Download - Resume Sistem Politik Indonesia
SISTEM POLITIK INDONESIA
ERA REFORMASI
RESUME
BUKU SISTEM POLITIK INDONESIA ERA REFORMASI
Oleh Prof. Dr. Budi Winarno, MA
Diajukan Sebagai Tugas Terstruktur
Pada Mata Kuliah Sistem Politik Indonesia
Dosen Drs. Hambali, M.S.i
Disusun oleh :
LALAN RAYATULLAH
NPM : 0943102010028
PROGRAM STUDI S.1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
MAULANA YUSUF BANTEN
2012
BAB I
SISTEM POLITIK
“SUATU KERANGKA ANALISIS”
Pada awal tahun 1950-an, David Easton mengembangkan suatu kerangka
kerja yang diharapkan dapat diterima dan diterapkan secara universal.
Menurutnya, penjelasan yang paling baik mengenai khidupan politik adalah
dengan melihatnya sebagai sebuah sistem.
Kerangka Kerja Sistem Politik
David Easton mengemukakan, bahwa kehidupan politik seyogianya dilihat
sebagai sebuah sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan.
Sedangkan menurut Almond dan Powell semua interaksi yang mempengaruhi
semua penggunaan paksaan fisik yang sah. Dalam hal ini, sistem politik tidak
hanya sistem yang membuat peraturan dan melaksanakannnya, tetapi aturan itu
dan pelaksanaannya didukung oleh paksaan.
Ciri-ciri Sistem Politik
Beberapa ciri yang dikemukakan oleh David Easton, sebagai berikut :
1. Indentifikasi, yaitu langkah paling awal yang perlu dilakukan adalah
bagaimana melakukan identifikasi terhadap sistem politik sehingga dapat
dibedakan dengan sistem lainnya.
2. Input dan Output, yaitu proses yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi antara sistem politik dan lingkungannya. Dalam sistem
politik, input dapat dibedakan menjadi dua,yakni tuntutan dan dukungan
(demand and supports). Biasanya input sistem politik berasal dari
masyarakat yang menjadi bagian bagian sistem politik tersebut, elit politik
maupun lingkungan internasional.
Pendekatan sistem yang dikembangkan oleh Easton dapat dilihat dalam
diagram sebuah sistem politik dibawah ini :
DEMANDS
DECISIONS
SUPPORT or POLICY
Struktur dan Budaya Politik
Selanjutnya, sistem politik memerlukan badan-badan atau struktur yang
akan bekerja dalam sistem politik seperti palemen, birokrasi, badan peradilan, dan
parrtai politik yang melaksanakan kegiatan atau fungsi-fungsi tertentu. Dalam
suatu sistem politik, biasanya, terdapat tiga fungsi yang hampir selalu ada. Ketiga
fungsi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pertama, fungsi sosial politik.
2. Kedua, rekrutmen politik
3. Ketiga, komunikasi politik
Menurut Sidney Verba, budaya politik tidak merujuk pada interaksi
struktur politik baik formal maupun informal seperti pemerintahan, partai-partai
politik, kelompok-kelompok kepentingan atau klik-klik politik. Disisi lain, budaya
politik merupakan bagian yang integral dari budaya yang lebih umum, merupakan
seperangkat keyakinan yang dipegang oleh individu dan karenanya juga
merupakan bagian dari keseluruhan keyakinan yang ia pegang. Hal senada juga
dikemukakan oleh Gabriel Almond dan Bingham Powell Jr. mereka
mendefinisikan budaya politik sebagai “the set of attitudes, beliefs, and feeling
ENVIRONMEN
ENVIRONMEN
INPUTS
OUTPUTS
A POLITICAL
SYSTEM
abouts politics currents in a nation at given time”. Perbedaan-perbedaan ini
sangat dipengaruhi oleh sejarah kebangsaan dan proses yang terus berlangsung
dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan juga politik.
Setiap budaya politik mendapatkan sifat uniknya sebagian dari fakta
bahwa budaya itu menekankan satu atau beberapa segi perilaku khusus, dan
penekanan strategis yang membedakan dari budaya-budaya yang lain dalam hal
tuntunan yang diajukannya.
Perkembangan budaya politik suatu masyarakat akan sangat ditentukan
oleh beberapa factor, diantaranya adalah modernisasi. Seperti yang dikemukakan
oleh Almond dan Powell. Jr, “There is a persuasive evidence demonstrating that
wherever modern institutions and influences, such as industry, education, and the
mass media of communication have spread in the world, they have tended to
create modern, secular-rational attitudes”.
