Download - Radio Terapi Fix 2
SEORANG WANITA 65 TAHUN DENGAN CA EPIDERMOID CERVIKS
UTERI STADIUM IIIB PASCA NEOADJUVANT KEMOTERAPI KE II
Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan senior Bagian Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Disusun oleh :
Elizabeth Fajar P P 22010113210097
Gloria Sheila R U 22010113210098
Aldila Savitri 22010113210099
Devi Sarah Intan P 22010113210100
Dewi Ayu Kusuma 22010113210101
BAGIAN RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
1
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Kasus Besar dengan :
Judul : Seorang wanita 65 tahun dengan Ca epidermoid cerviks uteri
stadium IIIB pasca neoadjuvant kemoterapi II
Bagian : Radiologi
Pembimbing : dr. SR Subandini, Sp. Rad(K) Onk,Rad.
dr. Resta
Telah diajukan dan disahkan pada tanggal 23 Februari 2015.
Semarang, 23 Februari 2015
Residen pembimbing, Dosen pembimbing,
dr. Resta dr. SR Subandini, Sp. Rad(K) Onk,Rad
DAFTAR ISI
2
Halaman Pengesahan ......................................................................................... ii
Daftar isi ............................................................................................................. iii
I. Pendahuluan ........................................................................................... 1
II. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 2
A. Epidemiologi .................................................................................... 2
B. Faktor resiko...................................................................................... 2
C. Patogenesis dan penyebaran.............................................................. 3
D. Gejala klinik dan morfologi.............................................................. 4
E. Diagnosis .......................................................................................... 5
F. Penatalaksanaan................................................................................ 7
G. Efek samping radioterapi.................................................................. 10
H. Prognosis........................................................................................... 11
III. Laporan kasus.......................................................................................... 12
IV. Pembahasan............................................................................................. 17
V. Kesimpulan............................................................................................. 19
Daftar Pustaka..................................................................................................... 20
Lampiran
3
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker leher rahim di
dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Sementara
itu di negara berkembang masih menempati urutan teratas sebagai
penyebab kematian akibat kanker di usia reproduktif. Di Indonesia
terjadi sekitar 90 sampai 100 kasus baru kanker leher rahim per
100.000 penduduk per tahun (Depkes, 2001). Profil kesehatan 2010
menyebutkan bahwa indikator penyakit kanker leher rahim adalah
19,70% per 10.000 penduduk. Berdasarkan laporan program yang
berasal dari Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Semarang pada tahun
2005, kasus penyakit kanker yang ditemukan sebanyak 2.020 kasus,
55% di antaranya adalah kanker leher rahim dan 45% diantaranya
bukan kanker leher rahim (Dinkes, 2005).1 Frekuensi kejadian kanker servik
uteri tertinggi adalah pada wanita usia antara 50 sampai 55 tahun, dengan umur rata-
rata 53,2 tahun.2
Pilihan penatalaksanaan pasien dengan kanker leher rahim bergantung pada
derajat (stage) penyakitnya. Derajat suatu kanker menggambarkan ukuran, kedalaman
invasi, dan seberapa jauh penyebarannya. Tiga metode utama penatalaksanaan kanker
adalah pembedahan, terapi radiasi, dan kemoterapi. Terkadang pendekatan
pengobatan terbaik menggunakan dua atau lebih dari metode-metode ini.3
Radioterapi atau terapi radiasi adalah jenis terapi yang menggunakan radiasi
tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Baik sel-sel normal maupun sel-sel
kanker bisa dipengaruhi oleh radiasi ini. Radiasi akan merusak sel-sel kanker sehingga
proses multiplikasi ataupun pembelahan sel-sel kanker akan terhambat. Sekitar 50-60%
penderita kanker memerlukan radioterapi.4
Tujuan radioterapi adalah untuk pengobatan secara radikal, sebagai terapi paliatif
yaitu untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit atau tidak nyaman akibat kanker
dan sebagai adjuvant yakni bertujuan untuk mengurangi risiko kekambuhan dari kanker.
Radiasi mempunyai efek yang sangat baik pada jaringan yang membelah dengan cepat.
Dengan pemberian setiap terapi, maka akan semakin banyak sel-sel kanker yang mati dan
tumor akan mengecil. Sel-sel kanker yang mati akan hancur, dibawa oleh darah dan
diekskresi keluar dari tubuh. Sebagian besar sel-sel sehat akan bisa pulih kembali dari
4
pengaruh radiasi. Tetapi bagaimanapun juga, kerusakan yang terjadi pada sel-sel yang
sehat merupakan penyebab terjadinya efek samping radiasi.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi
Laporan International Union Against Cancer (IUCC) pada kongres kanker
internasional ke-18 tahun 2002 di Oslo, Norwegia menunjukkan bahwa 6 juta orang
meninggal akibat kanker tiap tahunnya dan 10 juta kasus kanker baru, muncul.
