Download - Refer At
REFERAT
BLOK TROPICAL MEDICINE
VARICELLA
Tutor: dr. Thianti Sylviningrum M.Pd.Ked.
Disusun oleh kelompok 12:
Helmi Ben Bella G1A007078
Manggala Sariputri G1A007095
Yemima Khrismasari G1A007101
Suharmilah G1A007107
Herlina Nindyastuti G1A007113
Triyani Desi P. G1A007114
Nur Hidayat G1A007119
Meilinda Rosa Dewi G1A007120
Selvia G1A007126
Kaharudin G1A007134
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Varisela adalah infeksi akut primer oleh Varicella Zooster Virus
(VZV) yang menyerang kulit dan mukosa. Varisela juga biasa disebut
cacar air atau chickenpox (Djuanda, 2005). Varisela merupakan penyakit
yang sangat menular dan terdapat di seluruh dunia tanpa adanya
perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varisela menyerang anak-anak
berusia dibawah 10 tahun terutama usia 2-6 tahun tetapi dapat juga
menyerang orang dewasa dengan gejala yang lebih berat. Pada daerah
beriklim tropis, penderita varisela sebagian besar adalah orang dewasa
(Handoko, 2006; Lubis, 2008; Siregar, 2004), namun data dari Poliklinik
Anak RSU Gunung Wenan di Manado sejak Januari 1987- Desember
1988 menunjukkan 88,34% dari penderita varisela terdapat pada anak-
anak dengan umur dibawah 10 tahun (Rampengan, 1993). Di amerika,
varisela paling banyak menyerang anak-anak dibawah usia 10 tahun,
hanya terdapat 5% kasus yang terjadi pada anak dengan usia lebih dari
15 tahun, sedangkan di Jepang Varisela umumnya terjadi pada anak-anak
dibawah usia 6 tahun dengan insidensi 81,4% (Lubis, 2008). Insidensi
varisela lebih banyak terjadi pada musim dingin dibandingkan musim
panas (Rampengan, 1993).
Varisela dapat ditransmisikan melalui kontak langsung, percikan
ludah, udara, transplasental, dan material yang bersifat infeksius. Varisela
masuk ke dalam tubuh melalui traktur respiratorius, kemudian menyebar
melalui darah sehingga dapat mengakibatkan lesi di seluruh tubuh (Arvin,
1996). Lesi awal berbentuk makula eritematosa. Makula tersebut berubah
secara cepat menjadi papula dan vesikel. Vesikel akan berubah menjadi
pustula, dan pecah mengalami umbilikasi (delle) hingga berakhir menjadi
krusta (Lubis, 2008). Varisela dapat menyebabkan komplikasi berupa
infeksi sekunder, jaringan parut, pneumonia, gangguan neurologik, hingga
kematian. Pada kehamilan, varisela dapat menyebabkan varisela neonatal
yang mengakibatkan kelainan kongenital (Lubis, 2008; Mehta, 2010).
Penganan terhadap penderita varisela bisa dilakukan dengan
memberikan pengobatan simptomatis melalui pemberian bedak agar
vesikel tidak mudah pecah, antibiotik, antipiretik, analgetik, maupun
antihistamin untuk mengurangi gatal yang dirasakan. Antivirus tidak selalu
diperlukan, terutama pada pasien dengan status imun yang tidak
1 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
terganggu. Pemberian antivirus pada penderita varisela sebaiknya dalam
jangka waktu kurang dari 48-72 jam setelah erupsi kulit muncul (Lubis,
2008; Mehta, 2010).
Pencegahan verisela dapat dilakukan melalui vaksinasi yang
diberikan pada anak – anak sehat berumur 12 sampai 18 bulan dan pada
anak usia muda yang belum pernah menderita varisela (Chin, 2000).
Dosis kedua vaksin dapat diberikan saat anak mencapai usia 4 – 6 tahun.
Efektivitas dari vaksin varisela mencapai 85% (CDC, 2009). Prognosis
varisela tergantung dari status imun serta tingkat higienitas penderita.
Komplikasi pneumonia menyebabkan 10% kematian pada penderita
dengan sistem imun baik dan 30% kematian pada penderita
immunocompromised. Varisela pada neonatus memiliki mortalitas
mencapai 30% (Mehta, 2010).
2 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Etiologi
Varicella Zooster Virus (VZV), yang dikenal juga sebagai Human
Herpes Virus 3 (HHV3) termasuk dalam family herpesvirus atau
herpesviridae. Klasifikasi ini berdasarkan pada karakteristik morfologi,
bentuk fisik dan isi kimia dari virus (Rahaus, Desloges, dan Wolff,
2006).
Internasional Committee on tha Taxonomy of Viruses (ICTV)
memagi family herpesviridae menjadi 3 subfamili yaitu:
Alphaherpesvirinae, Betaherpesvirinea dan Gammaherpesvirinea.
Berdasarkan pada spectrum penjamu, panjang siklus repliksasi, dan
efek sitopatik dan karakteristik penyembunyian diri, VZV bersamaan
dengan herpes simplex virus type1 (HSV1; HHV1) dan type 2 (HSV2;
HHV2) digolongkan dalam subfamily dari Alphaherpesvirinae. Selain
itu, VZV dilkasifikasikan ke dalam genus varicellovirus, sedangkan
HSV diklasifikasikan dalam genus simplexvirus (Rahaus, Desloges,
dan Wolff, 2006).
Karakteristik yang penting dari herpes virus adalah arsitektur dari
virus. Ukurannya berkisar 120 sampai dengan 300nm dan berbentuk
polygonal atau bulat dengan titik sentral yang jelas terlihat. Sampai
sekarang, belum diketahui secara jelas berapa banyak polipeptida
yang terlibat dalam pemasangan virus, tetapi yang telah dilaporkan
adalah antara 30-35. Virus tersusun dari empat komponen yang
berbeda, yaitu envelope, tegument, capsid dan core dengan genome
(Rahaus, Desloges, dan Wolff, 2006).
Gambar 2. 1. Struktur Virus Varisela zoster (Rahaus, Desloges, dan
Wolff, 2006).
3 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Siklus Replikasi dari Virus Varisela Zoster
Replikasi dari virus VZV dibagi menjadi 3 fase yang berbeda yaitu:
a. Penyerapan dan pemasukan virus, pelepasan bagian envelope,
pemindahan dari kapsid menuju inti dan pegeluaran DNA virus
kedalamnya.
Proses penyerapan dimediasi oleh glikoprotein virus (yang
berada pada envelope), untuk dapat melekat pada reseptor spesifik
pada sel target. Reseptor yang dianggap penting adalah reseptor
mannose 6-phosphate, karena dari 6 macam glikoprotein pada
envelope virus 4 diantaranya mengandung mannose 6-phosphate
(Rahaus, Desloges, dan Wolff, 2006).
