Download - Rekonstruksi Budaya Lokal-i Wayan
ISSN 0215 - 8250
MEREKONSTRUKSI SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) DALAM UPAYA MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN SAINS
BERBASIS BUDAYA LOKAL DI SEKOLAH
oleh I Wayan Suastra
Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Penelitian etnosains ini bertujuan menggali sains asli yang ada di masyarakat tradisional, dan kemudian mengkonstruksinya untuk pengembangan kurikulum sains berbasis budaya lokal di sekolah. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat tradisional Penglipuran Bali. Data sains asli dikumpulkan dengan teknik observasi, partisipasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi, selanjutnya dilakukan triangulasi. Hasil penelitian ini menunjukkan (1) sains asli yang hidup dan berkembang di masyarakat masih dalam bentuk pengetahuan pengalaman konkret sebagai hasil interaksi antara lingkungan alam dan sosial budayanya, dan (2) bila dikaitkan dengan sains Barat, sains asli dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu sains asli yang dapat dijelaskan sains Barat (12 topik) dan sains asli yang belum dapat dijelaskan sains Barat (1 topik). Implikasi hasil penelitian ini bagi pendidikan sains di sekolah, yaitu: (1) sains asli (budaya lokal) dapat diakomodasi sebagai ilustrasi dalam pembelajaran sains di sekolah, mengingat sains asli ini merupakan bagian dari kehidupan mereka, dan (2) pembelajaran sains di sekolah dapat dipandang sebagai transmisi budaya lokal. Direkomendasikan kepada Dinas Pendidikan Nasional yang ada di daerah untuk membentuk tim rekayasa kurikulum sains dengan melibatkan ahli kurikulum, ahli mata pelajaran sains dari perguruan tinggi, guru sains, dan tokoh-tokoh masyarakat yang berkompeten dalam bidang budaya lokal.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
377
ISSN 0215 - 8250
Kata kunci: merekonstruksi, sains asli, budaya lokal, kurikulum ABSTRACT
The ethno science study attempts to find out indigenous science that is inherited in traditional community and to develop local culture-based science education programe in school.This study was done in Bali Panglipuran traditional community. Indigenous science data was collected by observation, participation, comprehensive interview and documentation. The data as well as the method were triangulated. The result from this study (1) indigenous science that exists in community is still in based of concrete experience through interaction between nature and social culture and (2) As viewed from Western science, indigenous science can be classified into two categories which are indigenous science that can be explained by Western science (11 topics) and indigenous science that has not been explained by Western science (1 topic). Implications of this study for science education in school are: (1) indigenous science (local culture) should be accommodated as illustration in science learning in school, particularly those that are related to daily life. (2) Science teaching in school can be considered as local culture transmission. It is recommended to local National Education Department to establish a science curricula committee that involves curricula experts subject matter from college and university, science teachers and people who know local culture.
Key word: reconstruct, indigenous science, local culture, curriculum
1. Pendahuluan
Mutu pendidikan, khususnya pendidikan sains di Indonesia,
masih menjadi isu dalam berbagai pertemuan ilmiah. The Third
International Mathematics and Science Study Repeat melaporkan bahwa ______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
378
ISSN 0215 - 8250
kemampuan sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan
ke-32 dari 38 negara (TIMSS-R, 1999). Masalah lainnya yang dialami
bangsa Indonesia adalah rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan
berbagai bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir,
kebakaran hutan, polusi udara, polusi tanah/air yang kesemuanya hanya
menghasilkan kesengsaraan rakyat banyak. Semua kegiatan masyarakat
yang kurang bertangungjawab terhadap alam lingkungan ini diduga
akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai kearifan terhadap
lingkungan alamnya, yang semestinya diperoleh melalui pendidikan
sains di sekolah. Adimassana (2000) mengatakan bahwa, salah satu
penyebabnya adalah akibat dari kegagalan sektor pendidikan dalam
melaksanakan pendidikan nilai di sekolah. Hal ini didukung oleh hasil
studi yang dilakukan Sadia,dkk (1999) dan Suastra dkk. (2003) yang
menyatakan bahwa, sebagian besar (90%) tujuan pembelajaran sains di
sekolah diarahkan pada pencapaian pengetahuan sains (produk sains)
dan sisanya diarahkan pada pengembangan keterampilan proses dan
sikap serta nilai.
