PROSES PEMBERIAN GELAR (ADEK)
DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM PERKAWINAN BEDA SUKU
(Studi Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun Marga Terusan
Nunyai di Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat)
Skripsi
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Oleh
ANWAR SAPUTRA
ii
ABSTRAK
PROSES PEMBERIAN GELAR (ADEK)
DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM PERKAWINAN BEDA SUKU
(Studi Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai di
Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat)
Oleh
ANWAR SAPUTRA
Perkawinan adat pada Marga Terusan Nunyai masih tetap berlaku ketentuan
bahwa perkawinan itu hanya dapat dilangsungkan antara mereka yang satu suku,
dan perkawinan tidak dapat dilakukan diantara anggota masyarakat yang beda
sesuku, Hal ini berkaitan erat dengan proses dan akibat hukum pemberian gelar
(adek) yang hanya diberikan dan dipakai ketika seseorang telah menikah dan
masih di lestarikan hingga saat ini. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan
dalam penelitian ini adalah proses pemberian gelar adat (adek) pada perkawinan
adat beda suku dalam masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai,
dan akibat hukum dari pemberian gelar adat (adek) pada perkawinan adat beda
suku dalam masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
empiris dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan
adalah pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian ini menggunakan sumber data
primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah
studi pustaka dan wawancara kepada pihak yang terlibat. Terkait data yang
diperoleh selanjutnya akan diolah melalui tahap-tahap identifikasi data, seleksi
data, klasifikasi data dan sistematisasi data yang kemudian dianalisis secara
kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan ini menunjukkan proses Pemberian Gelar (adek)
dalam Perkawinan Beda Suku Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun Marga
Terusan Nunyai di Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat yang
menunjukkan bahwa memiliki beberapa tahapan untuk pelaksanaannya, yaitu
pengangkonan, Perkawinan adat (Rasan Sanak atau Rasan Tuho), Merwatin dan
ijab kabul. Adapun akibat hukum dari pemberian gelar dalam perkawinan beda
suku yaitu laki-laki dinyatakan sah memiliki kedudukan dalam adat sesuai dengan
iii
kedudukan orangtua yang mengangkonya, perempuan dinyatakan sah memiliki
kedudukan dalam adat sesuai dengan kedudukan suami, berhak ikutsetra dalam
acara-acara adat, menentukan kedudukan dan tanggung jawab dalam masyarakat
adat Lampung serta mempengaruhi kehormatan, pergaulan dan status sosial, dan
tidak mendapat waris dari orang tua yang mengangkonya.
Kata Kunci : Pemberian gelar, Akibat Hukum, Perkawinan beda suku,
Marga Terusan Nunyai
Anwar Saputra
iv
PROSES PEMBERIAN GELAR (ADEK)
DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM PERKAWINAN BEDA SUKU
(Studi Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai di
Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat)
Oleh
Anwar Saputra
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Keperdataan
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
v
Judul Skripsi : PROSES PEMBERIAN GELAR (ADEK) DAN AKIBAT
HUKUMNYA DALAM PERKAWINAN BEDA SUKU
(Studi Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun
Marga Terusan Nunyai di Kecamatan Tumijajar
Kabupaten Tulang Bawang Barat)
Nama Mahasiswa : ANWAR SAPUTRA
No. Pokok Mahasiswa : 1512011062
Bagian : HUKUM PERDATA
Fakultas : HUKUM
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Siti Nurhasanah, S.H., M.H. Kasmawati, S.H., M.Hum.
NIP.197102111998021001 NIP. 197604132009122001
2. Ketua Bagian Hukum Perdata
Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum.
NIP. 196012281989031001
vi
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Siti Nurhasanah, S.H., M.H.
Sekretaris/Anggota : Kasmawati, S.H., M.Hum.
Penguji Utama : Aprilianti, S.H., M.H.
2. Dekan Fakultas Hukum
Prof. Maroni, S.H., M.H.
NIP. 19600310 198703 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 2 Mei 2019
vii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : ANWAR SAPUTRA
NPM : 1512011062
Jurusan : Perdata
Fakultas : Hukum
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “PROSES
PEMBERIAN GELAR (ADEK) DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM
PERKAWINAN BEDA SUKU (Studi Pada Masyarakat Adat Lampung
Pepadun Marga Terusan Nunyai di Kecamatan Tumijajar Kabupaten
Tulang Bawang Barat) ” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan
hasil plagiat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 Peraturan Akademik
Universitas Lampung dengan Surat Keputusan Rektor Nomor
3187/H26/DT/2010.
Bandar Lampung, 2 Mei 2019
Anwar Saputra
NPM 1512011062
viii
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Anwar Saputra, penulis
dilahirkan pada tanggal 08 November 1997 di
Margomulyo. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara, dari pasangan Sayuti dan Sulastri.
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Dharma Wanita
pada tahun 2003, Sekolah Dasar di SDN 1 Margodadi pada tahun 2009, Sekolah
Menengah Pertama di SMPN 3 Tumijajar pada tahun 2012, dan Sekolah
Menengah Atas di SMAN 1 Tumijajar pada tahun 2015.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada
tahun 2015. Penulis juga telah mengikuti program pengabdian langsung kepada
masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Wana, Kecamatan Melinting,
Kabupaten Lampung Timur selama 40 (empat puluh) hari pada bulan Januari
sampai Maret 2018. Kemudian pada tahun 2019 penulis menyelesaikan skripsi
sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
ix
MOTO
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semuanya
itu akan diminta pertanggungjawabannya”
(Q.S Al-Isra’ {17} : 36)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilama kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
(Q.S An-Nisa {4} : 3)
“Wanita dinikahi karena 4 hal: hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan
agamanya. Pilihlah yang memiliki agama, maka kalian akan beruntung.”
(H.R. Bukhari)
“Sesungguhnya diantara kebaikan seorang perempuan adalah, mudah
meminangnya, ringan maharnya, dan subur rahimnya.”
(H.R. Ahmad)
x
PERSEMBAHAN
Segala pujisyukur kupersembahkan kepada Allah SWT, atas segala nikmat,
rahmat, karunia dan kekuatan yang telah Allah berikan dalam hidupku. Atas
kasih sayangmu, engkau jadikan aku manusia yang senantiasa berpikir, berilmu,
beriman dan bersabar dalam menjalani kehidupan ini dan kupersembahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang aku cintai sebagai manusia terbaik dan makhluk
paling sempurna yang telah Allah ciptakan sebagai tauladan bagi manusia dan
alam semesta yang senantiasa aku harapkan syafaatnya didunia dan dihari kiamat
kelak.
Kedua orangtuaku tercinta Bapak Sayuti dan Ibu Sulastri yang telah
membesarkan dan mendidikku dengan penuh kesabaran, cinta dan kasih sayang,
yang setia mendengarkan keluh kesah seorang pejuang, serta selalu
mendo‟akanku agar senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran dalam setiap
langkahku dalam menggapai mimpi-mimpiku.
xi
SANWACANA
Mengucap syukur Alhamdulillah Barokallah, atas kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan segala keberkahan, nikmat, rahmat dan taufik serta hidayah-
Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul
“PROSES PEMBERIAN GELAR (ADEK) DAN AKIBAT HUKUMNYA
DALAM PERKAWINAN BEDA SUKU (Studi Pada Masyarakat Adat
Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai Di Kecamatan Tumijajar
Kabupaten Tulang Bawang Barat)” sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan,
bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya terhadap :
1. Bapak Prof. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata
Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Pembimbing Akademik
yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Lampung.
xii
3. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H., selaku Pembimbing I atas kesabaran dan
kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan
segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam
proses penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Kasmawati, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing II yang telah sabar dan
bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap
pemikirannya, mendengar keluh kesah, memberikan bimbingan, saran, dan
kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Aprilianti, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang sangat membangun terhadap skripsi ini.
6. Ibu Dwi Rimadona, S.H., M.Kn., selaku Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang sangat membangun
terhadap skripsi ini.
7. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakutas Hukum Universitas Lampung yang
penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis,
serta segala bantuan secara teknis maupun administratif yang diberikan
kepada penulis selama menyelesaikan studi.
8. Teristimewa untuk kedua orang tuaku Ayah dan Ibu yang menjadi orang
tua terhebat dalam hidupku, yang tiada hentinya memberikan dukungan
moril maupun materil juga memberikan kasih sayang, nasihat, semangat,
dan doa yang tak pernah putus untuk kebahagiaan dan kesuksesanku.
Terimakasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan,
membanggakan, dan menjadi anak yang berbakti bagi kalian.
xiii
9. Adik-adikku tercinta Khoiri Afif dan Taqiudin Fakhri, yang selalu
memberikan dukungan, motivasi, dan do‟a untuk kesuksesanku.
10. Teruntuk Frisilia Sriis Devita Sari yang telah membantu serta mendukung
penulis menyelesaikan skripsi dengan lancar, terimakasih atas segala
bantuan dan kesabaran yang sudah diberikan kepada penulis.