Setelah fusi envelope virus dengan membrane sel target,
kapsid dan tegument dilepaskan menuju ke sitoplasma. Kapsid
dipindahkan menuju pori pori pada inti dan melepaskan asam
nukleat dengan mekanisme yang tidak diketahui, diduga sistem
filament selular (mikrofilamen dan mikrotubulus) berperan dalam
proses ini (Rahaus, Desloges, dan Wolff, 2006).
b. Transkripsi gen virus dan translasi serta sintesis dari virus DNA.
Ekspresi gen virus berlangsung secara tepat mengikuti
kaskade. Gen immediate-early (IE) terekam saat awal dalam
beberapa jam setelah infeksi, saat tidak terjadi sintesis protein.
Protein IE memiliki fungsi regulasi dalam transkripsi gen
setelahnya. Induksi transkripsi dari gen setelahnya yaitu gen early
(E), yang dapat diartikan menjadi protein early (E) sebelum waktu
awal replikasi DNA virus, tergantung pada kerjasama dari protein
IE virus dan faktor transkripsi selular. Sebagian besar gen E
mengkode protein dengan melibatkan proses enzimatik pada
replikasi dari DNA virus, seperti DNA polymerase, polymerase
processivity factor, helicase, primase, faktor aksesoris
helikase/primase, single strand DNA binding factor, dan origin
binding protein (Rahaus, Desloges, dan Wolff, 2006).
Replikasi DNA virus varisela zoster dapat dibagi menjadi
beberapa langkah. Pertama, DNA virus yang berbentuk linier
berputar seiring dengan dimulainya proses replikasi, yang
melibatkan mekanisme lingkaran berputar mengawali pembentukan
head to tail concatemers, hingga concatemers membelah untuk
4 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
menghasilkan DNA linier yang dikemas dalam virion (Rahaus,
Desloges, dan Wolff, 2006).
Setelah replikasi dimulai, L (late) gen terekam. Protein yang
termasuk dalam hasil dari grup L adalah glikoprotein yang
menyusun bagian bagian di virus (Rahaus, Desloges, dan Wolff,
2006).
Untuk mencapai tujuan yang tepat dan efisien ekspresi dari
semua kelas dari gen dan menahan mekanisme pertahanan dari
host, VCV memediasi proses yang dinamakan host shut-off yang
menghasilkan degradasi dari mRNA selular. Degenerasi dari
mRNA termasuk juga transkripsi dari gen IE VZV yang menjadi
bagian untuk memulai proses dari transkripsi gen IE lalu E dan L ,
selama kaskade replikasi. Transkripsi viral E dan L juga menurun
sebagai konsekuensi dari mekanisme shut off host (Rahaus,
Desloges, dan Wolff, 2006).
Mekanisme shutoff host sebagai mekanisme pertahanan dari
host, akan tetapi VZV juga mampu mencegah induksi sistem
interferon stimulated antiviral seperti PKR dan RNase L (Rahaus,
Desloges, dan Wolff, 2006).
c. Perakitan dari virus baru dan penyelubungan
Setelah ekspresi dari 3 kelas gen terbentuk, genom hasil
replikasi yang baru dibungkus dalam protein inti, dikemas dalam
kapsid yang baru disintesis dan ditransportasikan keluar dari sel
host. Hal ini masih belum diketahui secara jelas bagaimana dan
dalam bentuk apa nukleokapsid ditransportasikan keluar inti dan
muncul ke permukaan sel. Hipotesis yang paling bisa diterima
adalah kapsid mendapatkan envelope sementara dari membrane
dalam inti ketika memasuki ruangan perinuklear. Partikel baru yang
sudah dibentuk keluar menuju lumen dari reticulum endoplasma
kasar. Envelope lebur dengan reticulum endoplasma kasar
(Rahaus, Desloges, dan Wolff, 2006).
5 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Gambar 2. 2. Proses replikasi virus varicella zoster
2. 2. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat menyebabkan varisela diantaranya
(Mehta, 2010):
a. Neonatus
Ibu hamil yang terkena infeksi VZV primer dapat menularkan
infeksi secara plasental ke janin selama fase viremia. Timbul
varisela pada neonatus 5 - 10 hari setelah lahir. Tidak adanya
transfer antibodi ibu melalui plasenta mengakibatkan penyakit lebih
parah (Wiryadi, 2005).
b. Terapi steroid
Steroid memiliki efek immunosupresan dengan menghambat
proliferasi sel T, sehingga penggunaan steroid dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya varisela (Depkes, 2008)
c. Kondisi immunocompromised
Kondisi immunocompromised dapat menyebabkan VZV
lebih mudah menginfeksi dan bereplikasi di dalam tubuh. Kondisi ini
dapat terjadi pada:
1) Penderita infeksi HIV
2) Penderita Leukemia
3) Resipien transplantasi
4) Pemakai kortikosteroid
6 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
5) Pasien dgn kemoterapi karena keganasan (kanker) (Wiryadi,
2005).
d. Kehamilan
Wanita hamil mengalami penurunan imunitas baik secara
humoral maupun selular. Kehamilan tua dapat menyebabkan
infeksi neonatal. VZV menyebabkan terjadinya viremia selama
masa infeksi primer dan dapat menularkan virus pada janin secara
transplasental atau secara ascending melalui lesi jalan lahir.
Varisela pada ibu timbul 4 hari sebelum sampai 2 hari setelah
melahirkan.
2. 3. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis dan patofisiologi varisela dapat dijelaskan sebagai
berikut (Kimberlin, dan Whitley, 2007; Lubis, 2008; Mehta, 2010):
VZV masuk ke dalam tubuh manusia
per inhalasi dari droplet infection atau
kontak langsung dengan lesi kulit
↓
VZV masuk melalui mukosa saluran
pernafasan bagian atas, orofaring atau
konjungtiva
↓
Replikasi VZV pertama (hari ke 2-4)
di limfe nodi regional
↓
Viremia primer (hari ke 4-6)
Replikasi VZV kedua terjadi di sel
retikuloendotelial hepar dan limpa
↓
Viremia sekunder
↓
VZV menyebar ke seluruh tubuh
(termasuk ke saluran nafas) dan
mencapai epidermis (hari ke 14-16)
↓
7 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Lesi khas di kulit
↓
VZV berpindah tempat dari lesi kulit
dan permukaan mukosa ke ujung saraf
sensoris
VZV ditransportasikan secara
sentripetal melalui serabut saraf
sensoris ke ganglion sensoris (yang
tersering adalah trigeminus dan
thoracica)
↓
Infeksi laten (dorman) terjadi pada
ganglion VZV tidak lagi menular dan
tidak bermultiplikasi, tetapi tetap
mempunyai kemampuan untuk
reaktivasi
↓
Pada saat terjadi reaktivasi, VZV
bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi
inflamasi dan merusak ganglion
sensoris
↓
VZV menyebar ke sumsum tulang
serta batang otak dan melalui syaraf
sensoris akan sampai ke kulit (Zoster)
Gambar 2. 3. Patogenesis infeksi primer Varicella-Zooster Virus (VZV)
(Arvin, 1996)
8 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Jalur infeksinya adalah mukosa saluran napas atas atau
konjungtiva. Virus beredar dalam darah, melakukan berbagai siklus
perkembangbiakan dan selanjutnya menetap di kulit. Lesi fokal pada
kulit dan mukosa diawali oleh infeksi virus pada sel-sel kapiler
endotelial. Pembengkakan sel epitel, degenerasi balon, dan akumulasi
cairan jaringan mengakibatkan pembentukan gelembung. Badan
inklusi eosinifilik ditemukan pada inti sel yang terinfeksi. Terdapat
gambaran yang mirip antara lesi varisela yang berkembang pada
organ-organ lain dan penyakit neonatal atau infeksi VZV
yangberkomplikasi pada orang dewasa. Paru-paru biasanya
merupakan yang terkena paling parah, sering terdapat sel-sel raksasa
berinti ganda. Perkembangan dan penyebaran VZV dibatasi oleh
respon imun seluler dan humoral penderita (Kimberlin, dan Whitley,
2007; Lubis, 2008; Mehta, 2010).
