I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bekatul merupakan hasil samping penggilingan padi yang umumnya
berwarna krem atau cokelat muda dan memiliki nilai gizi yang tinggi, namun
pemanfaatannya masih terbatas sebagai pakan ternak padahal merupakan
makanan sehat alami yang mengandung antioksidan, multivitamin dan serat tinggi
untuk penangkal penyakit degenaratif juga kaya akan pati, protein, lemak, vitamin
dan mineral (Damayanthi,Tjing dan Arbianto, 2007). Menurut Ardiansyah (2004),
Bekatul mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras,
protein, sumber asam lemak tak jenuh, dan serat pangan yang bermanfaat bagi
tubuh. Disamping zat gizi, bekatul juga mengandung komponen bioaktif.
Komponen bioaktif tersebut adalah antioksidan tokoferol (vitamin E), tokotrienol,
oryzanol, dan pangamic acid (vitamin B15).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Pertanian pada tahun
2010, produksi padi mencapai 66.6 juta ton, sedangkan pada tahun 2013 produksi
padi yang dihasilkan mencapai 71.2 juta ton (Departemen Pertanian, 2014). Dari
hasil penggilingan padi akan diperoleh sebanyak 8-10% bekatul (Widowati,
2001). Artinya pada tahun 2013 dihasilkan sebanyak kurang lebih 7.12 ton
bekatul. Potensi ketersediaan yang cukup besar serta nilai gizi yang tinggi
memberikan peluang bekatul untuk dikembangkan menjadi bahan pangan bernilai
ekonomi tinggi.
Dengan pengolahan yang tepat, bekatul dimungkinkan untuk menjadi
makanan yang berguna bagi kesehatan, dan sangat berpotensi untuk
1
2
meningkatkan daya jual dari suatu produk pangan baik dari segi nilai gizi maupun
penerimaan konsumen. Pablo et al (1981) cit Labib (1997), menyatakan bahwa
protein konsentrat bekatul cocok untuk jenis makanan padatan, dan menurut
Damayanthi et al (2007), untuk makanan manusia, bekatul dapat dicampur
dengan bahan lain pada pembuatan biskuit, kue, sayur, dan sebagainya.
Penggunaan bekatul secara komersial baru pada pengekstrakan bekatul untuk
minyak goreng dan bahan pembuatan sabun. Proses penambahan bekatul pada
produk pangan bertujuan untuk meningkatkan kandungan gizi terutama protein
pada produk tersebut, sehingga dapat memberikan nilai tambah tersendiri bagi
bekatul. Kandungan protein dalam bekatul dapat mencapai 15,4% (Houston, 1972
dikutip Fauziyah, 2011).
Banyaknya manfaat dari bekatul menjadikan bahan ini ideal untuk
ditambahkan kedalam campuran produk pangan dengan tujuan meningkatkan
kualitas produk pangan tersebut, salah satunya adalah untuk memperbaiki kualitas
produk keripik. Upaya perbaikan kualitas ini sering disebut sebagai keripik
simulasi. Matz (1984) pertama kali menggunakan istilah keripik simulasi untuk
produk kentang yang diolah dengan cara membentuk adonan, dibuat lembaran-
lembaran tipis, dicetak dan digoreng.
Pemanfaatan bekatul sebagai bahan tambahan pembuatan produk keripik
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan nilai gizi dan ekonomi produk ,
serta mengurangi limbah hasil pertanian. Dengan komposisi dan proses
pengolahan yang tepat, maka akan diperoleh produk keripik yang memiliki nilai
gizi dan daya penerimaan konsumen yang baik.
