ILUMINASI DALAM MUSHAF AL-QUR’AN AL-BANTANI
DAN RELEVANSINYA DALAM PERKEMBANGAN
MUSHAF DI INDONESIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Sherley Zulianawati
NIM: 1113034000122
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H /2020 M
ii
iv
ABSTRAK
Sherley Zulianawati, Iluminasi Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani dan
Relevansinya dalam Perkembangan Mushaf di Indonesia
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani adalah mushaf beriluminasi yang
menjadikan artefak dan kebudayaan lokal Banten sebagai landasan
pembuatan iluminasi. Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menjadi objek dalam
penelitian ini karena merupakan mushaf karya istimewa Banten yang pertama
kali ditulis berdasarkan cagar budaya daerah dan memiliki ciri khas pada
iluminasinya yang berjumlah 30 buah sesuai dengan jumlah juz dalam al-
Qur‟an. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menjelaskan bagaimana Mushaf
Al-Qur‟an Al-Bantani secara keseluruhan dirumuskan dan dituliskan, dan
menjelaskan iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani serta relevansinya
dalam perkembangan mushaf di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan
metode deskriprif-analitis. Dilihat dari jenis pengumpulan data, penelitian ini
termasuk jenis penelitian kepustakaan (library research) dan lapangan (field
research) dengan menggunakan metode wawanacra.
Penelitian ini menemukan bahwa perumusan Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani digagas oleh masyarakat Banten sejak 2007, yang kemudian
direalisasikan kegiatan penulisannya pada bulan Maret-Juli 2010 di
Pamulang Tangerang Selatan. Iluminasi menjadi bagian integral dari
penulisan Mushaf Al-Bantani dan memberi ciri khusus di dalamnya.
Iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani memiliki tujuan tidak hanya sekedar
menghadirkan efek estetis pada tulisan al-Qur‟an, namun memiliki ungkapan
religiusitas di dalamnya. Relevansi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dalam
perkembangan mushaf di Indonesia sebagai bentuk kontinuitas penulisan
mushaf Al-Qur‟an di Indonesia yang gencar dilakukan pada awal abad 21
yang berbasis pada kearifan lokal.
Kata kunci: Iluminasi, Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani
v
KATA PENGANTAR
Bismillāhirraḥmnirrāḥīm
Segala puji hanya bagi Allah „azza wa jalla yang telah menjadikan
Al-Qur‟an sebagai kitab suci yang menjadi pedoman hidup bagi umat
manusia. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad Saw., manusia paling mulia yang menjadi utusan-Nya, dan
yang paling patut untuk diteladani kehidupannya.
Alhamdulillah, atas izin dan rahmat dari Allah „azza wa jalla penulis
bisa menyelesaikan skripsi ini pada program studi Ilmu Al-Qur‟an dan
Tafsir, dengan judul “Iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dan
Relevansinya dalam Perkembangan Mushaf di Indonesia”. Skripsi ini
diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh
gelar akademik Sarjana Agama (S. Ag).
Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini tidak
lepas dari dukungan, bantuan serta doa banyak pihak. Oleh karena itu,
melalui kata pengantar ini penulis mengucapkan terima kasih banyak
kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
3. Dr. Eva Nugraha, M.A., selaku Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur‟an
dan Tafsir, Fahrizal Mahdi, MIRKH selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, beserta segenap jajaran pengurus dan
karyawan Fakultas Ushuluddin yang telah banyak membantu
mempermudah proses administrasi dalam perkuliahan maupun
penyelesaian skripsi.
4. Kusmana, M.A, Ph. D,. selaku dosen pembimbing skripsi dan juga
penasihat akademik penulis yang dengan tulus dan penuh sabar telah
vi
meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberi arahan
kepada penulis, dari penulis beliau banyak belajar sehingga wawasan
penulis bertambah luas .
5. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, terkhusus Prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir yang dengan
ikhlas dan penuh kesabaran dalam mencurahkan upaya serta mendidik
penulis selama ini.
6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Rohim Wahyudi dan Ibunda
Maryati yang telah membesarkan, mendidik, dan memberikan segala
bentuk dukungan, do‟a, cinta dan kasih sayang kepada penulis, yang
telah bekerja keras dengan penuh sabar dan ikhlas untuk memenuhi
kebutuhan dan keperluan penulis.
7. Keluarga dan saudara-saudara di Karawang yang selalu memberikan
semangat dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman penulis: Sarinita Habarkah, Siti Faridah, Omarwati,
Khasanah, Muhammad Bindaniji, Fitria Annias AR dan teman-teman
angkatan 2013 Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, terkhusus kelas D, serta
teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Terima kasih telah menemani dan menyemangati serta memotivasi
penulis dari awal hingga sekarang.
Kepada mereka semua, dan pihak-pihak yang telah membantu namun
tidak dicantumkan, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan
semoga Allah membalas kebaikan kalian semua dengan sebaik-baik balasan.
vii
Skripsi ini penulis persembahkan untuk semua pembaca, dan sebagai
karya. Penulis sadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun kepada
para pembaca agar lebih baik lagi ke depan. Akhir kata, semoga skripsi ini
dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi para pembaca
sekalian. Semoag Allah Swt,. selalu memberkahi dan membalas semua
kebaikan pihak-pihak yang turut serta membantu. Āmīn yā Rabb al- Ālamīn.
Jakarta, 25 Juni 2020
Hormat Saya
Sherley Zulianawati
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Penulisan skripsi ini berpedoman pada transliterasi dari Keputusan SK
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Nomor: 507 Tahun 2017.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf
Arab
Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
ts te dan es ث
J Je ج
ẖ h dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
ix
ʻ koma terbalik di atas hadap kanan ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ؼ
Q Ki ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
n En ف
W We ك
H Ha ق
Apostrof ˋ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab seperti vokal dalam bahasa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vocal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau
harakat, transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـ
A Fatẖah
ـ
I Kasrah
ـ
U Ḏammah
x
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ـي Ai a dan i
ك ـ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di atas ىا
Î i dengan topi di atas ىي
ىوÛ u dengan topi di atas
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf qomariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân, bukan ad-
diwân.
xi
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setalah kata sandang yang diikuti oleh hurf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata رورة ,”tidak ditulis “ad-darûrah” melainkan “al-ḏarūrah الض
demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta
matbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
Al-jâmi‟ah al-islâmiyah الجامعة الإسلامية 2
Waẖdat al-wujûd كحدة الوجود 3
xii
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,
dalam aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain
untuk menuliskan permulaan kalimt, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh
kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama
diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya (Contoh: Abû Hâmid al-
Ghazâlî bukan Abû Hamîd Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring
(Italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis
dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya. Demikian
seterusnya.
Berkaitan dengan penulisana nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya, ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-
Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟il), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan di atas:
xiii
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذهب الأستاذ
لأجر اثػبت tsabata al-ajru
al-ẖarakah al-„asriyyah الحركة العصرية
أف لا إله إلا الله اشهد asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
Maulânâ Malik al-Sâlih مولانا ملك الصالح
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka.
Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu
dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd,
Mohamad Roem, bukan Muẖammad Rûm, Fazlur Rahman, bukan Fadl al-
Raẖman.
xiv
DAFTAR ISI
PENGESAHAN PEMBIMBING………………………………….. i
i
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………… ii
ABSTRAK…………………………………………………………... iii
KATA PENGANTAR………………………………………………. iv
PEDOMAN TRANSLITERASI……………………………………. vii
DAFTAR ISI………………………………………………………… xiii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………… xiv
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………... 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………… 1
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah…………. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………….. 7
D. Tinjauan Pustaka……………………………………… 8
E. Metodologi Penelitian………………………………… 13
F. Sistematika Penulisan………………………………… 15
BAB II. SEJARAH MUSHAF AL-QUR’AN DI INDONESIA 17
A. Pengertian Mushaf Al-Qur‟an di Indonesia…………... 17
B. Sejarah Mushaf dari Masa ke Masa ………………….. 18
C. Sejarah Mushaf di Indonesia…………………………. 25
D. Pengertian Iluminasi………………………………….. 38
E. Mushaf Al-Qur‟an Beriluminasi di Indonesia………... 40
BAB III. MUSHAF AL-QUR’AN AL-BANTANI: INISIASI,
KONSEPSI, PEMBUATAN DESAIN ILUMINASI,
PENULISAN DAN DISTRIBUSI
A. Inisiasi, Proses penulisan kaligrafi dan Pentashihan
Mushaf Al-Qur‟an ABantani………………………… 49
B. Konsepsi Pembuatan Mushaf…………………………. 58
C. Deskripsi Tentang Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani……………………………………………….. 58
D Kelebihan dan Kekurangan Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani………………………………………………... 62
xv
E. Pembuatan Desain dan Iluminasi Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani…………………………………………….. 65
F. Pencetakan dan Distribusi Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani………………………………………………...
67
BAB IV. ILUMINASI DAN RELEVANSI MUSHAF AL-
QUR’AN AL-BANTANI DALAM PERKEMBANGAN
MUSHAF DI INDONESIA 75
A. Deskripsi Iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani….. 75
B. Iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani Per
Juz…………………………………………………… 86
C. Relevansi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dalam
Perkembangan Mushaf di Indonesia …………………. 101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………… 115
B. Saran-Saran…………………………………………… 116
DAFTAR PUSTKA………………………………………………… 117
LAMPIRAN…………………………………………………………
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1: Tampilan cover Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani………… 62
Gambar 3.2: Proses Pencetakan Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani……... 68
Gambar 4.1: Tiara dan frem tiara Juz 1-8…………………………….. 83
Gambar 4.2: Tiara dan frem tiara Juz 9-17…………………………… 84
Gambar 4.3: Tiara dan frem tiara Juz 18-25………………………….. 84
Gambar 4.4: Tiara dan frem tiara Juz 26-30………………………….. 85
Gambar 4.5: Tampilan iluminasi Juz 1……………………………….. 88
Gambar 4.6: Tampilan iluminasi Juz 10……………………………… 91
Gambar 4.7: Tampilan iluminasi Juz 11……………………………… 94
Gambar 4.8: Tampilan iluminasi Juz 20…………………………….. 96
Gambar 4.9: Tampilan iluminasi Juz 21…………………………….. 98
Gambar 4.10: Tampilan iluminasi Juz 30…………………………….. 100
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis akan menjelaskan tentang bagaimana latar
belakang masalah, identifikasi, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian serta
sistematika penulisan.
A. Latar Belakang Masalah
Sebelum kita mengenal pencetakan Al-Qur‟an di Indonesia, diketahui
secara historis bahwa Al-Qur‟an sebelumnya pernah ditulis dengan tulisan
tangan yang dikenal dengan manuskrip. Manuskrip masa awal yakni pada
masa Rasulullah Saw., belum terhimpun dalam satu buku yang terjilid rapih,
Al-Qur‟an baru ditulis menggunakan alat dan media tulis yang masih sangat
sederhana seperti pelepah kurma, kulit binatang, tulang belulang, dan lain-
lain. Sementara pada masa „Utsmān bin „Affān, Al-Qur‟an mengalami
banyak perubahan, baik dari segi qira‟at maupun bacaannya. Al-Qur‟an yang
dibuat pada masa „Utsmān ini telah ditulis oleh panitia empat yang
dikoordinatori oleh Zayd bin Tsabīt dan dikenal dengan sebutan “Mushaf al-
Imām”. Salinan mushaf al-Imām ini disebarkan ke beberapa kota di antaranya
Makkah, Damaskus, Kufah, Basrah, dan Madinah.1
Seiring dengan menyebarnya agama Islam yang meluas ke berbagai
wilayah, penulisan Al-Qur‟an pun mengalami perubahan-perubahan, mulai
dari teknik manual hingga sampai teknik cetak modern. Di Indonesia sendiri,
penulisan Al-Qur‟an telah melewati proses yang cukup panjang, yakni mulai
dari teknik tulisan tangan hingga teknik cetak modern. Penulisan Al-Qur‟an
1M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an (Tangerang: Penerbit Yayasan Masjid
At-Taqwa, 2018), 28.
2
secara manual di Indonesia diperkirakan sudah dimulai sejak abad ke-13 dan
berlangsung hingga akhir abad ke-19. Penulisan Al-Qur‟an sejak awal
didorong oleh semangat dakwah dan mengajarkannya, oleh karenanya
banyak masyarakat Islam baik dari kalangan para ulama, kiayi, maupun santri
di pesantren-pesantren di berbagai daerah nusantara melakukan penyalinan
Al-Qur‟an. Hasil-hasil salinan mushaf kini masih tersimpan di berbagai
perpustakaan, museum, pesantren, ahli waris, dan kolektor.2
Begitu pula mengenai pencetakan Al-Qur‟an di Indonesia, dalam
beberapa literatur telah dijelaskan bahwa pencetakan dimulai sejak akhir
abad ke-19 atau awal abad ke-20, yang mana pada saat itu dapat dikatakan
sebagai masa transisi teknik produksi mushaf Al-Qur‟an.3 Orang yang
pertama kali melakukan pencetakan Al-Qur‟an di Indonesia adalah Haji
Muhammad Azhari dari Palembang pada tahun 1854 M dengan
menggunakan mesin cetak yang telah dibelinya di Singapura. Berikutnya
pencetakan Al-Qur‟an disusul oleh Abdullah bin Afif Cirebon dibantu oleh
Sulaiman Mar‟i pada tahun 1930 M. Usaha pencetakan yang telah dilakukan
oleh Abdullah bin Afif Cirebon ini merupakan periode awal pencetakan
mushaf di Indonesia.4
Pada tahun-tahun berikutnya, pencetakan Al-Qur‟an mulai
berkembang pesat, banyak munculnya para penerbit baru di antaranya Sinar
Kebudayaan Islam, Bir & Company, Toha Putra, Menara Kudus, dan lain-
lain.5 Selanjutnya, pada tahun 1959, muncul upaya-upaya untuk menjaga Al-
Qur‟an dari kesalahan cetak maka dari itu dibentuklah sebuah lembaga
panitia pengecekan Al-Qur‟an yang disebut dengan Lajnah Pentashihan
2Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur‟an Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya
Lokal”, Jurnal At-Tibyan, vol. I, no. 1 (2016), 175. 3Abdul Hakim, “Al-Qur‟an Cetak di Indonesia: Tinjauan Kronologis Pertengahan
Abad ke-19 hingga Awal Abad ke-20”, Suhuf, vol. 5, no. 2 (2012), 232. 4Hirman Jayadi, “Perkembangan Mushaf Al-Qur‟an Di Indonesia: Studi Mushaf Al-
Qur‟an Tema Perempuan”, Skripsi (Jakarta: Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016), 3. 5Abdul Hakim, “Al-Qur‟an Cetak di Indonesia”, 232.
3
Mushaf Al-Qur‟an. Untuk memperlancar tugasnya ini, Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur‟an menerbitkan tiga jenis mushaf standar, yaitu Mushaf Al-
Qur‟an Rasm al-„Utsmāni, Mushaf Al-Qur‟an Bahriyyah, dan Mushaf Al-
Qur‟an Braille bagi penyandang tuna netra. Sejak saat itulah marak usaha
pencetakan Al-Qur‟an dan pada tahun-tahun berikutnya banyak Al-Qur‟an
dicetak di Indonesia.
Pada abad ke-21, muncul beberapa mushaf indah yang dipelopori oleh
lembaga pemerintah dan swasta dengan konsep desain, khat dan iluminasi
yang indah dan menggunakan teknik cetak modern. Al-Qur‟an Mushaf
Istiqlal (1995) mengawali era ini, kemudian disusul oleh Al-Qur‟an Mushaf
Sundawi (1997), Al-Qur‟an Mushaf al-Tin (1999), Al-Qur‟an Mushaf Jakarta
(2000), Al-Qur‟an Mushaf Kalimantan Barat (2002), Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani (2010), Al-Qur‟an Mushaf Keraton Yogyakarta (2011).6
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menjadi salah satu mushaf terindah di
abad ke-21.7 Pasalnya, mushaf yang diprakarsai oleh MUI Provinsi Banten
ini, memiliki ciri khas tersendiri yang membedakan dengan yang lainnya.
Ciri khas yang dimaksud adalah Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani memiliki
keindahan dalam iluminasi yang tersebar pada setiap juz dalam Al-Qur‟an.
Dengan demikian ada tiga puluh iluminasi yang mewakili pada setiap juz
dalam Al-Qur‟an. Ketiga puluh iluminasi tersebut memiliki corak atau bentuk
yang berbeda-beda.
Iluminasi merupakan salah satu bentuk ragam hias dengan beragam
bentuk ornamen yang menggunakan warna emas dan perak serta warna
lainnya yang berfungsi untuk memperindah tampilan halaman naskah dan
6Billy Muhammad Rodibillah, “Sejarah Penulisan Al-Qur‟an Mushaf Sundawi di
Bandung Tahun 1995-1997”, Skripsi S1 Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, 2018, 4. 7Annabel Teh Gallop & Ali Akbar, “The Art of the Qur‟an in Banten: Callighraphy
and Illumination”, Archipel, Vol.72, (2006), 95-156.
4
pada umumnya memiliki simbol identitas yang merupakan cerminan dari
daerah tempat iluminasi dibuat.
Keindahan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani akan terasa ketika pembaca
mushaf membuka lembar demi lembar mushaf, terutama pada setiap
permulaan juz dalam Al-Qur‟an, yang menyuguhkan aneka warna yang
menarik dan artistik. Keindahan iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani bukan sekadar hiasan yang bertujuan untuk memperindah tampilan
atau cover dari ayat Al-Qur‟an sehingga pembaca akan merasa tertarik untuk
terus membaca dan mendalami makna Al-Qur‟an secara utuh. Memang hal
demikian juga dapat dibenarkan, namun yang lebih penting dari pada itu
adalah bahwa iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
menggambarkan jati diri dan keanekaragaman budaya yang ada di wilayah
Banten. Ketika seorang pembaca melihat iluminasi tersebut, maka otomatis
akan mengetahui bahwa berbagai kerangka yang menghiasi dan membungkus
setiap juz berisi Tiara dan Frem Tiara. Tiara dan Frem Tiara menggambarkan
satu bentuk kekayaan budaya lokal Banten seperti Menara Masjid Pacinan
Tinggi, Gapura Masjid Kasunyatan, Ornamen Mihrab Masjid Kasunyatan,
Ornamen Sokoguru Masjid Carita dan sebagainya.8
Penggunaan iluminasi yang mengadopsi keanekaragaman budaya
lokal yang tersebar di wilayah Banten seperti disebut di atas, menunjukan
bahwa yang menjadi unsur sentral yang hendak dimunculkan dalam iluminasi
mushaf adalah orisinalitas dan toleransi Islam yang sangat fleksibel dalam
mengadopsi budaya lokal. Unsur orisinalitas dan budaya lokal dapat
tercermin dari pengambilan gambar iluminatif dari artefak-artefak yang
hanya dapat ditemukan di wilayah yang disinyalisasi menyimpan
peninggalan kesultanan Banten.
8Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani (Serang: MUI Prov Banten, 2010), iii.
5
Fakta yang perlu mendapat perhatian secara umum dari pembentukan
iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani adalah menjadikan unsur
lokal masuk dalam hiasan Al-Qur‟an. Al-Qur‟an merupakan wahyu Allah
yang sakral, sehingga sedapat mungkin bersih dari hal-hal yang dapat
mengotori kesuciannnya. Dengan menyematkan iluminasi yang memiliki
nuansa gambar budaya lokal seakan hendak mengatakan bahwa tidak ada
pertentangan antara budaya dan agama khususnya di wilayah Banten. Budaya
lokal yang dijadikan iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
merupakan bentuk pengejawantahan dari rasa penghayatan masyarakat
Banten terhadap ajaran agama Islam. Hal ini yang menjadi titik tekan dari
iluminasi yang terdapat dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
Iluminasi bukan hanya sekedar hiasan yang dapat memperindah
tampilan luar suatu teks, namun juga menyimpan unsur lain seperti unsur
pengenalan tradisi dan budaya, seni bahkan terdapat unsur politik9 di
dalamnya yang hendak diperkenalkan di dalam bentuk iluminasi. Semakin
banyak dan ragamnya bentuk iluminasi yang ditampilkan, semakin banyak
dan beragam pula makna yang dikandungnya. Dengan demikian masih
banyak fakta yang dapat ditinjau dari pembentukan iluminasi dalam Mushaf
Al-Qur‟an Al-Bantani dan menjadi suatu kajian yang menarik dan urgen
untuk diteliti.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasi masalah
tersebut sebagai berikut:
9Mu‟jizah, Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad Ke-18 dan Ke-19 (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), 200.
6
a. Penulisan dan pencetakan mushaf Al-Qur‟an mulai banyak
dilakukan pada abad ke-21.
b. Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani kurang diketahui oleh
masyarakat luas.
c. Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani memiliki relevansi dengan
perkembangan mushaf di Indonesia.
d. Iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani memiliki corak
dan karakter yang membedakan dengan mushaf lainnya.
2. Rumusan Masalah
Rumusan permasalahan penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dirumuskan dan
dituliskan?
2. Bagaimana Iluminasi dalam Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani?
3. Apa relevansi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dalam perkembangan
mushaf Al-Qur‟an di Indonesia?
3. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus dan mendalam,
maka penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat perlu
dibatasi variabelnya. Oleh sebab itu penulis membatasi masalah dalam
tulisan ini hanya pada kajian Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani cetakan tahun
2014 versi terjemah yang terkait pada proses penulisan, iluminasi, dan
relevansinya dalam perkembangan mushaf di Indonesia. Alasan
pengambilan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani sebagai objek penelitian yaitu
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani merupakan mushaf karya istimewa Provinsi
Banten yang pertama kali ditulis berdasarkan cagar budaya daerah dan
memiliki ciri khas yang membedakannya dengan mushaf lainnya yaitu
7
iluminasi nya yang berjumlah tiga puluh buah sesuai dengan jumlah juz
dalam Al-Qur‟an dan bersumber dari artefak dan mushaf kuno peninggalan
kesultanan Banten.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Menjelaskan bagaimana perumusan dan penulisan Al-Quran
Mushaf Al-Bantani, serta relevansi penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani dalam perkembangan mushaf di Indonesia.
2. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, kajian ini bermanfaat untuk melengkapi hasil
penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banten terhadap iluminasi
dan kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani; dan hasil penelitian
sebelumnya tentang kajian mushaf di Indonesia. Diharapkan hasil
penelitian ini dapat memberikan sumbangan analisis bagi
perkembangan disiplin ilmu khususnya dalam kajian ulum Al-Qur‟an.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahun mengenai Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani yang berkaitan dengan penulisan, iluminasi dan
relevansinya dalam perkembangan Mushaf di Indonesia.
2. Bagi masyarakat yaitu penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi dan pemahaman tentang hasil karya
istimewa MUI Provinsi Banten bermana Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani yang di dalamnya terdapat iluminasi yang
menggambarkan khazanah budaya lokal Banten.
8
D. Tinjauan Pustaka
Dari tinjauan penulis terhadap kajian-kajian terdahulu, ditemukan
tulisan tentang iluminasi dan kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dan
beberapa kajian mushaf Al-Qur‟an di Indonesia ditinjau dari aspek sejarah,
karakteristik, ragam hias maupun iluminasi mushaf. Oleh karena itu, penulis
membagikan menjadi dua kajian, yaitu kajian tentang iluminasi dan kaligrafi
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dan naskah kuno Banten, serta mushaf Al-
Qur‟an di Indonesia ditinjau dari aspek sejarah, karakteristik, ragam hias
maupun iluminasi mushaf.
Tulisan tentang iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dan mushaf
kuno Banten, penulis menemukan 3 karya yang relevan dengan kajian yang
penulis angkat, di antaranya karya:
Pertama, karya MUI Banten dengan judul, Panduan Iluminasi dan
Kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani (Berdasarkan Artefak dan
Manuskrip Banten), (2010).10
Karya ini berupa buku panduan yang
membahas tentang gambaran morfologi iluminasi dan kaligrafi dalam
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
Kedua, tulisan Annabel Teh Gallop dan Ali Akbar dengan judul “The
Art of the Qur‟an in Banten: Calligraphy and Illumination” (2006).11
Karya
ini berupa jurnal yang membahas tentang seni kaligrafi dan iluminasi yang
terdapat pada manuskrip Al-Qur‟an Banten dari abad 18, dengan meneliti 13
buah manuskrip Al-Qur‟an Banten, yang terdiri dari 7 buah manuskrip yang
terdapat di Perpustakaan Nasional Jakarta dan 5 buah manuskrip yang
terdapat pada beberapa institusi di Banten, dan juga satu manuskrip lainnya
yang terdapat di perpustakaan universitas di Leiden-Belanda.
10
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani (Serang: MUI Prov Banten, 2010). 11
Annabel Teh Gallop & Ali Akbar, “The Art of the Qur‟an in Banten: Callighraphy
and Illumination”, Archipel, Vol.72, (2006), 95-156.
9
Ketiga, karya Ervan Nurtawab dengan judul, “Qur‟anic readings and
Malay translation in 18th
century Banten Qur‟ans A.51 and W.277”, (2020).12
Karya ini merupakan jurnal yang meneliti tentang dua salinan Al-Qur‟an dari
Banten abad ke-18, yaitu Qur‟an A.51 dan Qur‟an W.277 yang berisi
terjemahan melayu interlinier, dengan fokus kajiannya pada dua aspek yaitu
pembacaan Al-Qur‟an dan terjemahan melayu untuk mengungkapkan praktik
Al-Qur‟an pedagogis di daerah Banten. Studi ini mengungkapkan bahwa
terdapat perbedaan dalam cara pembacaan Al-Qur‟an, yakni Qur‟an A.51
digunakan untuk mereka yang memperoleh keterampilan tingkat tinggi atau
spesialis dalam bidang Al-Qur‟an, sementara Qur‟an W.277 dibuat untuk
siswa tingkat dasar atau muslim biasa.
Kajian terdahulu tentang mushaf Al-Qur‟an di Indonesia ditinjau dari
aspek sejarah, karakteristik, ragam hias maupun iluminasi mushaf, di
antaranya sebagai berikut:
Pertama, karya Zainal Abidin dengan judul, Eksistensi Al-Qur‟an
Pusaka dalam Perkembangan Mushaf Indonesia, (2019).13
Karya ini
merupakan jurnal yang membahas tentang eksistensi Al-Qur‟an pusaka di
Indonesia yang berkesimpulan bahwa mushaf Al-Qur‟an pusaka ditulis
sebagai mushaf monumental yang pada akhirnya tidak dijadikan sebagai
rujukan mushaf-mushaf setelahnya, dan mushaf ini kurang mendapat
perhatian dari pihak museum dan para pengkaji mushaf Nusantara.
Kedua, karya Makmur Hajirun, Muhammad Bukhari Lubis, dan Abu
Hassan bin Abdul, dengan judul, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an
Nusantara: Satu Kajian Perbandingan Antara Mushaf Istiqlal Indonesia
12
Ervan Nurtawab, “Qur‟anic readings and Malay translation in 18th century Banten
Qur‟ans A.51 and W.277”, Indonesia and Malay Word, (2020). 13
Zainal Abidin, “Eksistensi Al-Qur‟an Pusaka dalam Perkembangan Mushaf
Indonesia”. Journal Of Qur‟an and Hadith Studies, vol 8, no. 2, (Juli- Desember 2019).
10
dengan Mushaf Tab‟an Ain al-Taqwa Malaysia, (2016).14
Karya ini
merupakan artikel yang membahas tentang sejarah penulisan Mushaf Istiqlal
Indonesia dengan Mushaf Tab‟an Ain al-Taqwa Malaysia.
Ketiga, karya Mahmud Buchari dkk, dengan judul, Al-Qur‟an Al-
Karim: Manuskrip Mushaf Untuk Mengenang Almh. Ibunda Hj. Fatimah Siti
Hartinah Soeharto: salah satu manuskrip indah Nusantara abd XX dalam
cetakan faksimili dari manuskrip asli /tim pelaksana pembuat Al-Qur‟an
Mushaf Ibunda Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto, (1999).15
Karya ini
berupa sebuah buku yang menjelaskan tentang Al-Qur‟an Mushaf Al-Tin
baik dari aspek sejarah penulisannya, kaligrafi dan iluminasi, serta
karakteristik yang dimilikinya.
Keempat, karya Kiki Ahmad Baehaki dengan judul, Representasi Seni
Nusantara dalam Iluminasi Al-Qur‟an Mushaf At-Tin, (2012).16
Karya ini
merupakan thesis yang membahas tentang makna visual yang tersirat dalam
iluminasi Al-Qur‟an Mushaf Al-tin dengan meneliti iluminasi maupun khat
(tulisan) naskah Al-Qur‟an Mushaf Al-Tin yang diprakarsai oleh keluarga
ibunda Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto.