Masa inkubasi penyakit yang khas adalah 14-21 hari. Lesu dan
demam adalah gejala paling awal (1-2 hari sebelum timbul lesi di kulit),
segera diikuti oleh lesi, pertama pada punggung dan kemudian pada
muka, anggota badan, dan mukosa pipi serta faring dan mulut. Lesi
juga dapat dijumpai pada mukosa dan genital. Demam menetap
selama timbulnya lesi baru dan sebanding dengan luasnya ruam
(Kimberlin, dan Whitley, 2007; Lubis, 2008; Mehta, 2010).
Waktu penularan varisela adalah 2 hari sebelum hingga 5 hari
setelah timbulnya lesi di kulit. Vesikel segar berturut-turut muncul
dalam crops selama 2-4 hari berikutnya, sehingga semua stadium
makula, papula, vesikel, dan kerak dapat terlihat pada suatu saat.
Urutan timbulnya lesi yaitu diawali makula kecil eritematosa, kemudian
12-24 jam kemudian timbul papul. Selanjutnya muncul vesikel dengan
dasar eritematosa terletak superfisial dan mempunyai dinding tipis
(gambaran tear drop), berdiameter 2-3 mm, berbentuk elips dengan
aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit (gambaran dew drop on
a rose petal). Cairan vesikel cepat menjadi keruh disebabkan
masuknya sel radang sehingga pada hari ke-2 akan berubah menjadi
pustula. Lesi kemudian akan mengering yang diawali pada bagian
tengah sehingga terbentuk umbilikasi (delle) dan akhirnya akan
menjadi krusta dalam waktu yang bervariasi antara 2-12 hari,
kemudian krusta ini akan lepas dalam waktu 1-3 minggu. Pada fase
penyembuhan varisela jarang terbentuk parut (scar) apabila tidak
9 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
disertai dengan infeksi sekunder bakterial. Gejala-gejala varisela
merupakan respon imun terhadap VZV. Perkembangan imunitas
berperantara-sel-spesifik-VZV penting dalam penyembuhan varisela.
Adanya interferon setempat juga membantu penyembuhan (Kimberlin,
dan Whitley, 2007; Lubis, 2008; Mehta, 2010).
Gambar 2. 4. Mekanisme Penyebaran Virus pada Tubuh Manusia
(Brooks, dkk, 2007).
2. 4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang khas pada varisela adalah terdapatnya
gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri kepala, mual, dan
anoreksia yang terjadi 1-2 hari sebelum lesi keluar. Lesi diawali pada
daerah wajah dan scalp, kemudian meluas ke dada (penyebaran
secara centripetal) dan meluas ke bagian tubuh yang lain. Lesi juga
dapat dijumpai pada mukosa mulut dan genital (Lubis, 2008). Lesi
biasanya sangat gatal dan mempunyai gambaran yang khas, yaitu
terdapatnya semua stadium lesi berupa vesikel dan krusta secara
bersamaan dalam satu waktu (Dhuanda, 2005).
10 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
2. 5. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik varisela menujukkan lesi dan efluorosensi yang
khas. Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa pada daerah
wajah dan dada.
Gambar 2. 5. Vesikel yang dikelilingi makula eritematosa pada hampir
seluruh permukaan tubuh pasien dengan infeksi VZV (Zikry, 2003).
Gambar 2. 6. Vesikel yang dikelilingi makula eritematosa pada regio
thorakal pasien degnan infeksi VZV (Huntley, 2005).
Makula eritematosa kemudian berubah dengan cepat dalam waktu
12-14 jam menjadi papul yang kemudian berkembang menjadi vesikel
dengan cairan jernih serta dasar eritematosa. Vesikel yang terbentuk
mempunyai gambarang klasik yaitu letaknya superfisial dan berdinding
11 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Warna kulit eritematosa
tipis sehingga terlihat seperti kumpulan tetesan air diatas kulit (tear
drop), berdiameter 2-3 mm, berbentuk elips dengan aksis panjangnya
sejajar dengan lipatan kulit, atau tampak vesikel seperti titik - titik
embun di atas daun bunga mawar (dew drop on a rose petal).
Gambar 2. 7. Vesikel yang letaknya superfisial dan berdinding tipis,
tampak seperti titik embun di atas bunga mawar (dew drop on a rose
petal) (Huntley, 2005).
Masuknya sel radang akan membuat vesikel manjadi keruh.
Vesikel akan berubah menjadi pustula pada hari kedua.
Gambar 2. 8. Pustula pada infeksi VZV (CDC, 2007).
Lesi kemudian akan mengering sehingga terbentuk umbilikasi
(delle) dan menjadi krusta dalam waktu yang bervariasi antara 2-12
hari, kemudian krusta ini akan lepas dalam waktu 1-3 minggu (Lubis,
2008).
12 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Dew drop on a rose petal
Pustula
krusta
Umbilikasi (dale)
Gambar 2. 9. Krusta dan Umbilikalis (delle) pada infeksi VZV (Zikry,
2003).
2. 6. Pemeriksaan Penunjang
Studi laboratorium menunjukkan sebagian besar anak dengan
varisela telah leukopenia dalam 3 hari pertama, diikuti dengan
leukositosis. Tanda leukositosis mungkin menandakan adanya infeksi
bakteri sekunder tetapi bukan merupakan suatu tanda yang
mutlak. Sebagian besar anak dengan infeksi bakteri sekunder yang
signifikan tidak memiliki leukositosis (Mehta, 2010).
Pemeriksaan imunohistokimia dari mengorek lesi kulit dapat
memastikan varisela. Prosedur ini berguna untuk pasien berisiko tinggi
yang memerlukan konfirmasi cepat. Imunohistokimia merupakan
metode pemeriksaan untuk mendeteksi protein dalam sel pada
jaringan hidup dengan menggunakan interaksi antigen antibodi.
