Download - Penjelasan Paru
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit saluran nafas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan
erat dengan lamanya pajanan terhadap debu tertentu karena pada dasarnya
saluran pernafasan merupakan salah satu bagian yang paling mudah terpapar
oleh bahan-bahan yang mudah terhirup yang terdapat di lingkungan. Di negara
yang sedang berkembang ditemukan banyak orang yang bekerja pada industri
pengolahan bahan baku keramik. Seperti telah diketahui bahwa industri bahan
baku pembuatan keramik adalah industri yang menghasilkan banyak debu baik
dari mulai pengolahan bahan baku hingga sampai pada proses pengepakan yang
mengakibatkan pekerja terpajan dengan debu (Siregar, 2004). Ada banyak bahan
baku mineral yang diolah pada jenis industri ini diantaranya adalah pasir silika
dan feldspar.
Pada dasarnya ada berbagai macam bahaya di tempat kerja yang bisa
mengancam kesehatan pekerja maupun orang-orang yang berada di sekitar
lingkungan perusahaan. Lingkungan kerja yang sering penuh oleh debu, uap, gas
dan lainnya dapat mengganggu produktivitas dan mengganggu kesehatan.
Namun untuk jenis industri bahan baku keramik, akibat dari proses mekanis dari
material padatan seperti penghancuran, penggrindaan, maupun penggilingan
bahan baku akan menghasilkan partikel padat yang biasa disebut dengan debu.
-
2
Hal inilah yang sering menyebabkan terjadinya gangguan pernafasan
ataupun dapat mengganggu nilai Kapasitas Vital Paru. Dalam kondisi tertentu,
debu merupakan bahaya yang dapat menyebabkan pengurangan kenyamanan
kerja, gangguan penglihatan, gangguan fungsi faal paru yang dimulai dari
penyakit saluran nafas kecil bahkan dapat menimbulkan keracunan umum.
Adapun Penyakit-penyakit dari saluran nafas kecil adalah merupakan awal dari
terjadinya COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) (Depkes RI, 2003).
Berdasarkan data WHO (World Health Organization) tahun 2007,
diantara semua penyakit akibat kerja 30% sampai 50% adalah penyakit silikosis
dan penyakit pneumokoniosis lainnya. Selain itu juga, ILO (International Labour
Organization) mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru pneumokoniosis
(penyakit saluran pernafasan) yang disebabkan oleh paparan debu tempat kerja
terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya.
Debu yang terhirup oleh tenaga kerja menyebabkan timbulnya reaksi
mekanisme pertahanan nonspesifik berupa batuk, bersin, gangguan transport
mukosilier dan fagositosis oleh makrofag. Otot polos di sekitar jalan napas dapat
terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini terjadi biasanya
bila konsentrasi debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mukosilier juga
mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir
makin banyak atau mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi
saluran napas sehingga resistensi jalan napas meningkat (Yunus,1997).
-
3
Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat yang serius.
Lebih dari 3% kematian akibat penyakit paru kronik di New York adalah
berhubungan dengan pekerjaan (WHO, 2007). Sebuah studi kasus kontrol di
Mesir pada pekerja industri keramik didapatkan hasil bahwasannya pekerja yang
terpapar debu keramik lebih banyak ditemukan gejala terhadap saluran
pernafasan seperti batuk, demam dan produksi sputum dibandingkan dengan
kelompok kontrol (Hisham, 2010).
Kasus pneumokoniosis menempati urutan pertama Occupational
Diseases (OD) di Negara Jepang dan China (ILO, 2005). Sebuah studi cross
sectional yang dilakukan di Iran terhadap pekerja industri bahan baku keramik
didapatkan hasil yang signifikan antara paparan debu terhadap KVP dibawah
normal pada pekerja produksi bahan baku. Selain itu juga, hasil dari test rontgen
dada menunjukkan bahwa telah terjadinya abnormalitas pada paru-paru pekerja
(Neghab, 2007).
Di Indonesia, penyakit atau gangguan paru akibat kerja yang disebabkan
oleh debu terutama dari bahan baku industri keramik diperkirakan cukup banyak,
meskipun data yang ada masih kurang. Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang
dilakukan di Balai HIPERKES (Higyne Perusahan dan Kesehatan) Sulawesi
Selatan pada tahun 1999 terhadap 200 tenaga kerja di 8 perusahaan semen
bukanlah industri keramik, namun memiliki jenis debu yang sama yaitu debu
anorganik diperoleh hasil sebesar 45% responden yang mengalami restrictive,
1% responden yang mengalami obstructive, dan 1% responden yang mengalami
-
4
combination (kombinasi). Kemudian, studi kasus epidemiologi secara cross
sectional pada populasi pekerja industri keramik A di Kabupaten Tanggerang
didapatlah hasil bahwasannya variabel kebiasaan merokok, status gizi, dan usia
pekerja mempengaruhi kelainan fungsi paru pekerja (Siregar, 2004).
Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan
berkumpul di bagian awal saluran limfe paru, sehingga pada akhirnya dapat
menimbulkan kelainan fungsi atau penurunan nilai kapasitas paru. Kelainan
tersebut terjadi akibat rusaknya jaringan paru-paru yang bersifat profresif dan
ireversibel (tidak dapat kembali normal) dapat berpengaruh terhadap
produktivitas dan kualitas kerja.
Indonesia memiliki empat (4) buah perusahan yang bergerak dibidang
pengadaan bahan baku keramik dan kaca yaitu PT. Mark Dynamic, PT. Arwana
Citra Mulia Tbk, PT. Tri Marga Jaya Hutama dan PT. Sibelco Lautan Minerals.
Adapun dari keempat perusahaan ini yang terbesar adalah PT. Sibelco Lautan
Minerals (Kemendagri, 2009). Perusahaan ini mengolah bahan baku keramik
seperti pasir silika dan feldspar yang sudah pasti menghasilkan debu pada proses
produksi hingga pendistribusiannya. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja No. SE-01/MEN/1997 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk debu total
lingkungan kerja adalah 10 mg/m3.
Data hasil pemantauan lingkungan terhadap konsentrasi debu tahun 2010
yang dilakukan pihak perusahaan pada tiga titik (gudang nepheline, grinding
-
5
mill, packing machine) area plant produksi didapatkanlah hasil konsentrasi debu
yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) sebesar 11.27 mg/m3 pada area
packing. Sementara pada area lain, dibagian produksi seperti area stock pile tidak
dilakukan pemantauan konsentrasi debu. Kemudian pada area office dilakukan
pemantauan pada satu titik yaitu laboratorium dan menghasilkan konsentrasi
debu yang berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) yaitu sebesar 1.143
mg/m3.
Berdasarkan data hasil tes spirometri yang dilakukan di PT. Sibelco
Lautan Minerals pada tahun 2009 sampai 2011 khususnya pada pekerja bagian
plant didapatlah peningkatan jumlah presentase KVP dibawah normal setiap
tahunnya. Pada tahun 2009 terdapat sebesar 7,69% pekerja yang menderita KVP
dibawah normal, kemudian tahun 2010 meningkat menjadi 15,39% dan pada
tahun 2011 kembali meningkat hingga 23,08%. Selain itu juga, pada pekerja
bagian plant yang telah diwawancarai terdapat keluhan subjektif yang dirasakan
7 dari 10 pekerja seperti batuk kering, sesak nafas dan kelelahan umum.
Selain itu juga, gangguan faal paru tidak hanya disebabkan oleh
konsentrasi debu yang tinggi saja, melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik
yang terdapat pada individu pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian Alat
Pelindung Diri (APD) jenis masker, riwayat merokok dan riwayat penyakit
(Sirait, 2010). Kemudian, adanya kebiasaan merokok yang dilakukan oleh
beberapa pekerja dilingkungan kerja ketika waktu istirahat atau bahkan pada jam
kerja di area plant akan membuat kondisi lingkungan tempat kerja dan diri
-
6
pekerja sendiri lebih beresiko terhadap gangguan kesehatan terutama gangguan
terhadap sistem pernafasan termasuk di dalamnya paru-paru. Oleh karena itulah
peniliti ingin mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik
pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta pada tahun 2011.
1.2 Rumusan Masalah
Kapasitas Vital Paru (KVP) yang buruk pada seseorang dapat disebabkan
oleh tingginya konsentrasi debu yang terhirup oleh orang tersebut. Namun, nilai
KVP seseorang tidak hanya disebabkan oleh konsentrasi debu yang tinggi saja,
melainkan juga dipengaruhi oleh karakteristik yang terdapat pada individu
pekerja seperti usia, masa kerja, pemakaian alat pelindung diri jenis masker,
riwayat merokok dan riwayat penyakit (Sirait, 2010). Adapun berdasarkan Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-01/MEN/1997 Nilai Ambang Batas (NAB)
untuk debu total lingkungan kerja adalah 10 mg/m3.
Gambar 1.1
Kondisi Lingkungan Kerja PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011
-
7
Berdasarkan hasil pemantauan lingkungan kerja pada salah satu area
plant PT. Sibelco Lautan Minerals menghasilkan konsentrasi debu melibihi NAB
yaitu sebesar 11.27 mg/m3 dan terdapat keluhan subjektif yang dirasakan oleh 7
dari 10 pekerja bagian plant tersebut seperti batuk kering, sesak nafas, dan
kelelahan umum. Selain itu juga adanya aktifitas merokok yang dilakukan oleh
para pekerja di lingkungan kerja akan membuat kondisi lingkungan tempat kerja
dan diri pekerja sendiri lebih beresiko terhadap gangguan kesehatan terutama
gangguan terhadap sistem pernafasan termasuk didalamnya paru-paru. Oleh
karena itulah peneliti ingin mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan
karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco
Lautan Minerals Jakarta pada tahun 2011.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran KPV pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta tahun 2011?
2. Bagaimana gambaran lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu) pada
pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011?
3. Bagaimana gambaran karakteristik pekerja (usia, kebiasaan olahraga,
kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker) pada
pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011?
-
8
4. Apakah lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu) berhubungan dengan
KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta
tahun 2011?
5. Apakah karakteristik pekerja (usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan
merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker) berhubungan
dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta tahun 2011?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik
pekerja dengan KVP pada pekerja bagian plant pada PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta pada tahun 2011..
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran KPV pada pekerja bagian plant PT. Sibelco
Lautan Minerals Jakarta tahun 2011.
2. Diketahuinya gambaran lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu)
pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun
2011.
3. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerja (usia, kebiasaan
olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan
-
9
masker) pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta tahun 2011.
4. Diketahuinya hubungan lingkungan tempat kerja (konsentrasi debu)
dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta tahun 2011.