Kelima, karya Billy Muhammad Rodibillah, dengan judul, Sejarah
Penulisan Al-Qur‟an Mushaf Sundawi di Bandung Tahun 1995-1997,
(2018).17
Karya ini merupakan skripsi yang membahas tentang sejarah
penulisan Al-Qur‟an Mushaf Sundawi dan mendeskripsikan ciri khas yang
dimilikinya.
14
Makmur Haji Harun, dkk (peny). Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an
Nusantara: Satu Kajian Perbandingan Antara Mushaf Istiqlal Indonesia dengan Mushaf
Tab‟an Ain al-Taqwa Malaysia. Universiti Pendidikan Sultan Idris, (2016). 15
Mahmud Buchari dkk, “Al-Qur‟an Al-Karim: Manuskrip Mushaf Untuk
Mengenang Almh. Ibunda Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto” (Jakarta: Kharisma, 1999) 16
Kiki Ahmad Baehaki, “Representasi Seni Nusantara dalam Iluminasi Al-Qur‟an
Mushaf Attin”, Tesis (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2012). 17
Billy Muhammad Rodibillah, “Sejarah Penulisan Al-Qur‟an Mushaf Sundawi di
Bandung Tahun 1995-1997”. Skripsi (Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunug
Djati Bandung, 2018).
11
Keenam, karya Desi Wulandari dengan judul, Analisis Ornamen Al-
Qur‟an Mushaf Sundawi di Perpustakaan Pusdai Jawa Barat, (2016).18
Karya ini merupakan skripsi yang membahas tentang unsur dan prinsip visual
motif flora pada bingkai dan mahkota ornamen Al-Qur‟an Mushaf Sundawi
Ketujuh, karya Ahmad Nashih dengan judul, Studi Mushaf Pojok
Menara Kudus.19
Karya ini merupakan artikel yang membahas tentang
sejarah penulisan dan karakteristik Mushaf Pojok Menara Kudus.
Kedelapan, karya Sikha Amalia Sandia Pitaloka yang berjudul,
Manuskrip Mushaf Al-Qur‟an Keraton Kacirebonan (Analisis Iluminasi),
(2019).20
Karya ini merupakan skripsi yang membahas tentang karakteristik
dan penaskahan manuskrip mushaf Al-Qur‟an Keraton Kacirebonan dan
analisis iluminasi mushaf Al-Qur‟an Keraton Kacirebonan dengan meneliti
salah satu dari tiga naskah Al-Qur‟an Keraton Kacirebonan yang memiliki
iluminasi yang unik, berbeda-beda dan warna beragam yang terdapat pada
setiap awal halaman permulaan surat.
Kesembilan, karya Niko Andeska, Indra Setiawan, dan Rika Wirandi
dengan judul, Inventarisasi Ragam Hias Aceh Pada Iluminasi Mushaf Al-
Qur‟an Kuno Koleksi Pedir Museum di Banda Aceh, (2019).21
Karya ini
merupakan artikel yang membahas tentang karakteristik ragam hias aceh
pada iluminasi beberapa mushaf Al-Qur‟an koleksi Pedir Museum Banda
Aceh.
18
Desi Wulandari, “Analisis Ornamen Al-Qur‟an Mushaf Sundawi di Perpustakaan
Pusdai Jawa Barat”. Skripsi (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2016). 19
Ahmad Nashih, “Studi Mushaf Pojok Menara Kudus: Sejarah dan Karakteristik”.
Jurnal Nun, vol 3,no. 1, (2017). 20
Sikha Amalia Sandia Pitaloka, “Manuskrip Mushaf Al-Qur‟an Keratn
Kacirebonan (Analisis Iluminasi).” Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2019). 21
Niko Andeska, dkk. “Inventarisasi Ragam Hias Aceh Pada Iluminasi Mushaf Al-
Qur‟an Kuno Koleksi Pedir Museum di Banda Aceh”. Gorga Jurnal Seni Rupa, vol. 08, no.
02, (2019).
12
Kesepuluh, Mazroatul Ilmiyah dengan judul, Iluminasi Naskah
Mushaf Al-Qur‟an Sunan Giri: Kajian Kodikologis Disertai Analisis
Semiotika, (2019).22
Karya ini merupakan thesis yang membahas tentang
identifikasi bentuk dan mengungkapkan makna yang terkandung pada naskah
mushaf Al-Qur‟an Sunan Giri.
Kesebelas, karya Asep Saefullah dengan judul, Ragam Hias Mushaf
Kuno Koleksi Bayt Al-Qur‟an dan Museum Istiqlal Jakarta, (2007).23
Karya
ini merupakan artikel yang memaparkan gaya iluminasi yang mencerminkan
keragaman dan keunikan lokal yang terdapat dalam mushaf kuno koleksi
Bayt Al-Qur‟an dan Museum Istiqlal Jakarta.
Keduabelas, karya Avi Khuriya Mustofa dengan judul, Variasi dan
Simbol dalam Mushaf Manuskrip Al-Qur‟an di Masjid Agung Surakarta
(Kajian Filologi), (2013).24
Karya ini merupakan skripsi yang membahas
variasi penulisan, jenis dan fungsi scholia serta simbol dalam mushaf Al-
Qur‟an Masjid Agung Surakarta dengan meneliti naskah Al-Qur‟an yang
ditemukan di Masjid Agung Surakarta, yaitu naskah wakaf dari R.
Haryopripto Diningrat yang memiliki banyak keunikan dan ciri khas yang
menarik.
Dari hasil tinjaun pustaka di atas, penulis menemukan sebuah
penelitian yang membahas tentang iluminasi dan kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani yang digali dari artefak dan naskah kuno Banten. Maka dari itu
penulis hendak melengkapi penelitian sebelumnya yakni menjelaskan tentang
penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dan relevansinya dalam
perkembangan mushaf di Indonesia
22
Mazroatul Ilmiyah, “Iluminasi Naskah Mushaf Al-Qur‟an Sunan Giri: Kajian
Kodikologis Disertai Analisis Semiotika”, Tesis (Semarang: Universitas Airlangga, 2019). 23
Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf Kuno Koleksi Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal Jakarta”. Jurnal Lektur Keagamaan, vol. 5, no. I, (2007). 24
Avi Khuriya Mustofa, “Variasi dan Simbol dalam Mushaf Manuskrip Al-Qur‟an
di Masjid Agung Surakarta (Kajian Filologi)”. Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013).
13
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan pendekatan yang dipakai penelitian ini termasuk
kedalam penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,
pada suatu konteks khusus alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah.25
Jika dilihat dari tempat pengambilan datanya, maka
penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research) dan
lapangan (field research) dengan objek kajiannya adalah naskah Mushaf
Al-Qur‟an Al-Bantani cetakan tahun 2014 versi terjemah.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini yang menjadi sumber primer adalah Mushaf
Al-Qur‟an Al-Bantani cetakan tahun 2014 versi terjemah, Buku Laporan
Penelitian Iluminasi dan Kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, serta
Buku Panduan Iluminasi dan Kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
karya MUI Provinsi Banten.
Sedangkan sumber sekunder adalah buku-buku, jurnal-jurnal,
artikel-artikel, dan tulisan-tulisan lainnya yang berkaitan dan membantu
dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah salah satu kegiatan penelitian yang
dilakukan dengan teknik tertentu dan menggunakan alat tertentu yang
25
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2016), 6.
14
disebut dengan instrument penelitian. Data yang diperoleh dari proses
tersebut kemudian dihimpun, ditata dan dianalisis untuk menjadi
informasi yang dapat menjelaskan suatu fenomena atau keterkaitan antar
fenomena.26
Untuk mengumpulkan data yang sesuai dengan obyek penelitian,
maka dalam hal ini penulis menggunakan teknik sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil tatap muka antara
pewawancara dengan informan dengan atau tanpa menggunakan
pedoman wawancara.27
Wawancara ini dilakukan pada beberapa
narasumber, di antaranya: Ketua tim penulisan Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani, Peneliti iluminasi, dan anggota tim Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur‟an Kementerian Agama RI untuk memperoleh
sejumlah informasi mengenai Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
b. Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk melacak dokumen-dokumen yang
terkait, seperti: dokumen terkait penulisan mushaf, serta catatan dan
dokumen lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian skripsi ini.
4. Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif-analitis. Deskriptif adalah memberi gambaran penyajian laporan
data yang berasal dari catatan observasi, naskah wawancara, catatan
lapangan, foto, dokumen pribadi, atau dokumen resmi lainnya.28
26
Mamik, Metode Penelitian Kualitatif (Sidoarjo: Zifatama Publisher, 2015), 78. 27
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Kencana, 2005), 108. 28
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, 11.
15
Sedangkan analisis adalah mengungkapkan semua proses etik yang ada
dalam suatu fenomena sosial dan menganalisis makna yang ada dibalik
informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial.29
5. Teknik Penulisan
Dalam teknis penulisan skripsi ini penulis berpedoman kepada
Panduan Penulisan Skripsi dan Tesis dan Disertasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Penulis membagi pembahasan penelitian ini ke dalam lima bab yang
diuraikan dalam sistematika berikut:
Bab pertama adalah Pendahuluan, berisi: memaparkan latar belakang
pemilihan tema penelitian, permasalahan yang menjadi perhatian utama
peneliti untuk dijawab di kesimpulan, tujuan yang hendak dicapai dan
manfaat dari dilakukannya penelitian mengenai Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani ini, baik secara teoritis maupun praktis, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab kedua adalah memaparkan tentang sejarah mushaf Al-Qur‟an di
Indonesia, yang terdiri dari lima sub bab: pengertian mushaf, sejarah mushaf
dari masa ke masa, sejarah mushaf di Indonesia, pengertian iluminasi dan
beberapa mushaf Al-Qur‟an beriluminasi di Indonesia
Bab ketiga adalah tentang Inisiasi, konsepsi, Pembuatan Desain
Iluminasi, Penulisan dan distribusli Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, yang
terdiri dari lima sub bab: inisiasi, proses penulisan kaligrafi dan pentashihan
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, konsepsi pembuatan Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani, deskripsi tentang Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, pembuatan desain
29
H.M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, 153.
16
iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, serta pencetakan dan distribuasi
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
Bab keempat adalah analisa temuan penulis dalam penelitian ini,
yakni menjelaskan gambaran iluminasi dan relevansi Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani dalam perkembangan mushaf di Indonesia.
Bab kelima adalah penutup yang berisi kesimpulan dan hasil jawaban
rumusan masalah dan juga berisi saran-saran maupun rekomendasi sebagai
perbaikan terhadap penelitian selanjutnya.
17
BAB II
SEJARAH MUSHAF AL-QUR’AN DI INDONESIA
Pada bab ini akan menjelaskan tentang pengertian mushaf, sejarah
mushaf dari masa ke masa, sejarah mushaf di Indonesia, dan juga
pengertian iluminasi serta mushaf Al-Qur‟an beriluminasi di Indonesia.
A. Pengertian Mushaf
Dalam kamus Lisān al-„Arab, mushaf terambil dari kata ṣaḥīfah
(bentuk jamaknya ṣaḥāif atau ṣuḥuf) yang berarti sesuatu yang bisa
dijadikan tempat menulis. Dalam hal ini mushaf diartikan sebagai
kumpulan ṣuḥuf 1
yang disusun antara dua sampul kitab.2 Mushaf juga
dapat diartikan sebagai kitab atau buku.3
Sedangkan menurut istilah mushaf adalah salinan Al-Qur‟an secara
keseluruhan, yang mencakup teks, iluminasi, maupun aspek fisik Al-
Qur‟an (jenis kertas dan tinta yang dipakai, ukuran naskah, jenis sampul,
penjilidan dan lain-lain).4 Dalam arti lainnya, mushaf dimaknai sebagai
bagian dari kalāmullāh yang secara historis ditulis, dikumpulkan dan
dijadikan dalam bentuk buku.5
Seiring dengan perkembangannya, kata mushaf terus mengalami
perubahan makna, awalnya mushaf merujuk pada lembaran-lembaran
biasa kemudian berubah menjadi lembaran-lembaran yang tersusun
menjadi satu tulisan ayat-ayat Al-Qur‟an. Orang yang mula-mula
1 Suhuf adalah lembaran lepas dari bahan tertulis seperti kertas, kulit, papirus
dan lain-lain. 2Ibn Manzur, Lisān al-„Arab (Beirut: Dar Sader, 1997) jilid 4, 17.
3Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar. Mushaf-mushaf Kuno Indonesia
(Jakarta : Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagmaan
Departeman Agama RI, 2005), xi. 4Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno Indonesia, xi.
5Eva Nugraha,” Living Mushaf: Penelusuran atas Sakralitas Penggunaan
Mushaf dalam Keseharian”. Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 5 (Januari 2013), 439.
18
memaknai mushaf sebagai kitab suci Al-Qur‟an, yaitu Sahabat Sālim bin
Ma‟qil pada tahun 12 H. Pemaknaan tersebut sebagaimana yang
termaktub dalam perkataannya: “Kami menyebut di negara kami untuk
naskah-naskah atau manuskrip Al-Qur‟an yang dikumpulkan dan
dibandel sebagai mushaf”. Perkataan Salim bin Ma‟qil tersebut dijadikan
inspirasi oleh Abu Bakr dalam memberi nama pada naskah-naskah Al-
Qur‟an yang telah dikumpulkannya yaitu “al-Mushaf Al-Syarīf”.
Jika dilihat dari sisi masa periode penulisannya, mushaf memiliki
banyak makna, di antaranya: mushaf di zaman Nabi dimaknai dengan
ayat-ayat Al-Qur‟an yang ditulis di atas media seperti pelepah-pelepah
kurma, kulit binatang, kepingan-kepingan tulang, tulang belulang, dan
lain-lain. Sedangkan mushaf di zaman Umar bin Khatab dipahami sebagai
tulisan ayat-ayat Al-Qur‟an yang dihimpun pada masanya. Selanjutnya,
mushaf yang di zaman „Utsmān bin „Affān dikenal dengan istilah
“mushaf „ustmāni” yakni tulisan ayat-ayat Al-Qur‟an yang dihimpun dan
diseragamkan tulisan dan bacaannya oleh „Utsmān bin „Affān. Berbeda
dengan istilah mushaf pada masa awal, pada masa kini mushaf dipahami
sebagai tulisan ayat-ayat Al-Qur‟an yang telah terhimpun dalam
lembaran-lembaran yang diapit oleh dua sampul dan merujuk pada
mushaf Al-Qur‟an yang sering dijumpai dan dibaca pada masa kini.6
B. Sejarah Mushaf dari Masa ke Masa
1. Al-Qur’an Pada Masa Nabi Saw
Al-Qur‟an pada masa Nabi Saw ini belum terkumpul dalam satu mushaf,
mengingat masa itu belum adanya alat tulis maupun sarana tempat
menulis yang bagus dan canggih seperti zaman sekarang. Pada masa ini
ayat-ayat Al-Qur‟an ditulis dalam pelepah kurma, kulit binatang, tulang
6Hirman Jayadi, “Perkembangan Mushaf Al-Qur‟an Di Indonesia (Studi
Mushaf Al-Qur‟an Tema Perempuan)”, 19.
19
belulang, dan lain-lain.7 Dan berikut ini adalah faktor-faktor
penyebabnya:8 pertama, tidak adanya faktor pendukung untuk
membukukan Al-Qur‟an menjadi satu mushaf mengingat Nabi SAW
masih hidup disamping banyaknya sahabat yang masih menghafal Al-
Qur‟an, dan tidak ada unsur-unsur yang diduga akan menganggu
kelestarian Al-Qur‟an. kedua, Al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-
angsur, maka hal yang logis jika Al-Qur‟an baru bisa dibukukan dalam
satu mushaf setelah Nabi SAW wafat. Ketiga, selama proses turunnya
Al-Qur‟an, masih terdapat kemungkinan adanya ayat-ayat Al-Qur‟an
yang mansūkh.
Pengumpulan Al-Qur‟an pada masa Nabi Saw, dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori: pertama, penghimpunan dalam
hati, yakni melalui penghafalan. Kedua adalah penghimpunan melalui
penulisan dan pencatatan.9 Pengumpulan melalui penghafalan dilakukan
setiap kali Nabi Saw., menerima wahyu yang diturunkan Allah SWT,
beliau langsung mengingat dan menghafalnya, kemudian wahyu tersebut
beliau sampaikan kepada para sahabat agar mereka menghafalnya, lalu
para sahabat menyampaikannya secara berantai kepada sahabat lainnya.10
Sedangkan pengumpulan melalui penulisan adalah Nabi Saw.,
setelah menerima ayat Al-Qur‟an segera memanggil para sahabat yang
pandai menulis dan membaca untuk menulis ayat-ayat tersebut disertai
informasi mengenai tempat dan urutan setiap ayat dalam suratnya.11
Dalam penulisan wahyu ini banyak para sahabat yang dilibatkan. Berikut
7Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2013), 50. 8Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 18. 9M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 20.
10M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 21.
11Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, 21.
20
adalah nama-nama sahabat yang dikenal sebagai penulis wahyu:12
Abu
Bakr al-Ṡiddīq, „Umar bin Khaṭṭāb, „Utsmān bin „Affān, „Alī bin Abī
Ṭālib, Tsabīt bin Qays bin Syammās, Mu‟āwiyah, Mughīrah bin Syu‟bah,
Khālid bin Wālid, Ubay bin Ka‟b, Zayd bin Tsabīt, Muhammad bin
Maslamah, „Āmir bin Fuhayrah, „Amr bin „Āṣ, Yazīd bin Abū Sufyān,
Zubayr bin „Awwām, al-„Alā bin al-Ḥaḍramī, Abū Mūsā al-Asy‟arī dan
Abū Dardā‟, „Abdullāh bin al- Ḥaḍramī, „Abdullāh bin Ubay bin Salūl.
Dari sekian banyak penulis Al-Qur‟an yang telah disebutkan di
atas, salah satunya adalah Zayd bin Tsabīt. Beliau dikenal sebagai orang
yang paling profesional dan paling andal dalam melakukan penulisan
ayat-ayat Al-Qur‟an yang diterima dari Nabi SAW. Zayd bin Tsabīt dan
kawan-kawannya selalu mencatat ayat-ayat Al-Qur‟an, menempatkan
urutan ayat-ayat dan surat-suratnya sesuai dengan petunjuk Nabi SAW,
dengan sangat cermat dan teliti.
Mengenai teknik penulisan wahyu Al-Qur‟an pada masa Nabi
Saw., dijelaskan bahwa setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah
Swt., seketika itu juga diusahakan penulisannya oleh juru tulis. Dalam
aturan penulisan, dengan tegas Nabi melarang sahabat menuliskan
sesuatu selain Al-Qur‟an. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghindari
tercampurnya Al-Qur‟an dengan hadis.13
2. Mushaf Al-Qur’an Masa Abu Bakr
Pada masa khalifah Abu Bakr, Al-Qur‟an telah dihimpun ke
dalam satu mushaf. Penghimpunan Al-Qur‟an ini merupakan gagasan
„Umar bin Khaṭṭāb yang muncul sebab kekhawatirannya terhadap
hilangnya sebagian ayat-ayat Al-Qur‟an yang disebabkan oleh
banyaknya para penghafal Al-Qur‟an yang gugur dalam peperangan
12
Muhammad Amin Suma, Ulumul, 49. 13
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 22.
21
Yamamah pada masa itu.14
Pada mulanya gagasan tersebut berat untuk
dikabulkan Abu Bakr, namun akhirnya „Umar bin Khaṭṭāb berhasil
meyakinkannya, hingga Abu Bakr menyetujuinya demi kemaslahatan
umat dan pelestarian Al-Qur‟an. Abu Bakr lantas membentuk sebuah
tim yang dikoordinatori Zayd bin Tsabīt dalam rangka menjalankan
tugas penghimpunan Al-Qur‟an tersebut. Alasan Zayd bin Tsabīt dipilih
oleh Abu Bakr adalah karena kelebihan dan kemampuan yang
dimilikinya, seperti kecerdasannya, kedudukannya dalam qiraat,
penulisan dan pemahamannya, serta kehadirannya pada saat Nabi
mengulang-ulang bacaan dan hafalan di hadapan Jibril yang terakhir
kalinya.
Dalam melaksanakan tugasnya yang berat dan mulia ini, Zayd bin
Tsabīt bertindak amat cermat dan hati-hati. Ia dibantu beberapa anggota
tim nya yang hafal Al-Qur‟an, di antaranya: Ubay bin Ka‟b, „Alī bin Abī
Ṭālib , dan „Utsmān bin „Affān.15
Sumber utama dalam penulisan Al-
Qur‟an ini adalah ayat-ayat Al-Qur‟an yang ditulis dan dicatat di hadapan
Nabi SAW., dan hafalan para sahabat. Oleh karena itu, Zayd bin Tsabīt
tidak menerima catatan-catatan dan tulisan Al-Qur‟an kecuali tulisan Al-
Qur‟an tersebut benar-benar berasal dari Nabi SAW., dengan
mendatangkan dua orang saksi yang adil.16
Tugas penghimpunan Al-Qur‟an tersebut terlaksana dengan sangat
baik, dan dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun. Al-Qur‟an yang
tersusun rapi dalam satu mushaf itu hasilnya disimpan oleh Abu Bakr al-
Ṡiddīq hingga akhir hayatnya.
14
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, 50. 15
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 19. 16
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, 19.
22
Berikut ini adalah karakteristik penulisan Al-Qur‟an pada masa
Abu Bakr:17
1. Seluruh ayat Al-Qur‟an dikumpulkan dan ditulis dalam satu
mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
2. Meniadakan ayat-ayat Al-Qur‟an yang telah mansūkh.
3. Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4. Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah
tujuh (qira‟at) sebagaimana yang ditulis pada kulit unta pada
masa Rasulullah SAW.
3. Mushaf Al-Qur’an Masa ‘Umar bin Khaṭṭāb
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa setelah Abu Bakr
wafat, mushaf Al-Qur‟an yang telah dihimpun oleh Tim Zayd bin Tsabīt
disimpan. Pada masa „Umar bin Khaṭṭāb ini, pemeliharaan Al-Qur‟an
tidak ada perkembangan baru18
, yakni tidak adanya perbaikan maupun
tindak lanjut dari penghimpunan Al-Qur‟an yang telah dilakukan pada
masa Abu Bakr.19
Namun secara politis, Al-Qur‟an tetap mendapatkan
perlindungan dan pengamanan, seperti hal nya „Umar bin Khaṭṭāb tetap
memperhatikan pengajaran Al-Qur‟an di seluruh negeri Islam agar tidak
keluar dari tujuh qiraat yang diperbolehkan oleh Rasulullah SAW.
Setelah „Umar bin Khaṭṭāb wafat, mushaf Al-Qur‟an diserahkan
dan lalu disimpan oleh Ḥafṣah hingga akhir hayatnya. Dipilihnya Ḥafṣah
sebagai orang yang berhak menyimpan mushaf Al-Qur‟an tersebut adalah
atas dasar pesan Umar dengan pertimbangan antara lain:20
a. Ḥafṣah
merupakan isteri Nabi Saw., dan juga puteri Khalifah „Umar bin Khaṭṭāb,
17
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, 20. 18
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 25. 19
Arizki Widianingrum, “Mushaf Hafalan Di Indonesia, 25. 20
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 25.
23
b. Ḥafṣah dikenal sebagai seorang yang cerdas lagi pandai baca-tulis,
bukan hanya itu beliau hafal seluruh ayat Al-Qur‟an. Selanjutnya setelah
Ḥafṣah wafat, mushaf Al-Qur‟an itu diambil dan dibakar oleh seorang
Khalifah dari Dinasti Bani Umayah yang bernama Marwān bin al-Ḥakam.
Hal itu terpaksa dilakukan demi mengamankan keseragaman mushaf Al-
Qur‟an yang diusahakan oleh Khalifah „Utsmān, selain itu juga untuk
menghindarkan timbulnya keraguan-keraguan umat Islam di masa
mendatang jika masih terdapat dua macam mushaf (ṣuḥuf Ḥafṣah dan
Mushaf „Utsmāni).
4. Mushaf Al-Qur’an pada Masa ‘Utsmān bin ‘Affān
Pada masa kekhalifahan „Utsmān bin „Affān, Islam telah tersebar
luas sampai Armenia dan Azerbaijan. ketika terjadi peperangan di daerah
tersebut, bertemu dua pasukan besar kaum muslimin, yakni pasukan dari
Iraq dan pasukan dari Syam. Mereka saling mendengar bacaan Al-Qur‟an
satu sama lain, dan ternyata terdapat perbedaan versi qira‟at di antara
mereka, pasukan dari Syam membaca Al-Qur‟an dengan qira‟at Abu
Dardā r.a, sementera pasukan dari Iraq membaca Al-Qur‟an dengan
qira‟at Abdullāh bin Mas‟ūd r.a.21
Perbedaan ini menimbulkan
perselisihan hingga saling menganggap bahwa versi qira‟at mereka yang
paling baik dan benar. Perselisihan tersebut diketahui oleh salah seorang
sahabat Nabi yang bernama Ḥudzaifah bin Yamān r.a., Beliau kemudian
kembali ke Madinah, menceritakan kejadian yang dilihatnya kepada
„Utsmān bin „Affān dan mengusulkan agar mengusahakan keseragaman
bacaan Al-Qur‟an. Mendengar berita tersebut, „Utsmān bin „Affān segera
bermusyawarah dengan para sahabat Ansar dan Muhajirin guna mencari
21
Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur‟an (Jakarta: Prenadamedia Group),
36.
24
solusi dari masalah serius tersebut, hingga akhirnya terbentuklah sebuah
hasil kesepakatan bahwa agar mushaf Abu Bakr disalin kembali menjadi
beberapa mushaf. Mushaf-mushaf tersebut nantinya akan dikirim ke
berbagai daerah sebagai rujukan bagi kaum muslimin terutama manakala
terjadi perselisihan tentang qiraat Al-Qur‟an di antara mereka.22
„Utsmān
bin „Affān menghubungi Ḥafṡah r.a, dan meminta dikirimkan mushaf
untuk kemudian nantinya dikembalikan lagi. Maka Ḥafṡah mengirim
mushaf al-Quran tersebut23
, lalu dibentuklah panitia penyalin mushaf Al-
Qur‟an yang diketuai oleh Zayd bin Tsabīt dengan tiga anggotanya yaitu
Abdullāh bin Zubair, Sa‟īd bin al-„Aṣ, dan Abd al-Raḥmān bin al-Ḥarits
bin Hisyām. Panitia Zayd dapat menyelesaikan tugasnya pada tahun 25
H24
dan hasil kerja panitia Zayd tersebut adalah berupa empat mushaf Al-
Qur‟an standar. Tiga di antaranya dikirim ke Syam, Kufah dan Basrah,
dan satu mushaf ditinggalkan di Madinah untuk „Ustman sendiri, yang
kemudian mushaf ini dikenal sebagai al-mushaf al-Imām. Ada pula
riwayat yang mengatakan bahwa jumlah pengadaan mushaf sebanyak
lima buah, dan pendapat yang lainnya menyebut tujuh buah, dikirim ke ke
selain tiga tempat di atas, yaitu ke Mekah, Yaman dan Bahrain.
Gerakan pemeliharaan Al-Qur‟an pada masa „Utsman ini
mengandung faedah, antara lain:25
(a) Mempersatukan dan
menyeragamkan tulisan dan ejaan Al-Qur‟an bagi seluruh umat Islam
berdasarkan cara pembacaan yang diajarkan Rasulullah SAW dengan
jalan mutawatir, sekaligus menghapuskan cara pembacaan lainnya yang
tidak ma‟tsur. (b) Supaya umat Islam berpegang pada mushaf yang
disusun dengan sempurna atas dasar tauqifi (tuntunan) Rasulullah SAW
22
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, 21. 23
Abdul Hamid, Pengantar Studi Al-Qur‟an, 38. 24
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 27. 25
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 27.
25
untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan yang tidak perlu terjadi
karena perbadaan membaca Al-Qur‟an. (c) Mempersatukan urutan
susunan surat-surat Al-Qur‟an sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah
SAW, yang diterima secara mutawatir.
Berikut adalah beberapa karakteristik mushaf Al-Qur‟an yang
ditulis pada masa „Utsmān bin „Affān:26
1. Ayat-ayat Al-Qur‟an yang ditulis seluruhnya berdasarkan riwayat
yang mutawatir.
2. Tidak memuat ayat-ayat yang mansūkh
3. Surat-surat maupun ayat-ayatnya telah disusun dengan tertib,
sebagaimana Al-Qur‟an yang kita kenal sekarang. tidak seperti
mushaf Al-Qur‟an yang ditulis pada masa Abu Bakr yang hanya
disusun menurut tertib ayat, sementara surat-suratnya disusun
menurut urut turunnya wahyu.
4. Tidak memuat sesuatu yang tidak tergolong Al-Qur‟an, seperti
yang ditulis sebagian sahabat Nabi dalam masing-masing
mushafnya, sebagai penjelasan atau keterangan terhadap makna
ayat-ayat tertentu.