3
1.2 TUJUAN
Menganalisis pengaruh penambahan tepung bekatul rendah lemak terhadap
karakteristik fisik, kimia dan organoleptik produk keripik.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bekatul
Bekatul merupakan hasil samping penggilingan padi yang selama ini
hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Menurut definisinya, bekatul (polish)
adalah lapisan bagian dalam butiran padi, termasuk sebagian kecil endosperm
berpati. Sementara dedak (bran) adalah hasil samping proses penggilingan padi,
terdiri atas lapisan bagian luar butiran padi dengan sejumlah lembaga biji. Namun,
karena alat penggilingan padi tidak memisahkan antara dedak dan bekatul maka
umumnya dedak dan bekatul bercampur menjadi satu dan disebut dengan dedak
atau bekatul saja. Bekatul terdiri atas lapisan pericarp, seed coat, nucellus, dan
aleurone. Proses penggilingan padi menjadi beras akan menghasilkan beras
sebanyak 60-65% sementara bekatul yang diperoleh dari penggilingan padi adalah
8-12%. Penampang membujur biji gabah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Penampang Membujur Biji Gabah
5
Penyosohan beras menghasilkan dua jenis hasil samping, yaitu dedak dan
bekatul. Proses penyosohan merupakan proses penghilangan dedak dan bekatul
dari bagian endosperma beras (Anonim, 2008). Badan Pangan Dunia (FAO) telah
membedakan antara dedak dan bekatul. Menurut David (2008), dedak merupakan
hasil penyosohan pertama sedangkan bekatul adalah hasil penyosohan yang
kedua. Proses penyosohan merupakan proses penghilangan dedak dan bekatul dari
bagian endosperma beras. Tujuan penyosohan untuk menghasilkan beras yang
lebih putih dan bersih. Makin tinggi derajat sosoh, semakin putih dan bersih
penampakan beras, tapi semakin miskin zat gizi.
Dari proses penyosohan akan menghasilkan rendemen beras 57-60%,
sekam 18-20%, dan bekatul 8-10% (hadipermata, 2006). Rendemen bekatul
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain derajat penyosohan, derajat masak
padi atau gabah, kadar air gabah, jenis alat penyosoh, dan lubang alat pemisah
(Soemardi, 1975). Diagram proses terbentuknya bekatul dapat dilihat pada
Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Proses Penggilingan Gabah Menjadi Beras Giling
6
Komposisi kimia bekatul beragam tergantung pada varietas, proses
penggilingan, kondisi lingkungan, penyebaran kandungan kimia dalam butir padi,
ketebalan lapisan luar, ukuran dan bentuk butiran padi, ketahanan butir terhadap
kerusakan dan metode analisa zat gizi yang digunakan. Jenis padi dan lokasi
berpengaruh signifikan terhadap komposisi zat gizi bekatul (Houston, 1972
dikutip Fauziah, 2011).
Berdasarkan hasil penelitian telah menunjukkan bahwa bekatul
mempunyai nilai gizi tinggi, mengandung senyawa bioaktif antioksidan, dan
mengandung serat rice bran sacharida. Antioksidan pada bekatul berupa
oryzanol, tokoferol dan asam ferulat, antioksidan tersebut mampu menghambat
penyakit serperti kencing manis, Alzheimer, mencegah penyakit jantung dan
kanker (Adom K dan Liu R, 2002). Vitamin E dan oryzanol, serta lemak tidak
jenuh pada bekatul juga mampu menurunkan kolesterol, dan kandungan rice bran
sacharida mampu mencegah penyakit kanker (Godber J, Xu Z, Hegsted M,
Walker T, 2002).
Tabel 1. Komposisi Kimia BekatulKomponen Juliano & Bechtel (1985) Luh (1991)Protein (%) 11.3-14.9 12.0-15.6Lemak (%) 15.0-19.7 15.0-19.7
Serat kasar (%) 7.0-11.4 7.0-11.4Karbohidrat (%) 34.1-52.3 34.1-52.3
Abu (%) 6.6-9.9 6.6-9.9Kalsium (mg/g) - 0.3-1.2
Magnesium (mg/g) - 5.0-13.0Fosfor (mg/g) - 11.0-25.0Silika (mg/g) - 5.0-11.0Seng (µg/g) - 43.0-258.0
Thiamin (µg/g) - 12.0-24.0Riboflavin (µg/g) - 1.8-4.0Tokoferol (µg/g) - 149-154
Sumber: (Juliano & Bechtel, 1985) dan (Luh, 1991) dalam Fauziah (2011)
7
Kandungan zat gizi yang dimiliki bekatul yaitu protein 13,11 – 17,19%,
lemak 2,52 – 5,05 %, karbohidrat 67,58 – 72,74 %, dan serat kasar 370,91 -387,3
kalori serta kaya akan vitamin B, terutama vitamin B1 (thiamin). Karbohidrat
yang terdapat pada bekatul berupa selulosa, hemiselulosa, dan pati. Kandungan
pati yang terdapat pada bekatul diperoleh dari bagian endosperma yang terbawa
pada proses penyosohan (Hargrove, 1994).