466.000 kasus diantaranya adalah kanker servik uteri dan menyebabkan 231.000
kematian tiap tahunnya. Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker
leher rahim di dunia menempati urutan kedua setelah kanker
payudara. Sementara itu di negara berkembang masih menempati
urutan teratas sebagai penyebab kematian akibat kanker di usia
reproduktif.1,2
Di Indonesia terjadi sekitar 90 sampai 100 kasus baru kanker
leher rahim per 100.000 penduduk per tahun. Berdasarkan laporan
program yang berasal dari Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota
Semarang pada tahun 2005, kasus penyakit kanker yang ditemukan
sebanyak 2.020 kasus, 55% di antaranya adalah kanker leher rahim
dan 45% diantaranya bukan kanker leher rahim. Di antara lima jenis kanker
terbanyak pada wanita, kanker servik uteri menduduki peringkat pertama. Umur
penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-50 tahun. Periode laten dari fase pra
invasif menjadi invasif memakan waktu 10 tahun, hanya 9 % wanita kurang dari 35
tahun, menunjukkan kanker cervik yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53
% dari KIS ( Karsinoma In Situ) di bawah usia 35 tahun. 1,5
B. Faktor Resiko
Keadaan apapun yang meningkatkan resiko seseorang mendapatkan penyakit
disebut faktor resiko. Memiliki faktor resiko tidak selalu berarti akan terkena kanker;
dan tidak memiliki faktor resiko tidak berarti tidak akan terkena kanker. Faktor resiko
kanker leher rahim diantaranya adalah yang paling umum infeksi leher rahim oleh
5
human papilloma virus (HPV). Bagaimana pun, tidak semua wanita dengan infeksi
HPV akan berkembang menjadi kanker leher rahim. Wanita yang tidak secara rutin
memeriksakan Pap smear untuk mendeteksi HPV atau sel-sel abnormal di serviks
memiliki peningkatan resiko kanker leher rahim. Faktor resiko lain termasuk: usia
lebih dari 40 tahun, melahirkan banyak anak apalagi dengan jarak yang berdekatan,
umur pertama kali berhubungan seksual pada usia muda (<16 tahun), jumlah
hubungan seksual, jumlah parter seksual, merokok, golongan sosial ekonomi rendah
(higenitas seksual), riwayat keluarga, riwayat kesehatan pernah tumor atau kanker
payudara, kanker usus, dan kelemahan sistem imun.6,7,8
C. Patogenesis dan Penyebaran
Karsinoma serviks timbul di batas antara epitel yang melapisi ektoserviks
(porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut squamo-columnar junction
(SCJ). Histologik antara epitel gepeng berlapis dari porsio dengan epitel
kuboid/silindris pendek selapis bersilia dari endoserviks kanalis serviks. Pada wanita
muda SCJ ini berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita > 35
tahun, SCJ berada di dalam kanalis serviks. Pada awal perkembangannya kanker
serviks tidak memberi tanda-tanda dan keluhan. Pada pemeriksaan dengan spekulum,
tampak sebagai porsio yang erosif (metaplasi skuamosa) yang fisiologik atau
patologik.
Tumor dapat tumbuh:
1.Eksofitik mulai dari SCJ ke arah lumen vagina sebagai masa proliferatif yang
mengalami infeksi sekunder dan nekrosis
2.Endofitik mulai dari SCJ tumbuh ke dalam stoma serviks dan cenderung
untuk mengadakan infiltrasi menjadi ulkus.
3.Ulseratif mulai dari SCJ dan cenderung merusak struktur jaringan serviks
dengan melibatkan awal forniks vagina untuk menjadi ulkus yang luas.
Serviks yang normal, secara alami mengalami proses metaplasi (erosio)akibat
saling desak mendesaknya kedua jenis epitel yang melapisi. Dengan masuknya
mutagen, porsio yang erosif (metaplasi skuamosa) yang semula faali/fisiologik dapat
berubah jadi patologik (displastik-diskariotik) melalui tingkatan NIS-I, II, III dan KIS
untuk akhirnya menjadi karsinoma invasif. Sekali menjadi mikro invasif atau invasif,
proses keganasan akan berjalan terus.
6
Periode laten (dari NIS-I s/d KIS) tergantung dari daya tahan tubuh penderita.
Umumnya fase pra-invasif berkisar antara 3-20 tahun (rata-rata 5-10 tahun).
Histopatologik sebagian terbesar (95-97%) berupa epidermoid atau squamous cell
carcinoma, sisanya adenokarsinoma, clearcell carcinoma/mesohephrod carcinoma,
dan yang paling jarang adalah sarkoma.
Kanker servik mengalami metastasis biasanya melalui limfogen menuju 3
arah, yaitu : ke arah forniks dan dinding vagina, ke arah corpus uteri, dan ke arah
parametrium dan dalam stadium lanjut menginfiltrasi septum rektovaginal dan
kandung kemih.
Melalui pembuluh limfe dalam parametrium kanan dan kiri sel tumor dapat
menyebar ke kelenjar iliaka luar dan kelenjar iliaka dalam (hipogastrika). Penyebaran
melalui pembuluh darah tidak lazim. Karsinoma serviks umumnya terbatas pada
daerah panggula saja. Tergantung dari kondisi imunologik tubuh penderita KIS akan
berkembang menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan
kedalaman invasi <1mm dan sel tumor belum terlihat dalam pembuluh limfe atau
darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1mm dari membrana basalis, atau <1mm tetapi
sudah tampak berada dalam pembuluh limfe atau darah, maka prosesnya sudah
invasif. Tumor mungkin telang menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara
klunis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai ganas
pra-klinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran secara
limfogen menuju kelenjar limfe regional dan secara perkontinuitatum (menjalar)
menuju forniks vagina, korpus uteri, rektum dan kandung kemih, yang pada tingkat
akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula rektum atau kandung kemih.
Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar limfe regional melalui
ligamentum latum, kelenjar-kelanjar iliaka, obturator, hipogastrika, prasakral,praaorta,
dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut malaui trunkus limfatikus di kanan dan
vena subklavia di kiri mencapai paru-paru, hati, ginjal, tulang, dan otak.
Biasanya penderita sudah meninggal lebih dulu disebabkan oleh perdarahan-
perdarahan yang eksesif dan gagal ginjal menahun akibat uremia oleh karena
obstruksi ureter di tempat ureter masuk ke kandung kemih.
