Download - Seminar KGD
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Acute kidney injury merupakan sindroma klinis yang ditandai
dengan fungsi ginjal yang menurun cepat yang menyebabkan azotemia
yang berkembang cepat (Hudak, 2011). Dengan terjadinya penurunan
fungsi ginjal yang cepat, untuk itu dibutuhkan diagnosis dini yang akurat
untuk mengetahui penyebab acute kidney injury dan pengenalan proses
yang reversible dan pemberian terapi yang tepat.
Acute kidney injury merupakan sindroma klinis yang lazim, terjadi
sekitar 5 % pasien yang dirawat inap dan sebanyak 30 % pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif (Markum, 2006). Berlawanan dengan
gagal ginjal kronik, sebagian besar pasien acute kidney injury biasanya
memiliki fungsi ginjal yang sebelumnya normal dan keadaan ini umumnya
dapat pulih kembali.
Dalam pengelolaan penderita acute kidney injury harus selalu
bersikap hati – hati, tekun dan penuh kesabaran dimana sering terjadi
keadaan penderita justru memburuk akibat pengobatan yang berlebihan.
Acute kidney injury berat yang memerlukan dialysis, mempunyai
mortalitas tinggi melebihi 50%. Nilai ini akan sangat tinggi apabila
disertai kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang nyata
pada terapi penunjang, angka mertalitas belum banyak berkurang karena
saat usia pasien makin tua dan pasien tersebut juga menderita penyakit
kronik lainnya (Markum, 2006).
B. Tujuan penulisan
a. Tujuan umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien Acute
kidney injury
1
b. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu mendeskripsikan pengertian Acute kidney
injury
2. Mahasiswa mampu menyebutkan etiologi Acute kidney injury
3. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi Acute kidney injury
4. Mahasiswa mampu menyebutkan manifestasi klinis Acute kidney
injury
5. Mahasiswa mampu mendeskripsikan penatalaksanaan Acute kidney
injury
6. Menerapkan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Acute
kidney injury
C. Metode penulisan
Metode yang di gunakan dalam menulis laporan keperawatan ini
adalah deskriptif dalam bentuk studi kasus dengan pendekatan proses
keperawatan. Adapun teknik pengumpulan data yang di gunakan adalah
studi literatur yang berhubungan dengan masalah pada klien dan studi
dokumentasi status perkembangan klien yang berhubungan dengan
masalah keperawatan pada klien Acute kidney injury
D. Sistematika penulisan
1. BAB I Terdiri dari : Latar belakang, tujuan penulisan, metode
penulisan, sistematika penulisan
2. BAB II Terdiri dari Tinjauan teori : Konsep dasar Acute kidney injury
3. BAB III : Resume askep
4. BAB IV : Penutup
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Acute kidney injury mengacu pada kehilangan fungsi ginjal yang tiba-
tiba (beberapa jam sampai beberapa hari) yang ditandai dengan peningkatan
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (suatu kondisi yang disebut
azotemia), yang menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Hudak, 2011).
Acute kidney injury merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan
penurunan fingsi ginjal secara mendadak dan cepat, yang menyebabkan
retensi buangan nitrogen (nitrogen urea dan kreatnin) dan ketidakseimbangan
cairan, elektrolit, dan asam-basa (Stillwell, 2011).
Menurut Lippincott (2008), perubahan kadar kreatinin serum yang
menandakan acute kidney injury yaitu peningkatan kreatinin sebanyak
0.5mg/dl (dua kali dari nilai dasar pada pasien dengan kadar kreatinin dasar
<2mg/dl), peningkatan sebanyak 1mg/dl pada pasien dengan kadar kreatinin
dasar >2mg/dl, penurunan klirens kreatinin terukur >25%.
Dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan acute kidney injury
merupakan suatu sindrom akibat kerusakan metabolik atau patologik pada
ginjal yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang mendadak dalam
waktu beberapa hari atau beberapa minggu yang ditandai dengan peningkatan
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (suatu kondisi yang disebut
azotemia), yang menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
B. Klasifikasi dan etiologi
Menurut Hudak (2011), penyebab acute kidney injury terdapat tiga
kategori utama, yaitu adanya kondisi pada letak sebagai berikut:
1. Prarenal
Penyebab prarenal acute kidney injury meliputi kejadian fisiologis
yang mengakibatkan penurunan sirkulasi (iskemia) pada ginjal. Prarenal
3
acute kidney injury ditandai dengan peristiwa fisiologis yang
menyebabkan hipoperfusi ginjal. Peristiwa pencetus yang paling sering
mencakup hipovolemia dan gagal kardiovaskuler, namun peristiwa lain
apapun yang menyebabkan penurunan akut (perfusi ginjal efektif) dapat
digolongkan menjadi kategori sepsis, serosis, syok neurogenik. Sebagai
contoh, pada sepsis, respon inflamatorik sistemik memicu serangkaian
peristiwa yang menyebabkan keadaan hipotensi vasodilatasi meskipun
tidak ada kehilangan pada cairan tubuh.
2. Intrarenal
Kategori intrarenal acute kidney injury meliputi kejadian-kejadian
fisiologi yang secara langsung mempengaruhi fungsi dan struktur ginjal.
