PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI VEGETASI ALPIN
DAN SUB ALPIN AREA REKLAMASI GRASBERG
PT FREEPORT INDONESIA, PAPUA
IDRIS HUMAEDI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Cadangan
Karbon di Vegetasi Alpin dan Sub Alpin Area Reklamasi Grasberg PT Freeport
Indonesia, Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Idris Humaedi
NIM E34120023
ABSTRAK
IDRIS HUMAEDI. Pendugaan Cadangan Karbon di Vegetasi Alpin dan Sub Alpin
Area Reklamasi Grasberg PT Freeport Indonesia, Papua. Dibimbing oleh LILIK
BUDI PRASETYO dan RACHMAD HERMAWAN.
Reklamasi lahan pasca tambang merupakan kewajiban setiap perusahaan
dibidang tambang. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui nilai
keanekaragaman (H’), indeks kesamaan (IS) dan cadangan karbon di area alami dan
area reklamasi Grasberg PT Freeport Indonesia, Papua. Jumlah total spesies yang
ditemukan di seluruh area alami dan area reklamasi yaitu 83 spesies. Nilai indeks
keanekaragaman serta jumlah cadangan karbon terbesar ada di area alami. Manado
2000 (Alpin) dan Cartenz Lower 2003 (Sub Alpin) merupakan area reklamasi yang
memiliki nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks kesamaan (IS), dan cadangan
karbon paling tinggi. Pada studi kasus ini, jumlah cadangan karbon dan nilai indeks
H’ serta jumlah cadangan karbon dengan nilai NDVI memiliki korelasi positif.
Apabila jumlah cadangan karbon meningkat, maka nilai indeks H’ dan nilai NDVI
meningkat, begitu juga sebaliknya.
Kata kunci : Grasberg, karbon, NDVI, reklamasi
ABSTRACT
IDRIS HUMAEDI. Estimation of Carbon Stock in Alpin and Sub Alpin Vegetation
of Grasberg Reclamation Area of PT Freeport Indonesia, Papua . Supervised by
LILIK BUDI PRASETYO and RACHMAD HERMAWAN.
Post-mining land reclamation is an obligation that must be carried out by a
company which is engaged in mining. The purpose of this research is determining
the values of diversity of plant species, similarity index of plant species, determine
the potential for carbon storage, analyze the relationship between the number of
carbon stocks with the value of diversity (H ') and the amount of carbon stocks with
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) in the natural area and Grasberg
reclamation area PT Freeport Indonesia, Papua. The number of species found
throughout research plots are 83 species. The highest value index of H' and amount
of C-stock was found in a natural area. While Manado 2000 (Alpin) and Cartenz
Lower 2003 (Sub Alpin) is a reclaimed area that has the highest index value H 'and
IS and amount of carbon stocks. In a case study of the reclamation area Grasberg,
the start period of reclamation can not be used to indicate a successful reclamation
area. In this case, c-stock with H’ index and c-stock with NDVI has a positive
correlation, if the values of biomass increased values of H’ index and NDVI also
increased, vice versa.
Keyword : carbon, Grasberg, NDVI, reclamation
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI VEGETASI ALPIN
DAN SUB ALPIN AREA REKLAMASI GRASBERG
PT FREEPORT INDONESIA, PAPUA
IDRIS HUMAEDI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2016 ini ialah cadangan
karbon, dengan judul Pendugaan Cadangan Karbon di Vegetasi Alpin dan Sub
Alpin Area Reklamasi Grasberg PT Freeport Indonesia, Papua.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo,
MSc dan Bapak Dr Ir Rachmad Hermawan, MScF selaku pembimbing, Ibu Dr Ir
Siti Badriyah Rushayati, MSi selaku moderator saat seminar skripsi, Bapak Prof Dr
Ir Yanto Santosa, DEA selaku ketua sidang dan Bapak Dr Ir Omo Rusdiana, MSc
selaku dosen penguji saat ujian komprehensif yang telah banyak memberi saran.
Penghargaan dan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Departemen
Lingkungan PT Freeport Indonesia atas izin penelitian di area kerja (jobsite)
Grasberg, Pak Arni Syawal, Pak Pratita Puradiyatmika, Pak Victor Sukatma, Pak
Richardo Maturbongs, Bang Adi Nugraha, Bang Irham Fauzi, serta seluruh rekan
magang dan crew Environmental Grasberg atas bantuan dan arahan selama di
jobsite. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Tidak lupa ucapan
terimakasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman Cantigi Gunung 49, Lab.
Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial KSHE dan seluruh pihak yang tidak
bisa saya sebutkan namanya satu persatu atas dukungan dan semangat serta bantuan
yang telah diberikan selama kegiatan pengambilan data penelitian
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Idris Humaedi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 2
Waktu dan Lokasi Penelitian 2
Alat dan Objek Penelitian 3
Jenis Data 3
Metode Pengumpulan Data 4
Pengolahan dan Analisis Data 4
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 7
Komposisi Spesies Tumbuhan 9
Indeks Keanekaragaman Spesies Tumbuhan (H') 13
Indeks Kesamaan Spesies Tumbuhan (IS) 14
Cadangan Karbon 17
NDVI (Normalized Diffference Vegetation Indeks) 21
Pendugaan hubungan antara jumlah cadangan karbon dengan nilai
keanekaragaman (H’) dan nilai NDVI 25
SIMPULAN DAN SARAN 28
Simpulan 28
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 32
DAFTAR TABEL
1 Jenis data penelitian 4 2 Jumlah karbon 18 3 Perbandingan umlah cadangan karbon Bio Region Papua 21 4 Perbandingan nilai NDVI 22 5 Klasifikasi nilai NDVI 23
DAFTAR GAMBAR
1 Peta Lokasi Penelitian 3 2 Ketinggian area reklamasi Grabserg PTFI 8 3 Komposisi jumlah spesies di lokasi penelitian 9 4 Jumlah INP Deschampsia klosii 11 5 Nilai indeks keanakaragaman spesies (H') 13 6 Nilai indeks kesamaan spesies (IS) 15 7 Dendrogram menggunakan Jaccard's Coefficient 16 8 Peta cadangan karbon total di area Grasberg 20 9 Peta sebaran nilai NDVI di area reklamasi Grasberg 24
10 Grafik uji normalitas data karbon terhadap indeks H' 26 11 Grafik hubungan data karbon dengan indeks H’ 26 12 Grafik uji normalitas data karbon terhadap NDVI 27
13 Grafik hubungan data karbon dengan NDVI 28
DAFTAR LAMPIRAN
1 Lampiran 1 Komposisi spesies tumbuhan di area alami
Dugundugu (Alpin) 33
2 Lampiran 2 Komposisi spesies tumbuhan di area
Manado 2000 (Alpin) 33
3 Lampiran 3 Komposisi spesies tumbuhan di area North
Bunaken 2002 (Alpin) 34
4 Lampiran 4 Komposisi spesies tumbuhan di area Midle
Wanagon 2009 (Alpin) 34
5 Lampiran 5 Komposisi spesies tumbuhan di area reklamasi
Kaimana 2010 (Alpin) 34
6 Lampiran 6 Komposisi spesies tumbuhan di area Batu Bersih
2011 (Alpin) 35
7 Lampiran 7 Komposisi spesies tumbuhan di area reklamasi Koteka
2011 (Alpin) 35
8 Lampiran 8 Komposisi spesies tumbuhan di area South Bunaken
2009 (Alpin) 35
9 Lampiran 9 Komposisi spesies tumbuhan di area alami DOM
(Sub Alpin) 35
10 Lampiran 10 Komposisi spesies tumbuhan di area Cartenz Lower
2003 (Sub Alpin) 37
11 Lampiran 11 Komposisi spesies tumbuhan di area Blitar 2010
(Sub Alpin) 37
12 Lampiran 12 Komposisi spesies tumbuhan di area Cartenz Upper
2008 (Sub Alpin) 38
13 Lampiran 13 Komposisi spesies tumbuhan di area Surabaya 1999
(Sub Alpin) 38
14 Lampiran 14 Komposisi spesies tumbuhan di area Top HEAT
Road 2011 (Sub Alpin) 38
15 Lampiran 15 Komposisi spesies tumbuhan di area reklamasi Bali
2011 (Sub Alpin) 39
16 Lampiran 16 Komposisi spesies tumbuhan di area reklamasi
Lower Wanagon (Sub Alpin) 39
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Reklamasi merupakan satu operasi yang mempersiapkan lahan bekas
tambang atau lahan terbuka untuk penggunaan selanjutnya setelah pasca tambang,
meliputi langkah-langkah menstabilkan lahan bekas tambang dalam pengertian
lingkungan (Yani 2005). Menurut Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2014
bahwa reklamasi merupakan kegiatan yang dilalukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan
dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Tercantum juga
dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2008 bahwa reklamasi lahan
pasca tambang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan
yang bergerak dalam bidang pertambangan. Kegiatan pertambangan merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan lahan
yang dapat mengurangi kemampuan lahan dalam menyerap karbon, dimana salah satu
cara untuk mengembalikan fungsi lahan bekas kegiatannya adalah dengan melakukan
kegiatan reklamasi (Tunggadewi 2014). Berdasarkan itu maka kegiatan reklamasi di
kawasan pertambangan dapat dikatakan sebagai salah satu upaya mitigasi perubahan
iklim, melalui peningkatan kemampuan lahan menyerap karbon dengan revegetasi
(Rahayu et al. 2008).
Biomasa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam
siklus karbon (Sutaryo 2009). Besarnya kandungan karbon dan biomasa pohon
bervariasi berdasarkan bagian tumbuhan yang diukur, growth stage, tingkatan
tumbuhan dan kondisi lingkungannya. Kandungan karbon dan biomasa tumbuhan
bawah dipengaruhi oleh jenis-jenis tumbuhan penyusun (Asril 2008). Siklus
karbon adalah siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran/perpindahan karbon
diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi (Sutaryo 2009).
Aliran karbon yang berasal dari atmosfer menuju vegetasi merupakan aliran yang
bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO2 ke dalam biomassa melalui fotosintesis dan
pelepasan CO2 ke atmosfer melalui proses dekomposisi dan pembakaran (Rahayu
et al. 2005). Melalui fotosintesis, CO2 diserap dan diubah oleh tumbuhan menjadi
karbon organik dalam bentuk biomassa. Kandungan karbon absolut dalam
biomassa pada waktu tertentu dikenal dengan istilah cadangan karbon (carbon
stock) (Ulumuddin et al. 2005).
PTFI melakukan kegiatan reklamasi, untuk memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal
sesuai peruntukannya. Program reklamasi PTFI di area tambang terbuka Grasberg
dan sekitarnya difokuskan pada pemulihan lahan yang terganggu akibat aktivitas
pertambangan yang disesuaikan dengan perkembangan ekosistem yang ada di
sekitar area tersebut. Program-program pengelolaan reklamasi di lahan pasca
tambang pada saat ini, yaitu pengelolaan dan pemanfaatan kompos, produksi bibit
(anakan) tanaman, pemantauan, penelitian dan penerapan rencana reklamasi di
lapangan (PTFI 2016). Dalam rangka upaya untuk mengendalikan konsentrasi
karbon di atmosfer, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan
meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan
pelepasan (emisi) CO2 ke udara dengan konsentrasi serendah mungkin. Oleh karena
2
itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar jumlah karbon
yang tersimpan dalam vegetasi di area reklamasi.
Penelitian tentang jumlah cadangan karbon di area Grasberg dan vegetasi
alpin serta sub alpin di Indonesia belum pernah dilakukan, sedangkan aktivitas
suksesi yang terjadi di area reklamasi Grasberg yang berada di vegetasi alpin dan
sub alpin berpotensi sebagai sumber cadangan karbon. Oleh karena itu, penelitian
untuk menduga jumlah cadangan karbon di area tersebut menjadi penting untuk
dilakukan dan menjadi dasar pertimbangan bagi perusahaan dalam mengelola area
reklamasi.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Menentukan nilai keanekaragaman spesies tumbuhan, indeks kesamaan spesies
tumbuhan yang ada di area alami dan area reklamasi Grasberg PTFI, Papua.
2. Menentukan potensi cadangan karbon di atas permukaan tanah di area alami
dan area reklamasi Grasberg PTFI, Papua.
3. Menganalisis hubungan antara jumlah cadangan karbon dengan nilai
keanekaragaman (H’) dan jumlah cadangan karbon dengan NDVI (Normalized
Difference Vegetation Indeks) di area alami dan area reklamasi Grasberg PTFI,
Papua.
Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan data terbaru mengenai keanekaragaman spesies tumbuhan di area
alami dan area reklamasi Grasberg PTFI, Papua.
2. Memberikan infromasi mengenai data cadangan karbon yang ada di area alami
dan area reklamasi Grasberg PTFI, Papua.
3. Memberikan alternatif penghitungan cadangan karbon pada area reklamasi
Grasberg PTFI, Papua.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2016. Lokasi
penelitian untuk pengambilan data dilakukan di 14 area reklamasi Grasberg PTFI,
yang terdiri dari 7 area reklamasi di vegetasi alpin yaitu Manado (2000), North
Bunaken (2002), Batu Bersih (2011), Midle Wanagon (2009), Koteka (2011),
South Bunaken (2009), Kaimana (2010), dan 7 area reklamasi di vegetasi
pegunungan sub alpin yaitu Bali (2011), Blitar (2010), Cartenz Lower (2003),
Cartenz Upper (2008), Lower Wanagon (2011), Surabaya (1999), Top HEAT Road
(2011) serta dua area alami (refference area) yaitu Dugundugu (alpin) dan DOM
(sub alpin). Pengolahan biomassa dilakukan di Labolatorium Departemen
3
Lingkungan PTFI dan pengolahan data dilakukan di Labolatorium Analisis
Lingkungan dan Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Peta lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 1.