11. Teman-teman seperjuangan Hukum Perdata 2015 yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terimakasih kebersemaannya, canda tawa, dan
selalu mendukung penulis dalam berbagai kondisi, semoga kelak kita akan
selalu bersama dengan telah meraih cita-cita yang kita impikan.
12. Almamater tercinta dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan segala
kekurangan yang ada, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Mohon maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan selama proses
penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala
bantuan yang telah diberikan.
Bandar Lampung, 2 Mei 2019
Penulis,
Anwar Saputra
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak i
Cover Dalam iii
Halaman Persetujuan iv
Halaman Pengesahan v
Halaman Pernyataan vi
Riwayat Hidup vii
Moto viii
Halaman Persembahan ix
Sanwacana x
Daftar Isi xiii
Daftar Gambar xv
Daftar Tabel xvi
I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 8
1. Rumusan masalah 8
2. Ruang Lingkup Penelitian 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 9
1. Tujuan Penelitian 9
2. Kegunaan Penelitian 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 10
A. Masyarakat Hukum Adat 10
1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat 10
2. Bentuk Masyarakat Hukum Adat 11
B. Perkawinan Adat 14
1. Pengertian Perkawinan Adat 14
2. Sistem Perkawinan Adat 16
3. Bentuk Perkawinan Adat 17
C. Kekerabatan Adat 22
D. Masyarakat Adat Lampung 24
xv
1. Masyarakat Adat Lampung Pepadun 25
2. Kekerabatan Masyarakat Adat Lampung Pepadun 26
3. Perkawinan Hukum Adat Lampung Pepadun 28
4. Gelar (Adek) 29
E. Kerangka Pikir 31
III. METODE PENELITIAN 33
A. Jenis Penelitian 33
B. Tipe Penelitian 34
C. Pendekatan Masalah 35
D. Data dan Sumber Data 35
E. Lokasi Penelitian 36
F. Metode Pengumpulan Data 36
G. Metode Pengolahan Data 37
H. Analisis Data 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
suku dalam masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai 39
B. Akibat Hukum dari Pemberian Gelar Adat (adek) pada perkawinan adat beda
suku dalam masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai 58
V. KESIMPULAN 62
A. Kesimpulan 62
DAFTAR PUSTAKA 64
39
A. Syarat dan Proses Pemberian Gelar Adat (adek) pada perkawinan adat beda
xvi
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar Kerangka Pikir 31
2. Gambar Struktur lembaga adat Marga Terusan Nunyai . 40
xvii
DAFTAR TABEL
1. Tabel Daftar biaya uno serano (Biaya Adat) 45
2. Tabel laki-laki suku Lampung yang menikah dengan perempuan beda suku 54
3. Tabel laki-laki beda suku yang menikah dengan perempuan suku Lampung 56
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara besar yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa
dan adat istiadat, sehingga menimbulkan masyarakat yang beragam yang
merupakan salah satu kekayaan yang harus dilestarikan sebagai wujud
kebinekaan. Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling bergaul
atau saling berinteraksi yang didukung oleh sarana dan prasarana yang akan
memudahkan individu di dalamnya untuk saling berinteraksi.1 Masyarakat dalam
wilayah tertentu pasti memiliki tata cara bermasyarakat yang berbeda dengan
keanekaragaman adat.
Adat merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,
norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan yang lain berkaitan menjadi
satu sistem. Budaya itu sendiri merupakan manifestasi dari kemampuan rasio
manusia sebagai makhluk istimewa yang mampu menggunakan kekuatan
rasio/akal untuk kehidupan sosialnya. Hukum adat merupakan produk budaya
sealigus produk sosial2.3 Selama manusia hidup hampir di seluruh prilakunya
1 Siti Nurhasanah, 2014, Sosiologi dan Antropologi Budaya Suatu Pengantar, Bandar
Lampung: Justice Publiseher, hlm.79 2 Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan waris Adat (sistem kekerabatan, bentuk
perkawinan dan pola pewarisan adat di indonesia), Surabaya: Laksbang Yustitia Surabaya, hlm.8. 3 Produk budaya berisi tentang nilai-nilai budaya sebagai hasil cipta, karsa dan rasa
manusia, sebagai manisfestasi produk akal budi manusia yang tentu dan selalu mengandung
simbol-simbol pemaknaan tertentu. Sebagai produk budaya, hukum adat lahir dari keinginan
manusia untuk hidup secara adil dan beradab, mengikuti naluri kemanusiaan yang tentu saja
memiliki kekurangan dan kelebihan, yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
2
selalu melekat erat dengan kebudayaan itu sendiri bahkan bisa dikatakan bahwa
budaya merupakan suatu tiang penyangga bagi keberadaan suatu masyarakat.
Masyarakat adat Lampung merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia,
yang menganut sistem kekerabatan Patrilinial yaitu berdasarkan keturunan lelaki.
Dalam suatu keluarga, kedudukan adat tertinggi berada pada anak laki-laki tertua
dari keturunan tertua, yang disebut „Penyimbang‟. Gelar Penyimbang ini sangat
dihormati karena menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. Status
kepemimpinan adat ini akan diturunkan kepada anak laki-laki tertua dari
Penyimbang, dan seperti itu seterusnya.4 Dilihat dari segi budaya, masyarakat
Lampung dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu masyarakat yang
menganut adat Saibatin dan masyarakat yang menganut adat Pepadun.
Masyarakat adat Pepadun dalam kewargaan adatnya terdiri dari „kepenyimbangan
marga‟ (bumi), „kepenyimbangan tiyuh‟ (ratu), „kepenyimbangan suku‟ (raja),
warga adat biasa dan keturunan budak (beduwow).5 Masyarakat adat pepadun
dalam kemargaanya terdiri dari Abung Sewo Migo, Pubiyan Telu Suku, Rarem
Mego Pak Tulang Bawang, Bunga Mayang Sungkai, dan Way Kanan Buay Lima
Kebuwaiyan serta Melinting. Masyarakat Adat Abung Sewo Mego sendiri terdiri
dari sembilan marga yaitu marga Nunyai, Unyi, Nuban, Subing, Beliyuk, Selagi,
Kunang, Anak Tuho dan Nyerupo. Masyarakat Adat Lampung dalam satu
Sebagai produk sosial, hukum adat menciptakan perubahan gagasan atau perilaku baru yang lebih
baik yang mempengaruhi gagasan sosial, praktek sosial dan suatu tujuan perubahan sosial tertentu
dalam kehidupan masyarakat. 4 Mar'atus Sholihah, “Sistem Kekerabatan Masyarakat Lampung Pepadun”,
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/sistem-kekerabatan-
masyarakat-lampung-pepadun, diakses pada 18 Januari 2019 5 Hilman Hadikusuma, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar
Maju, hlm. 121.
3
kampung dipimpin oleh satu atau beberapa orang penyimbang bumi asal yang
merupakan cikal bakal utama dari kampung yang bersangkutan.6
Masyarakat Pesisir (peminggir) beradat saibatin dalam kewargaan adatnya
dibedakan menurut susunan „kesebatinan‟, yaitu „kesebatinan marga‟ (bandar),
„kesebatinan pekon‟ dan „kesebatinan suku‟ yang tetap tidak berubah. Jadi
kewargaan adat di daerah pesisir tidak boleh mengubah statusnya ke martabat adat
yang lebih tinggi. Dalam menjalankan pemerintahan adat kekerabatan para
penyimbang/sebatin dibantu oleh beberapa anggota „menyanak wari‟ (sanak
kerabat), yang berkedudukan sebagai „pembarap‟ (wakil) „pepang penyambut‟
(dahan pengganti), „tungkok‟ (tongkat), „penglaku‟ (petugas dan „kepala meranai‟
(kepala bujang). Pemerintahan adat dilaksanakan dengan mesyarakat prowatin
adat (tua-tua adat) yang mewakili setiap buway (keturunan) setempat.7
Masyarakat adat sai batin secara umum mereka ini berasal dari kelompok besar
kebuaian, yaitu: Buai Pernong, Buai Nyerupa, Buai Bujalan, Buai Belunguh
Masyarakat adat Lampung umumnya paham akan pepatah „urik mati di baou piil‟
yang artinya „hidup mati dibawa piil‟. Maksudnya adalah dengan adanya piil,
maka orang Lampung tersinggung ingkar, atau terdorong bersemangat untuk
maju. Piil pasenggiri adalah dasar berpendirian yang baik,8 yang lazim
diterjemahkan sebagai bentuk harga diri atau kehormatan. Kata piil berasal dari
bahasa Arab yang artinya „perbuatan atau perangai‟ dan kata pasenggiri oleh
Yamin diinterpretasikan dengan nama pahlawan rakyat Bali Utara yaitu
6 Rizani Puspawidjaja, 2006, Hukum Adat dan Tebaran Pemikiran, Bandar Lampung:
Universitas Lampung, hlm. 24 7 Hilman Hadikusuma, 2014, Op.Cit. hlm. 122.
