Download - Rangkuman Buku Ajar 1 Mpkt-A
Kekuatan dan Keutamaan Karakter, Filsafat,
Logika, dan Etika
Oleh Rahmatika Alfia Amiliana, 1306370562
Judul : Buku Ajar I - Kekuatan dan Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika
Pengarang : Bagus Takwin, Fristian Handinata, Saraswati Putri
Data Publikasi : MPKT-A Buku Ajar I, 2013, Depok: Universitas Indonesia
BAB 1 : Kekuatan dan Keutamaan Karakter
Pembentukan karakter menjadi salah satu kunci dari kemajuan dan pembangunan
bangsa, sedangkan kebahagian otentik bersumber pada diri sendiri dan pada kekuatan serta
keutamaan karakter. Oleh sebab itu, pendidikan karakter merupakan usaha untuk membantu
peserta didik mencapai kebahagiaan. Kekuatan karakter berasal dari spiritualitas manusia,
sehingga kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu
bersumber pada daya-daya spiritualnya.
Karakter bukan kepribadian meskipun keduanya berkaitan erat. Allport (1937:48)
mendefinisikan kepribadian sebagai “…organisasi dinamis dari keseluruhan sistem psiko-
fisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap
lingkungannya”. Faktor internal diri manusia maupun faktor eksternal (lingkungan)-nya
mempengaruhi kepribadian manusia dan dalam memahami kepribadian seseorang perlu
diketahui sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita, karakter, motif, dan sifatnya
serta keterkaitan semua itu dalam pembentukan kepribadiannya.
Allport (1937) mendefinisikan karakter sebagai kepribadian yang dievaluasi, yaitu
segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar dari, dan disesuaikan dengan nilai dan norma
tertentu. Karakter diperoleh melalui pengasuhan dan pendidikan meskipun potensialitasnya
ada pada setiap orang. Maka dari itu pendidikan pada intinya merupakan proses pembentukan
karakter.
Identifikasi karakter dapat dilakukan melalui pengenalan terhadap ciri-ciri
keutamaaan yang tampil dalam perilaku khusus dan respons secara umum dari orang itu.
Karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaan-keutamaan yang merupakan
keunggulan manusia dan dibedakan dari bakat dan kemampuan. Penggalian, pengenalan, dan
pengukuran keutamaan dapat dilakukan melalui teknik inventori, skala sikap, wawancara
mendalam, diskusi kelompok terarah (focus-group discussion) dan simulasi.
Peterson dan Seligman (2004) mengemukaan tiga level konseptual dari karakter, yaitu
keutamaan, kekuatan dan tema situasional dari karakter untuk kepentingan pengenalan,
pengukuran dan pendidikan karakter. Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level
tengah, dan tema situasional di level bawah. Keutamaan merupakan karakteristik utama dari
karakter sebagai dasar dari tindakan yang baik. Enam keutamaan universal yaitu
kebijaksanaan, kesatriaan, kemanusiaan, keadilan, pengendalian atau pengelolaan diri, dan
transendensi.
Kekuatan karakter adalah karakteristik yang dijadikan indikator untuk mengenali
adanya satu atau lebih keutamaan pada diri seseorang. TIdak harus semua kekuatan tampil
untuk dapat menyebut seseorang berkarakter baik. Sedangkan tema situasional adalah
kebiasaan khusus yang mengarahkan orang untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam
situasi tertentu. Tema situasional dapat muncul dalam lingkungan yang meleluasakan
individu tampil apa adanya, jujur dan tulus. Semakin banyak dan sering tema situasional
ditampilkan semakin terbentuk kekuatan karakter.
Beberapa kriteria karakter yang kuat menurut Peterson dan Seligman (2004) adalah
karakter yang ciri-cirinya memberikan sumbangan terhadap pembentukan kehidupan yang
baik untuk diri sendiri dan sekaligus untuk orang lain dan penampilan ciri-ciri itu tidak
mengganggu, membatasi atau menghambat orang-orang di sekitarnya.
Kebijaksanaan dan pengetahuan merupakan keutamaan yang berkaitan dengan fungsi
kognitif, tentang bagaimana mendapatkan dan menggunakan pengetahuan. Kekuatannya
yaitu (1) kreativitas, orisinalitas dan kecerdasan praktis, (2) rasa ingin tahu atau minat
terhadap dunia, (3) cinta akan pembelajaran, (4) pikiran yang kritis dan terbuka, dan (5)
perspektif atau kemampuan memahami beragam perspektif yang.
Kemanusiaan dan cinta merupakan keutamaan yang mencakup kemampuan
interpersonal dan bagaimana menjalin pertemanan dengan orang lain. Keutamaan ini terdiri
atas kekuatan (1) baik dan murah hati, (2) selalu memiliki waktu dan tenaga untuk membantu
orang lain, mencintai dan membolehkan diri sendiri untuk dicintai, serta (3) kecerdasan sosial
dan kecerdasan emosional.
Keutamaan keadilan mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada
tiga kekuatan yang tercakup di sini, yakni 1) kewarganegaraan atau kemampuan mengemban
tugas, dedikasi dan kesetiaan demi keberhasilan bersama, 2) kesetaraan perlakuan terhadap
orang lain atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan kepada satu orang dengan
yang diberikan kepada orang lain, dan 3) kepemimpinan.
