Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987
Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982
Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 114 Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Pasal 115 Setiap Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan reklame atau periklanan untuk penggunaan secara komersial baik dalam media elektronik maupun nonelektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Perpustakaan Nasional RI Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Nrima Mengungkap Kontruksi Sosio Muslim Jawa Tentang
Pemahaman Sabar dalam Al Quran/ penulis naskah, Kuswaya,
Adang – Sukoharjo: Kekata, 2016.
x + 260 hlm.; 15 cm x 23 cm ISBN 978-602-476-971-0
1. Pengetahuan I. Judul II. Saadi
Nrima
Mengungkap Kontruksi
Sosio-Muslim Jawa Tentang Pemahaman Sabar
dalam Al Quran
Copyright © 2016
Penulis: Adang Kuswaya
Desain Sampul: Mubin YP
Penyunting Naskah: Saadi
Penata Letak: Affan Luthfi
Anggota IKAPI Provinsi Jawa Tengah
Diterbitkan oleh CV Kekata Group
Palur Mojolaban Sukoharjo
Cetakan Pertama, Mei 2016
Surakarta, Kekata Publisher, 2016
x + 260 hlm.; 15 cm x 23 cm
ISBN 978-602-476-971-0
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.
Isi di luar tanggung jawab Penerbit Kekata Publisher
iii
KATA PENGANTAR
ecara garis besar buku ini berisi konsep nerimo
Bahasa Jawa yang secara filosofis merupakan cara
yang mulia dan bagus untuk memberikan bimbingan
kehidupan yang lebih seimbang. Tidak terjebak dalam
egoisme, sombong, dan materialistis di satu sisi, dan di sisi
lain menghindari seseorang untuk menjadi cemas, pesimistis,
dan lemah dalam menangani masalah-masalah hidup. Karena
itu, nerimo yang dikaitkan oleh shabr, adalah semangat yang
menyiratkan daya tahan manusia dalam setiap periode
kehidupan. Konsep ini dapat dikembangkan melalui suatu
bentuk kesadaran psikologis, spiritual dan intelektual bahwa
setiap kehidupan memiliki gerakan periodik di mana setiap
orang pasti akan mengalami fluktuasi kehidupan.
Oleh karena itu, prinsip nerimo menjadi katalisator
bagi posisi hidup untuk mengubahnya agar bergerak
kembali. Ini berarti bahwa nerimo tidak ditempatkan
sebagai hasil yang berorientasi pada penerimaan, tetapi
S
iv
ditempatkan sebagai proses kelangsungan hidup yang
mampu menggerakkan orang melalui satu tahap kehidupan
mereka. Ini adalah pemahaman yang lebih relevan, aktif,
dinamis, dan progresif bagi Muslim Jawa untuk
menghadapi globalisasi dan gempuran neo-liberalisme
ekonomi di abad ke-21.
Semoga buku ini, di samping menambah wawasan
tentang konsep sabar dalam sikap nrimo sosio-kultur
Muslim Jawa juga menambah wawasan
baga imana penerapan metodo logi sos io -
t emat ik he rmenut i ka a l qu ran pembebasan
t e rhadap t ema t ema sos i a l l a inn ya . Penulis
menyadari masih banyak kekurangan. Untuk itu, penulis
mengharapkan masukan, saran dan kritik demi
penyempurnaan buku ini.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
yukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah
SWT yang telah memberikan kekuatan sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, pembawa pelita dan menjadi rahmat
bagi sekalian alam.
Sesungguhnya dalam penulisan ini, penulis banyak
menghadapi kendala terutama yang berkenaan dengan trend
pemikiran mengenai hermeneutika al-Qur‟an yang begitu luas.
Namun demikian, penulis berusaha semaksimal mungkin dan
alhamdulillah tulisan ini akhirnya dapat diselesaikan.
Penyelesaian tulisan ini adalah berkat bantuan berbagai pihak.
Sebagai tanda penghargaan, penulis mengucapkan terima kasih
yang setinggi-tingginya secara khusus ditujukan kepada:
Kementerian Agama Republik Indonesia yang
memberikan dana beasiswa sejak penulis duduk di bangku
Madrasah Aliyah Program Khusus (MANPK) di Darussalam
Ciamis pimpinan KH. Irfan Hielmy (alm.), di bangku kuliah SI
di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, kuliah program S2 dan
S3 di UIN Syarif Hidayatullah. Bahkan, beasiswa Postdoktoral
di Mesir
Instansi IAIN Salatiga pimpinan Dr. Rahmat Hariyadi,
MPd kolega-kolega lainnya Prof.. Dr. Budihardjo, M.Ag, Dr.
S
vi
M. Zulfa Mahasin, M.Ag, Dr. Zakiyuddin, M.Ag, , Dr. Imam
Sutomo, Dr. Mukti Ali, Dr. Sa‟adi, Dr. Benny Ridwan,
M.Hum., Dr. Illya Muhsin, Dr. M. Irfan Hielmy, dan Dr.
Budiyono Saputro, di lingkungan IAIN Salatiga. Kolega
colloquium waktu tinggal di Noida, UP, India Dr. Zakiyuddin
Baidhawy, Dr. Agus Ahmad Sua‟idi, M.A. dan Hammam,
PhD.; Kolega, teman dialog waktu tinggal di Antigonish,
Kanada: Dr.Ihsan Maulana, Encung, Ismail, Dr. Teguh, Dr.
Ibnu, Dr. Roy Purwanto, Dr. Maghfur, Hasan Basri, Dr. Zainul
Abbas, dan Dr. Arif Maftuhin, M.A.
Dr. Abad Badruzzaman, Dr. Hamka Hasan, Dr.
Aksin W, Dr. Fajar Waryani, Dr. Hamdani Mu‟in, Dr.
Muhammad Jidin, Prof. Dr. M. Mardan, Dr. Suryadinata, Dr.
Iskandar, dan Dr. Slamet, rekan-rekan diskusi sewaktu tinggal
di Kairo, Mesir.
Terima kasih disampaikan kepada Adib Abd. Shomad,
PhD, Dr. Agam Syarifudin, Dr. Abdullah Arifin (Gus Aab),
Dr. Abdullah Faqih, Dr. KH Fakhrur Rozy, Dr. Marjuni
Kusnun, Aminudin Aziz, Ibu Nyai Rizma Ilfi Yahya, Nurul
Hamidah, Mukhlishoh dan Bella Moulina kawan kawan
seperjuangan waktu program IVLP di USA.
Ayahanda Mohammad Omon yang pertama kali
mengajarkan ilmu nahwu, sharaf, fiqh dan tauhid dan
menunjukan penulis akan pentingnya ilmu pengetahuan.
Ibunda Esin Quraisin yang telah mengajarkan penulis tentang
kesederhanaan. Terima kasih kepada mertua penulis KH. Ali
Muntaha dan Hj. Umi Chadijah.
The last but not least, Layly Atiqah istri tercinta yang setia
memotivasi terus-menerus demi terwujudnya tulisan ini di
sela-sela waktunya mengajar selalu menyempatkan menjalin
komunikasi dua putri belahan hati tersayang, Adila Tara NDA
vii
dan Nur „Adli Sania AS.
Kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan tulisan ini.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah khazanah
pengetahuan khususnya di bidang penafsiran al-Qur‟an dan
umumnya khazanah ilmu-ilmu keislaman.
Salatiga, 5 Mei 2016
Peneliti,
viii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... v
Daftar Isi ..................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian ................................................. 3
C. Dasar Pemikiran Hermeneutika Pembebasan .............................. 4
D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu ..................................... 17
E. Metodologi Penelitian .................................................................. 20
BAB II.................................................................................................................. 25
KONSTRUKSI TEORI SOSIO-TEMATIK ................................................. 25
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN................................................................ 25
A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika al-Qur’an ........................ 25
B. Hermeneutika sebagai Aksiomatika ............................................ 30
C. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur’an .................................. 38
D. Urgensi Hermeneutika Al-Qur‘an ...................................................... 71
E. Teori Analisis Teks dan Orientasinya ................................................ 76
BAB III ................................................................................................................ 99
SOSIO-TEMATIK HERMENEUTIKA ALQURAN
TERHADAP SABAR ....................................................................................... 99
ix
A. Identifikasi Ayat-Ayat tentang Sabar ........................................... 99
B. Susunan Ayat-Ayat Sabar berdasar Tartib Nuzul (urutan
turun surat) 107
C. Penelusuran Sabar dalam Hadis ................................................ 131
D. Penelusuran Semantik Sabar ..................................................... 142
E. Sabar dalam Tafsir al Quran ....................................................... 146
F. Kandungan Makna dan Nilai Sabar ............................................ 154
G. Macam dan Pembagian Sabar ................................................... 159
H. Menumbuhkembangkan Akhlaq Sabar dalam Kehidupan ........ 169
BAB IV .............................................................................................................. 177
POTRET SIKAP NRIMA DALAM SOSIO-KULTURAL
MUSLIM JAWA ........................................................................................... 177
A. Sikap Nrima Pribadi Seorang Santri yang Kaya .......................... 177
B. Sikap Nrima Pribadi Orang Sederhana ....................................... 182
C. Sikap Nrima Pribadi Status Sosial Kaya Secara Materi ............... 186
D. Konsepsi Nrimo Pribadi Sukses .................................................. 189
E. Sikap Nrima Pribadi Santri Buruh Tani Miskin Pedesaan ........... 191
F. Sikap Nrima Pribadi Pembantu Rumah Tangga, Sosok
Miskin Kota 197
G. Sikap Nrima pada Pribadi Santri Kota yang Sederhana ............. 203
H. Sikap Nrima Pribadi Seorang Politisi Perempuan ...................... 215
I. Sikap Nrima Pribadi Seorang Perempuan Sebagai Kepala
Keluarga 218
J. Sikap Nrima Pribadi Perempuan Karena Suami Sakit
Permanen 226
BAB V ............................................................................................................... 232
x
REFLEKSI ......................................................................................................... 232
A. Memahami Nrima dalam Kultur Muslim Jawa .......................... 232
B. Memahami Spiritualitas Sabar dan Istiqaamah ......................... 235
BAB VII ............................................................................................................ 240
PENUTUP........................................................................................................ 240
A. Simpulan .................................................................................... 240
B. Saran –Saran .............................................................................. 244
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 245
RIWAYAT HIDUP PENULIS ................................................................... 257
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk social tidak terlepas dari
masalah sosial yang mengitarinya. Cara mereka beragam
dalam menghadapi masalah yang didapatkannya. ada yang
menjadikan masalah sebagai tantangan dan ada juga sebagai
rintangan. Menjadikan masalah sebagai rintangan atau
halangan sering mereka mengatakan sebagai bencana.
Bencana, sebagai kata lain dari musibah dipahami
sebagai peristiwa yang tidak dikehendaki yang menimpa
seseorang. Ketika bencana sudah terjadi kebanyakan orang
mengatakannya sebagai musibah yang harus diterima dengan
sabar. Kebanyakan dari masyarakat Islam mengatakan sabar
dengan kata menarima atau dalam praktek tradisi jawa
sebagai sikap narima.
Al-Quran diyakini sebagai pedoman hidup umat
Islam. Bahkan al-Quran sendiri mengatakan sebagai
petunjuk kehidupan bagi seluruh manusia (Hudan li al-nas).
Oleh karena itu, ketika merujuk kepada al-quran ternyata
2
banyak ditemukan kata sabar. Dari sekian banyak kata sabar
yang ada dalam al-quran ternyata kata itu tidak menunjukkan
adanya sikap menarima yang besikap pasif melainkan semua
menunjukkan sikap aktif.
Peneliti menggunakan analisis hermeneutika
pembebasan sosiotematik kata sabar sebagai perilaku narima
masyarakat muslim atas segala bencana yang menimpa.
Analisis ini sering digunakan untuk mengungkap berbagai
tradisi yang sudah mengakar di masyarakat guna tetap
menjaga tradisi tetapi dengan pembacaan baru. Harapannya
tetap menjaga tradisi yang baik dengan sentuhan pemahaman
masa kini.
Berdasarkan perspektif analisis di atas peneliti
melihat antara praktek sikap narima dengan sabar adalah
sesuatau yang sangat berbeda. Konsep sabar yang ada dalam
alqur‘an dipahami sebagai sesuatu yang aktif sementara
sikap narima memperlihatkan sikap bersifat pasif. Hal di atas
menjadi masalah dan bagi peneliti menimbulkan kegelisahan
yang bersikap akademis. Karena ada gap antara yang
seharusnya dengan yang terjadi pada realitannya, maka
penulis mennjadikannya sebagai latar belakang dalam
meneliti ini.
Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang
menekuni dan mendalami penelitian semacam ini. Untuk itu,
3
penelitian dengan objek seperti diutarakan di atas akan
menjadi lahan kajian yang menarik di tengah masyarakat
yang selalu apatis dan pesimis dalam menghadapi segala
problema kehidupan.
B. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian
Peneliti akan mengutarakan permasalahan pokok.
Persoalannya seputar pendekatan sosio-tematik hermeneutika
pembebasan terhadap konsepsi sabar dalam al-qur‘an sebagai
prilaku narima masyarakat jawa muslim atas segala bencana
yang menimpa. Supaya penelitian terfokus maka berikut
pemaparan pokok yang dibuat berupa pertanyaan.
1. Apakah makna sikap narima dalam tradisi prilaku
masyarakat Jawa secara umum?
2. Bagaimana pendekatan Sosio-tematik Hermeneutika
Pembebasan mengungkap konsepsi sabar dalam al-
Qur‘an?
3. Bagaimana akibat misinterpretasi sabar terhadap
sikap narima?
Untuk mengungkap data tentang makna sikap nrimo
dalam dalam tradisi prilaku masyarakat Jawa secara umum.
4
1. Untuk mengetahui bagaimana pendekatan sosio-
tematik hermeneutika pembebasan mengungkap
konsepsi sabar dalam al-Qur‘an.
2. Untuk menemukan data sejauh mana akibat
misinterpretasi sabar terhadap sikap narima.
C. Dasar Pemikiran Hermeneutika
Pembebasan
Peneliti menarima sebagian gagasan baik
hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan
disiplin tentang teknis penafsiran, maupun hermeneutika
filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran.
Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus
juga memperbincangkan dua dimensi lainnya, yakni sejarah
teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan.
Peneliti beranggapan bahwa hermeneutika bukan
sekedar ―sains penafsiran‖ atau teori pemahaman belaka,
melainkan, anggota kompehensif tentang sejarah teks,
intepretasi, dan prakteknya dalam mentransformasikan
kenyataan sosial. Menurutnya, hermeneutika adalah ilmu
yang menjelaskan penarimaan wahyu sejak dari tingkat
perkataan sampai pada tindakan nyata di dunia (Hanafi, 1999:
5
1). Hermeneutika merupakan ilmu tentang proses wahyu dari
huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, kehidupan
manusia.
Hermeneutika ini tidak dibatasi pada perbincangan
mengenai model-model pemahaman tertentu atas teks
semata, tapi lebih jauh lagi, berkaitan juga dengan
penyelidikan sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya
hingga penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia.
Menurutnya, proses interpretasi menempati posisi kedua,
setelah kritik sejarah1.
Menurut Peneliti, prasyarat pemahaman yang baik
terhadap suatu teks kitab suci adalah dengan terlebih dahulu
membuktikan keasliannya melalui kritik sejarah. Sebab jika
tidak, pemahaman terhadap teks yang palsu akan
menjerumuskan orang pada kesalahan, sekalipun, misalnya,
tafsirannya benar mengenai kandungan teks palsu tersebut.
Setelah memperoleh keaslian teks, barulah hermeneutika
dalam pengertian ilmu pemahaman bisa dimulai.
Menurutnya, pada titik ini, hermeneutika berfungsi sebagai
ilmu yang berkenaan dengan bahasa dan keadaan-keadaan
sejarah yang melahirkan teks. Setelah mengetahui makna
yang tepat dari sebuah teks, segera diikuti dengan proses
menyadari teks ini dalam kehidupan manusia. Sebab, pada
1 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1
6
dasarnya, tujuan akhir sebuah teks wahyu adalah bagi
transpormasi kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam bahasa fenomenologis, dapat dikatakan
bahwa hermeneutika adalah ilmu yang menentukan
hubungan antara kesadaran dan objeknya, yakni kitab-kitab
suci. Pertama, kita memiliki kesadaran historis yang
menentukan keaslian teks dan tingkat kepastiannya. Kedua,
kita memiliki kesadaran eidetik yang menjelaskan makna
teks dan menjadikannya rasional. Ketiga, kesadaran praktis
yang menggunakan makna tersebut sebagai dasar teoritis
bagi tindakan dan mengantarkan wahyu pada tujuan akhirnya
dalam kehidupan manusia di dunia ini sebagai struktur ideal
yang mewujudkan kesempurnaan dunia.
Dengan tiga fase analisis ini, Peneliti mengharapkan
hermeneutika pembebasan dapat bersifat teoritik sekaligus
praktis. Perbincangan yang berpusat pada penafsiran teks, di
satu sisi, dan pada metodologi tanpa maksud praktis, di sisi
lain, benar-benar perlu dihindari.
Hermeneutika sebagai aksiomatika menurut peneliti
harus pula menjadi jalan tengah antara kutub umum dalam
penafsiran: penafsiran praktis dan filosofis. Penafsiran
praktis, sebagai analisis filologi murni terhadap teks yang
erat kaitannya dengan philologi sacra.2 Penafsiran semacam
2 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2-3
7
ini menurutnya, tidak akan memperbincangkan masalah-
masalah prinsipil dalam penafsiran, kecuali memusatkan diri
pada detail-detail yang sama sekali tidak membuat teks
menjadi lebih asli, jelas, maupun praktis.
Sementara itu hermeneutika filosofis menurutnya,
kembali pada subjektivitas penafsir, sebuah istilah yang
digunakannya untuk menunjukkan masalah yang terfokus
pada problem pembacaan, yang menyerap teks kedalam
perbincangannya sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat
ekstrovert, maka hermeneutika filosofis cenderung lebih
introvert.
1. Kritik Historis
Keaslian sebuah kitab suci tidak tercipta karena
adanya keyakinan, tetapi merupakan hasil kritik sejarah.
Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata
berbau teologis, filosofis, mistik, spritiual, atau bahkan
fenomenologis. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh takdir
Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama atau pranata
sejarah apa pun.
Menurut Peneliti ada dua pola jenis kata-kata
sebagai berikut ini. Pertama, metode transferensi tertulis (al
naql al maktûb) dan kedua, metode transferensi oral (al naql
al syafâhî). Melalui jalan metode transferensi tertulis
adalah seperti penulisan al Quran dan melalui jalan metode
8
oral adalah seperti diteransferensikannya hadits atau al
sunah3.
1. Pola kata-kata dengan metode transferensi tertulis
dalam Kitab suci seperti al Quran
Kata-kata yang diucapkan oleh Nabi yang
didiktekan kepadanya oleh Tuhan melalui malaikat dan
langsung didiktekan oleh Nabi kepada penyalinnya pada saat
pengucapan dan dengan demikian menyimpannya dalam
tulisan sampai sekarang. Kata-kata ini merupakan wahyu in
verbatim persis sama dengan kata-kata yang diucapkan
pertama kali4.Wahyu ini tidak melewati masa pengalihan
secara lisan; tetapi ditulis pada saat pengucapannya. Menurut
Peneliti, tak satu pun kitab suci dalam tradisi kitab suci sejak
Kitab Taurat yang memenuhi persyaratan ini kecuali Kitab
suci al Quran. Hanya al Quranlah yang ditulis pada saat
diturunkannya. Bagi Peneliti, wahyu pada hakekatnya
merupakan firman Tuhan yang diberikan kepada Nabi in
verbatim dan harus disampaikan kepada manusia secara in
verbatim pula. Meskipun demikian, hermeneutika sebagai
kritik sejarah tidak berurusan dengan wahyu in verbatim
ketika masih dalam pemikiran Tuhan atau sebelum
3 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549
4 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5
Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al Quran, Bandung:
Mizan, cet Ke-2, 1992 hlm. 122. Menurut Quraish Sihab, atas dasar ini
kedudukan al Quran dari segi otentisitasnya bersifat qath‟iy al wurûd
9
diturunkan kepada Nabi-Nya. Hermeneutika baru berfungsi
setelah Nabi menyampaikan wahyu tersebut dalam sejarah.
Karena al Quran ditujukan bagi manusia, maka
konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan
wahyu pada tahap metafisika, seperti tentang substansi logos
(Kalam Tuhan) atau masalah cara-cara pewahyuan, tetapi
berurusan dengan pada tahap teks dan produktivitas
(penafsiran) teks5. Dalam hal ini, pendefinisian al Quran
sebagai Kalam Allah yang bersifat Qadim (dahulu) dan azali
atau bersifat Hadits (baru) dan makhluq hal ini dianggap
tidak relevan diperbincangkan di sini. Dalam bahasa yang
lebih fenomenologi, metafisika al Quran diletakkan dalam
tanda kurung (apoche), tidak diafirmasi, namun tidak
ditolak6.
Keaslian wahyu dalam sejarah, menurut Peneliti,
ditentukan oleh tidak adanya syarat-syarat kemanusiaan di
dalamnya. Kata-kata yang diterima Nabi dan didiktekan
langsung oleh Tuhan melalui malaikat, langsung pula
didiktekan oleh Nabi kepada para penyalinnya pada saat
pengucapan dan lestari sampai saat ini dalam tulisan (al
Quran). Pada kasus al Quran, wahyu ditulis in verbatim yang
secara harfiah dan kebahasaan, persis sama dengan yang
5 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69
6 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 1, hlm. 495
10
diucapkan Nabi. Prasarat lain bagi kesempurnaan teks
dalam sejarah adalah keutuhannya. Artinya wahyu
disimpan dalam bentuk tertulis tanpa mengalami
pengurangan dan penambahan apa pun dalam sejarah7.
2. Pola kata-kata yang berupa Hadits
Kata-kata yang diucapkan Nabi yang datang dari
Nabi sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan atau
memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tetap
harus dilakukan agar sesuai maksud Tuhan. Pola kedua ini
dapat berupa kata-kata, perbuatan atau izin yang diberikan
Nabi tetapi tidak pernah berupa mimpi, bayangan atau
perjumpaan langsung dengan Tuhan.
Demi menjamin otentisitas wahyu yang in verbatim
tersebut, Hassan membedakannya dari kata-kata yang juga
berasal dari Nabi tetapi bukan merupakan wahyu yang
didiktekan langsung oleh Tuhan yang kemudian disebut al
hadits. Materi ini berasal dari buah pikiran Nabi sendiri
tentang ide tertentu atau dalam rangka memberi petunjuk
pelaksanaan dari wahyu in verbatim.
2. Kritik Eidetis
Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi
menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat
melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia
7 Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7
11
sebut sebagai kritik eidetis. Peneliti sendiri tidak
menjelaskan pengertian eidetis --sebuah istilah
fenomenologi—kecuali dikaitkan dengan proses
interprestasi.8 Jika tafsiran penulis tidak salah, barang kali
kritik eidetis dalam pemikiran Peneliti merupakan analisis
fenomenologi teks seutuhnya sebagaimana yang ditangkap
oleh kesadaran penafsir untuk memperoleh hakikat
pemahaman yang benar mengenai fenomena tersebut.
Peneliti menjelaskan bahwa fungsi kesadaran eidetis
adalah memahami dan menginterpretasi teks setelah
validitasnya dikukuhkan oleh kesadaran historis. Kesadaran
eidetik juga merupakan bagian terpenting dalam ilmu ushul
fiqh karena melalui mediasinya proses inferensi ketentuan-
ketentuan hukum dari dasar-dsarnya yang empat menjadi
sempurna dan komprehensip9. Metode yang disediakan
berfungsi untuk menganalisis fenomena dicangkokkan oleh
Peneliti ke dalam hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena
8 Lazimnya dalam fenomenologi, dikenal istilah ―reduksi iedetik‖
dan visi eidetik‖ yang bersifat positif, yang dibedakan dari reduksi
fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologis
menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau
kebenaran, maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari
eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam
fenomena tersebut (Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 117) 9 Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm.78 Menurutnya, kritik
Eidetik ini merupakan bagian yang merepresentasikan kesungguhan dan
kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi alegoris
karena di dalam dasar-dasar itu tidak ada tempat masuk bagi manusia
Hassan Hanafi, Dirasat Islamiyah, hlm. 78)
12
itu objeknya adalah teks dan maknanya sebagaimana yang
ditangkap oleh kesadaran. Suatu penafsiran, menurutnya,
harus menghindarkan diri pada pengulang-ulangan
prasangka tertentu dari dogma. Karena hal ini akan
menjerumuskan suatu penafsiran ke dalam dugaan-dugaan
semata. Seorang penafsir harus memulai pekerjaan dengan
tabula rasa, tidak boleh ada, kecuali analisis linguistiknya10
.
Apa yang dimaksud Peneliti sebagai tabula rasa di sini
agaknya harus dipahami secara fenomenologis. Dalam
fenomenologi, kesadaran bukanlah kesadaran murni
sebagaimana dalam rasionalisme, tapi selalu merupakan
kesadaran yang terarah atau ―kesadaran akan ……sesuatu‖11
Kritik eidetis, menurut Peneliti, berada pada tiga
level atau tahap analisis. Pertama, pada analisa bahasa;
kedua, analisa konteks, sejarah; dan ketiga, generalisas.
10
Mengutip Bergson, Hassan Hanafi menyebut penafsiran-
penafsiran yang penuh dengan stereotype dan memproyeksikannya ke
dalam makna peristiwa sejarah kekinian sebagai le mouvement
rétrograde au vrai (kembali pada hakekat benda-benda) atau le mirage
du présent au passe (proyeksi masa kini ke dalam masa lalu). Dalam
sejarah hermeneutika kitab suci, penafsiran jenis ini banyak ditemukan
dalam penafsiran tipologis terhadap Injil. (Hassan Hanafi, Religious
Dialogue and Revolution, hlm. 13. 11
Seperti dijelaskan K. Bertern bahwa menurut Husserl, kesadaran
menurut kodratnya terarah pada realitas yang dapat disebut sebagai
―Intersionalitas‖. Disamping itu, kesadaran juga ―mengkonstitusi‖
realitas. Konstitusi dimaksudkan sebagai proses tampaknya realitas pada
kesadaran. Dengan demikian, dalam fenomenologi, kesadaran sejajar
dengan realitas. (K. Bertern, Filsafat Barat Abad X Inggris-Jerman, hlm.
101)
13
2.1 Tahap Analisis Kebahasaan
2.1.1 Analisis Linguistik
Analisis linguistik terhadap kitab suci memang
bukan dengan sendirinya merupakan analisis yang baik,
demikian diakui Peneliti. Tapi ia merupakan alat sederhana
yang membawa kepada pemahaman terhadap makna kitab
suci. Misalnya fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang
mengawasi pembacaan teks. Walaupun demikian,
menurutnya, fenologi ini masih berada dibawah bidang
makna.
2.1.2 Analisis Sintaksis
Morfologi berfungsi menjelaskan bentuk kata
berikut implikasi maknanya akibat perbedaan penggunaan
kata. Leksikologi, di lain pihak, menjelaskan jenis-jenis
makna: ―makna etimologi‖, ―makna biasa‖, ―makna baru‖.
Makna etimologis adalah makna dasar. Makna biasa adalah
makna yang mengikat wahyu pada penggunaan kata dalam
suatu masyarakat, ruang, dan waktu tertentu12
.
Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai
dengan yang dimaksud oleh situasi khusus. Sementara
makna baru yang diberikan wahyu adalah makna yang tidak
terkandung dalam makna etomologis, maupun makna biasa.
Makna yang terakhir ini yang menjadikan dasar turunnya
12
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14
14
wahyu. Makna baru berfungsi memberi petunjuk bagi
tindakan dan merupakan dorongan baru bagi manusia. Oleh
karena itu, kandungan maknanya sama sekali bebas dari hal-
hal yang misterius, tetapi justru merupakan makna alamiah,
rasional, dan jelas, kandungan makna baru dimaksudkan
untuk membebaskan manusia dari usaha-usaha mencari teori
agar manusia dapat memusatkan diri pada perhatian pada
praktik.
Sementara itu, sintaksis yang bagi Peneliti
merupakan kunci sesungguhnya dari kegiatan penafsiran
dalam tahap ini dan berguna untuk menyingkap prinsip-
prinsip makna ganda dalam teks. Kajian sintaksis ini seperti
terlihat pada makna haqîqah (makna harfiyah) dan makna
majâz (kiasan); istilah-istilah mubayan (univokal), dan
mujmal (ekuivokal); mubham (makna samar) dan al nash
(makna yang tepat); al zhahir (makna yang tampak) dan al
muawwal (makna
yang tersembunyi); al „am (makna umum) dan al khash
(makna khusus); al amr (perintah) atau al nahy (larangan).
2.2 Tahap Analisis Kesejarahan
Di samping prinsip-prinsip kebahasaan di atas, pada
level berikutnya, penafsiran harus juga memusatkan diri pada
latar belakang sejarah yang melahirkan teks. Menurut Hassan
Hanafi, terhadap dua jenis situasi, yakni ―situasi saat‖ atau
15
―contoh situasi‖ dan ―situasi sejarah‖. Situasi saat adalah
kasus dimana teks diturunkan yang menjadi subtratum bagi
wahyu. Dalam wahyu yang ditulis in verbatim, situasi
tersebut adalah situasi saatnmya. Sementara situasi sejarah
terjadi ketika teks tidak ditulis in verbatim atau yang ditulis
bukan berupa wahyu, tapi inspirasi mengenai wahyu (tafsiran
seperti dalam injil, atau komentar seperti dalam al-hadits)
tertentu dalam sejarah yang ditulis oleh para penulis wakyu
pada masa berikutnya.
2.3 Tahap Generalisasi
Setelah makna linguistik dan latar belakang sejarah
ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi disini berarti
mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya
agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap
terakhir ini, Peneliti menginginkan diperolehnya makna baru
dari kegiatan penafsiran yang berguna untuk menyingkap
beragam kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat.
3. Kritik Praktis
Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka
jalan bagi kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika
aksiomatika. Hermeneutika pembebasan semenjak awal
memang merupakan cara baca al Quran dengan maksud-
maksud praktis. Dengan kepentingan semacam ini,
16
hermeneutika menurut Peneliti jelas menaruh perhatian besar
pada transformasi masyarakat.
Hermeneutika Peneliti melampaui tafsir historis
yang digunkan banyak ahli tafsir. Seolah-olah al Quran
hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu tertentu saja
karena menampilkan peristiwa-peristiwa masa lalu. Kami
menurut Peneliti membangun tafsir perseptif (al tafsîr al-
syu‟îirî) agar al Quran dapat mendeskripsikan manusia,
hubungannya dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia,
kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial, dan
politik13
. Hermeneutika sebagai metode melampaui tafsir
ayat per ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris
dan mengulang-ulang. Menurut Peneliti, kita bangun tafsir
tematis dengan menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan
dianalisis begitu rupa sehingga muncul konsep universal
tentang Islam, dunia, manusia dan sistem sosial.
Menurutnya, lebih lanjut kami tegakkan tafsir revolusioner
dengan mentransformasikan akidah menjadi ideologi
revolusi.
Kritik historis, analisis makna dan praktis teks ke
dalam realitas dalam pandangan Peneliti tidak lain
merupakan konsekuensi logis dari objek analisis
hermeneutika aksiomatis, yakni teks-teks suci. Sementara
13
Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmy, hlm. 19.
17
terhadap teks-teks lain, seperti teks sastra, analisisnya hanya
perlu pada tahap historis dan eidetis. Bahkan dalam banyak
kasus yang dibutuhkan hanyalah masalah terakhir. Keaslian
teks sastra harus selalu diterima, kecuali pada teks-teks kuno.
Hal ini tidak dengan sendirinya menunjukkan bahwa
hermeneutika sacra berbeda dari hermeneutika umum
(general hermeneutics), sebab pada dasarnya yang pertama
tetap merupakan bagian yang terakhir. Hanya saja, dalam hal
objek penafsiran, hermeneutika sacra menampilkan spektrum
analisis yang lebih luas, mengingat pemahaman pada suatu
kitab suci tidak mungkin melepaskan diri dari masalah
otentisitas, pemahaman maknanya, dan realisasi pemahaman
tersebut dalam dunia nyata.
D. Tinjauan Terhadap Penelitian Terdahulu
Penelitian berkenaan dengan tema sabar oleh peneliti
lain memang sudah banyak tetapi yang diangkat secara
spesifik bagaimana pemahaman Muslim Jawa trentang Sabar
belum ada yang melakukan penelitian tentang itu. Sama
belum dilakukan oleh banyak kalangan tentang sikap narima
sebagai pemahaman tentang sabar. Namun demikian, sebagai
bahan pertimbangan akan peneliti sampaikan judul-judul
penelitian yang berbicara seputar sabar dan sikap narimo.
18
Beberapa tulisan tentang Lebaran di antaranya sebagai
berikut di bawah ini.
Konstruk Psikologi Kesabaran dan Perannya dalam
Kebahagiaan Seseorang oleh El Hafiz, F Rozi, I Mundzir, L
Pratiwi - lemlit.uhamka.ac.id:
Makna Kesabaran dalam Islam: Sabar adalah sebuah istilah
yang bersumber atau diambil dari bahasa Arab, yaitu berasal
dari kata shobaro yang kemudian membentuk masdar atau
infinitif menjadi shabaran. Sementara itu, sabar dari segi
bahasa artinya 'menahan dan mencegah'. Makna sabar ini
juga diperkuat dalam Al-Quran Surat Al-Kahfi i ayat 28,
yaitu:
"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas. (Q.S. Al-Kahfi i: 28)
Perintah untuk bersabar yang terkandung dalam ayat
tersebut maknanya yaitu senantiasa menahan diri dari
keinginan untuk keluar dari kelompok orang-orang penyeru
Rab-nya dan selalu mengharap keridaan-Nya. Perintah
19
bersabar dalam surat tersebut juga sekaligus untuk mencegah
keinginan manusia yang berniat bergabung dengan orang-
orang yang lalai mengingat Allah Swt. Sabar dari segi istilah
dapat diartikan menahan diri dari sifat gundah serta dari rasa
emosi, menahan lisan atau perkataan dari keluh kesah, dan
menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan-perbuatan
yang dilarang Allah. Macam-macam Sabar Dalam al-Qur‘an
Aspek kesabaran sangat luas, lebih luas dari apa yang selama
ini dipahami oleh orang mengenai kata sabar. Imam al-
Ghazali berkata, ―Bahwa sabar itu ada dua; pertama bersifat
badani (fisik), seperti menanggung beban dengan badan,
berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Yang
kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari
syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu.
Bentuk kesabaran ini (non fisik) beraneka macam; Jika
berbentuk sabar (menahan) dari syahwat perut dan kemaluan
disebut iffah Jika di dalam musibah, secara singkat disebut
sabar, kebalikannya adalah keluh kesah. Jika sabar di dalam
kondisi serba berkucukupan disebut mengendalikan nafsu,
kebalikannya adalah kondisi yang disebut sombong (al-
bathr) Jika sabar di dalam peperangan dan pertempuran
disebut syaja‘ah (berani), kebalikannya adalah al-jubnu
(pengecut Jika sabar di dalam mengekang kemarahan disebut
lemah lembut (al-hilmu), kebalikannya adalah tadzammur
20
(emosional) Jika sabar dalam menyimpan perkataan disebut
katum (penyimpan rahasia)Jika sabar dari kelebihan disebut
zuhud, kebalikannya adalah al-hirshu (serakah).
Demikian sekilas pembahasan tentang sabar di
berbagai literatur yang ada. Belum ada satupun penelitian
yang memusatkan penelitiannya kepada sikap narima dalam
tradisi Jawa Muslim sebagai sikap sabar seperti yang ada
dalam pemahan dengan pendekatan sosio tematik
hermeneutika pembebasan atas konsep sabar dalam al-quran.
Hal inilah yang menjadi fokus penelitian yang diajukan di
penelitian Unggulan dosen IAIN Salatiga tahun 2015.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan Sosio tafsir al-Qur‘an Tematik.
Penelitian ini memadukan data yang diperoleh dari penelitian
library research dan field research. Data lapangan dirancang
untuk melihat apa yang sesungguhnya sudah dipraktekan
warga terhadap apa yang selama ini mereka pahami tentang
materi dari kajian-kajian yang diperoleh mereka dari
pemahaman al-quran tentang sabar.
Untuk memperoleh data autentik peneliti terlibat
langsung dalam kehidupan social mereka lalu mencari
sumber yang dapat dipercaya dari berbagai sumber tafsir al-
21
quran tentang sabar dan tradisi sikap masyarakat jawa
tentang sikap narima. Jadi dengan demikian, kekuatan
penelitian ini terletak pada akurasi pemahaman ayat tentang
sabar yang diperoleh dari berbagai tafsir yang sudah ada
kemudian ditambahkan hasil hermeneutika pembebasan
tentang sabar dan bagaimana realitas di lapangan kehidupan
yang sesungguhnya memahami tentang sabar.
Penelitian didesain dalam rentang waktu satu
semester sekitar lima-enam bulan. Asumsinya bahwa waktu
dua bulan dipakai untuk penelitian lapangan dua bulan
penelitian library research satu bulan untuk penulisan dan
pengujian laporan. Adapun waktu penilitian akan kami
rancang dari bulan Juni sampai Oktober 2015.
Langkah-langkah Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis
menggunakan metode deskriptif yaitu mengumpulkan,
mempelajari, membandingkan dan menganalisa masalah
yang ada kaitannya dengan konsep saling memaafkan dalam
al-Qur‘an. Data-data di atas sosio tematik sabar kemudian
dikupas menggunakan pendekatan pisau analasis
hermeneutika pembebasan. Sedangkan tehnik penelitiannya
menggunakan tehnik Book Survey (penelitian Literatur)
Adapun cara-cara yang akan ditempuh adalah sebagai
berikut:
22
1. Menghimpun dan mengumpulkan ayat-ayat tentang
sabar dalam al-Qur‘an;
2. Menyusun ayat-ayat tentang sabar sesuai urutan turun
(tartib nuzul) suratnya masing-masing;
3. Mempelajari dan menelaah latar belakang dan setting
historis (Asbab al-nuzul) ayat-ayat tersebut dalam
suratnya masing-masing;
4. Mempelajari literatur-literatur baik yang berupa kitab
tafsir atau buku-buku pengetahuan lain yang
mendukung pada pembahasan inti;
5. Mengkaji dan menganalisa masalah yang sedang
dibahas;
6. Membuat kesimpulan-kesimpulan.
Al-Qur‘an al Karim itu laksana samudera yang
keajaiban dan keunikannya tidak akan pernah sirna di telan
masa, sehingga lahirlah bemacam-macam Tafsir yang
beraneka ragam pula. Kitab-kitab tafsir yang memenuhi
perpustakaan merupakan bukti nyata yang menunjukkan
betapa tingginya semangat dan besarnya perhatian para
ulama untuk menggali dan memahami makna-makna
kandungan kitab suci al-Qur‘an al-Karim tersebut.
Para ulama telah menulis dan mempersembahkan
karya-karya mereka di bidang tafsir ini dan menjelaskan
metode-metode yang pernah dipergunakan. Meode-metode
23
tafsir yang dimaksud adalah: metode Tahlily, metode Ijmaly,
metode Muqaran dan metode Maudlu‟iy.
Metode Maudlu‟iy atau tafsir tematik adalah suatu
metode tafsir dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai satu makna dan menyusunnya di bawah satu
judul bahasa (farmawi,1994:34).
Dr. Abd. Hayy Farmawi sorang guru besar pada
Fakultas Usuludin Al Azhar, mengemukakan secara
terperinci langkah-langkah tersebut ialah:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas;
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut;
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai dengan pengetahuan tentang asbab al nuzulnya;
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya
masing-masing;
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna;
6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang
relevan dengan pokok pembahasan;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian
sama, atau mengkompromikan yang ‗am dan yang khash,
yang mutlaq dengan yang muqayyad, yang tampak lahirnya
24
bertentangan sehingga kesemuanya bertemu pada suatu
muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
Seperi yang dituturkan Quraisy Shihab dalam buku
monumentalnya, Membumikan Al-Qur‟an, dia mengatakan
bahwa metode maudlu‘iy ini memiliki keistimewaan di
antaranya: kesimpulan yang dihasilkannya mudah difahami.
Dengan metode ini dapat dibuktikan bahwa persoalan yang
disentuh al-Qur‘an bukan bersifat teoritis semata-mata dan
atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak
anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-
Qur‘an.
25
BAB II
KONSTRUKSI TEORI SOSIO-
TEMATIK
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
A. Kemunculan Pemikiran Hermeneutika al-
Qur’an
Pemikiran hermeneutika pertama kali dikemukakan
pada paruh kedua dekade 1960-an, ketika Hassan Hanafi
menulis tesis dan disertasinya. Kedua karya itu Les
Me‟thodes d‟Exe‟ge‟se, Essai sur la Science des Fondements
de la Compre‟hension, elm Usul al Fiqh dan L‟Exe‟ge‟se de
la Phe‟nome‟nologie L‟e‟tat actuel de la me‟thode
phe‟nome‟nologique, juga La Phenomenologie de
L‟Exe‟ge‟se, Essai d‟une Herme‟neutique Existentielle‟ a
Partir du Nouveau Testament. Awal tahun 1980 ia
mempublikasikan bukunya, Religious Dialogue and
26
Revolution 14
ditulis antara tahun 1972-1976, di dalamnya
ada pembahasan hermeneutika. Pembahasan hermeneutika
al-Qur‘an juga dapat ditemui dalam buku Dirâsât Islâmiyyah
bab Ushul Fiqh dan buku Dirâsât Falsafiyyah 15
terutama
pembahasan ―Qira`ah al Nash”. Pada tahun 1993, sebuah
simposium internasional di Belgia bertema Al-Qur‘an
sebagai Teks, Hassan Hanafi membahas ―Hermeneutika Al-
Qur‘an Tematik‖ yang kemudian tema ini dimuat dalam
buku Islam in The Modern World vol. I terbit tahun 2000.
Selain itu, pemikiran tafsir lain yaitu Manhaj Ijtimâ‟î. Karya
14
Buku ini terdiri dari dua bagian yaitu ―Dialog dan ―Revolusi‖.
Pada bagian pertama Hassan Hanafi, di antaranya membahas
―Hermeneutika Sebagai aksiomatika: Sebuah Kasus Islam‖ (berkaitan
dengan metodologi penafsiran); Pandangan Al-Qur‘an Terhadap Kitab-
kitab Suci‖ dan ―Status Wanita Menurut Al-Qur‘an dan Ajaran Yahudi‖
(Aplikasi metode penafsirannya). Pada bagian kedua termuat dua bagian,
pertama, dimulai dengan ―Teologi tentang Tanah‖ dan ―Agama Sebagai
Perlawanan Terhadap Zionisme‖, kedua, ―Agama dan Revolusi‖,
Meskipun terjadi perkembangan krusial dalam pemikiran Hassan Hanafi
pada tiga dekade terakhir, terlebih lagi setelah diproklamasikannya
gerakan Kiri Islam pada tahun 1981 yang ditandai dengan diterbitkannya
jurnal Al Yasâr Al Islâmi, tetapi perkembangan pemikiran hermeneutika
Al-Qur‘an-nya tidak terlalu signifikan. Perubahan terjadi dari apa yang
disebutnya dengan kesadaran Individu (al Wa‟yu al Fard) pada dekade
1960-1970, kepada dominannya kesadaran kolektif (al Wa‟yu al Ijtimâ‟î)
sejak dekade 1980. 15
Dalam buku ini Hassan Hanafi membagi dua pembahasan.
Bagian pertama, Fî Fikrinâ al Mu‘âshir) (Pemikiran-pemikiran Islam
Kontemporer) dan bagian kedua, ―Fî Fikr al Gharb al Mu‘âshir‖
(Pemikiran Barat Kontemporer) di bagian ini ada pembahasan ―Qir`ah al
Nash‖ (hlm. 523-549). Lihat Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, Kairo:
Anjilu al Mishriyyah, 1987.
27
Hassan Hanafi ini dapat ditelaah dalam Qadlâyâ Mu âshirah
bag. I, 16
dan Al Dîn wa al Tsaurah volume ke-7.17
Pada dasarnya, kesadaran untuk membangun
hermeneutika baru, awal mulanya terbentuk saat dia di
Prancis yaitu ketika mulai menulis proposal disertasi
doktornya tentang ―Metodologi Islam Komprehensif‖.
Namun, menurutnya proposal itu ditolak setelah
dikonsultasikan dengan promotornya dengan alasan studi
yang dia lakukan kurang terfokus.18
16
Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah vol. I, ―Fî Fikrinâ al
Mu‘âshir‖, Beirut: Dar al Tanwîr, 1983, hlm 175-186 terutama judul
―Hal Ladainâ Nazhariyah fî al Tafsîr‖, ―Ayyuhumâ asbaq: Nazhâriyah fî
al Tafsîr am Manhaj fî Tahlîl al Khabarât‖, serta ―‘Aud ilâ al Manba am
‗Aud ilâ Thabî‘ah‖ 17
Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah vol. 7, ―Al Yamîn wa al
Yasâr fî al Fikr al Dînî‖, Kairo: Maktabah Madbuli, 1989, hlm. 69-145,
terutama ―Mâdzâ ta‘nî Asbâb al Nuzûl‖; Manâhij al Tafsîr wa al
Mashâlih al Ummah‖ terutama bagian ketiga,‖ Al Manhaj al Ijtimâ‘î fi al
Tafsîr‖, Ikhtilâf fî al Tafsîr am Ikhtilâf fî al Mashâlih‖. (berkaitan dengan
metodologi), serta ―Al Mâl fî al Qurân‖ dan ―Al Jihâd‖ (berkaitan dengan
penerapan metodologi). 18
Rencana Hassan Hanafi dalam disertasinya akan
mereformulasikan Islam sebagai sebuah metode universal dan
komprehensif dalam kehidupan individu dan masyarakat yang dia
bangun dengan dua konseptualisasi pertama, konsep baku dari konsepsi
dan sistem dan kedua, konsepsi dinamis dari energi dan gerak. Formulasi
ini berdasarkan konvergensi wahyu sebagai sistem ideal bagi dunia dan
dunia sekuler sebagai sistem alamiah yang bermula dari wahdah al dzat
hingga wahdah al syuhûd dan wahdah al wujûd. Setelah dia diberitahu
bahwa itu adalah gagasan dari Immanuel Kant, dia disarankan
pembimbingnya untuk memfokuskan pada tokoh Kant saja dan bukan
Islam. Alasannya karena dia telah meletakkan gagasan problem wahyu
sebagai a priori dan pengetahuan manusia atau sekuler sebagai
aposteriori. (Hassan Hanafi, ‗Al Ushûliyyah al Islâmiyyah‘ dalam Al Dîn
28
Setelah Hassan Hanafi memutuskan untuk memilih
Henry Corbin sebagai pembimbing, dia disarankan untuk
merubah istilah Islam supaya menjadi lebih spesifik dengan
hanya hermeneutikanya saja dan menelaah al Bahr al Muhîth
karya al Zarkasyi. Tetapi dia terobsesi untuk menguak
konsep kesadaran perspektif ahlu al sunnah dalam kerangka
kebangkitan dan berdialog dengan realitas umat di Mesir.‖19
Hassan Hanafi memulai penulisan disertasinya
dengan terlebih dahulu membaca tuntas setiap tulisan tentang
filsafat Eropa, utamanya Prancis dan Jerman. Setelah
pembacaannya sampai kepada Edmund Husserl dan
mengenal tafsir fenomenologi yang menyatakan bahwa
permulaan kesadaran Eropa bermula dari kesadaran personal
dan budaya maka dia mengubah judul penelitiannya dengan
pertimbangan supaya lebih detail dan seksama.