D. Gejala Klinis dan Morfologi
Stadium dini kanker leher rahim dapat tidak menimbulkan gejala atau tanda.
Seorang wanita sebaiknya melakukan pemeriksaan rutin tahunan, termasuk Pap smear
7
untuk mengetahui sel-sel abnormal di serviks. Prognosis akan lebih baik jika kanker
ditemukan lebih dini.6
Keputihan merupakan gejala yang sering dikeluhkan. Fluor yang keluar dari
vagina ini, makin lama akan berbau busuk karena infeksi dari nekrosis jaringan,
sehingga pertumbuhan kanker menjadi ulseratif. Kontak Bleeding terjadi pada 75-
80% kasus kanker servik uteri. Perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh
darah, makin lama makin sering terjadi, bahkan terjadi perdarahan spontan.
Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat klinik yang lebih lanjut, terutama
pada kanker yang bersifat eksofitik dan dapat menyebabkan anemia. Rasa nyeri
terjadi akibat infiltrasi sel kanker ke serabut saraf. Infiltrasi kanker ke ureter
menyebabkan obstruksi total, sehingga terjadi gangguan kencing.7
Menegakkan diagnosis kanker servik uteri yang klinis sudah agak lanjut
tidaklah sulit. Yang menjadi masalah adalah diagnosis pada tingkat awal, misalnya
pada tingkat pra invasif. Stadium kanker servik dapat ditentukan dengan kriteria
tingkat keganasan klinik menurut FIGO (1978).7
Kanker servik timbul di daerah squamo-columner junction. Di daerah tersebut
terjadi proses metaplasia skumosa. Metaplasia skuamosa sel endoservik yang dapat
dipandang sebagai proses fisiologis, dapat berubah ke dalam prose maturitas yang
terganggu ( diplasia ). Gangguan maturitas ini, tampak ada pelebaran dan atipik sel
lapisan basal, peningkatan rasio nukleus-sitoplasma, maturitas yang terhambat dan
mitosis. Konsep neoplasia intraepitelial servik ( CIN) digunakan untuk menunjukkan
perkembangan neoplasia servik. CIN I sesuai dengan displasia ringan, CIN II dengan
displasia sedang dan CIN III sesuai dengan displasia berat maupun karsinoma in situ.7
E. Diagnosis
Diagnosis kanker servik uteri dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keluhan yang sering dijumpai
penderita kanker servik adalah perdarahan abnormal, contact bleeding, fluor
abnormal, gangguan kencing (disuria), gangguan defekasi dan nyeri perut di bagian
bawah atau menyebar. Pemeriksaan khusus vagina menggunakan speculum, untuk
mengetahui morfologi servik dan mengambil sediaan untuk pemeriksaan jaringan dan
sitologis. Pemeriksaan ginekologi vaginal toucher juga perlu dilakukan untuk menilai
konsistensi dan bentuk servik.3
8
Diagnosis pasti kanker servik uteri adalah dengan pemeriksaan histologik dari
jaringan yang diperoleh dari biopsi yang dilakukan secara terarah dengan bantuan
kolposkop. Hasil pemeriksaan tersebut harus dikonfirmasi dengan tindak lanjut
berupa kuretase endoservik atau konisasi servik.3
Pemeriksaan X-Foto Thorak diperlukan untuk mengetahui adanya metastasis
ke paru. Pemeriksaan IVP dan CT-Scan panggul dilakukan jika ada indikasi.
Gambaran Radiologis metastasis ke paru, meliputi gambaran coin lesion, efusi pleura,
golf ball, nodul, milier, dan pembesaran kelenjar.4,8
Pembagian stadium klinis menurut menurut FIGO
Stadium 0 : Karsinoma in situ, karsinoma intra epitelial
Stadium I : karsinoma hanya terbatas pada serviks (perluasan korpus uteri harus
dikesampingkan
Stadium Ia1 : karsinoma pre klinis (hanya dapatr didiagnosis menggunakan
mikroskop), kedalaman infiltrasi kurang dari 3 mm
Stadium Ia2 : lesi-lesi yang dapat diukur mikroskopik dengan kedalaman invasi 3-5
mm dari membran basal dan lebar tidak lebih dari 7 mm
Stadium Ib : lesi-lesi dengan ukuran yang lebih besar daripada yang disebutkan
dalam
Stadium Ib1 : diameter kurang dari 4 cm
Stadium Ib2 : diameter tumor lebih dari 4 cm
Stadium II : karsinoma meluas diluar cervix, tetapi belum sampai dinding pelvis;
karsinoma tumbuh ke dalam vagina, tetapi tidak sampai sepertiga
bagian bawah
Stadium IIa : tidak ada perluasan ke parametrium
Stadium IIb : jelas ada perluasan ke parametrium
Stadium III : karsinoma meluas sampai dinding pelvis; pada pemeriksaan rektal
tidak terdapat ruangan bebas karsinoma antara tumor dan dinding
pelvis; tumor tumbuh sampai sepertiga bagian bawah vagina. Adanya
hidronefrosis atau ginjal yang tidak berfungsi cocok dalam stadium.
Stadium IIIa : tidak ada perluasan sampai ke dinding pelvis, tetapi pertumbuhan terus
sampai sepertiga bagian bawah vagina.
Stadium IIIb : perluasan sampai dinding pelvis atau hidronefrosis atau ginjal yang
tidak berfungsi.