Pengelolaan diri adalah keutamaan untuk melindungi diri dari segala akibat buruk
yang mungkin terjadi di kemudian hari karena perbuatan sendiri. Di dalamnya tercakup
kekuatan (1) pemaaf dan pengampun, (2) pengendalian diri, (3) kerendahan hati, dan (4)
kehati-hatian.
Transendensi merupakan keutamaan yang menghubungkan kehidupan manusia
dengan seluruh alam semesta dan memberi makna kepada kehidupan, tercakup kekuatan (1)
penghargaan terhadap keindahan dan kesempurnaan; (2) kebersyukuran atas segala hal yang
baik, (3) penuh harapan, optimis, dan berorientasi ke masa depan, semangat dan gairah besar
untuk menyongsong hari demi hari; (4) spiritualitas: memiliki tujuan yang menuntun kepada
kebersatuan dengan alam semesta, serta (5) menikmati hidup dan selera humor yang
memadai.
Spiritualitas memberikan kedalaman dan integritas kepada kehidupan manusia
sebagai makhluk yang hidup dalam kebudayaan, tempat, dan waktu tertentu. Spiritualitas
merupakan suatu kualitas yang juga dapat dicapai bahkan oleh mereka yang tidak percaya
kepada Tuhan karena dimensi spiritual manusia selalu berusaha melakukan penyelarasan
dengan alam semesta dan menjawab pertanyaan tentang yang tak terbatas. Dengan demikian,
spiritualitas dapat dipahami sebagai dasar kekuatan dan keutamaan karakter manusia.
Orang dengan watak atau karakter yang kuat adalah orang yang berbahagia, mandiri,
dan memberi sumbangan positif kepada masyarakatnya. Seligman (2004) menyebutkan tiga
kebahagiaan, yaitu memiliki makna dari semua tindakan yang dilakukan, mengetahui
kekuatan tertinggi, dan menggunakan kekuatan tertinggi untuk melayani sesuatu yang
dipercayai sebagai hal yang lebih besar dari diri sendiri. Perpaduan dari tiga kebahagiaan dan
keutamaan-keutamaan karakter merupakan bahan dari pendidikan karakter.
BAB 2 : Dasar-Dasar Filsafat
Filsafat ilmu berkaitan dengan asumsi, fondasi, metode, dan implikasi dari ilmu
pengetahuan. Tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk menjadi
dasar bagi aktivitas mencari pengetahuan yaitu etika, epistemiologi, dan logika. Berfilsafat
membutuhkan kekuatan dan keutamaan karakter karena aktivitas dalam filsafat mencakup
kegiatan berpikir, mencari kemungkinan lain dari situasi, menjaga kesetiaan, berani
mengambil risiko, dan sebagainya merupakan aktivitas yang dapat menguatkan karakter.
Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang
kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat patut disebut filsuf.
Apa yang dilakukan oleh filsuf kemudian disebut filsafat. Filsafat didefinisikan sebagai usaha
manusia untuk memahami segala perwujudan kenyataan secara kritis, radikal dan sistematis.
Filsafat memiliki sifat kritis, tidak mungkin merupakan barang yang jadi. Berfilsafat berarti
memilah-milah obyek yang dikaji dan memberi penilaian terhadap obyek itu.
Kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada kemungkinan – kemungkinan baru,
dialektis (menjajaki kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan), tidak membakukan
dan membekukan pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan waspada terhadap
berbagai kemungkinan kebekuan pikiran. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-akarnya
dan berfilsafat dilakukan secara sistematis, yaitu memahami segala sesuatu itu dilakukan
menurut suatu aturan tertentu, runut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti suatu
aturan tertentu pula.
Perenungan filosofis ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang
rasional untuk memahami dunia tempat kita hidup, maupun untuk memahami diri kita
sendiri. Perenungan kefilsafatan berusaha menyusun suatu bagian konsepsional yang
merupakan hasil generalisasi dan abstraksi dari pengalaman tentang hal-hal serta proses-
proses. Satu demi satu hasrat filosofis ialah berpikir secara ketat. filsafat secara sistematis
terbagi menjadi 3 bagian besar:
1. Ontologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji tentang „ada‟ (being) atau tentang apa yang
nyata;
2. Epistemologi yaitu bagian filsafat yang mengkaji hakikat dan ruang lingkup pengetahuan;
3. Axiologi yaitu bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai yang menentukan apa
yangseharusnya dilakukan manusia.
Ontologi secara umum didefinisikan sebagai studi filosofis tentang hakikat ada
(being), eksistensi, atau realitas, serta kategori dasar keberadaan dan hubungan mereka.
Ontologi dalam arti umum dibagi dua menjadi dua subbidang, yaitu ontologi (dalam arti
khusus) dan metafisika. Dalam ontologi kita berfilsafat tentang sesuatu yang keberadaannya
dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra. Sedangkan metafisika mengkaji „ada‟ yang
masih disangsikan kehadirannya.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji teori-teori tentang sumber-
sumber, hakikat, dan batas-batas pengetahuan. Dalam epistemologi terdapat empat cabang
yang lebih kecil (1) epistemologi dalam arti sempit; (2) filsafat ilmu; (3) metodologi; dan (4)
logika. Epistemologi dalam arti sempit merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat
pengetahuan yang ditelusuri melalui 4 pokok, yaitu 1) sumber pengetahuan, 2) struktur
pengetahuan, 3) keabsahan pengetahuan, dan 4) batas-batas pengetahuan.
Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang filsafat yang mengkaji ciri-ciri dan cara
cara memperoleh ilmu pengetahuan (science). Metodologi adalah cabang filsafat yang
mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu pengetahuan memperoleh pengetahuan secara
sistematis, logis, sahih (valid), dan teruji. Sedangkan logika adalah kajian filsafat yang
mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat.
Axiologi mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia.
Cabang filsafat yang termasuk dalam axiologi adalah etika dan estetika. Etika adalah cabang
filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik.
Estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan manusia dalam menanggapi apakah sesuatu
itu indah atau tidak.
Dalam perkembangan filsafat, berbagai aliran bermunculan, diantaranya:
a. Rasionalisme: aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa semua pengetahuan
bersumber dari akal (rasio), ditegaskan di sini bahwa akal yang mampu mendapatkan
pengetahuan secara jernih (clear) dan lugas/terpilah (distinct) tentang realitas.
b. Empirisme: aliran dalam filsafat yang menekankan pengalaman sebagai sumber
pengetahuan.
Penggunaan analisis dan sintesis dalam filsafat ini disebut metode analisis-sintesis.
Menurut Kattsoff (2004), secara filosofis analisis adalah pengumpulan semua pengetahuan
yang dapat dikumpulkan oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan tentang dunia.
Sedangkan sintesis dapat didefinisikan sebagai aktivitas menemukan benang merah
antarbagian yang dipilah berdasarkan kategori tertentu untuk kemudian menemukan
kesamaan makna di antara bagian-bagian itu.
Secara umum, disadari atau tidak, filsafat digunakan manusia untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Jika orang menyadarinya, maka lebih banyak lagi manfaat
berpikir filosofis yang dapat diperoleh. Dengan demikian, berpikir filosofis merupakan satu
cara untuk membangun keutamaan pengetahuan dan kebijaksanaan dengan kekuatan-
kekuatan yang dikandungnya.
BAB 3 : Dasar-Dasar Logika
Logika dapat diartikan sebagai kajian tentang prinsip, hukum, metode, dan cara
berpikir yang benar untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Logika juga dapat diartikan
sebagai cabang dari filsafat yang mengkaji prinsip, hukum dan metode berpikir yang benar,
tepat dan lurus. Dari sejarah filsafat kita mengenal Aristoteles sebagai filsuf yang pertama
kali membeberkan hal-ihwal logika secara komprehensif. Dalam matematika, logika dikaji
dalam kaitannya dengan upaya menyusun bahasa matematika yang formal, baku, dan jernih
maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan dan pembuatan pernyataan yang benar.
Logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu pengetahuan dan
juga dalam kehidupan sehari-hari karena memungkinkan manusia memahami seluk-beluk
dan dinamika alam berserta isinya, menerangkan, meramal, dan menata alam. Penalaran
adalah proses penarikan kesimpulan berdasarkan alasan yang relevan dan untuk menentukan
benar atau tidaknya sebuah penalaran sebuah sistem logika perlu didasari oleh syarat-syarat
dari keabsahan pengetahuan. kebenaran logis adalah satu pernyataan yang kebenarannya
dijamin sejauh makna dari konstanta logisnya tetap, terlepas dari apa makna bagian lain yang
menyertainya.
Manusia berpikir dengan menggunakan kategori. Aristoteles adalah filsuf pertama
yang menggunakan istilah kategori dalam filsafat dan mengajukan jenis-jenis kategori yang
menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang ada di dunia. Kategori tersebut
mencakup (1)substansi, (2)kualitas, (3)kuantitas atau ukuran, (4)relasi, (5)aksi, (6)reaksi,
(7)waktu, (8)lokasi, (9)posisi, (10)memiliki. Bagi Aristoteles, ke-10 kategori yang
diajukannya bukan hanya berkaitan dengan logika, tetapi lebih jauh lagi berkaitan dengan
segala hal yang ada dan mungkin ada di dunia ini.
Filsuf setelah Aristoteles yang mengemukakan pikiran tentang kategori adalah
Immanuel Kant yang menemukan bahwa fungsi berpikir manusia tertuang dalam putusan-
putusan yang di kategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas, kualitas, relasi, dan
modalitas. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga kategori. Kuantitas mencakup kategori
universal, partikular, dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif, dan infinit.
Relasi mencakup kategori problematik, asertorik dan apodeiktik. Dalam pandangan Kant,
kategori tersebut merupakan ide bawaan. Kategori itu terkandung dalam pikiran manusia dan
menjadi kerangka berpikir manusia.
Filsuf selanjutnya yang mengemukakan mengenai kategori adalah Georg William
Friedrich Hegel. Hegel menyatakan bahwa jenis-jenis kategori dan jumlahnya yang tepat
tidak dapat ditentukan sebelum sistem realitas dijelaskan secara lengkap. Di awal abad ke-20
Charles Sanders Pierce memahami kategori sebagai istilah yang paling umum digunakan
untuk menggolongkan pengalaman. Kategori tersebut mencerminkan tiga hubungan, (1)
firstness; (2) secondness; (3) thirdness.
