jika malam berwujud manusia dan siang kembali
berwujud anjing merah.
S.133 Anjing dan Rara Nawangsih dianugerahi seeorang anak laki-laki yang
bernama Suputra (Adipati Kalang Andaka).
S.134 Sewaktu Ki Buyut menceritakan asal-usul Raden Margana, datang seekor
kera dari dalam Istana.
S.135 Raden Margana diperintah oleh Shangyang Srenggadewa untuk membunuh
kera, yang merupakan penjelmaan dari Retna Srenggana.
S.136 Raden Margana menghunus keris, kera ditikam dan mati.
S.137 Mayat kera lenyap, berganti menjadi seorang perempuan cantik, yaitu Retna
Srenggana.
S.138 Kyai Buyut dan Raden Margana diam terpaku melihat keajaiban dewata.
139
S.139 Raden Margana dinikahkan dengan Retna Srenggana, karena telah
menolong merubah wujudnya menjadi sedia kala.
S.140 Shangyang Srenggadewa menceritakan asal mula anaknya di kutuk menjadi
seekor kera.
S.141 Retna Srenggana menginginkan Manik Mustika Pranawa, untuk
mengetahui segala jenis binatang yang hidup di dunia.
S.142 Retna Srenggana tidak puas, dan menginkan Mustika Manikara, meniru
kesaktian Dewi Rukmawati, putri Hyang Antaboga.
S.143 Retna Srenggana bersikeras menuruti nafsu, membangkitkan amarah
Shangyang Srenggadewa.
S.144 Shangyang Srenggadewa mengeluarkan kata-kata yang tak terkendalikan,
menyumpahi anaknya seperti kera.
S.145 Retna Srenggana berubah wujudnya menjadi seekor kera terkena sumpah
ayahnya.
S.146 Raden Margana dan Retna Srenggana melangsungkan pernikahannya.
S.147 Dewi suretna melahirkan bayi kembar laki-laki, berwujud kera.
S.148 Retna Srenggana meninggal setelah melahirkan kedua anaknya yang juga
terkena kutukan dewata.
S.149 Raden Sudana menemukan adik kandungnya di desa Cengkarsari yaitu
Dewi Suretna yang telah menikah dengan Raden Pramana.
S.150 Raden Sudana dan Raden Pramana berperang layaknya seorang ksatria.
S.151 Raden sudana meluncurkan anak panahnya ke arah Raden Pramana.
140
S.152 Kedua menco hendak menangkap anak panah yang melesat cepat, sehingga
keduanya terkena dan mati
S.153 Menco cunduk mati dan mayatnya hilang, sedangkan menco jamang mati
dan berubah menjadi wujudnya yang semula yaitu Raden Prawasta.
S.154 Banteng menghadap Raden Pramana dan melihat adiknya yang telah
terbebas dari kutukan dewata.
S.155 Banteng mengiba-iba dan menahan tangisnya kepada Raden Pramana
supaya dibebaskan dari kutukan dewata, berubah menjadi manusia kembali
seperti adiknya.
S.156 Banteng putus asa dan akan bunuh diri jika Raden Pramana tidak mau
menolongnya.
S.157 Banteng memasang akar mimang diperempatan jalan besar, atas perintah
Raden Pramana.
S.158 Banteng dan ke dua saudara kandung Raden Pramana pergi ke alam
siluman.
S.159 Banteng menghadap Dewi Mulat meminta ke dua putri, atas perintah Dewi
Sriwulan.
S.160 Banteng bertemu dengan ke dua putri, yang tidak lain adalah kakak
kandungnya sendiri.
S.161 Banteng dan Raden Margana beradu kekuatan dalam peperangan
memperebutkan ke dua putri.
S.162 Banteng memenangkan peperangan, dan Raden Margana meninggal di
medan pertempuran.
141
S.163 Banteng berada di perkebuanan, sangat sedih dan berputus asa.
S.164 Banteng mendapat petunjuk tentang sebuah Cupu Permata di bawah pohon
beringin, yang dapat menyembuhkan dari kutukan dewata.
S.165 Banteng mengikuti petunjuk dan ponon beringin ditumbangkan.
S.166 Banteng menemukan Cupu Permata yang berisi minyak dipanirmala.
S.167 Banteng membuka Cupu Permata dan minyaknya di oleskan ke seluruh
tubuhnya.
S.168 Banteng merasa lesu dan sangat mengantuk sampai tertidur.
S.169 Banteng kembali ke dunia manusia dengan keadaan wujudnya yang telah
kembali seperti sedia kala, yaitu menjadi Raden Prawasakala.