Sementara menurut Samuel Huntington, modernisasi proses bersegi
banyak yang melibatkan perubahan disemua kerangka pemikiran dan aktifitas
manusia. Kaitannya dengan sistem politik, sikap modernisasi dan sekulerisasi ini
berpengaruh terhadap tiga level sistem politik, yakni sebagai berikut :
1. Pada tingkat kebijakan
2. Pada tingkat proses dan
3. Pada tingkat sistem
BAB II
KRISIS DAN KERETAKAN OTORITRIANISME ORDE BARU
Legitimasi pemerintahan pada masa Orde Baru sudah rapuh, sebagai
kegagalan ekonomi dan persepsi politik yang terus-menerus. Krisis moneter pada
pertengahan tahun 1997 dan memicu terpuruknya ekonomi Indonesia menjadi
penyulutan jatuhnya rezim Orde Baru. Terdapat banyak pandangan yang
mengemukakan bahwa reformasi politik pada dasarnya hanya berhasil menggusur
penguasa Orde Baru, dalam hal ini Soeharto. Namun reformasi gagal
mendesakkan agenda reformasi menyeluruh terhadap sistem ekonomi dan politik.
Sistem Otoritarianisme Orde Baru
Pada tingkat sistem, otoritarianisme politik yang dikontestasikan Orde
Baru telah membuat sistem politik tidak lagi responsif terhadap tuntutan dan
kebutuhan masyrakat. Pembangunan ekonomi yang semestinya ditujukan untuk
mendorong kemakmuran rakyat, dalam kenyataannya hanya dinikmati oleh
segelintir orang elit politik dan ekonomi terutama dalam lingkaran keluarga
Cendana.
Kemandulan Struktur politik dalam melaksanakan fungsi-fungsi yang
diembannya juga dapat dilihat dari ketidakmampuan lembaga legislatif dalam
melakukan checks and balances terhadap lembaga eksekutif. Proses ‘screening’
yang dilakukan pada masa pemilihan umum guna memillih wakil-wakil rakyat
yang duduk di lembaga legislatif (DPR) berdasarkan sistem proporsional
membuat lembaga ini ‘mandul’ secara politik.
Penopang Kekuasaan Orde Baru
Rezim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto telah mampu
mempertahankan kekuasannya selama lebih dari tiga dekade. Betapa kuatnya
sistem Orde Baru tersebut, Soeharto telah selamat dari gerakkan massa tahun
1974 yang dikenal sebagai Malari. Demikian pula ia dapat menyingkirkan lawan
politiknya tanpa ampun, hanya pada akhir 1990-an lah akhirnya benar-benar tidak
mampu menyelamatkan diri dari gerakkan massa yang menuntutnya mundur
karena tidak mampu menyelesaikan persoalan ekonomi, yang menurut beberapa
pengamat menjadi peristiwa terburuk sepanjang sejarah ekonomi Indonesia.
Secara umum sekurang-kurangnya terdapat empat sumber utama yang
menjadi penopang kekuasaan Orde Baru, yaitu :
1. Refresi politik dengan melakukan konsolidasi politik pada awal 1970-an,
dengan menempatkan organisasi militer hingga ke desa-desa (BABINSA,
BAKIN, BAIS).
2. Klientelisme ekonomi, yakni dilakukan seiring melimpahnya sumber
ekonomi yang berasal dari hasil ekspor minyak dan hasil alam lainnya.
3. Wacana partikularistik, yaitu untuk membangun legitimasinya dengan
mensosialisasikan beberapa wacana baru seperti stabilitas politik, integrasi
nasional, kegagalan demokrasi liberal dan lain sebagainya.
4. Korporatisme negara, hal ini dilakukan terhadap organisasi masyarakat yang
diarahkan sebagai sumber mobilisasi massa.
Peran dan Posisi Militer
Sistem otoriter Orde Baru tidak dapat dilepaskan dari peran militer dalam
menopang kekuasaannya melalui paradigm dwifungsi ABRI, konsep dwifungsi
ABRI awalnya dilontarkan oleh A.H. Nasution pada peringatan ulang tahun
Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 Nopember 1958 di Magelang,
kemudian apda rapat pimpinan Polri di Porong tahun 1960. Dwifungsi merupakan
istilah yang digunakan untuk menyebut dua peran yang dikerjakan oleh militer,
yakni fungsi tempur dan fungsi pembinaan wilayah atau masyarakat.
Dengan dwifungsi ABRI ini setidaknya ada tiga peran penting yang
mereka mainkan, terutama dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk menopang
kekuasaan Soeharto, yaitu sebagai berikut :
1. Militer menempati jabatan-jabatan politis, seperti menteri, gubernur, bupati,
anggota Golkar, dan duduk mewakili dirinya di DPR.