8 Rina Martiara, 2012, Niai dan Norma Budaya Lampung dalam sudut pandang
strukturisme, Yogyakarta: ISI Yogyakarta, hlm. 95
4
Pasunggiri yang melawan serangan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Arya
Damar. Jadi piil pasenggiri diartikan sebagai perangai yang keras, yang tidak mau
mundur terhadap tindak kekerasan, terlebih yang menyangkut tersinggungnya
nama baik keturunan serta kehormatan pribadi dan kerabat.9 Nilai-nilai piil
pasenggiri sebagai falsafah hidup dapat dijabarkan lagi ke dalam nilai-nilai utama
lain yaitu (1) piil pasenggiri sebagai orang yang berjiwa besar, mempunyai rasa
malu dan menghargai diri, (2) oleh karenanya ia bernama besar dan bergelar
(bejuluk-beadek), (3) suka bersaudara dan suka memberi, terbuka tangan (nemui
nyimah), (4) karena pandai, ia ramah dan suka bergaul (nengah nyappur), (5)
mengolah bersama, berkarya besar, tolong menolong (sakay sambayan).
Dilatarbelakangi prinsip hidup Piil Pasenggiri, orang Belanda mengatakan bahwa
sebenarnya orang Lampung sederhana dan bersahaja dalam kehidupan
kesehariannya, namun di sisi lain mereka gemar dipuji secara berlebihan
(ijdelheid). Misalnya saja berkaitan dengan pemberian nama kampung yang besar-
besar, dan penggunaan gelar-gelar yang tinggi. Untuk itu mereka tidak segan-
segan mengeluarkan biaya yang besar guna pemenuhan akan pujian kemegahan
itu.10
Masyarakat adat Lampung dalam mencapai kemegahan tidak ragu-ragu
mengeluarkan biaya untuk mengadakan upacara-upacara adat seperi cakak
pepadun (naik tahta adat) untuk mendapatkan adek (gelar). Adek atau gelar
menurut masyarakat Lampung Pepadun lebih cenderung pada prinsip demokrasi,
dimana setiap individu dalam sebuah pranata adat bisa mengukuhkan
kedudukannya didalam adat dengan syarat-syarat tertentu dalam sebuah upacara
9 Ibid. hlm. 87
10 Ibid. hlm. 89
5
Begawi Cakak Pepadun. Jika menginginkan gelar adat, masyarakat adat pepadun
Semua derajat dan gelar dapat diperoleh dengan membelinya dengan harga
tertentu dan menggelar pesta dengan memotong kerbau dalam jumlah tetentu,
Biayanya itu disebut dengan penerangan11
, Dalam proses ini siapapun dapat
melaksanakannya. Berbeda dengan masyarakat adat Saibatin untuk mendapatkan
gelar tertinggi harus murni keturunan Raja. Selain dengan membeli gelar adat,
masyarakat luar adat Lampung dapat memiliki gelar adat melaui pernikahan
campuran yang dilakukan dengan Gadis (muli) atau Bujang (Meghanai) dari luar
suku lampung. Perkawinan campuran merupakan perkawinan yang terjadi antara
Laki-laki dan Perempuan yang berbeda suku, adat istiadat, budaya, dan atau
berbeda agama yang dianutnya, sehingga akan menimbulkan masalah hukum
yaitu hukum mana yang berlaku dan hukum apa yang berlaku.12
Dahulu, pada masyarakat lampung mengenal sistem perkawinan Endogami, yaitu
mengadakan perkawinan satu sama lain di dalam clan mereka sendiri antar
keluarga, karena hal ini dipandang dari segi sudut keamanan dan pertahanan,
pemilikan tanah, kebun, sawah, serta dipandang dari segi sudut kemurnian
darah/keturunan dan lain-lain pantangan yang bersifat magis religius.13
Sesuai
dengan yang ada dalam kitab Kuntara Raja Niti Pasal 86 ayat 3 butir ke 5,
penyebab pepadun seorang penyimbang menjadi curing (tercoreng), salah satunya
dengan ngelunsa bangsa (menikahi gadis dari suku lain) mengambil istri atau
menantu dari suku lain, atau anak gadisnya diambil oleh laki-laki bukan dari suku
11
Dinas Perpustakaan dan Kearsiapan Provinsi Lampung, 2017, Penerjemahan Naskah
Bahasa Belenda, Bandar Lampung, hlm. 2. 12
Djamanat Samosir, 2014, Hukum Adat eksistensi dalam dinamika perkembangan
hukum di indonesia. Bandung: Nusa Aulia, hlm. 286 13
Bushar Muhammad, 2002, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, hlm.
21.
6
mereka sering disebut sebagai melunso bangsa atau menurunkan derajat, sehingga
perkawinan yang terjadi hanya antar sesama suku Lampung, dan menyebabkan
adanya kebiasaan yang timbul menjadi sebuah norma bahwa orang lampung harus
menikah hanya dengan orang lampung saja.14
Dilihat dari fakta yang ada pada masyarakat lampung saat ini sering terjadi
perkawinan yang berbeda suku, sekitar 70% penduduk suku lampung di Tiyuh
Margodadi dan Tiyuh Gunung Menanti Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang
Bawang Barat Marga Terusan Nunyai telah melakukan perkawinan beda suku,15
salah satu penyebabnya adalah dikarenakan adanya program trasmigrasi pada
masa pemerintahan orde baru, masyarakat pendatang seperti suku jawa, suku
sunda, dan suku-suku lainya telah masuk ke wilayah atau pemukiman suku
lampung, sehingga terjadilah pergaulan antar suku dan timbul buih-buih cinta
yang tidak dapat terbendung sehingga saat ini telah banyak Muli (gadis) Lampung
Pepadun menikah dengan Mekhanai (Bujang) yang bukan bersuku Lampung
Pepadun, dan begitu pula sebaliknya Mekhanai (Bujang) Lampung Pepadun
menikah dengan gadis yang bukan bersuku lampung.
Marga Terusan Nunyai berlaku ketentuan bahwa perkawinan itu hanya dapat
dilakukan diantara anggota masyarakat yang tidak sesuku (bilik), juga masih
berlaku ketentuan bahwa perkawinan itu hanya dapat dilangsungkan antara
mereka yang serumpun (sama-sama anggota masyarakat adat lampung), namun
pada masyarakat adat Lampung Pepadun ketentuan kini tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan perkawinan antar suku. maka calon istri atau
14
Rina Martira, 2012, Op.Cit. hlm. 101. 15
Hasil Wawancara dengan Bapak Geran, Gelar Mendiko Tughunan, Tokoh Adat
Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai, Tanggal 2 Agustus 2018, Pukul 09.00 Wib
7
calon suami yang berasal dan suku lain harus beragama Islam karena hukum adat
lampung hanya mengakui agama Islam di dalam kemasyarakatan adatnya,16
dan
juga harus melakukan pengangkonan (pengangkatan) terlebih dahulu sebelum
menikah.
Calon suami atau calon istri yang berasal dari luar suku lampung harus dijadikan
warga adat lampung dahulu, sehingga dia mempunyai hak dan kewajiban sebagai
warga adat Lampung Pepadun. Hal ini berkaitan erat dengan proses dan akibat
hukum pemberian gelar (adek) yang masih di lestarikan hingga saat ini oleh
masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nuyai yang hanya diberikan
dan dipakai ketika seseorang telah menikah, baik melalui perkawinan beda suku
maupun pemberian gelar karena membeli gelar, hal ini dikarenakan sistem adat
pepadun lebih terbuka dan kekeluargaan terhadap orang luar adat lampung. Sifat
keterbukaan ini mengakar dan menjadi bagian hidup masyarakat Lampung
Pepadun, sesuai dengan prinsip keterbukaan masyarakat adat lampung yaitu,
pertama nengah nyappur yaitu membuka diri pada masyakat umum agar ikut
berpengetahuan luas, kedua Nemui nyimah atau bermurah hati dan ramah kepada
setiap orang.
Ketertarikan penulis mengambil judul ini adalah terdapat masyarakat adat
Lampung Pepadun khususnya dalam marga Terusan Nunyai menikah dengan
suku yang berbeda dan diberikan gelar (adek). Alasan lain tertarik pada judul
yang diambil adalah ketika masa yang akan datang mendapatkan pasangan dari
16
Toyib Setiady, 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan,
Bandung: Alfabeta, Hlm. 225.
8
suku berbeda sudah mengetahui apa saja langkah yang akan dilakukan dan
dipersiapkan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik meneliti mengenai
“Proses Pemberian Gelar (Adek) dan Akibat Hukumnya dalam Perkawinan
Beda Suku (Studi Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun Marga
Terusan Nunyai di Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang
Barat)”
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah proses pemberian gelar adat (adek) pada perkawinan adat beda
suku dalam masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai?
b. Bagaimanakah akibat hukum dari pemberian gelar adat (adek) pada
perkawinan adat beda suku dalam masyarakat adat Lampung Pepadun Marga
Terusan Nunyai?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum keperdataan dengan
spesifikasi hukum adat. Lingkup penelitian ini adalah hukum adat yang di
dalamnya membahas tentang hukum perkawinan masyarakat lampung khususnya
di Tiyuh Margodadi dan Tiyuh Gunung Menanti Kecamatan Tumijajar Kabupaten
Tulang Bawang Barat dengan objek kajian penelitian mengenai syarat, prosesdan
akibat hukum pemberian gelar adat (adek) pada perkawinan adat beda suku pada
masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan nunyai.