Hassan Hanafi merubah judulnya menjadi Tafsir
Fenomenologi: ―Kondisi Aktual Metode Fenomenologi dan
Aplikasinya dalam Fenomena Keagamaan.‖ Menurutnya, dia
sengaja menggunakan pendekatan hermeneutika dalam
memahami fenomenologi dan perubahannya menjadi
wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6. Kairo: Maktabah Madbuli,
1989, hlm.228). 19
Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol.
ke-6, hlm.229.
29
fenomenologi aplikatif serta mengevaluasi penerapannya
pada fenomena keberagamaan.20
Sebagai antisipasi judul semakin mengembang,
Hassan Hanafi memutuskan untuk membuat bagian kedua
yang khusus membahas aplikasi metode fenomenologi dalam
fenomena tafsir. Akhirnya, ia membahas judulnya,
Fenomenologi tafsir: Sebuah upaya dalam tafsir
Eksistensialis. Kasus Kitab Perjanjian Baru‖ sebagai upaya
dialog antaragama dan peradaban.21
Ia mengkaji teks-teks
Kitab Perjanjian Baru dengan pendekatan Ushul Fiqh sambil
menjadikan komentar-komentar al-Qur‘an atas Injil sebagai
sesuatu yang telah diselewengkan, diubah dan diganti
sebagai hipotesis ilmiah yang masih membutuhkan
pembuktian validitasnya dalam sejarah.22
20
Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol.
ke-6, hlm. 233. 21
Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol.
ke-6, hlm.234. Dia menceritakan bahwa ujian disertasi bukanlah terminal
akhir melainkan, risalah atau pendapat yang harus diteruskan. Dia
menyatakan bahwa kesadaran barunya diawali dalam ―Metodologi
Penafsiran‘, dan kesadaran lamanya berakhir dalam ―Dari Tafsir
Fenomenologi Menuju Fenomenologi Tafsir‖ yang berarti permulaan
bangkitnya Timur dan berakhirnya Barat. Setelah dia menyelesaikan
ujian disertasi maka pada bulan Agustus 1966 dia pulang ke Mesir dan
menyatakan bahwa dia baru menyelesaikan jihad kecil dan akan
menghadapi jihad yang lebih besar (Hassan Hanafi, Al Dîn wa al
Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol. ke-6, hlm.235.) 22
Hassan Hanafi, Al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981. vol.
ke-6, hlm. 234.
30
B. Hermeneutika sebagai Aksiomatika
Hermeneutika sebagai aksiomatika dibermaksudkan
membangun sebuah metode yang bersifat rasional, obyektif
dan universal untuk memahami teks-teks Islam.,
“hermeneutics as Axiomatic”, hermeneutika sebagai
aksiomatika berarti deskripsi proses hermeneutika sebagai
ilmu pengetahuan yang rasional, formal, obyektif, dan
universal.23
Hubungan hermeneutika dengan kitab suci harus
seperti hubungan antara aksiomatika dan matematika. Seperti
aksiomatika, hermeneutika harus meletakkan semua
aksiomanya di muka dicoba lebih dahulu menyelesaikan
semua masalah hermeneutika tanpa mengacu pada data
revelata khusus.24
Jadi, hermeneutika sebagai aksiomatika
harus memainkan peranan yang sama dengan ―teori
keseluruhan‖ dan ―teori penjumlahan‖ dalam matematika.
Sehubungan dengan kitab suci, hermeneutika akan
menjadi semacam Mathesis Universalis. Aksiomatisasi
hermeneutika menurutnya, tidak mesti membutuhkan
perumusan matematis pada ilmu-ilmu tentang manusia. Ia
hanya perlu menyusun semua masalah yang dikemukakan
oleh sebuah kitab suci dan mencoba menyelesaikannya di
23
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Kairo: Anglo
Egyptian Bookshop, 1981, hlm. 2 24
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Ibid.
31
muka, in principil, terakhir meletakkan masalah dan
penyelesaian bersama-sama dalam bentuk aksiomatis.25
Selain merekomendasikan perlunya melakukan
perbincangan teoritis hermeneutika sebelum melakukan
kegiatan exeges --suatu hal yang sama sekali baru dalam
tradisi penafsiran klasik terhadap al-Qur‘an --Hassan Hanafi
sebenarnya juga menginginkan hermeneutika aksiomatis
bersifat positivistik.26
Bahkan, tujuan perbincangan teoritis
hermeneutikanya adalah dalam rangka aksiomatika, yakni
tidak lain untuk menciptakan sebuah disiplin penafsiran yang
obyektif, rigorus (tepat, akurat) dan universal. Seperti halnya
fenomenologi yang dirintis Edmund Hursserl, pendekatan ini
memang dimaksudkan sebagai disiplin yang apoditiktis,
yang tidak menginginkan keragu-raguan apa pun.27
Sejalan dengan kepentingan fenomenologi tersebut,
Hassan Hanafi meletakkan kritik sejarah dalam kaitannya
dengan teks-teks kitab suci sebagai maslaah teoritis yang
krusial. Sebab kritik sejarah berfungsi menjamin keaslian
firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi dalam sejarah,
baik melalui medium lisan maupun tertulis.28
Sementara
dalam proses interpretasi, , penafsiran harus beranjak dari
25
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, Ibid. 26
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2. 27
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman Jakarta:
Gramedia 1983 hlm 103. 28
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 14.
32
pemikiran yang kosong, seperti tabula rasa, di mana tidak
boleh ada yang lain selain analisis linguistik.29
Hanafi bukannya tidak sadar dengan tendensi
objectivistik dalam perumusan hermeneutikanya yang awal-
awal tersebut. Akan tetapi, ia sengaja menekankan hal ini
sebagai anti tesis terhadap raibnya penafsiran al-Qur‘an yang
otoritatif, yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang
memiliki tujuan ilmiah tertentu.30
Sebab menurutnya seperti
sudah dijelaskan sebelumnya, kebanyakan tafsir al-Qur‘an
tradisional terjebak dalam penjelasan tautologis dan repetitif
tentang tema-tema yang sama sekali tidak relevan.
Di samping itu, berharap dapat mengeleminasi
kesewenang-wenangan penafsir terhadap teks al-Qur‘an.
Karena baginya, hermeneutika mengajarkan metode yang
bersifat normatif dan karena itu, bukanlah seni yang
bergantung sepenuhnya pada kepandaian pribadi yang
menafsirkannya.31
29
Menurut Hassan Hanafi lebih lanjut, analisis linguistik terhadap
Kitab suci inipun bukan merupakan analisis yang baik, tetapi hanya
merupakan alat yang sederhana yang akan membawa kepada pemahaman
terhadap makna kitab suci. Hassan Hanafi memberikan contohnya bahwa
fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks,
tetapi masih berada di bawah bidang makna, sedangkan marfologi,
leksikologi dan sintaksis memperkenalkan langsung kepada masalah
makna (Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14). 30
Hassan Hanafi, Qadlâyâ, Muâshirah Vol.2, Beirut: Dar al
Tanwir, 1983, hlm. 176. 31
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 2.
33
Betapa banyaknya penafsiran al-Qur‘an yang berlaku
sewenang-wenang dengan memberlakukannya sebagai teks
filsafat, sastra, hukum, dan sebagainya. Hal mana telah
menimbulkan konflik laten sepanjang sejarah kehidupan
umat Islam. Belakangan, Hassan Hanafi merevisi sebagian
asumsinya tentang hermeneutika sebagai disiplin yang
rigorus dan positivistik tersebut. Kesadarannya tentang
proses kesejarahan manusia membawa kepada kesimpulan
bahwa ―tidak ada hermeneutika per se, absolut, dan
universal. Hermeneutika tidak selalu merupakan
―hermeneutika terapan‖ yang merupakan bagian dari
perjuangan sosial. 32
Pluralitas itu sendiri mencerminkan konstruksi
masyarakat, merupakan refleksi konflik sosial yang menjadi
dasar pemikiran manusia. Dalam hal ini, ia tidak lagi
berbicara hermeneutika dalam pengertian teoretiknya, tetapi
lebih mengarah pada historisitas hermeneutika tersebut,
yakni dipahami sebagai suatu produk pemikiran yang tidak
mungkin dicabut dari konteks di mana ia muncul dan untuk
apa ia dibangun.33
32
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208 33
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm 3.
Bandingkan dengan Iham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan.
Bandung: Teraju, 2002 hlm. 110.
34
Hermeneutika yang cenderung bersifat historis
hampir serupa dengan pendirian hermeneutika filosofis dan
diskursus pemikiran barat. Dalam hermeneutika jenis ini,
utamanya yang dikemukakan oleh Hans George Gadamer,
hermeneutika tidak lain merupakan diskursus tentang
fenomena pemahaman manusia itu sendiri, yakni
merefleksikan makna dan hakikat pemahaman dan proses
memahami pada diri manusia. Oleh sebab itu bagi Gadamer,
sebuah penafsiran tidak pernah lepas dari tradisi yang
dilestarikan lewat bahasa. Artinya, manusia tidak mungkin
memahami teks terlepas dari aspek linguistik yang bersifat
historis. Suatu penafsiran senantiasa didahului oleh
―prapaham‖ tertentu yang mencerminkan historisitas yang
meliputi manusia. Dengan sendirinya, suatu pencarian
makna obyektif akan sia-sia belaka. Sebaliknya, suatu
penafsiran merupakan ―kegiatan produktif‖ dan bukanlah
proses ―reproduksi‖ makna untuk menghadirkan makna asali
dalam kehidupan kekinian.34
suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat
mengabaikan historisitas penafsiran. ―Setiap teks berangkat
dari pemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan
34
Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as
Method, Philosophy and Critique, London: Routledge and Kegan Paul,
1989 hlm. 3.
35
kepentingan penafsiran dalam teks‖.35
Karenanya penafsiran
merupakan kegiatan produktif dan bukan reproduktif makna.
Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tapi juga
karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena
telah kehilangan konteks eksistensialnya. 36
Dengan kata
lain, menurutnya kalaupun makna awal berhasil ditemukan,
ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan
adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun
penafsiran selalu memiliki nilai historisnya sendiri-sendiri.37
Hubungan interpretasi dengan realitas memang
demikian signifikan dalam hermeneutika al-Qur‘an,
meskipun tidak pada heremeneutika sebagai aksiomatika.
Hassan Hanafi senantiasa mengaitkan hermeneutika pada
―praktis‖. Hal ini tidak lepas dari kuatnya pengaruh
Marxisme dalam pikirannya. Posisi Marxian sendiri tidak
dapat disebut sebagai tahapan tertentu dalam pemikirannya,
sebagaimana dua proposisi: hermeneutika sebagai
aksiomatika yang bersifat metodis dan hermeneutika yang
bersifat filosofis.
Sementara hermeneutika praksisnya lebih
mencerminkan instrumen sekaligus tujuan konsep
35
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549. 36
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 537; Hassan Hanafi
Qadlâyâ al Mu‟âshirah vol.2, hlm. 185. 37
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 537.
36
hermeneutika al-Qur‘annya. Secara metodologis, analisis
Marxisme, terutama metode dialektika, digunakan sebagai
alat untuk mensintesiskan kecenderungan positivistik dalam
fenomenologi dan sifat filosofis hermeneutika Gadamerian.
Hal ini sangat kental dalam tulisan-tulisan Hassan Hanafi
yang terbit belakangan, seperti “Hermeneutics and
Revolution” yang sarat dengan sintesis metodologis antara
fenomenologi dan hermeneutika, maupun antara penafsiran
dan perubahan.38
Hassan Hanafi menemukan pisau analisis yang tajam
tentang masyarakat dan realitas yang menjadi tujuan
hermeneutikanya, warisan Marxisme. Ia, misalnya, dapat
melihat kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks
memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas,
kekuasaan-oposisi, demikian pula halnya dengan sifat dasar
teks.39
Sehingga struktur teks yang bersifat ganda tersebut
kemudian melahirkan hermeneutika ―progresif‘ dan
―konservatif‖.40
Hermeneutika konservatif berangkat dari teks,
mendasarkan diri pada makna literal dan makna otonom, dan
aturan yang didasarkan pada realitas yang diandaikan,
menganggap teks sebagai nilai per se, absolut dan universal.
38 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, Kairo: Dar
Kbaa, th. 2000, hlm 206-213. 39
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 212. 40
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 212.
37
Sementara hermeneutika progresif menganggap teks sekedar
alat, sedangkan kehidupan nyata justru nilai absolut yang
perlu diperhatikan.41
Bahkan, jika teks bertentangan dengan
mashlahat maka mashlahat-lah yang harus didahulukan.
Karena teks itu hanya sekedar wasilah, sarana dan alat
sedangkan mashlahat, alasan dan kepentingan adalah
tujuan.42
Melalui Marxisme, ia mengajak penafsir berangkat
dari realitas dan menuju pada praksis, sebagai hermeneutika
terapan. Ia mengklaim jika hermeneutika semacam ini
sejalan dengan ―fenomenologi dinamis‖ yang dibedakan dari
fenomenologi statis.
dengan hermeneutika terapan, ia berharap dapat
menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari
sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan
revolusi (massa) dan dari tradisi ke-modernisasi.
Menurutnya, inilah metode transformasi sebagai tindakan
―regresif-progresif‖.43
Pada saat yang sama, penggunaan
41
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208,
212.
42 Hassan Hanafi, Min al Nash ilâ al Wâqi Juz 2, Beirut: Dar al
Midâr al Islâmî, 2005, hlm. 573. Menurut Hassan Hanafi tidak ada perbedaan antara wahyu dan mashlahat. Apabila kitab, sunnah dan ijma bertentangan dengan mashlahat maka mashlahat harus didahulukan dengan cara takhshish, karena mashlahat merupakan dasar semuanya. Hassan Hanafi, Min al Nash ilâ al Wâqi Juz 2, hlm. 573..
43 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 207.
Metode Regresif-progresif dijelaskan Hassan Hanafi bahwa
menafsirkan berarti melakukan gerakganda; dari teks menuju realitas dan
dari realitas menuju teks. Pada yang pertama diterapkan prinsip-prinsip
38
Marxisme dan fenomenologi memberikan kemungkinan
akan penemuan Ego (the self) dan cogito sosio-politik yang
baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat, dan
bangsa.44
C. Teori dan Teknis Hermeneutika Al-Qur’an
Hassan Hanafi menerima sebagian gagasan baik
hermeneutika metodis bahwa hermeneutika merupakan
disiplin tentang teknis penafsiran, maupun hermeneutika
filosofis yang berpegang pada hakikat peristiwa penafsiran.
Hanya saja ia menambahkan bahwa disiplin tersebut harus
juga memperbincangkan dua dimensi lainnya, yakni sejarah
teks dan kepentingan praktis dalam kehidupan.
Hermeneutika bukan sekedar ―sains penafsiran‖ atau
teori pemahaman belaka, melainkan, anggota kompehensif
tentang sejarah teks, intepretasi, dan prakteknya dalam
mentransformasikan kenyataan sosial. Hermeneutika adalah
ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat
perkataan sampai pada tindakan nyata di dunia.
45Hermeneutika merupakan ilmu tentang proses wahyu dari
ampibologis bahasa, sementara pada yang kedua digunakan prinsip
melalui sensitivitas semangat zaman. Lihat Hassan Hanafi, Islam in The
Modern World Vol. 2, hlm. 211. 44
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 2, hlm. 208. 45
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
39
huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praxis, kehidupan
manusia.
Hermeneutika tidak dibatasi pada perbincangan
mengenai model-model pemahaman tertentu atas teks
semata, tetapi lebih jauh lagi, berkaitan juga dengan
penyelidikan sejarah teks untuk menjamin otentisitasnya
hingga penerapan hasil penafsiran dalam kehidupan manusia.
Proses interpretasi menempati posisi kedua, setelah kritik
sejarah.46
Prasyarat pemahaman yang baik terhadap suatu teks
kitab suci adalah dengan terlebih dahulu membuktikan
keasliannya melalui kritik sejarah. Sebab jika tidak,
pemahaman terhadap teks yang palsu akan menjerumuskan
orang pada kesalahan, sekalipun, misalnya, tafsirannya benar
mengenai kandungan teks palsu tersebut47
. Setelah
memperoleh keaslian teks, barulah hermeneutika dalam
pengertian ilmu pemahaman bisa dimulai. Menurutnya, pada
titik ini, hermeneutika berfungsi sebagai ilmu yang
berkenaan dengan bahasa dan keadaan-keadaan sejarah yang
melahirkan teks. Setelah mengetahui makna yang tepat dari
sebuah teks, segera diikuti dengan proses menyadari teks ini
dalam kehidupan manusia. Sebab, pada dasarnya, tujuan
46
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1. 47
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
40
akhir sebuah teks wahyu adalah bagi transpormasi kehidupan
manusia itu sendiri.48
Dalam bahasa fenomenologis, dapat dikatakan bahwa
hermeneutika adalah ilmu yang menentukan hubungan antara
kesadaran dan objeknya, yakni kitab-kitab suci.49
Pertama,
kesadaran historis yang menentukan keaslian teks dan
tingkat kepastiannya. Kedua, kesadaran eidetik yang
menjelaskan makna teks dan menjadikannya rasional.
Ketiga, kesadaran praktis yang menggunakan makna tersebut
sebagai dasar teoritis bagi tindakan dan mengantarkan wahyu
pada tujuan akhirnya dalam kehidupan manusia di dunia,
sebagai struktur ideal yang mewujudkan kesempurnaan
dunia.
Dengan tiga fase analisis ini, diharapkan
hermeneutika al-Qur‘an dapat bersifat teoritik sekaligus
praktis. Baginya, perbincangan yang berpusat pada
penafsiran teks, di satu sisi, dan pada metodologi tanpa
maksud praktis, di sisi lain, benar-benar perlu dihindari.
Hermeneutika sebagai aksiomatika harus pula
menjadi jalan tengah antara kutub umum dalam penafsiran:
penafsiran praktis dan filosofis. Penafsiran praktis, sebagai
analisis filologi murni terhadap teks yang erat kaitannya
48
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1. 49
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 1.
41
dengan philologi sacra.50
Penafsiran semacam ini
menurutnya, tidak akan memperbincangkan masalah-
masalah prinsipil dalam penafsiran, kecuali memusatkan diri
pada detail-detail yang sama sekali tidak membuat teks
menjadi lebih asli, jelas, maupun praktis.
Sementara itu hermeneutika filosofis menurutnya,
kembali pada subjektivitas penafsir, sebuah istilah yang
digunakannya untuk menunjukkan masalah yang terfokus
pada problem pembacaan, yang menyerap teks kedalam
perbincangannya sendiri. Jika penafsiran praktis bersifat
ekstrovert, maka hermeneutika filosofis cenderung lebih
introvert.51
1. Kritik Historis
Keaslian sebuah kitab suci tidak tercipta karena
adanya keyakinan, tetapi merupakan hasil kritik sejarah.
Kritik ini harus terbebas dari hal-hal yang semata-mata
berbau teologis, filosofis, mistik, spritiual, atau bahkan
fenomenologis. Keaslian kitab suci tidak dijamin oleh takdir
Tuhan, keyakinan dogmatis, pemuka agama atau pranata
sejarah apa pun.52
Jadi, keaslian sebuah kitab suci diuji
berdasarkan atas kritik sejarah bukan berdasarkan atas
keyakinan, bukan kritik teologi dan hal-hal yang anti kritik.
50
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 2. 51
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3. 52
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 4.
42
Dalam konteks Islam, hal ini berkaitan dengan tradisi
dua pola pengalihan (al naql) jenis kata-kata sebagai berikut
ini. Pertama, metode transferensi tertulis (al naql al maktûb)
dan kedua, metode transferensi oral (al naql al syafâhî).
Melalui jalan metode transferensi tertulis adalah seperti
penulisan al-Qur‘an dan melalui jalan metode oral adalah
seperti diteransferensikannya al hadits atau al sunah.53
1. Pola kata-kata dengan metode transferensi tertulis dalam
Kitab suci seperti al-Qur‘an
Kata-kata yang diucapkan oleh Nabi yang didiktekan
kepadanya oleh Tuhan melalui malaikat dan langsung
didiktekan oleh Nabi kepada penyalinnya pada saat
pengucapan dan dengan demikian menyimpannya dalam
tulisan sampai sekarang. Kata-kata al-Qur‘an merupakan
pengalihan verbatim yaitu al-Qur‘an di mana ia ditulis segera
setelah pewahyuan di bawah pengawasan Nabi sendiri
(selain dihafal oleh para sahabat Nabi) dan persis sama
dengan kata-kata yang diucapkan pertama kali ketika
diwahyukan.54
Wahyu ini tidak melewati masa pengalihan
secara lisan; tetapi ditulis pada saat pengucapannya, tak satu
pun kitab suci dalam tradisi kitab suci sejak Kitab Taurat
53
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyyah, hlm 549. 54
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5.
Bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, Bandung:
Mizan, cet Ke-2, 1992 hlm. 122. Menurut Quraish Sihab, atas dasar ini
kedudukan al-Qur‘an dari segi otentisitasnya bersifat qath‟iy al wurûd.
43
yang memenuhi persyaratan ini kecuali Kitab Suci al-Qur‘an.
Hanya al-Qur‘anlah yang ditulis pada saat diturunkannya.55
Wahyu pada hakekatnya merupakan firman Tuhan
yang diberikan kepada Nabi in verbatim dan harus
disampaikan kepada manusia secara in verbatim pula.
Meskipun demikian, hermeneutika sebagai kritik sejarah
tidak berurusan dengan wahyu in verbatim ketika masih
dalam pemikiran Tuhan atau sebelum diturunkan kepada
Nabi-Nya.56
Hermeneutika baru berfungsi setelah Nabi
menyampaikan wahyu tersebut dalam sejarah.
Karena al-Qur‘an ditujukan bagi manusia, maka
konsekuensinya, hermeneutika tidak berurusan dengan
wahyu pada tahap metafisika, seperti tentang substansi logos
(Kalam Tuhan) atau masalah cara-cara pewahyuan. Namun,
hermeneutika berurusan dengan al-Qur‘an pada tahap teks
dan produktivitas (penafsiran) teks.57
Dalam hal ini,
pendefinisian al-Qur‘an apakah sebagai Kalam Allah yang
bersifat Qadim (dahulu) dan azali atau apakah bersifat
Hadits (baru) dan makhluq. Hal ini dianggap tidak relevan
diperbincangkan di sini. Dalam bahasanya yang lebih
fenomenologi, metafisika al-Qur‘an diletakkan dalam tanda
55
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5. 56
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 57
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69.
44
kurung (apoche), tidak diafirmasi, namun juga tidak
ditolak.58
Fungsi kritik historis dalam hermeneutika untuk
memastikan keaslian teks yang terdapat dalam Kitab Suci
dengan wahyu yang disampaikan oleh Nabi dalam sejarah
yang disebarkan dari mulut ke mulut dalam kasus
transferensi oral, atau pengalihan dari tangan yang satu ke
yang lainnya dalam kasus transferensi tulisan.59
Karena al-
Qur‘an ditujukan kepada manusia, maka sebagai
konsekwensi logisnya hermeneutika tidak berurusan dengan
wahyu pada tahapan metafisis. Artinya, perhatian
hermeneutika terletak pada dimensi horizontal wahyu yang
bersifat historis, dan bukan pada dimensi vertikalnya yang
metafisis seperti bagaimana Nabi menerima wahyu dari
Tuhannya tersebut.
Keaslian wahyu dalam sejarah, ditentukan oleh tidak
adanya syarat-syarat kemanusiaan di dalamnya. Kata-kata
yang diterima Nabi dan dibacakan langsung oleh Tuhan
melalui malaikat, langsung pula dibacakan oleh Nabi kepada
para penyalinnya pada saat pengucapan dan lestari sampai
saat ini dalam tulisan (al-Qur‘an).60
Pada kasus al-Qur‘an,
58
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. 1, hlm. 495. 59
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 6. 60
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 5;
Seperti sudah diutarakan bahwa wahyu semacam ini tidak melalui
pengalihan lisan, tapi ditulis pada saat pengucapannya. Menurutnya,
45
wahyu ditulis in verbatim yang secara harfiah dan
kebahasaan, persis sama dengan yang diucapkan oleh Nabi.
Prasyarat lain bagi keaslian Kitab Suci dalam sejarah adalah
keutuhannya. Artinya semua yang dituturkan oleh Nabi, baik
dengan menggunakan pola transferensi lisan maupun tertulis
harus tersimpan dalam bentuk teks tertulis.61
Berbeda dengan kritik yang terjadi pada teks-teks
yang mengalami fase pengalihan lisan seperti dalam al
hadits, al-Qur‘an tidak mendapatkan kritik yang rumit.
Artinya, otentisitas al-Qur‘an telah teruji secara histories.
hanya al-Qur‘an yang memenuhi persyaratan ini. Bandingkan pula
dengan karya Hassan Hanafi dalam Humûm al Fikr wa al Wathan: al
Turâts wa al „ashr, Kairo: Dar Quba li al Thaba‘ah wa al Nasyr wa al
Tauzi‘, cet. Ke-2. 1998, hlm. 17-56. Hal ini pula yang membuat
hermeneutika al-Qur‘an berbeda dengan hermenutika kitab suci lainnya.
Secara histories, al-Qur‘an adalah wahyu verbatim, dalam suatu fase
pewahyuan selama kurang lebih 23 tahun, sebagai jawaban atas kondisi
sosiohistoris masyarakat Arab saat itu. Karena pewahyuannya yang tidak
sekaligus, membuat al-Qur‘an memiliki keunikan yang tak dimiliki kitab
suci lain, di antaranya dalam hal sistematika. Al-Qur‘an bukanlah kitab
yang tersusun secara tematik, sehingga suatu tema tertentu tersebar di
beberapa tempat yang berbeda dalam al-Qur‘an, dan beberapa ayat
tertentu atau kisah tertentu terkesan diulang-ulang berbeda dengan kitab
suci lain, al-Qur‘an yang ada sekarang tidaklah berbeda dengan yang ada
pada zaman Rasulullah, tidak ada perubahan. Kecuali dalam kaitannya
dengan penambahan tanda baca, baik yang berupa titik (I‟jam), maupun
tanda baca lain (syakal) pada masa awal Islam dan perubahan ini tidak
signifikan, karena hanya untuk memperjelas pembacaan, tidak mengubah
al-Qur‘an (Daud al Aththar, Perspektif Baru Ilmu Al-Qur‟an, terj. Afif
Muhammad dan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994,
hlm. 191-200). Bandingkan pula Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-
Qur‟an, terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Press, 1991, hlm. 71-
74. 61
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.
46
Beberapa kritik yang diterapkan pada al-Qur‘an, antara lain
seputar aspek bacaan seperti (qira`ah), al ahruf al sab‟ah,
hakekatnya sebagai Kalam Allah, keberadaan basmalah, dan
keberadaan kosa kata asing (non- Arab).62
Kritik terhadap al-Qur‘an juga berlaku pada
kronologi ayat, karena diakui secara historis bahwa wahyu
al-Qur‘an diturunkan secara bertahap sejalan dengan
perkembangan realitas sejarah masa Rasulullah. Dalam
kaitan ini, terjadinya naskh adalah sangat mungkin karena ia
merupakan konsekwensi logis dari wahyu yang diturunkan
62
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69. Menurutnya, para pakar ushûl fiqh klasik telah membuang problematika partikular seperti penambahan atau pengurangan dalam teks, pembacaan teks atau keberadaan basmalah. Mereka lebih dekat kepada kodifikasi al-Qur‘an. Al-Qur‘an sudah dikumpulkan pada waktu proses penurunan wahyu dan mushaf-mushaf yang satu dengan yang lainnya sudah dikomparasikan. Mushaf Usmanî merupakan mushaf yang ditransferensikan manusia dari masa ke masa hingga masa kini sebagai mushaf yang dikenal dalam ilmu-ilmu al-Qur‘an seperti dalam al Itqân fî „Ulûm al-Qur‟an karya Imam Jalaludin al Suyuthi. Pendefinisian al-Qur‘an sebagai Kalam Allah yang Qadim dan Berdiri Sendiri tidak diprioritaskan karena persoalan itu merupakan persoalan teologis yang ada di luar ilmu ushûl fiqh. Akan tetapi, pendefinisian al-Qur‘an adalah sesuatu yang ditransfer kepada kita di antara lembaran mushaf yang terdiri dari tujuh huruf yang terkenal (al Ahruf al Sab‟ah al Masyhûrah) dengan tranferensi mutawatir. Basmalah adalah salah satu ayat al-Qur‘an. Adapun kontradiksi terjadi di dalam keberadaan basmalah yang merupakan salah satu ayat dari setiap surat dan seperti Al Syafi‘î cenderung menetapkan basmalah merupakan bagian dari setiap surat. Al-Qur‘an memuat makna haqîqât dan makna majâz . Al-Qur‘an adalah bahasa Arab. Tidak terdapat bahasa asing („ajam) dalam al-Qur‘an. Kata-kata asing yang terdapat di dalamnya sudah diarabisasikan secara sempurna pada masa sebelumnya. Di samping itu, al-Qur‘an juga memuat kata-kata yang bermakna tegas (al muhkam), ayat yang bermakna samar (al mutasyâbih), ayat yang jelas-tekstual (Zhahir), ayat interpretatif alegoris (al mu`awwal) yang semuanya merupakan diskursus linguistik dari pembahasan filologi. (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 69).
47
secara gradual dan tidak terjadi pada wahyu yang diturunkan
secara sistematik seperti-buku-buku hokum. Nasakh justru
menunjukkan hitorisitas wahyu, keterlibtan wahyu dalam
sejarah. Wahyu tidaklah muncul di luar sejarah. 63
2. Pola kata-kata yang berupa Hadits dimana ia melewati
fase pengalihan lisan sebelum ditulis
Kata-kata yang diucapkan Nabi yang datang dari
Nabi sendiri untuk menjelaskan sebuah gagasan atau
memberitahukan bagaimana suatu tindakan secara tetap
harus dilakukan agar sesuai maksud Tuhan. Pola kedua ini
dapat berupa kata-kata, perbuatan atau izin yang diberikan
Nabi tetapi tidak pernah berupa mimpi, bayangan atau
perjumpaan langsung dengan Tuhan. Karena, hadits Nabi
datang dari situasi kehidupannya.64
Untuk melihat pemilahan transferensi wahyu dari
yang in verbatim, (al-Qur‘an), Hassan Hanafi
membedakannya dari kata-kata lain yang juga berasal dari
Nabi tetapi bukan merupakan wahyu yang didiktekan
langsung oleh Tuhan. Materi ini berasal dari buah pikiran
Nabi sendiri tentang gagasan tertentu atau dalam rangka
63
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 70. 64
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7.
Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an,
Bandung: Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Dengan demikian, menurut
Quraish Shihab, kedudukan hadits dari segi otentitasnya adalah bersifat
zhanniy al warûd.
48
memberikan petunjuk pelaksanaan dari wahyu in verbatim
yang dapat disebut dengan al hadits. 65
Secara teoritis antara wahyu i n verhatim dan hadis
Nabi tidak ada pertentangan;66
keduanya berasal dari Tuhan,
yang satu secara langsung yang lainnya tidak langsung.
Sebab setiap terjadi pertentangan akan diselesaikan dengan
baik. Antara yang prinsipil dengan yang kasuistik, antara
makna umum dan makna khusus, atau merupakan
kontinuitas pola pertama (wahyu in verbatim) kepada pola
kedua yaitu al hadits. 67
Penyelesaian tersebut dengan cara
berikut ini
Pertama, pola yang pertama memberikan gagasan
umum dan yang kedua merupakan kasus perorangan. Kedua,
pola yang pertama memberikan arti yang umum dan yang
kedua menawarkan arti yang khusus. Ketiga, pola yang
pertama biasanya muncul lebih dahulu dari pada pola yang
kedua.68
65
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 66
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. Hal
ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa
tidak ada pertentangan antara al-Qur‘an dan al Hadits. Lihat Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur‟an,117; Bandingkan pula dengan Hayy
Farmawiy, Al Bidâyah fî Tafsîr Maudlû‟ î, hlm. 53. 67
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7. 68
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 7-8.
Bandingkan pula dengan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an,
Bandung: Mizan, cet. Ke-2, 1992 hlm. 122. Quraish Shihab dengan
mengutip pendapat Abdul Halim yang menegaskan bahwa, dalam
kaitannya tentang posisi al sunah, hadits dengan al-Qur‘an, ada dua
49
Dengan melihat paparan di atas terlihat bahwa
Hassan Hanafi termasuk orang yang tidak mengakui
kebolehan me-nasakh ayat al-Qur‘an dengan al sunnah, al
hadits. Bahkan, dia hanya menganggap kompromi seperti di
atas justru memperkuat pendapat adanya dua posisi al hadits
terhadap al-Qur‘an yang berfungsi sebagai bayân li ta‟kîd
dan bayân li tafsîr. Dalam pengertian, seperti yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab yang mengutip pendapat
Abdul Halim bahwa dalam kaitannya tentang posisi al
sunnah dengan al-Qur‘an, ada dua fungsi al sunnah yang
tidak diperselisihkan yaitu fungsi bayân ta‟ kîd dan bayân
tafsîr. Fungsi bayân ta‟ kîd yaitu menguatkan atau
menegaskan dan menggarisbawahi kembali apa yang
terdapat dalam al-Qur‘an. Sedangkan fungsi bayân tafsîr,
berarti memperjelas, memerinci, bahkan membatasi
pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur‘an.
Pola yang kedua ada kemungkinan melewati masa
pengalihan lisan. Dalam hal ini keaslian sejarahnya harus
terjamin. Karena tidak mungkin mencapai keaslian mutlak
bagi semua kata-kata yang ada, maka yang dilakukan hanya
fungsi al sunnah yang tidak diperselisihkan yaitu fungsi bayân ta‟ kîd dan
bayân tafsîr. Fungsi bayân ta‟ kîd berarti sekedar menguatkan atau
menegaskan dan menggarisbawahi kembali apa yang dapat dalam al-
Qur‘an. Sedangkan fungsi bayân tafsîr, berarti memperjelas, memerinci,
bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur‘an.
50
menentukan derajat keaslian. 69
Setiap riwayat terdiri dari
dua bagian; orang-orang yang melaporkannya dari masa ke
masa yang disebut dengan rawy atau sanad; dan laporan
kisah yang disebut matan. Dalam hubungannya dengan para
rawy terdapat empat metode pengalihan lisan diantaranya
hanya yang pertama yaitu pengalihan multilateral,
mutawatir, yang menyediakan kemungkiman keaslian
mutlak.70
Dalam tulisan ini, hanya yang pertama yang akan
dijelaskan sebagai berikut ini.
69
Sebuah Hadits terbagi menjadi tiga bagian: pertama, kata-kata
sahabat yang dengan kata-kata itu mereka mulai melakukan transferensi
(periwayatan). Kedua sanad (rangkaian pewarta), dan ketiga matan
(materi hadits). (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm: 71). 70
Hassan Hanafi, D irâ sâ t Islâmiyah, hlm. 71. Sebagaimana
dijelaskan pula oleh Mahmud 'Thahhan dalam Taisîr Mushthalah al
Hadîts. Menurutnya, hadits bila ditinjau dari segi metode pengalihannya
ada empat yang terbagi dalam dua kategori yakni pertama, mutawatir
dan kedua, hadits ahâd. Sedangkan hadits ahâd ini terbagi menjadi
tiga. Pertama, al masyhûr, kedua, al 'azîz dan ketiga, al gharîb.
Lihat Mahmud Thahhân, Taisîr Mushthalah al Hadîts, Beirut: Dâr al
Tsaqâfah, t.t., hlm. 19. Berkaitan dengan cara penyampaian hadits,
menurut Hassan Hanafi kata-kata yang disampaikan oleh para sahabat
terdiri atas lima susunan hierakis Pertama, kata-kata yang paling kuat
yaitu sahabat berkata: ―aku mendengar", ―mewartakan padaku‖, atau
―telah diceritakan kepadaku‖. Kata-kata ini tidak bisa ditembus oleh
kemungkinan salah. Kedua, adalah: ―Rasulullah bersabda‖,
―mewartakan‖, atau ―bercerita‖. Bentuk ini memuat satu kemungkinan
kesalahan karena Istima' (mendengarkan) kadang-kadang tidak secara
langsung. Ketiga, adalah ―Rasulullah memerintah" atau "Rasulullah
melarang". Dengan berdasar pada adanya kemungkinan pertama adanya
kesalahan, maka bentuk ini pun bisa ditembus atau mengandung
kemungkinan yang lain, yaitu bentuk perintah kadang-kadang bukan
rnerupakan perintah. Keempat, adalah ―kita diperintah demikian‖ atau
―kita dilarang dari demikian‖. Dengan bersandar pada kemungkinan-
kemungkinan yang terdahulu, maka bentuk ini bisa ditembus oleh
51
Pengalihan multilateral, mutawatir dalam prosesnya
teks harus dilaporkan in verbatim oleh beberapa orang yang
hidup pada zaman yang sama dengan kejadian yang
dilaporkan. Untuk mencegah segala kemungkinan terjadinya
kesalahan, pengalihan multilateral harus memenuhi empat
syarat berikut ini.71
a) Para rawy tidak boleh ada ketergantungan antara rawy
yang satu dengan yang lainnya, untuk menjaga segala
kemungkinan adanya keinginan merendahkan diri.
b) Jumlah rawy harus cukup banyak untuk memberikan
kemungkinan yang lebih besar bagi keaslian suatu riwayat.72
c) Tingkat penyebaran riwayat harus seragam pada setiap
waktu, sejak penyebaran riwayat generasi pertama sampai
generasi tradisi penulisan.
kemungkinan yang lain, yaitu pemberi perintah kadang-kadang bukan
Rasulullah. Kelima, adalah ―dulu mereka melakukan‖. Berdasarkan pada
adanya kemungkinankernungkinan kesalahan yang terjadi pada bentuk-
bentuk yang terdahulu, maka bentuk ini juga bisa ditembus oleh
kemungkinan yang lain, yaitu adanya kemungkinan bahwa tindakan
(yang dilakukan) itu merupakan tindakan yang sudah sempurna tetapi
tidak pada zaman Rasulullah. Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71. 71
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71. Bandingkan pula
dengan Lihat Mahmud Thahhan, Taisîr Mushthalah al Hadîts, hlm. 20 72
Kongjungitas, mutawatir atau pengulangan yang terus menerus
(at-tawatur), yakni periwayatan oleh sejumlah orang yang tidak terbatas
jumlahnya sehingga menghindarkan adanya kemungkinan mereka
membuat kesepakatan untuk mengadakan dusta, manipulasi, maupun
kamuflase, akan memberikan atau menghasilkan ilmu pengetahuan
(Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 71).
52
d) Isi riwayat harus sesuai dengan pengalaman manusia dan
kesaksian indrawi. Wahyu bukanlah sesuatu yang ajaib dan
supranatural, ataupun ajaib. Oleh karena itu, semua riwayat
tentang kejaiban harus dihilangkan, bukan karena keajaiban
itu tidak ada, melainkan karena tidak cocok dengan panca
indra. Selain itu, keajaiban adalah peristiwa alamiah yang
menyebabkan tidak diperhatikan. Begitu penyebabnya
diketahui, maka hilanglah keajaibannya.73
Dalam hal matan riwayat harus dibuat secara
tekstual, tanpa ada pengurangan ataupun penambahan.
Hubungan yang ada antara kata maknanya adalah hubungan
yang mutlak. Makna ini diungkapkan hanya melalui kata ini
saja. Jika digunakan kata lain, akan terdapat makna bayangan
yang tidak akan sama dengan makna yang sebenarnya.74
Setelah pola kata-kata yang pertama dan kedua
digunakan, berakhirlah wewenang teks. Kitab suci tersimpan
melalui pola-pola. Maka dimulailah peran tradisi dalam
masyarakat. Tradisi terjadi karena kesepakatan masyarakat
yang merupakan refleksi terhadap kitab suci dan kenyataan-
kenyataan baru. , perkataan para sahabat Nabi bukan
merupakan bagian dari kitab suci melainkan dari tradisi yang
bisa diterima atau ditolak berdasarkan kesamaan atau
perbedaannya dengan kitab suci. Menurutnya, perkataan-
73
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 8-9. 74
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 10.
53
perkataan itu merupakan penafsiran pribadi yang dapat
diperbaiki langsung oleh Nabi sendiri jika terdapat
kesalahan.75
Setelah tercapai kesepakatan, setiap individu harus
berusaha mencapai pemahaman. Jika ternyata suatu
kesadaran benar-benar sulit atau tidak mungkin maka
kesadaran individu akan dapat berpikir sendiri. Mengambil
keputusan dan menemukan status bagi masalah baru yang
dihadapinya.76
Dengan demikian wahyu terdiri atas tingkatan-
tingkatan: wahyu langsung dari Allah, yaitu al Kitab, wahyu
detail berasal dari Rasulullah dengan bimbingan yang
bersumber dari Allah, wahyu komunal yang berasal dari
umat (publik) maka umat adalah khalifah Allah, dan wahyu
personal yang berasal dari nalar yang diafiliasikan pada
wahyu al-Kitab, sunnah, dan komunal. Dasar yang pertama
dan yang kedua menunjuk pada wahyu yang tertulis-statis,
sedangkan dasar yang ketiga dan keempat menunjuk pada
wahyu yang dinamis.77
2. Kritik Eidetis
Setelah melalui kritik sejarah yang dilakukan demi
menentukan keaslian kitab suci, seorang penafsir dapat
75
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 11. 76
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 12. 77
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 73.
54
melakukan proses interpretasi atau yang secara teknis ia
sebut sebagai kritik eidetis. Hassan Hanafi sendiri tidak
menjelaskan pengertian eidetis --sebuah istilah
fenomenologi—kecuali dikaitkan dengan proses
interprestasi.78
Jika tafsiran penulis tidak salah, barang kali
kritik eidetis dalam pemikiran Hassan Hanafi merupakan
analisis fenomenologi teks seutuhnya sebagaimana yang
ditangkap oleh kesadaran penafsir untuk memperoleh hakikat
pemahaman yang benar mengenai fenomena tersebut.
Fungsi kesadaran eidetis adalah memahami dan
menginterpretasi teks setelah validitasnya dikukuhkan oleh
kesadaran historis. Kesadaran eidetik juga merupakan bagian
terpenting dalam ilmu ushul fiqh karena melalui mediasinya
proses pengambilan ketentuan-ketentuan hukum dari dasar-
dasarnya yang empat menjadi sempurna dan komprehensip.79
Metode yang sedianya berfungsi untuk menganalisis
fenomena dicangkokkan oleh Hassan Hanafi ke dalam
78
Lazimnya dalam fenomenologi, dikenal istilah ―reduksi eidetik‖
dan visi eidetik‖ yang bersifat positif, yang dibedakan dari reduksi
fenomenologis yang bersifat negatif. Jika reduksi fenomenologis
menunda afirmasi mengenai ada tidaknya suatu fenomena atau
kebenaran, maka reduksi eidetik adalah penyaringan fenomena dari
eksistensinya dalam kesadaran kepada eidos (hakikat) yang ada dalam
fenomena tersebut (Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 117). 79
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm.78. Menurutnya, kritik
Eidetik ini merupakan bagian yang merepresentasikan kesungguhan dan
kemampuan manusia terhadap pemahaman dan interpretasi alegoris
karena di dalam dasar-dasar itu tidak ada tempat masuk bagi manusia.
(Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 78).
55
hermeneutika pembacaan teks. Oleh karena itu objeknya
adalah teks dan maknanya sebagaimana yang ditangkap oleh
kesadaran. Suatu penafsiran, menurutnya, harus
menghindarkan diri pada pengulangan prasangka tertentu
dari dogma. Karena hal ini akan menjerumuskan suatu
penafsiran ke dalam dugaan-dugaan semata. Seorang
penafsir harus memulai pekerjaan dengan tabula rasa, tidak
boleh ada, kecuali analisis linguistiknya.80
Apa yang
dimaksud Hassan Hanafi sebagai tabula rasa di sini agaknya
harus dipahami secara fenomenologis. Dalam fenomenologi,
kesadaran bukanlah kesadaran murni sebagaimana dalam
rasionalisme, tapi selalu merupakan kesadaran yang terarah
atau ―kesadaran akan …sesuatu‖ 81
80
Mengutip Bergson, Hassan Hanafi menyebut penafsiran-
penafsiran yang penuh dengan stereotype dan memproyeksikannya ke
dalam makna peristiwa sejarah kekinian sebagai le mouvement
rétrograde au vrai (kembali pada hakekat benda-benda) atau le mirage
du présent au passe (proyeksi masa kini ke dalam masa lalu). Dalam
sejarah hermeneutika kitab suci, penafsiran jenis ini banyak ditemukan
dalam penafsiran tipologis terhadap Injil. (Hassan Hanafi, Religious
Dialogue and Revolution, hlm. 13). 81
Seperti dijelaskan K. Bertern bahwa menurut Husserl, kesadaran
menurut kodratnya terarah pada realitas yang dapat disebut sebagai
―Intersionalitas‖. Disamping itu, kesadaran juga ―mengkonstitusi‖
realitas. Konstitusi dimaksudkan sebagai proses tampaknya realitas pada
kesadaran. Dengan demikian, dalam fenomenologi, kesadaran sejajar
dengan realitas. (K. Bertern, Filsafat Barat Abad X Inggris-Jerman, hlm.
101)
56
Kritik eidetis, ada tiga level atau tahap analisis.
Pertama, analisa bahasa; kedua, analisa konteks sejarah; dan
ketiga, generalisasi.
2.1. Tahap Analisis Kebahasaan
2.1.1. Analisis Linguistik
Analisis linguistik terhadap kitab suci memang
bukan dengan sendirinya merupakan analisis yang baik. Tapi
ia merupakan alat sederhana yang membawa kepada
pemahaman terhadap makna kitab suci. Misalnya fonologi
adalah cabang ilmu bahasa yang mengawasi pembacaan teks.
Walaupun demikian, menurutnya, fenologi ini masih berada
dibawah bidang makna.
2.1.2. Analisis Sintaksis
Morfologi berfungsi menjelaskan bentuk kata berikut
implikasi maknanya akibat perbedaan penggunaan kata.
Leksikologi, di lain pihak, menjelaskan jenis-jenis makna:
―makna etimologi‖, ―makna biasa‖, ―makna baru‖. Makna
etimologis adalah makna dasar. Makna biasa adalah makna
yang mengikat wahyu pada penggunaan kata dalam suatu
masyarakat, ruang, dan waktu tertentu.82
Makna biasa inilah yang membuat wahyu sesuai
dengan yang dimaksud oleh situasi khusus. Sementara
82
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14.
57
makna baru yang diberikan wahyu adalah makna yang tidak
terkandung dalam makna etomologis, maupun makna biasa.
Makna yang terakhir ini yang menjadikan dasar turunnya
wahyu. Makna baru berfungsi memberi petunjuk bagi
tindakan dan merupakan dorongan baru bagi manusia.83
Oleh
karena itu, kandungan maknanya sama sekali bebas dari hal-
hal yang misterius, tetapi justru merupakan makna alamiah,
rasional, dan jelas, kandungan makna baru dimaksudkan
untuk membebaskan manusia dari usaha-usaha mencari teori
agar manusia dapat memusatkan diri pada perhatian pada
praktik.
Sementara itu, sintaksis yang bagi Hassan Hanafi
merupakan kunci sesungguhnya dari kegiatan penafsiran
dalam tahap ini dan berguna untuk menyingkap prinsip-
prinsip makna ganda dalam teks.84
Kajian sintaksis ini
seperti terlihat pada makna haqîqah (makna harfiyah) dan
makna majâz (kiasan); istilah-istilah mubayan (univokal),
dan mujmal (ekuivokal); mubham (makna samar) dan al nash
(makna yang tepat); al zhâhir (makna yang tampak) dan al
muawwal (makna yang tersembunyi); al „am (makna umum)
dan al khash (makna khusus); al amr (perintah) atau al nahy
(larangan).
