Download - Presentasi Hamdan Zoelva
1 | Page
KEKERASAN AGAMA DAN MASA DEPAN TOLERANSI DI INDONESIA1
Oleh:
Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H2
A. Pendahuluan
Indonesia adalah bangsa yang prural. Pluralitas itu tidak saja tercermin dari
keanekaragaman suku, ras, dan bahasa, tetapi juga agama, yakni dengan hadirnya sejumlah
agama besar seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu serta berbagai
agama dan kepercayaan lainnya. Keragaman agama ini, di satu sisi memberikan kontribusi
positif untuk pembangunan bangsa. Namun, di sisi lain dapat juga berpotensi sumber konflik.
Itulah sebabnya, konsepsi kebebasan beragama yang juga mencakup toleransi beragama
menjadi suatu keniscayaan bagi negara dengan karakteristik seperti Indonesia. Membicarakan
wacana kebebasan beragama dengan sendirinya menggiring kita masuk ke dalam wilayah
pemikiran konstitusional. Mengapa? karena UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis sejatinya
telah memberikan jaminan konstitusional kepada setiap warga negara untuk memeluk agama
dan kepercayaannya itu. Landasan legal formal tersebut menjadi bukti bahwa negara berupaya
untuk mewujudkan kerukunan dengan mengembangkan sikap toleransi kepada semua
penganut agama.
Hanya saja harus diakui, bangsa Indonesia akhir-akhir ini mengalami ujian yang berat atas
berbagai konflik yang terjadi yang secara langsung atau tidak langsung “berbaju” - kalaupun
tidak dikatakan sebagai “mengatasnamakan” atribut keagamaan. Berbagai bentuk kekerasan
berbasis agama yang terjadi memunculkan pertanyaan klasik, mengapa agama mudah terlibat
dalam aksi kekerasan. Dari pertanyaan itu, kita kemudian dengan mudah melafalkan istilah
kekerasan agama. Walalaupun secara sosiologis istilah tersebut lazim digunakan, namun
secara teologis sepatutnya disadari bahwa istilah itu mengandung risiko, karena sama halnya
1 Materi disampaikan pada Seminar Nasional “Kekerasan Beragama Dan Masa Depan Toleransi Di Indonesia” diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi bekerjasama dengan The Wahid Institute, pada tanggal 8 Januari 2013.
2 Pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta, Hakim Konstitusi Republik Indonesia, Guest Profesor pada China University of Political Science and Law, Beijing, China.
2 | Page
dengan mengatakan bahwa agama membenarkan kekerasan. Padahal, jika ditelaah secara
mendalam dan jujur, kehadiran agama justru ingin merespons dan memberikan solusi secara
mendasar terhadap berbagai persoalan manusia, seperti hubungan antar manusia, agar
berlangsung secara harmoni dan jauh dari konflik kendati harus hidup dalam berbagai
perbedaan. 3
Prinsipnya, dalam memaknai berbagai fenomena kekerasan agama yang muncul, haruslah
dipahami bahwa ia bukanlah fenomena tunggal yang terkait dengan persoalan agama semata.4
Terdapat faktor lain yang memicu munculnya fenomena tersebut. Salah satunya berkait-
berkelindan dengan persoalan hak asasi manusia dan hukum. Tidak diragukan lagi, agama
adalah bagian dari hak asasi manusia, akan tetapi pengamalannya dibatasi oleh hukum.
Seringkali disinilah terjadi tarik menarik antara pemenuhan kebebasan beragama di satu sisi
dan pembatasan kebebasan beragama pada sisi yang lain. Idealnya, diantara kedua elemen itu
dapat saling berjalan beriringan, karena jika tidak, justru akan menimbulkan kekerasan yang
berwujud pada tindakan intoleran. Kondisi ini pula yang dapat menyebabkan munculnya
masalah hubungan agama dan negara, dan bila yang terjadi demikian, maka persoalan ini
bukan lagi menjadi persoalan sosial tetapi menjadi persoalan hukum semata-mata.
Lantas, bagaimanakah konsep yang ideal untuk membangun toleransi beragama dalam
masyarakat plural seperti Indonesia? Upaya apa yang dapat dilakukan untuk meneguhkan
eksistensi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan berdasarkan prinisip negara hukum
Indonesia? Tulisan ini hendak menyampaikan secara singkat perkembangan hak kebebasan
beragama di Indonesia dalam perspektif normatif, khususnya ditinjau dari bingkai konstitusi,
kendala dan tantangan, serta pelembagaannya ke depan agar kebebasan beragama tersebut
tidak menimbulkan ketegangan, konflik, dan keretakan antar umat beragama.
B. Kebebasan Beragama dalam Bingkai Konstitusi
Setiap negara yang memiliki konstitusi modern pada dasarnya harus menjamin kebebasan
beragama bagi setiap warga negara, dan sekaligus harus menjamin bahwa hak dasar itu dapat
dilaksanakan.5 Indonesia dengan UUD 1945-nya, dapat dikatakan telah memenuhi syarat
3Syamsul Arifin, “Memutus Rantai Kekerasan Agama”,
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/09/16/memutus-rantai-kekerasan-agama/ diakses, 3 Januari 2012. 4 Indonesianis seperti Esposito dan Woodward menegaskan bahwa konflik agama tidaklah murni persoalan
agama melainkan lebih merupakan persoalan ketidakadilan, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Lihat Bahtiar Efffendy dan Sutrisno Hadi (eds), Agama dan Radikalisme di Indonesia, Jakarta: Nuqtah, 2007, hal. 47-50.
