10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Belajar dan Pembelajaran
Belajar merupakan proses aktif siswa untuk mempelajari dan memahami
konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar, baik individual
maupun kelompok, baik mandiri maupun dibimbing. Belajar merupakan kegiatan
yang wajib dilakukan oleh setiap orang, mulai dari buaian sampai ke liang lahat tidak
terkecuali baik pria maupun wanita. Sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan
belajar mengajar ditinjau dari sudut kegiatan siswa berupa pengalaman belajar siswa
(PBS) yaitu kegiatan siswa yang direncanakan guru untuk dialami siswa selama
kegiatan belajar-mengajar (Arifin,2000). Sedangkan menurut Gagne (dalam Dahar,
1996), belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma
berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.
Guru merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam pembelajaran.
Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran yang
diajarkannya sebagai suatu pelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan
berpikir siswa dan memahami berbagai model, metode, dan pendekatan pembelajaran
yang dapat merangsang kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan dan
pengajaran yang matang. Belajar dan pembelajaran diarahkan untuk membangun
kemampuan berpikir dan menguasai materi pelajaran, dimana pengetahuan
bersumber dari luar diri, tetapi dikonstruksi dalam diri individu siswa. Pengetahuan
11
tidak diperoleh dengan cara diberikan / ditransfer dari guru, tetapi dibentuk dan
dikonstruksi oleh siswa sendiri sehingga siswa tersebut mampu mengembangkan
intelektualnya (Unsrimiati,2007).
Pendekatan pembelajaran dalam pendidikan diciptakan orang berorientasi
pada aspek hasil belajar yang diharapkan dapat dimiliki seseorang setelah
melaksanakan pembelajaran (Arifin, 2000). Saat ini, telah banyak dikembangkan
pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang tidak hanya menekankan pada
pengembangan aspek kognitif seperti halnya pendekatan-pendekatan konvensional,
tetapi juga mempertimbangkan penekanan pada pengembangan aspek sikap dan
aspek keterampilan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang inovatif yaitu
pendekatan pembelajaran kontekstual.
2.2 Pembelajaran Kontekstual
2.2.1 Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Depdiknas (2006) menyatakan pengertian pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan kontekstual sebagai berikut :
1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi
siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan
mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari
(konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan /
keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu
permasalahan / konteks ke permasalahan / konteks lainnya.
12
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pembelajar membuat
hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran
tentang belajar sebagai berikut.
1. Proses belajar
• Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri.
• Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari
pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
• Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi
dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
• Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi
yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
• Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
• Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang
berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
• Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu
berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan
keterampilan seseorang.
13
2. Transfer Belajar
• Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
• Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas
(sedikit demi sedikit).
• Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan
pengetahuan dan keterampilan itu.
3. Siswa sebagai Pembelajar
• Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan
seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal
baru.
• Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang
baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
• Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan
yang sudah diketahui.
• Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan
kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan
menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
4. Pentingnya lingkungan Belajar
• Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa.
Guru akting di depan kelas, siswa menonton, kemudian siswa bekerja dan
berkarya, dan guru mengarahkan.
14
• Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan
pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan
hasilnya.
• Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang
benar.
• Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama
untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru
datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru.(Depdiknas,2006)
2.2.2 Ciri Pembelajaran Kontekstual
Depdiknas (2006) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri
pembelajaran kontekstual, diantaranya :
1. Belajar berbasis masalah (problem based learning), yaitu suatu pendekatan
pembelajaran yang menggunakan masalah faktual sebagai suatu konteks bagi
siswa untuk belajar berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan masalah,
sehingga mereka memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep yang esensial
dari materi pembelajaran.
2. Pengajaran otentik (authentic instruction), yaitu pendekatan pembelajaran
yang mengarahkan siswa untuk mempelajari konteks bermakna terhadap
fenomena-fenomena yang dihadapi.
15
3. Belajar berbasis inkuiri (inquiry based-learning), yaitu belajar dengan
pendekatan pengajaran menggunakan strategi pembelajaran yang mengikuti
metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran
bermakna.
4. Belajar berbasis proyek / tugas terstruktur (project based-learning), yaitu
belajar dengan pendekatan pengajaran yang komprehensif. Lingkungan
belajar siswa dirancang agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap
masalah otentik, termasuk pendalaman materi dan pelaksanaan tugas
bermakna yang lain.
5. Belajar berbasis kerja (work based-learning), yaitu belajar dengan
pendekatan yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja
untuk mempelajari materi pembelajaran, serta menerapkan kembali materi
pembelajaran tersebut di dalam tempat kerja tersebut.
