Download - Radio Emfisema
0
Clinical science session
EMFISEMA PULMONAL(RADIOLOGI)
Oleh :Mike Yulia Fandri
0618011027
Pembimbing :Dr. Haryadi Sp.Rad
SMF/BAGIAN RADIOLOGIRSUD dr. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNGFEBRUARI 2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pemeriksaaan radiologis toraks merupakan pemeriksaaan yang sangat
penting. Kemajuan yang pesat dalam teknik pemeriksaan radiologik toraks dan
pengetahuan untuk menilai suatu roentgenogram toraks menyebabkan
pemeriksaan toraks dengan sinar Roentgen ini merupakan suatu keharusan rutin.
Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan Roentgen saat ini dapat dianggap tidak
lengkap.
Suatu penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologik. Selain itu, berbagai kelainan dini dalam paru
juga sudah dapat dilihat dengan jelas pada foto Roentgen sebelum timbul gejala-
gejala klinis, sehingga pemeriksaan secara rutin pada orang-orang yang tidak
mempunyai keluhan apa-apa sudah menjadi prosedur yang lazim dalam
pemeriksaan kesehatan masyarakat. Misalnya suatu sarang tuberkulosis yang
hanya sekecil 2 mm diameternya, mungkin telah dapat dilihat pada foto Roentgen,
sedangkan pemeriksaan fisik klinis tentu tidak akan berhasil menemukan sarang
sekecil ini.
Untuk mengetahui adanya suatu kelainan pada foto Roentgen memang
diperlukan suatu latihan, tetapi untuk menilai dengan teliti suatu kelainan yang
terlihat serta menarik kesimpulan yang tepat, merupakan sesuatu hal yang jauh
lebih sulit dan memerlukan latihan yang lebih lama di samping pengetahuan yang
2
mendalam tentang cabang ilmu kedokteran lainnya, terutama patologi dan ilmu
penyakit dalam.
Dalam hal ini, koordinasi yang baik antara hasil pemeriksaan klinis dan
laboratorium dengan pemeriksaan radiologikakan dapat menunjang penegakan
diagnosis yang tepat. Kerjasama yang erat dan konsultasi yang terus-menerus
antara ahli radiologi dan ahli-ahli klinis lainnya merupakan syarat mutlak untuk
mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Emfisema merupakan salah satu penyakit yang tergolong dalam COPD
(Chronic Obstructive Pulmonal Disease). Emfisema adalah pembesaran permanen
yang abnormal dari ruang udara pada posisi distal terhadap bronkiol terminal
disertai kerusakan dindingnya, tetapi tanpa fibrosis yang jelas. Emfisema paru-
paru merupakan penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan
dan mengalami kerusakan yang luas.Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya
destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema,
melainkan hanya sebagai “overinflation”.
Udara pernafasan akan terdapat didalam rongga jaringan interstitial atau
tetap berada didalam rongga alveoli saja. Proses dapat berjalan secara akut
maupun kronik. Secara umum, emfisema paru- paru ditandai dengan dipsnoea
ekspiratorik, hyperpnoea dan mudahnya penderita mengalami kelelahan
(Subronto,2003).
4
2. PATOGENESIS
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien emfisema, yaitu :
Hilangnya elastisitas paru
Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli dan saluran nafas
kecil dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal tersebut,
5
kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi
kollaps atau menyempit. Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya
mungkin dapat menjadi membesar.
Hyperinflation paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi
istirahat normal selama ekspirasi.
Terbentuknya bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu
bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.
Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif
intratorak akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
Foto toraks pada emfisema paru :
o Hiperinflasi dada
diafragma datar dan rendah dengan pergerakan yang terbatas saat
insprasi dan ekspirasi
peningkatan diameter AP dada dengan perluasan pada rongga
retrosternal (barrel chest).
Penampakan bayangan jantung yang tipis, panjang, dan sempit,
lebih disebabkan oleh inflasi berlebihan dan diafragma rendah.
o Perubahan vascular
Paru secara umum dipengaruhi oleh distribusi vaskularisasi
pulmonal yang secara abnormal tidak rata; pembuluh darah
6
menjadi tipis, diserta hilangnya gradasi halus normal dari
pembuluh darah yang berasal dari hilus menuju perifer.