Hal ini sering mencakup kejadian-kejadian yang menyebabkan kerusakan
jaringan nefron. Acute kidney injury intarenal mempunyai banyak
kemungkinan penyebab. Salah satu cara untuk membantu
mengggolongkan penyebab ini adalah dengan kompartemen tubuh :
glomerulus, vaskuler, intersisial, dan tubulus. Etiologi glomerulus, yang
menyebabkan glomerulonafritis akut, mencakup penyebab yang diperantai
imun kompleks. Penyebab intersisial mencakup nefritis intersisial alergik
akut, biasanya disebabkan oleg agen farmakologik. Etiologi vaskuler
mencakup oklusi akut arteri atau vena renalis, hipertensi maligna.
Akhirnya tubulus ginal dapat sangat terganggu akibat obstruksi atau
nekrosis tubulus akut (ATN).
3. Postrenal
Adanya sumbatan pada aliran urine dari duktus penampung di
ginjal hingga ke orifisium uretra eksterna dapat menyebabkan acute kidney
injury postrenal. Sumbatan postrenal dapat terjadi akibat blokade ureter,
blokade uretra, atau akibat sumber ekstrinsik seperti tumor atau fibrosis.
Sumber lain acute kidney injury adalah disfungsi kandung kemih. Laki-
laki lansia adalah kelompok yang paling sering menderita acute kidney
injury postrenal.
4
C. Patofisiologi
Stillwell (2011), menjelaskan patofisiologi bardasarkan klasifikasi,
yaitu :
1. Acute kidney injury prarenal
Patofisiologi acute kidney injury prarenal berpusat pada respon
ginjal terhadap perfusi yang tidak adekuat. Penurunan perfusi ginjal
menyebabkan pelepasan enzim renin dari sel jugstaglomerulus di dinding
arteriol aferen. Peristiwa ini mengakibatkan rangkaian renin-angiotensin
aldosteron, hasil akhirnya adalah produksi angiotensin II dan pelepasan
aldosteron dari korteks adrenal. Angiotensin II menyebabkan
vasokonstriksi sistemik hebat dan aldosteron mengakibatkan retensi
natrium dan air.
Efek ini membantu tubuh memelihara volume sirkulasi sehingga
dapat memelihara aliran darah yang adekuat ke organ penting seperti
jantung dan otak. Di ginjal angiotensin II membantu memelihara laju
filtrasi glomerulus yang meningkatkan retensi arteriolar eferen dan
merangsang prostaglandin vasodilator intarenal (yang melebarkan arteriol
aferen), yang meningkatkan tekanan hidrostatik di glomerulus. Jika perfusi
ginjal sangat terganggu, kemampuan autoregulasi regulasi sangat terbebani
dan laju filtrasi glomerulus terganggu.
2. Acute kidney injury intarenal
Bentuk acute kidney injury intarenal adalah nekrosis tubulus akut
iskemik. ATN iskemik disebabkan oleh hipoperfusi berkepanjangan.
Ketika hipoperfusi renal menetap selama suatu waktu yang cukup, epitel
tubulus ginjal mengalami hipoksik dan kerusakan menetap hingga ketitik
dimana pemulihan perfusi ginjal tidak lagi berpengaruh terhadap perbaikan
filtrasi glomerulus. Iskemia menyebabkan penurunan produisi ATP di
mitokondria sel ginjal, yang mencuri pasokan energi yang dibutuhkan dari
sel tersebut. Sebagian energi ini digunakan untuk mempertahankan
konsentrasi tepat elektrolit di sel melalui saluran pertukaran elektrolit.
5
Beberapa gangguan elektrolit selular akibat iskemia adalah
penurunan kalium, magnesium, dan pospat intra seluler, peningkatan
natrium, klorida dan kalsium intraseluler. Peningkatan kalsium intraseluler
khususnya menunjukkan penyebab cedera. Kerusakan sel juga terjadi
selama perfusi ulang akibat pembentukan radikal bebas oksigen. Akhirnya,
kerusakan sel ini menyebabkan sel tubuus bengkak dan mengalami
nekrotik. Sel yang nekrotik kemudian meluruh dan menyumbat lumen
tubulus. Sel yang meluruh ini juga memungkikan terjadinya kebocoran
cairan tubulus kearah belakang karena perubahan fungsi membran
basalisnya, yang berperan pada penurunan GFR.
3. Acute kidney injury postrenal
Sumbatan dapat terjadi di setiap titik saluran kemih. Jika urine
tidak dapat melewati sumbatan tersebut, kongesti yang terjadi
mengakibatkan retrogade di sepanjang sistem penampung dan nefron.
Keadaan ini memperlambat laju aliran cairan tubulus dan menurunkan
GFR. Sebagai akibatnya, reabsorpsi natrium, air dan urea meningkat, yang
menyebabkan penurunan konsentrasi natrium urine dan peningkatann
osmolalitas urine dab BUN. Kadar kreatinin serum juga meningkat. Pada
tekanan lama akibat sumbatan di saluran kemih, seluruh sistem
penampung mengalami dilatasi, sehingga menekan dan merusak nefron.