Pada dasarnya, pemikiran mengenai kategori dari berbagai filsuf memberi pelajaran
mengenai mengenali dan memahami benda-benda, kita perlu cermat dan hati-hati. Kita tidak
dapat sembarangan mengartikan satu hal dan tidak dapat mencampuradukan kategori yang
satu dengan yang lain. Kita dapat menggunakan kategori yang dianggap sesuai dengan
kebutuhan dalam mencari pengetahuan, namun harus konsisten dan koheren dalam
menggunakannya.
Segala hal yang diinderai dan apersepsi dibentuk oleh pikiran menjadi ide. Hasil dari
ide pembentukan ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam bentuk term. Rangkaian
term yang bermakna adalah pernyataan. Term dan pernyataan merupakan bagian dari bahasa.
Bahasa adalah sarana bagi manusia untuk menyampaikan kepada orang lain dan menerima
ide dari orang lain. Term merupakan tanda untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai
sesuai dengan plakat. Suatu term adalah tanda yang didasarkan pada kelaziman, bukan tanda
ilmiah. Ilmiah di sini maksudnya akan terdapat hanya satu bahasa di dunia, tetapi untuk hal
yang sama, bahasa-bahasa menggunakan termnya sendiri-sendiri.
Untuk menyamankan pengertian dan menghindari kesalahan penafsiran terhadap term
diperlukan definisi. Definisi juga diperlukan untuk memahami sebuah kalimat secara jelas
dan sesuai dengan maksud yang disampaikan. Definisi adalah penyataan yang menerangkan
hakikat suatu hal. Untuk mendifinisikan suatu term kita harus tahu persis hal yang akan
didefinisikan. Kendala yang sering muncul dalam pembuatan definisi adalah keterbatasan
pengetahuan yang menghasilkan definisi terlalu luas dan keterbatasan term yang
memungkinkan penggunaan term yang sama untuk mewakili hal berbeda.
Selain dapat dijelaskan apa artinya, term juga dapat diuraikan dengan kriteria tertentu
menjadi bagian-bagian. Penguraian term biasa disebut divisi. Divisi merupakan uraian suatu
keseluruhan ke dalam bagian-bagian berdasarkan satu kesamaan karakteristik tertentu.
Pembagian dalam bentuk divisi merupakan upaya lain untuk menjelaskan term.
Kalimat didefinisikan sebagai serangkaian kata yang disusun berdasarkan aturan-
aturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan,
menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal. Benar atau salahnya struktur suatu kalimat
ditentukan berdasarkan kaidah atau aturan tata bahasa suatu bahasa. Pernyataan adalah
kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau menyampaikan sesuatu yang
bisa benar atau salah dan memiliki nilai kebenaran (truth value). Proposisi ialah makna
yang diungkapkan melalui pernyataan, atau arti/interpretasi dari suatu pernyataan.
Tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan proposisi
yaitu kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak mengungkapkan proposisi
apa pun, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat mengungkapkan proposisi yang
sama, dan kalimat atau pernyataan yang sama dapat mengungkapkan proposisi yang
berbeda, Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu membangun suatu kalimat
yang mengungkapkan suatu proposisi dan mengusahakan supaya proposisi yang ingin
diungkapkan menjadi jelas.
Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah
kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar atau pembaca,
kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak jelas sehingga
dapat menyebabkan salah tafsir, dan tidak menunjukkan dengan jelas bahwa sedang
menyatakan nilai kebenaran dari suatu kalimat.
Secara umum, berdasarkan proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan,
yaitu pernyataan sederhana (pernyataan yang hanya mengandung satu proposisi) dan
pernyataan kompleks (pernyaataan yang mengandung lebih dari satu proposisi) Proposisi
yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari pernyataan.
yaitu komponen yang turut menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tidak
semua kalimat kompleks merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum
tentu merupakan komponen logika.
Ada empat jenis pernyataan kompleks, yaitu negasi (bukan P), konjungsi (P dan Q),
disjungsi (P atau Q), dan kondisional (Jika P maka Q). Negasi dari suatu pernyataan
sederhana adalah pengingkaran atas pernyataan itu. Benar atau salahnya (nilai kebenaran)
suatu negasi tergantung pada nilai kebenaran komponen logikanya. Suatu pernyataan
kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata dan disebut konjungsi atau
kalimat konjungtif. Suatu konjungsi benar bila semua konjungnya benar, dan salah jika salah
satu konjungnya salah. Menurut logika, urutan konjungsi boleh dibolak-balik tanpa
mempengaruhi nilai kebenarannya.
Pernyataan kompleks yang komponen logikanya dihubungkan dengan kata atau
disebut disjungsi atau pernyataan disjungtif. Suatu disjungsi benar bila paling sedikit salah
satu disjungnya benar, dan salah jika semua disjungnya salah. Pernyataan kompleks yang
komponen logikanya dihubungkan dengan jika…, maka… disebut pernyataan kondisional
atau hipotetisis. Pandangan kondisional material, yang menyatakan bahwa suatu pernyataan
kondisional dianggap salah hanya jika antesedennya benar dan konsekuennya salah.