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Objek Penelitian
Alat yang digunakan dalam pengambilan dan pengukuran data di lapang,
yaitu alat tulis, global positioning system (GPS) Garmin 76CSx, kompas, kamera
DSLR, meteran, patok, tali rafia, parang, kantong plastik, label, kalkulator, pita
ukur, tally sheet, dan oven untuk pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan
serasah. Selain itu alat yang digunakan dalam pengolahan dan analisis data, yaitu
seperangkat komputer, software ArcGis 10.3, software ERDAS imagine 9.1,
software MINITAB 14, software DNR GPS, software Microsoft word, software
Microsoft excel. Bahan yang digunakan adalah semak, herba, rumput-rumputan,
serasah di area reklamasi dan area alami, peta citra landsat 8 akuisisi 22 Agustus
2016 dan peta reklamasi Grasberg PT Freeport Indonesia.
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini terbagi menjadi dua jenis,
yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh
melalui pengumpulan data secara langsung dilapangan dan data sekunder
merupakan data yang terkait dengan penelitian. Adapun data yang digunakan dalam
penelitian ini tersaji pada tabel 1.
4
Tabel 1 Jenis data penelitian
No. Jenis Data Metode Sumber
1 Citra Satelit Landsat
8 tahun 2016
(akuisisi 22 Agustus
2016)
Mengunduh dari:
earthexplorer.usgs.gov
Eartheaxplorer.ugs.gov
2 Keanekaragaman
vegetasi
Analisis Vegetasi Obervasi lapang
3 Biomassa karbon Pemanenan
(Destructive sampling)
Observasi lapang
4 Nama botani pohon Studi litelatur Observasi lapang dan
PTFI
5 Kondisi umum
lokasi
Studi litelatur RPL – RKL PTFI
Metode Pengumpulan Data
Observasi lapang
Data yang dikumpulkan dari observasi lapang berupa titik koordinat plot,
data spesies, pengambilan sampel biomassa, dan peng-oven-an biomassa tumbuhan
bawah dan serasah. Pembuatan plot menggunakan standar SNI (7724:2011) yaitu
ukuran 2 m x 2 m untuk inventarisasi semai, tumbuhan bawah, lumut, paku dan
pengambilan data biomassa. Pengambilan contoh tumbuhan bawah (pohon
berdiameter < 5 cm, semak, herba dan rumput-rumputan) dilakukan dengan metode
destructive (merusak bagian tumbuhan). Pengambilan tumbuhan bawah dan serasah
sebanyak 300 gram di setiap plot penelitian. Sub-contoh yang telah diambil lalu
dikeringkan dalam oven pada suhu 800 C selama 48 jam hingga kering. Setelah
kering lalu ditimbang berat keringnya dan dicatat di dalam tallysheet.
Interpretasi pada peta
Data yang dikumpulkan melalui metode ini, yaitu berupa data ketinggian
area reklamasi (alpin dan sub alpin), data biomassa karbon dan nilai NDVI di setiap
area reklamasi dan area alami yang sudah diolah dan dianalisis secara digital.
Pengolahan dan Analisis Data
NDVI (Normalized Difference Vegetation Indeks)
Transformasi NDVI memanfaatkan beberapa saluran dari citra satelit
Landsat antara saluran merah dan saluran inframerah dekat. Kelebihan kedua
saluran ini untuk identifikasi vegetasi adalah obyek akan memberikan tanggapan
spektral yang tinggi (Swain dan Davis 1978). Untuk mendapatkan nilai NDVI
dihitung berdasarkan perbandingan dari intensitas yang terukur pada saluran
spektral merah dan inframerah dekat dengan menggunakan rumus NDVI sebagai
berikut:
NDVI (Band 5−Band 4)
(Band 5+Band 4)=
5
Komposisi spesies tumbuhan
Komposisi spesies tumbuhan di area alami dan di area pasca tambang dapat
diketahui dengan menggunakan parameter Indeks Nilai Penting (INP). Formula
matematika yang dapat digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi
(Soerianegara dan Indrawan 2012) adalah sebagai berikut:
Kerapatan (K) = Jumlah individu setiap spesies
luas seluruh petak (ind/ha)
Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu spesies
Kerapatan seluruh spesies x 100%
Frekuensi (F) = Jumlah petak dijumpai spesies
Jumlah seluruh petak
Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu spesies
Frekuensi seluruh spesies x 100%
INP untuk semai dan pancang = KR + FR.
Tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan
Perhitungan Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dilakukan dengan
menggunakan indeks keanekaragaman Shannon (H’). Menurut Magurran (2004)
penghitungan indeks tersebut dengan rumus:
H'= ∑(pi ln pi)
s
𝑖=1
= ∑ [(ni
N) ln (
ni
N)]
s
𝑖=1
Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Jumlah individu setiap jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
pi = Kelimpahan setiap jenis
Indeks kesamaan spesies tumbuhan
Tingkat kesamaan antar komunitas yang diteliti diketahui dengan cara
menghitung Indeks kesamaan atau index of similarity. Indeks kesamaan ini
berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (1998) dapat ditentukan dengan rumus:
𝐼𝑆 =2𝑤
𝑎+𝑏𝑋 100%
Keterangan: IS = Indeks Kesamaan
W = Jumlah nilai yang sama dan nilai yang terendah dari jenis-
jenis yang terdapat dalam dua tegakan yang dibandingkan.
a = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat
pada tegakan pertama atau komunitas A.
b = Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat
pada tegakan kedua atau komunitas B.
Indeks kesamaan komunitas Indeks kesamaan komunitas dihitung untuk mengetahui kesamaan antar
habitat berdasarkan jumlah jenis yang dijumpai. Penghitungan koefisien kesamaan
6
jenis didasarkan pada keberadaan suatu jenis yang dinotasikan dengan angka 1 dan
apabila tidak terdapat suatu jenis maka dinotasikan dengan angka 0 dalam habitat
yang dibandingkan. Metode yang digunakan dalam perhitungan indeks kesamaan
jenis kelelawar adalah indeks Jaccard (JI). Menurut Goodall (1973) diacu dalam
Ludwig dan Reynolds (1988), Indeks Jaccard umumnya tidak menghasilkan bias
bahkan pada ukuran sampel yang kecil. Indeks Jaccard menggunakan persamaan
berikut:
JI = a
a + b + c
Dimana, a= jumlah jenis yang sama yang ditemukan di habitat A dan B, b=
jumlah jenis yang ditemukan hanya di habitat A, dan c= jumlah jenis yang
ditemukan hanya di habitat B. Untuk mengetahui nilai indeks kesamaan
menggunakan Jaccard’s Coefficient, data di olah menggunakan software MVSP
3.22.
Penghitungan berat kering tumbuhan bawah dan serasah
Total berat kering tumbuhan bawah dan serasah dihitung dengan
menggunakan perhitungan sebagai berikut:
Total BK (g) = BK subcontoh (g)
BB subcontoh (g) x total BB (g)
Keterangan :
BK : berat kering (gram)
BB : berat basah (gram)
Karbon tersimpan
Penghitungan karbon dari biomassa dihitung dengan menggunakan nilai
konversi karbon yang digunakan oleh SNI (2011) :
Cb = B x % C Organik
Keterangan :
Cb = kandungan karbon dari biomassa (kg)
B = total biomassa (kg)
%C = nilai persentase kandngan karbon, sebesar 0.47
[Stok karbon tegakan diestimasi berdasarkan setengah dari jumlah
biomassanya atau sekitar 47 persen (SNI 7724:2011)]
Penghitungan cadangan karbon per hektar untuk biomassa diatas
permukaan tanah menggunakan persamaan berikut berdasarkan, SNI (2001) :
Cn = Cx
1000 x
10000
Lplot
Keterangan :
Cn = kandungan karbon per hektar pada masing-masing carbon pool
pada tiap plot (Mg/ha)
Cx = kandungan karbon pada masing-masing carbon pool pada tiap
plot (kg)
Lplot = luas plot pada masing-masing pool (m2)
7
Pendugaan hubungan antara Biomassa karbon dengan nilai keanekaragaman
(H’) dan Biomassa karbon dengan NDVI
Uji normalitas data
Pengujian normalitas data digunakan untuk mengetahui data residual yang
diperoleh menyebar normal atau tidak, sehingga hasil tersebut dapat dipakai dalam
statistik parametrik. Data diuji dengan metode Kolomogorov-Smirnov yang diolah
dengan software minitab 14.
Pencilan data (outliers)
Pencilan data merupakan data yang tidak mengikuti pola data pada
umumnya, sehingga menyebabkan adanya nilai rata-rata dan nilai simpangan baku
yang tidak konsisten terhadap mayoritas data, estimasi koefisien garis regresi yang
diperoleh tidak tepat dan kesalahan dalam pengambilan keputusan dan kesimpulan
(Wulandari et al. 2013). Pencilan data dihilangkan dengan bantuan software
minitab 14.
Model persamaan regresi linear
Model regresi yang digunakan dalam penelitian adalah model regresi
sederhana (Duan 1991):
ŷ = ɑ + ƅx
Model yang digunakan untuk menduga nilai Biomassa karbon dalah model
yang berasal dari variabel penduga yaitu nilai keanekaragamn (H’) dan NDVI
dengan nilai R2.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Peneltian
PT Freeport Indonesia (PTFI) secara administratif termasuk dalam wilayah
Kabupaten Mimika Provinsi Papua. Secara astronomis, area penelitian berada pada
13705’20” BT – 13708’40” BT dan 401’50” LS – 405’0” LS. Secara geografis
kabupaten memiliki batas wilayah sebagai berikut:
Utara : Pegunungan Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya
Timur : Taman Nasional Lorentz
Selatan : Laut Arafuru
Barat : Pegunungan Jayawijaya, Kabupaten Paniai
Kawasan kerja PTFI terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Zona dataran rendah (low land)
Kawasan dataran rendah terbentang dari muara sungai yang ditumbuhi
tanaman mangrove pada ketinggian 0 m dpl, hutan rawa yang luas, hutan hujan
tropis dataran rendah dan hutan kerangas pada ketinggian 600 m dpl. Cuaca pada
umumnya panas, basah, dan lembab. Curah hujan antara 2000 – 3000 mm per tahun.
Temperatur merata sepanjang tahun antara 29° C - 32° C. Pada kawasan dataran
8
rendah ini terdapat lokasi kerja (perkantoran) dan perumahan Kuala Kencana, Base
Camp MP 38, MP 50, Pelabuhan Amamapare (Portsite) dan Pelabuhan bongkar
muat (Cargo Dock).
b. Zona dataran tinggi (high land)
Kawasan dataran tinggi meliputi ekosistem pegunungan dan ekosistem sub-
alpin. Cuaca pada umumnya basah dan dingin dengan curah hujan di lokasi
tambang berkisar antara 3000 – 4000 mm per tahun. Temperaturnya berkisar antara
22°C (di Tembagapura dengan ketinggian sekitar 1 850 m dpl) sampai 8°C (di
tambang Grasberg dengan ketinggian 4 200 m dpl). Peta klasifikasi alpin dan sub
alpin pada setiap area reklamasi tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2 Ketinggian area reklamasi Grasberg PTFI
Area reklamasi Grasberg merupakan timbunan batuan yang dihasilkan dari
sisa produksi tambang. Batuan yang menutupi batuan bijih dan tidak mengandung
cukup mineral berharga akan disingkirkan terlelih dahulu dari batuan bijih, batuan
tersebut dinamakan batuan penutup atau Overburden Stockpile (OBS). Jumlah
perbandingan batuan penutup yang harus disingkirkan dari bijih yaitu 3:1, jadi
semakin banyak produksi bijih maka akan semakin banyak pula batuan penutup
yang dihasilkan. Batuan penutup diangkut dari open pit Grasberg dan kemudian
ditimbun didaerah sekitarnya. Setelah mencapai ketinggian akhir, maka timbunan
tersebut direklamasi dengan menggunakan spesies lokal (PTFI 2014).
Jumlah area reklamasi yang terdapat di zona dataran tinggi ini adalah 15
area, yaitu Bali, Batu Bersih, Blitar, Cartenz Lower, Cartenz Upper, Kaimana,
Koteka, Lower Wanagon, Manado, Mega Shop, Midle Wanagon, North Bunaken,
South Bunaken, Surabaya dan Top HEAT Road. Seluruh area tersebut memiliki
waktu tanam yang berbeda-beda mulai dari tahun 1998 sampai saat ini masih
9
dilakukan penamanan karena area yang selalu mengalami petambahan luas oleh
bertambahnya batuan penutup yang dihasilkan dari bagian produksi.
Area reklamasi Grasberg berada di ketinggian 3 300 – 4 300 mdpl, termasuk
dalam komunitas vegetasi pegunungan sub alpin (2 400 – 4 000 mdpl) dan
komunitas vegetasi pegunungan alpin (> 4 000 mdpl). Vegetasi alpin adalah semua
komunitas yang terdapat di atas batas elevasi pertumbuhan perdu tinggi, tetapi tidak
dapat didefinisikan sebagai semua vegetasi diatas elevasi tertentu. Jenis
Deschampsia klosii membentuk padang rumput yang lebat dan padat pada area
alpin dengan elevasi 4 000 – 4 500 mdpl di Gunung Jaya (Hope 1976 dalam
Kartawinata 2013). Pada ketinggian ini dicirikan oleh pertumbuhan yang pendek
(40 cm) dan ketidakhadiran perdu-perdu tinggi, yang juga merupakan karakter
untuk membedakan tipe ini dengan komunitas sub alpin. Perdu-perdu ini seperti
Styphelia suaveolens bersama dengan jenis tema. Styphelia suaveolens dan
Vaccinium coelorum tumbuh sebagai perdu merayap.
Kegiatan penanaman yang dilakukan berupa penanaman anakan spesies alami
Grasberg, yaitu Deschampsia klosii. Perbanyakan jumlah tanaman untuk ditanam
dilakukan dengan cabutan anakan yang berasal dari area alami ataupun dari area
reklamasi yang sudah memungkinkan untuk dilakukan pencabutan tanaman baik
dari segi kondisi area juga kondisi tanamannya. Bibit tanaman yang berasal dari
daerah di sekitar tambang dan area pendukung dikumpulkan, ditanam dan
dipelihara di dalam polybag atau wadah tanaman terbuat dari sabut kelapa (coco-
pot) di tempat pembibitan di Grasberg untuk tanaman ekosistem alpin. Bibit-bibit
tanaman tersebut dipakai untuk program reklamasi batuan penutup di Grasberg dan
program remediasi di Tembagapura dan sekitarnya.
