Download - REAKSI ANAFILAKSIS - UNUD
Pengalaman Belajar Lapangan
REAKSI ANAFILAKSIS
Oleh:
Pinky Pradika Shandy
dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Reaksi alergi yang mencakup munculnya ruam hingga kasus anafilaksis
merupakan salah satu kasus yang dapat dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada
definisi pasti dari anafilaksis, namun pada umumnya istiah tersebut digunakan
untuk menggambarkan reaksi alergi akut, progresif, dan juga mengancam nyawa.1
Anafilaksis disebabkan oleh degranulasi sel mast dan basofil serta pelepasan
mediator inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin, leukotrin, sitokin, dan
juga kemokin.2 Mediator tersebut menyebabkan munculnya kontraksi otot halus,
vasodilatasi, dan meningkatnya permeabilitas vaskuler yang nantinya
menimbulkan gambaran urtikaria, angioedema, bronkokonstriksi dan juga
hipotensi.3
Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis berdasar dari gejala yang
dimiliki seorang pasien.1 Reaksi anafilaksis dapat dipicu oleh semua agen yang
dapat mengaktifasi sel mast dan basofil, namun pada umumnya terdapat beberapa
alergen seperti makanan, obat-obatan, sengatan atau racun dari hewan, latex, dan
injeksi alergen saat immunoterapi. Pada sepertiga kasus anafilaksis tidak
ditemukan adanya pencetus.2-5
Kasus alergi, terutama di Inggris tergolong banyak, dimana menjangkit sekitar
30% dewasa dan 40% anak-anak.6 Insiden anafilaksis sendiri kurang dapat
diperkirakan karena tidak adanya definisi pasti sehingga sering menimbulkan
diagnosis yang kurang tepat. Namun berdasar review dari literatur American
College of Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of Anaphylaxis
kejadian anafilaksis berkisar 0,5 hingga 2% dan kini diperkirakan semakin
meningkat.7,8
Mortalitas dari anafilaksis kurang dari 1%, dimana sebagian kasus
kematian muncul dalalm waktu satu jam setelah paparan alergen yang disebabkan
oleh edema saluran pernafasan bagian atas dan spasme bronkus, ataupun
hipotensi dan kegagalan sirkulasi.9-12
Meskipun angka mortalitas dari anafilaksis
rendah, namun penanganan yang cepat dan tepat sangat diperlukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Reaksi alergi atau hipersensitivitas merupakan respon imun yang berlebihan dan
yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh.
Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi menjadi empat tipe reaksi berdasar
kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi tersebut dapat terjadi secara
tunggal, namun dalam praktek sehari-hari sering ditemukan adanya dua atau lebih
jenis reaksi yang terjadi secara bersamaan.13
Reaksi anafilaksis atau reaksi tipe I merupakan reaksi cepat dimana gejala muncul
segera setelah alergen masuk ke dalam tubuh.13
Terdapat berbagai definisi
mengenai anafilaksis, namun pada umumnya para pakar sepakat bahwa
anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dan dapat mengancam
nyawa. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi dikenal dengan
reaksi anafilaktik, sedangkan reaksi yang ridak melalui reaksi imunologik disebut
reaksi anafilaktoid, namun karena gejala yang timbul maupun pengobatannya
tidak dapat dibedakan, maka kedua reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.14
2.2 ETIOLOGI
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE ataupun
melalui non-IgE. Selain obat yang menjadi penyebab tersering dari anafilaksis,
terdapat beberapa pencetus lain seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan
tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin, dan beberapa
kejadian tidak diketahui penyebabnya.14
Makanan merupakan pemicu tersering pada anak-anak dan obat-obatan pada
orang dewasa. Secara umum makanan ataupun obat jenis apapun dapan menjadi
pemicu, namun beberapa jenis makanan seperti kacang-kacangan dan juga obat
seperti pelemas otot, antibiotik, NSAID serta aspirin dilaporkan menjadi penyebab
tersering dari anafilaksis.15
Tabel 1. Beberapa alergen pada kasus anafilaksis.15,16
Sengatan hewan Tawon, lebah
Kacang-kacangan Kacang tanah, kacang kenari, kacang almond, kacang brazil, hazel
Makanan Susu sapi, telur, ikan, lobster, kepiting, udang, cumi-cumi, buncis,
krustasea, pisang, siput, daging ayam, daging kalkun, daging babi
Antibiotik Penisilin, cephalosporin, amphotericin, ciprofloxacin, vancomycin
Obat anestesi Suxamethonium, atracurium, obat-obatan induksi
Obat lainnya NSAID, ACEI, gelatin, protamin, vitamin K, etoposide, acetazolamide,
pethidine, anestesi lokal, diamorphine, streptokinase
Kontras Iodinated, technetium, fluorescein
Lainnya Latex, cat rambut, hydatid
2.3 PATOFISIOLOGI
2.3.1 Reaksi tipe I
Reaksi hipersensitivitas ini juga dikenal sebagai reaksi cepat atau reaksi
anafilaksis, dimana reaksi muncul segera setelah alergen masuk ke dalam
tubuh. Alergen atau antigen yang masuk nantinya akan ditangkap oleh
fagosit, diproses dan dipresentasikan pada sel Th2, yang merupakan sel
yang akan melepas sitokin dan merangsang sel B untuk membentuk IgE.
