PERANG PUN ADA ATURANNYA
K. Mustarom
Laporan Khusus
Edisi 03 | Januari 2016
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS
merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka
membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini
didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua
elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu
dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja
mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang
ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan
peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakangagasan ilmiah dan
menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang
legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang
diekspresikan oleh masingmasing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan email ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website: www.syamina.org
DAFTAR ISI
Daftar Isi ....................................................................................................... 3
Executive Summary ....................................................................................... 4
Perang Pun Ada Aturannya ........................................................................... 7
Prinsip Hukum Kemanusiaan Internasional dalam Kontrateorisme ................. 11
Policy Laundering .......................................................................................... 18
Rezim Pemaksaan Global .............................................................................. 25
Kesimpulan .................................................................................................... 26
4
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
EXECUTIVE SUMMARY
Lebih dari 150 tahun, Hukum Kemanusiaan
Internasional (IHL) melindungi layanan kesehatan
kepada kombatan yang terluka, baik dari pihak kawan
maupun lawan. Perlindungan tersebut mampu
memberikan obat yang cukup vital bagi kemanusiaan
di tengah kondisi perang. Pada tahun 1864, beberapa
negara sepakat untuk membentuk IHL tentang
layanan kesehatan. Hukum tersebut menyatakan
bahwa kombatan yang sakit dan terluka dari pihak
yang bertikai yang berada di luar pertempuran akan
dilindungi dan dirawat. Tentu saja, perlindungan
kepada mereka yang terluka akan siasia tanpa akses
kepada personel dan bantuan medis. Karenanya, IHL
juga melindungi mereka yang memberikan layanan
medis dan sarana untuk melakukannya. Mereka tidak
boleh diserang, ditembak, atau dicegah dari
menjalankan fungsinya secara tepat.
Perlindungan tersebut tidak dicabut kecuali jika
personel tersebut melakukan aksi yang
membahayakan musuh di luar fungsi kemanusiaan
mereka. Meski demikian, perlindungan tersebut
hanya bisa dicabut setelah mereka diberi peringatan
dengan batas waktu yang layak. Personel medis juga
tidak boleh dihukum jika mereka memberi pelayanan
kesehatan, bahkan kepada musuh yang terluka sekali
pun. Dalam IHL, perlindungan tersebut tidak
melemah meski musuh tersebut didefinisikan sebagai
teroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh ada pejuang
yang terluka yang dicegah untuk mendapatkan
layanan kesehatan meski ia masuk dalam daftar
teroris. Namun sayangnya, perang global melawan
teror menjadi titik balik yang mengancam etik dasar
dalam IHL tersebut. Sebagai bagian dari respon
terhadap ancaman terorisme, beberapa negara
menyerang para pelayan kesehatan, atau menahan,
mencegah, bahkan menghukum mereka.
Hari ini, perang melawan teror menjadi semacam
cek kosong bagi negara untuk melakukan segala yang
mereka inginkan. Aturan internasional, yang
harapannya bisa memperlunak dampak perang
terhadap warga sipil, tidak lebih dari sekadar janji
kosong terhadap warga sipil yang keinginannya untuk
mendapatkan keadilan dan pertanggungjawaban
sering diabaikan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Harvard Law School Program in International Law
dan Armed Conflict, disimpulkan bahwa seringkali
dengan atas nama kekuatan hukum dan dukungan
politik dari Dewan Keamanan PBB, negara
menghukum—di waktu perang maupun damai—
berbagai bentuk dukungan, termasuk meliputi
layanan kesehatan, kepada organisasi teroris. Respon
tersebut mengabaikan dua prinsip dasar perlindungan
yang diberikan oleh IHL dalam hal layanan medis.
Pertama, kebijakan kontraterorisme menganggap
layanan kesehatan sebagai bentuk dukungan tidak sah
terhadap musuh. Padahal, menurut International
Committee of Red Cross (ICRC), ide besar dibalik
Konvensi Jenewa I tahun 1949 adalah bahwa
“layanan kesehatan, meskipun diberikan kepada pihak
musuh, selalu legitimate, dan tidak termasuk tindakan
5
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
permusuhan. Personel medis selalu ditempatkan di
atas konflik.”
Kedua, kebijakan kontra terorisme mengabaikan
kemungkinan bahwa sebuah organisasi teroris sangat
mungkin mempekerjakan petugas medis untuk
bekerja di bawah otoritasnya. Karenanya, undang
undang anti terorisme nasional seringkali melarang
petugas medis untuk melakukan tindakan di bawah
arahan dan kendali dari kelompok teroris. Padahal,
sistem perlindungan IHL tentang layanan kesehatan
sebagian bergantung pada mutual trust di antara
pihak yang bertikai. Lambang Konvensi Jenewa
mungkin adalah manifestasi paling tampak dari hal
tersebut. Dengan menampilkan lambang tersebut
akan memberikan notifikasi kepada pihak musuh
bahwa personel dan objek yang memakainya dapat
mengklaim manfaat untuk mendapatkan
perlindungan khusus.
Dewan Keamanan nampaknya menganggap
bahwa pemberian layanan kesehatan kepada Al
Qaidah dan sekutunya paling tidak sebagai dasar
untuk menuduh mereka sebagai teroris. Menurut
kesimpulan dari penelitian Harvard Law School
Program on International Law and Armed Conflict,
dengan menghukum tenaga medis karena tuduhan
membantu teroris, beberapa negara justru telah
melanggar kewajiban mereka dalam perjanjian IHL.
Rasionalitas yang dipakai untuk memahami
prinsip kemanusiaan—terutama netralitas—seringkali
terjebak pada logika “with us or against us” yang
selama ini menjadi penyokong agenda
kontraterorisme. Sementara netralitas berarti tidak
berpihak, pendekatan kontraterorisme seringkali
membuat pengkubuan. Framing yang dilakukan oleh
kontraterorisme menghadirkan sebuah ancaman yang
eksistensial. Karena itulah, pada tahun 2011, ICRC
meminta kepada seluruh negara untuk mengeluarkan
dari undangundang anti terorisme segala aktivitas
yang bersifat kemanusiaan, tidak berat sebelah, dan
dilakukan tanpa membedakan pembedaan musuh.
Jika tidak, larangan memberikan layanan kesehatan
terhadap orang yang terluka dan menuduh aktivitas
kemanusiaan tersebut sebagai dukungan terhadap
terorisme berarti “meragukan ide di balik pendirian
ICRC—dan tentunya lembaga palang merah dan
bulan sabit merah nasional—lebih dari 150 tahun
yang lalu.”
Tak hanya menghadapi risiko serangan dan
pembunuhan—yang selama ini coba ditutupi dengan
alibi collateral damage—aksi kemanusiaan juga coba
direstriksi dengan sejumlah aturan yang mempersulit
bantuan kemanusiaan kepada para korban di wilayah
konflik atau yang terlibat dalam konflik.
Sejumlah negara menerapkan aturan yang lebih
ketat terhadap lembaga kemanusiaan, meningkatan
tindakan militer dan kepolisian dalam menghadapi
pihakpihak yang dianggap menentang, serta
menyusun serangan terhadap aktivis sosial dan para
pembela hak asasi manusia. Namun, sejumlah
tindakan represif tersebut seolah dianggap wajar
karena dipersepsikan sebagai bagian dari “perang
melawan teror”.