Hal ini menyebabkan disfungsi mekanisme pemekatan atau pengenceran
dan osmolalitas urine serta konsebtrasi natrium urine menjadi sama dengan
plasma.
Ginjal berfungsi mengatur keseimbangan asam basa dengan
pertukaran ion hydrogen, produksi ammonia dan reabsorbsi bikarbonat;
mengatur pengeluaran elektrolit, asam amino, dan asam organik. Pada acute
kindey injury gangguan utama terletak pada faal tubulus dan faal glomerulus.
Secara klinik gagal ginjal akut dibagi menjadi 4 fase, yaitu :
1. Fase awitan
Fase awitan (permulaan) dimulai dengan serangan awal dan berlangsung
sampai terjadi cedera pada sel. Fase awitan berlangsung beberapa jam
6
hingga beberapa hari, yang bergantung pada penyebab, dan ditandai
dengan munculnya tangda gagal ginjal (penurunan haluaran urine,
peningkatan kreatinin serum). Tujuan utama selama fase ini adalah
menentukan penyebab ATN dan memulai terapi untuk mencegah
kerusakan tubulus.
2. Fase oliguria atau anuria
Stadium oliguria biasanya timbul dalam waktu 24 sampai 48 jam sesudah
terjadinya trauma pada ginjal. Produksi urin normal adalah 1-2 liter/24jam.
Pada fase ini pertama terjadi penurunan produksi urin sampai kurang dari
400cc/24 jam. Tidak jarang produksi urin sampai kurang dari 100cc/24
jam, keadaan ini disebut dengan anuria. Pada fase ini penderita mulai
memperlihatkan keluhan-keluhan yang diakibatkan oleh penumpukan air
dan metabolit-metabolit yang seharusnya diekskresikan oleh tubuh, seperti
mual, muntah, lemah, sakit kepala, kejang dan lain sebagainya. Perubahan
pada urin menjadi semakin kompleks, yaitu penurunan kadar urea dan
kreatinin. Di dalam plasma terjadi perubahan biokimiawi berupa
peningkatan konsentrasi serum urea, kreatinin, elektrolit (terutama K dan
Na).
3. Fase deuretik
Stadium diuresis dimulai bila pengeluran kemih meningkat sampai lebih
dari 400 ml/hari, kadang-kadang dapat mencapai 4 liter/24 jam. Stadium
ini berlangsung 2 sampai 3 minggu. Volume kemih yang tinggi pada
stadium ini diakibatkan karena tingginya konsentrasi serum urea, dan juga
disebabkan karena masih belum pulihnya kemampuan tubulus yang sedang
dalam masa penyembuhan untuk mempertahankan garam dan air yang
difiltrasi. Selama stadium dini diuresi, kadar urea darah dapat terus
meningkat, terutama karena bersihan urea tak dapat mengimbangi
produksi urea endogen. Tetapi dengan berlanjutnya diuresis, azotemia
sedikit demi sedikit menghilang, dan pasien mengalami kemajuan klinis
yang benar.
7
4. Fase penyembuhan atau fase pascadiuretik.
Stadium penyembuhan acute kidney injury berlangsung sampai satu tahun,
dan selama masa itu, produksi urin perlahan–lahan kembali normal dan
fungsi ginjal membaik secara bertahap, anemia dan kemampuan
pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik, tetapi pada beberapa
pasien tetap menderita penurunan glomerular filtration rate (GFR) yang
permanen.
D. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang terjadi pada penderita acute kidney injury menurut
Hudak (2011), antara lain :
1. Penurunan haluaran urine
2. Penurunan laju filtrasi glomerulus
3. Penumpukan nitrogen urea darah (BUN)
4. Peningkatan kreatinin serum
a. Peningkatan kreatinin sebanyak 0.5mg/dl (dua kali dari nilai dasar
pada pasien dengan kadar kreatinin dasar <2mg/dl),
b. Peningkatan sebanyak 1mg/dl pada pasien dengan kadar kreatinin
dasar >2mg/dl,
c. Penurunan klirens kreatinin terukur >25%.
5. Oliguria (<400 ml/hari) atau anuria (<50 ml/hari)
6. Kelebihan beban cairan
7. Azotemia
8. Elektrolit abnormal (hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia)
9. Asidosis metabolik
10. Gejala uremia
11. Pada fase diuretik terjadi peningkatan bertahap haluaran urine
8
7
E. Penatalaksanaan
Menurut Hudak (2011), menjelaskan penatalaksanaan acute kidney
injury antara lain :
1. Penurunan curah jantung
Faktor faktor seperti disritmia jantung, infark miokard akut dan
temponade perikardial akut, semuanya menurunkan curah jantung,
mungkin berhubungan dengan penurunan aliran darah ginjal. Oleh
karenanya reversibilitas dari gagal ginjal tergantung pada kemampuan
untuk menigkatkan fungsi jantung. Ada kondisi ini, curah jantung
biasanya terganggu secara akut dan sangat payah. Bila curah jantung
terganggu sampai batas yang lebih kecil selama periode waktu yang
lama, bagaimana pun, terjadi gambaran gagal jantung kongesif. Disini
terjadi penurunan perfusi ginjal meskipun sampai batas yang terkecil.