IgE sendiri akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor seperti sel mast,
basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpapar ulang dengan alergen yang
sama, alergen tersebut akan diikat oleh IgE spesifik yang berada di
permukaan sel mast, dan nantinya akan menimbulkan degranulasi sel mast.
Degranulasi tersebut melepaskan berbagai mediator seperti histamin yang
akan menimbulkan gejala klinis pada reaksi alergi ini. Selain histamin,
mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrin yang dihasilkan dari
metabolisme asam arakhidonat juga berperan pada fase lambat dari reaksi
tipe I, dimana muncul gejala beberapa jam setelah paparan. Beberapa gejala
yang segera muncul setelah paparan alergen antara lain asma bronkial,
rinitis, urtikaria, dan dermatitis atopik.13
2.3.2 Reaksi tipe II
Reaksi tipe II atau reaksi sitotoksik terjadi karena terbentuknya antibodi IgG
atau IgM karena paparan antigen. Ikatan antibodi antigen tersebut nantinya
dapat mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis sel. Lisis dari suatu
sel sendiri juga dapat terjadi melalui sensitisasi sel NK yang berperan
sebagai efektor antibody dependent cell cytotoxicity. Contoh dari reaksi tipe
II adalah destruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi dan juga kasus
anemia hemolitik. Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit autoimun
seperti miastenia gravis dan tirotoksikosis juga timbul melalui mekanisme
ini.13
2.3.3 Reaksi tipe III
Reaksi tipe III yang juga disebut reaksi kompleks imun terjadi akibat adanya
endapan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah.
Antibodi yang berperan pada kasus ini adalah IgG atau IgM. Kompleks
tersebut akan mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan
berbagai mediator terutama macrophage chemotactic factor. Makrofag yang
dikerahkan ke tempat tersebut nantinya akan merusak jaringan sekitar.
Antigen sendiri dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten
seperti malaria, bahan yang terhirup seperti spora jamur, atau bahkan dari
jaringan sendiri seperti pada kasus autoimun.13
2.3.4 Reaksi tipe IV
Reaksi tipe ini muncul lebih dari 24 jam setelah paparan antigen, sehingga
disebut juga dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini dibagi
menjadi delayed type hypersensitivity (DTH) yang terjadi melalui peran
CD4+ dan T cell mediated cytolysis dengan peran CD8
+.13
Pada DTH, sel CD4+ Th1 yang mengaktifkan makrofag berperan sebagai sel
efektor. Sel tersebut melepas sitokin interferon gamma yang nantinya akan
mengaktifkan makrofag dan menginduksi inflamasi. Kerusakan jaringan
pada reaksi tipe ini diakibatkan oleh produk makrofag yang teraktivasi
seperti enzim hidrolitik, oksigen reaktif intermediet, oksida nitrat, dan
sitokin proinflamasi. Contoh reaksi DTH adalah reaksi tuberkulin,
dermatitis kontak, dan reaksi granuloma.13
Reaksi hipersensitivitas selular merupakan suatu reaksi autoimunitas, oleh
karena itu reaksi yang muncul pada umumnya terbatas pada satu organ saja
dimana kerusakan yang terjadi merupakan akibat dari CD8+ yang langsung
membunuh sel target. Sebagai contoh pada infeksi virus hepatitis, virus
tersebut tidak bersifat sitopatik namun kerusakan yang ada ditimbulkan oleh
respon cytotoxic T lymphocyte terhadap hepatosit yang terinfeksi.13
2.4 DIAGNOSIS
Gejala dari reaksi anafilaksis dapat mencakup beberapa organ, dimana gejala-
gejala dapat dilihat pada Tabel 2.17
Diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan
berdasarkan pada tanda klinis dan gejala yang timbul dimana kriteria Sampson
yang telah dipublikasi dapat dilihat pada Tabel 3.18
Tabel 2. Tanda dan gejala dari anafilaksis.17
Kulit
Urtikaria
Angioedema
Eritema
Pruritus
Gastrointestinal
Mual
Muntah
Nyeri perut
Diare
Saluran Napas Bagian Atas
Kongesti
Suara serak
Bersin
Batuk
Orofaringeal atau laringeal edema
Saluran Napas Bagian Bawah
Spasme bronkus
Mengi
Dada terasa terikat
Neurologi
Kepala terasa ringan
Pusing
Bingung
Oral
Gatal
Gatal atau bengkak pada bibir, lidah, atau
palatum
Lainnya
Ansietas
Kardiovaskuler
Hipotensi
Pusing
Sinkop
Takikardia
Anamnesis yang cermat perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab dari
anafilaksis. Informasi mengenai manifestasi klinis seperti urtikaria, angioedema,
obstruksi jalan nafas, dan juga paparan alergen sebelum gejala seperti makanan,
obat, ataupun gigitan serangga perlu diperoleh melalui anamnesis. Tidak adanya
manifestasi pada kulit menimbulkan keraguan dalam diagnosis anafilaksis, namun
tidak adanya manifestasi tersebut tidak dapat secara langsung menyingkirkan
diagnosa anafilaksis.17
Penyebab dari munculnya suatu anafilaksis dapat diketahui dengan pemeriksaan
IgE in vitro atau skin test. Diagnosis klinis dari reaksi ini dapat didukung dengan
adanya peningkatan konsentrasi sel mast dan juga mediator basofil seperti