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian dalam skripsi ini
adalah:
a. Mengetahui dan memahami proses pemberian gelar adat pada perkawinan
adat beda suku pada masyarakat adat Lampung Pepadun khususnya Marga
Terusan Nunyai.
b. Mengetahui dan memahami akibat hukum dari pemberian gelar adat beda
suku pada masyarakat adat Lampung Pepadun khususnya Marga Terusan
Nunyai.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan teoritis karya tulis atau skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan
kajian dan acuan untuk mengembangkan wawasan terutama hukum adat lebih
khususnya hukum adat perkawinan masyarakat adat Lampung Pepadun.
b. Kegunaan Praktis
Hasil Penelitian yang dilakukan juga mampu memberikan sumbangan praktis
sebagai bahan tambahan informasi atau referensi bagi mahasiswa terutama
mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung dan bagi masyarakat luas
secara umum.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Masyarakat Hukum Adat
1. Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Menurut Abdul Syani, bahwa kata masyarakat berasal dari kata musyarak (arab),
yang artinya bersama-sama, kemudian berubah menjadi masyarakat, yang artinya
berkumpul bersama, hidup bersama dengan saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, selanjutnya mendapatkan kesepakatan menjadi masyarakat
(Indonesia).17
Masyarakat merupakan satu bentuk kehidupan bersama untuk
jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Maka
masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola
interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok
sosial.18
Masyarakat hukum adat disebt juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau
the indigenous people, sedangkan dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan
populer disebut dengan istilah “masyarakat adat”. Masyarakat hukum adat adalah
komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah
laku manusia dalam hubunganya satu sama lain berupa keseluruhan dari
kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, dan
17
Suwarsono, 2011, Teori Sosiologi Sebuah Pemikiran Awal, Bandar Lampung:
Universitas Lampung, hlm. 61. 18
Soerjono Soekanto, 2001, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 91.
11
jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat. Pengertian
masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara sepontan di
wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh
penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainya, dengan rasa solidaritas yang
sangat besar diantara para angota masyarakat sebagai orang luar dan
menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh angotanya.19
2. Bentuk Masyarakat Hukum Adat
a. Masyarakat Hukum Territorial
Masyarakat hukum territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang
anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik
dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani
sebagai pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Para anggota masyarakatnya
merupakan anggota-anggota yang terikat dalam kesatuan yang teratur baik ke
luar maupun ke dalam, diantara anggota yang pergi merantau untuk waktu
sementara masih tetap merupakan anggota kesatuan teritorial itu. Begitu pula
orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan
memenuhi persyaratan adat setempat. Menurut R. Van Dijk persekutuan hukum
territorial dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu:
1) Persekutuan desa, seperti desa orang jawa yang merupakan suatu tempat
kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa
19
Laksonto Utomo, 2016, Hukum Adat, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 1
12
pendukuhan yang terletak disekitarnya yang tunduk pada perangkat desa
yang berkediaman dipusat desa.
2) Persekutuan daerah, seperti kesatuan masyarakat “nagari” di Minangkabau
“marga” di Sumatera Selatan dan Lampung, “negorij” di Minahasa dan
Maluku.
3) Perserikatan dari beberapa desa, yaitu apabila di antara beberapa desa atau
marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri
mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan bersama.
b. Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat genealogis adalah suatu
kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu
garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena
perkawinan atau pertalian adat. Masyarakat yang genealogis itu dapat dibedakan
dalam tiga macam, yaitu bersifat patrilineal, matrilineal, dan bilateral atau
parental.
c. Masyarakat Territoral-Genealogis
Masyarakat hukum yang territorial-genealogis adalah kesatuan masyarakat yang
tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman
pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam
ikatan pertalian darah dan atau kekerabatan. Kita dapat membedakan masyarakat
territorial-genealogis itu dalam bentuknya yang asli dan dalam bentuk yang
campuran.
13
d. Masyarakat Adat Keagamaan
Di antara berbagai kesatuan masyarakat adat yang dikemukakan di atas akan
terdapat kesatuan masyarakat adat yang khusus bersifat keagamaan di beberapa
daerah tertentu. Jadi ada kesatuan masyarakat adat-keagamaan menurut
kepercayaan lama ada kesatuan masyarakat yang khusus beragama Hindu, Islam,
Kristen/Katholik, dan ada yang sifatnya campuran.
Di lingkungan masyarakat yang didominasi kepercayaan dan agama tertentu,
maka para anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut
perundangan, tetapi juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga
keagamaan yang dianutnya masing-masing. Tetapi adakalanya kita melihat
adanya suatu desa atau suatu daerah kecamatan yang tidak terdiri dari satu-
kesatuan masyarakat adat atau masyarakat agama tertentu, melainkan berbeda-
beda, sehingga karena adanya perbedaan itu, maka di antara masyarakat itu di
samping sebagai anggota kemasyarakatan desa yang resmi, membentuk kesatuan
masyarakat adat kagamaan yang khusus sesuai dengan kepentingan adat
keagamaan mereka. Jadi ada masyarakat yang merupakan kesatuan masyarakat
“desa umum”, berdasarkan ketentuan perundangan dan ada “desa adat” yang
khusus.
e. Masyarakat Adat di Perantauan
Masyarakat desa adat keagamaan Sadwirama tersebut merupakan suatu bentuk
baru bagi orang-orang Bali untuk tetap mempertahankan eksistensi adat dan
agama Hindunya di daerah perantauan. Dikalangan masyarakat adat Jawa, di
daerah-daerah transmigrasi, seperti di Lampung dapat dikatakan tidak pernah
14
terjadi yang membentuk masyarakat desa adat tersendiri, di samping desa yang
resmi. Masyarakat adat Jawa yang bersifat Ketatanegaraan itu mudah membaur
dengan penduduk setempat.
Lain halnya dengan masyarakat adat Melayu, seperti orang-orang Aceh, Batak,
Minangkabau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
lainnya yang berada di daerah perantauan cenderung untuk membentuk
kelompok-kelompok kumpulan kekeluargaan seperti “rukun kematian” atau
bahkan membentuk sebagai “kesatuan masyarakat adat” yang berfungsi sebagai
pengganti kerapatan adat di kampung asalnya.
f. Masyarakat Adat Lainnya
Selain dari adanya kesatuan-kesatuan masyarakat adat di perantauan yang
anggota-anggotanya terikat satu sama lain Karena berasal dari satu daerah yang
sama, di dalam kehidupan masyarakat kita jumpai pula bentuk-bentuk kumpulan
organisasi yang ikatan anggota-anggotanya didasarkan pada ikatan kekaryaan
sejenis yang tidak berdasarkan pada hukum adat yang sama atau daerah asal yang
sama, melainkan pada rasa kekeluargaan yang sama dan terdiri dari berbagai suku
bangsa dan berbeda agama.20
B. Perkawinan Adat
1. Pengertian Perkawinan Adat
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini
perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material,
20
Hilman Hadikusuma, 2014, Op.Cit .hlm. 111.
15
yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam pancasila.21
Menurut hukum adat pada umumnya di indonesia perkawinan itu bukan saja
berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan
sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggan. Jadi terjadinya suatu
ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-
hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama,
kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-
hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggan
serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagaman.22
Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum terhadap adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat
hukum ini telah ada sebelum perkawinan dilaksanakan, misalnya: hubungan
diantara anak-anak, muda-mudi dan hubungan antara orang tua keluarga dari para
calon muda-mudi dan hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami
istri. Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban-
kewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga/kerabat): pelaksanaan upacara
adat, selanjutnya dalam peran serta pembinaan dan pemeliharaan kerukunan,
keutuhan, dan ketetanggaan dari kehidupan anak yang terikat dalam perkawinan.23
Hukum perkawinan adat diartikan sebagai aturan-aturan hukum yang mengatur
tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan, dan
21
Soedharyo Soimin, 2010, Hukum Orang dan Keluarga perspektif hukum perdata
barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 6. 22
Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju, hlm. 8. 23
Djamanat Samosir, 2014, Op.Cit. hlm. 279.