6. Belajar jasa-layanan (service learning), yaitu belajar yang memerlukan
penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan
masyarakat dengan struktur berbasis sekolah, atau menekankan hubungan
antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis. Penerapan
pendekatan ini akan menuntun terjadinya penerapan praktis dari pengetahuan
baru dan keterampilan siswa untuk memenuhi kebutuhan di dalam masyarakat
melalui tugas terstruktur dan kegiatan lain.
16
7. Belajar kooperatif (cooperative learning), yaitu belajar dengan pendekatan
pengajaran melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.
2.2.3 Tahap Pembelajaran Kontekstual
Terdapat beberapa tahap dalam pembelajaran kontekstual, yaitu tahap kontak,
tahap kuriositi, tahap elaborasi, tahap dekontekstualisasi, dan evaluasi (Nentwig,
2002).
a. Tahap Kontak (Contact phase), merupakan tahap dimana dikemukakan suatu
wacana, isu atau masalah yang ada di masyarakat atau berbagai peristiwa
yang terjadi di sekitar siswa dan mengaitkannya dengan materi, pokok
bahasan, topik atau konsep yang akan dipelajari sehingga siswa menyadari
pentingnya memahami materi tersebut. Topik yang dibahas dapat bersumber
dari berita, artikel, atau pengalaman siswa sendiri.
b. Tahap Kuriositi (Curiosity phase), merupakan tahap dimana siswa diberikan
pertanyaan yang dapat membangkitkan kuriositi atau keingintahuan siswa
tentang masalah atau fenomena yang terjadi pada masyarakat, sesuai dengan
pokok bahasan, topik, atau konsep yang akan dibahas.
c. Tahap Elaborasi (Elaboration phase). Pada tahap ini dilakukan eksplorasi,
pembentukan dan pemantapan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi
dapat terjawab. Eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep tersebut
dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya ceramah bermakna,
17
diskusi dan kegiatan praktikum, atau gabungan dari ketiganya. Melalui
kegiatan inilah berbagai kemampuan siswa akan tergali lebih dalam, baik
aspek pengetahuan, keterampilan proses, maupun nilai dan sikap.
d. Tahap Dekontekstualisasi (Nexus phase). Pada tahap ini konsep yang telah
dipahami siswa melalui satu konteks, selanjutnya digunakan untuk
menganalisis konteks lainnya, artinya masalah yang sama diberikan dalam
konteks yang berbeda, dimana diperlukan pengetahuan atau konsep yang
sama sebagai solusinya. Tahap ini dilakukan agar pengetahuan yang diperoleh
lebih aplikatif dan bermakna di luar konteks pembelajaran.
e. Evaluasi (Evaluation). Pada tahap ini dilakukan evaluasi pembelajaran secara
keseluruhan yang berguna untuk menilai mengukur berbagai aspek, mulai dari
hasil belajar siswa sampai pada keberhasilan pembelajaran itu sendiri.
2.2.4 Komponen Pendekatan Kontekstual
Depdiknas (2006) mengemukakan bahwa dalam penerapan pendekatan
kontekstual terdapat tujuh komponen utama yang harus dilakukan secara sungguh-
sungguh. Komponen yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Konstruktivisme
Dalam pembelajaran kontekstual siswa membangun pemahaman mereka
sendiri dari pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal. Pembelajaran harus
dikemas menjadi proses “mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
18
2. Inquiry
Dalam pembelajaran kontekstual terjadi proses perpindahan dari pengamatan
menjadi pemahaman. Siswa juga belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis.
3. Questioning (Bertanya)
Merupakan kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai
kemampuan berpikir siswa.
4. Learning Comunity (Masyarakat belajar)
Dalam pembelajaran kontekstual, sekelompok orang terikat dalam kegiatan
belajar untuk bertukar pengalaman, berbagi ide, dan melatih bekerjasama dengan
orang lain. Karena bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok akan lebih baik
daripada belajar sendiri.
5. Modeling (Pemodelan)
Merupakan proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja
dan belajar. Contoh dalam pembelajaran misalnya siswa mengerjakan apa yang
diperintahkan oleh guru, atau siswa melakukan apa yang dicontohkan oleh guru.
6. Reflection (Refleksi)
Merupakan cara berpikir tentang apa yang telah dipelajari. Dapat dilihat dari
bagaimana siswa mencatat apa yang telah dipelajari, bagaimana siswa membuat
jurnal, karya seni, atau bisa dilihat juga melalui diskusi kelompok.