Hipertensi pulmonal menyebabkan cor pulmonal. Arteri pulmonal
proksimal secara progresif membesar dan menyebabkan gagal
jantung kanan.
o Bullae
Rongga menyerupai kista sering terbentuk akibat rupturnya alveolus
yang melebar. Pada film dada, rongga tersebut tampak sebagai daerah
tranlusen dengan dindingnya terlihat sebagai bayangan kurva linear
menyerupai garis rambut. Bullae meiliki ukuran bervariasi dengan
diameter mulai dari beberapa sentimeter hingga menempati bagian
yang luas pada hemitoraks menggantikan, mendesak paru normal
disekitarnya.
3. KLASIFIKASI EMFISEMA
Terdapat tiga tipe dari emfisema berdasarkan lokasi kerusakannya :
a. Emfisema Centriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan kerusakan
bronchiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada
bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar tetap bersisa.
b. Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada
paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema,
timbul sangat sering pada seorang perokok.
7
c. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi
dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai
sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan
klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut,
terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali timbul Cor
Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
Berdasarkan radiologik
o Emfisema obstruktif:
a. Akut
b. Kronik
c. Bullous
o Emfisema non-obstruktif:
a. Kompensasi
b. Senilis (postural)
Gambar 1. Gambaran radiologi emfisema secara umum
8
1. Emfisema lobaris
Emfisema lobaris biasanya terjadi padabayi barulahi rdengan kelainan
tulang rawan, bronkus, mukosa bronchial yang tebal, sumbatan mucus (mucous
plug), penekanan bronkus dari luar oleh anomaly pembuluh darah.Gambaran
radiologiknya berupa bayangan radiolusen pada bagian paru yang
bersangkutan dengan pendorongan mediastinum kearah kontra-lateral.
Gambar . Emfisema lobaris
9
2. Hiperlusen idiopatik unilateral
Hiperlusen idiopatik unilateral ialah emfisema yang unilateral dengan
hipoplasi arteri pulmonalis dan gambaran bronkiektasis. Secara radiologic, paru
yang terkena lebih radiolusen tanpa penambahan ukuran paru seperti pada
umumnya emfisema lainnya.
3. Emfisema hipertrofi kronik
Terjadi sebagai akibat komplikasi penyakit paru seperti asma bronchial
yang parah, bronkiektasis, peradangan paru berat, pneumokinosis ganas, dan
tuberculosis.
Gambaran radiologic menunjukkan peningkatan aerasi dan penambahan ukuran
toraks yang biasanya hanya terjadi pada satu sisi. Sering ditemukan bleb atau
bulla yang berupa bayangan radiolusen tanpa struktur jaringan paru.
4. Emfisema bulla
Bulla merupakan emfisema vesikuler setempat dengan ukuran antara 1-2
cm atau lebih besar, yang kadang-kadang sukar dibedakan dengan pneumotoraks.
Penyebabnya sering tidak diketahui tapi dianggap sebagai akibat suatu penyakit
paru yang menyebabkan penyumbatan seperti bronkiolitis atau peradangan akut
lainnya dan perangsangan atau iritasi gas yang terhisap. Sering factor
penyebabnya sudah tidak tampak lagi, tetapi akibatnya adalah emfisema bulla
yang tetap atau bertambah besar.
Gambaran radiologik berupa suatu kantong radiolusen di perifer lapangan
paru, terutama bagian apeks paru dan bagian basal paru dimana jaringan paru
normal sekitarnya akan terkompresi sehingga menimbulkan keluhan sesak nafas.
10
Gambar . Emfisema Bulosa
5. Emfisema Kompensasi
Keadaan ini merupakan usaha tubuh secara fisiologik menggantikan
jaringan paru yang tidak berfungsi (atelektasis) atau mengisi toraks bagian paru
yang terangkat pada pneumoektomi.
6. Emfisema Senilis
Merupakan akibat proses degenerative org tua pada kolumna vertebra yang
mengalami kifosis di mana ukuran anterior-posterior toraks bertambah sedangkan
tinggi toraks secara vertical tidak bertambah, begitu pula bentuk diafragma dan
peranjakan diafragma tetap tidak berubah. Keadaan ini akan menimbulkan atrofi
septa alveolar dan jaringan paru berkurang dan akan diisi oleh udara sehingga
secara radiologic tampak toraks yang lebih radiolusen, corakan bronkovaskuler
yang jarang dan diafragma yang normal.
11
Gambar . emfisema senilis
12
Klasifikasi
Berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
13
1. PLE (Panlobular Emphysema/panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak
paru-paru bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar,
dan alveoli. Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus
yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta
kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar
merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita
emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua
dan bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui
adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease.
Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease
yang terbentuk secara alami (Cherniack dan cherniack, 1983). Semua ruang udara
di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri
khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat
aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar
emfisema, sering kali timbul pada perokok.
14
2. CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer
dari asinus tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan
kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah
sampai bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara
selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding
mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu
ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi
cenderung menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-
ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam
darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi
mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih banyak
ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok
(Sylvia A. Price 1995).
3. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs
(udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya
sebagai sebab dari pneumotorak spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga
tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur
bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat
melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi
15
sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga
sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
Gambaran radiologik emfisema secara umum
Akibat penambahan ukuran paru anterior posterior akan menyebabkan
bentuk toraks kifosis, sedang penambahan ukuran paru vertical menyebabkan
diafragma letak rendah dengan bentuk diafragma yang datar dan peranjakan
diafragma berkurang pada pengamatan dengan fluoroskopi.
Dengan aerasi paru yang bertambah pada seluruh paru atau lobaris ataupun
segmental, akan menghasilkan bayangan lebih radiolusen, sehingga corakan
jaringan paru tampak lebih jelas selain gambaran fobrosisnya dan vascular paru
yang relatif jarang.
Gambar . Emfisema pulmonal pada proyeksi foto AP dan Lateral
16
Gambar. Emfisema pulmonal
4. PATOFISIOLOGI
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding
alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara
alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas recoil. Pada saat
alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar (disebut
17
blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada “dead space” atau area yang tidak mengalami
pertukaran gas atau darah.
Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang
berlebihan, kehilangan rekoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta
penurunan redistribusi udara ke alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien
dengan emfisema.
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan
paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada)
dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru).
Keseimbangan timbul karena kedua tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk
disebut functional residual capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru
berkurang timbul keseimbangan baru yang menghasilkan FRC yang lebih besar.
Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu
terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran napas bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan
menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi
yang tidak seimbang. Namun, semua itu tergantung pada kerusakannya. Mungkin
saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusinya baik
sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama
dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi
dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
18
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam
darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding
alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaring-jaring kapiler pulmonal
berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area pulmonal.
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu
melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis
menetap dalam paru yang mengalami emfisema ini memperberat masalah.
Individu dengan emfisema akan mengalami obstruksi kronis yang ditandai oleh
peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran keluar udara dari paru.
Jika demikian paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan
negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus
dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini
membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan yang berdampak pada kekakuan
dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan bermanifestasi pada
berubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transversal mengalami
peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena
adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada bebrapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang
belakang bagian napas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung.
Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-
19
otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang terjadi pada inspirasi
mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat
inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi
normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tiodak memungkinkan terjadi. Kapasitas
vital total (VC) mungkin normal, tetapi rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1
detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas
alveoli sangat menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bagi klien untuk
menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas yang
menyempit meningkatkan upaya pernapasan.
Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan
paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Emfisema juga
menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan perfusi
oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap
normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia
muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.
5. FAKTOR RESIKO
Emfisema disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang
sebagian besar dapat dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya
80-90% kasus emfisema. Faktor resiko lainnya termasuk keadaan sosial ekonomi
dan status pekerjaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat
dengan lokasi pertambangan, perokok pasif atau terkena polusi udara.
20
6. ETIOLOGI
Merokok. Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat
hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi
paksa (FEV).(Nowak,2004)
Keturunan. Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau
tidak pada emfisema kecuali pada penderita dengan enzim alfa 1-
antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteoitik ysng sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi
alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom
resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru dalah penderita yang
memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila
penderita tersebut merokok.
Infeksi. Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas
pada seseorang penderita bronkhitis kronis hampir selalu menyebabkan
infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah.
Eksaserbasi bronkhitis kronis disangka paling sering diawali dengan
infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
Hipotesis Elastase-Antielastase. Di dalam paru terdapat keseimbangan
antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi
kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan
berubah dan timbulah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah
21
pankreas, sel-sel PMN, dan marofag alveolar (pulmonary alveolar
macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok
dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem
antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim
alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak
ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan
kerusakan jaringan elastis paru dan kemudian emfisema.
7. GEJALA KLINIS
Kesulitan bernapas sehingga terjadi hiperinflasi paru yang akan
menyebabkan diafragma terdorong dan menyebabkan kesulitan bernapas
dan otot-otot pernapasan tambahan akan digunakan, seperti muskulus
sternokleidomastoideus, muskulus interkosatalis internus, dan lainnya.