Laporan dari Statewatch dan Transnational
Institute menyatakan bahwa banyak standar global
kontraterorisme dibuat oleh pemerintah AS dan
kemudian diadopsi oleh PBB, G7/G8, IMF, Bank
Dunia. Setelah itu, standar tersebut disebarkan
melalui badanbadan regional seperti FATF sebelum
6
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
akhirnya diadopsi menjadi regulasi dan hukum yang
mengikat kepada negaranegara anggota. Praktik
tersebut dikenal dengan istilah policy laundering,
pencucian kebijakan. Sayangnya, sekumpulan
kebijakan yang tidak akuntabel tersebut tidak pernah
mendapatkan perhatian kritis dari publik.
Pasca Serangan 11 September, organisasi antar
pemerintah mulai mengembangkan dan menguatkan
rezim pemaksaan global dengan menggunakan ‘soft
law’ (resolusi, prinsip, panduan, dll), yang bisa
disepakati dan diratifikasi secara lebih cepat
dibanding konvensi antar pemerintah tradisional,
yang seringkali membutuhkan waktu bertahuntahun
untuk disepakati. Para akademisi menyebut proses ini
sebagai ‘pemaksaan secara keras melalui aturan yang
lunak’.
Menurut Physicians for Human Rights, selama
14 tahun terakhir, pemerintah AS telah merusak
hukum internasional dengan menyatakan bahwa
dalam memerangi teroris, aturan tidak berlaku.
Argumen ini pada dasarnya cacat dan sangat
berbahaya. Di Suriah, Bashar alAssad juga telah
merobek hukum perang dengan mengklaim bahwa
semua boleh dalam memerangi teroris. Empat tahun
telah berlalu dan 250.000 orang telah tewas—
masyarakat internasional masih tetap lumpuh soal
Suriah dan serangan terhadap rumah sakit dan
pembunuhan dokter telah menjadi norma baru di
negara ini.
“Cukup, bahkan perang pun ada aturannya”
adalah kulminasi dari sebuah kekecewaan mendalam
atas peristiwa yang terus berulang. Perang global
melawan terorisme telah mengancam etika dasar dari
hukum kemanusiaan internasional (IHL), yaitu
perlindungan layanan kesehatan bagi seluruh pihak
yang terluka. Kebijakan kontraterorisme saat ini
banyak yang bertentangan dengan beberapa
perlindungan yang dijamin dalam IHL.
Banyak organisasi kemanusiaan yang bekerja
keras untuk membantu menyelamatkan nyawa
mereka yang menjadi korban dalam konflik. Mereka
berusaha menjangkau jutaan orang yang tak
beruntung di seluruh dunia, yang seharusnya tidak
boleh kita lupakan dan abaikan. Untuk itu, mereka
rela mempertaruhkan nyawanya, kebebasannya, dan
menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk
membantu sesama. Itulah mengapa mereka sering
dijuluki sebagai warriors without weapons, ksatria
tanpa senjata. Dan kini, para ksatria tersebut
menghadapi sebuah dilema dan ancaman: membantu
mereka yang membutuhkan, dengan risiko dibunuh
atau dihukum dengan tuduhan terkait dengan
terorisme, atau membiarkan mereka yang
membutuhkan sendiri tanpa pertolongan. Paling
tidak, tindakan kemanusiaan mereka masih
membuktikan bahwa dunia masih punya hati.prinsip,
panduan, dll), yang bisa disepakati dan diratifikasi
secara lebih cepat dibanding konvensi antar
pemerintah tradisional, yang seringkali membutuhkan
waktu bertahuntahun untuk disep
7
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
PERANG PUN ADA ATURANNYA
“Pasien kami terbakar di tempat tidurnya. Dokter, perawat, dan staff kami yang lain
terbunuh saat mereka bekerja. Kolega kami harus saling mengoperasi satu sama lain. Salah satu
dokter kami meninggal di meja operasi saat rekannya mencoba menyelamatkan nyawanya.
Hari ini kami memberikan penghormatan kepada mereka yang meninggal dalam sebuah
serangan yang menjijikkan ini. Dan kami juga memberikan penghargaan kepada staf kami
yang masih terus merawat yang terluka, meski harus menyaksikan rekan mereka terbunuh dan
rumah sakit mereka masih dalam kondisi terbakar.
Ini bukanlah sekadar serangan atas rumah sakit kami—tapi ini adalah sebuah serangan
terhadap Konvensi Jenewa. Hal ini tidak bisa ditoleransi. Konvensi tersebut mengatur aturan
perang dan dibuat untuk melindungi warga sipil dalam konflik—termasuk pasien, pekerja
medis, dan fasilitasnya. Mereka membawa kemanusiaan (humanity) ke dalam situasi yang tidak
manusiawi.
Konvensi Jenewa bukanlah bingkai hukum yang abstrak—mereka adalah pembeda antara
hidup dan mati bagi tim medis yang berada di medan tempur. Mereka yang membuat pasien
bisa memiliki akses menuju fasilitas kesehatan dengan aman dan membuat kami bisa
memberikan layanan kesehatan juga dengan aman, tanpa khawatir dibunuh.
Menyerang rumah sakit di daerah perang adalah terlarang dan kami berharap dilindungi.
Namun, puluhan pasien kami, termasuk tiga anak, dan 12 staf kami terbunuh…
Sangat tidak bisa diterima jika negara bersembunyi di balik ‘gentlemen’s agreements’
karena dengan demikian mereka telah menciptakan sebuah kondisi yang bebas bagi semuanya
dan lingkungan yang kebal hukum. Sangat tidak bisa diterima bahwa pengeboman rumah sakit
dan pembunuhan staf dan pasien rumah sakit diabaikan begitu saja dengan menganggapnya
sebagai collateral damage atau dikesampingkan sebagai sebuah kesalahan.
Hari ini kami melawan demi penghormatan terhadap Konvensi Jenewa. Sebagai dokter,
kami melawan demi pasien kami. Dan kami membutuhkan kalian, sebagai anggota
masyarakat, untuk berdiri bersama kami dan mengatakan bahwa cukup, bahkan perang pun
ada aturannya.”1
1 http://www.msf.org/article/afghanistan-enough-even-war-has-rules
8
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Pernyataan di atas disampaikan oleh Dr.
Joanne Liu, presiden MSF Internasional dalam
sebuah konferensi pers di Jenewa, 7 Oktober
2015 silam untuk menanggapi sebuah serangan
yang diarahkan terhadap Rumah Sakit MSF di
Kunduz, Afghanistan. Bukan terhadap Al
Qaidah, Taliban, atau Islamic State kecaman
tersebut diarahkan, tapi terhadap pemain lain
yang selama ini bersembunyi di balik
‘‘gentlemen’s aggreements’’ untuk bisa bebas
melakukan segalanya, dengan mengabaikan
aturan dan etika internasional. Entitas tersebut
bernama pemerintah AS, negara yang
mengklaim diri sebagai pioner demokrasi dan
menjadikan perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan sebagai alat jual utama dalam
setiap kebijakannya. Padahal, sebagai pra
kondisi sebelum membuka rumah sakit, MSF
sudah bernegosiasi dengan AS, Afghanistan,
NATO, dan juga Taliban. ‘‘Kami menerima
dukungan dari seluruh kelompok tersebut untuk
mengoperasikan rumah sakit ini. Dan bagian
dari proses tersebut adalah dengan membagikan
koordinat GPS kami kepada seluruh pihak.