Rendahnya kualitas pendidikan sains selama ini di Indonesia
dapat diduga karena kurang diperhatikannya lingkungan sosial budaya
siswa. Hal ini terbukti dari hasil evaluasi kurikulum 1994 SLTP pada
mata pelajaran sains yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud yang menunjukkan
bahwa (1) sebagian besar siswa tidak mampu mengaplikasikan konsep-
konsep sains dalam kehidupan nyata, dan (2) pengajaran tidak
menitikberatkan pada prinsip bahwa sains mencakup pemahaman
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
379
ISSN 0215 - 8250
konsep, dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari
(Depdikbud, 1999). Dewasa ini, pendidikan cenderung menjadi sarana
"stratifikasi sosial" dan sistem persekolahan yang hanya mentransfer
kepada peserta didik apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu
pengetahuan yang terlalu berpusat pada buku/sikap harfiah ( textbookish),
sehingga memecahkan soal sederhana dapat dilakukan tetapi agak lepas
dari situasi nyata/ realistik, bagaikan sudah diceraikan dari akar
sumbernya dan aplikasinya (Zamroni, 2000:1). Dengan perkataan lain,
pelajaran sains yang dipelajari di sekolah menjadi "kering" dan tidak
bermakna bagi siswa.
Pembelajaran sains yang akan datang perlu diupayakan agar ada
keseimbangan/ keharmonisan antara pengetahuan sains itu sendiri
dengan penanaman sikap-sikap ilmiah, serta nilai-nilai kearifan yang ada
dalam sains itu sendiri. Oleh karena itu, lingkungan sosial-budaya siswa
perlu mendapat perhatian serius dalam mengembangkan pendidikan
sains di sekolah karena di dalamnya terpendam sains asli yang dapat
berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian, pendidikan sains akan
betul-betul bermanfaat bagi siswa itu sendiri dan bagi masyarakat luas.
Hal ini sesuai dengan pandangan reformasi pendidikan sains dewasa ini
yang menekankan pentingnya pendidikan sains bagi upaya
meningkatkan tanggung jawab sosial (Cross & Price, 1992). Berdasarkan
usaha reformasi ini, tujuan pendidikan sains tidaklah hanya untuk
meningkatkan pemahaman terhadap sains itu sendiri, tetapi yang lebih
penting juga adalah bagaimana memahami kehidupan manusia itu
sendiri (AAAS, 1989).
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
380
ISSN 0215 - 8250
Kebijakan politik pendidikan di tanah air kita juga mengalami
pergeseran pola pikir, yaitu dari pemerintahan terpusat (sentralisasi) kepada
pemerintah berdasar pada otonomi daerah. Perubahan politik ini
menyebabkan perubahan kebijakan pendidikan, sehingga daerah memiliki
porsi lebih besar dalam menentukan kebijakan dalam pendidikan. Dalam
pola pikir otonomi daerah ini, daerah dan sekolah diberi kewenangan untuk
menentukan sistem yang akan digunakan dalam melaksanakan proses
pembelajaran ini, menyangkut kurikulum, silabus, pendekatan, metode
pembelajaran, dan strategi pembelajaran (Depdiknas, 2001). Kebijakan
dalam bidang pendidikan ini merupakan peluang bagi daerah untuk
mengembangkan potensinya termasuk potensi budaya dalam kaitannya
dengan pembelajaran sains.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka
pada makalah ini akan dikaji sains asli pada masyarakat tradisional,
mereformasi kurkulum sains di daerah, dan model pembelajaran sains
bermuatan budaya lokal di sekolah.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
melalui etnosains, yaitu suatu kajian tentang sistem pengetahuan yang
diorganisasi dari budaya dan kejadian-kejadian yang berhubungan
dengan alam semesta yang terdapat di masyarakat. Penelitian ini
dilakukan dalam latar (setting) masyarakat Penglipuran Bali. Peneliti
terlibat langsung dalam kancah penelitian (kehidupan masyarakat yang
diteliti) untuk melalukan observasi, wawancara mendalam, diskusi,
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
381
ISSN 0215 - 8250
pengukuran langsung, serta mempelajari dokumen-dokumen yang ada.