5 Lihat pendapat Olaf H.Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta: Gunung Mulia, 2006, hal. 56.
3 | Page
konstitusi modern tersebut, karena menjamin hak setiap orang untuk bebas dalam beragama
sesuai dengan keyakinan dan hati nuraninya masing-masing, seperti yang diatur dalam Pasal
28E.6 Pengakuan terhadap hak kebebasan beragama di Indonesia juga tidak luput dari prinsip
negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1)
UUD 1945. Penegasan konstitusi ini hendak menekankan bahwa semua agama dan masing-
masing pemeluknya diperlakukan sama sebagai warga negara Indonesia. Ajaran agama-agama
yang ada di dalam negara menjiwai atau menjadi dasar kerohanian dan dasar moral bagi
bangsa dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hal ini bermakna,
hubungan antara negara dan agama dalam bangunan negara Indonesia tidak dipisahkan.
Dalam posisi demikian, Negara Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara
agama dan negara. Prinsip ini merupakan ciri khusus dari Negara Hukum Pancasila sekaligus
yang membedakannya dari semua konsep negara hukum lain baik rechstaat, rule of law, dan
socialist legalitiy. 7 Dalam perspektif negara Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, negara tidak sepenuhnya mengambil jarak dengan agama. Dalam hal ini, misalnya negara
justru ikut menfasilitasi da’wah dan pengembangan agama, yakni dengan dibentuknya
kementerian tersendiri (Kementerian Agama), bahkan pada sekolah terdapat kewajiban
mengajarkan agama pada anak didik. Kondisi ini berbeda dengan negara yang secara resmi
mengambil jarak dengan agama, mengajarkan agama pada sekolah negara adalah tabu.
Walaupun konstitusi Indonesia telah secara tegas menjamin kebebasan beragama,
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya
sebagaimana dimaksud pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E UUD 1945, namun dalam tingkat
pemahaman dan implementasi masih terdapat persoalan, khususnya terkait dengan
sejauhmana makna kebebasan tersebut. Dalam hal ini, terdapat diskursus mengenai forum
internum dan forum eksternum. Forum internum adalah menyangkut kebebasan dalam
memeluk suatu agama, suatu keyakinan atau suatu pendapat. Forum eksternum menyangkut
ekspresi keagamaan atau ekspresi dari suatu keyakinan atau pendapat. Forum internum
6 Pasal 28E UUD 1945: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”- dan Pasal 28E ayat (2) menyatakan. “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
7Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Cet.1., Bogor: Kencana, 2003, hal.98.
4 | Page
bersifat internal pribadi yang bersangkutan. Sedangkan forum eksternum sudah menyangkut
pribadi dan relasi sosial seseorang dengan lingkungannya.
Diskursus mengenai forum internum menjadi topik yang diperdebatkan oleh para ahli saat
ini. Hal yang kerap dipertanyakan adalah, apakah derogasi terhadap kebebasan berpikir,
nurani, agama atau berkeyakinan dapat dibenarkan secara hukum. Kebebasan forum internum
secara luas dianggap sebagai kebebasan absolut. Negara tidak boleh melakukan intervensi
forum internum dengan cara indoktrinasi ideologis atau keagamaan, “pencucian otak”, atau
dengan menggunakan bentuk-bentuk manipulasi lainnya. Pada saat yang bersamaan negara
memiliki tanggung jawab untuk mencegah pihak-pihak non negara, termasuk kelompok
keagamaan, untuk terlibat dalam atau melakukan indoktrinasi dalam bentuk yang memaksa,
manipulatif atau yang menyesatkan. Meskipun demikian, perlindungan “absolut” forum internum
terhadap indoktrinasi tidaklah seabsolut seperti yang tampak secara sepintas. Sebagai contoh,
dalam Islam mendakwahkan agama adalah tanggung jawab setiap muslim. Demikian juga
dalam kasus penyebaran agama di Yunani (Kokkinakis versus Greece), hak untuk
memanifestasikan agama seseorang melalui pengajaran meliputi pula hak untuk mencoba
meyakinkan tetangga seseorang tentang kebenaran dan keyakinannya. Pada saat yang
bersamaan umat Islam menentang pandangan tentang adanya hak untuk mengubah
keyakinannya dari agama Islam ke agama yang lainnya selain Islam. Jadi, tidaklah
mengherankan apabila negara-negara Islam dan bersama-sama dengan negara lain yang
memilki agama dominan yang cenderung tidak aktif menyebarkan agama, menolak hak eksplisit
untuk mengubah agama yang menyertainya. Bagaimana seharusnya menyeimbangkan hak
untuk mengajarkan ajaran agama dan untuk meyakinkan orang tentang hak absolut orang lain
untuk tidak dilanggar forum internum-nya? Pada titik mana negara mempunyai hak atau bahkan
kewajiban untuk mengintervensi dalam rangka melindungi kebebasan pikiran dan agama.8
Menanggapi perkara diatas, terdapat perbedaan pendapat dari beberapa hakim
Pengadilan HAM Eropa dalam mengilustrasikan luasnya pendekatan terhadap konflik hak asasi
ini. Di satu pihak ada hakim yang setuju terhadap perlindungan “absolut” forum internum,
dengan dalih bahwa “tidak ada pembenaran bagi negara ketika ia menggunakan kekuasaannya
untuk melindungi” orang yang diajak masuk (ke dalam suatu agama)”. Namun di pihak lain ada
pula hakim yang justru sangat mendukung intervensi negara demi mencegah indoktrinasi
8 Lihat selengkapnya Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, “Pembatasan-Pembatasan yang Diperbolehkan Terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan”, dalam Tore Lindholm, W.Cole Durham, Jr, Bahia G.Tahzib Lie, (ed.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-prinsip dan Praktek”, Edisi Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hal. 206.