Gambaran utama dari keadaan ini, dari aspek ginjal, makin menyerap
natrium, yang mengakibatkan peningkatan volume cairan ekstraselular,
kenaikan tekanan vena sentral dan edema.
Terapi diarahkan terutama pada meningkatkan ekskresi natrium
urine. Kadang kadang, keadaan ini dapat diselesaikan dengan
memperbaiki curah jantung, yang selanjutnya meningkatkan perfusi
ginjal.
2. Perubahan tahanan vaskuler perifer
Perfusi ginjal terganggu pada keadaan ini sebagai akibat
peningkatan ukuran kompartemen intravaskular dan redistribusi volume
darah. Ini mungkin merupakan konsekuensi septikemia gram negatif,
takar lajak obat tertentu, reaksi anafilaktik, dan gangguan elektrolit
seperti asidosis.
Penatalaksanaan diarahkan terutama untuk mengobati gangguan
dasar dengan terapi khusus yang ditambah penggantian cairan, elektrolit
dan koloid.
9
3. Penatalaksanaan hipovolemia dan hemoragi
Pemulihan cairan ekstraselular dan volume darah adalah
penatalaksanaan yang paling penting pada setiap keadaan hipoperfusi.
Bukti untuk penurunan volum ektraselular biasanya didapatkan dari
riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik.
Terapi diarahkan pada penggantian air dan natrium atau darah bila
hemoragi menjadi penyebabnya. Respon terhadap pengobatan dapat
dinilai dengan perubahan dalam volume urin, berat jenis, tekanan vena
sentral.
4. Mempertahankan aliran urine
Meskipun pengobatan telah adekuat, volume urin tetap rendah. Ini
mungkin diakibatkan berlanjutnya kerusakan fungsional pada periode
poshipoperfusi atau kerusakan parenkim ginjsl skibst karena hipoperfusi.
Perlu untuk me,bedakan dua keadaan ini satu sama lain karena oliguria
yang berkepanjangan, bila dibiarkan, akhirnya dapat memperparah pada
NTA. Manitol dan furosemid telah digunakan pada situasi baik untuk
diagnosisnmaupun memelihara fungsi urine
5. Penatalaksanaan nekrosis tubular akut (ATN)
a. Penggantian volume
b. Kontrol asidosis
c. Kontrol hiperkalemia
d. Diuresis air dan natrium
F. Pemeriksaan penunjang
Menurut Stillwell (2011), untuk memperkuat diagnosis, sering
diperlukan pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium, EKG, dan
USG.
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Tes urine
1) Volume; bisanya kurang dari 400 ml/24jam (oliguria) atau urin
tidak ada (anuria), setelah ginjal rusak.
10
2) Warna; secara abnormal urin keruh mungkin disebabkan Hb,
darah,mioglobin.
3) Berat jenis; kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat).
4) PH; kurang dari 7, ditemukan pada nekrosis tubuler ginjal.
5) Klirens Kreatinin; mungkin agak menurun, sebelum BUN dan
kreatinin menunjukkan peningkatan yang bermakna.
6) Natrium; lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mengabsorpsi natrium.
b. Tes darah
1) BUN / kreatinin meningkat dalam proporsi kadar rasio 10:1. Kadar
kreatinin 10 mg /dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5).
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang
tetap dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada
tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan
masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan
glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan
fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
2) Hitung Darah Lengkap; Ht; menurun pada adanya anemia. Hb;
biasanya kurang dari 7-8/ dL.
3) PH; penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresi hydrogen dan
ammonia atau hasil akhir katabolisme. Bikarbonat menurun. PCO2
menurun. Pasien oliguri akut tidak dapat mengeliminasi muatan
metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses
metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon
dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif
menyertai gagal ginjal.
11
4) Natrium serum; mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium
atau normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia). Dan
biasanya meningkat.
5) Kalium; peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan
perindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis
SDM). Pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi
sampai kalium 6.5 mEq atau lebih besar. Pasien yang mengalami
penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak mampu mengeksresikan
kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium
seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat.
Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti jantung.
2. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda –
tanda perikarditis ( misalnya voltase rendah ), aritmia dan gangguan
elektrolit ( hiperkalemia, hipokalsemia )
G. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
1) Penilaian tentang kesadaran, dengan cara menyentuh,
menggoyangkan dan memanggil namanya, misalnya bapak atau ibu
2) Pastikan kepatenan jalan napas dan kebersihannya segera, lihat
adakah partikel-partikel benda asing seperti darah, muntahan,
permen karet, gigi palsu atau tulang
3) Posisi pasien diatur agar mudah untuk bernapas
4) Peningkatan sekresi pernapasan
5) Adanya benda asing pada saluran pernapasan
6) Adanya bunyi napas yang disebabkan oleh sumbatan jalan nafas
12
b. Breathing
1) Auskultasi bunyi napas dan evaluasi ekspansi dada, usaha respirasi
dan adanya bukti trauma dinding dada atau abnormalitas fisik
2) Kaji irama, kedalaman dan keteraturan pernapasan, dan observasi
pernapasan ekspansi bilateral dada
3) Jika pernapasan tidak adekuat atau tidak ada dukungan pernapasan,
pasien diberikan alat oksigenisasi yanga dekuat.