Dan terakhir, kami membagikan koordinat
GPS tersebut pada tanggal 29 September
2015,’’2 demikian penjelasan Jason Cone,
eksekutif direktur MSF AS. Menanggapi
serangan mereka ke rumah sakit yang masih
berfungsi secara aktif tersebut, pemerintah AS
merilis pernyataan yang terus berubah, dalam
empat hari mereka memberikan empat
pernyataan yang berbeda.3
Joanne Liu juga mengatakan bahwa,
"Serangan tidak bisa dikesampingkan hanya
sebagai sebuah kesalahan atau konsekuensi
tidak terhindarkan dari perang. Serangan
tersebut tidak sekadar mengenai MSF, tapi juga
pekerjaan kemanusiaan di mana pun dan secara
fundamental merendahkan prinsip-prinsip inti
dari kegiatan kemanusiaan. Jika kita biarkan ini
semua, seolah-olah tidak terjadi apa-apa, pada
dasarnya kita telah memberikan cek kosong
kepada negara manapun yang sedang
berperang. Jika kita tidak melindungi ruang
medis tersebut untuk menjalankan aktivitas
kita, maka tidak mungkin untuk melakukan
pekerjaan dalam konteks lain seperti di Suriah,
Sudan Selatan, dan Yaman."
2http://www.democracynow.org/blog/2015/11/12/even_war_has_rules 3 http://www.theguardian.com/us-news/2015/oct/06/doctors-without-borders-airstrike-afghanistan-us-account-changes-again
9
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Pengeboman fasilitas kesehatan tidak hanya
berhenti di Kunduz. Di Yaman, serangan udara
koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi, yang
didukung oleh AS, telah membunuh lebih dari
lima ribu rakyat Yaman. Dan sebulan yang lalu,
September 2015, pesawat Saudi buatan
Amerika Serikat mengebom pesta pernikahan
di Mokha, yang menewaskan 300 warga sipil.
Untuk merespon kritikan atas serangan
tersebut, Saudi hanya menjawab dengan ‘‘ini
adalah perang’’,4 dan AS meski mengucapkan
bela sungkawa, namun terus memberikan
dukungan logistik dan intelijen dalam operasi
militer tersebut.
Tak hanya itu, tiga minggu setelah
serangan di Kunduz, rumah sakit MSF lainnya
di Yaman dibom oleh serangan udara Arab
Saudi, meski atap rumah sakit tersebut
dibubuhi logo MSF dan koordinat GPS juga
telah dibagikan berulang kali kepada koalisi
pimpinan Arab Saudi.
Di Suriah, kelompok hak asasi manusia
melaporkan bahwa banyak sipil yang menjadi
korban di Aleppo akibat serangan udara Rusia.
Moskow membantah tuduhan tersebut dengan
4 http://www.huffingtonpost.com/raymond-c-offenheiser/even-war-has-rules_b_8362408.html
terus melancarkan kampanye pengeboman dan
menyangkal akan adanya korban sipil.
Dalam konflik bersenjata akhir-akhir ini,
tragedi seperti pengeboman Rumah Sakit MSF
adalah sesuatu yang umum terjadi. Dan di saat
Konvensi Jenewa dibuat untuk memperlunak
dampak perang terhadap warga sipil, ia tidak
lebih dari sekadar janji kosong terhadap warga
sipil yang keinginannya untuk mendapatkan
keadilan dan pertanggungjawaban sering
diabaikan.
Dari beberapa kejadian di atas, satu hal
yang jelas, banyak serangan udara dalam konflik
bersenjata yang terjadi akhir-akhir ini, di mana
banyak warga sipil yang terbunuh, yang
dilakukan tanpa akuntabilitas. Perang melawan
terorisme tak lebih dari sekadar cek kosong
yang dengan sangat fleksibel digunakan oleh
pemerintah AS dan sekutunya untuk
“Kami perlu paham bahwa pemerintah
masih menghormati aturan tersebut,
karena aturan tersebut lah yang masih
membuat kami bisa tetap mengirimkan
orang ke daerah perang dan merawat
para korban.”
10
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
melakukan segala yang mereka inginkan.
Jason Cone menegaskan bahwa ‘‘Ini tentu
saja melanggar hukum internasional. Bagi kami,
ini adalah tentang menguatkan fakta bahwa
terdapat Konvensi Jenewa yang mengatur
hukum perang… kami perlu paham bahwa
pemerintah masih menghormati aturan
tersebut, karena aturan tersebut lah yang masih
membuat kami bisa tetap mengirimkan orang
ke daerah perang dan merawat para korban.’’5
Kecaman keras juga disampaikan oleh
Physician for Human Rights, Organisasi
pembela hak asasi manusia yang didirikan oleh
para dokter. Mereka mengatakan bahwa,
‘‘Masyarakat internasional harus bertindak
untuk menghentikan pergeseran mematikan ini
menuju pelanggaran hukum yang akan
membatalkan usaha susah payah selama
beberapa dekade dalam rangka melakukan
perlindungan warga sipil. Hal ini dapat mulai
dengan menyerukan penyelidikan internasional
independen atas serangan di rumah sakit MSF
di Kunduz. Dan kita harus mengambil tindakan
tegas untuk menghentikan pelanggaran di
Suriah dan daerah konflik lainnya. Tidak ada
5http://www.democracynow.org/blog/2015/11/12/even_war_has_rules
negara yang kebal hukum, dan tidak ada negara
yang boleh menulis ulang hukum. Satu-satunya
cara untuk mulai memulihkan standar yang
mulai melemah ini adalah dengan membawa
mereka yang melanggar ke pengadilan.’’6
6 http://physiciansforhumanrights.org/blog/its-about-civilian-protection.html
‘‘Kita harus mengambil tindakan tegas
untuk menghentikan pelanggaran di
Suriah dan daerah konflik lainnya.
Tidak ada negara yang kebal hukum,
dan tidak ada negara yang boleh
menulis ulang hukum.”
11
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Prinsip Hukum Kemanusiaan
Internasional dalam Kontraterorisme
Lebih dari 150 tahun, Hukum
Kemanusiaan Internasional (IHL) melindungi
layanan kesehatan kepada kombatan yang
terluka, baik dari pihak kawan maupu lawan.
Perlindungan tersebut mampu memberikan
obat yang cukup vital bagi kemanusiaan di
tengah kondisi perang. Pada tahun 1864,
beberapa negara sepakat untuk membentuk
IHL tentang layanan kesehatan. Hukum
tersebut menyatakan bahwa kombatan yang
sakit dan terluka dari pihak yang bertikai yang
berada di luar pertempuran akan dilindungi dan
dirawat.7
Tentu saja, perlindungan kepada mereka
yang terluka akan sia-sia tanpa akses kepada
personel dan bantuan medis. Karenanya, IHL
juga melindungi mereka yang memberikan
layanan medis dan sarana untuk melakukannya.
Mereka tidak boleh diserang, ditembak, atau
dicegah dari menjalankan fungsinya secara
tepat. Perlindungan tersebut tidak dicabut
kecuali jika personel tersebut melakukan aksi
yang membahayakan musuh di luar fungsi 7https://www.icrc.org/applic/ihl/ihl.nsf/Article.xsp?action=openDocument&documentId=56ABFEBA91E2947EC12563CD00515348
kemanusiaan mereka. Meski demikian,
perlindungan tersebut hanya bisa dicabut
setelah mereka diberi peringatan dengan batas
waktu yang layak. Personel medis juga tidak
boleh dihukum jika mereka memberi pelayanan
kesehatan, bahkan kepada musuh yang terluka
sekali pun.