histamin pada plasma atau tryptase total baik dalam serum atau plasma.17
Tabel 3. Kriteria klinis untuk anafilaksis.18
Apabila terdapat minimal satu dari tiga kriteria di bawah ini, sangat mendukung diagnosa
anafilaksis
1. Serangan yang bersifat akut (menit-beberapa jam) dengan adanya keterlibatan kulit, jaringan
mukosa, atau keduanya (seperti urtikaria generalis, pruritus atau kemerahan, bengkak pada bibir-
lidah-uvula)
Ditambah dengan minimal satu dari:
Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*,
hypoxemia)
Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ (hipotonia,
sinkop, inkontinensia)
2. Minimal dua dari gejala di bawah ini yang muncul segera setelah paparan alergen yang dicurigai
(menit-beberapa jam)
Keterlibatan kulit-jaringan mukosa (urtikaria generalis, gatal dan kemerahan, bengkak pada
bibir-lidah-uvula)
Gangguan pernapasan (dispneu, mengi atau spasme bronkus, stridor, penurunan PEF*,
hypoxemia)
Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kerusakan organ (hipotonia,
sinkop, inkontinensia)
Gejala gastrointestinal yang persisten (kram, nyeri perut, dan muntah)
3. Penurunan tekanan darah setelah paparan alergen yang telah diketahui sebelumnya
Balita dan anak-anak : sistolik rendah (spesifik menurut usia) atau sistolik menurun >30%**
Dewasa: sistolik <90mmHg atau penurunan sistolik >30% dari baseline
*PEF : Peak Expiratory Flow
**Definisi tekanan darah sistolik yang rendah untuk anak-anak
1 bulan-<1tahun : <70mmHg
1-10 tahun: kurang dari (70mmHg + [2 x usia])
11-17 tahun : <90mmHg
2.5 TATALAKSANA
Penanganan pasien dengan anafilaksis didahului dengan penanganan airway,
breathing dan circulation. Saat seorang pasien memenuhi kriteria, pemberian
epinephrine harus segera diberikan karena merupakan terapi utama anafilaksis.18
Epinephrine 1:1000 diberikan secara intra muskuler dengan dosis 0,01 mg/kg
untuk anak-anak dengan dosis maksismum 0,5mg atau 0,3-0,5mg untuk dewasa,
dapat diulang setiap 5-15 menit bila dibutuhkan.18,19
Dosis tersebut
direkomendasikan untuk mengontrol gejala dan mempertahankan tekanan darah.
Pemberian melalui rute intra muskuler terutama pada anterolateral paha dikatakan
dapat meningkatkan konsentrasi epinephrine dalam darah dengan waktu yang
lebih cepat bila dibandingkan dengan rute subkutan ataupun intra muskuler pada
deltoid. Rute intra vena dapat dipilih dalam kondisi khusus seperti hipotensi yang
berat atau henti jantung yang tidak memberikan respon pada pemberian intra
muskuler ataupun resusitasi cairan. Dosis epinephrine intra vena dapat diberikan
secara bolus 5-10ug (0,2ug/kg) pada kasus hipotensi dan 0,1-05mg pada henti
jantung. Pemberian secara intra vena harus dilakukan dengan hati-hati karena
dapat menyebabkan aritmia sehingga pemasangan monitor jantung sangat
direkomendasikan. Infus epinephrine dosis rendah yang diberikan secara kontinyu
merupakan pilihan yang sangat aman dan efektif apabila pemberian dengan rute
intra vena harus dilakukan.18
Tabel 4. Diagnosa banding dari anafilaksis.19
Presentasi Diagnosis Banding
Hipotensi Syok septik
Reaksi vasovagal
Syok kardiogenik
Syok hipovolemik
Gangguan pernapasan dengan wheezing atau
stridor
Corpus allienum pada saluran nafas
Asma atau eksaserbasi PPOK
Sindrom disfungsi pita suara
Postprandial collapse Corpus allienum pada saluran nafas
Konsumsi monosodium glutamat
Konsumsi sulfite
Keracunan ikan scombroid
Kemerahan (flushing) Carcinoid
Postmenopausal hot flushes
Sindrom red man (vancomycin)
Lainnya Serangan panik
Systemic mastocytosis
Angioedema herediter
Leukemia dengan produksi histamin
berlebih
Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan atau hipoksemia, dianjurkan
pemberian oksigen melalui sungkun non rebreathing ataupun endotracheal tube.
Beta 2 agonis yang diberikan secara inhalan, seperti albuterol, dapat berguna
untuk mengatasi spasme bronkus yang refrakter terhadap epinephrine.18
Resusitasi cairan harus dilakukan secara agresif (10-20ml/kg) apabila kondisi
hipotensi tidak teratasi dengan pemberian epinephrine. Pemberian kristaloid
dalam volume besar diperlukan pada 5-10menit pertama, dan dapat dilanjutkan
dengan pemberian koloid. Vasopresor seperti noradrenalin, vasopressin, atau
metaraminol dibutuhkan untuk mengatasi vasodilatasi yang tidak dapat terkoreksi
dengan pemberian epinephrine ataupun resusitasi cairan.18
Terapi lini kedua untuk anafilaksis adalah antihistamin (H1 dan H2 antagonis),
dimana obat ini memiliki waktu kerja yang lebih lambat dari epinephrine, dan
hanya memiliki efek minimal dalam tekanan darah. Pemberian antihistamin
sangat berperan dalam penanganan simptomatik seperti urtikaria, angioema,
ataupun pruritus. Dipenhydramine dapat diberikan secara intra vena atau intra
muskuler dengan dosis 25-50mg, sediaan oral dapat diberikan untuk kasus ringan.