83
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14. 84
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 14-
17, Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80.
58
2.1.2.1 Makna haqîqah, makna harfiyah dan makna majâz,
kiasan
Tema al-Haqîqah wa al-Majâz (yang harfiyah dan
yang metafora) yang mengandung prinsip-prinsip linguistik
universal, dan tidak mengandung logika bahasa yang
meliputi yang mujmal (global) dan yang mubayyan
(klarifikatif), yang zhahir (eksplisit) dan yang interpretatif
alegoris (mu‟awwal, implisit), perintah dan larangan, umum
dan khusus.
Al-Haqiqah merupakan makna kata-kata yang
digunakan pada proporsinya sedangkan metafora merupakan
penggunaan kata-kata yang tidak pada proporsinya. Ada tiga
macam metafora: pertama, kata-kata yang dipinjam oleh
sesuatu dengan alasan ada kesamaan dalam spesifikasi yang
sudah dikenal. Kedua, penambahan seperti huruf kaf za‟idah
dalam ayat laisa kamist lihi syai‟un (tidak ada sesuatu pun
yang menyerupai-Nya). Ketiga, pengurangan yang tidak
menggusur pemahaman sebagaimana yang terjadi dalam ayat
was‟al al-qaryah (dan tanyakanlah kepada penduduk desa).85
85
Hassan Hanafi selanjutnya menjelaskan bahwa metafora dapat
diketahui melalui empat tanda, yaitu pemberlakukan yang harfiah
(hakikat) terhadap hal-hal yang universal, larangan istiqaq (pengasalan)
terhadapnya, perbedaan bentuk plural bagi kata benda, dan
ketergantungan yang harfiah terhadap yang lain. Setiap metafora
mempunyai hakikat (makna harfiah) akan tetapi tidak semua yang harfiah
harus memiliki metafora. Oleh karena itu, nama-nama alam dan nama-
nama yang tidak umum tidak mempunyai metafora. Demikian itu
59
2.1.2.2.Mubayan, univokal, dan mujmal, ekuivokal
Mubayyan adalah kata yang maknanya jelas dalam
pengertian tidak mengandung (makna) yang lain, dan disebut
juga dengan nashsh (teks). Mujmal adalah kata yang
berputar-putar di antara dua pengertian atau lebih tanpa
tarjih (penguatan salah satu makna di atas yang makna yang
lain), tanpa kepastian bahasa, dan tanpa melalui pengertian
adat pemakaian. Jika pengertian kata-kata itu hanya eksplisit
pada makna yang lain, maka ia disebut zhahir.86
Globalitas
(ijmal) suatu saat berada dalam kata tunggal, kata majemuk,
dan pada saat yang lain berada dalam susunan perkataan,
definisi, huruf-huruf penghubung, tempat-tempat berhenti
dan permulaan (ibtida‟)
2.1.2.3.Al zhahir, makna yang tampak dan al muawwal,
makna yang tersembunyi.
Arti yang tampak adalah arti yang dapat ditangkap
dengan jelas pada kontak pertama dengan teks tanpa perlu
mengeluarkan usaha pemahaman ekstra. Sedangkan arti yang
tidak tampak memerlukan usaha yang lebih besar dan
menunjukkan bahwa di penghujung akhir sesuatu terdapat aspek estetika
secara bahasa dan pemakaian bentuk-bentuk estetisme dalam wahyu agar
berkesan bagi jiwa dan berorientasi pada motivasi-motivasi menuju
perjalanan praksis (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80). 86
Menurutnya lebih lanjut, jika dimungkinkan membawa kata
pembuat hukum (alsyari‟) pada sesuatu yang memberikan dua makna
dan membawanya pada sesuatu yang memberikan satu makna di mana ia
berada dalam kebimbangan di antara keduanya, maka kata-kata itu adalah
mujmal demi kehati-hatian (Hassan Hanafi Dirâsât Islâmiyah, hlm. 80).
60
petunjuk pendalaman yang lebih banyak.87
Kunci ganda ini
memberi dimensi kedalaman, disebabkan adanya perbedaan-
perbedaan lain di antara manusia dalam memahami teks
untuk memuaskan semua pihak dengan cara memberikan
kedalaman arti yang berbeda.
Kata zhâhir (eksplisit) dan muawwal (implisit)
merepresentasikan kaidah bahasa (al-qâ‟idah al-
lughawiyyah) yang kedua. Kaidah ini berkaitan dengan
kaidah pertama. Hal itu dikarenakan kata yang memberikan
petunjuk yang tidak merupakan kata yang mujmal kadang-
kadang merupakan teks (nashsh) dan kadang-kadang
merupakan eksplisit (zhahir). Teks (nashsh) adalah kata yang
tidak mengandung kemungkinan interpretasi alegoris
(takwil) sedangkan zhahir merupakan kata yang mengandung
interpretasi alegoris (takwil). 88
hahir, teks yang samar dan al
nash, teks yang tepat. Istilah ganda ini menunjukkan adanya
dimensi teori dan praktek Zhâhir, teks yang samar
menyajikan banyak kemungkinan tindakan yang dapat
diambil. Al nash, teks yang tepat hanya menyediakan satu
kemungkinan. Hal ini berarti bahwa teori cukup luas
menyediakan pilihan tindakan menurut setiap keadaan.89
87
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16. 88
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81. 89
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.
Bandingkan dengan Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81.
Menurutnya, teks (nashsh) merupakan nama homonim (ism musytarak)
61
2.1.2. 4. Al‟âm, makna umum dan al khâsh, makna khusus
„Amm (universal) adalah satu kata yang ditinjau dari
satu sisi menunjukkan dua hal atau lebih. Kata ini terdiri atas
kata yang universal absolut, spesial absolut, atau kata
universal dan kata spesial yang direlasikan. Dalam
pandangan universal, kata-kata universal mempunyai lima
bentuk, yaitu kata-kata dalam bentuk plural, huruf permulaan
yang dipakai dalam kalimat bersyarat dan jawabnya, ―kapan‖
dan ―di mana‖ yang dipakai untuk tempat dan waktu, kata-
kata yang meniadakan (nafy), dan kata benda tunggal
(singular) yang dimakrifatkan (yakni diberi awalan huruf alif
dan lam, yakni al-) dan kata-kata penguat. Semua kata-kata
penguat menunjukkan pengertian yang mengambil secara
yang dinyatakan dalam tiga macam: zhahir (eksplisit) sebagaimana yang
terjadi dalam pandangan al Syafi‘i, kata yang pada dasarnya tidak bisa
ditembus oleh suatu kemungkinan baik dari dekat maupun dari jauh, dan
kata yang tidak bisa ditembus oleh kemungkinan yang diterima yang
didukung oleh dalil. Sedangkan interpretasi alegoris (takwil) adalah
kemungkinan yang didukung oleh dalil yang lebih didominasi oleh
spekulasi daripada makna yang ditunjukkan oleh kata zhahir. Identik
dengan hal ini adalah semua interpretasi alegori adalah memalingkan
kata dari (makna) yang harfiah pada (makna) yang metaforis, demikian
pula hanya dengan spesifikasi yang umum (takhshish al ‗umûm). Dari
dalil itu harus terdapat argumentasi pertalian (qarînah), penalaran
analogis, atau fenomena eksplisit lain yang lebih kuat. Pertalian-pertalian
itu kadang-kadang berakumulasi untuk menunjukkan falsifikasi atau
kesalahan interpretasi alegoris yang tidak cukup hanya ditunjukkan oleh
satu argumentasi saja (Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 81).
62
keseluruhan (al-istighraq) secara posisi kecuali jika ada yang
melampaui posisinya.90
Makna umum dan khusus merupakan istilah ganda
yang membentuk dimensi perorangan. Teks berisi deskripsi
manusia secara umum dan selebihnya terserah pada
penentuan masing-masin penafsir. Isi teks adalah masing-
masing individu tersebut.91
2.1.2. 5. Al amr, perintah dan al nahy, larangan
Perintah adalah suatu ucapan yang berimplikasi pada
ketaatan yang diperintah (al-ma‟mûr) dengan melakukan
tindakan yang diperintahkan. Larangan adalah suatu ucapan
yang berimplikasi pada peninggalan tindakan yang
dilarang.92
2.2. Tahap Analisis Kesejarahan
90
Uraian yang lebih detail selanjutnya lihat Hassan Hanafi, Dirâsât
Islâmiyah, hlm. 83. 91
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16. 92
Para pakar usul telah membahas persoalan apakah ucapan
merupakan pernyatan dengan lisan atau pernyataan jiwa. Dalam
persoalan ini, para ahli terpolarisasi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama adalah kelompok yang menetapkan atau mengakui jiwa.
Sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang mengingkari
pernyataan jiwa. Kelompok ini menjadikan pernyataan jiwa kadang-
kadang berupa huruf dan suara, bentuk dasar (shighah) dan bebas dari
qarinah-qarinah yang menunjukkan pada aspek perintah, seperti ancaman
dan kebolehan (al ibâhah), kadang-kadang merupakan akumulsi
keinginan yang diperintah (al ma‟mûr), dan keinginan menciptakan
bentuk (shighah) dan keinginan menunjukkan implikasi tekstual (dilâlah)
perintah sebagaimana yang ditegaskan oleh sebagian kaum Mu‘tazilah
(Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 82).
63
Di samping prinsip-prinsip kebahasaan di atas, pada
level berikutnya, penafsiran harus juga memusatkan diri pada
latar belakang sejarah yang melahirkan teks. Dua jenis
situasi, yakni ―situasi saat‖ atau ―contoh situasi‖ dan ―situasi
sejarah‖. Situasi saat adalah kasus dimana teks diturunkan
yang menjadi subtratum bagi wahyu. Dalam wahyu yang
ditulis in verbatim, situasi tersebut adalah situasi saatnmya.
Sementara situasi sejarah terjadi ketika teks tidak ditulis in
verbatim atau yang ditulis bukan berupa wahyu, tapi
inspirasi mengenai wahyu (tafsiran seperti dalam injil, atau
komentar seperti dalam al hadits) tertentu dalam sejarah
yang ditulis oleh para penulis wakyu pada masa berikutnya.93
2.3. Tahap Generalisasi
Setelah makna linguistik dan latar belakang sejarah
ditentukan, dilakukan generalisasi. Generalisasi disini berarti
mengangkat makna dari situasi saat dan situasi sejarahnya
agar dapat menimbulkan situasi-situasi lain. Pada tahap
terakhir ini, diperoleh makna baru dari kegiatan penafsiran
yang berguna untuk menyingkap beragam kasus spesifik
dalam kehidupan masyarakat.94
Langkah-langkah kritik eidetik di atas adalah yang
nampak dalam karya Hassan Hanafi Religious Dialogue and
93
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 21. 94
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 16.
64
Revolution. Tetapi dalam beberapa karya Hassan Hanafi
berikutnya, dan dalam karya eksegetiknya nampak terjadi
perubahan pendekatan. Terutama dalam analisis histories;
tidak lagi menekankan sejarah yang melatarbelakangi
turunnya ayat, melainkan, lebih merupakan analisis sejarah
kontemporer atau lebih tepatnya, analisis social. Hal itu tidak
lepas dari konsepsi tentang asbab al nuzul yang berbeda dari
yang dikenal selama ini. asbab al nuzul menunjukkan bahwa
wahyu tidaklah menentukan realitas, tetapi justru wahyu
diundang oleh realitas aktual itu sendiri. Hal ini seperti yang
terlihat dalam karya Hassan Hanafi, ―Mâdzâ Ta‘nî Asbâb al
Nuzûl‖ dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-
1981 vol. 7.
Berkaitan dengan asbâb al nuzûl, realitas dapat
diketahui dengan fitrah sehingga memungkinka bagi orang
lain untuk bersepakat dan membenarkannya (intersubyektif).
Hal ini telah terjadi misalnya pada Umar Bin Khathab, di
mana dia mengetahui realitas kaum muslimin dan kebutuhan
mereka dengan menggunakan fitrahnya. Ketika Nabi
memohon wahyu untuk masalah atau realitas tertentu yang
dihadapi kaum muslimin dan Beliau mengetahui wahyu yang
dikehendaki dengan menggunakan hawas-nya, kemudian
65
wahyu turun justru membenarkan pengetahuan Umar Bin
Khathab.95
Berdasarkan atas hal itu, asbâb al nuzûl menunjukkan
bahwa penafsir haruslah memilih dari wahyu (al-Qur‘an)
yang relevan untuk memecahkan permasalahan aktual yang
dihadapi. Dengan kata lain, penafsiran adalah melacak
kembali peristiwa pewahyuan, dan asbâb al nuzûl itu tidak
lain adalah problem dalam realitas kontemporer. Oleh karena
itu analisis terhadap realitas kontemporer adalah bagian
integral dari hermeneutikanya.
Berdasarkan hal di atas, terdapat tiga tahap
penafsiran: tahap analisis realitas, tahap analisis kebahasaan
yang terdiri dari analisis bentuk dan analisis isi, dan tahap
generalisasi. Tahap-tahap ini didukung oleh karya eksegetik
dari Hassan Hanafi seperti ―al Mâl fî al-Qur‘an‖ yang
termuat dalam buku al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-
1981 vol. 7. Tahap analisis ini adalah untuk mengetahui
problem realitas kontekstual. Tahap ini melibatkan
pendekatan interdisipliner dan dengan bantuan pakar-pakar
sosial, politik dan ekonomi. Dari sinilah diperoleh tema-tema
95
Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 72-73. Demikian juga kasus ketika wahyu membenarkan firasat Umar Bin Khathab tentang kekhawatiran bahaya khamr terhadap akal dan kehidupan. Kemudian wahyu turun tetang pelarangan terhadap khamr (Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981 vol. 7, hlm. 73).
66
penafsiran dengan memberikan prioritas pada tema-tema
yang menyentuh kebutuhan kontemporer.
Tahap analisis kebahasaan yang terdiri dari analisis
bentuk (tahlîl al shurah) dan analisis isi (tahlîl al madlmûn).
Analisis bentuk dilakukan dengan mengalisis bangunan
konseptual dan bentuk kebahasaan ayat-ayat yang satu tema
yang diklasifikasikan berdasarkan atas kata benda atau kata
kerja dan seterusnya sehingga memungkinkan untuk
membatasi tema. Sedangkan analisis isi berkaitan dengan
analisis makna dan susunannya dalam kumpulan-kumpulan
pokok sehingga memungkinkan untuk membangun tema,
membedakan antara makna primer dan makna sekunder,
antara yang positif dan negatif antara yang ilahiyah dan
manusiawi, antara yang spiritual dan material, antara yang
individual dan sosial, sehingga memungkinkan untuk
mengetahui ide wahyu dalam tema-tema pokok. Setelah
tahapan semua di atas kemudian dilakukan tahapan terakhir
yaitu geralisasi.
3. Kritik Praktis
Generalisasi pada tahap eidetis di atas membuka jalan
bagi kritik praktis yang menjadi tujuan hermeneutika
aksiomatika. Hermeneutika al-Qur‘an semenjak awal
memang merupakan cara baca al-Qur‘an dengan maksud-
maksud praktis. Dengan kepentingan semacam ini,
67
hermeneutika jelas menaruh perhatian besar pada
transformasi masyarakat.
Hermeneutika Hassan Hanafi melampaui tafsir
historis yang digunakan banyak ahli tafsir. Seolah-olah al-
Qur‘an hanya berbicara untuk realitas, ruang, dan waktu
tertentu saja karena menampilkan peristiwa-peristiwa masa
lalu. Kami membangun tafsir perseptif (al tafsîr al syu‟ûrî)
agar al-Qur‘an dapat mendeskripsikan manusia,
hubungannya dengan manusia lain, tugas-tugasnya di dunia,
kedudukannya dalam sejarah, membangun sistem sosial, dan
politik.96
Hermeneutika sebagai metode melampaui tafsir
ayat per ayat, dari surat ke surat yang terkesan fragmentaris
dan mengulang-ulang. , kita bangun tafsir tematis dengan
menghimpun ayat-ayat yang satu tema dan dianalisis begitu
rupa sehingga muncul konsep universal tentang Islam, dunia,
manusia dan sistem sosial. Menurutnya, lebih lanjut kami
tegakkan tafsir revolusioner dengan mentransformasikan
akidah menjadi ideologi revolusi.
Praktis merupakan penyempurnaan Kalam Tuhan di
dunia mengingat tidak ada kebenaran teoritis dari sebuah
dogma atau kepercayaan yang datang begitu saja; dogma
lebih merupakan suatu gagasan atau motivasi yang ditujukan
96
Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al
Islâmiyah, Kairo: Heliopolis. 1981, hlm. 19.
68
untuk praktis. Hal ini menurutnya, karena wahyu al-Qur‘an
sebagai dasar dogma merupakan motivasi bagi tindakan di
samping sebagai objek pengetahuan.97
Pandangan Hassan Hanafi mengenai sifat fungsional
dan dimensi psikologis dari al-Qur‘an di sini --dan bukannya
sifat kebenarannya empiris-historis dari isinya secara
keseluruhan seperti pandangan banyak kaum Muslim-- perlu
memperoleh perhatian sebab berpengaruh pada pendirian
hermeneutisnya mengenai hakikat teks, intepretasi, makna,
dan kebenaran bahasa agama. Sebuah dogma, hanya dapat
diakui eksistensinya jika didasari sifat keduniaannya sebagai
sebuah sistem ideal, namun dapat terealisasi dalam tindakan
manusia. Karena, satu-satunya sumber legitimasi dogma
adalah pembuktiannya yang bersifat praktis. Menurutnya
realisasi wahyu dalam sejarah melalui perbuatan manusia
sama dengan realisasi perbuatan illahiyyah dan dengan
sedirinya, merupakan realisasi kekuasaan (khilafah) Tuhan di
atas bumi. Prinsip yang sama menjadi dasar penciptaan dan
penerapan hukum-hukum Tuhan (al ahkam al syar‟iyyah) di
dunia. Itulah sebabnya mengapa yurisprudensi (‗ilm usûl al
fiqh) dianggap „ilm al tanzil, yang dibedakan dari „ilm al
ta‟wil dalam tradisi sufisme. Sebab yang terakhir ini
menginginkan gerak dari manusia kepada Tuhan, sementara
97
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 18.
69
yurisprudensi menginginkan transformasi Tuhan kembali
menuju kehidupan manusia.98
Kita tidak perlu membuktikan
teoritis akan eksistensi Tuhan kecuali sebagai pengenalan
terhadap sabda-sabda-Nya dalam kehidupan dunia. Tuhan
sebagai personal, oleh Hassan Hanafi, diletakkan dalam
tanda kurung, sehingga teologi positif tidak lagi berurusan
dengan fakta, intuisi, atau aturan, tetapi transformasi wahyu
dari teori ke praktik. 99
Dengan kritik praktis ini,
dimaksudkan ingin menunjukkan fungsi transformatif wahyu
dalam kehidupan manusia.
Kritik historis, analisis makna dan praktis teks ke
dalam realitas tidak lain merupakan konsekuensi logis dari
objek analisis hermeneutika aksiomatis, yakni teks-teks suci.
Sementara terhadap teks-teks lain, seperti teks sastra,
analisisnya hanya perlu pada tahap historis dan eidetis.
Bahkan dalam banyak kasus yang dibutuhkan hanyalah
masalah terakhir. Keaslian teks sastra harus selalu diterima,
98
Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah, hlm. 102. Lihat pula Hassan
Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan. Cet. Ke-2. Kairo: Dâr Qubâ,
1998, hlm. 17-56. Menurutnya, Memang benar wahyu telah
dikodipikasikan, bahwa pembacaan dilakukan terhadap tradisi dan
interpretasi terhadap kitab suci. Namun, wahyu sendiri melalui asbâb al
nuzûl. Realitas sebagai yang pertama dan wahyu sebagai yang kedua.
Realitas bertanya dan wahyu menjawab. Dengan demikian, tanzil,
sebenarnya penafsiran. Turun dari langit pada hakikatnya terangkat dari
bumi. Upaya mencari makna dari asal melalui kaidah bahasa sebenarnya
bersejajar dengan memburu illat melalui pengalaman (Hassan Hanafi,
Humûm al Fikr wa al Wathan, hlm. 17-56). 99
Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 18.
70
kecuali pada teks-teks kuno.100
Menurutnya, hal ini tidak
dengan sendirinya menunjukkan bahwa hermeneutika sacra
berbeda dari hermeneutika umum (general hermeneutics),
sebab pada dasarnya yang pertama tetap merupakan bagian
yang terakhir. Hanya saja, dalam hal objek penafsiran,
hermeneutika sacra menampilkan spektrum analisis yang
lebih luas, mengingat pemahaman pada suatu kitab suci tidak
mungkin melepaskan diri dari masalah otentisitas,
pemahaman maknanya, dan realisasi pemahaman tersebut
dalam dunia nyata. 101
Hal yang menarik dari gagasan Hassan Hanafi
tersebut adalah pandangannya tentang fungsi hermeneutika
al-Qur‘an sebagai sarana perjuangan melawan bermacam-
macam bentuk ketidakadilan dan eksploitasi dalam
masyarakat. Di samping itu, hermeneutika al-Qur‘an Hassan
Hanafi menghasilkan tafsir perseptif (kesadaran), yakni tafsir
berdasarkan kesadaran tentang kemanusiaan, hubungan
manusia dengan yang lainnya, tugasnya di dunia,
kedudukannya dalam sejarah, dan untuk membangun system
sosial dan politik.
Demikian kuatnya kepentingan praksis dalam
hermeneutika al-Qur‘an Hassan Hanafi, perbincangan
mengenai hermeneutika al-Qur‘an dianggap sebagai salah
100
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. 101
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, Ibid.
71
satu bagian dari sebuah skema besar perubahan sosial.
Praksis adalah tujuan, setelah dilakukan kritik sejarah teks
dan analisis eidetik. Di samping itu, hermeneutika al-Qur‘an
sebagai salah satu elemen transformasi social dari proyek
yang digagas oleh Hassan Hanafi, al Turats wa Tajdid yang
mencakup tradisi, kritik atas dunia Barat dan transformasi
realitas kontemporer.
Meskipun membangun hermeneutika dengan praksis,
pada kenyataannya Hassan Hanafi lebih banyak bergerak
dalam kerangka teori. Barangkali kenyataan ini harus
dipahami dalam pengertian bahwa praksis terletak bukan
karena hermeneutikanya hanya berbicara tentang teori dan
formulasi tafsir perubahan, dan bukannya dalam bentuk aksi
sosial. Sebab maksud praksis di sini adalah keterkaitan
antara teori dan praktek, refleksi dan aksi yang dapat menjadi
sumbangan bagi para aktitivis gerakan dalam melakukan
usaha-usaha transformatif. Alasan ini juga menurut penulis
dapat dijadikan jawaban terhadap kritik yang diajukan
Boulatta yang mengatakan Hassan Hanafi terlalu teoritis
untuk dipraktekan.
D. Urgensi Hermeneutika Al-Qur’an
Berdasarkan pembacaan terhadap penafsiran-
penafsiran yang ada dalam penafsiran tradisional yang
72
hanya bertumpu pada teks, menurutnya penafsiran semacam
ini merupakan pengalihan, al intiqâl yang hanya
memindahkan bunyi teks kepada relitas, seakan-akan teks-
teks keagamaan itu adalah realitas yang dapat berbicara
sendiri.102
Padahal, metode yang hanya bertumpu pada teks
102
Hassan Hanafi, al Yasâr al Islâmî, hlm. 30. Berikut ini penjelasan Hassan Hanafi tentang kelemahan-kelemahan penafsiran yang bertumpu pada teks. Pertama, teks adalah teks, bukan realitas. Teks hanya merupakan sebuah deskripsi linguistik tentang realitas yang tidak dapat menggantikannya. Oleh karena itu, setiap argumentasi harus autentik. Penggunaan teks sebagai sebuah argumentasi harus merujuk kepada otentisitasnya di dalam realitas. Kedua, berbeda dengan rasio atau eksperimentasi yang memungkinkan manusia mengambil peran untuk turut menentukan, teks justru menuntut keimanan a-priori terlebih dahulu. Sehingga, argumentasi teks hanya dimungkinkan untuk orang yang percaya. Hal ini merupakan kenyataan yang elitis. Ketiga, Teks bertumpu pada otoritas kitab suci dan bukan pada otoritas akal. Padahal, otoritas seperti ini tidaklah argumentatif, karena terdapat banyak kitab suci, sementara realitas dan akal hanya satu. Keempat, Teks adalah pembuktian (al burhân) asing, karena ia datang dari luar dan tidak dari dalam realitas. Padahal dalam pembuktian, keyakinan yang datang dari luar selalu lebih lemah daripada keyakinan yang datang dari dalam. Kelima, Teks membutuhkan acuan realitas yang ditunjuknya. Tanpa acuan ini teks menjadi tidak bermakna, dan bahkan akan menyelewengkan maksud-maksud semua teks yang sesungguhnya. Sehingga terjadilah salah paham dan aplikasi teks yang tidak pada tempatnya. Keenam, teks itu bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Sehingga tidak mungkin untuk beriman kepada satu kitab dengan mengingkari yang lain. Ini hanya akan menjebak para penafsir ke dalam pola pikir parsialistik. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan, yang tidak luput dari pertimbangan-pertimbangan untung rugi. Seorang kapitalis tentu akan memilih teks-teks yang melegitimasi kepentinganya, sebagaimana seorang sosialis akan melakukan hal yang sama terhdap teks lain. Di sini, yang menjadi penentu bukanlah teks, melainkan kepentingan penafsir. Teks hanya memberi legitimasi terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Kedelapan, posisi sosial seorang penafsir menjadi basis bagi pilihannya terhadap teks. Sehingga di dalam realitas, pertikaian dan perbedaan para penafsir akan menjadi sumber pertikaian masyarakat, sebangun dengan pertikaian di antara kekuatan yang ada. Kesembilan, teks hanya berorientasi pada keimanan dan emosi keagamaan. Ia hanya sebagai pemanis dalam apologi para pengikutnya, tetapi tidak mengarahkan kepada rasio dan realitas keseharian mereka. Oleh karena itu, pendekatan
73
seperti itu mempunyai banyak kelemahan terutama dari segi
epistimologi. Kelemahan-kelemahan disebutkan Hassan
Hanafi, disebabkan ada sebelas faktor yang dapat
disimpulkan di antaranya sebagai berikut ini. Pertama,
tidak menjadikan realitas sebgai teks.103
Kedua, tidak
menjadikan teks sebagai pembuktian dari dalam realitas
yang mempunyai nalar, sehingga teks sebagai argumentasi
yang diperuntukan bagi orang yang percaya dikarenakan
teks menuntut orang percaya terlebih dahulu.104
Ketiga, teks
tidak dikaitkan dengan realitas sebagai acuan yang
ditunjukinya. Keempat, tidak menjadikan teks yang bersifat
unilateral. Kelima, menganggap hanya ada satu pemahaman
dari suatu teks, padahal teks itu merupakan satu pilihan
penafsir dari sekian banyak penafsiran. Jadi, yang
menentukan teks adalah penafsir itu sendiri yang
tekstual bukan metode ilmiah yang menganalisis realitas kaum muslimin, melainkan hanya sebuah model apologetik untuk memperjuangkan kepentingan suatu golongan atau sistem tertentu melawan yang lain. Padahal apologi jauh lebih rendah nilainya daripada pembuktian. Kesepuluh, metode teks lebih cocok untuk nasihat dari pada untuk pembuktian, karena ia hanya memperjuangkan Islam sebagai suatu prinsip tetapi tidak memperjuangkan kaum muslimin sebagai umat. Kesebelas, kalaupun mengarah kepada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif. Padahal kita sesungguhnya membutuhkan penjelasan tentang realitas sampai kepada fakta, siapa memiliki apa (Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî, hlm. 30).
103 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern
World Vol. II, hlm. 207-208.
104 Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern
World Vol. II, hlm. 211.
74
dilatarbelakangi oleh kepentingannya.105
Keenam, teks tidak
diarahkan kepada rasio dan kenyataan keseharian umat.
Ketujuh, metode tekstual tidak memperjuangkan muslim
sebagai rakyat melainkan, memperjuangkan Islam sebagai
prinsip. Kedelapan, tidak menjelaskan perhitungan secara
kuantitatif.
Terlalu bertumpu dengan metode linguistik,
menjadikan mufasir mengbaikan terhadap prinsip-prinsip
metode pengalaman eksperimental (al manhaj al tajrîbî)
yang menjadi dasar „ilat dalam penetapan suatu hukum,
istinbath, suatu istilah dalam hukum Islam.106
Sebaliknya,
metode yang terlalu bertumpu pada rasio atau analisis nalar
sering dijumpai kontroversi sering terjebak pada penafsiran
bertele-tele, penafsiran teks yang tidak memperhatikan
apakah dibutuhkan penafsiran di situ atau tidak.107
Untuk menangani problem yang pertama Hanafi
mencoba mengemukakan metode untuk menelaah suatu
teks dengan tafsir al syu‟ûrî (tafsir perseptif, kesadaran)
dengan metode tematik. Tafsir ini dimaksudkan agar al-
Qur‘an mendiskripsikan manusia, hubungannya dengan
105
Bandingkan pula dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II, hlm. 167.
106 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir,
vol. II. hlm. 167.
107 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir,
vol. II. hlm. 179.
75
manusia lain, tugasnya di dunia, kedudukannya dalam
sejarah, membangun sistem sosial dan politik.108
Tafsir ini
menggunakan metode kuantitatif dengan angka-angka dan
statistik sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya
sendiri yang langsung merujuk secara objektif pada konteks
realitas tersebut dan mendefinisikan secara kuantitatif.109
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, kuantifikasi ini
selalu lebih detail dan akurat daripada sekedar identifikasi
abstrak. Kalau para ulama terdahulu, semacam Ibn
Taymiyah (1262-1327 M), menjadikan akal dan persaksian
sebagai aksioma (dalil) yang mendasari pengutipan suatu
teks, maka tafsir metode baru ini , menambahkannya110
dengan eksperimen, realitas kuantitatif dan penggunaan
bahasa angka-angka terutama untuk hal-hal yang berkaitan
dengan distribusi kekayan kaum muslimin kepada
keseluruhan umat.
Sebagai penyelesaian untuk problem yang kedua,
Hassan Hanafi mengajukan alternatif lain berupa metode
analisis pengalaman (manhaj tahlîl al khubrât)., analisis
yang bertumpu pada pengalaman hidup tidak saja akan
membawa kepada makna teks, namun, bahkan kepada
108
Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî: Kitâbât fî al Nahdlah al Islâmiyah, hlm. 19.
109 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî. hlm. 30.
110 Hassan Hanafi, Jurnal al Yasâr al Islâmî. hlm. 30.
76
realitas itu sendiri, yakni hakikat keagamaan yang
diungkapkan teks. Inilah yang dimaksudkan dengan al ta`
wil.111
Prosedur dari pendekatan ini adalah orang yang ingin
menafsirkan teks, terlebih dahulu harus menganalisis
pengalamannya sendiri sebelum memulai penafsiran teks
atau menulisnya.112
Tujuannya adalah untuk memunculkan
pada diri penafsir berbagai kepentingan, motivasi dan
imajinasi tertentu yang mendasari dan mengarahkan
penafsiran. Setelah itu barulah hasilnya dikorelasikan
dengan teks.113
E. Teori Analisis Teks dan Orientasinya
Konsepsi Hassan Hanafi mengenai beberapa
pengertian teks dan proses memahaminya dalam literatur
Islam klasik terefleksi dalam istilah-istilah seperti qira‟ah,
tafsir, ta`wil, dan syarh yang agak spesifik. Menurut
Hanafi, membaca teks pada dasarnya sinonim dengan
proses memahaminya, sementara yang menjadi obyek
pemahaman itu adalah teks.114
Menurut Sara Mills, seorang
111
Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir, vol. II. hlm. 180.
112 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir vol.
II. hlm. 180. Bandingkan dengan Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Jakarta: Teraju, 2002 hlm. 145.
113 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.
114 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 526.
77
ahli bahasa dari Inggris, mengatakan bahwa teks adalah
suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh
karena itu, pembaca di sini tidaklah dianggap semata
sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut
melakukan transaksi segaimana akan terlihat dalam teks.115
Membaca teks ini dapat disejajarkan dengan teori
pengetahuan dalam filsafat skolastik yang ditandai dengan
relasi subyek-objek. Jika membaca adalah subjek, maka
objeknya adalah teks. Membaca berarti memahami dengan
sendirinya juga berarti menafsirkan dan mentakwilkannya.
Menurut Sara Mill bahwa sebuah berita harus dilihat
bagaimana satu pihak, kelompok, orang gagasan atau
peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana
berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh
khalayak. Bahkan menurut Mills, bagaimana posisi dari
berbagai aktor sosial, posisi gagasan , atau peristiwa itu
ditempatkan dalam teks.116
115
Menurut Mills membangun model yang menghubungkan antara penulis, teks dan pembaca mempunyai sejumlah kelebihan. Pertama, akan melihat secara komprehensip melihat teks bukan hanya berhungan dengan faktor produksi namun juga resepsi. Kedua, posisi pembaca di sini ditempatkan dalam posisi yang penting karena memang teks ditujukan untuk secara langsung atau tidak ―berkomunikasi‖ dengan khalayak. Dikutip dari Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKis, 2001, hlm. 204-205.
116 Eriyanto, Analisas Wacana, Yogyakarta: LKis. 2001, hlm 201.
Mills memberikan contoh bahwa seorang aktor yang mempunyai posisi tinggi ditampilkan dalam teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan bagaimana pihak lain ditampilkan. Wacana media
78
Tafsir berada pada level kedua dalam proses
pembacaan ketika pemahaman dengan persepsi langsung
tidak dimungkinkan. Instrumen-instrumennya adalah logika
bahasa, orientasi teks (taujih al nash) atau konteks sosial
dan rûh al „ashr (semangat zaman). Jika penafsiran dengan
logika bahasa menemui jalan buntu, sementara signifikansi
teks, kebutuhan sosial dan spirit zaman semakin menguat,
maka yang terjadi adalah proses ta‟wil.117
Sementara syarh
(komentar) mencakup ketiga hal sebelumnya yakni qirâ`ah
atau pemahaman dengan persepsi langsung, penafsiran, dan
ta`wil.
Dalam kedudukannya sebagai bangunan
pengetahuan yang komprehensif, syarh , mencakup
hubungan antara proses membaca dan teks dalam relasi
subjek-objek. Pembacaan suatu teks lebih lanjut dapat
menjadi kegiatan yang bercorak pribadi terjadi ketika
seseorang membaca teks orang lain yang berasal dari
kebudayaan yang sama sebagai sebuah penghampiran
tertentu terhadap tradisi mereka berdua dan dapat pula
bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subyek yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan peristiwa atau kelompok lain ke dalam bentuk struktur wacana tertentu yang akan hadir kepada khalayak. Dikutip dari Eriyanto yang mengutip dari Sara Mills, Discourse, London and New York, Routledge, 1997.
117 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527
79
mencerminkan dialektika sosial.118
Pembacaan jenis ini
lebih merupakan interpretasi dengan tujuan melakukan
korelasi dan pembaharuan guna memenuhi atau
menyesuaikan dengan semangat zaman. Sedangkan, jika
pembacaan dilakukan seseorang pada orang lain dari
peradaban yang berbeda, maka yang terjadi adalah
peristiwa dialektika kebudayaan.119
Pembacaan teks yang dilakukan oleh seseorang
dalam dua bentuk di atas bukan sekedar sebagai tafsir,
ta‟wil dan syarh belaka terhadap objeknya. Melainkan,
sebagai proses rekonstruksi makna teks menurut persepsi
pembaca yang mencakup pembacaan, analisis, kritik, dan
―rekonstruksi‖ untuk menyempurnakan struktur dan
penyingkapan aturan-aturan teks.120
Pada sisi lain, pembacaan teks bukanlah seni, tapi
ilmu praktis yang bersifat komulatif guna menyingkap
struktur dasar sutu teks, baik yang berbentuk dalam rentang
118
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. Bandingkan dengan pendapat Sara Mills bahwa posisi pembaca sangatlah penting dan harus diperhitungkan dalam teks. Bahkan, Mills menolak pandangan banyak ahli yang menempatkan dan mempelajari konteks semata dari sisi penulis, sementara dari sisi pembaca diabaikan. Dalam model semacam ini, teks dianggap semata sebagai produksi dari sisi penulis dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembaca yang hanya ditempatkan dan dianggap sebagai konsumen yang tidak mempengaruhi pembuatan suatu teks. Dikutip dari Eriyanto, Analisis Wacana, th. 2001, hlm. 203.
119 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 528.
120 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 529.
80
waktu yang panjang atau dalam periode yang singkat.
Hermeneutika dapat disebut ilmu yang menentukan
hubungan antara subyek dengan obyeknya. Subyek adalah
penafsiran dengan kegiatan penafsirannya, sementara obyek
adalah teks.121
Meskipun terdapat pemilahan antara teks profan
dengan teks sakral semua teks diperlakukan sama sebagai
konsekuensi leburnya pemilahan antara hermeneutika sacra
dan hermeneutika profan dalam diskursus hermeneutika
kontemporer. 122
Hassan Hanafi menganggap keistimewaan
121
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 526. Bandingkan dengan Eriyanto yang mengutip Sara Mills yang mengatakan bahwa teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dengan pembaca. Mills mengajukan beberapa alasan kenapa model yang menempatkan pembaca hanya sebagai penerima (yang tidak mempengaruhi proses produksi teks) tidak begitu akurat. Pertama, dalam model tradisional ini, penulis dipandang sebagai pihak yang secara sewenang-wenang dapat mengontrol teks. Padahal dalam kenyataannya penulis tidak ―bebas‖ semacam itu. Dalam teks berita misalnya pewarta juga memperhitungkan apa yang disukai pembaca, karakteristik pembaca yang ia tuju, dan sebagainya. Untuk pembaca dengan kelas sosial atau kelompok umur tertentu, tulisan dibuat dengan gaya dan topik tertentu. Hal ini akan berbeda apabila ia menulis untuk kelompok sasaran pembaca yang lain. Dengan, demikian tidak ada otonomi besar pada diri penulis karena ia berhadapan dengan pembaca atau khalayak yang dibayangkan. Kedua, dalam faktanya, pembaca mempunyai peranan penting yakni dalam bagaimana teks itu ditafsirkan. Pembaca adalah kreator, ia bisa menafsirkan teks bahkan berbeda dengan yang diyakini oleh penulis. Sebuah teks bahkan bisa dikreasikan ulang membentuk teks baru oleh pembaca. Kutipan Eriyanto dari Sara Mills ‗Knowing Your Place: A Marxist Feminist Stylistic Analysis‘ dalam Michael Toolan (ed.) Language, Text and Context: Essays in Stylistics, London and New York, Routledge, 1992.
122 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527. Bandingkan
dengan Hassan Hanafi, Religious Dialogue and Revolution, hlm. 3.
81
al-Qur‘an sebagai teks kategori dalam praktek keagamaan
masyarakat dan bukan kategori dalam hermeneutika.123
Desakralisasi teks-teks suci, termasuk al-Qur‘an
tersebut menciptakan hubungan-hubungan simetris antara
al-Qur‘an, kesadaran, dan realitas, sebagai antitesis
hubungan-hubungan struktural dalam hermeneutika al-
Qur‘an klasik. Dalam penafsiran tradisional, teks atau al-
Qur‘an berada di puncak dan pusat, sedangkan realitas tidak
dibicarakan secara eksplisit.124
Untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan tafsir tradisional terutama dari segi
orientasi ini diperlukan membangun metode tafsir
kontemporer yang dapat menjembatani kesenjangan antara
teori tradisional dan realitas.125
Pemahaman terhadap al-Qur‘an adalah perbincangan
mengenai teori penafsiran (nazhariyah al tafsir) yang
mampu mengungkapkan kepentingan masyarakat,
123
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 495. Hassan Hanafi, Humûm al Fikr wa al Wathan, vol. II. Kairo: Dar Quba, 1997, hlm. 23-30.
124 Menurut Hassan Hanafi, dalam realitas penafsiran al-Qur‘an saat
ini, terlihat ada pemilahan antara teori tafsir tradisional berupa ilmu-ilmu al-Qur‘an, teks-teks yang berisi penjelasan tradisional dengan realitas kekinian yang muncul dengan beragam pemikiran sekulernya tanpa memperhatikan teks-teks tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan jembatan penghubung di antara keduanya. Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah. Vol II, hlm. 177. Bandingkan dengan Ilham E. seorang, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 140 dan 177.
125 Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir,
vol. II. hlm. 177.
82
kebutuhan kaum muslimin dan isu-isu kontemporer.126
Sehingga diharapkan dapat mengatasi kekurangan yang
terdapat dalam tafsir-tafsir tradisional yang tidak pernah
melakukan perbincangan teoritis sebelumnya secara
tuntas.127
Tafsir yang tidak memperbincangkan teoritas seperti
itu seperti terlihat dalam tafsir tradisional yang
mengakibatkan tidak otonom dan terjebak pada orientasi
metodologis dari disiplin tradisional. Dalam materinya,
tafsir tradisional menjadikan al-Qur‘an lebih banyak
dijadikan sumber justifikasi suatu keilmuan.128
Padahal,
baginya, al-Qur‘an bukan merupakan buku panduan bahasa,
hukum, sejarah, tasawuf, teologi, filsafat, bahkan ilmu
pengetahuan, panduan sosial politik atau panduan tentang
metafora.129
Menurutnya al-Qur‘an lebih baik dipandang
126
Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir, vol. II. hlm. 175. Bandingkan dengan Hassan Hanafi, ‗Manâhij al Tafsîr‘ dalam al Dîn wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, vol.7, hlm. 78.
127 Teoritisasi dimaksudkan Hassan Hanafi untuk meletakkan
kembali al-Qur‘an sebagai sumber dan obyek pengetahuan secara simultan di hadapan rasionalitas sebelum melakukan kegiatan keilmuan lainnya berupa pembuatan hukum, sebelum membangun keilmuan Islam apapun, atau sebelum merekonstruksi disiplin tradisional Islam, baik ushul fiqh, tasawuf, fiqh, kalam, filsafat dan sebagainya (Hassan Hanafi, Qadlâyâ Mu‟âshirah: fî Fikrinâ al Mu‟âshir, vol. II, hlm. 176.
128 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I., hlm. 485-
494.
129 Hassan Hanafi. ‗Manâhij al Tafsîr‘, dalam Hassan Hanafi, al Dîn
wa al Tsaurah fî Mishr 1952-1981, Vol. 7, hlm. 79-101.
83
dan berfungsi sebagai sebuah etos atau sumber motivasi
bagi suatu tindakan.130
1. Prinsip-Prinsip dalam Analisis Teks.
Berbeda dengan pandangan yang banyak
berkembang di kalangan pemikir Muslim, Hassan Hanafi
menganggap bahwa sebuah teks tidak mengandung makna
objektif apa pun. Teks selalu merupakan praktik manusiawi
semenjak penciptaan pertama hingga pembacaan terakhir.131
Pandangan ini didasarkan pada sifat kesejarahan dari teks.
Seperti disinggung sebelumnya, Hassan Hanafi
menganggap teks sebagai bagian dari praksis ideologi.
Sebagai konsekwensinya, tidak ada pembacaan teks yang
objektif, kecuali penafsiran itu sendiri. Apa yang terjadi
dalam wilayah penafsiran tidak lain adalah pembacaan
masa lalu dalam kacamata kekinian.
Setiap penafsiran dengan sendirinya menjadi
proyeksi masa kini ke dalam masa lalu, dan bukan
sebaliknya. Sehingga, upaya penulusuran sebagai arkeologi
(al hufriyat) dalam tafsir memperoleh makna awal selalu
merupakan kegiatan yang sia-sia. Karena sekalipun apa
yang diklaim sebagai makna awal dapat ditemukan, bukan
130
Hassan Hanafi. Religion Dialogue and Revolution, hlm. 17.
131 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 536.
84
serta-merta berarti menemukan makna teks yang
sesungguhnya.132
kebenaran dalam proses pemahaman tidak terletak
pada korespondensi makna dengan realitas masa lalu
sebagaimana diyakini epistimologi konvensional, akan
tetapi dari korelasi makna dengan pengalaman hidup
manusia.133
Penafsiran dapat dibenarkan sejauh ia
fungsional dalam sejarah. Karena penafsiran tidak lain
merupakan persaksian subyek di hadapan individu,
masyarakat dan sejarah. Agaknya, hal ini merupakan
jawaban atas pertanyaan dimanakah letak makna al-Qur‘an
apakah ada pada realitas di abad ketujuh atau pada Tuhan.
Ketika membaca makna teks dalam sejarah, meskipun
terdapat bukti-bukti sejarah tentang situasi yang melahirkan
teks, namun, ia tetap bukan menjadi pendasaran bagi
penafsiran makna masa kini. Hal ini karena sumber sejarah
tetap tidak akan pernah memadai. Kalaupun sumber sejarah
dijadikan sumber, yang terjadi adalah kontroversi sejarah
ketimbang menafsirkan teks tersebut.134
Penafsiran teks dalam situasi kontemporer
sepenuhnya merupakan kegiatan produktif, penemuan
132
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.
133 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 537.
134 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.
85
makna-makna baru dari teks. Tidak mempersoalkan apakah
sesuai atau tidak dengan makna aslinya, demikian juga
apakah konteks situasionalnya sama atau berbeda. Istilah ini
sebagai ―proyeksi masa kini ke dalam masa lalu‖ atau
―metode retroaktif‖.135
Membaca teks sebagaimana menulisnya, sama-sama
merupakan tindakan ideologis. Setiap pembacaan
merupakan keputusan dan rekonstruksi obyek bacaan
dengan mengabaikan situasi awal di mana teks muncul dan
teralienasi. Oleh karena itu, baik penulisan maupun
pembacaan teks masing-masing merupakan ―senjata
ideologis‖.136
Setiap kelompok membaca sekaligus
memproyeksikan diri ke dalam teks, mencari
kepentingannya dan menjadikan teks sebagai justifikasi
untuk kepentingan berbagai tindakan sosial.
Sebagai kegiatan produktif, suatu bacaan atas teks
berfungsi untuk menemukan dimensi-dimensi baru dalam
teks sebelumnya bahkan dalam makna awalnya yang sama
sekali belum ditemukan. Hal ini dapat saja terjadi karena
pemahaman manusia senantiasa diperkaya oleh akumulasi
pengetahuan yang memperkenalkan berbagai temuan yang
135
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.
136 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 538.
86
tidak pernah disadari sebelumnya.137
Di samping itu,
pemahaman manusia senantiasa dideterminasi oleh
kesadarannya akan realitas sosial dan individual di mana ia
hidup. Determinasi sosial kebudayaan seperti itulah yang
menyajikan persepsi tertentu yang bisa saja berbeda dengan
pemahaman penafsiran sebelumnya.
Ada tiga prasyarat yang tidak mungkin diabaikan
dalam sutu pembacaan teks.138
1. Kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah (historically
effected consciousness)
Pijakan pada situasi tertentu yang dalam
hermeneutika filosofis disebut sebagai prapaham atu
kesadaran yang dipengaruhi oleh sejarah. Konsep ini
menunjukkan bahwa setiap pemahaman manusia selalu
berpijak dari suatu pemahaman sebelumnya mengenai apa
yang dibutuhkan dan apa yang menjadi tujuan penafsiran
teks. Dasar ini kemudian memberikan tawaran pemilihan
makna tertentu bagi penafsir.139
penafsiranlah yang
menentukan pilihan makna bagi teks. Sebaliknya, seorang
penafsir yang melakukan pembacaan terhadap teks yang
137
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.
138 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546.
139 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530. Bandingkan
dengan Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. I, hlm. 497; Bandingkan pula dengan Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics. Yale: Yale Universuty, 1994 114.
87
tanpa dibekali dengan kepentingan tidak akan menemukan
apa-apa. Menurutnya, makna adalah tujuan yang telah
ditentukan sebelum pembacaan dilakukan.