16
putusanya perkawinan. Aturan-aturan hukum adat tentang perkawinan di daerah
indonesia, sesuai dengan sifat/corak kemasyarakatan yang bersangkutan, adat-
istiadat, agama, dan kepercayaan masyarakat turut memberi warna yang
membedakan daerah dengan daerah lain berbeda-beda.24
2. Sistem Perkawinan Adat
Sistem perkawinan adat di Indonesia dibedakan menjadi 3 macam, yaitu sistem
perkawinan exsogami, endogami, dan eleutherogami.25
a. Sistem Exsogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan
suku sendiri merupakan larangan, namun demikian, seiring berjalanya waktu, dan
berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa,
sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan sedemikian rupa, sehingga
larangan perkawinan itu diperlukan sedemikian rupa, sehingga larangan
perkawinan itu diperlukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil
saja. Sistem ini dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra
Selatan, Buru dan Seram.26
b. Sistem Endogami
yaitu orang hanya diperbolehkan kawin dengan seseorang dari suku keluarganya
sendiri.Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia. Menurut
Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem
24
Ibid. hlm. 280. 25
Wilbert D. Kolkman dkk, 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum
Waris di Belanda dan Indonesia, Jakarta: Pustaka Larasan, hlm. 170. 26
Laksonto Utomo, 2016, Op.Cit. hlm. 97
17
endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini
akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya
akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini
hanya terdapat secara praktis saja; lagi pula endogami sebetulnya tidak sesuai
dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu parental.27
c. Sistem Eleutherogami
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki
larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal
larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan yang
terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan
kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin dengan ibu,
nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau
ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-iparan), seperti kawin dengan
ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri. Sistem ini dapat dijumpai hampir di seluruh
masyarakat Indonesia, termasuk Jawa.
3. Bentuk Perkawinan Adat
a. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang
(barang) jujur, pada umumnya berlaku dilingkungan masyarakat hukum adat yang
mempertahankan garis keturunan bapak (lelaki) (Lampung, gayo, batak, nias, bali,
timor, maluku). Pemberian uang atau barang jujur (Lampung: Segreh, seroh, daw
adat) dilakukan oleh pihak kerabat (marga, suku) calon suami kepada pihak
27
Laksanto Utomo, 2016, Loc.Cit.
18
kerabat calon istri, sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar
dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk kedalam
persekutuan hukum suaminya.28
Perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran jujur
dari pihak pria kepada pihak wanita. Dengan diterimanya uang jujur oleh pihak
wanita maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukan
ke dalam keanggotaan kekerabatan suami untuk selama ia mengikat diri dalam
perkawinan itu atau selama hidupnya. Benda yang dapat dijadikan sebagai jujur
biasanya benda-benda yang memiliki kekuatan magis.Pemberian jujur diwajibkan
adalah untuk mengembalikan keseimbangan magis yang semula menjadi goyah,
oleh karena terjadinya kekosongan pada keluarga perempuan yang telah pergi
karena menikah tersebut.29
Pada umumnya dalam bentuk perkawinan jujur berlaku adat “pantang cerai” jadi
senang atau susah selama hidupnya istri di bawah kekuasaan kerabat suami. Jika
suami wafat maka istri harus melakukan perkawinan dengan saudara suami
(Lampung: semalang, nyikok, biwak). Jika istri wafat maka suami harus kawin
lagi dengan saudara istri (Lampung: nuket). Di masa sekarang apabila kawin ganti
suami, tidak dapat dilakukan, atau kawin ganti istri tidak dapat dilakukan, karena
para pihak bersangkutan tidak setuju, maka dapat diganti orang dari luar kerabat,
28
Hilman Hadikusuma, 2014, Op.Cit .hlm. 177. 29
Soerojo Wignjodipoero, 2010, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung
Agung, cet. XVI, hlm. 133.
19
namun orang yang dari luar itu harus tetap menggantikan suami atau istri yang
wafat itu, dalam kedudukan hukum adatnya.30
b. Perkawinan Semanda
Perkawinan semanda pada umunya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang
matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu (wanita),
merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda,
calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur
kepada pihak wanita, malahan sebagaimana berlaku di minangkabau berlaku adat
pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria.
Perkawinan berlangsung maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat isteri
dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang
berlaku, apakah perkawinan semanda dalam bentuk “semanda raja-raja”,
“semanda lepas”, “semanda bebas”, “semanda nunggu”, “semanda ngangkit”,
“Semanda anak dagang,31
di daerah Lampung beradat pesisir terdapat istilah
“semenda” mati tunga mati manuk”, dimana suami mengabdi di tempat istri
sebagai karyawan (tani) mirip dengan “nyalindung ka gelung” di pasundan,
“semenda ngebabang” (menggendong) atau “semenda ngisik” (memelihara)
yang sama dengan semenda menunggu, “semenda iring beli” sama dengan
semenda mengabdi karena tidak mampu membayar uang (adat) permintaan pihak
istri. Tetapi “semenda nabuh beduk” berarti suami hanya datang pada istri ketika
beduk magrib berbunyi dan setelah beduk subuh suami pergi, bentuk semenda ini
30
Hilman Hadikusuma, 2014, Loc.Cit. 31
Ibid. hlm. 178.
20
mirip dengan bentuk perkawinan “manggih kaya” di jawa, dimana suami lebih
kaya sedangkan istri miskin, dan istri menjadi istri kedua, ketiga atau keempat.32
c. Perkawinan Bebas (mandiri)
Pada umumnya bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri berlaku di
lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental (orang tua), seperti pada
masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi. Dimana
keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga atau rumah
tangga.
Setelah perkawinan suami dan istri memisah (Jawa: mancar, mentas) dari
kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing, dan membangun
keluarga/rumah tangga sendiri dan hidup mandiri (neolokal). Orang tua kedua
pihak hanya memeri bekal (sangu) bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua
mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebagai harta bawaan ke dalam
perkawinan mereka.33
d. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi
antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan/atau berbeda
agama yang dianut.
32
Ibid. hlm. 179. 33
Ibid. hlm. 180.
21
Terjadinya perkawinan campuran ini akan menyebabkan masalah hukum antara
tata hukum adat dan/atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang
akan diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Akan tetapi dalam
perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk
mengatasi masalah tersebut, sehingga perkawinan campuran dapat dilaksanakan.
Dalam lingkungan masyarakat adat Pepadun di Lampung, di mana sebelum
perkawinan jika yang pria dari luar maka ia lebih dahulu dijadikan warga adat dari
pihak keluarga “kelama” (kerabat pria saudara-saudara ibu) atau boleh juga
dimasukan kedalam warga adat “kenubi” (bersaudara itu). Jadi wanita yang orang
dari luar, maka si wanita diangkat dan dimasukan lebih dahulu ke dalam keluarga
“menulang” (anak kemenakan dari saudara bapak yang wanita) atau diangkat dan
dimasukan kedalam keluarga “kenubi”. Sehingga perkawinan yang berlaku itu
disebut “ngakuk menulung” (mengambil keluarga menulung) atau “kawin kenubi”
(perkawinan dengan keluarga kenubi, bersaudara ibu).34
e. Perkawinan Lari
Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi yang
banyak berlaku adalah di kalangan masyarakat Batak, Lampung, Bali,
Bugis/Makassar, Maluku, di daerah-daerah tersebut walaupun kawin lari itu
merupakan pelanggaran adat, namun terdapat tata tertib cara menyalesaikanya.
Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan
merupakan sistem pelamaran, oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat
34
Ibid. hlm. 181.
22
berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda atau bebas/mandiri, tergantung pada
keadaan dan perundingan kedua pihak.
Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan
perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama (Lampung: Sebambungan,
metudau, nakat, cakak lakei) adalah perbuatan belarian untuk melaksanakan
perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita). Cara melakukan belarian ialah
bujang gadis sepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah ditentukan
melakukan lari bersama, atau si gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak
bujang dari tempat kediamannya, atau sigadis datang sendiri ketempat kediaman
pihak bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian. 35
Perkawinan lari bersama biasanya dilakukan dengan mengikuti tata tertib adat
berlarian setempat. Masyarakat Lampung beradat Pepadun setidak-tidaknya gadis
yang pergi berlarian harus meninggalkan tanda kepergianya berupa surat dan
sejumah uang (tengepik), pergi menuju ketempat kediaman (penyimbang, kepala
adat) bujang, kemudian pihak bujang mengadakan pertemuan kerabat dan
mengirim utusan untuk menyampaikan permintaan maaf dan memohon
penyelesaia yang baik dari pihak kerabat wanita, lalu diadakan perundingan kedua
pihak.36
C. Kekerabatan Adat
Bentuk kekerabatan masyarakat saling terkait dengan hukum, sementara hukum
menentukan bentuk kekerabatan, untuk menentukan bentuk kekerabatan suatu
35
Ibid. hlm. 182. 36
Ibid. hlm. 183.
23
masyarakat dapat dilihat dari bentuk apa hukum perkawinan dan kewarisan yang
mereka diterapkan. Hukum perkawinan dan kewarisan berpangkal dari garis
keturunan.
Sendi hukum adat lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada
kepentingan orang-seorang, maka hukum yang mengatur kedudukan perorangan
sebagai subyek hukum tidak dapat dipisahkan dari kedudukannya sebagai anggota
keluarga dan keluarga tidak terlepas dari hubungannya dengan kerabat. Jadi yang
dimaksud untuk kekerabatan adat adalah hukum yang menunjukan hubungan-
hubungan hukum dalam ikatan kekerabatan, termasuk mengenai kedudukan
orang-seorang sebagai anggota warga kerabat (warga adat kekerabatan).