9
Stadium IV : karsinoma telah meluas sampai diluar pelvis minor atau secara klinis
telah tumbuh ke dalam mucosa kandung kencing atau rectum
Stadium IVa : pertumbuhan tumor tembus dalam organ-organ sekelilingnya
Stadium IVb : perluasan ke organ-organ jarak jauh
F. Penatalaksanaan
Terapi kanker servik dilakukan bilamana diagnosis telah dipastikan secara
histologik, dan dilakukan perencanaan yang matang oleh tim yang sanggup
melaksanaakan rehabilitasi dan pengamatan lanjutan.
Pada stadium 0, karsinoma in situ (KIS) tidak dibenarkan melakukan
elektrokauterisasi atau elektrofulgerasi, bedah cryo dan menggunakan sinar laser,
kecuali dilakukan oleh seorang ahli kolposkopi dan penderitanya masih muda dan
belum memiliki anak.7
Pada kasus tertentu dimana operasi merupakan suatu kontraindikasi, dapat
dilakukan aplikasi radium dengan dosis 6500-7000 rads/cgy di titik A (=setinggi 2cm
dari oue dan sejauh 2cm dari sumbu uterus) tanpa penambahan penyinaran luar.
Pada stadium Ia, umumnya dianggap dan ditangani sebagai kanker yang
invasif. Bila kedalaman invasi kurang dari atau hanya 1mm dan tidak meliputi area
yang luas serta tidak melibatkan pembuluh limfe atau pembuluh darah,
penanganannya dilakukan seperti pada KIS di atas. 7
Pada stadium Ib, Ib occult dan IIa, dilakukan histerektomi radikal dengan
limfadenektomi panggul. Paska bedah biasanya dilakukan penyinaran tergantung ada
tidaknya sel tumor dalam kelenjar limfe regional yang diangkat. Tindakan operatif
radikal meliputi ekstirpasi uterus, parametrium dan jaringan para servikal sampai
dinding pelvis, menghilangkan vagina manchet yang cukup luas dan limfadenektomi
pelvis bilateral; sepanjang arteri iliaka komunis, vasa iliaka eksterna, arteri
hipogastrika dan fossa obturatoria. Indikasi radioterapi post operative adalah
pertumbuhan tumor ke dalam parametrium, pinggir-pinggir irisan tidak bebas dan
metastasis ke kelenjar limfe. 7
Pada stadium IIb, III dan IV tidak dilakukan tindakan bedah, untuk ini primer
adalah radioterapi. Jaringan servik uteri merupakan jaringan yang radioresponsif
sehingga dosis yang diberikan adalah 5000 cgy dengan dosis fraksinasi sebesar 200
cgy dilakukan dalam 25 kali penyinaran dan 5 kali dalam seminggu. Teknik radiasi
10
secara radiasi eksterna menggunakan pesawat gammatron dengan Cobalt-60 atau
menggunakan Linac (Linier Accelerator) yang teknik penyinarannya lebih canggih. 7
Setelah 1 seri radiasi dapat pada stadium I dan II dapat dilanjutkan dengan
afterloading menggunakan metode dari Fletchener yaitu menggunakan bola-bola
Cesium-137 dengan cara brakiterapi, menggunakan dosis 850 cgy, diberikan 2 kali,
jarak pemberian pertama dengan kedua adalah 1 minggu. 7
Penentuan luas lapangan radiasi meliputi daerah kelenjar limfe sekitar arteri
obturatoria sampai di pertemuan arteri illiaka komunis; biasanya luas lapangan adalah
15 x 12 cm sampai 15 x 18 cm. Daerah yang telah mendapat radium intracaviter
selebar antara titik A kanan dan kiri ditutup dengan blok timah hitam. Penutupan
dilakukan juga pada daerah sekitar kaput femoris dan sebagian pelvis lateral bagian
atas untuk mengurangi bahaya usus-usus terkena radiasi.
Pada stadium klinik IVa dan IVb terapi radiasi bersifat paliatif dan pemberian
kemoterapi dapat dipertimbangkan dengan kombinasi beberapa jenis sitostatika
(polichemotheraphy). 7
Dalam menentukan teknik dan dosis radiasi pada pengobatan karsinoma
serviks uteri perlu dipertimbangkan faktor daya toleransi dari jaringan-jaringan di
dalam rongga pelvis. 7
Jaringan yang menyusun seviks, korpus uteri dan vagina merupakan jaringan
yang paling tahan terhadap radiasi bila dibandingkan dengan jaringan tubuh yang
lainnya. Keadaan ini memungkinkan pemberian radiasi dengan dosis cukup tinggi
pada tumor serviks. 7
Pembatasan dosis lebih ditentukan oleh daya tahan dari usus-usus, ureter dan
kandung kencing. Alat-alat ini mempunyai daya toleransi lebih rendah dibandingkan
dengan uterus. Dosis radiasi lokal melebihi 5000rad menimbulkan reaksi-reaksi yang
cukup berat seperti timbulnya ulserasi pada mukosa yang dapat menimbulkan fistula. 7
Daya toleransi dari radiasi eksternal sangat tergantung dari volume radiasi,
dosis tiap hari, dan lamanya radiasi. Radiasi eksternal diperlukan untuk memberantas
metastasis-metastasis dalam kelenjar limfe dalam parametrium bagian lateral,
sehingga memerlukan volume penyinaran yang cukup luas.7
Teknik radiasi yang digunakan adalah kombinasi antara radiasi lokal
(intrakaviter) dan radiasi eksternal. Radiasi lokal daapat memberika dosis yang tinggi
pada serviks dan corpus uteri, tetapi dosis cepat menurun pada jaringan disekitarnya,
sehingga dosis ke rectum, sigmoid, kandung kencing dan ureter dapat dibatasi sampai
11
batas-batas nilai toleransi. Kemungkinan timbulnya metastasis limfogen pada
carsinoma serviks uteri cukup tinggi. Oleh karena itu, kelenjar-kelenjar dalam
panggul kecil harus mendapat penyinaran juga. Dosis radiasi intracaviter cepat
menurun di luar uterus, sehingga dosis yang sampai pada kelenjar limfe sangat
rendah. Untuk mencapai dosis yang dapat mengamankan metastasis kelenjar limfe ini,
diperlukan penyinaran luar yang dapat memberikan distribusi dosis yang merata pada
daerah yang lebih luas.7
Radiasi lokal (intrakaviter), zat radioaktif yang dulu sering digunakan adalah
radium yang sekarang sudah mulai diganti cobalt, cesium atau iridium yang lebih
aman, dengan teknik dasar penggunaannya sama.7
Zat radioaktif diletakkan intra vaginal dan intrauterin dengan menggunakan
aplikator. Aplikator intravaginal berbentuk kotak (box) silinder atau ovoid, sedang
aplikator intrauterin bebentuk tabung (tandem).7
Untuk menghindarkan para petugas terkena radiasi pemasangan zat radioaktif
sangat dianjurkan menggunakan teknik after loading. Terdapat 2 cara, yaitu:
- after loading secara manual
aplikator intrauterine dan intravaginal dipasang dalam keadaan kosong.