Hassan Hanafi menolak klaim objektivitas dalam
pembacaan teks. Sebaliknya, pembacaan yang tidak
dikaitkan dengan kepentingan itulah yang justru ideologis
karena berprasangka bahwa telah mengatakan sesuatu dari
teks yang objektif, padahal ia sama sekali tidak memberi
tafsiran yang objektif kecuali refleksi dari tendensi tertentu.
Prasyarat140
pemahaman yang pertama ini bukan semata-
mata aturan teoritik yang mendahului penafsiran, bukan
pula tendensi ideologis atau ide seseorang, akan tetapi
prinsip umum dan objektif yang melampaui relativitas;
menyerupai kepentingan umum dan kecenderungan pikiran.
2. Berpihak kepada kepentingan umum.
Suatu interpretasi tidak berada dalam ruang kosong,
tetapi bergerak dalam arus sejarah. Sementara, sejarah
menurutnya, berkaitan dengan struktur-struktur sosial yang
menggambarkan hubungan dialektis antara penguasa
dengan yang dikuasai sehingga, masing-masing penguasa
memiliki bentuk penafsirannya.141
Terhadap fenomena
sosial tersebut, sebuah metode tafsir harus menjadi bagian
140
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546.
141 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 546-547.
88
dari gerakan sosial dan reformasi untuk tetap menjamin
terwujudnya kepentingan umum. Penafsiran apa pun harus
berpihak pada kepentingan yang bersifat publik dan
menolak pembacaan lain yang berpusat tendensi ideologi
dan teologis yang berpihak pada penguasa.
3. Harus berpijak pada ―bahasa relitas‖.
Seorang penafsir tidak dapat membatasi diri pada
teks dalam pengertian tertulis, tapi teks dalam pengertian
―realitas‖. Penafsiran menstransformasikan bahasa kepada
masyarakat dan eksistensi untuk memperoleh relasi antara
teks dengan realitas.142
Jadi, pada tahap ini penafsiran dapat
disebut juga sebagai sebuah praksis karena realitaslah yang
menafsirkan teks dan mendefinisikan tujuan-tujuannya.
2. Nilai dan Kekuatan Teks
Teks merupakan penulisan semangat zaman yang
terungkap dalam pengalaman individu dan masyarakat pada
banyak situasi. Jadi, setiap teks selalu merupakan refleksi
realitas sosial tertentu. Teks bukan semata-mata sebagai
gambaran internal penulisnya, melainkan, teks juga
merupakan sarana pembentukan kesadaran akan realitas
tertentu yang terefleksi dalam teks.143
142
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 547.
143 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 533.
89
Penulisan teks senantiasa tunduk pada faktor-faktor
subjektif, persepsi tentang kenyataan, persepsi dalam
membaca dan menentukan orientasi tertentu. Hassan Hanafi
menyebut ―teks sebagai praktik ideologi‖ (al nash „amal
aydiyûlûjî)144
. Dalam hal ini, teks pun bersifat arbitrer
karena merupakan pilihan penulisnya pada satu maksud dari
keragaman fenomena yang ia hadapi untuk sesuatu di masa
datang.
Di samping itu, tujuan penulisan teks tidak lain
bersifat etis dan ideologis. Disebut etis karena penulisan
suatu momentum sejarah ke dalam teks berkaitan dengan
keinginan memberi petunjuk tertulis kepada generasi
mendatang. Sementara disebut sebagai bersifat ideologis,
karena langsung atau tidak, teks merupakan sarana efektif
untuk mewariskan kekuasaan.145
Sebagai medium kuasa, teks tidak hanya berfungsi
sebagai preservasi makna, tetapi juga merefleksikan otoritas
tertentu dalam kapasitasnya sebagai pemberi petunjuk,
hukum, dan keputusan. Bahkan, dalam masyarakat
tradisional di mana teks menjadi sumber pengetahuan, ia
144
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 536.
145 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.
90
merupakan kekuasaan itu sendiri.146
Peran teks sebagai
medium kuasa memang sentral dalam banyak teori teks.
Dalam kritik wacana misalnya sering disinggung bahwa
dalam masa transisi dari kebudayaan lisan kepada
kebudayaan tulisan sering terjadi pertarungan ideologis
dalam rangka membakukan pemikiran atau doktrin tertentu
ke dalam memori umat. Dalam proses tersebut tekslah
merupakan instrumen yang sangat efektif.147
Dalam tradisi dari kebudayaan oral ke tulisan terjadi
proses penyeragaman berbagai fenomena sosial ke dalam
penafsiran tertentu. Hanafi menunjukkan contohnya dalam
kasus penyeragaman bacaan al-Qur‘an ke dalam dialek
Quraisy sebagai proses interpretasi, kalau bukan intervensi
manusia ke dalam teks.148
Hassan Hanafi bukannya
keberatan dengan kejadian semacam di atas. Melainkan,
dari sana ia ingin menunjukkan adanya sifat historisitas dari
setiap teks. Di samping itu, secara tidak langsung
merupakan pendasaran bagi pandangannya tentang
interpretasi teks sebagai proses kreatif.
146
Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi‟i: Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, terj. Khoiron Nahdhiyyin, Yogyakarta: LKIS, 1997, hlm. 215.
147 Nashr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi‟i: Moderatisme,
Ekletisisme, Arabisme, hlm. 215.
148 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 530.
91
Dalam masyarakat tradisional, fungsi instrumental
teks lebih signifikan lagi. Sebab masyarakat menganggap
teks sebagai argumen otoritatif. Ia menjadi semacam
pengetahuan teoritis dan norma praktis bagi pola prilaku
masyarakat. Pada intinya, teks merupakan pembentuk
pandangan dunia (weltanschauung) dan standar prilaku
massa.149
Wujud teks dalam masyarakat tradisional dapat
dianggap sakral, seperti risalah kenabian, dan kitab suci.
Teks dapat pula bersifat profan seperti bentuk pribahasa dan
puji-pujian.150
Namun demikian, perbedaan keduanya
hanyalah pada derajat bukan pada jenis. Oleh sebab itu,
secara teoritis, teks profan maupun sakral tunduk pada
aturan yang sama dalam interpretasi teks.151
Tradisional
teks demikian sentral sehingga teks kitab suci masih
menjadi sumber pengetahuan dan norma prilaku. Demikian
juga hermeneutika. Dalam masyarakat tradisional,
hermeneutika dapat menggantinkan posisi epistimologi
dalam masyarakat sekuler, sehingga norma prilaku terdapat
dalam teks kitab suci dan bukan diperoleh dari alam dan
149
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 208.
150 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 206.
151 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527.
92
nalar.152
Sebaliknya, dalam masyarakat sekuler alam dan
nalarlah yang menjadi sumbernya.
Teks mengandung dinamika dan vitalitas di
dalamnya. Akan tetapi, sebelum dilakukan pembacaan,
maka ia hanya potensial dan status sifatnya. Membaca teks
berarti menghidupkannya. Teks adalah forma yang perlu
diberi subtansi melalui penafsiran manusia.153
Dalam kaitan
dengan penafsiran, setiap teks berarti mengandung potensi
dinamis yang memungkinkan dilakukannya penafsiran
kreatif.
Dalam kaitannya dengan hal ini, teks keagamaan
dan teks sastra lebih tinggi lagi kadar probabilitas dan
pilihan maknanya ketimbang teks-teks konseptual. Karena
teks-teks semacam ini mengandung sifat ―mistis‖ yang
tercermin oleh banyaknya perumpamaan, alegori, dan
kiasan. Teks-teks demikian, memberi imajinasi yang lebih
besar pada pembentukan makna.154
Teks juga selalu bersifat ambigu; selalu tersedia
pluralitas makna. Pembacaan teks bertugas memberi
keputusan dengan mempertimbangkan konteks di mana ia
berada. Karakter seperti ini mencerminkan bahwa teks
152
Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 206.
153 Hassan Hanafi, Islam in The Modern World Vol. II., hlm. 211;
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 527.
154 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 534.
93
selalu membutuhkan penafsiran yang dengannya makna
menjadi jelas dan eksplisit.155
Dengan ungkapan lain, dia
mengatakan bahwa ―teks adalah bentuk tanpa isi, dan isi
tanpa jasad, pembacaanlah yang memberinya subtansi dan
bentuk.
3. Perubahan Nilai Makna Suatu Teks.
Teks dalam persepsi seorang penafsir tidak memiliki
makna objektif. Membaca teks tidak dapat dilakukan
dengan mencari makna aslinya atau menelusuri
perkembangannya dalam sejrah karena keduanya telah
kehilangan konteks. Dalam pengertian ini, teks tidak
bersifat absolut, namun merupakan kumpulan relativitas
yang ditafsirkan secara beragam pula oleh setiap masa. Dan
karena setiap masa memiliki kecenderungannya masing-
masing, maka penafsiran pun menjadi relatif.
Membaca teks tidak dapat dibatasi pada makna
harfiahnya (al tafsîr al harf) sebab hal ini hanya akan
menjaga teks melainkan juga membunuh makna,
merupakan dominasi kata atas makna, status quo atas
transformasi, dan kebekuan atas dinamika.156
Dengan kata
lain, penafsiran harus disesuaikan dengan kebutuhan
tertentu.
155
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 535.
156 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.
94
Penafsiran pada gilirannya, tidak memiliki
parameter benar-salah, kecuali tafsir kepentingan (al tafsir
al qashdy) itu sendiri. Bagi Hassan Hanafi, penafsiran dapat
dibenarkan sejauh ia fungsional dalam sejarah. Penafsiran
tidak lain merupakan persaksian subjek di hadapan
individu, masyarakat dan sejarah.157
Prosedur penafsiran
adalah makna muncul pertama kali dari penafsir yang
tercermin dalam motivasi, kepentingan, dan imajinasi
tertentu, baru setelah itu makna berkolerasi dengan teks.
Baginya, setiap klaim kebenaran dalam penafsiran tidak
dapat mengelak dari kenyataan ideologis seperti dalam
prosedur tersebut.158
Dengan pandangan ini, sepintas makna
objektif bukan berada dalam teks, tapi pada kesadaran
manusia, sementra pada hakekatnya, makna subjektif yang
beralih dari kesadaran ke dalam teks.
Perubahan makna teks merupakan penyebab adanya
teks-teks yang bersifat relatif, mutasyabihat, sebab ia
menunjukkan sisi histories pemahaman manusia.
Sebaliknya teks-teks yang bersifat absolut, al muhkamat
adalah prinsip bahwa yang ada adalah relativitas
penafsiran.159
Absolutivitas makna dengan demikian
157
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, Ibid.
158 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 539.
159 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.
95
bukanlah pada makna orisinal teks, tetapi terletak pada
prinsip-prinsip umum, esensial, dan mendasar tentang
pemahaman makna yang dalam hermeneutika filosofis
modern disebut ―dimensi universal hermeneutika‖. Hanafi
menjabarkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam empat unsur
berikut ini.160
1. Kreativitas nalar, badahah al‟aql.
Pemahaman intensionalitas hubungan makna
dan kepentingan. Manusia dengan intensionalitas
(kesadaran, al „aql al badihi) dapat mengungkapkan
hubungan makna dan kepentingan. Kesadaran di sini tentu
saja dalam pengertian fenomenologis yang terarah pada
realitas dan bukannya kesadaran yang murni semata-
mata.161
2. Pemahaman terhadap pengalaman manusia, tradisi.
Situasi kemanusiaan yang berlangsung dari masa ke
masa seperti nilai-nilai yang selalu diperjuangkan; revolusi
‗ubudiyah, ritual agama; melawan ketidakadilan;
mempertahankan kebebasan dan seruan untuk musawah,
kerukunan. Adanya pemahaman hermeneutika filosofis
160
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 540.
161 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.
96
yang banyak mempengaruhi Hassan Hanafi, maka tradisi
dengan sendirinya merupakan prasyarat pemahaman.162
3. Pemahaman logika bahasa
Di samping intensionalitas dan tradisi, pada
prinsipnya, pemahaman selalu berkaitan dengan bahasa
teks. Teks hanya dapat dipahami sejauh merujuk pada
bahasa yang di dalamnya bahasa dibentuk. Logika bahasa
menyangkut logika semantis (manthiq al alfâzh) dan logika
konteks kebahasaan (manthiq al siyâq).163
4. Konteks sosio-historis.
Sebagai prasyarat terakhir, setiap penafsiran
bagaimanapun tidak dapat mengabaikan adanya situasi awal
(asbâb al nuzûl) yang menjadi latar belakang turunnya teks,
meskipun ia tidak lagi memadai menjadi rujukan
penafsiran. Pengakuan akan adanya situasi awal
merefleksikan supremasi (uluwiyyah) realitas atas
pemikiran dan teks.164
Artinya suatu penafsiran senantiasa
historis di mana pemikiran (penafsiran) dalam bentuk apa
162
Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.
163 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 541.
164 Hassan Hanafi, Dirâsât Falsafiyah, hlm. 543.
97
pun tidak akan pernah sepi dari pijakan sejarahnya yang
oleh Hassan Hanafi disebut ―situasi batas‖ dan situasi etik‖.
Implikasi pendirian tersebut di atas adalah tidak
adanya nilai absolut dalam wilayah penafsiran. Setiap
interpretasi mengalami relativitas sesuai dengan konteks
penafsirannya. Dengan kata lain, yang absolut adalah
relativitas itu sendiri. Kalaupun ada hal –hal yang dianggap
absolut dan universal, sama sekali bukan berasal dari hasil
dan proses penafsiran, akan tetapi menyangkut nilai-nilai
tertentu yang menjadi prinsip penafsiran. Hassan Hanafi
juga bermaksud menghindari segala macam klaim
objektifitas. Menurutnya, semua penafsiran mengandung
sisi ideologisnya sendiri-sendiri. Penafsiran dalam
kapasitasnya sebagai instrumen kepentingan selalu
merefleksikan pertarungan struktur sosial dalam
masyarakat.165
Alih-alih membela objektivitas, Hassan Hanafi
justru bermaksud mengeksplisitkan subjektivitas dan
kepentingan yang menjadi tujuan hermeneutika dan
penafsirannaya. Eksplisitas semacam ini menjadi penting
karena berfungsi sebagai pendasaran dan tujuan
hermeneutika al-Qur‘an. Dalam hermeneutika al-Qur‘an,
165
Hassan Hanafi, al Dîn wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981, Vol. 7, hlm.117-119.
98
eksplisitas tersebut mengarahkan pembicaraan bukan pada
benar salahnya sebuah penafsiran dalam pengertian yang
hakiki, tetapi pada bagaimana sebuah argumen dibangun,
disanggah atau didukung, berkaitan dengan bagaimana
hubungan kebenaran dengan realitas. Hal ini berarti bahwa
penafsiran sangat terkait dengan fungsionalitas teks dan
bukannya pembicaraan teks yang melulu objektivistik.
99
BAB III
SOSIO-TEMATIK HERMENEUTIKA
ALQURAN TERHADAP SABAR
A. Identifikasi Ayat-Ayat tentang Sabar
Langkah pertama yang adalah menghipun ayat ayat
tentang sabar dalam al-Quran. Kata sabar yang diungkap
dalam Al-Qur‘an sebanyak 103 kali dalam berbagai
bentuknya sebagai berikut: kata shabara disebut dua kali
(Q.S. 42:43, 4635), shabartum dua kali (13:24, 16:126),
shabarna dua kali (14:21, 25:42), shabaru 15 kali (7:137,
11:11, 13:22, 16:42, 96, 110, 23:111, 25:75, 28:54, 29:59,
32:24, 41:35, 49:5, 76:12), tashbiru 18:68, tashbiru lima kali
(3:120, 125, 186, 4: 25, 52:16), atashbiruna 25:20, nashbir
2:61, lanashbiranna 14:12, yashbir 41:24, ishbir 19 kali
(10:109, 11:49, 115, 16:127, 18:28, 20:130, 30:60, 31:17,
38:17, 40-55, 77, 46:35, 50:39, 52:48, 68:48, 70:5, 73:10,
74:7, 76:24), ishbiru enam kali (3:200, 7:87, 128, 8:46, 38:6,
52:16), shabiru 3:200, ma ashbarahum 2:175, ishthabir tiga
kali (19:65, 20:132, 54:27), al-shabr enam kali (2:45, 153,
16:18, 83, 90:17, 103:3), shabran delapan kali (2:250, 7:126,
100
18:67, 72, 75, 78, 82, 70:5), shabruka 16:127, shabiran dua
kali (18:69, 38:44), al-shabirun tiga kali (8:65, 28:80,
39:10), al-shabirin 15 kali (2:153, 155, 177, 249, 3:17, 142,
146, 8:46, 66, 16:126, 21:85, 22:35, 33:35, 37:102, 47:31),
shabirah 8:66, al-shabirat 33:35, shabbar empat kali (14:5,
31:31, 34:19, 42:33); lihat Muhamad Fuad ‗Abd al-Baqi, Al-
Mu‟jam al-Mufahras (1991:507-509).
Tabel Himpunan Ayat dengan perubahan kata
dasar Sabar
No.
Qur’an Surat (QS.)
Ayat ke
Kata Root1
Root2
Prefix
Suffix
Terjemah
1 Al-Baqarah
45 بالص
بر
ب صبر صبر
dengan sabar
2 Al-Baqarah
صبر صبر نصبر 61
kami bersabar
3 Al-Baqarah
153
بالص بر
dengan sabar ب صبر صبر
4 Al-Baqarah
153
الصبر ين
صبر صبر
orang-orang yang sabar
5 Al-Baqarah
155
الصبر ين
صبر صبر
orang-orang yang sabar
6 Al-Baqarah
175
أصبر هم
صبر صبر
sangat tahan/sabarnya mereka
7 Al-Baqarah
177
والص برين
و صبر صبر
dan orang-orang yang sabar
8 Al-Baqarah
249
الصبر ين
صبر صبر
orang-orang yang sabar
9 Al-Baqarah
250
صبر صبر صبرا
kesabaran
101
10 Al-Imran 17 الصبر ين
صبر صبر
orang-orang yang sabar
11 Al-Imran 120
تصبر وا
kamu bersabar صبر صبر
12 Al-Imran 125
تصبر وا
صبر صبر
kamu bersabar
13 Al-Imran 142
الصبر ين
صبر صبر
orang-orang yang sabar
14 Al-Imran 146
الصبر ين
صبر صبرorang-orang yang sabar
15 Al-Imran 186
تصبر وا
صبر صبر
kamu bersabar
16 Al-Imran 200
اصبر وا
صبر صبر
bersabarlah kamu
17 Al-Imran 200
وصا بروا
و صبر صبرdan tingkatkan kesabaranmu
18 AN-Nisa 25 تصبر
وا
صبر صبر
kamu bersabar
19 Al-An'am 34 فصبر وا
ف صبر صبر
(akan tetapi) mereka sabar
20 Al-A'raf 87 فاصبر وا
ف صبر صبر
maka bersabarlah kamu
21 Al-A'raf 126
صبر صبر صبرا
kesabaran
22 Al-A'raf 128
واص بروا
dan bersabarlah و صبر صبر
23 Al-A'raf 137
صبرو ا
صبر صبر
mereka bersabar
24 Al-Anfal 46 واص بروا
و صبر صبر
dan bersabarlah kamu
25 Al-Anfal 46 الصبر
ين
صبر برصorang-orang yang sabar
26 Al-Anfal 65 صبرو
ن صبر صبر
orang-orang yang sabar
27 Al-Anfal 66 صبر صبر صابرة
orang yang sabar
28 Al-Anfal 66 الصبر صبر صبر
orang-orang
102
yang sabar ين
29 Yunus 109
واص بر
dan bersabarlah و صبر صبر
30 Hud 11 صبرو
ا صبر صبر
(mereka) sabar
31 Hud 49 ف صبر صبر فاصبر
maka bersabarlah
32 Hud 115
واص بر
dan bersabarlah و صبر صبر
33 Yusuf 18 ف صبر صبر فصبر
maka kesabaran
34 Yusuf 83 ف صبر صبر فصبر
maka kesabaran
35 Yusuf 90 ويص
بر
و صبر صبر
dan bersabar
36 Ar-Ra'd 22 صبرو ا
صبر صبر
(mereka)bersabar
37 Ar-Ra'd 24 صبر
تم
kesabaranmu صبر صبر
38 Ibrahim 5 صبر صبر صبار
orang yang sabar
39 Ibrahim 12 ولنص برن
ول صبر صبر
dan sungguh kami akan bersabar
40 Ibrahim 21 صبر صبر صبرنا
kami bersabar
41 An-Nahl 42 صبرو
ا صبر صبر
(mereka) bersabar
42 An-Nahl 96 صبرو ا
صبر صبر
(mereka) sabar
43 An-Nahl 110
وصبر وا
و صبر صبرdan mereka bersabar
44 An-Nahl 126
صبر تم
صبر صبر
kamu bersabar
45 An-Nahl 126
للصبر ين
ل صبر صبر
bagi orang-orang yang bersabar
46 An-Nahl 127
واص بر
و صبر صبر
dan bersabar
47 An-Nahl 127
صبر ك
صبر
kesabaranmu
103
48 Al-Kahfi 28 واص بر
و صبر صبر
dan bersabarlah
49 Al-Kahfi 67 صبر صبر صبرا
sabar
50 Al-Kahfi 68 صبر صبر تصبر
kamu bersabar
51 Al-Kahfi 69 صبر صبر صابرا
bersabar
52 Al-Kahfi 72 صبر صبر صبرا
sabar
53 Al-Kahfi 75 صبر صبر صبرا
bersabar
54 Al-Kahfi 78 صبر صبر صبرا
bersabar
55 Al-Kahfi 82 صبر صبر صبرا
bersabar
56 Taha 130
ف صبر صبر فاصبر
maka bersabarlah kamu
57 Taha 132
واصط بر
صبرصط
بر و
dan berteguhlah/bersabarlah
58 Al-Anbiya
85 الصبر
ين
صبر صبر
orang-orang yang sabar
59 Al-Hajj 35 والص برين
و صبر صبر
dan orang-orang yang sabar
60 Al-Mu'minun
111
صبرو mereka sabar صبر صبر ا
61 Al-Furqan 20
أتصبر ون
أ صبر صبرapakah/maukah kamu bersabar
62 Al-Furqan
صبر صبر صبرنا 42
kita bersabar
63 Al-Furqan
صبرو 75 ا
صبر صبر
mereka bersabar
64 Al-Qasas 54 صبرو
صبر صبر اmereka bersabar
65 Al-Qasas 80 الصبر
ون
صبر صبر
orang-orang yang sabar
66 Al-'Ankabut
صبرو 59 ا
صبر صبر
(mereka) bersabar
67 Ar-Rum 60 ف صبر صبر فاصبر
maka bersabarlah kamu
104
68 Luqman 17 واص
بر
dan bersabarlah و صبر صبر
69 Luqman 31 صبر صبر صبار
orang yang sabar
70 As-Sajdah
روصب 24 ا
صبر صبر
mereka sabar
71 Al-Ahzab 35 والص برين
و صبر صبرdan laki-laki yang sabar
72 Al-Ahzab 35 والص برت
و صبر صبر
dan perempuan-perempuan yang sabar
73 Saba' 19 صبر صبر صبار orang-orang yang sabar
74 As-Saffat 102
الصبر ين
صبر صبر
orang-orang yang sabar
75 Sad 6 واص بروا
و صبر صبر
dan bersabarlah
76 Sad 17 صبر صبر اصبر
Bersabarlah
77 Sad 44 صبر صبر صابرا seorang yang sabar
78 Az-Zumar
10 الصبر
ون
صبر صبر
orang-orang yang sabar
79 Al-Ghafir/Al-Mu'min
ف صبر صبر فاصبر 55
maka bersabarlah kamu
80 Al-Ghafir/Al-Mu'min
ف صبر صبر فاصبر 77
maka bersabarlah kamu
81 Fussilat 24 يصبر
وا
صبر صبرmereka bersabar
82 Fussilat 35 صبرو
ا صبر صبر
Sabar
83 Ash-Shura
صبر صبر صبار 33
orang yang bersabar
84 Ash-Shura 43 صبر صبر صبر dia sabar
85 Al-Ahqaf 35 ف صبر صبر فاصبر
maka bersabarlah kamu
105
86 Al-Ahqaf 35 صبر صبر صبر Bersabar
87 Muhammad/Al-Qital
31 والص برين
و صبر صبر
dan orang-orang yang sabar
88 Al-Hujurat
5 صبرو
ا صبر صبر
mereka sabar
89 Qaf 39 ف صبر صبر فاصبر
maka bersabarlah kamu
90 At-Tur 16 فاصبر
وا
ف صبر صبر
maka bersabarlah kamu
91 At-Tur 16 تصبر
وا
kamu sabar صبر صبر
92 At-Tur 48 واص
بر
و صبر صبر
dan bersabarlah
93 Al-Qomar
واصط 27 بر
صط صبر بر
و
dan bersabarlah
94 Al-Qalam 48 ف صبر صبر فاصبر maka bersabarlah
95 Al-Ma'arij
ف صبر صبر فاصبر 5
maka bersabarlah
96 Al-Ma'arij
صبر صبر صبرا 5
Kesabaran
97 Al-Muzzammil
واص 10 بر
و صبر صبر
dan bersabarlah
98 Al-Muddaththir
ف صبر صبر فاصبر 7
maka bersabarlah
99 Al-Insan/Ad-Dahr
12 صبرو
mereka sabar صبر صبر ا
100
Al-Insan/Ad-Dahr
ف صبر صبر فاصبر 24
maka bersabarlah kamu
101
Al-Balad 17 بالص بر
ب صبر صبر
dengan kesabaran
10 Al-'Asr 3 بالص ب صبر رصب
dengan
106
kesabaran بر 2
107
B. Susunan Ayat-Ayat Sabar berdasar Tartib
Nuzul (urutan turun surat)
Berikut merupakan terjemahan dari Departemen
Agama RI tentang ayat-ayat sabar dalam al-Quran. Mengenai
susunan berdasar turun surat al-Quran ini penulis mengikuti
al Zanzani. Dia menggunakan rujukan buku Nadzmu al
Durar yang disusun oleh Ibrahim bin Umar al Biqa‘I,
terbitan Kairo Mesir, kitab al-Fihrits yang disusun oleh Ibnu
Nadim dan kitab yang ditulis oleh Abu Qasim Umar bin
Muhammad bin Abdul Kafi yang kemudian dikutip oleh
Noldeke.166
Noldeke mengatakan bahwa buku Abu Qasim
tersebut terdapat di perpustakaan Cod Lugd 647 Warn.
Susunan Berdasarkan Urutan Turun Surat Ayat Tentang
Sabar dalam Kelompok Surat Makiyyah
No. Nama Surat Terjemah ayat dalam Bahasa
Indonesia
1 Makiyyah
QS. Al-
Muddaththir :
7
7. dan untuk (memenuhi perintah)
Tuhanmu, bersabarlah.
166
Az-Zanzani, Tarikh al-Qur‟an, Terjemah Kamaludin MA
dan A. Qurthubi H, 1996, Bandung: Mizan, hlm. 70.
108
2 Makiyyah
QS. Al-
A'raf : 87
87. jika ada segolongan daripada
kamu beriman kepada apa yang aku
diutus untuk menyampaikannya dan
ada (pula) segolongan yang tidak
beriman, Maka bersabarlah, hingga
Allah menetapkan hukumnya di antara
kita; dan Dia adalah hakim yang
sebaik-baiknya.
3 Makiyyah
QS. Al-
A'raf : 126
126. dan kamu tidak menyalahkan
Kami, melainkan karena Kami telah
beriman kepada ayat-ayat Tuhan
Kami ketika ayat-ayat itu datang
kepada kami". (mereka berdoa): "Ya
Tuhan Kami, Limpahkanlah
kesabaran kepada Kami dan
wafatkanlah Kami dalam Keadaan
berserah diri (kepada-Mu)".
4 Makiyyah
QS. Al-
A'raf : 128
128. Musa berkata kepada kaumnya:
"Mohonlah pertolongan kepada Allah
dan bersabarlah; Sesungguhnya bumi
(ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-
Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya
dari hamba-hamba-Nya. dan
kesudahan yang baik adalah bagi
orang-orang yang bertakwa."
5 Makiyyah
QS. Al-
A'raf : 137
137. dan Kami pusakakan kepada
kaum yang telah ditindas itu, negeri-
negeri bahagian timur bumi dan
bahagian baratnya[560] yang telah
Kami beri berkah padanya. dan telah
sempurnalah Perkataan Tuhanmu
yang baik (sebagai janji) untuk Bani
Israil disebabkan kesabaran mereka.
dan Kami hancurkan apa yang telah
dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa
yang telah dibangun mereka[561].
109
[560] Maksudnya: negeri Syam dan
Mesir dan negeri-negeri sekitar
keduanya yang pernah dikuasai
Fir'aun dahulu. sesudah kerjaan
Fir'aun runtuh, negeri-negeri ini
diwarisi oleh Bani Israil.
[561] Yang dimaksud dengan
Bangunan-bangunan Fir'aun yang
dihancurkan oleh Allah ialah
Bangunan-bangunan yang didirikan
mereka dengan menindas Bani Israil,
seperti kota Ramses; menara yang
diperintahkan Hamaan mendirikannya
dan sebagainya.
6 Makiyyah
QS. Al-
‗Ashr: 3
3. kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran.
7 Makiyyah
QS. Al-
Qasas : 80
80. berkatalah orang-orang yang
dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang
besarlah bagimu, pahala Allah adalah
lebih baik bagi orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, dan tidak
diperoleh pahala itu, kecuali oleh
orang- orang yang sabar".
8 Makiyyah
QS. Qaf: 39
39. Maka bersabarlah kamu terhadap
apa yang mereka katakan dan
bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu
sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya).
9 Makiyyah
QS. Al-
17. dan Dia (tidak pula) Termasuk
orang-orang yang beriman dan saling
berpesan untuk bersabar dan saling
110
Balad: 17 berpesan untuk berkasih sayang.
10 Makiyyah
QS. Shad : 6
6. dan Pergilah pemimpin-pemimpin
mereka (seraya berkata): "Pergilah
kamu dan tetaplah (menyembah)
tuhan-tuhanmu, Sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang
dikehendaki[1296].
[1296] Maksudnya: menurut orang-
orang kafir bahwa menyembah tuhan-
tuhan Itulah yang sebenarnya
dikehendaki oleh Allah.
11 Makiyyah
QS. Shad : 17
17. bersabarlah atas segala apa yang
mereka katakan; dan ingatlah hamba
Kami Daud yang mempunyai
kekuatan; Sesungguhnya Dia Amat
taat (kepada Tuhan).
12 Makiyyah
QS. Shad: 44
44. dan ambillah dengan tanganmu
seikat (rumput), Maka pukullah
dengan itu dan janganlah kamu
melanggar sumpah. Sesungguhnya
Kami dapati Dia (Ayyub) seorang
yang sabar. Dialah Sebaik-baik
hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat
(kepada Tuhan-nya)[1303].
[1303] Nabi Ayyub a.s. menderita
penyakit kulit beberapa waktu
lamanya dan Dia memohon
pertolongan kepada Allah s.w.t. Allah
kemudian memperkenankan doanya
dan memerintahkan agar Dia
menghentakkan kakinya ke bumi.
Ayyub mentaati perintah itu Maka
keluarlah air dari bekas kakinya atas
petunjuk Allah, Ayyub pun mandi dan
minum dari air itu, sehingga
111
sembuhlah Dia dari penyakitnya dan
Dia dapat berkumpul kembali dengan
keluarganya. Maka mereka kemudia
berkembang biak sampai jumlah
mereka dua kali lipat dari jumlah
sebelumnya. pada suatu ketika Ayyub
teringat akan sumpahnya, bahwa Dia
akan memukul isterinya bilamana
sakitnya sembuh disebabkan isterinya
pernah lalai mengurusinya sewaktu
Dia masih sakit. akan tetapi timbul
dalam hatinya rasa hiba dan sayang
kepada isterinya sehingga Dia tidak
dapat memenuhi sumpahnya. oleh
sebab itu turunlah perintah Allah
seperti yang tercantum dalam ayat 44
di atas, agar Dia dapat memenuhi
sumpahnya dengan tidak menyakiti
isterinya Yaitu memukulnya dengan
dengan seikat rumput.
13 Makiyyah
QS. Al-
Furqan : 20
20. dan Kami tidak mengutus Rasul-
rasul sebelummu, melainkan mereka
sungguh memakan makanan dan
berjalan di pasar-pasar. dan Kami
jadikan sebahagian kamu cobaan bagi
sebahagian yang lain. maukah kamu
bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha
melihat.
14 Makiyyah
QS. Al-
Furqan: 42
42. Sesungguhnya hampirlah ia
menyesatkan kita dari sembahan-
sembahan kita, seandainya kita tidak
sabar(menyembah)nya" dan mereka
kelak akan mengetahui di saat mereka
melihat azab, siapa yang paling sesat
jalanNya.
112
15 Makiyyah
QS. Al-
Furqan: 75
75. mereka Itulah orang yang dibalasi
dengan martabat yang Tinggi (dalam
syurga) karena kesabaran mereka dan
mereka disambut dengan
penghormatan dan Ucapan selamat di
dalamnya,
16 Makiyyah
QS. Taha :
132
132. dan perintahkanlah kepada
keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya. Kami tidak meminta
rezki kepadamu, kamilah yang
memberi rezki kepadamu. dan akibat
(yang baik) itu adalah bagi orang yang
bertakwa.
17 Makiyyah
QS. Fussilat:
24
24. jika mereka bersabar (menderita
azab) Maka nerakalah tempat diam
mereka dan jika mereka
mengemukakan alasan-alasan, Maka
tidaklah mereka Termasuk orang-
orang yang diterima alasannya.
18 Makiyyah
QS. Fussilat:
35
35. sifat-sifat yang baik itu tidak
dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang sabar dan tidak
dianugerahkan melainkan kepada
orang-orang yang mempunyai
Keuntungan yang besar.
19 Makiyyah
QS. Hud/ : 11
11. kecuali orang-orang yang sabar
(terhadap bencana), dan mengerjakan
amal-amal saleh; mereka itu beroleh
ampunan dan pahala yang besar.
20 . Hud: 49 49. itu adalah di antara berita-berita
penting tentang yang ghaib yang Kami
wahyukan kepadamu (Muhammad);
tidak pernah kamu mengetahuinya dan
tidak (pula) kaummu sebelum ini.
Maka bersabarlah; Sesungguhnya
113
kesudahan yang baik adalah bagi
orang-orang yang bertakwa.
21 Makiyyah
QS. Hud: 115
115. dan bersabarlah, karena
Sesungguhnya Allah tiada menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat kebaikan.
22 Makiyyah
QS. Yusuf:
18
18. mereka datang membawa baju
gamisnya (yang berlumuran) dengan
darah palsu. Ya'qub berkata:
"Sebenarnya dirimu sendirilah yang
memandang baik perbuatan (yang
buruk) itu; Maka kesabaran yang baik
Itulah (kesabaranku[746]). dan Allah
sajalah yang dimohon pertolongan-
Nya terhadap apa yang kamu
ceritakan."
[746] Maksudnya: dalam hal ini
Ya'qub memilih kesabaran yang baik,
setelah mendengar cerita yang
menyedihkan itu.
Makiyyah
QS. Yusuf:
83
83. Ya'qub berkata: "Hanya dirimu
sendirilah yang memandang baik
perbuatan (yang buruk) itu. Maka
kesabaran yang baik Itulah
(kesabaranku). Mudah-mudahan Allah
mendatangkan mereka semuanya
kepadaku; Sesungguhnya Dia-lah
yang Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana".
23 Makiyyah
QS. Yusuf:
90
90. mereka berkata: "Apakah kamu ini
benar-benar Yusuf?". Yusuf
menjawab: "Akulah Yusuf dan ini
saudaraku. Sesungguhnya Allah telah
melimpahkan karunia-Nya kepada
kami". Sesungguhnya barang siapa
yang bertakwa dan bersabar, Maka
114
Sesungguhnya Allah tidak menyia-
nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik"
24 Makiyyah
QS. Yunus / :
109
109. dan ikutilah apa yang
diwahyukan kepadamu, dan
bersabarlah hingga Allah memberi
keputusan dan Dia adalah hakim yang
sebaik-baiknya.
25 Makiyyah
QS. As-
Saffat : 102
102. Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata: "Hai anakku Sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku Termasuk
orang-orang yang sabar".
26 Makiyyah
QS. Luqman:
17
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).
27 Makiyyah
QS. Luqman
: 31
31. tidakkah kamu memperhatikan
bahwa Sesungguhnya kapal itu
berlayar di laut dengan nikmat Allah,
supaya diperlihatkan-Nya kepadamu
sebahagian dari tanda-tanda
(kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi semua orang
yang sangat sabar lagi banyak
115
bersyukur.
Makiyyah
QS. Al-
Mu‘minun:
111
111. Sesungguhnya aku memberi
Balasan kepada mereka di hari ini,
karena kesabaran mereka;
Sesungguhnya mereka Itulah orang-
orang yang menang[1026]."
[1026] Maksud ayat 108, 110 dan 111
ialah bahwa orang-orang kafir itu
diperintahkan tinggal tetap di neraka
dan tidak boleh berbicara dengan
Allah, karena mereka selalu
mengejek-ejek orang-orang yang
beriman, berdoa kepada Allah supaya
diberi ampun dan rahmat.
28 Makiyyah
QS. Saba: 19
19. Maka mereka berkata: "Ya Tuhan
Kami jauhkanlah jarak perjalanan
kami[1239]", dan mereka Menganiaya
diri mereka sendiri; Maka Kami
jadikan mereka buah mulut dan Kami
hancurkan mereka sehancur-
hancurnya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat
tanda- tanda kekuasaan Allah bagi
Setiap orang yang sabar lagi
bersyukur.
[1239] Yang dimaksud dengan
permintaan ini ialah supaya kota-kota
yang berdekatan itu dihapuskan, agar
perjalanan menjadi panjang dan
mereka dapat melakukan monopoli
dalam perdagangan itu, sehingga
Keuntungan lebih besar.
29 Makiyyah
QS. Al-
Anbiya : 85
85. dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris
dan Dzulkifli. semua mereka
Termasuk orang-orang yang sabar.
116
30 Makiyyah
QS. Az-
Zumar : 10
10. Katakanlah: "Hai hamba-hamba-
Ku yang beriman. bertakwalah kepada
Tuhanmu". orang-orang yang berbuat
baik di dunia ini memperoleh
kebaikan. dan bumi Allah itu adalah
luas. Sesungguhnya hanya orang-
orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala mereka tanpa
batas.
31 Makiyyah
QS. Al-
Ghafir/Al-
Mu'min : 55
55. Maka bersabarlah kamu, karena
Sesungguhnya janji Allah itu benar,
dan mohonlah ampunan untuk dosamu
dan bertasbihlah seraya memuji
Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.
32 Makiyyah
QS. Al-
Ghafir/Al-
Mu'min : 77
77. Maka bersabarlah kamu,
Sesungguhnya janji Allah adalah
benar; Maka meskipun Kami
perlihatkan kepadamu sebagian siksa
yang Kami ancamkan kepada mereka
ataupun Kami wafatkan kamu
(sebelum ajal menimpa mereka),
Namun kepada Kami sajalah mereka
dikembalikan.
33 Makiyyah
QS. As-
Sajdah : 24
24. dan Kami jadikan di antara mereka
itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dengan perintah
Kami ketika mereka sabar[1195]. dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat
kami.
[1195] Yang dimaksud dengan sabar
ialah sabar dalam menegakkan
kebenaran.
34 Makiyyah
QS. Ash-
Shura : 33
33. jika Dia menghendaki, Dia akan
menenangkan angin, Maka jadilah
kapal-kapal itu terhenti di permukaan
laut. Sesungguhnya pada yang
117
demikian itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaannya) bagi Setiap orang
yang banyak bersabar dan banyak
bersyukur,
35 Makiyyah
QS. Ash-
Shura : 43
43. tetapi orang yang bersabar dan
mema'afkan, Sesungguhnya
(perbuatan ) yang demikian itu
Termasuk hal-hal yang diutamakan.
36 Makiyyah
QS. Al-
Kahfi : 67-
69
67. Dia menjawab: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup
sabar bersama aku.
68. dan bagaimana kamu dapat sabar
atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup
tentang hal itu?"
69. Musa berkata: "Insya Allah kamu
akan mendapati aku sebagai orang
yang sabar, dan aku tidak akan
menentangmu dalam sesuatu
urusanpun".
37 Makiyyah
QS. Al-
Kahfi : 72
72. Dia (Khidhr) berkata: "Bukankah
aku telah berkata: "Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar
bersama dengan aku".
38 Makiyyah
QS. Al-
Kahfi : 75
75. Khidhr berkata: "Bukankah sudah
kukatakan kepadamu, bahwa
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
sabar bersamaku?"
Makiyyah
QS. Al-
Kahfi : 78
78. Khidhr berkata: "Inilah perpisahan
antara aku dengan kamu; kelak akan
kuberitahukan kepadamu tujuan
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak
dapat sabar terhadapnya.
39 Makiyyah
QS. Al-
82. Adapun dinding rumah adalah
kepunyaan dua orang anak yatim di
118
Kahfi : 82 kota itu, dan di bawahnya ada harta
benda simpanan bagi mereka berdua,
sedang Ayahnya adalah seorang yang
saleh, Maka Tuhanmu menghendaki
agar supaya mereka sampai kepada
kedewasaannya dan mengeluarkan
simpanannya itu, sebagai rahmat dari
Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut
kemauanku sendiri. demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan
yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya".
40 Makiyyah
QS. Al-
An‘am/ : 34
34. kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri[289] ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka)[290].
wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya[291], Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya[292]. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
[289] Maksudnya: tidak Berlaku
curang serta memelihara rahasia dan
119
harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah
mewajibkan kepada suami untuk
mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan
kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari
pihak isteri seperti meninggalkan
rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi
peljaran kepada isteri yang
dikhawatirkan pembangkangannya
haruslah mula-mula diberi nasehat,
bila nasehat tidak bermanfaat barulah
dipisahkan dari tempat tidur mereka,
bila tidak bermanfaat juga barulah
dibolehkan memukul mereka dengan
pukulan yang tidak meninggalkan
bekas. bila cara pertama telah ada
manfaatnya janganlah dijalankan cara
yang lain dan seterusnya.
41 Makiyyah
QS. An-
Nahl : 42
42. (yaitu) orang-orang yang sabar
dan hanya kepada Tuhan saja mereka
bertawakkal
42 Makiyyah
QS. An-
Nahl : 96
96. apa yang di sisimu akan lenyap,
dan apa yang ada di sisi Allah adalah
kekal. dan Sesungguhnya Kami akan
memberi Balasan kepada orang-orang
yang sabar dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.
43 Makiyyah
QS. An-
110. dan Sesungguhnya Tuhanmu
(pelindung) bagi orang-orang yang
120
Nahl : 110 berhijrah sesudah menderita cobaan,
kemudian mereka berjihad dan sabar;
Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu
benar-benar Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
44 Makiyyah
QS. Ibrahim:
5
5. dan Sesungguhnya Kami telah
mengutus Musa dengan membawa
ayat-ayat Kami, (dan Kami
perintahkan kepadanya):
"Keluarkanlah kaummu dari gelap
gulita kepada cahaya terang
benderang dan ingatkanlah mereka
kepada hari-hari Allah[781]".
sesunguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi Setiap orang penyabar dan
banyak bersyukur.
[781] Yang dimaksud dengan hari-
hari Allah ialah Peristiwa yang telah
terjadi pada kaum-kaum dahulu serta
nikmat dan siksa yang dialami
mereka.
45 Makiyyah
QS. Ibrahim:
12
12. mengapa Kami tidak akan
bertawakkal kepada Allah Padahal
Dia telah menunjukkan jalan kepada
Kami, dan Kami sungguh-sungguh
akan bersabar terhadap gangguan-
gangguan yang kamu lakukan kepada
kami. dan hanya kepada Allah saja
orang-orang yang bertawakkal itu,
berserah diri".
46 Makiyyah
QS. Ibrahim:
21
21. dan mereka semuanya (di padang
Mahsyar) akan berkumpul menghadap
ke hadirat Allah, lalu berkatalah
orang-orang yang lemah kepada
orang-orang yang sombong:
121
"Sesungguhnya Kami dahulu adalah
pengikut-pengikutmu, Maka dapatkah
kamu menghindarkan daripada Kami
azab Allah (walaupun) sedikit saja?
mereka menjawab: "Seandainya Allah
memberi petunjuk kepada Kami,
niscaya Kami dapat memberi petunjuk
kepadamu. sama saja bagi kita,
Apakah kita mengeluh ataukah
bersabar. sekali-kali kita tidak
mempunyai tempat untuk melarikan
diri".
47 Makiyyah
QS. At-Tur :
16
16. Masukklah kamu ke dalamnya
(rasakanlah panas apinya); Maka baik
kamu bersabar atau tidak, sama saja
bagimu; kamu diberi Balasan terhadap
apa yang telah kamu kerjakan.
48 Makiyyah
QS. At-Tur :
48
48. dan bersabarlah dalam menunggu
ketetapan Tuhanmu, Maka
Sesungguhnya kamu berada dalam
penglihatan Kami, dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu ketika kamu
bangun berdiri[1428].,
[1428] Maksudnya hendaklah
bertasbih ketika kamu bangun dari
tidur atau bangun meninggalkan
majlis, atau ketika berdiri hendak
shalat.
49 Makiyyah
QS. Al-
Ma'arij : 5
5. ―Maka bersabarlah kamu dengan
sabar yang baik.‖
50 Makiyyah
QS. Ar-
Rum: 60
60. dan bersabarlah kamu,
Sesungguhnya janji Allah adalah
benar dan sekali-kali janganlah orang-
orang yang tidak meyakini (kebenaran
122
ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan
kamu.
51 Makiyyah
QS. Al-
'Ankabut : 59
59. (yaitu) yang bersabar dan
bertawakkal kepada Tuhannya.
52 Makiyyah
QS. Al-
Qomar : 27
27. Sesungguhnya Kami akan
mengirimkan unta betina sebagai
cobaan bagi mereka, Maka tunggulah
(tindakan) mereka dan bersabarlah.
Susunan Ayat Berdasarkan Urutan Turun Surat Tentang
Sabar dalam Kelompok Madaniyyah
No Nama Surat Terjemah ayat dalam Bahasa Indonesia
1 Madaniyyah
QS. Al-
Baqarah/2:
45
45. Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyu'.
2 Madaniyyah
QS. Al-
Baqarah/2:
61
61. dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai
Musa, Kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu
macam makanan saja. sebab itu mohonkanlah
untuk Kami kepada Tuhanmu, agar Dia
mengeluarkan bagi Kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, Yaitu sayur-mayurnya,
ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya,
dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah
kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti
yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota,
pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta".
lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan
kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan
dari Allah. hal itu (terjadi) karena mereka selalu
123
mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh
Para Nabi yang memang tidak dibenarkan.
demikian itu (terjadi) karena mereka selalu
berbuat durhaka dan melampaui batas.
3 Madaniyyah
QS. Al-
Baqarah/2:
153
153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu,
sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.
4 Madaniyyah
QS. Al-
Baqarah/2:
155
155. dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang
yang sabar.
5 Madaniyyah
QS. Al-
Baqarah/2:
175
175. mereka Itulah orang-orang yang membeli
kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan
ampunan. Maka Alangkah beraninya mereka
menentang api neraka!
Madaniyyah
QS. Al-
Baqarah/2:
177
177. bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah
timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba
sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang
yang bertakwa.