5. Diketahuinya hubungan faktor karakteristik pekerja (usia, kebiasaan
olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan
masker) dengan KVP pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta tahun 2011
1.5 Manfaat Hasil Penelitian
1.5.1 Manfaat Bagi Peneliti
Sebagai sarana untuk menambah wawasan pengetahuan dan
pengalaman penelitian sehingga dapat diterapkan dalam praktik
sesungguhnya.
1.5.2 Manfaat Bagi Civitas Akademika
Memberikan manfaat bagi program kesehatan sebagai dasar untuk
penelitian lebih lanjut pada industri pengadaan bahan baku keramik
didaerah tempat penelitian maupun ditempat lain.
-
10
1.5.3 Manfaat Bagi Perusahaan
1. Memberikan gambaran tentang faktor-faktor berhubungan dengan KVP
pekerjanya khususnya pekerja bagian plant.
2. Memberikan solusi alternatif pada perusahaan mengenai hasil penelitian
yang diperoleh melalui uji statistik.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada perusahan pengolah bahan baku keramik
yaitu PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta pada bulan April hingga September
tahun 2011. Desain penelitian ini adalah crossectional bersifat kuantitatif untuk
mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik pekerja dengan
KVP pada pekerja bagian plant. Penelitian ini dilakukan karena adanya
konsentrasi debu pada area plant yang melebihi Nilai Ambang Batas (NAB)
debu di tempat kerja yaitu 11.27 mg/m3
dari NAB sebesar 10 mg/m3 (Surat
Edaran Menteri Tenaga Kerja nomor 01 tahun 1997). Kemudian data hasil
spirometri pekerja bagian plant mengalami kecenderungan peningkatan jumlah
pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru tiap tahunnya dari 7.69% (2009),
15.39% (2010) dan 23.08% (2011). Selain itu juga, terdapat keluhan subjektif
seperti batuk kering, sesak nafas dan kelelahan umum pada beberapa pekerja
bagian plant. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer yang diperoleh dengan cara pengukuran menggunakan spirometri,
pengisian kuisioner dan pengukuran kosentrasi debu total yang diterima pekerja.
-
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kapasitas Paru-Paru
Dalam penguraian peristiwa-peristiwa dalam sirkulasi paru, kadang-kadang
di perlukan untuk menyatukan dua volume atau lebih. Kombinasi seperti itu disebut
sebagai kapasitas paru. Menurut Guyton (1997), kapasitas paru dapat diuraikan
sebagai berikut :
1) Kapasitas inspirasi (IC)
Inspiration Capacity (IC) adalah jumlah udara yang dapat dihirup oleh
seseorang, dimulai pada tingkat ekspirasi normal dan pengembangan paru
sampai jumlah maksimum (kira-kira 3500 mL). Nilai kapasitas ini
merupakan hasil dari penjumlahan nilai volume tidal (VT) dengan volume
cadangan inspirasi (IRV).
2) Kapasitas residu fungsional (FRC)
Fungtional Residual Capacity (FRC) adalah jumlah udara yang tersisa dalam
paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 mL). Nilai kapasitas ini
hasil dari penjumlahan volume cadangan inspirasi (IRV) ditambah volume
cadangan ekspirasi (ERV).
-
12
3) Total Lung Capacity (TLC)
Kapasitas paru total (TLC) adalah volume maksimum di mana paru dapat
dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa (kira-kira 5800 mL).
4) Vital capacity (VC/KPV)
Kapasitas vital paru (VC) adalah jumlah gas yang dapat diekspirasisetelah
inspirasi secara maksimal. VC = VT + IRV + ERV (seharusnya 80 % TLC)
Besarnya adalah 4800 ml.
2.1.1 Kapasitas Vital Paru (KVP)
Kapasitas Vital Paru (KVP) adalah kemampuan paru
untuk menghisap atau menghembuskan udara secara maksimal
(Usin, 2000). Nilai KVP sama dengan volume cadangan inspirasi
(IRV) ditambah volume tidal (VT) dan volume cadangan ekspirasi
(ERV). Ini adalah jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan
seorang dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara
maksimum dan dikeluarkan sebanyak-banyaknya (kira-kira 4600
mL) (Guyton, 1997). Adapun nilainya diukur dengan cara individu
melakukan inspirasi maksimum, kemudian menghembuskan
sebanyak mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur
(Corwin, 2001).
-
13
Ada dua macam kapasitas vital berdasarkan cara pengukurannya:
1) Vital Capacity (VC): pada pengukuran jenis ini individu
tidak perlu melakukan aktivitas pernafasan dengan
kekuatan penuh
2) Forced Vital Capacity (FVC): pada pengukuran ini
pemeriksaan dilakukan dengan kekuatan maksimal
Pada orang normal tidak ada perbedaan antara kapasitas
vital dan kapasitas vital paksa, tetapi pada keadaan ada gangguan
obstruktif terdapat perbedaan antara kapasitas vital dan kapasitas
vital paksa. Adapun standar KVP dibagai kedalam perbedaan
jenis kelamin adalah:
Tabel 2.1
Nilai Standar KVP
Usia Laki-Laki Perempuan
4 700 600
5 850 800
6 1070 980
7 1300 1150
8 1500 1350
9 1700 1550
10 1950 1740
11 2200 1950
-
14
Usia Laki-Laki Permpuan
12 2540 2150
13 2900 2350
14 3250 2480
15 3600 2700
16 3900 2700
17 4100 2750
18 4200 2800
19 4300 2800
20 4320 2800
21 4320 2800
22 4300 2800
23 4280 2790
24 4250 2780
25 4220 2770
26 4200 2760
27 4180 2740
28 4150 2720
29 4120 2710
30 4100 2700
31-35 3900 2640
36-40 3800 2520
41-45 3600 2390
46-50 3410 2250
51-55 3240 2160
56-60 3100 2060
-
15
Usia Laki-Laki Permpuan
61-65 2970 1960
(Sumber: Koesyanto, 2005)
Pengukuran KVP seringkali digunakan di klinik sebagai
indeks fungsi paru khususnya ventilasi paru-paru dan dinding
dada. Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi
mengenai kekuatan otot-otot pernafasan serta beberapa aspek
fungsi pernapasan lain. Hasil dari tes fungsi paru tidak dapat
untuk mendiagnosis suatu penyakit paru-paru tapi hanya
memberikan gambaran KVP dibawah normal yang dapat
dibedakan atas:
a. Kelainan obstruktif (kelainan pada ekspirasi)
Setiap keadaan hambatan aliran udara karena adanya
sumbatan atau penyempitan saluran nafas. Kelainan
obstruktif akan mempengaruhi kemampuan ekspirasi.
b. Kelainan restriktif (kelainan pada inspirasi)
Gangguan pada paru yang menyebabkan kekakuan
paru sehingga membatasi pengembangan paru-paru.
Gangguan restriktif mempengaruhi kemampuan inspirasi
(Price, 1995).
-
16
Adapun kriteria gangguan fungsi paru yang dibagi
kedalam 4 kriteria, yaitu:
Tabel 2.2
Kriteria Gangguan Fungsi Paru Menurut ATS (American Thoracic Society)
KVP (%) Kategori
80%
60-79%
51-59%
50%
Normal
Restriksi ringan
Restriksi sedang
Restriksi berat
2.1.2 Alat Ukur Kapasitas Vital Paru (KVP)
Adapun alat yang dapat digunakan untuk mengukur KVP adalah
spirometri. Spirometri merupakan alat dengan metode sederhana yang
dapat mengukur volume paru utama yang nantinya akan dijumlahkan
tergantung kebutuhan untuk mendapatkan nilai kapasitas paru utama.
Untuk nilai volume paru utama yang diperoleh dibagi atas volume statis
paru dan volume dinamis paru yang terdiri dari:
1) Volume statis paru
a. Volume tidal (VT) = jumlah udara yang dihirup dan dihembuskan
setiap kali bernapas pada saat istirahat. Volume tidal normalnya
adalah 350-400 ml.
-
17
b. Volume residu (RV) = jumlah gas yang tersisa di paru-paru
setelah menghembuskan napas secara maksimal atau ekspirasi
paksa. Nilai normalnya adalah 1200 ml
c. Volume cadangan inspirasi (IRV) = jumlah udara yang dapat
diinspirasi secara paksa sesudah inspirasi volume tidal normal.
d. Volume cadangan ekspirasi (ERV) = jumlah udara yang dapat
diekspirasi secara paksa sesudah ekspirasi volume tidal normal.
2) Volume dinamis paru
Volume ini dihitung melalui nilai Force Vital Capacity
(FVC) yang merupakan volume udara maksimum yang dapat
dihembuskan secara paksa atau kapasitas vital paksa yang umumnya
dicapai dalam 3 detik, normalnya 4 liter dan FEV1 (Forced Expired
Volume in one second) merupakan volume udara yang dapat
dihembuskan paksa pada satu detik pertama normalnya 3,2 liter.
Pada orang normal persentase kapasitas vital kuat yang dikeluarkan
pada detik pertama (FEV1/FVC%) adalah 80%. Pada obstruksi
saluran nafas yang serius, yang sering terjadi pada asma akut,
kapasitas ini dapat berkurang menjadi kurang dari 20% (Guyton,
1994).
-
18
2.2 Penyakit Paru Akibat Kerja
Berbagai penyakit dapat timbul dalam lingkungan pekerjaan yang
mengandung debu industri terutama pada konsentrasi debu yang cukup tinggi, antara
lain pneumoconiosis (silikosis, asbestosis, beriliosis), hemosiderosis, bisinosis,
bronchitis, asma kerja serta kanker paru. Penyakit paru kerja terbagi atas 3 bagian
yaitu :
1. Akibat debu organik, misalnya debu kapas (Bissinosis), debu padi-padian
(Grain workers disease), debu kayu.
2. Akibat debu anorganik (pneumoconiosis), misalnya debu silica (silikosis),
debu asbes (asbestosis), debu timah (Stannosis).
3. Penyakit paru kerja akibat gas iritan, 3 polutan yang paling banyak
mempengaruhi kesehatan paru adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen
dioksida (NO2), dan ozon (O3).
Bila penyakit paru akibat kerja telah terjadi, umumnya tidak ada
pengobatan yang spesifik dan efektif untuk menyembuhkannya. Gejala biasanya
timbul apabila penyakit sudah lanjut.