Pemeriksaan imunohistokimia menggunakan antigen yang dilabel
dengan radioaktif. Antigen yang telah dilabeli ini akan direaksikan
dengan jaringan yang diambil dengan biopsi. Hasilnya dapat
digunakan untuk diagnosis keganasan tumor dan sekaligus untuk
memilih obat yang akan digunakan untuk terapi dengan melihat obat
mana yang sensitif terhadap jaringan yang diambil tersebut. Untuk
melakukan pemeriksaan ini memerlukan biaya yang cukup mahal
(mehta, 2010).
Pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan. Pemeriksaan serologi
terutama digunakan untuk mengkonfirmasi infeksi di masa lalu untuk
menilai status kerentanan pasien. Ini akan membantu menentukan
persyaratan pengobatan pencegahan untuk remaja atau orang dewasa
13 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
yang telah terkena varisela. Di antara banyak penelitian serologis,
yang paling sensitif adalah antibodi fluorescent tidak langsung (IFA),
antibodi fluorescent untuk membran antigen (FAMA), uji netralisasi
(NT), dan radioimmunoassay (RIA). Tes-tes ini memakan waktu dan
membutuhkan peralatan khusus. Aglutinasi lateks yang tersedia
secara komersial (LA) dan immunosorbent assay enzim-linked (ELISA)
tes sensitif dan cepat. Meskipun uji fiksasi komplemen sering
digunakan, kepekaannya rendah (Mehta, 2010).
Untuk pemeriksaan virus varicella zoster (vzv) dapat dilakukan
beberapa test yaitu:
a. Tzank Smear
Pemeriksaan ini dapat melihat multinucleated giant cells dengan
menggunakan mikroskop cahaya. Pewarnaan yang digunakan
adalah pewarnaan giemsa atau wright. Sensitifitas pemeriksaan ini
mencapai 84% namun pemeriksaan ini tidak dapat membedakan
antara virus varicella zoster dengan herpes simpleks virus (Lubis,
2008).
b. Direct Fluorescent Assay (DFA)
Preparat pada pemeriksaan ini diambil dari scraping dasar
vesikel, tetapi apabila sudah berbentuk krusta pemeriksaan ini
kurang sensitif. Pemeriksaan ini membutuhkan mikroskop
fluoresent dengan keunggulan hasil pemeriksaaan yang cepat serta
dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks virus
(Lubis, 2008).
c. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat
sensitif. Metode PCR dapat menggunakan berbagai preparat
seperti crapping dasat vesikel maupun krusta, namun preparat
yang paling sering digunakan adalah darah. Sensitifitasnya berkisar
97-100, namun memerlukan biaya yang besar.
d. Biopsi Kulit
Hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi kulit akan
menunjukkan vesikel intraepidermal dengan degenerasi sel
epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai
adanya lymphocytic infiltrate (Lubis, 2008).
14 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
2. 7. Penegakan Diagnosis
Diagnosis biasanya sudah dapat ditegakkan dengan anamnesis
dan berdasarkan gambaran klinis yang ada yaitu (Rampengan, 1993):
a. Timbulnya erupsi papulo-vesikuler yang bersamaan dengan
demam yang tidak terlalu tinggi
b. Perubahan-perubahan yang cepat dari makula menjadi papula
kemudian menjadi vesikel dan akhirnya menjadi krusta
c. Gambaran lesi berkelompok dengan distribusi paling banyak pada
tubuh lalu menyebar ke perifer yaitu muka, kepala, dan ekstremitas
d. Membentuk ulkus putih keruh pada mukosa mulut
e. Terdapat gambaran yang polimorf.
2. 8. Terapi
Medikamentosa
a. Pada penderita yang imunokompeten, biasanya tidak diperlukan
pengobatan yang spesifik. Pengobatan yang diberikan bersifat
simtomatis, yaitu (Depkes, 2008; Lubis, 2008; Mehta, 2010):
1) Lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak sisil 1%
agar tidak mudah pecah
2) Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat
diberikan salep antibiotik untuk mencegah terjadinya infeski
sekunder
3) Antipiretik dan analgetik
Golongan antipiretik menghambat sintesis dan pelepasan
sentral prostaglandin yang memediasi efek pirogen endogen di
hipotalamus. Demam pada varicella biasanya ringan, tetapi
dapat meningkat. Asetaminofen merupakan antipiretik paling
aman untuk gejala ini. Golongan salisilat (aspirin) tidak boleh
digunakan pada kasus varicella untuk menghindari terjadinya
reye syndrome. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
diperkirakan dapat menekan fungsi imun dan meningkatkan
progresi infeksi pada pasien yang terinfeksi Streptococcus
group A.
15 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Asetaminofen IbuprofenDewasa500-650 mg/dosis per oral 4-6 jam/xAnak-anak10-15 mg/kg per oral 4-6 jam/x
Dewasa200-400 mg per oral 4-6 jam/xAnak-anak (6-12 tahun)4-10 mg/kg/dosis per oral
Tabel 1. Dosis Asetaminofen dan Ibuprofen
4) Antihistamin
Golongan ini dapat mengurangi gatal dengan cara menghamat
efek pelepasan endogen histamin. Dipenhidramin (benadril)
memiliki efek sedasi dan efektif untuk meredakan gatal.
Sediaannya berupa cairan yang mengandung 12,5 mg/5 ml,
kapsul yang mengandung 25 dan 50 mg, dan injeksi yang
mengandung 10 dan 50 mg/ml. Dosis dewasa adalah 25-50 mg
per oral, sedangkan anak-anak 5 mg/kg/hari per oral
5) Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder akibat garukan.
b. Obat antivirus (Lubis, 2008)
1) Pemberian antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan,
dan waktu penyembuhan akan lebih singkat
2) Pemberian antivirus sebaiknya dalam jangka waktu <48-72 jam
setelah erupsi di kulit muncul
3) Golongan antvirus yang dapat diberikan yaitu asiklovir,
valasiklovir, dan famasiklovir
4) Dosis antivirus (oral) untuk pengobatan varicella dan herpes
zooster adalah:
a) Neonatus
Asiklovir 500 mg/m2 iv setiap 8 jam selama 10 hari
b) Anak (2-12 tahun)
Asiklovir 4x20 mg/kgBB/hari/oral selama 5 hari
c) Pubertas dan dewasa
Asiklovir 5x800 mg/hari/oral selama 7 hari
Valasiklovir 3x1 gr/hari/oral selama 7 hari
Famasiklovir 3x500 mg/hari/oral selama 7 hari
Asiklovir bekerja dengan cara menghambat polimerase DNA
virus dan menghambat replikasi virus. Asiklovir mengurangi
16 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
jumlah lesi dan lamanya demam jika diberikan dalam 24 jam
sejak munculnya ruam. Asiklovir tidak mengurangi gatal,
komplikasi varicella ataupun transmisi sekundernya. Asiklovir
selalu digunakan untuk komplikasi varicella seperti ensefalitis
dan pneumonia dan digunakan bagi penderita varicella yang
immunocompromised (Mehta, 2010).