Pernyataan kondisional yang mempunyai anteseden yang salah disebut kondisional yang
berlawanan dengan kenyataan. Dari sudut pandang kondisional material, nilai kebenaran
kondisional seperti ini adalah benar.
Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu
yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya
jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar dan digunakan untuk
menggambarkan hubungan tertentu antara komponennya, maka kondisi yang mencukupi dan
niscaya juga demikian. Lima jenis hubungan itu adalah kausal, konseptual, definisional,
regulatori, logis. Ada kondisi yang niscaya sekaligus mencukupi untuk suatu situasi. Kondisi
ini diungkapkan dalam bentuk X jika dan hanya jika Y, dan Ada juga kondisi niscaya dan
mencukupi yang berlaku hanya dalam konteks tertentu.
Hubungan langsung yaitu ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan
dari suatu pernyataan. Pernyataan kategorikal adalah pernyataan yang terdiri dari subjek dan
predikat yang membenarkan atau menidakkan bahwa individu adalah anggota suatu
kelompok. Ada empat jenis pernyataan kategorikal, yakni yang berikut.
A: Semua S adalah P. (Universal-afirmatif)
E: Tidak ada S yang P. (Universal-negatif)
I: Beberapa S adalah P. (Partikular-afirmatif)
O: Beberapa S bukan P. (Partikular-negatif)
Hubungan kontradiksi (A dan O; E dan I) yaitu tidak mungkin keduanya benar dan
tidak mungkin keduanya salah (Salah satu pasti benar). Hubungan kontrari (A dan E) adalah
tidak mungkin keduanya benar, tapi mungkin saja keduanya salah. Dalam hubungan
subkontrari (I dan E), mungkin saja keduanya benar, tetapi tidak mungkin keduanya salah.
Jika superalternasinya (A atau E) benar, maka subalternasinya (I atau O) benar. Dan
sebaliknya, Jika subalternasinya (I atau O) salah, maka superalternasinya (A atau E) pasti
salah. Dalam logika tradisional, yang disebut kontrari adalah pernyataan bentuk A terhadap
pernyataan bentuk E dan secara logis, kontradiksi suatu pernyataan sama dengan negasi dari
pernyataan itu.
Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin
benar pada saat yang bersamaan. Pada kondisi yang sebaliknya, dua pernyataan itu disebut
konsisten artinya, kedua pernyataan itu mungkin sama-sama benar pada saat bersamaan. Tiga
jenis hubungan antar-pernyataan adalah implikasi, ekuivalensi dan independensi logis.
Pernyataan P mengimplikasikan pernyataan Q ketika secara logis tidak mungkin P benar dan
Q salah pada waktu yang bersamaan.
Dua pernyataan secara logis ekuivalen bila keduanya saling mengimplikasikan atau memiliki
makna yang sama. Beberapa pernyataan yang secara logis ekuivalen yaitu
negasi dari suatu konjungsi [Bukan (P dan Q)] ekuivalen dengan disjungsi dari negasi
konjung-konjungnya [Bukan-P atau Bukan-Q]
Negasi dari suatu disjungsi [Bukan-(P atau Q)] ekuivalen dengan konjungsi dari negasi
disjung-disjungnya [Bukan-P dan Bukan-Q]
Suatu pernyataan kondisional [Jika P maka Q] ekuivalen dengan pernyataan yang
menolak bahwa antesedennya benar dan konsekuennya salah [Bukan-(P dan bukan-Q)]
Suatu disjungsi [P atau Q] ekuivalen dengan pernyataan kondisional yang antesedennya
merupakan negasi dari salah satu disjung dan konsekuennya adalah disjung yang lain
[Jika Bukan-P maka Q, atau Jika Bukan-Q maka P]
Dua pernyataan disebut secara logis independen jika secara logis tidak berhubungan, jadi,
kedua pernyataan maupun negasinya tidak saling mengimplikasikan.
Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-alasan yang relevan.
Alasan dapat berupa bukti, data, informasi akurat, atau penjelasan tentang hubungan antar
beberapa hal. Penalaran berlangsung dalam pikiran. Ungkapan verbal dari penalaran adalah
argumentasi. Penyimpulan langsung dan prinsip-prinsip logika akan mendasari penalaran.
Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera, analoginya memberikan putusan
bahwa bunga mawar berwarna merah, hari sedang hujan, atau saat ini pagi hari. Penyimpulan
langsung menghasilkan pengetahuan dasar bagi manusia. Pengalaman empirik yang menjadi
sumber pengetahuan itu. Tetapi, penyimpulan langsung tidak membawa kita beranjak jauh
dari informasi-informasi asal sehingga tidak dapat menambah pengetahuan lebih banyak lagi.
Kemudian, untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang hal-hal yang tidak dapat
dibuktikan dengan penyimpulan langsung, kita perlu membandingkan ide-ide. Penyimpulan
melalui perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Putusan yang dihasilkan
bukan hasil dari pengenalan langsung terhadap gejala, melainkan hasil dari mempertemukan
dua ide yang diperbandingkan dengan perantaraan ide ketiga yang sudah diketahui
sebelumnya.