2.3 Partikel Debu
2.3.1 Definisi Debu
Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai
partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter / SPM)
-
19
dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus
pencemaran udara baik dalam maupun di ruang gedung (Indoor and Out
Door Pollution) debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran
yang digunakan untuk menunjukkan tingkat bahaya baik terhadap
lingkungan maupun terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Debu industri yang terdapat di udara dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Deposit Particulate Matter
Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang
hanya sementara di udara. Partikel ini akan segera mengendap
karena daya tarik bumi.
2. Suspended Particulate Matter
Suspended particulate matter adalah debu yang tetap
berada di udara dan tidak mudah mengendap. (Pudjiastuti,
2002)
Menurut Sumamur (1998), debu adalah partikel-partikel zat
padat yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis
seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat,
peledakan dan lain-lain dari bahan-bahan baik organik maupun
anorganik. Adapun debu tersebut terdiri dari 2 golongan, yaitu padat dan
-
20
cair. Debu yang terdiri atas partikel-partikel padat dapat menjadi 3
macam :
a. Dust
Dust terdiri dari berbagai ukuran mulai dari yang
submikroskopik sampai yang besar. Debu yang berbahaya
adalah ukuran yang bisa terhirup ke dalam sistem pernafasan,
umumnya lebih kecil dari 100 mikron dan bersifat dapat
terhirup ke dalam paru-paru
b. Fumes
Fumes adalah partikel-partikel zat padat yang terjadi
oleh karena kondensasi dari bentuk gas, biasanya sesudah
penguapan benda padat yang dipijarkan dan lain-lain dan
biasanya disertai dengan oksidasi kimiawi sehingga terjadi zat-
zat seperti logam (Cadmium) dan timbal (Plumbum).
c. Smoke
Smoke atau asap adalah produk dari pembakaran bahan
organik yang tidak sempurna dan berukuran sekitar 0,5 mikron.
2.3.2 Sifat-Sifat Debu
Sifat-sifat debu tidak berflokulasi, kecuali oleh gaya tarikan
elektris, tidak berdifusi, dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu
-
21
di atmosfer lingkungan kerja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil
produksi. Adapun sifat-sifat debu adalah sebagai berikut :
1. Sifat Pengendapan
Debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya
gravitasi bumi. Debu yang mengendap dapat mengandung
proporsi partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di
udara.
2. Permukaan cenderung selalu bersih
Permukaan debu yang cenderung selalu bersih
disebabkan karena permukaannya selalu dilapisi oleh lapisan
air yang sangat tipis. Sifat ini menjadi penting sebagai upaya
pengendalian debu di tempat kerja.
3. Sifat Penggumpalan
Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu
yang selalu basah maka debu satu dengan yang lainnya
cenderung menempel membentuk gumpalan. Tingkat
kelembaban di atas titik saturasi dan adanya turbelensi di
udara mempermudah debu membentuk gumpalan.
-
22
4. Debu Listrik Statik
Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik
partikel lain yang berlawanan dengan demikian partikel dalam
larutan debu mempercepat terjadinya penggumpalan.
5. Sifat Opsis
Opsis adalah partikel yang basah atau lembab
lainnya dapat memancarkan sinar yang dapat terlihat dalam
kamar gelap.
Partikel debu melayang (Suspended Particulated Metter) adalah
suatu kumpulan senyawa dan bentuk padatan maupun cair yang tersebar
di udara dengan diameter yang sangat kecil, kurang dari 1 mikron sampai
maksimal 500 mikron. Ukuran partikel debu yang membahayakan
kesehatan umumnya berkisar antara 0,5 mikron sampai 25 mikron.
Partikel debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relative
lama dalam keadaan melayang-layang dan dapat masuk melalui saluran
pernafasan.
Debu yang berukuran antara 5-10 mikron bila terhisap akan
tertahan dan tertimbun pada saluran nafas bagian atas, kemudian yang
berukuran antara 3-5 mikron tertahan dan tertimbun pada saluran nafas
tengah. Partikel debu dengan ukuran 1-3 mikron disebut debu respirable
merupakan yang paling berbahaya karena tertahan dan tertimbun mulai
-
23
dari bronkhiolus terminalis sampai alveoli. Debu yang ukurannya kurang
dari 1 mikron tidak mudah mengendap di alveoli, debu yang ukurannya
antara 0,1-0,5 mikron berdifusi dengan gerak Brown keluar masuk
alveoli, bila membentur alveoli maka dapat tertimbun ditempat tersebut.
Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron akan dikeluarkan semuanya
bila jumlahnya kurang dari 10 partikel per milimeter kubik udara (WHO,
1990).
2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Vital Paru (KVP)
Nilai KVP merupakan suatu gambaran dari fungsi sistem pernafasan.
Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sehingga
frekuensi lama seseorang bekerja pada lingkungan tempat kerja yang berdebu dan
faktor-faktor internal yang terdapat pada diri pekerja (karakteristik pekerja)
merupakan hal utama yang berhubungan dengan KVP (Widodo, 2007). Adapun
faktor-faktor tersebut adalah:
1) Lingkungan Tempat Kerja
Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Kesehatan Nomor 1 Tahun
1970 dikatakan bahwa tempat kerja merupakan tiap ruangan atau lapangan,
tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau
sering dimasuki pekerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat
sumber-sumber bahaya. Adapun sumber bahaya yang berhubungan dengan
-
24
nilai KVP pekerja khusunya perusahaan pengadaan bahan baku keramik
adalah debu.
Debu yang memapar pekerja dapat dilihat dari ukuran
partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama paparan serta
bentuk dari debu itu sendiri. Pada dasarnya tingkat kelarutan debu
pada air dapat mengindikasikan tingkat bahan dalam debu larut dan
dengan mudah dapat masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Bila debu
tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil maka partikel-partikel
tersebut dapat masuk ke dinding alveoli. Semakin tinggi konsentrasi
debu, maka semakin besar pula kemungkinan menimbulkan keracunan
maupun gangguan terhadap paru (Faridawati, 1995).
2) Karakteristik Pekerja
Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja didalam hubungan kerja
pada pengusaha dengan menerima upah sebagai hasil dari kerjanya.
Karakteristik pekerja merupakan hal-hal yang ada pada diri pekerja yang
akan berdampak pada hasil kerja dan dalam hal ini kesehatan individu itu
sendiri. Adapun yang termasuk hal-hal yang termasuk kedalam karakteristik
pekerja yang berhubungan dengan KVP adalah:
a. Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam hal terjadinya
gangguan fungsi paru karena usia mempengaruhi kekenyalan paru
-
25
sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Semakin tua usia seseorang
maka semakin besar kemungkinan terjadi penurunan fungsi paru
terutama yang disertai dengan kondisi lingkungan yang buruk serta
faktor lain yang akan memperburuk kondisi paru. Penurunan KVP
dapat terjadi setelah usia 30 tahun, tetapi penurunan KVP akan cepat
setelah usia 40 tahun. Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah
volumenya dan akan mencapai nilai maksimum pada usia 19 sampai
21 tahun. Setelah usia tersebut nilai faal paru akan terus menurun
sesuai dengan pertambahan usia (Budiono, 2007).
Berdasarkan penelitian Mengkidi (2006), pada populasi pekerja
pabrik semen di Sulawesi Selatan yang terpapar dengan debu semen
menunjukkan bahwa usia merupakan faktor risiko untuk terjadinya
gangguan fungsi paru. Selain itu juga, pada keadaan normal usia juga
mempengaruhi frekuensi pernapasan dan kapasitas paru. Frekuensi
pernapasan pada orang dewasa antara 16-18 kali permenit, pada anak-
anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar 30 kali
permenit. Walaupun pada orang dewasa pernapasan frekuensi
pernapasan lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak dan bayi, akan
tetapi KVP pada orang dewasa lebih besar dibanding anak-anak dan
bayi. Dalam kondisi tertentu hal tersebut akan berubah misalnya akibat
dari suatu penyakit, pernapasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya
(Syaifudin, 1997).
-
26
b. Jenis Kelamin
Menurut Guyton (1997) volume dan kapasitas seluruh paru
pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil daripada pria,
dan lebih besar lagi pada atletis dan orang yang bertubuh besar
daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis. Menurut Tambayong
(2001) disebutkan bahwa kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu
4,8L dibandingkan pada wanita yaitu 3,1L.
c. Kebiasaan merokok
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
saluran pernapasan dan jaringan paru. Apabila kondisi lingkungan
kerja seorang perokok memiliki tingkat konsentrasi debu yang tinggi
maka maka dapat menyebabkan gangguan fungsi paru yang ditandai
dengan penurunan fungsi paru (VC, FVC dan FEV1). Debu yang
tertimbun dalam paru akan menyebabkan fibrosis (pengerasan jaringan
paru), sehingga dapat menurunkan KVP. Kebiasaan merokok akan
mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa
pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4mL untuk bekas
perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif (Anshar, 2005).
Pengaruh asap rokok dapat lebih besar dari pada pengaruh
debu hanya sekitar sepertiga dari pengaruh buruk rokok (Depkes,
2003). Tenaga kerja yang merokok dan berada dilingkungan yang
-
27
berdebu cenderung mengalami gangguan saluran pernapasan
dibanding dengan tenaga kerja yang berada pada lingkungan yang
sama tetapi tidak merokok (Mengkidi, 2006). Selain itu juga menurut
Gold et al (2005) juga menyatakan bahwa kebiasaan merokok pada
pekerja yang terpapar oleh debu memperbesar kemungkinan untuk
terjadinya gangguan fungsi paru.
Adapun untuk mengukur derajat berat merokok biasanya
dilakukan dengan menghitung indeks Brinkman, yaitu perkalian antara
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari kemudian
dikalikan dengan lama merokok dalam tahun. Nilai yang dihasilkan
dari perhitungan tersebut akan dimasukkan kedalam tiga kategori
yaitu:
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : > 600
d. Kebiasaan olahraga
Faal paru dan olahraga mempunyai hubungan yang timbal
balik.Gangguan faal paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga,
sebaliknya latihan fisik yang teratur atau olahraga dapat meningkatkan
faal paru. Seseorang yang aktif dalam latihan akan mempunyai
-
28
kapasitas aerobik yang lebih besar dan kebugaran yang lebih tinggi
serta kapasitas paru yang meningkat (Sahab, 1997).
Kapasitas Vital Paru (KVP) dapat dipengaruhi oleh kebiasaan
seseorang melakukan olahraga. Olahraga dapat meningkatkan aliran
darah melalui paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat
berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar atau
maksimum. Kapasitas vital pada seorang atlet lebih besar daripada
orang yang tidak pernah berolahraga (Hall, 1997). Menurut Guyton
(1997), kebiasaan olah raga akan meningkan kapasitas paru dan akan
meningkat 30-40%.