Kandungan lemak dalam bekatul cukup tinggi. Minyak bekatul
mengandung asam-asam lemak tidak jenuh mencapai 80% (Ciptadi dan Nasution,
1979). Kandungan lemak yang tinggi menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan
dalam beberapa jam setelah penggilingan. Ketengikan ini disebabkan karena
hidrolisis oleh enzim lipase pada lapisan biji serta ketengikan oksidatif. Enzim
lipase dapat menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dan gliserol.
Kandungan protein dalam bekatul dapat mencapai 15,4% (Houston, 1972).
Protein dedak padi mempunyai asam amino esensial yang lengkap sehingga
mempunyai nilai gizi yang tinggi. Nilai gizi protein dedak ternyata tidak berbeda
jauh dengan nilai gizi protein pada kacang kedelai (Ciptadi dan Nasution, 1979).
Bekatul mempunyai kandungan serat kasar yang tinggi mencapai 20,9%.
Kandungan serat pangan pada bekatul dapat mencapai empat kali lipat serat
kasarnya. Serat pangan sebagian besar terdiri atas karbohidrat antara lain selulosa,
hemiselulosa, pektin, dan lignin. Serat ini tidak dapat dihidrolisa oleh enzim
pencernaan. Bekatul juga mengandung zat anti-gizi dan enzim yang sangat
merugikan. Zat anti-gizi dapat menghambat metabolisme tubuh, sedangkan
keberadaan enzim menyebabkan ketengikan bekatul. Zat anti-gizi di dalam
bekatul meliputi fitin, tripsin inhibitor, dan hemaglutinin. Zat anti-gizi tersebut
8
mempunyai aktivitas yang rendah dan dapat diinaktifkan melalui pemanasan
(Juliano, 1985).
2.2 Tepung Bekatul
Pembuatan produk Keripik dilakukan dengan beberapa tahap, yang
pertama adalah membuat tepung bekatul. Bekatul yang digunakan dibuat tepung
terlebih dahulu dikarenakan bekatul yang langsung diperoleh dari pabrik
penggilingan masih memiliki tekstur yang kasar, sehingga jika dimanfaatkan
secara langsung dapat menurunkan tingkat kesukaan terhadap produk
(Damayanthi, Madanijah & Sofia, 2001). Pembuatan tepung bekatul dilakukan
menggunakan Otoklaf, ayakan 60 mesh, tampah dan kain saring. Saat ini metode
untuk mengatasi kelemahan bekatul tersebut sudah tersedia sehingga dapat
diperoleh tepung bekatul dengan sifat yang tidak mudah tengik (Fauziyah, 2011).
2.2.1 Pembuatan Tepung Bekatul
Proses pembuatan tepung dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
penggilingan kering (dry milling) dan penggilingan basah (wet milling).
Penggilingan kering adalah penggilingan dengan dua tahapan yaitu penggilingan
kasar dan halus. Penggilingan dengan metode kering menggunakan alat hammer
mill untuk penggilingan kasar dan disc mill untuk penggilingan halus (Pratama,
2008 dikutip Hartono, 2011).
Penggilingan dengan metode kering menghasilkan rendemen tepung yang
lebih tinggi dibandingkan menggunakan penggilingan basah. Hal ini disebabkan
pada penggilingan basah banyak komponen yang ikut terbuang pada saat
pembersihan dan pencucian.
9
Proses penggilingan basah dilakukan dengan menggunakan penggilingan
batu yang biasa digunakan untuk menggiling kedelai pada pembuatan tahu.
Keuntungan dari proses penggilingan basah adalah kemudahan untuk mencapai
derajat kehalusan yang tinggi, mencegah kenaikan suhu bahan yang terlalu tinggi
dan memperkecil kerugian akibat oksidasi bahan baku.
Penggilingan basah terutama digunakan untuk mendapatkan tepung yang
halus dan biasanya membutuhkan air dalam jumlah besar (Pratama, 2008 dikutip
Hartono, 2011).