Peneliti dalam penelitian ini menjadi instrumen utama agar dapat
mengumpulkan data seobjektif mungkin.
Untuk menjamin kriteria kepercayaan terhadap data yang
diperoleh, peneliti melakukan beberapa upaya, antara lain (1)
melakukan penelitian di lapangan dalam waktu yang relatif lama (mulai
bulan Mei 2003 s.d. Obtober 2004) dengan pengamatan intensif, (2)
melakukan triangulasi data dan metode, (3) menyediakan kecukupan
referensi, dan (4) melakukan kajian kasus negatif. Untuk meningkatkan
kadar ketergantungan dan kepastian hasil penelitian dilakukan dengan
upaya review terhadap seluruh jejak aktivitas penelitian dan informant
review.
Proses analisis data penelitian ini dilakukan secara terus
menerus sejak awal sampai akhir penelitian. Data digali secara intensif,
dikategorisasi, disusun dan dilakukan pengetesan hipotesa, selanjutnya
diinterpretasi, dan diskusi dengan pakar yang berkompeten dalam sains
asli (budaya lokal). Analisis data secara deskriptif juga dilakukan untuk
data pengukuran frekuensi nada gamelan dan sistem pengukuran
panjang tradisional (sikut). Setelah dilakukan analisis data, dilanjutkan
kajian untuk merekonstruksi hasil temuan berupa sains asli dalam
rangka mengembangkan pendidikan sains berbasis budaya lokal di
sekolah.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
382
ISSN 0215 - 8250
Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan dan analisis data
penelitian ditemukan ada 12 sains asli (12 topik), 11 di antaranya dapat
dijelaskan sains Barat dan 1 tidak dapat dijelaskan sains Barat. Sains asli
yang dapat dijelaskan sains Barat seperti pada tabel 1. Sains asli yang
belum dapat dijelaskan sains Barat adalah mengenai penentuan orientasi
Utara (kaja) yang didasarkan pada orientasi gunung dan Selatan (kelod)
mengacu pada orientasi laut.
Tabel 1 Topik-topik Sains Asli yang Dapat Dijelaskan sains BaratNo Topik Sains Asli Penjelasan Asli Penjelasan Ilmiah(1) (2) (3) (4)1. Konstruksi bangunan
bertiang kayu dengan canggah wang dan sineb, serta bale-bale pada bangunan tradisional
Lebih tahan terhadap guncangan gempa bumi yang sering terjadi di desa ini
Mudah mencari bahan bangunan
Warisan leluhur
Bahan kayu memiliki elastisitas yang cukup baik sehingga bila dikenai gaya akan dapat bergetar/ berosilasi bukan segera patah
2. Prinsip bah bangun pada konstruksi atap bangunan tradisional
Aliran air cukup lancar Mengharmoniskan
dengan gunung (alam) Warisan dari leluhur
Kepraktisan dalam membuat sudut
3. Penggunaan pasak yang terbuat dari batang bambu dalam membuat sambungan
Saat ada guncangan gempa pasak ini dapat bergerak-gerak
Bahan mudah dicari di lingkungannya dan cukup kuat terhadap udara lembab
Prinsip kerja engsel Tidak terjadi korosi
akibat udara lembab
4. Pemasangan uang kepeng (pis bolong) atau ijuk di antara tiang dan alasnya (sendi)
Antara tiang dan sendi tidak mudah lepas ketika ada guncangan
Sarana upacara untuk keselamatan
Memperkecil koefisien gesekan () antara tiang dan sendi atau meringankan beban
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
383
ISSN 0215 - 8250
deformasi gaya dengan ikut berpindah. Kalau tegar kekuatan bahan dapat terlewati lalu patah.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
384
ISSN 0215 - 8250
5. Konstruksi tangga (undag) pada setiap pintu gerbang pekarangan rumah (angkul-angkul)
Cukup kuat terhadap guncangan akibat gempa
Air dari jalan tidak dapat masuk pekarangan rumah karena bila masuk dapat menyebabkan cemar (leteh) dan dapat mengakibatkan sakit pada penghuninya
Titik pusat massa bangunan bergeser agak ke bawah sehingga momen gaya menjadi lebih kecil sehingga lebih stabil bila ada guncangan oleh gaya luar karena momen gaya hambat/gaya normal pada bangunan dapat mengimbangi momen gaya oleh gaya gerak dari bumi (gempa).