5 | Page
agama. Terkait dengan perbedaan pendapat ini, mayoritas hakim kemudian mengambil jalan
tengah, dengan mengakui diperbolehkannya negara untuk memberi pembatasan-pembatasan
terhadap kebebasan ini dalam ranah yang ditentukan secara hati-hati, demi merekonsiliasi
kepentingan dari berbagai kelompok dan demi menjamin bahwa kepercayaan setiap orang
dihormati. Pengadilan ini menarik suatu pembedaan antara “mengemban kesaksian kristen”
dan “penyebaran agama yang tidak patut”. Untuk hal yang pertama, dikemukakan pandangan
bahwa “mengemban kesaksian Kristen” merupakan sebuah misi yang esensial serta
merupakan sebuah tanggung jawab dari setiap umat Kristen dari setiap gereja”. Tidak demikan
halnya dengan yang kedua, yaitu “penyebaran agama tidak patut”, dimana hal ini merupakan
“perusakan atau penistaan terhadap hak tersebut. Oleh karena itu, forum internum hanya
dilindungi dalam kasus-kasus tindakan yang tidak patut, seperti manipulasi, kecurangan serta
paksaan. Batasan lain terhadap forum internum diderivasikan dari hak asasi orang tua untuk
menjamin pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan orang tua
sendiri. Sebagai contoh, hak orang tua untuk mengindoktrinasi anak-anak mereka dengan cara
membaptis dalam agama Kristen atau praktek serupa dalam agama lain (khitan dalam Islam)
tentu memberikan suatu “pembatasan” terhadap hak absolut setiap orang, termasuk anak-anak,
untuk mengatur agama atau keyakinan menurut pilihan mereka sendiri
Berdasarkan kontruksi tersebut, maka jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama
adalah prinsip yang sah. Hal ini mengimplikasikan suatu afirmasi nyata bahwa negara tidak
boleh mengurangi hak kebebasan beragama sebagai hak intrinsik setiap warga negara.9 Dari
sudut ini, kebebasan beragama sudah absolutely clear. Jaminan kebebasan beragama dan
berkeyakinan itu kemudian ditindaklanjuti dalam berbagai undang-undang antara lain, UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM,10 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak11, UU No.
12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on
Civil and Political Rights (ICCPR)12. Terkait dengan ratifikasi ICCPR, Indonesia menjadi Negara
Pihak (State Parties) yang berkewajiban merealisasikan dan memberikan laporan tahunan
kepada PBB tentang kebebasan beragama. Jaminan hak oleh pemerintah itu meliputi
kebebasan untuk menentukan agama atau keyakinan atas dasar pilihannya sendiri,
9 Pasal 28I UUD 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.
10 Lihat Pasal 4, Pasal 12, dan Pasal 22 11 Lihat Pasal 6 dan Pasal 43 ayat (1) 12 Lihat Pasal 18, 20, dan 27
6 | Page
kebebasan–baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum
maupun tertutup—untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah,
penunaian, pengamalan, dan pengajaran.
Namun perlu disadari bahwa, pada saat yang bersamaan UUD 1945 juga
mengamanahkan, dalam pelakanaan kebebasan termasuk kebebasan beragama, hak dan
kebebasan orang lain tidak boleh diganggu karena tuntutan kehendak untuk melaksanakan
sendiri. Karena itu, Pasal 28J ayat (1) mengatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bahkan, Pasal 28J ayat (2) UUD menegaskan pula bahwa dalam menjalankan hak dan
kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis”. Artinya, tidak karena kebebasan menjalankan agama, seseorang atau
sekelompok orang dapat dibenarkan melakukan tindak kekerasan yang merugikan hak dan
kebebasan orang lain. Kebebasan orang untuk menjalankan agama dan atas nama agama atau
kelompok tetap harus dilakukan dengan menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain. Dengan demikian, kendati hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama dinyatakan sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun, namun dalam memanifestasikannya, hak tersebut dapat dibatasi sepanjang
menyangkut aspek forum externum dari hak-hak tersebut. Hal ini berarti, dalam praktik
kehidupan beragama atau berkeyakinan, negara juga dapat melakukan pembatasan (forum
externum). Tetapi, pembatasan itu hanya dibenarkan jika ditentukan oleh hukum dan dilakukan
karena salah satu dari lima alasan yang diijinkan, dan diperlukan atau diharuskan seperti
keselamatan umum (public safety), tatanan/ketertiban masyarakat (public order), moral publik
(public morals), perlindungan hak serta kebebasan orang lain.13
Adapun penjabaran dari lima alasan diijinkannya pembatasan hak kebebasan beragama
dan berkeyakinan itu adalah sebagai berikut. Pertama, pembatasan demi perlindungan
keamanan publik, dimaknai ketika ancaman terkait agama yang bersifat langsung terjadi atas
orang atau harta kekayaan, negara diberi wewenang untuk mengambil upaya yang sungguh-
sungguh diperlukan dan proporsional dalam rangka melindungi keselamatan publik, termasuk
13 Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, op.cit., hal. 206.