Bekatul mempunyai sifat yang tidak menguntungkan yaitu mudah tengik.
Untuk mempeorleh bekatul yang tidak tengik dan sekaligus memperpanjang masa
simpan, maka bekatul harus diawetkan segera setelah diperoleh dari penggilingan
padi. Kondisi teknik pengawetan yang optimal dengan menggunakan otoklaf
dilakukan pada suhu 121oC selama 3 menit dan dilanjutkan dengan pengeringan
menggunakan oven 105oC selama 1 jam (Damayanthi et al., 2003).
Kadar asam lemak bebas di dalam bekatul meningkat dengan cepat dari
1% sampai 3 persen menjadi 12-20 % dalam 24jam , dan meningkat menjadi
33% setelah seminggu setelah seminggu dan mencapai 46% setelah 3 minggu.
Diperkirakan kecepatan pembentukan asam lemak bebas hasil hidrolisis minyak
dalam bekatul mencapai 5-10% perhari dan sekitar 70% dalam sebulan (budijanto,
2010). Kandungan PUFA pada bekatul relatif tinggi sehingga dapat mempercepat
kerusakan bekatul yaitu kerusakan hidrolitik dan kerusakan oksidatif. Bekatul
yang telah mengalami kerusakan oksidatif tidak layak digunakan sebagai bahan
pangan fungsional (Barnes dan Galliard, 1991). Oleh karena itu usaha untuk
memanfaatkan bekatul sebagai bahan pangan harus diawali dengan inaktivasi
10
enzim lipase. Berikut adalah diagram alir proses pengayakan dan penyangraian
bekatul.
Gambar 3. Diagram Alir Proses Pembuatan tepung bekatul(Damayanthi, 2002)
Pembuatan tepung bekatul rendah lemak sedikit berbeda dengan
pembuatan tepung bekatul pada umumnya, hal ini dapat dilakukan dengan
beberapa modifikasi proses misalnya dengan penambahan proses perendaman
bekatul dalam heksan untuk memisahkan bagian bekatul dengan fraksi
minyaknya. Diagram proses pembuatan tepung bekatul rendah lemak dan tepung
bekatul utuh dapat dilihat pada diagram berikut.
11
Gambar 4. Diagram Alir Proses pembuatan Tepung Bekatul Rendah Lemak dan Tepung Bekatul Utuh (Damayanthi, 2002)
2.3 Keripik Simulasi
Keripik merupakan makanan camilan (snack) yang mempunyai daya awet
yang cukup tinggi, rasa yang enak, dan variasi yang banyak sehingga dapat
memenuhi selera konsumen. Keripik biasanya diproses dari bahan baku dalam
12
bentuk irisan melalui proses penjemuran atau tanpa penjumaran, kemudian
digoreng (estiasih, 2010).
Secara umum keripik yang beredar dipasaran terdiri dari dua jenis, yaitu
keripik biasa dan keripik simulasi. Keripik biasa adalah makanan ringan dan
renyah yang dibuat melalui pengupasan dan pembersihan, pengirisan tipis dan
penggorengan. Sedangkan keripik simulasi adalah keripik yang dibuat dengan
tepung dari bahan baku, pengadonan tepung, pembuatan lembaran tipis,
pencetakan lembaran sesuai bentuk yang diinginkan dan penggorengan. Bentuk
keripik simulasi yang dihasilkan beragam dan mempunyai keseragaman yang
tinggi. Seringkali keripik yang dihasilkan pada umumnya memiliki kualitas yang
kurang baik. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memperbaiki kualitas
keripik (Velzey, 2002)
Menurut Karebet (1999), keripik simulasi mempunyai kelebihan dari segi
keseragaman ukuran, cita rasa maupun dari segi gizi karena pada saat pembuatan
adonan dapat dilakukan penambahan lemak, pati, gula, flavour dan bahan lain
yang dapat meningkatkan kandungan gizi keripik.