Dalam IHL, perlindungan tersebut tidak
melemah meski musuh tersebut didefinisikan
sebagai teroris. Contoh, dalam IHL tidak boleh
ada pejuang yang terluka yang dicegah untuk
mendapatkan layanan kesehatan meski ia masuk
dalam daftar teroris.8
8 Dustin A. Lewis, et.al, "Medical Care In Armed Conflict: International Humanitarian Law And State Responses To Terrorism", Harvard Law School Program on International Law and Armed Conflict, September 2015, hal. 6
12
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Namun sayangnya, perang global melawan
teror menjadi titik balik yang mengancam etik
dasar dalam IHL tersebut. Sebagai bagian dari
respon terhadap ancaman terorisme, beberapa
negara menyerang para pelayan kesehatan, atau
menahan, mencegah, bahkan menghukum
mereka. Serangan yang diarahkan kepada
fasilitas layanan kesehatan di area yang
dikontrol oleh teroris bukan satu atau dua kali
saja terjadi, begitu juga dengan penyalahgunaan
layanan kesehatan profesional dalam menyiksa
terduga teroris. Banyak pihak yang mengecam,
namun praktik kejam seperti itu masih juga
terus berjalan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Harvard Law School Program in
International Law dan Armed Conflict,
disimpulkan bahwa seringkali dengan atas nama
kekuatan hukum dan dukungan politik dari
Dewan Keamanan PBB, negara menghukum-----
di waktu perang maupun damai-----berbagai
13
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
bentuk dukungan, termasuk meliputi layanan
kesehatan, kepada organisasi teroris. Respon
tersebut mengabaikan dua prinsip dasar
perlindungan yang diberikan oleh IHL dalam
hal layanan medis.9
Pertama, kebijakan kontraterorisme
menganggap layanan kesehatan sebagai bentuk
dukungan tidak sah terhadap musuh.Padahal,
menurut International Committee of Red Cross
(ICRC), ide besar dibalik Konvensi Jenewa I
tahun 1949 adalah bahwa ‘‘layanan kesehatan,
meskipun diberikan kepada pihak musuh, selalu
legitimate, dan tidak termasuk tindakan
permusuhan.Personel medis selalu ditempatkan
di atas konflik.’’10 Di tengah-tengah
kekhawatiran tersebut, pada tahun 2011, ICRC
meminta kepada negara untuk mengeluarkan
dari undang-undang anti terorisme seluruh
aktivitas yang bersifat kemanusiaan, bersifat
tidak berat sebelah dan dilakukan tanpa
pandang bulu. Pelarangan layanan kesehatan
terhadap orang yang dituduh teroris dan
menuduhnya sebagai bentuk dukungan pada
terorisme akan ‘‘sangat bertentangan dengan ide
besar di balik pendirian ICRC-----dan tentu saja
9 Dustin A. Lewis, et.al, hal. 4 10ICRC, “Commentary on GC I”, p. 192
kalangan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Nasional-----lebih dari 150 tahun yang lalu.’’
Kedua, kebijakan kontra terorisme
mengabaikan kemungkinan bahwa sebuah
organisasi teroris sangat mungkin
mempekerjakan petugas medis untuk bekerja di
bawah otoritasnya. Karenanya, undang-undang
anti terorisme nasional seringkali melarang
petugas medis untuk melakukan tindakan di
bawah arahan dan kendali dari kelompok
teroris. Padahal, sistem perlindungan IHL
tentang layanan kesehatan sebagian bergantung
pada mutual trust di antara pihak yang bertikai.
Lambang Konvensi Jenewa mungkin adalah
manifestasi paling tampak dari hal tersebut.
Dengan menampilkan lambang tersebut akan
memberikan notifikasi kepada pihak musuh
bahwa personel dan objek yang memakainya
dapat mengklaim manfaat untuk mendapatkan
perlindungan khusus. IHL meminta kepada
pihak yang berperang-----termasuk kelompok
bersenjata-----untuk melindungi rasa percaya
tersebut dengan mengawasi dan mengontrol
personel, transportasi, dan unit medis mereka.11
11ICRC, Commentary on APs, para. 736
14
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Tulisan dari Harvard Law School Program
in International Law dan Armed Conflict
menunjukkan bahwa komitmen IHL terhadap
janji itu sendiri masih belum lengkap dan
menciptakan garis cacat dalam hal
perlindungan. Respon negara terhadap
terorisme semakin memperburuk garis cacat
tersebut. Dan kebijakan kontra terorisme justru
memberi ancaman yang semakin memperlemah
norma dan etika tersebut.12
Kekhawatiran tersebut bukanlah
kekhawatiran yang abstrak. Dalam konflik yang
terjadi akhir-akhir ini, respon negara terhadap
terorisme telah memicu perhatian lebih
terhadap ruang lingkup dan implemantasi
perlindungan IHL terhadap layanan kesehatan:
Dalam konflik bersenjata di dalam negeri,
Peru menuntut dokter yang memberikan
bantuan medis terhadap anggota Sendero
Luminoso;13
Kolombia menghukum tenaga medis
profesional yang mengelola layanan
spesialis jangka panjang terhadap anggota
Fuerzas Armadas Revolucionarias de
12 Dustin A. Lewis, et.al, hal. 6 13De La Cruz-Flores v. Peru, Merits, Reparations, and Costs, Judgment, Inter-Am. Ct. H.R. (ser. C) No. 115 (Nov.18, 2004)
Colombia (Kelompok Bersenjata
Revolusioner Kolombia);14
Suriah menahan dokter yang memberikan
layanan kesehatan kepada pejuang
kelompok oposisi yang terluka,15 dan
mereka juga menyerang fasilitas layanan
kesehatan di wilayah yang dikontrol oleh
teroris;16
AS menuntut dokter asal AS karena ia
setuju untuk menjadi dokter ‘‘panggilan’’
bagi anggota Al-Qaidah yang terluka saat
dokter tersebut berkunjung ke Arab
Saudi.17 Mereka juga menghukum warga
AS yang berusaha melakukan perjalanan ke
Irak dan Suriah untuk memberikan layanan
medis kepada anggota Islamic State (IS)
yang terluka dan di rumah sakit yang
berada di wilayah kekuasaan IS.18 Selain itu,
mereka juga menuntut warga Kanada
karena memberikan pelajaran bahasa
Inggris di klinik Al-Qaidah di Afghanistan
14Court of Justice of Colombia, Criminal Cassation Chamber, Case No. 27227, May 21, 2009, p. 3. 15U.N. Human Rights Council, Report of the independent international committee of inquiry on the Syrian Arab Republic, U.N. doc.A/HRC/25/65, 12 Februari 2014, para. 111 16Ben Hubbard, “ISIS-Imposed Fuel Embargo Threatens Syria’s Medical Centers,” New York Times, 18 Juni 2015, 17U.S. v. Shah, 474 F.Supp.2d 492, 498–499 (2007); U.S. v. Farhane, 634 F.3d 127, 140–141 (2011); id., partial dissent of Chief District Judge Dearie, at 175, 181 fn 8. 18U.S. v. Conley, “Plea Agreement and Statement of Facts relevant to Sentencing,” Criminal Action No. 14-cr-00163-RM, D. Colo., 10 September 2014
15
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
untuk membantu para perawat membaca
label obat-obatan.19
AS dan Inggris sedang mengevaluasi
apakah mereka akan menghukum-----saat
mereka kembali-----tenaga medis yang
dilaporkan memberikan layanan kesehatan
di wilayah yang dikuasai oleh IS.20
Dalam 25 tahun terakhir, kelompok yang
dituduh sebagai teroris dan aktor non-state
lainnya telah mengontrol akses kepada
masyarakat sipil di berbagai wilayah konflik:
Afghanistan, Chechnya, Kolombia, Gaza, Irak,
Lebanon, Mali, Nepal, Nigeria, Pakistan, Peru,
Filipina, Somalia, Suriah, dan Yaman.21 Untuk
merespon hal ini, negara mengambil
pendekatan yang lebih agresif untuk mencegah,
mengintersepsi, dan menghukum terorisme.