Secara umum semua cabang olahraga, permainan dan aktifitas
fisik sedikit banyak membantu meningkatkan kebugaran fisik. Namun
terdapat perbedaan dalam tingkat dan komponen-komponen kebugaran
fisik yang ditingkatkan.
Tabel 2.3
Kategori Tingkat Kebugaran Aktivitas Fisik/Kegiatan Olahraga
No Tingkat Kebugaran Jenis Kegiatan Olahraga
1. Sangat Baik Tarian aerobic Bersepeda
Bulutangkis Basket
Jogging/lari Sepak bola
Bolanet Berenang
-
29
No Tingkat Kebugaran Jenis Kegiatan Olahraga
2. Baik Beladiri Sepak takraw
Latihan berirama Bola voli
Tenis meja Berjalan
Tenis
3. Minimal Golf Binaraga
Bowling
Kebugaran aerobik*: Kebugaran dari paru, jantung dan peredaran darah.
Kebiasaan berolahraga tersebut dilakukan 3-5 kali
seminggu. Sumber: Giam.C.K (1996)
e. Status Gizi
Kesehatan dan daya kerja erat hubungannya dengan status gizi
seseorang. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap
kekuatan daya tahan dan respon imunologis terhadap penyakit dan
keracunan. Status gizi juga berperan terhadap kapasitas paru. Orang
dengan postur kurus panjang biasanya kapasitas vital paksanya lebih
besar dari orang dengan postur gemuk pendek.
Tanpa makan dan minum yang cukup kebutuhan energi untuk
bekerja akan diambil dari cadangan sel tubuh. Kekurangan makanan
yang terus menerus akan menyebabkan susunan fisiologis terganggu.
Menurut Sridhar (1999) secara fisiologis seseorang dengan status gizi
yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan KVP yang
pada akhirnya dapat mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru.
-
30
Adapun status gizi diukur menggunakan Indeks Massa Tubuh
(IMT).
IMT = BB (kg)
TB2(m)
Tabel 2.4
Kategori Ambang Batas IMT untuk Indonesia
Kategori
IMT
IMT
Kurus Kekurangan BB tingkat berat
Kekurangan BB tingkat rendah
< 17
17.0-18.5
Normal >18.5-25.00
Gemuk Kelebihan BB tingkat ringan
Kelebihan BB tingkat berat
25.00-27.00
>27.0
(Supariasa, 2001)
f. Riwayat penyakit Saluran Pernafasan
Kondisi kesehatan saluran pernafasan dapat mempengaruhi
KVP seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat
sakit (Ganong, 2002). Nilai kapasitas paru otomatis akan berkurang
pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti
paru) dan pada kelemahan otot pernapasan (Price, 1995). Selain itu
juga, adanya riwayat pekerjaan yang menghadapi debu akan
mengakibatkan pneumunokiosis dan salah satu pencegahannya dapat
-
31
dilakukan dengan menghindari diri dari debu dengan cara memakai
masker saat bekerja (Sumamur, 1996).
g. Penggunaan Masker
Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh
partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk
mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Masker
berguna untuk melindungi masuknya debu atau partikel-partikel yang
lebih besar ke dalam saluran pernafasan. Masker dapat terbuat dari kain
dengan ukuran pori-pori tertentu agar risiko paparan debu yang dapat
terinhalasi ke paru-paru sehingga terjadi pengendapan partikel dan
akhirnya mengurangi nilai KVP dapat diminimalisir (Carlisle, 2000).
h. Masa Kerja
Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja (pada
suatu kantor, badan dan sebagainya) (KBBI, 2001). Penelitian Yuli
(2005) dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat
mempengaruhi dan menurunkan kapasitas fungsi paru yang salah satu
didalamnya adalah nilai KVP pada pekerja. Menurut Morgan dan
Parkes dalam Faridawati (1995) waktu yang dibutuhkan seseorang
yang terpapar oleh debu untuk terjadinya gangguan KVP kurang lebih
10 tahun.
-
32
Masa kerja dapat dikategorikan menjadi:
1. masa kerja baru ( < 5 tahun )
2. masa kerja lama ( 5 tahun )
Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak
dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja
tersebut (Sumamur, 1996).
i. Riwayat Pekerjaan
Riwayat pekerjaan dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
akibat kerja. Riwayat pekerjaan yang menghadapi debu berbahaya dapat
menyebabkan gangguan paru (Sumamur, 1996). Hubungan antara
penyakit dengan pekerjaan dapat diduga dengan adanya riwayat
perbaikan keluhan pada akhir minggu atau hari libur diikuti peningkatan
keluhan untuk kembali bekerja, setelah bekerja ditempat yang baru atau
setelah digunakan bahan baru di tempat kerja. Riwayat pekerjaan dapat
menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar dengan pekerjaan
berdebu, hobi, pekerjaan pertama, pekerjaan pada musim-musim tertentu,
dan lain-lain (Ikhsan, 2002).
-
33
3) Karakteristik Pekerjaan
a. Jumlah Jam Kerja per Minggu (waktu kerja)
Data jumlah jam kerja per minggu pada aktivitas pekerja yang
terpapar debu dapat digunakan sebagai perkiraan kumulatif paparan
yang diterima oleh seorang pekerja. Rendahnya KVP pada pekerja
tergantung pada lamanya paparan serta konsentrasi debu lingkungan
kerja. Paparan dengan konsentrasi rendah dalam waktu lama mungkin
tidak akan segera menunjukkan adanya penurunan nilai KVP
dibandingkan dengan paparan tinggi dalam waktu yang singkat
(Budiono, 2007)
b. Beban kerja
Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitas
pekerjaan sehari-hari. Setiap pekerjaan merupakan beban bagi
pelakunya, beban-beban tersebut tergantung bagaimana orang tersebut
bekerja sehingga disebut beban kerja, sehingga beban kerja merupakan
kemampuan tubuh pekerja dalam menerima pekerjaan. Beban kerja
dapat berupa beban fisik dapat mempengaruhi nilai dari KVP seseorang.
Kebutuhan oksigen dan karbon dioksida terus berubah sesuai dengan
tingkat aktivitas dan metabolisme seseorang, tapi pernapasan harus tetap
dapat memelihara kandungan oksigen dan karbondioksida tersebut
(Guyton & Hall, 1996).
-
34
c. Sikap kerja
Pengertian sikap kerja merupakan kesiapan mental maupun fisik
untuk bekerja dengan cara tertentu yang dapat dilakukan dalam
kecenderungan tingkah laku pekerja dalam menjalankan aktivitasnya
sebagai upaya memperkaya kecakapan dan kelangsungan hidup
(Maryani, 2005).
2.5 Kerangka Teori
Kerangka teori (gambar 2.1) diperoleh dari hasil modifikasi berbagai sumber.
Faridawati (1995) menyatakan bahwasannya paparan debu dapat menyebabkan
keracunan maupun gangguan terhadap paru. Kemudian untuk faktor karakteristik
individu dan beban kerja diperoleh dari teori Guyton dan Hall (1997) yang
mengatakan bahwa jenis kelamin dan kebiasaan olahraga berhubungan dengan nilai
KVP. Selain itu juga jumlah jam kerja perminggu, usia (Budiono, 2007), kebiasaan
merokok (Depkes, 2003), status gizi (Sridhar, 1999), riwayat penyakit saluran
pernafasan (Ganong, 2002), penggunaan masker (Carlisle, 200), masa kerja
(Faridawati, 1995), sikap kerja (Maryani, 2005) dan riwayat pekerjaan (Sumamur,
1996) juga turut berperan terhadap nilai Kapasatas Vital Paru (KVP) seseorang.
Berdasarkan hasil dari modifikasi tersebut dapat digambarkan sebuah kerangka teori
sebagai berikut:
-
35
Gambar 2.1
Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi dari (Budiono, 2007; Carlisle, 2000; Depkes, 2003; Faridawati,
1995; Ganong, 2002; Guyton,1997; Hall, 1997; Maryani, 2005; Sridhar, 1999;
Sumamur, 1996)
Lingkungan Tempat Kerja
Debu : ( konsentrasi , ukuran partikel, daya larut, sifat
kimiawi, lama debu sampai ke paru dan bentuk debu)
Karakteristik Pekerja:
-Riwayat Penyakit Saluran Pernafasan - Usia
- KebiasaanOlahraga - Masa Kerja
- Penggunaan Masker - Status Gizi
- Riwayat Pekerjaan
-Kebiasaan Merokok
-Jenis Kelamin
Kapasitas
Vital
Paru
Karakteristik Pekerjaan :
- Waktu kerja - Beban kerja - Sikap kerja
-
36
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Variabel yang akan diteliti terdiri dari dua variabel yaitu variabel bebas dan
variabel terikat.Variabel bebas terdiri dari konsentrasi debu, usia, kebiasaan
olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja dan penggunaan masker
sedangkan variabel terikatnya adalah KVP pekerja. Selain itu juga, ada variabel yang
tidak diteliti pada penelitian ini yaitu jenis kelamin, riwayat penyakit saluran
pernafasan, riwayat pekerjaan serta faktor pekerjaan.
Faktor lingkungan kerja dalam hal ini terkait dengan debu (ukuran partikel,
daya larut, sifat kimiawi, lama paparan dan bentuk debu) tidak diteliti karena debu
pada area kerja plant terdiri atas 2 (dua) debu yang utama dari bahan baku yang telah
bercampur sehingga tidak bisa diketahui debu yang akan diukur berasal dari bahan
baku yang mana. Selanjutnya untuk faktor karakteristik pekerjaan tidak diteliti
karena seluruh pekerja memiliki waktu kerja yang sama yaitu 8 jam kerja
(homogen), kemudian tidak ada perbedaan beban kerja dan sikap kerja yang dapat
mempengaruhi KVP seperti aktivitas fisik dari pekerjaan, posisi kerja yang berbeda
ketika berada di sumber debu serta ventilasi pada area plant.