Kombinasi dari H1 dan H2 antagonis akan memiliki hasil yang lebih efektif dalam
penanganan manifestasi pada kulit. Ranitidin dan cimetidine merupakan obat
pilihan dari golongan H2 antagonis.18
Efektivitas pemberian kortikosteroid yang tinggi pada kasus alergi lainnya
membuat para klinisi menggunakan obat ini sebagai terapi pada anafilaksis untuk
mencegah reaksi berkepanjangan ataupun reaksi bifasik. Metilprednisolone dapat
diberikan 1-2mg/kg setiap 6jam atau dapat dipertimbangkan pemberian prednison
oral 1mg/kg dengan dosis maksimal 50mg pada serangan ringan.18
Setelah penanganan reaksi anafilaksis diberikan, observasi satu hingga 72jam
terhadap pasien harus dilakukan untuk mencegah fase bifasik yang muncul karena
efek epinephrine yang sudah mulai hilang. Munculnya fase bifasik pada
anafilaksis dilaporkan pada 1-20% kasus, terutama serangan berat. Keterlambatan
pemberian epinephrine ataupun diperlukannya dosis ekstra untuk mengontrol
serangan awal memiliki hubungan dengan munculnya fase ini.18
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : IMU
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 72 tahun
Bangsa/Suku : Indonesia/Bali
Agama : Hindu
Alamat : Jl. Letda Made Putra Denpasar
Tgl MRS : 24 Juni 2015 (23:18 WITA)
Tgl Pemeriksaan : 26 Juni 2015
No Rekam Medis : 14063399
3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama
Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan sesak nafas sejak 3 jam SMRS yang dirasakan timbul
mendadak dan dada terasa seperti terikat. Sesak nafas dirasakan sangat berat
hingga sulit untuk menarik nafas dan tidak membaik dengan perubahan posisi.
Sesak dirasakan setelah pasien mengkonsumsi nasi bungkus yang berisi lawar
babi dan makanan olahan babi lainnya pada pukul 19.00 (24/6/2015). Keluhan ini
disertai juga dengan tenggorokan yang terasa kering dan juga terasa seperti
tercekik.
Pasien juga mengeluhkan munculnya kemerahan pada kulit yang sedikit menonjol
dan juga terasa gatal. Kemerahan tersebut muncul setelah keluhan sesak napas,
dan muncul pertama kali pada paha kanan dan kemudian menyebar ke daerah
perut dan dada.
Buang air besar dengan konsistensi cair dialami dua kali oleh pasien, dimana
keluhan tersebut muncul setelah keluhan sesak dialami. BAK dikatakan normal.
Riwayat Penyakit Terdahulu dan Pengobatan
Pasien memiliki riwayat alergi terhadap penisilin sejak tahun 30 tahun yang lalu
yang diketahui saat ia dirawat di rumahsakit. Tidak ada riwayat alergi makanan
sebelumnya. Riwayat asma, bersin-bersin di pagi hari, hipertensi, dan diabetes
mellitus disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan cucunya memiliki riwayat alergi terhadap makanan seperti
cumi-cumi, udang, dan kepiting. Reaksi alergi yang muncul pada cucu pasien
berupa kulit kemerahan disertai gatal-gatal dan kelopak mata yang bengkak,
namun tidak sampai sesak nafas.
Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang montir, ia tinggal bersama istri, anak dan cucunya. Pasien
memiliki riwayat merokok sejak muda namun satu tahun yang lalu pasien sudah
berhenti merokok. Pasien juga memiliki riwayat minum minuman beralkohol,
terutama apabila ada acara khusus seperti upacara keagamaan. Riwayat konsumsi
obat-obatan terlarang disangkal.