2. Militer menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil seperti dalam kasus
pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan
pengumpulan para Profesor dari seluruh Indonesia di Bogor untuk memberi
informasi bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD).
3. Militer melakukan tindakan-tindakan refresif terhadap rakyat.
Krisis dan Keretakan Sistem
Krisis moneter yang telah berlangsung pada tahun 1997, awalnya melanda
Tahiland. Krisis tersebut segera menyebar ke negara-negara lain, seperti Korea
Selatan, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Implikasi krisis ekonomi dan moneter
serta kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut
membuat legitimasi pemerintahan Soeharto hancur berantakan. Selama ini
legitimasi utama pemerintahan Orde Baru adalah pada pembangunan ekonomi,
diluar itu rezim ini tidak mempunyai basis legitimasi apapun.
Ringkasnya, tidak dapat disangkal lagi bahwa krisis moneter yang
berujung pada krisis multidimensi telah membuat kondisi kemiskinan menjadi
semakin buruk. Pembangunan yang muncul sebagai akibat pembangunan yang
berorientasi pertumbuhan yang dilaksanakan sejak tahun 1960-an telah semakin
merajalela dan bertambah parah seiring ketersediaan lapangan kerja, pendidikan
untuk kaum miskin, akses layanan kesehatan, gizi balita, dan jaminan lingkungan
yang semakin buruk. Dengan demikian rezim Orde Baru selama lebih dari tiga
dasawarsa dapat disimpulkan telah gagal total dalam meraih tujuan masyarakat
adil dan makmur seperti yang senantiasa didengungkan oleh penguasa Orde Baru,
ikatan-ikatan social juga dihancurkan sebagai akibat politik pemecah belahan
yang dilakukan orde baru.
BAB III
REFORMASI POLITIK
Secara harfiah Reformasi berasal dari bahasa Latin (re) kembali dan
formare yang berarti membentuk. Dalam hal ini reformasi didefinisikan sebagai
“usaha untuk membentuk kembali”.
Penggunaan istilah reformasi popular mada masa Martin Luther, Ia
menyerukan pentingnya segera dilakukan rekonstruksi dalam kehidupan dan
ajaran kristianani. Sebagaimana diketahui gereja telah memegang peran penting
pada masa-masa sebelumnya dalam menentukan alur politik kerajaan.
Permasalahan yang banyak dihadapi oleh para reformis jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan yang dihadapi oleh para revolusionaris.
Huntington mencatat dalam melakukan pembaruan politik para reformis akan
menghadapi setidaknya tiga hal :
1. Perjuangan kelompok reformis merupakan perjuangan sisi ganda, yaitu
menghadapi kelompok-kelompok konservatif dan revolusioner
2. Para agen pembaharu, artinya tidak hanya harus lebih ahli dalam
menggerakkan dan mendayagunakan kekuatan-kekuatan sosial politik
dibandingkan dengan kaum revolusioner.
3. Masalah prioritas dan alternatif antara berbagai perbedaan tipe-tipe reformasi
yang jauh lebiih akut bagi agen pembaharu dibandingkan dengan kaum
revolusioner.
Suatu reformasi yang berhasil akan sangat ditentukan oleh ketersediaan
strategi yang dapat digunakan secara umum, Huntington menawarkan dua strategi
yang secara teoritis dapat dilakukan agar sebuah reformasi berhasil :
1. Membuka peluang untuk memperkenalkan semua saran pada tahap awal dan
mendesak agar dapat menghasilkan manfaat, secepat dan sebanyak mungkin.
2. Strategi alternatif dapat ditempuh dengan menyembunyikan tujuan, memilah-
milah perubahan satu dengan yang lain serta mendesak untuk melakukan satu
indeks perubahan dalam setiap termin.
Dalam konteks Indonesia, makna korektif reformasi sangat relevan karena
keburukan-keburukan tatanan sosial poltik masa lampau, oleh karena itu sebuah
reformasi perlu dilakukan agar tatanan lama yang buruk tersebut dapat digantikan
dengan suatu tatanan sosial politik baru, yang tentunya diharpkan lebih baik.
Konteks Reformasi Politik di Indonesia
Dalam pandangan beberapa pengamat, reformasi perlu dan harus
dilakukan karena kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh Soeharto. Seperti
yang dikeumakan oleh Riswandha Irawan, misalnya terdapat enam alasan
mengapa reformasi perlu dilakukan :
1. Orde Baru telah membangun sistem politik monopolitik, yang sebenarnya
bertentangan dengan heterogenitas bangsa Indonesia.