Adapun bentuk keturunan yang kemudian membentuk garis kekerbatan itu ada
tiga macam.37
1. Patrilineal, yang melahirkan kesatuan-kesatuan keluarga yang
menghubungkan keturunan atas dasar garis keturunan ayah; karena itu anak-
anak mempunyai suku (clan) sama dengan suku (clan) ayahnya. Bentuk
masyarakat yang mengutamakan keturunan laki-laki, berlaku perkawinan
dengan pembayaran jujur.
2. Matrilineal, yang melahirkan kesatuan-kesatuan keluarga yang
menghubungkan keturunan atas dasar keturunan ibu; karena itu anak-anak
masuk kedalam suku (clan) ibunya.
3. Parental Bilateral, yang melahirkan kesatuan-kesatuan keluarga yang
menghubungkan keturunan kepada ayah dan ibu, sehingga ayah dan ibu
37
Yaswirman, 2011, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 177.
24
sama-sama memiliki kekerabatan secara hukum dalam garis keturunan
keluarga.
Cara mempertahankan kekerabatan patrilineal dan matrilineal adalah dengan
perkawinan eksogami (keluar kelompok suku), dengan melarang laki-laki dan
perempuan kawin sekerabat/sesuku.
D. Masyarakat Adat Lampung
Di Lampung masyarakat hukum adat atasan disebut kebuayan atau marga,
sedangkan masyarakat hukum adat bawahan disebut tiyuh, anek, dan pekon.
Dalam kesatuan adat masyarakat Lampung dibagi dalam dua kelompok besar,
yaitu Pertama masyarakat yang menganut adat Pepadun yang terdiri dari Abung
Siwo Migo, Pubian Telu Suku, Rarem Migo Pak, Way Kanan Lima Kebuwaiyan
dan Bungamayang Sungkai. Pada umumnya mereka bermukim di daerah
Lampung Utara, Lampung Tengah dan Lampung Selatan (bagian tengah). Kedua,
masyarakat yang menganut adat Saibatin, yang bermukim di sepanjang pantai
selatan sampai pantai barat. (Kalianda, Penengahan, Sidomulyo, Kedukung, Kota
Agung, Cukuh Balak, Padang Cermin, Pesisir Selatan, Pesisir Utara, Pesisir
Tengah, Balik Bukit, dan Belau).38
Pada masyarakat adat Lampung, seluruh warga masyarakat di wajibkan mematuhi
ketentuan adat “Cepalo” . Adat Cepalo yaitu berupa larangan-larangan guna
membentuk akhlak yang baik sehingga menimbulkan nilai-nilai harga diri serta
38
Ibid. hlm. 115.
25
norma-norma kehormatan pribadi maupun kerabat, yang dinamakan Pi-il
Pesenggiri. 39
Masyarakat adat Lampung dalam kehidupan berkelompok dibangun
dalam suatu sistem kekeluargaan yang berdasarkan genealogis. Artinya, mereka
bersatu berdasarkan ikatan keturunan (hubungan darah). Kesatuan karena
hubungnan darah ini disebut dengan buway atau kebuwayan yang dipimpin oleh
penyimbang buway. Permukiman (teritorial) masyarakat Lampung yang disebut
kampung (anek, tiyuh) adalah kelompok yang dibangun atas dasar genealogis
yang dipimpin oleh kepala kampung (penyimbang anek, tiyuh).40
1. Masyarakat Adat Lampung Pepadun
Kata Pepadun artinya adalah sebuah kursi Singgasana yang terbuat dari kayu yang
tahan lama, berbentuk meja kecil dengan kaki pendek, empat kaki berbentuk kaki
manusia, tinggi kaki dari lantai sekitar 30 cm (Tiga puluh sentimeter). Ukiran-
ukirannya berbentuk makara, kepala orang, kepala naga,41
yang digunakan ketika
melakukan upacara adat Pepadun, dengan kata lain Pepadun adalah suatu benda
berupa bangku yang terbuat dari kayu yang merupakan lambang dari tingkatan
kedudukan dalam masyarakat mengenai suatu keluarga keturunan.42
Masyarakat Adat Lampung Pepadun Masyarakat Lampung yang beradat Pepadun
terbagi dalam 4 (empat) persekutuan hukum adat, yaitu :
39
Abdullah A. Soebing, 1988, Kedatuan di Gunung-keratu di Muara, Jakarta : Karya
Uniperss, hlm. 17. 40
Rizani Puspawidjaja, 2006, Op.Cit . hlm. 114. 41
Hilman Hadikusuma, 1984, Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia,
Bandung: Alumni, hlm. 136. 42
Kiay paksi, Sayuti Ibrahim, 1995, Buku Handak II Lampung pubian, Bandar Lampung:
gunung Pesagi. hlm. 14.
26
a. Abung Siwo Migo (Abung Sembilan Marga) Yang termasuk daleta
persekutuan Abung Siwo migo adalah keturunan sebagai berikut Buay
Unyai, Buay Nuban, Buaya Kunang, Buey Subing, Buay Unyi, Buay
Nyerupa, Buay selegai, Buay Beliyuk, dan Buay Anak Tuho.
b. Tulang Bawang Migo Pak (Tulang Bawang Marga Eapat) Persekutuan adat
Tulang Bawang Migo Pak, terdiri dari Buay Bulan, Buay Aji, Buay
tegamo‟an dan Suway Umpu.
c. Way Kanan Buway Lima (Lima Keturunan) dan Sungkai Persekutuan adat
Buway Lima Meliputi: Buay Pemuka, Buay Semenguk, Barasakti, Baradatu
dan Bahuga.
d. Pubiyan Telu Suku (Pubiyan Tiga Suku) Persekutuan adat telu suku antara
lain: suku Buku Jadi, Suku Tamo Pupus dan Suku Menyerakat.43
2. Kekerabatan Masyarakat Adat Lampung Pepadun
Kerabat adalah kesatuan dari beberapa keluarga menurut sendi kekeluargaannya
masing-masing. Sebagaimana rukun keluarga, demikian pula dengan rukun
kerabat dapat di bedakan dengan melihat banyak sedikitnya keanggotaan
keluarganya, jadi ada rukun kerabat yang kecil dan ada rukun kerabat yang besar.
Kehidupan kekerabatan dalam suku Lampung Pepadun disebut menyanak warei,
yaitu semua keluarga baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, baik karena
hubungan darah maupun karena akibat dari perkawinan atau bertalian adat
Mewarei. Setiap orang harus mengetahui siapa-siapa anggota kerabat pihak ayah
43
Hilman Hadikusuma, 1987, Masyarakat Adat dan Budaya Lampung, Jakarta,: Mandar
Maju, hlm. 159.
27
dan pihak ibu, serta mengetahui bagaimana kedudukan dan tanggung jawabnya di
dalam kelompok kekerabatanya.
Masyarakat adat Lampung pepadun menganut prinsip garis keturunan bapak
(patrilineal), dimana anak laki-laki tertua dari keturunan tertua (penyimbang)
memegang kekuasaan adat. Setiap anak laki-laki tertua adalah penyimbang, yaitu
anak yang mewarisi kepemimpinan ayah sebagai kepala keluarga atau kepala
kerabat seketurunan.44
Hubungan kekerabatan yang positif tampak pada berlakunya adat bersakai
sambayan dalam menghadapi masalah baik dalam suasana susah maupun senang.
Misalnya, dalam keluarga yang sakit, meninggal dan mengurus, memelihara
janda dan anak-anak yatim, membantu anak kemenakan melanjutkan pendidikan,
membantu dan mengurus upacara adat, melahirkan, khitanan atau perkawinan.
Hal ini tercermin dalam sistem dan bentuk perkawinan adat serta upacara-upacara
adat yang berlaku. Kedudukan penyimbang begitu dihormati dan istimewa,
karena merupakan pusat pemerintahan kekerabatan, baik yang berasal dari satu
keturunan pertalian darah, satu pertalian adat atau karena perkawinan.
a. Kelompok kekerabatan yang bertalian darah
Hubungan kekerabatan ini berlaku diantara penyimbang dengan para anggota
kelompok keluarga warei, kelompok keluarga Apak Kemaman, kelompok warei
dan kelompok Anak.
b. Kelompok kekerabatan yang bertalian Perkawinan
44
Sabaruddin SA, 2012, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir, Jakarta : Buletin Way
Lima Manjau, hlm. 69.