3.3 PEMERIKSAAN FISIK (24 Juni 2015)
Status Present
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98x/menit
Respirasi : 30x/menit
Temp. aksila : 36,7ºC
VAS : 0/10
Tinggi badan : 163 cm
Berat badan : 52 kg
BMI : 19,62kg/m2
Status General
Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor 3mm,
edema palpebra (-/-)
THT
Telinga : serumen (-/-), hiperemi (-/-)
Hidung : septum deviasi (-), sekret (-/-)
Tenggorokan : tonsil (T1/T1) hiperemi (-), faring hiperemi (-)
Mukosa bibir : sianosis (-)
Mulut : perdarahan gusi (-)
Leher : JVP PR + 0cmH2O, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : simetris (+), urtikaria (+)
Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas atas ICS II, batas bawah ICS V, batas kanan PSL
D, batas kiri MCL S
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : simetris pada saat statis dan dinamik
Palpasi : vokal fremitus N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : distensi (-), urtikaria (+), bising usus (+) normal
Ekstremitas : hangat + + , edem - -
+ + - -
: urtikaria pada regio femur dekstra
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap (25 Juni 2015, 00:18 WITA)
Parameter Hasil Satuan Referensi Keterangan
WBC 18,9 103/μL 4,10-11,0 Tinggi
Neutrofil 12,6 66,8 103/μL % 2,50-7,50 47,00-80,00 tinggi
Limfosit 4,36 23,0 103/μL % 1,00-4,00 13,00-40,00 tinggi
Monosit 1,33 7,02 103/μL % 0,10-1,20 2,00-11,00 tinggi
Eosinofil 0,498 2,63 103/μL % 0,00-0,50 0,00-5,00
Basofil 0,099 0,522 103/μL % 0,00-0,10 0,00-2,00
RBC 4,72 103/μL 4,00-5,20
HGB 14,5 g/dL 12,0-16,0
HCT 42,9 % 38,00-46,00
MCV 91,0 fL 80,00-100,00
MCH 30,7 pg 26,00-34,00
MCHC 33,8 g/dL 31,00-36,00
RDW 12,8 % 11,60-14,80
PLT 223 103/μL 140,00-440,00
MPV 7,72 fL 6,80-10,0
Kimia Klinik (25 Juni 2015, 00:18 WITA)
Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan
SGOT 15,1 U/L 11 – 27
SGPT 11,8 U/L 11,0 – 34,0
BS Acak 115 mg/dL 70,00 – 140,00
BUN 17 mg/dL 8,00-23,00
Creatinin 0,92 mg/dL 0,50 – 0,90
Natrium 135 mmol/L 136-145
Kalium 3,6 mmol/L 3,50-5,10
Analisis Gas Darah (25 Juni, 01:42 WITA)
Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan
pH 7,4 7,35-7,45
pCO2 42 mmHg 35,00-45,00
pO2 144 mmHg 80,00-100,00 Tinggi
BEecf 1,2 mmol/L -2 – 2
HCO3- 26 mmol/L 22,00-26,00
SO2c 99 % 95%-100%
TCO2 27,3 mmol/L 24,00-30,00
3.5 DIAGNOSIS KERJA
Reaksi anafilaksis et causa suspek makanan et causa suspek daging babi
3.6 PENATALAKSANAAN
Planning terapi
Rawat inap
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Oksigen via nasal kanul 2lpm
Epinephrine 0,3mg IM
Dipenhydramine 3 x 10 mg IV
Metilprednisolone 2 x 62,5mg IV
Planning diagnostik
IgE total
Planning monitoring
Vital sign dan keluhan
BAB IV
DISKUSI HASIL KUNJUNGAN RUMAH
4.1 ALUR KUNJUNGAN RUMAH
Kunjungan rumah dilakukan pada Selasa, 30 Juni 2015 ke tempat tinggal pasien
yang berada di Jalan Letda Made Putra no. 19, Denpasar. Penulis meminta izin
dan membuat janji terlebih dahulu dengan pasien sebelum dilakukannya
kunjungan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan dan
mengamati kondisi pasien secara langsung, menemukan permasalahan yang ada,
bersama-sama mencari bentuk penyelesaian, dan juga untuk memberikan edukasi.
Pada saat kunjungan dilakukan, pasien mengatakan bahwa kondisinya sudah jauh
lebih baik. Adapun intervensi yang dilakukan adalah:
a. Edukasi pada pasien untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang
penyakit yang dialami.
b. Menyadarkan pasien akan pentingnya mengenali faktor pencetus dan
tindakan yang dapat dilakukan apabila terjadi reaksi alergi terutama
anafilaksis.
c. Memberikan edukasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan pasien dengan
memenuhi kebutuhan nutrisi serta beraktivitas dengan baik.
4.2 DAFTAR PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang masih menjadi kendala bagi pasien dalam
menghadapi penyakitnya, yaitu:
1. Pasien masih kurang mengerti mengenai penyakitnya, terutama mengenai
perjalanan penyakit, faktor risiko, gejala, komplikasi yang mungkin timbul,
serta penanganannya.
2. Pasien belum bisa mengenali dengan jelas hal-hal apa saja yang dapat
memicu timbulnya reaksi alergi.
4.3 ANALISIS KEBUTUHAN
4.3.1 Kebutuhan fisik-biomedis
Pemenuhan nutrisi harian pasien ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Pola Makan Pasien beserta Jadwalnya
Jenis Jumlah Jadwal/Hari Jadwal/Minggu
Karbohidrat
Nasi
Roti
Mie
Lainnya
3/4 gelas
-
-
-
3 kali
-
-
-
21 kali
-
-
-
Protein
Hewani
Nabati
1 potong
2 potong
2 kali
2 kali
14 kali
7 kali
Sayur 1 gelas 2 kali 14 kali
Buah 1 buah 1 kali 2 kali
Susu - - -
Menurut pengakuan dari pasien, sehari-harinya pasien makan dengan
frekuensi 2-3 kali per hari. Komposisi makanan setiap kali makan dikatakan
tidak selalu sama, bergantung pada makanan yang tersedia ketika itu.
Adapun gambaran umum menu untuk masing-masing jadwal makan pasien,
sebagai berikut:
Makan pagi : Nasi, tahu, tempe, sayur, dan daging
Makan siang : Nasi, tahu/tempe, sayur, dan daging
Makan malam : Nasi, sayur, dan daging
Sesekali di antara waktu makan, pasien gemar mengonsumsi buah-buahan,
seperti pepaya dan semangka. Setelah pasien mengalami alergi terhadap
daging babi, ia menghindari dan menolak untuk mengkonsumsi daging babi,
sehingga kini ia hanya mengkonsumsi daging ayam.