Jenis kelamin pekerja tidak diteliti karena seluruh pekerja bagian plant
adalah berjenis kelamin laki-laki. Kemudian untuk riwayat penyakit saluran
-
37
pernafasan tidak diteliti karena seseorang yang telah mengalami penyakit saluran
pernafasan secara otomatis akan menurunkan nilai KVP. Selain itu juga, berdasarkan
hasil survey pendahuluan didapat bahwa hampir seluruh pekerja yang masuk ke
perusahaan ini adalah fresh graduate, sehingga variabel riwayat pekerjaan tidak
menjadi variabel pada penelitian ini. Adapun kerangka konsep penelitian dapat
dilihat pada bagan di bawah ini:
Lingkungan Tempat Kerja
Karakteristik Pekerja
3.2 Hipotesis
1. Ada hubungan antara lingkungan tempat kerja dengan KVP pada pekerja
bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011
2. Ada hubungan antara karakteristik pekerja dengan KVP pada pekerja bagian
plant pada PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta tahun 2011
Kapasitas
Vital Paru
Usia
Kebiasaan Olahraga
Kebiasaan Merokok
Status Gizi
Masa Kerja
Penggunaan Masker
Konsentrasi debu
-
40
BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode
cross sectional karena pengambilan data variabel independen dan variabel dependen
dilakukan pada saat yang bersamaan. Desain ini digunakan karena mudah
dilaksanakan, sederhana, murah, ekonomis dalam hal waktu, dan hasilnya dapat
diperoleh dengan cepat (Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini bersifat analitik yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan tempat kerja dan karakteristik
pekerja dengan KVP pekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta
tahun 2011.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta dari bulan
April sampai dengan Agustus 2011.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta pada tahun 2011 yang berjumlah 61 orang. Adapun jumlah
karyawan dalam tiap bagiannya pada area plant adalah sebagai berikut:
-
41
1). Bagian Produksi terdapat 41 pekerja
2). Bagian Mekanik terdapat 11 pekerja
3). Bagian Quality Control terdapat 9 pekerja
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini merupakan sampel jenuh pada pekerja
bagian plant PT.Sibelco Lautan Minerals Jakarta. Jumlah sampel dihitung
menggunakan rumus uji hipotesis beda proporsi 2 tail (1-/2):
n = (Z1-/2V2P(1-P)+Z1-Vp1(1-p1)+p2(1-p2))2
(p1-p2) 2
Keterangan :
n = besar sampel
Z1-a/2 = derajat kemaknaan (CI) pada tertentu P = proporsi rerata
p1 = proporsi pekerja yang tidak menggunakan masker yang mengalami
gangguan KVP pada penelitian sebelumnya (0.5) (Widodo, 2007)
p2 = proporsi pekerja yang menggunakan masker yang mengalami
gangguan KVP pada penelitian sebelumnya (0.15) (Widodo, 2007)
sehingga :
n = (1.96V2x0.325(1-0.325)+0.84V0.05(1-0.5)+0.15(1-0.15))2
(0.5-0.15)2
= 26.87 = 27
-
42
Hasil dari perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut
diperoleh jumlah sampel yang harus diambil adalah 27 pekerja. Jadi, sampel
minimal yang dibutuhkan untuk penelitian ini sebesar 27 pekerja dikalikan
dua (2) karena menggunakan uji hipotesis dua proporsi segingga jumlah
sampel yang harus diambil adalah sebesar 54 pekerja. Untuk menghindari
drop out atau missing jawaban maka perlu ditambahkan 10% dari jumlah
sampel minimal sehingga jumlah keseluruhan sampel sebesar 60 pekerja.
Karena jumlah perja pada bagian plant ada sebanyak 61 orang maka sampel
yang digunakan adalah sampel jenuh yaitu sebanyak 61 pekerja.
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1 Kriteria lnklusi
Kriteria inklusi adalah syarat yang harus dipenuhi agar
responden dapat menjadi sampel penelitian. Adapun kriteria pada
penelitian ini adalah pekerja yang menjadi responden dalam keadaan
sehat dari penyakit paru dan pernafasan seperti bronchitis, radang paru,
TBC paru, asma dan alergi saluran pernafasan, dan lain-lain dengan
asumsi bahwa penyakit yang berhubungan dengan salauran pernafasan
dan paru tersebut sudah pasti akan berhubungan dengan nilai KVP.
Hal ini di screening melalui wawancara terhadap pekerja sebelum
penelitian dilakukan.
-
43
4.4.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah syarat yang tidak dapat dipenuhi oleh
responden supaya dapat menjadi sampel. Adapun kriteria tersebut
adalah responden menolak berpartisipasi dalam penelitian.
4.5 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data primer. Data primer diperoleh langsung
dari responden, melalui:
1. Wawancara dan Observasi Lapangan
Wawancara adalah cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab
sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan
penelitian (Marzuki, 2002). Dalam hal ini dilakukan tanya jawab atau
wawancara secara langsung kepada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta tahun 2011 dan diisi kedalam kuisioner penelitian.
Untuk observasi akan dilakukan oleh peneliti langsung kepada para
pekerja yang ada pada area plant. Data observasi berupa kondisi dan
penggunaan masker serta aktivitas merokok pada smoking area akan
dimasukkan kedalam lembar observasi yang telah disediakan.
2. Pengukuran KVP
Metode ini dilakukan dengan cara pengukuran paru pekerja
menggunakan alat spirometer secara langsung terhadap responden.
-
44
3. Pengukuran Indeks Masa Tubuh (IMT)
Metode ini dilakukan dengan cara mendapatkan hasil pengukuran
tinggi badan dan pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak.
4. Pengukuran Konsentrasi Debu Terhirup
Pengukuran debu terhirup menggunakan alat Personal Dust Sampler
(PDS) yang berisi kertas filter yang akan menangkap debu yang memapar
pekerja. Alat ini dilengkapi dengan pompa yang akan menghisap debu dari
udara kedalam filter dengan menggunakan laju alir tertentu.
4.6 Instrumen Penelitian
Data dikumpulkan dengan menggunakan instrumen spirometri untuk KVP,
Personal Dust Sampler (PDS), timbangan injak, meteran, lembar skrining pekerja,
lembar pengukuran lingkungan kerja, lembar pengukuran status gizi dan KVP,
lembar observasi serta kuisioner yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Spirometri
Spirometri adalah alat yang digunakan untuk mengukur KVP
pekerja. Data hasil pengukuran ini didapatkan melalui cara pengukuran
fungsi paru pekerja dengan menggunakan alat spirometer merk Chest tipe
HI-101. Adapun cara pengukuran kapasitas paru pekerja adalah sebagai
berikut :
-
45
1) Alat spirometri yang akan digunakan dihisupkan terlebih dahulu
dengan menekan tombol On pada alat.
2) Masukkan tube atau pipa untuk meniupkan udara pada alat.
3) Tekan tombol start dengan kondisi tube telah masuk ke dalam mulut
tanpa ada sedikitpun udara yang keluar melalui mulut.
4) Mengambil udara (inspirasi) kemudian mengeluarkannya (ekspirasi)
pada tube yang telah berada di dalam mulut secara perlahan
(dilakukan sebanyak tiga kali).
5) Setelah selesai, buka mulut untuk mengambil nafas sejenak untuk
kemudian melakukan respirasi ulang ke dalam tube secara paksa
(maksimal) (dilakukan sebanyak tiga kali).
5) Baca hasil pengukuran pada display dan kertas print out yang keluar.
2. Personal Dust Sampler (PDS)
Personal Dust Sampler (PDS) adalah alat yang digunakan untuk
mengukur konsentrasi debu dengan prinsip kerja menghisap udara
dengan kecepatan tertentu (1.7 Liter/menit) melalui kertas filter sehingga
udara yang melalui pipa akan tersaring oleh filter yang mempunyai berat
tertentu. Tipe PDS yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe SKC
model 224-PCXR8.
-
46
Cara penggunaan alat:
1). Pasang filter pada PDS, alat di ON kan dan atur flow meter.
2). Pasangkan holder pada krah baju selama 4 jam.
3) Filter diambil, kemudian ditimbang (berat filter terisi).
4) Jika sudah selesai matikan alat dengan menekan OFF.
3. Timbangan Analitik
Timbangan analitik adalah alat yang digunkan untuk menimbang
filter kosong dan filter terisi yang akan dan telah dipasang pada PDS.
Cara penggunaan alat:
1) Sambungkan alat dengan arus listrik
2) Tekan tombol ON/OFF, kemudian muncul angka 8888, tunggu sampai
berubah 0
3) Pasangkan kertas filter ke timbangan
4) Catat berat filter dalam gram
5) Filter diambil, matikan alat dengan menekanan tombol ON/OFF
Hasil penimbangan filter dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Konsentrasi debu = (W2 W1) (Wb Wa) X 106
V
-
47
Keterangan :
W1 : berat filter uji awal (gram)
W2 : berat filter uji akhir (gram)
Wa : berat filter awal blangko (gram)
Wb : berat filter akhir blangko (gram)
V (volume udara) = F x t (m3)
F (flow rate) = rata-rata flow rate X Pa X 2980 K (m3/menit)
760 mm Hg Ta
Keterangan :
t : waktu sampling (menit)
Pa : tekanan udara (mm hg)
Ta : temperatur udara (temperatur rata-rata + 2730 K)
4. Timbangan Badan
Timbangan badan adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur
berat badan dari tubuh pekerja dengan merk Tanita HA622 500 x 500 cm.
Pengukuran ini dilakukan sebanyak tiga kali (3) untuk mengurangi bias dan
validasi hasil pengukuran dan setiap melakukan pengukuran terlebih dahulu
memastikan jarum timbangan berada pada angka 0.
5. Meteran
Meteran adalah sutau alat yang digunakan untuk mengukur tinggi
tubuh manusia yang dimulai dari ujung kaki hingga ujung lapisan kepala.
-
48
Cara penggunaan alat:
1). Pekerja berdiri tegak.
2). Lalu meteran diukur dari ujung kaki hingga ujung lapisan kepala.
6. Lembar Skrining Pekerja
Lembar skrining pekerja digunakan untuk menyaring pekerja yang
tidak dimasukkan kedalam sampel penelitian (kriteria inklusi). Lembar
skrining ini berisi pertanyaan tentang gejala-gejala beberapa penyakit yang
berhubungan dengan terjadinya penurunan nilai KVP pekerja. Lembar ini
terdiri atas 7 (tujuh) pertanyaan dimana ketika pekerja menjawab tidak pada
soal nomor 1 (satu), maka pekerja dapat masuk ke dalam sampel penelitian.
7. Lembar Pengukuran Status Gizi dan KVP
Lembar ini berfungsi untuk mencatat rata-rata berat badan dan tinggi
badan masing-masing responden untuk kemudian mendapatkan nilai dari
status gizi pekerja tersebut. Nilai KVP didapat melalui data medical check up
untuk kemudian dipindahkan ke dalam lembar ini untuk mempermudah
pengumpulan data.
8. Lembar Observasi Kondisi Masker, Penggunaan Masker dan Aktivitas
Merokok Pekerja
Lembar observasi ini digunakan untuk memeriksa kondisi masker
responden termasuk didalamnya adalah kondisi dari filter atau penyaring
-
49
debu yang terdapat dalam masker. Penggunaan masker pada area kerja akan
diobservasi oleh peneliti dan aktivitas merokok di smoking area dilakukan
untuk validasi data hasil wawancara.