Terdapat dua jenis penalaran, yaitu deduksi atau penalaran deduktif dan induksi atau
penalaran induktif. Kedua penalaran ini diperlukan untuk proses pencapaian kebenaran.
Pemanfaatan keduanya telah menghasilkan pengetahuan yang berguna bagi manusia dan
membawa peradaban manusia menjadi semaju saat ini. Manusia tidak jarang memperoleh
pengetahuan yang tidak benar karena kesalahan proses penyimpulan. Kesalahan tersebut
digolongkan menjadi kesalahan material dan kesalahan formal. Kesalahan material digunakan
sebagai pertimbangan yang harusnya memberikan fakta. Kesalahan formal ialah kesalahan
yang berasal dari urutan penyimpulan yang tidak konsisten.
Ungkapan verbal dari penalaran atau penyimpulan tak langsung adalah argumentasi.
Di dalam argumentasi terkandung term yang merupakan ungkapan verbal dari ide dan
proposisi yang merupakan ungkapan verbal dari putusan. Ada dua macam argumentasi umum
yang digunakan dalam logika, yaitu silogisme kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme
kategoris adalah argumentasi yang menggunakan proposisi kategoris. Sedangkan, silogisme
hipotetis adalah argumentasi yang menggunakan proposisi hipotesis.
Argumen Deduktif atau deduksi adalah bentuk argumen yang kesimpulannya niscaya
mengikuti premis-premisnya. Biasanya deduksi juga dipakai sebagai pembuatan pernyataan
khusus berdasarkan pernyataan yang lebih umum. Pernyataan khusus itu disebut kesimpulan
dan pernyataan-pernyataan yang lebih umum disebut premis. Kesimpulan tersebut diturunkan
dari premis-premisnya. Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin
validitasnya jika bukti yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk
menghasilkan kesimpulan tepat. Kesimpulan hanya didasari oleh bukti yang sudah ada
sebelumnya, serta tidak boleh mengandung informasi materi baru. Penalaran deduktif diawali
dengan generalisasi yang dianggap benar yang menghasilkan premis-premis, lalu dari situ
diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya. Premis dan kesimpulan
harus berkesesuaian dan tertera dalam bentuk argumentasi tertentu.
Silogisme adalah jenis argumen logis yang kesimpulannya diturunkan dari dua
proposisi umum (premis) yang berbentuk proposisi kategoris. Dilihat dari bentuknya,
penilaian terhadap silogisme adalah sahih dan tidak sahih. Silogisme sahih jika
kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-premisnya dengan bentuk yang tepat. Sedangkan
penilaian benar diberikan jika silogisme valid dan klaimnya akurat. Silogisme dibagi menjadi
silogisme kategoris dan silogisme hipotesis. Silogisme kategoris mengikuti hukum “Semua
atau tidak sama sekali” artinya, berlaku untuk seluruh anggota atau tidak sama sekali.
Silogisme Hipotesis dalam sejarah logika berperas sebagai teori konsekuensi. Berbeda dari
kategoris. Premis pertama silogisme hipotesis menampilkan kondisi yang tidak tentu.
Argumen Induktif atau induksi dapat dipahami sebagai hipotesis yang mengandung
risiko dan ketidakpastian. Ketidakpastian muncul dalam dua area yaitu area yang
berhubungan, yaitu premis-premis argumen dan dalam asumsi-asumsi inferensial argumen.
Premis dalam argumen ini tidak menjamin kebenaran kesimpulannya. Dalam argumen
induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah mencerminkan ketidakpastian karena
informasi yang ada kurang lengkap. Karakteristik semua argumen induktif adalah bahwa
dalam kondisi ketidakpastian atau kurangnya informasi, kita langsung mengambil kesimpulan
dengan risiko bahwa kita mengambil kesimpulan yang salah. Penalaran induktif yang baik
berusaha meminimalkan risiko sehingga kita lebih sering mengambil kesimpulan yang benar.
Induksi enumeratif, biasa disebut generalisasi induktif, adalah proses yang
menggunakan premis-premis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil
kesimpulan umum mengenai kelompok asal sampel itu. Induktif eleminatif atau diagnostik
mempunyai premis-premis yang menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau dua data yang
berbeda-beda, yang merupakan bukti dari kesimpulannya. Kesimpulan ini didukung oleh
bukti-bukti diagnostik yang ada, yang menghapus kemungkinan kesimpulan lain sebagai
penjelasan terbaik atas bukti-bukti tersebut.
Sesat pikir menurut logika tradisional adalah kekeliruan dalam penalaran berupa
penarikan kesimpulan-kesimpulan dengan langkah-langkah yang tidak sah, yang disebabkan
oleh dilanggarnya kaidah-kaidah logika. Menurut Copi, sesat pikir adalah perbincangan yang
mungkin terasa betul, tetapi yang setelah diuji terbukti tidak betul. Sebetulnya tidak ada
penggolongan sesat pikir yang sempurna, tetapi penggolongan dari Copi dapat digunakan
untuk mengenali sesat pikir.
Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Apabila sebuah penalaran
bentuknya tidak sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran tidak sahih dan
tergolong sesat pikir. Jenis-jenis sesat pikir formal adalah (1) Empat term, (2) Term tengah
yang tidak terdistribusikan, (3) proses ilisit, (4) premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya
negatif, (5) premis negatif dan kesimpulan afirmatif, (6) dua premis negatif, (7) mengafirmasi
konsekuensi, (8) menolak anteseden, (9) mengiakan suatu pilihan dalam suatu susunan
argumentasi disjungsi subkonter, (10) mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang
kontrer.
Jenis-jenis sesat fikir nonformal adalah sebagai berikut. (1) Perbincangan dengan
ancaman, (2) salah guna, (3) argumentasi berdasarkan kepentingan, (4) argumentasi
berdasarkan ketidaktahuan, (5) argumentasi berdasarkan belas kasihan, (6) argumen yang
disangkutkan dengan orang banyak, (7) argumentasi dengan kewibawaan ahli walaupun
keahliannya tidak relevan, (8) argumentasi berdasarkan ciri-ciri tak esensial, (9) perumusan
yang tergesa-gesa, (10) sebab yang salah, (11) penalaran sirkuler, (12) terlalu banyak
pertanyaan yang harus dijawab, (13) kesimpulan tak relevan, (14) makna ganda, (15) makna
ganda ketata-bahasaan, (16) perbedaan logat, (17) kesalahan komposisi, (18) kesalahan divisi,
(19) generalisasi tak memadai.
Kesalahan umum dari penalaran induktif, kesalahan itu dapat terjadi dalam
pengambilan kesimpulan secara induktif. Pertama, menilai penalaran induktif dengan standar
deduktif. Kedua, kesalahan generalisasi. Kesalahan generalisasi, dibagi menjadi kesalahan
generalisasi terburu-buru dan kesalahan kecelakaan. Ketiga, kesalahan penggunaan bukti
secara salah, yang dibagi menjadi kesimpulan yang tidak relevan, dan kesalahan bukti yang
ditahan. Keempat, kesalahan statististikal, dibagi lagi menjadi kesalahan sampel yang bias
(statistik yang bias), kesalahan percontoh yang kecil, dan kesalahan penjudi. Kelima,
kesalahan kausal dan dibagi lagi menjadi kesalahan mengacaukan sebab dan akibat,
mengabaikan penyebab bersama, mengacaukan penyebab yang berupa necessary condition
dengan sufficient condition.Keenam, kesalahan analogi, yaitu menggunakan analogi yang
tidak tepat atau yang menyesatkan dalam argumennya.
BAB 4: Dasar-Dasar Etika
Etika mengacu kepada seperangkat aturan-aturan, prinsip-prinsip atau cara berpikir
yang menuntun tindakan dari suatu kelompok tertentu. Akan tetapi, kata etika spesifik
mengacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang bagaimana kita seharusnya bertindak
(Borchert, 2006, 279). Etika punya fokus tentang bagaimana mendefinisikan sesuatu itu baik
atau tidak. Dalam rangka untuk melihat perilaku yang dapat diterima atau tidak dalam situasi
tertentu, maka perilaku etis didefinisikan.
Moralitas mengacu pada nilai baik atau tidak baik yang disepakati dan diadopsi dalam
suatu lingkungan tertentu (Borchert, 2006, 280). Moralitas biasanya didefinisikan melalui
otoritas tertentu, yaitu lebih dipahami sebagai suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang
baik. Konsep tentang moral bisa berubah dari waktu ke waktu dan mengambil makna baru.
Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan
melakukan refleksi atasnya. Etika membahas persoalan moral pada situasi tertentu dengan
pendekatan tertentu pula. Sedang moralitas tergantung pada pilihan individu, keyakinan atau
agama dalam menentukan hal yang benar atau salah, baik atau buruk. Asumsi dalam etika
yaitu pentingnya kehendak bebas di dalam pertanggungjawaban etis (Sidgwick, 2004, 10),
sedang dalam soal moralitas hal ini biasanya tidak terlalu dipentingkan.
Etika normatif merupakan cabang etika yang penyelidikannya terkait dengan
pertimbangan-pertimbangan tentang bagaimana seharusnya seseorang bertindak secara etis
dan berhubungan dengan pertimbanganpertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang
harus dijalankan agar suatu tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2). Dalam
etika normatif ini muncul teori-teori etika yang dipahami bahwa hal tersebut mengajukan
suatu kriteria tertentu tentang bagaimana sesorang harus bertindak dalam situasi-situasi etis
(Williams, 2006, 72). Setiap teori etika didasarkan pada sebuah kriteria tertentu tentang apa
yang etis untuk dilakukan. Kriteria ini disusun berdasarkan prioritas, di mana dari kriteria
umum bisa diturunkan menjadi prinsip-prinsip etis yang lebih konkret.
Etika terapan merupakan sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik
kepada topik-topik kontroversial baik pada domain privat atau publik. Etika terapan ini bisa
dibagi menjadi etika profesi, etika bisnis dan etika lingkungan. Ada dua fitur yang diperlukan
supaya sebuah permasalahan dapat dianggap sebagai masalah etika terapan, yaitu
permasalahan tersebut harus kontroversial dalam arti bahwa ada kelompok-kelompok yang
saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral dan ketika permasalahan itu punya
dimensi dilema etis.