Dan Dewan Keamanan PBB-----yang
beranggotakan AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan
China-----telah menjadi pengendali kunci dari
respon tersebut, dengan meminta kepada
negara anggota PBB untuk mengambil langkah
19U.S. v. Warsame, 537 F.Supp.2d 1005, 1019 (2008). See infra Section 5: “Domestic Proceedings against Medical Caregivers — United States of America.” 20Marga Zambrana and Emma Graham-Harrison, “American and Canadian among group of medics in Isis stronghold,” The Guardian, 23 Maret 2015. 21Katherine H. A. Footer and Leonard S. Rubenstein, “A human rights approach to health care in conflict,” 95 IRRC No. 889 (2013) 176
yang lebih luas untuk mengadapi ancaman
terorisme. Namun anehnya, Dewan Keamanan
tidak meminta kepada negara anggota untuk
mengecualikan layanan kesehatan di masa
perang, meski sejatinya layanan semacam itu
dilindungi dalam IHL. Justru, Dewan
Keamanan nampaknya menganggap bahwa
pemberian layanan kesehatan kepada Al Qaidah
dan sekutunya paling tidak sebagai dasar untuk
menuduh mereka sebagai teroris. Menurut
kesimpulan dari penelitian Harvard Law School
Program on International Law and Armed
Conflict, dengan menghukum tenaga medis
karena tuduhan membantu teroris, beberapa
negara justru telah melanggar kewajiban mereka
dalam perjanjian IHL.22
Masalah mendasar dari semua ini adalah
beberapa negara menolak untuk mengakui
adanya konflik bersenjata dengan teroris. Atau,
kalau pun mereka mengakui, negara tidak
mampu memberikan indikasi bagaimana
konflik dimulai, dengan kriteria apa ia akan
berakhir, ruang lingkup geografisnya, dan
meliputi siapa saja.
22 Dustin A. Lewis, et.al, hal. 16
16
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
IHL sangat menekankan perlindungan
terhadap personel militer dan sipil yang
ditugaskan secara eksklusif untuk melakukan
tugas medis oleh pihak yang terlibat dalam
konflik. Konvensi tersebut juga memberikan
perlindungan kepada petugas medis yang tidak
ditunjuk oleh salah satu pihak, meski
perlindungan tersebut jauh lebih sedikit.
Lembaga kemanusiaan non pemerintah, baik
internasional maupun lokal, termasuk juga
individu yang tidak berafiliasi, mungkin akan
mengalami risiko yang lebih besar. Apalagi jika
kita melihat sifat kebanyakan konflik yang
melibatkan kelompok non-negara, lembaga
kemanusiaan yang tidak ditunjuk secara resmi
lah yang seringkali memberikan layanan medis
kepada kelompok yang dituduh sebagai teroris.
Secara umum, terlibat dalam aksi
kemanusiaan-----termasuk memberikan layanan
medis kepada pihak yang terluka dan yang sakit
dalam konflik bersenjata-----berarti memegang
prinsip kemanusiaan (humanity), tidak berat
sebelah (impartiality), dan independen.Prinsip
humanity menegaskan bahwa organisasi harus
fokus untuk mengurangi penderitaan umat
manusia. Prinsip impartialityi berartidipandu
oleh kebutuhan, memprioritaskan mereka yang
paling membutuhkan, dan tidak melakukan
diskriminasi terhadap mereka yang
membutuhkan.23 Sedang prinsip independen
berarti otonom dari pemerintah sehingga
organisasi tersebut bisa bertindak sesuai dengan
prinsip kemanusiaan. Selain itu, banyak
lembaga kemanusiaan yang juga dipandu oleh
prinsip keempat: netralitas (neutrality). Prinsip
ini secara umum berarti tidak memihak salah
satu pihak dalam permusuhan atau dalam
perdebatan ideologis, rasial, agama, atau politik.
23 Vivienne Nathanson, “Medical ethics in peacetime and wartime: the case for a better understanding,” 95 IRRC No. 889 (2013) 195–196. Menurut penulis tersebut, “aturan etiknya cukup jelas dan sederhana. Pelayanan harus diberikan berdasarkan kebutuhan; orang yang paling membutuhkan dirawat pertama kali.” Idem, hal. 196.
17
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Dengan memegang prinsip tersebut, yang mengacu pada
IHL,24 berarti membedakan kemanusiaan dari aktor lain
yang ada di medan perang. Persepsi di antara pihak yang
berperang tentang apakah satu organisasi memegang prinsip
tersebut seringkali penting untuk mendapatkan dan
mempertahankan akses untuk memberikan bantuan
kemanusiaan. Namun demikian, rasionalitas yang dipakai
untuk memahami prinsip kemanusiaan-----terutama
netralitas-----seringkali terjebak pada logika ‘‘with us or against
us’’ yang selama ini menjadi penyokong agenda
kontraterorisme. Sementara netralitas berarti tidak berpihak,
pendekatan kontraterorisme seringkali membuat
pengkubuan.
Dilema ini diungkapkan oleh Jean Pictet, pakar hukum
ICRC dan salah satu arsitek Konvensi Jenewa. Pada tahun
1979 dia menyatakan bahwa:
‘‘Jika seseorang menghadiahi Palang Merah dilema yang
cukup populer dan merusak yang terkandung dalam frase,
‘‘siapa yang tidak bersamaku berarti melawanku’’, maka
jawabannya adalah, ‘‘Saya bersama dengan mereka yang
menderita, dan itu cukup.’’25
24 Article 63(1)(a) GC IV
25Jean Pictet, The Fundamental Principles of the Red Cross Proclaimed by the Twentieth International Conference ofthe Red Cross, Vienna, 1965: Commentary (1979), https://www.icrc.org/eng/resources/documents/misc/fundamental-principles-commentary-010179.htm
“Jika seseorang
menghadiahi Palang Merah
dilema yang cukup populer
dan merusak yang
terkandung dalam frase,
‘‘siapa yang tidak bersamaku
berarti melawanku’’, maka
jawabannya adalah, ‘‘Saya
bersama dengan mereka
yang menderita, dan itu
cukup.”
18
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Hari ini, ungkapan Pictet tersebut harus
berhadapan dengan kebijakan kontraterorisme.