19
7. Authentic Assesment (Penilaian yang sebenarnya)
Penilaian dilakukan untuk mengukur pengetahuan dan keterampilan siswa
seerti penilaian produk (kinerja), dan penilaian tugas-tugas yang relevan dan
kontekstual.
2.3 Metode Praktikum dalam Pembelajaran Kimia
IPA, khususnya kimia tumbuh dan berkembang berdasarkan eksperimen-
eksperimen, sehingga IPA dapat pula dianggap sebagai ilmu eksperimental. Dari
eksperimen-eksperimen tersebut lahirlah deskripsi yang berupa konsep-konsep.
Mempelajari IPA kurang dapat berhasil bila tidak ditunjang dengan kegiatan
laboratorium (praktikum). Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman
secara langsung. Karena itu, siswa perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah
keterampilan supaya mereka mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar.
Pembelajaran ilmu kimia sebagai bagian dari sains, tentulah sangat diperlukan adanya
praktikum sebagai bagian dari pembelajaran kimia.
Kegiatan praktikum merupakan kegiatan penunjang proses belajar untuk
menemukan prinsip tertentu atau menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang
dikembangkan. Selain itu kegiatan praktikum juga dapat dipakai untuk
mengembangkan keterampilan proses, mengembangkan minat belajar serta
memberikan bukti-bukti bagi kebenaran teori. Dalam bahasa ilmu kependidikan dapat
20
dikatakan bahwa kegiatan praktikum menjadi wahana pengembangan aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor sekaligus.
Menurut Arifin (2000), keuntungan penggunaan metode praktikum dalam
pembelajaran diantaranya :
1. Untuk guru :
a. Memberikan gambaran yang konkrit tentang suatu peristiwa.
b. Membantu pencapaian tujuan pembelajaran secara lebih efektif dan efisien.
2. Untuk siswa :
a. Membantu dalam mengamati proses.
b. Membantu mengembangkan keterampilan inkuiri.
c. Membantu dalam mengembangkan sikap ilmiah.
Selain itu, menurut Rustaman (dalam Noviantika, 2005) ada empat alasan
mengapa praktikum menjadi penting, diantaranya :
1. Praktikum membangkitkan motivasi dalam mempelajari IPA. Motivasi
merupakan suatu hal yang penting dalam belajar, yang dapat mendorong siswa
untuk belajar lebih mendalam. Dengan demikian praktikum dapat mendorong rasa
ingin tahu siswa.
2. Praktikum mengembangkan keterampilan dasar melakukan eksperimen.
3. Praktikum menjadi wahana belajar pendekatan ilmiah.
4. Praktikun menunjang materi pelajaran. Praktikum memberi kesempatan pada
siswa untuk membuktikan teori, menemukan teori sehingga pemahaman siswa
terhadap materi pelajaran akan lebih mendalam.
21
Namun, pada kenyataannya terdapat kendala-kendala yang dihadapi berkaitan
dengan peranan praktikum. Ali (dalam Noviantika, 2005) mengemukakan beberapa
kelemahan dalam kegiatan praktikum, antara lain : a) Kurang membedakan berbagai
prioritas tujuan, sehingga konsep praktikum, proses, dan keterampilan dicampurkan;
b) Pilihan materi untuk praktikum sering agak sembarang; c) ketidakcocokan antara
tujuan praktikum dengan cara menganalisa.
Berdasarkan penelitian tentang hambatan-hambatan dalam praktikum
diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Herawati (dalam Noviantika,
2005). Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa yang menjadi hambatan
praktikum bersumber pada kurang jelas dan lengkapnya petunjuk praktikum, siswa
kurang menguasai konsep dan teori yang berkaitan dengan praktikum, serta
kurangnya referensi yang mendukung dalam memberikan penjelasan berkaitan
dengan praktikum. Faktor lain yang mungkin dapat menghambat kegiatan praktikum
dapat juga berasal dari kurang memadainya sarana dan prasarana penunjang
praktikum (alat dan bahan) serta kesesuaian materi praktikum dengan konsep materi
yang diajarkan.