7 | Page
larangan atau pembubaran suatu sidang/majelis agama, dan dalam kasus-kasus ekstrem,
bahkan pelarangan suatu kelompok keagamaan yang benar-benar berbahaya (terutama sekali
hal-hal yang menghasut/mendorong kebencian agama atau propaganda perang, serta
melakukan tuntutan pidana terhadap para pelaku. Kedua, pembatasan untuk melindungi
tatanan/ketertiban publik, mengandung makna, kebebasan memanifestasikan agama atau
kepercayaan seseorang bisa hanya dibatasi atas dasar ini demi menghindari gangguan pada
tatanan/ketertiban publik dalam pengertian yang sempit. Tatanan publik dalam hal ini diartikan
pencegahan kekacauan publik. Contoh pembatasan ini adalah pendirian tempat-tempat
peribadatan publik. Ketiga, pembatasan dalam rangka perlindungan kesehatan publik adalah
pembatasan yang diperbolehkan karena alasan kesehatan publik terutama dimaksudkan untuk
mengizinkan intervensi negara dalam rangka mencegah wabah atau penyakit-penyakit lain.
Keempat, pembatasan guna perlindungan moral, yakni konsep moral yang diderivasikan dari
banyak tradisi sosial, filosofis, dan agama, sehingga pembatasan terhadap moral tidak hanya
didasarkan pada prinisip-prinisp yang berasal dari tradisi tunggal. Kelima, pembatasan demi
melindungi hak dan kebebasan fundamental orang lain seperti penyebaran agama secara tidak
patut (proselytism), penghujatan (blasphemy). Jika dalam kasus proselytism pembatasan
ditujukan untuk melindungi kebebasan keyakinan, agama, atau kepercayaan dari kemungkinan
aktivitas penyebaran agama secara tidak patut, maka blasphemy dimaksudkan untuk
melindungi perasaan agama individu dari kemungkinan dilukai oleh orang lain.14
Berdasarkan uraian diatas terlihat, perspektif negara-bangsa yang mendasakan pada
konstitusi menjadi kunci yang menentukan dalam dinamika dan jaminan kebebasan beragama
dalam masyarakat modern, termasuk di dalamnya Indonesia di mana UUD 1945 telah
memberikan jaminan bagi kebebasan beragama. Selain itu, berbagai pengaturan yang
merupakan derivasi dari UUD membenarkan bahwa kerangka jaminan kebebasan kehidupan
beragama atau berkeyakinan di Indonesia cukup kuat. Namun, sangat penting diingat bahwa
negara harus mengakui keterkaitan jaminan ini dengan kewajibannya untuk memenuhi hak
tersebut. Keterkaitan ini mewajibkan negara untuk melakukan serangkaian tindakan yang
menjamin implementasi yang efektif dan sesuai dengan hak asasi manusia.
14 Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, op.cit., hal. 207-224.
8 | Page
C. Realitas antara Negara dan Hak Beragama
Kokohnya landasan konstitusi dan perundang-undangan yang mengatur kebebasan dan
toleransi beragama tidak dengan sendirinya menjamin kebebasan itu berjalan dengan baik.
Karena, boleh jadi dalam kondisi tertentu muncul masalah yang dapat menghambat kebebasan
tersebut. Seperti yang telah disinggung diatas, kebebasan beragama pada forum internum
pada prinsipnya bersifat absolut dan negara tidak diperkenankan melakukan intervensi,
walaupun dalam hal tertentu terdapat pengecualian. Demikian halnya dengan kebebasan
beragama pada forum externum, ia bukanlah hak yang absolut, sehingga dalam
pelaksanaannya masih dapat dibatasi oleh negara. Dalam kerangka ini, negara harusnya dapat
memastikan bahwa tidak ada diskriminasi terhadap seseorang atau sekelompok orang yang
dilakukan atas nama agama. Negara harus melakukan berbagai upaya baik melalui undang-
undang ataupun kebijakan yang melarang segala bentuk diskriminasi dan tindakan intoleran
yang didasarkan pada agama atau kepercayaan.
Di dalam berbagai konvensi internasional seperti ICCPR, European Convention, dan
American Convention, pada dasarnya negara memang diberikan peluang untuk dapat
membentuk suatu pembatasan atas berbagai hak sipil dan politik, termasuk hak kebebasan
beragama.15 Dalam hal ini, kebebasan beragama itu dapat dibatasi sepanjang untuk melindungi
keselamatan umum, ketertiban masyarakat, moral publik, perlindungan hak-hak dan kebebasan
lainnya. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, pembatasan hanya dibenarkan bila
“ditentukan oleh hukum”. Ditentukan oleh hukum diartikan sebagai suatu aturan formal yang
merupakan hasil dari proses legislasi maupun norma-norma sederajat yang tak tertulis dalam
hukum kebiasaan yang mudah diakses dan cukup rinci sehinggaorang dapat memperkirakan
aplikasinya. Selain itu, pembatasan tersebut hanya diperbolehkan jika pembatasan itu tidak
diskriminatif.16
Dengan demikian, pembatasan kebebasan beragama sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 28J UUD sesungguhnya dapat dikatakan sejalan dengan instrumen internasional yang
telah diratifikasi pemerintah. Cara seperti ini pula berimplikasi pada cara pandang terhadap
Undang-undang Nomor 1/ PNPS/ Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai undang-undang, ataupun sejumlah
15 Pasal 18 ayat (3) ICCPR, Pasal 9 ayat (2) ECHR, dan Pasal 12 ayat (3) ACHR.Lihat Manfred Nowak dan
Tanja Vospernik, op.cit., hal. 206. 16 Ibid.
