i
PEMETAAN SEBARAN Aedes albopictus SEBAGAI DASARPENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
DI KECAMATAN SANDUBAYA KOTA MATARAM BERBASISGEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS)
Oleh:
DESI HERIAWATINIM: 151.145.113
JURUSAN PENDIDIKAN IPA BIOLOGIFAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAMMATARAM
2017
ii
PEMETAAN SEBARAN Aedes albopictus SEBAGAI DASARPENGENDALIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
DI KECAMATAN SANDUBAYA KOTA MATARAM BERBASISGEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataran untuk melengkapipersyaratan mencapai gelar Sarjana Pendidikan
Oleh:DESI HERIAWATINIM: 151.145.113
JURUSAN PENDIDIKAN IPA BIOLOGIFAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAMMATARAM
2017
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan berharap ridho dan hidayah dari sang penguasa alam semesta yaitu
Allah SWT Skripsi ini saya persembahkan teruntuk:
1. Yang terhormat Abah (H. Gunawan), Bunda (Rospitasari) dan Almarhumah
mama tercinta (Hajariah), adik-adik tersayang (Firi Rahmawati, M. Ridwan
dan A. Khalid). Terimakasih atas segala do’a dan dukungan yang telah
diberikan walau mungkin kata terima kasih belum cukup untuk mewakili
kasih sayang dan perhatian yang telah diberikan.
2. Keluarga besar yang tak bisa disebutkan satu persatu, yang selalu
mendoakan, menasihati dan memotivasi serta berbagai dukungan lainnya.
3. Keluarga bapak prof. Dr. H. Abdul wahab jufri, M.sc., yang telah
memberikan berbagai dukungan moril maupun materil, nasihat serta
berbagai pelajaran lainnya.
4. Keluarga bapak H. Abdul Mu’is. S.Pd., yang selalu memberikan berbagai
bentuk dukungan selama menjalankan proses perkuliahan
5. Bapak ibu dokter yang telah memberikan perawatan dan semangat menjalani
pengobatan dalam menyelesaikan perkuliahan khususnya bapak Wayan
Tunjung beserta segenap asisten dan k’ Ari yang telah bersedia melayani
konsultasi jarak jauh 24 jam
6. Bapak Ibu Dosen jurusan Pendidikan IPA Biologi, terutama untuk Bapak Dr.
Ir. Edi M. Jayadi, MP., Bapak Dadan Supardan M. Biotech., dan Ibu Sri
Sofiati Umami. M.Bioed., Selaku pembimbing yang selalu sabar
ix
mengarahkan selama penelitian dan penyusunan skripsi. Bapak Alwan
mahsul, M.Pd., selaku wali dosen, beserta segenap dosen dan jajaran jurusan
Pendidikan IPA Biologi yang tak bisa disebutkan satu persatu.
7. Kepada saudara rantauan Putri Ayu Wandiradan k’ Nurdin yang telah
menemani dalam mengejar impian, adik-adik yang telah senantiasa memberi
semangat, Nurul, Dini dan Saska. Teman-teman yang telah meluangkan
waktunya untuk membantu selama penelitian berlangsung(K’Riski, Mulyati,
Nurhayati the love Amirah M. Umar, azmi), teman-teman lainnya yang
tidak bisa di sebutkan satu persatu, dan segenap keluarga besar kelas D
angkatan 2014.
8. Rekan-rekan satu team yang telah bersedia bekerja sama selama
melaksanakan penelitian dan penyelesaian tugas akhir (Suci, Resi dan Roy)
9. Alamamater yang selama ini menjadi kebanggaan dan selalu diperjuangkan.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikanskripsi dengan judul penelitian “Pemetaan
SebaranAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram Berbasis
Geographic Information System(GIS) Sebagai Dasar Pengendalian Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) tepat pada waktunya.
Salawat serta salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Besar Muhammad
Saw., beserta keluarga dan para sahabatnya yang membebaskan ummatnya dari
kejahiliahan sehingga dapat merasakan nikmatnya iman dan Ad-dinul islam.
Tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat
untuk mencapai gelar pendidikan Strata-I di Jurusan Pendidikan IPA Biologi,
Fakultas Tarbiyyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Mataram. Penulis
menyadari bahwa dalam proses penyusunan Skripsi ini tidak akan selesai tanpa
bantuan dan keterlibatan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada ksempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Edi M. Jayadi MP., selaku pembimbing I dan Bapak Dadan
Supardan, S.Si., M, Biotech., selaku pembimbing II yang selalu
memberikan arahan dalam penyusunan proposal skripsi ini.
2. Bapak Dr. Suhirman, M.Si selaku dosen penguji I dan Ibu Lutvia
Krismayanti, M.Kes., selaku dosen penguji II yang telah berkenan
memberikan pertanyaan, kritik serta saran yang membangun dalam
proses ujian skripsi.
xi
3. Bapak Alwan Mahsul M.Pd, selaku Dosen wali sekaligus Dosen
pembimbing akademik yang selalu memberikan arahan selama
perjalanan studi.
4. Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Pendidikan IPA Biologi UIN
Mataram, Bapak Dr. Ir. Edi M. Jayadi MP., dan Bapak Alwan Mahsul.,
M.Pd.
5. Semua Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan IPA Biologi UIN
Mataram yang telah memberikan bimbingan selama menjalani
perkuliahan.
6. Ibu Hj. Lubna, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Mataram.
7. Bapak Prof. Dr. H. Mutawalli, M.Ag., selaku rektor UIN Mataram dan
segenap civitas akademika FITK yang telah memberikan kemudahan
dalam penyusunan proposal skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah berperan serta membantu dalam penyusunan
Skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Kepada semua pihak tersebut, semoga apa yang telah diberikan kepada
penulis tercatat sebagai amal baik dan mendapatkan ridha serta balasan
dari Allah SWT. Amin
xii
Penulis menyadari Skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh
karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun peulis harapkan, agar
terciptanya pendekatan kepada taraf yang sempurna dan dapat memberikan
manfaat khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya
Mataram, Desember 2017
Penulis,
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL.............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI.............................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah ................................... 5
1. Rumusan Masalah.................................................................. 5
2. Batasan Masalah .................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................... 6
1. Tujuan .................................................................................... 6
2. Manfaat Penelitian ................................................................. 6
D. Defenisi Operasional .................................................................. 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN .......... 8
A. Kajian Pustaka ............................................................................ 8
1. Demam Berdarah Dengue (DBD).......................................... 8
a. Pengertian DBD............................................................... 8
b. Etiologi DBD ................................................................... 9
xiv
c. Faktor Yang Mempengaruhi Kasus DBD ....................... 10
2. Aedes albopictus.................................................................... 12
a. Klasifikasi Aedes albopictus............................................ 14
b. Perbedaan Genus Aedes dengan Genus Anopheles dan
Culex................................................................................ 14
c. Perbedaan Aedes aegypti dan Aedes albopictus.............. 18
d. Siklus Hidup Aedes albopictus ........................................ 24
3. Geographich Information system(GIS) ................................ 32
a. Pengertian GIS................................................................. 33
b. Sejarah Singkat GIS......................................................... 35
c. Kelebihan Pemetaan Wilayah Menggunakan GIS........... 35
B. Kerangka Berpikir ...................................................................... 35
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 38
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ............................................ 38
B. Populasi dan Sampel.............................................................. 38
C. Waktu dan Tempat Penelitian................................................ 39
D. Variabel Penelitian................................................................. 40
E. Alat dan Bahan Penelitian...................................................... 40
F. Tehnik Pengumpulan Data..................................................... 40
G. Prosedur Kerja ....................................................................... 41
1. Pembuatan Ovitrap............................................................ 41
2. Peninjauan Kondisi Lingkungan ....................................... 41
3. Pencarian dan Pengkoleksian Larva dan Telur NyamuK . 42
xv
4. Identifikasi dan Analisis Larva nyamuk ........................... 42
5. Pembuatan Peta Sebaran MenggunakanGeographic ...... 42
Information System(GIS) ................................................. 42
H. Tehnik Analisis Data ........................................................... 43
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 46
A. Hasil Penelitian ..................................................................... 46
B. Analisis Data ......................................................................... 48
C. Pembahasan........................................................................... 52
BAB V. PENUTUP.................................................................................... 65
A. Kesimpulan ............................................................................. 65
B. Saran........................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Perbedaan Telur Aedes, Anopheles dan Culex .......................... 15
Gambar 2 : Perbedaan Larva Anopheles, larva Aedes dan larva Culex ......... 15
Gambar 3 : Perbedaan Pupa Anopheles, Aedes dan Culex .......................... 17
Gambar 4 : Perbedaan tahap dewasa Anopheles, Aedes dan Culex .............. 17
Gambar 5: Perbedaan posisi pada fase istirahat Anopheles, Aedes danCulex....................................................................................................18
Gambar 6 : perbedaan larvaAe aegypti dan Ae albopictus ............................19
Gambar 7 : bagian thoraks ScutumAedes aegyptidanAedes albopictus.....20
Gambar 8 : Bagian clypeus KepalaAedes aegyptidan Aedes albopictus.....21
Gambar 9 : Bagian clypeus KepalaAedes (Stegomyia) aegyptidan Aedes(Stegomyia) albopictus ...............................................................21