Di samping penelitian mengenai hambatan dalam praktikum tersebut, Wern
Burgh (dalam Noviantika, 2005) mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai nilai
rata-rata rendah memberikan respon yang positif terhadap kegiatan praktikum
dibanding siswa yang memiliki nilai rata-rata tinggi (pintar). Berdasarkan
penelitiannya, hal tersebut dikarenakan siswa yang memiliki prestasi bagus tidak
memerlukan praktikum untuk membantu pemahaman konsep. Bagi mereka yang
22
memiliki prestasi bagus, pemahaman terhadap suatu konsep dapat diperoleh pada saat
proses belajar mengajar di kelas serta dari buku-buku referensi. Sedangkan bagi yang
memiliki prestasi cenderung rendah, kegiatan praktikum sangat dibutuhkan untuk
menambah pemahaman terhadap suatu konsep. Dalam penelitian Yunita dan
Poedjiadi, A (dalam Noviantika, 2005) diungkapkan :
Wawancara sekilas yang ditayangkan TVRI tanggal 30 Maret 2001, seorang siswa secara spontan mengatakan bahwa dalam belajar kimia diperlukan adanya praktikum karena dapat memudahkan pemahaman konsep. Dalam wawancara yang sama, Drs. Hiskia Ahmad, seorang pengamat pendidikan berpendapat bahwa kimia adalah eksperimen. Salah besar jika guru mengatakan tidak perlu melakukan eksperimen karena soal-soal UMPTN tidak relevan. Justru dengan praktikum kita ajarkan kemandirian, nalar yang tinggi serta siswa akan terlatih dengan interpretasi data. Selain itu, dengan melakukan praktikum berarti mengikuti prosedur yang akhirnya muncullah sikap disiplin.
Berdasarkan hal tersebut, sangatlah jelas bahwa metode praktikum sebagai
metode berbasis eksperimen dalam pembelajaran kimia merupakan satu dari banyak
metode yang dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan berpikir kritis
siswa. Walaupun pada pelaksanaanya masih terdapat kekurangan. Praktikum yang
dilakukan diharapkan bukan hanya merupakan kegiatan eksperimental laboratorium
saja, melainkan merupakan suatu metode pembelajaran yang tujuan utamanya
memantapkan atau melakukan penemuan konsep. Selain untuk membantu
pemahaman konsep, penggunaan metode praktikum yang efektif dapat menumbuhkan
sikap dan nilai positif dalam diri siswa.
23
2.4 Pemahaman Konsep
Gagne (dalam Dahar, 1996) mengemukakan bahwa dalam mengajar, guru
harus mengetahui tujuan-tujuan yang harus dicapai dalam mengajarkan suatu pokok
bahasan, yang berorientasi pada hasil belajar. Untuk itu guru harus merumuskan
tujuan instruksional khusus yang didasarkan pada Taksonomi Bloom tentang tujuan-
tujuan perilaku yang meliputi tiga domain, yaitu :
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan
berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan
aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian
diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,
berenang, dan mengoperasikan mesin.
Ranah kognitif merupakan sekelompok perubahan tingkah laku yang
dipengaruhi oleh kemampuan berpikir intelektual. Dalam taksonomi yang disusun
oleh Bloom dan Krathwol (1964) ranah kognitif dikelompokkan lagi menjadi
beberapa jenjang atau kemampuan sebagai berikut:
1. Hafalan (C1), didefinisikan sebagai kemampuan menyatakan kembali fakta,
konsep, prinsip, dan prosedur yang telah dipelajarinya.
24
2. Pemahaman (C2), didefinisikan sebagai kemampuan menangkap arti dari
informasi yang diterima.
3. Penerapan/aplikasi (C3), didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan
prinsip, aturan, metode yang telah dikuasainya pada situasi baru atau pada
situasi real.
4. Analisis (C4), didefinisikan sebagai kemampuan menguraikan suatu informasi
yang dihadapi menjadi komponen-komponennya sehingga struktur informasi
serta hubungan antarkomponen informasi tersebut menjadi jelas.
5. Sintesis (C5), didefinisikan sebagai kemampuan mengintegrasikan bagian-
bagian yang terpisah-pisah menjadi keseluruhan yang terpadu.
6. Evaluasi (C6), didefinisikan sebagai kemampuan mempertimbangkan nilai
suatu pernyataan, uraian, pekerjaan, berdasarkan kriteria tertentu yang
ditetapkan.
Sedangkan menurut Anderson dan Krathwohl (1991), tahap-tahap proses
kognitif terdiri atas mengingat, mengerti (paham), meerima, menganalisis,
mengevaluasi, dan menciptakan pengetahuan baru.
Pemahaman, baik menurut Taksonomi Bloom, maupun menurut Anderson
ditempatkan pada jenjang kognitif kedua setelah kemampuan mengingat (hafalan).
Pemahaman menurut Bloom meliputi tiga aspek, yaitu aspek translasi, aspek
interpretasi, dan aspek ekstrapolasi.
25
a. Aspek Translasi
Aspek translasi merupakan aspek pemahaman terendah. Translasi berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya menterjemahkan. Pengertian menerjemahkan
disini bukan saja pengalihan arti dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain.