9. Kuisioner
Kuisioner yang digunakan berisi pertanyaan-pertanyaan yang
berkaitan dengan variabel independen yang merupakan faktor-faktor yang
berhubungan dengan KVP yaitu: usia, kebiasaan olahraga, kebiasaan
merokok, masa kerja dan penggunaan masker.
a. Usia
Variabel usia diukur berdasarkan jawaban responden pada
kuisioner bagian A2. Variabel ini ditegakkan berdasarkan tanggal
lahir, bulan dan tahun dimana responden dilahirkan.
b. Kebiasaan Olahraga
Variabel kebiasaan olahraga didapat dari kuisioner bagian C
yang bersifat semi terbuka. Variabel ini dikategorikan menjadi 2
(dua) kategori yaitu Tidak Olahraga apabila responden menjawab
tidak pada pertanyaan C1. Kemudian untuk kategori Olahraga
didapat dari pertanyaan C2. Pertanyaan ini berisi tentang jenis
kegiatan olahraga, frekuensi olahraga selama satu minggu, dan lama
-
50
durasi olahraga. Kemudian pertanyaan berikutnya berisi tentang sejak
kapan melakukan kegiatan tersebut secara rutin.
c. Kebiasaan Merokok
Pada penelitian ini, peneliti mengetahui kebiasaan merokok
responden dari jawaban responden yang terdapat pada kuisioner
bagian D. Bagian ini terdiri atas 9 (smbilan) pertanyaan untuk
kemudian dari jawaban tersebut akan diketegorikan kedalam 3 (tiga)
kategori yaitu: tidak merokok, mantan perokok dan merokok.
Kebiasaan merokok kategori Tidak Merokok dan Merokok
didapat dari jawaban pada pertanyaan D1 dan kemudian dilanjutkan
pada pertanyaan D5 bagi yang menjawab Tidak untuk menggali
apakah dulu pernah merokok atau tidak. Responden yang menjawab
Ya pada pertanyaan D5 akan dikategorikan sebagai Mantan
Perokok dan akan diberikan pertanyaan berikutnya untuk menggali
kebiasaan merokoknya di masa lalu.
d. Masa Kerja
Variabel masa kerja didapat dari jawaban atas pertanyaan
bagian A yaitu A3 dengan menanyakan bulan dan tahun masuknya
responden kedalam perusahaan PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta.
-
51
e. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Jenis Masker
Pada variabel penggunaan masker akan dikategorikan menjadi 2
(dua) kaegori yaitu: Menggunakan dan Tidak Menggunakan.
Variabel ini akan didapat pada pertanyaan bagian B untuk tidak
semata-mata menanyakan apakah responden menggunakan masker
atau tidak, namun juga melihat perihal kondisi dan penggunaan dari
masker tersebut. Kategori Tidak Menggunakan dan
Menggunakan masker didapat dari jawaban responden atas
pertanyaan B7.
4.7 Cara Pengukuran
1. Pengukuran Konsentrasi Debu
Pengukuran konsentrasi debu dilakukan selama 4jam/pekerja dengan
lama shift kerja 8 jam. Alat yang digunakan dalam pengukuran konsentrasi debu
ini adalah Personal Dust Sampler (PDS) yang digunakan pekerja selama bekerja.
Pompa alat ini digantunggakan pada pinggang pekerja dan inlet cyclone
penampung debu digantungkan pada bahu pekerja.
-
52
Gambar 4.1
Pemakaian Personal Dust Sampler
2. Pegukuran KVP
Pengukuran KVP menggunakan alat spirometri yang dipandu oleh
petugas kesehatan saat pekerja melakukan proses pengukuran kapasitas. Adapun
nilai kapasitas yang diambil adalah Slow Vital Capacity (SVC) untuk menilai
seberapa mampu paru-paru seseorang mengeluarkan udara (ekspirasi) setelah
mengisi rongga paru-paru dengan udara secara maksimal secara normal.
Gambar 4.2
Pengukuran KVP
-
53
4.8 Uji Coba Kuisioner
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data primer yang
salah satunya diperoleh dari pengisian kuisioner melalui wawancara pekerja.
Sebelum dilakukan pengumpulan data tersebut, peneliti telah melakukan uji coba
kuisioner terlebih dahulu di tempat yang sama terhadap 20 pekerja yang berstatus
Pekerja Harian Lepas yang dilakukan pada tanggal 1 Juli 2011. Uji kuisioner ini
dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan reliabilitas dari instrumen
penelitian. Kuisioner dikatakan valid bila instrumen tersebut dapat mengukur apa
yang seharusnya diukur. Sedangkan instrument dapat dikatakan reliable jika
instrumen menghasilkan ukuran yang konsisten walaupun instrument tersebut
digunakan untuk mengukur berulang-ulang kali (Azwar (2003) dalam e-learning
Universitas Gunadarma). Adapun langkah-langkah uji validitas dan reliabilitas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Validitas Kuisioner
Uji validitas kuisioner dinyatakan valid jika r hitung > r tabel
(0.468). Adapun pertanyaan yang dimasukkan ke analisis validitas dan
reliabilitas adalah pertanyaan tentang kondisi dan penggunaan masker,
kebiasaan olahraga dan kebiasaan merokok. Pertanyaan kondisi dan
penggunaan masker terdiri dari 9 pertanyaan namun 2 pertanyaan
merupakan pertanyaan terbuka. Berdasarkan hasil uji coba kuisioner
didapat bahwa semua pertanyaan (7 pertanyaan) valid.
-
54
Pertanyaan kebiasaan olahraga terdiri dari 3 pertanyaan dengan 1
pertanyaan terbuka. Berdasarkan hasil uji coba didapatlah hasil yang
tidak valid pada ke-dua pertanyaan kebiasaan olahraga pada pertanyaan
tertutup dan kemudian dilakukan perbaikan redaksi pada pertanyaan yang
akan diajukan. Pertanyaan pada bagian ini merupakan pertanyaan
lompatan sehingga jika pekerja menjawab Tidak pada pertanyaan no 1
maka pekerja lanjut ke variabel penelitian berikutnya, namun jika pekerja
menjawab Ya maka akan dilanjutkan ke pertanyaan C2 dan C3.
Untuk pertanyaan kebiasaan merokok terdiri dari 9 pertanyaan
dengan 2 pertanyaan lompatan. Untuk pekerja yang menjawab Ya pada
D1 maka 3 pertanyaan (D2 dan D4) dinyatakan valid berdasarkan hasil
uji coba kuisioner (r tabel > 0.602). Namun untuk pertanyaan D3 tidak
valid dan dilakukan perbaikan redaksi pertanyaan yang akan ditanyakan.
Selanjutnya, untuk pekerja yang menjawab tidak pada D1 akan lompat ke
pertanyaan D5, dan jika menjawab Ya pada pertanyaan D5 maka 4
pertanyaan berikutnya (D6, D7, D8, D9) dinyatakan valid r table > 0.878.
b. Reliabilitas
Kuisioner dinyatakan reliable bila nilai r alpha Crombah > r tabel
(0.7) (Streiner dan Norman, 2000). Berdasarkan dari hasil analisi uji coba
kuisioner maka semua pertanyaan reliable kecuali pertanyaan tentang
kebisaan olahraga
-
55
Untuk melihat validitas dan reliabilitas data kuisioner dapat
dilihat dari hasil uji kuisioner pada tabel 4.1 berikut:
Tabel 4.1
Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner Penelitaian di PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta Tahun 2011
No Nilai r
Hitung
Alpha
Cronbach
Nilai r
Tabel
Keterangan
Kondisi dan
Penggunaan
Masker
B1
0.816
0.833
0.468
Valid
B2 0.688 0.468 Valid
B3 0.820 0.468 Valid
B4
0.697
0.468
Valid
B5 0.806 0.468 Valid
B6 0.769 0.468 Valid
B7 0.631 0.468 Valid
Kebiasaan
Olahraga
C1 -0.788 -6.001 0.468 Tidak Valid
C2 -0.788 0.468 Tidak Valid
Kebiasaan
Merokok
D2 0.820 0.819 0.602 Valid
D3 0.592 0.602 Tidak Valid
D4 0.820 0.602 Valid
D6 0.997 0.820 0.878 Valid
D7 0.963 0.878 Valid
D8 0.997 0.878 Valid
D9 0.963 0.878 Valid
-
56
4.9 Pengolahan Data
Adapun untuk tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data primer
dari variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut:
1. Menyunting data (data editing), yaitu kuisioner yang telah diisi dilihat
kelengkapan jawabannya, sebelum dilakukan proses pemasukan data ke dalam
komputer.
2. Mengkode data (data coding), yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode
pada jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuisioner.
3. Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu membuat
tamplate sesuai dengan format kuisioner yang digunakan
4. Memasukan data (entry data), yaitu dilakukan pemasukan data ke dalam
tamplate yang telah dibuat.
5. Membersihkan data (data cleaning), yaitu data yang telah dimasukkan dicek
kembali untuk memastikan bahwa data tersebut bersih dari kesalahan, baik
kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam membaca kode. Dengan
demikian diharapkan data tersebut benar-benar siap untuk dianalisis.
4.10 Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif dan analitik. Tekhnik yang
digunakan dalam menganalisa data penelitian adalah dengan menggunakan paket
program komputer. Adapun analisis data yang digunkan meliputi analisis univariat dan
bivariat.
-
57
1). Analisa Univariat
Analisa ini digunakan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian
dengan cara membuat distribusi frekuensi dan proporsi dari setiap variabel
dependen dan independen yang ada pada penelitian ini. Hasil analisis ini
disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
2). Analisa Bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mencari hubungan variabel bebas
dan variabel terikat dengan uji statistik yang sesuai dengan skala data yang
ada. Uji statistik yang digunakan untuk melihat hubungan variabel kategorik
(status gizi, kebiasaan olahraga, kebiasaan merokok dan penggunaan masker)
digunakan uji T independen (beda mean dua kelompok) dan uji Anova
(untuk beda mean lebih dari dua kelompok). Sebelum masuk ke analisis
bivariat data numerik (rasio) terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data
untuk menentukan uji yang akan digunakan.