Gambar 2. 10. Aktivasi asiklovir dan penghambatan sintesis
DNA virus (Lüllmann, Mohr, Ziegler, dan Bieger, 2000)
Golongan antivirus yang dapat diberikan pada kasus varisela
sejak beberapa tahu yang lalu yaitu asiklovir, valasiklovir,
famasiklovir, vidarabin, dan interferon leukosit (Brooks, 1996;
Lubis, 2008).
Gambar 2. 11. Perjalanan Virus dalam Sel Tubuh serta
Penghambatan Asiklovir terhadap Virus (Katzung, 2006).
17 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
c. Antibiotik
Apabila ada infeksi sekunder, diberikan penisilin prokain
50.000 IU/kgBB/hari selama 3 hari atau diberi amoksisilin 25-50
mg/kgBB/hari per oral (Depkes, 2008).
d. Varicella Zooster Immunoglobulin (VZIG)
VZIG dapat mencegah atau meringankan varisela, diberikan
intramuskular dalam 4 hari setelah terpajan. Penggunaan VZIG
pada kasus varisela neonatal sangat bermanfaat. Sebelum
penggunaan VZIG, mortalitas varisela neonatal sekitar 30%, hal ini
disebabkan terjadinya pneumonia yang berat dan hepatitis yang
fulminan. Pencegahan varisela neonatal secara alami juga terjadi
jika ibu mendapat varisela dalam waktu 5 hari atau lebih sebelum
melahirkan, maka si ibu mempunyai waktu yang cukup untuk
membentuk dan mengedarkan antibodi yang terbentuk (antibodi
transplasenta) ke janin yang dikandungnya (Handoko, 1999; Lubis,
2008).
Non-Medikamentosa
Penatalaksanaan non-medikamentosa yang dapat dilakukan pada
kejadian varisela diantaranya:
a. Isolasi untuk mencegah penularan
b. Diet bergizi tinggi (tinggi kalori dan protein)
c. Bila demam tinggi, kompres dengan air hangat
d. Upayakan agar tidak terjadi infeksi pada kulit, misalnya pemberian
antiseptik pada air mandi
e. Upayakan agar vesikel tidak pecah. Jangan menggaruk vesikel,
Kuku jangan dibiarkan panjang. Pasien varisela diharuskan mandi
untuk menjaga higienitas, air yang digunakan adalah air dingin
ataupun air hangat agar mengurangi gatal. Setelah mandi,
keringkan badan dengan menepal – nepalkan handuk, hindari
kontak handuk yang kuat dengan kulit karena dapat merusak
vesikel hingga pecah (Djuanda, 2005).
18 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
2. 9. Komplikasi
Komplikasi yang diakibatkan oleh varisela diantaranya (Lubis,
2008; Mehta, 2010):
a. Infeksi sekunder pada kulit yang terkena bakteri
Infeksi sering dijumpai pada kulit dan timbul pada anak-anak
yang berkisar antata 5-10%. Lesi pada kulit tersebut menjadi
tempat masuk organisme yang virulen dan apabila infeksi meluas
dapat menimbulkan impetigo, furunkel, selulitis, dan erysepelas.
b. Scar
Timbulnya scar berhubungan dengan infeksi
Staphylococcus atau Streptococcus group A dan Staphylococcus
aureus.
Gambar 2. 12. Komplikasi scar pada varisela (Mehta, 2010).
c. Pneumonia
Pneumonia dapat timbul pada anak-anak yang lebih tua dan
pada orang dewasa, yang dapat menimbulkan keadaan fatal. Pada
orang dewasa, insidensi varicella pneumonias sekitar 1:400 kasus.
d. Neurologik
1) Acute post-infection cerebellar ataxia
Ataxia sering muncul tiba-tiba, selalu terjadi 2-3 minggu
setelah timbulnya varicella. Keadaan ini dapat menetap selama
2 bulan. Manifestasinya berupa tidak dapat mempertahankan
posisi berdiri hingga tidak mampu untuk berdiri dan tidak
adanya koordinasi serta disartria. Insidensi berkisar 1:4000
kasus varicella.
19 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
2) Ensefalitis
VZV dapat menyebabkan penyakit neurologi dalam
spektrum yang luas, misalnya neuralgia post-herpetik, mielitis,
meningitis, dan ensefalitis. Ensefalitis jarang terjadi sebagai
komplikasi varisela. Kondisi imunosupresif dapat mempermudah
terjadinya ensefalitis. Manifestasi klinis yang berat dapat terjadi
karena infeksi primer maupun reaktivasi VZV laten. Patogenesis
yang mendasari reaktivasi VZV laten di otak diperkirakan
melibatkan banyak faktor (multifaktorial) dan belum didefinisikan
dengan jelas. Namun, penelitian tersebut juga menjelaskan
bahwa reaktivasi VZV akan menimbulkan VZV masuk ke dalam
cairan serebospinal. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya
ensefalitis (Buccoliero, dkk, 2010).
Gejala ini sering timbul selama terjadinya akut varicella, yaitu
beberapa hari setelah timbulnya ruam. Gejala yang sering
dijumpai adalah lelah, mengantuk, dan mudah bingung.
Beberapa anak mengalami serangan dan perkembangan
ensefalitis yang cepat, yang dapat menimbulkan koma yang
dalam. Ensefalitis merupakan komplikasi yang serius yang
mempunyai angka kematian 5-20%. Insidensi berkisar
1,7:100000 penderita.
e. Herpes zooster
Komplikasi yang lambat dari varicella yaitu timbulnya herpes
zooster. Herpes zooster timbul beberapa bulan hingga tahun
setelah terjadinya infeksi primer. Varicella zooster virus menetap
pada ganglion sensoris.
20 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Gambar 2. 13. Infeksi laten herpes virus (Brooks, dkk, 2007).
f. Reye syndrome
Reye syndrome ditandai dengan fatty liver dengan
encephalophaty. Keadaan ini berhubungan dengan penggunaan
aspirin, tetapi setelah digunakan acetaminophen (antipiretik) secara
luas, kasus reye syndrome mulai jarang ditemukan.
g. Varisela pada Masa Kehamilan
Varisela yang terjadi pada masa kehamilan dapat
menyebabkan terjadinya varisela intrauterin (embriopati) ataupun
varisela neonatal. Varisela intrauterin terjadi pada 20 minggu
pertama kehamilan. Sebuah penelitian mendapatkan risiko
terjadinya varisela embriopati apabila infeksi terjadi pada kehamilan
<20 minggu adalah 0,5-2%. Komplikasi yang terjadi adalah
kelainan kongenital seperti kedua lengan dan tungkai mengalami
atropi, kelainan neurologik maupun okular dan retardasi mental
(Prabawa, 1998; Lubis, 2008).
Varisela neonatal terjadi apabila seorang ibu mendapat
varisela (varicella maternal) <5 hari sebelum atau 2 hari sesudah
melahirkan. Bayi terpapar oleh viremia sekunder dari ibunya yang
didapat dengan cara transplasental, tetapi bayi tersebut belum
mendapat perlindungan antibodi terhadap VZV disebabkan tidak
cukupnya waktu untuk terbentuknya antibodi pada tubuh ibu
(antibodi transplasental) (Lubis, 2008).