Komposisi Spesies Tumbuhan
Jumlah spesies
Jumlah plot yang dibuat dari keseluruhan area reklamasi dan area alami
yaitu 69 plot, dengan minimal 3 plot dan maksimal 8 plot per lokasinya. Jumlah
plot per area reklamasi didasarkan pada luas area reklamasi dan keadaan area
reklamasi tersebut. Jenis yang ditemukan dari keseluruhan area berjumlah 83 jenis
meliputi herba, semak, perdu merambat dan lumut. Pengambilan data dilakukan
dengan menggunakan analisis vegetasi, karena dengan metode ini akan diperoleh
informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan
(Greig-Smith 1983). Dari 83 jenis spesies tumbuhan yang ditemukan termasuk ke
dalam 20 famili. Famili yang memiliki jenis temuan paling banyak yaitu Asteraceae.
Terdapat 15 jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam famili ini.
Famili Asteraceae memiliki sekitar 1 620 marga dan lebih dari 23 600 spesies,
merupakan keluarga terbesar tanaman berbunga (Stevens 2001). Mayoritas spesies
dari famili Asteraceae adalah herba, namun kebanyakan dari famili ini didasari oleh
semak. Anggota dari famili tumbuhan ini biasanya dimanfaatkan sebagai tumbuhan
penghasil minyak, bahan pemanis dan bisa dibuat teh. Beberapa anggota dari famili
ini terkenal sebagai hortikultura di seluruh dunia termasuk jenis zinnias, marigold,
10
dahlia, dan krisan (Rieseberg et al. 2003). Komposisi jumlah spesies di lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Komposisi jumlah spesies di lokasi penelitian
DOM (sub alpin) sebagai refference area merupakan area dengan jumlah
jenis paling banyak dibandingkan area alami Dugundugu (alpin) dan seluruh area
reklamasi baik itu di kategori alpin maupun sub alpin, yaitu 55 jenis dengan
komposisi 46 jenis untuk tumbuhan bawah dan 9 jenis lumut. Total 83 jenis yang
ditemukan di seluruh area, sebenarnya ada semua di area DOM. Namun 55 jenis itu
merupakan jenis yang ada di 7 plot penelitian, dan sisanya ditemukan diluar plot
dan dijadikan sebagai referensi list jenis yang ada di area alami. Dugundugu sebagai
area alami untuk vegetasi alpin memiliki jumlah spesies paling banyak diantara area
reklamasi di kategori alpin lainnya, yaitu dengan jumlah spesies yang ditemukan
sebanyak 22 jenis, dengan komposisi 18 jenis untuk kategori tumbuhan bawah dan
4 jenis untuk kategori lumut. Luasan area di DOM dan Dugundugu yang dijadikan
sebagai lokasi pengambilan plot seluas 17.7 ha dan 10 ha. Lebih kecil jika
dibandingkan dengan beberapa area reklamasi seperti Blitar seluas 54.8 ha, hal ini
karena mempertimbangkan lokasi yang tidak memungkinkan jika dibuat area
penelitian yang lebih luas. Dengan jumlah jenis yang paling banyak ditemukan,
membuktikan bahwa Dugundugu (alpin) dan DOM (sub alpin) sebagai area alami
merupakan habitat yang baik untuk berbagai spesies tumbuhan (Prakoso 2015).
Area reklamasi yang memiliki jenis paling banyak yaitu Cartenz Lower
2003 (sub alpin) dengan jumlah jenis sebanyak 31, dengan komposisi 25 jenis
tumbuhan bawah dan 6 jenis lumut, juga sebagai area reklamasi yang memiliki
jumlah jenis paling banyak dibandingkan area reklamasi lainnya, baik kategori
alpin maupun sub alpin. Area reklamasi di kategori alpin yang memiliki jumlah
jenis paling banyak yaitu area Manado 2000 dengan jumlah jenis sebanyak 18,
dengan komposisi 14 jenis tumbuhan bawah dan 4 jenis lumut.
Jika dilihat pada gambar diatas (Gambar 3), Cartenz Lower merupakan area
reklamasi dengan tahun tanam 2003 sedangkan Surabaya merupakan area reklamasi
4
4
4
4
6
3
6
9
2
3
3
4
3
4
4
4
4
5
7
8
7
11
25
46
4
4
5
5
7
12
14
18
0 20 40 60
Bali 2011 (Sub Alpin)
Top HEAT Road 2011 (Sub Alpin)
Cartenz Upper 2008 (Sub Alpin)
Surabaya 1999 (Sub Alpin)
Blitar 2010 (Sub Alpin)
Lower Wanagon 2011 (Sub Alpin)
Cartenz Lower 2003 (Sub Alpin)
DOM (Sub Alpin)
Koteka 2011 (Alpin)
South Bunaken 2009 (Alpin)
Kaimana 2010 (Alpin)
Batu Bersih 2011 (Alpin)
Midle Wanagon 2009 (Alpin)
North Bunaken 2002 (Alpin)
Manado 2000 (Alpin)
Dugundugu (Alpin)
Jumlah Spesies
Lumut Tumbuhan Bawah
11
dengan tahun tanam 1999. Namun Cartenz Lower 2003 memiliki jumlah jenis lebih
banyak dibandingkan area Surabaya 1999 yang lebih dahulu dilakukan reklamasi.
Hal yang membedakan adalah pada area Cartenz Lower 2003 pernah dilakukan
penelitian dengan perlakuan pemberian lapisan tanah (top soil) di atas permukaan
area reklamasi tersebut. Hal itu bisa menjadi sebab kesuburan tanah di area Cartenz
Lower 2003 lebih baik daripada area reklamasi yang memiliki tahun tanam lebih
dahulu dan area-area reklamasi lainnya. Mansur (2011) menyatakan bahwa kondisi
tanah juga dapat mempengaruhi keberadaan spesies lokal pada area reklamasi.
Suatu tumbuhan akan bertahan hidup jika tanahnya memiliki kondisi yang baik
secara fisik, kimia, dan biologi. Pada dasarnya tanah pada reklamasi memiliki
kondisi yang buruk dan perlu adanya analisis terhadap sifat-sifat fisik, kimia, dan
bologi tanah sebelum dilakukan kegiatan penanaman untuk memastikan kesesuaian
dengan kebutuhan tanaman.
Dominansi spesies tumbuhan
Nilai dominansi spesies didapatkan dengan menghitung frekuensi kehadiran
serta kerapatan masing-masing jenis. Jika suatu spesies memiliki indeks nilai
penting (INP) tertinggi dalam suatu komunitas, hal tersebut didukung dengan
pernyataan Romadhon (2008) yang menyebutkan bahwa INP merefleksikan
keberadaan peran (dominansi) dan struktur vegetasi di suatu lokasi. Susantyo
(2011) juga menyatakan bahwa INP merupakan besaran yang menunjukan
kedudukan (dominansi) suatu spesies terhadap spesies lain dalam suatu komunitas.
Jumlah INP untuk jenis Deschampsia klosii disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Jumlah INP Deschampsia klosii
Analisis terhadap dominansi spesies dilakukan pada tumbuhan bawah di
seluruh lokasi penelitian untuk mengetahui spesies yang berperan dalam suatu
komunitas. Menurut Indrawan (2000) nilai indeks dominansi digunakan untuk
95.0890.75
83.3478.31
70.4054.77
52.7643.47
88.9488.75
82.4581.16
74.6168.85
63.5339.38
00 50 100
Surabaya 1999 (Sub Alpin)Lower Wanagon 2011 (Sub Alpin)Top HEAT Road 2011 (Sub Alpin)
Bali 2011 (Sub Alpin)Blitar 2010 (Sub Alpin)
Cartenz Lower 2003 (Sub Alpin)Cartenz Upper 2008 (Sub Alpin)
DOM (Sub Alpin)Koteka 2011 (Alpin)
South Bunaken 2009 (Alpin)Kaimana 2010 (Alpin)
North Bunaken 2002 (Alpin)Batu Bersih 2011 (Alpin)
Midle Wanagon 2009 (Alpin)Manado 2000 (Alpin)
Dugundugu (Alpin)
INP (%)
12
mengetahui dominansi jenis dalam suatu komunitas, nilai indeks dominansi yang
rendah menunjukan pola dominansi jenisnya dipusatkan pada banyak jenis
(beberapa jenis), sedangkan nilai indeks dominansi yang tinggi menunjukan pola
dominansi jenisnya dipusatkan pada sedikit jenis. Nilai INP tertinggi adalah 200%
yang menunjukan bahwa komunitas dikuasai oleh satu jenis saja.
Jenis tumbuhan bawah yang memiliki INP paling tinggi yaitu Descampsia
klosii, baik di area reklamasi maupun di area alami. Rumput ini merupakan spesies
alami yang tumbuh di Pegunungan Jayawijaya atau area Grasberg sehingga
dijadikan sebagai spesies pioneer yang sengaja ditanaman di seluruh area reklamasi.
Nilai INP Deschampsia klosii berkisar antara 39.38% - 95.08%. Menurut Afrianti
(2007) suatu spesies dapat dikatakan berperan terhadap ekosistem jika INP tingkat
pancang dan anakan lebih dari 10% dan untuk tingkat pohon dan tiang sebesar 15%.
Dengan nilai INP yang > 10%, berarti Deschampsia klosii merupakan jenis yang
mempunyai peran di ekosistemnya, terbukti dengan bisa dijadikannya sebagai
spesies pioneer. Tiga jenis tumbuhan lokal yang ditemukan di seluruh area
reklamasi yaitu Deschampsia klosii, Epilobium detzenarium., dan Sagina papuana.
Nilai INP seluruh area reaklamasi disajikan pada Lampiran 1 – Lampiran 16.
Hal ini membuktikan bahwa spesies-spesies lokal tersebut memiliki
kemampuan adaptasi yang baik pada lahan bekas tambang dan dapat bersaing
dengan spesies lain dalam satu komunitas, serta dapat dijadikan sebagai peluang
untuk menjadi spesies andalan dalam kegiatan revegetasi di PTFI. Mansur (2011)
menyatakan spesies lokal seharusnya menjadi spesies andalan untuk rehabilitasi
lahan bekas tambang. Jenis-jenis yang mempunyai INP yang tinggi menunjukan
bahwa jenis tersebut lebih adaptif atau lebih mampu menyesuaikan diri terhadap
kondisi lingkungan tempat hidupnya dibandingkan dengan jenis lain. Jenis yang
memiliki INP tertinggi berarti jenis tersebut mampu meanfaatkan sumberdaya yang
tersedia lebih baik daripada jenis lainya. Hal ini dijelaskan oleh Soerianegara dan
Indrawan (1998) bahwa tumbuhan mempunyai korelasi yang sangat nyata dengan
tempat tumbuh (habitat) dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominansinya.
Selain inventarisasi tumbuhan bawah, juga dilakukan inventarisasi lumut.
Lumut yang diinvetarisasi dan diidentifikasi merupakan jenis lumut terestrial, yaitu
jenis lumut yang ada diatas permukaan tanah dan epilitik atau lumut yang tumbuh
diatas batuan. Salah satu jenis lumut yang ditemukan diatas batuan yaitu jenis
Racomitirum sp. yang ditemukan di area North Bunaken. Lumut umumnya
dijumpai di lingkungan yang lembap karena lumut tidak memiliki jaringan
pembuluh (Uno et al. 2001). Oleh karena itu,lumut bersifat poikilohidrik, artinya
tekanan turgor lumut bergantung pada kelembapan lingkungan (Gradstein et al.
2001 dalam Suharti 2013) Lumut juga sangat sensitif terhadap perubahan
lingkungan mikro, sehingga lumut cenderung akan merespon secara spesifik
adanya perubahan tersebut (Frego dan Carleton 1995). Kondisi lingkungan mikro
antara lain adalah substrat, kelembapan, intensitas cahaya, dan suhu (Mishler 2001).
Jenis lumut yang ditemukan di setiap area yaitu jenis Bryum sp, Marchantia
sp., dan Racomitrium sp. Jenis Bryum sp. termasuk kedalam famili Bryaceae, famili
ini merupakan jenis lumut berdaun (Bryopsida). Damayanti (2006) menyatakan
Bryopsida memiliki anggota lebih banyak dari kelas lainnya (Hepaticopsida dan
Anthocerotopsida), karena Bryopsida merupakan tumbuhan yang kosmopolit
(dapat tumbuh di berbagai tempat) dan lebih tahan terhadap kekeringan
13
dibandingkan dengan anggota hepaticopsida. Kondisi vegetasi di masing-masing
area reklamasi juga mempengaruhi jumlah temuan jenis dari setiap spesiesnya.
Lumut terestrial banyak ditemukan di hutan tropik pegunungan dengan tanah yang
kaya humus, terutama di tempat yang terdapat cahaya, seperti di tepi hutan, tepi
jalan, sepanjang parit, dan sungai (Suharti 2013).
Indeks Keanekaragaman Spesies Tumbuhan (H’)
Analisis keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkat
komunitas yang bisa digunakan untuk menyatakan struktur komunitas berdasarkan
organisasi biologi. Suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis
yang tinggi apabila didalam komunitas tersebut terdapat banyak spesies dengan
kelimpahan yang sama/hampir sama. Sebaliknya suatu komunitas dikatakan
memiliki keanekaragaman yang rendah apabila didalam komunitas tersebut
memiliki sedikit spesies dengan sedikit spesies yang dominan (Indriyanto 2010).