Analisis kebutuhan kalori
Kebutuhan kalori pasien dapat dihitung dengan menggunakan rumus Broca
dengan pertama-tama menentukan berat badan ideal pasien, sebagai berikut:
Berat badan ideal (BBI) = (tinggi badan (cm) - 100) x 1 kg ± 10%
= (163 - 100) x 1 kg ± 10%
= 56-69 kg
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada pasien,
diperoleh bahwa berat badan pasien saat ini adalah 52 kg dan termasuk
dalam rentang berat badan kurang. Selanjutknya dilakukan penghitungan
total kebutuhan kalori pasien per hari yang didasarkan atas kebutuhan kalori
basal dan koreksi sesuai dengan kondisi pasien.
1. Kebutuhan kalori basal (jenis kelamin: pria)
= berat badan (kg) x 30 kalori/kgBB
= 56 kg x 30 kalori/kg
= 1680 kkal
2. Koreksi
a. Tingkat aktivitas ringan, sehingga ditambah 20% dari kebutuhan
basal
= 20% x 1680 kkal
= 336 kkal
b. Usia >70 tahun, sehingga dikurangi 20% dari kebutuhan basal
= 20% x 1680 kkal
= 336 kkal
Total kebutuhan kalori pasien per hari, yaitu:
= kebutuhan basal + koreksi tingkat aktivitas – Koreksi usia
= 1680 kkal + 336 kkal - 336 kkal
= 1680 kkal
Distribusi makanan
Total kebutuhan kalori pasien per harinya dibagi dalam 3 posi makan utama
dan 2 porsi makanan selingan, sebagai berikut:
a. Makan pagi : 20% x 1680 kkal = 336 kkal
b. Makan siang : 30% x 1680 kkal = 504 kkal
c. Makan malam : 25% x 1680 kkal = 420 kkal
d. Selingan makan pagi dan siang : 15% x 1680 kkal = 252 kkal
e. Selingan makan siang dan malam : 10% x 1680 kkal = 168 kkal
Adapun distribusi makanan berdasarkan komponen makanan, sebagai
berikut:
Distribusi Makanan Berdasarkan Komponen Makanan
Waktu
Makan Jumlah
Karbohidrat
(50%)
Protein
(20%)
Lemak
(30%)
Pagi 336 kkal 168 kkal 67,2 kkal 100,8 kkal
Siang 504 kkal 252 kkal 100,8 kkal 151.6 kkal
Malam 420 kkal 210 kkal 84 kkal 126 kkal
Selingan 1 252 kkal 126 kkal 50.4 kkal 75.6 kkal
Selingan 2 168 kkal 84 kkal 33.6 kkal 50.4 kkal
TOTAL 840 kkal 336 kkal 504 kkal
Pemilihan Jenis Makanan
Dengan penghitungan tersebut, maka dicoba untuk memberikan suatu
gambaran pola makanan yang mencakup jenis makanan dan jumlah
makanan. Pemilihan jenis makanan disesuaikan dengan makanan yang
tersedia dan terjangkau bagi pasien serta disesuaikan dengan kondisi
hipersensitivitas pasien yakni menghindari makanan olahan babi dimana hal
tersebut diduga sebagai penyebab reaksi alergi.
Jenis Pilihan Makanan
Waktu
Makan Karbohidrat Protein Lemak
Makan Pagi Roti putih tawar: 2
iris
Nasi putih: ¾ gelas
Singkong: 1
potong
Mi basah : 1,5
gelas
Biskuit: 3 buah
besar
+
Jeruk manis 1 buah
Protein hewani
Ayam tanpa kulit ¾
potong besar
Putih telur ayam 1,5
btr
Protein Nabati
Kacang hijau 1 sdm
Kacang tanah 1 sdm
Tahu 1 potong besar
Tempe 1 potong
sedang
Telur ayam 1,5
butir
Telur bebek asin 1
butir
Hati ayam ½ buah
sedang
Bebek ½ potong
sedang
Daging ayam
dengan kulit ½
ptng sedang
Selingan 1 Biskuit 3 buah besar
Kentang 1,5 buah sedang
Roti putih 2 iris
Susu sapi 1 gelas + biskuit 1 buah besar
Makan siang Nasi putih 1 gelas
Roti tawar 3,5 iris
Mi basah 2,5 gelas
Protein hewani
Ayam tanpa kulit 1,5
potong sedang
Putih telur ayam 3 btr
Protein Nabati
Kacang hijau 2 sdm
Telur ayam 1,5
butir
Telur bebek asin 1,5
butir
Hati ayam 1,5 buah
sedang
Bebek ½ potong
Akses pelayanan kesehatan
Pasien tinggal di Jalan Letda Made Putra No. 19 Denpasar dengan akses ke
pelayanan kesehatan yang cukup terjangkau karena dekat dengan beberapa
rumah sakit. Selain itu, pasien juga memiliki anggota keluarga yang dapat
mengantarkannya ke pusat layanan kesehatan apabila ia sakit.
Lingkungan
Pasien tinggal sekeluarga yang beralamat di Jalan Letda Made Putra No. 19
Denpasar, dimana lokasi tersebut termasuk lingkungan yang padat
penduduk. Rumah pasien merupakan bangunan permanen dengan luas
sekitar 5 are. Dalam lingkungan rumah pasien terdapat 3 kamar tidur, 1
ruang tamu, 1 kamar mandi, 1 tempat sembahyang, dan 1 ruang kerja yang
berupa bengkel. Keadaan rumah sedikit tidak tertata, hal tersebut dikatakan
karena banyaknya barang yang dimiliki namun tidak ada tempat untuk
menata secara rapi. Air yang digunakan berasal dari sumur, dan sudah
terdapat akses listrik dari PLN.