2. Pembatasan jumlah partai politik yang bertolak belakang dengan modernisasi
ekonomi, yang menjadi pilar utama legitimasi pemerintahan Orde Baru.
3. Politisasi birokrasi yang menguatkan sifat alamiah birokrasi otoriter.
4. Membangun klientelisme okonomi melalui praktik kolusi antara birokrasi
pemerintah dengan swasta sehingga dua kekuatan utama dinamika
masyarakat (ekonomi dan politik) dikontrol oleh kelompok kecil yang dekat
dengan kekuasaan.
5. Melakukan represi ideologis serta penggunaan wacana otoriter secara eksesif
sehingga memunculkan ketakutan politik.
6. Memanipulasi simbol-simbol kultural sehingga rakyat memandang penguasa
sebagai mahluk yang arif, tanpa cacat dan karenanya tidak perlu dikontrol.
Selain keenam hal diatas, reformasi menyeluruh di Indonesia juga
dilatarbelakangi oleh berkembangnya kolusi, korupsi dan nepotisme atau KKN
yang begitu populer pada masa awal reformasi.
Berbagai Bidang Reformasi Politik di Indonesia
Beberapa prestasi besar yang dicapai oleh gerakan reformasi Indonesia,
terutama dibidang politik dan ketatanegaraan. Diantaranya dengan keberhasilan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen UUD 1945 yang
selama Orde Baru disakralkan.
Beberapa diantara repormasi politik yang telah dilakukan diantaranya :
1. Penyelenggaraan pemilihan umum sebagai wujud partisipasi rakyat
2. Reformasi struktur dan fungsi-fungsi politik
3. Reformasi sistem kepartaian
4. Reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
Berbagai Persoalan
Reformasi yang telah bergulur sejak pertengahan tahun 1998 telah banyak
memberikan hasil, namun banyak menyisakan kekuarangan. Jika mendasarkan
pada syarat-syarat keberhasilan suatu reformasi di Indonesia yang dikemukakan
oleh Huntington dapat dilihat sebagai berikut :
1. Tidak adanya talenta politik yang mendukungnya
2. Ketiadaan strategi yang digunaka untuk melakukan reformasi
BAB IV
BUDAYA POLITIK
Budaya Politik Era Reformasi
Budaya politik sangat dipengaruhi oleh struktur politik, sedangkan daya
operasional sangat ditentukan oleh konteks kultural dimana stuktur itu berada.
Adapun budaya politik di Indonesia merupakan kombinasi antara parochial-
subject culture, subject participant culture, parochial-participant culture, dan
sering disebut sebagai civic culture. dalam hal ini budaya politik Indonesia
bergerak diantara subject-participant culture, dan parochial-participant culture.
subject participant culture ditandai oleh menguatnya partisipasi politik
masyarakat dalam kehidupan politik terhadap input-input politik, sementara
diwaktu yang sama berkembang ketidakmapanan masyarakat untuk mengubah
kebijakan. Namun tampak bahwa reformasi tidak membawa perubahan yang
signifikan terhadap budaya politik, budaya politik Indonesia masih tetap diwarnai
oleh paternalisme, parokhialisme, yang memiliki orientasi yang kuat terhadap
kekuasaan dan patrimonialisme yang masih berkembang dengan sangat kuat.
Oleh karena itu reformasi ataupun revolusi dibanyak negara dunian ketiga,
menurut Sutando Wignjosoebroto, acap kali gagal mengubah konfigurasi-
konfigurasi sistem politik yang sudah ada sejak lama. Inilah sebenarnya yang
terjadi di Indonesia dewasa ini, reformasi kurang memberikan perubahan terhadap
konfigurasi secara bermakna terhadap sistem politik meskipun amandemen
konstitusi telah membuka jalan terhadap demokratisasi politik.
Reformasi yang telah berlangsung hanya hanya menggantikan personil
yang masuk ke panggung kekuasaan, walaupun tatanan dan scenario panggung
menurut rancangannya sudah tepat tetapi dalam praktiknya hanya ditafsirkan
sebatas imanjinasi kultural-simbolis para pemainnya yang ada umumnya baru dan
terdistorsi kearah lainnya. Inilah yang membuat jalannya demokratisasi di
Indonesia sangat lamban.