4) Pola dan frekuensi pernapasan
5) Pengembangan dada simitri atau tidak
6) Penggunaan otot bantu pernapasan
7) Adanya retraksi interkosta
c. Circulation
1) Cek nadi dan iramanya serta ritmenya
2) Kaji tekanan darah
3) Kaji warna kulit(Adanya sianosis)
4) Kajia adanya bukti perdarahan
5) Kirimkan sampel darah untuk melakukan cek labolatorium
6) Capiler refill (3-4 detik)
7) Adakah tanda tanda syok
2. Pengkajian sekunder
B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas
dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan
sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau urine (fetor uremik)
sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons
uremia akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan
pernapasan kussmaul.
B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan
menemukan adanya friction rub yang merupakan tanda khas efusi
13
perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada sistem hematologi
sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai acute
kidney injury merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai
akibat dari penurunan produksi eritropoetin, lesi gastrointestinal
uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan darah,
biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder
dari gangguan fungsi jantung akan memberat kondisi acute kidney
injury. Pada pemeriksaan tekanan darah sering didapatkan adanya
peningkatan.
B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat
gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang
biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut
pada sindrom uremia.
B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan
frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari, sedangkan pada
periode diuresis terjadi peningkatan yang menunjukkan peningkatan
jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine
menjadi lebih pekat/gelap.
B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering
didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari
anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipetensi.
14
3. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
1) Pernapasan kusmaul (menunjukkan asidosis metabolic)
2) Takipnea
3) Kulit kering
4) Pembesaran vena – vena leher
5) Distensi abdomen
6) Mual muntah yang ditandai dengan bau uremik à dapat dilakukan
pemberian terapi cairan
b. Palpasi
1) Penurunan turgor kulit
2) Pembesaran ginjal dan kantung kemih dapat diraba (pada obstruksi
bagian luar kantung kemih)
3) Edema (pada kelebihan cairan)
c. Perkusi
1) Resonansi perkusi diatas pembesaran ginjal
2) Garis perkusi pada distensi kantung kemih
d. Auskultasi
1) Desiran (pada oklusi arteri ginjal)
2) Pernapasan : perubahan bunyi napas
3) Kardiovaskular : adanya hipotensi yang ditandai dengan
hipovolumia dapat menyebabkan terjadinya shock karena adanya
gangguan pada eritropoesis. Dapat juga terjadi takikardi, disritmia ;
frisksi gesekan mengindikasikan perikarditis uremik.
H. Pathways
Terlampir
15
I. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari acute kidney
injury.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru
pada respons asidosis metabolik.
3. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari
abnormalitas elektrolit dan uremia.
4. Aktual/risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan
serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolic.
5. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek
sekunder dari hiperkalemi
Intervensi :
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari acute kidney
injury.
Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan defisit volume cairan dapat teratasi
Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran mukosa lembab, turgor
kulit normal, ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari.
Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat,
BUN/kreatinin menurun
Intervensi:
a. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine
output)
R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status
cairan Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya
produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine <600
ml/hari karena merupakan tanda-tanda terjadinya syok
hipovolemik.
16
b. Kaji keadaan edema
R: Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan
permeabilitas sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cairan
walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat 4,5 kg
c. Kontrol intake dan output per 24 jam.
R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan
dan penurunan kelebihan resiko cairan.
d. Timbang berat badan tiap hari.
R: Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan
keseimbangan dan masukan cairan yang tepat.
e. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum.
R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran
dari semua sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien
dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap
pembatasan caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.
f. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris,
menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume urine
adekuat. Misalnya : Furosemide.
g. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan
gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru
pada respons asidosis metabolik.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak
terjadi perubahan pola nafas
Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
17
Intervensi:
a. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran
sejauh mana terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk
mengatasi penyebab dasar dari asidosis metabolic.
b. Monitor ketat TTV.
R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis
yang bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk
secepatnya melakukan koreksi asidosis.
c. Istirahatkan klien dengan posisi fowler.
R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat
akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan
jantung, dan menurunkan tekanan darah.
d. Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal,
retensi natrium/air, dan penurunan urine output.
e. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena.
R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk
memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion
normal, serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai keadaan
ini.
f. Berikan bikarbonat.
R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah
masukkan klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada
menghilangkan sumber klorida.
g. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan.
R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah
meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yagn aman dan
menanggulangi sebab-sebab asidosis yang mendasarinya. Dengan
monitoring perubahan dari analisis gas darah berguna untuk
menghindari komplikasi yang tidak diharapkan
18
3. Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari
abnormalitas elektrolit dan uremia.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan
kejang berulang tidak terjadi
Kriteria: klien tidak mengalami kejang
Intervensi:
a. Kaji dan catat faktor-faktor yang menurunkan kalsium dari sirkulasi.
R: Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada klien
berisiko. Perawat harus bersiap untuk kewaspadaan kejang bila
hipokalsemia
b. Kaji stimulus kejang.