6. Pemanfaatan umah paon sebagai tempat memasak (tungku api) dan tempat tidur bagi orang yang tertua di pekarangan rumah "tetua" dan bayi baru lahir
Sebagai rasa hormat kepada tetua di pekarangan rumah
Tempatnya cukup hangat untuk orang yang sudah tua
Radiasi panas/kalor dari api dalam tungku lebih intensif pada jarak celah kecil.
7. Pembuatan gamelan tradisional gangsa dan jublag
Makin panjang kolom udara bambu (tabung/ bumbung) maka nada/bunyi gamelan semakin rendah, sebaliknya semakin tnggi
Udara dalam tabung resonator ikut bergetar karena adanya getaran resonansi bilah gamelan yang dipukul.
Makin banyak udara dalam tabung maka frekuensinya makin rendah karena massa udara makin besar, sebaliknya makin tinggi.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
385
ISSN 0215 - 8250
8. Perilaku orang yang melempar benda-benda tajam dari logam pada saat terjadi petir, seperti sabit, keris, pisau, dan sebagainya
Petuah dari leluhur agar terhindar dari bahaya disambar petir
Akibat polarisasi
oleh medan luar E⃗pada benda logam runcing maka muncul kelebihan muatan +/- pada ujungnya, lalu
timbul E⃗ dengan adanya medan ini elektron dapat tertarik/terlepas. Ketika terjadi petir elektron yang bergerak di angkasa akan terlepas/bergerak mencari ujung runcing.
9. Penancapan bambu yang dibuat runcing seperti keris di atas atap bangunan dan pemasangan murda pada ujung atas atap bangunan
Sebagai pemegang atap agar tidak lepas diterpa angin
Sebagai penangkal petir
Benda/bambu yang runcing pada saat basah akan dapat berfungsi sebagai penghantar listrik (konduktor), meskipun konduktivitasnya relatif kecil. Mekanismenya seperti pada no.8.
10. Pelaksanaan upacara penanaman pedagingan panca dhatu (terdiri logam emas (Au), perak (Ag), tembaga (Cu), besi (Fe), dan timah (Pb) pada bangunan bangunan suci seperti bangunan padmasana, meru, dsb
Sarana upacara agar memiliki kekuatan magis religius
Logam (emas, perak, besi, tembaga, dan timah) adalah bahan konduktor. Ketika bangunan dalam keadaan basah maka logam-logam yang
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
386
ISSN 0215 - 8250
ditanam ini akan berperan sebagai konduktor menuju tanah (ground).
Mekanismenya seperti
pada no.811. Penempatan umah paon
(rumah dapur) di bagian utara menghadap ke selatan/membelakangi Gunung(di Bali Selatan daratan umumnya ditaruh di bagian Selatan menghadap ke Utara sesuai dengan petunjuk lontar Asta Kosala Kosali)
Sebagai tempat yang disucikan selalu berorientasi Gunung
Bila ditaruh menghadap Gunung dapat menimbulkan bencana/sakit pada penghuninya
Pada siang hari udara/gas di permukaan daratan bawah lebih cepat panas daripada di pegunungan karena lebih rapat. Akibatnya udara lebih cepat naik suhunya karena memuai, sehingga tekanan udara di daratan menjadi lebih rendah daripada di pegunungan. Gerak udara sejuk (pegunungan) lebih besar karena massa jenisnya () lebih besar.