BAB V
STRUKTUR DAN FUNGSI-FUNGSI POLITIK
Unit dasar struktur politik adalah peranan individu. Peranan merupakan
pola-pola perilaku yang teratur, yang ditentukan oleh harapan-harapan nya sendiri
dan tindakan-tindakan dan oranglain. Struktur senantiyasa melibatkan fungsi-
fungsi politik,dan karenanya pendekatan yang digunakan biasa disebut sebagai
pendekatan struktural fungsional. Menurut Almond dan powell Jr, keuntungan
pndekatan struktural fungsional adalah memberikan kesempatan kepada kita guna
menghindari kebingungan yang mungkin timbul antara tujuan-tujuan struktur
yang bersifat formal ddengan fungsi-fungsi politik yang secara aktualmereka
jalankan. Menurutnya pula struktur politik dapat dibedakan kedalam sistem,
proses dan aspek-aspek kebijakan. Struktur sistem merujuk pada organisasi dan
intansi yang memelihara atau mengubah (maintain or change) struktur politik dan
secara kusus struktur menampilkan fungsi-fungsi sosialisasi politik, rekruitmen
politik dan komunikasi politik.
Fungsi sosialisasi politik merupakan fungsi dimana generasi muda dan
anak anak mendapatkan sosialisasi kehidupan politik dari berbagai institusi seperti
keluarga, temapat-tempat ibadah lingkungan kerja, sekolah dsb. Rekruitmen
politik melibatkan proses dimana pemimpin-pemimpin politik direkrut melalui
partai-partai politik. Komunikasi politik menjadi penyambunng bagi keseluruhan
sistem agas bisa berkerja sebagaiman mestinya. Tanpa adanya komunikasi politik
enerji yang ada dalam elemen-elemen sistem politik tidak dapat mengalir,
akibatnya sistem politik mengalami kemacetan.struktus proses politik melibatkan
bagaimana fungsi-fungsi artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan,pembuatan
kebijakan dan implementasi kebijakan dilaksanakan olih struktur politik. Struktur
proses melibatkan kelompok-kelompok kepentingan ,partai politik , media masa,
eksekutif dan lain sebagainya, dimana masing-masing struktur mempunyai peran
strukturnya masing masing.
Almond dan Colemen membedakan struktur politik atas infrastruktur yang
terdiri dari struktur politik masyarakat, suasana kehidupan politik masyarakat dan
sektor politik masyarakat dan supra struktur terdiri dari sektor pemerintahan,
suasana pemerintahan dan sektor politik pemerintahan. Dalam kehidupan politik
demokratis, struktur politik ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat
formal informal. Struktur formal merupakan mesin politik yang dengan absah
mengedentifikasi segala masalah, menentukan dan melaksanakan segala
keputussan yang mempunyai kekuatan mengikat pada seluruh masyarakat,
sedangkan struktur informal merupakan struktur yang mampu mempengarui cara
kerja aparat masyarakat untuk mengemukakan, menyalurkan menterjemahkan
mengkonversikan tuntutan dukungan dan masalah tertentua yang berhubungan
dengan ketentuan ummum. Struktur informal ini didalamnya ada, partai politik,
kelomok-kelompok kepentingan, media massa, opinion leader dan lain
sebagainya.
Struktur politik formal, dalam sistem politik struktur dibedakan atas
kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, menurut ajaran trias politika. Dalam
perkembanganya negara-negara demokrasi modern cenderung mengunakan
pembagian kekuasaan daripada menggunakan azas pemisahan kekuasaan murni
sebagai mana diajarkan oleh John Locke dan Montesqiu. Menurut John Locke
kekuasaan negara dibagi menjadi tiga yakni kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif, dan kekuasaan federatif. Montesqiu menyempurnakan ajaran trias
politica dengan membagi kekuasaan pemerintahan menjadi kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Montesqiu mengemukakkan bahwa kemerdekaan hanya
dapat dijamin jika masing masing kekuasaa ini tidak dipegang satu orang atau
dalam satu badan penguasa.
Undang undang dasar1945 yang menjadi dasar konstitusi negara tidak
menyebutkan secara eksplisit bahwa kekuasan negara disusun atas dasar ajaran
trias politica, namun bila dilihat secara seksama maka ajaran trias politica
digunakan untuk membagi kekuasan di indonedia. Disin kekuasan negara dibagi
dengan seimbang dan adanya cheks and balances. Chek and balences diantara
penyelenggara negara ini dimanifestasikan kedalam wujud :
1. Pembuatan undang-undang yang memerlukan persetujuan DPR, DPD dan
presiden yang masing-masing mempunyai kewenangan veto.
2. Pengawasan dan impeachment oleh lembaga-lembaga legislatif terhadap
presiden.