Nilai indeks keanakaragaman (H’) disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 5 Nilai indeks keanekaragaman spesies (H’)
Area alami memiliki indeks keanekaragaman paling tinggi, dengan nilai
indeks keanekaragaman sebesar 2.85 (DOM) dan 2.21 (Dugundugu). Nilai tersebut
mengindikasikan bahwa keanekaragaman tumbuhan bawah di area DOM dan
Dugundugu sangat tinggi. Nilai indeks keanekaragaman yang tinggi mengartikan
pula bahwa selain banyak jenis yang dijumpai di suatu lokasi, juga tidak ada jenis
yang mendominasi di lokasi tersebut (Magurran 1988). Nilai keanekaragaman di
area DOM (sub alpin) dan Dugundugu (alpin) dijadikan sebagai pembanding untuk
menilai keanekaragamn yang ada di 14 area reklamasi lainnya. Menurut Magurran
0.741
0.743
0.866
1.010
1.104
1.197
1.873
2.85
0.96
1.037
1.093
1.163
1.266
1.473
1.727
2.21
0 1 2 3
Bali 2011 (Sub Alpin)
Top HEAT Road 2011 (Sub Alpin)
Surabaya 1999 (Sub Alpin)
Lower Wanagon 2011 (Sub Alpin)
Cartenz Upper 2008 (Sub Alpin)
Blitar 2010 (Sub Alpin)
Cartenz Lower 2003 (Sub Alpin)
DOM (Sub Alpin)
South Bunaken 2009 (Alpin)
Koteka 2011 (Alpin)
Batu Bersih 2011 (Alpin)
Kaimana 2010 (Alpin)
Midle Wanagon 2009 (Alpin)
North Bunaken 2002 (Alpin)
Manado 2000 (Alpin)
Dugundugu (Alpin)
H'
14
(1988) bahwa nilai H’ umumnya berada pada kisaran 1.0-3.5. Nilai H’ mendekati
nilai 3.5 menggambarkan tingkat keanekaragaman yang tinggi. Berdasarkan
kriteria Magurran (1988), diketahui bahwa semai, tumbuhan bawah, herba dan
semak yang ada di area alami memiliki keanekaragaman sedang (H’<3).
Area reklamasi di kategori alpin yang memiliki nilai keanekaragaman
tertinggi yaitu Manado 2000 dengan nilai indeks H’ sebesar 1.727 dan area
reklamasi di kategori sub alpin yang memiliki nilai keanekaragaman tertinggi yaitu
Cartenz Lower 2003 dengan nilai indeks H’ sebesar 1.84. Namun nilai tersebut
menunjukan bawah Cartenz Lower memiliki keanekaragaman yang rendah jika
diklasifikasikan berdasarkan Magurran (1988) dengan H’<2 dan memang lebih
kecil jika dibandingkan dengan area alami untuk masing-masing alpin dan sub alpin.
Kemudian area reklamasi yang memiliki nilai H paling kecil yaitu South Bunaken
2009 (alpin) dan Bali 2011 (sub alpin) sebesar 0.96 dan 0.74 kurang dari setengah
jika dibandingkan nilai indeks H’ di area alami.
Kent dan Paddy (1992) menyatakan bahwa suatu komunitas yang memiliki
nilai H’<1 dikatakan komunitas kurang stabil, jika nilai H’ antara 1-2 dikatakan
komunitas stabil, dan jika nilai H’>2 dikatakan komunitas sangat stabil. Dari
kriteria tersebut menunjukan bahwa keseluruhan reklamasi secara umum jika
dilihat dari nilai keanekaragaman setiap tingkat pertumbuhan tergolong dalam
komunitas yang stabil dengan nilai keanekaragaman berkisar antara 1.08 sampai
1.90, akan tetapi terdapat juga empat area reklamasi yang berada pada komunitas
yang kurang stabil.
Indeks Kesamaan Spesies Tumbuhan (IS)
Nilai dari indeks kesamaan suatu spesies digunakan untuk mengetahui
tingkat kesamaan antara beberapa tegakan, antara beberapa unit sampling, atau
antara beberapa komunitas yang dibandingkan komposisi dan struktur
komunitasnya (Soerianegara dan Indrawan 2012). Dugundugu sebagai area alami
dijadikan sebagai nilai pembanding bagi area reklamasi di alpin dan DOM sebagai
nilai pembanding untuk area reklamasi disub alpin, keduanya digunakan untuk
mengetahui komunitas tumbuhan yang ada di masing-masing area reklamasi.
Hasil analisis data menyatakan bahwa area yang memiliki indeks kesamaan
paling tinggi yaitu area Manado 2000 untuk kategori Alpin dengan nilai IS sebesar
75%, yaitu dengan 15 jenis spesies yang sama dari 18 spesies yang ditemukan di
lokasi tersebut dan dibandingkan dengan spesies yang ada di area Dugundugu
sebanyak 22 spesies. Cartenz Lower 2003 memiliki nilai indeks kesamaan 69.77%
dengan jumlah spesies yang sama sebanyak 30 spesies dari 31 spesies yang
ditemukan dilokasi tersebut dan dibandingkan dengan area DOM sebanyak 55
spesies. Besarnya nilai IS pada area reklamasi di kategori alpin, disebabkan oleh
jumlah spesies yang ditemukan diarea alami juga sedikit yaitu hanya 22 spesies,
tidak seperti area alami DOM sebanyak 55 jenis. Karena jumlah temuan jenis di
lokasi pembanding mempengaruhi jumlah IS pada suatu lokasi yang dibandingkan.
15
Nilai yang didapatkan berupa persentase kesamaan spesies area reklamasi dengan
refference area dan disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Nilai indeks kesamaan spesies (IS)
Penentuan niai tinggi rendahnya indeks kesamaan spesies dipengaruhi oleh
banyaknya jumlah spesies yang sama diantara dua komunitas yang dibandingkan.
Indeks kesamaan spesies yang rendah pada lokasi penelitian dapat terjadi karena
adanya dominansi pertumbuhan spesies-spesies pionir, sehingga memungkinkan
adanya persaingan tempat tumbuh dan persaingan nutrisi bagi spesies-spesies lokal
(Prakoso 2015). Akan tetapi, seiring berjalannya waktu spesies-spesies lokal juga
dapat tumbuh dengan baik pada reklamasi. Dari nilai tersebut mengindikasikan
bahwa masih terdapatnya peluang bagi spesies-spesies lokal untuk tumbuh dengan
baik pada reklamasi, namun juga memerlukan adanya pengelolaan terhadap
spesies-spesies yang ditanam.
Pada umumnya penanaman pada lahan bekas tambang di fase awal ditanami
oleh spesies-spesies pionir, bersifat intoleran, dan tanaman cepat tumbuh. Kriteria
tersebut biasanya hanya dimiliki oleh spesies-spesies non lokal sehingga dapat
dipastikan spesies-spesies yang terdapat di reklamasi akan sangat berbeda dengan
spesies-spesies yang terdapat di hutan alam, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan spesies-spesies lokal dapat tumbuh pada reklamasi melalui tahapan
suksesi sekunder ataupun persebaran biji melalui bantuan satwaliar dan angin.
Nilai indeks kesamaan berkisar 0-100%, dimana semakin tinggi nilai indeks
kesamaan spesies menunjukan semakin tinggi pula tingkat kemiripan spesies antara
dua komunitas yang dibandingkan (Odum 1996). Pernyataan tersebut dapat
25.00
25.40
26.47
28.99
35.82
36.36
69.77
38.71
42.86
46.67
48.28
56.25
68.42
75.00
0 20 40 60 80
Top HEAT Road 2011 (Sub Alpin)
Bali 2011 (Sub Alpin)
Blitar 2010 (Sub Alpin)
Lower Wanagon 2011 (Sub Alpin)
Surabaya 1999 (Sub Alpin)
Cartenz Upper 2008 (Sub Alpin)
Cartenz Lower 2003 (Sub Alpin)
Batu Bersih 2011 (Alpin)
Koteka 2011 (Alpin)
Kaimana 2010 (Alpin)
South Bunaken 2009 (Alpin)
Midle Wanagon 2009 (Alpin)
North Bunaken 2002 (Alpin)
Manado 2000 (Alpin)
IS (%)
16
diartikan juga bahwa semakin tinggi nilai indeks kesamaan spesies, maka
komposisi spesies yang berlainan semakin sedikit dan sebaliknya semakin rendah
indeks kesamaan spesies, maka komposisi spesies yang berlainan semakin banyak
(Mawazin dan Subiakto 2013). Dari kedua pernyataan tersebut dapat menjelaskan
bahwa keseluruhan lokasi reklamasi memiliki kemiripan spesies yang rendah
dengan spesies yang terdapat di area alami karena pada keseluruhan reklamasi tidak
ada yang memiliki nilai indeks kesamaan spesies ≥75% dengan kata lain komposisi
spesies yang berlainan dari dua komunitas yang dibandingkan semakin banyak.
Keseluruhan area reklamasi memiliki keberhasilan reklamasi yang rendah jika
dianalisis melalui indeks kesamaan spesies tumbuhan karena tidak terdapat satupun
area reklamasi yang kondisinya mendekati dengan area alami.
Indeks lain yang digunakan untuk melihat kesamaan spesies antar area yaitu
Indeks Jaccard. Indeks ini sering juga digunakan untuk kajian konservasi spesies,
oleh karena dapat digunakan untuk power function dalam menentukan keterkaitan
antara spesies dan area, dan untuk menentukan ukuran optimal suatu kawasan
(Higgs dan Usher 1980). Indeks kesamaan Jaccard (JI) akan memiliki nilai sama
dengan 1 apabila terdapat kesamaan komposisi jenis secara penuh pada tipe tutupan
lahan yang dibandingkan, sebaliknya jika indeks mendekati nol maka komposisi
jenis pada tipe tutupan lahan yang dibandingkan semakin berbeda (Goodall (1973)
dalam Ludwig dan Reynolds (1988)). Nilai koefisien Jaccard adalah suatu indeks
dimana nilai d (0-0 sepadan) tidak dimasukan kedalam perhitungan. Ukuran inipun
memberikan bobot yang sama baik pada objek sepadan maupun tidak sepadan. Pada
gambar dibawah dibandingkan kehadiran setiap spesies pada setiap area, bukan
seperti indeks kesamaan yang dibandingkan antara area reklamasi dengan DOM
saja. Dendogram menggunakan Jaccard’s Coefficient disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7 Dendrogram menggunakan Jaccard’s Coefficient
Dendogram dibuat dengan metode UPGM menggunakan analisis Indeks
Jaccard (JI) dan membedakan kesamaan jenis setiap area dengan sistem kluster.
Tujuan dari Analisis kluster adalah mengelompokkan variabel ke dalam kelompok
berdasarkan kesamaan tertentu. Menurut Kindt dan Coe (2005), penggunaan
17
analisis kluster dalam kajian ekologi dilakukan untuk menyatukan tegakan-tegakan
ke dalam kelompok. Tegakan-tegakan yang berkumpul dalam satu kelompok
memiliki kesamaan dalam komposisi spesies, dan hal ini ditentukan berdasarkan
jarak ekologi yang dipilih. Analisis kluster dalam kajian ekologi banyak
dimanfaatkan untuk kegiatan klasifikasi (Krebs 1989). Analisis kluster merupakan
salah satu dari metode klasifikasi numerik dalam ekologi, dan tujuan utama
penggunaan metode ini adalah untuk mereduksi data (Kent dan Paddy 1997).
Dapat dilihat bahwa area Cartenz lower memiliki kekerabatan yang lebih
dekat dengan area alami. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah jenis yang ditemukan di
area Cartenz Lower dan area DOM, sedangkan area yang memiliki kekerabatan
paling dekat yang sebenarnya adalah area Surabaya dengan area South Bunaken,
dikarenakan memiliki jumlah temuan yang paling sedikit dan jenis temuan yang
hampir sama diantara keduanya. Semakin kecil nilai indeks similaritas untuk setiap
area reklamasi maka semakin rendah tingkat similaritasnya.
Dendrogram diatas menunjukan bahwa dari kesamaan jenis yang ada di
seluruh area reklamasi dan dua area alami terbagi kedalam dua kluster, yaitu kluster
pertama untuk DOM dengan Cartenz Lower 2003 sedangakn kluster dua adalah
selain dua area tersebut. DOM dan Cartenz Lower 2003 memiliki nilai indeks
Jaccard’s paling kecil, dikarenakan jumlah temuan jenis paling banyak diantara
semua area reklamasi lainnya baik alpin maupun sub alpin. Namun dari nilai indeks
Jaccard yang kecil tersebut dapat didefinisika juga bahwa kedua area tersebut
memiliki kemiripian yang paling tinggi dibandingkan dengan area lainnya.
Kemudian kluster kedua terbagi lagi menjadi dua kelompok besar. Yaitu
Dugundugu dengan North Bunaken 2002 memiliki kemipiran jenis temuan yang
hampir sama. Serta kedua area tersebut juga memiliki kemiripan yang juga dekat
dengan area Manado 2000 dan Surabaya 1999. Jika dilihat dari data temuan jenis,
dapat dilihat bahwa ketiga area tersebut merupakan area reklamasi yang jumlah
temuan jenisnya paling mendekati area alami untuk kategori alpin (Dugundugu).
Dendogram menurut Mayr et al. (1953) dalam Clifford dan Stevenson (1975)
adalah ilustrasi diagramatik dari suatu relasi berdasarkan tingkat kesamaan. Santoso
(2002) mengatakan bahwa melalui konsep ini, dua data pada awalnya digabungkan,
dan penggabungan didasarkan pada kesamaan yang ada pada data. Penggabungan
terus berlanjut terhadap data lainnya yang memiliki kemiripan.
Cadangan Karbon
Karbon merupakan salah satu unsur yang mengalami daur dalam ekosistem.
Di dalam atmosfer, karbon terikat dan membentuk senyawa karbon dioksida (CO2).
Karbon dioksida juga dapat membentuk persediaan karbon organik dalam proses
fotosintesis. Karbon organik ini akan tetap berada di dalam tubuh produsen
(tumbuhan) atau pun konsumen (manusia dan hewan) sampai mati. Setelah
produsen/konsumen mati, karbon organik akan terurai melalui proses dekomposisi
dan CO2 akan terlepas kembali ke atmosfer. Penguraian bahan organik ini ada yang
berlangsung cepat adapula yang berlangsung sangat lama. Proses penguraian yang
berlangsung sangat lama akan membentuk bahan bakar fosil (Killham 1996;
Vickery 1984; Gopal dan Bhardwaj 1979 dalam Indriyanto 2010).