28
Kelompok ini berlaku diantara penyimbang dengan para anggora kelompo, yaitu
kelompok kelama, kelompok lebu, kelompok benulung dan termasuk pula
kelompok kenubi, serta ada pula kelompok pesabaian kelompok Mirul-Mengiyan
dan Merau serta Lakau.
c. Kelompok kekerabatan yang bertaian adat Mewarei
Timbulnya hubungan kekerabatan ini karena hal-hal tertentu yang tidak dapat
dihindari berkaitan dengan adat seperi karena tidak mendapatkan keturunan/anak
laki-laki atau tidak mempunyai Wari atau Saudara. 45
3. Perkawinan Hukum Adat Lampung Pepadun
Masyarakat Abung Siwo Mego (Abung sembilan Marga) dan pubian Telu Suku
(Pubian Tiga Suku), sama sekali tidak di kenal perkawinan antara seseorang laki-
laki dan seorang perempuan yang merupakan anak dari saudara sekandung laki-
laki, akan tetapi pada masyarakat Rarem Mego Pak (Rarem Empat Marga) dan
Buay Lima (Sungkai dan Way Kanan), perkawinan tersebut dapat dilangsungkan,
namun perkawinan ini bukanlah merupakan kelaziman, dan alasan yang
mendorong adalah agar harta tetap utuh atau karena keluarga yang bersangkutan
hanya mempunyai anak tunggal. Pada masyarakat Lampung, perkawinan yang
lazim (umum dilakukan) adalah perkawinan antara orang laki-laki dengan orang
peempuan yang merupakan anak dari dua saudara sekandung perempuan.
Sedangkan perkawinan antara anak dari saudara sekandung laki-laki dan
perempuan juga dapat dilangsungkan. Masyarakat di sana berpendapat bahwa
45
Cristian Heru Cahyo Saputro, 2011, Piil Pesenggiri Etos dan Semangat Kelampungan,
Bandar Lampung: Jung Foundation Lampung Heritage, hlm. 40.
29
adalah tidak layak apabila setiap anak dapat lsngsungkan perkawinan pada dua
keluarga yang sama. 46
Perkawinan yang di dalam ilmu anropologi disebut dengan leviraat dan sororaat,
pada masyarakat Lampung juga dilakukan. Perkawinan leviraat (Lampung:
nyemalang-nyikok) adalah perkawinan antara seseorang perempuan (janda)
dengan seseorang laki-laki yang merupakan adik atau kakak dari suami
almarhum. Masyarakat lampung tidak lagi mengenal perkawinan anak-anak, di
mana laki-laki dan perempuan masih berstatus anak-anak (sanak). sampai dengan
saat sekarang, masih tetap berkalu ketentuan bahwa perkawinan itu hanya dapat
dilakukan diantara anggota masyarakat yang tidak sesuku (bilik), juga masih
berlaku ketentuan bahwa perkawinan itu hanya dapat dilangsungkan antara
mereka yang serumpun (sama-sama anggota masyarakat lampung). ketentuan
saat ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perkawinan dengan orang
luar masyarakat itu, dengan melalui pengangkatan menjadi anggota masyarakat
itu.47
Pada masyarakat hukum adat Lampung pepadun ditentukan pula siapa dengan
siapa yang tidak dibolehkan untuk melangsungkan perkawinan, yaitu antara dua
orang yang masih mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
keatas maupun kebawah, antara duaorang yang masih berhubungan darah garis
keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara saudara orag tua, antara
saudara nenek, antara dua orang yang masih berhubungan semenda, yaitu mertua,
46
Soerjono Soekanto, 2012, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 219 47
. Ibid. hlm. 220.
30
anak tiri, menantu dan ibu dan bapak tiri, dan antara dua orang yang masih
berhubungan sesusuan.
4. Gelar (Adek)
Salah satu ciri khas masyarakat adat Lampung adalah adanya Juluk dan Adek yang
melekat pada warganya. Pada dasarnya semua anggota masyarakat lampung
mempunyai gelar adat (juluk adek). Pemberian gelar kepada seseorang ditetapkan
secara kesepakatan kekeluargaan seketurunan dengan pertimbangan antara lain (a)
setatus atau kedudukan yang bersangkutan dalam keluarga batih, (b) mengacu
pada adek atau nama dalam keturunan dua atau tuga tingkat keatas (secara
genealogis). Juluk adek merupakan hak bagi anggota masyarakat lampung, oleh
karena itu juluk adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang
bersangkutan.48
Kebiasaan menggunakan Juluk dan Adek ini menunjukan juga bahwa orang
Lampung suka pada nama besar dan suka akan pujian karena dengan Juluk dan
Adek yang besar menunjukan bahwa ia menduduki strata yang tinggi dalam
masyarakat adatnya. Upamanya seperti menggunakan gelar-gelar tinggi bagi
kaum pria dan berpakaian perhiasan yang mahal-mahal bagi wanita di tempat
pesta. Ia tidak segan-segan mengeluarkan biaya yang tinggi untuk memenuhi
pujian kemegahan. Adek merupakan gelar yang diberikan pada seseorang yang
telah berumah tangga pada umumnya diberikan bersamaan dengan pernikahan
atau upacara adat lainya. Dengan pemberian adek terhadap seseorang menunjukan
48
Rizani Puspawidjaja, 2006, Op.Cit . hlm. 116
31
bahwa masyarakat adat Lampung dalam kehidupannya sangat menghargai tata
sopan santun, artinya penghormatan terhadap orang lain sangat besar.
E. Kerangka Pikir
Gambar 1. Kerangka Pikir
Hukum perkawinan adat merupakan salah satu bagian dari hukum keluarga adat,
yang memiliki keberagaman hukum sesuai dengan suku, daerah, atau
latarbelakang setiap masyarakat. Perkawinan adat merupakan suatu ikatan lahir
Proses pemberian gelar adat
(adek) Pada perkawinan adat
beda suku dalam Masyarakat
Adat Lampung Pepadun pada
Marga Terusan Nuyai
Akibat hukum dari
pemberian gelar adat beda
suku pada masyarakat adat
Lampung Pepadun pada
Marga Terusan Nunyai
Pemberian Gelar (Adek)
Perkawinan
Laki-Laki/Perempuan
Beda Suku
Laki-Laki/Perempuan
Lampung Pepadun
32
dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum adat. misalnya perkawian beda suku antara masyarakat adat
lampung Marga Terusan Nunyai dengan suku lain di Tiyuh Margodadi, Gunung
Menanti yang berada di Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat.
Meskipun perkawinan beda suku merupakan pelanggaran namun perkawinan
tersebut dapat berlangsung dengan memenuhi berbagai persyaratan adat sebelum
perkawinan yaitu dengan meminta izin kepada penyimbang dan pengangkonan
(pengangkatan) terlebih dahulu sehingga calon mempelai yang berbeda suku
harus dijadikan warga adat Lampung agar diakui keberadanya atas perkawinan
yang dilakukan dalam masyarakat adat. Setelah diakui sebagai bagian dari
masyarakat adat, calon mempelai baru dapat melakukan perkawinan dan juga
mendapatkan gelar (adek) dengan melaksanakan Begawi Cakak Pepadun yang
bertujuan untuk menigkatkan status adat seseorang dalam kekerabatan dan jika
terjadi perkawinan diluar adat, maka masyarakat adat tidak mengakui dan masih
menganggap laki-laki/wanita tersebut bujang/gadis.
33
III. METODE PENELITIAN
Penelitian (research) berarti pencarian kembali terhadap pengetahuan yang benar
(ilmiah), karena hasil dari pencarian ini akan dipakai untuk menjawab
permasalahan tertentu. Penelitian (research) berangkat dari ketidaktahuan dan
berakhir pada keraguan, dan selanjutnya berangkat dari keraguan dan berakhir
pada suatu hipotesis (jawaban yang untuk sementara dapat dianggap benar
sebelum dibuktikan sebaliknya).49
Penelitian hukum adalah segala aktivitas seseorang untuk menjawab
permasalahan hukum yang bersifat akademik dan praktisi, baik yang bersifat asas-
asas hukum, norma-norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,
maupun yang berkenaan dengan kenyataan hukum dalam masyarakat.50
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
empiris. Pengertian penelitian hukum empiris (empirical law research) adalah
penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku (behavior) anggota
masyarakat dalam hubungan bermasyarakat. Dengan kata lain, penelitian hukum
empiris mengungkapkan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat
melalui perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat. Penelitian empiris merupakan
49
Amirudin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 19. 50
Zainuddin Ali, 2016, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 19.
34
dari perilaku nyata sebagai data primer diperoleh dari data lokasi penelitian
lapangan (field research).
Penelitian hukum empiris (empirical law research) adalah penelitian hukum
positif tidak tertulis mengenai perilaku (behavior) anggota masyarakat dalam
hubungan bermasyarakat. Penelitian hukum empiris mengungkapkan hukum yang
hidup (living law) dalam masyarakat melalui perbuatan yang dilakukan oleh
masyarakat.51
Penelitian empiris merupakan perilaku nyata sebagai data primer
diperoleh dari data lokasi penelitian lapangan (field research). Penelitian ini
merupakan penelitian empiris dimana penelitian ini akan mengkaji tentang Proses
Pemberian Gelar (Adek) dan akibat hukum dalam Perkawinan Beda Suku Pada
Masyarakat Adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai di Kecamatan
Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat.
B. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif yaitu suatu
penelitian yang bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran
(deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan
pada saat tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Penelitian deskriptif dilakukan
dengan tujuan untuk melihat secara jelas, rinci, dan sistematis mengenai Proses
Pemberian Gelar (adek) dalam Perkawinan Beda Suku Pada Masyarakat Adat
Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai di Kecamatan Tumijajar Kabupaten
Tulang Bawang Barat.