124
6 Madaniyyah
QS. Al-
Baqarah/2:
249 – 250
249. Maka tatkala Thalut keluar membawa
tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah
akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka
siapa di antara kamu meminum airnya; bukanlah
ia pengikutku. dan Barangsiapa tiada
meminumnya, kecuali menceduk seceduk
tangan, Maka Dia adalah pengikutku." kemudian
mereka meminumnya kecuali beberapa orang di
antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-
orang yang beriman bersama Dia telah
menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah
minum berkata: "Tak ada kesanggupan Kami
pada hari ini untuk melawan Jalut dan
tentaranya." orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa
banyak terjadi golongan yang sedikit dapat
mengalahkan golongan yang banyak dengan izin
Allah. dan Allah beserta orang-orang yang
sabar."
250. tatkala Jalut dan tentaranya telah nampak
oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya)
berdoa: "Ya Tuhan Kami, tuangkanlah kesabaran
atas diri Kami, dan kokohkanlah pendirian Kami
dan tolonglah Kami terhadap orang-orang kafir."
7 Madaniyyah
QS. Al-
Anfal : 46
46. dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang sabar.
Madaniyyah
QS. Al-
Anfal : 65-66
65. Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para
mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh
orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.
dan jika ada seratus orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir,
125
disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang
tidak mengerti[623].
66. sekarang Allah telah meringankan kepadamu
dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus
orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika
diantaramu ada seribu orang (yang sabar),
niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua
ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah
beserta orang-orang yang sabar.
[623] Maksudnya: mereka tidak mengerti bahwa
perang itu haruslah untuk membela keyakinan
dan mentaati perintah Allah. mereka berperang
hanya semata-mata mempertahankan tradisi
Jahiliyah dan maksud-maksud duniawiyah
lainnya.
8 Madaniyyah.
QS. Al-
Ahzab : 35
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang
tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan
dan pahala yang besar.
[1218] Yang dimaksud dengan Muslim di sini
ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan
larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud
dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang
yang membenarkan apa yang harus dibenarkan
dengan hatinya.
126
9 Madaniyyah
QS.Ali-
Imran / 3: 17
17. (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar,
yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di
jalan Allah), dan yang memohon ampun di
waktu sahur[187].
[187] Sahur: waktu sebelum fajar menyingsing
mendekati subuh.
10 Madaniyyah
QS Ali-
Imran / 3:
120
120. jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya
mereka bersedih hati, tetapi jika kamu mendapat
bencana, mereka bergembira karenanya. jika
kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya
mereka sedikitpun tidak mendatangkan
kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah
mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.
11 Madaniyyah
QS Ali-
Imran / 3:
125
125. Ya (cukup), jika kamu bersabar dan
bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang
kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah
menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang
memakai tanda.
12 Madaniyyah
QS Ali-
Imran / 3:
142
142. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk surga, Padahal belum nyata bagi Allah
orang-orang yang berjihad[232] diantaramu dan
belum nyata orang-orang yang sabar.
[232] Jihad dapat berarti: 1. berperang untuk
menegakkan Islam dan melindungi orang-orang
Islam; 2. memerangi hawa nafsu; 3.
mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam
dan umat Islam; 4. Memberantas yang batil dan
menegakkan yang hak.
13 Madaniyyah
QS Ali-
Imran / 3:
146
146. dan berapa banyaknya Nabi yang berperang
bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak
menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak
(pula) menyerah (kepada musuh). Allah
menyukai orang-orang yang sabar.
127
14 Madaniyyah
QS Ali-
Imran / 3:
186
186. kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap
hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-
sungguh akan mendengar dari orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang
yang mempersekutukan Allah, gangguan yang
banyak yang menyakitkan hati. jika kamu
bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya
yang demikian itu Termasuk urusan yang patut
diutamakan.
Madaniyyah
QS Ali-Imran
/ 3: 200
200. Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah
kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
beruntung.
15 Madaniyyah
QS. An-
Nisa/4 : 25
25. dan Barangsiapa diantara kamu (orang
merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu; sebahagian kamu
adalah dari sebahagian yang lain[285], karena itu
kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka,
dan berilah maskawin mereka menurut yang
patut, sedang merekapun wanita-wanita yang
memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula)
wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai
piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga
diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan
perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka
separo hukuman dari hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini
budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut
kepada kemasyakatan menjaga diri (dari
perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran
itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
128
[285] Maksudnya: orang merdeka dan budak
yang dikawininya itu adalah sama-sama
keturunan Adam dan hawa dan sama-sama
beriman.
16 Madaniyyah
QS.
Muhammad/
Al-Qital : 31
31. dan Sesungguhnya Kami benar-benar akan
menguji kamu agar Kami mengetahui orang-
orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu,
dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal
ihwalmu.
17 Madaniyyah
QS. Ar-Ra'd :
22
22. dan orang-orang yang sabar karena mencari
keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan
kepada mereka, secara sembunyi atau terang-
terangan serta menolak kejahatan dengan
kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat
tempat kesudahan (yang baik),
Madaniyyah
QS. Ar-Ra'd :
24
24. (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum
bima shabartum"[772]. Maka Alangkah baiknya
tempat kesudahan itu.
[772] Artinya: keselamatan atasmu berkat
kesabaranmu
18 Madaniyyah
QS. Al-
Insan/Ad-
Dahr : 12
12. dan Dia memberi Balasan kepada mereka
karena kesabaran mereka (dengan) surga dan
(pakaian) sutera,
19 Madaniyyah
QS. Al-
Insan/Ad-
Dahr : 24
24. Maka bersabarlah kamu untuk
(melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan
janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan
orang yang kafir di antar mereka.
20 Madaniyyah
QS. Al- Hajj:
35. (yaitu) orang-orang yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang
yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka,
129
35 orang-orang yang mendirikan sembahyang dan
orang-orang yang menafkahkan sebagian dari
apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka.
21 Madaniyyah
QS. Al-
Hujurat : 5
― dan kalau Sekiranya mereka bersabar sampai
kamu keluar menemui mereka Sesungguhnya itu
lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
22 Madaniyyah
QS. Al-
Muzzammil:
10
10. dan bersabarlah terhadap apa yang mereka
ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang
baik.
23 Madaniyyah
QS. Al-
Qalam : 48
48. Maka bersabarlah kamu (hai Muhammad)
terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah
kamu seperti orang yang berada dalam (perut)
ikan ketika ia berdoa sedang ia dalam Keadaan
marah (kepada kaumnya).
24 Madaniyyah
QS. Taha :
130
130. Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka
katakan, dan bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-
waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di
siang hari, supaya kamu merasa senang,
25 Madaniyyah
QS. Al-
Kahfi: 28
28. dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan
senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya;
dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia
ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas.
26 Madaniyyah
Al-Ahqaf :
35. Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang
yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul
telah bersabar dan janganlah kamu meminta
130
35 disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari
mereka melihat azab yang diancamkan kepada
mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di
dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah)
suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak
dibinasakan melainkan kaum yang fasik.
27 Madaniyyah
QS. An-
Nahl : 126-
127
126. dan jika kamu memberikan balasan, Maka
balaslah dengan Balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu[846]. akan
tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
[846] Maksudnya pembalasan yang dijatuhkan
atas mereka janganlah melebihi dari siksaan
yang ditimpakan atas kita.
127. bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan
Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
(kekafiran) mereka dan janganlah kamu
bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu
dayakan.
28 Madaniyyah
QS. Al-
Qasas : 54
54. mereka itu diberi pahala dua kali[1128]
disebabkan kesabaran mereka, dan mereka
menolak kejahatan dengan kebaikan, dan
sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan
kepada mereka, mereka nafkahkan.
[1128] Mereka diberi pahala dua kali Ialah: kali
pertama karena mereka beriman kepada Taurat
dan kali yang kedua ialah karena mereka
beriman kepada Al Quran.
131
C. Penelusuran Sabar dalam Hadis
"Dalam diri kita terkadang begitu sulit untuk bersabar untuk
suatu hal, entah itu terkena musibah atau sedang di uji oleh-
Nya, banyak sekali Ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist
Rasulullah S.A.W yang menjelaskan tentang sabar, berikut
beberapa uraian tentang makna sabar, semoga menambah
kesabaran kita dan bermanfaat bagi kita semua."
Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang
beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan
hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada
orang mu'min: Yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia
bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut
merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa
musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal
tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Muslim)
Hadits ini merupakan hadits shahih dengan sanad
sebagaimana di atas, melalui jalur Tsabit dari Abdurrahman
bin Abi Laila, dari Suhaib dari Rasulullah SAW,
diriwayatkan oleh :
- Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Zuhud wa Al-
Raqa'iq, Bab Al-Mu'min Amruhu Kulluhu Khair, hadits no
2999.
132
- Imam Ahmad bin Hambal dalam empat tempat dalam
Musnadnya, yaitu hadits no 18455 , 18360
, 23406 & 23412.
- Diriwayatkan juga oleh Imam al- Darimi, dalam Sunannya,
Kitab Al- Riqaq, Bab Al-Mu'min Yu'jaru Fi Kulli Syai',
hadits no 2777.
Makna Hadits Secara Umum.
Hadits singkat ini memiliki makna yang luas
sekaligus memberikan definisi mengenai sifat dan karakter
orang yang beriman. Setiap orang yang beriman
digambarkan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang
memiliki pesona, yang digambarkan dengan istilah 'ajaban' (
Karena sifat dan karakter ini akan mempesona siapa .( عجبا
saja.
Kemudian Rasulullah SAW menggambarkan bahwa pesona
tersebut berpangkal dari adanya positif thinking setiap
mu'min. Dimana ia memandang segala persoalannya dari
sudut pandang positif, dan bukan dari sudut nagatifnya.
Sebagai contoh, ketika ia mendapatkan kebaikan,
kebahagian, rasa bahagia, kesenangan dan lain sebagainya, ia
akan refleksikan dalam bentuk penysukuran terhadap Allah
SWT. Karena ia tahu dan faham bahwa hal tersebut
merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada dirinya.
133
Dan tidaklah Allah memberikan sesuatu kepadanya
melainkan pasti sesuatu tersebut adalah positif baginya.
Sebaliknya, jika ia mendapatkan suatu musibah,
bencana, rasa duka, sedih, kemalangan dan hal- hal negatif
lainnya, ia akan bersabar. Karena ia meyakini bahwa hal
tersebut merupakan pemberian sekaligus cobaan bagi dirinya
yang pasti memiliki rahasia kebaikan di dalamnya. Sehingga
refleksinya adalah dengan bersabar dan mengembalikan
semuanya kepada Allah SWT.
Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang
yang bertaqwa kepada Allah SWT. Bahkan sebagian ulama
mengatakan bahwa kesabaran merupakan setengahnya
keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin
dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman,
adalah seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan
yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana juga tidak ada
jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itulah
Rasulullah SAW menggambarkan tentang ciri dan
keutamaan orang yang beriman sebagaimana hadits di atas.
Namun, kesabaran adalah bukan semata-mata
memiliki pengertian "nrimo", ketidak mampuan dan identik
dengan ketertindasan. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi
yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam
jiwa insan. Dalam berjihad, sabar diimplementasikan dengan
134
melawan hawa nafsu yang menginginkan agar dirinya duduk
dengan santai dan tenang di rumah. Justru ketika ia berdiam
diri itulah, sesungguhnya ia belum dapat bersabar melawan
tantangan dan memenuhi panggilan ilahi.
Sabar juga memiliki dimensi untuk merubah sebuah
kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju
perbaikan agar lebih baik dan baik lagi. Bahkan seseorang
dikatakan dapat diakatakan tidak sabar, jika ia menerima
kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Sabar dalam
ibadah diimplementasikan dalam bentuk melawan dan
memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur, kemudian
berwudhu lalu berjalan menuju masjid dan malaksanakan
shalat secara berjamaah. Sehingga sabar tidak tepat jika
hanya diartikan dengan sebuah sifat pasif, namun ia memiliki
nilai keseimbangan antara sifat aktif dengan sifat pasif.
Sabar merupakan sebuah istilah yang berasal dari
bahasa Arab, dan sudah menjadi istilah dalam bahasa
Indonesia. Asal katanya adalah "Shabaro", yang membentuk
infinitif (masdar) menjadi "shabran". Dari segi bahasa, sabar
berarti menahan dan mencegah. Menguatkan makna seperti
ini adalah firman Allah dalam Al-Qur'an:
Dan bersabarlah kamu bersama- sama dengan orang-orang
yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang
135
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas. (QS. Al-Kahfi i 18 ayat 28)
Perintah untuk bersabar pada ayat di atas, adalah
untuk menahan diri dari keingingan 'keluar' dari komunitas
orang- orang yang menyeru Rab nya serta selalu mengharap
keridhaan-Nya. Perintah sabar di atas sekaligus juga sebagai
pencegahan dari keinginan manusia yang ingin bersama
dengan orang-orang yang lalai dari mengingat Allah SWT.
Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah:
Menahan diri dari sifat kegeundahan dan rasa emosi,
kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan
anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Amru bin
Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama
Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang.
Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al- Khowas, bahwa
sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-
Qur'an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak
identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru
orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak
sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran
untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain
sebagainya.
Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk
sabar ketika berjihad. Padahal jihad adalah memerangi
136
musuh-musuh Allah, yang klimaksnya adalah menggunakan
senjata (perang). Artinya untuk berbuat seperti itu perlu
kesabaran untuk mengeyampingkan keiinginan jiwanya yang
menginginkan rasa santai, bermalas-malasan dan lain
sebagainya. Sabar dalam jihad juga berarti keteguhan untuk
menghadapi musuh, serta tidak lari dari medan peperangan.
Orang yang lari dari medan peperangan karena takut, adalah
salah satu indikasi tidak sabar.
Kesabaran Sebagaimana Digambarkan Dalam Hadits.
Sebagaimana dalam al-Qur'an, dalam hadits juga
banyak sekali sabda-sabda Rasulullah SAW yang
menggambarkan mengenai kesabaran. Dalam kitab Riyadhus
Shalihin, Imam Nawawi mencantumkan 29 hadits yang
bertemakan sabar. Secara garis besar, hadits-hadits tersebut
menggambarkan kesabaran sebagai berikut;
1. Kesabaran merupakan "dhiya' " (cahaya yang amat
terang). Karena dengan kesabaran inilah, seseorang
akan mampu menyingkap kegelapan. Rasulullah
SAW mengungkapkan, "...dan kesabaran merupakan
cahaya yang terang..." (HR. Muslim).
2. Kesabaran merupakan sesuatu yang perlu diusahakan
dan dilatih secara optimal. Rasulullah SAW pernah
menggambarkan: "...barang siapa yang mensabar-
sabarkan diri (berusaha untuk sabar), maka Allah
137
akan menjadikannya seorang yang sabar..." (HR.
Bukhari).
3. Kesabaran merupakan anugrah Allah yang paling
baik. Rasulullah SAW mengatakan, "...dan tidaklah
seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih
lapang daripada kesabaran." (Muttafaqun Alaih) .
4. Kesabaran merupakan salah satu sifat sekaligus ciri
orang mu'min, sebagaimana hadits yang terdapat
pada muqadimah;
"Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman,
karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia
mendapatkan kenikmatan, ia bersyukur karena (ia
mengatahui) bahwa hal tersebut adalah memang baik
baginya. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan,
ia bersabar karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut
adalah baik baginya." (HR. Muslim).
5. Seseorang yang sabar akan mendapatkan pahala
surga. Dalam sebuah hadits digambarkan; Dari Anas
bin Malik ra berkata, bahwa aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya Allah
berfirman, "Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan
kedua matanya, kemudian diabersabar, maka aku
gantikan surga baginya." (HR. Bukhari).
6. Sabar merupakan sifat para nabi. Ibnu Mas'ud dalam
sebuah riwayat pernah mengatakan: Dari Abdullan
bin Mas'ud berkata"Seakan-akan aku memandang
138
Rasulullah SAW menceritakan salah seorang nabi,
yang dipukuli oleh kaumnya hingga berdarah,
kemudia ia mengusap darah dari wajahnya seraya
berkata, 'Ya Allah ampunilah dosa kaumku, karena
sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR.
Bukhari).
7. Kesabaran merupakan ciri orang yang kuat.
Rasulullah SAW pernah menggambarkan dalam
sebuah hadits; Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa
Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang kuat
bukanlah yang pandai bergulat, namun orang yang
kuat adalah orang yang memiliki jiwanya ketika
marah." (HR. Bukhari).
8. Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah
SAW menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari
Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW bersabda,
"Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan,
sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga
kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan
Allah akan menghapuskan dosa- dosanya dengan hal
tersebut." (HR. Bukhari & Muslim).
9. Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana
seseorang tidak boleh putus asa hingga ia
menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah
139
sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah,
agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya;
apakah kehidupan atau kematian.
Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: "Janganlah salah seorang diantara kalian
mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah
yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus
mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, 'Ya Allah,
teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih
baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih
baik bagiku." (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits-hadits Rasulullah SAW, terdapat
beberapa hadits yang secara spesifik menggambarkan aspek-
aspek ataupun kondisi-kondisi seseroang diharuskan untuk
bersabar. Meskipun aspek-aspek tersebut bukan merupakan
'pembatasan' pada bidang- bidang kesabaran, melainkan
hanya sebagai contoh dan penekanan yang memiliki nilai
motivasi untuk lebih bersabar dalam menghadapi berbagai
permasalahan lainnya. Diantara kondisi-kondisi yang
ditekankan agar kita bersabar adalah :
1. Sabar terhadap musibah.
Sabar terhadap musibah merupakan aspek kesabaran
yang paling sering dinasehatkan banyak orang. Karena sabar
dalam aspek ini merupakan bentuk sabar yang dalam sebuah
hadits diriwayatkan, :
Dari Anas bin Malik ra, bahwa suatu ketika Rasulullah SAW
melewati seorang wanita yang sedang menangis di dekat
140
sebuah kuburan. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,
'Bertakwalah kepada Allah, dan bersabarlah.' Wanita tersebut
menjawab, 'Menjauhlah dariku, karena sesungguhnya engkau
tidak mengetahui dan tidak bisa merasakan musibah yang
menimpaku.' Kemudian diberitahukan kepada wanita
tersebut, bahwa orang yang menegurnya tadi adalah
Rasulullah SAW. Lalu ia mendatangi pintu Rasulullah SAW
dan ia tidak mendapatkan penjaganya. Kemudian ia berkata
kepada Rasulullah SAW, '(maaf) aku tadi tidak mengetahui
engkau wahai Rasulullah SAW.' Rasulullah bersabda,
'Sesungguhnya sabar itu terdapat pada hentakan pertama.'
(HR. Bukhari Muslim)
2. Sabar ketika menghadapi musuh (dalam berjihad).
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda : Dari
Abu Hurairah ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
'Janganlah kalian berangan-angan untuk menghadapi musuh.
Namun jika kalian sudah menghadapinya maka bersabarlah
(untuk menghadapinya)." HR. Muslim.
3. Sabar berjamaah, terhadap amir yang tidak disukai.
Dalam sebuah riwayat digambarkan; Dari Ibnu Abbas
ra beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
'Barang siapa yang melihat pada amir (pemimpinnya)
sesuatu yang tidak disukainya, maka hendaklah ia bersabar.
Karena siapa yang memisahkan diri dari jamaah satu jengkal,
kemudian ia mati. Maka ia mati dalam kondisi kematian
jahiliyah. (HR. Muslim)
4. Sabar terhadap jabatan & kedudukan.
141
Dalam sebuah riwayat digambarkan : Dari Usaid bin
Hudhair bahwa seseorang dari kaum Anshar berkata kepada
Rasulullah SAW; 'Wahai Rasulullah, engkau mengangkat
(memberi kedudukan) si Fulan, namun tidak mengangkat
(memberi kedudukan kepadaku). Rasulullah SAW bersabda,
Sesungguhnya kalian akan melihat setelahku 'atsaratan'
(yaitu setiap orang menganggap lebih baik dari yang
lainnya), maka bersabarlah kalian hingga kalian menemuiku
pada telagaku (kelak). (HR. Turmudzi).
5. Sabar dalam kehidupan sosial dan interaksi dengan
masyarakat.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan, Rasulullah SAW
bersabda, 'Seorang muslim apabila ia berinteraksi dengan
masyarakat serta bersabar terhadap dampak negatif mereka
adalah lebih baik dari pada seorang muslim yang tidak
berinteraksi dengan masyarakat serta tidak bersabar atas
kenegatifan mereka. (HR. Turmudzi)
6. Sabar dalam kerasnya kehidupan dan himpitan ekonomi
Dalam sebuah riwayat digambarkan; 'Dari Abdullah
bin Umar ra berkata bahwa Rasulullah SAW pernah
bersabda, 'Barang siapa yang bersabar atas kesulitan dan
himpitan kehidupannya, maka aku akan menjadi saksi atau
pemberi syafaat baginya pada hari kiamat. (HR. Turmudzi).
142
D. Penelusuran Semantik Sabar
Penelusuran semantik dilakukan oleh Toshihiko
Izutsu terhadap kata Sabr, ‗kesabaran‘, ‗keteguhan hati‘,
merupakan kebajikan yang utama di padang pasir pada masa-
masa Jahiliyah. Sabr merupakan bagian dari shaja‟ah,
‗keberanian‘, yang telah saya uraikan, dan ia merupakan
unsur penting dari kesabaran. Di padang pasir dimana
kondisi kehidupan demikian kerasnya, setiap orang terus
dituntut untuk menunjukkan kesabaran yang luarbiasa, demi
kepentingan eksistensinya dan sukunya. Kekuatan fisik tentu
saja sangat diperlukan, tetapi itu belum cukup, tetapi
kekuatan fisik itu haruslah didukung oleh sesuatu yang
datang dari dalam, yakni kesabaran, keteguhan hati untuk
bertahan menghadapi kesulitan apa pun yang terjadi.
Secara semantik, kata tersebut berlawanan dengan
jaza‟ yang artinya sifat yang dimiliki oleh mereka yang tidak
dapat menahan dengan sabar apa yang menimpanya dan
cepat menunjukkan agitasi; dengan demikian sabr itu sendiri
mengandung pengertian memiliki kekuatan jiwa yang cukup
agar tetap sabar dalam keadaan sengsara dan menderita dan
tetap gigih di tengah-tengah kesulitan dalam
memperjuangkan tujuannya sendiri. Akan mudah dilihat
bahwa sabr merupakan sifat kejantanan yang representatif
143
dari serdadu di medan pertempuran. Tidak ada keberanian
tanpa sifa sabr.
Kebajikan nomad lama ini, dalam Islam juga
ditransformasikan kedalam salah satu kebajikan utamanya
dengan memberikan arah agama yang jelas: ‗kesabaran di
jalan Allah‘. Sebagaimana pada masa-masa Jahiliyah, sabar
sangat diperintahkan terhadap orang-orang beriman di medan
tempur ketka berperang dengan orang-orang Kafir.
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.‖ (sabirin,
participle, jamak). (Quran Surat 2 ayat 249-250),
(Quran Surat 3 ayat 146)
Kesabaran yang disertai keberanian semacam itu
berkembang secara alamiah dalam semangat kesyahidan,
yakni, kekuatan moral dalam menghadapi kematian atau
siksaan lainnya demi kepentingan iman. Dalam ayat berikut
ini, ahli sihir Fira‘un menyatakan ketetapan hatinya untuk
setia kepada Tuhannya Musa sekali pun mereka harus
mengalami penyiksaan yang sangta kejam (Quran Surat 7
ayat 123-126).
Perlu diperhatikan bahwa ‗kesabaran‘ menunjukkan
hubungan semantik dengan islam yang akan kita bicarakan
saat ini. Pada beberapa baris di bawah ini, kita melihat
‗kesabaran‘ berada dalam hubungan yang sama eratnya
144
dengan taqwa ‗takut kepada Tuhan‘ (Quran Surat 7 ayat 125-
128)
Siksaan yang harus diderita orang-orang yang
beriman bagaimana pun tidak hanya terbatas pada
penderitaan jasmani; namun juga bisa dalam bentuk ejekan,
cemoohan, dan makian dari pihak orang kafir. Dalam
pengertian ini, takdhib yang kita sebutkan dalam bagian
terdahulu dan semuanya yang menunjukkan kesombongan
yang kita lihat dalam bab terdahulu, merupakan sifat orang
yang tak beriman, dapat dipandang sebagai malapetaka yang
menimpa orang beriman sehingga membangkitkan semangat
untuk berjihad (Quran Surat 6 ayat 34), (Quran Surat 73 ayat
10-11).
Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka
di hari ini, karena kesabaran mereka (bima sabaru,
harfiyahmya, bagi mereka yang menahan dengan sabar);
sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.‖
(Quran Surat 23 ayat -111)
Dengan demikian ‗kesabaran‘ menggambarkan aspek
penting dari iman kepada Tuhan. ‗kesabaran‘ merupakan
aspek khusus dari iman karena kesabaran itu ditunjukkan
ketika sedang menghadapi keadaan yang tidak
menyenangkan. Dan dengan ini kita harus mengingat, bahwa
kondisi tersebut merupakan masalah yang dihadap Islam
145
pada periode pertama dalam sejarahnya. Hidup di tengah-
tengah orang kafir dan dikelilingi oleh semua bentuk godaan
duniawi, orang-orang yang beriman dipaksa untuk
menanggung sikap pertahanan yang teguh. Keteguhan inilah
yang merupakan iman sejati dalam menghadapi serangan
bertubi-tubi dari musuh sehingga ditunjukan secara khusus
dengan istilah sabr. Permasalahn ini akan disajikan dengan
sangat jelas dengan contoh-contoh berikut ini:
Maka bersabarlah (ishbir) kamu terhadap apa yang
mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu
sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya (Quran
Surat 50 ayat 39)
Dan bersabarlah kamu (ishbir nafsaka, di sini kata
sabara dipergunakan secara transitif) bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Tuhan-nya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridhaan-Nya. (Quran Surat 18 ayat
28)(sabirin jamak) (Quran Surat 2 ayat 153-156)
Pada pembahasan terdahulu bagaimana pun belum
menyelesaikan pembicaraan tentang gagasan moral pra-
Islam yang diambil alih oleh Islam dan disesuaikan dengan
konsep moralitas yang baru. Tetapi paling tidak memberikan
contoh-contoh penting, dan memperlihatkan kepada kita
bagaimana peng-Islaman dari unsur-unsur non-Islam telah
dilaksanakan pada periode awal tersebut. Dalam sejarah
146
selanjutnya yang panjang Islam harus melewatinya melalui
proses yang serupa beberapa kali dengan kebudayaan yang
berbeda-beda, sementara juga harus menghadapi masalah
yang harus dipecahkan dengan gagasan-gagasan yang berasal
dari Yunani, Persia, India, dan kemudian dengan konsep-
konsep Barat moderen.
E. Sabar dalam Tafsir al Quran
Pengertian kata sabar yang dijelaskan secara
etimologis dan terminologis, serta diungkap dalam Al-
Qur‘an dengan berbagai bentuknya, ini dapat dipahami
bahwa kata sabar mengandung muatan makna, antara lain:
1. Upaya mencegah suatu kesulitan, kepayahan,
kesempitan, musibah, cobaan dan sejenisnya yang
menimpa dirinya (manusia).
2. Usaha menahan dan mempertahankan sesuatu
kebaikan, kebenaran, ketaatan dan ibadah serta
sejenisnya secara dinamis dan aktis dalam kehidupan
disertai menanggulangi sesuatu yang akan
menimbulkan kesesatan, kerugian dan penyesalan
hidup.
3. Harapan dan balasan Tuhan bagi orang yang tabah
dan teguh dalam menghadapi berbagai persoalan
147
kehidupan yang dapat terselesaikan dengan
pertolongan Tuhan dan ketetapan-Nya.
4. Memahami dan menyadari proses kehidupan
terhadap sunnatullah, yang perlu dijalankan manusia
tanpa dengan tergesa, pesimis, dan putus asa, tapi
dengan keteguhan iman, ilmu dan amal ibadah yang
menumbuhkan optimisme hidup atas pertolongan
Tuhan yang selalu bersama-sama orang yang sabar.
Beberapa pengertian sabar yang mengandung muatan makna
itu, menimbulkan pemahaman yang berbeda sesuai dengan
kata sabar yang dikaitkan dengan objek yang dihadapi
manusia, sebagaimana terdapat dalam macam dan
jenis/pembagian sabar.
Dalam kamus-kamus Al-Quran, kata shabr (sabar)
diartikan sebagai ―menahan‖ baik dalam pengertian fisik-
material, seperti menahan seseorang dalam tahanan
(kurungan), maupun imaterial-nonfisik seperti menahan diri
(jiwa) dalam menghadapi sesuatu yang diinginkannya. Dari
akar kata ini diperoleh sekian bentuk kata dengan arti yang
beraneka ragam, antara lain, berarti ―menjamin‖, ―pemuka
masyarakat yang melindungi kaumnya‖, atau berarti
―gunung yang tegar dan kukuh‖, ―awan yang berada diatas
awan lainnya sehingga melindungi apa yang terdapat di
148
bawahnya, ―batu-batu yang kukuh‖, tanah yang gersang‖,
―sesuatu yang pahit atau menjadi pahit‖, dan lain-lain.
Tulisan M. Quraish Shihab dalam Secercah Cahaya
Ilahi, Hidup Bersama Al-Quran dikatakan bahwa arti-arti
yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu
yang sulit, berat dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi
dengan penuh tanggung jawab. Berdasarkan kesimpulan
tersebut, para agamawan merumuskan pengertian sabar
sebagai ―menahan diri atau membatasi jiwa dari
keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih
baik (luhur)‖.
Seseorang yang menghadapi rintangan dalam
pekerjaannya, terkadang hati kecilnya membisikkan agar dia
berhenti saja, walaupun apa yang diharapkan belum juga
tercapai. Dorongan hati kecil yang kemudian menjadi
keinginan jiwa itu, bila ditahan, ditekan, atau tidak diikuti,
merupakan pengejawanatahan dari hakikat ―sabar‖. Ini
berarti bahwa yang bersangkutan akan melanjutkan
usahanya, walaupun menghadapi berbagai rintangan. Makna
―sabar‖ di sini sama dengan ―tabah‖.
Seseorang yang ditimpa malapetaka, bila mengikuti
kehendak nafsunya, akan meronta, menggerutu dalam
berbagai bentuk dan terhadap berbagai pihak: terhadap
149
Tuhan, manusia atau lingkungannya. Akan tetapi, bila dia
menahan diri, dia akan menerima dengan penuh kerelaan
malapetaka yang terjadi itu, mungkin, sambil menghibur
hatinya telah dengan berkata ―malapetaka tersebut dapat
terjadi mlebihi yang telah terjadi‖ atau ―pasti ada hikmah di
balik yang telah terjadi itu,‖ dan lain sebagainya, sehingga
semuanya itu diterimanya sambil mengharapkan sesuatu
yang lebih baik di kemudian hari. Di sini sabar diartikan
sebagai ―menerima dengan penuh kerelan ketetapan-
ketetapan Tuhan yang tidak terelakkan lagi‖.
Dalam contoh yang kedua ini, akan dikemukakan
suatu hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim
dari sahabat Nabi saw., Anas ibn Malik, bahwa suatu ketika
Rasul Saw. menemukan seseorang wanita yang sedang
menangis di hadapan sebuah kuburan. Kemudian Nabi saw.
bersanda kepadanya, ―Bertaqwalah kepada Allah dan
bersabarlah.” Wanita tersebut menjawab, ―pergilah, jangan
ikut campur urusanku, engkau tidak tertimpa seperti yang
menimpaku.‖ (wanita tersebut ketika itu tidak mengenal
Nabi sehingga ketika disampaikan kepadanya, dia sadar dan
menyesal, kemudian mengunjungi Nabi Saw. dirumah
beliau). Beliau tidak memiliki penjaga-penjaga pintu dan
wanita tersebut menyampaikan penyesalannya dengan
berkata, ―(waktu itu) aku tidak mengenalmu.‖ Nabi Saw.
150
menjawab, “hakikat kesabaran (kesempurnaannya) dinilai
pada saat-saat pertama dari kedatangan malapetaka”
(bukan setelah berlalu sekian waktu).
Jika demikian, sabar bukan berarti ―lemah‖ atau
―menerima apa adanya‖, tetapi ia merupakan perjuangan
yang menggambarkan kekuatan jika pelakunya sehingga
mampu mengalahkan (mengendalikan) keinginan nafsunya.
Dari sini, tidak heran kalau ―puasa‖ dinamai ―sabar‖, karena
esensi pokok dari ibadah ini adalah pengendalian diri yang
berahir dengan kemenangan.
Dari hakikat makna sabar yang dikemukakan di atas,
jelas pula bahwa ia bukannya mengendapkan seluruh
keinginan sampai terlupakan ―di bawah sadar‖ sehingga
dapat menimbulkan kompleks-kompleks kejiwaan, tetapi ia
adalah pengendalian keinginan-keinginan yang dapat
menjadi hambatan bagi pencapaian sesuatu yang luhur (baik)
dan atau mendorong jiwa sehingga pelakunya mencapai cita-
cita yang didambakannya.
Di dalam Al-quran ditemukan perintah bersabar
berkaitan dengan sekian banyak konteks, antara lain:
1. Dalam menanti ketetapan Allah, seperti dalam QS
Yunus ayat 109, Dan bersabarlah sehingga Allah
memberi keputusan.
151
2. Menanti datangnya hari kemenangan, seperti dalam
QS Al-Rum ayat 60, Dan bersabarlah,
sesungguhnya janji Allah adalah hak (pasti).
3. Manghadapi ejekan (gangguan) orang-orang yang
tidak percaya, seperti dalam QS Tha Ha ayat 130,
Dan bersabarlah menghadapi apa yang mereka
ucapkan (berupa ejekan dan kritik).
4. Menghadapi kehendak nafsu untuk melakukan
pembalasan yang tidak setimpal, seperti dalam QS
Al-Nahl ayat 127, Dan bersabarlah, dan tiada
kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah
dan janganlah kamu bersedih hati menghadap
mereka.
5. Dalam melaksanakan ibadah, seperti dalam QS
Maryam ayat 65, Maka mengabdilah kepada-Nya
dan bersabarlah dengan penuh kesungguhan dalam
pengabdian kepada-Nya. Demikian juga pada QS
Tha Ha ayat 132, Perintahkanlah keluargamu
(melaksanakan) shalat dan bersabarlah dalam
pelaksanaannya.
6. Dalam menghadapi malapetaka, seperti QS Luqman
ayat 17, Dan bersabarlah menghadapi apa yang
menimpamu.
152
7. Dalam usaha memperoleh apa-apa yang dibutuhkan,
misalnya dalam QS al-Baqarah ayat 153, Dan
mintalah bantuan (makanan dalam menghadapi
segala kebutuhanmu) dengan sabar (ketabahan)
dan sholat (do‟a).
Al-Raghib Al-Ashfahani, pakar bahasa Al-Quran,
menjadikan ayat 177 surah Al-Baqarah sebagai kesimpulan
dari segala macam bentuk kesabaran (ketabahan) yang
dituntut oleh Al-Quran. Ayat tersebut berbicara tentang Al-
birr (kebajikan) dan orang-orangyang melakukannya, yakni
antara lain mereka yang digambarkan sebagai ―orang-orang
yang bersabar (tabah)‖ dan al-basa‟, al-dharra‟, dan hina
al-ba‟s.
Menurut Al-Raghib, sabar (tabah) dalam menghadapi
kebutuhan yang mengakibatkan kesulitan, tergambar dalam
kata al-basa‟, sabar dalam menghadapai kesulitan yang telah
menimpa (malapetaka) dicakup oleh kata al-dharra‟,
sedangkan sabar dalam peperangan (mengahadapi musuh)
tergambar dalam wa hina al-ba‟s.
Dengan demikian, kesabaran yang dituntut oleh Al-
Quran adalah kesabaran dalam usaha mencapai apa yang
dibutuhkan. Kesabaran ini menuntut usaha yang tidak kenal
lelah, dan tidak memedulikan rintangan apapun sampai
tercapainya apa yang dibutuhkan. Kemudian, sabar dalam
153
menghadapi malapetaka sehingga dapat menerimanya
dengan jiwa yang besar dan lapang guna memperoleh
imbalan dan hikmahnya. Yang terahir adalah sabar yang
secara khusus digarisbawahi, yaitu sabar dalam peperangan
(perjuangan), walaupun hal yang terahir dapat tercakup oleh
pengertian sebelumnya.
Salah satu perintah dari Allah adalah perintah
bersabar. Ini dikemukakan pada ayat ketujuh surah Al-
Muddatstsir yang merupakan wahyu kedua atau ketiga,
menurut riwayat lain yang diterima Nabi Muhammad saw.
perintah tersebut disertai dengan penekanan khusus, yakni
bahwa kesabaran harus didasari oleh li-Rabbik (demi
Tuhanmu). Kalimat itu menuntut agar kesabaran
dilaksanakan semata-mata karena Allah Swt., bukan karena
sesuatu yang lain, misalnya karena iming-iming pencapaian
target. Dalam hal ini, kesabaran bagi Nabi Muhammad Saw.
waktu itu adalah keislaman umat manusia.
Melalui kata li Rabbik, ayat ini ingin menegaskan
bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan perintah Allah
dengan penuh ketabahan dan kesabaran, apapun hasil yang
dicapai. Mengapa demikian? Menurut hemat penulis, karena
ketabahan dalam perjuangan dapat memudar apabila diingat
bahwa hasil yang ditargetkan terlalu besar dibandingkan
dengan sarana dan prasarana yang dimiliki. Akan tetapi,
154
apabila yang menjadi tujuan adalah perjuangan itu sendiri
terlepas dari apapun hasilnya maka ia akan terus berlanjut,
apakah yang diharapkannya itu tercapai atau tidak. Sebab
sejak semula telah dinyatakan bahwa ―yang dituntut adalah
ketabahan dalam perjuangan‖ bukan hasil perjuangan‖.
Inilah sebabnya, berulang-ulang Al-Quran
mengingatkan Tidak ada tugas yang dibebankan kepada
Nabi kecuali sekadar menyampaikan (QS Al-Nahl [16]: 35),
dan lain-lain, sebagaimana ditegaskan dalam hubungannya
dengan ―keimanan dan keislaman orang yang dicintainya
sekalipun, berada di luar kemampuan usaha beliau‖ (Baca
QS Al-Qashash [28]: 56). Dan bahwa seandainya Tuhan
menghendaki niscaya semua manusia (tanpa kecuali) akan
beriman (QS Yunus [10]: 99. Demikian sabar dengan aneka
makna dan jangkauannya, yang dibutuhkan oleh setiap
orang, apapun kedudukan dan status sosialnya.
F. Kandungan Makna dan Nilai Sabar
Manusia sebagi makhluk, hamba dan khalifah Allah
di muka bumi. Berbagai predikat yang disandingnya itu,
manusia dibekali pikiran, perasaan, panca indera untuk
menapaki dan menggapai perjalanan hidupnya. Manusia juga
diberi petunjuk oleh Allah dengan wahyu dan rasul-Nya
untuk memberikan petunjuk dan menutun manusia dalam
155
perjalanan hidupnya untuk mengikuti jalan Allah, bukan
jalan yang selain-Nya.
Perjalanan hidup manusia selalu dihadapkan pada dua
hal: senang-sedih, lapang-sempit, sehat-sakit, kaya-miskin,
susah-nahagia, cobaan-kenikmatan dan sebagaimnya; dan itu
semua adalah sunnatullah yang tetap mengiringi perjalanan
hidup manusia dan proses alam semesta. Allah menghendaki
perjalanan hidup manusia sesuai dengan kehendak-Nya,
takdir dan qadha-Nya, mengikuti jalan Allah yang telah
disyari‘atkan dalam Islam untuk memberikan keselamatan
hidup bagi manusia di dunia dan di akhirat kelak.
Islam sebagai agama yang benar mengandung aspek
aqidah, ibadah dan akhlaq, yang ketiga aspek itu merupakan
sistem Islam dalam kehidupan manusia beragama (muslim,
mukmin). Islam sebagai sistem akhlaq, di dalamnya
terkandung nilai-nilai dari sifat, sikap dan perilaku (akhlaq)
yang terpuji dan mulia, seperti al-shabr (dalam bahasa
Indonesia: sabar). Jadi, sabar merupakan salah satu akhlaq
al-karimah, dan akhlaq al-mahmudah.
Akhlaq sabar juga terealisir dalam kehidupan sufistik,
sebab seseorang yang akan menjadi sufi di antaranya harus
melewati tangga (station, maqam) al-shabr. Seorang calon
sufi sebelum memasuki maqam sabar, ia terlebih dahulu
156
harus melewati maqamat: al-taubat, al-wara‟, al-zuhd, al-
farq, baru memasuki al-shabr (lihat Al-Thusi, 1960:75).
Selain memasuki kawasan akhlaq dan tasawuf, sabar
juga sebagai pancarana kekuatan iman seseorang yang
terimplementasi dalam ibadah dan amal shalehnya. Ini
berarti bahwa kesabaran merupakan ―bibit‖ yang
menumbuhkembangkan secara subur terhadap iman, ilmu
dan amal shaleh seseorang yang bersabar dalam segala hal,
keadaan, kondisi, bidang kehidupan dan sebagainya.
Di dalam Al-Qur‘an kata shabr dalam bentuknya kata
kerja dan kata benda disebut sebanyak 103 kali, yang
tersebar dalam 46 surat terdiri dari 29 surat makkiyah dan 17
surat madaniyah, dan 101 ayat (M. Quraish Shihab dkk. :
349). Kata sabar yang berakar dari kata shabara, yashbiru,
shabran memiliki arti yang berbeda-beda sesuai dengan
konteks yang terdapat dalam berbagai hal dan kondisi,
seperti: shabar dalam ibadah, sabar dalam cobaan dan
musibah, dan sebagainya. Masalahnya adalah bagaimana
memahami tentang sabar dalam kehidupan ini, dalam hal apa
sajakah kita bersabar, serta bagaimana menumbuhkan sikap
sabar dalam kehidupan?.
Kata sabar sudah termasuk dalam bahasa Indonesia,
adalah berasal dari kata bahasa Arab, yakni shabr. Secara
etimologis, kata sabar mengandung arti menahan (al-mani‟)
157
dan mencegah (al-hubs) sebagaimana diterangkan Al-
syarbashi (1985: 191). Begitu pula menurut M. Quraish Shab
dkk., dalam ensiklopedi Al-Qur‘an dijelaskan kata sabar
diartikan sebagai menahan, puncak sesuatu, dan batu (M.
Quraish Shihab dkk. : 349). Dalam ensiklopedi Al-Qur‘an itu
dikatakan bahwa Al-Asfahani dalam kitabnya Al-Mufradat fi
Gharib Al-Qur‟an menerangkan kata sabar berarti menahan
kesulitan. Dengan demikian, kata sabar mengandung
pengertian menahan diri, atau tabah menghadapi sesuatu
yang sulit, berat dan mencemaskan, serta berusaha dari
kesulitan, keberatan, kesempitan dan sejenisnya untuk
dikeluarkan dan dipertahankan dari hal-hal yang baik dan
benar. Jadi, kata sabar mempunyai pengertian yang berbeda-
beda sesuai objek, situasi dan kondisi dan hal yang
dihadapinya. Dalam pengertian demikian, sabar juga dapat
diartikan sebagai sikap tabah, teguh, menahan dan mencegah
dalam keadaan dinamis dan aktif serta tetap berada dalam
aturan-aturan yang telah ditentukan Tuhan (sunnatullah,
taqdir dan qadha Tuhan) dalam menghadapi berbagai
macam persoalan, cobaan, kesulitan, tantangan dan
sebagainya dalam kehidupan.
Oleh sebab itu, sabar dihadapkan dalam segala
kesulitan, kepahitan dan sejenisnya secara lahir dan rohani
(M. Quraish Shihab dkk. : 349) serta manusia dituntut untuk
158
tabah. Pengertian sabar dalam arti menahan dan mencegah,
ini terdapat dalam surat Al-Kahfi i/18: 28). Arti sabar dalam
ayat 28 itu ialah ―Tahanlah dirimu bersama mereka‖. Kata
sabar juga menunjukkan pada lawan katanya, terutama jika
kata sabar dikaitkan dengan objek yang dihadapinya.
Misalnya, jika seseorang mampu bertahan dalam musibah
yang dihadapinya, maka itu disebut sabar dan lawannya
gelisah (al-jaza‟); ini dijelaskan dalam surat Ibrahim/14: 21.
Begitu pula, sabar dalam perjuangan disebut berani
(syaja‟ah) dan lawannya takut (jubn). Sabar dalam arti
menahan sesuatu yang mengkhawatirkan dinamamakan
lapang dada (rahb al-shadr) dan laannya adalah cemas (al-
dajjar).
Adapun pengertian sabar secara termonologis, antara lain
dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya “ulum
al-Din bahwa pengertian sabar adalah: ―Memilih untuk
melakukan perintah agama ketika datang deakan nafsu
syahwat.‖
Definisi sabar yang dikemukan Al-Ghazali
menunjukkan bahwa nafsu (syawat) menuntut manusia untuk
berbuat sesuatu, tetapi manusia lebih memilih kepada yang
dikehendaki (diridhai) oleh Allah swt., maka disitulah ada
kesabran. Sebaliknya, manusia dikatakan tidak bersabar, jika
ia menuruti atau memenuhi tuntutan hawa nafsu yang
159
mendesak dir manusia. Jadi, kesabaran terjadi, biasanya
ketika manusia timbul konflik secara internal dan eksternal
(di luar dirinya).
Al-Thusi, dalam kitabnya Al-Luma‟ halaman 62,
menjelaskan sabar adalah maqam yang mulia dan Allah
sungguh memuji orang-orang yang sabar, Allah akan
mencukupkan kepada orang-orang yang bersabar dengan
balasan pahala tanpa batas. Dalam tinjauan sufistik, Ibnu
Salim al-Bashrah dalam kitab Al-Luma‟ itu menjelaskan
sabar terbagi tiga hal: (1) mutashabbir ialah kesabaran
kepada Allah dari yang dibenci-Nya dan dikeluh oleh
manusia; (2) orang yang sabar (al-shabir) ialah orang yang
sabar kepada Allah, hanya karena-Nya ia tidak pernah
mengeluh dan tidak pernah mengharapkan imbalan/balasan
dari apa yang telah dikerjakannya (walaupun Allah tetap
membalasnya); dan (3) al-shabbar ialah kesabaran kepada
Allah atas segala yang menimpa tanpa mengeluh dan tidak
akan pernah merubah sesuatu kecuali dengan ketetapan yang
terdapat dalam taqdir, qadha dan sunnatullah.
G. Macam dan Pembagian Sabar
Pengertian sabar yang mengandung tuntutan untuk
tabah menerima kesulitan, kepahitan dan sejenisnya secara
jasmani dan rohani, ini menunjukkan bahwa macam sabar
160
ada dua: sabar jasmani dan dsabar rohani. Sabar jasmani
maksudnya, kata M. Quraish Shihab dkk., dalam ensiklopedi
Al-Qur‘an halaman 349, ialah kesabaran dalam menerima
dan melaksanakan perintah-perintah agama yang melibatkan
anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibada dan
haji yang mengakibatkan keletihan, sabar dalam peperangan,
sabar dalam menerima cobaan-cobaan yang menimpa
jasmani, seperti: penganiayaan, penyakit, dan semacamnya.
Adapun sabar rohani, adalah menyangkut kemampuan
menahan kehendak nafsu yang dapat mengakibatkan
kejelekan, seperti sabar menahan marah, putus asa, stress,
syahwat seksual yang tidak pada tempatnya.