Dapat juga dari konsepsi abstrak menjadi suatu model, yaitu model simbolik untuk
mempermudah orang mempelajarinya (Supriatin, 2006). Aspek pemahaman translasi
meliputi :
• Kemampuan menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang
lebih konkrit.
• Kemampuan untuk menterjemahkan suatu simbol ke dalam bentuk lain seperti
menterjemahkan tabel, grafik, dan sebagainya.
• Kemampuan menterjemahkan bahasa ke dalam bahasa lain.
b. Aspek Interpretasi
Aspek pemahaman kedua adalah interpretasi atau pemahaman penafsiran,
yakni menghubungkan beberapa bagian terdahulu dengan yang diketahui berikutnya,
atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik dengan kejadian, membedakan
yang pokok dan bukan pokok (Sudjana, 2005). Kemampuan ini lebih luas daripada
translasi. Aspek interpretasi meliputi :
• Kemampuan membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan
dengan yang tidak diperlukan atau bertentangan dari kelompok data.
• Kemampuan untuk memahami rangkaian suatu pekerjaan secara keseluruhan.
26
• Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan dengan kedalaman dan
kejelasan berbagai macam bacaan.
c. Aspek Ekstrapolasi
Aspek ekstrapolasi merupakan pemahaman tingkat tertinggi. Dengan
ekstrapolasi diharapkan seseorang dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau
dapat memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus ataupun masalahnya
(Sudjana, 2005). Aspek ekstrapolasi meliputi :
• Kemampuan untuk menyimpulkan dan menyatukan lebih eksplisit.
• Kemampuan untuk memprediksikan konsekuensi dari tindakan yang
digambarkan dari sebuah komunikasi.
• Kemampuan bisa sensitif terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi
menjadi tidak akurat.
Menurut Rosser (dalam Dahar, 1996), konsep adalah suatu abstraksi yang
mewakili satu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau
hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut yang sama. Secara singkat dapat kita
katakan, bahwa suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili satu
kelas simulus-stimulus.
Pemahaman konsep memberi pengertian bahwa konsep-konsep yang
diajarkan kepada siswa bukan merupakan bahan hapalan saja, akan tetapi harus betul-
betul dipahami sehingga siswa dapat memecahkan masalah-msalah yang dihadapi
berdasarkan pada konsep-konsep yang telah dipelajari oleh siswa tersebut.
27
2.5 Keterampilan Berpikir Kritis
Berpikir pada umumnya didefinisikan sebagai proses mental yang dapat
menghasilkan pengetahuan. Dalam proses tersebut terjadi penggabungan antara
persepsi dan unsur-unsur yang ada dalam pikiran, kegiatan manipulasi mental karena
adanya rangsangan dari luar membentuk suatu pemikiran, penalaran dan keputusan,
serta kegiatan memperluas aturan yang diketahui untuk memecahkan masalah.
Berpikir sebagai proses mengatasi masalah, persepsi memberikan andil dalam
menciptakan hasil yang diharapkan.
Kegiatan berpikir yang dilakukan dalam proses, digunakan keterampilan
berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks. Menurut Costa (Dalam Arifin,
2000), yang termasuk keterampilan berpikir dasar meliputi kualifikasi, klasifikasi,
hubungan variabel, transformasi dan hubungan sebab akibat. Sedangkan keterampilan
berpikir kompleks meliputi problem solving, pengambilan keputusan, berpikir kritis
dan berpikir kreatif.
Dalam pendidikan berpikir kritis didefinisikan sebagai pembentukan
kemampuan dalam aspek logika seperti kemampuan memberikan argumentasi,
logisme dan penalaran yang proporsional. Karakteristik berpikir kritis ditandai
dengan adanya berpikir evaluatif, reflektif, logis, dan sistematis. Berpikir kritis
menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisis argumen dan memunculkan
wawasan terhadap tiap-tiap makna dan interpretasi, untuk mengembangkan pola
penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias yang mendasari tiap-
28
tiap posisi, memberikan model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas, dan
meyakinkan.
Berpikir kritis sebagai salah satu proses berpikir tingkat tinggi dapat
digunakan dalam pembentukan sistem konseptual IPA bagi peserta didik. Berpikir
kritis menekankan aspek pemahaman, analisis, dan evaluasi. Dalam proses
pembelajaran pengembangan berpikir kritis lebih melibatkan peserta didik sebagai
pemikir daripada seorang yang belajar.