Setelah dilakukan pemeriksaan lokalisasi pemasangannya dengan alat
radiodiagnostik atau lokalisator, maka penderita dapat dibawa ke kamar
khusus. Zat radioaktif dimasukkan di kamar tersebut, sehingga penyinaran
pada petugas sangat kecil.
- remote controlled after loading system
setelah pemasangan aplikator telah dilaksanakan dengan sempurna, maka
aplikator dihubungkan dengan pipa ke tempat penyimpanan zat radioaktif.
Cara memasukkan zat ini ke dalam aplikator dilakukan dalam ruangan khusus
dengan menggunakan tombol, dan setelah radiasi selesai, tombol lain ditekan
sehingga zat radioaktif kembali ke tempat penyimpanan. Dengan cara ini
seluruh petugas sama sekali terbebas dari radiasi.7
Untuk memberantas metastasis kelenjar dengan efek sampingan seringan-
ringannya dipergunakan pesawat megavolt, seperti telecobalt atau linear accelerator.
Kombinasi radiasi eksternal dan intrakaviter tergantung pada stadium
karsinoma serviks uteri ialah sebagai berikut:
Stadium I a1 :
12
Histerektomi ekstrafasial. Bila fertilitas masih diperlukan dilakukan konisasi
dilanjutkan pengamatan lanjut.
Stadium I a2 :
Operasi, histerektomi radikal atau modifikasi dan limfadenektomi pelvis.
Histerektomi ekstrafasial dan limfadenektomi pelvis bila tidak ada invasi limfo-
vaskular. Konisasi luas atau trakhelektomi radikal limfadenektomi laparoskopi, kalau
fertilitas masih dibutuhkan. Radioterapi : radiasi luar dan brakiterapi dosis ( dosis
dititik A 75-80 Gy)
Stadium Ib / IIa <4 cm :
Hindari gabungan operasi dengan radiasi untuk mengurangi morbiditas
Terapi adjuvant kemoterapi pasca bedah dengan cisplatin 5 FU. Bila ada factor resiko
KGB (+) , parametrium (+), tepi sayatan (+)
Radioterapi : Radiasi luar dan brakiterapi dosis di titik A 80 – 85 Gy
Stadium IB 2 / IIa >4cm :
Kemoradiasi : Radiasi luar dan brakiterapi serta pemberian cispatin 40mg / m2 /
minggu selama radiasi luar.
Kalau KGB iliaca communis atau paraaorta positif lapangan radiasi diperluas
Stadium IIB / III / Iva
Kemoradiasi : Radiasi luar dan brakiterapi serta pemberian cisplatin 40 mg / m2/
minggu selama radiasi luar.
Kalau KGB iliaca communis atau paraaorta positif lapangan radiasi diperluas
Stadium IVb / residif :
Radiasi dan kemoterapi ( cisplatin 5 FU ) 50 Gy bila lesi mikroskopik dan 64 – 66 Gy
pada tumor yang besar. Eksenterasi kalau proses tidak sampai dinding panggul.
Respon pengobatan dengan sitostatika ini berkisar antara 19-50%. Akhir-akhir ini
telah dikembangkan pemberian sitostatika pada karsinoma serviks mendahului terapi
pembedahan atau terapi radiasi. Pemberian sitostatika dengan cara ini disebut sebagai
13
terapi neoadjuvant. Pemberian sitostatika yang diberikan bersamaan dengan radiasi
disebut kemoterapi concomitant.
G. Efek Samping Radioterapi
Efek samping radioterapi bervariasi pada tiap pasien. Secara umum efek samping
tersebut tergantung dari dosis terapi, target organ dan keadaan umum pasien. Beberapa
efek samping berupa kelelahan, reaksi kulit (kering, memerah, nyeri, perubahan warna
dan ulserasi), penurunan sel-sel darah, kehilangan nafsu makan, diare, mual dan muntah
bisa terjadi pada setiap pengobatan radioterapi. Kebotakan bisa terjadi tetapi hanya pada
area yang terkena radioterapi. Radiasi tidak menyebabkan kehilangan rambut yang total.