5. Dialek yang dipakai dalam mushaf ini hanya dialek Quraisy saja,
dengan alasan bahwa Al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa Arab
Quraisy sekalipun pada mulanya diizinkan membacanya dengan
menggunakan dialek lain.
C. Sejarah Mushaf di Indonesia
Dalam perkembangannya, mushaf Al-Qur‟an di Indonesia telah
mengalami tiga periode, yaitu sebagai berikut:
26
Said Agil Husin Al Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, 22.
26
1. Periode Tulisan Tangan
Metode tulisan tangan merupakan teknik pertama yang
digunakan dalam sejarah penyalinan Al-Qur‟an di Indonesia.27
Periode tulisan tangan ini sudah dimulai sejak abad ke-13 Masehi,
tepatnya ketika Pasai menjadi kerajaan pertama di Nusantara yang
secara resmi masuk Islam. Penyalinan ini terus berlangsung hingga
akhir abad ke-19. Adapun para pelaku penyalinan Al-Qur‟an adalah
masyarakat Muslim dari berbagai lapisan seperti para penyalin
profesional, santri dan para ulama. Kegiatan penyalinannya pun
berlangsung di berbagai kota, di antaranya Aceh, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura,
Lombok, Sumbawa, Kalimantan Selatan, dan lain-lain.28
Hasil
penyalinannya sangat banyak dan saat ini tersimpan di beberapa
museum, perpustakaan, pesantren, ahli waris dan kolektor.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dapat dikatakan
sebagai masa transisi teknik produksi mushaf Al-Qur‟an. pada masa
itu penyalinan Al-Qur‟an secara manual masih berlanjut di satu sisi
dan pada saat yang sama mulai marak penggunaan teknologi cetak.29
Dewasa ini, naskah Al-Qur‟an Indonesia banyak disimpan di
lembaga-lembaga pemerintah baik di Indonesia maupun luar negeri
seperti di Malaysia, Belanda, dan beberapa tempat lainnya. Namun
diperkiraan Indonesia tetap merupakan yang terbanyak menyimpan
naskah Al-Qur‟an tersebut, baik yang dimiliki oleh pribadi, museum,
masjid maupun pesantren.30
Hal ini sebagaimana tercatat bahwa
mushaf Al-Qur‟an yang tersimpan di Indonesia ada sekitar 450
27
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 33. 28
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur‟an Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya
Lokal nusantara”. Jurnal At-Tibyan, vol. I, no. I (Januari-Juni 2016): 175. 29
Abdul Hakim, “Qur‟an Cetak di Indonesia”. Suhuf, vol. 5, no. 2, 2012, h. 232 30
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur‟an Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya
Lokal nusantara”. Jurnal At-Tibyan, vol. I, no. I (Januari-Juni 2016): 176.
27
mushaf, sedangkan yang tersimpan di luar negeri ada sekitar 200
mushaf, dengan jumlah 650 ini jelas masih sementara, dikarenakan
belum termasuk milik pribadi. 31
Berikut adalah beberapa mushaf Al-Qur‟an di Indonesia:32
mushaf Al-Qur‟an Aceh yang kini telah menjadi koleksi berbagai
lembaga di dalam dan luar negeri. Mushaf Al-Qur‟an kuno dari
berbagai Istana Nusantara, seperti Banten, Cirebon, Riau-Lingga,
Terengganu (Malaysia), Sumbawa, Bima, Bone, dan Ternate. Selain
itu, ada juga Mushaf Indonesia lainnya seperti Mushaf Banten,
Mushaf Kanjeng Kyai Al-Qur‟an Pusaka Keraton Yogyakarta, dan
Mushaf Al-Banjari.
Adapun mushaf kuno yang terdapat di Bayt Al-Qur‟an dan
Museum Istiqlal berjumlah 29 buah, termasuk mushaf-mushaf besar,
tetapi tidak termasuk Mushaf Itiqlal. Sedangkan mushaf kuno yang
berusia lebih dari 50 tahun sebanyak 22 buah.33
Menurut informasi, mushaf tulis tangan di Indonesia terakhir
ditulis oleh seorang Narapidana di Banyuwangi, bernama Sugiyanto.
Al-Qur‟an ini berukuran panjanng 1,1 meter x 80 sentimeter dan
tebalnya 13 sentimeter.34
2. Periode Cetak Mesin
Teknologi cetak litografi (cetak batu) sudah berkembanag di
Indonesia menjelang pertengahan abad ke 19. Pada masa itu penulisan
Al-Qur‟an secara manual mulai ditinggalkan, sebab dengan beralih ke
31
Arizki Widianingrum, “Mushaf Hafalan Di Indonesia”, 32. 32
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 33-34. 33
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 33. 34
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 34.
28
metode cetak batu akan sangat memudahkan penggandaan mushaf
dalam jumlah banyak, meskipun produksinya tetap terbatas.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai mushaf cetakan awal,
mushaf cetakan tahun 1933-1983 hingga mushaf cetakan 2000-an:
a. Mushaf Cetakan Awal
Berdasarkan temuan hingga kini, rupanya asal-usul mushaf
Al-Qur‟an cetakan awal yang beredar di Asia Tenggara pada akhir
abad ke-19 jumlahnya tidak begitu banyak.35
Dari beberapa
mushaf cetakan awal, mushaf yang berasal dari Palembang
diketahui sebagai mushaf cetakan tertua di Indonesia, bahkan di
Asia Tenggara. Mushaf Palembang ini merupakan hasil cetak batu
Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah yang dicetak
pada tahun 1848 dan 1854.36
Kedua cetakan mushaf tersebut
ditemukan hingga sekarang, hanya saja cetakan tahun 1854
kondisinya tidak utuh, terdapat di Masjid Dokjumeneng,
Cirebon.37
Adapun cetakan lainnya yang beredar luas di Indonesia
pada akhir abad ke-19 yaitu cetakan Singapura, Bombay dan
India. Mushaf cetakan Singapura ditulis oleh Muhammad Salih
bin Sardin, pada tahun 1285 H di Kampung Gelam. Keberadaanya
relatif banyak dibandingkan mushaf cetakan Palembang. Di
antaranya bisa ditemui di Bayt Al-Qur‟an dan Museum Istiqlal
Jakarta, Masjid Agung Surakarta, Museum Samparaja Bima, Riau,
Cirebon, dan Kendari. Mushaf cetakan Singapura yang terdapat di
Masjid Agung Surakarta memberikan gambaran tentang kapan
Qur‟an ini dicetak dan banyak beredar.
35
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 33-34. 36
Ali akbar, Pencetakan Mushaf di Indonesia, 271. 37
Abdul Hakim, “Al-Qur‟an Cetak di Indonesia”, Suhuf, vol. 5, no. 2 (2012),
235.
29
Selanjutnya, mushaf cetakan India ditulis oleh al-Hajj
Muhammad Samah pada tahun 1886 M. Mushaf ini sudah
menggunakan teknik cetak modern, seperti cetakan Mesir.
b. Mushaf Cetakan Tahun 1933-1983.
Dalam rentang waktu tahun 1933 sampai dengan 1983,
beberapa percetakan di Indonesia telah berhasil mencetak 11
mushaf Al-Qur‟an, antara lain sebagai berikut:38
Cetakan
Matba‟ah al-Islamiyah, Bukittinggi, 1933. Selesai dicetak pada
bulan Juli-Agustus 1933 oleh Percetakan al-Islamiyah milik HMS
Sulaiman. Mushaf ini merupakan reproduksi cetakan Bombay,
India dan juga merupakan generasi awal cetakan mushaf Al-
Qur‟an di Indonesia. selanjutnya, mushaf cetakan Abdullah bin
Afif, Cirebon, 1933-1957. Mushaf cetakan Al-Ma‟arif, Bandung,
1950/1957. Sinar Kebudayaan Islam, Jakarta, 1951. Pustaka al-
Haiddari, Kutaraja. Pustaka Andalus, Medan, 1951-1952.
Tintamas, Jakarta, 1954. Al-Qur‟an Bombay Menara Kudus,
1974. Qur‟an Pojok Menara Kudus, 1974. Mushaf Cetakan
Penerbit Al-Ma‟arif, Bandung, 1950-an, Mushaf Indonesia Ibnu
Sutowo, hingga Mushaf Al-Qur‟an Kudus, Al-Qur‟an dari Turki
yang dicetak tahun 1970-an.
Menurut sebagian pendapat, pencetakan Al-Qur‟an
(dengan mesin) di Indonesia dimulai sekitar tahun 1950 oleh Afif
dari Cirebon dan penerbit Salim Nabhan yang berdiri pada tahun
1904 di Surabaya. Pada awalnya, sebelum mencetakan Al-Qur‟an
penerbit Salim Nabhan merupakan pemasok buku-buku
berbahasa Arab. Selanjutnya, usaha di bidang ini disusul oleh
penerbit Al-Ma‟arif Bandung yang didirikan pada tahun 1948.
38
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 35-36.
30
Selain mencetak Al-Qur‟an, mereka juga mencetak buku-buku
keagamaan yang banyak dipakai umat Islam.39
Pada tahun 1957, penerbit Menara Kudus (percetakan
tertua di Jawa Tengah) mencetak Al-Qur‟an Pojok atau Bahriyah
yang dikhususkan untuk para penghafal Al-Qur‟an. Kemudian
pada tahun 1974, Juz „Amma dicetak khusus untuk pembelajaran
Al-Qur‟an. Pada tahun-tahun berikutnya, pencetakan Al-Qur‟an
mulai berkembang pesat. Banyak penerbit yang bermunculan,
seperti: Penerbit Bina Progresif, berdiri tahun 1960. CV Mahkota
di Surabaya, CV Madu Jaya Makbul, dan lain-lain.Pada
perkembangan selanjutnya, muncullah upaya-upaya untuk
memelihara kemurnian dan kesucian Al-Qur‟an dari kesalahan
cetak, melalui tahap pemeriksaan yang dilakukan oleh Lajnah
Pentashih Mushaf Al-Qur‟an yang didirikan pada tanggal 01
Oktober 1959 berdasarkan Peraturan Menteri Muda Agama No.
11 tahun 195940
Untuk memperlancar tugas pentashihan, maka
Lajnah menerbitkan mushaf standar. Ada tiga jenis mushaf
standar yang secara resmi menjadi pedoman kerja bagi Lajnah,
yaitu:
1) Mushaf Al-Qur’an Standar Rasm ‘Utsmāni
Dilihat dari aspek penulisan, Mushaf Standar „Utsmāni
mengambil model dari Al-Qur‟an terbitan Departemen Agama
tahun 1960 yakni Mushaf Al-Qur‟an Bombay yang sekaligus
menjadi pedoman tanda baca. Rasm mushaf ini sesuai dengan
rumusan al-Suyuthi dalam al-Itqān fī „Ulūmil Qur‟ān.41
39
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 36. 40
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 37. 41
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2013), 92.
31
Ada 6 kaidah rumusan Mushaf Standar Utsmāni yaitu
membuang huruf (al-hafz), menambah huruf (al-Ziyadah),
penulisan hamzah (al-Hamz), menyambung dan memisah tulisan
(al-fashl wal washl), penggantian huruf (al-Badl), dan menulis
kalimat yang memiliki versi bacaan (qira‟ah) lebih dari satu sesuai
dengan salah satu darinya (ma fihi qira‟atani wa kutiba „ala
ihdahuma).42
Dari aspek harakat, Mushaf Standar Utsmāni Indonesia
mengacu pada hasil Muker II tahun 1976, yakni komparasi
bentuk-bentuk harakat dari berbagai negara dan memilih bentuk
yang sudah familiar dan diterima luas di Indonesia. bentuk harakat
tersebut berjumlah tujuh, di antaranya fathah, dhammah, Kasrah,
dan sukun yang ditulis apa adanya, fathatain, kasratain dan
dhammatain. Selain tujuh harakat tersebut, mushaf Standar
„Utsmāni memiliki dua bentuk harakat lagi yakni dhammah
terbalik dan fathah berdiri, kedua bentuk ini menunjukkan bacaan
yang panjang.43
Pola penulisan Mushaf Standar „Utsmāni ini sangat
berbeda dengan mushaf Timur Tengah pada umumnya, seperti
pada mushaf Saudi dan Mushaf Madinah contohnya. Di dalam
Mushaf Saudi, harakat tidak ditulis secara penuh, kemudin pada
mad thabī‟iy pun tidak diberi sukun. Selain itu, perbedaan yang
ditemukan pada mushaf Madinah, yakni pada penulisan lafzul-
jalalah. Di dalam Mushaf Madinah, lam kedua diberi harakat
42
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 92. 43
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 92-93,
32
fathah biasa, sedangkan di dalam Mushaf Standar„Utsmāni
Indonesia lam kedua diberi harakat fathah berdiri.44
Tidak hanya harakat, Mushaf Standar „Utsmāni juga
dilengkapi dengan tanda baca seperti idgam, Iqlab, bacaan mad
wajib, mad jaiz, dan bacaan mad selain mad tabi‟iy, saktah,
imalah, isymam dan tashil.
2) Mushaf Al-Qur’an Standar Bahriyyah
Mushaf Al-Qur‟an Standar Bahriyah mengacu pada
mushaf Bahriyah terbitan Turki. mushaf ini hanya mengikuti satu
dari enam kaidah Rasm „Utsmāni yang telah dijelaskan di atas,
yakni kaidah penggantian huruf yang disebut dengan badal.45
Oleh
sebab itu, rasm Mushaf Standar Bahriyah disebut sebagai rasm
„Utsmāni asasi, dan dapat dianggap sebagai perpaduan antara
rasm „Utsmāni dan imla‟i. Hal ini karena ada lafal-lafal tertentu
yang ditulis sesuai dengan rasm „Utsmāni dan tidak berbeda
dengan rasm„Utsmāni, dan di sisi lain beberapa lafal tertentu yang
ditulis sesuai rasm „imlai dan berbeda dari rasm imla‟i.46
Sedangkan pada aspek harakat, Mushaf Standar Bahriyah
dan Mushaf Standar „Utsmāni sama-sama menggunakan 9 harakat
sebagaimana yang telah disepakati oleh Muker II tahun 1976, agar
menggunakan harakat yang sudah familiar di kalangan
masyarakat.47
Selanjutnya, aspek tanda baca pada Mushaf Standar
Bahriyah menganut tanda baca yang sama dengan Mushaf Standar
44
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 92-93. 45
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 98. 46
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 99. 47
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 99.
33
„Utsmāni. Meskipun demikian, terdapat perbedaan di beberapa
tempat. Adapun tanda-tanda baca yang sama yaitu tanda baca mad
wajib, mad jaiz, saktah, imalah, isymam, dan tashil. Sedangkan
tanda-tanda baca yang berbeda yaitu pada bacaan idgham dan
iqlab.48
Pada bacaan idgam Mushaf Standar Bahriyah tidak
menggunakan tasydid, dan pada bacaan iqlab mushaf ini tidak
menggunakan mim kecil.
Pada aspek tanda waqaf tidak ada perbedaan, Mushaf
Standar Bahriyah dan Mushaf Standar „Utsmāni sama-sama
menggunakan tujuh tanda yang merupakan penyederhanaan dari
dua belas tanda waqaf yang terdapat dalam hasil Muker VI tahun
1980.49
3) Mushaf Standar Braille
Mushaf ini dibuat untuk penyandang tunanetra.50
Disusun
berdasarkan simbol Braille Arab yang telah digunakan dalam Al-
Qur‟an Braille terbitan Yordania, Mesir, Pakistan. Simbol Braille
tersebut juga telah berpijak pada putusan konferensi regional yang
diselenggarakan oleh UNESCO di Beirut, Lebanon pada tahun
1951.51
Mushaf Standar Braille ini memiliki beberapa karakteristik
yang berbeda dengan Al-Qur‟an Braile cetakan Yordania, Mesir
dan Pakistan, baik dari aspek rasm, tanda baca dan tanda waqaf.
Pada aspek rasm, Mushaf Standar Braille menggunakan rasm
usmani yang didasarkan pada hasil Muker Ulama III tahun 1977.
48
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 99. 49
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal , Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 100. 50
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 37 51
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 104.
34
Sedangkan Al-Qur‟an Braille cetakan Yordania, Mesir, dan
Pakistan masih menggunakan rasm imla‟i. Pada Aspek harakat
dan tanda baca, pada dasarnya mengikuti pola penulisan mushaf-
mushaf Al-Qur‟an Braille sebelumnya, seperti tanda baca syakl
(fathah, kasrah, dammah dan sukun) diletakkan setelah huruf,
bukan di atas atau di bawahnya seperti penulisan Al-Qur‟an awas
pada umumnya, kemudian tanda tasydid ditulis sebelum huruf
yang menyandangnya. Adapun terkait penandaan huruf mad, ada
sedikit kesamaan dengan mushaf Standar Bahriyah, yakni huruf
mad tidak membutuhkan tanda sukun.52
Mushaf Standar Braille juga telah menggunakan harakat
isybaiyyah, baik fathah, kasrah maupun dammah yang mengikuti
pola yang berlaku dalam Mushaf Standar„Utsmāni.53
Bila melihat tanda waqafnya, Mushaf Standar Braille
menggunakan tanda waqaf yang sama dengan tanda waqaf dalan
Mushaf Standar „Utsmāni. Namun ada beberapa perbedaan pada
tanda waqaf yang tersusun lebih dari satu simbol disederhanakan
menjadi satu simbol.54
c. Mushaf Cetakan Tahun 1984-2003.
Ada sekitar 6 mushaf yang dicetak di Indonesia dalam
rentang waktu 1984 sampai dengan tahun 2003, antara lain:
Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia 1973-1975, Mushaf Al-
Qur‟an Standar Indonesia (Bahriyyah) 1991, Mushaf Al-Qur‟an
Bombay terbitan PT Karya Toha Putra 2000, Mushaf Al-Qur‟an
52
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 100. 53
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal, Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia, 106. 54
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal , “Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia”, 107.
35
Karya Ustadz Rahmatullah 2000, Mushaf Al-Qur‟an karya
Safaruddin 2001, dan Qur‟an terbitan Karya Insan Indonesia,
Jakarta 2002.55
Sejak tahun 2000-an, terdapat beberapa penerbit seperti
Penerbit Mizan, Syamil, Serambi, Gema Insani Press, dan Pustaka
Al-Kautsar. Mereka pada mulanya adalah hanya menerbitkan
buku keagamaan, namun kemudian setelah sukses di bidangnya,
mereka mulai tertarik untuk menerbitkan mushaf Al-Qur‟an.
d. Mushaf Cetakan Tahun 2004-2010
Pada era ini, pencetakan mushaf Al-Qur‟an mengalami
perkembangan yang begitu pesat. Hal ini ditandai dengan
munculnya variasi tampilan mushaf Al-Qur‟an yang disesuaikan
dengan segmen pembacanya, seperti anak-anak, wanita, pengkaji
fiqh dan lain-lain.56
Era baru dalam produksi mushaf muncul sejak
awal dasawarsa 2000an, ketika teknologi komputer semakin maju.
Sejak saat itu banyak sekali penerbit memodifikasi kaligrafi
Mushaf Madinah yang ditulis oleh khattat Usman Thaha. Dan
yang pertama kali memodifikasi kaligrafi Mushaf Madinah adalah
penerbit Diponegoro Bandung.
Perkembangan selanjutnya adalah para penerbit berkreasi
dengan memberi warna khusus pada selain kata “Allah” atau
“rabb”, yakni pengeblokan pada ayat-ayat yang berisi doa, ayat
sajdah, dan ayat-ayat tentang perempuan. Hal ini seperti yang
dilakukan penerbit di Bandung, mengeblok ayat-ayat khusus
tentang perempuan dengan warna ungu, sementara penerbit
lainnya dengan warna merah. Bukan hanya itu, pewarnaan juga
55
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 37-38. 56
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 38.
36
dilakukan oleh para penerbit pada teks Al-Qur‟an yang
mengandung hukum tajwid dengan warna-warna tertentu,
memakai teknik blok, arsir, atau warna hurufnya sendiri. Dengan
melihat kode warna pada teks Al-Qur‟an, para pembaca Al-
Qur‟an yang awam ilmu tajwid dapat dengan mudah mengingat
hukum bacaan tajwid.57
Dalam hal tampilan kulit (cover) mushaf, para penerbit
mushaf era ini mengeksplorasi design dengan bentuk baru, ragam
hias dan komposisi baru, sehingga mengesankan suatu mushaf
dengan desain asing.58
Selanjutnya, para penerbit juga melakukan perubahan pada
tampilan mushaf Al-Qur‟an yang disertai terjemahan. Mereka
saling berlomba mengasah kreativitas baik dalam hal cover, isi,
maupun kelengkapan teks tambahannya. Kelengkapan teks
tambahan dalam Al-Qur‟an dan terjemahannya sangat bervariasi,
seperti daftar isi, index, pedoman transliterasi Arab-Latin,
petunjuk penggunaan, uraian makhraj huruf tajwid, ayat-ayat
sajdah, daftar surah dan juz, doa ma‟tsurat, terjemahan per kata,
dan lain-lain. Perkembangan ini juga kian mewarnai ke dunia
anak-anak, di mana para penerbit membuat Al-Qur‟an dan
terjemahannya dengan ilustrasi dan warna khas anak-anak,
misalnya bentuk balon, bulan sabit, bintang, awan, dan lain-lain.
Di antara penerbit yang memproduksi mushaf jenis ini adalah
Penerbit Mizan yang menerbitkan I Love My Qur‟an, sebuah edisi
Al-Qur‟an dan terjemahannya dalam satu set, dengan ilustrasi
yang unik dan lengkap untuk anak-anak. Bahkan baru beberapa
tahun belakangan ini terbit The Miracle: the Reference, terbitan
57
M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, 38. 58
Ali akbar, “Pencetakan Mushaf Al-Qur‟an di Indonesia”. Suhuf, vol. 4, no.2,
(2011), 28.
37
Syamil, yang dilengkapi dengan audio-pen yang bila disentuhkan
ke ayat atau kata Al-Qur‟an yang diinginkan, maka pen tersebut
akan mengeluarkan suara rekaman.
3. Mushaf Digital
Mushaf digital dikembangkan seiring dengan meningkatnya
teknologi IT. Mushaf digital ini dikemas dalam bentuk visual dan
audio atau audio-visual. Bentuk audio-visual biasanya disalin dengan
khat yang indah dan dihiasi iluminasi yang indah pula dan menarik
dilihat. Ada tiga bentuk Al-Qur‟an digital, di antaranya:
a) Al-Qur’an Digital
Salah satu Al-Qur‟an digital adalah Mushaf Madinah
Digital (MMD). Software Al-Qur‟an ini dibuat secara resmi
dibawah lisensi Majma‟ Malik Fahd li Thiba‟ah al Mushaf al
Syarif. Mushaf ini dapat diunduh melalui situs resminya
www.qurancomplex.org.
Selain itu, ada pula Al-Qur‟an portable yang dimasukkan
ke dalam sebuah alat. Al-Qur‟an model ini contohnya adalah
Enmac dan Khaleefa yang paling populer di Malaysia. Kelebihan
dari Al-Qur‟an ini adalah praktis dan multi fungsi seperti adanya
tampilan ebook reader, petunjuk arah kiblat, alarm dan
sebagainya.
b) Audio Al-Qur’an
Audio Al-Qur‟an ini bentuknya bermacam-macam, seperti
bentuk CD, kaset, file dalam bentuk MP3 yang bisa diputar di
komputer, PDA, atau gadget lainnya. Salah satu contoh dari audio
Al-Qur‟an ini adalah Al-Qur‟an anak-anak yang dikemas dalam
bentuk DVD dan MP3. Kemudian kini juga telah hadir Hafiz dan
Hafizah Doll, yaitu sebuah produk terbaru dari Al-Qolam yang
38
memakai teknologi tinggi yang berisi banyak sekali audio edukasi
seperti murottal 30 Juz, do‟a-do‟a harian, kisah-kisah Nabi dan
Rasul, dan sebagainya.
c) Al-Qur’an in-microsoft
Al-Qur‟an jenis ini dimasukkan ke dalam software komputer,
dapat digunakan untuk mengutip ayat dan terjemah Al-Qur‟an ke
dalam sebuah tulisan. Cara menggunakannya: klik Add-ins Al-
Qur‟an get all/ayat/terjemah, maka secara otomatis ayat atau
terjemah akan muncul ke dalam tulisan.
D. Pengertian Iluminasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), iluminasi berarti
penerangan ( dengan sinar matahari atau sinar buatan).59
Mengenai asal
katanya, Iluminasi berasal dari bahasa latin yaitu illuminare yang artinya
untuk mencerahkan atau menggambar baik dengan bermacam warna,
huruf awal, maupun beberapa gambar pada naskah.60
Adapula yang
menyebutkan bahwa iluminasi dari kata illuminate, yaitu to make
something clearer or ersier to understand, atau to decorate something with
light. Menurut Gallop dan Arps, padanan kata iluminasi dalam bahasa
Indonesia adalah seni sungging61
, sementara di Yogyakarta disebut
renggan wardana.62
Iluminasi memiliki banyak makna, di antaranya adalah :
59 Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 562. 60
Arifin Setya Budi, “Iluminasi Naskah Jawa Kuno: Kajian Estetik Simbolik
Ragam Hias Pada Serat Pakuwon.” Skripsi S1 Universitas Negeri Semarang, 2016, 11. 61 Sungging adalah teknik mewarnai gambar dengan cara ditumpang dari satu
warna ke warna lainnya yang lebih muda, setahap demi setahap. 62
Achmad Opan Safari, “Iluminasi dalam Naskah Cirebon”. Suhuf , vol. 3. No.
2, (2010), 309.
39
a. Iluminasi adalah seni memperindah buku atau manuskrip dengan
lukisan; atau huruf berornamen dan bentuk-bentuk geometris, dengan
emas dan warna-warna, terutama pada bagian tepi halaman.63
b. Iluminasi adalah garapan visual yang bersifat dekoratif yang
terdapat pada naskah yang berfungsi sebagai penghias, memperindah
bagian tertentu, terutama pada halaman depan naskah.
c. Iluminasi merupakan salah satu bentuk ragam hias dengan beragam
bentuk ornamen dan ilustrasi yang menggunakan warna emas dan
perak serta warna lainnya yang berfungsi untuk memperindah
tampilan halaman naskah yang berasal dari tradisi Barat.
d. Iluminasi merupakan elemen estetik pada naskah yang tidak hanya
sekedar menghias naskah, namun umumnya memiliki simbol
identitas yang merupakan cerminan dari daerah tempat iluminasi
dibuat.64
Iluminasi dalam sebuah naskah memiliki kedudukan yang sangat
penting, iluminasi menjadi media estetika dan sarana eksplanasi bagi teks
yang terdapat dalam naskah. Selain itu iluminasi juga dapat membantu
memperjelas asal suatu naskah, karena motif setiap daerah memiliki ciri
masing-masing, serta iluminasi dapat menentukan kapan suatu naskah
ditulis atau disalin, sebab seniman-seminan pembuat iluminasi merupakan
saksi zaman.65
63
Arifin Setya Budi, “Iluminasi Naskah Jawa Kuno: Kajian Estetik Simbolik
Ragam Hias Pada Serat Pakuwon”, 9. 64
Arifin Setya Budi, “ Iluminasi Naskah Jawa Kuno: Kajian Estetik Simbolik
Ragam Hias Pada Serat Pakuwon”, 12. 65 Achmad Opan Safari, “Iluminasi dalam Naskah Cirebon”, 310.
40
E. Mushaf Al-Qur’an Beriluminasi di Indonesia
Mushaf-mushaf di Indonesia memiliki pola pokok dan ragam hias
iluminasi yang sangat beragam yang dipengaruhi oleh kekayaan ragam
hias masing-masing wilayah budaya.66
Setiap iluminasi maupun dekorasi dan hiasan-hiasan yang terdapat
pada mushaf Al-Qur‟an memiliki nilai filosofis. Salah satu ciri khas
iluminasi mushaf Indonesia adalah corak floral, tumbuh-tumbuhan, dan
khas kedaerahan yang muncul pada setiap mushaf.67
Berikut ini adalah
beberapa contoh mushaf kuno dan kontemporer Indonesia yang memiliki
iluminasi indah, antara lain:
1. Mushaf Lalino Bima
Mushaf Lalino Bima merupakan mushaf wakaf dari keluarga
Kesultanan Bima Nusa Tenggara Barat (NTB). Mushaf ini lengkap 30
juz dan kondisinya masih baik. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa
dengan tanda air JOHN HAYES 1815. Sistem penulisan mushaf ini
menggunakan sistem pojok.