9 | Page
peraturan lain seperti SKB (Menag dan Mendagri) No. 1/ 1969 tentang Pendirian Rumah
Ibadah, SKB No. 3/ 2008, KEP. 033/ A/ JA/ 6/ 2008 dan No. 199/ 2008, tentang Peringatan dan
Perintah kepada penganut, anggota, dan/ atau anggota pengurus jama’ah Ahmadiyah
Indonesia dan warga masyarakat, yang ditandatangani Menag, Jaksa Agung dan Mendagri ( 9
Juni 2008). Adalah hal yang tak dapat diingkari, bahwa dengan diperbolehkannya negara untuk
memberi pembatasan terhadap kebebasan melalui sejumlah peraturan perundang-undangan
tersebut, sebagian masyarakat berpendapat bahwa hal itu justru dapat menimbulkan persoalan
dalam tataran praktis.Pandangan ini dapat dipahami karena bagi mereka yang terpenting
adalah melindungi individu-individu penganut agama, bukan pada agama yang diyakininya.
Namun, bagi sebagian masyarakat lain, pembatasan seperti itu masih dimungkinkan sepanjang
diatur oleh undang-undang, dan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak kebebasan orang lain untuk untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan nilai-nilai agama.
Pro-kontra atas pembatasan kebebasan beragama kemudian diperjelas melalui putusan
Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian Undang-undang Pencegahan Penyahgunaan
dan/atau Penodaan Agama17 Pada pokoknya Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan
kebebasan beragama atau berkeyakinan masih dibutuhkan dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia yang paling fundamental, yakni kebebasan
beragama. Mahkamah menekankan bahwa pembatasan yang diatur dalam Undang-undang
Pencegahan Penodaan Agama bukan merupakan pembatasan kebebasan beragama atau
berkeyakinan seseorang (forum internum), tetapi menyangkut pembatasan atas pernyataan
pikiran dan sikap sesuai hati nurani seseorang di depan umum (forum externum) yang
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia, mengeluarkan perasaan
atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Di satu sisi, Mahkamah mengakui bahwa
penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian kebebasan yang berada pada
forum internum, namun pada sisi lain Mahkamah menilai, jika penafsiran yang dilakukan itu
tidak berdasarkan pada metodologi yang umum diakui oleh para penganut agama serta tidak
berdasarkan sumber kitab suci yang bersangkutan akan menimbulkan reaksi yang mengancam
keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau dilaksanakan di muka umum.
17 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor
1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
10 | Page
Dalam hal yang demikian menurut Mahkamah pembatasan dapat dilakukan. Hal itu sesuai
dengan Ketentuan Pasal 18 ICCPR, sehingga menurut Mahkamah, pembatasan dalam hal
ekspresi keagamaan (forum externum) yang terkandung dalam Undang-undang Pencegahan
Penodaan Agama adalah dibenarkan oleh UUD 1945 maupun standar internasional yang
berlaku.
Pada bagian lain Mahkamah memandang bahwa Undang-undang Pencegahan Penodaan
Agama lebih memberi wadah atau bersifat antisipatif terhadap kemungkinan tindakan anarkis
apabila ada penganut suatu agama yang merasa agamanya dinodai. Dengan adanya undang-
undang ini, jika masalah seperti itu timbul maka dapat diselesaikan melalui hukum yang ada
(Undang-undang Pencegahan Penodaan Agama). Substansi undang-undang ini bukan
dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama, melainkan untuk memberi rambu-rambu
tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Penodaan agama atau
penghinaan terhadap agama atau penghinaan agama (blasphemy atau defamation of religion)
juga merupakan bentuk kejahatan yang dilarang oleh banyak negara di dunia. Sehingga secara
substansi ketentuan dalam Undang-undang Pencegahan Penodaan Agama tidak dapat serta
merta diartikan sebagai bentuk pengekangan forum externum terhadap forum internum
seseorang atas kebebasan beragama. Karena itu pula, Mahkamah berpendapat bahwa negara
memiliki kekuasaan untuk menerapkan pembatasan terhadap kebebasan beragama atas dasar
pertimbangan keamanan. Apablia negara membiarkan timbul keadaan seperti kerusuhan sosial
yang diakibatkan karena adanya penafsiran dan kegiatan agama yang menyimpang, berarti
negara tidak melaksanakan kewajibannya untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat.