Kacang tanah 2 sdm
Tahu 1,5 potong
besar
Tempe 2 potong
sedang
sedang
Daging ayam
dengan kulit ½ ptng
sedang
Selingan 2 Biskuit 3 buah besar ½ potong besar pepaya
Roti putih 2 sisir + 1,5 buah jeruk
Singkong 1 potong ½ buah mangga besar
Makan
Malam
Nasi putih ¾ gelas
Roti tawar 3 iris
Mi basah 2 gelas
+
Pepaya ½ potong
besar
Jeruk manis ¾
buah
Protein hewani
Ayam tanpa kulit 1
potong sedang
Putih telur ayam 2 btr
Protein Nabati
Kacang hijau 1½ sdm
Kacang tanah 1½sdm
Tahu 1 potong besar
Tempe 1½ potong
sedang
Telur ayam 1 butir
Telur bebek asin 1
butir
Hati ayam 1 buah
sedang
Bebek ½ potong
sedang
Daging ayam
dengan kulit 1 ptng
sedang
4.3.2 Kebutuhan bio-psiko-sosial
Lingkungan biologis
Dalam keseharian, pasien dikatakan cukup memperhatikan kebersihan dan
kondisi tubuhnya. Pasien mandi sekitar dua hingga tiga kali dalam sehari,
dan selalu mengganti pakaiannya apabila dirasa sudah kotor. Kecukupan
gizi pasien tergolong gizi sedang, dimana pola makan perlu diperhatikan
dan tetap menghindari segala bentuk olahan babi.
Lingkungan psikososial
Pasien sudah tidak memiliki tanggung jawab sebagai pencari nafkah. Ia
sudah tidak bekerja kurang lebih sejak 10tahun yang lalu, kini pasien dan
istrinya menghabiskan waktunya di area tempat tinggalnya saja. Pasien
mengaku dari pendapatan anak dan menantunya sudah cukup untuk
memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
Seluruh anggota keluarga terutama yang tinggal bersama pasien sudah
memahami bahwa daging babi yang diduga sebagai pencetus reaksi alergi
sebelumnya harus dihindari agar reaksi alergi tidak muncul kembali.
Apabila reaksi alergi muncul dikemudian hari, pasien dan keluarga sudah
paham pentingnya mencari akses layanan kesehatan untuk menghindari
berkembangnya reaksi menjadi lebih berat.
4.4 SARAN DAN KIE
Adapun edukasi yang diberikan kepada pasien saat melakukan kunjungan ke
tempat tinggalnya antara lain:
1. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang ia derita.
a. Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi imunitas yang patologik yang
terjadi akibat respon tubuh yang berlebihan sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh. Respon ini dapat dipicu oleh berbagai jenis
alergen yang berbeda-beda pada setiap individu.
b. Reaksi hipersensitivitas terbagi menjadi 4 macam, tipe I adalah reaksi
yang sangat cepat (anafilaktik), tipe II, tipe III dan tipe IV yang terjadi
sangat lama (Delayed Type Hypersensitivity), sehingga harus diwaspadai
rentang waktu setelah paparan alergen hingga terjadinya reaksi
hipersensitivitas tersebut.
c. Penatalaksanaan terbaik dari hipersensitivitas adalah dengan menghindari
alergen karena bila terpapar kemudian terjadi reaksi, terutama syok
anafilaktik maka pertolongan harus segera diberikan karena mengancam
nyawa pasien.
2. Pada pasien, reaksi alergi atau reaksi anafilaksis yang muncul dicurigai
dicetuskan oleh konsumsi makanan yang berasal dari olahan babi. Oleh sebab
itu pasien harus menghindari mengkonsumsinya agar tidak terjadi reaksi
hipersensitivitas. Selain itu pasien juga mengatakan alergi terhadap Penicilin
sehingga perlu juga menghindari obat tersebut.
3. Pasien disarankan untuk mengenali hal-hal lain yang dapat memicu timbulnya
reaksi alergi.
4. Pasien disarankan untuk memberitahukan kepada keluarga tentang alergi yang
ia miliki sehingga selain dari diri sendiri, keluarga juga dapat membantu
pasien untuk menghindari paparan alergen yang dapat memicu alergi pada
pasien ini.
BAB V
SIMPULAN
Reaksi alergi yang mencakup munculnya ruam hingga kasus anafilaksis
merupakan salah kasus yang dapat dijumpai di unit gawat darurat. Tidak ada
definisi pasti dari anafilaksis, namun pada umumnya istiah tersebut digunakan
untuk menggambarkan reaksi alergi akut, progresif, dan juga mengancam nyawa.
Diagnosa dari anafilaksis dapat ditegakkan secara klinis berdasar dari gejala yang
dimiliki seorang pasien. Reaksi anafilaksis dapat dipicu oleh semua agen yang
dapat mengaktifasi sel mast dan basofil, pada sepertiga kasus anafilaksis tidak
ditemukan adanya pencetus. Gejala dari reaksi anafilaksis dapat mencakup
beberapa organ, dimana diagnosis anafilaksis dapat ditegakkan berdasarkan pada
tanda klinis dan gejala yang timbul menurut kriteria Sampson.