Hiasan mushaf ini terdapat pada tiga tempat, seperti Ummul
Qur‟an, Nisful Qur‟an, dan Khatmul Qur‟an. Pola dasar hiasan tersebut
berupa dua buah bingkai berhias yang diletakkan berhadapan pada
halaman kanan dan kiri. Bagian luar bingkai ini dihiasi dengan motif
lengkungan berhias, dengan rangkaian ombak-ombak dan dedaunan
yang kecil dengan warna merah, kuning, hijau, emas, dan hitam.68
2. Mushaf Sarung Batik Cirebon
Mushaf Sarung Batik Cirebon berasal dari Kesultanan Cirebon
Jawa Barat. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa yang memiliki
66
Fadhal AR Bafadal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno Indonesia, xi.? 67
Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur‟an Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya
Lokal nusantara”, 193. 68
Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf Kuno”, Jurnal Lektur Keagamaan, vol
5, no I, 2007, 44-45
41
watermark Pro Patria, kondisinya masih lengkap 30 juz dan dijilid
ulang. Sistem Penulisan mushaf ini mengalir apa adanya, akhir
halaman tidak mesti diakhiri dengan akhir ayat. Pada bagian verso dari
setiap folio terdapat kata alihan.69
Hiasan mushaf ini terdapat pada Ummul Qur‟an, Nisful
Qur‟an, dan khatmul Qur‟an. Mushaf ini tergolong unik karena pada
bagian tengahnya (Nisful Qur‟an) menyerupai gambar mata tetapi
diletakkan secara vertikal. Pola mata tersebut mengelilingi sebuah
lingkaran, dan lingkaran tersebut mengelilingi bidak teks ayar
layakanya bagian hitam mata. Di luar pola mata ini terdapat ruang
kosong yang juga berbentuk oval vertikal. Di keempat pojok halaman
terdapat hiasan berbentuk segitiga dengan cekungan pada garis
bawahnya dan diletakkan di masing-masing sudut yang membentuk
ruang kosong berbentuk oval tersebut. Fungsi hiasan yang demikian
diduga melambangkan bahwa Allah Maha Melihat, bahkan sampai hal-
hal paling dalam, yaitu bagian tengah, dan hiasan ini terdapat dibagian
tengah tersebut.
Sedangkan hiasan pada awal dan akhir mushaf memiliki pola
yang sama, yaitu berupa dua buah bingkai berhias yang diletakkan
secara berhadapan pada halaman kanan dan kiri. Bingkai teks tersebut
berupa kotak tebal yang berisi hiasan motif tumbuhan, dan di ketiga
sisinya terdapat sayap seperti kubah masjid, yang juga berisi hiasan
dan bentuk setengah lingkaran bermotif tumbuhan.
3. Mushaf Solo
Mushaf ini berasal dari Solo, kondisinya masih lengkap 30 juz.
Mushaf ini ditulis di atas kertas dulang, tetapi tidak ada kolofon.
Sistem penulisan mushaf ini ditulis apa adanya. Kata alihan terdapat
69
Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf Kuno”, 45.
42
pada setiap akhir kuras. Pada permulaan surat al-Taubah tidak terdapat
basmalah, tetapi terdapat ta‟awwuz.70
Hiasan mushaf ini hanya terdapat pada Ummul Qur‟an, dan
hiasannya agak sederhana memenuhi seluruh halaman.
4. Mushaf Kauman Timur
Mushaf ini berasal dari Kauman Timur Kotamadya Semarang,
kondisinya lengkap 30 juz, ditulis di atas kertas Eropa dengan
watermark Pro Patria dan coutermark Paknekoek. Sistem penulisan
teks ayat apa adanya. Kata alihan terdapat pada halaman verso dari
setiap folio.71
Hiasan pada mushaf ini hanya terdapat pada ummul Qur‟an,
diletakkan berhadapan dengan masing-masing halaman memiliki pola
yang sama. Desain hiasan pada masing-masing halaman berupa
bingkai tebal berhias pola dedaunan yang membingkai teks ayat. Pada
bagian atas dan bawah bingkai tersebut terdapat pola segitiga dengan
garis tebal warna emas dan biru, demikian juga di bagian sampingnya.
Pola segitiga tersebut mengarah keluar.
5. Mushaf Pandeglang
Mushaf ini berasal dari Kampung Maluku Labuan Pandeglang
Banten. kondisi mushaf tidak lengkap, tapi sudah dikonservasi. Mushaf
ini ditulis di atas kertas Eropa dengan watermark Pro Patria. Pada
mushaf ini terdapat penjelasan qiraat lain dan juga terdapat judul lari di
sebelah kanan atas pada setiap halaman verso, berupa awal juz dan
nama surah, dan di sebelah kiri bawah pada halaman yang sama
terdapat kata alihan juga dengan tinta hitam dan khat naskhi.72
Hiasan pada mushaf ini hanya terdapat pada bagian akhir Al-
Qur‟an (khatmul Qur‟an), berupa bingkai berhias yang diletakkan
70
Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf Kuno”, 45 71
Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf Kuno”, 45. 72
Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf Kuno”, 46.
43
secara berhadapan. Bagian bingkai tersebut diisi dengan motif
tumbuhan berupa daun dan bunga dengan warna merah hitam dan
emas (warna emas terlihat memudar).
6. Mushaf Cipete
Mushaf Cipete diperoleh dari Cipete Utara Jakarta. Mushaf ini
ditulis di atas kertas dulang dengan sampul dari kulit beriluminasi.
Kondisinya masih baik dan lengkap 30 juz. Sistem penulisan mushaf
ini menggunakan sistem pojok. Kata alihan hanya terdapat pada setiap
akhir juz dengan khat naskhi warna hitam.73
Iluminasi pada kulit sampul mushaf ini terletak di bagian
tengah berbentuk oval vertikal dengan bagian atas bawahnya
meruncing, dan pinggirnya bermotif ujung daun. Bagian pinggirnya
dihias dengan lima buah bingkai. Motif bingkai ini terdiri dari bagian
luar yang berbentuk garis-garis empat lajur, jalinan garis-garis meliuk
seperti tambang. Kemudian ada juga pola segitiga yang diletakkan
bulak-balik berselang seling, bagian satu diisi hiasan bunga, dan
bagian lainnya dihias pola garis dirangkai secara selang-seling
membentuk bingkai. Pada keempat sudut bingkai paling dalam
terdapat hiasan bermotif bungga dan dedaunan yang menghadap ke
dalam.
7. Mushaf Istiqlal
Mushaf Istiqlal ditulis pada Oktober 1991 dan diluncurkan
pada September 1995. Peresmiannya ditandatangani oleh Presiden
Soeharto. Sebelum diresmikan mushaf ini telah ditashih oleh Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an (LPMQ), selesai pada 6 Juni 1995.74
73
Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf Kuno”, 46. 74
Ali Akbar, “Mushaf Istiqlal, 1995”, diakses 28 Mei 2020, http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/05-mushaf.
44
Mushaf Istiqlal ditulis oleh para khattat dan para pakar desain
grafis dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Penulisannya
menggunakan kaidah rasm usmani dengan gaya khat naskhi. Mushaf
ini memiliki ciri khas pada iluminasinya yang berbeda dengan mushaf
indah lainnya, antara lain seluruh halamannya dihiasi oleh beragam
iluminasi yang diinspirasi dari ragam hias seluruh provinsi, dan
didukung oleh 45 wilayah budaya Indonesia. Setiap 22 halaman,
iluminasi berganti dari satu wilayah budaya ke budaya wilayah
lainnya. kemudian, terdapat iluminasi Nusantara yang dirancang
khusus dan diletakkan hanya untuk surat al-Fatihah, tengah mushaf
(nishful Qur‟an), dan akhir mushaf (khatmul Qur‟an).
Sistem penulisan mushaf Istiqlal menganut kaidah “golden
setion” yaitu tata letak yang serasi, indah di pandang, dan tidak
membuat penat mata pembacanya.
8. Mushaf Sundawi
Mushaf Sundawi adalah mushaf yang diprakarsai oleh
Gubernur Jawa Barat. Penulisan mushaf ini secara resmi dimulai pada
Desember 1995 dan selesai pada Januari 1997.75
Istilah Sundawi yang disematkan pada nama mushaf ini
berkaitan dengan konsep desain dan tatanan iluminasi yang diterapkan
pada setiap halaman mushaf. Desain yang digunakan dalam mushaf ini
bersumber atau mengacu pada dua hal yaitu motif islami Jawa Barat,
seperti memolo Masjid, motif batik, ukiran mimbar, dan artefak
lainnya; dan motif flora tertentu khas Jawa Barat, seperti gandaria dan
Patrakomala.
75
Billy Muhammad Rodibillah, dkk. “Sejarah Penulisan Al-Qur‟an Mushaf
Sundawi di Bandung Tahun 1995-1997”. Historia Madania, 48.
45
9. Mushaf Al-Tin
Mushaf Al-Tin dibuat untuk menghormati dan mengenang jasa
almarhumah Ibu Hj. Fatimah Siti Hartinah. Mushaf ini memiliki ciri-
ciri yang berkualitas di antaranya, benar (shahih dan mudah dibaca),
memiliki nilai seni yang tinggi, menunjukkan ciri kebangsaan dan ciri
has untuk mengenang almarhumah Hj. Fatimah Siti Hartinah, serta
menunjukkan citra dan aspirasi Ibu terhadap agama,bangsa dan tanah
air. 76
Selain itu, mushaf ini juga memiliki iluminasi yang khas dan
gaya kaligrafinya yang relatif agak gemuk. Rancangan seni
iluminasinya berdasar kepada wawasan intelektual dan citra estetik
dari almarhumah Hj. Fatimah Siti Hartinah.77
10. Mushaf Jakarta
Mushaf Jakarta, secara resmi mulai ditulis pada tanggal 30
Desember 1999 dan selesai tanggal 22 Desember 2000. Peresmian
ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Iluminasi mushaf
ini terdapat hampir di seluruh halaman mushaf. Terdapat perbedaan
iluminasi pada beberapa bagian mushaf, seperti halaman sampul, awal
mushaf (surat Al-Fatihah dan awal surat Al-Baqarah), iluminasi
tengah mushaf.78
11. Mushaf Kalimantan Barat
Mushaf Kalimantan Barat adalah mushaf Al-Qur‟an yang
diprakarsai oleh Gubernur Kalimantan Barat yaitu H. Asfar Aswin,
ditulis mulai pada Juni 2001 dan selesai pada Oktober 2002. Mushaf
76
Mahmud Buchari, dkk. Al-Qur‟an Manuskrip Mushaf Untuk mengenang
Almh. Ibunda Hjh. Fatimah Siti Hartinah Soeharto. (Jakarta: Kharisma, 1999), 9. 77
Mahmud Buchari, dkk. Al-Qur‟an Manuskrip Mushaf Untuk mengenang
Almh. Ibunda Hjh. Fatimah Siti Hartinah Soeharto, 10. 78 Ali Akbar, “Mushaf Jakarta”, diakses 28 Mei 2020, http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/05-mushaf.
46
ini memiliki ciri khas pada ragam hias khasnya yang menggambarkan
khazanah Kalimantan Barat. Ragam hias Kalimantan Barat tersebut
terdapat pada seluruh permukaan halaman Al-Qur‟an dengan warna
lembut kebiruan. Tanda-tanda yang ada pada mushaf ini berbeda
dengan mushaf indah lainnya, seperti tanda juz dan ruku‟ di pinggir
halaman berada di dalam bingkai iluminasi, dipisahkan dengan garis
vertikal.79
12. Mushaf Al-Bantani
Mushaf Al-Bantani adalah mushaf yang diprakarsai oleh MUI
Provinsi Banten. Secara simbolik, penulisan perdananya diresmikan
pada tanggal 02 Februari 2008. Sementara penulisannya sendiri ditulis
mulai bulan Maret 2010 dan selesai Juli 2010, selanjutnya mushaf ini
dilauncing pada 04 Agustus 2010 bertepatan dengan hari ulang tahun
Provinsi Banten ke-10. Mushaf ini memiliki ciri khas pada
iluminasinya yang indah dan berbeda-beda berjumlah 30 buah, sesuai
dengan jumlah juz dalam Al-Qur‟an. Ketigapuluh buah iluminasi
tersebut diadopsi dari arkeologi Islam dan naskah kuno Banten
peninggalan kesultanan Banten. Mushaf ini dicetak dalam jumlah
banyak dan didistribusikan khusus untuk masyarakat muslim Banten.
13. Mushaf Keraton Yogyakarta
Mushaf Keraton Yogyakarta dibuat dalam rangka upaya
pelestarian penyalinan Al-Qur‟an di Istana Keraton Yogyakarta.
Mushaf ini secara resmi ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono
X dan diterbitkan pada tahun 2011.80
Kaligrafi dalam mushaf ini dimodifikasi dari Mushaf Madinah
karya Usman Toha. Mushaf ini didominasi warna merah, kuning,
79
Ali Akbar, “Mushaf Kalimantan Barat”, diakses 28 Mei 2020, http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/05-mushaf. 80
Ali Akbar, “Mushaf Keraton Yogyakarta”, diakses 28 Mei 2020, http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/09-mushaf.
47
hijau, dan biru yang membentuk hiasan tumbuhan, daun dan bunga.
Adapun model iluminasinya mengacu kepada iluminasi yang terdapat
pada mushaf “Kanjeng Kiai Qur‟an” yang merupakan mushaf pusaka
kesultanan, dan juga mengacu pada beberapa iluminasi dari manuskrip
warisan keraton.
48
49
BAB III
MUSHAF AL-QUR’AN AL-BANTANI: INISIASI, KONSEPSI,
PEMBUATAN DESAIN ILUMINASI, PENULISAN DAN DISTRIBUSI
Pada bab ini penulis akan membahas tentang inisiasi dan konsepsi
pembuatan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, deskripsi tentang Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani, kemudian menjelaskan tentang proses pembuatan desain
dan iluminasi, proses penulisan kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani,
pencetakan serta distribusi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
A. Inisiasi, Penulisan Kaligrafi dan Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Al-
Bantani
1. Inisiasi Penulisan Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani
Gagasan penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani untuk pertama kali
terjadi pada tahun 2007. Menurut Syibli Sarjaya, ketua tim penulisan Mushaf
Al-Qur‟an Al-Bantani, latar belakang adanya penulisan Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani adalah bentuk respon terhadap munculnya mushaf-mushaf
beriluminasi indah terbitan beberapa lembaga pemerintah pada abad 21,
seperti Mushaf Istiqlal Jakarta yang diprakarsai oleh Presiden Soeharto,
Mushaf Al-Tin yang diprakarsai oleh Presiden Soeharto, Mushaf Sundawi
diprakarsai oleh Gubernur Jawa Barat, dan sebagainya.1 Oleh karena itu,
masyarakat Islam Banten memandang penting untuk menerbitkan pula
sebuah mushaf dengan iluminasinya yang berbeda dan khas yang diadopsi
dari peninggalan budaya Banten.
Gagasan ini kemudian dikembangkan pada tahun 2008 dalam bentuk
perencanaan dan pencanangan pembuatan mushaf yang berasal dari putra
1Wawancara dengan ketua tim penulisan Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani, Syibli
Syarjaya, pada 12 Juni 2020.
50
daerah Banten sendiri. Hal ini sejalan dengan keinginan Gubernur Banten,
Ratu Atut Chosiyah, untuk menjadikan Banten sebagai tempat destinasi Islam
yang memiliki kebudayaan dan peradaban yang tinggi dan maju. Dengan
adanya gagasan perencanaan penulisan mushaf ini diharapkan budaya baca
dan melek huruf Al-Qur‟an di kalangan warga Banten menjadi lebih banyak
dan berkembang.
Fakta lain seputar penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, seperti
yang diungkapkan Tubagus Najib, adalah bahwa sebelum dilakukan proses
penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, terlebih dahulu dilakukan
penelitian oleh tim peneliti yang telah ditunjuk oleh MUI Provinsi Banten
pada naskah kuno dan artefak Islam Banten guna menghasilkan ragam hias
iluminasi dan kaligrafi yang akan diaplikasikan pada naskah Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani. Penelitian tersebut berlangsung pada tahun 2009, selama
kurang lebih 6 bulan2 dan lokasinya di Jakarta, Perpustakaan Nasional; dan
Banten, meliputi kota Tangerang, Serang, Pandeglang, dan Lebak; serta di
Krui, Lampung Barat. Setelah selesai penelitian, dilanjutkan dengan
penulisannya.3
Latar belakang dari penelitian iluminasi mushaf ini berangkat dari
pengajuan proyek yang diterima oleh Gubernur Banten dari seorang tokoh
dari Bandung, bernama Mahmudin untuk pembuatan mushaf Al-Qur‟an
beriluminasi. Iluminasi untuk pembuatan mushaf tersebut diklaim berasal
dari Banten. Gubernur berkonsultasi mengenai proyek tersebut kepada ketua
MUI Provinsi Banten. Sebab ketidakpahamannya mengenai iluminasi
tersebut, kemudian MUI Provinsi Banten berkonsultasi dengan Tubagus
Najib guna memverifikasi kebenaran asal iluminasi tersebut. Tubagus Najib
2Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, vi. 3Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 1.
51
menyarankan agar yang mengajukan proyek tersebut mempresentasikan
iluminasi yang diklaim dari Banten pada sebuah pertemuan ilmiah
Menindaklanjuti saran Tubagus Najib, maka kemudian diadakanlah
pertemuan ilmiah di UIN (dulu masih IAIN) Banten, dan hasil presentasi
iluminasi oleh Mahmudin ditanggapi dan dikritik oleh Tubagus Najib yang
berkesimpulan bahwa iluminasi tersebut bukan asli Banten. Dari tawaran
proyek Mahmudin tersebut muncullah inisiatif dari MUI Banten untuk
melakukan sebuah penelitian iluminasi pada arkeologi Islam peninggalan
Banten, yang kemudian menghasilkan iluminasi baru untuk diaplikasikan
dalam pembuatan naskah Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
Gagasan masyarakat Islam untuk rencana penyusunan naskah
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani ini disampaikan pada pertemuan Majelis
Ulama di Banten, hingga kemudian mendapat respon baik dari para tokoh
yang hadir dalam acara tersebut. Gagasan tersebut penting dan perlu dalam
usaha untuk memiliki mushaf yang khas berasal dari Banten.4 Gagasan
tersebut kemudian mengerucut menjadi inisiatif konkrit yang diambil oleh
MUI Banten. Guna mendapat dukungan dari Gubernur, pada bulan Oktober
2007 MUI Provinsi Banten menghadap Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono saat melakukan safari ramadhan pada acara Nuzul Al-Quran di
Kabupaten Serang. Presiden kemudian akhirnya mendorong Gubernur
Banten untuk menyetujui rencana penulisan naskah Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani. Setelah itu, MUI Provinsi Banten langsung menindaklanjutinya
dengan menyusun langkah kerja, pembagian tugas dan juga tahapan-tahapan
yang dilalui dalam penyusunan naskah Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.5
4Wawancara dengan ketua tim penulisan Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani, Syibli
Syarjaya, pada 12 Juni 2020. 5Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, v.
52
Dalam upaya mewujudkan perencanaan penulisan Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani, Dewan Pimpinan MUI Provinsi Banten membentuk tim penulis
yang terdiri dari para kaligrafer handal dari berbagai wilayah Banten yang
telah memenuhi beberapa kriteria. Berikut ini kriteria tim penulis yang
direkrut oleh MUI Provinsi Banten: a. putera daerah atau mereka yang
berdomisili di Banten, maupun mereka yang pernah mengharumkan nama
Banten dalam berbagai event kompetisi kaligrafi tingkat Nasional maupun
Internasional; b. pernah menjuarai kompetisi kaligrafi, serendah-rendahnya
tingkat Kabupaten/Kota; c. memiliki komitmen pengabdian dan bersedia
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.6
Salah seorang akademisi putra Banten yang kompeten dalam bidang
seni kaligrafi di Indonesia, yaitu Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H.,
M.A. ditunjuk oleh MUI Provinsi Banten sebagai koordinator pelaksanaan
harian dalam penulisan naskah Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, dan sembilan
orang kaligrafer dengan reputasi beragam dari tingkat regional hingga
Internasional terpilih sebagai tim penulis. Kesepuluh kaligrafer tersebut
adalah Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H., M.A. (koordinator), H.
Mahmud Arham, H. Isep Misbah, S. Ag, H. Arif Hamdani, Hj. Yeni Solihah,
S. Ag, Abdul Kholik, Nurkholis, Ahmad Mukhozin, Muhammad Martnus,
S.S. Mereka merupakan representasi seluruh Kabupaten atau Kota di Provinsi
Banten.7
Tidak hanya peran serta para kaligrafer, kegiatan penulisan Mushaf
Al-Qur‟an Al-Bantani juga melibatkan tim ahli lainnya yang terdiri dari para
ahli seni rupa dari Insitut Teknologi Bandung (ITB) , desainer iluminasi, ahli
6Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 82-83. 7Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 82.
53
komputer, fotografer, dan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an (LPMQ)
Kementerian Agama RI, serta Lembaga Percetakan Al-Qur‟an (LPQ) Bogor.
Tim penyusun Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani diketuai oleh Prof. Dr.
H. E. Syibli Syarjaya, LML, dengan wakil Drs. H. Zainal Mutaqin, S.P.,
M.M. Sedangkan sekretaris adalah Drs. H. Rodani, M.Si., dan bendahara
adalah Drs. H. Suhendi. Adapun anggotanya adalah K.H. Mas‟ud, K.H. A.
Saepuddin Hasan, K.H. A. Wahid Sahari, M.A, K.H. Syatibi Sanwani, K.H.
Asymuni M. Noor, K.H. E. Mulya Syarif, K.H. A. Maemun Alie, M.A. Tim
peneliti untuk desain iluminasi terdiri atas Prof. Dr. H. A. Tihami, M.A.,
M.M (ketua), H. Tubagus Najib, Dr. Mufti Ali, Drs. H. Ali Akbar, M. Hum,
Hudaeri, M. Ag.8
2. Proses Penulisan Kaligrafi Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani
Dalam penulisan kaligrafi, tim penulis (kaligrafer) bekerja
berdasarkan tugas dan fungsi yang berbeda-beda, namun dilakukan secara
fleksibel. Kegiatan penulisan kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, terdiri
dari:9
Pertama, membuat sket huruf atau pola tulisan, termasuk juga
membuat garis dasar dengan menggunakan pensil secara manual. Hal ini
penting dilakukan untuk meminimalisasi keragaman gaya dan anatomi huruf.
Pembuatan sketsa ini dilakukan oleh dua orang anggota tim yang memiliki
kemiripan karakter.
Kedua, menghitamkan sket atau pola huruf yang telah dibuat dengan
menggunakan pena dan tinta hitam. Dalam hal ini kaligrafer menggores huruf
per huruf.
8Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 113-114. 9Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 81-82.
54
Ketiga, memberikan sentuhan akhir, kelengkapan huruf, menghapus
sket pensil, memastikan naskah bersih dan sebagainya. Langkah ini
dilakukan untuk menyempurnakan naskah yang telah dihitamkan, di samping
untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan. 10
Keempat, mengevaluasi dan mengoreksi naskah yang telah selesai
ditulis. Pada praktiknya kegiatan ini bisa dilakukan oleh semua anggota tim.
Langkah ini penting dilakukan guna mengantisipasi banyaknya kesalahan
tulis sebelum diajukan ke pihak Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an
Kementerian Agama RI.
Material yang digunakan dalam penulisan mushaf ini, antara lain:11
1. Kertas impor merk “Felind D‟ Arches” 300 gram buatan Prancis dan
“Qonqueror” 300 gram buatan Inggris. Kertas manuskrip tersebut
berukuran 50 cm x 70 cm dengan ruang tulis ukuran 33 cm x 58 cm.
2. Tinta yang digunakan yaitu tinta hitam merk “Winsor dan Newton”,
Black Indian Ink buatan Inggris. Penulisan menghabiskan sekitar 23
botol ukuran 30 ml.
3. Alat tulis yang digunakan terdiri dari pena yang dibuat dari batang
pohon handam, dan juga alat lainnya yang modern seperti pensil,
penghapus, penggaris, jangka, tisu pembersih, kertas kalkir, dan
sebagainya.
Setelah khat selesai ditulis seluruhnya secara manual, tahap berikutnya
adalah editing, yaitu proses digitalisasi khat yang pada mulanya ditulis secara
manual, selanjutnya dibuat menjadi data berbentuk file digital yang
digunakan untuk pracetak dan cetak. Kegiatannya meliputi:
a. Scanning 600 dpi per halaman
10
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 83. 11
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 84.
55
b. Retouch, touch up hasil scan 300 dpi per halaman
c. Koreksi perbagian huruf dan kualitas soft copy yang disiapkan
dalam file psd (adobe Photoshop CS3)
d. Filling secara berurutan setiap ayat, selanjutnya siap install.12
Tahap berikutnya adalah installing khat dalam iluminasi, yaitu
pemasangan khat dalam desain iluminasi, pelengkapan dengan
pemasangan tanda-tanda ayat, nomor ayat, nomor halaman, dan
sebagainya. Tahapan-tahapnnya meliputi:
a. Menempelkan khat yang telah digitalisasi pada frame iluminasi
b. Pemasangan tanda-tanda ayat, nomor-nomor ayat, nomor halaman,
dan sebagainya :
- Nomor ayat
- Nomor halaman
- Tanda „ain
- Saktah
- Waqaf lazim
- Sajdah
- Manzil
- Hizb penuh, ½, ¼, ¾
- Tanda juz, dan lain-lain
c. Koreksi per bagian setiap huruf dan desain iluminasi huruf dan
kualitas soft copy yang disiapkan dalam file adobe Photoshop CS3
d. Filling secara berurutan setiap ayat, selanjutnya siap menjadi file
dasar yang siap dicetak.13
12
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 89. 13
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 90.
56
Setelah itu, dilanjutkan dengan proses duplikat atau produksi yaitu
proses penulisan lengkap berdasarkan ketentuan yang telah ditentukan,
terpola dan terjadwal serta dilengkapi dengan pengawasan atau koreksi dari
pihak intern maupun ekstern (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an
Kemenag RI). Sementara di bidang iluminasi, pembuatan master desain
merupakan tujuan berdasarkan konsep yang telah digariskan.14
Apabila kedua pokok pekerjaan telah selesai, maka secara estafet akan
memasuki tahap pencetakan. Kedua sumber pokok tersebut digabung dengan
teknologi komputer, melalui proses pendahuluan seperti scanning, editing,
separasi warna, pembuatan proof komputer, proof film, pembuatan plate,
pencetakan dan penjilidan. Seluruh proses diawasi dan dikoreksi ketat oleh
pihak kaligrafer, iluminator, lajnah pentashihahn, maupun dari pihak
percetakan.
3. Proses Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani
Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, dalam teknisnya terbagi
ke dalam dua tahap, yaitu tashih intern15
yang dilakukan oleh tim kaligrafi
dan iluminator; dan tashih ekstern dilakukan oleh Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur‟an Kementerian Agama RI. Proses tashih intern khususnya
oleh tim kaligrafi dilakukan setelah penulisan naskah Al-Qur‟an secara
manual selesai. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi banyaknya kesalahan
tulis sebelum diajukan ke pihak Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an
(LPMQ) Kementerian Agama RI. 16
Setelah semua halaman ditashih secara intern oleh tim kaligrafi, dan
iluminasinya telah digubah oleh tim desain dan iluminasi, dilanjutkan dengan
14
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 88. 15
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 88. 16
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 84.
57
pentashihan oleh pihak Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Kementerian
Agama (LPMQ) RI.
Fahrur Rozi menyatakan bahwa Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
cetakan awal telah ditashih oleh 25 orang anggota tim pentashih lebih dari
seratus kali. Proses pentashihan pada tulisan mushaf yang baru ini prosesnya
cukup lama hingga menghabiskan waktu hampir satu tahun.17
Sedangkan
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani cetakan 2014 versi terjemah telah ditashih
sebanyak tujuh tahapan.18
Pada praktiknya, pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
dilakukan dengan dua model yaitu pertama: pentashihan dilakukan oleh
seluruh anggota tim lajnah secara bergantian dan berulang-ulang, di mana
setiap halaman Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani yang ditashih, salah seorang
membaca Mushaf Standar Indonesia sebagai pedoman tashih dan yang
lainnya mencocokkan dengan ayat Al-Qur‟an yang terdapat pada Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani yang ditashih. Setiap anggota yang telah selesai
mentashih akan memberikan paraf sebagai tanda telah melaksanakan
pentashihan. Dan model kedua, yaitu tashih dilakukan secara mandiri, di
mana setiap masing-masing anggota pentashih membaca setiap halaman Al-
Qur‟an yang ditashih dengan mencocokkan sendiri dengan Al-Qur‟an
Mushaf Standar. Model ini dilakukan agar lebih hemat waktu dan tenaga.19
17
Wawancara dengan anggota tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an
Kementerian Agama RI, Fahrur Rozi, pada 14 Juni 2020. 18
Lihat Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani cetakan 2014 versi terjemah 19
Wawancara dengan anggota tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an
Kementerian Agama RI, Fahrur Rozi, pada 14 Juni 2020.