Bagi organisasi kemanusiaan seperti ICRC,
framing yang dilakukan oleh kontraterorisme
menghadirkan sebuah ancaman yang
eksistensial. Karena itulah, pada tahun 2011,
ICRC meminta kepada seluruh negara untuk
mengeluarkan dari undang-undang anti
terorisme segala aktivitas yang bersifat
kemanusiaan, tidak berat sebelah, dan
dilakukan tanpa membedakan pembedaan
musuh.26 Jika tidak, larangan memberikan
layanan kesehatan terhadap orang yang terluka
dan menuduh aktivitas kemanusiaan tersebut
sebagai dukungan terhadap terorisme berarti
‘‘meragukan ide di balik pendirian ICRC-----dan
tentunya lembaga palang merah dan bulan sabit
merah nasional-----lebih dari 150 tahun yang
lalu.’’27
26International Committee of the Red Cross, International Humanitarian Law and the challenges of contemporary armed conflicts, doc. 31IC/11/5.1.2, Oktober 2011, Geneva, h. 53 27Idem, supra note 31, h. 53
Policy Laundering
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah
kebijakan kontraterorisme yang diterapkan oleh
pemerintah maupun oleh lembaga internasional
telah memberikan dampak negatif terhadap
kehidupan politik dan sosial di masyarakat. Atas
nama perang melawan terorisme, kemanusiaan
seolah diabaikan. Tak hanya menghadapi risiko
serangan dan pembunuhan-----yang selama ini
coba ditutupi dengan alibi collateral damage-----
aksi kemanusiaan juga coba direstriksi dengan
sejumlah aturan yang mempersulit bantuan
kemanusiaan kepada para korban di wilayah
konflik atau yang terlibat dalam konflik.
Sejumlah negara menerapkan aturan yang
lebih ketat terhadap lembaga kemanusiaan,
meningkatan tindakan militer dan kepolisian
dalam menghadapi pihak-pihak yang dianggap
menentang, serta menyusun serangan terhadap
aktivis sosial dan para pembela hak asasi
manusia. Namun, sejumlah tindakan represif
tersebut seolah dianggap wajar karena
dipersepsikan sebagai bagian dari ‘‘perang
melawan teror’’.
19
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Meski akhir-akhir ini retorika
kontraterorisme cenderung berkurang
pengaruhnya, sejumlah kebijakan masih
melekat dalam birokrasi keamanan nasional
maupun internasional. Kontrateorisme bukan
lagi sekadar penggunaan kekuatan militer atau
hardpower, namun juga pendekatan sistematis
yang salah satu tujuannya adalah menghentikan
aliran dana ke teroris, melakukan kontranarasi
melawan teroris melalui media sosial dan
internet, memberikan sanksi terhadap pihak
yang dianggap teroris dan organisasinya melalui
pembekuan aset, dan lain-lain. Institusionalisasi
kebijakan kontrateorisme secara global tersebut
berdampak pada ruang sosial politik masyarakat
secara global.
Selain serangan langsung terhadap lembaga
kemanusiaan yang memberikan layanan medis
di wilayah konflik, ancaman terhadap
kemanusiaan yang dilakukan atas nama perang
global melawan terorisme juga terjadi dalam
bentuk berbagai aturan yang merestriksi
gerakan lembaga kemanusiaan. Atas nama
menghambat pendanaan terorisme, lembaga
kemanusiaan dituduh sebagai entitas yang
paling rentan terhadap penyalahgunaan.
Sejumlah rekomendasi, aturan, dan kebijakan
pun dikeluarkan untuk mengantisipasi hal
tersebut. Salah satu lembaga yang
merekomendasikan kebijakan pengetatan aturan
terhadap lembaga kemanusiaan adalah FATF
(Financial Action Task Force), lembaga yang
didirikan atas usulan dari negara G7 pada tahun
1990.28 Pada awalnya, FATF banyak
berkonsentrasi untuk memerangi praktik
pencucian uang, namun sejak tahun 2001 fokus
utama mereka beralih untuk memerangi
pendanaan terorisme.
FATF merilis beberapa rekomendasi yang
harus dijalankan oleh negara anggota. Mereka
harus membuat undang-undang kriminal yang
spesifik, melakukan pengawasan, membuat
sistem penyimpanan data, membuat regulasi
industri layanan keuangan, dan melakukan
kerjasama kepolisian secara internasional sesuai
dengan panduan dari FATF. Selain itu, negara
anggota juga harus melakukan evaluasi secara
cermat terhadap kepolisian nasional dan sistem
peradilan untuk menilai kesesuaian mereka
dengan Rekomendasi FATF.
28http://www.fatf-gafi.org/pages/aboutus/
20
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Untuk bisa dianggap sebagai negara yang
patuh, FATF membuat panduan secara sangat
detail, yaitu dengan membuat lebih dari 250
kriteria negara yang patuh menjalankan 40 plus
9 rekomendasi FATF.29 Hadiah bagi yang
patuh, mereka akan dianggap sebagai tempat
yang aman untuk menjalankan bisnis.30
Sedangkan sanksi bagi anggota yang tidak
menjalankan rekomendasi tersebut, mereka
akan masuk dalam black list FATF yang
berdampak pada tekanan ekonomi seperti
persepsi sebagai negara berisiko, kelayakan
investasi, suku bunga kredit perbankan asing ke
debitur nasional, risiko keamanan investasi, dan
lain-lain. Indonesia sendiri bukanlah anggota
FATF, namun menjadi anggota Asia Pacific
Group on Money Laundry yang merupakan
anggota dari FATF.
Salah satu rekomendasi FATF yang paling
kontroversial adalah Rekomendasi VIII tentang
organisasi non profit (NPO). Rekomendasi
tersebut meminta kepada negara untuk ‘‘melihat
kembali undang-undang dan regulasi terkait
29 FATF, “International Standards on Combating Money Laundering and the Financing of Terrorism and Proliferation: The FATF Recommendations”, Paris: FATF/OECD, 2013 30 http://www.fatf-gafi.org/topics/high-riskandnon-cooperativejurisdictions/
dengan entitas yang bisa disalahgunakan untuk
mendanai terorisme’’, dengan mengatakan
bahwa ‘‘Organisasi non profit adalah entitas
yang rawan tersebut... negara harus memastikan
bahwa mereka tidak bisa disalahgunakan’’ untuk
tujuan pendanaan terorisme.
Rekomendasi tersebut kemudian diperluas
lagi secara signifikan melalui interpretasi dan
panduan FATF yang secara sangat kuat
menekankan kepada negara untuk membuat
prosedur pendaftaran atau pemberian ijin NPO,
membuat sistem laporan keuangan, melakukan
pertukaran data tersebut dengan badan penegak
Policy laundering adalah penggunaan
forum antar pemerintah oleh
pemerintah satu negara sebagai sarana
tidak langsung untuk mendorong
kebijakan internasional yang sulit
dimenangkan jika kebijakan tersebut
dibuat dengan menggunakan
pendekatan langsung melalui proses
politik reguler di dalam negeri.
21
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
hukum, dan menerapkan sanksi kepada mereka
yang tidak patuh.
Penerapan Rekomendasi VIII dalam
banyak kasus berarti menyusutnya ruang
keuangan, operasional dan politik bagi NPO
khususnya dan bagi masyarakat sipil pada
umumnya. Selain itu, bagian-bagian dari
masyarakat sipil yang paling terpengaruh adalah
organisasi yang bekerja di daerah berisiko tinggi
dan kebutuhan tinggi terhadap pengembangan,
daerah konflik dan hak asasi manusia. Hal ini,
ironisnya, justru kontraproduktif untuk
mengurangi ancaman terorisme.
Salah satu faktor potensial yang
berkontribusi pada risiko penyalahgunaan
teroris yang lebih besar adalah kebijakan yang
sangat ketat pada NPO, yang justru berpotensi
memaksa NPO untuk melakukan aksi bawah
tanah atau menggunakan saluran yang kurang
formal untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Rekomendasi FATF tersebut pun seolah
menjadi alat ‘‘pencuci kebijakan’’ pada rezim
untuk melakukan sejumlah tindakan represif.