Biomassa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan
pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas
18
(Brown 1997). Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia
terutama dalam siklus karbon (Sutaryo 2009). Tanaman atau pohon di hutan
dianggap berfungsi sebagai tempat penimbunan atau pengendapan karbon (rosot
karbon atau carbon sink). Besarnya kandungan karbon dan biomasa pohon
bervariasi berdasarkan bagian tumbuhan yang diukur, growth stage, tingkatan
tumbuhan dan kondisi lingkungannya. Kandungan karbon dan biomasa tumbuhan
bawah dipengaruhi oleh jenis-jenis tumbuhan penyusun (Asril 2008). Sediaan
karbon hutan pada dasarnya sulit untuk dihitung dengan pasti, terlebih lagi pada
lokasi penelitian yang luas. Hal ini disebabkan karena karbon tersimpan bersifat
sangat dinamis dalam menyerap, menyimpan dan mengeluarkan karbon (Nooran
2015).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi biomassa, stok karbon CO2-
ekuivalen dan net O2 release (pelepasan oksigen) tanaman, yaitu jenis tanaman
(kualitas klorofil dan luas daun), umur tanaman, suhu, sinar matahari dan kualitas
lahan (ketersediaan air dan nutrisi) (Oktavianto 2015). Jenis penyusun biomassa
karbon yang ada di area reklamasi dan area alami hanya berupa tumbuhan bawah
dan serasah. Tumbuhan bawah yaitu tumbuhan bukan pohon yang tumbuh di lantai
hutan. Dapat berupa herba, semak atau liana. Serasah merupakan Kumpulan bahan
organic di lantai hutan yang belum atau sedikit terdekomposisi. Bentuk asalnya
masih bias dikenali atau masih bias mempertahankan bentuk aslinya (belum
hancur) (Sutaryo 2009). Tumbuhan pohon hanya berupa perdu yang merayap dan
memiliki diameter > 5 cm dan dikelompokan kedalam tumbuhan bawah untuk
diambil contoh dengan cara pemanenan. Rekapitulasi cadangan karbon setiap area
reklamasi disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah karbon
Nama Lokasi C-stock (ton/ha) ∑ C-stock
(ton/ha)
Luas
(ha)
C-total
(ton) S TB
Bali 2011 (Sub Alpin) 0.452 0.431 0.883 4.9 4.327
Top HEAT Road 2011 (Sub Alpin) 0.422 0.561 0.983 54.8 53.861
Lower Wanagon 2011 (Sub Alpin) 0.222 0.768 0.990 4.0 3.961
Cartenz Upper 2008 (Sub Alpin) 0.128 0.983 1.111 41.9 46.541
Blitar 2010 (Sub Alpin) 0.597 0.797 1.395 2.6 3.626
Surabaya 1999 (Sub Alpin) 0.746 1.031 1.777 1.8 3.198
Cartenz Lower 2003 (Sub Alpin) 0.711 3.006 3.717 27.2 101.096
DOM (Sub Alpin) 1.295 3.513 4.808 17.7 85.098
Koteka 2011 (Alpin) 0.395 0.480 0.875 2.7 2.363
Batu Bersih 2011 (Alpin) 0.432 0.481 0.913 13.3 12.145
Kaimana 2010 (Alpin) 0.583 0.466 1.049 5.3 5.562
South Bunaken 2009 (Alpin) 0.582 0.563 1.145 5.2 5.952
Midle Wanagon 2009 (Alpin) 0.677 0.526 1.204 14.5 17.454
North Bunaken 2002 (Alpin) 0.587 1.470 2.058 21.9 45.065
Manado 2000 (Alpin) 0.959 1.496 2.455 41.9 102.879
Dugundugu (Alpin) 0.759 2.260 3.019 11.0 33.204 Keterangan: TB= Tumbuhan bawah; S= Serasah
DOM sebagai area alami memiliki cadangan karbon paling tinggi yaitu
sebesar 85.098 ton walaupun area yang dijadikan sebagai sampel penelitian hanya
seluas 17.7 ha atau hanya 32% dari area reklamasi paling luas yaitu area Blitar (54.8
19
ha). Hal ini bisa dilihat dari cadangan karbon rata-rata tiap plot yaitu sebesar 4.808
ton/ha dan merupakan nilai paling besar dibandingkan semua area reklamasi. Hal
ini sangat dipengaruhi oleh komposisi tumbuhan bawah dan serasah penyusun
kominutas yang ada didalam plot contoh. Tumbuhan bawah yang diambil sebagai
sampel yaitu seluruh tumuhan bawah (herba, rumput, semak) dan pohon yang
berdiamater < 5cm diambil dengan cara pemanenan atau destruktif. Jenis-jenis
perdu yang ada di area DOM cukup banyak, seperti jenis Rhododendron sp.,
Coprosma sp., dan Olearia sp., hampir ditemui pada setiap plot contoh. Sehingga
dengan banyaknya jenis tersebut akan menyebabkan berat tumbuhan bawah yang
dipanen juga semakin tinggi.
Semakin banyak tumbuhan bawah dan pohon d < 5 cm maka akan semakin
banyak pula cadangan karbon yang dihasilkan dari tiap plot dan masing-masing
area. Area reklamasi yang memiliki cadangan karbon paling tinggi yaitu area
Manado. Hal ini dikarenakan area Manado memiliki luas yang lebih besar dari pada
area Cartenz Lower walaupun Cartenz Lower memiliki cadangan karbon pool lebih
besar yaitu 3.317 ton/ha sedangkan area Manado hanya 2.455 ton/ha.
Adanya perbedaan simpanan karbon yang cukup besar disebabkan oleh
perbedaan kualitas tapak, iklim, serta perlakuan silvikultur yang diberikan. Lahan
reklamasi pasca tambang memiliki kualitas tapak yang lebih rendah seperti pH
rendah dan miskin unsur hara. Biomassa yang telah dihitung menjadi cadangan
karbon, kemudian dikonverasi ke area sebenarnya. Karena perbedaan jumlah plot
dari masing-masing area reklamasi, setiap plot dari masing-masing area reklamasi
diambil nilai rata-ratanya dan kemudian dikonverasi ke area alami dalam satuan ton
per hektar. Setalah itu dikalikan lagi dengan luasan area yang sebenarnya, sehingga
didapatkan nilai cadangan karbon dari tiap lokasi berdasarkan luasannya masing-
masing.
Area reklamasi yang memiliki total cadangan karbon kurang dari 5 ton/ha
yaitu area Bali, Lower Wanagon, Blitar, Surabaya dan Koteka. Plot sampling pada
area tersebut, diambil pada area yang masih baru jika dilihat dari tahun tanamnya,
selain itu faktor lain yang menyebabkan sedikitnya jumlah karbon juga dilihat dari
sedikitnya jenis tumbuhan dan terutama untuk jenis tumbuhan berkayu (perdu).
Warna merah muda pada peta dibawah menunjukan jumlah cadangan karbi berkisar
antara 5-15 ton. Area yang termasuk kedalam kategori ini yaitu, Kaimana, South
Bunaken dan area Batu Bersih. Warna hijau terang memiliki rentang nilai antara
15-35 ton, area alami Dugundugu dan area reklamasi Midle Wanagon termasuk
kedalam kategori ini. Area dengan warna hijau pekat (> 55 ton) merupakan area
yang memiliki jumlah cadangan karbon paling tinggi, yaitu area Cartenz Lower,
Manado dan area alami DOM. Peta cadangan karbon di berbagai area reklamasi
dan area alami disajikan pada Gambar 8.
20
Gambar 8 Peta cadangan karbon total di area Grasberg
21
Stok karbon yang tersimpan pada serasah dan tumbuhan bawah diestimasi
melalui potensi biomassanya sehingga semakin tinggi jumlah biomassa maka
semakin tinggi pula jumlah karbon yang tersimpan (Tunggadewi 2014). Perbedaan
biomassa dan stok karbon yang terkandung di setiap area reklamasi dapat terjadi
karena komposisi dan struktur tegakan pada tiap area juga berbeda. Hairiah dan
Rahayu (2007) menyatakan, jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda
tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya, serta
cara pengelolaannya. Perbandingan jumlah cadangan karbon pada beberapa tipe
vegetasi hutan di Bio Region Papua disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Perbandingan jumlah cadangan karbon Bio Region Papua
Tipe tutupan lahan Nilai Minimum
(ton/ha)
Nilai maksimum
(ton/ha)
Rerata
(ton/ha)
Hutan lahan kering primer 73.17 290.73 179.62
Hutan lahan kering sekunder 60.19 129.59 92.38
Hutan gambut primer 195.88 200.23 198.06
Hutan gambut sekunder 92.32 142.07 117.2
Hutan mangrove primer - - 116.79
Hutan mangrove sekunder - - 37.03
Hutan tanaman 86.70 269.67 172.50
Hutan reklamasi PTFI (lowland) 14.75 30.49 20.31
Area reklamasi PTFI (highland) 0.88 3.78 1.78 Sumber : Rochmanyanto et al. (2014) dan data hasil penelitian
Jika dibandingkan jumlah karbon yang ada di kategori alpin sub alpin
dengan pegunungan bawah, jauh sekali perbandingannya. Dari data penelitian yang
dilakukan oleh Windusari et al. (2012) di area reklamasi PTFI wilayah kerja
lowland yaitu berkisar antara 38 ton/ha – 98 ton/ha, sedangkan cadangan karbon di
area reklamsi Grasberg hanya bekisar antara 0.88 ton/ha – 3.78 ton/ha.
Rochmayanto et al. (2014) menyatakan bahwa jumlah adangan karbon di area
reklamasi di Papua untuk tumbuhan bawah berkisar antara 11.94-27.35 ton/ha,
dengan rerata 17.50 ton/ha. Seresah berkisar antara 2.45-3.14 ton/ha, dengan rerata
2.82 ton/ha. Total tumbuhan bawah dan seresah berkisar antara 14.75-30.49 ton/ha,
dengan rerata 20.31 ton/ha. Namun dari penenlitian tersebut hanya diambil contoh
di area reklamasi hutan dataran rendah, bukan hutan pegunungan alpin dan sub
alpin.
Jumlah cadangan karbon yang ada di setiap lokasi dibandingkan dengan
jumlah cadangan karbon yang ada di area alami, namun perbedaan yang ada
dinatara masing-masing area rekamasi dan area alami tidak terpaut jauh (untuk area
reklamasi yang memiliki umur reklamasi lebih tua. Nilai cadangan karbon yang ada
pada setiap area reklamasi dapat mendefinisikan aktifiitas reklamasi yang dilakukan
pada masing-masing area.
NDVI (Normalized Difference Vegetation Indeks)
Indeks vegetasi merupakan salah satu parameter fisik yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi tingkat kehijauan suatu lahan. Menurut Hidayat dan Mukhlis
(1995) menyatakan bahwa indeks vegetasi adalah suatu nilai yang mencerminkan
22
kondisi tingkat kehijauan tanaman yang diturunkan dari data satelit melalui
perekaman pada panjang gelombang tampak (merah) dan infra merah. Arnanto
(2013) juga menyatakan bahwa indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang
diterapkan terhadap citra digital, dimaksudkan untuk menonjolkan aspek-aspek
vegetasi. Seperti aspek kerapatan, jenis, umur, ataupun aspek-aspek lain yang
berkaitan dengan vegetasi.
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan indeks
‘kehijauan’ vegetasi atau aktivitas fotosintesis vegetasi, dan salah satu indeks
vegetasi yang paling sering digunakan. Indeks vegetasi NDVI didasarkan pada
pengamatan bahwa permukaan yang berbeda-beda merefleksikan berbagai jenis
gelombang cahaya yang berbeda-beda. Vegetasi yang akfif melakukan fotosintesis
akan menyerap sebagian besar gelombang merah sinar matahari dan mencerminkan
gelombang inframerah dekat lebih tinggi. Vegetasi yang sudah mati atau stres
(kurang sehat) lebih banyak mencerminkan gelombang merah dan lebih sedikit
pada gelombang inframerah dekat (Fuller 1998). NDVI merupakan kombinasi
antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Transformasi NDVI ini
merupakan salah satu produk standar NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration), satelit cuaca yang berorbit polar namun memberi perhatian khusus
pada fenomena global vegetasi. Berbagai penelitian mengenai perubahan liputan
vegetasi di benua Afrika banyak menggunakan transformasi ini (Tucker 1986
dalam Danoedoro 1996). Nilai NDVI pada berbagai area reklamasi dan area alami
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Perbandingan nilai NDVI
Nama Lokasi Nilai NDVI
Selang Nilai Nilai Rata-Rata
Bali 2011 (Sub Alpin) -0.002 - 0.064 0.038
Blitar 2010 (Sub Alpin) 0.021 - 0.069 0.047
Cartenz Upper 2008 (Sub Alpin) 0.050 - 0.073 0.058
Top HEAT Road 2011 (Sub Alpin) 0.043 - 0.099 0.068
Lower Wanagon 2011 (Sub Alpin) 0.050 - 0.103 0.068
Surabaya 1999 (Sub Alpin) 0.083 - 0.122 0.116
Cartenz Lower 2003 (Sub Alpin) 0.087 - 0.144 0.117
DOM (Sub Alpin) 0.118 - 0.264 0.197
Kaimana 2010 (Alpin) 0.033 - 0.049 0.041
South Bunaken 2009 (Alpin) 0.049 - 0.068 0.057
Koteka 2011 (Alpin) 0.027 - 0.132 0.071
Midle Wanagon 2009 (Alpin) 0.086 - 0.110 0.096
Batu Bersih 2011 (Alpin) 0.068 - 0.163 0.109
North Bunaken 2002 (Alpin) 0.105 - 0.167 0.130
Manado 2000 (Alpin) 0.080 - 0.184 0.139
Dugundugu (Alpin) 0.191 - 0.235 0.214
Nilai NDVI diperoleh dengan cara permodelan melalui software ArcGIS
terhadap citra landsat yang digunakan. Hasil yang diperoleh dapat berupa nilai
NDVI yang positif dan negatif. Nilai NDVI positif (+) terjadi apabila vegetasi lebih
banyak memantulkan radiasi pada gelombang panjang inframerah dekat dibanding
23
pada cahaya tampak. Nilai NDVI nol (NDVI=0) terjadi apabila pemantulan energi
yang direkam oleh panjang gelombang cahaya tampak sama dengan gelombang
inframerah dekat. Hal ini sering terjadi pada daerah pemukiman, tanah, darat non
vegetasi, awan dan permukaan air, sedangkan nilai NDVI negatif (-) terjadi apabila
permukaan awan, air, lebih banyak memantulkan energi pada panjang gelombang
cahaya tampak dibandingkan pada inframerah dekat (Affan 2002).