58
B. Konsepsi Pembuatan Mushaf Al-Qur’an
Secara konsepsional, pembuatan mushaf Al-Qur‟an sejatinya
berlandaskan pada tiga, antara lain:20
a. Landasan etis, yang berarti bahwa etika dalam seni Islam berpedoman
kepada ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadis. Secara visual, seni rupa Islam
melambangkan kesinambungan, konsistensi, keragaman, dan lain-lain
yang dilambangkan oleh berbagai macam bentuk tumbuhan, dan
keragaman hasil budaya dari berbagai sumber budaya Banten.
b. Landasan filosofis, yang bermakna bahwa falsafah seni rupa Islam
melambangkan kedalaman makna Al-Qur‟an yang menjadi landasan
kehidupan dunia dan akhirat.
c. Landasan estetis, yang bermakna bahwa Islam selalu identik dengan
keindahan, sesuai dengan sabda Nabi Saw. bahwa Allah sangat
mencintai keindahan, karena Dia adalah Dzat yang sangat indah.
Selain itu, kedudukan desain dalam pembuatan mushaf Al-
Qur‟an didasarkan pada sebuah pandangan yang mengedepankan
rekayasa budaya dalam tradisi suatu daerah. Maka dalam hal ini, yang
dijadikan ide dasar dalam pembuatan desain mushaf al-Bantani adalah
hasil kebudayaan Banten yang khas dan asli.
C. Deskripsi Tentang Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani
Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani diprakarsai oleh MUI
Provinsi Banten. Secara simbolis, Peresmian penulisan perdana mushaf ini
ditandatangani oleh Gubernur Ratu Atut Chosiyah, pada tanggal 02 Februari
2008 di Lebak. Kegiatan ini dihadiri oleh MUI Banten, Bupati Lebak, dan
para pejabat di lingkungan Kanwil Depag Provinsi Banten. Penulisan perdana
20
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 86.
59
ini dianggap sebagai point of departure penyusunan naskah iluminasi
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.21
Sedangkan tahap proses penulisannya
sendiri baru dimulai pada bulan Maret 2010 dan selesai pada bulan Juli 2010.
Kegiatan penulisan dipusatkan di Gedung Wisma Perguruan Muhammadiyah
Setia Budi Pamulang, Tangerang Selatan.22
Selanjutnya peresmian selesainya
penulisan diadakan pada tanggal 28 Agustus 2010, dan secara simbolis
dibubuhkan tanda tangan pada halaman mushaf oleh Gubernur Ratu Atut
Chosiyah.23
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani ini ditulis oleh sepuluh orang
kaligrafer yang dikoordinatori oleh Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag,
S.H., M.A. Mushaf ini terdiri dari tulisan tangan yang berukuran 50x70 cm
(sebagai masterpiece dan arsip dokumen Banten). Sedangkan yang cetakan
tahun 2014 versi terjemah, berukuran 27,5x21 cm. Mushaf cetakan 2014 ini
kondisinya lengkap 30 juz dengan terjemahnya dan setiap juznya terdiri dari
20 halaman. Ayat-ayat dalam mushaf ini berjumlah 604 halaman.
Setiap halaman dalam mushaf cetakan 2014 ini berisi 15 baris yang
sudah termasuk basmalah dan nama surat. Namun perbedaan halaman juga
ada pada permulaan mushaf (surat Al-Fatihah dan awal surat Al-Baqarah)
berjumlah 9 baris yang sudah termasuk nama surat dan keterangan ayat dan
ruku‟. Di bagian penamaan surat terdapat iluminasi berisi tiara-tiara, hiasan
bunga dan daun, keterangan makkiyah/madaniyah, dan jumlah ayat.24
Pada bagian awal mushaf (setelah cover) ini terdapat enam halaman
khusus yang berisi kaligrafi dengan kalimat yang berbeda-beda, goresan
tangan Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H., M.A. Kaligrafi pada
21
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, vi. 22
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 84. 23 Lihat Al-Qur‟an Al-Bantani cetakan 2014 versi terjemah 24
Lihat Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani cetakan 2014 versi terjemah
60
enam halaman khusus tersebut antara lain bertuliskan: Mushaf Al-Bantani,
Al-Qur‟ān Al-Karīm (halaman pertama), Innā nahnu nazzalnā al-dzikrā wa
innā lahū laḥāfiżūn (halaman kedua), Lā yamassuhū illa al-muṭahharūn
(halaman ketiga), Bil Rasm al-„Utsmāni ( halaman keempat), Mushaf Al-
Bantani (halaman kelima), Al-Qur‟ān Al-Karīm (halaman keenam).
Sedangkan pada bagian akhir mushaf ini terlampir do‟a khatm Al-Qur‟an,
deskripsi mushaf, tanda baca, pembahasan ṣifr mustadīr dan ṣifr mustaṭīl,
tanda waqf, daftar ayat sajdah, daftar isi, daftar juz, tim penyusun dari
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, sekapur sirih ketua MUI Banten, lembar
prasasti penulisan oleh Gubernur Banten, sambutan Gubernur Banten, tanda
tashih dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Kementerian Agama RI
dengan tanggal tashih 28 Dzul Hijjah 1435 H bertepatan dengan 23 Oktober
2014 M, dan maklumat berisi tentang himbauan melakukan perbaikan jika
menemukan kesalahan dalam teknis cetakan mushaf ini, dan lampiran nama,
alamat serta kontak percetakan.25
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani ini termasuk model mushaf pojok,
yaitu tulisan yang berakhir di setiap ujung halaman.26
Mushaf ini ditulis
dengan khat naskhī27
terutama pada bagian pokok mushaf yang meliputi
seluruh teks ayat, dan teks halaman khusus atau tambahan seperti lembar
prasasti penulisan oleh Gubernur Banten, sekapur sirih dari MUI Banten,
daftar isi, do‟a khatm Al-Qur‟an, daftar juz, penjelasan rasm, susunan tim
penulisan mushaf tanda tashih dan lain-lain.28
Sedangkan teks pelengkap
25
Lihat Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani cetakan tahun 2014 versi terjemah 26 Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 85. 27
Naskhī adalah tulisan yang sangat lentur dengan banyak putaran dan hanya
memiliki sedikit sudut yang tajam. Tulisan ini dalam dunia penerbitan digunakan untuk
mencetak buku, koran, dan majalah, bahkan meluas menjadi huruf-huruf komputer. Di
sebagian besar negeri muslim, tulisan ini dijadikan sebagai khat dasar atau pokok. 28
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 80-81.
61
dalam mushaf, seperti tulisan nama pada sampul, halaman prelim awal dan
akhir, nama-nama surat, tulisan judul pada halaman-halaman khusus, ditulis
dengan khat tsuluts29
dan sedikit khat kufi30
, dan judul di halaman tanda
waqaf digunakan khat farisi31
. Sampul mushaf ini menggunakan ragam hias
dari bendera Banten, dan pada bagian kotak tengah terdapat kaligrafi
bertuliskan “Mushaf Al-Bantani”. Sampul mushaf dihiasi dengan iluminasi
yang terdiri dari tiga kotak rerongkong berbentuk persegi panjang dan
berwarna biru. Tiga kotak rerongkong tersebut terdiri dari kotak kemuncak
yang berupa hias sulur-sulur dari mimbar masjid Caringin, bagian tengah hias
sulur tersebut diapit oleh ornamen mastaka soko guru masjid Carita.
Kemudian kotak tengah berupa hias sulur dari manuskrip Al-Qur‟an kuno
Banten, terdiri dari: lingkaran yang diapit empat buah pedang yang masing-
masing bercabang dua, pada bagian lingkaran terdapat bintang segi delapan
yang masing-masing sudutnya terdapat hias geometri, dan bagian dalam
bintang terdapat lingkaran berigi.32
29
Tsuluts adalah khat yang ditulis dengan kalam atau pulpen yang ujung pelatuknya
dipotong dengan ukuran sepertiga goresan kalam. Khat ini banyak digunakan untuk dekorasi
dinding dan aneka media. Di samping itu, khat ini dianggap paling sulit karena dari sisi sudut
maupun proses penyusunannya menuntut harmoni. 30
Kata kufi berasal dari kufah. Kaligrafi ini dianggap sebagai kaligrafi Arab tertua
dan menjadi sumber seluruh kaligrafi Arab. Selain itu, kufi pernah menjadi satu-satunya
tulisan yang digunakan untuk menyalin mushaf Al-Qur‟an. Dibalik bentuknya yang kaku
dengan banyaknya sudut-sudut yang menjadi karakter pokoknya, kufi sangat lentur dan
mudah diolah. 31
Farisi adalah tulisan yang dikembangkan oleh orang-orang Persia. Khat ini sangat
mengutamakan unsur garis, ditulis tanpa harakat, dan kepiawaian penulisnya ditentukan oleh
kelincahannya mempermainkan tebal tipis huruf dalam takaran yang tepat. Gaya ini banyak
digunakan sebagai dekorasi eksterior masjid di Iran. 32 Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-
Qur‟an Mushaf Al-Banntani, 46.
62
Gambar 3.1: Sampul Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dengan ragam
hias dari bendera Banten
Sumber gambar: dokumen pribadi
Mushaf ini ditulis berdasarkan riwayat Hafs Ibn Sulaimān Ibn
Mughīrah, al-Asadī Al Kūfi, qiraat Āshim Ibn Abi Nujud. Penulisannya
menggunakan khat naskhī dengan rasm „Utsmāni. Kemudian jumlah huruf
dalam mushaf ini sama seperti yang terdapat di Makkah, Basrah, Kufah,
Syam dan Mushaf Imam „Utsmāni, dan tanda baca yang digunakan mengacu
kepada rasm Utsmāni berdasarkan standarisasi Indonesia yang ditetapkan
oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an (LPMQ) Kementrian Agama RI.
Adapun total ayat berjumlah 6236 ayat, mengikuti hitungan ahli Kufah dari
Abdullah Ibn Habib Al Sulami dari Ali Ibn Abi Thalib r.a.
D. Kelebihan dan Kekurangan Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani
Adanya Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani sebagai mushaf yang ditulis
menggunakan tangan tidak terlepas dari kelebihan dan keistimewaan serta
kekuarngan yang perlu dikritisi dan perlu dirujuk keberadaannya.
63
Berikut ini adalah beberapa kelebihan dari Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani:
1. Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani adalah mushaf yang pertama kali
ditulis berdasarkan cagar budaya daerah.
2. Mushaf Al-Bantani memiliki keindahan dalam iluminasinya yang
khas dan menarik menggambarkah khazanah budaya Banten, tersebar
pada setiap juz dalam al-Qur‟an . Iluminasi mushaf ini berjumlah 30
buah sesuai dengan jumlah juz dalam al-Qur‟an (29 buah dari artefak
dan 1 buah dari naskah kuno Banten). Dalam pengertian lain, bingkai
mushaf ini berbeda dengan bingkai dalam mushaf-mushaf lainnya.
Bingkai mushaf ini hiasanya berupa hias arsitektur dan ornamen-
ornamen pada bangunan kuno di wilayah provinsi Banten.
3. Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani merupakan mushaf yang dicetak dan
diterbitkan dalam jumlah massal untuk didistribusikan secara gratis
khusus untuk masyarakat muslim Banten. Selain itu, mushaf ini juga
dicetak dalam bentuk lux sebagai souvenir untuk para tamu luar
daerah yang berkunjung ke Banten. Sementara mushaf lainnya
dicetak hanya untuk kebutuhan pameran maupun souvenir saja.
4. Dilihat dari tulisannya, Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menggunakan
jenis khat Naskhi Bagdadi dengan tertulis cantik, jelas dan formal
sehingga mudah dibaca.
5. Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menjadi inovasi baru dari varian
penulisan al-Qur‟an dengan menggunakan iluminasi yang berasal dari
khazanah lokal berupa artefak dan manuskrip.
6. Bentuk dan warna yang diterapkan dalam pembuatan desain Mushaf
Al-Bantani berdasarkan pada keragaman budaya sebagai sumber ide,
dan orisinilitas (keaslian) yang menjadi ciri khas budaya yang tumbuh
64
dan berkembang yang diwariskan secara turun-temurun, serta
toleransi Islam yang sangat fleksibel dalam mengadopsi budaya lokal.
Sedangkan kekurangan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani di antaranya
adalah:
1. Dillihat dari segi pencetakan : dikarenakan Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani diterbitkan oleh MUI Provinsi Banten (bersifat primordial)
dan khusus didistribusikan kepada masyarakat muslim Banten, maka
ia tidak secara menyeluruh dikenali atau diketahui oleh kalangan
masyarkat awam, dan di beberapa masjid, pondok pesantren, maupun
institusi- institusi di wilayah provinsi lainnya Indonesia kecuali yang
datang berkunjung ke Banten untuk studi banding, ikut serta dalam
pagelaran MTQ, dan lainnya maupun yang berkunjung ke Bayt
Qur‟ani dan Museum Istiqal TMII Jakarta. Di samping itu, sekalipun
ada masyarkat luar daerah Banten yang mengetahui Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani, hal ini bagi mereka hanya sebuah pengetahuan
belaka tanpa adanya rasa cinta, kebanggan tersendiri maupun sense of
belonging, karena mushaf ini bukan produk asal daerahnya sendiri.
2. Dilihat dari distribusinya: Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani hanya
didistribusikan kepada masyarkat muslim Banten saja, sehingga ia
tidak bisa didapat atau dimiliki dengan mudah oleh masyarkat luas di
Indonesia kecuali bagi mereka yang diberikan langsung oleh
pemerintah provinsi Banten atau mengajukan permohonan dengan
proposal yang ditujukan kepada MUI Banten, LPTQ Banten, maupun
kesra Pemprov Banten.
3. Dilihat dari artefak dan manuskripnya: cakupan wilayah artefak
maupun manuskrip yang digunakan khusus hanya dari artefak-artefak
yang ditemukan di wilayah Banten, Jakarta, dan Lampung (yang
65
disinyalir terdapat peninggalan Banten) sehingga artefak maupun
manuskrip peninggalan banten lainnya yang tersebar di luar tiga
daerah yang disebut di atas maupun di luar Indonesia tidak terjamah.
Hal ini karena adanya keterbatasan anggaran dana untuk penelitian.
4. Tiga puluh buah iluminasi yang tersebar pada setiap juz dalam
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani bukan seluruhnya berasal dari tiga
puluh artefak yang bersumber dari hias arsitektur dan ornamen
bangunan-bangunan kuno di wilayah Banten, akan tetapi berasal dari
29 artefak dan 1 hiasan pada manuskrip Banten. Sementara jika
mengacu pada penetapan jumlah iluminasi yang disesuikan dengan
jumlah juz dalam al-Qur‟an, maka idealnya tiga puluh artefak dari
tiga puluh masjid kuno yang seharusnya dihimpun ke dalam mushaf.
Hal ini terjadi karena dalam kenyataan di lapangan pada saat
penelitian artefak, ada beberapa masjid kuno yang yang sudah
dirombak sehingga kekurangan jumlah data yang harus dipenuhi tiga
puluh masjid.33
E. Pembuatan Desain dan Iluminasi Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani
Proses pembuatan desain dan iluminasi ini dimulai terlebih dahulu
pada titik penelitian awal, yaitu penelusuran ragam hias pada artefak dan
naskah kuno Banten yang akan dikemas menjadi 30 buah iluminasi yang
khas dan berbeda-beda dalam naskah Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.34
Dalam penelurusan ragam hias ini menggunakan alat dokumentasi
yang terdiri dari kamera semi profesional Pentax X70 beresolusi 12
megapixel dan kamera DSLR Canon EOS 20D beresolusi 8 megapixel. Data
33 Lihat tulisan Tubagus Najib “ Tradisi Harmoni Ramadhan pada Peradaban
Nusantara”. 34
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, vi.
66
base ragam hias yang telah direkam dan dikumpulkan, kemudian diolah dan
disortir oleh tim peneliti berdasarkan pertimbangan etika, estetik, kronologis
dan historis. Berikutnya, pemberian arti (penafsiran) berdasarkan data benda
dan data filosofi, dan penyusunan berdasarkan urutan juz dalam Al-Qur‟an.35
Sebelum proses alih media, terlebih dahulu ragam hias diedit
menggunakan program Photoshop. Tahap selanjutnya adalah membuat desain
kerangka dengan menggunakan bentuk empat persegi panjang dan membuat
desain gambar yang bersumber dari hasil penggambaran dan pemotretan
menggunakan skala. Desain kerangka yang dibuat tersebut terbagi menjadi
dua bagian untuk tiara dan bagian untuk frame. Tiara ditempatkan pada
bagian atas, sedangkan frame ditempatkan pada pias kiri, kanan, atas dan
bawah.36
Berikut ini adalah teknis-teknis yang dilakukan dalam pembuatan
desain frame dan iluminasi:
1. Teknis perancangan dan penyempurnaan desain frame, yang
meliputi:
2. Membuat dan menyempurnakan konsep outline frame dan layout
halaman biasa/utama
3. Membuat konsep outline frame halaman Ummul Qur‟an.
4. Membuat konsep outline frame halaman Nisful Qur‟an
5. Membuat konsep outline frame halaman Khatmul Qur‟an.
6. Membuat konsep outline frame halaman Pembukaan/Judul.
7. Membuat konsep outline frame halaman Cover Depan/Belakang.
8. Membuat konsep outline frame halaman punggung.
9. Membuat konsep outline frame halaman Tanda Baca.
35
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, vi. 36
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 6.
67
b) Teknis pembuatan desain final
Teknis ini meliputi pembuatan bagian-bagian dari desain
iluminasi dan kelengkapan estetis yang sudah disetujui. Berikut ini
adalah tahapannya:
1. Adaptasi bentuk visual, elemen estetis, dan karakter iluminasi,
terdiri dari:
a. Tracing, outlining, dan installing mengikuti bentuk visual
yang diadaptasi
b. Membuat struktur standar pada iluminasi, baik ukuran
maupun bentuk.
c. Coloring dan installing setiap detail elemen estetis pada
iluminasi.
2. Struktur penempatan iluminasi pada halaman dengan
membuat ukuran standar, meliputi:
a. Penyesuaian ukuran kertas
b. Pembuatan dummy awal
c. Test case hasil printout dan standar warna
d. Evaluasi dan detail elemen estetis
F. Pencetakan dan Distribusi Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani yang telah selesai ditulis dan ditashih
oleh LPMQ Kemenag RI, kemudian dicetak di Lembaga Pencetakan Al-
Qur‟an (LPQ) Ciawi, Bogor. Secara kesuluruhan, Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani dicetak oleh LPQ Ciawi sebanyak lima kali, yaitu terdiri dari
pencetakan perdana pada tahun 2010 sebanyak 3000 eksemplar. Kedua pada
tahun 2011 sebanyak 100.000 eksemplar, ketiga pada tahun 2012 sebanyak
100.000 eksemplar, dan pada tahun 2013 sebanyak 100.000 eksemplar serta
68
pada tahun 2014 sebanyak 100.000 eksemplar. Cetakan 2012 hingga 2014
dilengkapi dengan terjemahan.37
Adapun proses pencetakan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dapat
digambarkan dalam bagan berikut ini:
Gambar 3.2: proses pencetakan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dilauncing untuk pertama kali pada
tahun 2010 pada acara Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi Banten ke-10,
tanggal 04 Oktober 2010.38
Hal ini sekaligus untuk mensosialisasikan mushaf
ini secara luas di masyarakat. Ada 3000 eksemplar Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat muslim Banten.
Distribusi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dilakukan oleh MUI
Provinsi Banten bekerjasama dengan Kesra Pemprov Banten dan Lembaga
37
Wawancara dengan ketua tim penulisan Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani, Syibli
Syarjaya, pada 12 Juni 2020. 38
Wawancara dengan ketua tim penulisan Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani, Syibli
Syarjaya, pada 12 Juni 2020.
69
Pengembangan Tilawatil Qur‟an (LPTQ) Banten. Kerjasama antara ketiga
lembaga tersebut dimaksudkan untuk lebih memaksimalkan pendistribusian
mushaf kepada masyarakat secara efektif dan efisien. Ketiga lembaga
tersebut kemudian mendistribusikan mushaf ke beberapa masjid, pondok
pesantren, sekolah, madrasah, majlis ta‟lim, lembaga organisasi
kemasyarakatan, kelompok KKN dan institusi keagamaan yang ada di kota/
kabupaten Provinsi Banten.39
Penulis tidak mendapatkan data yang pasti tentang pendistribusian
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani secara mendetail dari MUI dan Kesra Provinsi
Banten. Penulis hanya memiliki data tentang pendistribusian yang dilakukan
oleh LPTQ Banten. Kendala tidak adanya data tentang pendistribusian
Mushaf Al-Bantani oleh MUI diakui oleh ketua MUI Prov. Banten, Dr. A.M.
Romly.40
Menurutnya data tentang pendistribusian mushaf oleh MUI tidak
dilakukan dengan baik sehingga sulit untuk langsung mengetahui perincian
secara pasti. Kendala yang sama penulis temukan ketika mencoba
mendapatkan pendistribusian mushaf oleh Kesra Banten. Atas dasar kendala-
kendala tersebut maka penulis hanya akan menyoroti pendistribusian Mushaf
berdasarkan data yang diperoleh dari LPTQ Banten.
Pendistribusian Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menjadi agenda
penting selanjutnya selain usaha mencetak dan menyosialisasikan mushaf
kepada masyarakat. Usaha distribusi, seperti diarahkan oleh Atut Chosiyah,
Gubernur Banten, harus diterima secara merata oleh masyarakat Banten,
39
Wawancara dengan ketua tim penulisan Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani, Syibli
Syarjaya, pada 12 Juni 2020., lihat juga dalam Tim Penyusun Laporan, Laporan Keluar
Masuk Mushaf Al-Bantani tahun 2012, 2013, dan 2014 (Serang: Kementerian Agama, 2012-
2014). 40
Wawancara dengan ketua MUI Banten A.M.Romly, pada 30 Maret 2020.
70
khususnya kepada masyarakat yang tidak mempunyai mushaf di rumahnya.41
Pernyataan Gubernur memiliki beberapa masalah apabila ditinjau dari segi
jumlah anggaran dan jumlah mushaf yang didistribusikan kepada masyarakat.
Pada tahun 2012 sampai 2014, pemerintah Provinsi Banten menganggarkan 7
Miliar pertahun untuk pencetakan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dan juga
pendistribusian kepada masyarakat. Dari jumlah anggaran tersebut, jumlah
mushaf yang dapat dicetak berjumlah 100.000 mushaf untuk setiap tahunnya.
Sehingga apabila dijumlahkan selama 4 tahun Mushaf Al-Bantani
keseluruhan ada 400.000 mushaf yang didistribusikan kepada masyarakat.
Jumlah total pencetakan mushaf selama 4 (empat) tahun akan terlihat
kecil prosentasinya apabila dilihat dari jumlah masyarakat muslim yang ada
di wilayah Banten yang berjumlah 10.149.787 (sensus pada tahun 2014).
Jumlah antara mushaf yang dicetak apabila dibagi dengan jumlah masyarakat
muslim Banten akan menghasilkan angka 3,9 %. Angka tersebut terbilang
sangat kecil jika dihubungkan dengan arahan Gubernur untuk
mendistribuskan secara merata kepada masyarakat. Arahan Gubernur akan
mendekati ideal apabila dapat mendistribusikan mushaf paling tidak 1,5 juta
eksemplar, dengan rasio 14,7 %.42
Setelah mengetahui jumlah rasio pencetakan mushaf yang tidak ideal,
selanjutnya penulis akan menyoroti masalah-masalah yang terkait dengan
proses pendistribusian Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani sampai ke tangan
masyarakat. Persoalan utama tentang usaha pendistribusian mushaf adalah
ketidakmerataan distribusi kepada masyarakat. Apabila yang dinamakan
distribusi adalah penyaluran Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dari pemerintah
41
Pernyataan Atut Chosiyah ini dapat dilihat dalam radarbanten.co.id, diakses pada
tanggal 10 Juni 2020. 42
Wawancara dengan ketua tim penulisan Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani, Syibli
Syarjaya, pada 12 Juni 2020., pernyataan Syibli Syarjaya dapat dilihat juga di
radarbanten.co.id, diakses pada tanggal 10 Juni 2020.
71
kepada masyarakat,43
maka seharusnya keberadaan mushaf ini di tengah
masyarakat menjadi hal yang wajib. Namun kenyataannya banyak
masyarakat yang tidak mengetahui tentang keberadaan Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani.
Lia Lianti, warga Pandeglang, ketika penulis mewawancarai tentang
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani mengatakan “Aku belum tahu ada mushaf itu
dan tidak pernah mendapatkan mushaf itu”.44
Dari ketidaktahuan Lia Lianti
tentang Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menunjukan bahwa distribusi mushaf
ini tidak merata sampai kepada masyarakat. Banyak kasus yang penulis
temukan di lapangan yang justeru tercengang dan kaget ada Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani. Kasus terakhir penulis temukan ketika mewawancarai
Sarinita Habarkah, warga Tangerang. Dia mengatakan “ah yang bener loe
ada Mushaf Banten? gw gak pernah denger dan liat mushaf itu”.45
Sikap
yang ditunjukan Lia Lianti dan Habarkah hanya sedikit dari masyarakat
Banten yang tidak tau keberadaan mushaf yang khas asli daerah mereka
sendiri.
Pandangan penulis ketika mewawancarai beberapa orang Banten pada
satu sisi merasa heran dan tidak tahu, dan di sisi lain, ketika penulis
menunjukan keunikan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, merasa kagum dengan
estetika mushaf tersebut. Kekaguman seperti itu terlihat dari ekspresi Lia
Lianti yang mengatakan “wah bagus ya iluminasinya, beda dengan mushaf
lainnya, yang ini [Mushaf Al-Bantani lebih mencolok warna
iluminasinya]”.46
Iluminasi yang ada dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
43
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 359. 44
Wawancara dengan Lia Lianti, warga Pandeglang, pada tanggal 2 Juni 2020. 45
Wawancara dengan Habarkah, warga Tangerang, pada tanggal 25 April 2020. 46
Wawancara dengan Lia Lianti, warga Pandeglang, pada tanggal 25 April 2020.
72
menjadi salah satu hal yang menarik untuk dilihat oleh masyarakat ketika
diperlihatkan tentang keunikan mushaf ini.
Keterangan yang ditunjukan di atas menunjukan ketidakmerataan
distribusi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani di tengah masyarakat. Keterangan
di atas dapat dibenturkan dengan laporan Hasil Survei Melek Huruf Al-
Qur‟an dan Indikator Iman-Takwa pada tahun 2017 yang menunjukan bahwa
95,7 masyarakat muslim Banten memiliki mushaf Al-Qur‟an.47
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa hampir setiap rumah memiliki satu mushaf
Al-Qur‟an di dalamnya. Pertanyaan mendasar dari hasil laporan di atas
adalah apakah mushaf yang ada merupakan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
atau mushaf yang dicetak oleh penerbit swasta?
Hasil survei tentang melek huruf Al-Qur‟an di masyarakat Banten
dapat dikonfirmasi dengan adanya laporan penelitian tentang masalah dan
kendala distribusi mushaf dalam lingkup nasional oleh Kementerian Agama
Republik Indonesia yang menemukan bahwa mayoritas mushaf yang ada di
tangan masyarakat merupakan mushaf yang didapatkan dari percetakan
swasta.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-
Qur‟an pada tahun 2011 dan 2012 tentang penggunaan mushaf Al-Qur‟an
menunjukan kenyataan yang menarik. Ternyata dalam realitasnya, mushaf
Al-Qur‟an yang dimiliki dan digunakan masyarakat Islam hampir semuanya
berasal dari cetakan penerbit swasta, bukan mushaf terbitan Kementerian
Agama. Mushaf Kemenag baru dijumpai di beberapa orang atau pihak yang
47
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur‟an (LPTQ) Banten, Hasil Survei Melek
Huruf Al-Qur‟an dan Indikator Iman-Takwa (Serang: LPTQ Banten, 2017).
73
mempunyai kaitan atau akses dengan Kemenag setempat seperti pimpinan
organisasi atau pegawai di lingkungan Kemenag sendiri.48
Hasil penelitian yang dilakukan Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an
secara Nasional, tampaknya sama dengan kasus di Banten. Mushaf Al-
Qur‟an yang ada di masyarakat Banten sebagian besar merupakan berasal
dari penerbit swasta, bukan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
Beberapa kenyataan di atas menunjukan bahwa kebijakan pengadaan
Al-Qur‟an memang belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya secara merata
oleh masyarakat di wilayah Banten. Hal tersebut dalam pandangan Dr. A.M.
Romly, Ketua MUI Provinsi Banten, disebabkan oleh proses distribusi yang
belum berjalan dengan baik. Romly memberi saran ketimbang
mempermasalahkan jumlah produksi mushaf yang menjadi masalah pokok,
melainkan kendala dan masalah distribusi yang seharusnya berjalan baik
sehingga benar-benar sampai ke tangan masyarakat.49
48
LPMA, Laporan Penelitian Penggunaan Al-Qur‟an di Masyarakat (Jakarta:
LPMA, 2012). 49
Wawancara dengan ketua MUI Banten Dr.A.M.Romly, pada 30 Maret 2020.