Laporan dari Statewatch dan Transnational
Institute menunjukkan bahwa program FATF
untuk mempromosikan regulasi keuangan telah
digunakan oleh pemerintah yang represif untuk
menekan masyarakat sipil, dan bahkan
melanggar hak asasi manusia.31 Sampai saat ini,
rekomendasi dan evaluasi FATF dibuat dengan
sedikit pengawasan, transparansi atau
akuntabilitas publik. Rapat mereka berlangsung
di balik pintu yang tertutup, dengan notulasi
yang tidak lengkap, dan tidak ada mekanisme
untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenai proses pengambilan keputusan
mereka. Peraturan FATF gagal untuk
memperhitungkan HAM-----tidak ada
perlindungan yang berarti bagi kebebasan
berserikat dan berekspresi.32 Akibatnya, negara-
negara yang menerapkan peraturan FATF
berisiko melegitimasi penindasan NGO dan
masyarakat sipil.33
Setelah melakukan pengujian terhadap
pengaruh regulasi FATF di hampir 160 negara,
laporan tersebut menemukan bahwa aturan
31 Ben Hayes, “Counter-terrorism, ‘Policy Laundering’ and the FATF: Legalising Surveillance, Regulating Civil Society”, Amsterdam/London: Transnational Institute and Statewatch, 2012 32https://www.opensocietyfoundations.org/voices/obscure-global-organization-s-unwittingly-undermining-civil-society 33 http://fatfplatform.org/wp-content/uploads/2015/07/Catalogue-of-governmentoverregulation-July-2015_final-edited.pdf
22
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
FATF telah digunakan oleh beberapa
pemerintah sebagai ‘‘instrument untuk
membatasi ruang masyarakat sipil… kebebasan
untuk mengakses dan mendistribusikan sumber
daya keuangan untuk pembangunan, resolusi
konflik, dan pekerjaan-pekerjaan kemanusiaan
lainnya.’’34
Pada bulan April 2013, Laporan dari
Utusan Khusus PBB atas hak kebebasan untuk
berasosiasi, Maina Kiai, memberikan perhatian
khusus pada hukum dan regulasi yang
membungkan kebebasan bermajelis dan
berasosiasi di seluruh dunia. Laporan tersebut
34 Ben Hayes, “Counter-terrorism, Policy Laundering and the FATF”
berfokus pada akses kepada sumber daya
keuangan untuk kelompok masyarakat sipil dan
hak untuk membuat perserikatan yang damai.
Laporan tersebut menyorot rekomendasi
VIII FATF tentang organisasi non profit
(NPO). Menurut laporan tersebut, FATF
‘‘gagal memberikan ukuran yang spesifik untuk
melindungi sektor masyarakat sipil dari
pembatasan-pembatasan akan hak mereka
untuk bebas berserikat…’’35
Yang terjadi saat ini adalah hukum dan
kebijakan internasional dengan jaringan global
yang diubah menjadi aturan dan regulasi
nasional. Dalam kesimpulan Ben Hayes, FATF
telah memberi jalan bagi dilakukannya ‘‘policy
laundering’’, pencucian kebijakan dengan
melegitimasi tindakan represi dan koersi
melalui pengabsahan regulasi NPO paling
represif di dunia, dan memberikan cek kosong
kepada rezim represif untuk membuat undang-
undang yang bisa membatasi ruang politik di
mana lembaga non pemerintah dan masyarakat
sipil beroperasi.36
35http://www.ohchr.org/Documents/HRBodies/HRCouncil/RegularSession/Session23/A.HRC.23.39_EN.pdf 36 http://www.statewatch.org/analyses/no-171-fafp-report.pdf
Peraturan FATF gagal untuk
memperhitungkan HAM----tidak
ada perlindungan yang berarti bagi
kebebasan berserikat dan
berekspresi. Akibatnya, negara-
negara yang menerapkan peraturan
FATF berisiko melegitimasi
penindasan NGO dan masyarakat
sipil.
23
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Karena jaringannya semakin meluas secara
global, kekuasaan pejabat negara, penuntut, dan
investigator berada dalam tingkat yang cukup
tinggi, sedang pada saat yang sama jaminan
untuk mereka yang tertuduh, terdakwa, dan
‘‘komunitas yang dicurigai’’ seringkali tidak
diperhatikan. Mereka yang menjadi korban
dalam jaringan global ini antara lain adalah
lembaga kemanusiaan, organisasi
pembangunan, lembaga non pemerintah,
pembela hak asasi manusia, pengelola
komunitas, mediator konflik, dan mereka yang
pekerjaannya dihambat atau dilumpuhkan
dengan regulasi yang sangat berat atau manuver
hukum yang bermotif politik.
Yang dimaksud dengan konsep ‘‘policy
laundering’’ adalah penggunaan forum antar
pemerintah oleh pemerintah satu negara sebagai
sarana tidak langsung untuk mendorong
kebijakan internasional yang sulit dimenangkan
jika kebijakan tersebut dibuat dengan
menggunakan pendekatan langsung melalui
proses politik reguler di dalam negeri.37 Teknik
ini menjadi salah satu alat utama pemerintah 37 Imran Hosein, “On International Policy Dynamics: Challenges for Civil Society” in Spreading the Word on the Internet. Vienna: Organisation for Security and Cooperation in Europe, 2003, http://www.osce.org/fom/13871.
untuk mengatasi beberapa keluhan mengenai
pelanggaran hak kebebasan sipil hingga
kebijakan-kebijakan lain yang cenderung
mengabaikan privasi atas nama ‘perang
melawan teror’.38
Fitur penting dalam policy laundering
adalah forum shifting, yang terjadi saat
beberapa aktor berusaha untuk mendapatkan
peran dalam organisasi internasional yang sesuai
dengan tujuan dan kepentingan mereka.
Beberapa contoh kebijakan kontroversial yang
‘dicuci’ atas nama perang melawan teror adalah
tindakan pengawasan telekomunikasi,
pengawasan pergerakan orang, dan
diberlakukannya sistem identifikasi biometrik
(terutama fingerprinting).
Kisah pelanggaran hak asasi manusia yang
paling masyhur adalah penjara Guantanamo,
program rendisi CIA dan penyiksaan yang
digunakan secara meluas atas nama ‘‘perang
melawan teror’’. Bingkai kontraterorisme secara
bertahap melekat pada setiap aturan dan praktik
internasional. Pekerjaan dari badan
internasional yang mengembangkan dan
38 Policy Laundering Project, ”The Problem of Policy Laundering, 2005 http://www.policylaundering.org/PolicyLaunderingIntro.html.
24
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
mengimplementasikan aturan tersebut
dibentengi dari penelitian publik. ‘‘Komunitas
internasional’’ menerima aturan tersebut tanpa
kritikan sama sekali. Di sisi lain, kebijakan
eksepsional yang mereka buat pasca peristiwa
11 September justru kini menjadi norma baru.
Laporan dari Statewatch dan Transnational
Institute menyatakan bahwa banyak standar
global kontraterorisme dibuat oleh pemerintah
AS dan kemudian diadopsi oleh PBB, G7/G8,
IMF, Bank Dunia. Setelah itu, standar tersebut
disebarkan melalui badan-badan regional
seperti FATF sebelum akhirnya diadopsi
menjadi regulasi dan hukum yang mengikat
kepada negara-negara anggota. Sayangnya,
sekumpulan kebijakan yang tidak akuntabel
tersebut tidak pernah mendapatkan perhatian
kritis dari publik.