3. Judicial review oleh mahkamah konstitusi terhadap undang-undang dan
produk dibawahnya.
4. Daerah otonom yang dapatmengajukan gugatan terhadap keputusan pusat.
5. Pengangkatan menteri yang memerlukan pertimbangan DPR.
BAB VI
PROSES POLITIK DAN KAPABILITAS SISTEM POLITIK
Proses politik di Indonesia setelah mengalami reformasi sejak 1998, pada
masa Orde Baru sistem politik yang berkembang adalah sistem politik otoriter
dimana birokrasi dan militer mempunyai peran penting dalam mengambil
kebijakan dan keputusan politik.
Dalam konteks reformasi, sistem politik yang digulirkan mengalami
perubahan tetapi tidak pada budaya politiknya sehingga nilai-nilai demokrasi tidak
berakar denagn baik karena adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi
struktur dan fungsi-fungsi politiknya, tidak pada semangat budaya yang
melingkupi pembentukan sistem politik tersebut. Padahal konstitusi bukanlah
sekedar preskripsi-preskripsi, apalagi hanya dokumen melainkan suatu komitmen,
keberpihakan, dan makna-makna yang hidup dalam dan sepanjang perjalanan
sejarah.
Tipe-tipe Fungsi Politik
Dalam artikel “A Developmental Approach to Political System” yang
dipublikasikan pertama kali pada tahu 1965 dalam jurnal World Politics, Almond
membedakan tipe-tipe fungsi politik kedalam tiga tipe :
1. Secara aktual kita perlu untuk berpikir sistem berfungsi pada tingkat-tingkat
berbeda.
2. Fungsi internal dalam sistem
3. Pemeliharaan sistem dan fungsi-fungsi adaftasi.
Sistem politik sebagai kerangka analisis dan senantiasa melibatkan proses
input dan output, oleh karena itu semua interaksi inputs sebagaiman outputs yang
mempengaruhi penggunaan ancaman fisik yang bersifat memaksa serta tidak
hanya melibatkan struktur yang didasarkan pada pada hukum seperti parlemen,
eksekutif, birokrasi, lembaga peradilan, atau hanya berhubungan dengan asosiasi-
asosiasi yang secara formal sebagai unit terorganisasi seperti partai politik,
kelompok-kelompok kepentingan, dan media komunikasi.
Fungsi-fungsi Konversi
Menurut Almond fungsi-fungsi konversi terdapat enam kelompok, yaitu :
1. Fungsi-fungsi artikulasi kepentingan atau tuntutan-tuntutan
2. Agregasi atau kombinasi artikulasi dan agregasi menjadi pengajuan atau
proposal kebijakan
3. Konversi proposal menjadi sebuah keputusan
4. Aplikasi putusan-putusan umum kedalam kasus-kasus spesifik
5. Adjudication of rules dalam kasus-kasus individu
6. Penyebarluasan informasi tentang peristiwa-peristiwa dalam sistem politik dari
struktur dan lingkungan social serta lingkungan internasional.
Kapabilitas Sistem Politik
Menurut Almond, terdapat lima kategori kapabilitas sistem politik yang
didasarkan pada klasifikasi mengenai inputs dan outputs sistem politik.
Kapabilitas tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kapabilitas ekstraktif
2. Kapabilitas regulatif
3. Kapabilitas distributif
4. Kapabilitas simbolik dan
5. Kapabilitas simbolik
Dengan menggunakan konsep kapabilitas sistem politik, kita dapat
menggambarkan bagaimana sistem politik bekerja pada masa reformasi dan
membandingkannya dengan kinerja sistem politik Orde Baru. Dapat dianalisis
sistem politik baik pada masa Orde Baru maupun reformasi tidak banyak
mengalami perubahan, sistem politik di periode keduanya sama-sama kurang
mempunyai kapabilitas sistem politik yang seharusnya mereka miliki. Jika pun
terdapat perbedaan diantara keduanya barangkali adalah pada sistem politik Orde
Baru, inputs sistem politik hanya berasal dari birokrasi, militer, dan sekelompok
kecil teknokrat, sedangkan pada masa reformasi inputs sistem politik berasal dari
banyak kelompok masyarakat. Namun secara keseluruhan fungsi-fungsi konversi
sistem politik dalam kondisi yang sangat buruk.
BAB VII
BATAS-BATAS SISTEM POLITIK
“LINGKUNGAN DOMESTIK DAN INTERNASIONAL”
Suatu sistem politik melakukan interaksi dengan sistem politik lain tidak
hanya dalam lingkungan domestic juga dalam lingkungan internasional, maka
keberadaannya juga mempunyai dampak terhadap bagaimana negara-negar lain
merespon kebijakan tersebut. Dalam situasi seperti ini tidak ada satu sistem politik
yang tidak bersinggungan dengan lingkungan-lingkungannya, tempat dimana
sistem politik tersebut berada.