Dibandingkan dengan jenis keripik biasa, keripik simulasi mempunyai
beberapa keuntungan, antara lain:
1. Keripik simulasi dapat dicetak dengan bentuk dan ukuran sesuai selera.
2. Bentuk dan ukuran keripik simulasi dapat dibuat seragam
3. Aplikasi bumbu dan pencita rasa lainnya lebih mudah
4. Rendemen hasilnya lebih tinggi.
Kriteria keripik yang baik menurut Astawan (1991) diantaranya: 1)
Rasanya pada umumnya gurih, 2) Aromanya harum, 3)Teksturnya kering dan
13
tidak tengik, 4) Warnanya menarik dan 5) Bentuknya tipis, bulat dan utuh dalam
arti tidak pecah.
2.4 Pembuatan Keripik Simulasi
Pembuatan keripik simulasi dilakukan dengan mensubstitusi tepung terigu
dengan menggunakan tepung bekatul rendah lemak. Hal ini sebagai pertimbangan
apabila tepung bekatul rendah lemak merupakan limbah dari pengolahan minyak
bekatul. Pemanfaatan tepung bekatul rendah lemak diharapkan dapat memberi
nilai tambah dan nilai ekonomis tepung bekatul dan keripik. Berikut merupakan
diagram alir proses pembuatan kripik simulasi menurut matz dan susila.
Gambar 5. Diagram Alir Proses Pembuatan Keripik Simulasi
(Matz, 1984 dan Susila, 1999)
14
III. PENAMBAHAN TEPUNG BEKATUL DALAM PEMBUATAN
KERIPIK SIMULASI
Pembuatan keripik simulasi diawali dengan pembuatan tepung bekatul
rendah lemak dan tepung bekatul utuh. Tepung bekatul yang dihasilkan dianalisis
sifat fisik (densitas kamba, derajat putih dan rendemen). Pengukuran derajat putih
dilakukan dengan whitenees meter, yaitu menggunakan standar lempeng plastik
warna putih yang nilai derajat putihnya sama dengan warna putih asap
pembakaran pita BaSO4. Selanjutnya dilakukan analisis sifat kimia (kadar air, abu,
protein, lemak) (Sulaeman, Anwar & Marliyati, 1995) dan kadar serat pangan
larut, serat pangan tidak larut dan serat pangan total (Asp, Johson, Hallmer &
Siljestron, 1983). Penentuan konsentrasi substitusi tepung bekatul terhadap terigu
dilakukan dengan trial and error. Jumlah tepung bekatul rendah lemak maksimal
yang dapat disubstitusi terhadap tepung terigu adalah 20%, sedangkan tepung
bekatul utuh hanya 10%. Penentuan bats maksimal tersebut mempertimbangkan
sejumlah tepung bekatul yang tidak lagi mampu menyatu dengan adonan.
3.1 Karakteristik Tepung Bekatul
3.1.1 Sifat Fisik Tepung Bekatul
Tepung bekatul rendah lemak mempunyai nilai derajat putih sebesar
47,13%. Hal ini ditunjukkan dengan warna coklat pada tepung bekatul rendah
lemak jauh lebih muda dibandingkan dengan tepung bekatul utuh (43,5%). Nilai
densitas kamba tepung bekatul rendah lemak sebesar 0,48 g/ml sedangkan tepung
bekatul utuh 0,49 g/ml. Untuk memperoleh tepung sehalus terigu maka
dibutuhkan pengayakan dengan mesh yang lebih besar namun rendemen yang
dihasilkan akan semakin berkurang.
15
3.1.2 Sifat Kimia Tepung Bekatul
Hasil analisis kadar air, abu, lemak, protein, serat pangan dan kadar
karbohidrat .
Tabel 2. Hasil Analisis Sifat Kimia Tepung Bekatul dan Pembandingnya
Sifat KimiaSubstitusi Tepung Bekatul Rendah Lemak (%bk)
Tepung Bekatul Tepung bekatul rendah lemak
Tepung Terigu
Air (%bb) 8.09 7.48 9.80Abu 8.72 8.87 0.57Lemak 15.79 2.13 1.09Protein 8.97 10.41 10.31Total Karbohidrat 66.53 70.57 88.03 SP Larut 2.06 3.55 2.49 SP Tidak Larut 15.83 35.51 3.14 SP Total 17.89 39.06 5.63Sumber : Damayanthi, Sofia dan Madanijah (2001)
Tepung bekatul rendah lemak mempunyai kadar air dan kadar lemak lebih
rendah dibandingkan tepung bekaul utuh. Nilai kadar air dan kadar lemak yang
rendah pada tepung bekatul rendah lemak memberikan keuntungan pada masa
simpannya. Rendahnya kadar lemak disebabkan sebagian besar lemak atau
minyaknya sudah diesktrak.