Pasien yang menjalani radiasi eksternal tidak bersifat radioaktif setelah pengobatan
sehingga tidak berbahaya bagi orang di sekitarnya. Efek samping umumnya terjadi pada
minggu ketiga atau keempat dari pengobatan dan hilang dua minggu setelah pengobatan
selesai. 4
Untuk mengurangi efek samping radioterapi beberapa hal perlu dilakukan. Bila
terdapat kelelahan, pasien dianjurkan untuk tetap beraktivitas seperti biasa, bila memang
diperlukan maka aktivitas bisa dikurangi, usahakan untuk bisa tidur nyenyak di malam
hari serta beristirahat yang cukup. Bila terjadi kehilangan nafsu makan maka sebaiknya
pasien dianjurkan untuk makan segala makanan yang diinginkan, makan dalam jumlah
kecil tetapi sering, hindari memakan makanan yang kering, minum banyak air, bisa
diberikan makanan suplemen untuk meningkatkan nafsu makan. Perubahan kulit yang
terjadi bisa dikurangi dengan tidak menggunakan produk-produk pada kulit sebelum
radioterapi, menggunakan baju yang tidak terlalu sempit, menggunakan sabun yang
lembut dan air hangat pada saat membasuh tubuh, dilarang menggosok terlalu keras pada
area yang terkena radioterapi, hindari temperatur yang terlalu panas atau terlalu dingin
serta hindari sinar matahari langsung. Pada umumnya efek samping dari radioterapi akan
hilang dengan sendirinya setelah pengobatan dihentikan. Tetapi pada beberapa kasus
yang jarang akan terjadi efek samping yang berkepanjangan karena radiasi menyebabkan
kerusakan pada organ dalam yang berhubungan atau berdekatan dengan tempat tumor.4
14
H. Prognosis
Pronosis kanker servik uteri dipengaruhi oleh umur penderita, keadaan umum,
tingkat klinik keganasan, ciri-ciri histologik sel tumor dan sarana pengobatan. Angka
ketahann hidup 5 tahun untuk karsinoma invasif stadium Ia sekitar 98 %, stadium I
yaitu 74-90 %, stadium II yaitu 45-60 %, stadium III yaitu 20-25 %, dan stadium IV
sebesar 5-10 %.7
Tindak lanjut dari setiap tindakan terapi harus diperhatikan secara seksama
uintuk menghindari komplikasi yang mungkin terjadi. Pada tindakan konisasi perlu
diperhatikan adanya stenosis servik yang menyebabkan dismenorea, granulasi dan
insufisiensi servik sehingga mengganggu kehamilan berikutnya.7
Sesudah tindakan operatif, perlu dperhatikan komplikasi urologi, terutama
gangguan fungsi kandung kemih. Setelah tindakan radiologik, harus diperhatikan
problem koitus, fistel radiologik, gejala sistitis, dan prokitis hemoragik.7
15
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. S
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kedung Jati RT 02 RW 05, Kedung Jati Grobogan
Agama : Islam
No. CM : C125956
Tanggal Masuk : 18 februari 2015
II. ANAMESIS
Autoanamnesis tanggal 20 Februari 2015.
a. Keluhan Utama : Ingin melanjutkan pengobatan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
1,5 tahun yang lalu sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh
keputihan terus menerus. Keputihan bau, nyeri pinggang (-), nyeri perut (+),
pegel-pegel (+), keluar darah dari jalan lahir, tidak ada riwayat trauma.
1 tahun sebelum masuk rumah sakit, penderita baru memeriksakan diri ke RS
Purwodadi. Oleh dokter Sp.OG dilakukan pemeriksaan biopsi dan dikatakan
menderita kanker leher rahim. Namun, karena peralatan yang terbatas,
penderita kemudian dirujuk ke RSDK untuk menjalani kemoradiasi.
Tanggal 20 Februari 2015 penderita diprogramkan ER I, namun karena alat
rusak maka program ditunda.
c. Riwayat Obstetri :
P3A1, anak terkecil berusia 32 tahun.
d. Riwayat Kawin:
16
1 kali, suami sudah meninggal 15 tahun yang lalu
e. Riwayat Haid :
o Menopause ± 10 tahun yang lalu
f. Riwayat KB : disangkal
g. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit hipertensi (-), penyakit DM (-), asma (-), Jantung (-), riwayat
operasi daerah panggul disangkal.
h. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini.
i. Riwayat Sosial Ekonomi :
Penderita bekerja sebagai ibu rumah tangga dan suami sudah meninggal,
memiliki 2 anak yang sudah mandiri. Biaya pengobatan ditanggung BPJS.
Kesan: sosial ekonomi kurang
III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 20 Februari 2015)
Keadaan umum: Baik, kesadaran kompos mentis.
Status generalis:
Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/80 mm Hg
Nadi : 84x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 36,5oC
BB sekarang : 55 kg
TB : 155 cm
Kepala : Mesosefal, turgor dahi cukup
Mata : Konjungtiva palpebra anemis -/-
Mulut : Bibir sianosis (-)
Leher : Trakea di tengah, pembesaran nnll (-)
Thoraks :
Pulmo :
Inspeksi : Simetris, statis - dinamis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
17
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi: Suara dasar = vesikuler,
Suara tambahan : hantaran -/-, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi: Iktus cordis tak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di spatium interkosta V, 2 cm medial linea
midklavikula sinistra
Perkusi : Konfigurasi jantungdalam batas normal
Auskultasi : Suara jantung I-II murni, bising (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi: datar, gambaran gerak usus (-), venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
Genitalia Eksterna: Perempuan, dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
Status Ginekologik:
Vaginal Toucher : Fluxus (-) / Fluor (+)
Vulva-uretra : tak ada kelainan
Vagina : infiltrat +/+ 1/3 proksimal
Portio : berbenjol-benjol, rapuh, mudah berdarah
Corpus uteri : sebesar telur bebek
Adneksa parametrium : infiltrat +/+, sampai dinding pelvis.