Lingkungan Domestik
Menurut Mourice Duverger mengemukakan linkungan domestik sebagai
bagian struktur politik, struktur politik sebagai pengelompokkan sosial yang
berbeda-beda. Oleh karenanya struktur ini dapat didekati dengan dua cara, yaitu
mengambil kategori yang beraneka ragam dari setiap masyarakat manusia dengan
setiap kategori yang mewakili jenis struktur tertentu, dan dengan mendasarkan
studi-studi yang terdapat dalam semua komunitas manusia secara geografik,
demografik, kelembagaan, kultural dan lain-lain.
a. Struktur Fisikal
Dalam hal ini, terdapat banyak fakta bahwa gerakan-gerakan kea rah
usaha pemisahan diri atau tuntutan akan dilakukannya otonomi luas bagi
beberapa daerah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari rendahnya tingkat
responsibilitas dan buruknya kapabilitas distributive sistem politik. Daerah-
daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Papua dan Aceh misalny,
pembangunan ekonomi mereka jauh tertinggal dengan di kota-kota besar di
jawa, seperti Jakarta, Surabaya dan kota-kota lain atau bahkan lebih buruk lagi.
b. Lingkungan Geografis
Beberapa faktor yang bersifat geografis sangat menentukan
pengaruhnya dalam kehidupan politik, diantaranya iklim, sumber daya alam,
dan ruang sebagai struktur politik.
Kapabilitas sistem politik di Indonesia yang dibangun pada masa Orde
Baru tidak mempunyai cukup kapabilitas ekstraktif sebagai akibat korupsi,
kolusi dan nepotisme yang akut. Akibatnya dengan kekayaan alam yang
melimpah tidak memberikan kemampuan kinerja yang cukup baik bagi sistem
politik karena sumber-sumber tersebut gagal dimanfaatkan dengan baik.
Sebaliknya negara-negara kaya dan besar seperti Amerika Serikat mampu
memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya yang dimiliki sehingga mampu
mengukuhkan dirinya sebagai negara super power yang brutal.
c. Struktur Demografis
Di Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar nampaknya lebih
dekat sebagai sumber masalah dibandingkan dengan sebagai modal yang
menguntungkan bagi sistem politik dan tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal. Akibatnya angkatan kerja tidak mempunyai cukup keterampilan
untuk bersaing di dunia kerja, kondisi ini dipecahkan dengan salah satunya
mengirimkan tenaga kerja Indonesia (TKI) sayangnya hanya sedikit yang
memiliki keterampilan. Kondisi ini menjadi semakin buruk ditengah rendahnya
kapabilitas responsif sistem politik yang membuat pemerintah kurang menaruh
perhatian terhadap pekerja-pekerja informal yang teraniaya ini.
d. Kemampuan Ekonomi
Teori-teori determinasi ekonomi mengatakan bahwa kekuasaan politik
seringkali mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan
ekonomi. Kemakmuran ekonomi akan sangat berpengaruh terhadap daya kritis
masyarakatnya terhadap pemerintahan, jika kemakmura ekonomi mempunyai
korelasi positif dengan pendidikan maka dapat pula diasumsikan bahwa
kemakmuran dapat pula mendorong munculnya tuntutatn-tuntutan baru bagi
sistem politik seperti tuntutan akan partisipasi dalam sistem politik.
e. Pendidikan
Di Indonesia dunia pendidikan mempunyai kontribusi penting dalam
proses sosialisasi politik, gerakan-gerakan social politik mahasiswa yang
menuntut pemerintah melakukan perubahan pada masa Orde Baru, mereka
menjadi kelompok anggota masyarakat yang melek politik dan senantiasa
menuntut partisipasi yang lebih besar dalam politik.
f. Ideologi dan Budaya Politik
Perdebatan ideologi politik telah abnayak menyedot perhatian, sejak
masa Orde Lama dan akhirnya dituntaskan pada masa Orde Baru dengan
paksaan. Pada masa orde lama perdebatan ideologis ini sangat kuat terutama
sebagai akibatnya masuknya komunis dalam konstelasi politik Indonesia.
Sedangkan partai-parta Islam mempunyai akar ideologis yang kuat yang
dipelopori oleh Masyumi.