Tatalaksana dari anafilaksis mencakup airway, breathing, dan ciculation, dan juga
pemberian epinephine. Diphehydramine dan methylprednisolone juga dapat
diberikan untuk penanganan gejala dan juga pencegahan fase bifasik.
Pada kasus ini pasien datang dengan reaksi alergi setelah mengkonsumsi nasi
bungkus yang berisi olahan babi dimana kriteria Sampson sudah terpenuhi,
sehingga ditegakkan diagnosa anafilaksis. Penanganan yang diberikan sudah
sesuai dengan teori, dimana diberikan epinephrine, diphenhydramine dan juga
methylprednisolone. Observasi minimal 72jam juga dilakukan dengan
diberikannya anjuran untuk dirawat di rumahsakit selama kurang lebih 3 hari
untuk menghindari adanya gejala anafilaksis yang berkepanjangan dan juga
munculnya fase bifasik.
Kunjungan rumah dilakukan untuk mengetahui kondisi terkini dari pasien dan
memberikan edukasi lebih jauh mengenai penyakitnya. Dari hasil kunjungan
didapatkan kondisi pasien baik dan ia sudah berusaha untuk menghindari
konsumsi segala bentuk olahan babi dimana hal tersebut diduga menjadi pencetus
munculnya reaksi alergi. Edukasi terhadap keluarga juga dilakukan untuk
menghindari terulangnya reaksi alergi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampson H, Munoz FA, Campbell R. Second Sympsosium on the
Definition and Management of Anaphylaxis-Second National Institute of
Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and Anaphylaxis Network
Symposium. Annals of Emergency Medicine. 2006; 47(4): hal.373-80.
2. Kemp S, Lockey R. Anaphylaxis: A Review of Causes and Mechanisms.
Journal of Allergy Clinical Immunology. 2002; 110(3): hal. 341-8.
3. McLean TA. Adrenaline in the Treatment of Anaphylaxis: What is the
evidence? British Medical Journal. 2003; 327: hal.1332-5.
4. Sheikh A, Shehata Y, Simons F. Adrenaline for the Treatment of
Anaphylaxis with or without Shock. Cochrane Database of Systematic
Review. 2006.
5. Anonim. The Food Allergy and Anaphylaxis. Common Food Allergens.
Diunduh dari http://www.foodallergy.org/allergens/index.html. (10
September 2015).
6. Corrigan C.Allergy: The Unmet Need-A Blueprint for Better Care. Royal
College of Physicians. 2003
7. Lieberman P. Epidemiology of Anaphylaxis: Findings of The American
College of Allergy, Asthma and Immunology Epidemiology of
Anaphylaxis Working Group. Annals of Allergy, Asthma and
Immunology. 2006; 97(5): hal.596-02.
8. Winberry S, Lieberman P. Histamines and Antihistamines in Anaphylaxis.
Clinical Allergy and Immunology. 2002; 17: hal.287.
9. Bohlke K, Davis R, DeStefano F, Marcy S. Epidemiology of Anaphylaxis
among Children and Adolescents Enrolled in A Health Maintenance
Orgaization. Journal of Allergy Clinical Immunology. 2004; 113(3):
hal.536-42.
10. Brown A, McKinnon D, Chu K. Emergency Department Anaphylaxis: A
Review of 142 Patients in A Single Year. Journal of Allergy Clinical
Immunology. 2000; 108(5): hal.861-6.
11. Yocum M, Butterfield J, Klein J. Epidemiology of anaphylaxis in Olmsted
Country: A Population-Based Study. Journal of Allergy and Clinical
Immunology. 1999; 104(2): hal.452-6.
12. Sadana A, O’Donnell C, Hunt M, Gavalas M. Managing Acute
Anaphylaxis: Intravenous Adrenaline Should be Considered Because of
The Urgency of The Condition. British Medical Journal. 2000; 320(7239):
hal.937.
13. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Alergi Imunologi: Imunologi Dasar. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi V. 2009. hal.237-43.
14. Rengganis I, Sundaru H, Sukmana N, Mahdi D. Kegawatan Medik di
Bidang Ilmu Penyakit Dalam: Renjatan Anafilaktik. Buku Ajar Penyakit
Dalam edisi V. 2009. hal.193-5.
15. Soar J, Pumphrey R, Cant A. Emergency Treatment of Anaphylactic
Reaction-Guidelines for Healthcare Providers. Journal of Resuscitation.
2008; 77: hal.157-69.
16. Rengganis I, Yunikastuti E. Alergi Imunologi: Alergi Makanan. Buku Ajar
Penyakit Dalam edisi V. 2009. hal.265-7.
17. Kim H, Fischer D. Anaphylaxis. Allergy, Asthma, and Clinical
Immunology. 2011; 7(1).
18. Sampson HA, Furlong AM, Campbel RL dkk. Second Symposium on The
Definition and Management of Anaphylaxis: Summary Report-Second
National Institute of Allergy and Infectious Disease/Food Allergy and
Anaphylaxis Network Symposium. Journal of Allergy and Clinical
Immunollogy. 2006; 117; hal.391-7.
19. Tang AW. A Practical Guide to Anaphylaxis. American Family Physician.
2003; 68(7): hal.1325-33.