3.2 Pembahasan
Hasil analisis terhadap sains asli yang telah ditemukan pada
masyarakat tradisional Penglipuran, terungkap bahwa sains asli ini
terkait dengan kehidupan keseharian masyarakat, seperti berkenaan
dengan pembuatan bangunan-bangunan tempat tinggal, bangunan-
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
387
ISSN 0215 - 8250
bangunan suci (pura), upacara-upacara agama Hindu, kesenian, dan
perilaku hidup untuk mempertahankan diri dari bencana alam (gempa
bumi, hujan, petir dan sebagainya), serta gangguan dari manusia
lainnya. Sains asli ini merupakan bagian dari kehidupan atau budaya
masyarakatnya yang masih tetap dipertahankan dan diyakini
kebenarannya. Tetap dipertahankannya sains asli ini karena mereka
melihat dan mengalami sendiri kebenarannya berdasarkan pengalaman
hidup (eksperimen alamiah) selama bertahun-tahun dari satu generasi ke
generasi berikutnya melalui proses adaptasi dengan lingkungan alam
maupun budaya di mana mereka berada. Berbeda halnya dengan sains
Barat, sains asli masih dalam bentuk pengetahuan pengalaman konkret
(concrete experience knowledge), sedangkan sains Barat sudah berupa
konsep, prinsip, teori, ataupun hukum-hukum yang reprodusibel (teruji
secara eksperimen di laboratorium) dan telah diakui oleh komunitas
ilmiah. Pengetahuan sains asli ini ditransformasikan melalui tradisi oral
dari “penglingsir” (orang tua) mereka kepada generasi berikutnya dan
pengalaman konkret dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam
proses perjalanannya waktu, tidak tertutup kemungkinan masuknya
budaya-budaya baru sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi,
namun pemikiran (keyakinan) yang diwariskan dari generasi sebelumnya
masih tetap dipertahankan.
Temuan ini dapat dijadikan sebagai landasan dalam mereformasi
kurikulum sains di daerah. Kegiatan yang perlu dilakukan dalam
mereformasi kurikulum sains di daerah adalah pembentukan tim
pengembang kurikulum. Anggota tim pengembang sebaiknya melibatkan :
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
388
ISSN 0215 - 8250
(1) ahli kurikulum dari Kantor Dinas Pendidikan Nasional setempat, (2)
ahli materi pelajaran dari guru-guru inti atau instruktur dan dari perguruan
tinggi, (3) guru-guru sains yang mewakili daerahnya, dan (4) tokoh-tokoh
masyarakat yang berkompeten dalam bidang pendidikan dan sains asli.
Keterlibatan guru-guru sains dalam tim sangat dibutuhkan karena gurulah
yang akan melaksanakan kurikulum pada tingkat operasional di kelas. Guru
yang lebih tahu kondisi di lapangan, mana yang dapat diterapkan dan mana
yang tidak dapat diterapkan. Begitu juga guru lebih tahu tentang kondisi
siswa, fasilitas, dan lingkungan sekolahnya. Keberadaan guru-guru sains
dalam tim pengembang akan menjadikan silabus dan bahan ajar yang
disusun menjadi mudah dipahami dan diimplementasikan oleh guru. Hal
tersebut sejalan dengan pendapatnya Sukmadinata (1997:160-161) tentang
model pengembangan kurikulum “grass root model” di mana guru adalah
“agen kunci” dalam keberhasilan pengembangan kurikulum. Demikian
juga, keberadaan tokoh-tokoh masyarakat seperti, undagi (perancang)
bangunan tradisional, pande gamelan tradisional, ahli wariga, dan tokoh-
tokoh masyarakat lainnya yang berkompeten di bidangnya juga sangat vital
keberadaannya di dalam tim rekayasa kurikulum. Melalui mereka, akan
dapat diperoleh pengetahuan-pengetahuan tradisional (sains asli) dan
keyakinan-keyakinan yang berkembang di masyarakat. Diharapkan sinergi
para anggota tim akan mampu menghasilkan silabus dan bahan ajar yang
bermutu dan peduli budaya setempat, yang pada akhirnya dapat membantu
siswa dalam mempelajari sains tanpa harus meninggalkan akar budayanya.
Saat ini perhatian para ahli pendidikan sains tidak lagi
memperdebatkan hubungan antara budaya dan pendidikan sains,
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
389
ISSN 0215 - 8250
melainkan lebih memberi perhatian pada siswa yang hidup dalam
komunitas tradisional, yaitu mereka yang masih percaya dan
menggunakan sains asli dalam kehidupannya sehari-hari (George,
2001:1). Hal ini dilandasi pada pemikiran sains untuk semua (science for
all), dikarenakan sains itu bukan untuk sekelompok siswa tertentu,
melainkan untuk semuanya atau sains untuk kehidupan sehari-hari. Pada
umumnya, siswa dalam setting tradisional (seperti halnya di desa
Penglipuran), memiliki sistem pengetahuan budaya (sains asli) yang
masih diyakini dan tetap dipertahankan. Pengetahuan budaya tersebut
dapat berupa ide-ide atau gagasan-gagasan, keterampilan-keterampilan
(skill), dan keyakinan (belief) yang diperolehnya dari pengalaman
mereka berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya di mana mereka
berada.