74
75
BAB IV
ILUMINASI DAN RELEVANSI MUSHAF AL-QUR’AN AL-
BANTANI DALAM PERKEMBANGAN MUSHAF DI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan bagaimana iluminasi
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dan selanjutnya akan dideskripsikan juga
tentang gambaran iluminasi dan sumber artefak yang digunakan dalam Juz 1
dan 10, Juz 11 dan 20, 21 dan 30 sebagai representasi setiap juz dalam
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, serta akan dijelaskan bagaimana relevansi
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dalam perkembangan mushaf di Indonesia.
A. Deskripsi Iluminasi Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani
Iluminasi merupakan kata yang digunakan dengan sangat luas untuk
menunjukan setiap sesuatu yang didekorasi, yang pada umumnya
menyertakan unsur warna di dalamnya, dan didesain dengan sangat teliti,
menarik, dan dibuat dengan keterampilan khusus, yang bertujuan untuk
menambah nilai jual atau menaikan nilai dari suatu tulisan atau manuskirp.1
Keterangan di atas menunjukan bahwa segala sesuatu yang menyertai suatu
teks berupa warna yang didekorasi dengan beragam bentuk dan corak
dinamakan dengan unsur iluminatif. Iluminasi dapat berupa gambar yang
jelas maupun gambar yang abstrak, sesuatu yang secara empiris ada di dunia
maupun sesuatu yang diadakan dalam alam pikiran orang yang membuat
berupa suatu yang fiktif atau imajinatif. Selain itu iluminasi biasanya berupa
gambar dari bunga atau tumbuhan, binatang, mahkota, atau suatu garis yang
dibentuk dengan sangat rapih berupa persegi panjang, kerucut, segitiga, dan
lainnya. Iluminasi juga dapat berupa gambar abstrak-imajinatif yang sulit
1Annabel Teh Gallop & Ali Akbar, “The Art of the Qur‟an in Banten: Calligraphy
and Illumination”, Archipel, Vol. 72 (2008), 95-156.
76
untuk dideskripsikan karena berasal dari imajinasi sang pembuat iluminasi
seperti gambar kepala singa yang dibubuhi dengan mahkota raja dan bunga
tulip atau lotus, atau gambar lakon dalam pewayangan Jawa yang
diserupakan dalam rupa manusia.2
Suatu tulisan yang di dalamnya terdapat iluminasi dianggap memiliki
nilai yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan tulisan yang tidak ada
unsur iluminasi di dalamnya. Maka tidak mengherankan apabila dalam
khazanah pernaskahan akan sangat banyak ditemukan tulisan atau manuskrip
yang menyertakan unsur iluminasi di dalamnya. Henri Chambert-Loir dan
Oman Fathurahman mencatat ada beberapa naskah yang terdapat iluminasi di
dalamnya seperti dalam Hikayat Pocut Muhamat, Talkhis Khulasah al-Insya‟
wa Gairiha, Serat Lokapala, dan lain-lain.3 Suatu tulisan yang di dalamnya
terdapat iluminasi juga memiliki tujuan dari sekadar untuk kepentingan
estetis sampai pada kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan.4 Iluminasi
juga dapat ditemukan untuk menghiasi tulisan dalam mushaf Al-Qur‟an
seperti dalam kasus Mushaf Lalino Bima, Mushaf Sarung Batik Cirebon,
Mushaf Solo, Mushaf Kauman Timur Semarang, Mushaf Cipete Jakarta,
Mushaf Istiqlal, Mushaf Sundawi, Mushaf Al-Tin, Mushaf Kalimantan Barat,
Mushaf Keraton Yogyakarta dan Mushaf Al-Bantani.5
2Mu‟jizah, Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad Ke-18 dan Ke-19 (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2009). 3Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman, Khazanah Naskah: Panduan
Naskah-naskah Indonesia Sedunia (Jakarta: Ecole Francaise d‟Extreme-Orient & YOI,
1999), 37, 45, 116. 4Mu‟jizah, Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad Ke-18 dan Ke-19, 200.
5Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur‟an Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya
Lokal”, Jurnal At-Tibyan, vol. I, no. 1 (2016), 193, Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf
Kuno”, Jurnal Lektur Keagamaan, vol 5, no I, (2007), 44-45, Billy Muhammad Rodibillah,
dkk. “Sejarah Penulisan Al-Qur‟an Mushaf Sundawi di Bandung Tahun 1995-1997”,
Historia Madania, 48, Mahmud Buchari, dkk. “Al-Qur‟an Manuskrip Mushaf Untuk
mengenang Almh. Ibunda Hjh. Fatimah Siti Hartinah Soeharto”. (Jakarta: Kharisma, 1999),
9.
77
Iluminasi menjadi bagian integral dari penulisan Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani dan sekaligus memberi ciri khusus di dalamnya. Di dalam
Mushaf ini terdapat unsur iluminasi yang menghiasi tulisan atau khat dalam
mushaf. Iluminasi tersebut akan ditemukan pada setiap juz dalam Al-Qur‟an
yang membentang dari awal juz satu sampai akhir juz ketiga puluh.
Penambahan iluminasi dalam setiap juz dalam Al-Qur‟an merupakan ciri
utama yang membedakan antara Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dengan
mushaf iluminasi yang lainnya. Iluminasi yang ada dalam Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani merupakan iluminasi paling banyak yang ditemukan dalam
naskah Al-Qur‟an di Indonesia. Apabila pada umumnya iluminasi dalam
naskah atau Mushaf Al-Qur‟an di Indonesia, seperti Mushaf Lalino Bima,
hanya sebatas memberikan iluminasi pada ummu Al-Qur‟an, nisf Al-Qur‟an
dn khatm Al-Qur‟an.6 namun kuantitas iluminatif dalam Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani lebih banyak dan akan terasa berbeda lagi sangat kreatif karena
beragamnya iluminasi yang tergambar di dalam mushaf tersebut.
Akbar dan Galliot mengatakan, keberadaan unsur iluminatif dalam
tulisan bertujuan sebagai penambah nilai estetis dalam suatu naskah.7 Apabila
suatu naskah terdapat iluminasi di dalamnya maka akan membuat orang yang
melihatnya akan tertarik pada naskah atau teks yang sedang dibacanya. Tidak
mengherankan apabila dalam suatu naskah terdapat unsur iluminatif yang
sangat banyak bahkan menjalar sampai menutupi teks asli. Dalam kasus
iluminasi yang ada dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, iluminasi dalam
membingkai teks dalam sebuah persegi panjang yang mengelilingi unsur teks
secara sempurna. Semua teks atau ayat Al-Qur‟an yang tertulis pada setiap
juz dalam Al-Qur‟an dihiasi oleh iluminasi yang digambar dengan beragam
6Mahmud Buchari, dkk. “Al-Qur‟an Manuskrip Mushaf Untuk mengenang Almh.
Ibunda Hjh. Fatimah Siti Hartinah Soeharto”, 9. 7Annabel Teh Gallop & Ali Akbar, “The Art of the Qur‟an in Banten: Calligraphy
and Illumination”, 121.
78
bentuk. Bentuk iluminasi yang sangat estetis didukung dengan pewarnaan
indah yang membaluri gambar iluminasi berupa paduan warna yang kontras
dengan tulisan dalam mushaf. Adanya iluminasi yang terkesan futuristik akan
membuat orang yang melihat Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani terkesan dengan
keindahan yang disajikan dalam mushaf. Dengan demikian orang yang
melihat Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani mendapatkan energi tambahan ketika
melihat nilai estetis dalam mushaf yang akan dibacanya yang kemudian akan
berimplikasi pada pembacaan Al-Qur‟an dengan semangat untuk
memperdalam ajaran di dalamnya. Maka menjadi relevan apa yang dikatakan
Akbar dan Galliot bahwa unsur estetis menjadi bagian penting dalam
penciptaan unsur iluminasi yang diadakan dalam suatu tulisan.
Iluminasi dapat juga dilihat dalam konteks yang lebih luas dari
sakadar menghadirkan efek estetis pada tulisan. Namun dapat dipandang juga
bahwa nilai-nilai estetis yang diungkapkan dalam iluminasi Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani memiliki ungkapan religiusitas di dalamnya. Tujuan
pengadaan iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani paling tidak dapat
digambarkan sebagai berikut: pertama, menentukan sikap terhadap
keindahan yang terdapat dalam alam, kehidupan manusia dan karya seni,
kedua, menerapkan suatu karya seni yang dapat menimbulkan pengaruh
terhadap jiwa manusia, terutama perenungan dan pemikiran, serta perilaku
dan perbuatan manusia, ketiga, mengkaji penjelasan tentang istilah-istilah
dan konsep-konsep keindahan yang berada dalam obyek pengamatan seperti
artefak.8 Adapun penjabaran ketiga tujuan dalam iluminasi Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani adalah sebagai berikut:
Tujuan pertama adalah menentukan sikap terhadap keindahan yang
terdapat dalam alam, kehidupan manusia dan karya seni. Manusia disebut
8Penjelasan ini penulis adaptasi dari keterangan Abdul Hadi ketika menjelaskan
tentang estetika sebagai ungkapan religuisitas. Abdul Hadi W.M., Hermeneutika, Estetika
dan Religiusitas (Jakarta: Sadra Press, 2016), 33.
79
sebagai makhluk yang berbudaya yang menghasilkan dari akal budinya
berbagai macam karya seni. Atas dasar akal budi inilah manusia dapat
membangun suatu peradaban yang maju yang dapat membedakan antara
manusia dengan makhluk hidup lainnya seperti malaikat, hewan dan
tumbuhan. Banten sudah dipahami masyarakat secara luas sebagai kota yang
memiliki peradaban yang maju dengan ditandai beragam artefak-artefak
sejarah yang masih dapat dijumpai sampai sekarang. Artefak yang ditemukan
tersebut menandakan suatu peradaban manusia yang ada di daerah Banten.
Hal ini pula yang menja dikan banyak karya seni ditemukan di wilayah
Banten. Pembuatan iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
merupakan salah satu “sikap” masyarakat Banten terhadap keindahan yang
berasal dari karya seni yang terdahulu. Sikap ini sekaligus menunjukan
bahwa masyarakat Banten peduli dan simpati dengan nilai-nilai luhur yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Supaya memori estetis tentang
keindahan yang terdapat dalam suatu karya seni, maka perlu ditanamkan dan
diterapkan keindahan seni tersebut dalam bentuk abstraksi iluminasi yang
kemudian diterapkan dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani. Dengan
demikian ketika masyarakat Banten mambaca mushaf tersebut, maka
masyarakat akan melihat beragam budaya yang ada di Banten yang tercermin
dalam bentuk iluminasi.
Tujuan kedua adalah menerapkan suatu karya seni yang dapat
menimbulkan pengaruh terhadap jiwa manusia terutama perenungan dan
pemikiran, serta perilaku dan perbuatan manusia. Dalam buku Ruh Islam
dalam Budaya Bangsa disebutkan bahwa jiwa manusia condong pada hal-hal
yang dianggapnya mempunyai muatan estetis berupa keindahan, keteraturan
dan kebersihan.9 Ungkapan estetis manusia terutama dalam bidang seni dapat
9 Forum Ilmiah Festival Istiqlal II, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Konsep
Estetika 5 (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996), 20-21.
80
berupa puisi atau tulisan, ornamen, patung, bangunan dan sebagainya. Semua
hasil karya tersebut berasal dari perenungan mendalam manusia terhadap
alam sekitar. Dalam proses pembuatan iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani, ungkapan-ungkapan estetis yang dapat ditemukan dalam banyak
artefak di Banten hendak diterapkan dalam bentuk yang lebih dekat dengan
masyarakat Banten. Apabila artefak yang ada di wilayah Banten berada jauh
dari kerumunan masyarakat, maka sekarang bentuk kearifan lokal berupa
artefak yang ditemukan tersebut dapat dilihat di dalam mushaf Al-Qur‟an
yang setiap saat dibaca dan dilihat oleh masyarakat. Iluminasi yang ada
dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani diharapkan mempengaruhi jiwa
masyarakat yang membacanya melalui keindahan iluminasi yang ada di
dalam mushaf.
Tujuan ketiga adalah mengkaji penjelasan tentang istilah-istilah dan
konsep-konsep keindahan yang berada dalam obyek pengamatan seperti
artefak. Artefak dapat didefinisikan sebagai semua benda yang diubah
(modified) atau dibuat (mode) oleh manusia dari bahan-bahan alam. Artefak
dalam iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dapat dibagi menjadi dua
yaitu artefak besar dan artefak kecil. Artefak besar adalah artefak pada suatu
bangunan monumental baik bangunan profan maupun bangunan sakral.
Sedangkan artefak kecil adalah artefak pada fragmen gerabah Banten.10
Pentingnya mengkaji sebuah artefak adalah bahwa sebagai produk peradaban
manusia yang diciptakan pada masa lampau, artefak sebenarnya menyimpan
nilai yang agung, besar dan tinggi. Dengan mengadakan pengkajian dan
penelitian seputar artefak yang ditemukan, maka diharapkan akan
menemukan sesuatu yang belum tersingkap selama ini berupa sejarah yang
tersembunyi, atau sebagai bukti dari adanya suatu peradaban besar. Dalam
10
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani
(Berdasarkan Artefak dan Manuskrip Banten) (Serang: MUI Banten, 2010), 8, 43.
81
upaya mengkaji dan meneliti artefak yang ada di wilayah Banten, maka para
pembuat iluminasi terinspirasi menjadikan artefak menjadi percontohan bagi
gambaran iluminatif yang akan diterapkan di dalam mushaf.
Penelitian terhadap artefak sebagai sebuah bukti sejarah masih dikaji
sampai sekarang. Semakin banyak informasi yang dikaji dan didapatkan dari
sebuah artefak, maka akan semakin menguntungkan bagi kajian ilmiah
lainnya dalam berbagai macam bidang seperti arkeologi, sejarah, dan ilmu
humaniora lainnya. Kaitan erat antara iluminasi dalam mushaf dengan artefak
adalah bahwa iluminasi yang ada dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
diciptakan bukan berasal dari suatu gambaran atau abstraksi yang tidak
memiliki pendasaran dalam proses pembuatannya. Dengan kata lain,
iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani tidak tercipta dari khayalan
orang yang membuat sehingga tidak mempunyai bukti empiris. Iluminasi
dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani tercipta dari hasil adopsi dan adaptasi
dari berbagai macam artefak yang ada dan tersebar luas di wilayah Banten.
Bukti keberadaan artefak menjadi inspirasi utama dalam membuat iluminasi.
Bukti empiris berupa artefak dapat ditemukan hingga sekarang di berbagai
wilayah Banten, sehingga pembaca atau pengamat iluminasi dapat melacak
asal usul dari unsur iluminatif yang digunakan dalam pembuatan iluminasi.
Karena unsur iluminasi didasarkan pada kajian yang cermat pada artefak
yang ditemukan maka dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam
bidang arkeologi, sehingga menutup kemungkinan iluminasi tersebut
memiliki detail kesamaan dengan iluminasi dalam tulisan atau naskah dalam
mushaf lainnya di Indonesia.11
Pembuatan iluminasi melalui penelitian dan pengkajian yang
dilakukan oleh berbagai macam ahli yang disesuaikan dengan temuan artefak
11
Tubagus Najib Al-Bantani (Peny.), Panduan Iluminasi dan Kaligrafi (Serang:
MUI Banten, 2011)., Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Bantani (Berdasarkan Artefak dan Manuskrip Banten) (Serang: MUI Banten, 2010).
82
yang tersebar di berbagai wilayah Banten. Menurut Najib Al-Bantani, temuan
penemuan artefak dalam suatu daerah tidak pernah diaplikasikan dan
diterapkan dalam membuat iluminasi berupa bingkai atau hiasan dalam
sebuah tulisan. Selama ini yang akan ditemukan dalam dunia akademisi baru
sampai penelitian sebuah artefak kemudian menginventarisasikannya
kemudian menganalisisnya. Inventarisasi dan analisis artefak inilah yang
dilakukan dalam bidang arkeologi. Namun belum ditemukan hasil dari
analisis artefak tersebut diterapkan dalam suatu tulisan dengan cara
menjadikan artefak tersebut menjadi patokan dan tolak ukur dalam membuat
gambar iluminatif.12
Di sinilah kekhasan dari Mushaf Al-Bantani dari
mushaf-mushaf lain di Indonesia bahkan di dunia Islam sekalipun.
Iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani yang merupakan
bentuk ejawantah dari artefak yang ditemukan di daerah Banten kemudian
dikemas, digambar ulang dan diterapkan menjadi kerangka-kerangka yang
berisi Tiara dan frem Tiara. Kerangka yang berisi Tiara dan frem Tiara,
penamaannya diambil dari bentuk Tiaranya, di antaranya terdapat 30 buah
Tiara. Tiap tiara mewakili tiap permulaan juz dalam Al-Qur‟an. Adapun 30
Tiara yang disebutkan dapat diurutkan sesuai juz dalam Al-Qur‟an sebagai
berikut: Mahkota Sokoguru Masjid Carita, Menara Masjid Pacinan Tinggi,
Memolo Masjid Agung Banten, Memolo Menara Masjid Agung Banten,
Memolo Masjid Kasunyatan, Gapura Masjid Kasunyatan, Ornamen Mihrab
Masjid Kasunyatan, Memolo Menara Masjid Kasunyatan, Gapura Makam
Masjid Kasunyatan, Gapura Masjid Kanari, Memolo Masjid Kanari,
Ornamen Mihrab Masjid Kanari, Memolo Makam Maulana Yusuf, Gapura
Bentar Kaibon, Gapura Paduraksa Kaibon, Memolo Masjid Kaujon,
Ornamen Mihrab Masjid Kaujon, Memolo Masjid Tanara, Cungkup Mimbar
12
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
73.
83
Masjid Tanara, Memolo Mimbar Masjid Tanara, Memolo Masjid Singarajan,
Ornamen Mihrab Masjid Singarajan, Memolo Masjid Caringin, Trawangan
Pintu Majsid Caringin, Mahkota Sokoguru Masjid Carita, Ornamen Sokoguru
Masjid Carita, Ornamen Sokoguru Masjid Carita, Ornamen Mihrab Masjid
Carita, Arsitektur Srimanganti Surtasowan, dan Iluminasi manuskrip Al-
Qur‟an Banten.13
Gambar 4.1 : Tiara dan frem tiara Juz 1 – 8
Sumber dokumen pribadi
13
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
iii.
84
Gambar 4.2 : Tiara dan frem tiara Juz 9-17
Sumber diambil dari dokumen pribadi
Gambar 4.3 : Tiara dan frem tiara Juz 18-25
Sumber diambil dari dokumen pribadi
85
Gambar 4.4 : Tiara dan frem tiara Juz 26-30
Sumber diambil dari dokumen pribadi
Keterangan yang dapat diambil dari uraian tentang iluminasi dalam
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani di atas dapat diringkas dalam beberapa bentuk
dasar iluminatif yaitu bentuk gapura, mihrab, mimbar, menara, sokoguru,
pintu masjid, dan memolo atau mustaka.
Gapura adalah pintu besar untuk masuk pekarangan sebuah rumah,
masjid atau istana, atau dengan kata lain gapura merupakan pintu gerbang
dari suatu bangunan.14
Mihrab adalah ruang kecil yang menjorok ke luar dari
dinding masjid (langgar) yang mengarah ke Ka‟bah, atau juga dapat diartikan
mihrab adalah tempat imam memimpin salat.15
Mimbar adalah panggung
kecil tempat berpidato atau menyampaikan khotbah.16
Menara adalah
bangunan yang tinggi (seperti di masjid, gereja), atau bagian bangunan yang
ditambahkan meninggi atau menjadi lebih tinggi dari bangunan induknya.17
14
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 438. 15
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 954. 16
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 957. 17
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 938.
86
Sokoguru adalah tiang tengah, tiang seri.18
Pintu masjid adalah gerbang
masuk masjid. Memolo atau mustaka adalah kemuncak atap, yang secara
teknis muncul sebagai konsekuensi konstruksi atau tajuk dari sebuah
bangunan, khussnya pada sebuah bangunan masjid.19
Iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani seluruhnya berjumlah
30 buah dalam bentuk artefak sebanyak 29 buah dan dalam bentuk manuskrip
sebanyak 1 buah. Ketiga puluh buah tersebut, ditempatkan pada posisi tengah
dalam kerangka berbentuk persegi panjang yang disebut rerongkong sesuai
dengan jumlah juz dalam Al-Qur‟an. Ketiga puluh buah tersebut dinamakan
Tiara. Tiara tersebut diapit oleh dua buah ornamen mimbar, sebanyak 3 buah.
Satu buah mengapit 10 juz. Jadi 3 buah untuk 30 juz. Ketiga buah ornamen
yang mengapit Tiara dinamakan dengan Sayap Tiara. Kerangka rerongkong
pada celah-celah yang kosong diisi dengan gambar hias terwengkal, sebanyak
28 buah gambar hias terwengkal, ornamen mimbar satu buah dan ornamen
hias Al-Qur‟an Kuna Banten satu buah. Jumlahnya 30 buah, ketiga puluh
buah yang mengisi celah-celah kerangka rerongrong tersebut dinamakan
Frame Tiara. Adapun kerangka rerongrong yang masih terdapat celah-celah
kosong dipenuhi dengan bentuk grafis berupa spiral ganda, lingkaran, hias
bunga dan daun, non grafis dalam bentuk hias sudut rerongrong dari ornamen
hias mimbar masjid caringin, gambar hias gerabah.20
B. Iluminasi Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani Per Juz
Pada bagian ini akan dideskripsikan iluminasi yang terdapat juz 1, 10,
11, 20, 21, dan 3021, sebagai representasi setiap juz dalam Mushaf Al-Qur‟an
18
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1367. 19
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 989. 20
Tubagus Najib Al-Bantani (peny.), Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an
Mushaf Al-Bantani (Jakarta: MUI Banten, 2011), 45. 21 Pembatasan deskripsi iluminasi 6 juz ini (juz 1, 10, 11, 20, 21, dan 30) berdasar
pada 3 buah ornamen mimbar masjid Caringin yang berbeda (sayap tiara yang mengapit
tiara) pada setiap 10 juz dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani. Tiga buah ornamen mimbar
87
Al-Bantani. Deskripsi tersebut meliputi deskripsi gambar iluminasi dan
sumber artefak yang digunakan dalam iluminasi.
1. Juz 10 (1 & 10)
Deskripsi Gambar Iluminasi Juz 1:
Pada juz 1 dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, iluminasi terdiri
dari dua bagian inti yaitu bagian kerangka rerongkong dan bagian isi
rerongkong. Kerangka rerongkong berbentuk empat persegi panjang dengan
ukuran lebar 13 cm dan panjang 21,5 cm. Warna biru menjadi dasar bagi
kerangka rerongkong pada juz 1.22
Adapun isi rerongkong terdiri dari Tiara, Sayap Tiara, dan Frame
Tiara. Tiara berupa mustaka sokoguru Masjid Carita yang terdapat di tengah
pada sisi kerangka rerongkong dengan warna hijau. Sayap Tiara berupa
ornamen mimbar Masjid Caringin yang terdapat di tengah pada sisi kerangka
rerongkong yang mengapit Tiara dengan warna merah bata. Frame Tiara
berupa gambar hias terwengkal yang terdapat pada sisi-sisi kerangka
rerongkong yang berwarna hijau gelap.23
Adapun terwengkal berbentuk belah
ketupat, mengapit dua buah lingkaran horizontal. Pada sisinya memiliki 8
lekukan dua dimensi.24
Dalam isi rerongkong juga terdapat iluminasi yang bersifat
instrumental berupa grafis berbentuk lingkaran kecil pada sisi-sisi kerangka
rerongkong dengan warna merah terang. Selain itu, ada juga grafis berbentuk
spiral ganda pada sisi kerangka rerongkong bagian luar dengan warna
kuning.
untuk 30 juz. Maka, setiap 1 buah dari tiga ornamen tersebut mengapit 10 juz, yakni 1 buah
pertama untuk juz 1-10, 1 buah kedua untuk juz 11-20, dan 1 buah lainnya untuk juz 21-30. 22
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 50. 23
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 50. 24
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 14.
88
Gambar 4.5: Tampilan Iluminasi Juz 1 pada Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani
Gambar diambil dari dokumen pribadi
Deskripsi Sumber Artefak Juz 1:
Sumber artefak dari iluminasi pada juz 1 terdapat pada Masjid Carita.
Masjid Carita sampai sekarang masih ada dan tetap digunakan untuk kegiatan
keagamaan seperti shalat berjamaah dan melakukan kegiatan keagamaan
lainnya. Adapun sumber iluminasi yang dapat ditemukan pada juz 1 terdapat
pada mustaka sokoguru dan ornamen mimbar Masjid Carita.
Masjid Carita yang di dalamnya terdapat sokoguru dan mimbar
memiliki nama lengkap Masjid Jami Khusaini yang berlokasi di sebelah barat
jalan raya Carita, Kampung Pagedongan, desa Sukajadi, Kecamatan Labuan.
Di samping dan di depan masjid mengalir sungai Citembol. Bangunan masjid
mengarah ke arah timur atau ke arah jalan raya dan sungai. Hal ini ditandai
dengan adanya serambi di ruang depan ruang utama masjid. Ruang utama
mempunyai denah bujur sangkar sedangkan serambinya berdenah persegi
panjang. Bagian ruang utama serambi masjid di kelilingi oleh teras.
89
Masjid Jami Khusaini merupakan nama masjid yang dinisbatkan pada
nama pendirinya yaitu Khusaini. Makam pendiri masjid ini berada di bara
masjid atau pada serambi barat masjid, hanya nisan dan jirat makam telah
diganti dengan semen, menurut pengurus masjid, nisan aslinya adalah dari
batu andesit, dibangun setelah satu tahun pembangunan Masjid Caringin,
yaitu sekitar tahun 1885.25
Ruang utama masjid memiliki atap tumpang (bersusun) tiga, dengan
memolo terbuat dari seng sedangkan serambinya memiliki atap limasan. Atap
tumpang ruang utama disangga empat buah tiang (sokoguru) berpenampang
segidelapan adapun tiang-tiang teras berpenampang lingkaran bergaya Eropa,
tiang tersebut merupakan tiang cor (bukan kayu), ruang utama masjid
memiliki loteng (ruang atas), untuk memasuki melalui anak tangga yang
terdapat di sudut tenggara ruang utama, mihrab berupa ceruk melengkung
yang menjorok keluar.26
Bagian depan mihrab terdapat hiasan geometri sedangkan bagian atas
mihrab terdapat hiasan berbentuk kipas, mimbar tidak menempel pada
dinding barat tetapi agak ke depan sehingga berada di belakang shaf paling
depan.
Kepurbakalaan masjid ini yang diangkat untuk iluminasi Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani adalah, ornamen mihrab, tiang teras berpenampang dan
memiliki secaram mahkota dan arsitektur mimbar.
Deskripsi Gambar Iluminasi Juz 10:
Pada juz 10 dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, iluminasi terdiri
dari dua bagian inti yaitu bagian kerangka rerongkong dan bagian isi
rerongkong. Kerangka rerongkong berbentuk empat persegi panjang dengan
25
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
42. 26
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
43.
90
ukuran lebar 13 cm dan panjang 21,5 cm. Pada juz 10, warna biru menjadi
dasar bagi kerangka rerongkong.
Adapun isi rerongkong terdiri dari Tiara, Sayap Tiara, dan Frame
Tiara. Tiara berupa Gapura Masjid Kanari yang terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong dengan warna putih. Sayap Tiara berupa ornamen
mimbar Masjid Caringin yang mengapit Tiara terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong yang berwarna merah terang dan merah. Sedangkan
Frame Tiara berupa gambar hias terwengkal yang terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong yang berwarna merah. Adapun terwengkal berbentuk
bujur sangkar, pada sisi-sisinya memiliki 8 lekukan dan pada bagian tengah
masing-masing terdapat lingkaran.27
Dalam isi rerongkong juga terdapat iluminasi yang bersifat
instrumental berupa grafis lingkaran yang terdapat pada sisi-sisi kerangka
rerongkong yang berwarna merah terang. Selain itu, ada grafis berupa spiral
ganda terdapat pada sisi-sisi pinggir kerangka rerongkong yang berwarna
kuning.
27
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 23.
91
Gambar 4.6: Tampilan Iluminasi Juz 10 pada Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani
Gambar diambil dari dokumen pribadi
Deskripsi Sumber Artefak Juz 10:
Sumber artefak dari iluminasi pada juz 10 terdapat pada Masjid
Kanari. Masjid Kanari sampai sekarang masih ada dan tetap digunakan untuk
kegiatan keagamaan seperti shalat wajib. Adapun sumber iluminasi yang
dapat ditemukan pada juz 10 terdapat pada gapura Masjid Kanari.