Cavum douglas : tak ada kelainan
Rektal Toucher : Tonus sfingter ani cukup, mukosa licin, infiltrat -/-,
Free cancer space -/-
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium
a. Darah rutin (20 Februari 2015)
Hb : 10,5 gr/dl
Lekosit : 12.000/mm³
Trombosit : 212.500/mm³
b. GDS : 96 mg/dl
18
c. Kimia klinik
Ureum : 19 mg/dl
Creatinin : 0,61 mg/dl
SGOT : 26
SGPT : 28
Na+ : 140 mmol/L
K+ : 3,9 mmol/L
Cl- : 107 mmol/L
Ca2+ : 3,27 mmol/L
d. EKG normosinus rhytm
- X foto toraks PA (tanggal 21 Februari 2014) :
Cor : CTR < 50 %
Bentuk dan letak jantung dalam batas normal
Pulmo : Corakan vaskuler tidak meningkat
Tak tampak bercak kesuraman maupun coin lesion pada kedua
lapangan paru.
Diafragma dan kedua sinus costophrenicus baik.
Struktur tulang normal, tak tampak lesi litik/sklerotik pada tulang.
Kesan : - Cor tidak membesar
- tak tampak gambaran metastase pada pulmo dan tulang
- USG Abdomen (tanggal 21 Februari 2014) :
Hepar : ukuran tak membesar, parenkim normal, ekogenesitas normal, tak
tampak nodul, vena porta tak melebar, vena hepatica tak melebar.
Duktus biliaris : intra dan ekstrahepatal tak melebar
Vesika fellea : ukuran normal, dinding tak menebal, tak tampak batu, tak
tampak sludge.
Lien : ukuran normal, v. lienalis tak melebar
Pankreas : parenkim homogen, tak tampak massa, maupun kalsifikasi
Ginjal kanan : bentuk dan ukuran normal, batas kortikomeduler jelas, tak
tampak penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak
melebar
19
Ginjal kiri : bentuk dan ukuran normal, batas kortikomeduler jelas, tak tampak
penipisan korteks, tak tampak batu, pielokaliks tak melebar
Aorta : tak tampak nodul paraaorta
Vesika urinaria : dinding tak tampak menebal, permukaan rata, tak tampak
batu, tak tampak massa
Uterus : ukuran membesar, struktur inhomogen
Tampak cairan di cavum Douglass
Tampak massa kistik bentuk bulat, batas tegas di regio adneksa kanan
Kesan : Massa di cerviks uteri dan cairan di cavum douglass
Masa kistik di regio adneksa kanan cenderung berasal dari
ovarium
- Biopsi & Pemeriksaan PA (tanggal 21 Februari 2014) :
Makro : sebuah jaringan berukuran 1 x 1 x ¾ cm
Pada lamelasi tampak masa kuning kecoklatan, padat
Mikro : diantara jaringan ikat fibrokolagen yang bersebukan diantara sel
radang MN dan beberapa PMN, tampak kelompok-kelompok sel
tumor yang beberapa berkeratin dengan inti pleomorfik,
hiperkromatis sebagian vesikuler, mitosis ditemukan. Pembuluh
limfe disekitarnya tidak jelas diinfiltrasi sel tumor. Tampak
perdarahan dan area necrosis.
Hasil PA : keratinizing epidermoid Ca cerviks, moderately differentiated
V. DIAGNOSIS SEMENTARACarsinoma epidermoid cervik uteri stadium IIIB
VI. TERAPI
- Pro ER I tanggal 23 Februari 2015
- Pasca NAC II
- Kalnex 3x500
- Asam Mefenamat 3 x 500 mg
- Vitamin B/C/SF 2 x 1 tablet
- Pengawasan KU, TV, PPV
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan utama ingin melanjutkan
pengobatan kanker leher rahim. Dari anamnesis didapatkan 1,5 tahun yang
lalu sebelum masuk rumah sakit, penderita mengeluh keputihan terus menerus.
Keputihan bau, nyeri pinggang (-), nyeri perut (+), pegel-pegel (+), keluar
darah dari jalan lahir, tidak ada riwayat trauma. 1 tahun sebelum masuk
rumah sakit, penderita baru memeriksakan diri ke RS Purwodadi. Oleh dokter
Sp.OG dilakukan pemeriksaan biopsi dan dikatakan menderita kanker leher
rahim. Namun, karena peralatan yang terbatas, penderita kemudian dirujuk ke
RSDK untuk menjalani kemoradiasi. Tanggal 20 Februari 2015 penderita
diprogramkan ER I, namun karena alat rusak maka program ditunda. Keluhan
yang sering dijumpai penderita sesuai dengan gejala yang biasa ditemukan
pada pasien karsinoma cervix yaitu terdapat perdarahan abnormal, contact
bleeding, fluor abnormal, dan nyeri perut di bagian bawah. Contact bleeding
terjadi pada 75-80% kasus carsinoma cerviks uteri. Perdarahan yang timbul
akibat terbukanya pembuluh darah, makin lama makin sering terjadi, bahkan
terjadi perdarahan spontan. Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat
klinik yang lebih lanjut, terutama pada kanker yang bersifat eksofitik dan
dapat menyebabkan anemia. Rasa nyeri pada perut terjadi akibat infiltrasi sel
kanker ke serabut saraf. Pada pasien karsinoma cervix biasanya juga disertai
gangguan kencing (disuria) dikarenakan adanya infiltrasi kanker ke ureter
sehingga menyebabkan obstruksi total dan terjadi gangguan kencing namun
karena pasien ini tidak didapatkan gangguan BAK sehingga kemungkinan
tidak terdapat metastasis ke ureter.