Tepung bekatul rendah lemak mempunyai kadar abu, protein dan
karbohidrat lebih tinggi dibandingkan tepung bekatul utuh. Tingginya kadar abu
dari tepung bekatul juga menunjukkan bahwa tepung bekatul memiliki kandungan
mineral lebih banyak dibandingkan dengan tepung terigu. Fosfor merupakan
komponen terbesar dalam bekatul, kemudian diikuti kalium, magnesium, dan
silikon. Tepung bekatul rendah lemak mempunyai kandungan protein yang tinggi,
maka dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pangan sumber protein (luh, 1980).
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa tepung bekatul merupakan sumber
serat pangan yang sangat baik. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kandungan serat
16
pangan total yang dimiliki tepung bekatul jauh lebih tinggi dibandingkan tepung
terigu. Menurut Babcock (1987), bekatul yang telah dihilangkan lemaknya dapat
digunakan untuk membuat produk tinggi serat dengan peningkatan 35-48%.
Selanjutnya dilakukan pembuatan keripik simulasi menggunakan tepung
yang telah dibuat. Keripik yang dihasilkan dianalisis sifat fisik, kimia dan
organoleptiknya. Sifat fisik yang dianalisis adalah kekerasan, sedangkan sifat
kimia yang dianalisis adalah kadar air, abu, protein, lemak dan serat pangan.
3.2 Karakteristik Keripik Simulasi
3.2.1 Karakteristik Fisik Keripik
Sifat fisik keripik yang dianalisis dalah rendemen dan kekerasan. Keripik
yang disubstitusi tepung bekatul rendah lemak 0%(kontrol), 5%, 10%, 15% dan
20% memiliki rendemen berturut-turut 97.69%, 95.78%, 93.54%, 91.06 dan
89.10%. Nilai keripik yang disubstitusi tepung bekatul rendah lemak cenderung
lebih tinggi di bandingkan kontrol. Terjadinya peningkatan nilai kekerasan keripik
yang disubstitusi diduga disebabkan tingginya kandungan serat tepung bekatul
rendah lemak sehingga menyebabkan keripik yang dihasilkan porositasnya
berkurang dan menjadi lebih besar kerapatannya.
3.2.2 Karakteristik Kimia Keripik
Kadar air keripik simulasi berkisar antara 1.94-2.86%, kadar abu (1.99-
3.01%), lemak (17.04-19.36%) dan protein (5.16-7.96). Kadar air dari keripik
semakin menungkat secara nyata dengan semakin tingginya tingkat substitusi
tepung bekatul rendah lemak. Meningkatnya kadar air keripik diduga karena
penguapan air pada saat penggorengan lebih sedikit daripada keripik kontrol.
Ruang kosong dari air yang menguap tergantikan oleh minyak yang terserap. Hal
17
ini berhubungan dengan sifat daya serap minyak tepung bekatul yang lebih rendah
daripada daya serap tepung terigu (Luh,1980).
Kadar abu keripik simulasi mengalami peningkatan dengan semakin
tingginya tingkat substitusi tepung bekatul rendah lemak. Tingginya kadar abu
pada keripik simulasi yang disubstitusi disebabkan oleh tingginya kadar abu dari
tepung bekatul jika dibandingkan dengan kadar abu tepung terigu.
Kadar lemak dari keripik simulasi yang disubstitusi tepung bekatul rendah
lemak dengan kadar 15- 20% lebih rendah daripada kontrol, sedangkan kadar
lemak pada tingkat substitusi 5 dan 10 % tidak berbeda nyata. Rendahnya kadar
lemak keripik simulasi diduga karena penyerapan minyak pada keripik yang
disubstitusi tepung bekatul rendah lemak lebih sedikit daripada kontrol. Menurut
Varela, Bender dan Morton(1988), Penyerapan minyak dipengaruhi oleh suhu,
lama penggorengan, sifat bahan, luas permukaan dan porositas bahan.Selain itu
juga berhubungan dengan penguapan air selama proses penggorengan. Penguapan
air pada keripik yang disubstitusi lebih sedikit daripada kontrol.