R: Stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan
peningkatan suhu tubuh.
c. Monitor klien yang berisiko hipokalsemi
R: Individu berisiko terhadap osteoporosis diinstruksikan tentang
perlunya masukan kalsium diet yang adekuat; jika dikonsumsi dalam
diet, suplemen kalsium harus dipertimbangkan.
d. Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang tinggi.
R: Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat
penyerapan kalsium dan perokok kretek sedang meningkatkan
ekskresi kalsium urine
e. Garam kalsium parenteral
R: Garam kalsium parenteral termausk kalsium glukonat, kalsium
klorida, dan kalsium gluseptat. Meskipun kalsium klorida
menghasilkan kalsium berionisasi yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan jumlah akuimolar kalsium glukonat, tetapi cairan ini
tidak sering digunakan karena cairan tersebut lebih mengiritasi dan
dapat menyebabkan peluruhan jaringan jika dibiarkan menginfiltrasi
19
f. Tingkatan masukan diet kalsium.
R: Tingkatan masukan diet kalsium sampai setidaknya 1.000 hingga
1.500 mg/hari pada orang dewasa sangat dianjurkan (produk dari
susu: sayuran berdaun hijau; salmon kaleng, sadin, dan oyster segar)
g. Monitor pemeriksaan EKG dan laboratorium kalsium serum.
R: Menilai keberhasilan intervensi
4. Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan
serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolic
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan
perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri
kepala, mual kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV
normal, serta klien tidak mengalami defisit neurologis seperti: lemas ,
agitasi iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya
timbul koma, kejang.
Intervensi:
a. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
b. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-
hati pada hipertensi sistolik.
R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan
tekanan darah sistemik yang dapat berubah secara fluktuasi.
Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskular
serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan
diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu
dapat menggambarkan pejralanan infeksi.
c. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien
untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat
tidur.
20
R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah
posisi dapat melindungi diri dari efek valsava.
d. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
potensial terjadi perdarahan ulang.
e. Monitor kalium serum
R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada
kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel.
5. Risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari
hiperkalemi
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak
terjadi aritmia.
Kriteria: Klien tidak gelisah, tidak mengeluh mual-mual dan muntah, GCS
15, tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal, Klien tidak
mengalami defisit neurologis, kadar kalium serum dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu dan faktor-faktor
hiperkalemi.
R: Banyak faktor yang menyebabkan hiperkalemia dan penanganan
disesuaikan dengan faktor penyebab.
b. Beri diet rendah kalium
R: Makanan yang mengandung kalium tinggi yang harus dihindari
termausk kopi, cocoa, the, buah yang dikeringkan, kacang yang
dikeringkan, dan roti gandum utuh. Susu dan telur juga mengandung
kalium yang cukup besar. Sebaliknya, makanan dengan kandungan
kalium minimal termasuk mentega, margarin, sari buah, atau saus
cranbeery, bir jahe, permen karet, atau gula-gula (permen), root beer,
gula dan madu.
21
c. Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam.
R: Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencetus
aritmia pada klien hipokalemi.
d. Monitoring klien yang berisiko terjadi hipokalemi
R: Asidosis dan kerusakan jaringan seperti pada luka bakat atau
cedera remuk, dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ICF ke
ECF, dan masih ada hal-hal lain yang dapat menyebabkan
hiperkalemia. Akhirnya, larutan IV yang mengandung kalium harus
diberikan perlahan-lahan untuk mencegah terjadinya beban kalium
berlebihan latrogenik.
e. Monitoring klien yang mendapat infus cepat yang mengandung
kalium
R: Aspek yang paling penting dari pencegahan hiperkalemia adalah
mengenali keadaan klinis yang dapat menimbulkan hiperkalemia
karena hiperkalemia adalah akibat yang bisa diperkirakan pada
banyak penyakit dan pemberian obat-obatan. Selain itu, juga harus
diperhatikan agar tidak terjadi pemberian infus larutan IV yang
mengandung kalium dengan kecepatan tinggi.
f. Pemberian kalsium glukonat.
R: Kalsium glukonat 10% sebanyak 10 ml diinfus IV perlahan-lahan
selama 2-3 menit dengan pantauan EKG, efeknya terlihat dalam
waktu 5 menit, tetapi hanya bertahan sekitar 30 menit.
g. Pemberian glukosa 10%.
R: Glukosa 10% dalam 500 ml dengan 10 U insulin regular akan
memindahkan K+ ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30
menit dan dapat bertahan beberapa jam.
h. Pemberian natrum bikarbonat.
R: Natrium bikarbonat 44-88 mEq IV akan memperbaiki asidosis dan
perpindahan K+ ke dalam sel; efeknya terlihat dalam waktu 30 menit
dan dapat bertahan beberapa jam.
22
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS PEMICU
Tn. Pono, 59 tahun datang dengan sesak nafas berat, oliguria, muntah, kesadaran
menurun, BUN 22 mg/dl, kreatinin 1.5 mg/dl.
1. Pengkajian
a. Identitas :
Identitas klien :
Nama : Tn.Pono
Usia : 59 tahun
b. Pengkajian Primer
Breathing
1. Pasien mengalami sesak napas berat
Circulation
1. Pada hasil laboratorium didapatkan hasil BUN 22 mg/dl,
2. kreatinin 1.5 mg/dl.