51
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, hlm. 155.
35
C. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
pendekatan secara yuridis sosiologis, yaitu pendekatan dengan meneliti mengenai
hukum yang hidup dalam masyarakat melalui prilaku yang dialami masyarakat,
prilaku ini berfungsi ganda sebagai pola terapan dan sekaligus menjadi bentuk
normatif hukum dan prilaku dalam masyarakat. Subjek dan objek penelitian ini
adalah Masyarakat di Tiyuh Margodadi dan Tiyuh Gunung Menanti Kecamatan
Tumijjar Kabupaten Tulang Bawng Barat tentang Proses Pemberian Gelar (Adek)
dalam Perkawinan Beda Suku.
D. Data dan Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif empiris, data yang digunakan adalah data
primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari lokasi penelitian, dan
Responden yang terkait dengan pemberian gelar (adek) dalam Perkawinan Beda
Suku. Sumber data yang ada di lokasi penelitian, yaitu berdasarkan wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka, sumber
hukum adat. Data sekunder pada penelitian ini adalah tentang proses pemberian
gelar (adek) dalam perkawinan beda suku pada masyarakat adat lampung
pepadun. Literatur-literatur tentang hukum dan sumber lainnya yang
berhubungan dengan perkawinan adat.
36
E. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Tiyuh Margodadi dan Tiyuh Gunung Menanti
Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat.
F. Metode Pengumpulan Data
1. Studi Pustaka
Studi Pustaka adalah studi pustaka yang dilakukan untuk mengumpulkan data
sekunder, dengan cara mempelajari konsep pemberian gelar pada perkawinan
beda suku dengan cara membaca, mengutip, mencatat, dan mengidentifikasi data
yang sesuai dengan permasalahan.
2. Wawancara
wawancara dilakukan dengan menggunakan pertanyaan sesuai dengan
permasalahan yang akan dikaji. Adapun pihak-pihak yang menjadi informan dan
responden adalah:
a. Tokoh Adat : wawancara dilakukan kepada Bapak Achmad Syukri yang
bergelar Suntan Penyembang Suntan, Bapak Majid bergelar Sesunan dan
Bapak Geran gelar Mendiko sebagai Tokoh Adat.
b. Responden : Responden berjumlah 20 (Dua puluh)orang yaitu terdiri dari 10
orang pria berbeda suku dan 10 (Sepuluh) orang wanita berbeda suku yang
melakukan pemberian gelar (Adek) pada perkawinan beda suku.
37
G. Metode Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul diolah melalui cara pengolahan data dengan cara-cara
sebagai berikut:
1. Identifikasi Data
Identifikasi data adalah menelaah data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan
pembahasan yang akan dilakukan
2. Seleksi Data
Seleksi data memeriksa kembali apakah data yang dipeoleh itu relevan dan sesuai
dengan bahasan, selanjutnya apabila ada kesalahan pada data akan dilakukan
perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan dilengkapi.
3. Klasifikasi Data
Klasifikasi data adalah pengelompokan data sesuai dengan pokok bahasan agar
memudahkan pembahasan.
4. Sistematika data
Sistematika data adalah penelusuran data berdasarkan urutan data yang telah
ditentukan sesuai dengan ruang lingkup pokok bahasan secara sistematis.
H. Analisis Data
Metode analisa data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis secara
kualitatif. kualititatif yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk
kalimat dan angka yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang
38
tindih dan efektif, Sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil
analisis.
Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam angka atau persentase dan
kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis. Sehingga diperoleh gambaran
yang jelas dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara induktif yaitu
penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata yang sifatnya khusus dan
telah diakui kebenarannya secara ilmiah menjadi sebuah kesimpulan yang bersifat
umum sebagai jawaban singkat dari permasalahan yang diteliti.
62
V. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Proses Pemberian Gelar Adat (adek) pada perkawinan adat beda suku dalam
masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai harus
melaksanakan beberapa tahapan. Tahap pertama calon pengantin yang
berbeda suku harus masuk kedalam kekerabatan masyarakat adat Lampung
dengan cara melakukan pengangkonan. Tahap kedua yaitu proses pemberian
gelar dalam sidang adat Merwatin yang dilaksanakan sebelum ijab kabul,
setelah ijab kabul dilaksanakan maka gelar adat (adek) akan diumumkan
sesuai dengan hasil dari sidang adat merwatin.
2. Akibat Hukum dari Pemberian Gelar Adat (adek) pada perkawinan adat beda
suku dalam masyarakat adat Lampung Pepadun Marga Terusan Nunyai yaitu
pertama bagi pihak laki-laki atau suami (mengiyan) beda suku yang diberikan
gelar adat (adek) dinyatakan sah memiliki kedudukan dalam adat sesuai
dengan kedudukan orangtua yang mengangkonya (mengangkatnya) dan bagi
pihak perempuan dinyatakan sah memiliki kedudukan dalam adat sesuai
dengan kedudukan suami (mengiyan) yang menikahinya. Akibat hukum yang
63
kedua pihak laki-laki maupun pihak perempuan berhak ikut setra dalam
acara-acara adat. Akibat hukum yang ketiga gelar yang diberikan pihak laki-
laki maupun pihak perempuan menentukan kedudukan dan tanggung jawab
dalam masyarakat adat Lampung serta mempengaruhi kehormatan, pergaulan
dan status sosial. Akibat hukum yang keempat anak dari proses
pengangkonan (pengangkatan) baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan
tidak mendapat waris dari orang tua yang mengangkonya. Akibat hukum
Masyarakat lampung yang sudah menikah namun tidak diberikan gelar (adek)
tidak memiliki kedudukan sebagai warga adat Lampung Marga Terusan
Nunyai sehingga tidak memiliki hak untuk hadir dan memberikan pendapat
dalam acara-acara adat, serta keturunanya kelak jika sudah menikah tidak
dapat diberikan gelar (adek).
64
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
A. Soebing, Abdullah. 1988, Kedatuan di Gunung-keratu di Muara, Jakarta :
Karya Uniperss
Ali, Zainuddin. 2016, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika
Amirudin dan Asikin, Zainal. 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Rajawali Pers,
D. Kolkman, Wilbert. dkk, 2012, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan
Hukum Waris di Belanda dan Indonesia, Jakarta: Pustaka Larasan
Dinas Perpustakaan dan Kearsiapan Provinsi Lampung, 2017, Penerjemahan
Naskah Bahasa Belenda, Bandar Lampung
Hadikusuma, Hilman. 1984, Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya
Indonesia, Bandung: Alumni
. 1987, Masyarakat Adat dan Budaya Lampung, Jakarta :
Mandar Maju
. 2003, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama, Bandung : Mandar Maju
. 2014, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung:
Mandar Maju
Heru Cahyo Saputro, Cristian. 2011, Piil Pesenggiri Etos dan Semangat
Kelampungan, Bandar Lampung: Jung Foundation Lampung Heritage
Martiara, Rina. 2012, Niai dan Norma Budaya Lampung dalam sudut pandang
strukturisme, Yogyakarta: ISI Yogyakarta
Muhammad, Abdulkadir. 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti
Muhammad, Bushar. 2002, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita
65
Nurhasanah, Siti. 2014, Sosiologi dan Antropologi Budaya Suatu Pengantar,
Bandar Lampung: Justice Publiseher
Paksi, Kiay dan Ibrahim, Sayuti. 1995, Buku Handak II Lampung pubian, Bandar
Lampung: gunung Pesagi.
Puspawidjaja, Rizani. 2006, Hukum Adat dan Tebaran Pemikiran, Bandar
Lampung: Universitas Lampung
Rato, Dominikus. 2011, Hukum Perkawinan dan waris Adat (sistem kekerabatan,
bentuk perkawinan dan pola pewarisan adat di indonesia), Surabaya:
Laksbang Yustitia Surabaya
Sabaruddin SA, 2012, Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir, Jakarta : Buletin
Way Lima Manjau
Samosir, Djamanat. 2014, Hukum Adat eksistensi dalam dinamika perkembangan
hukum di indonesia. Bandung: Nusa Aulia
Setiady, Toyib. 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan,
Bandung: Alfabeta
Soekanto, Soerjono. 2001, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers
. 2012, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers
Soimin, Soedharyo. 2010, Hukum Orang dan Keluarga perspektif hukum perdata
barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Jakarta: Rajawali Pers
Suwarsono, 2011, Teori Sosiologi Sebuah Pemikiran Awal, Bandar Lampung:
Universitas Lampung
Utomo, Laksonto. 2016, Hukum Adat, Jakarta: Rajawali Pers
Wignjodipoero, Soerojo. 2010, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta:
Gunung Agung, cet. XVI
Yaswirman, 2011, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam
dan Adat Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, Jakarta:
Rajawali Pers
II. INTERNET
Https://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blogfakultas/entry/sistem-
kekerabatan-masyarakat-lampung-pepadun, diakses pada 18 Januari 2019