Kadar protein dari keripik yang disubstitusi lebih tinggi daripada kontrol.
Hal ini dikarenakan kadar protein semakin meningkat dengan bertambahnya
tingkat substitusi tepung bekatul rendah lemak.
Kadar Karbohidrat dari keripik yang disubstitusi dengan 20% tepung
bekatul rendah lemak lebih rendah secara nyata dibandingkan semua perlakuan.
Kadar karbohidrat keripik substitusi 15% tidak berbeda nyata dengan keripik
substitusi 5%. Semakin tinggi tingkat substitusi maka kadar karbohidrat akan
mengalami penurunan. Menurunnya kadar karbohidrat keripik yang disubstitusi
18
diduga disebabkan oleh kadar karbohidrat tepung bekatul yang lebih rendah
daripada tepung terigu.
Kadar serat pangan yang dimiliki keripik substitusi tepung bekatul rendah
lemak semakin tinggi dengan meningkatnya tingkat substitusi tepung. Hal ini
diduga disebabkan kadar serat pangan tepung bekatul yang lebih tinggi daripada
tepung terigu.
Tabel 3. Hasil Analisis Sifat Kimia Keripik Simulasi dengan Berbagai Tingkat Substitusi Tepung Bekatul Rendah Lemak
Sifat Kimia Substitusi Tepung Bekatul Rendah Lemak (%bk)0% 5% 10% 15% 20%
Air (%bb) 1,94 2,16 2,40 2,86 2,52Abu 1,99 2,23 2,35 2,80 3,01Lemak 19,36 18,98 18,54 17,04 17,55Protein 5,16 6,05 6,95 7,66 7,96Total Karbohidrat 73,48 72,73 72,16 72,50 71,48
SP Larut 1,20 1,56 2,04 2,51 3,00 SP Tidak Larut 5,26 6,54 7,85 9,22 10,33 SP Total 6,46 8,10 9,89 11,73 13,33Keterangan : SP = Serat Pangan bb = berat basah b = berat kering
3.3 Karakteristik Organoleptik
Hasil uji organoleptik menunjukkan tingkat kesukaan terhadap warna,
aroma, rasa dan kerenyahan keripik simulasi. Presentase kesukaan panelis
terhadap warna berkisar antara 20-96.7%, aroma (70-90%), rasa (50-100%) dan
kerenyahan (53.3-100%). Warna dari keripik kontrol lebih disukai dibandingkan
warna keripik yang disubstitusi. Semakin tinggi tingkat substitusi tepung bekatul
rendah lemak menyebabkan tingkat kesukaan terhadap warna keripik semakin
menurun. Hal ini disebabkan warna asal bekatul yang menyebabkan keripik agak
kecoklatan. Menurut Luh (1980), warna pada dedak bervariasi dari coklat muda
sampai coklat tua. Oleh karena itu penerimaan panelis terhadap warna keripik
yang disubstitusi tepung bekatul rendah lemak cenderung menurun
19
Aroma keripik kontrol lebih disukai daripada keripik yang disubstitusi
tepung bekatul rendah lemak pada tingkat 15%. Hal ini diduga pada tingkat
substitusi 15% memberikan aroma khas bekatul yang kurang disukai oleh panelis.
Rasa dari keripik kontrol lebih disukai daripada keripik yang disubstitusi
dengan tepung bekatul terutama pada tingkat 15% dan 20%. Semakin rendah
tingkat substitusi tepung bekatul rendah lemak menunjukkan tingkat kesukaan
yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan keripik simulasi yang disubstitusi dengan
tepung bekatul rendah lemak memiliki rasa agak pahit dibandingkan keripik
kontrol. Menurut Kalhbrener et al. (1974) dalam luh (1980), sumber utama yang
menyebabkan rasa pahit akibat adanya kerusakan lipid dan protein
(hidroperoksida atau linoleat dan asam linoleat).
Kerenyahan merupakan tekstur yang dinilai berdasarkan kemudahan untuk
digigit dan melibatkan pula panca indera pendengaran. Keripik kontrol
menunjukkan tingkat kerenyahan yang lebih tinggi daripada keripik yang
disubstitusi dengan tepung bekatul rendah lemak. Semakin tinggi tingkat
substitusi menyebabkan kerenyahan keripik semakin menurun. Hal ini sejalan
dengan hasil uji fisik kekerasan keripik.