21 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Gambar 2. 14. Infeksi Virus pada Fetus (Brooks, dkk, 2007).
2. 10. Prognosis
Prognosa varicella baik pada penderita yang non
immunocompromized, dan memperhatikan hiegenis perorangan serta
perawatan yang teliti. Pada penderita dengan gangguan sistem
kekebalan tubuh memiliki resiko penyakit yang berat dan kematian.
Angka kematian dari pneumonia varicella adalah 10% pada orang –
orang dengan system imun yang baik, dan 30% pada penderita yang
immunocompromised (Mehta, 2010).
Pada neonatus dan anak yang menderita leukimia,
immunodefisiensi, sering menimbulkan komplikasi dan angka kematian
yang meningkat. Angka kematian pada penderita yang mendapatkan
pengobatan immunosupresif tanpa mendapatkan vaksinasi dan
pengobatan antivirus antar 7 – 27% dan sebagian besar penyebab
kematian adalah akibat komplikasi pneumonitis dan ensefalitis. Cacar
air pada neonatus ini ,terkadang dapat sangat berat dan menimbulkan
kematian. Hampir 30 % varisella pada neonatus menimbulkan
kematian (Mehta, 2010).
Pada ibu hamil yang terinfeksi varisela selama kehamilan dapat
terjadi beberapa kemungkinan yaitu (Mehta, 2010):
a. Bila terjadi pada awal kehamilan, (kelainan congenital pada janin)
janin yang terinfeksi pada minggu ke 6-12 tampak mengalami
kelainan paling berat pada perkembangan tungkai. Janin yang
22 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
terinfeksi pada minggu ke 16-20 kehamilan dapat mencakup
kelainan mata dan otak. Infeksi varisela pada usia gestasi 20
minggu juga dapat menyebabkan terjadinya infantile zoster.
b. Bila terjadi pada tri semester akhir kehamilan (pada minggu ke 37-
42), dapat menyebabkan congenital varicella atau neonatal
varicella Cacar air pada neonatus ini ,terkadang dapat sangat berat
dan menimbulkan kematian.
2. 11. Pencegahan
Terdapat tiga vaksin yang mengandung virus varisela yang sudah
di setujui oleh United states, yaitu vaksin varisela (Varivax), kombinasi
dari vaksin MMRV (measles, mumps, rubella dan varisela) (ProQuad)
dan vaksin herpes zoster (Zostavaks). Setiap vaksin yang
mengandung virus varisela harus berasal dari virus varisela tipe vaksin
(sering disebut Oka) yang dilemahkan, Vaksin jenis Oka yang telah
dilemahkan itulah yang banyak dipergunakan di banyak negara dan
satu satunya yang memiliki ijin untuk mencegah penyakit yang
disebabkan oleh virus herpes pada manusia (Arvin, 2001), (CDC,
2009).
Vaksin Varisela mengandung virus yang dilemahkan dengan titer
virus 1,350 plaque forming unit (PFU). Pada vaksin kombinasi dari
MMRV, titer virus varisela yang dilemahkan (Oka) lebih tinggi
dibandingkan dengan titer virus varisela pada pemberian vaksin
varisela dosis tunggal, yaitu 9,772 plaque forming unit. Demikian juga
pada vaksin Herpes Zoster mengandung titer virus varisela sebesar
19,400 PFU (CDC, 2009).
Vaksin varisela mengandung sedikit sukrosa, gelatin procine,
sodium klorida, monosodium glutamate, sodium diphospat, potassium
phospat, dan potassium klorida dan sangat sedikit komponen dari
MRC5 cell (DNA dan protein), EDTA, neomisin dan serum fetal bovine
(CDC, 2009).
Vaksin varisela sebaiknya di berikan secara subkutan. Vaksin
arisela akan lebih efektif dan aman pada anak yang sehat jika
diberikan bersamaan dengan vaksin mumps, m and rubella (MMR)
pada sisi yang berbeda. Jika diberikan pada saat yang berbeda,
pemberian kedua vaksin harus dipisahkan setidaknya 28 hari. Selain
itu vaksin juga sebaiknya diberikan pada semaja yang berumur lebih
23 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
dari 13 tahun yang tidak memiliki kekebalan terhadap virus varisela.
Pemberiannya dengan menggunakan 2 dosis dengan selisih wakti 4
minggu (CDC, 2009).
Vaksin varicella direkomendasikan diberikan kepada orang yang
rentan dan berusia lebih dari 13 tahun. Orang dewasa yang
diprioritaskan untuk diimunisasi adalah mereka yang kontak dengan
orang yang berisiko tinggi yaitu penderita dengan komplikasi yang
serius, orang yang tinggal atau bekerja di lingkungan dimana bisa
terjadi penularan VZV (misalkan guru TK atau guru SD, pekerja tempat
penitipan anak, penghuni dan pekerja pada suatu asrama), orang yang
tinggal dan bekerja pada lingkungan dimana penularan bisa terjadi
(misalkan mahasiswa, orang pada satu ruang tahanan yang sama dan
anggota militer), wanita usia subur, remaja dan orang dewasa yang
tinggal serumah dengan anak-anak dan orang yang sering bepergian
keluar negeri. Orang berusia diatas 13 tahun membutuhkan 2 dosis
vaksin diberikan dengan selang waktu 4 – 8 minggu. Ruam ringan
seperti varisela pada tempat vaksin disuntikkan ditemukan sekitar 2 –
4 % pada anak-anak dan sekitar 5 % pada orang dewasa (Chin, 2000).
Vaksin varisela dapat mencegah cacar air 85% pada anak anak
yang menerima imunisasi, dengan 97% perlindungan terhadap
penyakit berat. Data ini didapatkan dari penelitian prelisensi (Arvin,
2001). Pada sumber yang berbeda, Vaksin ini mempunyai efikasi
kumulatif sekitar 70 – 90 % dalam mencegah varicella pada anak
hingga umur 6 tahun. Efektivitas vaksin pasca lisensi diperkirakan
sekitar 85 – 90 % untuk mencegah semua spektrum penyakit dan
hampir 100 % untuk mencegah timbulnya penyakit dengan derajat
sedang hingga berat (Chin, 2000).
Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2004, menyimpulkan
bahwa sekurang kurangnya pada 8 tahun pertama sejak diberikan
vaksinasi, sisa vaksin varisela masih dapat bekerja secara efektif
walaupun kegagalan vaksin tidak jarnag pula. Efektifitas yang
meningkat pada vaksin adalah dengan menyeimbangkan antara
resiko ketika seorang anak tidak divaksinasi selama 3 bulan dan resiko
pada anak yang tidak kembali melakukan vaksinasi. Pilihan untuk
menggatasi permasalahan ini adalah dengan pemberian dosis kedua.