Adanya perbedaan penjelasan dan cara pemerolehan antara sains
asli sebagai budaya lokal masyarakat Timur dengan sains Barat sebagai
budaya masyarakat Eropa-Amerika akan menimbulkan kesulitan
khususnya pada siswa dalam setting masyarakat tradisional (budaya
Timur) di sekolah. Pendapat ini sesuai dengan pendapatnya George
(2001), Hawkin & Pea (1997), dan Hawkin (1997), pada umumnya
siswa dalam setting budaya Timur akan mengalami kesulitan yang lebih
besar dibandingkan dengan siswa dari budaya Barat dalam belajar sains di
sekolah. Oleh karena itu, perlu adanya jembatan (bridging the gap) untuk
menyinergikan kedua budaya tersebut. Jegede (George, 2001: 3)
menyarankan menggunakan kontinum (continuum) teori belajar kolateral
(collateral learning theory), yaitu belajar kolateral yang menguatkan
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
390
ISSN 0215 - 8250
(secured collateral learning) untuk yang sesuai atau cocok dengan sains
Barat dan teori belajar kolateral parallel (parallel collateral learning)
untuk yang belum dapat dijelaskan sains Barat. Dengan teori belajar
kolateral yang menguatkan, siswa akan lebih mudah mengubah struktur
kognitifnya, serta akan dapat menemukan alasan-alasan yang lebih
lengkap masing-masing skematanya. Pemahaman siswa terhadap suatu
konsep atau prinsip sains di sekolah akan menjadi lebih baik, serta
cara berpikir siswa tentang kesehariannya akan menjadi lebih baik
pula.
Untuk mengimplementasikan pembelajaran sains berbasis budaya di
sekolah, yang harus dilakukan guru seperti berikut.
(1) Guru perlu mengidentifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli
Identifikasi pengetahuan awal siswa tentang sains asli bertujuan
untuk menggali pikiran-pikiran siswa dalam rangka mengakomodasi
konsep-konsep, prinsip-prinsip atau keyakinan yang dimiliki siswa yang
berakar pada budaya masyarakat di mana mereka berada. Hal ini penting
dilakukan mengingat bahwa setiap anak akan memiliki pandangan-
padangan atau konsepsi-konsepsi yang berbeda terhadap suatu objek,
kejadian atau fenomena. Hal ini sesuai dengan pendapatnya Ausubel
(dalam Dahar,1989) yang mengatakan bahwa satu hal yang penting
dilakukan guru sebelum pembelajaran dilakukan adalah mengetahui apa
yang telah diketahui siswa.
(2) Pembelajaran dalam kelompok
Masyarakat tradisional cenderung melakukan kegiatan secara
berkelompok yang terbentuk secara sukarela dan informal, seperti halnya
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
391
ISSN 0215 - 8250
seka tari baris, tabuh gong, dan sebagainya. Pembelajaran dalam bentuk
kelompok merupakan pengembalian ke ciri pembelajaran mereka.
Supriyono (2000:269) berpendapat bahwa belajar dalam bentuk kelompok
merupakan satuan pendidikan yang bersifat indigenous (asli), yang timbul
sebagai kesepakatan bersama para warga belajar untuk saling
membelajarkan secara sendiri maupun dengan mengundang narasumber
dari luar kelompok mereka.