Menurut Ennis (dalam Mudianingsih, 2007) ada 12 indikator keterampilan
berpikir kritis yang dapat dikelompokkan ke dalam 5 kelompok keterampilan
berpikir, yaitu :
• Memberikan penjelasan sederhana, meliputi :
(1) Memfokuskan pertanyaan
(2) Menganalisis pertanyaan
(3) Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan
• Membangun keterampilan dasar, meliputi :
(4) Mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak
(5) Mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi
• Menyimpulkan, meliputi :
(6) Mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi
(7) Menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi
29
(8) Membuat dan menentukan nilai pertimbangan
• Memberikan penjelasan lanjut, meliputi :
(9) Mendefinisikan istilah dan definisi pertimbangan dalam tiga dimensi
(10) Mengidentifikasi asumsi
• Mengatur strategi dan taktik, meliputi :
(11) Menentukan tindakan
(12) Berinteraksi dengan orang lain
2.6 Tinjauan Materi Larutan Penyangga
2.6.1 Definisi Larutan Penyangga
Larutan penyangga adalah larutan yang dapat menahan nilai pH tertentu
dengan adanya penambahan sedikit asam, sedikit basa serta pengenceran. (Purba,
2006)
2.6.2 Komponen Larutan Penyangga
Purba (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan komponen penyusunnya,
larutan penyangga dapat dibedakan atas larutan penyangga asam dan larutan
penyangga basa. Larutan penyangga asam dapat mempertahankan pH pada daerah
asam (pH < 7), sedangkan larutan penyangga basa dapat mempertahankan pH pada
daerah basa (pH > 7).
a. Larutan penyangga asam
Larutan penyangga asam mengandung suatu asam lemah (HA) dan basa
konjugasinya (ion A-). Larutan seperti itu dapat dibuat dengan berbagai cara,
30
misalnya:
1) Mencampurkan asam lemah (HA) dengan garamnya (LA, garam LA
menghasilkan ion A- yang merupakan basa konjugasi dari asam HA).
2) Mencampurkan suatu asam lemah dengan suatu basa kuat di mana asam
lemah dicampurkan dalam jumlah berlebih. Campuran akan menghasilkan
garam yang mengandung basa konjugasi dari asam lemah yang bersangkutan.
b. Larutan penyangga basa
Larutan penyangga basa mengandung suatu basa lemah dan asam konjugasinya.
Larutan penyangga basa dapat dibuat dengan cara yang serupa dengan pembuatan
larutan penyangga asam.
1) Mencampurkan suatu basa lemah dengan garamnya.
2) Mencampurkan suatu basa lemah dengan suatu asam kuat di mana basa
lemahnya dicampurkan berlebih.
2.6.3 Cara kerja Larutan Penyangga
Telah disebutkan bahwa larutan penyangga mengandung komponen asam dan
komponen basa, sehingga dapat mengikat baik ion H+ maupun ion OH-. Oleh karena
itu, penambahan sedikit asam kuat atau sedikit basa kuat tidak mengubah pH-nya
secara signifikan. Cara kerja larutan penyangga dapat dipahami dari dua contoh
berikut.
a. Larutan Penyangga Asam
contoh :
31
Larutan penyangga yang mengandung CH3COOH dan CH3COO-
Dalam larutan tersebut terdapat kesetimbangan :
CH3COOH(aq) CH3COO-(aq) + H+(aq)
Pada penambahan asam:
Penambahan asam (H+) akan menggeser kesetimbangan ke kiri. Ion H+ yang
ditambahkan akan bereaksi dengan ion CH3COO- membentuk molekul CH3COOH.
CH3COO- (aq) + H+(aq) CH3COOH(aq)
Pada penambahan basa :
Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka ion OH- dari basa itu akan bereaksi
dengan ion H+ membentuk air. Hal ini akan menyebabkan kesetimbangan bergeser ke
kanan sehingga konsentrasi ion H+ dapat dipertahankan. Jadi, penambahan basa
menyebabkan berkurangnya komponen asam (dalam hal ini CH3COOH), bukannya
ion H+. Basa yang ditambahkan itu praktis bereaksi dengan asam CH3COOH
membentuk ion CH3COO- dan air.