Akan tetapi belum terdapat cukup data untuk mengkaji efektifitasnya.
24 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Pada saat vaksin baru yang digunakan secara luas, perhatian yang
penting tertuju pada kegagalan vaksin primer, dimata tidak terjadi
induksi imunitas non spesifik. Cacar air terjadi pada 15% anak yang
terpapar virus varisela zoster yang berbahaya, jika terjadi gejala ringan
menunjukkan imunitas spesifik yang kurang adekuat (Arvin, 2001).
Orang yang telah mendapat imunisasi tetapi masih terkena varicella
biasanya ringan dengan lesi yang lebih sedikit (biasanya kurang dari
50 dan lesi pada kulit tidak vesikuler), demam ringan atau tanpa
demam sama sekali dan lama sakit lebih singkat. Jika diberikan dalam
3 hari sesudah terpajan, vaksin varicella bisa mencegah atau secara
bermakna merubah perjalanan penyakit (Chin, 2000). Manifestasi klinis
menunjukkan tidak ada respon masuknya virus dari pada mukosa,
tetapi vaksin memediasi landasan dari respon host, yang dapat
membuat pembersian yang efisien terhadap limfosit yang terinfeksi
virus varisela zoster pada sirkulasi dan pembatasan repliksai virus
pada sel epitel. Pada percobaan klinis, kerentanan gagalnya vaksin
dan terjadi penyakit berhubungan dengan titer yang rendah dan
antibody terhadap virus varisela zoster yang rendah pula pada enam
minggu setelah imunisasi (Arvin, 2001).
Banyaknya kegagalan membuat para ahli berfikir mengadakan tes
serologi yang digunakan untuk mengidentifikasi keuntungan yang
sudah di dapatkan pada vaksinasi sebelumnya, untuk kemudian
dipertimbangkan untuk dilakukan revaksinasi (Arvin, 2001).
Komplikasi yang dapat ditimbulkan adalah infeksi bakteri,
pneumonia,ensefalitis, infeksi congenital dan sedikit kematian. Hal ini
bisa disebabkan karena terjadinya mutasi gen atau perubahan menjadi
jenis yang ganas, yaitu terjadi subtitusi asam amino yang dapat
mempengaruhi virulensi dan patogenesitas dari virus. Perbandingan
antara vaksin Oka dan Patogenik Oka adalah 42 subtitusi yang
berkaitan dengan perubahan 20 asam amino. Subtitusi asam amino
spesifik pada Open Reading Frames (ORF) 62 (pada bagian tegument
virus varisela zoster) dikaitkan dengan bertambahnya pertumbuhan
virus dan berkembangnya pada kultur sel (Sauerbrei, Rubtcova,
Schmid, Loparev, 2004). Kegagalan vaksin varisela juga dipengaruhi
oleh faktor penyimpanan vaksin yang tidak tepat (tidak dibekukan)
sehingga membuat vaksin menjadi impoten (CDC, 2009).
25 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
BAB III
PEMBAHASAN
1. Perkembangan Terapi Antivirus
Penelitian pada tahun 2009 mengungkap agen baru yang
berpotensi bagus dalam melawan VZV, yaitu FV100. FV100
merupakan golongan bicyclic nucleoside analogues (BCNAs). BCNAs
muncul sebagai anti-VZV yang paling poten dalam dekade terakhir ini.
Secara struktur, BCNAs hampir sama dengan pyrimidine nucleoside
analogue brivudine (BVDU)-golongan baru anti-VZV yang lain, tetapi
berbeda secara signifikan dalam hal senyawa biologis dan kimiawinya.
Berbeda dengan BVDU, BCNAs memiliki selektivitas hanya pada satu
virus saja, yaitu VZV (Siakallis, 2009).
Gambar 3. 1. Struktur beberapa golongan obat anti-VZV yang sering digunakan (a) Struktur Golongan Obat BCNAs ((McGuigan ,Pathirana,
Migliore, Adak, dkk., 2007; Migliore, 2009)
FV100 merupakan pro drug Cf1743. Cf1743 memiliki keunikan di
antara anti-virus lain dalam hal struktur dan lipophilicity. Senyawa
Cf1743 telah terbukti secara signifikan lebih kuat daripada semua
26 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
senyawa anti-VZV. Cf1742 dan Cf1743 lebih poten dalam
menghambat replikasi VZV secara in vitro dibanding dengan asiklovir,
valasiklovir, dan famsiklovir. Senyawanya lebih aktif 10-25 fold dalam
melawan VZV dibanding BVDU dan memiliki efikasi lebih tinggi
>4000-7800 fold dibanding asiklovir dan pensiklovir (Siakallis, 2009).
Mekanisme obat ini adalah penghambatan partikel virus yang menular
dan / atau produksi DNA virus, tetapi obat ini memiliki lipophilicity tinggi
dan kelarutan air yang sangat rendah senyawa sehingga
menyebabkan bioavailabilitas yang jelas ketika diberikan per oral
(<14%). FV100 baru-baru ini memasuki uji klinis fase II untuk
pengobatan herpes zoster (McGuigan dan Balzarini, 2009; Migliore,
2009).
Gambar 3.n 2. Efek Cf1743 (b) dibandingkan dengan asiklovir (a) pada sel epitel organotifik yang terinfeksi VZV (McGuigan ,Pathirana,
Migliore, Adak, dkk., 2007)
2. Perkembangan Pemberian Vaksin VZV
Pemberian vaksin virus varisela adalah pada anak-anak sehat pada
umur 12 sampai 18 bulan dan pada anak yang lebih tua yang belum
pernah menderita cacar air (Vazquez, et.al, 2004). Dosis tunggal 0.5
ml di rekomendasikan untuk imunisasi rutin bagi anak usia 12 –18
27 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
bulan (Chin, 2000). Dosis kedua vaksin varisela sebaiknya diberikan
pada umur 4-6 tahun, atau dapat diberikan sebelum umur 4-6 tahun
jika sudah lebih dari 3bulan sejak pemberian dosis pertama, batas 3
bulan ini terutama diberlakukan pada anak kurang dari 13 tahun.
Pemberian setelah berumur 4-6 tahun berdasarkan pada penelitian
yang dilakukan sebelumnya, 90% dari responden yang menerima
vaksin, masih mempertahankan titer antibodinya hingga 6 tahun.
Sedangkan pada orang yang sudah berumur lebih dari 13 tahun dapat
diberikan dengan jarak 4-8 minggu.. Karena pada umur lebih dari 13
tahun tersebut pemberian dosis tunggal efektifitas pemberian vaksin
dosis tunggal menurun menjadi 78%, sehingga diperlukan pemberian
dosis kedua pada 4-8minggu setelah pemberian dosis pertama (CDC,
2009).
28 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
BAB IV
KESIMPULAN
1. Varisela merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Virus
Varisela Zoster (VZV).
2. Manusia merupakan host bagi VZV yang menyerang semua umur.
3. Faktor risiko dari kejadian Varisela adalah, neonatus, dewasa,
penggunaan terapi steroid, keganasan, kondisi immunocompromised,
serta kehamilan.