Nilai NDVI yang tercantum pada table 4 menjelaskan bahwa area DOM
sebagai refference area memiliki nilai NDVI paling tinggi dengan rata-rata 0.197
dan selang yang cukup jauh yaitu antara 0.118 – 0.264, sedangkan area reklamasi
yang nilainya paling mendekati yaitu area Manado yang memiliki NDVI paling
tinggi dengan nilai rata-rata 0.139. Area ini juga selang nilai paling jauh yaitu antara
0.080 – 0.184. Baik area alami maupun area reklamasi yang memiliki nilai NDVi
paling tinggi, keduanya termasuk kedalam kriteria rendah dan sangat rendah.
Namun pada area alami terdapat nilai NDVI yang bernilai 0.264 dan merupakan
nilai NDVi tertinggi. Klasifikasi tingkat kehijauan vegetasi berdasarkan nilai NDVI
tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi nilai NDVI
Nilai NDVI Tingkat Kehijauan
0.06 – 0.15 Sangat Rendah
0.16 – 0.25 Rendah
0.26 – 0.35 Sedang
0.36 – 0.45 Agak Tinggi
0.46 – 0.55 Tinggi
>0.55 Sangat Tinggi Sumber : Hidayat dan Mukhlis (1988)
Hidayat dan Mukhlis (1988) menjabarkan klasifikasi tingkat kehijauan
vegetasi berdasarkan indeks vegetasi. Jika nilai NDVI 0.06-0.15 termasuk dalam
kriteria sangat rendah, antara 0.16-0.25 termasuk dalam kriteria rendah, pada selang
0.26-0.35 termasuk dalam kriteria sedang, antara 0.36-0.45 termasuk dalam kriteria
agak tinggi, pada selang 0.46-0.55 maka termasuk dalam kriteria tinggi, dan nilai
NDVI >0.55 maka termasuk dalam kriteria sangat tinggi. Semua area reklamasi
termasuk kedalam kriteria nilai NDVI sangat rendah karena berada pada selang
0.006 – 0.15. Area reklamasi yang memiliki nilai NDVI rata-rata paling rendah
yaitu area Bali dengan nilai 0.038 dan selang nilai -0.002 -0.064. Di daerah ini
terdapat nilai minus (-) yang menadakan bahwa pantulan vegetasi tidak terlihat di
area ini. Sesuai dengan pernyataan Affan (2002) bahwa nilai NDVI negatif (-)
terjadi apabila permukaan awan, air, lebih banyak memantulkan energi pada
panjang gelombang cahaya tampak dibandingkan pada inframerah dekat. Karena
pada saat pengambilan data dan pembuatan plot, terdapat genangan air ang cukup
besar didekat plot. Oleh karena itu nilai NDVI pada plot tersebut bernilai minus (-).
Nilai NDVI pada dasarnya didapatkan dari pemantulan energi radiasi dari
permukaan daun, sehingga jika dikaitkan dengan kegiatan reklamasi maka nilai
NDVI dapat mendeskripsikan keberadaan vegetasi pada suatu lahan bekas tambang.
Vegetasi yang teridentifikasi tidak hanya berupa pepohonan namun juga dapat
berupa semak dan rumput. Peta sebaran NDVI di lokasi penelitian disajikan pada
Gambar 9.
24
Gambar 9 Peta sebaran NDVI di area reklamasi Grasberg
25
Tinggi rendahnya nilai NDVI sangat dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi,
tutupan tajuk, dan jenis vegetasi karena semakin rapat vegetasi dan tutupan tajuk
maka permukaan daun akan memantulkan energi radiasi yang semakin besar, serta
jika vegetasi yang teridentifikasi merupakan pepohonan maka akan memiliki nilai
NDVI yang tinggi dibandingkan jika yang teridentifikasi berupa semak atau rumput.
Faktor iklim dan gangguan terhadap lingkungan juga dapat mempengaruhi nilai
NDVI, karena jika citra landsat yang digunakan bertepatan pada musim kemarau
maka pepohonan cenderung menggugurkan daunnya untuk mengurangi proses
penguapan sehingga tutupan tajuk semakin berkurang dan pemantulan energi
radiasi dari permukaan daun akan semakin kecil yang akan berdampak pada
rendahnya nilai NDVI. Meskipun interpretasi biofisik NDVI adalah fraksi/pecahan
dari radiasi aktif yang berfotosintesis diserap oleh permukaan, ada banyak faktor
yang mempengaruhi kekuatan hubungan antara NDVI dan veegtasi sebenarnya.
Faktor-faktor tersebut dapat meliputi: kondisi atmosfer, skala citra, kelembaban
vegetasi, kelembaban tanah, tutupan vegetasi secara keseluruhan, perbedaan jenis
tanah, manajemen, dll (Tappan et al. 1992).
Peta sebaran nilai NDVI menunjukan bawah degradasi warna dari kuninng
menuju warna merah mudah dan biru memiliki arti nilai dari tinggi ke rendah. Area-
area reklamasi memiliki dan didominasi oleh warna kuning bahkan kuning cerah,
sedangkan area alami seperti DOM dan area alami lainnya memiliki warna yang
semakin merah mudah dan juga biru. Untuk area reklamasi yang memiliki warna
merah muda terlihat hanya Manado, North Bunaken dan area Cartenz Lower.
Pendugaan hubungan antara jumlah cadangan karbon dengan nilai
keanekaragaman (H’) dan nilai NDVI
Nilai keanekaragaman (H’)
Keanekaragaman jenis merupakan suatu karakteristik tingkat komunitas
yang bisa digunakan untuk menyakatakn struktur komunitas berdasarkan organisasi
biologi. Kandungan karbon dan biomasa tumbuhan bawah dipengaruhi oleh jenis-
jenis tumbuhan penyusun (Asril 2008). Namun hal tersebut tergantung dari jenis
tumbuhan penyusun di komunitas tersebut. Oleh karena itu, dari studi kasus area
reklamasi Grasberg dilihat korelasi antara nilai indeks keanekaragaman dengan
jumlah cadangan karbon. Total 15 sampel dari semua area alami dan area reklamasi,
nilai keanekaragaman dan karbon pada permukaan tanah diregresikan kemudian
diperoleh nilai residual.
Berdasarkan hasil analisis data tidak diperoleh outliers, sehingga data yang
digunakan adalah seluruhnya, yaitu sebanyak 16 sampel. Pengujian normalitas pada
residual biomassa dengan H’ menghasilkan nilai K-S sebesar 0.145 dan P-Value
>0.150 yang menunjukkan data berdistribusi normal. Regresi antara nilai karbon
dengan nilai H’, yaitu H’ pada Karbon = - 0.7488 + 1.8940 H, dengan koefisien
determinasi R2= 0.866, artinya data H’ mempengaruhi data karbon pohon sebesar
26
86.6% dan terdapat 13.4% faktor lain berpengaruh terhadap data karbon. Grafik uji
normalitas disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Grafik uji normalitas data karbon terhadap indeks H’
Nilai korelasi (r) antara data H dengan data karbon berdasarkan Pearson
correlastion yaitu sebesar 0.931. Nilai positif mengindikasikan bahwa terdapat
hubungan antara nilai H dengan nilai karbon. Koefisien positif atau negatif
menunjukkan hubungan searah (bila x naik maka y naik) dan terbalik (bila x naik
maka y turun) antara dua peubah (Walpole 1982). Grafik hubungan antar karbon
dengan nilai H’ ditunjukkan pada Gambar 11.
Gambar 11 Grafik hubungan data karbon dengan indeks H’
27
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Menurut Sembiring et al. (2000) NDVI juga dipakai untuk mendapatkan
informasi tentang pertanaman seperti pola kurva pertumbuhan tanaman, penutupan
lahan, mengamati kerusakan tanaman akibat penyakit dan memperkirakan hasil
pertanaman lebih awal. Perkiraan hasil panen pertanaman dilakukan dengan
mengubungkan indeks NDVI dengan indeks panen, kemudian dikonfirmasikan
dengan hasil panen aktual untuk mendapatkan faktor koreksi yang tepat. Hasil
panen yang diasumsikan adalah pemanenan tumbuhan yang ada di permukaan yang
diambil sebagai contoh biomassa. Maka dilihat korelasi antara nilai NDVI per titik
plot dengan jumlah biomassa karbon yang ada di lokasi yang sama. Berdasarkan
hasil analisis data diperoleh pencilan sebanyak 7 data, sehingga data yang
digunakan hanya sebanyak 62 data. Pengujian normalitas pada residual biomassa
dengan NDVI menghasilkan nilai K-S sebesar 0.085 dan P-Value >0.150 yang
menunjukkan data berdistribusi normal. Grafik uji normalitas data karbon dengan
NDVI disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Grafik uji normalitas data karbon terhadap NDVI
Regresi antara nilai C-stock dengan NDVI, yaitu Karbon = 0.5693 + 10.9800
NDVI, dengan koefisien determinasi R2= 0.408 %, artinya data NDVI mempengaruhi
data Karbon sebesar 40.8% dan terdapat 59.6% faktor lain berpengaruh terhadap data
karbon. Grafik hubungan antara NDVI dengan karbon ditunjukkan pada Gambar 13.
28
Gambar 13 Grafik hubungan data karbon dengan NDVI
Nilai korelasi (r) antara data NDVI dengan data karbon berdasarkan Pearson
correlation yaitu sebesar 0.639. Nilai positif mengindikasikan bahwa terdapat
hubungan antara nilai NDVI dengan nilai karbon. Koefisien positif atau negatif
menunjukkan hubungan searah (bila x naik maka y naik) dan terbalik (bila x naik
maka y turun) antara dua peubah (Walpole 1982). Menurut Arhatin (2007), nilai
indeks vegetasi yang tinggi dapat diindikasikan bahwa pada area yang diamati
terdapat vegetasi dengan tingkat kehijauan yang tinggi seperti area hutan yang lebat.
Sebaliknya, nilai indeks vegetasi yang rendah merupakan indikator bahwa lahan
yang dipantau mempunyai tingkat kehijauan yang rendah, lahan dengan vegetasi
jarang atau bukan objek vegetasi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nilai indeks H’ paling tinggi terdapat di area alami, yaitu Dugundugu (alpin)
sebesar 2.21 dan DOM (sub alpin) sebesar 2.85, jumlah cadangan karbon sebesar
3.019 ton/ha dan 4.808 ton/ha, sedangkan Manado 2000 (alpin) dan Cartenz Lower
2003 (sub alpin) merupakan area reklamasi yang memiliki nilai indeks H’ dan IS
paling tinggi, yaitu H’ sebesar 1.727 dan 1.837, nilai IS sebesar 75% dan 69.77%,
dan jumlah cadangan karbon sebanyak sebanyak 2.455 ton/ha dan 3.717 ton/ha.
Pada studi kasus area reklamasi Grasberg, tahun reklamasi tidak bisa dipakai untuk
menunjukan suatu kesuksesan area reklamasi. Namun lebih ditentukan oleh
aktivitas yang dilakukan di area reklamasi tersebut, seperti pemberian top soil dan
juga konsistensi penanaman di area reklamasi tersebut. Nilai regresi H’ dengan
karbon memiliki persamaan Karbon = - 0.7488 + 1.8940 H dan NDVI dengan karbon
29
memiliki persamaan Karbon = 0.5693 + 10.9800 NDVI. Dengan nilai korelasi positif
untuk Biomassa dengan H’ dan NDVI, dimana apabila nilai karbon meningkat mana
nilai H’ dan NDVI juga meningkat, begitu juga sebaliknya.
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai tanah yang ada di area alami dan
area reklamasi Grasberg, untuk mengetahui kandungan unsur hara yang ada
didalamnya, perlu adanya pemilihan metode yang lebih cepat dan efisien dalam
upaya perbanyakan tanaman serta perlakuan tambahan untuk masing-masing area
reklamasi untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan vegetasi yang ada di seluruh
area reklamasi.
DAFTAR PUSTAKA
Affan MJ. 2002. Penilaian Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan Berdasarkan Indeks
Vegetasi dan KBDI [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Afrianti UR. 2007. Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi Sengkubak
(Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.) di Kabupaten Sintang Kalimantan
Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Arnanto Ardi. 2013. Pemanfaatan transformasi Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI) Citra Landsat TM untuk Zonasi Vegetasi di Lereng Merapi
Bagian Selatan. Geomedia, Volume 11 Nomor 2, November 2013.
Arhatin RE. 2007. Pengkajian algoritma indeks vegetasi dan metode klasifikasi
mangrove dari data satelite Landsat---555 dan Landsat-7 ETM+ (studi kasus
di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur) [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Asril. 2009. Pendugaan Cadangan Karbon Di Atas Permukaan Tanah Rawa
Gambut Di Stasiun Penelitian Suaq balimbing Kabupaten Aceh Selatan
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam [tesis]. Medan (ID) : Universitas
Sumatera Utara.
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest.
Forestry Paper No. 134. (Online version), (http://www.fao.org, diakses 11
Agustus 2016).
Clifford HT, Stepenson W. 1975. An Introduction to Numerical Classification.
New York (US): Academic Press.
Damayanti L. 2006. Koleksi Bryophyta Taman Lumut Kebun Raya Cibodas. Bogor
(ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Danoedoro P. 1996. Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya dalam Bidang
Penginderaan Jauh. Yogyakarta (ID): Fakultas Geografi Universitas
Gadjah Mada.