CH3COOH(aq) + OH-(aq) CH3COO- (aq) + H2O(l)
Pada pengenceran:
Jika ditambahkan air dalam jumlah tertentu, jumlah ion H+ atau OH- tidak berubah
sehingga tidak mengubah perbandingan [H+] dan [OH-] dalam larutan. Jadi tidak
terjadi perubahan pH yang besar.
b. Larutan Penyangga Basa
contoh :
Larutan penyangga yang me
Dalam larutan tersebut terdapat kesetimbangan :
NH
Pada penambahan asam
Jika ke dalam larutan ditambahkan suatu asam, maka ion H
mengikat ion OH-. Hal itu menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan, sehingga
konsentrasi ion OH-
berkurangnya komponen basa (dalam hal ini NH
ditambahkan itu bereaksi dengan basa NH
Pada penambahan basa :
Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri,
sehingga konsentrasi ion OH
b. Larutan Penyangga Basa
Larutan penyangga yang mengandung NH3 dan NH4+
Dalam larutan tersebut terdapat kesetimbangan :
NH3(aq) + H2O (l) NH4 +(aq) + OH- (aq
Pada penambahan asam :
Jika ke dalam larutan ditambahkan suatu asam, maka ion H+
. Hal itu menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan, sehingga
- dapat dipertahankan. Jadi, penambahan asam menyebabkan
berkurangnya komponen basa (dalam hal ini NH3), bukannya ion OH
ditambahkan itu bereaksi dengan basa NH3 membentuk ion NH4+.
NH3(aq) + H+ (aq) NH4 +(aq
Pada penambahan basa :
Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri,
sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Basa yang ditambahkan itu
32
aq)
dari asam itu akan
. Hal itu menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan, sehingga
dapat dipertahankan. Jadi, penambahan asam menyebabkan
), bukannya ion OH-. Asam yang
aq)
Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri,
dapat dipertahankan. Basa yang ditambahkan itu
33
bereaksi dengan komponen asam (dalam hal ini ion NH4+), membentuk komponen
basa (yaitu NH3) dan air.
NH4 +(aq) + OH- (aq) NH3(aq) + H2O (l)
Pada pengenceran:
Jika ditambahkan air dalam jumlah tertentu, jumlah ion H+ atau OH- tidak berubah
sehingga tidak mengubah perbandingan [H+] dan [OH-] dalam larutan. Jadi tidak
terjadi perubahan pH yang besar. (Purba, 2006)
2.7.4 Fungsi Larutan Penyangga
Larutan penyangga digunakan secara luas dalam kimia analitis, biokimia,
bakteriologi, farmakologi, industri kulit dan zat warna. Dalam tiap bidang tersebut,
terutama dalam biokimia dan bakteriologi, diperlukan trayek / rentang pH tertentu
yang sempit untuk mencapai hasil optimum. Kerja suatu enzim, tumbuhnya kultur
bakteri, dan proses biokimia lainnya sangat sensitif terhadap perubahan pH.
a. Fungsi larutan penyangga dalam tubuh manusia
Di dalam setiap cairan tubuh terdapat pasangan asam-basa konjugasi yang
berfungsi sebagai larutan penyangga. Cairan tubuh, baik sebagai cairan intra
34
sel (dalam sel) dan cairan ekstra sel (luar sel) memerlukan sistem penyangga
untuk mempertahankan harga pH cairan tersebut. Sistem penyangga ekstra sel
yang penting adalah penyangga karbonat (H2CO3 – HCO3-) yang berperan
dalam menjaga pH darah dan sistem penyangga fosfat (H2PO4- - HPO4
2-) yang
berperan dalam menjaga pH cairan intra sel.
1) sistem larutan penyangga dalam cairan intra sel
Cairan intra sel merupakan media penting untuk berlangsungnya
reaksi metabolisme tubuh yang dapat menghasilkan zat-zat yang bersifat asam
atau basa. Adanya zat hasil metabolisme yang berupa asam dapat menurunkan
harga pH cairan intra sel, dan sebaliknya bila dihasilkan zat yang bersifat basa
dapat menaikkan pH cairan intra sel. Di dalam proses metabolisme tersebut
dilibatkan banyak enzim yang bekerja. Enzim akan bekerja dengan baik pada
lingkungan pH tertentu. Oleh karena itu, pH cairan intra sel selalu dijaga agar
pH nya tetap. Apabila ada satu enzim saja yang bekerja tidak sempurna, maka
akan menimbulkan penyakit metabolik.
Sistem penyangga fosfat (H2PO4- - HPO4
2-) merupakan sistem
penyangga yang bekerja untuk menjaga pH cairan intra sel. Bila dari proses
metabolisme dihasilkan banyak zat yang bersifat asam, maka asam tersebut
akan bereaksi dengan ion HPO42-.
HPO42- (aq) + H+ (aq) H2PO4
- (aq)
Bila pada proses metabolisme sel menghasilkan senyawa yang bersifat basa,
35
maka ion OH- akan bereaksi dengan ion H2PO4-.