Dengan demikian, menurut Mahkamah bahwa ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang
Pencegahan Penodaan Agama adalah bagian tidak terpisahkan dari maksud perlindungan dan
penghormatan terhadap hak beragama. Hal demikian tidak semata-mata dilihat dari aspek
yuridis saja, melainkan juga aspek filosofis yang menempatkan kebebasan beragama dalam
perspektif keindonesiaan, sehingga praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah
berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan
Indonesia. Terlebih, aspek preventif dari suatu negara menjadi pertimbangan utama dalam
suatu masyarakat yang heterogen. Terhadap penghormatan negara atas berbagai konvensi
serta perangkat hukum internasional termasuk hak asasi manusia, Mahkamah berpendapat
harus tetap berdasarkan pada dasar falsasah negara dan UUD 1945, khususnya dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945. Oleh sebab itu,
11 | Page
Mahkamah berpendapat bahwa Undang-undang Pencegahan Penodaan Agama sejalan
dengan amanat UUD 1945 yakni untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih baik (the
best life possible).
D. Membangun Toleransi, Meredam Kekerasan Beragama: Harapan ke Depan
Membangun toleransi beragama dalam kemajemukan bangsa seperti Indonesia bukanlah
perkara mudah. Setidak-tidaknya, pelaksanaanya sangat bergantung pada pemahaman dan
pemaknaan atas kebebasan beragama itu sendiri. Meski hampir tidak ada lagi perdebatan
subtantif tentang pentingnya kebebasan beragama, faktanya toleransi beragama itu masih
menghadapi masalah dan kendala tertentu, bahkan pelanggaran-pelangaran terhadap
kebebasan beragama dan berkeyakinan masih terus terjadi. Pada saat yang sama, upaya untuk
mengembangkan toleransi, kebebasan beragama dan menegakkan hak asasi manusia kian
gencar dilakukan. Dalam kerangka konstitusi dan falsafah bangsa Indonesia, Pancasila pada
hakekatnya merupakan titik temu yang disepakati para penganut agama dalam kehidupan
bernegara. Dalam hal ini, Pancasila telah memuat seluruh nilai-nilai yang dicita-citakan bersama
bagi tatanan Indonesia yang ideal. Pancasila dirumuskan berdasarkan masyarakat yang
majemuk, yang meliputi perbedaan suku dan agama. Karena itu, Pancasila disepakati dan
diterima oleh semua umat beragama. Merespon berbagai peristiwa kekerasan yang berbasis
agama, Pancasila sesungguhnya dapat dilihat kembali dan diharapkan menjadi dasar untuk
mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat yang amat beragam, dan dapat menjadi
rujukan perumusan kebijakan dalam berbagai sektor, sekaligus dasar pembentukan konsensus
masyarakat, khususnya makna pentingnya persatuan sebagai sebuah bangsa dan semangat
gotong royong.
Hal terpenting dalam membangun toleransi beragama adalah semangat kebersamaan
sebagai suatu bangsa, semangat saling memahami dan semangat dialog. Upaya pemaksaan
penyebaran agama yang manipulatif, provokatif, dan tidak memperhatikan lingkungan sosial
pasti akan menimbulkan benturan sehingga dapat menganggu ketertiban umum. Ketika
ketertiban umum terganggu maka kita tidak bisa mempersalahkan negara untuk terlibat di
dalamnya bahkan negara harus berperan dalam kondisi yang demikian. Membangun rasa
kebersamaan adalah tanggung jawab para tokoh agama, pimpinan organisasi keagamaan dan
bahkan tanggung jawab pemerintah.
Kita perlu mengkaji pengalaman sejarah bangsa kita yang ratusan bahkan ribuan tahun
hidup rukun antar agama. Hindu dan Budha masuk Indonesia tanpa gesekan berarti dengan
12 | Page
kepercayaan-kepercayaan lokal pada masa itu. Demikian juga Islam masuk tanpa gesekan
berarti dengan Hindu dan Budha yang telah lebih dahulu masuk di bumi nusantara. Apa yang
dipahami dari sejarah itu adalah adanya pendekatan sosiologis yang harus dibangun dalam
hubungan antara agama termasuk agama-agama da’wah yang mendakwahkan agamanya.
Sekali lagi apabila aspek ini tidak diperhatikan pasti akan menimbulkan benturan. Disinilah
pentingnya memahami falsafah Pancasila yang menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan
gotong royong serta penghormatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan yang adil dan
beradab. Artinya, hak-hak dan keyakinan seseorang yang menurut kodratinya melekat padanya
termasuk hak keyakinan beragama harus dihormati.
Untuk membangun dan memperkuat toleransi beragama perlu juga dilakukan melalui
pendekatan hukum karena hukum dapat memiliki daya paksa untuk mencegah tindakan-
tindakan yang melanggar prinisip-prinsip toleransi dan kebersamaan. Dalam hal ini, hukum
dapat mencakup persoalan pembentukan hukum (law making), penerapan hukum atau
penegakan hukum (law enforcement) dan budaya hukum (legal culture). Di dalam ketiga ranah
itu, tercakup elemen subjek aparat dan institusi (aparatur), elemen substansi aturan atau norma
peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum (legal culture) yang berkaitan pula dengan
persoalan tingkat perkembangan peradaban berbangsa dan bernegara (level of civilization).