Etika deskriptif merupakan sebuah studi tentang apa yang dianggap 'etis' oleh individu
atau masyarakat, juga dikenal sebagai sebuah etika komparatif yang membandingkan antara
apa yang dianggap etis oleh satu individu atau masyarakat dengan individu atau masyarakat
yang lain serta perbandingan antara etika di masa lalu dengan masa sekarang. Sedangkan
metaetika dimengerti sebagai sebuah cara untuk melihat fungsi-fungsi pernyataan-pernyataan
etika, yaitu bagaimana kita mengerti apa yang dirujuk dari pernyataan-pernyataan tersebut
dan bagaimana pernyataan itu didemonstrasikan sebagai sesuatu yang bermakna. Metaetika
biasanya terbagi menjadi dua, yaitu realisme etis dan nonrealisme etis.
Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang
memiliki eksistensi independen di luar dirinya. Konsekuensinya, realisme etis ini
mengajarkan bahwa kualitas etis atau tidak ada secara independen dari manusia dan
pernyataan etis memberikan pengetahuan tentang dunia objektif. Absolutisme etis
berpendapat bahwa ada beberapa aturan moral yang selalu benar dan aturan-aturan tersebut
dapat ditemukan serta berlaku untuk semua orang. Realisme etis dalam bentuk absolutisme
etis tidak sesuai dengan keragaman budaya dan tradisi.
Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah manusia yang menciptakan kebenaran
etis (Callcut, 2009, 46). Relativisme etis yang mengatakan bahwa jika Anda melihat budaya
yang berbeda atau melihat periode yang berbeda dalam sejarah, Anda akan menemukan
bahwa hal itu memiliki aturan etis yang berbeda pula. Oleh karena itu, masuk akal untuk
mengatakan bahwa apa yang "baik" mengacu pada kelompok tertentu di mana orang-orang
menyetujuinya menjadi sesuatu yang "baik" (Williams, 2006, 157). Relativisme moral tidak
menyediakan cara untuk mengatasi perbedaan moral antara satu masyarakat dengan
masyarakat yang lain.
Empat jenis pernyataan etika yaitu bermaksud membuat pernyataan tentang fakta etis,
bermaksud hendak menyatakan tentang perasaan sendiri, bermaksud untuk mengekspresikan
perasaan saja, dan bermaksud ingin memberikan instruksi atau larangan. Etika memberikan
sebuah peta moral atau kerangka berpikir yang bisa digunakan untuk menemukan jalan keluar
dari masalah-masalah moral yang sulit.
Prinsip moral dari Kant mengharuskan adanya kesadaran untuk bersikap etis.
Immanuel Kant menekankan bahwa prinsip ini bekerja bila setiap orang memperlakukan
orang lain dengan prinsip bahwa yang diperbuat secara individual berdampak serta perlu
diperhitungkan dalam tataran universal. Dalam prinsip moral Kant, ia menekankan betapa
mendasarnya konsep kewajiban yang kemudian dikenal sebagai prinsip deontologis, yakni
yang menyatakan bahwa suatu tindakan memiliki nilai moral yang baik bila tindakan itu
terlepas dari kepentingan individu, dan hanya bertujuan terhadap prinsip kewajiban tersebut
sebagai dasar dari segala perbuatan etis. Rasio praktis adalah kecerdasan yang datang dari
individu sebagai agen moral, yakni ketika pemahaman tentang kebaikan dan mampu
menyesuaikan pilihan-pilihannya dengan apa yang dipertimbangkan baik secara universal.
Suatu tindakan dinyatakan benar atau baik dapat diperiksa oleh rasio praktisnya.
Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan dianggap bernilai
secara moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan tersebut dan sangat bertolak
belakang dengan konsep imperatif dari Immanuel Kant. tokoh yang mengembangkan paham
etis utilitarian adalah John Stuart Mill. Utilitarianisme, dari akar kata utility, yang berarti
kegunaan, menganggap bahwa dorongan utama bagi seseorang untuk bersikap etis adalah
untuk mencapai kebahagiaan. Menginginkan kebaikan dalam arti utilitarian adalah keinginan
kebaikan tidak saja untuk individu itu sendiri, tetapi mencakup orang-orang yang mungkin
mendapatkan dampak dari perbuatan itu.
Ross berargumen bahwa seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang
bernilai baik maupun buruk. Senada dengan Kant, Ross adalah seorang filosof moral yang
menekankan bahwa tindakan etis haruslah terlepas dari kepentingan individual. Ross
menyetujui adanya kewajiban, tetapi kewajiban yang ia maksudkan bukanlah kewajiban
sempurna yang dijelaskan oleh Kant, melainkan kewajiban dengan syarat atau kondisional.
Ide moral semacam ini disebut Prima Facie. Prima Facie menekankan tentang bagaimana
seseorang merefleksikan pilihan-pilihan moralnya, sebelum ia bertindak. Berbagai macam
kewajiban yang membutuhkan pertimbangan individu dalam kejadian-kejadian aktual
menurut Ross adalah fidelitas (kesetiaan), kewajiban atas rasa terimakasih, kewajiban
berdasarkan keadilan, kewajiban beneficence, atau bersikap dermawan, dan kewajiban untuk
tidak menyakiti orang lain.