Macam-macam sabar secara terperinci dapat terbagi
menjadi beberapa hal, sesuai denga objeknya, antara lain:
sabar dalam beribadah, sabar dalam menghadapi ejekan,
fitnah dan orang-orang yang ingkar kepada Tuhan dan Rasul-
Nya, sabar dalam ujian dan cobaan (al-bala‟), sabar dalam
musibah, sabar dalam menegakkan kebenaran dan petunjuk
Tuhan, sabar dalam ketaatan kepada Tuhan, sabar dalam
mencari ilmu pengetahuan, sabar dalam perdamaian dan
berjihad, sabar dalam kesesatan, sabar dalam memperoleh
kebutuhan, serta sabar dalam menerima pujian dan balasan
dari Tuhan.
161
Pengertian sabar di atas banyak diungkap dalam Al-
qur‘an, dan Allah memerintahkan agar kita (mukmin) selalu
bersabar, kecuali sabar dalam kesesatan. Penjelasan rinci
tentang sabar seperti berikut ini.
1. Sabar dalam beribadah kepada Allah.
Ini dijelaskan dalam surat Maryam/19:65,
Thaha/20:132 dan Al-Baqarah/2:45. Sabar dalam beribadah
dapat diartikan seseorang harus teguh hati, komitmen dan
konsisten dalam mengamalkan ajaran Islam sebagaimana
terkandung rukun Islam sperti shalat.
2. Sabar dalam menghadapi ejekan dan fitnah serta
kaum penentang dakwah para rasul Allah, termasuk Nabi
Muhammad.
Sabar disini, biasanya dilakukan oleh para rasul
dalam mendakwahkan risalah Allah yang diejek dan difitnah
oleh kaum yang ingkar (tak percaya) kepada Tuhan dan
kerasulan-Nya. biasanya dalam Al-Qur‘an penggunaan kata
sabar dalam menghadapi ejekan dan fitnah kaum kafir dalam
bentuk kata perintah, fashbir yang diikuti kata „ala ma
yaquluna antara lain: QS. 20:130, 38:17, 73:10, kecuali Qs.
54:27.
3. Sabar dalam ujian/cobaan (al-bala‟).
Sabar dalam cobaan atau ujian dijelaskan dalam Al-
Qur‘an, antara lain: 137:137, 47:31, 2:155, 177 dan 249.
162
Ayat ini menceritakan bangunan-bangunan Fir‘aun yang
didirikan dengan menindas Bani Israil, maka Allah yang
hancurkan bangunan itu dan menolong Bani Israil. Ayat
diatas mengandung isyarat bahwa dalam menegakkan
kebenaran tedapat cobaan yang berat, maka bersabarlah
dalam menghadapi cobaan itu. Begitu pula dalam
menegakkan kebajikan diperlukan kesabaran, sebagiman
dijelaskan dalam QS. 2:177. Untuk mengalahkan kebatilan
dari kelompok yang besar dan mengakkan kebenaran dari
kelompok yang kecil yang bersabar sangatlah diperlukan
dalam perjuangan itu, agar kelompok yang bersabar itu
memperoleh kemenangan. Seperti Firman Allah dalam QS.
2:249.
4. Sabar dalam menghadapi musibah.
Dalam menghadapi kehidupan di dunia ini tidak
selamanya stabil tentang keadaan alam dan nasib manusia.
Hari ini mungkin seseorang berbahagia dan lapang, tapi
mungkin esok harinya, ia menghadapi cobaan, musibah,
kesulitan dan kepayahan. Keadaan hidup yang demikian
dijelaskan dalam suarat Al-Imran ayat 140.
Orang-orang yang sabar ketika ditimpa musibah
senantiasa mengucapkan Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji‟un,
sebagaimana diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 156.
Ungkapan Innalillahi wa Inna Ilaihi Raaji‟un dinamakan
163
kalimat istirja‟ (pernyataan kembali kepada Allah); dan
disunatkan mengucapkannya pada saat ditimpa musibah
besar dan kecil.
Hanya orang-orang yang sabar dan mengerjakan
amak saleh, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang
besar dari Allah. Dalam Al-qur‘an surat Hud/11 ayat 11.
Luqman memberikan nasehat kepada anaknya untuk
bersabar. Adalah sabar untuk tetap beribadah (shalat) dan
menegakkan amar ma‘ruf nahi munkar, sebab manusia yang
tidak beribadah dan tidak pula menegakkan amar ma‘ruf nahi
munkar adalah suatu musibah, yakni bencana keimanan dan
kebaikan seseorang. Allah swt. Berfirman dalam surat
Luqman/31:17.
5. Sabar dalam menegakkan kebenaran dan petunjuk
Allah.
Para Nabi diutus untuk berdakwah, yakni mengajak
dan menyampaikan risalah-Nya yang mengandung
kebenaran dan petunjuk kepada kaumnya. Kebenaran dan
petunjuk datang dan bersumber dari Tuhan, bukan dari nabi.
Nabi hanya diberi tugas untuk mendakwahkan risalah-Nya.
dalam Al-Qur‘an banyak diungkap tentang sabar dalam
menegakkan kebenaran dan petunjuk Tuhan, antara lain: QS.
14:21, 5:34, 15:42 dan 32:24.
164
Tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk
menerangkan kebenaran. Dalam surat Al-An‘am/6:42
dijelaskan mengenai orang-orang yang sabar dalam
menerima kebenaran yang disampaikan oleh rasul Allah,
termasuk nabi Muhammad, dan mereka pun mau berhijrah
bersama rasul Muhammad. Orang-orang yang sabar itu
diberi tempat yang baik di dunia dan pahala yang lebih besa
di akhirat. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-
An‘am/6:42.
6. Sabar dalam ketaatan kepada Allah
Sabar untuk tetap taat kepada Allah meliputi sabar
untuk mengikuti petunjuk Rasul dalam dakwahnya, sabar
terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah, dan sabar untuk taat
kepada Allah dan pertolongan-Nya, seperti nabi Ayyub.
Sabar untuk mengikuti petunjuk rasul, dijelaskan dalam surat
Ibrahim/14:5. Sabar terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah
juga dijelaskan dalam surat Luqman/31 ayat 31. Mengenai
sabar terhadap ketaatan kepada Allah juga dijelaskan, antara
lain: surat Saba‘/34:19, As-Syura/42:33, Shad/38:44,
biasanya sabar dalam ketaatan kepada Allah diungkap dalam
ayat-ayat Al-Qur‘an itu terdapat dalam penghujung ayat
dengan menggunakan kalimat yang artinya ―Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan)-
Nya bagi setiap orang yang bersabar dan bersyukur.‖
165
Termasuk sabar dalam ketaatan kepada Allah ialah
abar dalam menunggu ketetapan dan janji Tuhan. Sabar
dalam menunggu ketetapan Tuhan, dalam Al-Qur‘an
diungkap kata sabar berbentuk amar (perinta) yang dikaitkan
dengan kata ishbir li hukmi rabbik, antara lain surat 52:48,
68:48 dan 76:24.
Sabar dalam menunggu janji Allah, antara lain dijelaskan
dalam surat 30:60, 40:55, dan 40:77. Biasanya sabar disini
diawali dengan kata perintah (ishbir) dan diikuti oleh kalimat
inna wa‟s Allah haq, lalu diikuti oleh kalimat berikutnya
dalam satu ayat tersebut.
7. Sabar dalam mencari ilmu pengetahuan
Dalam mencari imu pengetahuan atau mengungkap
rahasia alam, yang terkadang ditampakkan dengan tingkah
laku aneh, seperti Nabi Hidir atas Nabi Musa, itu diperlukan
kesabaran. Sabar dalam hal demikian, biasanya diungkap
dalam Al-Qur‘an didahului oleh kalimat lan tastathi‟ ma‟iya
atau kalimat lam tastathi‟ „alaihi lalu diikuti kata shabran.
Ungkapan kalimat demikian dalam Al-Qur‘an antara lain:
surat Al-Kahfi i ayat 67, 72, 78 dan 82. Dalam semua ayat
itu mengisahkan Nabi Hidir dan Musa dalam masalah
kesabaran tentang mencari ilmu pengetahuan.
Dalam surat Al-Kahfi i ayat 66-69 digambarkan
dialog Hidir dan Musa mengenai kesabaran dalam mencari
166
ilmu pengetahuan. Ketika Hidir melakukan perbuatan yang
aneh-aneh, Nabi Musa selalu menanyakannya, seperti: Hidir
membocorkan perahu (Al-Kahfi i/18:72), Hidir membunuh
anak (18:75).
Begitu pula, ketika Nabi Hidir menjelaskan tentang
perbuatan anehnya itu kepada Nabi Musa, dijelaskan dalam
Al-Qur‘an surat Al-Kahfi i ayat 76 dan 82, yang diawali
dengan kata ta‟wil lalu dirangkai dengan kalimat maa lam
tastathi‟ „alaihi shabran yakni ―tujuan perbuatan-perbuatan
yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.‖ Kemudian Nabi
Hidir menjelaskan perbuatan-perbuatannya itu, sebagaimana
diterangkan dalam surat Al-Kahfi i ayat 79 (merusak kapal),
ayat 80 dan 81 (membunuh anak) dan ayat 82 (membetulkan
dinding rumah). Adapun orang-orang yang sabar disertai
dengan iman, ilmu dan amal saleh, dijelaskan dalam surat
Al-Qashash:80.
8. Sabar dalam perdamaian dan berjihad
Cinta perdamaian dan mempertebal semangat jihad
dibutuhkan kesabaran. Orang yang berjihad disertai
kesabaran akan memperoleh kemenangan, yaitu ia mampu
mengalahkan golongan yang besar. Sebagaimana Firman
Allah dalam surat Al-Anfal ayat 65 dan 66. Berjihad dalam
mempertahankan keyakinan agama juga diuji dengan
kesabaran. Ini dijelaskan dalam surat Muhammad: 31.
167
9. Sabar dalam kesesatan
Sabar dalam mempertahankan aqidah yang sesat,
menyembah selain Allah, adalah wajib ditinggalkan oleh
orang yang beriman kepada Allah (mukmin). Sabar dalam
kesesatan bila dipertahankan, berarti seseorang itu tetap
dalam kekafirannya dan menantang api neraka. Bahkan ia
tetap dalam kesesatannya walaupun mereka mengira bahwa
tuhan-tuhan yang disembahnya itu sebenarnya dikehendaki
oleh Allah, katanya (QS. 38:6). Hal demikian dijelaskan
dalam surat Al-Baqarah:175. Dalam ayat lain dijelaskan
bahwa musuh para nabi akan hancur disebabkan mereka
mempertahankan (sabar) dalam kesesatan aqidahnya. Ini
dijelaskan dalam surat Shad ayat 6. Oleh karena itu, orang
mukmin janganlah terpedaya oleh tipu daya orang kafir yang
menjanjikan kesenangan duniawi sesaat dengan
mempertahankan aqidah yang sesat. Orang mukmin harus
bersabarlah dan waspadalah terhadap tipu daya yang akan
menyesatkan aqidah (iman). Hal demikian diingatkan oleh
Allah dalam Surat Ali Imran ayat 200.
10. Sabar dalam memperoleh kebutuhan
Manusia membutuhkan kebutuhan secara material,
immaterial da spiritual. Oleh karenanya dalam memenuhi
kebutuhannya, manusia harus bersabarlah. Hal ini dijelaskan
dalam Al-Qur‘an surat Al-Baqarah ayat 153. Jadi, ayat 153
168
mengisyaratkan bahwa jika kita meminta bantuan (kepada
Allah) untuk memperoleh kebutuhan hidup, kita harus
bersabarlah dan kerjakanlah shalat.
11. Sabar dalam menerima pujian dan balasan dari Tuhan
Manusia diperintahkan dan dianjurkan oleh Allah
untuk bersabar, dan orang yang bersabar dipuji-Nya. banyak
ayat-ayat Al-Qur‘an yang menjelaskan pujian terhadap
orang-orang yang sabar, antara lain: QS. 3:146, 8:46, 39:10.
Begitu pula, orang yang sabar dicukupkan pahalanya tanpa
batas (QS. 39:10), dan orang yang sabar dicintai oleh Tuhan
(QS. 8:46), serta Tuhan bersama dengan orang-orang yang
sabar (QS. 2:153, 249, 8:46, dan 8:66).
Pujian Allah terhadap orang-orang yang sabar, antara
lain dijelaskan dalam QS. 3:146, 8:46, 39:10 dan 2:152, 249,
dan 8:46 dan 66. Hanya orang-orang yang sabar yang
dicukupkan pahal mereka tanpa batas, sebagaimana dalam
Az-Zumar/ 39:10. Begitu pula,orang –orang yang bersabar
bersama dengan Tuhan. Dalam Al-Qur‘an antara lain
disinggung mengenai Allah bersama dengan orang-orang
yang sabar (Al-Anfal: 46, Al-Baqarah: 153).
169
H. Menumbuhkembangkan Akhlaq Sabar
dalam Kehidupan
Sabar merupakan refleksi jiwa atau mental kita yang
diimplementasikan dalam perilaku (akhlaq) yang mulia dan
terpuji. Akhlaq al-karimah merupakan pancaran kekuatan
iman yang menghiasi ibadah dan amal shaleh seorang
mukmin, sehingga dalam kehidupan sehari-hari akhlaq sabar
tercermin dalam amal saleh (akhlaq al-mahmudah). Oleh
sebab itu, akhlaq sabar mesti ditumbuhkembangkan dalam
bentuk etika, estetika dan sufistik. Sebagai telah
dikemukakan bahwa sabar dalam berbagai hal telah
diisyaratkan dalam Al-qur‘an. Diantara aspek-aspek yang
dapat menumbuhkembangkan akhlaq sabar, sebagaimana
dikemukakan oleh Muslim Nasution, sbagai berikut:
1. Memahami makna hakikat kehidupan dunia
Kehidupan di dunia ini kadang lapang kadang sempit. Allah
lebih menginginkan kehidupan yang mudah, namun Allah
pula menguji dengan cobaan-cobaan dalam hidup ini, lihat
surat Ali Imran ayat 140.
2. Segala yang kita usahakan dan yang dimilikinya akan
dikembalikan kepada Allah, seperti hidup, mati, ibadah,
rezeki, harta, musibah, kesenangan dan sebagainya (QS. 2:
156).
170
3. Keyakinan balasan dan pahala di sisi Allah
Manusia terdorong untuk berusaha dengan hati-hati dan
mengikuti petunjuk Allah dengan sabar, Allah membalas dan
memenuhi janji-Nya bahkan Ia bersama orang-orang yang
sabar (QS. Al-Baqarah: 155-157, Az-Zumar: 10 dan An-
Nahl:96).
4. Keyakinan akan terbebas dari musibah dan cobaan
Orang yang sabar selalu ditolong dan bersama Allah. Orang
yang sabar meyakini terbebas dari musibah dan cobaan.
Datangnya kesenangan sesudah hilangnya kesusahan,
timbulnya kemudahan sesudah ilangnya kesulitan (QS. At-
Thalaq:7 dan Alamnasyrah:5).
5. Meneladani orang-orang yang sabar dan memiliki
kebulatan tekad, seperti kisah para nabi dan orang-orang
saleh terdahulu (QS. Al-Baqarah: 213 dan Al-Ahqaf: 35).
6. Manusia menyadari keterbatasan dan keberadaan
wataknya manusia memiliki keterbatasan dalam melakukan
dan mencapai keinginannya. Keinginan yang dituju sangat
luas, dan terkadang tergesa-gesa bahkan mengambil jalan
pintas, sehingga terkadang mengakibatkan stress, putus asa,
dan sebagainya (lihat QS. An-Nahl: 53 dan Al-Ma‘rij: 19).
7. Memantapkan keimanan terhadap takdir dan qadha
Allah, sehingga persoalan hidup ini diatur dan digariskan
171
oleh Allah. Dia-lah yang Maha Tahu, Maha kuasa dan
sebagainya (QS. Al-Hadid: 22).
8. Memperbanyak do‘a dan dzikir kepada Allah swt.
Tuhan tidaklah membiarkan hamba-Nya yang salah berada
dalam kesulitan. Tuhan selalu mendengar dan mengabulkan
rintihan do‘a hamba-Nya (QS. Al-A‘raf: 123).
I. Konklusi Sabar
Untuk menutup pembahasan tentang al-shabr (sabar),
kiranya perlu disimpulkan sebagai berikut:
1. Al-Qur‘an secara tematik banyak mengungkap tentang
sabar. Sabar dapat dipahami sebagai menahan dan
mencegah hal-hal yang dapat menyulitkan dan
merugikan seseorang. Oleh karena itu, manusia harus
berusaha secara aktif dan dinamis untuk keluar dari
kesulitan, kesempitan, kerugian, cobaan dan sejenisnya
dalam segala aspek kehidupan di dunia ini.
2. Sabar merupakan perintah, atau juga anjuran Allah
kepada manusia (mukmin khususnya), yaitu kesabaran
selain dalam kesesatan; namun kesabaran dalam
ibadah, taat kepada Allah dan sejenisnya, serta
bersabar pula dalam menghadapi cobaan, ujian, fitnah,
musibah, mencari ilmu, mempertahankan keyakinan
(kebenaran agama), memperoleh kebutuhan,
berdakwah dan sebagainya. Sabar yang selain dalam
172
kesesatan perlu ditumbuhkembangkan dalam
kehidupan sehari-hari dengan cara menghindari
kendala-kendala yang akan menghalangi tumbuhnya
sikap sabar seperti: tergesa-gesa, marah, emosi, putus
asa, stress, pesimis dan sebagainya.
3. Ketika seseorang dihadapkan dengan kebutuhan yang
mendesak, pekerjaan yang terburu-buru, emosi dan
sebagainya, sering dalam dirinya terjadi konflik; oleh
karenanya, manusia dalam kondisi demikian sangat
dibutuhkan kesabaran, dan mestinya manusia dituntut
menumbuhkan sikap sabar.
4. Dalam hidup ini tidak stabil, tapi mengikuti
sunnatullah, maka manusia harus mempertebal iman,
rajin ibadah dan amal saleh disertai kesabaran,
sehingga Allah membalas dan menepati janji-Nya
bahkan Ia bersama dengan orang-orang yang sabar.
5. Setiap sikap sebagai cermin akhlaq mulia dan terpuji
dapat ditumbuhkan oleh pribadi muslim, maka
kehidupan pribadi, keluarga, kelompok (jama‘ah) dan
masyarakat (umat) akan semakin tenang dan bahagia
yang penuh ridha dan pertolongan dari Allah dalam
hidup di dunia dan kelak di akhirat.
173
J. Implikasi Sabar
Kata shabr dalam berbagai bentuknya, terdapat di
dalam Alquran sebanyak 103 kali. Menurut Imam Al-
Ghazali, lebih dari tujuh puluh kali Allah SWT menguraikan
masalah sabar dalam Alquran.
Sabar adalah ―menahan kehendak nafsu demi mencapai
sesuatu yang baik atau lebih baik‖. Diamati dari uraian
Alquran tentang sabar, bahwa kebajikan dan kedudukan
tertinggi diperoleh seseorang karena kesabrannya. Lihat
misalnya surah As-Sajadah ayat 24: (QS Al-A‘raf: 137),
(QS Az-Zumar: 10)
Ganjaran-ganjaran yang lain ditetapkan Allah
kadarnya, kecuali ganjaran kesabaran – sebagaimana
disebutkan dalam ayat di atas dan karena itu, puasa, yang inti
pelaksanaannya adalah sabar. Dinyatakan Allah, melalui
Rasul-Nya dalam sebuah hadis qudsiy:
“Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan
memberi (menetapkan) ganjaran bagi pelakunya.”
Perhatikan Firman Allah dalam surah AL-Baqarah
ayat 177:
“Dan orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan,
dan dalam peperangan.”
Dari ayat di atas, dipahami bahwa terdapat
bermacam-macam sabar yang dituntut dari manusia. Secara
174
umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok:
sabar jasmani dan sabar ruhani.
Yang dimaksud dengan sabar jasmani adalah
kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perntah-
perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti
sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan
keletihan, atau sabar dalam peperangan membela kebenaran.
Termasuk juga dalam kategori ini, sabar dalam menerima
cobaan-cobaan yang menimpa jasmani, seperti penyakit,
penganiayaan, dan semacamnya.
Sedangkan sabar ruhani menyangkut kemampuan
menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepada
kejelekan, seperti sabar menahan amarah, atau menahan
nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.
Hampir seluruh keadaan dan situasi yang dihadapi
manusia membutuhkan kesabaran, karena situasi dan
keadaan tersebut tidak keluar dari dua kemungkinan:
Pertama, sejalan dengan kecenderungan jiwanya,
seperti ingin sehat, kaya, populer, dan sebagainya. Disini
kesabaran dituntut bukan saja guna memperoleh apa yang
disenangi itu, tetapi juga ketika telah memperolehnya. Ketika
itu manusia harus mampu menahan diri agar kecenderungan
tersebut tidak mengantarkannya melampaui batas sehingga
membawanya hanyut dan terjerumus dalam bahaya.
175
Kedua, tidak sejalan dengan kecenderungan jiwa
manusia yang selalu ingin terbawa kepada debu tanah, bukan
kepada Ruh Ilahi. Ketika itu manusia membutuhkan
kesabaran dan kehendak yang kuat agar tidak terbawa oleh
panggilan yang rendah itu. Mungkin sesuatu yang tidak
sejalan dengan kecenderungannya itu berupa tuntunan-
tuntunan Ilahi, mungkin pula berupa malapetaka dan
gangguan dari satu pihak terhadap pribadi, keluarga, atau
harta bendanya.
Disini dituntut kesabarannya, dalam arti ia dituntut
untuk menekan gejolak jiwanya agar apa yang disebut di atas
dapat dielakkannya, baik ia mampu untuk membalas
gangguan tersebut bila pihak yang mengganggunya adalah
manusia yang lemah, maupun ia tidak mampu.
―Ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan kita
dan iman menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa
kita. Ilmu menciptakan alat-alat produksi dan akselerasi,
sedangkan iman menetapkan haluan yang dituju serta
memelihara kehendak yang suci. Ilmu adalah revolusi
eksternal, sedangkan iman adalah revolusi internal. Ilmu dan
iman keduanya merupakan kekuatan; kekuatan ilmu terpisah,
sedangkan kekuatan iman menyatu. Keduanya adalah
keindahan dan hiasan; ilmu adalah keindahan akal,
sedangkan iman keindahan jiwa; ilmu hiasan pikiran dan
176
iman hiaan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan,
ketenangan lahir oleh ilmu, dan ketenangan batin oleh iman.
Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani
dan malapetaka duniawi, sedangkan iman memeliharanya
dari penyakit-penyakit ruhani dan kompleks-kompleks
kejiwaan serta malapetaka ukhrawi. Ilmu menyesuaikan
manusia dengan diri dan lingkungannya, sedangkan iman
menyesuaikannya dengan jati dirinya.‖
Surat al Ashr menunjukan kepada kita bahwa iman,
amal saleh, dan ilmu pun masih belum memadai. Memang,
ada orang yang merasa cukup serta puas dengan ketiganya,
tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan itu dapat
menjerumuskannya. Ada pula yang merasa jenuh, karena itu,
ia perlu selalu menerima nasihat agar tabah, sabar, sambil
terus bertahan, bahkan meningkatkan iman, amal, dan
pengetahuannya. Demikian surah Al-‗Ashr memberi
petunjuk bagi manusia. Sungguh tepat kata Imam Syafi‘i
yang dikutip pada bagian awal dari uraian surah ini:Kalaulah
manusia memikirkan kandungan surah ini, maka
sesungguhnya cukuplah ia (menjadi petunjuk bagi
kehidupannya).
Maha Benar Allah dalam segala Firman-Nya,
Wallahu A‟lam.
177
BAB IV
POTRET SIKAP NRIMA DALAM
SOSIO-KULTURAL MUSLIM JAWA
A. Sikap Nrima Pribadi Seorang Santri yang
Kaya
Pak Aiman (bukan nama sebenarnya) sejak kecil dia
dibesarkan di lingkungan pesantren salafi. Pendidikan
agamanya ditempuh di pesantren tersebut hingga dewasa.
Pendidikan formalnya dari SD sampai PT ditempuh di
lembaga pendidikan Islam di kotanya. Dengan latar belakang
keilmuan agama yang sangat kuat berpengaruh terhadap pola
pikir dan spiritualnya. Dengan demikian Pak Aiman bisa
menemukan hidup yang sesungguhnya. Dari lahir hingga
sekarang Pak Aiman tetap tinggal di desanya. Dan tradisi
pesantren yang begitu kental Pak Aiman harus memulai
membawa perubahan bagi masyarakatnya.
Masyarakat Sidorukun dimana Pak Aiman tinggal
hampir 90% menjadi santri kalong di pesantren Pak Aiman.
Pesantren tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
178
pola pikir keagamaan di desanya. Tradisi santri yang begitu
kuat dalam masyarakat, desanya Pak Aiman sering disebut
desa santri. Kyai menjadi satu-satunya tokoh panutan dan
kiblat dalam berpolitik. Dari sejarah munculnya politik Islam
di Indonesia parpol Islam selalu mennag di desanya.
Masyarakat desa yang begitu homogen 100% Islam
Ahlussunah Waljama‟ah (NU). Ilmu yang seharusnya
moderat terhadap persoalan-persoalan sosial tetapi tidak
tejadi di desa Pak Aiman. Pemahaman agama masyarakat
yang sepotong-sepotong memunculkan fanatisme sempit
terhadap persoalan-persoalan di desanya. Hal inilah yang
melatar belakangi Pak Aiman untuk membawa perubahan
untuk masyarakat desa yang begitu tertutup. Memang tidak
mudah Pak Aiman untuk mewujudkan cita-cita desanya
menjadi desa yang benar-benar Qoryah Thayyibah.
Pro dan kontra selalu muncul, hujatan, cacian selalu
melekat dalam diri Pak Aiman yang dimunculkan dari
kelompok yang kontra di desa tersebut. Pada waktu itu
termasuk kakaknya Pak Aiman sendiri yang kontra terhadap
ide-ide Pak Aiman yang dianggap membawa virus yang
tidak sehat untuk masyarakat desa. Kebalikan dari kelompok
kontra, kelompok yang pro justru membantu, memfasilitasi
dan berjuang bersama-sama membawa perubahan untuk
179
menjadi desa yang inklusif. Hingga sekarang antara
sanjungan dan hujatan masih melekat dalam diri Pak Aiman.
Pak Aiman merupakan sosok orang yang sangat
bijaksana, ketika menerima antara sanjungan dan hujatan
tidak berpengaruh dalam pribadinya. Dia tetap senang dan
biasa-biasa saja menghadapinya. Justru dengan hujatan-
hujatan itulah menjadi energi tersendiri dalam diri Pak
Aiman yang harus selalu bergerak dan berjuang.
Untuk memahamkan tentang pluralisme bagi
masyarakat desa, Pak Aiman tidak segan-segan sering
membawa tamu dari luar negeri (Belanda, Inggris, Malaysia,
dll) untuk menginap di desanya. Tamu tersebut harus tinggal
bersama penduduk setempat kurang lebih satu minggu dan
harus mengikuti aktifitas sehari-hari yang dilakukan tuan
rumah, ada yang ikut menukang, bertani dll. Ini merupakan
pembelajaran yang efektif bagi masyarakat desa untuk
menerima perbedaan ras, suku dan agama.
Perubahan bidang ekonomi yang sampai sekarang
masih ada, kelompok-kelompok koperasi yang didirikan di
tiap RT (koperasi simpan pinjam). Berawal dari banyaknya
masyarakat desa yang menggunakan jasa bank thitil yang
sangat menjerat. Koperasi-koperasi tersebut untuk
memfasilitasi ibu-ibu rumah tangga yang kurang produktif
180
untuk bisa berwirausaha agar bisa mencapai kemandirian
ekonominya.
Di bidang pendidikan, berawal dari keprihatinan
terhadap masyarakat desa banyak anak yang tidak mampu
ingin sekolah yang bermutu, tetapi mahal sehingga mereka
tidak mampu membayarnya. Dari sinilah Pak Aiman
bergerak hatinya untuk mendirikan sekolah yang bermutu
tapi murah, muncullah sekolah alternatif, sebagaimana cita-
cita Pak Aiman ingin mewujudkan masyarakat desa yang
mandiri, beradab dan berkarakter.
Sampai sekarang pendidikan yang didirikan Pak
Aiman sangat berpengaruh terhadap dunia pendidikan.
Sering ada pertukaran pelajar Katolik dari Jakarta, dimana
siswa tersebut harus live in bersama masyarakat setempat
selama kurang lebih dua minggu, dan mereka harus aktif
melakukan aktifitas sehari-hari yang dilakukan tuan rumah.
Dari kegiatan tersebut dampaknya luar biasa sekali,
masyarakat desa benar-benar bisa menerima perbedaan
(agama, status sosial, ras, dll).
Pak Aiman di desanya termasuk orang yang berstatus
sosial tinggi (berkecukupan). Dengan berbagai materi yang
dia miliki sebenarnya itu bukan tujuan dari kesuksesan hidup
Pak Aiman. Apa yang dia miliki hanya sebagai sarana untuk
berjuang demi perubahan. Banyak penghargaan yang dia
181
terima baik materi/immateri seperti Ma‘arif award, global
award dll. Merasa tidak ada yang istimewa buat dia, kecuali
perubahan.
Kesabaran, keuletan, sikap pantang menyerah benar-
benar menjawab mimpi-mimpi Pak Aiman utuk mewujudkan
masyarakat yang beradab. Hujatan dan cacian kepada Pak
Aiman kadang-kadang dilontarkan langsung kepada peneliti
seperti diungkapannya: ―Kanjeng Nabi wektu da‟wah neng
Mekah ora gampang, kanjeng Nabi dihujat, dicaci maki,
diboikot malah ancaman arep dibunuh‖. ―Ojo maneh Pak
Aiman wong biasa pancen kudu kuat karo sabar tenan.
Pancen akeh wong sing durung iso nangkep pikirane Pak
Aiman. Dijarke ora mudeng diterangke dadi perkoro‖.
Artinya: ―Nabi ketika da‘wah di Mekkah tidak
mudah. Nabi dihujat, dicaci maki, diboikot justru akan
dibunuh. Apalagi orang seperti Pak Aiman hanya manusia
biasa memang harus kuat dan sabar‖. Memang banyak yang
belum bisa menangkap pemikirannya. Dibiarkan tidak
faham, diterangkan jadi persoalan‖.
Dari sosok Pak Aiman bagaimana dia bisa
mengembangkan dimensi manusianya sebagai manusia yang
kamil. Dengan totalitas pemikiran, jiwa dan raganya menjadi
khalifah di bumi untuk Rahmatan Lil‟alamin. Persoalan
hidup yang dihadapi Pak Aiman bukan lagi persoalan hidup
182
sebagai individu, tetapi persoalan hidup masyarakat (sense of
social).
B. Sikap Nrima Pribadi Orang Sederhana
Pak Damani (bukan nama yang sebenarnya) sosok
yang sangat religius dan sederhana. Dia tinggal di pinggir
kota kecamatan. Dengan kondisi ekonomi seadanya (biasa-
biasa saja) Pak Damani sangat tentram dan bahagia bersama
keluarganya. Menjadi pedagang sebagai mata
pencahariannya. Penghasilannya pasang surut suatu hal yang
biasa. Kadang tiap harinya berpenghasilan banyak, kadang
sedang, bahkan sangat sedikit. Apapun penghasilan yang
didapatkan Pak Damani dia sangat bersyukur sekali. Sudah
merasa cukup dengan apa yang diperoleh. Menurut dia, yang
penting bekerja dengan sungguh-sungguh apapun hasilnya
itu yang terbaik.
Konsep hidupnya Pak Damani, ―Urip kui penak” sing
penting awak‟e dewe kuwi iso ngelakoni sing manfaat,
sepiro hasile disyukuri wae (nrimo)”. Artinya: ―Hidup itu
indah‖ yang penting dirinya sendiri bisa menjalankan sesuatu
yang bermanfaat. Apapun hasinya disyukuri saja (nrima)
pasti berkah dan manfaat‖. Kita berpenghasilan banyak tetapi
rasanya sedikit dan kurang. Kita berpenghasilan cukup/pas-
183
pasan tapi rasanya mendapatkan banyak dan cukup. Itulah
namanya berkah tutur Pak Damani.
Gaya hidup keseharian Pak Damani sangatlah
sederhana. Dia tetap senang hati dan biasa-biasa saja dalam
menghadapi persoalan hidupnya. Menurut Pak Damani:
‖Persoalan hidup tidak hanya berhenti pada persoalan materi.
Ketika kita nyaman dan tidak tentram itu sebenarnya juga
persoalan. Tetapi hal ini jarang diperhatikan oleh manusia itu
sendiri. Pak Damani menceritakan temannya. ―, aku duwe
konco uripe ki sukses tenan iso bangun rumah sakit dewe yo
apik tenan, materine luweh-luweh neng opo sing dirasakke
jare atine suwung ora tentrem‖ Artinya: ‖, saya punya teman
hidupnya sukses bisa mendirikan rumah sakit bagus sekali,
materi berlimpah tapi rasanya hampa dan tidak tentram‖.
―Uripe penak-penak wae ora ono tantangan malah
raiso ngerasakke urip” cerita Pak Damani dengan
semangat‖. ―Hidupnya berkecukupan terus belum pernah
merasakan kurang, justru tidak merasakan hidup‖.
Kemampuan mengenali dirinya sendiri, sebagai
makhluk individu, dengan totalitas bisa mengembangkan
semua potensi yang ada meliputi: kemampuan berpikir
cerdas, ruhaniah yang kuat, fisik yang sehat merupakan satu
kesatuan dalam diri manusia yang tidak bisa dipisahkan. Diri
sendiri juga merupakan amanah, bagaimana setiap individu
184
bisa bertanggungjawab terhadap Tuhannya. Manunggaling
kawula Gusti. Kekuatan ruhaniah yang dikembangkan Pak
Damani agar tercapai kekuatan spiritual yang tinggi
hubungan manusia dengan Tuhannya.
Menurut Pak Damani kesalihan individu sebuah
keharusan. Ini sebagai modal atau pijakan untuk menuju
kesalihan sosial. Bagaimana orang akan bisa membawa
perubahan sedangkan dirinya sendiri tidak tertata. Dimensi
menusianya sebagai manusia belum baik. Hal inilah yang
jarang diperhatkan oleh setiap individu. Pak Damani selain
berdagang juga aktif di partai politik dan ormas Islam
menjadi calon legislatif (meskipun tidak jadi) tetapi hal
inilah yang menjadikan Pak Damani dikenal oleh masyarakat
luas. Pak Damani merasakan ini juga bagian pembelajaran
secara langsung dengan apa yang dialaminya. Membangun
mental keberanian menghadapi masa, kemampuan
membangun komunikasi yang baik, serta kecekatan dalam
mengorganisir.
Cacian dan pujian dari masyarakat yang dia terima,
Pak Damani tetap senang hati dalam menghadapinya. Ketika
dicaci dan dipuji tidak cepat putus asa dan bangga hati.
Justru bagaimana bisa menghadapi persoalan tersebut dengan
dewasa dan bijaksana, itulah belajar. Peneliti sering ngobrol
dan bertemu dengan Pak Damani, ―Bahwa dalam hidupnya
185
orangnya paham makna,‖Ini tercermin dalam gaya hidupnya,
pola pikirnya serta cara dia melakukan sesuatu.‖
―Dhonyo kuwi isine pepak arep milih sing endhi‖
artinya:‖ Dunia itu isinya lengkap mau milih yang mana‖.
Kerjo opo wae yen ora nganggo ati cepet kesel, sing di
enggo rogone tho‟. Kerjo nganggo ati lewih ikhlas neng
awak penak”. Artinya: ‖Kerja apa saja kalau tidak
menggunakan hati cepat lelah, yang dipakai hanya fisiknya
saja. Kerja pakai hati lebih ikhlas dibadan enak‖.
Yen kerjo niate mung ngoyak bondo dhunyo, malah
kesel dewe, wong yen atine nuju neng bondo biasane atine
wis ora eling karo sing kuoso. Atine kudu dijogo. Sing
penting ngelakoni sing manfaat kanggo wong liyo, mesti
berkahe. Gusti ora bakal mleset karo hambane‖. Piye sing
penting mlakune menungso koyo Al-Qur‟an. Iso distel dowo,
iso distel pendek, kapan menggok”. Koyo Al-Qur‟an kapan
diwoco dowo kapan diwoco pendek, kapan diwoco
mbrengengeng lan jelas. Intine wong kuwi iso nyetel awak‟e
dhewe, sin ati-ati lan peka karo kahanan‖.
Artinya: ― Kalau kerja niatnya hanya mengejar
materi, yang diperoleh hanya rasa capek. Orang yang hatinya
hanya mengejar materi, pasti tidak ingat kepada yang Maha
Kuasa. Hatinya harus dijaga. Kalau bekerja yang
memberikan manfaat untuk orang lain pasti berkah. Tuhan
186
pasti tidak akan keliru terhadap hambanya. Yang penting
bagaimana jalannya manusia seperti Al-Qur‘an. Bisa distel
pangjang, bisa distel pendek, kapan belok, kapan berhenti.
Seperti Al-Qur‘an kapan dibaca panjang, kapan dibaca
pendek, kapan dibaca mendengung dan jelas, semua ada
aturannya. Intinya bagaimana orang itu bisa mengatur
dirinya sendiri yang penting hati-hati dan peka terhadap
keadaan.
Dampak dari semua apa yang muncul dari dalam diri
Pak Damani, untuk memunculkan masyarakat yang harmonis
dimulai dari individu itu sendiri, bagaimana setiap individu
mempunyai kesalihan. Orang yang mempunyai kesalihan
individu dalam melakukan sesuatu dikerjakan tanpa pamrih
serta mempunyai ketenangan batin.
Inilah perbedaan karakter antara Pak Aiman dan Pak
Damani. Pak Aiman menciptakan tatanan sosial lewat
gerakan comunal. Sedangkan Pak Damani lebih ke
pembentukan individu-individu yang saleh untuk tatanan
masyarakat yang harmonis.
C. Sikap Nrima Pribadi Status Sosial Kaya
Secara Materi
Bu Ti‘ah (bukan nama sebenarnya), lain cerita
dengan Pak Aiman dan Pak Damani, Bu Ti‘ah seorang ibu
187
rumah tangga mempunyai usaha makanan. Dia tinggal di
pinggiran kota Salatiga. Karena suaminya pegawai salah satu
bank di Semarang, maka status sosial Ibu Ti‘ah di
kampungnya termasuk orang yang berkecukupan (kaya
materi). Banyak materi yang dimiliki Ibu Ti‘ah, seperti
rumah mewah dan seisinya termasuk mobil yang selalu
menghiasi rumahnya.
Materi yang dimiliki Bu Ti‘ah jelas Bu Ti‘ah sangat
senang dengan apa yang dimilikinya. Berperhiasan mahal
dan modis itu sudah keseharian yang selalu dia pakai. Karena
status sosialnya yang tinggi Bu Ti‘ah selalu mendapatkan
pujian dari lingkungan sekitarnya. Peneliti secara tidak
sengaja pernah langsung mendengarkan pujian yang
dilontarkan ke Bu Ti‘ah. ―Bu Ti‟ah uripe penak men yo ayu,
klambine apik-apik, sugih‖. Artinya: ―Bu Ti‘ah hidupnya
enak sekali ya, cantik, bajunya bagus-bagus dan kaya‖.
Pujian langsung dilontarkan ke Bu Ti‘ah sendiri saya
kira sering terjadi entah materi atau immateri. Karena
peneliti pun pernah langsung memujinya. ―Wah, bu yah ene
(pagi-pagi) wis penakmen kari lungguh-lungguh omahe wis
resik, karo ngitung-ngitung duit‖. Canda peneliti. Jawab Bu
Ti‘ah: ‖walaah to yo arep nopo to anakku wis gede-gede
ora ngladeni maneh‖. Artinya: ―Bu, pagi-pagi sudah enak
sekali tingal duduk-duduk, sambil menghitung-hitung uang‖.
188
Canda peneliti. Jawabnya: ―Ya mau apa to anakku sudah
besar-besar semua sudah tidak repot lagi‖.
Bu Ti‘ah memang sering dicemburui saudaranya, dia
gak betah kalau dimaki-maki oleh saudaranya. ―Wong kui
merinan opo-opo dielokke‖. Artinya: ―Orang kok suka ngiri
apa-apa diperbincangkan‖.
Secara materi sudah berkecukupan, ketika Bu Ti‘ah
menerima pemberian orang lain tetap senang-senang saja
tidak merasa kepepet atau sungkan apapun bentuknya. Bu
Ti‘ah juga bagian figur yang senang guyup rukun, dalam
memberikan sumbangan materi kepada orang lain. Entah
ketika sedang hajatan atau kegiatan sosial di kampungnya.
Meskipun termasuk kelas sosial tinggi, Bu Ti‘ah belum
merasa cukup apalagi nrimo. Takut miskin jelas sesuatu yang
sangat ditakuti oleh dia.
Dengan tidak sengaja beberapa waktu yang lalu Bu
Ti‘ah pernah ngobrol-ngobrol dengan peneliti, ― Nngertine
wong dhelokke aku wong sugeh padahal aku rasane belum
cukup, anane kemrungsung. Berarti aku kui durung sugeh,
sing sugeh kui malah kae wong-wong sing rumongso cukup
sak jane omahe elek, wong sugeh ki wong sing pinter
bersyukur karo sing kuoso. Kabeh wong sinawang, ngertine
sugeh padahal utange akeh. Malah ora tentrem atine ra
tenang uripe. Artinya: ―setahunya orang melihat saya kaya
189
dan cukup padahal saya belum merasakan cukup, adanya
ketidaktenangan. Berarti saya belum kaya, yang kaya itu
malah orang-orang yang merasa cukup meskipun rumahnya
jelek dan mau hidup apa adanya. Semua sering melihat
sama-sama. Kelihatan kaya padahal hutangnya banyak malah
hidupnya tidak tenang dan tentram.
Bu Ti‘ah pernah bilang ketika sama-sama dengan
peneliti mengantarkan orang-orang haji. ―Wah aku durung
wani munggah kaji tak nguatke ekonomiku disik‖. Peneliti
jadi bengong dikira beliau sudah daftar jauh-jauh hari
sebelumnya. Artinya: ―Aku belum berani naik haji mau
menguatkan ekonomiku dulu‖.
D. Konsepsi Nrimo Pribadi Sukses
Pak Herman (bukan nama sebenarnya) adik dari Bu
Ti‘ah merupakan orang yang sangat piawai dalam
berwirausaha. Pasang surut dalam usahanya adalah hal yang
biasa. Sosok pak Herman orang yang tak mudah pantang
menyerah. Ketika sukses tidak cepat bangga hati dan ketika
rugi tidak mudah kecil hati, tetapi bagaimana tetap berusaha
mengadapi ekonomi keluarganya yang pasang surut dengan
bijaksana.
Peneliti ngobrol dengan pak Herman di tempat
kerjanya. ―Piye to kerjo ki sing penting ngayah ikhlas karo
190
ngayah syukur neng awak malah penak ora ngongso, yen
ngayah akeh onone korupsi, roso kurang ki ra ono enthek‟e‖.
Artinya: ―Kerja itu yang penting cari ikhlas sama cari syukur
di tubuh malah enak tidak berarti kalo cari banyak adanya
korupsi. Merasa kurang itu gak ada habisnya‖.
―Aku wis ngrasakke duwe omah apik, duwe mobil
songko rego murah tekan rego larang wis tak rasakke kabe,
tiba‟e kabeh kuwi rasane ampang‖. Artinya: ―Saya sudah
merasakan punya rumah bagus, punya mobil dari harga
murah sampai harga mahal sudah merasakan semua, ternyata
semua itu rasanya ngambang‖.
Dampak dari semua pola hidup Bu Ti‘ah, jelas-jelas
potret individualis yang belum menemukan makna.
Dinamika hidup Bu Ti‘ah masih berkisar pada persoalan
fisik/materi. Sesuatu dianggap sukses jika sudah mampu
mengumpulkan/memiliki banyak materi. Ketika dihadapkan
dengan jumlah materi yang cukup ternyata belum menjawab
persoalan hidup yang sesungguhnya. Yaitu ketenangan dan
ketentraman batin masih merasa kurang terus. Dimensi
manusianya sebagai manusia yang sesungguhnya belum
terkelola dengan baik. Sesuatu akan menjadi baik jika
kebutuhan jasmaninya terpenuhi dengan baik pula. Ternyata
hal ini belum menjawab semuanya. Ada ruang batin dan akal
yang belum tersentuh.
191
Bisa jadi pola hidup materialistik menjadi satu-
satunya tujuan hidup sudah menghilangkan makna hidup itu
sendiri. Berfikir praktis dan pengelolaan emosi yang dangkal
menjadikan seseorang tidak mempunyai daya tahan terhadap
persoalan-persoalan hidup yang bersifat immaterial (cacian,
hujatan, dll). Bisa nrimo karena keadaan/kondisi yang
memaksakan untuk nrimo (ketika benar-benar tidak punya
uang). Belum bisa ikhlas ketika mengalami kekurangan.
Walaupun keadaan Bu Ti‘ah dia seorang muslimah yang taat
beribadah, pemahaman agamanya masih sebatas ritual-ritual
saja.
E. Sikap Nrima Pribadi Santri Buruh Tani
Miskin Pedesaan
Bu Mukti (bukan nama sebenarnya), dia tinggal di
pedalaman desa yang jauh dari keramaian kota. Mata
pencaharian Bu Mukti setiap harinya sebagai buruh tani. Dan
semua hasil kerjanya untuk menghidupi dan memenuhi
kebutuhan keempat anaknya yang semuanya belum dewasa.
Sebagai single parent Bu Mukti harus kerja keras untuk
mencukupi semua kebutuhan rumah tangganya. Dari hasil
buruhnya yang sedikit Bu Mukti harus menghemat segala
kebutuhannya atau bisa jadi Bu Mukti sekeluarga harus
banyak tirakat.
192
Secara materi Bu Mukti terhitung masyarakat miskin
pedesaan yang tidak berdaya ekonominya. Penghasilan tiap
harinya baru sebatas survival (untuk bertahan hidup) belum
bisa untuk mencukupi sekolah keempat anaknya. Rumah
papan, berlantai tanah yang sangat jauh dari kata mewah. Di
situlah Bu Mukti hidup bersama keluarga besarnya. Bu
Mukti pernah bilang ke peneliti bahwa dirinya pernah
mendapatkan bantuan langsung dari pemerintah desa yang
tiap bulannya Rp. 300. 000,-.
Sejak kecil Bu Mukti mendapatkan didikan agama
dari orangtuanya yang begitu taat beribadah. Tingkat
ibadahnya Bu Mukti bisa membangun kekuatan spiritualitas
yang cukup tinggi. Dalam keadaan kurang secara materi, Bu
Mukti tidak pernah mengeuh akan nasibnya. Sabar dan
ikhlas yang selalu melekat dalam diri Bu Mukti yang
menjadikan Bu Mukti menjadi sosok perempuan yang sangat
tabah dalam menghadapi persoalan hidupnya. Selalu senyum
dan tidak marah. Bu Mukti sangat disukai tetangganya.
Ketika peneliti bertandang kerumah Bu Mukti banyak ibu-
ibu yang sedang santai ngobrol-ngobrol di depan rumah Bu
Mukti.
Setiap pemilu apapun bentuknya Bu Mukti selalu
menjadi target money politic bagi tim sukses peserta pemilu.
Apa yang terjadi kemiskinan bukan berarti dia harus
193
menerima begitu saja uang untuk membeli suaranya dalam
pemilu. Bu Mukti pernah cerita kepada peneliti, dia paham
batasan halal dan haram. ―Piye to aku diparani Pak Udin
diweneni duit tapi kon milih koncone sing arep dadi DPR
kae, aku ora wani nompo, wedi doso, kerjo sing ono wae
neng halal‖. Artinya: ―Gimana ya aku didatangi pak Udin
dikasih uang disuruh milih temannya yang akan jadi DPR,
tapi saya tidak berani menerima takut dosa, kerja yang ada
saja tapi halal.