Kapasitas difusi paru menurun sehingga menyebabkan hipoksemia dan
selanjutnya terjadi hipoksia. Udara pernapasan yang tertahan
menyebabkan PaCO2 meningkat, terjadi asidosis respiratoris.
8. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi
pernapasan serta penggunaan obat bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya
tapak mempunyai bentuk dada barrel chest(akibat udara yang terperangkap),
penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan
abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot bantu napas
22
(sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas
bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi.
Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai demam
mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernapasan.
Palpasi
Ekspansi meningkat dan taktil femitus biasanya menurun.
Perkusi
Didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma
menurun.
Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat
beratnya obstruksi pada bronkhiolus.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Chest X-Ray: dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened
diafragma, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk bronchovaskular
(bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dari
dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi
atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi
efek dari terapi, misal: bronchodilator.
3. TLC: meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma,
menurun pada emfisema.
23
4. Kapasitas Inspirasi: menurun pada emfisema.
5. FEV1/FVC: ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan
kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs: menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun
dan PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi
seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau
asthma).
7. Bronchogram: dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi,
kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar
mukus (bronchitis).
8. Darah Komplit: peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan
eosinofil (asthma).
9. Kimia Darah: alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang
pada emfisema primer.
10.Sputum Kultur: untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi
patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau
allergi.
11.ECG: deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial
disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi
(bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema).
12.Exercise ECG, Stress Test: menolong mengkaji tingkat disfungsi
pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,
merencanakan/evaluasi program.
24
10. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah meningkatkan kualitas
hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi
saluran napas agar tidak terjadi hipoksia. Pendekatan terapi mencakup :
Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja
napas
Mencegah dan mengobati infeksi
Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatlan ventilasi paru
Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi
pernapasan yang adekuat
Dukungan psikologis
Edukasi dan rehabilitasi klien
Penatalaksanaan Medis
Jenis obat yang diberikan berupa :
Bronkodilator. Terdapat dua jenis bronkodilator yaitu simpatomimetik
(adrenergik) dan senyawa xanthine. Bronkodilator ini bekerja pada tempat
yang berbeda dan tampaknya bekerja secara sinergis bilamana digunakan
bersama-sama. Obat-obatan adrenalik yang bekerja pada beta 2 yang
terletak pada otot polos saluran nafas memiliki efek samping terhadap
jantung yang lebih kecil daripada obat-obatan golongan beta 1 yang
memiliki reseptor myokardium.
Terapi aerosol, Terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga
dapat dibuang. Tindakan terapi aerosol harus diberika sebelum waktu
25
makan untuk memperbaiki ventilasi paru dan dengan demikian
mengurangi keletihan yang menyertai aktivitas makan.
Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid tetap kontroversial dalam
pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan
bronkhiolus yang membuang sekresi setelah tindakan lain tidak
menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan. Dosis disesuaikan
untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping
jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peninkatan nafsu
makan. Pada jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus
peptikum,osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan
katarak.
Oksigenasi. Terapi oksigenasi dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pada klien emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi
oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg.
Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan
24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien
dan memperbaiki kulaitas hidup klien.
11. KOMPLIKASI
26
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami
kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam
darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding
alveolar terus mengalami kerusakan, maka jaringan kapiler pulmonal berkurang.
Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk
mempertahankan tekanan darah (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasi
emfisema.terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri apada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.
27
BAB III
KESIMPULAN
1) Emfisema merupakan salah satu penyakit yang tergolong dalam COPD
(Chronic Obstructive Pulmonal Disease). Emfisema adalah pembesaran
permanen yang abnormal dari ruang udara pada posisi distal terhadap
bronkiol terminal disertai kerusakan dindingnya, tetapi tanpa fibrosis yang
jelas.
2) Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada pasien emfisema,
yaitu :
Hilangnya elastisitas paru
Hyperinflation paru
Terbentuknya bullae
Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
12. KLASIFIKASI EMFISEMA
Terdapat tiga tipe dari emfisema berdasarkan lokasi kerusakannya :
a. Emfisema Panlobular (Panacinar)
b. Emfisema Centriolobular
c. Emfisema paraseptal
Berdasarkan radiologik
o Emfisema obstruktif:
a. Akut
b. Kronik
c. Bullous
28
o Emfisema non-obstruktif:
a. Kompensasi
b. Senilis (postural)