4. Penegakkan diagnosis Varisela dapat dilihat dari anamnesis serta
gambaran klinis pada pemeriksaan fisik yaitu:
a. Timbulnya erupsi papulo-vesikuler yang bersamaan dengan
demam yang tidak terlalu tinggi
b. Perubahan-perubahan yang cepat dari makula menjadi papula
kemudian menjadi vesikel dan akhirnya menjadi krusta
c. Gambaran lesi berkelompok dengan distribusi paling banyak pada
tubuh lalu menyebar ke perifer yaitu muka, kepala, dan ekstremitas
d. Membentuk ulkus putih keruh pada mukosa mulut
a. Terdapat gambaran yang polimorf
5. Vaksin Varisela diberikan pada anak – anak sehat dengan umur 12
sampai 18 bulan, dengan efektivitas 80%. Vaksin kedua diberikan
pada umur 4 – 6 tahun, atau dapat diberikan sebelum umur 4 – 6
tahun apabila sudah lebih dari 3 bulan sejak pemberian dosis pertama.
Pada umur lebih dari 13 tahun, pemberian dosis kedua diberikan
dengan jarak 4 – 8 minggu setelah pemberian vaksin dosis pertama.
6. Penderita yang imunokompeten biasanya tidak memerlukan
pengobatan yang spesifik. Pengobatan simtomatis yang diberikan
adalah antipiretik, analgetik, dan antihistamin.
7. Antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan, dan waktu
penyembuhan akan lebih singkat.
8. Antivirus yang dapat digunakan dalam penanganan varisela
diantaranya asiklovir, valasiklovir, famasiklovir, vidarabin, dan
interferon leukosit.
29 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
DAFTAR PUSTAKA
Arvin, A. M. Varicella Vaccine – The First Six Years. N Engl J Med 2001:
344 (13).
Arvin, A. M. Varicella-Zooster Virus. Clinical Microbiology Reviews 1996:
361-81.
Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A. (2007). Pathogenesis & Control of
Viral Disease: Jawetz, Melnick, & Adelberg's Medical
Microbiology. 24th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Brooks, G.F., Butel, J.S., Ornston, L.N., Jawetz, E., Melnick, J.L.,
Adelberg, E.A. (1996). Herpesvirus: Mikrobiologi Kedokteran.
Edisi XX. Jakarta: EGC: 422-6.
CDC. 2007. Varicella (Chichenpox) Photo. Available from URL: http://
www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/varicella/photos.htm. Diakses
16 September 2010.
CDC. 2009. Pink book’s course textbook: Epidemiology and Prevention of
Vaccine Preventable Disease: Varicella. Hlm 283-304.
Available from URL: http:// www.cdc.gov/ vaccines/pubs/
pinkbook/ downloads/varicella.pdf. Diakses 8 September 2010.
Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Ed. 17.
Available from URL: http:// nyomankandun. tripod.com/
sitebuildercontent/sitebuilderfiles/manual_p2m.pdf. Diakses 8
September 2010.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman
Pengobatan Dasar di Puskesmas 2007. Available from URL:
http://www.depkes.go.id/downloads/doen2008/puskesmas_200
7.pdf. Diakses 17 September 2010.
Djuanda, Adhi. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keempat.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Handoko, Ronny P. 2006. Penyakit Virus. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: FKUI. Hlm: 115.
Huntley, A. 2005. Viral infection. Available from URL: http:/ /omeweb2.
ucdavis. edu/ Courses/ DER/ 420/ 2005/ pdf/ Lec18-Viral.pdf
Diakses 16 September 2010.
Katzung, B.G. (2006). Antiviral Agents: Basic and Clinical Pharmacology.
10th Edition. San Fransisco:McGraw-Hill Companies, Inc.
30 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Kimberlin, D. W., dan Whitley, R. J. Varicella-Zooster Vaccine for
Prevention of Herpes Zooster. N Engl J Med 2007: 356 (13);
1338-43.
Lubis, Ramona D. 2008. Varicella dan Herpes Zooster. Available from
URL: repository. usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 3425/1/
08E00895 .pdf. Diakses 11 September 2010.
Lüllmann, H., Mohr, K., Ziegler, A., dan Bieger, D. 2000. Antiviral Drugs:
Color Atlas of Pharmacology. 2nd Edition. New York: Thieme
Stuttgart, hlm: 287.
McGuigan, C. dan Balzarini, J. (2009). FV100 as A New Approach for
Possible Treatment of Varicella-Zoster Virus Infection: JAC:1-3
Mehta, P. N. 2010. Varicella. Available from URL: http://emedicine.
medscape.com/article/969773-overview. Diakses 14 September
2010
Migliore, M. (2009). FV-100: The Most Potent and Selective Anti-Varicella
Zoster Virus Agent Reported to Date: Antiviral Chemistry Et
Chemotherapy 20: 1-10.
Perwira, Satya. 2009. Available from URL: http://varicella-zooster-virus-
vzv.pdf. Diakses 5 September 2010.
Rahaus, M., Desloges, N., dan Wolff, M. 2006. Molecular Biology of
Varicella-Zoster Virus. Available from URL:
http://content.karger.com/ProdukteDB/Katalogteile/isbn3_8055/
_79/_82/miv26_02.pdf. Diakses 8 September 2010.
Rampengan, T H. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta: EGC.
Hlm: 103-8.
Sauerbrei, A., Rubtcova, E., Schmid, D. S., dan Loparev, Vladimir N.
Genetic profile of an Oka Varicella vaccine Virus Variant
Isolated from an Infant with zoster. Journal of Clinical
Mikrobiology 2004: 42 (12).
Siregar, R S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
Hlm: 88.
Vazquez M, LaRuissa PS, Gershon AA, et al. Effectiveness over time of
varicella vaccine. JAMA 2004: 291; 851–92.
Wiryadi, B. E. 2005. Infeksi Virus. Available from URL:
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e1943ee6e416e0e5
bbe70338c18eef811ff6ea20.pdf. Diakses 17 September 2010.
31 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0
Wolff, M. H., Schunemann, S., Schmidt, A. 2008. Varicella Zooster Virus:
Molecular Biology, Pathogenesis, and Clinical Aspect. Available
on URL: http: //books. google. com/ books?hl= en&lr=&id=
845c9yKXRyYC&oi=fnd&pg=PA21&dq=figure+time+
%22replication+cycle+of+varicella+zoster+virus
%22&ots=ALCpJiptPX&sig=SzLz4pAKVkrCCDURCZT3qB65G
FE#v=onepage&q&f=false. Diakses 17 September 2010.
Zikry, Kosman Sadek. 2003. Chickenpox Picture. Available on URL:
http://www.lib.uiowa.edu/hardin/md/dermatlas/chickenpox.html.
Diakses 16 September 2010.
32 | R e f e r a t 1 K e l o m p o k 1 2 B l o k T r o p i c a l M e d i c i n e 2 0 1 0