Lain lagi dengan anak laki-lakinya Bu Mukti yang
sudah punya hak pilih. Dia dikasih money politic tetap
diterima tapi tidak memilih orang yang kasih uang. Anaknya
pernah bilang kepada peneliti: ― aku pernah diweneni duit
karo calon DPR, tak tompo duite neng ora tak pilih uwonge.
Wong ngono kuwe mengko yen dadi mesti mikir bai modal
alias korupsi‖.
Bu Mukti di lingkungan sekitarnya, meskipun miskin
dia kelihatan cukup mempunyai wibawa seperti peneliti lihat.
Itu terlihat dari cara tetangganya memanggil Bu Mukti
dengan kata bu/ibu. Biasanya orang desa memanggil dengan
kata yu, mbok, ma‘e dan lain-lain terhadap orang yang biasa
mereka panggil. Panggilan bu/ibu di desa panggilan
tersendiri bagi orang yang mempunyai status sosial tinggi.
194
Bu Mukti orang yang jarang mengeluh terhadap
keadaannya. kata-kata sabar, ikhlas, hemat, hati-hati itu kata-
kata yang selalu dia ucapkan untuk anak-anaknya. Dia
merasa sedih bukan karena jumlah materi yang dia dapatkan
sedikit, sedih jika melihat anak-anaknya sampai
meninggalkan sholat dan puasa wajib. Kemiskinan bukan
menjadikan Bu Mukti larut atau putus asa terhadap keadaan.
Dia tetap bangkit, semangat, pantang menyerah dalam
menjalani hari-harinya.
Bu Mukti pernah bilang kepada peneliti ―Gusti kuwi
ora bakal sare, rejeki uwis ono jatahe dewe-dewe wis diatur
karo sing kuoso, jenenge isih urip mesti keparingan‖.
Artinya: ―Tuhan tidak akan pernah tidur, rizki sudah ada
ukurannya sendiri-sendiri, sudah diatur dengan yang kuasa.
Namanya masih hidup pasti kebagian‖.
Anak-anak Bu Mukti lulus SMP, ini tidak
menjadikan Bu Mukti berkecil hati. ―Sing penting bocah
kuwi gelem sinau opo wae, arep neruske tekan SMA ora
duwe ragat. Sing penting dadi bocah sing apik, iso moco, iso
nulis karo iso ngaji, karo duwe semangat nyambut gawe‖.
Artinya: ―Yang penting anak itu mau belajar apa saja, mau
melanjutkan ke SMA tidak punya biaya. Yang penting
menjadi anak yang baik. bisa membaca, bisa menulis sama
bisa mengaji, punya semangat kerja.
195
Faktor penyebab kemiskinan Bu Mukti faktor kultur
budaya. Ceritanya: Bu Mukti lahir 8 bersaudara, 3
perempuan 5 laki-laki. Anak perempuan tidak diberi
kesempatan yang sama dengan anak laki-laki dalam bidang
pendidikan. Ini terjadi pada Bu Mukti dari dua saudara
perempuannya. Bu Mukti dan dua saudara perempuannya
diberi kesempatan oleh orangtuanya hanya sampai sekolah
dasar. Sedangkan kelima adik laki-laki Bu Mukti semua
sekolah sampai SMP dan mondok di pesantren bertahun-
tahun lamanya. Anak perempuan cukup ngaji dan belajar
agama di rumah. Lebih ironisnya lagi Bu Mukti tidak sampai
tamat SD, karena harus mengasuh adik-adiknya. Bu Mukti
anak perempuan paling sulung. Kondisi inilah yang membuat
Bu Mukti tidak berdaya semuanya (pendidikan dan
ekonomi). Sampai-sampai semua terbawa sampai Bu Mukti
berkeluarga dan punya anak-anak.
Cerita Bu Mukti pada waktu itu, namanya anak desa
kalau sudah bisa ngaji sudah dianggap pinter dan cukup
umur. Meskipun baru berusia 15 tahun, anak perempuan bisa
gaji berarti siap untuk menikah. Ini benar-benar terjadi pada
Bu Mukti dan kedua adik perempuannya. Dengan kondisi
ekonomi apa adanya, prinsip take and give tetap ada dalam
kehidupan sehari-hari Bu Mukti. Menerima apa adanya atas
196
pemberian orang lain jelas Bu Mukti tidak ada motif apapun
kecuali senang dan ikhlas.
Di saat memberi, Bu Mukti pun tetap ikhlas, ketika
di dusunnya sedang ada orang yang punya hajatan tak segan-
segan Bu Mukti ikut menyumbangnya. Sumbangan tidak
harus berbentuk uang, bisa beras, sayuran, lauk pauk dan
lain-lain. Terserah apa yang dimiliki hidup guyub rukun,
harmoni tetap sesuatu yang diinginkan oleh Bu Mukti.
Jika dilihat secara lahiriyah, Bu Mukti orang yang
kurang beruntung secara ekonomi dan pendidikan. Bu Mukti
menjadi gambaran perempuan menjadi korban ketidakadilan
gender. Anggapan bahwa perempuan harus di rumah tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi masih mengakar kuat di
masyarakat pedesaan. Dirumahkan, tidak sekolah, tidak
bekerja semakin menambah keterpurukan perempuan.
Anggapan bahwa perempuan akan dicukupi dan ditanggung
laki-laki (suami). Tapi apa yang terjadi pada diri Bu Mukti
dia seorang single parent yang sudah lama ditinggal mati
suaminya ketika anak-anaknya masih kecil.
Dengan bekal agama yang secukupnya Bu Mukti
mempunyai kekuatan batin (spiritual) untuk bisa menghadapi
persoalan-persoalan hidupnya dengan sabar, ikhlas dan
selalu berserah diri kepada Allah. Keterbatasan pendidikan
ilmu pengetahuan dan wawasan menjadikan seseorang tidak
197
mempunyai akses informasi yang cukup untuk merubah pola
pikirnya dan ekonominya. Kemiskinan perempuan bukan
terjadi karena kemalasan atau nasib yang tidak beruntung
karena kondisi sosial budaya yang telah mengungkungnya.
Meskipun tidak berdaya pendidikan dan ekonominya
Bu Mukti dimensi manusianya sebagai manusia masih
terkelola dengan baik meskipun tidak lengkap. Hidup tenang
dan tentram masih bisa dirasakan oleh Bu Mukti berkat
ketenangan batinnya. Dalam hidupnya tetap aktif dinamis
disertai kepasrahannya kepada Tuhannya.
Atas sabar dan nrimanya Bu Mukti mampu menahan
diri, tidak putus asa, mampu meredam marah dan tidak
mudah mengeluh. Kemampuan mengendalikan diri bisa
sebagai modal untuk menjalin hubungan baik dengan orang
lain.
F. Sikap Nrima Pribadi Pembantu Rumah
Tangga, Sosok Miskin Kota
Bu Inah (bukan nama sebenarnya) tinggal di daerah
perkotaan. Pekerjaan sehari-hari Bu Inah menjadi pembantu
rumah tangga. Dan hasil jerih payahnya Bu Inah harus
menghidupi kedua anak perempuannya. Salah satunya masih
duduk di bangku sekolah dasar. Rumahnya yang kecil
terbuat dari papan sudah terlihat rapuh. Di situlah setiap
198
harinya Bu Inah tinggal dan beraktifitas dengan kedua
anaknya. Jika dilihat sekilas Bu Inah adalah potret
masyarakat miskin perkotaan, yang hidupnya sangat pas-
pasan, bisa jadi dibilang tidak cukup. Anak Bu Inah yang
masih duduk di SD memilih putus sekolah, jadi sekolah
dasarnya ditempuh sampai kelas 5 saja. Bu Inah sebenarnya
masih mempunyai semangat menyekolahkan anaknya
sampai SMA. Tetapi anaknya lah yang tidak mempunyai
semangat belajar. Sudah berbagai cara bu Ina membujuknya
agar anaknya tetap sekolah. Berhenti sekolah ternyata sudah
menjadi keputusan bulat bagi anak perempuannya.
Kemiskinan Bu Inah membuat anaknya tidak percaya
diri lagi untuk bergaul dengan teman-teman di sekolahnya,
serta tidak semangat dalam belajarnya. Memang banyak
tetangga yang merasa iba terhadap kondisi Bu Inah dan
keluarganya mendapatkan bantuan raskin (beras miskin)
sudah sangat membantu Bu Inah bisa makan untuk
menyambung hidupnya.
Bu Inah seorang single parent karena sudah lama
bercerai dengan suaminya. Bukan kemiskinan yang
mengakibatkan dia bercerai, tetapi perbedaan prinsip dalam
hidupnya. Sebelum bercerai, Ibu Inah secara materi dia
termasuk orang yang berkecukupan, karena suaminya
seorang pensiunan pegawai negeri. Kemiskinan Bu Inah
199
memang banyak menjadi sorotan masyarakat di sekitarnya.
Dampak dari kemiskinan itulah salah satu anak Bu Inah
memilih menjadi perempuan malam. Hal inilah yang sering
menjadi gunjingan masyarakat di sekitarnya. Bu Inah
sebenarnya sudah tidak tahan menjadi cemoohan banyak
orang, tapi apa daya kondisi ini menjadikan Bu Inah tidak
berdaya.
Dia sering terlihat cemberut, jarang senyum seakan-
akan Bu Inah memilkul beban berat dalam hidupnya.
Kemiskinan menurut Bu Inah bisa jadi sesuatu yang
menyakitkan dan terpuruk. Bu Inah pernah ngobrol dengan
peneliti. Dengan nada marah Bu Inah mengeluarkan unek-
uneknya, dia mengatakan: ― aku dadi omongan karo
rembukane wargo yen ngelokke sang senenge dewe, peh
karo wong ra duwe, yen aku sugeh kaya liya-liyane wis do
tak tataki kabeh‖.. Artinya: ― saya menjadi pembicaraan dan
perbincangan warga, mereka membicarakan saya sudah
semaunya, karena saya orang yang tidak punya. Jika saya
kaya seperti yang lainnya semuanya bisa saya atur‖.
Bu Inah sebenarnya dia belum ikhlas menerima atas
kekurangannya. Bu Inah sering mencibir anaknya sendiri.
―Anakku senengane dandan neko-neko koyo wong sugeh,
dadi anakke wong mlarat senengane neko-neko wae‖.
200
Artinya: ―Anakku senang merias diri yang aneh-aneh seperti
orang kaya, padahal anaknya orang miskin aneh-aneh saja‖.
Adu mulut dan pertikaian sering terjadi dalam
rumahnya, hampir tidak ada hari-hari yang menyenangkan
bagi Bu Inah. Setiap peneliti ketemu Bu Inah hampir
orangnya jarang senyum dan gembira. Pernah peneliti sendiri
memberikan sesuatu bingkisan kepada Bu Inah, respon dia
dan cara menerimanya seperti orang kepepet tidak begitu
senang menerima pemberian orang lain. Ketika dia
mendapatkan cemoohan dari orang lain, ekspresi marah-
marah dan sakit hati selalu muncul.
Pasrah, nyerah terhadap keadaan yang tidak
beruntung dan tidak menyenangkan semakin merasakan
keterpurukannya. Rasa syukur, ikhlas sebagai cerminan nilai-
nilai keagamaan kelihatannya belum muncul dalam diri Bu
Inah. Sebenarnya Bu Inah sendiri seperti peneliti ketahui dia
termasuk orang yang rajin beribadah dalam menjalankan
shalat lima waktu.
Jengkel, marah, tidak nrimo lebih mendominasi
pribadinya Bu Inah, seakan-akan kebaikan tidak berpihak
padanya. Seperti masyarakat perkotaan pada umumnya
bahwa materi sudah menjadi tujuan hidup satu-satunya,
dalam benak Bu Inah sendiri sebenarnya materi juga sebagai
201
tujuan hidupnya, tetapi apa daya semua tidak berpihak
padanya.
Setiap pemilu sebagai ajang pesta demokrasinya
masyarakat Indonesia, Bu Inah dan keluarganya sudah jelas
masuk daftar/target money politic bagi peserta pemilu. Apa
boleh dikata Bu Inah tetap akan memilih bagi calon yang
mau memberikan uang. ―Aku arep milih sing gelem menehi
duit. Sepiro akehe ora tak gagas, seng penting enthuk duit‖.
Artinya: ―Saya akan memilih yang mau memberikan uang,
berapa banyaknya tidak saya pikir yang penting dapat uang‖.
―Sing kepilih yen dadi DPR wis ora bakalan kelingan aku‖.
Artinya: ―Yang kepilih menjadi DPR tentu sudah tidak akan
ingat saya‖.
Bu Inah benar-benar merasakan beratnya hidup di
kota. Kalau tidak mempunyai materi yang cukup, bagi
masyarakat kota hidup adalah uang. Bagaimana mereka
benar-benar bisa bersaing untuk kelangsungan hidupnya.
Sebelum jatuh miskin Bu Inah sebenarnya pernah
merasakan hidup yang berkecukupan, Bu Inah pernah
mempunyai usaha warung makan yang setiap hari buka di
trotoar alun-alun kota. Warung makan Bu Inah lumayan
laris, tetapi kemudian lama kelamaan semakin berkurang
akibat kena penertiban tata ruang kota. Sebelum digusur
sebenarnya juga ada musyawarah dengan semua pedagang
202
kaki lima. Semua pedagang dipindahkan ke tempat lain.
Tetapi di tempat baru, jualan Bu Inah sangat sepi pembeli,
akhirnya Bu Inah memutuskan untuk tidak jualan lagi.
Dampak dari semua prilaku kehidupan Bu Inah
belum benar-benar nrima yang sesungguhnya (ikhlas), diam
(diam pasif), keterpaksaan dia untuk bisa menerima keadaan.
(arep nopo maneh onone yo wis ngono) artinya: ―Mau apa
lagi adanya ya memang itu‖.
Dampak dari kemiskinan mudah memunculkan
persoalan-persoalan sosial bisa berujung ke konflik sosial.
Kasus Bu Inah, dalam hidupnya sudah sarat dengan konflik.
Meskipun baru ranah individu dan keluarga (konflik yang
terdalam). Meskipun dimulai dari individu, jika individu-
individu yang berkonflik tidak dikelola dengan baik
sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan (meletus).
Membangun konsep diri positif, akan berpengaruh baik pada
dirinya bahwa seseorang yakin akan kemampuannya dalam
mengatasi masalahnya, punya semangat dirinya punya
kemampuan untuk setara dengan orang lain, dan mampu
introspeksi diri.
Tapi apa yang terjadi dalam diri Bu Inah. Konsep diri
negatif yang lebih dominan, tidak tahan kritik (cemoohan),
cepat marah, pesimis terhadap kompetisi dan tidak mau
bersaing. Miskin lahir batin (tidak punya harta, batinnya
203
tidak tentram) sudah kehilangan nilai-nilai hidup yang
sesungguhnya. Akal dan jiwanya sudah tidak berdaya lagi
hanya ragalah yang masih mampu bertahan hidup. Kondisi
jiwa yang tertanam kuat, akan melahirkan perbuatan-
perbuatan yang baik serta pemikiran-pemikiran yang baik
pula. Sebaliknya kondisi jiwa yang tidak tertanam kuat akan
lahir perbuatan dan pemikiran-pemikiran yang kurang baik
pula. Penghambaan diri secara total kepada Allah akan
melahirkan keluhuran budi bisa menempatkan diri dengan
orang lain dengan posisi yang sama.
G. Sikap Nrima pada Pribadi Santri Kota yang
Sederhana
Pak Indra, bukan nama sebenarnya. Dari lahir sampai
sekarang dia tetap tinggal di kota tercintanya yaitu Salatiga.
Pendidikan formalnya di sekolah dasar sampai perguruan
tinggi dia tempuh di lembaga pendidikan umum negeri. Tiga
tahun lebih Pak Indra pernah menjadi santri mukim salah
satu pesantren salafiyah di Jawa Tengah. Bisa membaca
kitab kuning, ini menandakan bahwa Pak Indra mempunyai
pemahaman kitab klasik yang baik dan menjadi salah satu
sumber untuk memahami agama. Pak Indra sendiri kadang-
kadang diminta oleh ibu-ibu kelompok pengajian di kotanya
untuk memberikan tausiyahnya.
204
Pak Indra mengenal dunia politik sejak dia duduk di
bangku SLTA. Waktu itu Pak Indra sudah menjadi pengurus
partai Islam di kotanya dan sudah aktif di organisasi
keislaman. Banyak orang mengenal sosok Pak Indra, kalau
dia adalah seorang politisi cerdas, sederhana, amanah dan
mempunyai pengaruh yang besar dapat masyarakat bisa jadi
karena gaya kepemimpinannya. Seorang politisi yang punya
latar belakang pendidikan agama yang baik.
Sejak kecil memang Pak Indra dibesarkan dari
keluarga yang berkecukupan atau kaya materi. Pak Indra
punya modal baik material maupun immateial yang kuat
sehingga Pak Indra pun bisa belajar apapun dengan semangat
dan totalitas termasuk belajar ilmu hukum, politik dan
kewirausahaan. Aktif di partai politik sejak remaja dan
penguasaan ilmu politik yang bagus serta punya karakter
tersendiri dalam gaya kepemimpinannya. Tidak
mengherankan kalau Pak Indra menjadi wakil rakyat/anggota
DPRD dua kali periode, tanpa harus modal atau
mengeluarkan uang sekian ratus juta. Kemampuan
berkampanye dan mengorganisir masa sehingga sosok Pak
Indra banyak berkenan di hati masyarakat.
Pak Indra menjadi politisi sudah menjadi pilihan
hidupnya karena menurut dia menjadi politisi itu ibadah yang
sangat mulia. Menyerahkan waktu dan pikirannya secara
205
total untuk mengabdi untuk kepentingan umat. Menjadi
politisi menurutnya adalah panggilan hidup yang sangat
mulia dan ibadah yang mulia. Menjadi politisi bisa
bermanfaat bagi banyak sekali orang. Menjadi guru
misalnya, menjadi guru hanya bemanfaat bagi para muridnya
saja. Tapi menjadi politisi tidak hanya mendatangkan
manfaat bagi muridnya saja, gurunya, atau sekolahannya tapi
seluruh unsur sistem pendidikan. Kalau sorang pengusaha
katakanlah hanya memberi manfaat untuk para karyawannya,
maka sebagai politisi yang baik bisa bermanfaat untuk
pengusaha, pekerja dan dunia usaha secara umum.
Pak Indra berusaha menghilangkan bahwa politik itu
kotor. Ada politisi yang halal dan korupsi itu adalah
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Sebenarnya hanya
perilaku beberapa orang saja, akhirnya menganggap bahwa
politik itu kotor. Contohnya, seperti peneliti dengar sendiri
Pak Indra menerangan: ―Menjadi anggota dewan godaannya
besar sekali, salah satunya ketika waktu penerimaan Pegawai
Negeri Sipil (PNS). Banyak peserta CPNS yang mencari dan
menyogok anggota dewan dengan berbagai cara variatif
jumlah uang yang mereka tawarkan. Anggota dewan yang
nakal umpamanya: ―Si Amir (bukan nama sebenarnya) sudah
diterima menjadi PNS dengan hasil tes atau hasil ujiannya
dengan bagus. Anggota yang nakal itu akan mencari daftar
206
semua CPNS yang sudah nyata-nyata diterima. Dia akan
pasang tarif dan meminta uang sekian juta jika mau diterima
jadi PNS. Padahal orang tersebut sudah diterima tanpa
bayar/nyogok dan akhirnya mereka tetap bayar, padahal
tidak bayar pun orang tersebut sudah diterima menjadi PNS.
Nafsu telah cenderung kepada kejahatan dan
perbuatan yang tidak baik, tetapi manusia tidak mungkin
hidup tanpa nafsu. Tinggal bagaimana individu itu bisa
mengelolanya. Untuk menjadi manusia utama dan baik
manusia diperintahkan Allah untuk bisa mengendalikan
nafsunya. Agar selalu mendapatan rahmat dari Allah. Pak
Indra selain menjadi politisi, dia menjadi pedagang atau
pengusaha. Dia menceritakan bagaimana bedanya menjadi
politisi dan pengusaha. Menjadi pengusaha tujuannya
mencapai keuntungan sebanyak-banyaknya. Sedangkan
tujuan menjadi politisi, bagaimana untuk mewujudkan
kemaslahatan rakyat seluas-luasnya dengan maksimal
melalui kebijakan untuk mewujudkan kemakmuran, bisa
dengan pelayanan langsung atau bantuan dengan simultan.
Menjadi wakil rakyat (DPR) jelas Pak Indra
mempunyai status sosial yang tinggi, dengan berbagai materi
yang ia miliki seperti peneliti lihat sendiri Pak Indra main
piano di waktu luangnya untuk hiburan sejenak dari penatnya
jadwal pekerjaan dan jam terbang yang tinggi sebagai
207
anggota dewan. Mengendarai motor gede hal yang biasa ia
lakukan ketika pergi ke kantor dan tempat-tempat lainnya.
Mobil tua tampak sederhana yang selalu setia menghiasasi
halaman rumah Pak Indra. Pak Indra cukup materi bukan
semenjak ia menjadi anggota dewan, sebelumnya usaha
dagangannya berjualan baju/pakaian dengan toko besar yang
dia miliki sudah menunjukkan status sosial Pak Indra sangat
tinggi. Karena bangunan rumahnya tinggal di sekitar
perumahan mewah yang cukup dikenal di kotanya.
Seperti peneliti lihat dan kenal sendiri, dalam puncak
karirnya Pak Indra tetap seorang politisi yang sederana, apa
adanya, rendah hati dan selalu ngemong terhadap orang-
orang di sekitarnya. Menjadi pemimpin amanah nampak
sikap hati-hati sealu ia jaga. Pada posisi puncak karir banyak
cobaan yang dia hadapi yang berhubungan dengan
keselamatan jiwa anak dan istrinya. Cerita Bu Indra kepada
peneliti: ―Pada pagi hari sekitar jam 04.30 dini hari matahari
benar-benar belum kelihatan mau terbit, rumah Pak Indra
didatangi pencuri lewat pintu belakang/pintu dapur. Biasanya
jam segitu Bu Indra memulai aktifitas di dapur untuk
menyiapkan sarapan paginya, tidak tau dan tidak dengar
apapun dari mana datangnya sang pencuri tiba-tiba
menyekap Bu Indra dari belakang. Dengan sangat kagetnya
Bu Indra langsung teriak-teriak maling. Untungnya sang
208
pencuri tidak melukai Bu Indra dan belum sempat membawa
kabur barang-barang milik keluarganya. Bu Indra memang
sempat shock dan ketakutan karena peristiwa kemalingan
sudah kedua kalinya tapi semua selamat dan belum sempat
membawa curiannya.
Indra sekeluarga terasa terancam keselamatannya.
Percaturan politik memang sangat keras. Demi kekuasaan,
ambisi dan jabatan merupakan satu kesatuan yang harus
diperjuangkan bagi pelaku-pelaku politik dengan
menghalalkan segala cara. Saling menjatuhan dan
mengancam benar-benar terjadi seperti yang dialami Pak
Indra sendiri, sebagaimana peneliti ketahui: ―Ketika arus
pergantian pemimpin partai politik yang digabungi Pak Indra
akan berganti ketua umum, yang terjadi bukan hanya money
politic saja, ternyata sudah masuk ancaman keselamatan
jiwa, lawan-lawan politik Pak Indra tidak segan-segan
meneror anak dan istrinya yang sewaktu-waktu bisa diculik.
Jelas target utamanya anak Pak Indra yang masih duduk di
TK kecil yang belum tau apa-apa yang terjadi sesungguhnya.
Ancaman-ancaman psikologis yang semacam inilah yang
menjadikan anak-anak Pak Indra tertekan dan trauma.
Hal yang semacam ini, tapi apa yang terjadi dalam
diri Pak Indra dia tetap bersemangat bekerja menjalani hari-
hari seperti biasanya dan tidak bergeming dengan ancaman
209
itu, yang penting waspada dan anak istrinya tetap dijaga. Pak
Indra menjadi politisi dan mampu masuk kancah pertarungan
antarpolitisi bisa terpilih menjadi wakil rakyat, banyak
pengorbanan dan kerja keras meskipun menjadi anggota
DPR bukan tujuan untuk pekerjaan atau tempat yang
strategis untuk mengumpulkan pundi-pundi materi yang
berujung untuk kesenangan duniawi.
Sejak awal landasan gerak Pak Indra adalah ibadah
jadi dia dalam melakukan kegiatan dan aktifitasnya tanpa
beban alias ringan-ringan saja. Tawakal dan ikhlas yang
selalu ia kedepankan dalam berpolitik. Ketawakalan Pak
Indra sebagai bentuk semangat dan aktif bahwa segala
sesuatu perjalanan manusia secara keseluruhan merupakan
rahasia Ilahi dimana semua makhluk tidak mampu
menguasai dan mengetahuinya. Inilah yang menyadarkan
seorang pemimpin teguh terhadap prinsip-prinsipnya.
Di balik kesuksesan karir politiknya, Pak Indra tidak
meyangka kalau akan terjadi perubahan hidupnya yang
drastis yang hubungannya dengan materi yang dia dapatkan
saat itu. Tidak ada badai tidak ada hujan, tiba-tiba kios
dagangan pakaian Pak Indra ludes dilahap si jago merah alias
kebakaran. Ini yang membuat shock Pak Indra dan juga Bu
Indra. Bagaimana mereka tidak shock, karena dagangan
mereka kebanyakan titipan dari produsen yang belum
210
kebayar, semua dengan total sekian ratus juta (cerita dari
teman-teman Pak Indra yang disampaikan kepada peneliti).
Karena banyak keluarga Pak Indra yang mampu, mereka
bergotong royong untuk menutup hutang-hutang Pak Indra
yang harus ditanggung ke beberapa bank. Antara rasa sedih
dan senang Pak Indra menerima bantuan-bantuan dari
saudara-saudaranta tersebut.
Semangat kerja apapun yang dilakukan oleh Pak
Indra karena seorang muslim yang taat beribadah bahwa
dalam pekerjaannya niatnya memperoleh ridho Allah. Dalam
keadaan tidak punya (kembali ke titik nol) bantuan-bantuan
materi maupun immateri yang diberikannya sebagai imbalan
bentuk ikhlasnya Pak Indra dalam melakukan segala hal.
Termasuk dalam pekerjaannya dan rizkinya Pak Indra tidak
membatalkan sedekah (sebagai amal kebajikan). Perbuatan
baik seperti sedekah jika ikhlas dan tanpa pamrih dalam
pemberiannya hal ini tidak akan menghilangkan nilai
kebaikan. Dalam kondisi ekonomi seadanya, Pak Indra dan
keluarganya berusaha bangkit tidak meratapi kenyataan yang
ada. Pak Indra tidak kaget ketika menghadapi kondisi
ekonomi keluarga yang carut marut. Tegar, tabah serta sabar
sebagai bentuk komitmen mereka dalam menghadapi
kenyataan dan persoalan hidup dalam materi.
211
Peneliti sempat ngobrol-ngobrol dengan Bu Indra,
tanya peneliti: ―Bu, jenengan niku pun nate ngrasakke hidup
kurang, kados jenengan katingal sekeco terus.‖ Jawab Bu
Indra dengan senyum-senyum. ―Walah, sampean arep takon
sing endi, wis tau tak rasakke kabeh, songko urip turah-
turah wis tau, kecukupan biasa wis tau, sedengan wis tau,
mlarat kurang ra duwe opo-opo to wis tau, arep takon sing
endi maneh.‖
Artinya: ―Ibu pernah merasakan hidup dalam keadaan
kekurangan? sepertinya ibu kelihatannya selalu enak terus.‖
Jawab Bu Indra ―Gimana to, kamu mau tanya yang mana
semua sudah saya rasakan. Hidup lebih pernah, hidup cukup
biasa-biasa saja pernah, hidup sedang sudah, miskin kurang
apa-apa juga pernah, mau tanya yang mana lagi.‖
Yang terpenting bagaimana setiap orang bisa
menerima dengan segala keadaan. Tidak boleh sombong
ketika di atas maksudnya ketika bergelimang materi. Tidak
boleh berkecil hati atau sedih ketika tidak punya. Segala
sesuatu Allah sudah mengaturnya (kilah Bu Indra). Uripe
arep nopo to yen ora go nglakoni sing apek-apek, dengan
senyum-senyum Bu Indra menasehati peneliti. Artinya:
―Hidup itu mau buat apa to, kalau tidak untuk menjalankan
kebaikan.‖
212
Meskipun menjadi wakil rakyat Pak Indra benar-
benar merasakan pasang surut dalam hidupnya entah materi
maupun immateri. Menjadi politisi seperti pada umumnya
perilakunya selalu menjadi sorotan orang banyak, antara
hujatan dan pujian biasa dia terima selayaknya menjadi
seorang politisi. Tapi kedua-duanya tidak mudah menjadikan
Pak Indra cepat tersanjung atau kebalikannya, menjadikan
Pak Indra mudah rapuh atau putus asa. Tetap berjiwa besar
selayaknya seorang pemimpin rakyat. Keteguhan jiwa
menghadapi keadaan/persoalan agar usaha untuk
menegakkan kebenaran tetap fokus karena adanya persoalan,
hanya keyakinan kepada Tuhan lah yang akan melindungi
dan menjaganya sehingga tidak ada khawatir ketika bekerja
dan bergerak.
Dalam keadaan apapun, (demikian) perjalanan hidup
Pak Indra sebagai politisi dan sebagai pedagang (pengusaha),
apapun yang berpengaruh dalam hidupnya, sikap nrimanya
masih tercermin dalam pribadinya. Sikap nrima Pak Indra,
bukan nrima pasif pasrah bongkok‟an (menerima begitu
saja) pada nasib yang tidak baik atau kurang menguntungkan
dengan keberadaannya. Tapi nrima sebagai sikap qana‘ah,
sikap mensyukuri apa yang telah ia dapatkan dari semua
usahanya sebagai manusia. Sebagai manusia yang
menjalankan kekhalifahan bagaimana manusia mempunyai
213
kemampuan menjalankan sifat baik dalam berperilaku
politik. Seorang pemimpin mensejahterakan rakyatnya
sebagai tujuan prioritas utamanya. Bukan sebaliknya
kesejahteran dinikmati sebagian kecil golongan.
Seorang pemimpin mampu memberikan penyayoman
dan keamanan seperti ada kebebasan berapresiasi dan
mengeluarkan pikiran serta ide-ide besarnya secara bebas.
Menghargai perbedaan pendapat tanpa ada unsur penekanan
dan keseragaman. Hal tersebut menggambarkan pemimpin
sebagai hamba Allah di bumi untuk bisa menjalankan
amanah kepemimpinannya, bagaimana manusia selalu
mendekatkan diri kepada Allah untuk mengaplikasikan
makna-makna kepemimpinannya. Dengan dasar spiritual,
manusia harus bisa mengatur perilakunya dalam
kehidupannya dengan prinsip persaudaraan, cinta kasih dan
kebaikan. Atas dasar prinsip-prinsip yang baik (mulia)
seharusnya manusia bisa mengatur kehidupan ekonomi,
sosial dan politiknya.
Dalam perjalanan karir politiknya Pak Indra selalu
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat sebagai
bentuk pendidikan demokrasi bagi warga negara.
Menurutnya, masyarakat harus berdaya ekonominya paham
dan sadar akan hukum, melek politik terutama bagi
perempuan. Karena perempuan menyumbang suara
214
terbanyak dalam setiap pemilu. Perempuan tidak hanya
sebagai agen penyumbang suara, tapi hak-hak perempuan
sebagai warga negara benar-benar dilindungi dan
diberdayakan. Inilah konsep pikir Pak Indra dalam
berpolitik. Dengan konsep jelas Pak Indra selalu diapresiasi
masyarakat sebagai calon walikota meskipun gagal, apapun
bentuknya Pak Indra memberikan pendidikan politik yang
baik kepada warga.
Mengerjakan sesuatu karena ridho Allah dengan
sendirinya berarti bahwa dalam bekerja di bidang apapun
dalam melakukannya tidak boleh sembrono, semaunya
sendiri dan cuek. Itu bisa membuat niat kerja kita menjadi
pudar. Tanpa ada kesungguhan dan mengurangi arti mencari
ridho Allah. Mempunyai etos kerja yang baik, maka akan
menjadi baik pula lah perbuatan kita. Itulah sederet dinamika
perjalanan hidup dan karir politik dan usahanya Pak Indra.
Seperti roda berputar, kadang di bawah kadang di atas
bahkan di samping. Itu semua mempengaruhi materi maupun
immateri Pak Indra. Sampai sekarang Pak Indra memilih
berdagang sebagai mata pencaharian keluarganya. Dengan
tenang, tlaten (tekun), tidak kemrungsung (tergesa-gesa).
Yang sangat terlihat dalam diri Pak Indra, dengan hasil
seberapa pun Pak Indra tetap ikhlas dan legowo.
215
Karena beberapa kebijakan dari partai politik yang
dinaungi Pak Indra, Pak Indra harus meninggalkan sebagai
ketua umum parpolnya. Dan sejak itu pula Pak Indra mulai
meninggalkan hiruk pikuknya dunia politik. Bukan karena
putus asa atau tidak ada tempat lagi untuk Pak Indra tetapi
faktor kesehatanlah yang menjadikan Pak Indra lebih mawas
diri. Pahit manisnya dinamika hidup Pak Indra sudah
dirasakan semua, hanya kekuatan jiwa yang kokoh dan
dalam segala persoalan hidup bisa dihadapi dan diselesaikan.
H. Sikap Nrima Pribadi Seorang Politisi
Perempuan
Bu Niken (bukan nama sebenarnya) dia tinggal di
pinggir kota. Seperti peneliti kenal Bu Niken seorang politisi
perempuan yang berpengaruh di kotanya dan berwirausaha
di bidang konvensi sebagai mata pencaharian tetap
keluarganya. Pendidikan Bu Niken mulai dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi di tempuh di lembaga pendidikan
umum. Lebih dari cukup materi yang dia dapatkan
menjadikan Bu Niken mempunyai status sosial yang tinggi di
kampungnya. Cantik, energik dan semaunya sendiri itulah
karakter yang selalu melekat dalam diri Bu Niken.
Banyaknya materi yang ia miliki menjadikan Bu Niken bisa
melakukan apa saja.
216
Pekerjaan berupa membagi-bagikan uang atau
membagi-bagikan materi kepada yang lain, Bu Niken biasa
melakukannya ketika ada kepentingan (ada udang di balik
batu) terutama waktu pemilihan umum legislatif. Tak ayal
lagi dengan banyak modal dan berbagai cara dia lakukan bisa
mengantarkan Bu Niken menjadi wakil rakyat di kotanya.
Jelas ini sangat senang dan membanggakan Bu Niken karena
baru pertama kali dia menjadi wakil rakyat. Dari dua kali
kesempatan yang selalu gagal dia ikut dalam kompetisi calon
anggota legislative (caleg).
Hujatan, cacian serta kritk-kritik yang pedas dari
masyarakat yang dilontarkan kepadanya, tidak menjadikan
Bu Niken patah semangat atau sakit hati. Cuek, tegar, gak
mau tau sebagai kekuatan hatinya untuk tetap bekerja dan
melakukan aktifitas politiknya. Ekspresi bangkit lah yang
selalu dia kembangkan. Politik belah bambu sudah jelas-jelas
konsep politiknya yang selalu dia kembangkan sejak dia
mulai gabung dengan parpol yang mengantarkannya sampai
ke gedung DPR. Gaya hidup Bu Niken seperti diketahui, dia
belum pernah merasakan kekuragan secara materi. Jelas Bu
Niken akan selalu bersyukur dengan segala sesuatu yang dia
dapatkan. Sebagai politisi Bu Niken tetap berupaya
menyenangkan orang lain dengan membagi-bagikan
sebagian materi yang ia miliki.
217
Menjadi pemimpin amanah mungkin hanya dalam
pikirannya saja, tapi sampai kepada implementasinya belum
menunjukkan tanda-tanda menjadi seorang pemimpin yang
amanah atau ikhlas dalam melindungi dan memberdayakan
masyarakatnya. Politik bukan lagi sebagai ibadah yang mulia
tetapi sudah masuk bahwa politik itu sebagai tempat
kerja/lapangan kerja yang sangat mudah dan cepat untuk
mengumpulkan pundi-pundi materinya. Politik itu kotor bisa
jadi slogan yang selalu melekat dalam pikiran dan tindakan
dia dalam berpolitik.
Bu Niken menjadi politisi berangkat dari pemahaman
yang minimalis tentang etika berpolitik dan makna
sesungguhnya tujuan dari politik itu sendiri. Kehilangan
makna dan ruh berpolitiknya bisa menjadikan Bu Niken
menjadi anggota dewan tidak sampai selesai sampai ahir
jabatannya. Jelas hal ini sesuatu yang tidak menyenangkan
dan menyedihkan hati Bu Niken. Melakukan sesuatu yang
tidak dilandasi dengan kekuatan jiwa dan tidak total terhadap
pengabdiannya terhadap Tuhannya tidak menemukan makna
hidup itu sendiri. Apa yang dia lakukan sebatas rutinitas
yang sudah kehilangan ruh menjadikan rutinitas itu sendiri
kurang bermakna. Kata ikhlas dan sabar seharusnya bisa
menjadi energi atau kekuatan tersendiri dalam bersikap dan
218
bertindak tapi apa yang terjadi dalam diri Bu Niken tuntutan
lahiriyah lah yang selalu dia kedepankan.
I. Sikap Nrima Pribadi Seorang Perempuan
Sebagai Kepala Keluarga
Bu Har (Nama Samaran) biasa dipanggil Bu Har
adalah seorang janda ditinggal pergi oleh suaminya. Dia
adalah seorang petani penggarap lahan yang disediakan
oleh orang tuanya, dia juga seorang penggarap yang
mendapatkan separoh dari hasil bumi yang ia garap sekaligus
ia adalah seorang Buruh tani. Ia Lahir pada tahun 1959. Ia
bersekolah hanya sampai kelas 3 Sekolah dasar. Ia menikah
dengan Pak Jum (nama samaran) pada tahun 1983 ketika Bu
Har berumur 24 tahun.
Setelah setahun menikah beliau baru mempunyai
anak. Ibu Har bercerai dengan suaminya saat anak
pertamanya berusia 3,5 tahun dan anak kedua berumur 10
bulan. Selisih anak pertama dan kedua adalah 2,5 tahun.
Setelah bercerai beliau mengurus anak-anaknya sendirian.
Beliau tidak punya pikiran untuk menikah lagi. Ia juga tidak
ingin mengingat – ingat tentang suaminya. Ia membesarkan
anaknya tanpa campur tangan dari mantan suami sama
sekali.
219
Setelah beliau bercerai, ia berada pada posisi yang
serba sulit. Di sinilah, transisi di mana posisinya sebagai ibu
rumah tangga yang seharusnya seluruh kebutuhan dipenuhi
oleh suami tetapi kemudian berpindah posisi sebagai kepala
rumah tangga dan kepala keluarga. Ia merasa terdesak
dengan keadaan yang harus memenuhi kebutuhan keluarga.
Kemudian atas dorongan keluarga supaya beliau berjuang
untuk membesarkan anak-anaknya. Keluarga tidak pernah
ikut campur dan mempersoalkan dengan keadaan beliau
sebagai janda, yang penting beliau mampu mendidik anak-
anaknya.
Beliau bertani membanting tulang untuk mencukupi
kebutuhan keluarga dan anak-anaknya. Ia berpikir harus
mbudi doyo pripun anak-anak saget mangan (berusaha
sekuat tenaga agar anak-anaknya bisa makan ) oleh karena
itu beliau bekerja sebagai petani, buruh tani dan buruh-buruh
yang lain. Saat ia derep (memanen padi), anak-anaknya biasa
ditinggalkan di rumah bersama neneknya (ibu dari Bu Har).
Dukungan keluarga diberikan baik secara moril dan
materil. Secara moril, keluarga memberikan motivasi agar ia
terus mendidik anak-anaknya tanpa mempersoalkan proses
perceraian yang ia alami. Secara materil, dukungan keluarga
diwujudkan dalam bentuk keikhlasan saudara-saudaranya
atas tanah sawah yang dimiliki ayahnya untuk dikelola
220
bersama dan hasilnya diperuntukkan membiayai kebutuhan
Bu Har dan anak-anaknya. Bahkan, untuk nominal yang
besar keluarga tidak segan-segan memberikan bantuan secara
cuma-cuma sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan
malah kadang berlebih.
Sebagai seorang janda ia hampir patah arang, namun
ayah dan adik-adiknya memberikan dorongan agar anak-
anak harus tetap sekolah karena mereka menyadari bahwa
pendidikan adalah hal yang utama. Beliau berprinsip
pokokke sak gedeg – gedege yen awake kulo sehat kulo
nggih kerjo ( yang penting sebisa-bisanya kalau tubuh saya
sehat, saya harus bekerja ) dengan disertai keyakinan bahwa
rezeki telah ditentukan oleh Allah, sehingga beliau menerima
seberapun hasil yang ia dapat tanpa mempunyai keinginan
yang muluk-muluk.
Secara ekonomi, ia hanya berpikir untuk bekerja
mencari uang dan untuk pengaturannya ia serahkan pada
ibunya yang saat itu masih hidup. Pernah suatu kali ia ingin
jajan membeli bakso, pada saat ia mau makan ia teringat
pada anak-anaknya sehingga ia tidak kolu ( tidak sampai
hati ) untuk memakannya. Kemudian bakso itu ia bawa
pulang untuk anak-anaknya.
Persoalan prioritas adalah masalah yang setiap hari
dihadapinya. Dari persoalan sumbangan biaya pendidikan
221
atau SPP sampai iuran-iuran yang lain sehingga ia datang ke
sekolahan untuk minta tempo pembayaran. Untuk kebutuhan
peralatan sekolah, anak-anaknya diberikan pengertian agar
mau membantu orang tuanya bekerja sehingga tas, sepatu
dan kebutuhan yang lain dapat terpenuhi.
Selain pendidikan formal, anak-anak beliau juga
mengaji di musholla yang diajar oleh Pak Nawawi. Ia
berangkat dengan naik sepeda. Ia berangkat menjelang
maghrib dan pulang setelah shalat isya. Anak-anak bu Har
termasuk anak yang diatas rata-rata hal ini terlihat dari
peringkat yang ia capai, ia pernah peringkat 5 bahkan
peringkat 3.
Anak-anak Bu Har juga mendapatkan perhatian
khusus dari kepala sekolah tempat ia belajar. Nasib baik
kurang berpihak padanya, anak-anaknya tidak lulus. Karena
bertepatan dengan ujian kelulusan anaknya mendapat
musibah. Ia harus mengulang setahun dan mengikuti kejar
paket C sehingga ia memperoleh dua ijazah yaitu ijazah
paket C dan ijazah SMK saat ia selesai mengulang setahun.
Sedangkan anak pertama tidak mau mengulang ataupun kejar
paket C. Kemudian ia menikah dan tinggal di Kotagede dan
sekarang ia telah dikaruniai seoarang anak.
Selain sebagai petani, beliau juga melayani undangan
orang-orang yang akan punya hajat untuk memasak sampai
222
menyiapkan makanan yang lain. Pekerjaan ini bagi beliau
tidak dianggap sebagai jasa yang harus dibayar walaupun
kalau ada orang mengasihi beliau selalu mengambilnya. Bu
Har menyadari betul bahwa ia sebagai bagian dari
masyarakat. Beliau berinteraksi dengan masyarakat dengan
membantu menyediakan kebutuhan berupa makanan untuk
acara pengajian. Ia selalu siap sedia membantu orang lain.
Pengajian dilakukan dengan beragam waktu ada yang
mingguan dan selapanan (istilah waktu yang sudah dikenal
bagi orang Jawa, bersiklus 35 Har). Pekerjaan lain yang
beliau lakukan sebagai bentuk social atau kerjabakti dan
tidak mau menerima bayaran seperti kegiatan perayaan ulang
tahun kemerdekaan dan kerjabakti lain yang diadakan oleh
kampung setempat.
Aktivitas keseharian, beliau bangun jam 4.30 wib.
Kemudian sholat dan memasak air untuk membuatkan teh
hangat untuk ayahnya.Walaupun biasanya masak nasi pagi
hari, namun ia dan keluarga tidak terbiasa makan sarapan
pagi. Masak ia lakukan untuk makan siang dan sore hari.
Setelah itu, ia pergi ke sawah sampai dhuhur, setelah dhuhur
beliau kembali lagi terkadang ke sawah atau ke ladang untuk
ngarit mencari rumput. Selesai melakukan shalat ashar
sekitar jam empat sore Bu Har biasanya mengontrol ke
sawah atau terkadang kalau lagi ada garapan ngemping -
223
proses pembuatan dari biji melinjo menjadi emping- maka ia
kerjakan di tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Setelah
shalat magribpun ia masih menerima pekerjaan seperti
memasukan makan ringan ke dalam kemasan plastic sebagai
jajanan anak sekolah sehingga ia lakukan sampai menjelang
pukul sepuluh malam. Setelah itu ia berkemas untuk
melakukan shalat Isya dan istirahat.
Di sela-sela kesibukannya ia tidak lupa untuk
senantiasa menjalankan perintah agama yaitu sholat 5 waktu.
Ia sendiri tidak bisa membaca alquran, ia merasa menjadi
orang bodoh. Dan itu tidak ingin terjadi pada anak-anaknya,
sehingga ia mendorong anak-anaknya untuk terus belajar dan
mengaji. Anak-anaknya khatam belajar alquran 3 kali. Ia
juga tidak lupa mengingatkan anak-anaknya untuk menjaga
sholat dan menerapkan ajaran-ajaran agama. Ia tidak sempat
memperhatikan kesehatan anak-anaknya. Ia tidak biasa
secara langsung memperhatikan kesehatan anak-anaknya,
namun ia menyerahkan urusan itu pada adik dan ibunya.
Seperti anak-anak yang lain ikatan emosional antara
anak dan ibu sangatlah dekat. Beliau berprinsip selama
beliau berbadan sehat, maka ia harus bekerja untuk
mempenuhi kebutuhan. Untuk kebutuhan sekolah
pembayaran SPP dan iuran yang lain sering kali diundur
karena memang keterbatasan. Anak beliau di samping
224
sekolah juga dituntut untuk belajar mengaji. Pernah suatu
kali anak beliau minta sandal yang seharga 42ribu rupiah
sehingga beliau harus menyediakan 84 ribu untuk dua anak.
Uang segitu ia tidak punya sehingga oleh adiknya ia
disarankan untuk menjual beras.
Sebagaimana layaknya, anak-anak kadang lupa waktu
karena sibuk bermain dan duanianya sendiri, maka Bu Har
senantiasa mengingatkan anak-anaknya agar jangan sampai
lupa waktu. Sehingga kewajiban-kewajibannya tak
terabaikan. Beliau berprinsip agar anak-anaknya selalu
berhati-hati dan mengikuti apa yang dikatakan gurunya dan
menyadari dengan keadaan diri dan keluarganya yang
memang tidak mampu dan juga jangan banyak menuntut
segala keinginan.
Nasehat ibu pada anaknya “ nak, nek mbut gawe
sing ati-ati, duit lek golek angel sing setiti ora kok dolan
rono-rono, kaleh sik dredeg “ yang artinya, ―nak kalau
bekerja yang hati-hati, uang sulit didapat maka jaga yang
baik jangan malah digunakan untuk jalan-jalan kesana-
kemari, hal itu diucapkan dengan perasaan gemetar karena
merasa orang yang tak punya sehingga uang yang telah
didapat harus dijaga dengan sebaik-baiknya‖. Ia juga
225
berpesan pada anaknya untuk ringan tangan dan selalu
membantu Budhe dimana ia tinggal bersamanya di salatiga.