Berdasarkan hasil analisis sifat fisik, kimia dan organoleptik diketahui
bahwa keripik simulasi dengan substitusi tepung bekatul rendah lemak 10%
merupakan formula keripik simulasi terbaik. Dari hasil tersebut kemudian
dilakukan perbandingan lebih lanjut antara tepung bekatul utuh dengan tepung
bekatul rendah lemak pada tingkat substitusi yang sama, yaitu 10 %.
Sifat fisik yang dianalisis adalah rendemen dan kekerasan keripik.
Rendemen keripik simulasi dengan substitusi tepung bekatul rendah lemak
20
(93.54%) cenderung lebih rendah dibandingkan dengan substitusi tepung bekatul
utuh (95.05%). Kekerasan keripik simulasi dengan tepung bekatul rendah lemak
juga lebih tinggi dibandingkan tepung bekatul utuh. Hal ini diduga disebabkan
oleh kadar serat pangan toatal keripik simulasi dengan substitusi tepung rendah
lemak yang lebih tinggi dibandingkan tepung bekatul utuh.
Sifat kimia yang dianalisis adalah kadar air, abu, protein, karbohidrat dan
lemak yang dihasilkan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, kadar air, abu, protein
dan karbohidrat dari keripik yang dihasilkan tidak berbeda nyata antara yang
disubstitusi dengan tepung bekatul rendah lemak dengan tepung bekatul utuh.
Namun terdapat perbedaan kadar lemak yang diduga disebabkan bagian lemak
atau minyak bekatul yang telah diekstrak sebelumnya. Pengujian kadar serat juga
menunjukkan bahwa, kadar serat yang dimiliki keripik dengan substitusi tepung
bekatul rendah lemak lebih tinggi dibandingkan kadar serat tepung bekatul utuh.
Pengujian sifat organoleptik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan untuk parameter warna, aroma dan rasa dari keripik yang disubstitusi
dengan tepung bekatul rendah lemak dan keripik yang disubstitusi dengan tepung
bekatul utuh. Perbedaannya terletak pada tingkat kesukaan panelis terhadap
kerenyahan keripik. Keripik yang menggunakan tepung bekatul rendah lemak
mempunyai tingkat kerenyahan yang lebih rendah. Menurut Ketaren (1986),
jumlah lemak dalam bahan pangan menentukan mutu produk. Jumlah lemak yang
terlalu banyak menyebabkan produk menjadi lembut, sedangkan jumlah lemak
terlalu sedikit menyebabkan produk menjadi keras.
III. KESIMPULAN
21
Pemanfaatan bekatul memiliki tujuan utama untuk meningkatkan nilai gizi
dari suatu produk, namun hal itu perlu disesuaikan karena adanya peningkatan
persentase bekatul di dalam bahan baku menyebabkan penurunan penerimaan
konsumen baik dari segi warna, rasa, aroma dan tekstur. Dengan persentase yang
tepat, maka dapat diperoleh produk sereal yang memiliki karakteristik gizi tinggi
dan memiliki daya terima yang baik terhadap konsumen .
Berdasarkan hasil analisis sifat fisik, kimia dan organoleptik diketahui
bahwa keripik simulasi dengan substitusi tepung bekatul rendah lemak 10%
merupakan formula keripik simulasi terbaik dengan rendemen sebesar 93.54%,
kekerasan 1.88 Kg/mm, kadar air 2.40%, abu 2.35%, lemak 18.54%, protein
6.95%, karbohidrat 72.16%, serat pangan larut, tidak larut dan total berturut-turut
sebesar 2.04%; 7.85 dan 9.89%. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa
modus tingkat kesukaan panelis terhadap parameter warna, aroma, rasa dan
kerenyahan berkisar antara biasa dan suka. Persentase kesukaan panelis pada
semua parameter yang diuji pada kisaran lebih dari 70% (73.3-96.7%). Semakin
tinggi tingkat substitusi tepung bekatul rendah lemak pada keripik menyebabkan
sifat organoleptiknya menjadi semakin menurun.