Airway
1. Pasien sesak napas berat
2. Pasien menglami penurunan kesadaran
c. Pengkajian sekunder
B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas
dan jalan napas yang merupakan respons terhadap azotemia dan
sindrom akut uremia. Pada beberapa keadaan respons uremia akan
menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan
kussmaul.
23
B2 (Blood).
Hasil laboratorium, BUN 22 mg/dl, kreatinin 1,5 mg/dl. Adanya
penurunan curah jantung sekunder dari gangguan fungsi jantung akan
memberat kondisi acute kidney injury. Pada pemeriksaan tekanan
darah sering didapatkan adanya peningkatan.
B3 (Brain).
Gangguan penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit /asam/ basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat
gangguan elektrolit, sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang
biasanya akan didapatkan terutama pada fase oliguri yang berlanjut
pada sindrom uremia.
B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pada periode oliguri akan terjadi penurunan
frekuensi dan penurunan urine output <400 ml/hari.
B5 (Bowel).
Didapatkan adanya muntah.
B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum akibat penurunan
kesadaran.
d. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Pernapasan kusmaul (menunjukkan asidosis metabolic)
Pasien muntah à ditandai dengan bau uremik dapat dilakukan
pemberian terapi cairan
Palpasi
Penurunan turgor kulit
Edema (pada kelebihan cairan) akibat oliguri
Perkusi dan auskultasi
Tidak terkaji
24
2. Pemeriksaan penunjang kegawatdaruratan
a) Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat
peningkatan yang tetap dalam BUN dan laju peningkatannya bergantung
pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan
protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar
kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan
perkembangan penyakit.
b) Hitung Darah Lengkap; Ht; menurun pada adanya anemia. Hb; biasanya
kurang dari 7-8/ dL.
c) PH; penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresi hydrogen dan
ammonia atau hasil akhir katabolisme. Bikarbonat menurun. PCO2
menurun. Pasien oliguri akut tidak dapat mengeliminasi muatan metabolik
seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal.
Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan
dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida darah dan pH darah
sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
d) Natrium serum; mungkin rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau
normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia). Dan biasanya
meningkat.
e) Kalium; peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perindahan
seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap
akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6.5 mEq atau
lebih besar. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus
tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan
pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan
hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia dan henti
jantung.
25
3. Diagnosa keperawatan prioritas
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan pH pada ciaran
serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan
membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru
pada respons asidosis metabolik.
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 1x24 jam diharapkan tidak
terjadi perubahan pola nafas
Kriteria: klien tidak sesak nafas, RR dalam batas normal 16-20 x/menit
Intervensi:
i. Kaji faktor penyebab asidosis metabolik.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan gambaran
sejauh mana terjadi kegagalan ginjal. Mengeidentifikasi untuk
mengatasi penyebab dasar dari asidosis metabolic.
ii. Monitor ketat TTV.
R: Perubahan TTV akan memberikan dampak pada risiko asidosis
yang bertambah berat dan berindikasi pada intervensi untuk
secepatnya melakukan koreksi asidosis.
iii. Istirahatkan klien dengan posisi fowler.
R: Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal istirahat
akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan
jantung, dan menurunkan tekanan darah.
iv. Ukur intake dan output.
R: Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi
ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan urine output.
v. Kolaborasi berikan cairan ringer laktat secara intravena.
R: Larutan IV ringer laktat biasanya merupakan cairan pilihan untuk
memperbaiki keadaan asidosis metabolik dengan selisih anion
normal, serta kekurangan volume ECF yang sering menyertai
keadaan ini.
vi. Berikan bikarbonat.
26
R: Kolaborasi pemberian bikarbonat. Jika penyebab masalah adalah
masukkan klorida, maka pengobatannya adalah ditujukan pada
menghilangkan sumber klorida.
vii. Pantau data laboratorium analisis gas darah berkelanjutan.
R: Tujuan intervensi keperawatan pada asidosis metabolik adalah
meningkatkan pH sistemik sampai ke batas yagn aman dan
menanggulangi sebab-sebab asidosis yang mendasarinya. Dengan
monitoring perubahan dari analisis gas darah berguna untuk
menghindari komplikasi yang tidak diharapkan
b. Risiko perubahan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan
serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolic
Tujuan: setelah diberikan asuhan keperawatan 2x24 jam diharapkan
perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria: klien tidak mengalami kegelisahan,tidak ada keluhan nyeri
kepala, mual kejang. GCS 456 pupil isokor, reflek cahaya (+), TTV
normal, serta klien tidak mengalami defisit neurologis seperti: lemas ,
agitasi iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi hingga akhirnya
timbul koma, kejang.
Intervensi:
i. Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS.
R: Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
ii. Monitor tanda-tanda vital seperti TD, nadi, suhu, respirasi, dan hati-
hati pada hipertensi sistolik.
R: Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan
tekanan darah sistemik yang dapat berubah secara fluktuasi.
Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskular
serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan
diikuti oleh penurunan tekanan diastolik, sedangkan peningkatan suhu
dapat menggambarkan pejralanan infeksi.