Dengan keadaan Bu Har yang serba sederhana, beliau
tidak pernah berpikir untuk menerima bantuan dari orang
lain. Namun tetangga memberi pekerjaan yang setelah itu
diberi upah atas pekerjaannya. Ia berprinsip sing penting
aku ora Nyolong lan Ora jupuk. Wong ra duwe sing
penting tememen lek mbut gawe ora nyolong ra Jupuk
yang artinya yang penting saya tidak mencuri dan tidak
mengambil kepunyaan orang lain, merasa orang tidak punya
kalau bekerja yang sungguh-sungguh tidak mencuri juga
tidak mengambil hak orang lain‖. Untuk anak yang pertama
yang sudah berkeluarga diberikan nasehat ―sing wis-wis sing
koyo aku tak lakunane dewe ojo mugo-mugo ojo koyo aku‖
yang sudah biarlah berlalu, aku sendiri saja yang
mengalaminya jangan sampai kamu mengalami yang sama
seperti aku. Sekarang Bu Har tinggal mengurusi bapaknya
yang sudah tua, beliau melakukannya dengan ikhlas tanpa
pernah mengeluh. Kadangkala bapaknya memberitahu agar
ia jangan terlalu lelah. Namun Bu Har berpedoman kalau
saya lelah saya akan pijat kalau punya uang.
226
J. Sikap Nrima Pribadi Perempuan Karena
Suami Sakit Permanen
Ibu Jum demikian nama samaran warga Dukuh
Kaliwenih Kelurahan Jogotirto Kecamatan Berbah
Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bu Jumi merupakan kepala keluarga dari suami yang sakit
permanen. Ia kelahiran tahun 1949. Dengan selisih 5 tahun
dari suaminya, dan menikah tahun 1974 ketika Bu Jumi
berusia 20 tahun dan pak Ngad 25 tahun 1954 dan. Ia
menikah dengan Ngad kelahiran Jogotirto dan dikaruniai 2
orang anak kelahiran 1976 dan 1984, Bu Jumi lulus SD
sedangkan pak Ngad hanya sampai kelas 3 SD. Dawung
kelurahan Tegaltirto.
Setelah menikah ikut orang tua dari pak Ngad.
Sebelum menikah, ibu bekerja sebagai penjual sayur
sedangkan Pak Ngad masih belum punya kerja beliau
membantu Bu Jumi untuk jualan sayur. Pak Ngad bekerja di
bangunan pada saat Bu Jumi melahirkan. Di samping itu, ia
juga bekerja sebagai penggarap sawah dengan penghasilan
separoh dari panen yang dihasilkan.
Lep-lepan ( tradisi giliran mengairi sawah sampai
penuh ) dengan sistem bergilir. Sebagai buruh tani, ia
mendapatkan upah harian dan tidak berhak atas panen yang
dihasilkan. Bu Jumi menggarap 0,25 hektar dari sawah
227
kepunyaan paman Bu Jumi. Jarak rumah ke sawah dekat.
Proses penanaman yang dilakukan diawali dengan mengasih
pupuk kandang yang dihasilkan dari beberapa kambing yang
dipelihara sendiri pada sawah, setelah itu sawah melalui
proses lep-lepan, setelah penuh baru dibajak menggunakan
traktor dengan biasa 150 ribu per ¼ hektare. Jika 1 hektare
maka harus menegeluarkan 600rb rupiah.1 minggu setelah
tanam dikasih pupuk, setelah tiga minggu maka tanaman itu
disiangi terlebih dahulu sebelum dipupuk kembali, seminggu
setelah dipupuk rumput-rumput ysng ada dicabuti yang
dikenal dengan istilah matun. Lep-lepan dilakukan seminggu
sekali. Ibu Jumi begitu menguasai dalam petanian.
Waktu siang sampe sore digunakan untuk
menyiadkan diri untuk disuruh orang sebagai pekerja. Untuk
biaya pendidikan biasaya di topang oleh keluarga besar. ‖al
Hamdulillah, hama yang ada hanya menyerang pada saat
tanaman masih muda yaitu keong sawah‖ demikian
dikatakan oleh Bu Jumi. Resiko terbesar jika terjadi gagal
panen, maka kerugian itu hanya ditanggung oleh penggarap
sedangkan jika panen maka dibagi antara penggarap dan
pemilik lahan dengan perbandingan 50% untuk penggarap
dan lainnya untuk pemilik tanah.
Dalam menjalankan fungsi pendidikan dibantu oleh
saudara-saudara yang lebih mampu. Untuk iuran yang
228
sifatnya rutin Bu Jumi mampu menyediakan secara mandiri,
Namun, pada saat ada iuran dalam jumlah besar beliau
dibantu oleh saudara-saudaranya. Untuk masalah pendidikan,
anak-anak ibu Jumi bersekolah seperti pada umumnya dan
setelah pulang pada saat sore hari mereka mengaji atau
mengkaji agama pada musholla setempat yang
diselenggarakan secara gratis. Aktifitas pada saat Bu Jumi
masih mempunyai anak-anak usia sekolah beliau setelah
sholat shubuh beliau menyiapkan sarapan dan menyediakan
kebutuhan anak-anaknya sekolah.Untuk siraman rohani
beliau mengikuti pengajian seminggu sekali. Anak-anak Bu
Jumi sekolah di SMK sampai tamat.
Sekarang anak yang pertama bekerja di Cilegon,
Banten. Sedangkan yang kedua bekerja di Cikarang Bekasi
yang disalurkan oleh pihak sekolah. Mereka menikah setelah
masing-masing bekerja 5 tahun. Mereka dididik untuk
menjadi anak yang berdikari yang mampu berdiri di kaki
sendiri. Anak-anak Bu Jumi tidak diperbolehkan bermain,
namun diperkenalkan dengan lingkungan kerja sang ibu agar
mereka tidak ada waktu luang yang terbuang. Kasih sayang
yang diberikan dalam bentuk perhatian yang berkualitas
bukan dengan pemberian materi, sehingga anak memahami
bahwa kasih sayang itu lebih penting dari pada materi.
Setelah anak-anak menikah bu Jumi sesekali berkunjung ke
229
rumah anak-anaknya. Namun sekarang lebih sering meminta
kabar dengan alat komunikasi yang ada. Adalah senang dan
menjadi kebanggaan tersendiri bagi Bu Jumi jika pada saat
lebaran bisa berkumpul bersama, seperti pepatah orang jawa
mangan ora mangan sing penting kumpul.
Bu Jumi menjalankan fungsi ekonomi dalam
keluarganya. Secara ekonomi ibu membantu mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dengan perjuangan
demikian pun keluarga ini dalam sehari makan dua kali.
Dengan keadaan ekonomi yang demikian, maka bu Jumi
selalu dihadapkan untuk memprioritaskan hal-hal yang
terpenting, Seringkali keinginan pribadi dikalahkan oleh hal-
hal yang berkaitan dengan kerukunan.
Secara sosial beliau juga ikut rewang ( membantu
mempersiapkan kebutuhan tetangga yang mempunyai resepsi
atau hajatan ) mulai dari masak nasi, sayur, buncis, ayam
kadang-kadang daging yang disiapkan di piring sampai
menyiapkan makanan-makanan kecil sebagai pelengkap.
Untuk acara semacam ini menurut Bu Jumi harus diundang.
Beda kalau untuk pengajian maka itu tidak diperlukan
undangan karena itu sudah tugas ibu-ibu.
Pengajian dilakukan sebulan sekali dengan
mengundang penceramah dari luar. Untuk konsumsi dalam
acara ini setiap makanan dan snack kadang dijatah, artinya
230
setiap keluarga di wajibkan membawa makanan beberapa
bungkus. Ada juga Pengajian yang dilakukan malam minggu
tadarus alqur‟an sama pengajian alquran dengan metode
iqra dan malam jum‘at mengikuti bacaan yang diajarkan
oleh Bu Tirah. Untuk acara pengajian mingguan biasanya
tidak harus menyediakan snack.
Untuk masalah ibadah, Bu Jumi tidak jemu-jemu
menuntun anak-anaknya supaya taat dan menjalankan
perintah agama. Pada saat subuh, Bu Jumi membangunkan
anak-anaknya untuk sholat. Sebelum sekolah mereka hanya
minum teh dan makan makanan kecil, karena jika sarapan
dengan nasi mereka akan mengantuk sekitar jam Sembilan
―demikian di sampaikan Bu Jumi.
Untuk menjaga anak-anak agar tidak terjerumus
dalam hal-hal yang tidak diinginkan, mereka diajak oleh
orang tua ke sawah dengan tujuan untuk memperlihatkan
secara langsung bagaimana bekerja yang baik sekaligu
sebagai cara mereka untuk mengontrol aktifitas anak secara
langsung. Alhamdulillah dengan cara yang demikian anak-
anak menjadi orang yang mempunyai perilaku yang baik
jauh dari sikap kurang ajar.
Pada saat buah hati sakit, sebagai orang tua tentu
merasa khawatir namun juga tidak menimbulkan kepanikan
yang berlebihan, hal itu nampak pada saat sakit tidak
231
langsung dibawa ke dokter atau bidan namun di berikan
pertolongan secara alami dengan menggunakan parutan
pohong (singkong yang di parut ) yang di kenakan di kening
anak yang sedang sakit.
Walaupun dengan kondisi suami Bu Jumi yang tidak
dapat bekerja dan memberi nafkah ekonomi bagi
keluarganya, namun demikian tidak ada satu masyarakat pun
yang mencibir. Justru, mereka menaruh perhatian yang besar
untuk memberikan bantuan dengan memberikan pekerjaan
yang bisa dikerjakan. Keluarga Bu Jumi terbilang keluarga
yang sakinah, karena ibu Jumi berpikiran bahwa segala
sesuatu itu merupakan pemberian Yang Kuasa yang harus
disikapi dengan baik yang wajib bersyukur. Dengan keadaan
suami yang tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan keluarga
tidaklah menjadi penghalang bagi Bu Jumi untuk
mempertahankan keutuhan keluarga dan membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah warrohmah. Walaupun
sekarang anak-anak sudah berkeluarga sendiri-sendiri dan
mempunyai penghasilan yang cukup, namun Bu Jumi tetap
gigih bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
sehingga tidak menjadi beban pada anak-anaknya dan orang
sekitarnya.
232
BAB V
REFLEKSI
A. Memahami Nrima dalam Kultur Muslim
Jawa
Konsep nerimo dinyatakan sebagai pribumisasi
konstruksi penerimaan diri dalam tradisi Muslim Jawa. Itu
tidak harus dipahami sebagai apatis, kepasifan, dan
penyerahan buta, tetapi harus secara aktif diimplementasikan
sebagai prinsip nerimo yang mendorong manusia untuk mau
dan susah bekerja, sementara hasilnya sepenuhnya hak
prerogatif kepada Tuhan. Berdasarkan perspektif ini, nerimo
sebenarnya adalah bentuk pengajaran untuk selalu
berperilaku sabar dan konsisten dengan apa yang dicita-
citakan meskipun gagal. Perspektif ini akan membentuk
karakter dan perilaku pria dengan bijak dan tidak serakah.
Kehidupan manusia tidak hanya berorientasi pada dunia
persaingan yang keras, tetapi pada pola pembentukan dunia
yang mempromosikan kebersamaan, kolaborasi, dan
kedamaian dalam menjalani kehidupan.
233
Selanjutnya, konsep ini selanjutnya harus
dikembangkan melalui bentuk kesadaran psikologis, spiritual
dan intelektual bahwa setiap kehidupan memiliki gerakan
periodik di mana setiap orang pasti akan mengalami fluktuasi
kehidupan. Maka prinsip nerimo menjadi katalisator bagi
posisi hidup untuk mengubahnya agar bergerak kembali. Ini
berarti bahwa nerimo tidak dianggap sebagai hasil yang
berorientasi untuk menerima (hasil), tetapi dianggap sebagai
proses kelangsungan hidup yang dapat menggerakkan orang
melalui satu tahap kehidupan mereka. Ini adalah pemahaman
konsep nerimo yang lebih aktif, dinamis dan progresif untuk
Muslim Jawa.
Mengenai shabr, kesabaran adalah salah satu
karakteristik mendasar dari orang saleh yang selalu
berorientasi pada perubahan untuk kehidupan yang lebih
baik. Kesabaran adalah pertahanan diri terhadap kepahitan
kehidupan yang menunjukkan konsep kesabaran tidak
berorientasi pada proses penerimaan total suatu produk
kehidupan secara membabi buta sehingga diidentifikasi
dengan ketidakmampuan dan penindasan. Memang,
kesabaran adalah dimensi kesadaran manusia untuk
mengubah kondisi pribadi dan sosial menjadi lebih baik. Jadi
kesabaran lebih aktif, dinamis dan progresif tentang
pergerakan kehidupan manusia. Dengan demikian, kesabaran
234
tidak pernah memiliki konotasi pasif, statis, lemah,
menyerah, tetapi itu adalah perjuangan yang
menggambarkan kekuatan pelakunya untuk mengalahkan
(mengendalikan) keinginan hawa nafsunya untuk putus asa.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami
bahwa meskipun nerimo memiliki dimensi negatif, tetapi
konsep nerimo dapat direkonstruksi menjadi lebih positif.
Nerimo dipahami sebagai karakter afektif yang mengatur
seseorang tetap tenang dalam menerima kenyataan hidup
dari luar yang pahit, penderitaan dan kekecewaan. Sehingga
karakter nerimo adalah kombinasi rasionalitas manusia dan
kehidupan emosional. Nerimo adalah perpaduan aktif dari
elemen kognitif dan afektif yang dapat menghasilkan
optimisme dan kelangsungan hidup.
Meminjam istilah Abdullah Saeed, nerimo harus
ditafsirkan secara kontekstual mengikuti perkembangan
intelektualitas manusia sehingga karakter pribadi nerimo
tetap relevan dalam menghadapi globalisasi dan neo-
liberalisme. Konsepsi Nerimo juga perlu diekspresikan
sebagai elemen pembebasan bagi pemikiran tertindas
materialisme dan bentuk-bentuk keserakahan dunia. Dari
perspektif ini, orang Jawa dengan karakter nerimo mereka
dapat berjalan seimbang antara spiritualitas, emosional dan
235
intelektual dalam bersaing dengan masyarakat dunia dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan hidup.
Dengan demikian, nerimo dalam masyarakat Muslim
Jawa harus dikembangkan menjadi ekspresi kemungkinan
perubahan kondisi struktural. Nerimo terletak di posisi
fungsional untuk memenuhi situasi "tidak dapat diterima".
Jadi nerimo berfungsi lebih sebagai panduan bagi gerakan
manusia dalam mengorganisir dirinya untuk melihat hal-hal
positif di balik kesulitan (menemukan kebijaksanaan).
Nerimo dikembangkan sebagai pembaruan energi positif dari
sifat keputusasaan dan ketundukan pada dimensi keyakinan
dalam kelanjutan masa hidup.
B. Memahami Spiritualitas Sabar dan
Istiqaamah
Dikisahkan, ketika Nabi Ayyub as. terjangkit
penyakit misterius, satu per satu orang orang yang dekat
dengannya mulai menjauh. Pada saat penyakit yang
dideritanya itu semakin parah, ia pun dikirim ke luar
perkampungan. Orang-orang ketakutan akan tertular
penyakit yang dideritanya itu. Nabi Ayyub diasingkan, dan
mulai menjalani hidupnya seorang diri. Tanpa sanak tanpa
saudara. Menghadapi ujian yang teramat berat ini, Nabi
Ayyub tetap tegar. Keimanan yang kuat telah mengubah
236
persepsinya tentang musibah yang ditimpakannya ini.
Baginya ujian yang menimpanya adalah wujud kasih sayang
Tuhan yang sengaja ditujukan kepadanya. Karena itu, ia
jalani dengan sikap sabar dan pasrah kepada Tuhan.
Apa yang dilakukan Ayyub merupakan perilaku luar
biasa yang jarang dilakukan oleh orang. Kesabaran yang
dimilikinya begitu mengagumkan. Maka pantaslah ia
menerima kedudukan yang tinggi di sisi Allah. Sebagai
seorang muslim sudah seharusnya kita menghiasi perilaku
kita dengan sifat sabar. Kadang ujian itu datang, tak perlu
kita berkecil hati, apalagi berprasangka bahwa Tuhan
membenci kita, sebaliknya kita harus mensyukurinya dan
menerimanya dengan perasaan riang gembira. Pasrahkan
semuanya kepada Allah dan bersabarlah. Karena sabar
merupakan perilaku yang sangat dianjurkan dalam agama.
Dalam Al-Qur‘an dikatakan, ―Bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu‖ (QS Ali Imraan [3]: 200).
Secara bahasa sabar berarti menahan. Sementara
yang dimaksud dengan sabar adalah menahan diri dari keluh
kesah dan rasa benci, menahan lisan dari mengadu, dan
menahan anggota badan dari tindakan yang mengganggu dan
mengacaukan. Dalam salah satu kitabnya yang berjudul
Madaarijus saalikiin, Ibnu Qayyim menyebutkan, bahwa
yang disebut sabar manakala seseorang mampu menahan
237
dirinya dan menyelaraskannya dengan sunah Allah dan ayat-
ayat-Nya pada dirinya dan pada alam semesta, dan sejalan
dengan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepadanya.
Nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya serta berbagai
implikasinya dan apa yang dikehendaki oleh petunjuk fitrah
dan cahaya-Nya, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan
risalah-Nya. Lebih lanjut jika hal ini dapat benar-benar
dicapai, maka ia akan merasakan nikmatnya sabar.
A. Istiqamah sebagai Kelanjutan dari Sabar
Kelanjutan dari kesabaran adalah istiqaamah. Kata
istiqaamah seakar dengan kata qaama yang artinya berdiri
tegak. Istiqaamah berarti kesungguhan untuk menegakkan
dan mempertahankan prinsip-prinsip yang benar. Orang yang
istiqaamah tidak mudah terpengaruh oleh keadaan. Ia
memiliki prinsip sehingga ketiadaannya dirasakan oleh orang
lain. Orang istiqaamah sangat dirasakan keberadaannya
dalam pengertian positif. Istiqaamah tidak bisa dilakukan
secara sesaat, melainkan harus dibangun sejak awal dengan
basic ash-shabru.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: „Tuhan
kami ialah Allah‟, kemudian mereka tetap istiqamah maka
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada
(pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni
238
surga, mereka kekal didalamnya; sebagai balasan atas apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Ahqaaf [46]: 13-14).
Menurut Sayyidina Umar, istiqaamah adalah tegak
lurus menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan
tidak menoleh ke kiri dan ke kanan seperti yang dilakukan
oleh sekor musang. Jadi istiqaamah adalah tegak lurus, dan
memiliki prinsip dan pendirian. Lawan istiqaamah adalah
orang yang tidak memiliki prinsip dan pendirian. Jangan
menyalahartikan istiqaamah, karena bisa mendekati sebuah
egoisme.
Kalau tadi, dia tidak memiliki diri sendiri, tetapi
egoisme adalah sosok yang ingin memiliki orang lain, dan
ingin agar orang lain mengikuti dirinya sendiri. Istiqaamah
adalah kekuatan seseorang untuk mempertahankan dirinya,
berprinsip menjalankan segala perintah Allah dan
meninggalkan larangan-Nya. Orang yang ber- istiqaamah
tidak akan pernah merasakan kesepian. Semua orang berbeda
pendapat dengan dirinya sendiri, tetapi ia tetap istiqaamah
sehingga pada ahirnya akan terbukti bahwa pendiriannya itu
benar. Orang yang istiqaamah akan lebih dinilai populer di
langit meskipun tidak populer di bumi.
239
Ya Allah, jadikanlah hamba ini seorang hamba yang
syukur. Jadikanlah hamba ini seorang hamba yang sabar.
Jadikanlah hamba ini kecil di mata-Mu dan besar di mata
manusia.
240
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan
1. Makna sikap narima dalam tradisi prilaku masyarakat
Jawa secara umum. Secara filosofis nerimo adalah
cara yang mulia dan bagus untuk memberikan
bimbingan kehidupan yang lebih seimbang. Tidak
terjebak dalam egoisme, sombong, dan materialistis
di satu sisi, dan di sisi lain menghindari seseorang
untuk menjadi cemas, pesimistis, dan lemah dalam
menangani masalah-masalah hidup. Karena itu,
nerimo yang dikaitkan oleh shabr, adalah semangat
yang menyiratkan daya tahan manusia dalam setiap
periode kehidupan. Konsep ini dapat dikembangkan
melalui suatu bentuk kesadaran psikologis, spiritual
dan intelektual bahwa setiap kehidupan memiliki
gerakan periodik di mana setiap orang pasti akan
mengalami fluktuasi kehidupan
241
2. Pendekatan Sosio-tematik Hermeneutika Pembebasan
mengungkap konsepsi sabar dalam al-Qur‘an Kata
sabar mengandung pengertian menahan diri, atau
tabah menghadapi sesuatu yang sulit, berat dan
mencemaskan, serta berusaha dari kesulitan,
keberatan, kesempitan dan sejenisnya untuk
dikeluarkan dan dipertahankan dari hal-hal yang baik
dan benar. Jadi, kata sabar mempunyai pengertian
yang berbeda-beda sesuai objek, situasi dan kondisi
dan hal yang dihadapinya. Dalam pengertian
demikian, sabar juga dapat diartikan sebagai sikap
tabah, teguh, menahan dan mencegah dalam keadaan
dinamis dan aktif serta tetap berada dalam aturan-
aturan yang telah ditentukan Tuhan (sunnatullah,
taqdir dan qadha Tuhan) dalam menghadapi berbagai
macam persoalan, cobaan, kesulitan, tantangan dan
sebagainya dalam kehidupanDalam bahasa Arab,
terdapat beberapa istilah untuk menyebut orang yang
sabar dan pada hakikatnya masing-masing istilah
menunjukkan kualitas kesabaran seseorang. Istilah
tersebut adalah : pertama (shaabir) yaitu orang yang
sabar. Namun kesabarannya pendek atau temporer.
Kedua, istilah (mashaabir) yaitu orang yang sabar
dengan tanpa batas. Ketiga, (shabuur) yaitu tingkat
242
kesabarannya lebih panjang secara kuantitas maupun
kualitas.Shaabir adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut tingkatan paling rendah dalam sabar,
sedangkan shabuur untuk kualitas yang paling tinggi.
Apakah seseorang masuk pada tingkatan shaabir atau
justru sudah sampai pada tingkatan shabuur, semua
tergantung pada diri masing-masing.
3. Memahami sabar menjadi sikap menerima begitu saja
adaah keliru menurut hermeneutika pembebasan.
Pandangan dunia Qur'anic (weltanschauung) dari
shabr telah dijelaskan dengan jelas di atas. Shabr
(kesabaran) adalah kemampuan untuk memegang dan
mencegah hal-hal yang dapat diderita dan merugikan
seseorang. Manusia harus berusaha secara aktif dan
dinamis untuk keluar dari kesulitan, kehilangan,
cobaan dalam kehidupan. Intinya, kemampuan
seseorang untuk bersabar harus selalu dikembangkan
dalam kehidupan sehari-hari untuk menghindari
tumbuhnya sikap emosional, tergesa-gesa, putus asa
dan pesimisme dalam menyikapi berbagai masalah
kehidupan. Kesabaran hanya bisa dicapai oleh
seseorang yang memiliki tekad dan keberanian dalam
jiwanya untuk selalu meningkatkan diri dan
menganalisiskekurangannya. Maka prinsip nerimo
243
menjadi katalisator bagi posisi hidup untuk
mengubahnya agar bergerak kembali. Ini berarti
bahwa nerimo tidak ditempatkan sebagai hasil yang
berorientasi pada penerimaan, tetapi ditempatkan
sebagai proses kelangsungan hidup yang mampu
menggerakkan orang melalui satu tahap kehidupan
mereka. Ini adalah pemahaman yang lebih relevan,
aktif, dinamis, dan progresif bagi Muslim Jawa untuk
menghadapi globalisasi dan gempuran neo-
liberalisme ekonomi di abad ke-21.
Surat al Ashr menunjukan kepada kita bahwa iman,
amal saleh, dan ilmu pun masih belum memadai.
Memang, ada orang yang merasa cukup serta puas
dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa
kepuasan itu dapat menjerumuskannya. Ada pula
yang merasa jenuh, karena itu, ia perlu selalu
menerima nasihat agar tabah, sabar, sambil terus
bertahan, bahkan meningkatkan iman, amal, dan
pengetahuannya. Demikian surah Al-‗Ashr memberi
petunjuk bagi manusia. Sungguh tepat kata Imam
Syafi‘i yang dikutip pada bagian awal dari uraian
surah ini:Kalaulah manusia memikirkan kandungan
surah ini, maka sesungguhnya cukuplah ia (menjadi
petunjuk bagi kehidupannya).
244
Maha Benar Allah dalam segala Firman-Nya,
Wallahu A‟lam.
B. Saran –Saran
Penelitian tentang sikap nerima kehidupan
dalam sosial muslim jawa sebagai pemahaman dari
konsep sabar dalam al-Quran diharapkan ada upaya
kelanjutan pendalaman penelitian berikutnya. Upaya
menggeser pemahaman sabar dengan narima begitu
saja seperti yang selama ini terlihat sudah memdarah
daging dalam konteks kehidupan sosial muslim jawa
sungguh sangat sulit. Peran penafsir yang
menggunakan metode tafsir sosio tematik memang
sangat menetukan. Walau bagaimana pun, itu
hanyalah sebuah alternatif penafsiran saja. Memang
seorang penafsir tidak lahir begitu saja melainkan
didasari sebuah kegelisan terhadap sikap yang selama
ini terjadi. Penafsir hadir dengan jawaban hasil
penafsirannya. Tentunya penelitian tentang tafsir
pembebasan berkenaan konsep sabar tidak bisa
dianggap sudah selesai dengan penelitian seperti ini.
Peneliti berikutnya bisa mengembangkan lebih lanjut
dengan mendalami konsep narima dalam segmen
kelas soasial yang lebih luas.
245
DAFTAR PUSTAKA
Syubbar, ‗Abd Allah. Tafsir Al-Qur‟an Al-karim, 1996,
Kairo: Shihab Al-Najah, cetakan IIII.
Al-Thusi, Abi Al-Nashr Al-Shiraj. Al-Luma‟, Tahqiq: ‗Abd
Al-Halim Mahmud dan ‗Abd Al-Baqi Al-Surur,
1960, Kairo: Dar al-kutub,
Syirbashi, Ahmad. al- Mausu‟at Akhlaq al-Qur‟an, 1995,
Beirut: Dar raid al-‗Arabi, Juz I.
Al‘ak, Khalid Abdurrahman. Usul al Tafsir wa Qawaiduh,
1986, Beirut: Dar al Nafis.
Alain Gresh and Dominique Vidal. An A to Z of the East,
1990, London: Zed Book.
Andalusi, Abu Dawud Sulaiman bin Hasan a1. atau lebih
dikenal sebagai Ibnu Jaljul, Thabaqat a1 Atibba wa
al Hukama, 1955, Kairo: Matba'ah al Ahdi al Ilmi
al Faransi li al Atsar al Syarqiyah.
Asy‘arie, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam A1
Quran, 1992, Yogyakarta: LESFI.
246
Ayazi, Sayid Muhammad `Ali. Al Mufassirun Hayatuhum wa
Manhajuhum, TT. Kairo: Muassasah Thaba'ah wa
al Nasyr.
Azra, Azyumardi (Ed.). Sejarah `Ulum al Quran, 1999,
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Bagus, Loren. Kamus Filsafat, 1999, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Baidan, Nasruddin. Metodologi Penaf'siran Al Quran
1998,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baljon, JMS. A1 Quran Dalam Interpretasi Modern, terj. Eno
Syafrudin, 1990, Jakarta: Gaya Media Pratama.
Bauman, Zigmunt. Hermeneutics and Social Science, 1978,
New York: Colombia University Press.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman 1983,
Jakarta: Gramedia.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad ,XX: jilid II Prancis, 1986,
Jakarta: PT Gramedia.
Bleicher, Josep. Contemporary Hermeneutics, Hermeneutics
as Method and Philisophy and Critique, 1980,
London: Rautledge and Kegan Paul.
Boullata, Issa J. "Hanafi terlalu Teoritis untuk
Dipraktekkan", dalam jurnal Islamika No. I Juli -
September. 1992, Jakarta: Aksara Buana.
Crapanza, Vencen. Hermes Dilemma and Hamlets Desire,
1992, Harvard: Harvard University Press.
247
Depag RI. A1 Quran dan Terjemahnya, 1978, Jakarta: PT
Bumi Restu.
Dept. Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus besar
Bahasa Indonesia, Edisi ke2, TT. Jakarta: Balai
Pustaka.
Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudu'i Pada Masa kini,
1990, Jakarta: Kalam Mulia. .
Dzahabi, Hussein Muhammad al. Tafsir wa a1-
Mufassirart, Juz I dan II 1986. [t.tp]t.p.
Dzahabi, Hussein Muhammad al. A1 Ittijahat al
Munharifah fi' Tafsir al Qur‟an al Karim;
diterjemahkan oleh Hamim Ilyas dan Machnun
Husein, 1996, Jakarta: Raja Grafindo.
Esack, Farid. "Quranic Hermeneutic: Problem and
Prospect", dalam The Muslim World, vol. 83, no.
2 (April). 1993.
Esposito, John L. The Oxford Encyclopedia of modern
Islamic World, 1995, New York: Oxford
University Press, Vol. III.
Esposito, John. L. dan John O. Voll. Ma kers o f
C on t emporary Islam. Tokoh Kunci Gerakan
Islam Kontemporer, terj. Oleh Sugeng Hariyanto
dkk. 2002,Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,
Februari.
248
Fa r m awi , Abd: Hayy. al Bidayah fi al Tafsir al maudlu
I, 1977, Kairo. Al Hadarahal Arabiyah,
Farra, Abu Zakariya Yahya bin Zayyad al. Ma'ani al
Quran, ed. Ahmad Yusuf al Najjati [et.al], 1955,
Kairo: al-Kutub al-Misriyyah.
Fatik, Abu al Wafa al Mubasyar bin. Mukhtar al Hikam wa
al Mahasin al Kalim, diedit oleh Abdurrahman
Darwi, 1954, Madrid: Matba`al Ma'hal al Mishri
li Dirasah al Islamiyah.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al. 1356
H, Ihya 'illum al Din I, TT. Kairo: Al Tsaqafah al
Islamiyah.
Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al.
Jawahir Al Quran, TT, Kairo: Percetakan
Kurdistan.
Grondin, Jean. Introduction to Philosophical Hermeneutics,
1994, Yale: Yale University.
Haddad, Yvonne Yazbeck. The C,ontemporery Islamic
Revival: A Critical Survey and Bibliography, 1991,
New York: Greewood Press.
Hakim, Muhamad Nur. Rekonstruksi Warisan Intelektual:
Studi Kritis atas Paradigma Pembaharuan
Pemikiran Islam Hanafi, 1995. Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah.
249
Hanafi, Hassan. "Human subservience of nature: An Islamic
model", Tema seminar di Swedia, Dalam Islam in
The Modern world, vol. I. 2000, Kairo: Dar Kbaa.
Hanafi, Hassan. A1 Yasar al Islami Kitabat fi Nahdlah
Islaiyat, it, 1981, Kairo: t.p.]
Hanafi, Hassan. Qadla^ya Mu'asyhirah Fi Fikrina al tLluashir,
vol. 1 dan 2, 1983, Beirut: Dar al Tanwir.
Hanafi, Hassan. "The Preparation of Societies For Life in
Peace an Islamic Perspective" Makalah dalam
seminar di Osaka. 1986,
Hanafi, Hassan. Religious Dialogue and Revolution: Essays
an Judaism, Ghistianity and Islam, 1977, Kairo:
Anglo Egyption Bookshop.
Hanafi, Hassan. Dirasat Islamiyyah, cet. Ke-2, 1981, Kairo:
Maktabah Angela.
Hanafi, Hassan. A1 Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1982,
Jilid I- VII, 1989, Kairo: Maktahah Madbuli.
Hanafi, Hassan. Dirasat Falsafiyyah, 1988, Kairo:
Anjilu al Mishriyyah.
Hanafi, Hassan. Min al Aqidah ila al Tsaurah, 1988, Kairo:
Maktabah Madbuli.
Hanafi, Hassan. "A1 Ushuliyyah al Islamiyyah" dalam A1
Din wa al Tsaurah, diterjemahkan oleh Kamran
As'ad dan Mufliha, 1989,Yogyakarta: Islamika.
250
Hanafi, Hassan. "Manahij al Tafsir Wa mashalih al
Ummah", dalam al Din wa A1 Tsaurah jilid
VII, 1989, Kairo: Maktabah Madbuli.
Hanafi, Hassan. al Din wa al Tsaurah, jilid I-VIII, 1989,
Kairo" Maktabah Maudbuli.
Hanafi, Hassan. al Salafiyah wa Ilmiyah fi Fikrinift al
Mua'shir", dalam Majalah Al Azminah Volume
III, 1989, Kairo:[t.h.J.
Hanafi, Hassan. Al Turats wa al Tajdid, 1992, Beirut:
Muassasah al Jam'iyyah li al Dirasat wa al
Nasyr wa al tauzi'.
Hanafi, Hassan. Muqaddimah fi ilm al Istighrab
MauqifuncZ Min Turats al Gharbi,1992, Kairo:
Dar al Fannani.
Hanafi, Hassan. Islam in The Modern World, vol I,
Religion, Ideology and Development I, 2000,
Kairo: Dar Kbaa.
Hanafi, Hassan. Islam in The Modern World, vol. II
Tradition, Revolution and Development. 2000,
Kairo: Dar Kbaa,.
Hanafi, Hassan. Humum al Fikr al Wathan al Turats wa al
`ashr, di Indanesiakan oleh Khoiron
Nahdhiyyin, Oposisi Pasca Tradisi, 2003,
Yogyakarta: Syarikat.
251
Hanafi, Hassan. al Din wa al Tsaurah fi Mishr 1952-1981,
1989, Kairo: Maktabah Madbuli, Vol. VI.
Harun, Salman. Mutiara A1 Quran, 1999, Jakarta: Logos.
Harvey, Van A. "Hermeneutic" dalam Encychlopedia of
Religions, Val. IV, Ed. Mircea Eliade, 1989,
New York: Macmillan Publishing Co.
Hidayat, Komarudin. Memahami Bahasa Agama,
1996,Jakarta: Yayasan wakaf Paramadina.
Ichwan, Muhammad Nur. Hermeneutika al Quran: Analisis
Peta Perkembangan Tafsir al Quran
Kontemporer, 1995, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga.
Izutsu, Toshihiko. Konsep-Konsep Etika Religius dalam
Qur‟an Jakarta: Pustaka
Jabiri, Abid al. Takwin al Aql al Arabi, cet. IV,
1989,Bairut:Markaz Dirasat al Nahdlah al
'Arabiah.
Jabiri, Abid al. Bunyah al Aql al Arabi, cet.III, 1990,
Beirut: Markaz Dirasah al Wahdah al
'Arabiyah.,
Jurnal Ulumul Quran, Edisi Khusus No. 5 & 6 Volume V,
1994, Jakarta: Aksara Buana.
Jurnal Ulumul Quran, No. 5. Vo1.2, 1990, Jakarta: Aksara
Buana.
252
Jurnal Ulumul Quran, No 1 dan 2 Vol. III, 1992,
Jakarta: Aksara Buana.
Jurnal Ulumul Quran, No. 4 vol.IV, 1993,
Jakarta: Aksara Buana
Jurnal, Filsafat Drriyarkara, No. 2 Tahun XXIII,
1997,Jakarta: STF Driyarkarya.
Kusnadiningrat. Teologi Pembebasan dalam Islam;
Analisis Terhadap Gerakan Kiri Islam Hassan
Hanafi, 1995, Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah,
Lanur, Alex. Sajarah Filsafat Kontemporer, 1996,
Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Majalah Prisma, No. 4, April, 1984, Jakarta-.LP3ES.
Mansur, M. Metodologi Tafsir Realis dalam Studi a1
Quran Koontemporer, Abdul Mustaqim dkk,
(editor), 2002, Jogjakarta: Tiara Wacana.
Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al Maraghi Jilid 1,
1974, Beirut: Dar Al Fikr.
Martin, Richad C. Approaches to Islam In Religious
Studies, 1985, Arizona: The University of
Arizona Press.
Martin, Richad C. "Membayangkan Islam dan
Modernitas", Terj. Bambang Sipayung, dalam
Majalah Filsafat Driyarkara No.2 Th, xxiii,
1997, Jakarta: STF Driyarkara.
253
Meuleman, Johan Hendrik. Tradisi kemoderenan dan
Metamodernisme (Memperbincangkan
Pemikiran Muhammad Arkoun), 1996,
Yogyakarta: LKiS.
Meuleman, Johan Hendrik. "Pengantar Penyunting" dalam
Muhammad Arkoun, Berbagai Pembacaan
Quran, 1997, Jakarta: INIS.
Meuleman, Johan Hendrik. "Nalar Islami dan Nalar
Modern: berbagai tantangan dan jalan baru",
1994,Jakarta: INIS. .
Muhamad Fuad ‗Abd al-Baqi. Al-Mu‟jam al-Mufahras li al-
Fadz al-Qur‟an al-Karim, 1991, Kairo: Dar al-
hadist, Cet.III.
Muhsin, Amina Wadud. Quran and Women, 1992, Kuala
Lumpur: Fajar Bakti.
Muhtasib, Abd. Masjid Abdussalam. Visi dan Paradigma
Tafsir A1 Quran Kontemporer, Terj. Moh.
Maghfur Wahid 1997, Bangil: Al Izzah.
Nasution, Muslim. ―Menumbuhan Sikap Sabar dalam
Kehidupan‖ Oktober 1999. Makalah, Ciputat.
Muthahari, Murtada, Memahami al Quran, Terj. Tim Staf
YBT, 1989, Jakarta: Yayasan Bina Tauhid.
Mutsanna, Abu Ubaidah Ma'mar bin al. Majaz al Quran, ed.
M. Fuad Sizkin, 1954,Kairo: Maktabah al-
Khanaji.
254
Nanji, Azim. "Toward a Hermeneutic of Quranic and other
Narratives in lsmaili Thought", dalam Richard G.
Martin, Apparaaches To Islam in Religious
,Studies, 1985, Arizona: The University of
Arizona Press.
Nasr, Sayyed Hossein, Knowledge and the Sacred, 1989,
Arizona: The University of Arizona Press
Palmer, Richard E. Hermeneutics, 1969, Evanston: North
Wester University Press.
Poespoprodjo. Interpretasi, 1987, Bandung: Remaja Karya
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity, 1982, Chicago: The
University of Chicago Press.
Rahman, Fazlur. Tema Pokok al Quran, Penerjemah Anas
Mahyudin, 1983,Bandung: Pustaka.
Ridwan, Ahmad Hasan. Pemikiran Hassan Hanafi: Studi
Gagasan Reeaktualisasi Tradisi Keilmuan
Islam, 1996, Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga.
Rippin, Andrew (Ed.). Approaches to the History of
Interpretation of the Quran, 1988, Oxford:
Claredon Press.
Robinson, James M. "Hermeneutic since Barth" dalam The
New Hermeneutic, ed. J. M. Robinson dan John
B.Cobb, 1964, New York: Herper and Row
Publisher.
255
Rudianto, Bambang. dkk, Hakekat Pengetahuan dan Cara
Kerja Ilmu-ilmu, 1993, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan, 2002,
Bandung: Teraju.
Shadr, Muhamrnad Baqir. " Pendekatan Tematik Terhadap
Tafsir al Quran". Dalam Jurnal UQ 4 Vol. 1
1990, Jakarta: Aksara Buana.
Shihab, M.Quraish, "Tafsir dan Modernitas", dalam Jurnal
Ulumul Quran No. 8. 1991, Jakarta: Aksara
Buana.
Shihab, M.Quraish, Membumikan al Quran, 1994, Bandung :
Mizan.
Shihab, M.Quraish. Wawasan al Quran, 2005, Bandung :
Mizan.
Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah, 2009, Jakarta : Lentera
Hati.
Simogaki, Kazuo. Kiri Islam Antara Modernisme dan
Posmodernisme, penerjemah M. Imam Aziz,
1994,Yogyakarta: LKis.
Simogoki, Kazuo. " Pemikiran Hassan Hanafi dan
Munculnya al Yasar al Islami dalam Jurnal
Islamika No. 1 Th., 1993, Bandung : Mizan dan
MISSI,
256
Sudjiman dan A Van Zoest. Serba-Serbi Semiotika, 1992,
Jakarta: Gramedia.
Sulaiman, Muqatil Bin. A1 Asybah wa al Nazhair fi al Quran
al Karim, ed. Abdullah Mahmud Syahatah, 1975,
Kairo: Ma' iah al Misriyah al Ammah li al-Kitab.
Sumaryono, E. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat,
1993,Yogyakarta: Kanisius.
Thahhan, Mahmud. Taisir Mushthalah al Hadits, 1985,
Beirut: Dar al Tsaqafah.
Thair, Mushtafa Muhammad al Hadidi. Ittijah a1 Tafsir Fi al
‟Ash al Hadist, TT, Beirut: Mansyurat.
Umar, Nasaruddin. 40 Seni Hidup Bahagia Berdasarkan
Tuntunan Al-Quran, As-Sunnah dan Salafush-
Shaalih 2005, Semarang: Pesantren Karya.
Verhaak, C. Filsafat ilmu Pengetahuan Telaah Cara Kerja
Ilmu-ilmu, 1989, Jakarta: PT.Gramedia.
Yusuf, Yunan, "Karakteristik Tafsir A1 Quran di Indonesia
Abad ke-20", dalam Jurnal Ulumul Quran No. 4.
1992, Jakarta: Aksara Buana.
Zanzani, Abdullah az-. Tarikh al-Qur‟an, Terjemah Kamaludin
MA dan A. Qurthubi H, 1996, Bandung: Mizan.
Zayd, Nashr Hamid Abu. Imam Syafi'i: -Moderatisme,
Ekletisisme, Arabisme, terj. Khoirun
Nahdhiyyin, 1997, Yogyakarta: LKIS.
257
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Identitas diri dan keluarga
Adang Kuswaya lahir di Ciamis, 31 Mei 1972. Ayah
bernama Mohamad Omon seorang guru ngaji di kampung
yang bertetangga pesantren besar PP. Darussalam. Ibu
bernama Esin Kuraesin yang mendidik penulis akan
kesederhanaan dan kerja keras. Penulis dibesarkan dengan
tradisi pengajian madrasah diniyah di kampung Cidewa di
Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Mulai pendidikan TK sampai
dengan lulus dari MANPK ditempuh penulis di lembaga
pendidikan Yayasan Al-Fadliliyah PP. Darussalam.
Setelah lulus dari Darussalam tahun 1991 ia
melanjutkan studi sarjana dengan beasiswa penuh selama 4
tahun dari IAIN Sunan Gunung Djati Bandung pada Jurusan
Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin. Selesai meraih gelar Sarjana
258
ia melanjutkan program beasiswa pascasarjana S2 di IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tahun 1998 diangkat sebagai
staf pengajar di STAIN (sekarang IAIN) Salatiga. Setahun
kemudian, tapatnya bulan september tahun 1999 Adang
Kuswaya menikah dengan Layly Atiqoh. Tahun 1999 penulis
diterima sebagai Mahasiswa S3 UIN Jakarta dan lulus tahun
2006.
Dari pernikahannya penulis dikarunia dua anak, Adila
Tara Nisawanda DA dan Nur Adly Sania AS. Tempat tinggal
penulis di Jl. Nakula Sadewa V No.5B, Kota Salatiga, Jawa
Tengah. Email: [email protected]
Karya Ilmiah
Tahun 2016 artikel berjudul Agama; Antara Cita dan
Kritk diterbitkan Fikrah : Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan. DOI:10.21043/fikrah.v4i1.1612. Tahun 2015,
Badhan, Pelestarian Tradisi Bulan Syawal Pada Masyarakat
Muslim Kembangarum Kota Salatiga. Jurnal Penelitian Vol.12,
No.1 Mei 2015. Gerakan Damai ala Kelompok-Kelompok
Islamis di Dunia Islam (jurnal, Ijtihad Vol. 13. No.2, Salatiga,
2013). Chiefdom Madinah: Mengurai Kekeliruan Tafsir Negara
Islam (jurnal, Ijtihad Vol. 11. No.1, Salatiga, 2011). Tafsir Sosio-
tematik al Qur‟an (jurnal, Ijtihad Vol. 9. No.2, Salatiga, 2009).
Model Penafsiran Muqatil Bin Sulaiman (jurnal, Ijtihad Vol. 8.
No.2, Salatiga, 2008). Orientari dari Teks Menuju Realitas
(jurnal, Ijtihad Vol. 8. No.1, Salatiga, 2008). Hermeneutika
Sebuah Pengantar (jurnal, Ijtihad Vol. 6. No.2, Salatiga, 2006).
259
Menimbang Tafsir Depag RI (jurnal, Attarbiyah, Salatiga, 2004
).
Beberapa buku di antaranya : Tahun 2008 Metode Tafsir
Alternatif, Mitra Cendekia Jogjakarta. Tahun 2009 judul Geliat
Kajian Keislaman, STAIN Salatiga Press. Tahun 2011 judul
buku Hermeneutika Hassan Hanafi, STAIN Salatiga Press.
Tahun 2010 judul buku Studi Kritis terhadap Metode Tafsir
Tradisional, STAIN Salatiga Press.
Pengalaman kerja
Sejak tahun 1998 tercatat sebagai dosen sampai sekarang di
IAIN Salatiga. Tahun 2008 – 2014 sebagi Ketua Forum Diskusi
Dosen STAIN Salatiga. Tahun 2006 – 2010 sebagai Director of
Journal Ijtihad Ijtihad. Tahun 2010 – 2014 sebagai Kepala Pusat
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M) STAIN
Salatiga. Tahun 2014 – 2015 menjadi Kepala Pusat Penjeminan
Mutu (P2M) STAIN Salatiga. Tahun 2015 diangkat menjadi
Ketua Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LP2M)
tahun 2015-2019 IAIN Salatiga.
Pengalaman Penelitian
Tahun 2016, penelitian dengan judul Mendefinisikan Ulang
Ayat – Ayat Wala dan Bara dalam Al-Quran dan Akar-Akar
Sektarianisme. Tahun 2015, penelitian tentang Sikap Narima:
Misinterpretasi Sabar (Pendekatan Sosio-tematik Hermeneutika
Pembebasan tentang Konsepsi Sabar dalam al-Qur‟an sebagai
Prilaku Narima pada Masyarakat Muslim).
260
Pendidikan Nonformal
September – Oktober Tahun 2015 mengikuti International
Visitor Leadership Program (IVLP), Washington DC,
Michigan, Texas, Oregon, AMERIKA SERIKAT. January-
March tahun 2013 mengikuti Short Course, Entrepreneurship
for Small Business Trainers and Promoters, Noida, UP,
INDIA. Ministry of External Affairs, Gov. of India. Bulan
September- November tahun 2013 mengikuti Short Course
Community Outreach in Coady International Institute, St.
Francis Xavier Nova Scotia, CANADA. Ministry of Religious
Affairs and SILE. Pada February- May tahun 2007 mengikuti
acara Hassan Hanafi‟s method on Quranic Interpretation in
Cairo, EGYPT diselenggarakan oleh Ministry of Religious
Affairs, Indonesia. Pada Bulan June 2007, mengikuti acara
Tareqa Dusukiya in Tan‟im, SAUDI ARABIA KINGDOM.
Kegiatan Riset Luar Negeri
Tahun 2012 Advance Research Muslim Community In Beijing,
CHINA. Tahun 2011 Advance Research di Islamic Center dan
di Universitas Kasem Bundit Bangkok, THAILAND. Tahun
2010 Advance Research “International Class” in UKM and
IIUM, Kuala Lumpur, MALAYSIA. Tahun 2010 Advance
Research: Educational system in National Institute of
Education NIE, Nanyang University, SINGAPORE.