AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010 ISSN: 1979 8245X
Firnawati Sakalena, Hal; 19-35 19
Pengaruh Pemupukan Terhadap Genotipe Hasil Seleksi Galur Jagung (Zea Mays L)
Terhadap Penyakit Bulay (Pheronascelesphora maydis) di Lahan Marjinal
Oleh: Firnawati Sakalena
Abstract
This research was conducted to obtain an efficient lines of maize selection of nutrients, and
high yielding, against diseases bulay on marginal land. This research was conducted from
December 2008 until March 2009 in Hall of Integrated Agro Technology (ATP), Bakung
Village, North Inderalaya District, Ogan Ilir regency, South Sumatra. This research method
using Randomized Block Design (RBD). With four replications and the treatment of
Recurrent Selection selection of 107 strains, derived from four parental varieties (Sukmaraga,
Lamuru, Bhishma, Heroine White), and six entries of complex corn base population. The
results of this study showed that genotype had a high yield disease resistant to as many as 16
strains bulay compared with four varieties of elders is a variety Bhishma (B) with a conversion
yield per hectare of 6.61 tons and there are 46 lines / genotypes that have a high yield and
tolerance in conditions of the Sub-Optimum fertilization but not resistant to disease than the
parental varieties are Bulay Yellow Heroine (K) with a conversion yield per hectare of 5.90
tons. There is a relationship between downy mildew with the result that if a large percentage
of mildew attack then the result will be low and vice versa a small percentage of downy mildew
attacks the hasinya will be high. Downy mildew is the outcome of the selection lines grown
both in conditions of sub-optimal fertilization and optimal fertilization conditions.
Key words: Disease bulay, fertilizing, efien nutrients, resistant, genotypes, strains
PENDAHULUAN
Perbaikan varietas jagung sampai saat ini lebih banyak ditekankan pada peningkatan
potensi hasil. Dengan beragamnya agroekologi target pengembangan jagung, maka perbaikan
genetik juga dilakukan untuk mengatasi cekaman lingkungan. Sehingga untuk lahan kering
marjinal pengembangan varietas unggul diarahkan pada varietas unggul jagung yang berdaya
hasil tinggi, toleran atau tahan cekaman biotis dan abiotis.(Kasim, 2002).
Lahan marjinal umumnya miskin unsur hara esensial seperti Nitrogen (N), Fospor (F),
Kalium (K), Calsium (Ca). Hara N banyak yang hilang karena proses pencucian secara
horisontal dan vertikal (Prasad et al.1996). Menurut Kondo (1996), pengelolaan Hara N dan P
sangat penting artinya karena sangat vital dalam proses pertumbuhan tanaman karena hanya
sekitar 55-60% Nitrogen yang dapat diserap (Patrick and Reddy,1976), P sekitar 20% (Hagin
and Tucker, 1982), K antara 50-70% (Tisdale and Nelson, 1975), dan S sekitar 33% (Morris,
1987). Tanggapan tanaman terhadap pupuk yang diberikan bergantung pada jenis pupuk dan
Dosen Tetap Prodi Agronomi FP Universitas Baturaja
AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010 ISSN: 1979 8245X
Firnawati Sakalena, Hal; 19-35 20
tingkat kesuburan tanah sehingga takaran pupuk berbeda untuk setiap lokasi. Pengelolaan hara
spesifik lokasi berupaya menyediakan hara bagi tanaman secara tepat, baik jumlah, jenis,
maupun waktu pemberiannya, dengan mempertimbangkan kebutuhan tanaman, dan kapasitas
lahan dalam menyediakan hara bagi tanaman (Makarim et al., 2003).
Program pemuliaan jagung untuk mendapatkan varietas unggul atau hibrida telah
dilakukan bahkan sedang ditingkatkan. Koleksi tanaman jagung yang berasal dari introduksi,
varietas lokal, dan varietas komplek (varietas sintetik) yang telah dibentuk dapat dimanfaatkan
untuk mencari bahan pemuliaan dengan tujuan spesifik termasuk tahan terhadap penyakit
bulai. Varietas unggul yang dilepas sejak tahun 1978, umumnya tahan terhadap bulai dengan
tingkat ketahanan yang berbeda. Penyakit bulai (downey mildew), yang disebabkan oleh
cendawan Peronosclerospora maydis, merupakan penyakit yang penting, karena tanaman yang
tertular tidak menghasilkan biji sama sekali. Penyakit ini telah dikenal di Indonesia terutama
di Jawa sejak tahun 1897 (Semangoen, 1968). Di Lampung pada musim tanam 1973 dan 1974
dan 1996, 1997, penyakit bulai menginfeksi pertanaman jagung dalam areal yang cukup luas
(Subandi et al., 1998).
Perbaikan ketahanan terhadap penyakit bulai dengan metode seleksi S1 atau seleksi
galur, merupakan metode seleksi yang memberikan keragaman genetik tertinggi. Seleksi
ditujukan untuk memperoleh galur yang tahan penyakit bulai sebagai bahan untuk
pembentukan varietas sintetik. Dari proses inbreeding yang terjadi dapat diisolasi genotipe
yang superior. Dengan proses ini diharapkan dapat dipisahkan gen-gen tahan penyakit bulai.