Sekiranya keseluruhan elemen dan aspek-aspek hukum tersebut dapat berfungsi dengan baik,
maka niscaya hukum kita dapat berfungsi efektif, baik untuk mencegah maupun menindak.18
Dalam kaitan pembentukan hukum (law and rule making) ada beberapa persoalan yang harus
segera diatur melalui norma undang-undang, yaitu antara lain, perlunya undang-undang yang
mengatur tata cara pendirian tempat ibadah. Walaupun pendirian tempat ibadah salah satu
bentuk manifestasi kebebasan beragama, tetapi hal itu dapat menimbulkan benturan sosial jika
tidak dilakukan pendekatan yang baik. Batas-batas dan mekanisme itulah yang perlu diatur
dengan undang-undang. Demikian pula dengan penyebaran ajaran agama, karena hal itu
menyangkut forum internum dan sekaligus merupakan ekspresi keagamaan yang merupakan
forum eksternum, diperlukan batas-batas kebolehan dan larangan dalam melakukan
penyebaran agama khususnya untuk menghindari penyebaran agama yang manipulatif,
provokatif, dan menimbulkan goncangan sosial. Dalam hal ini, negara memiliki dasar konstitusi
18 Lihat Jimly Asshiddiqie, Penguatan Hukum Dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Massa Yang
Mengatasnamakan Agama Atau Kelompok, Makalah disampaikan dalam Forum Diskusi Dewan Pertimbangan Presiden RI, April 2011, hal. 2.
13 | Page
untuk melakukan pembatasan berdasarkan keamanan dan ketertiban umum sebagaimana
dimaksud konstitusi.
Pada tataran penegakan hukum (law enforcement), setelah norma undang-undang
dibentuk, maka negara tidak boleh pilih kasih dalam melindungi setiap penganut agama baik itu
mayoritas maupun minoritas. Negara harus memberikan kenyamanan pada semua pemeluk
agama untuk menjalankan ajaran agama sesuai koridor dan jaminan hukum negara. Demikian
halnya jika negara diperhadapkan dengan norma undang-undang, peraturan-peraturan, dan
kesepakatan bersama yang masih berlaku terkait pengaturan agama dan keyakinan warga
negara, maka peran negara pada tahap ini adalah memantau, mengevaluasi, dan menegakkan
pelaksanaan ketentuan hukum yang ada. Sejauhmana efektivitas pelaksanaan dasar hukum
tersebut sangat tergantung pada faktor pengawasan yang dibebankan kepada negara.
Prinisipnya, penegakan hukum secara adil menjadi salah satu solusi menjembatani dan
mengakomodir hak dan kewajiban setiap masyarakat dalam mewujudkan toleransi beragama
yang telah dijamin dalam negara hukum Indonesia.
E. Penutup
Langkah-langkah konstruktif negara dalam menjamin hak kebebasan beragama dan
toleransi dijamin dalam UUD 1945. Disini terlihat peran UUD 1945 sebagai pemersatu. Dalam
hal ini, UUD tidak menghilangkan atau menafikkan keberadaan perbedaan agama yang ada,
justru hak dasar manusia tersebut diakui dan dihormati. Meski demikian, dalam konteks
kekinian, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan masih mendapat tentangan yang
cukup serius. Banyaknya konflik yang berlatar belakang pemaknaan agama sebagai pemicunya
menuntut adanya perhatian yang serius untuk mengambil langkah-langkah yang antisipatif,
terutama dari segi hukum. Hal ini penting demi tercapainya kedamaian kehidupan umat
beragama di Indonesia. Jika hal ini diabaikan, dikhawatirkan akan muncul masalah yang lebih
berat dalam rangka pembangunan bangsa dan negara di bidang politik, ekonomi, keamanan,
budaya, dan bidang-bidang lainnya. Namun hal yang harus ditumbuhkan sebagai warga negara
dan sebagai umat beragama di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ialah kedewasaan
dan kematangan beragama, berbangsa, dan bernegara. Semua pihak harus bersepakat untuk
menghindari cara-cara anarkis di dalam menyelesaikan setiap persoalan, dan semua pihak juga
harus taat terhadap hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
14 | Page
Daftar Pustaka
Bahtiar Effendy dan Sutrisno Hadi (eds). 2007. Agama dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: Nuqtah.
Jimly Asshiddiqie. Penguatan Hukum Dalam Upaya Pencegahan Kekerasan Massa Yang
Mengatasnamakan Agama Atau Kelompok, makalah disampaikan dalam Forum Diskusi Dewan Pertimbangan Presiden RI, April 2011.
Lindholm, Tore., W.Cole Durham, Jr, Bahia G.Tahzib Lie,(ed.) 2010. Kebebasan Beragama
atau Berkeyakinan Seberapa Jauh? Sebuah Referensi tentang Prinsip-prinsip dan Praktek. Edisi Bahasa Indonesia.Yogyakarta: Kanisius.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang
Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Syamsul Arifin, “Memutus Rantai Kekerasan Agama”,
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/09/16/memutus-rantai-kekerasan-agama/ diakses, 3 Januari 2012.
Schumann, Olaf H. 2006. Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, Jakarta:
Gunung Mulia. Tahir Azhary. 2003. Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Cet.1., Bogor: Kencana.
15 | Page
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi Nama : HAMDAN ZOELVA Tempat/tgl Lahir : Bima, 21 Juni 1962 Email : [email protected] Kantor : Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Alamat : Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta 10110 P.O Box 999 JKT 10000 Pendidikan 1. Doktor Ilmu Hukum, Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran
Bandung, Kajian Hukum Tata Negara. 2. Magister Hukum, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum, Universitas Padjadjaran
Bandung, Kajian Hukum Pidana. 3. Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Jurusan Hukum Internasional.