Masjid Kanari yang di dalamnya terdapat gapura berada di kampung
Kanari, Kecamatan Kasemen, Kodya Serang. Kanari merupakan nama
kampung, juga nama masjid dan nama makam. Kanari sebagai nama tersebut,
berasal dari nama sebuah pohon yang buahnya untuk bumbu masak,
tampaknya pohon kanari sudah tidak ada, kapan musnahnya tidak diketahui
92
secara pasti, namun yang jelas menurut pengurus masjid Kanari bahwa di
sekitar masjid pernah tumbuh pohon teratai, dan menurutnya bunga teratai
tersebut diabadikan dalam sebuah ornamen pada mihrab Masjid Kanari dan
juga pada meja batu berbentuk bundar diameter 1 m, tebal 10 cm, hiasan
sulur daun dan bagian tengahnya berhias goresan segi delapan, tinggi kaki
kurang lebih 25 cm juga berhias sulur daun. Bahan dari batu kali.28
Kanari merupakan nama komplek makan Sultan Abdul Mafakhir yang
memerintah pada tahun 1596-1640, beserta keluarganya. Dalam tardisi nama
Kanari telah dikenal sebagai nama tempat pemakaman kelaurga sultan.
Komplek makam Kanari ini terpisan dengan masjid Kanari, sekitar 10 meter
dari Masjid Kenari. Komplek makam ini memiliki pagar keliling, luas
keliling sekitar 500 m2. Pintu gerbang berada pada arah selatan berbentuk
Candi bentar, terbuat dari batu bata yang dipsang tanpa spesi (koso), pada
sisi-sisi gapura yang membentuk semacam sayap, hal itu sama yang terdapat
pada gapura-gapura tua lainnya yang terdapat di Cirebon, Sendang Duwur,
dan sebagainya. Dalam komplek makam ini terdapat makam yang berada
dalam cungkup dan makam yang di luar cungkup. Makam Dalam cungkup
di antaranya makam Ny Gede (ibunda Sultan Ageng Tirtayasa), dan kakek
Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Abul Mafakhir.29
Kanari merupakan nama masjid, posisinya berada pada arah selatan
dari komplek pemakaman, untuk memasuki komplek makam dan masjid
terdapat Gapura sebagai penghunung antara halaman luar dengan halaman
dalam komplek, pintu masuknya menghadap arah timur dan untuk masuk
dalam masjid juga terdapat Gapura yang pintunya menghadap utara. Gapura
masjid berbentuk paduraksa, ornamenmihrab pada Masjid Kanari, dan
28
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
33. 29
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
33-34.
93
memolo Masjid Kanari, diangkat sebagai iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani. kronologi pendirian Masjid Kanari, dibangun pada masa Sultan
ageng Tirtayasa yang memerintah pada tahun 1651-1672m dibangun seitar
pertengahan abad ketujuh belas.30
2. Juz 20 (11 & 20)
Deskripsi Gambar Iluminasi Juz 11:
Pada juz 11 dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, iluminasi terdiri
dari dua bagian inti yaitu bagian kerangka rerongkong dan bagian isi
rerongkong. Kerangka rerongkong berbentuk empat persegi panjang dengan
ukuran lebar 13 cm dan panjang 21,5 cm. Pada juz 11, warna biru menjadi
dasar bagi kerangka rerongkong.
Adapun isi rerongkong terdiri dari Tiara, Sayap Tiara, dan Frame
Tiara. Tiara berupa memolo Masjid Kenari yang terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong dengan menggunakan warna merah bata. Sayap Tiara
berupa ornamen mimbar Masjid Caringin yang mengapit Tiara terdapat pada
sisi-sisi kerangka rerongkong dan menggunakan warna merah terang dan
merah. Sedangkan Frame Tiara berupa gambar hias terwengkal yang terdapat
pada sisi-sisi kerangka rerongkong.31
Adapun terwengkal berbentuk bujur
sangkar, mengapit tiga buah lingkaran horizontal, pada sisi-sisinya memiliki
12 lekukan, pada bagian tengah masing-masing terdapat lingkaran.32
Dalam isi rerongkong juga terdapat iluminasi yang bersifat
instrumental berupa grafis lingkaran yang terdapat pada sisi-sisi kerangka
rerongkong yang berwarna merah terang. Selain itu, grafis juga berupa spiral
30
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
34. 31
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 70. 32
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 24.
94
ganda yang terdapat pada sisi-sisi pinggir kerangka rerongkong yang
berwarna kuning.
Gambar 4.7: Tampilan Iluminasi Juz 11 pada Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani
Gambar diambil dari dokumen pribadi
Deskripsi Sumber Artefak Juz 11:
Sumber artefak dari iluminasi pada juz 11 terdapat pada Masjid
Kenari. Adapun pembahasan tentang masjid ini sudah penulis jelaskan pada
pembahasan sumber artefak juz 10 di atas. Adapun secara spesifik iluminasi
merujuk pada memolo atau mustaka Masjid Kanari. Memolo merupakan
kemuncak atap, yang secara teknis muncul sebagai konsekuensi konstruksi
atap tajuk dari sebuah bangunan, khususnya pada sebuah bangunan masjid.
95
Atap tajuk ini telah dikenal sebelum masa Islam dan secara umum sebagai
bangunan sakral. Salah satu masjid di wlayah Banten yang memiliki memolo
adalah Masjid Kanari.33
Deskripsi Gambar Iluminasi Juz 20:
Pada juz 20 dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, iluminasi terdiri
dari dua bagian inti yaitu bagian kerangka rerongkong dan bagian isi
rerongkong. Kerangka rerongkong berbentuk empat persegi panjang dengan
ukuran ukuran lebar 13 cm dan panjang 21,5 cm. Pada juz 20, warna abu-abu
menjadi dasar bagi kerangka rerongkong.
Adapun isi rerongkong terdiri dari Tiara, Sayap Tiara, dan Frame
Tiara. Tiara berupa memolo mimbar Masjid Tanara yang terdapat pada sisi-
sisi kerangka rerongkong dan memiliki warna merah bata. Sayap Tiara
berupa ornamen mimbar masjid Caringin yang mengapit Tiara terdapat pada
sisi-sisi kerangka rerongkong dan memiliki warna merah terang dan merah.
Sedangkan frame Tiara berupa gambar hias terwengkal yang terdapat pada
sisi-sisi kerangka rerongkong yang berwarna merah muda.34
Adapun
terwengkal berbentuk bujur sangkar yang mengapit dua buah lingkaran,
memiliki silang dua meruncing pada bagian ujungnya.35
Dalam isi rerongkong juga terdapat iluminasi yang bersifat
instrumental berupa grafis berupa lingkaran yang terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong yang berwarna merah terang. Selain itu, grafis berupa
33
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
100-101. 34
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 88. 35
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 33.
96
spiral ganda yang terdapat pada sisi-sisi pinggir kerangka rerongkong yang
berwarna kuning.36
Gambar 4.8: Tampilan Iluminasi Juz 20 pada Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani
Gambar diambil dari dokumen pribadi
Deskripsi Sumber Artefak Juz 20:
Sumber artefak dari iluminasi pada juz 20 adalah memolo mimbar
Masjid Tanara. Memolo mimbar Masjid Tanara berupa semacam kumuda
yang terbuat dari bahan kayu. Memolo tersebut berada di atap Masjid Tanara.
36
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 88.
97
Sampai sekarang eksistensi dari Masjid Tanara masih ada dan masih
digunakan untuk kegiatan keagamaan bagi masyarakat sekitar
Masjid Agung Tanara berada di daerah aliran sungai Cidurian yang
merupakan sungai tua, hulunyya berada di Gunung Halimun dan hilirnya di
pantai utara Tangerang. aliran sungai Cidurian pada masa Sultan Ageng
Tirtayasa telah dibuat kanal yang sumber airnya dari Cidurian, fungsi kanal
ini selain untuk irigasi pewasahan juga sebagai sarana transportasi dari
keraton Tirtayasa manuju Batavia. Menurut sumber sejarah lokal bahwa
Masjid Tanara dibangun pada masa Penembahan Maulana Hasanudin yang
dibangun pada tahun 911 H., bertepatan dengan tahun 1505 M.37
3. Juz 30 (21 & 30)
Deskripsi Gambar Iluminasi Juz 21:
Pada juz 21 dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, iluminasi terdiri
dari dua bagian inti yaitu bagian kerangka rerongkong dan bagian isi
rerongkong. Kerangka rerongkong berbentuk empat persegi panjang dengan
ukuran lebar 13 cm dan panjang 21,5 cm. Pada juz 21, warna kuning menjadi
dasar bagi kerangka rerongkong.
Adapun isi rerongkong terdiri dari Tiara, Sayap Tiara, dan Frame
Tiara. Tiara berupa memolo Masjid Singarajan yang terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong yang berwarna merah bata. Sayap Tiara berupa
ornamen mimbar Masjid Caringin yang mengapit Tiara terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong yang berwarna merah dan kuning. Sedangkan frame
Tiara berupa gambar hias terwengkal yang terdapat pada sisi-sisi kerangka
rerongkong yang berwarna hijau.38
Adapun terwengal berbentuk lingkaran,
37
Tubagus Najib Al-Bantani, Iluminasi dan Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani,
36. 38
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 90.
98
mengapit dua buah lingkaran, bujur sangkar berbentuk jari-jari, pada bagian
masing-masing terdapat lingkaran 39
Dalam isi rerongkongan juga terdapat iluminasi yang bersifat
instrumental berupa grafis lingkaran yang terdapat pada sisi-sisi kerangka
rerongkong yang berwarna merang terang. Selain itu, grafis berupa spiral
ganda terdapat pada sisi-sisi pinggir kerangka rerongkong yang memiliki
warna kuning.40
Gambar 4.9: Tampilan Iluminasi Juz 21 pada Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani
Gambar diambil dari dokumen pribadi
Deskripsi Sumber Artefak Juz 21:
Sumber artefak dari iluminasi pada juz 21 adalah memolo Masjid
Singarajan. Memolo terdiri dari tiga bagian: pangkal, tengah dan puncak.
Pada bagian pangkal, tengah dan puncak terdapat hias geometri pada mustaka
atau memolo dari bahan trakota berbentuk potongan tempurung kelapa yang
39
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 34. 40
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 90.
99
pada puncaknya terdapat semacam lotus. Masjid Singarajan atau Masjid
Pangeran Aria Singarajan, terletak di Kampung Singarajan, Kecamatan
Pontang. Didirikan oleh keturunan Sultan Banten yang bergelar Pangeran
Aria Singarajan yang masih bersaudara dengan Muhammad Rafiuddin (1809-
1813). Pangeran Aria Singarajan masih bersaudara dengan Pangeran
Sunyarajan di Tanara yang mendirikan masjid Tanara. Pangeran Aria
Singarajanmembangun masjid yaitu di Singarajan dan di Ketiban (sebelah
selatan Singarajan).41
Deskripsi Gambar Iluminasi Juz 30:
Pada juz 30 dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, iluminasi terdiri
dari dua bagian inti yaitu bagian kerangka rerongkong dan bagian isi
rerongkong. Kerangka rerongkong berbentuk empat persegi panjang dengan
ukuran lebar 13 cm dan panjang 21,5 cm. Pada juz 30, warna kuning menjadi
dasar bagi kerangka rerongkong.
Adapun isi rerongkong terdiri dari Tiara, Sayap Tiara, dan Frame
Tiara. Tiara berupa iluminasi Qur‟an Banten yang terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong yang berwarna merah muda. Sayap Tiara berupa
ornamen mimbar Masjid Agung Banten yang mengapit Tiara terdapat pada
sisi-sisi kerangka rerongkong yang berwarna merah dan kuning. Sedangkan
frame Tiara berupa hias mimbar Masjid Caringin yang terdapat pada sisi-sisi
kerangka rerongkong yang berwarna merah muda.42
Adapun hias mimbar
Masjid Caringin berbentuk sulur-sulur daun.43
41
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 34. 42
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 108. 43
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 43.
100
Dalam isi rerongkong juga terdapat iluminasi yang bersifat
instrumental berupa grafis lingkaran terdapat pada sisi-sisi kerangka
rerongkong yang berwarna merah terang. Selain itu, grafis berupa spiral
ganda yang terdapat pada sisi-sisi pinggir kerangka rerongkong yang
berwarna kuning.44
Gambar 4.10: Tampilan teks iluminasi juz 30 pada Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani
Gambar diambil dari dokumen pribadi
Deskripsi Sumber Artefak Juz 30:
Sumber artefak dari iluminasi pada juz 30 adalah iluminasi naskah Al-
Qur‟an Banten. Iluminasi yang ditampilkan berupa padma atau gunungan dan
terdapat hias Golden Germ dan hias bilik.45
44
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 108. 45
Tubagus Najib Al-Bantani, Panduan Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf Al-
Bantani, 43.
101
C. Relevansi Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani dalam Perkembangan
Mushaf di Indonesia
Pada bab di atas sudah dideskripsikan beberapa iluminasi yang
terdapat dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani beserta sumber artefak yang
menjadi bukti konkret dalam melakukan penelitian. Iluminasi yang ada dalam
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani bersifat empiris karena telah dilakukan
berbagai macam penelitian dan kajian terhadap artefak yang menjadi
pendasaran pembuatan iluminasi. Pada bab ini akan dideskripsikan relevansi
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dalam perkembangan Mushaf di Indonesia.
Tidak hanya itu, bab ini juga akan melihat relevansi iluminasi yang ada
dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dalam perkembangan mushaf
beriluminasi di Indonesia.
Relevansi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dalam perkembangan
mushaf di Indonesia paling tidak harus dilihat dari motif inisiatif pembuatan
mushaf. Syibli Sarjaya mengatakan bahwa pembuatan Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani tidak terlepas dari maraknya pembuatan mushaf Al-Qur‟an yang
diadakan oleh setiap daerah di Indonesia.46
Daerah seperti Jakarta (1995),
Jawa Barat (1997), Kalimantan Barat (2002), Yogyakarta (2011), dan daerah
lain di Indonesia, membuat mushaf kedaerahan. Mushaf kedaerahan yang
disebutkan tersebut membuat pemerintah Provinsi Banten menghendaki
terciptanya pembuatan mushaf yang berasal dari khazanah intelektualitas
khas Banten. Mushaf yang ditulis ini akan menjadi ciri sekaligus petanda
bahwa daerah Banten memiliki mushaf Al-Qur‟an tersendiri seperti daerah-
daerah lain. Hal ini bukan berarti daerah Banten hanya sekadar mengikuti
trend penulisan mushaf yang berbasis pada kearifan lokal, namun lebih pada
usaha mengukuhkan eksistensi dan identitas keislaman masyarakat Banten.
46
Wawancara dengan ketua tim penulisan Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani, Syibli
Syarjaya, pada 12 Juni 2020.
102
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menandakan arah kecenderungan
masyarakat yang religius, yang menjadikan Al-Qur‟an sebagai bacaan utama
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian eksistensi keislaman
masyarakat Banten tidak dapat diragukan lagi. Selain itu, Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani memberi identitas dan warna khusus bagi Banten dan
masyarakatnya bahwa corak keagamaan yang diyakininya dapat terangkum
dalam kerangka pemikiran mushaf Al-Qur‟an. Pengukuhan identitas dengan
melalui penulisan mushaf sangat penting untuk menggambarkan bahwa Islam
diterima oleh masyarakat dengan sempurna, bukan Islam yang hanya sekadar
diamalkan hanya pada aspek lahir atau hanya kulitnya saja. Pendapat terakhir
yang disebutkan ini seperti dikemukakan oleh peneliti Barat seperti Clifford
Geertz47
dan Niels Murder48
yang berkesimpulan bahwa corak keagamaan
masyarakat di Indonesia, khususnya pada masyarakat Jawa, bersifat sinkretik
dalam pengertian sering menyampuradukan antara tradisi Islam dan tradisi
yang berasal dari daerah lokal. Dengan adanya penulisan Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani, seakan hendak mengatakan bahwa corak keislaman masyarakat
Banten sesuai dengan Al-Qur‟an.
Penulisan mushaf yang terbilang massif di wilayah di Indonesia, yang
kemudian juga diikuti oleh Banten, bisa dilihat dari perspektif bangkitnya
semangat keagamaan masyarakat di Indonesia yang semakin tinggi.
Pengamalan Islam semakin sempurna seiring dengan praktek keagamaan
Islam masyarakat yang semakin intens dan benar. Legalitas dari praktek
keagamaan dapat dilihat dari sejauh mana praktek yang diamalkan dalam
masyarakat sesuai dengan kaidah Islam yang ada di dalam Al-Qur‟an
maupun hadis Nabi Saw. Semakin sesuai dengan ajaran Islam yang ada
47
Clifford Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa
(Depok: Komunitas Bambu, 2014). 48
Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya (Jakarta:
Gramedia, 1999).
103
dalam Al-Qur‟an dan hadis maka semakin tinggi keislaman dari seseorang.
Pandangan ini dikuatkan lagi dengan mudahnya masyarakat mengakses
sumber keagamaan seperti Al-Qur‟an, dengan diproduksi secara massal,
maka pemahaman masyarakat tentang Islam akan lebih sempurna dan
komprehensif.
Konteks yang menyertai penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
tidak dapat mengabaikan literasi di tengah masyarakat. Data statistik tentang
masyarakat Banten yang didapatkan dari keterangan laporan distribusi
mushaf dari Kementerian Agama Provinsi Banten menunjukan bahwa
pendistribusian mushaf di tengah masyarakat Banten masih dibilang kurang
atau tidak proporsional dengan jumlah masyarakatnya. Jumlah ideal yang
diharapkan adalah setiap rumah tangga paling tidak harus memiliki satu Al-
Qur‟an di dalamnya.49
Apabila hal tersebut tidak terealisasi maka literasi
dalam masyarakat tentang Al-Qur‟an terbilang sangat rendah. Keadaan
demikian yang memacu upaya untuk diadakannya penulisan Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani oleh pemerintah dan ulama. Banten, sebagai daerah yang
sudah dikenal menjadi basis penyebaran agama Islam semenjak abad 16 M.,50
harus tetap mempertahankan esksistensi dan nama baiknya di tengah wacana
perkembangan penyebaran agama Islam di Indonesia. Semakin banyak
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani yang sampai kepada masyarakat, maka akan
berdampak meningkatnya semangat keagamaan di tengah masyarakat.
Hubungan antara penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dengan
gairah keagamaan masyarakat dapat terjalin erat karena adanya kepedulian
untuk menjadikan mushaf Al-Qur‟an sebagai bagian integral dari kehidupan
masyarakat. Al-Qur‟an sebagai bacaan suci umat Islam sudah selayaknya
49
Secara rinci dapat dilihat dari laporan keluar masuk Mushaf Al-Bantani pada
tahun 2012, 2013 dan 2014. Tim Penyusun Laporan, Laporan Keluar Masuk Mushaf Al-
Bantani tahun 2012, 2013, dan 2014 (Serang: Kementerian Agama, 2014). 50
Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah (Jakarta: LP3ES, 2003).
104
menjadi panutan dan tuntunan bagi setiap muslim dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari. Kebangkitan penulisan mushaf di wilayah Indonesia
menjadi angin besar bagi orang yang hendak menghidupkan ranah
keagamaan ke tingkat masyarakat pedesaan yang notabene masih banyak
memerlukan pendampingan keagamaan. Al-Qur‟an sebagai bacaan mulia,
tidak hanya sebatas bacaan untuk kalangan elit saja, tapi bacaan untuk semua
kalangan tanpa memandang status dan pekerjaan. Kepedulian dan kesadaran
masyarakat dalam membaca Al-Qur‟an, menjadi misi utama dalam penulisan
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani. Semakin banyak masyarakat yang membaca
Al-Qur‟an, maka masyarakat akan semakin memahami esensi menjadi
seorang muslim dan menjadi masyarakat yang peduli akan agamanya.
Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani juga dapat dikaitkan dengan
kebangkitan intelektualitas masyarakat di Indonesia. Kebangkitan
intelektualitas masyarakat dengan cara mengenalkan ajaran fundamental dari
Al-Qur‟an bukan merupakan hal yang baru. Bahkan hal ini sering
dipraktekan oleh pada pemikir seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad
„Abduh dan Rashid Rida. Dalam melakukan gerakan pembaruan dalam
bidang intelektual, mereka menganjurkan masyarakat untuk mempelajari
secara mendalam dan mendetail tentang isi kandungan Al-Qur‟an.51
Kandungan ayat Al-Qur‟an dijadikan oleh pemikir tadi sebagai basis
melakukan gerakan pembaruan Islam. Dalam kaitannya dengan kebangkitan
intelektualitas di Banten dengan cara upaya penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani adalah diharapkan dengan adanya mushaf ini maka masyarakat akan
dapat mengamalkan isi atau kandungan Al-Qur‟an secara sempurna.
Masyarakat akan menjadi insan yang berkembang secara intelektual maupun
51
Harun Nasution, Pembaharuan Pemikiran dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
2010).
105
dapat menjadi agen perubahan seperti yang dikatakan al-Afghani, apabila
menghayati Al-Qur‟an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Faktor yang menyebabkan pembacaan terhadap Al-Qur‟an dapat
menyebabkan orang yang membacanya menjadi pribadi yang baik dan
berintelek adalah terdapat pada ruh atau spirit yang ditimbulkan dari Al-
Qur‟an.52
Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani pengacu pada spirit yang
ada dalam Al-Qur‟an yang dapat mengubah seseorang menjadi pribadi yang
lebih baik. Kemampuan intelektualitas seseorang dapat meningkat apabila
membaca Al-Qur‟an. Pembacaan Al-Qur‟an tidak hanya sekadar membaca
seperti biasa namun pada mendapatkan inspirasi berupa ilmu pengetahuan
yang ada di dalam Al-Qur‟an.
Masyarakat Banten, sebagai masyarakat yang religius53
diharapkan
memperoleh manfaat dari adanya Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani. Kegiatan
intelektualitas seputar keagamaan terus dikembangkan dalam naungan Al-
Qur‟an. Pada hakikatnya Islam mengajarkan supaya manusia terus selalu
mengembangkan daya intelektualnya dengan cara terus membaca dan
menghayati alam sekitarnya. Dengan cara seperti itu maka masyarakat
Banten akan lebih dalam memahami dan menghayati ajaran agama Islam.
Selain memiliki relevansi dan urgensi dari penulisan Mushaf Al-
Bantani dilihat dari posisi strategis perkembangan mushaf di Indonesia,
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani juga memiliki relevansi apabila dikaitkan
dengan iluminasi yang ada di dalamnya. Iluminasi merupakan hal yang unik
52
Forum Ilmiah Festival Istiqlal II, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Konsep
Estetika 5, 18-19. 53
Masyarakat Islam Banten dalam tardisi keislaman di Indonesia pada masa lalu
dikenal lebih sadar diri dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa. Selain itu, Banten
pernah menjadi pusat kerajaan Islam juga dikenal penduduknya sanggat taat beragama. Lihat
Hasani Ahmad Said, “ Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan Maulid”,
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, vol.10, no. 1, (Juni 2016), 117.
…
106
dikaji dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani. Iluminasi bukan hanya sekadar
untuk kepentingan asesoris yang tidak memiliki arti, namun lebih dalam lagi
dari pembuatan iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani adalah
adanya beberapa relevansi dan urgensi yang tidak kalah menarik. Beberapa
hal yang dapat ditelisik dari relevansi dan urgensi dari adanya iluminasi
adalah mengingatkan masyarakat tentang pentingnya mempelajari khazanah
budaya lokal dan pentingnya mempelajari nilai-nilai hakiki agama serta
hubungannya dengan kebudayaan.
Relevansi pertama yang perlu dikemukakan di sini adalah iluminasi
dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani berguna sebagai media pengingat
masyarakat tentang pentingnya mempelajari khazanah budaya lokal.
Kebudayaan dan bahkan peradaban yang ada di Banten tidak dapat
dipandang sebelah mata. Hal ini karena ada beberapa kebudayaan yang
menandakan kedigdayaan Banten sebagai wilayah Islam yang memainkan
peranan penting bagi perkembangan Islam di Indonesia. Iluminasi yang
ditampilkan dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani merupakan hasil seni,
estetika, budaya, yang berasal dari kebudayaan Banten yang sudah maju.
Kebudayaan yang ada di Banten berjumlah sangat banyak dengan
ditemukannya beragam artefak peninggalan Kesultanan Banten54
yang sudah
terbukti keautentikannya. Ketika melihat iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani, maka pembaca akan melihat keragaman kebudayaan yang ada di
wilayah Banten. Iluminasi yang beragam tersebut mengingatkan kepada
54
Ragam artefak ini merupakan peninggalan sejarah kesultanan Banten yang dapat
ditemukan dalam bangunan-bangunan bekas istana kerajaan dan bangunan lainnya seperti
Keraton Surosowan, Keraton Kaibon, Masjid Pacinan tinngi, Masjid Kasunyatan, Masjid
Caringin, makam sultan Banten, dan lain-lain. Masjid-Masjid dan bangunan tersebut tidak
terlepas dari pengaruh religius (Hinduisme dan Islam) dan adanya akulturasi negara-negara
lain seperti Belanda, Cina dan Gujarat. Pembahasan tentang kebudayaan peninggalan Banten
ini dapat dibaca dalam Hasani Ahmad Said, “ Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi
Debus dan Maulid”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, vol.10, no. 1, (Juni
2016), 116.
107
masyarakat bahwa mempelajari budaya lokal dengan segala kearifan yang
tersimpan di dalamnya perlu mendapat kajian yang proporsional dari
berbagai macam kalangan.
Sedangkan relevansi kedua yang tidak kalah pentingnya adalah
iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani mengingatkan masyarakat
tentang pentingnya mempelajari nilai-nilai hakiki dari suatu agama serta
hubungannya dengan kebudayaan. Hubungan antara agama dan budaya
dalam alam pikir masyarakat Banten merupakan entitas yang bersinergi dan
tidak patut untuk dipertentangkan. Dalam agama Islam, legalitas dari tradisi
(adat), budaya dan kebiasaan masyarakat lokal mendapat posisi khusus.
Islam tidak menghendaki tercerabutnya akar tradisi dari masyarakat Islam.
Dalam kaitannya dengan masyarakat Banten, dengan mengambil kasus
goresan iluminasi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, dapat dilihat kesesuaian
antara unsur-unsur agama dengan budaya lokal. Unsur agama adalah tulisan
Al-Qur‟an yang dipercaya berasal dari Allah yang bersifat suci, sedangkan
unsur budaya adalah gambar-gambar iluminatif yang diletakan di sisi-sisi
tulisan Al-Qur‟an. Dengan kata lain sesuatu yang sakral (ayat Al-Qur‟an)
dapat berdiri seiringan dengan unsur yang profan (iluminasi).
Setelah menjelaskan tentang relevansi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani,
sekarang penulis akan mendeskripsikan kontribusi Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani dalam perkembangan mushaf di Indonesia. Adapun kontribusi
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dapat mencakup empat hal, yaitu; pertama,
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dapat dijadikan sebagai rujukan penulisan dan
pengkajian naskah Al-Qur‟an di Indonesia, kedua, menjadi inovasi baru dari
varian penulisan Al-Qur‟an dengan menggunakan iluminasi yang berasal dari
khazanah lokal berupa artefak atau manuskrip, ketiga, penulisan Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani sebagai upaya mewujudkan motto pemerintah Provinsi
Banten yaitu “Iman dan Takwa”, dan keempat, Mushaf Al-Qur‟an Al-
108
Bantani dilihat sebagai upaya memperlihatkan adanya perkembangan studi
mushaf Al-Qur‟an di Indonesia, khususnya mushaf daerah.
Kontribusi pertama Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani adalah dapat
dijadikan sebagai rujukan penulisan dan pengkajian naskah Al-Qur‟an di
Indonesia. Syibli Syarjaya, ketua tim penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani, mengatakan bahwa setelah penulisan dan pencetakan Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani banyak individu atau kelompok dari kalangan intelektual,
pengkaji, peneliti maupun dari pihak pemerintah daerah yang melakukan
studi banding ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten dan kantor
Kementerian Agama Provinsi Banten. Studi Banding tersebut bertujuan
untuk menanyakan bagaimana penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dari
proses penelitian sampai pada proses distribusi ke masyarakat. Selain itu,
studi banding yang dilakukan daerah lain juga sering menanyakan tentang
asal-usul pemberian iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani sampai
menjadi iluminasi yang khas Banten.55
Pernyataan dari Syarjaya, seperti diungkapkan di atas, menunjukan
bahwa dengan adanya Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menjadi magnet bagi
peneliti mushaf di Indonesia untuk berpacu melakukan penulisan mushaf di
daerah masing-masing.56
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dijadikan sebagai
contoh bagi model penulisan mushaf yang berbasis pada kearifan lokal.