Sedangkan analisis bivariat yang digunakan untuk menguji variabel
yang berjenis numerik dengan numerik menggunakan uji korelasi (korelasi
pearson jika data (rasio) normal dan korelasi spearman jika data (rasio) tidak
normal). Kriteria hubungan berdasarkan nilai p value yang dihasilkan
dibandingkan dengan nilai kemaknaan, dengan kriteria jika p value < maka
ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
-
58
BAB V
HASIL
5.1 Gambaran Umum PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta
5.1.1 Sejarah dan Lokasi PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta (Sibelco,
2011)
PT. Sibelco Lautan minerals ini merupakan anggota dari Sablires et
Carrires Runies (SCR)-Sibelco yang yang berpusat di Belgia. SCR-Sibelco
didirikan pada tahun 1872 oleh Stanislas Emsens dan merupakan salah satu
perusahaan di Flanders saat ini. Oleh karena tingginya angka kebutuhan akan
mineral terutama silika maka SCR-Sibelco mengembangkan usahanya hingga ke
negara Indonesia.
Pada bulan April tahun 1997 didirikanlah PT. Sibelco Lautan Minerals
yang masuk ke dalam anggota Sibelco Asia yang merupakan hasil kerja sama
antara UNIMIN Corporation (USA), SCR-Sibelco NV (Belgium) dan PT. Lautan
Luas Tbk (Indonesia). Sampai saat ini PT. Sibelco Lautan Minerals yang
berlokasi di kawasan industri Jababeka Cikarang Barat ini memiliki dua (2)
daerah penambangan yaitu di Capkala (November, 2003) sebagai tempat
penambangan clay dan Belitung (April 2005) sebagai tempat penambangan
silika. Untuk cabang perkantoran dan pabrik pengolahan terdapat di dua tempat
-
59
yaitu Cikarang yang merupakan tempat pengolahan silika dan feldspar, serta di
Cikupa yang merupakan tempat pengolahan zircon.
Kemudian pada bulan Juli 2000, PT. Sibelco Lautan Minerals
mendapatkan sertifikasi ISO 9002:1994 Quality Managemenet System (QMS)
dan pada bulan Agustus 2003 mendapatkan ISO 9001:2000 oleh LRQA (Lioyds
Regoster Quality Assurance) dari badan sertifikasi Amerika Serikat. Namun
hingga saat ini (2011) belum dilakukan sertifikasi untuk Sistem Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5.1.2 Visi dan Misi PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta
Visi :
To build an organization talents choose to work for and grow a company
customers want to associate with (Membangun talenta organisasi yang
bekerja untuk menumbuhkan perusahaan yang menjadi kebanggaan)
Misi :
Global Competencies-Regional Resources-Local Excellence (Kompetensi
Global-Sumber Daya Regional-Keunggulan Lokal)
-
60
Nilai yang dianut (core value):
We grow people - We invest in mineral resources - We partner our
customers (Kami mengembangkan karyawan - Kami berinvestasi pada
sumber daya mineral - Kami bekerjasama dengan pelanggan kami)
5.1.3 Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja PT. Sibelco
Lautan Minerals Jakarta (P01 HSE Manual System Procedure
Sibelco, 2011)
Kesehatan keselamatan kerja menjadi fokus utama pada
perusahaan ini. Slogan Health Safety Environment (HSE) First
merupakan bentuk komitmen dari perusahaan ini untuk
menciptakan suatu lingkungan kerja yang aman, nyaman dan sehat
bagi seluruh karyawannya. Selain itu juga, lingkungan sekitar area
penambangan dan produksi yang dapat terkena dampak buruk dari
proses produksi perusahaan tersebut sedapat mungkin akan
diminimalisasi agar kesehatan, keselamatan dan lingkungan kerja
tersebut akan memberikan keuntungan bagi seluruh karyawan,
pemegang saham, pelanggan dan juga bagi masyarakat sekitar.
PT. Sibelco Lautan Minerals percaya bahwa HSE adalah
salah satu syarat tercapainya efisiensi dan sukses dari perusahaan.
Perusahaan memiliki kesungguhan untuk dapat melaksanakan
sepenuhnya kebijakan HSE melalui fungsi dan lintas organisasi
-
61
agar dapat menekan angka kecelakaan kerja. Kebijakan HSE
Sibelco Asia akan dicapai melalui pelaksanaan yang mengikuti
prinsip-prinsip dasar HSE sebagai pedoman kerja adalah sebagai
berikut :
1. Melaksanakan dan menjalankan manajemen HSE yang efektif
sesuai dengan kebijakan dan komitmen dari Sibelco Group.
2. Bertanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi kualitas
udara, air, kebisingan suara dan limbah lainnya dengan cara
pemeliharaan yang tepat di seluruh area pertambangan dan
seluruh area kerja produksi.
3. Mematuhi peraturan dan undang-undang tentang HSE yang
berlaku dimasing-masing bisnis unit.
4. Memadukan tatalaksana sistem HSE ke dalam semua aktivitas
kerja di perusahaan.
5. Meningkatkan rasa kesadaran diantara seluruh karyawan, rekan
kerja, pemasok, para pelanggan serta masyarakat atau
komunitas yang ada di sekitar perusahaan mengenai cara-cara
mengatur permasalahan HSE yang ada melalui pelatihan rutin
dan komunikasi yang terbuka.
6. Mendorong pertukaran komunikasi yang membangun tentang
pelaksanaan aktivitas HSE yang baik di antara perwakilan-
-
62
perwakilan Sibelco Asia yang lain berdasarkan kepercayaan,
keterbukaan dan semangat kerja kelompok.
7. Perbaikan yang berkesinambungan dari sistem manajemen
HSE serta semua peraturan dan pedoman kerja perusahaan
melalui pemeriksaan dan peninjauan secara berkala serta data-
data yang selalu diperbaharui.
8. Memotivasi seluruh karyawan untuk menjadikan HSE sebagai
Pedoman Hidup dalam pelaksanaan kebijakan HSE dan juga
mengajak secara aktif untuk mengetahui resiko yang mungkin
akan terjadi dalam rangka mencegah terjadinya berbagai
kecelakaan kerja.
5.1.4 Gambaran Area Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta
PT. Sibelco Lautan Minerals memiliki dua (2) area kerja yaitu area
Office dan area Plant. Area kerja plant dibagi atas 3 (tiga) bagian yaitu
bagian produksi, mekanik, dan quality control. Adapun jumlah karyawan dalam
tiap bagiannya pada area plant adalah sebagai berikut:
1). Bagian Produksi terdapat 41 pekerja
2). Bagian Mekanik terdapat 11 pekerja
3). Bagian Quality Control terdapat 9 pekerja
-
63
Adapun bahan baku yang diolah berasal dari alam yaitu silika dan
feldspar. Produk pasir silika dan feldspar diolah menjadi tepung berbagai ukuran
(mesh) untuk dijual menjadi bahan baku sesuai kebutuhan pelanggan (customer).
Adapun alur pengolahan dari pengolahan ke-dua material ini meliputi :
1. Produk Silika
Bahan baku dari pasir silika (pasir kuarsa) diperoleh dari tambang
perusahanan yang berlokasi di pulau Belitung untuk diolah menjadi tepung
silika ukuran 200 mesh, 270 mesh, 325 mesh, dan 500 mesh. Bahan baku
digali, kemudian dicuci (washing) di lokasi penambangan untuk selanjutnya
dikirimkan ke PT. Sibelco Lautan Minerals yang berada di Cikarang. Setelah
bahan baku sampai di Cikarang barulah dikeringkan (drying) hingga
kandungan air menjadi lebih kurang 0.005-0.008 %. Setelah pasir kering
barulah pasir akan masuk ke proses penggilingan (milling).
Pada proses milling, bahan baku yang telah kering dimasukkan ke
dalam mesin yang diberikan batu kali yang sengaja di datangkan dari negara
Prancis. Pasir yang dimasukkan kedalam mesin milling yang telah berisi batu
kali akan diputar dengan kecepatan yang telah ditentukan agar batu tidak
jatuh karena gaya gravitasi. Pada ujung mesin ini dipasang pemisah
(sparator) untuk pasir yang sudah halus dan pasir yang belum halus dengan
prinsip gaya sentrifugal. Sehingga, pasir yang masih belum halus akan jatuh
kebawah dan yang sudah halus akan dihisap ke tempat untuk disiapkan
-
64
masuk ke dalam kantong (sack) atau dihisap ke tempat untuk dimasukkan ke
dalam mobil yang akan dibawa ke pelanggan.
Bagan 5.1
Proses Produksi Silika
Sumber: Sibelco, 2011
-
65
2. Produk Feldspar
Feldspar terdiri atas tiga macam jenis yaitu, potasium feldspar, sodim
feldspar, kalsium feldspar. Dari ketiga bahan baku ini yang diolah di PT.
Sibelco Lautan Minerals hanyalah potasium feldspar dan kalsium
feldspar. Bahan baku ini dibeli dari lampung dan ada juga yang dikirim
dari negara India dan China melalui grup Sibelco Asia. Bahan baku yang
didapat kemudian dikirim ke PT. Sibelco Lautan Mineral dalam berbagai
bentuk dan ukuran. Untuk batu dengan ukuran yang masih besar sekitar
16 cm akan dimasukkan ke dalam mesin jaw crush untuk dihaluskan
menjadi sekitar 15-20 ml. Setelah dihaluskan kemudian feldspar akan
dikeringkan agar menjadi lebih ringan dan kemudian dimasukkan ke
dalam mesin cone crush.
Setelah masuk ke dalam mesin tersebut, maka feldspar akan keluar
menjadi ukuran 3-2 ml untuk kemudian akan di masukkan lagi ke dalam
mesin ball mill agar menjadi tepung feldspar. Hampir sama dengan
prinsip milling pada produk silika, namun yang membedakannya adalah
bahan dalam ball mill. Jika pada ball mill untuk pasir silika
menggunakana batu kali, maka untuk feldspar diganti dengan alumina
karena pasir feldspar memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan
pasir silika. Setelah proses milling selesai, barulah dilakukan pengemasan
kedalam karung kertas (sack) untuk selnjutnya dikirimkan ke pelanggan.
-
66
Bagan 5.2
Proses Produksi Feldspar
Sumber: Sibelco, 2011
-
67
Adapun debu yang dihasilkan dari kedua proses pembuatan
tepung tersebut dimulai dari area stockpile yaitu tempat dimana bahan
baku ditimbun atau disimpan hingga area finishing good, tempat dimana
tepung-tepung tersebut dimasukkan kedalam kantong atau mobil
(bulktruck) untuk didistribusikan. Adapun jenis debu pada area plant
merupakan jenis debu deposit particulate matter yang merupakan debu
yang hanya sementara di udara dan akan segera mengendap karena daya
tarik bumi. Namun karena proses pengolahan pasir silika dan feldspar
tersebut menjadikan raw material berukuran lebih kecil menjadi lebih
kecil maka debu yang timbul tetap berada di udara dan tidak mudah
menguap (suspended particulate matter).