(3) Guru berperan sebagai penegosiasi yang cerdas dan arif
Pada proses pembelajaran sains, guru memegang peranan sentral
sebagai “penegosiasi” sains Barat (budaya Barat) dan sains asli sebagai
budaya lokal dengan siswa-siswanya. Guru membuat keputusan-keputusan
pedagogi berlandaskan pengetahuan praktis karena guru harus mampu
mengintegrasikan secara holistik prinsip-prinsip yang sarat dengan budaya,
nilai-nilai, dan pandangan tentang alam semesta (worldview). Guru sains
dalam proses negosiasi harus “cerdas” dan “arif”. Snively & Corsiglia
(2001) dan George (2001) mengidentifikasi peran guru sebagai negosiator
budaya, yaitu (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengekspresikan pikiran-pikirannya, untuk mengakomodasi konsep-konsep
atau keyakinan yang dimiliki siswa yang berakar pada sains asli (budaya),
(2) menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan (discrepant events)
yang sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep sains Barat, (3)
berperan untuk mengidentifikasi batas budaya yang akan dilewatkan serta
menuntun siswa melintasi batas budaya, sehingga membuat masuk akal bila
terjadi konflik budaya yang muncul, (4) mendorong siswa untuk aktif
bertanya, dan (5) memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh positif
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
392
ISSN 0215 - 8250
dan negatif sains Barat dan teknologi bagi kehidupan dalam dunianya
(bukan pada kontribusi sains Barat dan teknologi untuk menjadikan mono-
kultural dari elit yang memiliki hak istimewa).
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
393
ISSN 0215 - 8250
4. Penutup
Berdasarkan uraan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan
berikut ini. Pertama, sains asli yang dimiliki masyarakat Tradisional
masih dalam bentuk pengetahuan pengalaman konkret (concrete
experience) yang diperoleh melalui (1) interaksi masyarakat dengan
lingkungan alam dan budaya setempat, dan (2) pendidikan tradisi yang
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kedua,, sains asli
yang berkembang pada masyarakat tradisional dikategorikan menjadi dua
bagian, yaitu (1) sains asli yang dapat dijelaskan konsep sains Barat
(kategori I), dan (2) sains asli yang tidak terkait dengan konsep sains Barat
(kategori II).
Ada empat implikasi dari temuan penelitian ini seperti berikut ini.
Pertama, kurikulum sains hendaknya memperhatikan atau peduli terhadap
sistem sosial budaya masyarakat tradisional. Pengetahuan (keyakinan) dan
pengalaman hidup masyarakat tradisional merupakan aset potensial
sebagai sumber belajar dalam pengembangan kurikulum, termasuk
pengembangan kurikulum sains. Pada konteks masyarakat tradisional,
eksplorasi sains asli (budaya lokal) siswa perlu dilakukan sebelum
pembelajaran sains di sekolah dilakukan. Dengan demkian, pelajaran sains
di sekolah tidak lagi menjadi milik segelintir siswa (elit tertentu) dan hanya
dihafalkan hanya untuk ujian, melainkan menjadi science for all, science
for daily living, dan learning the past and anticipating the future. Kedua,
pembelajaran sains di sekolah dapat dipandang sebagai proses transmisi
budaya (cultural transmission). Ketiga, dalam implementasi proses
pembelajaran sains dengan mengintegrasikan sains asli perlu adanya
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
394
ISSN 0215 - 8250
bridging the gap dengan menerapkan teori belajar kolateral (collateral
learning theory). Secured collateral learning dapat digunakan untuk sains
asli yang terkait dengan konsep ilmiah, parallel collateral learning dapat
digunakan untuk sains asli yang tidak terkait dengan konsep ilmiah.
Sehubungan dengan hasil analisis data dan hasil kajian teoretik sains
asli dalam kaitannya dengan pendidikan sains di sekolah, direkomendasikan
hal sebagai berikut. Pertama, pemerintah daerah melalui Dinas
Pendidikan Nasional perlu segera membentuk satuan tugas Tim Rekayasa
Kurikulum Sains. Untuk mencapai hasil kerja yang maksimal, anggota tim
hendaknya, meliputi (1) ahli kurikulum dari Dinas Pendidikan setempat,
(2) ahli materi pelajaran sains dari perguruan tinggi, (3) guru-guru
inti/instruktur sains, (4) guru-guru sains yang mewakili masing-masing
daerah, dan (5) tokoh-tokoh masyarakat yang berkompeten dalam bidang
pendidikan dan sains asli (budaya lokal). Kedua, peran guru sains agar
cerdas dan arif dengan tugas-tugas, seperti (1) memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya, untuk
mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki siswa yang
berakar pada sains asli (budaya), (2) menyajikan kepada siswa contoh-
contoh keganjilan dari suatu fenomena (discrepant events) yang
sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep sains Barat, (3) berperan
untuk mengidentifikasi batas kedua budaya, serta menuntun siswa melintasi
batas budaya tersebut sehingga membuat masuk akal bila terjadi konflik
budaya yang muncul, (4) mendorong siswa untuk aktif bertanya, dan (5)
memotivasi siswa agar menyadari akan pengaruh positif dan negatif sains
Barat dan teknologi bagi kehidupan dalam dunianya. Ketiga, Universitas
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
395
ISSN 0215 - 8250
atau IKIP yang bertugas sebagai “pencetak” tenaga guru khususnya untuk
guru sains disarankan agar dalam kurikulumnya mempunyai mata kuliah
yang khusus mengkaji pengintegrasian sains asli ke dalam pembelajaran
sains di sekolah dasar (SD) sampai ke sekolah menengah atas (SMA).