Jika tidak ada reformasi dan perbaikan,
legislasi kontraterorisme akan terus menjadi
dalih bagi restriksi ruang politik di mana publik
seharusnya memiliki kebebasan untuk
mengorganisir, mendebat, melakukan
kampanye, memprotes, dan berusaha
mempengaruhi atau melakukan kontrol
terhadap pihak yang memerintah mereka.39
39 http://www.statewatch.org/analyses/no-171-fafp-report.pdf
“Banyak standar global
kontraterorisme dibuat oleh
pemerintah AS dan kemudian
diadopsi oleh PBB, G7/G8, IMF,
Bank Dunia. Setelah itu, standar
tersebut disebarkan melalui badan-
badan regional seperti FATF
sebelum akhirnya diadopsi menjadi
regulasi dan hukum yang mengikat
kepada negara-negara anggota.”
25
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
Rezim Pemaksaan Global
Jika konsep ‘policy laundering’ menjelaskan
tentang teknik yang digunakan oleh pemerintah
nasional untuk mempengaruhi agenda
organisasi antar pemerintah, konsep rezim
pemaksaan global bisa membantu untuk
menjelaskan motif dan hasil dari kerjasama
kontraterorisme. Disokong oleh hukum dan
konvensi internasional, rezim pemaksaan global
didesain untuk mengkriminalisasi perilaku
tertentu pada level internasional dan untuk
memudahkan ruang gerak investigasi dan
penuntutan di seluruh dunia.40 Rezim tersebut
mewajibkan kepada negara anggota untuk
mengkriminalisasi aksi tertentu, memfasilitasi
investigasi lintas perbatasan, dan membantu
dalam melakukan tuntutan dengan cara
memberikan bukti dan/atau mengekstradisi
tersangka.
Pada awal perang melawan terorisme,
pemerintah Bush berusaha mengelak dari
hukum internasional dengan terus
mengarahkan berbagai agenda organisasi antar
40 Transnational Institute (2005) ‘Global Enforcement Regimes Transnational Organised Crime, International Terrorism and Money Laundering’, TNI Crime and Globalisation seminar, Amsterdam, 28-29 April 2005, http://www.tni.org/crime-docs/enforce.pdf.
Pasca Serangan 11 September,
organisasi antar pemerintah
mulai mengembangkan dan
menguatkan rezim pemaksaan
global dengan menggunakan
‘soft law’ (resolusi, prinsip,
panduan, dll), yang bisa
disepakati dan diratifikasi secara
lebih cepat dibanding konvensi
antar pemerintah tradisional,
yang seringkali membutuhkan
waktu bertahun-tahun untuk
disepakati. Para akademisi
menyebut proses ini sebagai
‘pemaksaan secara keras melalui
aturan yang lunak’.
26
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
pemerintah untuk melegitimasi dan
mengakomodir elemen-elemen kunci dari
strategi kontraterorismenya dalam aturan dan
kebijakan internasional. Amerika Serikat
memegang kepemimpinan, misalnya, dalam
mengembangkan rezim internasional yang
mengatur pencegahan pendanaan terorisme dan
pem-blacklist-an teroris, memberikan bantuan
teknis dalam meningkatkan kontraterorisme di
negara berkembang, serta berbagai mekanisme
pengawasan, termasuk data biometrik
penumpang pesawat terbang.
Negara G8 dan Uni Eropa menjadi partner
kunci dalam perang melawan teror bukan
karena mereka bisa memberikan bantuan yang
berarti dalam melacak pelaku serangan 11
September, tapi lebih karena mereka memiliki
pengaruh dalam penentuan standar global.41
Pasca Serangan 11 September, organisasi antar
pemerintah mulai mengembangkan dan
menguatkan rezim pemaksaan global dengan
menggunakan ‘soft law’ (resolusi, prinsip,
panduan, dll), yang bisa disepakati dan
diratifikasi secara lebih cepat dibanding
konvensi antar pemerintah tradisional, yang
41Rees, W. (2006) Transatlantic Counterterrorism Co-operation: The New Imperative. London: Routledge.
seringkali membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk disepakati. Para akademisi menyebut
proses ini sebagai ‘pemaksaan secara keras
melalui aturan yang lunak’.42
Kesimpulan
Selama 14 tahun terakhir, pemerintah AS
telah merusak hukum internasional dengan
menyatakan bahwa dalam memerangi teroris,
aturan tidak berlaku. Argumen ini pada
dasarnya cacat dan sangat berbahaya. Di Suriah,
Bashar al-Assad juga telah merobek hukum
perang dengan mengklaim bahwa semua boleh
dalam memerangi teroris. Empat tahun telah
berlalu dan 250.000 orang telah tewas-----
masyarakat internasional masih tetap lumpuh
soal Suriah dan serangan terhadap rumah sakit
dan pembunuhan dokter telah menjadi norma
baru di negara ini.43
AS harus bertanggung jawab dalam
meruntuhkan hukum yang dengan penuh
kehati-hatian dirancang dan diterapkan selama
puluhan tahun dalam upaya untuk melindungi
42Scheiber, C. (2006) ‘Hard Coercion through Soft Law? The Case of the International Anti-Money Laundering Regime’, Paper presented at the annual meeting of the International Studies Association, San Diego, 22 Maret 2006. 43 http://physiciansforhumanrights.org/blog/its-about-civilian-protection.html
27
Laporan Khusus | 03/Januari 2016
warga sipil dari neraka perang. Tapi di
Afghanistan, Gaza, Irak, Suriah, Yaman, dan
banyak zona konflik lainnya, warga sipil lah
yang menderita karena pemerintah mengklaim
pengecualian pada hukum.44
‘‘Cukup, bahkan perang pun ada aturannya’’
adalah kulminasi dari sebuah kekecewaan
mendalam atas peristiwa yang terus berulang.
Perang global melawan terorisme telah
mengancam etika dasar dari hukum
kemanusiaan internasional (IHL), yaitu
perlindungan layanan kesehatan bagi seluruh
pihak yang terluka. Kebijakan kontraterorisme
saat ini banyak yang bertentangan dengan
beberapa perlindungan yang dijamin dalam
IHL.
Banyak organisasi kemanusiaan yang
bekerja keras untuk membantu menyelamatkan
nyawa mereka yang menjadi korban dalam
konflik. Mereka berusaha menjangkau jutaan
orang yang tak beruntung di seluruh dunia,
yang seharusnya tidak boleh kita lupakan dan
abaikan. Untuk itu, mereka rela
mempertaruhkan nyawanya, kebebasannya, dan
menempatkan diri mereka dalam bahaya untuk
44 Idem
membantu sesama. Itulah mengapa mereka
sering dijuluki sebagai warriors without
weapons, ksatria tanpa senjata. Dan kini, para
ksatria tersebut menghadapi sebuah dilema dan
ancaman: membantu mereka yang
membutuhkan, dengan risiko dibunuh atau
dihukum dengan tuduhan terkait dengan
terorisme, atau membiarkan mereka yang
membutuhkan sendiri tanpa pertolongan.
Paling tidak, tindakan kemanusiaan mereka
masih membuktikan bahwa dunia masih punya
hati.