Berdasarkan hasil pemantauan lingkungan area kerja selama
periode 2010-2011 oleh pihak laboratorium PT. Sibelco Lautan Minerals
maka didapatlah hasil konsentrasi debu total pada area kerja sebagai
berikut:
Tabel 5.1
Nilai Total Debu berdasarkan Area Plant Sibelco Tahun 2010-1011
No Bulan Lokasi Total Debu
1. Juni 2010 Gudang Nephelin 1.34 mg/m3
2. Mei 2011 1.10 mg/m3
3. Juni 2010 Grinding Mill 2.70 mg/m3
4. Agustus 2010 1.47 mg/m3
-
68
No. Bulan Lokasi Total Debu
5. Oktober 2010 Milling 1.82 mg/m3
6. Desember 2010 2.08 mg/m3
7. Juni 2011 4.52 mg/m3
8. Maret 2010 Packing 4.01 mg/m3
9. Juli 2010 11.27 mg/m3
10. Mei 2011 Finishing Good 0.86 mg/m3
Sumber: Departemen QC, 2010-2011
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui bahwa hasil pengukuran terakhir
konsentrasi debu total tertinggi yang melebihi NAB adalah pada area packing (11.27
mg/m3>10 mg/m
3). Nilai konsentrasi ini meningkat karena pada bulan Juli 2010
permintaan akan mineral meningkat sehingga dilakukan penambahan bulk truck
berkapasitas 30 ton dan corong loading. Bulk Truck yang akan membawa hasil produksi
diisi pada area packing (loading) dengan corong yang langsung bersumber pada mesin
mill. Hal inilah yang membuat konsentrasi debu pada area packing meningkat tajam.
Gambar 5.1
Corong dan Bulktruck Baru pada Proses Packing (Loading)
Sumber: Sibelco, 2010
-
69
Meskipun masih berada di bawah NAB, konsentrasi debu total pada area
grinding mengalami kecenderungan peningkatan dari hasil tiap pengukuran. Pada
pengukuran area milling yang terakhir bulan Juni 2011, konsentrasi naik menjadi dua
kali lebih tinggi daripada konsentrasi sebelumnya karena pada bulan Maret 2011 jumlah
mesin mill yang beroperasi pada area milling ditambah sehingga jumlah mesin saat ini
ada tiga (3) buah mesin mill.
Gambar 5.2
Pengoperasian Ball Mill 3
Selanjutnya pada area lain, hasil pengukuran belum bisa dinilai terlalu jauh
karena pengukuran konsentrasi debu total ini belum dilakukan oleh perusahaan minimal
setiap bulan karena berbagai faktor terkait internal perusahaan.
-
70
5.2 Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari
hasil penelitian yang telah diperoleh. Berdasarkan hasil lembar skrining pekerja
didapatkan sebanyak 60 pekerja yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Analisis
univariat dalam penelitian ini adalah KVP, konsentrasi debu total, usia, kebiasaan
olahraga, kebiasaan merokok, status gizi, masa kerja, dan penggunaan masker.
5.2.1 Gambaran Pekerja Bagian Plant Berdasarkan Nilai KVP Pada PT.
Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011
Kapasitas Vital Paru (KVP) pekerja bagian plant dapat diketahui
melalui pengukuran dengan menggunakan alat spirometri. Berikut ini
adalah gambaran pengukuran nilai KVP pekerja bagian plant PT. Sibelco
Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan skala rasio:
Tabel 5.2
Gambaran Kapasitas Vital Paru Pekerja bagian Plant
PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011
Rata-
Rata
Standar
Deviasi
Nilai
Terendah
Nilai
Tertinggi
95%CI
84.57 9,724 65 108 82.05-
87.08
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang bekerja
pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki nilai rata-
-
71
rata KVP 84.57% dengan KVP terendah 65%. Selain itu juga, didapat
distribusi data dari nilai KVP pekerja bagian plant sebanyak 19 pekerja
(31.67%) memiliki nilai KVP dibawah normal (KVP79%).
5.2.2 Gambaran Pekerja bagian Plant Berdasarkan Konsentrasi Debu Total
pada PT. Sibelco Lautan Minerals
Berikut ini adalah gambaran pengukuran konsentrasi debu total
pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang
menggunakan skala rasio:
Tabel 5.3
Gambaran Konsentrasi Debu Total (KDT) Pekerja bagian Plant
PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011
Rata-
Rata
Standar
Deviasi
Nilai
Terendah
Nilai
Tertinggi
95%CI
2.41 1.28 0.22 4.04 2.08-2.74
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang
bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki
nilai rata-rata konsentrasi debu total sebesar 2.41 mg/m3
dengan
konsentrasi debu tertinggi 4.04 mg/m3 yang memapar pekerja.
-
72
5.2.3 Gambaran Pekerja bagian Plant Berdasarkan Karakteristik Pekerja
PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011
1). Usia
Berikut ini adalah gambaran pengukuran usia pekerja bagian plant
PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan skala rasio:
Tabel 5.4
Gambaran Usia Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta Tahun 2011
Rata-rata SD Nilai
Terendah
Nilai
Tertinggi
95%CI
33.48 6.435 22 45 31.82-35.15
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa dari 60 pekerja yang
bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki
nilai rata-rata usia 33.48 tahun, dengan usia tertua 45 tahun.
2). Kebiasaan Olahraga
Pengukuran kebiasaan olahraga pekerja bagian plant PT. Sibelco
Lautan Minerals Jakarta dikategorikan menjadi tidak olahraga,
olahraga < 3 kali/ minggu, olahraga 3 kali/minggu. Selain itu juga
jenis olahraga dan durasi olahraga yang dilakukan juga akan dianalisis.
-
73
Berikut ini merupakan hasil pengukuran kebiasaan olahraga pekerja
bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta.
Tabel 5.5
Gambarab Kebiasaan Olahraga Pekerja bagian
Plant PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta Tahun 2011
Kebiasaan Olahraga Jumlah %
Tidak Olahraga 23 38.3
Olahraga < 3 kali/minggu 31 51.7
Olahraga 3 kali/minggu 6 10
Total 60 100
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang
bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta masih
terdapat 23 pekerja (38.3%) yang tidak memiliki kebiasaan olahraga.
3). Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta dikategorikan menjadi merokok, tidak merokok dan
mantan perokok. Selain itu juga jenis rokok dan jumlah rokok yang
dikonsumsi pekerja bagian plant setiap hari juga dianalisis. Berikut ini
merupakan hasil pengukuran kebiasaan merokok pekerja bagian plant PT.
Sibelco Lautan Minerals Jakarta.
-
74
Tabel 5.6
Gambaran Kebiasaan Merokok Pekerja bagian
Plant PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta Tahun 2011
Kebiasaan Merokok Jumlah %
Merokok 32 53.3
Mantan perokok 9 15
Tidak Merokok 19 31.7
Total 60 100
Berdasarkan tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang
bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta terdapat
sebanyak 32 pekerja (53.3%) memiliki kebiasaan merokok.
4). Status Gizi
Salah satu penilaian status gizi adalah dengan melihat nilai Indeks
Masa Tubuh (IMT). Indeks tersebut diukur dengan mendapatkan nilai
berat badan dan tinggi badan pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta. Nilai IMT ini dikategorikan menjadi kurus (17,0 18,5),
normal (> 18,5-25,0) dan gemuk (>25,0). Hasil pengukuran tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut:
-
75
Tabel 5.7
Gambaran Status Gizi Pekerja bagian Plant
PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta Tahun 2011
Status Gizi Jumlah %
Kurus (17,0 18,5) 5 8.3
Normal (> 18,5-25,0) 39 65
Gemuk (>25,0) 16 26.7
Total 60 100
Berdasarkan tabel 5.7 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang
bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta terdapat
sebanyak 5 pekerja (8.3%) memiliki status gizi kurus.
5). Masa Kerja
Berikut ini adalah gambaran pengukuran masa kerja pekerja
bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta yang menggunakan
skala rasio:
Tabel 5.8
Gambaran Masa Kerja Pekerja bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta Tahun 2011
Rata-rata Standar
Deviasi
Nilai
Terendah
Nilai
Tertinggi
95% CI
6.70 3.509 1 13 5.79-7.61
-
76
Berdasarkan tabel 5.8 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang
bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta memiliki
nilai rata-rata masa kerja 6.70 tahun, dengan masa kerja masa kerja tertua
13 tahun.
6). Penggunaan Masker
Penggunaan masker pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta dikategorikan menjadi menggunakan masker dan tidak
menggunakan masker. Berikut ini adalah gambaran distribusi frekuensi
penggunaan masker pada pekerja bagian plant PT. Sibelco Lautan
Minerals Jakarta:
Tabel 5.9
Gambaran Penggunaan Masker Pekerja bagian
Plant PT. Sibelco Lautan Minerals
Jakarta Tahun 2011
Penggunaan Masker Jumlah %
Tidak menggunakan 22 36.7
Menggunakan 38 63.3
Total 60 100
Berdasarkan tabel 5.9 menunjukkan bahwa dari 60 pekerja yang
bekerja pada bagian plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta ada
-
77
sebanyak 22 pekerja (36.7%) yang masih bekerja pada area plant dengan
tidak menggunakan masker.
5.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dalam pengujian hipotesis penelitian
dengan data (rasio) harus memenuhi syarat uji normalitas distribusi data. Uji normalitas
distribusi data masing-masing variabel meliputi KVP, konsentrasi debu total, masa kerja
dan usia dengan jumlah sampel sebanyak 60 pekerja. Adapun hasil uji tersebut dapat
dilihat pada tabel 5.10 berikut:
Tabel 5.10
Hasil Uji Normalitas Data dengan Kolmogorof-Smirnof Z
Variabel Sig Keterangan
KVP 0.812 Normal
Konsentrasi debu total 0.210 Normal
Usia 0.703 Normal
Masa kerja 0.456 Normal
Hasil analisis pada tabel 5.10 diketahui bahwa data masing-masing
variabel yaitu KVP dengan hasil analisis taraf signifikansi 0.812 > 0.05 dan
variabel konsentrasi debu total dengan hasil analisis taraf signifikan 0.451 >
0.05. Selanjutnya variabel masa kerja dengan hasil analisis taraf signifikansi
0.856 > 0.05 serta variabel usia dengan hasil analisis taraf signifikansi 0.703 >
-
78
0.05. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa penyebaran data
distribusi subjek penelitian untuk keempat variabel tersebut dalam keadaan
normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji parametrik.
5.3.1 Hubungan antara Konsentrasi Debu Total dengan KVP pada Pekerja
bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011
Hubungan antara konsentrasi debu total yang memapar pekerja