Dari pemeriksaan fisik dengan vaginal toucher ditemukan fluxus (-)/ fluor (+),
vulva-uretra tak ada kelainan, vagina terdapat infiltrat (+/+) pada 1/3 proksimal,
portio tampak berbenjol-benjol, rapuh, mudah berdarah, corpus uteri sebesar
21
telur bebek, adneksa parametrium terdapat infiltrat (+/+) sampai dinding pelvis,
cavum douglas tak ada kelainan, rektal toucher didapatkan tonus sfingter ani
cukup, mukosa licin, infiltrat (-/-), free cancer space (-/-). Terabanya massa
pada pasien ini di daerah tersebut menunjukkan lokasi tumor terletak di portio
serviks uteri. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda proses akut
sehingga dicurigai keganasan. Fluor yang keluar dari vagina ini, makin lama
berbau busuk karena infeksi dari jaringan yang nekrosis sehingga pertumbuhan
kanker menjadi ulseratif.
Pada pemeriksaan penunjang yaitu hematologi klinik didapatkan Hb: 10,5 gr/dl
dan lekosit: 12.200/mm³. Hal ini menunjukkan penderita mengalami anemia
ringan disebabkan karena terdapatnya pendarahan dan keputihan yang bau
kemungkinan dikarenakan adanya infeksi bakteri pada penderita. Pada
pemeriksaan radiologis yaitu x-foto thorax AP cor tak tampak membesar dan
tak tampak gambaran metastase pada pulmo dan tulang. Dari hasil USG
abdomen ditemukan adanya massa kistik di cerviks uteri sampai di regio
adneksa kanan dan juga terdapat cairan di cavum douglass. Hal ini sesuai
dengan gejala klinis yang ditemukan, berupa nyeri perut oleh karena desakan
massa pada cervix uteri sehingga uterus menjadi membesar. Sedangkan dari
biopsi & pemeriksaan PA yang merupakan diagnosis pasti carsinoma cerviks
uteri didapatkan hasil yaitu keratinizing epidermoid Ca cerviks, moderately
differentiated sehingga diagnosis pada pasien ini adalah carsinoma epidermoid
cervix uteri.
Berdasarkan data-data di atas dapat ditegakkan diagnosis Karsinoma serviks
uteri stadium IIIb. Oleh karena itu, maka penatalaksanaan penderita ini dimulai
dengan pemberian kemoterapi platosin neoadjuvant, yang kemudian disusul
dengan eksternal radiasi dengan dosis 5000cGy selama 5 minggu, masing-
masing 1000cGy tiap minggunya dan diberikan 5x per minggu, dengan
fraksinasi 200cGy tiap kali penyinaran. Pada pemberian radiasi eksternal I, VI,
XI, XVI, XXI bersamaan dengan pemberian kemoterapi(concomitant). 1-2
minggu setelah seluruh rangkaian radiasi eksternal selama 25 kali selesai, maka
akan dilanjutkan dengan afterloading I dan II dengan interval 1-2 minggu.
22
BAB V
KESIMPULAN
Karsinoma cervix uteri merupakan keganasan dimana terjadi proses displasia
sel skuamosa endoserviks (gangguan proses maturitas) di daerah squamo-columner
junction. Di antara lima jenis kanker terbanyak pada wanita, kanker servik uteri
menduduki peringkat pertama. Manifestasi klinis yang timbul pada pasien dengan
karsinoma cervix uteri tergantung dari pengaruh tumor pada daerah yang terkena dan
sekitarnya, serta daerah metastasisnya (apabila ada). Pada awal perkembangannya
kanker serviks tidak memberi tanda-tanda dan keluhan. Gejala yang seringkali
muncul seiring dengan pertumbuhan tumor yaitu timbulnya fluor yang keluar dari
vagina ini, makin lama akan berbau busuk, kemudian dapat timbul contact bleeding,
bahkan terjadi perdarahan spontan dan dapat menyebabkan anemia. Juga dapat
menimbulkan rasa nyeri. Infiltrasi kanker ke ureter menyebabkan obstruksi total,
sehingga terjadi gangguan kencing.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
yang mengarah kepada diagnosis karsinoma epidermoid serviks uteri dan penentuan
stadium. Setelah dilakukan penegakkan diagnosis, maka dilakukan terapi yang
sesuai dengan stadiumnya berupa pemberian rangkaian terapi kemoradiasi.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. http://digilib.unsri.ac.id/download/Dasar-Dasar%20Radioterapi.pdf
2. WHO. New cancer report offers hope for patients and communities (press
release). Accessed at www.who.int/cancer.
3. http://www.cancer.org/docroot/cri/content/
cri_2_4_4x_how_is_cervical_cancer_treated_8.asp?sitearea=cri
4. http://digilib.unsri.ac.id/download/Dasar-Dasar%20Radioterapi.pdf
5. Underwood, JCE. Traktus genitalis wanita. Dalam : Patologi umum dan
sistemik. Edisi bahasa Indonesia. Ed : Sarjadi. EGC. Jakarta. 2000 : 573-606.
6. http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/cervical/Patient/page1
7. Mardjikoen, Prastowo.Tumor ganas alat genital. Dalam : Hanifa W (editor).
Ilmu kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 1999
: 367-403.
24
25