27
iii. Bantu klien untuk membatasi muntah dan batuk. Anjurkan klien
untuk mengeluarkan napas apabila bergerak atau berbalik di tempat
tidur.
R: Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
intraabdomen. Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah
posisi dapat melindungi diri dari efek valsava.
iv. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
R: Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
potensial terjadi perdarahan ulang.
v. Monitor kalium serum
R: Hiperkalemi terjadi dengan asidosis, hipokalemi dapat terjadi pada
kebalikan asidosis dan perpindahan kalium kembali ke sel.
c. Defisit volume cairan berhubungan dengan fase diuresis dari acute kidney
injury.
Tujuan: Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan defisit volume cairan dapat teratasi
Kriteria: Klien tidak mengeluh pusing, membran mukosa lembab, turgor
kulit normal, ttv normal, CRT < 2 detik, urine >600 ml/hari.
Laboratorium: nilai hematokrit dan protein serum meningkat,
BUN/kreatinin menurun
Intervensi:
i. Monitoring status cairan (turgor kulit, membran mukosa, urine
output)
R: Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan dari keadaan status
cairan Penurunan volume cairan mengakibatkan menurunnya
produksi urine, monitoring yang ketat pada produksi urine <600
ml/hari karena merupakan tanda-tanda terjadinya syok
hipovolemik.
28
ii. Kaji keadaan edema
R: Edema menunjukan perpindahan cairan karena peningkatan
permeabilitas sehingga mudah ditensi oleh akumulasi cairan
walaupun minimal, sehingga berat badan dapat meningkat 4,5 kg
iii. Kontrol intake dan output per 24 jam.
R: Untuk mengetahui fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan
dan penurunan kelebihan resiko cairan.
iv. Timbang berat badan tiap hari.
R: Penimbangan berat badan setiap hari membantu menentukan
keseimbangan dan masukan cairan yang tepat.
v. Beritahu keluarga agar klien dapat membatasi minum.
R: Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari
semua sember ditambah perkiraan yang tidak nampak. Pasien
dengan kelebihan cairan yang tidak responsif terhadap pembatasan
caiaran dan diuretic membutuhkan dialysis.
vi. Penatalaksanaan pemberian obat anti diuretik.
R: Obat anti diuretic dat melebarkan lumen tubular dari debris,
menurunkan hiperkalemia dan meningkatkan volume urine
adekuat. Misalnya : Furosemide.
vii. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal.
R: Hasil dari pemeriksaan fungsi ginjal dapat memberikan
gambaran sejauh mana terjadi kegagalan ginjal.
29
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Acute kidney injury mengacu pada kehilangan fungsi ginjal yang tiba-
tiba (beberapa jam sampai beberapa hari) yang ditandai dengan peningkatan
nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum (suatu kondisi yang disebut
azotemia), yang menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Hudak, 2011).
Gagal Ginjal Akut berdasarkan letaknya, diklasifikasikan menjadi tiga
bagian yang merupakan penyebab Acute kidney injury, yaitu Prerenal
(berhubungan dengan sirkulasi ginjal), Renal (Intra-renal; yang berhubungan
dengan kerusakan parenkim ginjal tubulus dan glomerulus) dan Post-renal
(adanya obstruksi yang menjadikan urin tidak keluar dari ginjal).
Faktor prerenal dan pascarenal akan menjadikan kerusakan intrinsik
renal, yaitu berupa kelainan parenkim ginjal yang berat serta kegagalan fungsi
ginjal. Akan tetapi bila didiagnosis dan ditangani dengan baik akan kembali
pulih (reversibel).
B. Saran
1. Untuk mencegah terjadinya gagal ginjal, apabila dijumpai keadaan-
keadaan sebagai manifestasi gagal ginjal, sebagaimana tersebut di atas,
maka segeralah pergi dan konsultasikan dengan dokter.
2. Terdapat saran dari dokter untuk mencegah gagal ginjal, yaitu minum
minimal 8 gelas perhari air putih dan setelah bangun tidur wajib air putih.
3. Cara mengelola ginjal; Konservatif : diet, obat-obatan dan kontrol teratur,
Cuci darah : hemodialisis = 2x seminggu harus rutin. Serta terapi ginjal
pengganti (TGP) : dilakukan bila cara konservatif tidak berhasil yaitu
dengan cangkok ginjal.
30
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Merilynn. E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC.
Hudak and Gallo. 2011. Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik /
Patricia Gonce Moflon...(et. al) ; alih bahasa : Nike Budhi Subekti ;
editor edisi bahasa Indonesia : Froriolina Ariani. Edisi VIII. Jakarta :
EGC.
Lippincott. 2008. Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg. Alih bahasa :
dr. Huriawati Hartanto ; editor : Amalia Safitri. Jakarta : Erlangga.
Markum. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam : Gagal Ginjal Akut Jilid I, edisi IV.
Editor : Sudoyo, Setiyohadi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Soemantri. 2009. Kegawtan Hematologi. Semarang : Pelita Insani.
Stillwell, S.B. 2011. Pedoman Keperawatan Kritis / Susan B. Stillwell ; alih
bahasa : Egi Komara Yudha ; editor bahasa Indonesia : Pamilih Eko.
Edisi III. Jakarta : EGC.
31