Dengan kata lain, penulisan mushaf yang akan dilakukan di daerah lain
55
Wawancara dengan ketua tim penulisan Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani, Syibli
Syarjaya, pada 12 Juni 2020. 56
Mushaf daerah yang terlebih dahulu lahir daripada Mushaf Al-Bantani seperti
Mushaf Istiqlal, Mushaf Al-Tin, Mushaf Jawa Barat, Mushaf Yogyakarta, Mushaf Cirebon.
Pembahasan tentang mushaf tersebut dapat dibaca dalam Lenni Lestari, “Mushaf Al-Qur‟an
Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya Lokal”, Jurnal At-Tibyan, vol. I, no. 1 (2016), 193,
Asep Saefullah, “Ragam Hias Mushaf Kuno”, Jurnal Lektur Keagamaan, vol 5, no I, (2007),
44-45, Billy Muhammad Rodibillah, dkk. “Sejarah Penulisan Al-Qur‟an Mushaf Sundawi di
Bandung Tahun 1995-1997”, Historia Madania, 48, Mahmud Buchari, dkk. “Al-Qur‟an
Manuskrip Mushaf Untuk mengenang Almh. Ibunda Hjh. Fatimah Siti Hartinah Soeharto”.
(Jakarta: Kharisma, 1999), 9.
109
merujuk pada gaya dan keindahan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dilihat dari
berbagai aspek seperti aspek kaligrafi dan iluminasi. Daerah di Indonesia
yang hendak membuat mushaf Al-Qur‟an mendapat inspirasi yang tidak
sedikit dari gaya penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani juga dijadikan sebagai bahan kajian
dari berbagai kalangan. Informasi yang didapatkan dari Syarjaya
mengindikasikan bahwa Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menjadi magnet bagi
para peneliti mushaf di Indonesia untuk melakukan penelitian tentang mushaf
kedaerahan seperti yang dilakukan oleh MUI dan pemerintah Provinsi
Banten. Dengan demikian Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menjadi rujukan
para pengkaji baik dari wilayah Banten maupun luar Banten.57
Dampak dari menjadikan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani sebagai
pusat kajian bagi para peneliti mushaf di Indonesia adalah tereksposnya
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, sebagai khazanah intelektual asli Banten ke
berbagai kalangan. Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani juga diharapkan
melahirkan kajian-kajian lainnya yang berkaitan dengan penulisan mushaf di
Indonesia, khususnya penelitian yang terkait dengan seluk beluk penulisan
mushaf dilihat dari segi kaligrafi maupun iluminasi yang membingkai tulisan
dalam mushaf.
Kontribusi kedua, Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani adalah menjadi
inovasi baru dari varian penulisan Al-Qur‟an dengan menggunakan iluminasi
yang berasal dari khazanah lokal berupa artefak atau manuskrip. Menerapkan
hasil kajian yang berasal dari artefak dan manuskrip ke dalam penulisan
mushaf, belum pernah dilakukan dalam sejarah penulisan mushaf di
Indonesia. Tubagus Najib mengatakan bahwa Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
merupakan contoh pertama yang menerapkan hasil kajian yang berasal dari
57
Pembahasan tentang Mushaf Al-Bantani pada aspek kaligrafi dan iluminasi pernah
dibahas dalam Annabel Teh Gallop & Ali Akbar, “The Art of the Qur‟an in Banten:
Callighraphy and Illumination”, Archipel, Vol.72, (2006), 95-156.
110
artefak yang ditemukan di daerah Banten kemudian dijadikan sebagai bahan
pembuatan iluminasi. Iluminasi yang ada dalam Mushaf Al-Bantani
merupakan autentik atau asli berasal dari nilai-nilai lokal dari Banten dan
tidak menyertakan unsur dari luar Banten.58
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani menjadi pelopor penulisan mushaf di
Indonesia yang menyertakan unsur artefak dan manuskrip. Daerah-daerah
lain yang terdapat banyak artefak ditemukan dan terdapat manuskrip yang
sangat banyak dan kaya, dapat meniru tradisi penulisan mushaf seperti yang
dilakukan dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani. Artefak dan manuskrip
sebagai bagian dari peninggalan pusaka yang menyimpan banyak sejarah di
dalamnya dapat menjadi inspirasi penerapan iluminasi di dalam Al-Qur‟an.
Iluminasi yang akan diterapkan sedapat mungkin berasal dari daerah di mana
Al-Qur‟an akan ditulis misalnya dari daerah Sumatra, Kalimantan, Maluku
atau Papua. Setiap daerah pasti memiliki ciri kedaerahan yang membedakan
dengan daerah lain. Unsur yang menjadikan berbeda tersebut seperti bentuk
artefak, manuskrip atau bentuk peninggalan bersejarah lainnya dapat
digunakan sebagai bahan inspirasi pembuatan mushaf.
Iluminasi berupa artefak dan manuskrip dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani memberi kontribusi nyata bagi penulisan mushaf di Indonesia berupa
menerapkan gambar-gambar abstraksi dalam tulisan Al-Qur‟an dalam rangka
menambah unsur estetis di dalamnya. Unsur estetis menjadi unsur penting
sebagai daya tarik pembacaan Al-Qur‟an.59
Dengan merujuk pada iluminasi
yang ada dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, maka penulisan mushaf di
Indonesia dengan penyertakan unsur iluminasi di dalamnya bisa menerapkan
khazanah unsur lokal di dalam tulisan Al-Qur‟an sebagai unsur estetis yang
58
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani (Serang: MUI Prov Banten, 2010), iii. 59
Tubagus Najib Al-Bantani, dkk (peny.), Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an Mushaf
Al-Banntani, 86.
111
membingkai tulisan Al-Qur‟an. Jadi iluminasi yang ada dalam mushaf tidak
berasal dari copy-an iluminasi dari daerah luar, melainkan menjadikan
iluminasi berasal murni dari daerah sendiri yang mempunyai nilai sejarahnya
sendiri.
Adapun kontribusi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani ketiga adalah
penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani sebagai upaya mewujudkan motto
pemerintah Provinsi Banten yaitu “Iman dan Takwa”. Pemerintah Provinsi
Banten memiliki motto yaitu untuk menjadikan kehidupan masyarakatnya
bersifat religius, mengerti masalah keagamaan dan melakukan aktivitas
sehari-hari dengan berlandaskan nilai-nilai agama. Hubungan antara
penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dengan motto tersebut adalah
sebagai upaya menyebarkan kepada masyarakat luas tentang pentingnya
nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Mushaf Al-Qur‟an Al-
Bantani memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam menerjemahkan
keinginan pemerintah untuk menjadikan masyarakat Banten sebagai
masyarakat yang religius, melakukan segala sesuatu berlandaskan iman dan
taqwa kepada Allah.
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani sudah didistribusikan kepada
masyarakat sebanyak 96.000 mushaf pada tahun 2012, 98.380 mushaf pada
tahun 2013 dan 65.000 mushaf pada tahun 2014. Jadi selama tiga tahun
mendistribusian Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, pemerintah sudah
mendistribusikan 259.380 mushaf kepada masyarakat Banten.
Pendistribusian mushaf tersebut secara kumulatif disebarluaskan ke berbagai
macam yayasan atau pondok pesantren, taman pendidikan Al-Qur‟an,
sekolah atau madrasah, kantor pemerintahan, dan tokoh masyarakat.
Pendistribusian Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani, turut serta dalam
112
menyebarkan gagasan literasi keagamaan di kalangan masyarakat secara
luas.60
Sedangkan kontribusi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani keempat adalah
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dilihat sebagai upaya memperlihatkan adanya
perkembangan studi mushaf Al-Qur‟an di Indonesia, khususnya mushaf
daerah. Perkembangan dalam studi mushaf Al-Qur‟an, seperti dikatakan Eva
Nugraha, sebaiknya tidak dianggap selesai dengan kodifikasi Al-Qur‟an dan
penyempurnaan tanda baca pasca sahabat „Utsmān bin „Affān.61
Studi
mushaf Al-Qur‟an sebaliknya terus berlanjut sampai kapan pun dengan
adanya penulisan dan penyalinan mushaf daerah yang dilakukan di banyak
tempat di belahan dunia Islam. Dalam konteks penulisan mushaf di
Indonesia, penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani merupakan upaya
memperlihatkan bahwa studi tentang mushaf di Indonesia tidak terhenti atau
stagnan, namun terus berlanjut dan dinamis.
Dinamisasi yang hendak ditunjukan dalam penulisan Mushaf Al-
Qur‟an Al-Bantani adalah terdapat varian baru dalam pembuatan iluminasi
dalam mushaf. Iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani berasal dari
kajian artefak dan manuskrip yang ada di Banten. Dengan demikian, studi
tentang mushaf di Indonesia selalu dinamis karena selalu mendapatkan
inspirasi baru yang dapat memperkaya studi ilmu Al-Qur‟an lainnya.
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani juga merupakan usaha untuk menjaga
keautentikan atau keaslian Al-Qur‟an di Indonesia. Bentuk penjagaan
keaslian Al-Qur‟an dari zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya sampai
pada masa sekarang dilakukan dengan cara tashih. Adapun lembaga tashih di
60
Tentang pendistribusian Mushaf Al-Bantani dapat dilihat secara rinci dalam
laporan keluar masuk Mushaf Al-Bantani pada tahun 2012, 2013 dan 2014. Tim Penyusun
Laporan, Laporan Keluar Masuk Mushaf Al-Bantani tahun 2012, 2013, dan 2014 (Serang:
LPTQ Provinsi Banten, 2014). 61
Eva Nugraha, “Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci: Studi Kasus Usaha
Penerbitan Mushaf Al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer”, Disertasi (Jakarta: Sps UIN
Jakarta, 2018), 6.
113
Indonesia berada di tangan Lajnah Pentashih Al-Qur‟an (LPQ), Kementerian
Agama. Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani telah ditashih oleh LPQ dan telah
dinyatakan uji kevalidan dan keautentikan sebagaimana standar Mushaf
„Utsmāni yang berkembang di Indonesia. Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
merupakan usaha untuk terus melestarikan tradisi penulisan mushaf di dunia
Islam dan di Indonesia, yaitu untuk menjaga keaslian Al-Qur‟an.
114
115
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini berkesimpulan sebagai berikut:
Perumusan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani berawal dari munculnya
gagasan masyarakat Banten yang dicetuskan pada tahun 2007, untuk
pembuatan mushaf beriluminasi yang menggambarkan khazanah budaya
lokal Banten. Gagasan masyarakat Banten tersebut mengerucut menjadi
inisiatif konkrit yang diambil MUI Provinsi Banten. Perumusan berlangsung
di wilayah Banten dan dilakukan oleh sejumlah tokoh baik dari kalangan
pemerintah, ulama, akademisi, dan lainnya yang berasal dari Banten sendiri.
Sementara rancang bangun proses penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani
berlangsung pada bulan Maret hingga Juli 2010 di Pamulang Tangerang
Selatan, setelah tahap penelitian iluminasi telah dilakukan pada tahun 2009.
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani ditulis oleh para kaligrafer handal (Putra
daerah Banten) yang telah direkrut oleh Dewan Pimpinan MUI Banten
dengan kriteria tertentu. Secara keseluruhan pembuatan manuskrip Mushaf
Al-Qur‟an Al-Bantani meliputi konsepsi pembuatan, pembentukan iluminasi
frem, pewarnaan pada iluminasi, penulisan kaligrfi secara manual,
perancangan dan penyempurnaan, pembuatan desain final, editing, installing
khat dan iluminasi, dan proses duplikat atau produksi.
Iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani merupakan bentuk
ejawantah dari artefak yang ditemukan di daerah Banten kemudian dikemas,
digambar ulang dan diterapkan menjadi kerangka-kerangka yang berisi Tiara
dan frem Tiara. Iluminasi tersebut seluruhnya berjumlah 30 buah dalam
bentuk artefak sebanyak 29 buah dan dalam bentuk manuskrip sebanyak 1
116
buah. Iluminasi dapat ditemukan pada setiap juz dalam Al-Qur‟an yang
membentang dari awal juz satu sampai akhir juz ketiga puluh.
Iluminasi dalam Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani tidak sekadar
memiliki tujuan untuk menghadirkan efek estetis pada tulisan Al-Qur‟an
tetapi memiliki ungkapan religuisitas di dalamnya.
Relevansi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dalam perkembangan
mushaf di Indonesia dilihat sebagai bentuk kontinuitas penulisan Al-Qur‟an
mushaf di Indonesia yang gencar dilakukan pada awal abad 21 yang berbasis
pada kearifan lokal. Sehingga turut mengukuhkan eksistensi dan identitas
keislaman masyarakat Banten. Selain itu, dengan adanya Mushaf Al-Qur‟an
Al-Bantani mengindikasikan adanya perkembangan yang maju dalam
masyarakat terutama dalam bidang keagamaan dan intelektualitas. Dari segi
adanya perkembangan keagamaan, masyarakat dapat memanfaatkan Mushaf
Al-Qur‟an Al-Bantani untuk meningkatkan paham dan praktek keagamaan
yang sesuai dengan tuntunan yang diajarkan dalam Al-Qur‟an. Sedangkan
dari segi adanya perkembangan intelektualitas, masyarakat dapat
meningkatkan literasi terhadap khazanah keislaman yang ada di wilayah
Banten. Dengan demikian tradisi intelektualitas masyarakat Banten dapat
berkembang dengan adanya penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
B. Saran-Saran
Penelitian ini hanya sebatas mengkaji tentang unsur iluminasi dalam
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani dan relevansinya dengan perkembangan
mushaf di Indonesia. Penelitian ini hanya sampai pada penemuan tujuan dari
pembuatan iluminasi dan tidak sampai pada implikasi iluminasi dalam
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani kepada masyarakat Banten. Perlu diadakan
penelitian lanjutan yang terkait dengan sikap masyarakat Banten terhadap
iluminasi yang ada dalam mushaf.
117
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. “Eksistensi Al-Qur‟an Pusaka dalam Perkembangan Mushaf
Indonesia”. Journal Of Qur‟an and Hadith Studies, vol 8, no. 2, (Juli-
Desember 2019).
Akbar, Ali. “Mushaf Jakarta”, diakses 28 Mei 2020, http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/05-mushaf.
_______, “Mushaf Kalimantan Barat”, diakses 28 Mei 2020, http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/05-mushaf.
_______ , “Mushaf Keraton Yogyakarta”, diakses 28 Mei 2020, http://quran-
nusantara.blogspot.com/2012/09-mushaf.
_______ , “Pencetakan Mushaf Al-Qur‟an di Indonesia”. Suhuf, vol. 4, no.2,
(2011).
Andeska, Niko, dkk. “Inventarisasi Ragam Hias Aceh Pada Iluminasi Mushaf
Al-Qur‟an Kuno Koleksi Pedir Museum di Banda Aceh”, Gorga
Jurnal Seni Rupa, vol. 08, no. 02, (2019).
Arifin, M. Zaenal. Khazanah Ilmu Al-Qur‟an. Tangerang: Penerbit Yayasan
Masjid At-Taqwa, 2018.
Baehaki, Kiki Ahmad. “Representasi Seni Nusantara dalam Iluminasi Al-
Qur‟an Mushaf Attin”, Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia, 2012.
Bafadal, Fadhal AR dan Rosehan Anwar. Mushaf-mushaf Kuno Indonesia.
Jakarta : Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagmaan Departeman Agama RI, 2005.
118
Buchari, Mahmud dkk. “Al-Qur‟an Al-Karim: Manuskrip Mushaf Untuk
Mengenang Almh. Ibunda Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto”.
Jakarta: Kharisma, 1999.
Budi, Arifin Setya. “ Iluminasi Naskah Jawa Kuno: Kajian Estetik Simbolik
Ragam Hias Pada Serat Pakuwon.” Skripsi (Semarang: Universitas
Negeri Semarang, 2016).
Bungin, H.M. Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta: Kencana, 2005.
Chambert-Loir, Henri dan Oman Fathurahman. Khazanah naskah: Panduan
Naskah-naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Ecole Francaise
d‟Extreme-Orient & YOI, 1999.
Denffer, Ahmad Von, Ahmad Nashir Budiman. Ilmu Al-Qur‟an Pengenalan
Dasar. Jakarta: CV Rajawali, 1988.
Forum Ilmiah Festival Istiqlal II. Ruh Islam dalam Budaya Bangsa: Konsep
Estetika 5. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1996.
Gallop, Annabel Teh & Ali Akbar. “The Art of the Qur‟an in Banten:
Callighraphy and Illumination”, Archipel, Vol.72, (2006), 95-156.
Geertz, Clifford. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan
Jawa. Depok: Komunitas Bambu, 2014.
Hadi, Abdul W.M.. Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas. Jakarta: Sadra
Press, 2016.
Hajirun, Makmur dkk,. Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Nusantara:
Satu Kajian Perbandingan Antara Mushaf Istiqlal Indonesia dengan
119
Mushaf Tab‟an Ain al-Taqwa Malaysia. Universiti Pendidikan Sultan
Idris, 2016.
Hakim, Abdul. “Al-Qur‟an Cetak di Indonesia: Tinjauan Kronologis
Pertengahan Abad ke-19 hingga Awal Abad ke-20”, Suhuf, vol. 5, no.
2 (2012).
Hamid, Abdul. Pengantar Studi Al-Qur‟an. Jakarta: Prenadamedia Group,
2016
Ilmiyah, Mazroatul. “Iluminasi Naskah Mushaf Al-Qur‟an Sunan Giri:
Kajian Kodikologis Disertai Analisis Semiotika”, Tesis. Semarang:
Universitas Airlangga, 2019.
Jayadi, Hirman. “Perkembangan Mushaf Al-Qur‟an Di Indonesia: Studi
Mushaf Al-Qur‟an Tema Perempuan”, Skripsi. Jakarta: Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2016.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Gedung Bayt Al-Qur‟an dan Museum
Istiqlal. Sejarah Penulisan Mushaf Al-Qur‟an Standar Indonesia.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2013.
Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur‟an (LPTQ) Banten, Hasil Survei
Melek Huruf Al-Qur‟an dan Indikator Iman-Takwa. Serang: LPTQ
Banten, 2017.
Lestari, Lenni. “Mushaf Al-Qur‟an Nusantara: Perpaduan Islam dan Budaya
Lokal Nusantara”. Jurnal At-Tibyan, vol. I, no. I (Januari-Juni 2016).
Lubis, Nina H. Banten dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta: LP3ES, 2003.
Mamik. Metode Penelitian Kualitatif. Sidoarjo: Zifatama Publisher, 2015.
120
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2016.
Mu‟jizah. Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad Ke-18 dan Ke-19.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
Mulder, Niels. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. Jakarta:
Gramedia, 1999.
Mustofa, Avi Khuriya. “Variasi dan Simbol dalam Mushaf Manuskrip Al-
Qur‟an di Masjid Agung Surakarta (Kajian Filologi)”. Skripsi.
Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2013.
Najib, Tubagus Al-Bantani, dkk (peny.). Iluminasi & Kaligrafi Al-Qur‟an
Mushaf Al-Banntani (Berdasarkan Artefak dan Manuskrip Banten).
Serang: MUI Prov Banten, 2010.
_______, Tubagus Al-Bantani, dkk (peny.). Panduan Iluminasi & Kaligrafi
Al-Qur‟an Mushaf Al-Bantani. Serang: MUI Prov Banten, 2010.
Nashih, Ahmad. “Studi Mushaf Pojok Menara Kudus: Sejarah dan
Karakteristik”. Jurnal Nun, vol 3, no. 1, 2017.
Nasution, Harun. Pembaharuan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 2010.
Nugraha, Eva. ”Living Mushaf: Penelusuran atas Sakralitas Penggunaan
Mushaf dalam Keseharian”. Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 5
(Januari 2013).
121
_______, “Komodifikasi dan Sakralitas Kitab Suci: Studi Kasus Usaha
Penerbitan Mushaf Al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer”, Disertasi.
Jakarta: Sps UIN Jakarta, 2018.
Nurtawab, Ervan. “Qur‟anic readings and Malay translation in 18th
century
Banten Qur‟ans A.51 and W.277”, Indonesia and Malay Word,
(2020).
Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Pitaloka, Sikha Amalia Sandia. “Manuskrip Mushaf Al-Qur‟an Keratn
Kacirebonan (Analisis Iluminasi).” Skripsi. Yogyakarta: Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2019.
Rodibillah, Billy Muhammad. “Sejarah Penulisan Al-Qur‟an Mushaf
Sundawi di Bandung Tahun 1995-1997”, Skripsi. Bandung:
Universitas Islam Negeri Sunan Gunug Djati Bandung, 2018.
Saefullah, Asep. “Ragam Hias Mushaf Kuno Koleksi Bayt Al-Qur‟an dan
Museum Istiqlal Jakarta”. Jurnal Lektur Keagamaan, vol. 5, no. I,
(2007).
Safari, Achmad Opan. “Iluminasi Naskah Cirebon”. Suhuf, vol. 03, no. 2,
2010.
Said, Hasani Ahmad, “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus
dan Maulid”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam,
vol.10, no. 1, (Juni 2016).
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur‟an. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2013.
122
Tim Penyusun Laporan. Laporan Keluar Masuk Mushaf Al-Bantani tahun
2012, 2013, dan 2014. Serang: Kementerian Agama, 2014.
Wawancara dengan anggota Lajnah Pentashihan Al-Qur‟an Kementerian
Agama RI. Fahrur Rozi, 14 Juni 2020.
Wawancara dengan ketua tim penulisan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
Syibli Syarjaya, pada 12 Juni 2020.
Wawancara dengan ketua MUI Banten. A.M. Romly, pada 30 Maret 2020.
Widianingrum, Arizki. “Mushaf Hafalan Di Indonesia”, Skripsi. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Wulandari, Desi. “Analisis Ornamen Al-Qur‟an Mushaf Sundawi di
Perpustakaan Pusdai Jawa Barat”. Skripsi. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia, 2016.
117
Lampiran 1
PEDOMAN WAWANCARA
Hari, Tanggal : 12 Juni 2020
Tempat : Ciputat
Yang diwawancarai : Bapak Syibli Syarjaya
Jabatan : Ketua Harian Lembaga Pengembangan Tilawatil
Qur‟an (LPTQ) Banten
Peneliti: Bagaimana awal mula munculnya gagasan untuk pembuatan
Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani?
Bapak Syibli : Gagasan berasal dari umat Islam Banten, kemudian
disampaikan oleh Gubernur Banten. Jadi kita itu memang pada awalnya
melihat ada beberapa mushaf yang sudah diterbitkan beberapa daerah seperti
Mushaf Istiqlal, Mushaf Al-Tin dan sebagainya. Nah kemudian dalam
pertemuan majelis ulama (2008) dikemukakan “apakah tidak dipandang
penting kita memiliki Mushaf Al-Bantani?”, dan juga dalam musyawarah dan
rapat-rapat gagasan ini dilontarkan kepada masyarakat Banten. mereka
merespon bahwa penting bagi kita untuk memiliki Mushaf Al-Bantani. Nah
kemudian pada tahun 2007, ada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono safari
Ramadhan ke Banten, pada saat itu diinformasikan oleh Gubernur bahwa kita
ingin punya Mushaf Al-Bantani. kemudian mulailah digarap penulisan
perdananya 02 Februari 2008, dan kemudian selesailah itu setahun, kemudian
proses-prosesnya pada tahun 2010 sampai dengan cetak. Penulisan diawali
dengan penelitian iluminasi. Iluminasi tersebut melihat kepada artefak-
artefak peninggalan sejarah Banten. penelitian itu dilakukan di Perpustakaan
Nasional RI, masjid-masjid kuno yang ada di Banten, sampai kita lakukan ke
124
Lampung, ada artefak Banten yang tersimpan di sana. Ketua tim penelitinya
yaitu Tubagus Najib dengan tim dari IAIN Banten (sekarang UIN), dan juga
kerjasama dengan Lembaga Penelitian Masyarakat (LPM). Setelah
penelitian, kita pilah-pilah dan dapatkan tiga puluh artefak yang wajar dan
pantas untuk dijadikan iluminasi. Kemudian, kita buat kerjasama dengan
orang fakultas seni ITB untuk mendesain iluminasinya. Maka tiap juz itu
iluminasinya berbeda, antara juz satu, dua, tiga dan seterusnya sampai juz
tiga puluh berlainan. Kita juga sertakan dalam mushaf tersebut, pengertian
dan narasi dari artefak tersebut yang disebut dengan panduan iluminasi dan
kaligrafi Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani.
Peneliti : Bagaimana proses pencetakan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani?
Bapak Syibli : Prosesnya, pertama kali itu penulisan terlebih dulu. Kita tulis
dahulu dalam manuskrip, dan kita undang para khattat Banten yang kebetulan
kebanyakan berdomisili di Tangerang. Khattat tersebut termasuk salah
satunya Ahmad Tholabi, Dekan Fakultas Syariah UIN Jakata. Setelah para
khattat tersebut merampungkan penulisan mushaf, kemudian kita koordinasi
dengan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an untuk pengoreksian mushaf.
Dan kita kerjasama dengan Lembaga Pencetakan Al-Qur‟an (sekarang UPQ)
Kemenag di Bogor. Mushaf yang telah selesai ditashih oleh lajnah
pentashihan, baru kita kirim ke LPQ, dan disitulah dicetak. Pencetakan
dilakukan pada tahun 2010 sebanyak tiga ribu eksemplar, 2011 sebanyak
seratus ribu eksemplar, 2012 sebanyak seratus ribu eksemplar, 2013
sebanyak seratus ribu eksemplar, dan 2014 sebanyak seratus ribu eksemplar.
Kemudian tahun 2015 hingga sekarang kita belum mencetak kembali, karena
anggaranya tidak tersedia. Versi cetakan tahun 2010 dan 2011 itu tidak pakai
terjemah, baru pada tahun 2012 kita mencetak dengan terjemahnya, karena
kita berharap agar masyarakat di samping membaca juga harus mengetahui
125
terjemahnya. Adapun terjemahannya kita kopi copy paste dari terjemahan
Departeman Agama Tahun 2002.
Peneliti : Bagaimana Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani disosialisasikan?
Bapak Syibli : Pada tahun 2010 itu mencetak pertama, dan kita launching
mushaf ini tepat pada hari HUT Provinsi Banten yang ke-10 yaitu tanggal 04
Oktober 2010. Nah setelah itu, bagaimana sosialisasi ke masyarakat? Kita
kerjasama dengan organisasi-organisasi, terutama dengan MUI Banten dan
MUI itu punya organisai sampai ke kecamatan, nah kemudian dengan LPTQ
dan LPTQ juga punya organisasi sampai ke kecamatan. Kita sosialiasi
mushaf disamping kita distribusikan ke beberapa masjid, pondok pesantren,
sekolah, lembaga organisasi, dan sebagainya.
126
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA
Hari, Tanggal : 14 Juni 2020
Tempat : Ciputat
Yang diwawancarai : Fahrur Rozi
Jabatan : Anggota Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an
Kementerian Agama RI
Peneliti : Bagaimana proses pentashihan Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani?
Pak Rozi : Secara keseluruhan, prosesnya itu sudah beberapa tahun yang lalu.
Dan prosesnya cukup lama, karena mushaf ini tulisan baru sehingga
ditemukan kesalahannya banyak sekali ketika proses pentashihannya. Hampir
satu tahun proses pentashihannya hingga sampai diterbitkan. Hal ini standar
memang, biasanya kalau mushaf yang tulisannya baru, mulai dari awal itu
pentashihannya bisa menghabiskan waktu satu tahun hingga dua tahun,
kesalahannya bisa bersih.
Dalam praktiknya, proses tashih mushaf mencakup dua model yaitu: pertama,
pentashihan dilakukan oleh seluruh anggota tim Lajnah Pentashihan secara
bergantian dan berulang-ulang, setiap halaman Mushaf Al-Bantani yang
ditashih, salah satu pentashih membaca mushaf standar sementara yang
lainnya mencocokkan dengan ayat al-Qur‟an yang terdapat pada Mushaf Al-
Bantani. setiap pentashih yang telah selesai mengoreksi, maka ia memberikan
paraf sebagai tanda telah melaksanakan pentashihan. Kemudian yang kedua,
adalah tashih sendiri, setiap pentashih mengoreksi halaman Mushaf Al-
Bantani masing-masing tanpa disimak bacaanya oleh pentashih lain. Dia baca
sendiri, ketika melihat kesalahan, dia mengecek ke mushaf standar. model ini
127
yang sering kali dilakukan untuk mengorekasi Mushaf Al-Bantani, karena
lebih hemat waktu dan tenaga.
Peneliti : Berapa orang yang mentashih Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani?
Pak Rozi : semua anggota Lajnah Pentashihan yang jumlahnya 25 orang.
Peneliti : Secara keseluruhan, Mushaf Al-Qur‟an Al-Bantani telah ditashih
berapa kali oleh Tim Lajnah Pentashihan?
Pak Rozi : Ya lebih dari seratus kali dibacanya, di Lajnah dibaca segitu dan
di tempat pembuatan mushaf ini juga dibaca segitu juga.