Keempat, perlu dilakukan sosialisasi kepada guru-guru sains berkenaan
dengan pentingnya mengakomodasi sains asli sebagai “muatan lokal”
kurikulum sains. Sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai
kegiatan, seperti seminar, pelatihan, penelitian tindakan kelas (PTK),
atau kegiatan pertemuan-pertemuan dengan musyawarah guru mata
pelajaran (MGMP).
DAFTAR PUSTAKA
AAAS. (1989). Science for All Americans. Washington D.C.: American Assosiation for the Advancement of Science.
Adimassana,Y.B.(2000). Revitalisasi Pendidikan Nilai di dalam Sektor Pendidikan Formal. Atmadi & Setiyaningsih (eds). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Cross,R.T & R.F. Price (1992). Teaching Science for Social Responsibility. Sydney: St.Louis Press.
Dahar,R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Bandung: Penerbit Erlangga.
Depdikbud.(1999). Hasil Evaluasi Kurikulum 1994 SLTP. Jakarta: Pusbang
Kurandik.
Depdiknas. (2001). Kuirkulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Sains.
Jakarta: Puskur Balitbang.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
396
ISSN 0215 - 8250
Geertz.C. (1973). The Interpretation of Culture. New York: Basic Books.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
397
ISSN 0215 - 8250
George.J. (2001). Culture and Science Education: Developing World.
http://www.id21.org/education/e3jg1g2.html.
Hawkins,D. (1997). Critical Bariers to Science Education. http://www.exploratorium.edu. 3601 Lyon St.San Fransisco,CA
Hawkins,J.& Pea,R.D. (1987). Tools for Bridging the Culture of Everyday and Scientific Thinking. Journal of Research in Science Teaching. 24(4). 291-307.
Ogawa,M. (1995). Science Education in MultiScience Perspective. Science
Education. 79, 583-593.
Sadia,W. et al. (1999). Pengembangan Buku Ajar IPA Pendidikan dasar
Berwawasan STM. Laporan Penelitian HB Dirjen Dikti.
Snively,G & J. Corsiglia. (2001). Discovering Indigenous Science: Implications for Science Education. Science Education. Vol 85 (1). Pp.7-34.
Snively,G. (2002). Pre-Service Teacher Explore Traditional Ecological
Knowledge in a Science Methods Class. http://www.ed.psu.edu/CI/journal/96pap47.htm.
Suastra,W. (2003). Implementasi Pembelajaran Sains Berbasis Inkuiri di SLTP. Laporan Penelitian Research Grand IKIP Negeri Singaraja. Tidak Dipublikasikan.
Sukmadinata,N.S. (1997). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerit Pt Rosda Karya.
Supriyono (2000). Pemberdayaan Warga Belajar pada Kelompok Belajar (Studi Pengembangan Model Pengelolaan Program Pembelajaran Paket B Kesetaraan Melalui Kelompok Belajar. Disertasi Doktor pada PPSUPI Bandung. Tidak Dipublikasikan.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
398
ISSN 0215 - 8250
TIMSS-R. (1999). The Third International Mathematics and Science Study Repeat. USA: International Study Center Lynch School of Education, Boston Collage.
Zamroni (2001). School and University Colaboration for Improving Science and Mathematics Instruction in School. Paper Presented in National Seminar on Science and Mathematics Education. Bandung, August, 21,2001.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVIII Juli 2005
399