Pada masa Orde Baru perdebatan ideologis ini diselesaikan melalui
penggunaan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Oleh karena itu setiap
organisasi politik menggunakan asas Pancasila dan penggunaan asas lain
dianggap subversif.
Lingkungan Internasional
Secara historis proses globalisasi yang telah berlangsung saat ini belum
pernah terjadi sebelumnya dimana ada pembedaan antara internasional dan
domestik, hubungan-hubungan internal dan eksternal tidak lagi menjadi jelas.
Globalisasi yang berlangsung saat ini dewasa ini telah menempatkan kembali
kekuasaan, fungsi, dan pemerintahan nasional. Sedangkan sebaliknya kekuasaan
Negara bangsa sekarang ini dalam mmengambil keputusan hendaknya harus
disejajarkan dengan lembaga-lembaga governance global dan dari hukum
internasional.
a. Rezim Hak Asasi Manusia dan Lingkungan Hidup
Pada masa Orde Baru telah terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM
terutama kasus pelanggaran HAM Timor-timur, sebagai contoh bagaimana
rezim hak asasi manusia beroperasi di tingkat internasional dan global dalam
memberikan tuntutan terhadap sistem politik.
Demikian halnya dengan lingkungan hidup, kini negara-negara nasional
harus lebih memperhatikan persoalan lingkungan hidup mereka jika tidak ingin
mendapatkan masalah pergaulan internasional. Kelompok-kelompok pecinta
lingkungan hidup telah lantang menyerukan pencemaran dan pengrusakan
lingkungan dan tidak segan-segan mereka menyerukan boikot bagi produk-
produk industry yang tidak mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.
b. Dominasi Ekonomi-Politik AS dan Perang Melawan Terorisme
Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan adidaya tunggal, dengan
kekuatan-kekuatan menengah dan kecil yang menyebar. Disisi lain keruntuhan
Uni Soviet membuat AS mempunyai kesempatan untuk menjadi hegemon
penuh. Hegemoni AS sebenarnya tidak akan memberikan banyak persoalan
dalam politik internasional jika AS mampu bertindak bijak dalam menangani
konflik-konflik internasional dan persoalan-persoalan dalam negeri. Nam un
sayangnya AS telah menjadi liar sejak terorisme meluas di dunia seiring
globalisasi. Invasi AS ke Irak bulan Maret 2003 yang diselimuti oleh
kebohongan para pengambil kebijakan luar negeri itu dan perang-perang yag
dilakukan selama masa setelah perang dunia ke-2 yang telah menyulut
munculnya terorisme dalam skala global.
Perubahan-perubahan lingkungan internasional akan sangat berpengaruh
terhadap sistem politik. Sistem politik tidak hidup dalan ruang hampa tetapi
berada dalam interaksi dalam lingkungannya.
BAB VIII
CATATAN PENUTUP
Terdapat dua hal besar yang menajdi benang merah mengenai sistem
politik Indonesia era reformasi, yaitu berkenaan dengan reformasi yang digulirkan
sejak 1998 dan berkenaan dengan kinerja sistem politik.
1. Reformasi hanya mengubah struktur politik Orde Baru yang sangat otoriter dan
despotis.
2. Kegagalan reformasi ini disebabkan oleh ketiadaan talenta politik yang
mengawalnya.
Kinerja sistem politik Indonesia era reformasi adalah buruk atau tidak
bekerjanya sistem politik demokrasi secara maksimal. Hal tersebut dapat
dikatakan dengan indikator berikut, keseluruhan kapabilitas yang seharusnya
dimiliki oleh sistem politik, yakni kapabilitas ekstraktif, kapabilitas regulatif,
kapabilitas distributif, kapabilitas sombolik, dan kapabilitas responsif kesemuanya
hamper tidak ada yang bagus.
Buruknya kinerja sistem politik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
ketiadaan perubahan budaya politik yang menopangnya, meskipun struktur
politiknya telah mengalami perubahan menjadi lebih demokratis, tetapi tidak pasa
budaya politiknya. Singkatnya, buruknya kinerja sistem politik tentu sangat
mencemaskan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara dimasa mendatang
dalam sebuah era globalisasi neoliberal yang ditandai dengan persaingan pasar
bebas yang sangat sengit. Untuk bisa survive negara harus kuat dan tangguh dalam
pengertian memiliki power and wealth, namun dlam kenyataannya Indonesia telah
menjadi salah satu Negara yang lemah a weak state), karena buruknya kinetrja
sistem politik dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa dan negara.
Klimaksnya, Indonesia bahkan sekarang ini sedang meluncur ke arah apa yang
disebut oleh Naom Chomsky sebagai Negara yang gagal.