Riwayat Pekerjaan 1. 2010 – sekarang : Profesor Kehormatan dari The China University of Political
Science and Law, Beijing, China 2. 2004 – sekarang : Dosen Tetap Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Magister
Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah, Jakarta 3. 1987 – 2010 : Lawyer/Advokat Riwayat Jabatan Pemerintahan/Negara 1. 2010 – Sekarang : Hakim Konstitusi 2. 1999 – 2004 : Anggota DPR RI, dari Partai Bulan Bitang (Sekretaris Fraksi
DPR RI dan Wakil Sekretaris Fraksi MPR RI, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, membidangi Urusan Hukum, Peradilan, dan Pemerintahan Dalam Negeri)
3. 2004 – 2007 : Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara RI Kegiatan Sosial Politik Kemasyarakatan 1. 2005 – 2010 : Wakil Ketua Umum, Dewan Pimpinan Pusat Partai Bulan Bintang 2. 1998 – 2005 : Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Bulan Bintang
16 | Page
3. 2002 – Sekarang : Deputy Chairman ASEAN Moeslim Youth Secretariat 4. 2005 – Sekarang : Majelis Nasional Korps Alumni HMI 5. 2011 – Sekarang : Dewan Pakar ICMI Buku/Publikasi 1. Pemakzulan Presiden di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011. 2. Impeachment Presiden Di Indonesia, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2005. 3. Naskah Komperehensip Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, 10 Jilid Buku, (Nara Sumber Penulisan Buku), Penerbit Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2008.
4. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repblik Indonesia 1945, 17 Jilid Buku (Anggota Tim Penyusun), Penerbit, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008 – 2009.
5. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repblik Indonesia, Bidang Eksekutif , Penerbit, Sekretariat Negara RI, 2008.
6. Pendidikan Kesadaran Konstitusi, Untuk SD/MU, (Reviewer/Mitra Bestari), Penerbit, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
7. Pendidikan Kesadaran Konstitusi, Untuk SMP/MTsN, (Reviewer/Mitra Bestari), Penerbit, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
8. Pendidikan Kesadaran Konstitusi, Untuk SMA/MA, (Reviewer/Mitra Bestari), Penerbit, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
9. Hubungan Mahkamah Konsitusi Dengan Lembaga Negara Lainnya, Jurnal Hukum JENTERA, Edisi 11 – tahun III. Januari – Maret 2006.
10. Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Jurnal Sekretariat Negara RI, Mei 2009.
11. Paradigma Baru Ketatanegaraan Pasca Perubahan UUD 1945, Jurnal Sekretariat Negara RI, November 2006.
12. Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara Setelah Perubahan UUD 1945, Jurnal Sekretariat Negara RI, Agustus 2006.
13. Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jurnal Hukum Jurisdictie, Volume 003/II/2010, Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah, 2010.
14. Globalisasi dan Politik Hukum HaKI, Jurnal Law Review, Volume X, Nomor 3 Maret 2011, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2011.
15. Negara dan Demokrasi: Peran Mahkamah Konstitusi dalam Menegakan Negara
Hukum dan Demokrasi Dalam Negara Hukum yang Berkeadilan: Kumpulan Pemikiran dalam Rangka Purna Bakti Prof. Dr. Hj. Bagir Manan SH., M.CL., Penerbit Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum UNPAD Bandung 2011.
16. Kebijakan Hukum Investasi Pasca Reformasi di Indonesia, Jurnal Law Review, Edisi khusus-Agustus 2011, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 2011.
Seminar dan Nara Sumber
17 | Page
1. Nara Sumber Sosialisasi Perubahan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi RI, Sejak Tahun 2005 – Sekarang.
2. Nara Sumber Sosialisasi Perubahan UUD 1945, MPR RI 2009. 3. Nara Sumber Berbagai Seminar dan Diskusi Mengenai UUD 1945 sejak tahun 2004 –
Sekarang. Kunjungan ke Luar Negeri 1. Belanda-Italia tahun 2000 Studi banding Konstitusi 2. Inggris tahun 2001 Studi banding masalah Keamanan Dalam Negeri 3. Jepang tahun 2001 studi banding PEMILU 4. Amerika Serikat tahun 2002 studi banding Politik dan Hukum (1 bulan) 5. Australia tahun 2003 studi banding Money Laundering 6. Belanda tahun 2002 studi banding Komisi Yudisial 7. Bangkok tahun 2001 Delegasi Indonesia dalam Sidang AIPO 8. Jenewa tahun 2004 Delegasi Indonesia dalam Sidang IPU 9. Saudi Arabia tahun 2007, kunjungan kerja urusan TKI. 10. Jerman-Austria-Belanda tahun 2010 Kunjungan Kerja dalam rangka kerjasama antara
Mahkamah Konstitusi. 11. Cina tahun 2011 Ceramah Ilmiah dalam rangka penganugerahan Guru Besar Tamu
pada China University of Political Science and Law, Beijing, China. 12. Mesir tahun 2011 Pembicara pada Dialog Selatan-Selatan Tentang Constitusional
Building Procesess. 13. Korea Selatan tahun 2012 Pembicara pada Inaugural Congress of The Association of
Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions.