Download - pendidikan pesantren
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi dewasa ini dan di masa yang akan datang sedang dan
akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia.
Hampir semua sendi kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat
dahsyat. Institusi sosial-kemasyarakatan, kenegaraan, keluarga, dan bahkan
institusi keagamaan, tidak lepas dari pengaruh arus globalisasi itu (Said Aqiel
Siradj, 1999: 141). Istilah institusi keagamaan ini, yang dimaksud adalah
lembaga pendidikan keagamaan (Pesantren).
Dalam kaitannya dengan pendidikan, modernisasi dapat dilihat dari dua
segi, baik dari segi variabel modernisasi ataupun sebagai objek modernisasi
(Azyumardi Azra, 2001: 2). Dalam konteks ini, pendidikan secara umum masih
dianggap terbelakang dalam berbagai hal, oleh karenanya sistem pendidikan yang
ada harus diperbaharui/dimodernisasi (Ismail SM, 2002: 91), termasuk
pendidikan Islam. Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, yang berkaitan
erat dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam, mempengaruhi dinamika
keilmuan di lingkungan pesantren. Modernisasi sistem pendidikan pesantren itu
dapat mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern, seperti
kurikulum, teknik dan metode pengajarannya (Azyumardi Azra, 2001: 90-91).
Dunia pesantren dalam gambaran keseluruhan memperlihatkan dirinya
sebagai parameter, suatu faktor yang secara tebal mewarnai kehidupan kelompok
masyarakat luas, tetapi dirinya sendiri tak kunjung berubah dan mengikuti
-
2
dinamika yang ada pada masyarakat sekelilingnya. Hal yang demikian dapat
melahirkan sebuah gambaran bahwa pesantren merupakan suatu pribadi yang
sulit untuk mengikuti perubahan, keadaan ini memunculkan pandangan bahwa
dunia pesantren adalah sebagai sebuah kehidupan yang terbelakang dan
tradisional (M. Dawam Raharjo, 1995: xiii).
Istilah tradisional yang menjadi predikat lembaga pendidikan pesantren,
suatu kondisi yang masih terkuat dengan pikiran-pikiran para ulama ahli Fiqh,
Hadits, Tafsir, Kalam serta Tasawuf yang hidup pada abad ke-7 hingga abad ke-
13. Meskipun demikian, bukan berarti pesantren sekarang tetap terbelenggu
dalam bentuk-bentuk pikiran dan aspirasi yang diciptakan para ulama pada masa
itu. Memang abad ke-13 hingga akhir abad ke-19 pesantren tradisional sedikit
sekali mengalami perubahan, namun dalam struktur kehidupan pesantren lebih
banyak mengalami perubahan (Zubaidi Habibullah Asari, 1995: 17-18).
Memasuki abad ke-20 pesantren telah banyak mengalami perubahan dari predikat
tradisional menuju modern dan tidak meninggalkan ciri dari pesantren itu sendiri,
seperti pesantren Futuhiyah Mranggen Demak, pesantren Al-Munawir Krapyak
Yogyakarta dan lain sebagainya telah lama membuka pintunya bagi unsur
modernitas (Asyhuri, 1989: 28-29).
Pondok pesantren tradisional/salafi sudah ikut atau terbukti bisa
mencetak generasi-generasi Islam yang unggul dan cerdas. Dalam pengajaran
masih menggunakan sistem trasisional, dengan perkembangan zaman sekarang
pondok pesantren salafi tidak banyak peminatnya, kaena ada beberapa pondok
yang tidak mau merubah cara pengajarannya. Bisa di lihat sekarang banyak
pondok pesantren yang banyak ditinggalkan para santrinya, tetapi ada juga
-
3
pondok pesantren yang berinisiatif merubah sistem pengajarannya menjadi
moderen ternyata banyak para santri yang berminat.
Predikat keterbelakangan dan ketradisionalan yang identik dengan
pesantren sebagaimana diteorikan oleh para penulis tidak selalu benar. Perubahan
ini menjadi tantangan baru bagi pesantren untuk terus melakukan modernisasi dan
inovasi agar pendidikan pesantren mampu mengikuti perkembangan zaman. Jika
pesantren mampu menjawab tantangan itu, maka akan memperoleh kualifikasi
sebagai lembaga pendidikan yang modern, tetapi sebaliknya, jika kurang mampu
memberikan apresiasi dan respon terhadap kehidupan modern, maka dapat
dikatakan sebagai pesantren yang memiliki label ketinggalan zaman seperti kolot
dan konservatif (Nurcholish Madjid, 1997: 88).
Proses perubahan yang terjadi di berbagai pondok pesantren pasca abad
ke-19 pada dasarnya merupakan upaya pesantren secara perlahan-lahan dalam
rangka membuka diri bagi masuknya modernisasi. Modernisasi dalam tubuh
pesantren berarti sebuah proses menuju perubahan. Modernisasi dapat diartikan
sebagai suatu proses perubahan sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat
untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan masa kini (Anton M. Moeliono, 1989:
589).
Tantangan zaman modern pada hakekatnya adalah tantangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada masa awalnya implikasi dari kemodernan itu
jelas positif, yaitu berupa kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam dunia pesantren, wawasan santri terhadap
dunia luar kian terbuka. Pesantren bukan lagi komunitas eksklusif seperti
dirasakan pada zaman-zaman pra kemerdekaan, namun setelah masa
-
4
kemerdekaan hingga dewasa ini telah banyak lulusan out put dari pesantren yang
telah memiliki bekal untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran
baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren (Mansur, 2004: 9-10). Seperti
adanya ekspansi sistem pendidikan umum yang berasal dari pemerintah dengan
memperluas cakupan pendidikan mereka. Sedikitnya ada dua cara yang
dilakukan pesantren dalam hal ini, (1) merevisi kurikulumnya dengan
memasukkan mata pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum; (2)
membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan
pendidikan (Azyumardi Azra, 2001: 102).
Clifford Geertz meramalkan bahwa jika pesantren tidak dapat memenuhi
dua peranan, yakni menyediakan pendidikan agama dan sekuler sekaligus, kyai
tidak dapat memimpin Indonesia lebih lama lagi. lebih dari itu, dia hanya punya
sedikit harapan yang akan terwujud. Buku ini mendokumentasikan bagaimana
dunia pesantren berhasil mengenali kebutuhan bangsa Indonesia, baik kebutuhan
terhadap tenaga kerja yang bermoral, maupun terhadap pemimpin yang agamis.
Karena itu sistem pendidikannya berusaha mencetak keduanya (Ronald Alan
Lukens-Bull, 2004: 250-251).
Kurikulum pesantren tidak hanya menyangkut pendidikan, tetapi juga
bagaimana corak masyarakat Indonesia di masa yang akan datang, bagaimana
Indonesia termasuk pesantren modernisasi diri tanpa harus jatuh pada perangkap
moral. Untuk mencapai tujuan tersebut, agar merekonstruksi kembali kebutuhan-
kebutuhan masyarakat. Jika tidak berpartisipasi dalam rekonstruksi ini, maka
pesantren akan kehilangan relevansinya. Di masa yang akan datang, pesantren
harus mampu membuat dua kontribusi buat masyarakat yaitu tenaga kerja yang
-
5
memiliki moral dan etika pesantren, serta ulama yang dapat berpartisipasi dalam
globalisasi yang masyarakatnya berorientasi teknologi.
Sedangkan implikasi negatifnya adalah merosotnya nilai-nilai kehidupan
rohani, tercabutnya budaya-budaya lokal, dan degradasi moral (terutama) yang
melanda generasi muda (Nurcholish Madjid, 1997: 89). Akibatnya, seperti
anggapan masyarakat selama ini, terjadi kemerosotan terhadap out put produk
sistem pesantren. Begitu juga, terjadinya kelangkaan yang berkapasitas sebagai
Pewaris Nabi (warastsatul Anbiya) (Mansur, 2004: 11). Oleh karenanya Gus
Zaenal dalam bukunya Runtuhnya Singgasana Kyai tengah berupaya
mengembalikan dunia pesantren kepada fitrah-nya, yakni sebagai lembaga
pendidikan yang lebih mengedepankan kualitas moral (akhlaqul karimah,
intelektual dan spiritual) (Zainal Arifin Thoha, 2003: 7).
Dengan demikian, perlu dicermati bahwa dalam menghadapi semua
perubahan dan tantangan itu, para eksponen kelembagaan pesantren menjadi
lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya. Tetapi sebailknya cenderung
mempertahankan kebijaksanaan hati-hatiti; mereka menerima baharuan
(modernisasi) pendidikan Islam hanya dalam skala yang sangat terbatas, sebatas
mampu menjamin pesantren untuk bisa tetap survive (Azyumardi Azra, 1996: 7).
Adapun berbagai model pesantren sekarang yang dipandang sebagai
pesantren modern adalah sebagai pesantren yang disamping tetap melestarikan
unsur-unsur utama pesantren, juga memasukkan unsur-unsur modern, hal ini
ditandai dengan adanya perubahan kurikulum, kelembagaan dan metode
pengajarannya, dan masih banyak lagi unsur-unsur yang menuju kemodernan
(Depag RI, 2003: 8).
-
6
Bertolak dari pernyataan di atas, maka muncul permasalahan bahwa
adanya pesantren modern dengan segala unsur-unsurnya mampu menciptakan
kyai dan menciptakan tenaga skil yang islami Lembaga pendidikan Islam
moderen, misalnya di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Kecamatan
Susukan Kabupaten Semarang mempunyai andil yang cukup besar dalam
mencerdaskan anak bangsa. Selain biaya pendidikan rendah dan dapat terjangkau
oleh lapisan masyarakat, lembaga pendidikan Islam Pondok Bina Insani dapat
dijadikan sebagai pandangan dan harapan masyarakat untuk menitipkan putra-
putrinya mengikuti proses pembelajaran yang dimulai dari tingkat SMP sampai
SMA. Masyarakat memiliki harapan positif, karena menitipkan putra-putri di
lembaga pendidikan Islam Pondok Pesantren Bina Insani selain mendapat ilmu
pengetahuan umum juga mendapatkan ilmu keagamaan yang dapat diterima,
dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga diharapkan
anak terbentuk menjadi anak yang sholeh.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, penulis tertarik dan
akan mengadakan penelitian terkait dengan : Pandangan dan Harapan
Masyarakat terhadap Lembaga Pendidikan Islam Moderen (Study Kasus pada
Masyarakat Sekitar Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang).
B. Fokus Penelitian
1. Bagaimanakah pengelolaan lembaga pendidikan Islam Moderen Pondok
Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang ?
2. Bagaimanakah pandangan masyarakat terhadap lembaga pendidkan Islam
Moderen di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang ?
-
7
3. Bagaimanakah harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam
Moderen di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian di Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang
antara lain :
1. Untuk mengetahui pengelolaan lembaga pendidikan Islami Moderen di
Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang.
2. Untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam
moderen di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang.
3. Untuk mengetahui harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam
moderen di Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan Semarang.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kegunaan
penelitian secara teoritis dan praktis.
1. Teoritis
a. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pengembangan
salah satu teori yang dapat dipakai dalam pandangan dan harapan
masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam moderen di Pondok Bina
Insani Ketapang Susukan Semarang.
b. Penelitian ini dapat berguna sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya.
-
8
2. Praktis
a. Masyarakat
Masyarakat memiliki andil yang cukup besar dalam memiliki
pandangan dan harapan tentang lembaga pendidikan islam moderen di
Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang. Penelitian yang
dilakukan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi masyarakat di
lingkungan Ketapang Kecamatan Susukan tentang keberadaan Pondok
Bina Insani Ketapang Susukan Semarang yang secara langsung
memberikan kemantapan dalam menitipkan putra-putri di Pondok Bina
Insani Ketapang Susukan Semarang.
b. Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang
Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang merupakan
lembaga pendidikan baik formal maupun non formal untuk membantu
mendidik putra-putri anak masyarakat muslim di lingkungan Ketapang
Kecamatan Susukan. Penelitian yang telah dilakukan dapat dijadikan
sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pembelajaran secara
maksimal.
E. Penegasan Istilah
1. Pandangan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Moderen
Pandangan berasal dari kata pandang dan akhiran an. Pandang :
penglihatan yang tetap dan agak lama (Tri Kurnia Nurhayati, 2003: 510).
Harapan berasal dari kata dasar harap mendapat akhiran an. Harapan : selalu
-
9
berharap; selalu rindu (akan); selalu menanti (Tri Kurnia Nurhayati, 2003:
272).
Lembaga : asal mula yang akan menjadi sesuatu, organisasi yang
bermaksud melakukan sesuatu penyelidikan keilmuan atau melakukan sesuatu
usaha (Tri Kurnia Nurhayati, 2003: 424). Pendidikan : usaha sadar untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (SISDIKNAS, 1995 : 2-
3). Islam merupakan agama yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW
untuk disampaikan kepada pengikutnya (sebagai penyempurna agama
terdahulu). Moderen yang terbaru (Tri Kurnia Nurhayati, 2003: 465).
Pandangan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam moderen
merupakan salah satu pandangan, bahwa keberadaan lembaga pendidikan
Islam akan mampu mengikuti perkembangan teknologi, yang selanjutnya
pendidikan moderen itu pada prinsipnya akan mempelajari pelajaran umum
dan pendidikan agama yang di kemas sedemikian rupa. Pada prinsipnya
pendidikan Islam moderen itu mampu menerima perkembangan teknologi
yang dikaitkan dengan dasar hukum baik dalam Al Quran maupun hadits.
2. Harapan Masyarakat terhadap lembaga Pendidikan Islam Moderen
Masyarakat akan memiliki harapan yang baik apabila pendidikan Islam
itu betul-betul dapat dilaksanakan secara moderen. Artinya baik pendidikan
agama dan pendidikan umum dalam pendidikan Islam betul-betul dipelajari
pada akhirnya mampu menghantarkan peserta didik menjadi anak yang cerdas
dan beriman. Harapan masyarakat jangan sampai masyarakat muslim
tertinggal dengan pendidikan umum. Perpaduan pendidikan umum dan
-
10
agama merupakan salah satu pendidikan moderen, sebab didalamnya akan
terdapat muatan kurikulum yang sama-sama dibutuhkan oleh lembaga
pendidikan Islam.
Masyarakat akan lebih senang apabila, anak yang dititipkan di lembaga
pendidikan Islam itu betul-betul mendapatkan pelajaran agama dan umum,
sehingga setelah anak belajar dalam kurun waktu tertentu diharapkan menjadi
anak yang sholeh.
3. Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang
Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang merupakan salah
satu pondok yang didirikan oleh masyarakat muslim di Desa Ketapang
Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang yang dapat dijadikan sebagai
tempat untuk memberikan ilmu pengetahuan umum dan agama, sehingga
mampu membantu masyarakat untuk membina generas-generasi Islami untuk
berkembang secara baik sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif merupakan penelitian yang
menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis
statistik atau cara kuantitatif lainnya. Penelitian kualitatif adalah : Penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-
lain (Lexy J. Moleong, 2008: 6).
-
11
Penelitian kualitatif dalam hal ini merupakan penelitian dengan
mengadakan pendekatan-pendekatan pandangan dan harapan masyarakat
terhadap lembaga pendidikan Islam moderen di Pondok Bina Insani Ketapang
Susukan Semarang.
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus sebagai pengumpulan
data tentang pandangan dan harapan masyarakat terhadap lembaga pendidikan
formal di Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang. Peneliti sebagai
partisipan penuh, pengamat partisipan atau pengamat penuh terhadap
keberadaan Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di laksanakan di Pondok Bina Insani Ketapang
Susukan Semarang, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut ;
Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang terletak di lokasi pedesaan
dan bersahabat dengan masyarakat yang mayoritas beragama Islam.
Kesederhanaan Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang dalam
melaksanakan pembelajaran dapat diterima oleh lapisan masyarakat bawah,
menengah dan atas. Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang
merupakan satu-satunya pondok yang ada di Ketapang yang selalu
mengedepankan kepentingan masyarakat dalam meningkatkan kemampuan
baik dalam pengetahuan umum maupun pengetahuan agama.
-
12
4. Sumber Data
Sebagai sumber data dalam penelitian tentang pandangan dan harapan
masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam moderen di Pondok Bina
Insani Ketapang Susukan Semarang ditujukan kepada informan yang
meliputi : masyarakat dan pengelola Pondok Bina Insani Ketapang Susukan
Semarang dan santri yang secara langsung telibat di dalamnya.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara,
diantaranya:
a. Observasi
Observasi adalah : Pengamatan; peninjauan secara cermat (Tri
Kurnia Nurhayati, 2004: 483). Observasi dilakukan untuk mengadakan
pengamatan dan pencatatan secara langsung tentang lembaga pendidikan
Islam moderen di Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang yang
dilakukan secara langsung dan berkesinambungan sampai betul-betul
mendapatkan data yang diharapkan.
b. Wawancara
Wawancara adalah : Tanya jawab peneliti dengan nara sumber
(Tri Kurnia Nurhayati, 2004: 928). Wawancara dilakukan untuk
memperoleh data yang secara langsung berhadap-hadapan dengan
informan yaitu : masyarakat, tokoh masyarakat, wali santri dan pengelola
Pondok Bina Insani Ketapang Susukan Semarang dan santri.
-
13
Pengumpulan data melalui wawancara dapat dijadikan sebagai
perolehan data yang kongrit di lapangan yang nantinya dapat dijadikan
sebagai data yang dapat diuji kebenarannya.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah : Pemberian atau pengumpulan bukti-bukti
dan sebagainya (Tri Kurnia Nurhayati, 2004: 200). Pengumpulan data
melalui dikumentasi diperoleh dengan jalan mempelajari data/dokumen
yang ada di lingkungan Pondok Pesantren Bina Insani Ketapang Susukan
Semarang dan gambar-gambar kegiatan yang dapat mendukung peneliti.
6. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah seluruh data di peroleh di Pondok
Peseanteren Bina Insani Ketapang Susukan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Analisis dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data dapat diartikan sebagai pengumpulan berbagai nara
sumber data dilapangan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian mulai
dari observasi, dokumentasi maupun wawancara sehingga data yang
diperoleh merupakan data yang kongrit dan dapat diuji kebenarannya.
b. Penyajian Data
Data yang telah dikumpulkan perlu disajikan semaksimal mungkin
untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada. Penyajian data
digunakan untuk menyajikan data yang akutar dari hasil reduksi data baik
melalui observasi, dokumentasi maupun wawancara. Tujuannya agar
-
14
supaya penyajian data yang disusun secara sitematis dapat mudah dibaca
atau dipahami secara keseluruhan oleh pembaca, sehingga data yang
disajikan mudah dipahami dan dapat teruji kebenarannya.
-
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pandangan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Moderen
1. Pengertian Pandangan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan
Islam Moderen
Masyarakat adalah: pergaulan hidup manusia yang hidup bersama
dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu (Tri Kurnia
Nurhayati, 2003: 455). Masyarakat ialah : Setiap kumpulan manusia yang
mengikat dan mempersatukan anggota-anggotanya dengan ikatan materi dan
moriel (Fadhil Al Djamali, 1992: 67). Dalam konteks kemanusiaan,
masyarakat dibentuk dan membentuk dengan sendirinya dengan tujuan untuk
saling menguatkan, saling menolong, dan saling menyempurnakan (Nanih
Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, 2001: 5).
Secara sederhana masyarakat dapat diartikan : sebagai kumpulan
individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan Negara, kebudayaan dan
agama (Zakiah Daradjat, 2009: 44). Masyarakat merupakan ikatan-ikatan
dari beberapa anggota keluarga di suatu tempat yang telah melakukan
aktivitas-aktivitas kehidupan sesuai dengan keadaan sosial, sehingga dengan
ikatan yang ada mampu menyatukan dalam suatu kelompok yang akhirnya
mampu membentuk pengaruh timbal balik dalam masyarakat terhadap semua
aspek kehidupan yang mencakup diantaranya :
a. Hubungan antara pertumbuhan penduduk dan produksi, distribusi dan penyediaan kebutuhan hidup pokok manusia (pangan, sandang, dan
papan).
15
-
16
b. Hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi, sosial/budaya dan politik, ketahanan nasional dan keamanan.
c. Hambatan-hambatan terhadap diterimanya norma keluarga kecil oleh keluarga Indonesia, dengan latar belakang kehidupan ekonomi, sosial-
budaya dan agama yang berbeda-beda. (Maftuchah Yusuf, 1985 : ix).
Pandangan masyarakat berdampak pada kegiatan sosial, ini akan terjadi
keberadaan lingkungan sosial. Lingkungan sosial yaitu merupakan
lingkungan masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi individu dengan
individu yang lain, (Bimo Walgito, 2003 : 27). Kehidupan masyarakat di
lingkungan pada umumnya akan terjadi hubungan timbal balik (interaksi) di
antara masyarakat. Dalam hal ini akan terjadi sikap individu terhadap
keberadaan lingkungan di antaranya :
a. Individu menolak lingkungan, yaitu bila individu tidak sesuai dengan keadaan lingkungannya.
b. Individu menerima lingkungan, yaitu bila keadaan lingkungan sesuai atau cocok dengan keadaan individu.
c. Invididu bersikap netral atau statuskup, yaitu bila individu tidak cocok dengan keadaan lingkungan, tetapi individu tidak mengambil langkah-
langkah bagaimana sebaiknya. (Bimo Walgito, 2003 : 27-28).
Keberadaan masyarakat akan tercipta kegiatan belajar. Kehidupan
masyarakat selalu diikuti oleh kegiatan belajar baik yang menyangkut urusan
dunia maupun urusan akhirat. Kegiatan masyarakat belajar berlangsung
seumur hidup. Ketika anak yang baru lahir secara langsung sudah melakukan
belajar, bahkan sampai mau meninggal dunia masih dituntun untuk
mengucapkan kalimat-kalimat yang baik supaya kehidupan selanjutnya
mendapatkan tempat yang layak. Pandangan masyarakat terhadap lembaga
pendidikan Islam moderen secara umum sangat Baik masyarakat menengah
maupun bawah akan memiliki penilaian yang tidak sama.
-
17
Masyarakat menengah merupakan salah satu keberadaan masyarakat
yang memiliki kemampuan yang ada di tengah-tengah. Artinya tingkat
ekonomi dan pendidikan ada di posisi tengah. Jika di lihat dari segi ekonomi
tidak kaya dan tidak miskin, tetapi dalam kehidupan masyarakat dapat
berjalan namun pada kebutuhan yang pas-pasan. Dalam hal belajar
masyarakat menengah memiliki kesempatan untuk menikmati, sehingga
mampu menghantarkan pada kecerdasan masyarakat. Laju kehidupan yang
berlangsung saat ini sangat cepat, dinamis dan diwarnai dengan kompetisi
yang sangat tajam, sehingga mau tidak mau menuntut setiap orang untuk
senantiasa belajar agar dia memiliki kemamuan antisipatif dan adaptif untuk
mencegah dan mengatasi berbagai masalah kehidupan yang serba kompleks
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/05/16/menuju-masyarakat-
belajar: 1).
Masyarakat memiliki peran dalam proses pendidikan karena anak
ternyata lebih sering berada di luar rumah daripada di dalam rumah maupun di
sekolah (Moh. Roqib, 2009: 128). Karena itu, masyarakat berperan
membentuk dan mengembangkan nilai setiap anak yang hidup dan bergaul di
dalamnya.
Masyarakat atas merupakan masyarakat yang kehidupannya berada
pada posisi kecukupan segala-galanya, baik sandang, papan dan pangan.
Kehidupan masyarakat atas dalam segala hal sudah dapat dinikmati dan tidak
kekurangan apapun. Sehingga keberadaan masyarakat atas yang serba
tercukupi akan memberikan dampak pada kehidupan tingkat masyarakat lain.
-
18
Dilihat dari keadaan masyaraka atas yang serta ada yang ditunjang
oleh berbagai macam fasilitas-fasilitas memberikan leluasa bagi masyarakat
untuk melakukan kegiatan dalam segala bidang. Sehingga di tuntut
kedewasaan yang dilandasi oleh iman dan taqwa yang dapat dijadikan sebagai
bentuk kepedulian memberikan contoh bagi masyarakat bawah. Segala bentuk
aktivitas masyarakat atas akan di jadikan sebagai tauladan bagi masyarakat
lain. Artinya tolok ukur masyarakat atas di tengah-tengah masyarakat
memberikan pengaruh yang besar terhadap kehidupan bermasyarakat.
Tingkatan pandangan dan harapan masyarakat dapat diartikan
sebagai salah satu tingkatan masyarakat dalam memberikan pandangan
terhadap sesuatu, yang mana di dalam pandangan masyarakat terdapat
tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda yang disebabkan adanya perbedaan
masyarakat.
Masyarakat memadang lembaga pendidikan (sekolah) sebagai cara
yang menyakinkan dalam membina perkembangan para siswa (dan
mahasiswa), karena itu masyarakat berpartisipasi dan setia kepadanya (Made
Pidarta, 2004: 185). Namun hal ini tidak otomatis terjadi terutama di Negara-
negara berkembang termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan karena banyak
warga masyarakat yang belum paham akan makna lembaga pendidikan, lebih-
lebih bila kondisi social ekonomi mereka rendah, mereka hamper tidak hirau
akan lembaga pendidikan. Pusat perhatian adalah pada kebutuhan dasar
kehidupan sehari-hari.
-
19
Komunikasi tentang pendidikan kepada masyarakat tidak cukup
hanya dengan informasi verbal saja. Informasi ini perlu dilengkapi dengan
pengalaman nyata yang ditunjukkan kepada masyarakat, agar timbul cinta
positif tentang pendidikan di kalangan mereka. Masyarakat umum pada
umumnya memang ingin bukti nyata sebelum mereka memberi dukungan
terhadap sesuatu. Begitu pula hanya dengan pendidikan, mereka juga ingin
minta bukti. Hal ini perlu diusahakan oleh para manajer pendidikan, misalnya
lewat pameran setahun sekali.
Dilihat dari segi pendidikan, masyarakat memiliki peranan yang
penting. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Sistim Pendidikan Bab XIII
pasal 47 ayat 1 dan 2 (Sisdiknas, 1994: 18): 1). Masyarakat sebagai mitra
pemerintah berkesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional, 2). Ciri khas satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan. Masyarakat memiliki
peranan penting dalam menyelenggarakan pendidikan nasional, yang
selanjutnya masyarakat memiliki kemampuan berusaha secara maksimal
menyelenggarakan lembaga pendidikan mulai dari dasar sampai perguruan
tinggi dengan harapan membantu pemerintah dalam mencerdaskan
masyarakat.
Walaupun masyarakat mempunyai kewajiban mendirikan lembaga
pendidikan, pada prinsipnya masyarakat juga menempatkan guru pada tempat
yang lebih terhormat di lingkungannya kaena dari seorang guru diharapkan
masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan (Moh. Uzer Usman, 1992:
4). Hal ini berarti bahwa guru berkewajiban mencerdaskan bangsa menuju
-
20
kepada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasarkan
Pancasilan.
Masyarakat dapat diartikan sebagai bentuk kehidupan sosial dan
merupakan perluasan dari keluarga (Suparlan Suhartono, 2007: 158-159).
Karena itu, suatu kehidupan masyarakat mempunyai bentuk dan struktur
berdasarkan tata nilai dan tata budaya sendiri. Tujuan pandangan dan
harapan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan adalah: iuran
sebagai sumber daya manusia (SDM) yang cerdas intelektual dan dapat
difungsikan jika masyarakat menindaklanjuti pembelajaran tersebut dalam
setiap kegiatan bidang hidup masyarakat. Setiap manusia memiliki
kesamaan, bahwa tujuan dan pandangan hidup pada akhirnya untuk mencapai
suatu kebahagiaan baik kebahagiaan yang dialami di dunia maupun
kebahagiaan nanti di akhirat.
Karena kebahagiaan selalu diutamakan, tentunya dalam kehidupan ini
masyarakat selalu berlomba-lomba untuk menjadi masyarakat yang baik, taat
dan patuh baik dalam melaksanakan ajaran agama maupun peraturan
pemerintah yang berlaku.
Kemampuan masyarakat di antara yang satu dengan lainnya memiliki
perbedaan-perbedaan, yang disebakan tingkat IQ dan kemampuan lain tidak
sama. Akibatnya dalam memperoleh tujuan di antara masyarakat yang satu
dengan lainnya memiliki perbedaan-perbedaan yang disesuaikan dengan
tingkat kemampuan dan usaha yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Bekerja dengan keras dan berdoa salah satu factor yang mampu
-
21
menghantarkan pada pencapaian tujuan yang diharapkan masyarakat pada
umumnya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pandangan Masyarakat terhadap
Lembaga Pendidikan Islam Moderen
Faktor-faktor yang mempenaruhi pandangan masyarakat terhadap
lembaga pendidikan Islam moderen secara umum dipengaruhi oleh faktor
yang berasal dari dalam diri sendiri dan dari luar diri sendiri. Karena itu dalam
pembentukan kepribadian faktor individu sendiri akan ikut serta menentukan
terbentuknya kepribadian masyarakat (Bimo Walgito, 2003 : 135)
i. Faktor individu itu sendiri atau faktor dalam
Bagaimana individu menanggapi dunia luarnya bersifat selektif, ini
berarti bahwa apa yang datang dari luar tidak semuanya begitu saja
diterima, tetapi individu mengadakan seleksi mana yang akan diterima,
dan mana yang akan ditolaknya. Hal ini berkaitan erat dengan apa yang
telah ada dalam diri individu dalam menanggapi pengaruh dari luar
tersebut. Hal ini akan menentukan apakah sesuatu dari luar itu dapat
diterima atau tidak, karena itu faktor individu justru merupakan faktor
penentu.
ii. Faktor luar atau faktor ekstern
Yang dimaksud dengan faktor luar adalah hal-hal atau keadaan
yang ada di luar diri individu yang merupakan stimulus untuk membentuk
atau mengubah sikap. Dalam hal ini dapat terjadi dengan langsung, dalam
arti adanya hubungan secara langsung antara individu dengan individu
-
22
yang lain, antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan
kelompok. Di samping itu dapat secara tidak langsung, yaitu dengan
perantaraan alat-alat komunikasi, misal media massa baik yang elektronik
maupun yang non-elektronik.
Hubungan yang secara langsung ini dapat dengan sengaja
diberikan, misal adanya komunikator yang dengan sengaja memberikan
sesuatu dengan tujuan untuk membentuk atau mengubah sesuatu
kepribadian tertentu, dan ada yang secara tidak langsung atau tidak
sengaja diberikan, yaitu menciptakan situasi yang memungkinkan dapat
menimbulkan perubahan atau pembentukan sesuatu kepribadian yang
dikehendaki oleh masyarakat yang berkenaan dengan harapan pendidikan
islam yang moderen.
Menurut Hibana S Rahman (2002 : 37) banyak hal yang dapat
mempengaruhi kondisi anak usia dini, secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu : kondisi bawaan dan kondisi
lingkungan.
Lingkungan dalam kandungan sangat penting bagi perkembangan
masyarakat dalam pemahaman pendidikan agama Islam. Karena
perkembangan janin dalam kandungan mengalami kecepatan luar biasa,
lebih cepat 200.000 kali dibanding perkembangan sesudah lahir.
Kemudian di luar kandungan, juga besar pengaruhnya terhadap
perkembangan anak usia dini. Sebab anak belajar dari apa yang dilihat,
didengar dan dirasakan, akan menjadi bagaimana seorang anak sangat
dipengaruhi oleh bagaimana lingkungan memperlakukan dia.
-
23
Perlu diketahui bahwa sebaik-baiknya kalbu seseorang adalah
ketika dia mampu mengendalikan jasadnya agar selalu melakukan banyak
kebaikan, menjalankan segala bentuk syariat agama dengan penuh
kesadaran dan penghayatan (Muhammad Nur Abdul Hafizh, 1999 : 161).
Untuk memberikan pengetahuan keagaman kepada anak sejak dini perlu
diberikan pembinaan, sebab pribadi yang telah dihiasi dengan pembinaan
dan pendidikan, memiliki pengaruh yang sangat luar biasa dalam
kehidupan pribadi seseorang khususnya dan bagi masyarakat pada
umumnya. Pribadi anak seperti ini tidak akan didapatkan kecuali apabila
dia telah dididik serta dibina dari segala aspek kehidupan yang dia
butuhkan. Dan tidak cukup pembinaan ini didapatkan bersandarkan aspek
lahir dalam diri anak saja, tetapi aspek batin juga merupakan kebutuhan
anak yang harus terpenuhi.
Menurut Muh. S. Darwis (2006 : 206) lingkungan merupakan
tempat dimana manusia melaksanakan aktifitas-aktifitasnya terutama
dalam pendalaman agama Islam.
1) Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan sebuah institusi kecil dimana anak
mengenali masa-masa pertumbuhannya. Keluarga merupakan
madrasah bagi anak. Pendidikan yang didapatkan merupakan pondasi
baginya dalam pembentukan watak, kepribadian dan karakternya.
Jika anak dalam keluarga senantiasa terdidik dalam warna
keislaman maka kepribadiannya akan terbentuk dengan warna
keislaman tersebut. Namun sebaliknya jika anak tumbuh dalam
-
24
suasana yang jauh dari nilai-nilai keislaman, maka jelas kelak dia
akan tumbuh menjadi anak yang tidak bermoral.
Untuk itu orang tua harus dapat memanfaatkan saat-saat
awal dimana anak kita mengalami pertumbuhannya dengan cara
menanamkan dalam jiwa anak kita kecintaan kepada diennya. Cinta
terhadap ajaran Allah dan Rasul Nya, sehingga ketika anak tersebut
berhadapan dengan lingkungan lain anak tersebut mempunyai daya
resestensi yang dapat menagkal setiap saat pengaruh negative yang
akan merusak dirinya.
Agar dapat memudahkan jalan bagi pembentukan
kepribadian anak yang shalih, maka teladan orang tua merupakan
faktor yang sangat menentukan. Oleh karena itu, selaku orang tua
yang bijaksana dalam berinteraksi dengan anak pasti memperlihatkan
sikap yang sesuai dengan kepribadian yang shahih sehingga anak
dapat dengan mudah meniru dan mempraktekkan sifat-sifat orang
tuanya.
2) Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan dimana anak-anak
berkumpul bersama teman-temannya yang sebaya dengannya.
Belajar, bermain dan bercanda adalah kegiatan rutin mereka
disekolah. Sekolah juga merupakan sarana yang cukup efektif dalam
membentuk watak dan karakter anak. Disekolah anak-anak akan
saling mempengaruhi sesuai dengan watak dan karakter yang
diperolehnya dalam keluarga mereka masing-masing. Anak yang
-
25
terdidik secara baik dalam rumah tentu akan memberikan pengaruh
positif terhadap teman-temannya. Sebaliknya anak yang di rumah
kurang mendapatkan pendidikan yang baik tentu akan memberikan
pengaruh yang negatif menurut karakter dan watak-watak sang anak.
Sekolah yang ditata dengan manajemen yang baik tentu
akan lebih mampu memberikan hasil memuaskan dibanding sekolah
yang tidak memperhatikan sistem manajemen. Sekolah yang sekedar
dibangun untuk kepetingan bisnis semata pasti tidak mampu
menghasilkan murid-murid yang berkualitas secara maksimal,
kualitas dalam pengertian intelektual dan moral keagamaan. Oleh
sebab itu orang tua seharusnya harus mampu melihat secara cermat
dan jeli. Sekolah yang pantas bagi anak-anak mereka. Orang tua
tidak harus memasukkan anak mereka disekolah-sekoalh favorit
semata dalam hal intelektual dan mengabaikan faktor perkembangan
akhlak bagi sang anak, karena sekolah memberikan warna baru bagi
setiap anak didiknya.
Keseimbangan pelajaran yang diperoleh murid di sekolah
akan lebih baik menyeimbangkan keadaan mental dan intelektualnya.
Karena itu sekolah yang memiliki keseimbangan kurikulum antara
pelajaran umum dan agama lebih mampu memberikan jaminan bagi
seorang anak didik.
3) Lingkungan Masyarakat.
Masyarakat adalah komunitas yang terbesar dibandingkan
dengan lingkungan yang kita sebutkan sebelumnya. Karena itu
-
26
pengaruh yang ditimbulkan dalam membentuk kepribadian anak jauh
lebih besar.masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dalam
kemaksiatan sangat mempengaruhi perubahan watak anak kearah
negative. Dalam masyarakat seperti ini tumbuh berbagai masalah
yang merusak ketenangan, kedamaian, dan ketentraman.
Anak yang telah terdidik secara baik oleh orang tuanya
untuk selalu taat dan patuh pada perintah Allh SWT. Dan Rasulnya
dapat terpengaruh oleh lembah kemaksiatan yang merajalela di
sekitarnya. Oleh kerena itu orang tua harus mancari lingkungan
masyarakat yang baik bagi anaknya. Apalagi menemukan lingkungan
yang baik maka kemungkinan besar anak akan terbentuk sebagai
insane yang baik, dan sebaliknya jika mendapatkan lingkungan yang
jelek maka kemungkinan besar akan jelek.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan
anak. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segal
sesuatu yang ada di sekitar anak didik baik berupa benda-benda,
peristiwa yang terjadi maupun kondisi masyarakat terutama yang
dapat memberikan pengaruh kuat kepada anak, dan lingkungan di
man anak-anak bergaul sehari-hari (Asnelly Ilyas, 1995 : 64)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa selain faktor
pembawaan, lingkungan juga sangat berpengaruh pada anak. Jika
ketiga lingkungan tersebut di atas semuanya itu baik maka
dimungkinkan tercipta generasi yang baik mudah kita dapatkan.
Namun sebaliknya jika dari ketiga lingkungan ini semuanya atau
-
27
salah satu dari itu mengalami polusi atau kerusakan maka untuk
menciptakan generasi yang benar dan baik sungguh sulit untuk
dilakukan.
Pada akhirnya dapat di ambil suatu kesimpulan, bahwa pandangan
masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam moderen dapat di lihat dari
beberapa sudut pandangan baik di lihat dari diri sendiri maupun luar diri
sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan
pendidikan yang berdampak pada peningkatan kontribusi keimanan yang lebih
baik.
B. Harapan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan Islam Moderen
(Pondok Pesantren Moderen)
1. Pengertian Harapan Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan Islam
Moderen
Sebelum disampaikan pengertian harapan masyarakat terhadap
lembaga pendidikan Islam moderen, terlebih dahulu disampaikan tentang
pendidikan, pendidikan Islam dan pendidikan Islam moderen.
Menurut Poerbakawatja dan Harahap dalam M. Dalyono (2007: 6)
pendidikan adalah :
Usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya
meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu
menimbulkan tanggung jawab moral dari segala perbuatannya.
Orang dewasa itu adalah orang tua si anak atau orang yagn atas dasar
tugas dan kedudukannya mempunyai kewajiban untuk mendidik,
misalnya: guru sekolah, pendeta atau kiai dalam lingkungan
keagamaan, kepala-kepala asrama dan sebagainya.
-
28
Menurut Tim Dosen FIP-IKIP Malang (1988: 7) pendidikan adalah
Aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan
jalan membina potensi-poensi pribadinya, yaitu rokhani (piker, karsa, rasa,
cipta dan budinurani) dan jasmani (pancaindera serta ketrampilan-
ketrampilan). Definisi yang lain tentang pendidikan ialah : Suatu usaha
yang sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang
diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi anak agar mempunyai sifat dan
tabit sesuai dengan cita-cita pendidikan (Amir Daien Indrakusuma, 1973:
27).
Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai
dengan 11 Mei 1960 di Cipayung Bogor dalam Nur Uhbiyati (198: 11)
menyatakan pendidikan Islam adalah: Bimbingan terhadap pertumbuhan
rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan,
mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakuknya semua ajaran
Islam. Definisi lain tentang pendidikan Islam adalah upaya normatif yang
berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus
didasarkan pada nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun
praktik pendidikan (Achmadi, 2005: 83).
Pada masa moderen ini, Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah :
Proses perubahan menuju kearah yang positif (Moh. Roqib, 2009: 18).
Pendidikan Islam dalam konteks perubahan ke arah yang positif ini identik
dengan kegiatan dakwah yang biasanya dipahami sebagai upaya untuk
menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat. Pendidikan Islam ialah :
Usaha yang lebih khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah
-
29
keberagaman (religiousitas) subyek didik agar lebih mampu memahami,
menghayati dan mengalamkan ajaran-ajaran Islam (Achmadi, 2005: 29).
Berdasarkan pengertian pendidikan di atas, maka yang dimaksud
lembaga pendidikan Islam moderen adalah pondok pesantren yang
mengajarkan pelajaran umum dan agama yang dikemas dalam pembelajaran
yang dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, sehingga para santri terbekali
dengan disiplin ilmu. Sebelum disampaikan permasalahan yang ada kaitannya
dengan pesantren moderen terlebih dahulu akan disampaikan pesantren
tradisional. Ada beberapa istilah yang ditemukan dan sering digunakan untuk
menunjuk jenis pendidikan Islam tradisional khas Indonesia mengenai
pesantren. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura, umumnya dikenal istilah
pesantren atau pondok (Zamakhsyari Dhofier, 1990 : 18) atau pondok
pesantren (H.A. Mukti Ali, 1987) istilah Dayah atau Rangkang atau
Meunasah, sedangkan di Minangkabau disebut Surau (M. Dawam Raharjo,
1995 : 5).
Adapun istilah pesantren sendiri berasal dari kata santri dengan
awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal sendiri. Kadang-kadang
didefinisikan melalui ikatan kata Sant (manusia baik) dihubungkan dengan
suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan manusia baik-baik (A. Hamid, 1976: 2). Pesantren berasal dari
kata santri yang berarti seorang yang belajar agama Islam (tempat orang
berkumpul untuk belajar agama Islam) (Soegarda Poerbakawatja, 1976 : 16).
Secara terminologi pengertian pesantren memiliki makna yang berbeda antara
tokoh yang satu dengan yang lain seperti Abdurrahman Wahid (1988: 77)
-
30
memaknai pesantren secara tehnis yaitu a place where santri (student) live.
Abdurrahman Masud menguatkan definisi pesantren melalui tulisannya : the
word pesantren stems from santri which means one who seeks Islamic
knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri
devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge
(Abdurrahman Masud, 1998: 34).
Demikianlah pesantren didefinisikan oleh para pengamatnya, variasi
definisi yang dihasilkan merupakan apresiasi dari para ilmuwan yang tidak
bisa dihindari dan ditolak. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan
persepsi, pendapat, latar belakang, pendekatan mereka dalam membidik
pesantren sebagai objek perhatian, penelitian dan kajian. Untuk itulah variasi
dan perbedaan yang muncul, justru semakin menambah khasanah dan wacana
yang sangat diharapkan secara intelektual dan akademik. Pesantren yang
diakui sebagai model pendidikan awal (Islam) di Indonesia sampai saat ini
masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat (Moh.
Roqib, 2009: 149). Meskipun demikian, peran pesantren saat ini boleh
dikatakan sangat terbatas karena pengelolaannya kurang kredibel dan fasilitas
yang dimiliki juga apa adanya.
Lembaga Islam moderen atau pondok pesantren pada akhirnya
memiliki prinsip untuk membentuk kader-kader islami yang taat. Ketaatan
beragama membawa dampak positif terhadap pembangunan, karena
pengalaman, membuktikan bahwa semakin taat seseorang dalam beragama
semakin positif sikapnya terhadap peningkatan kesejahteraan umat. Karena
-
31
agama mengandung ajararn yang berhubungan dengan kepentingan
masyarakat (Jalaluddin dan Ramayulis, 1992: 129).
Menurut HA. Timur Jaelani dalam Nur Uhbiyati (1997: 240)
mengatakan bahwa dalam kenyataan penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran di pondok pesantren dapat digolongkan menjadi tiga bentuk yaitu:
a. Yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam pada umumnya
pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal
(system bandungan dan sorongan). Dimana seorang kyai mengajar santri-
santri berdasarkan kibat-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama-
ulama besar sejak abad pertengahan, sedang para santri biasanya tinggal
dalam pondok/asrama dalam pesantren tersebut.
b. Yang dimaksud dengan pondok pesantren adalah
lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang pada dasarnya
sama dengan pondok pesantren tersebut di atas tetapi para santrinya tidak
disediakan pemondokan di komplek pesantren, namun tinggal tersebar di
seluruh penjuru desa sekeliling pesantren tersebut (santri kalong), di mana
cara dan metode pendidikan dan pengajaran Islam diberikan dengan
system waton yaitu para santri datang berduyun-duyun pada waktu-waktu
tertentu (umpama tiap hari Jumat, Minggu, dan sebagainya).
c. Pondok pesantren dewasa ini adalah merupakan
lembaga gabungan antara system pondok dan pesantren yang memberikan
pendidikan dan pengajaran agama Islam dengan system bandongan,
sorongan, ataupun watonan. Para santri disediakan pondokan atau
-
32
merupakan santri kalong yang dalam istilah pendidikan pondok moderen
memenuhi criteria pendidikan nonformal serta menyelenggarakan juga
pendidikan formal berbentuk madrasah dan bahkan sekolah umum dalam
berbagai bentuk tingkatan dan aneka kejuruan menurut kebutuhan
masyarakat masing-masing.
Pesantren memiliki unsur minimal tiga hal, yaitu : (1) adanya Kyai
yang mengasuh/mendidik, (2) santri yang belajar, dan (3) masjid (Marwan
Saridjo, 1982: 9). Tiga unsur ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya
atau bagi pesantren-pesantren kecil yang belum mampu mengembangkan
fasilitasnya. Unsur pesantren dalam bentuk tersebut mendeskripsikan
kegiatan belajar-mengajar ke-Islaman yang sederhana (Mujamil Qomar: 19).
Seiring dengan perkembangan zaman pesantren terus mengalami
perkembangan unsur-unsurnya, seperti dikutip oleh Zamakhsyari Dhofier
dalam bukunya Tradisi Pesantren bahwa ada lima elemen dasar dalam sebuah
pesantren, yaitu : (1) pondok, (2) masjid, (3) santri, (4) pengajaran kitab-kitab
klasik, dan (5) kyai. Sementara Abdurrahman Wahid, membagi lingkungan
pesantren menjadi tiga komponen dasar. Pertama, pesantren sebagai institusi
pendidikan Islam dan sebagai institusi praktek mistis. Kurikulum yang
dipakai bervariasi, mencakup keterampilan membaca dan menulis Arab,
membaca Al Quran, mempelajari hukum-hukum Islam dan ibadah ritual.
Kedua, kyai, mereka adalah para ahli agama yang telah menjadi guru dan
pemimpin yang disebabkan oleh kelulusan pengetahuan keagamaan mereka
yang disertai kepemilikan kekuatan mistik. Ketiga, pelajaran atau santri, yang
-
33
sering menyerahkan ketaatan seluruh hidupnya kepada kyainya (Abdurrahman
Masud, 2004: 11-12).
Kurikulum pada pondok pesantren tradisional hingga sekarang masih
diterapkan dan kurikulum modern dikembangkan secara penuh. Pesantren
yang menggunakan sistem tradisional dan modern, seperti sekolah/madrasah
tidak semuanya mengacu pada kurikulum pemerintah. Manfred Zimek dalam
Sujoko Prasodjo (1982 : 83) membagi jenis-jenis pesantren dalam beberapa
kategori : Pertama, pesantren yang paling sederhana yaitu masjid digunakan
sekaligus sebagai tempat pengajaran agama. Biasanya digunakan oleh para
santri yang ikut kegiatan tarikat dan santri tidak tinggal di pesantren. Hal
inilah sebagai awal dari berdirinya sebuah pesantren. Kedua, pesantren
disamping ada rumah kyai dan masjid, ada asrama yang dapat dijadikan
sebagai tempat belajar sekaligus tempat tinggal, inilah yang sering disebut
sebagai pondok pesantren klasik. Ketiga, pesantren terdiri dari beberapa
komponen, disamping danya komponen-komponen di atas, diperluas lagi
dengan adanya madrasah. Hal ini menunjukkan dorongan modernisasi dari
Islam pembaharuan.
Pesantren disamping mempelajari pengetahuan agama juga
mempelajari tentang pengetahuan umum, kurikulum yang digunakan
berorientasi pada sekolah yang berada di bawah organisasi pemerintah.
Keempat, pesantren paling modern yang sekarang sedang berkembang dan
terus bergema di seluruh Indonesia, hampir semua pondok pesantren
mengembangkan tipe ini. Pesantren model ini disamping adanya fasilitas
yang lengkap juga program-program tambahan yang bisa dijadikan sebagai
-
34
alat untuk mengembangkan ilmunya setelah selesai mengenyam pendidikan di
pesantren.
Berbeda dengan Manfred Ziemek, Zamakhsyari Dhofier (1999: 134)
mengelompokkan pesantren menjadi dua, Pertama, pesantren Salaf, yaitu
pesantren yang pengajarannya terfokus pada kitab-kitab klasik dalam bentuk
hafalan, sorogan, bandongan, wetonan dan lain-lain. Santri pada pesantren ini
biasanya tunduk pada kyai, penghormatan pada kyai begitu besar. Dalam hal
pemikiran, santri salaf kurang menerima adanya pengaruh-pengaruh dari luar
baik melalui media cetak maupun media elektronik. Pesantren salaf biasanya
pola pikirnya cenderung tekstual, kurang mau mengapresiasi apa yang
berkembang di luar, karena wacana berpikirnya terbatas pada teks-teks klasik
yang cenderung menonton dan tidak pernah dilatih untuk mengupas
teori/realita sosial yang berkembang dalam masyarakat.
Kedua, pesantren modern cenderung menggunakan logika dalam
berpikir, biasanya lebih menguasai dari pada bahasa Arab dan Inggris. Model
pendidikan hampir sama dengan pendidikan sekuler (barat). Pendidikan
agamanya tidak terlalu kuat, lebih mengedepankan pada pendidikan
umumnya. Buku-buku yang dijadikan bahan rujukan adalah buku ambilan
dan tidak belajar kitab kuning Manfred Ziemek, Zamakhsyari Dhofier (1999:
199-200). Abdullah Syukri Zarkasyi memberi tambahan satu yaitu perpaduan
antara tradisional dan modern yang hingga sekarang sering kita temui
termasuk dalam kajian penulis yaitu pondok pesantren yang setengah
tradisional dan setengah modern (Muhammad Yunus, 1983: 226-227).
-
35
Dalam era globalisasi, hampir semua sendi kehidupan umat manusia
mengalami perubahan yang amat dahsyat. Institusi sosial, kemasyarakatan,
kenegaraan, keluarga, dan bahkan tidak terkecuali institusi keagamaan, tidak
luput dari pengaruh globalisasi, bagaimana reaksi pesantren menghadapi
perubahan zaman sudah tentu bermacam-macam, ada yang membuka, ada
yang menutup diri karena tantangan kontemporer adalah persoalan
modernitas, maka tantangan kaum santri adalah merespons perubahan
sosial yang diakibatkan oleh munculnya ide-ide atau gagasan modernitas
itu sendiri.
Kaum santri mengukur modernitas berdasarkan tahapan kemajuan
yang tampak pada realitas kehidupan manusia dalam suatu masa tertentu. Tak
ada kepastian titik awal sejarah yang dapat digunakan sebagai tanda
dimulainya suatu era modern. Bahkan pendefinisian kata modern sendiri
terkadang tidak bisa menegaskan keberadaannya sebagai konsep pemaknaan
terhadap suatu fenomena empirik secara utuh dan menyeluruh. Di bidang
keagamaan dapat diungkapkan bahwa modernitas yang dipahami secara
relatif, pada hakekatnya bukanlah hal yang asing dalam tradisi Islam. Sejarah
abad pertengahan menampilkan bukti empirik bagaimana modernitas malah
memberi warna dominan pada wacana keislaman.
Pada dasarnya modernitas mengandalkan adanya proses modernisasi,
sehingga ia tidak mungkin dipahami sebagai bentuk. Jadi modernitas adalah
capaian yang diproduksi oleh perubahan dari hal-hal yang berbau tradisional
menuju situasi/kondisi modern. Bila dikelompokkan secara garis besar,
perubahan yang terjadi dalam proses modernisasi tersebut dapat dilihat dalam
-
36
2 segi yaitu : (1) perubahan yang berkaitan dengan tata nilai atau norma-
norma ideal, dan (2) perubahan yang lebih bersifat materi atau menyangkut
sesuatu yang kasat mata Manfred Ziemek, Zamakhsyari Dhofier (1999: 144).
Modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, yang berkaitan erat
dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam di kawasan ini,
mempengaruhi dinamika keilmuan di lingkungan pesantren. Gagasan
modernisasi Islam yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20, pada
lapangan pendidikan direalisasikan dengan membentuk lembaga-lembaga
pendidikan modern. Pemrakarsa pertama adalah organisasi-organisasi modern
Islam seperti Jamiat Al-Khoir, Al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain
(Azyumardi Azra, 1998: 90).
Keberhasilan tersebut menggugah para ahli dalam merespons
perubahan zaman melalui strategi perjuangan yang harus dimiliki para elit dan
santri seperti, Nur Cholis Madjid menekankan rekonstruksi pemikiran dengan
strategi modernisasi yang diartikan sebagai rasionalisme atau sekularisasi
(Nur Cholis Madjid, 1981: 9). Sementara Amin Rais memberi tekanan pada
integralisasi berbagai aspek kehidupan dalam konteks tauhid (Amin Rais,
1987 : 102), sedangkan Dawam Raharjo lebih menekankan pengelolaan SDM
(Dawam Raharjo, 1981: 22 & 34). Selanjutnya, pemikiran Abdurrahman
Wahid yang merupakan bingkai intelektual golongan ulama memberikan
tekanan pada legitimasi religi berdasarkan hukum fiqih dalam berbagai
masalah kehidupan pragmatis, baik aspek budaya, sosial ekonomi maupun
politik (Abdurrahman Wahid, 1984: 31-38). Namun, mereka sepakat dalam
menempatkan politik sebagai alt mencapai tujuan dan realisasi cita-cita politik
-
37
Islam, sehingga sikap dan pandangan politik santri itu berkembang dan
berubah sejalan dengan perubahan kondisi objektif kehidupan sosial, ekonomi
dan politik (Said Aqiel Siradj: 123).
Mengenai sikap kaum santri dalam merespons tantangan
modernisasi, dewasa ini ada dua kecenderungan. Pertama, jebolan pesantren
an sich adalah memiliki rasa ketaatan dan kepatuhan yang lebih terhadap
kyai-ulama sehingga apa saja yang diperintahkan oleh seorang kyai akan
selalu dilakukan tanpa ada bantahan. Kedua, sikap seperti itu mulai mencair
terutama di kalangan kaum santri jebolan pesantren dan berpendidikan umum,
sebab bagi mereka sikap tunduk dan patuh tanpa resurve adalah sikap feodal
yang bertentangan dengan inti ajaran Islam sebagaimana firman Allah surat
An-Nahl ayat 43 :
Artinya : Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang
lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui. (Departemen Agama RI, 2002: 535-536).
Dari kedua fenomena itu, agaknya terkesan ada dua komunitas yang
kontradiktif sehingga muncul pertanyaan apakah perubahan itu diakibatkan
oleh kaum santri terpelajar yang makin menjauhi tradisi pesantren, ataukah
pihak para pengasuh podok pesantren sendiri yang tidak mau membuka diri
dengan perubahan orientasi atau wawasan masyarakat yang mudah menerima
informasi dari berbagi penjuru (Said Aqiel Sirodj : 136-137).
-
38
Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosiokultural sering
kali membentur pada aneka kemapnan, dan berakibat pada keharusan untuk
mengadakan usaha konstektualisasi bangunan sosio-cultural dengan dinamika
modernisasi, tak terkecuali pendidikan pesantren. Karena itu, sistem
pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman
tentang ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive. Keharusan untuk
mengadakan rekonstruksi ini sesungguhnya sudah dimaklumi. Bukankah
dunia pesantren telah memperkenalkan sebuah kaidah yang sangat jitu yaitu
Al-Mukhafadhah ala al-qadim al-salih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah.
Kaidah ini merupakan legalitas yang kuat atas segala upaya rekonstruksi.
Kebebasan membentuk model pesantren merupakan keniscayaan, asalkan
tidak terlepas dari bingkai al-ashlah (lebih baik). Begitu pula, ketika dunia
pesantren, diharuskan mengadkan rekonstruksi sebagai konsekuensi dari
kemajuan dunia modern, maka aspek al-ashlah menjadi kata kunci yang
harus dipegang. Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap
terhadap perubahan dan tuntutan zaman berwawasan masa depan, selalu
mengutamakan prinsip efektifitas dan efisiensi (Said Aqiel Sirodj : 216-217).
Sementara itu modernisasi terhadap pesantren selama dasawarsa
terakhir ini sangat gencar dilakukan munculnya pendidikan formal baik dalam
sistem madrasah maupun sekolah-sekolah umum yang mengadopsi
Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah
pesantren mampu bertahan, terutama dalam kedudukannya sebagai sumber
kekayaan spiritual seperti pesantren pada masa tradisional itu, sebab proses
modernisasi dengan inti liberalisasi dan rasionalisasi adalah sangat mungkin
-
39
memudahkan watak pesantren (Said Aqiel Sirodj: 101). Karena itu
Nurcholish Madjid menilai bahwa ada beberapa faktor mendasar yang perlu
diperhatikan. Pertama, kurikulum, karena arah dan tujuan pesantren serta
sepak terjangnya dalam kehidupan bermasyarakat akan sangat bergantung
pada faktor ini. pesantren pada umumnya tidak memiliki target-target
tertentu, dalam capaian pembelajaran. Kedua, materi pelajaran, pesantren
terfokus pada disiplin ilmu-ilmu agama tertentu terutama pada fiqh, nahwu
sharaf, dan balaghah. Sedangkan ilmu-ilmu lain kurang mendapat perhatian,
apalagi keilmuan yang tidak berakar pada konsep agama, tidak mendapat
posisi sewajarnya terkecuali sebagian kecil pesantren (Nurcholis Madjid : 93).
Pesantren memiliki akar sosio historis yang cukup kuat, sehingga
mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan
masyarakatnya, sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.
Jika terdapat perubahan dan inovasi pun, hal itu merupakan bagian penting
terhadap kelangsungan hidup manusia. Akibatnya muncul perubahan seperti
budaya, pendidikan dan lain-lain. Pendidikan bukan hanya menjadi salah satu
faktor penting terjadinya perubahan, tetapi secara luas dipandang sebagai alat
kekuasaan yang memungkinkan pencapaian sosial dan pribadi. Seperti di
dunia ketiga terdapat semboyan : Pendidikan adalah kunci modernisasi
(Achmad Djaenuri, 2001: 87-88).
Pendidikan merupakan kekuatan inovatif yang dapat digunakan untuk
proses perubahan lebih lanjut dalam masyarakat, suatu ide yang (meskipun
kembali ke Plato) telah mendapat perhatian serius dari tenaga pendidik dan
para pembuat keputusan pada kurun waktu terakhir ini.
-
40
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang
pesat menuntut semua pihak memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif, termasuk para santri di pesantren. Mereka harus memenuhi
standar profesionalisme dan spesialisasi pada bidangnya masing-masing, agar
dapat bersaing mengikuti kebutuhan zaman. Kenyataan inilah yang
mengharuskan pondok pesantren mencari bentuk dan rumusan pendidikan
baru sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan iptek. Tantangan
yang dihadapi pondok pesantren makin hari makin berat, makin kompleks dan
mendesak. Tantangan ini menyebabkan terjadinya perubahan nilai di
pesantren, bak tentang sumber belajar, pengelolaan pendidikan yang
profesional, nilai religius, tata moral kepribadian, dan bahkan muatan
kurikulum serta kelembagaannya. (Sahal Mahfudh, 1999 : 47-48).
Perubahan itu muncul tidak jelas, kapan waktunya, namun dapat
diprediksi + abad 20 pesantren telah mengadakan beberapa perubahan,
Pondok Pesantren Mambaul Ulum Surakarta mengambil tempat paling depan
dalam merombah bentuk respons terhadap ekspansi Belanda dan pendidikan
modern Islam (Azzumardi Azra, 1999 : 100). Selanjutnya pada tahun 1916
dengan seizin KH. Hasyim Asyari, Kyai Maskum telah memperkenalkan
sistem madrasah di pesantren (Lathiful Khuluq, 2000 : 35-36). Namun
pembaharuan tersebut tidak menghilangkan metode pengajaran tradisional
semacam halaqoh dan sorogan. Perubahan tersebut bisa dilihat dari model
pengajarannya satu tahun kelas persiapan dan lima tahun program madrasah.
Kelas persiapan diberi pengajaran bahasa Arab. Kurikulum madrasah hingga
-
41
tahun 1919 hanya mengajarkan pelajaran agama, Matematika dan Geografi
yang diberikan.
Secara global, perubahan tata nilai pesantren dapat diidentifikasi
melalui beberapa indikator. Pertama, kyai bukan lagi merupakan satu-satunya
sumber belajar, karena para santri bisa mendapatkan pelajaran dari sumber-
sumber baru dari luar. Fenomena ini merupakan efek langsung dari tingginya
dinamika komunikasi dan informasi yang masuk ke dunia pesantren.
Akibatnya banyak santri yang sudah berani melanggar koridor larangan dan
perintah kyai. Keberanian bukan berarti melanggar norma agama, tetapi
keberanian membantah dan mendebat akibat dari tumbuhnya daya kritis
pikirannya. Dengan daya kritis tersebut maka kharisma dan posisi sakral kyai
mulai luntur di mata sebagian para santri.
Kedua, banyaknya pesantren yang menyelenggarakan jenis
pendidikan formal, seperti madrasah, sekolah umum hingga perguruan tinggi.
Kecenderungan ini sedikit banyak akan mempengaruhi ciri khas dan identitas
pondok pesantren, sehingga perilaku dan budaya para santri berubah. Hal ini
diakibatkan dari terasimilasinya kultur baru yang dibawa oleh murid yang
berstatus sebagai santri kalong (tidak menetap, pulang pergi) ke dalam kultur
pesantren. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ini juga memiliki
dampak positif. Misalnya, tumbuh suburnya sekolah umum di pondok
pesantren akan membawa perubahan baru terhadap orientasi dan performa
pondok pesantren itu sendiri, pesantren menjadi lebih terbuka, dinamis, cepat
belajar, dan harus senantiasa mengevaluasi perkembangan dirinya.
-
42
Ketiga, seiring dengan perubahan tersebut, ada tuntutan baru,
terutama dari lembaga-lembaga pendidikan di bawah naungan pemerintah
yang mensyaratkan setiap santri memiliki surat tanda lulus belajar melalui
STTB. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut mendapatkan informasi awal
yang cukup untuk mengetahui kemampuan para santri dan latar belakang
keilmuannya. STTB tersebut dapat difungsikan untuk melanjutkan ke tingkat
pendidkan yang lebih tinggi sesuai bidangnya. Di era modern ini, pesantren
tidak cukup hanya mengandalkan moral para santri saja. Para santri perlu
dilengkapi dengan keahlian, keterampilan yang relevan enggan kebutuhan
lapangan kerja, walaupun bursa kerja bukan merupakan satu-satunya tujuan
para santri.
Keempat, sehubungan dengan hal tersebut maka di kalangan santri
terdapat kecenderungan yang makin kuat untuk mempelajari sains dan
teknologi pada lembaga-lembaga pendidikan formal, baik di madrasah
maupun sekolah umum. Di sana mereka dapat belajar untuk memperoleh
keahlian/ketrampilan yang diinginkan, tetapi mereka juga ingin tetap belajar
di pesantren untuk mendalami agama dalam rangka memperoleh moral agama
(Abdurrahman Wahid, 1984 : 47-48).
Pada tahun 1920-an pondok pesantren mulai ada tanda-tanda
perubahan yang diawali adanya eskperimen dengan mendirikan sekolah-
sekolah di kalangan pondok pesantren sendiri. pada tahun 1930-an pesantren
sudah memperlihatkan percampuran kurikulum dan mencapai puncaknya pada
tahun 1960-an hingga tahun 1970-an, yaitu adanya sekolah non agama yang
berdiri di sekitar pondok pesantren, dengan disiplin agama yang diberikan
-
43
sebagai pelajaran ekstrakurikuler selama beberapa jam, yang akhirnya
menghasilkan jaringan luas dengan sekolah-sekolah di berbagai daerah di
Jawa (Said Aqiel Siradj : 19-20).
Di masa yang akan datang pesantren harus mampu memberikan
kontribusi buat masyarakat, tenaga kerja yang memiliki moral dan etika
pesantren, serta ulama yang dapat berpartisipasi dalam globalisasi yang
masyarakatnya berorientasi teknologi, serta merekonstruksi diri dalam
beberapa aspek/bidang dalam rangka eksistensinya dan kontribusinya bagi
masyarakat dan bangsa yang terus berkembang.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harapan dalam Pendidikan Agama
Islam Moderen
Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan masyarakat terhadap
lembaga pendidikan Islam moderen salah satunya dilihat dari adanya
perubahan-perubahan yang positif. Pesantren mulai mengadakan perubahan
pada aspek-aspek tertentu, sehingga telah mengalami perubahan dalam suatu
pesantren (Abdurrahman Masud: 250-251). Adapun aspek-aspek tersebut
adalah sebagai berikut :
i. Kurikulum
Pendidikan yang dianggap sebagai kekuatan inovatif dapat
difungsikan untuk mengadakan proses perubahan lebih dalam terhadap
masyarakat. Pada masa lalu, proses belajar mengajar hanya menekankan
tentang masa lalu, tidak menekankan masa kini ataupun masa yang akan
datang. Fungsi dasar sistem pendidkan biasanya dipandang sebagai
-
44
pemeliharaan atau transmisi budaya tradisional, namun sekarang lembaga
pendidikan dipandang sebagai alat perubahan, dan investasi besar dalam
lembaga ini dan dilakukan oleh seluruh dunia (Achmad Djaenuri : 3).
Keyakinan terhadap pendidikan modern juga dimiliki oleh masyarakat
dunia, di mana-mana pendidikan dianggap sebagai saluran mobilitas
pribadi, dan tuntutan akan peluang pendidikan yang lebih tinggi telah
menimbulkan tekanan besar bagi pemerintah. Dengan demikian
pemerintah segera mendesain kurikulum yang sesuai dengan perkembangan
dunia modern termasuk kurikulum dalam pesantren.
Pembahasan mengenai kurikulum sebenarnya belum banyak dikenal
pesantren, bahkan di Indonesia term kurikulum belum pernah populer pada
saat proklamasi kemerdekaan, apalagi sebelumnya. Berbeda dengan
kurikulum, istilah materi pelajaran justru mudah dikenal dan mudah
dipahami di kalangan pesantren. Namun dalam hal kegiatan baik yang
berorientasi pada pengembangan intelektual, ketrampilan, pengabdian
maupun kepribadian agaknya lebih tepat digunakan istilah kurikulum
(Mujamil Qomar : 108).
Dengan demikian rekonstruksi terhadap kurikulum di pesantren pun
sudah saatnya berubah. Pesantren tidak dijejali kurikulum-kurikulum yang
mengacu pada aspek kognitif seperti pengetahuan (ilmu-ilmu) fiqh, nahwu
sharaf dan tasawuf, teapi juga perlu adanya aspek afektif dan psikomotorik.
Keadaan kurikulum pendidikan pesantren yang demikian terutama
dalam kurikulum fiqh, theologi dan tasawuf memberikan sebuah
konsekuensi pada eksklusivisme pondok pesantren dan pemikiran-
-
45
pemikiran lain, kecuali pemikiran yang dikembangkan oleh madzhab
Syafii, Asyari, dan al Ghazali. Bahkan hampir-hampir ajaran Islam hanya
dipahami sebagai ajaran yang menyangkut fiqh, dan tasawuf yang
dikembangkan oleh ketiga tokoh pemikir masa lampau itu saja.
Implikasi dari eksklusivisme ini terwujud dalam tidaknya budaya
kritis, analitis, dan reflektif dalam tradisi pendidikan pesantren. Kebebasan
akademik hampir tidak diakui lagi dan sistem munadzarah pun hilang dari
tradisi pesantren (Said Aqiel Sirodj : 212-214). Sehubungan dengan hal itu,
dapat dipahami bahwa pendidikan pesantren pada masa awal diorientasikan
pada taabbud kepada Allah dan serangkaian amalan-amalan yang
menghiasinya.
Pesantren kontemporer sering menawarkan pengetahuan agama
secara lengkap dengan memiliki beberapa guru yang mengajar berbagai
pelajaran. Pada pesantren yang telah mengadopsi kurikulum dari
pemerintah, para santri mendapat pengetahuan lebih luas. Karena para
santri ini juga belajar pendidikan umum, waktu untuk mengkaji pelajaran
agama berkurang. Oleh karenanya, permasalahan yang muncul adalah
dimanakah sekarang memperoleh pendidikan agama yang mendalam untuk
bisa menjadi seorang ulama (Abdurrahman Masud : 250-251).
Dibalik orientasi yang menuju pada tatanan modernisasi pada dunia
pesantren seperti sekarang ini, pesantren justru malah mendapat kesan
negatif dari masyarakat, karena telah membiarkan pendidikan moral dengan
agamanya terjatuh. Beberapa ulama salaf memandang modernisasi
pesantren yang dijalankan dengan cara mengurangi pendidikan agama
-
46
kurang dari 50% maka kekuatan pada pesantren tradisonal akan runtuh,
karena nilai-nilai moralitas akan menurun. Hal ini diakibatkan adanya
santri yang tidak lagi berorientasi pada aspek moral tapi berorientasi pada
aspek intelektual. Sampai saat ini masih banyak masyarakat yang
menginginkan adanya pesantren yang bersifat tradisional dan ingin putera-
puterinya dididik dengan cara itu dari pada dididik dengan materi yang
bersifat sekunder (kebarat-baratan). Seperti pada Pondok Pesantren
Lirboyo Kediri, Pondok Pesantren Tegalrejo Magelang, hingga saat ini
tetap eksis di tengah derasanya arus globalisasi.
ii. Kelembagaan
Barangkali satu-satunya faktor terpenting penyebab terjadinya
kerusakan dan stagnasi pendidikan dan pemikiran adalah batasan Islam
tentang ilmu pengetahuan yang diterima. Meskipun ilmu pengetahuan
sangat dihargai dan pencarian ilmu itu selalu dianggap penting (kedua
faktor yang memungkinkan Islam memberikan sumbangan khusus bagi
peradaban dunia) (Achmad Djaenuri : 89), batasan yang benar dan
pandangan yang mendasarinya tidak sesuai dengan permasalahan.
Kebebasan berfikir tidak pernah menjadi nilai sentral kebudayaan dan
masyarakat muslim, asal dan karakter sistem pendidikan terefleksikan
memperoleh sebanyak mungkin kebijaksanaan yang bisa dipercaya,
sehingga proses pendidikan akan mampu mengikuti perkembangan
teknologi.
-
47
Sebagai suatu proses, pendidikan membutuhkan lembaga (institusi),
yang salah satu artinya adalah (organisasi) yang bertujuan melakukan
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha (Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1991 : 580). Karena itu
lembaga pendidikan merupakan organisasi yang bertugas
menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar.
Seperti bentuk pendidikan lainnya, pendidikan santri juga
membutuhkan lembaga yang terkenal dengan sebutan pesantren. Pesantren
juga telah mengalami perubahan dan pengembangan format yang
bermacam-macam mulai dari surau (langgar) atau masjid hingga pesantren
yang makin lengkap.
Pada awal pertumbuhan Islam di Indonesia, masjid atau surau
(langgar) memiliki dwi fungsi yaitu sebagai tempat ibadah sekaligus
sebagai pusat pendidikan (M. Ali Haidar, 1994 : 84). Institusi pendidikan
pada masa ini meskipun masih sangat sederhana namun mampu mendidik
para santri secara militan dalam berdakwah atau mengembangkan Islam di
lingkungannya masing-masing. Setidaknya proses pendidikan tetap
berjalan karena adanya kyai, santri, tempat berlangsungnya pendidikan,
tujuan, materi dan metode pendidikan.
Dalam perkembangan berikutnya, terutama pada abad ke-19
pesantren mengalami kemajuan dan banyak santri yang berdatangan dari
berbagai daerah, oleh karenanya, kyai perlu membuat tempat yang dapat
dijadikan asrama bagi santri, istilah ini yang disebut pondok, dan akhirnya
lemaga ini terkenal dengan sebutan pondok pesantren. Hal ini
-
48
melambangkan suatu pengembangan dari pengajian di langgar (surau) atau
masjid, baik dilihat dari perspektif jumlah santri, sarana, materi pelajaran,
metode pendidikan maupun pengorganisasiannya.
Selanjutnya paska abad ke-19 pondok pesantren mengalami
pembaharuan. Pembaharuan ini berawal dari penampilan lahiriyah, dengan
cara mendirikan pesantren jenis baru yang dikenal dengan sebutan
madrasah. Madrasah yang lahir pada abad ke-20 ini dipelopori oleh
Madrasah Mambaul Ulum Surakarta pada tahun 1905 dan sekolah
Adabiyah yang didirikan oleh Syaikh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat
pada tahun 1909 (A. Malik Fajar, 1998 : 1). Dalam perkembangannya,
secara kelembagaan, madrasah mengalami penyempurnaan secara
berangsur-angsur. Eksistensi madrasah di dalam pesantren makin
mempertegas keterlibatan lembaga pendidikan Islam tertua ini dalam
memperbaiki sistem pendidikannya, sekaligus sebagai lembaga pendidikan
yang lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajarannya.
Walaupun pesantren sudah mengalami kemajuan dalam
pembelajaran, tetapi masih ada pesantren tradisional yang mengeluh
tentang kurangnya efek sosial pesantren, tetapi juga madrasah yang tanpa
asrama yang mengikuti program Departemen Agama sering mengeluh
mengenai efek sosial : suatu hal yang tragis yang dewasa ini diderita oleh
anak-anak didik kalangan Islam Indonesia, adalah belum dapat
diperolehnya lapangan kehidupan di luar keagamaan setelah mereka
berhasil menyelesaikan pendidikannya dari sekolah-sekolah agama seperti
-
49
madrasah, pesantren maupun perguruan tingginya (Karel A
Steenbrink,1986: 215)
Pada tahun 1970-an madrasah mengalami perkembangan yang
cukup progresif. Keberadaan madrasah di pesantren diharapkan mampu
menunjukkan gambaran baru tentang bentuk lembaga pendidikan yang
lebih modern. Selanjutnya lembaga ini dapat diadaptasi oleh pesantren
dalam memajukan lembaga yang dikendalikan kyai ini. pada tahun ini pula
dirintislah lembaga pendidikan umum. Kurang lebih sepuluh tahun
kemudian baru memperoleh bentuk standar meskipun kualitas lembaga
pendidikan itu kurang memuaskan. Sebagian lembaga pendidikan tersebut
baru tumbuh pada taraf pengembangan fisik, namun isi dan kualitasnya
belum memadai.
Melalui lembaga pendidikan umum kyai bisa menempuh kebijakan
dari dua jalur yaitu jalur pertama para santri dilibatkan dalam pendidikan
umum agar bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya, dan jalur
kedua adalah para siswa sekolah umum tersebut diwajibkan mengikuti
kegiatan pesantren.
iii. Metode Pembelajaran
Sistem pembelajaran penggunaan metode merupakan alat yang
sangat penting untuk menyampaikan materi pelajaran (kurikulum),
penyampaian materi tidak akan berhasil tanpa melibatkan metode. Metode
selalu mengikuti materi, dalam arti menyesuaikan bentuk dan coraknya,
sehingga metode mengalami transformasi bila materi yang disampaikan
-
50
berubah. Akan tetapi, materi yang sama bisa menggunakan metode yang
berbeda.
Jika kyai maupun ustadz mampu memilih metode dengan tepat dan
mampu menggunakannya dengan baik, maka mereka memiliki harapan
besar terhadap hasil pendidikan dan pengajaran yang dilakukan. Mereka
tidak sekedar sanggup mengajar santri, melainkan secara profesional
berpotensi memilih model pengajaran yang paling baik diukur dari
perspektif didaktik metodik. Maka proses belajar mengajar bisa
berlangsung secara efektif dan efisien, yang menjadi pusat perhatian
pendidikan modern sekarang ini (Mujamil Qomar : 141).
Pertumbuhan pesantren sejak awal hingga sekarang lebih
melahirkan kategori tradisional dan modern. Istilah tradisional dan modern
dipengaruhi waktu, sistem pendidikan, juga dipengaruhi ciri khasnya.
Kategori pesantren tradisional dan modern ternyata mengakibatkan
perubahan sistem masyarakat modern, hal ini bisa dilihat dari sisi
ketidakampuannya untuk menghadapi transformasi sistematik yang terus
menerus (Achmad Djaenuri : 6). Masyarakat tradisional tidak senantiasa
dihadapkan pada tuntutan mentransformasi sistem, biasanya baru muncul
setelah berabad-abad, sehingga mampu merespons sebagian pengetahuan
yang dimiliki. Disisi lain, sistem modern memiliki keluwesan dan
kemampuan adaptasi untuk mengatasi perubahan yang demikian cepat dan
mendasar di semua sektor masyarakat.
Jika kita melacak perubahan sistem dan metode pendidikan di
pesantren akan menemukan metode yang bersifat tradisional dan modern.
-
51
Departemen Agama RI melaporkan bahwa metode penyampaian di
pesantren ada yang bersifat tradisional seperti halaqah, wetonan dan
sorogan. Ada pula yang menggunakan non tradisional (metode yang baru
diintrodusir ke dalam institusi tersebut berdasarkan pendekatan ilmiah).
Pada mulanya semua pesantren menggunakan metode yang bersifat
tradisional. Bahkan beberapa pesantren tradisional hingga saat ini masih
menggunakan metode-metode tradisional. Metode-metode tersebut terdiri
atas metode wetonan, metode sorogan, metode muhawarah, metode
mudzakarah dan metode majlis talim (Imron Arifin, 1993: 37).
Biasanya metode yang digunakan pada pesantren tradisional adalah
metode deduktif yang pesantren mengembangkan kajian-kajian partikular
terlebih dahulu seperti fiqh dan berbagai tradisi praktis lainnya yang
dianggap sebagai ilm al-hal, setelah menguasai baru merambah pada
wilayah kajian yang menjadi alat bantu dalam memahami ajaran dasar. Jika
metode ini berbalik, yaitu dengan menggunakan metode induktif, maka
hasilnya akan berbeda bahkan kajian yang utama adalah alat-alat bantu
yang dapat digunakan sebagai pengembang ajaran Islam baru pada materi
yang bersifat partikular yaitu ilmu-ilmu fiqh, nahwu, sorof bahkan tasawuf
(Said Aqiel Siradj: 210).
Metode tradisional saat ini telah mengalami perubahan yaitu dari
metode sorogan dan wetonan menjadi ceramah meskipun belum merupakan
konsensus para pengajar di pesantren. Said dan Affan melaporkan bahwa
metode wetonan dan sorogan yang menjadi ciri khas beberapa pesantren
telah diganti dengan metode ceramah sebagai metode mengajar yang pokok
-
52
dengan sistem klasikal. Tetapi beberapa pesantren lainnya masih
menggunakannya, kendati terkadang hanya untuk pelajaran agama, sedang
ilmu umum tetap diberikan melalui metode ceramah (Moh. Said dan
Junimar Affan, 1987: 91), bahkan akhir-akhir ini metode diskusi, praktik,
permainan dan lain-lain banyak bermunculan di pesantren-pesantren.
iv. Manajemen
Pola manajemen pendidikan pesantren cenderung dilakukan secara
tradisional dan kurang memperhatikan tujuan-tujuannya yang telah
disistematisasikan secara hierarki. Sistem pendidikan pesantren biasanya
dilakukan secara alami dengan pola manajerial yang tetap (sama) tiap
tahunnya. Perubahan-perubahan mendasar dalam pengelolaan pesantren
agaknya belum terlihat. Penerimaan santri baru, misalnya belum ada sistem
seleksi. Semua dilakukan sama dan semua diterima walaupun dengan latar
belakang yang berbeda-beda tanpa adanya kategori-kategori khusus (Said
Aqiel Sirodj: 214-215).
Dewasa ini, sudah saatnya pola manajemen yang cenderung
ketinggalan itu sedikit demi sedikit berubah. Hal ini bisa dilakukan dengan
adanya pola kerjasama, baik kerja sama dengan lembaga (pesantren-
pesantren) lain maupun institusi-institusi yang bersifat formal agar dapat
memperdayakan diri dalam menghadapi tantangan kontemporer yang
semakin kompleks. Asumsi-asumsi negatif yang dilekatkan pada
pesantren: terisolasi, teralienasi, eksklusif, konservatif dan cenderung
mempertahankan Status Quo.
-
53
Pengasuh pesantren, dalam hal ini kyai maupun ustadz, perlu
berendah hati untuk menjadi teladan pecinta ilmu. Karena itu pengkaderan
pendidik maupun pengelolaan manajemen (pendidikan) pesantren, harus
dilakukan sedemikian rupa, sehingga kyai maupun ustadz memiliki
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan atau meningkatkan keilmuannya
lagi (secara terus-menerus, sesuai dengan etos keilmuan tersebut) demi
peningkatan kualitas keilmuan pesantren.
Akibat (dampak) negatif ketika ideologi modernisasi dikembangkan
penguasa Orde Baru telah berlangsung demikian massif, pesantren juga
terkena imbasnya, ternyata dunia pesantren tidak cukup memiliki filter dan
ketangguhan untuk menyaring dan melakukan kemandirian, maka yang
madharat dan mana yang betul-betul membawa manfaat, barokah dan
maslahah. Modernisasi itu telah mengubah wajah pesantren menjadi
mentereng tetapi melompong dari ketangguhan intelektual dan spiritual.
Jadinya alim tidak, zuhud pun tidak. Karena itu, baru akhir-akhir ini ada
semacam kecenderungan di kalangan pesantren untuk menjadikan Yayasan
lembaganya, sebagai upaya pembinaan dan pengembangan dirinya.
Kecenderungan muncul pada pesantren-pesantren besar yang memiliki
lembaga-lembaga pendidikan formal.
Kecenderungan membentuk Yayasan ternyata hanya diminati
pesantren yang tergolong modern, dan belum berhasil memikat pesantren
tradisional, namun telah ada kecenderungan sebagian pesantren menjadikan
Yayasan lembaganya sebagai bentuk pembaharuan. Memang kenyataannya
sekarang secara kelembagaan ada pesantren hanya dimiliki oleh seorang
-
54
kyai dan ada pula yang milik Yayasan dengan manajemen kolektif (Ismail
SM, 2002: 58). Tampaknya status pesantren milik institusi akan semakin
kuat dan merupakan kebutuhan mendesak dibandingkan dengan status
milik pribadi. Penguatan ini menunjukkan mulai timbulnya kesadaran dari
umat Islam khususnya kalangan pesantren untuk berfikir strategis dan
berwawasan masa depan (Mujamil Qomar : 45-46).
Untuk itu, pesantren mesti bereaksi baik sebagai sikap adaptif
maupun responsif. Konsekuensinya pesantren cenderung berupaya
menambahkan orientasinya pada pemenuhan kebutuhan duniawi.
Perubahan nilai pesantren menuju ke orientasi pemikiran yang lebih
mendunia, induktif, empiris dan rasional, mengimbangi corak pemikiran
yang deduktif-dogmatis sebagaimana selama ini mendominasi pola
pemikiran pesantren. Tanda-tanda tersebut antara lain tampak bahwa santri
memerlukan ijazah untuk ke sekolah formal yang lebih tinggi (Mastuhu,
1994: 71).
Dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya perubahan kepemimpinan
pesantren dari kepemimpinan kyai menuju kepemimpinan Yayasan
cenderung mengakibatkan terjadinya perubahan otoritas yakni dari otoritas
mutlak di tangan kyai berubah menjadi otoritas kolektif di tangan Yayasan.
Namun perubahan otoritas itu belum mampu mewujudkan demokrasi di
pesantren terutama menyangkut perubahan kepemimpinan. Hal tersebut
cenderung menimbulkan pengembangan orientasi ke hal yang lebih baik
dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi.
-
55
BAB III
HASIL PENELITIAN
Setelah melakukan penelitian secara langsung ke pondok pesantren bina
insani Desa Ketapang Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, selanjutnya
disampaikan hasilnya sebagai berikut.
A. Masyarakat Desa Ketapang Kecamatan Susukan
a. Gambaran Umum Masyarakat Ketapang Kecamatan Susukan
Ketapang merupakan nama sebuah kelurahan yang berada dalam
wilayah administrasi Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang Jawa
Tengah (Dokumentasi, dikutip tanggal 15 Pebruari 2011) yang terdiri dari 31
RT dan 6 RW. Masyarakat Desa Ketapang laki-laki : 2.958 orang,
perempuan : 2.965, dari jumlah masyarakat itu yang beragama Islam ada
5.923 orang dan selebihnya beragama nasrani. Masyarakat Ketapan
Kecamatan Susukan merupakan masyarakat yang mayoritas beragama Islam
dengan tingkat ekonomi sedang dan bawah. P