Seleksi genotipe jagung efisien hara dilahan marjinal di Sumatera Selatan telah
dilakukan Hayati et al., ( 2007), melalui beberapa tahap dengan Recurrent Half-sib Selection
telah mendapatkan 108 galur jagung efisien hara dan dilanjutkan uji daya hasil galur seleksi
jagung efisien hara pada dua tingkat pemupukan yang mengasilkan 24 galur efisien hara,
berdaya hasil tinggi, toleran pada kondisi pemupukan suboptimum (Hayati et al. 2009).
Namun demikian, galur galur tersebut masih perlu diidentifikasikan menjadi galur unggul.
Upaya ini penting untuk pengembangan genotipe jagung efisien hara toleran penyakit bulay
beradaptasi secara luas dan berdaya hasil optimal (Wuryan, 2008).
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan galur seleksi jagung yang efisien hara,
dan berproduksi tinggi, resisten terhadap penyakit bulay di lahan marjinal.
Diperoleh beberapa galur seleksi unggul jagung yang efisien hara mempunyai hasil
tinggi resisten terhadap penyakit bulay di lahan marjinal.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Agro Teknologi Terpadu (ATP) Desa Bakung
Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Dari bulan Desember
2008 sampai dengan bulan Maret 2009. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
Benih jagung hasil Recurrent Half-sib Selection, Pupuk Urea, Pupuk SP-36, Pupuk KCl,
pupuk kandang. Alat yang digunakan antara lain alat-alat pengolah tanah, timbangan, meteran,
klorofil meter, jangka sorong, dan alat-alat tulis.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan pada
2 kondisi pemupukan Urea, TSP, KCl (30% dari pupuk standart dan 100% pupuk standart)
dan perlakuan yaitu 108 galur hasil seleksi Recurrent Half Sib Selection yang berasal dari 6
populasi yaitu populasi Sukmaraga (S), Lamuru (L), Bisma (B), Bayu (Y), dan Toray (T) dan
Srikandi Kuning (K) dan 4 varietas tetua yaitu varietas Sukmaraga, Bisma, Lamuru, dan
Srikandi Kuning dengan 4 ulangan.
AgronobiS, Vol. 2, No. 3, Maret 2010 ISSN: 1979 8245X
Firnawati Sakalena, Hal; 19-35 21
Benih setiap galur seleksi ditanam dengan cara tugal dalam satu baris sepanjang 3,6 m
dengan dua benih per lubang tanam. Jarak antar lubang tanam dalam satu baris yaitu 20 cm
sedangkan jarak antar baris yaitu 65 cm. Tanaman yang tumbuh dijarangkan menjadi satu
tanaman per lubang tanam pada 2 MST.
Tanaman pada set penelitian pemupukan dipupuk dengan dosis 30% dari pupuk standar
yaitu dipupuk dengan dosis Urea 90 kg/ha , SP-36 30 kg/ha, dan KCl berturut-turut 15 kg/ha.
Pupuk Urea diberikan dua tahap yaitu 1/3 pada saat tanam bersamaan dengan pupuk SP-36
dan KCl dan sisanya pada 4 MST bersamaan dengan pembumbunan.
Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada 7 dan 10 MST sedangkan pengamatan
klorofil daun dilakukan pada 7 MST. Klorofil daun diukur pada daun kedua teratas
menggunakan klorofil meter SPAD 502. Luas satu daun yang menempel pada tongkol diukur
secara non destruktif berdasarkan nilai panjang (P) dan lebar daun (L) dengan rumus 0, 5875
(P x L) + 86,284 (Ismail, 2001) pada 10 MST bersamaan dengan penghitungan jumlah daun
diatas tongkol dan jumlah daun per tanaman. Rata-rata laju pertumbuhan daun dihitung
dengan rumus (jumlah daun per tanaman x (panjang x lebar daun tongkol))/waktu keluar
rambut tongkol (Cross, 1991). Seluruh peubah pertumbuhan diukur pada 3 tanaman contoh per
galur seleksi. Waktu keluar bunga jantan dan bunga betina dicatat yaitu pada saat 50% dari
populasi tanaman per baris pada setiap galur seleksi telah mengeluarkan malai untuk bunga
jantan dan rambut tongkol untuk bunga betina. Tinggi tongkol diukur dari pangkal batang
hingga tempat keluarnya tongkol, dilakukan pada 10 MST.
Tongkol dipanen pada 13-14 MST, dikeringkan dengan panas matahari dan ditimbang
bobotnya tanpa kelobot pada kadar air biji 13%. Panjang dan diameter tongkol, jumlah biji
per baris, dan jumlah baris per tongkol diukur dan dihitung pada masing-masing tongkol
tanaman contoh yaitu 3 tongkol per galur seleksi per ulangan. Hasil tongkol yaitu bobot
seluruh tongkol tanpa kelobot dalam satu baris yang dikonversikan ke bobot tongkol per ha.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian pada kondisi pemup