H2PO4- (aq) + OH- (aq) HPO4
2- (aq) + H2O (l)
Dengan demikian perbandingan H2PO4- dan HPO4
2- akan selalu tetap dan ini
akan menyebabkan pH larutan tetap.
2) sistem larutan penyangga dalam darah
Darah mempunyai pH yang relatif tetap sekitar 7,4. Hal ini
dikarenakan adanya sistem penyangga (H2CO3 – HCO3-). Sistem ini bereaksi
dengan asam dan basa sebagai berikut:
H2CO3 (aq) + OH- (aq) HCO3- (aq) + H2O (l)
HCO3- (aq) + H+ (aq) H2CO3 (aq)
Perbandingan konsentrasi ion HCO3- terhadap H2CO3 yang diperlukan
untuk menjadikan pH = 7,4 adalah 20:1. Jumlah ion HCO3- relatif lebih
banyak karena hasil-hasil metabolisme yang diterima darah lebih banyak yang
bersifat asam. Proses metabolisme dalam jaringan terus menerus
membebaskan asam-asam seperti asam laktat, asam fosfat, dan asam sulfat.
Ketika asam-asam itu memasuki pembuluh darah, maka ion HCO3- akan
berubah menjadi ion H2CO3, kemudian H2CO3 akan terurai membentuk CO2.
Pernapasan akan meningkat untuk mengeluarkan kelebihan CO2 melalui paru-
paru. Apabila darah menerima zat yang bersifat basa, maka H2CO3 akan
berubah menjadi ion HCO3-. Untuk mempertahankan perbandingan HCO3
- /
H2CO3 tetap 20:1, maka sebagian CO2 yang terdapat dalam paru-paru akan
36
larut ke dalam darah membentuk H2CO3.
Apabila mekanisme pengaturan pH dalam tubuh gagal, seperti dapat
terjadi selama sakit, sehingga pH darah turun ke bawah 7,0 atau naik ke atas
7,8 dapat terjadi kerusakan permanen pada organ tubuh atau bahkan
kematian. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan keadaan asidosis
(penurunan pH) adalah penyakit jantung, penyakit ginjal, diabetes melitus,
diare yang terus menerus, atau makanan berkadar protein tinggi selama jangka
waktu lama. Keadaan asidosis sementara dapat terjadi karena olah raga
intensif yang dilakukan terlalu lama. Alkalosis (peningkatan pH darah) dapat
terjadi sebagai akibat muntah yang hebat, hiperventilasi (bernafas terlalu
berlebihan, kadang-kadang karena cemas, histeris, atau berada di ketinggian).
Suatu penelitian yang dilakukan terhadap para pendaki gunung yang mencapai
puncak gunung Everest (8.848 m) tanpa oksigen tambahan, menunjukkan pH
darah mereka berada diantara 7,7 – 7,8. Hiperventilasi diperlukan untuk
mengatasi tekanan oksigen yang amat rendah (kira-kira 43 mmHg) di tempat
setinggi itu. Hiperventilasi akan menurunkan kadar karbondioksida dalam
darah sehingga pH darah naik (alkalosis respiratori). Pada orang yang muntah
hebat, kadar ion klorida dalam darah akan turun, sehingga ginjal akan
menahan keluarnya ion bikarbonat untuk kompensasi, sebagai akibatnya, pH
darah naik (alkalosis metabolic / hipokloremik).
a. Fungsi larutan penyangga dalam bidang kesehatan
Dalam bidang farmasi (obat-obatan), banyak zat aktif yang harus berada
37
dalam keadaan pH stabil. Perubahan pH akan menyebabkan khasiat zat aktif
tersebut berkurang atau hilang sama sekali.
Untuk obat suntik atau obat tetes mata, pH obat-obatan tersebut harus
disesuaikan dengan pH cairan tubuh. Obat tetes mata harus memiliki pH yang
sesuai dengan pH air mata agar tidak menimbulkan iritasi yang mengakibatkan
rasa perih pada mata. Begitu juga obat suntik harus disesuaikan dengan pH darah,
agar tidak menimbulkan alkalosis atau asidosis pada darah.
b. Fungsi larutan penyangga dalam bidang industri
Dalam bidang industri, larutan penyangga digunakan dalam proses
fermentasi, karena dalam proses fermentasi terjadi reaksi yang melibatkan enzim.
Di dalam minuman kemasan, terdapat sistem penyangga asam sitrat-natrium
sitrat. Komponen asam sitrat–natrium sitrat ini berfungsi sebagai pengatur
keasaman sehingga minuman bisa tetap aman dikonsumsi meski telah disimpan
dalam jangka waktu tertentu. (Purba, 2006)