Dipa Pradipta. 2012. Analisis data time teries NDVI-Spot vegetation untuk tanaman
padi (Studi Kasus: Kabupaten Karawang). [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Duan N Li KC. 1991. A bias bound for least squares linear regression. Statistica
Sinica. 1 :127-136.
30
[ESDM] Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2008. Peraturan Menteri
Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008
tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Jakarta (ID): Kementrian
ESDM.
[ESDM] Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2014. Peraturan Menteri
Energi dan Sumberdaya Mineral Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014
tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta (ID): Kementrian ESDM.
Frego KA, Carleton TJ. 1995. Microsite Condition and Spatial Pattern in a Boreal
Bryophyte Community. Canadian Journal of Botany 73:544-551.
Fuller DO. 1998. Trends in NDVI time series and their relation to rangeland and
crop production in Senegal, 1987-1993. International Journal of Remote
Sensing 19(10):2013-2018.
Greig-Smith P. 1983. Quantitative Plant Ecology. Studies in Ecology. Volume 9.
Oxford: Blackwell Scientific Publications.
Hairiah K, Ekadinata A, Sari RR, Rahayu S. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon:
dari tingkat lahan ke bentang lahan. Ed ke-2. Bogor (ID): World
Agroforestry Centre, ICRAF SEA Regional Office, University of Brawijaya.
Higgs AJ, Usher MB. 1980. Should reserves be large or small. Nature 285:568-
569.
Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara.
Iskandar. 2008. Teknik Keberhasilan Reklamasi dan Penutupan Tambang:
Keberhasilan Reklamasi Lahan Bekas Tambang untuk Tujuan Revegetasi.
Jakarta (ID): Pertemuan Teknis Lingkungan dan Penyerahaan Penghargaan
Lingkungan Pertambangan Ditjen Minerba Pabum, Dept. ESDM.
Kartawinata K. 2013. Diversitas Ekosistem Alami Indonesia: Ungkapan singkat
dengan sajian foto dan gambar. Jakarta (ID) : LIPI Press.
Kent M, Paddy C. 1992. Vegetation Description and Analysis: A Practical
Approach. London (UK): Belhaven Press.
Kent M, Paddy C. 1997. Vegetation Description and Analysis: A Practical
Approach. London (UK): CRC Press & Belhaven Press.
Kindt R, Coe R. 2005. Tree diversity analysis. A manual and software for common
statistical methods for ecological and biodiversity studies. Nairobi: World
Agroforestry Centre (ICRAF).
Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York (US): Harper and Row
Publishers.
Ludwig JA, Reynnolds JF. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and
computing. NewYork : Wiley.
Mansur I. 2011. Teknik Silvikultur untuk Reklamasi Lahan Bekas Tambang. Bogor
(ID): SEAMEO BIOTROP.
Magurran AE. 1998. Ecological Diversity and Meansurement. London: CromHelm
Limited.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. Malden(US): Blackwell.
Mawazin, Subiakto A. 2013. Keanekaragaman dan Komposisi Jenis Permudaan
Alam Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan di Riau. Indonesia Forest
Rehabilitation Journal Vol. 1 No. 1, September 2013: 59-73.
Mishler BD. 2001. The Biology of Bryophytes. American Journal of Botany 88
(11): 2129-2131.
31
Nooran R Fatmi. 2015. Model Penduga Sediaan Karbon menggunakan Citra
Landsat 8 di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. [Tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Odum EP. 1996. Dasar-dasar Ekologi T. Samingan, Terjemahan. Yogyakarta (ID):
Gadjah Mada University Press.
Oktavianto Berry. 2015. Pendugaan Biomassa Dan Karbon Atas Tanah Pada
Tegakan Pinus Di Lahan Paska Tambang Silika Holcim Educational Forest.
[Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana.
Prakoso P. 2015. Analisis Keberhasilan Reklamasi Lahan Pasca Tambang
Menggunakan Remote Sensing Di PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera
Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
PTFI. 2014. Laporan Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan 2014.
Papua (ID): PTFI.
PTFI. 2016. Laporan Pelaksanaan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Triwulan 1 2016. Papua (ID): PTFI.
Rahayu S, Lusiana B, Noordwijk M van. 2005. Cadangan Karbon Di Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Timur: Monitoring Secara Spasial dan Pemodelan.
(Online version), (www.worldagroforestrycentre.org, diakses 29 November
2009).
Rieseberg LH, Raymond O, Rosenthal DM, Lai Z, Livingstone K, Nakazato T,
Durphy JL, Schwarzbach AE, Donovan LA, Lexer C. 2003. Major Ecological
Transitions in Wild Sunflowers Facilitated by Hybridization. Science 301:
1211-1216. Rochmayanto Y, Wibowo A, Lugina M, Butarbutar T, Mulyadin RM, Wicaksono
D. 2014. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman
di Indonesia (Seri 2). Jakarta (ID): PT Kanisius.
Romadhon A. 2008. Kajian nilai ekologi melalui inventarisasi dan nilai indeks
penting (INP) Mangroe terhadap perlindungan lingkungan kepulauan
kangean. Embryo, Vol. 5 No. 1. Juni 2008: 82-97. Ruiz-Jane MC, Aide TM. 2005b. Vegetation structure, species diversity, and
ecosystem processes as measures of restoration success. Forest Ecology and
Management 218:159–173.
Santoso S. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta (ID): PT Elex
Media Komputindo.
Sari N. 2004. Status Kesuburan Tanah Di Daerah Reklamasi Tailing Dan Pengaruh
Keberadaan PT Freeport Indonesia Terhadap Pengembangan Wilayah Di
Sekitarnya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sembiring H, Lees HL, Raun WR, Johnson GV, Solie JB, Stone ML, DeLeon MJ,
Lukina EV, Cossey DA, LaRuffa JM, Woolfolk CW, Philips SB, Thomason
WE. 2000. Effect of growth stage and variety on spectral radiance in winter
wheat. J Plant Nutrition 23(1): 141-149.
Soerianegara I, Indrawan A. 2012. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2011. Pengukuran dan Perhitungan Cadangan
Karbon-Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan.
Jakarta(ID): Badan Standarisasi Nasional.
Stevens PF. (2001 onwards). Angiosperm Phylogeny Website. Version 8, June
2007 [and more or less continuously updated since].
32
http://www.mobot.org/MOBOT/research/APweb/. (Diakses pada 17
September 2016).
Suharti R. 2013. Keanekaragaman Lumut Sejati di Taman Nasional Gunung Merapi
Sleman, Yogyakarta. [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Susantyo JM. 2011. Inventarisasi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan di Kawasan
Taman Nasional Gunung Merapi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sutaryo D. 2009. Penghitungan Biomassa Sebuah Pengantar untuk Studi Karbon
dan Perdagangan Karbon. Bogor (ID) : Wetlands International Indonesia
Programme.
Swain PH, Davis SM. 1978 . Remote Sensing the Quantitative Approach. New York
(USA): British Library Cataloguing in Publication Data, Mcgraw- Hill.
Tappan GG, Tyler DJ, Wehde ME, and Moore DG. 1992. Monitoring rangeland
dynamics in Senegal with Advanced Very High Resolution Radiometer data.
Geocarto International 7(1):87-98.
Tunggadewi AT. 2014. Pemanfaatn Penginderaan Jauh untuk Estimasi Stok Karbon
di Area Reklamasi PT Antam UBPE Pongkor, Kabutapen Bogor. [Tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ulumuddin YI, Sulistyawati E, Hakim DM, Harto AB. 2005. Korelasi Stok Karbon
dengan Karakteristik Spektral Citra Landsat: Studi Kasus Gunung
Papandayan. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif
Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”. Surabaya
14 – 15 September 2005.
Uno B Hamzah, Herminanto Sofyan, Candiasa I Made. 2001. Pengembangan
Instrumen Untuk Penelitian. Jakarta (ID): Delima Press.
Walpole RE. 1982. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta (ID) : Gramedia
Pustaka Utama.
Wardle DA, Bardgett RD, Callaway RM, Van der Putten WH. 2011. Terrestrial
ecosystem responses to spesies gains and losses. Science 332: 1273-1277.
Windusari Y, Sari Nur AP, Yustian I, Zulkifli H. 2012. Estimation of carbon
biomass from the understorey and litter vegetation at tailings deposition area
of PT Freeport Indonesia. Biospecies, Volume 5 No. 1, Februari 2012, hlm
22-28.
Wulandari S, Sutarman, Darnius O. 2013. Perbandingan metode least trimmed
squares dan penaksir m dalam mengatasi permasalahan data pencilan. Saintia
Matematika. 1(1): 73-85.
Yani M. 2005. Reklamasi lahan bekas pertambangan dengan penanaman Jarak
Pagar (Jatropa curcas Linn). Di dalam : Seminar Reklamasi Lahan Bekas
Pertambangan; Bogor, 22 Desember 2005. Pusat Penelitian Surfaktan dan
Bioenergi LPPM – IPB.
33
Lampiran 1 Komposisi spesies tumbuhan di area alami Dugundugu (Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Anaphalis hellwegii 4 8000 1.5 0.6 7.0 8.5
2 Coprosma brasii 2 4000 0.8 0.6 7.0 7.7
3 Deschampsia caespitosa 2 4000 0.8 0.4 4.7 5.4
4 Deschampsia klosii 73 146000 27.8 1.0 11.6 39.4
5 Epilobium detzerianum 13 26000 4.9 0.6 7.0 11.9
6 Epilobium sp. 5 10000 1.9 0.6 7.0 8.9
7 Geranium monticola 12 24000 4.6 0.2 2.3 6.9
8 Myosotis australis 3 6000 1.1 0.4 4.7 5.8
9 Olearia lepidota 1 2000 0.4 0.2 2.3 2.7
10 Plantago sp. 20 40000 7.6 0.4 4.7 12.3
11 Potentila sp. 46 92000 17.5 1.0 11.6 29.1
12 Rhanunculus perindutus 1 2000 0.4 0.2 2.3 2.7
13 Sagina papuana 34 68000 12.9 0.4 4.7 17.6
14 Cyathea sp. 1 2000 0.4 0.2 2.3 2.7
15 Ischnea spathulata 1 2000 0.4 0.2 2.3 2.7
16 Styphelia suaveolens 18 36000 6.8 0.6 7.0 13.8
17 Tetramolipium sp. 4 8000 1.5 0.4 4.7 6.2
18 Vaccinium culminicolum 23 46000 8.7 0.6 7.0 15.7
Total 263 526000 100 8.6 100 200
Lampiran 2 Komposisi spesies tumbuhan di area Manado 2000 (Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Deschampsia caespitosa 43 13438 8.2 0.6 11.9 20.1
2 Deschampsia klosii 233 72813 44.5 1.0 19.0 63.5
3 Epilobium detzerianum 5 1563 1.0 0.3 4.8 5.7
4 Epilobium sp. 114 35625 21.8 1.0 19.0 40.8
5 Geranium monticola 62 19375 11.8 0.5 9.5 21.4
6 Olearia velutina 3 150 0.1 0.4 7.1 7.2
7 Poa Papuana 1 313 0.2 0.1 2.4 2.6
8 Podocarpus sp. 3 150 0.1 0.4 7.1 7.2
9 Potentila sp. 14 4375 2.7 0.1 2.4 5.1
10 Rhanunculus perindutus 10 3125 1.9 0.1 2.4 4.3
11 Sagina papuana 17 5313 3.2 0.3 4.8 8.0
12 Plantago potila 1 313 0.2 0.1 2.4 2.6
13 Ischnea spathulata 22 6875 4.2 0.1 2.4 6.6
14 Styphelia suaveolens 5 250 0.2 0.3 4.8 4.9
Total 533 163675 100 5.25 100 200
34
Lampiran 3 Komposisi spesies tumbuhan di area North Bunaken 2002 (Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Anaphalis hellwegii 4 1667 0.8 0.0 0.0 0.8
2 Coprosma brasii 8 3333 1.7 0.5 10.0 11.7
3 Deschampsia klosii 296 123333 61.2 1.0 20.0 81.2
4 Epilobium detzerianum 32 13333 6.6 0.3 6.7 13.3
5 Epilobium sp. 52 21667 10.7 0.7 13.3 24.1
6 Geranium monticola 28 11667 5.8 0.5 10.0 15.8
7 Myosotis australis 14 5833 2.9 0.3 6.7 9.6
8 Olearia velutina 5 2083 1.0 0.5 10.0 11.0
9 Plantago sp. 3 1250 0.6 0.3 6.7 7.3
10 Potentila sp. 13 5417 2.7 0.2 3.3 6.0
11 Sagina papuana 22 9167 4.5 0.3 6.7 11.2
12 Vaccinium culminicolum 7 2917 1.4 0.3 6.7 8.1
Total 484 201667 100 5 100 200
Lampiran 4 Komposisi spesies tumbuhan di area Midle Wanagon 2009 (Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Deschampsia caespitosa 8 6667 1.5 0.7 13.3 14.9
2 Deschampsia klosii 256 213333 48.9 1.0 20.0 68.9
3 Epilobium detzerianum 124 103333 23.7 1.0 20.0 43.7
4 Epilobium sp. 20 16667 3.8 0.7 13.3 17.2
5 Keysseria pinguiculiformis 3 2500 0.6 0.3 6.7 7.2
6 Plantago sp. 3 2500 0.6 0.3 6.7 7.2
7 Sagina papuana 110 91667 21.0 1.0 20.0 41.0
Total 524 436667 100 5 100 200
Lampiran 5 Komposisi spesies tumbuhan di area Kaimana 2010 (Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Deschampsia caespitosa 44 36667 13.7 0.7 16.7 30.3
2 Deschampsia klosii 185 154167 57.5 1.0 25.0 82.5
3 Epilobium detzerianum 50 41667 15.5 1.0 25.0 40.5
4 Sagina papuana 42 35000 13.0 1.0 25.0 38.0
5 Trachymene sp. 1 833 0.3 0.3 8.3 8.6
Total 322 268333 100 4 100 200
35
Lampiran 6 Komposisi spesies tumbuhan di area Batu Bersih 2011 (Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Deschampsia klosii 128 80000 49.6 1.0 25.0 74.6
2 Epilobium detzerianum 24 15000 9.3 0.8 18.8 28.1
3 Plantago sp. 7 4375 2.7 0.8 18.8 21.5
4 Poa Papuana 3 1875 1.2 0.5 12.5 13.7
5 Sagina papuana 96 60000 37.2 1.0 25.0 62.2
Total 258 161250 100 4 100 200
Lampiran 7 Komposisi spesies tumbuhan di area Koteka 2011 (Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Deschampsia klosii 148 123333 61.7 1.0 27.3 88.9
2 Epilobium detzerianum 53 44167 22.1 0.7 18.2 40.3
3 Epilobium sp. 16 13333 6.7 1.0 27.3 33.9
4 Sagina papuana 23 19167 9.6 1.0 27.3 36.9
Total 240 200000 100 3.7 100 200
Lampiran 8 Komposisi spesies tumbuhan di area South Bunaken 2009 (Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Anaphalis hellwegii 3 2500 0.9 0.3 10.0 10.9
2 Deschampsia klosii 198 165000 58.8 1.0 30.0 88.8
3 Epilobium detzerianum 96 80000 28.5 1.0 30.0 58.5
4 Sagina papuana 40 33333 11.9 1.0 30.0 41.9
Total 337 280833 100 3.3 100 200
Lampiran 9 Komposisi spesies tumbuhan di area alami DOM (Sub Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Anaphalis hellwegii 5 1786 0.7 0.3 1.9 2.5
2 Coprosma brasii 9 514 0.2 0.4 2.8 3.0
3 Deschampsia caespitosa 10 3571 1.3 0.4 2.8 4.1
4 Deschampsia klosii 312 111429 40.7 0.4 2.8 43.5
5 Podocarpus pilgeri 35 12500 4.6 0.4 2.8 7.4
6 Potentilla foersteriana 8 2857 1.0 0.3 1.9 2.9
7 Ranunculus minimifolius 10 3571 1.3 0.3 1.9 3.2
8 Ranunculus pseudolowii 10 3571 1.3 0.3 1.9 3.2
9 Potentilla audensis 8 2857 1.0 0.3 1.9 2.9
10 Plantago hooglandii 3 1071 0.4 0.3 1.9 2.3
11 Plantago aundensis 1 357 0.1 0.1 0.9 1.1
12 Dacrycarpus compactus 8 2857 1.0 0.1 0.9 2.0
36
Lampiran 9 Komposisi spesies tumbuhan di area alami DOM (Sub Alpin) (lanjutan)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
13 Elaeocarpus densiflorus 4 1429 0.5 0.1 0.9 1.5
14 Ischnea sp. 6 2143 0.8 0.1 0.9 1.7
15 Astelia alpina 19 6786 2.5 0.4 2.8 5.3
16 Dacrycarpus cinctus 2 714 0.3 0.4 2.8 3.1
17 Papuacalia cartenszensis 16 5714 2.1 0.4 2.8 4.9
18 Pilea sp. 15 5357 2.0 0.3 1.9 3.8
19 Astelia papuana 83 29643 10.8 0.6 3.7 14.6
20 Unidentified sp3 3 1071 0.4 0.1 0.9 1.3
21 Unidentified sp4 5 1786 0.7 0.1 0.9 1.6
22 Unidentified sp5 3 1071 0.4 0.1 0.9 1.3
23 Unidentified sp6 3 1071 0.4 0.1 0.9 1.3
24 Unidentified sp7 3 1071 0.4 0.1 0.9 1.3
25 Unidentified sp9 9 3214 1.2 0.1 0.9 2.1
26 Rhododendron rubiniflorum 6 2143 0.8 0.3 1.9 2.7
27 Vaccinium coelorum 4 1429 0.5 0.3 1.9 2.4
28 Tetramolopium macrum 20 7143 2.6 0.3 1.9 4.5
29 Tetramolopium klosii 6 2143 0.8 0.3 1.9 2.7
30 Epilobium detzerianum 27 9643 3.5 0.3 1.9 5.4
31 Epilobium sp. 21 7500 2.7 0.4 2.8 5.5
32 Myosotis australis 24 8571 3.1 0.4 2.8 5.9
33 Olearia lepidota 7 400 0.1 0.6 3.7 3.9
34 Olearia velutina 8 457 0.2 0.1 0.9 1.1
35 Podocarpus sp. 24 1371 0.5 1.0 6.5 7.0
36 Rhanunculus perindutus 16 5714 2.1 0.3 1.9 4.0
37 Rhanunpulus tridois 7 2500 0.9 0.3 1.9 2.8
38 Rhododendron culminicolum 5 286 0.1 0.3 1.9 2.0
39 Rhododendron versteegii 15 857 0.3 0.3 1.9 2.2
40 Rubus sp. 10 3571 1.3 0.4 2.8 4.1
41 Sagina papuana 2 714 0.3 0.1 0.9 1.2
42 Ischnea spathulata 11 3929 1.4 0.3 1.9 3.3
43 Ischnea elachoglossa 10 3571 1.3 0.3 1.9 3.2
44 Styphelia suaveolens 26 1486 0.5 0.9 5.6 6.1
45 Tasmania sp. 5 286 0.1 0.4 2.8 2.9
46 Vaccinium culminicolum 40 2286 0.8 0.7 4.7 5.5
Total 884 274014 100 15.2857 100 200
37
Lampiran 10 Komposisi spesies tumbuhan di area Cartenz Lower 2003 (Sub Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Anaphalis hellwegii 64 20000 3.0 1.0 9.5 12.5
2 Cardamine altigena 4 1250 0.2 0.1 1.2 1.4
3 Deschampsia klosii 971 303438 45.2 1.0 9.5 54.8
4 Unidentified sp8 48 15000 2.2 0.4 3.6 5.8
5 Epilobium detzerianum 34 10625 1.6 0.4 3.6 5.2
6 Epilobium sp. 346 108125 16.1 1.0 9.5 25.6
7 Geranium monticola 36 11250 1.7 0.6 6.0 7.6
8 Keysseria pinguiculiformis 8 2500 0.4 0.3 2.4 2.8
9 Myosotis australis 218 68125 10.2 0.9 8.3 18.5
10 Olearia lepidota 3 938 0.1 0.1 1.2 1.3
11 Olearia velutina 9 2813 0.4 0.4 3.6 4.0
12 Poa Papuana 103 32188 4.8 0.6 6.0 10.8
13 Polystichum cheilantoides 41 12813 1.9 0.4 3.6 5.5
14 Rhanunculus perindutus 13 4063 0.6 0.1 1.2 1.8
15 Rhanunpulus tridois 2 625 0.1 0.1 1.2 1.3
16 Rhododendron culminicolum 2 625 0.1 0.3 2.4 2.5
17 Rhododendron versteegii 2 625 0.1 0.1 1.2 1.3
18 Unidentified sp2 3 938 0.1 0.1 1.2 1.3
19 Sagina papuana 200 62500 9.3 0.9 8.3 17.7
20 Styphelia suaveolens 5 1563 0.2 0.4 3.6 3.8
21 Tasmania sp. 2 625 0.1 0.3 2.4 2.5
22 Tetramolipium sp. 5 1563 0.2 0.3 2.4 2.6
23 Trigonotis papuana 2 625 0.1 0.1 1.2 1.3
24 Vaccinium culminicolum 22 6875 1.0 0.6 6.0 7.0
25 Viola sp. 3 938 0.1 0.1 1.2 1.3
Total 2146 670625 100 10.5 100 200
Lampiran 11 Komposisi spesies tumbuhan di area Blitar 2010 (Sub Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Deschampsia caespitosa 11 6875 1.1 0.3 5.9 7.0
2 Deschampsia klosii 450 281250 46.9 1.0 23.5 70.4
3 Epilobium detzerianum 331 206875 34.5 1.0 23.5 58.0
4 Epilobium sp. 31 19375 3.2 0.8 17.6 20.9
5 Sagina papuana 129 80625 13.4 0.8 17.6 31.1
6 Oreobolus ambiguus 7 4375 0.7 0.3 5.9 6.6
7 Sclerantuhs singuliflorus 1 625 0.1 0.3 5.9 6.0
Total 960 600000 100 4.3 100 200
38
Lampiran 12 Komposisi spesies tumbuhan di area Cartenz Upper 2008 (Sub Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Anaphalis hellwegii 2 1667 0.5 0.3 5.9 6.4
2 Deschampsia caespitosa 16 13333 4.1 0.3 5.9 10.0
3 Deschampsia klosii 137 114167 35.1 1.0 17.6 52.8
4 Epilobium detzerianum 143 119167 36.7 1.0 17.6 54.3
5 Epilobium sp. 9 7500 2.3 0.3 5.9 8.2
6 Olearia velutina 1 133 0.0 0.3 5.9 5.9
7 Plantago sp. 2 1667 0.5 0.3 5.9 6.4
8 Poa Papuana 1 833 0.3 0.3 5.9 6.1
9 Sagina papuana 44 36667 11.3 1.0 17.6 28.9
10 Senecio brasii 35 29167 9.0 0.3 5.9 14.9
11 Vaccinium culminicolum 6 800 0.2 0.3 5.9 6.1
Total 396 325100 100 5.7 100 200
Lampiran 13 Komposisi spesies tumbuhan di area Surabaya 1999 (Sub Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Anaphalis hellwegii 2 1667 0.4 0.3 6.2 6.7
2 Deschampsia klosii 353 294167 76.3 1.0 18.7 95.1
3 Epilobium detzerianum 61 50833 13.2 1.0 18.7 31.9
4 Epilobium sp. 27 22500 5.8 1.0 18.7 24.6
5 Geranium monticola 3 2500 0.6 0.7 12.5 13.1
6 Myosotis australis 10 8333 2.2 0.3 6.2 8.4
7 Sagina papuana 5 4167 1.1 0.0 0.0 1.1
8 Styphelia suaveolens 7 933 0.2 0.7 12.5 12.7
9 Vaccinium culminicolum 2 267 0.1 0.3 6.2 6.3
Total 470 385367 100 5.3 100 200
Lampiran 14 Komposisi spesies tumbuhan di area Top HEAT Road 2011 (Sub
Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Deschampsia klosii 354 295000 58.3 1.0 25.0 83.3
2 Epilobium detzerianum 123 102500 20.3 1.0 25.0 45.3
3 Sagina papuana 125 104167 20.6 1.0 25.0 45.6
4 Unidentified sp1 3 2500 0.5 0.7 16.7 17.2
5 Vaccinium culminicolum 11 1467 0.3 0.3 8.3 8.6
Total 616 505633 100 4 100 200
39
Lampiran 15 Komposisi spesies tumbuhan di area Bali 2011 (Sub Alpin)
No Nama Spesies Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Deschampsia caespitosa 8 6666 1.3 0.3 11.1 12.4
2 Deschampsia klosii 282 235000 45 1.0 33.3 78.3
3 Epilobium sp. 207 172500 33 1.0 33.3 66.3
4 Sagina papuana 130 108333 21 0.7 22.2 43
Total 627 522500 100 3 100 200
Lampiran 16 Komposisi spesies tumbuhan di area Lower Wanagon (Sub Alpin)
No Nama Jenis Jumlah K
(ind/ha)
KR
(%) F
FR
(%)
INP
(%)
1 Anaphalis hellwegii 8 6667 1.0 1.0 16.7 17.7
2 Deschampsia caespitosa 16 13333 2.0 0.3 5.6 7.6
3 Deschampsia klosii 583 485833 74.1 1.0 16.7 90.7
4 Epilobium detzerianum 24 20000 3.0 0.7 11.1 14.2
5 Epilobium sp. 62 51667 7.9 0.3 5.6 13.4
6 Sagina papuana 71 59167 9.0 1.0 16.7 25.7
7 Keysseria wallastonii 9 7500 1.1 0.3 5.6 6.7
8 Dayeuxia brasii 9 7500 1.1 0.3 5.6 6.7
9 Rhanunculus tridens 2 1667 0.3 0.3 5.6 5.8
10 Potentila hooglandii 2 1667 0.3 0.3 5.6 5.8
11 Styphelia suaveolens 1 833 0.1 0.3 5.6 5.7
Total 787 655833 100 6 100 200
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tangal 26 Februari 1994.
Penulis merupakan anak terakhir dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Endang
Hasan dan Ibu Enjah Sadiah. Pada tahun 2012 penulis menamatkan pendidikan
sekolah menengah atas di MAN Model Cipasung Tasikmalaya. Penulis lulus
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) melalui jalur
undangan pada tahun yang sama dan diterima di Institut Pertanian Bogor di
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Selama mengikuti masa perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAOVA) sebagai
wakil ketua pada periode 2013/2014 dan menjadi Ketua Umum pada periode
2014/2015, dan sebagai anggota Kelompok Pemerhati Gua (KPG Hira). Penulis
juga aktif di berbagai Lembaga Kemahasiswaan antara lain sebagai anggota Forum
For Scientific Students (Forces) pada tahun 2012/2013, Staff PSDM di Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) TPB IPB pada tahun 2012/2013, Anggota di IPB
Political School 2012/2013.
Penulis telah mengikuti kegiatan Ekspedisi RAFFLESIA HIMAKOVA di
CA Gunung Tilu Bandung pada tahun 2014, Ekspedisi RAFFLESIA HIMAKOVA
di SM Cikepuh Sukabumi pada tahun 2015, Ekspedisi SURILI HIMAKOVA di TN
Tambora NTB pada tahun 2015, Ekspedisi Kawasan Karst di TN Puerto Princessa
Underground River di Filipina pada tahun 2015, Praktik Pengenalan Ekosistem
Hutan (PPEH) di Sancang Barat dan Kamojang pada tahun 2014, Praktik
Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi
pada tahun 2015, Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di TN Way Kambas pada
tahun 2016 dan menjadi tim Observasi Gua Wisata di Wabompi Yapen Timur
bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Yapen Timur – Papua pada tahun 2015.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis
melaksanakan penelitian di Kab. Mimika Papua dengan judul “Potensi Cadangan
Karbon di Vegetasi Alpin dan Sub Alpin Area Reklamasi Grasberg PT Freeport
Indonesia, Papua” dibawah bimbingan Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Dr
Ir Rachmad Hermawan, MScF.