Gambar 10: BagianmesepimeronKepala Aedes (Stegomyia) aegypti danAedes (Stegomyia) albopictus. ....................................................22
Gambar 11: Bagiankaki Aedes (Stegomyia) aegypti dan Aedes (Stegomyiaalbopictus....................................................................................26
Gambar 12: TelurAedes albopictusdengan mikroskopSkala: bar 100 μ m. 26
Gambar 13:Aedes albopictus. (a) Bagian dorsal larva instar ke-4. (b) skalasisir yang representatif. (c) bagian dahi. (d) Tampilan lateralsegmen terminal. ........................................................................ 28
Gambar 14:Aedes albopictuspada fase pupa dan bagianpaddlepupa .......... 29
Gambar 15 :Ae albopictuspada fase dewasa .................................................. 30
Gambar 16 : Pemetaan Kasus DBD di Kota Kotamobagu tahun 2014 Skala1:300.000 KM............................................................................. 36
Gambar 17 : Bagan Kerangka Teori Penelitian ............................................... 39
xvii
Gambar 18:Spesies yang ditemukan di Kelurahan Mandalika. (a)Anophelessp, (b)Aedes albopictus, (c) Culexsp (d)Aedes aegyptidan (e)Pupa Aedes albopictus ................................................................ 49
Gambar 19: Spesies yang ditemukan di Kelurahan Babakan (a) larvaAedesalbopictus, (b) larvaAedes aegypti, (c) larvaCulexsp, (d) pupaAedes albopictusdan (e) larvaAnophelessp.............................. 49
Gambar 20:Spesies yang ditemukan di Kelurahan Turida. (a) larvaAnopheles sp, (b) larva Aedes aegypti, (c) larva Aedesalbopictusdan (d) larvaCulexsp ............................................... 50
Gambar 21: Spesies yang ditemukan di Kelurahan Selagalas (a) larva Aedesalbopictus....................................................................................51
Gambar 22: Spesies yang ditemukan di Kelurahan Abian Tubuh (a) larvaAnophelessp, (b) pupaAedes albopictus, (c) larva Aedesalbopictus, (c) imago Aedes albopictusdan (d) imagoAnophelessp .............................................................................. 52
Gambar 23: Spesies yang ditemukan di Kelurahan Abian Tubuh (a) larvaAedes aegypti, (b) larvaAedes albopictus, (c) larvaCulex spdan (d) pupaAedes albopictus ...................................................53
Gambar 24: Hasil pemetaan sebaranAedes albopictusdi KecamatanSandubaya Kota Mataram tahun 2017 ....................................... 56
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Luas Wilayah Per Kelurahan Kecaatan Sandubaya Tahun 2015...... 47
Tabel 2 : Sebaran nyamukAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya KotaMataram ........................................................................................ 48
Tabel 3 : Persentase IKR dan Fi spesiesAedes albopictusdi KecamatanSandubaya Kota Mataram ............................................................. 53
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 :Data Perolehan SpesiesAedes albopictusDi KecamatanSandubaya…………………………………………………… 73
Lampiran 2 : Data Faktor Abiotik Di Sekitar Tempat Pengambilan Sampel . 78
Lampiran 3 : Gambar Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian .......................... 83
Lampiran 4 : Analisis Data .............................................................................. 85
xx
Pemetaan Sebaran Aedes Albopictus Di Kecamatan Sandubaya Kota
Mataram Berbasis Geographic Information System (GIS) Sebagai Dasar
Pengendalian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)
Oleh
Desi HeriawatiNIM: 151.145.113
ABSTRAK
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalahkesehatan yang dapat menyebabkan kematian. Selain itu, DBD juga merupakansalah satu penyakit yang belum ditemukan vaksinasi untuk menghentikanpenyebarannya. DBD ditularkan melalui nyamuk genus Aedes yaituAedesaegypti sebagai vektor primer danAedes albopictussebagai vektor sekunderTingginya angka kejadian DBD di Kecamatan Sandubaya Kota Matarammembuat kita harus melakukkan tindakan pencegahan penyebaran vektor diwilayah tersebut. Salah satu langkah awal untuk pencegahan adalah mengontroldan memonitor vektor dengan berfokus pada lokalisasi.Geographic informationsystem(GIS) merupakan sistem informasi khusus yang mengelola data denganinformasi spasial (bereferensi keruangan), sehingga dapat membantu dalamproses pemetaan sebaran vektor pada wilayah tersebut untuk dilakukan upayatindakan pencegahan dan pengendalian lanjutan di wilayah yang berpotensitinggi terhadap keberadaan vektor. Jenis penelitian yang digunakan yaitudeskriptif analitik yang dilakukan pada bulan November 2017 di KecamatanSandubaya Kota Mataram. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa frekuensiketerdapatan tertinggi terdapat di kelurahan Abian Tubuh yaitu 80% dan Fiterendah kelurahan Selagalas yaitu 15%
Kata kunci : Demam berdarah,Aedes albopictus, Geographic InformationSystem(GIS)
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan
yang dapat menyebabkan kematian. Terdapat 2,5 milyar orang di dunia berisiko
terinfeksi virus dengue. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Negara-negara
tropis di Asia seperti Asia tenggara termasuk dalam daerah endemikdemam
berdarah dengue (DBD), salah satunya adalah Indonesia.1 World Health
Organization(WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus
DBD tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan
Indonesia pada tahun 2014– 2016, terdapat 201.885 kasus demam dengue yang
tersebar di seluruh provinsi, dengan 77,96Incidence Rate (IR)atau angka
kesakitan per 100.000 penduduk, 0,79%Case Fatality Rateatau angka kematian
serta terdapat 1.585 kasus menyebabkan kematian.2
DBD merupakan suatu penyakit endemik yang disebabkan oleh virus
dengue yang ditransmisikan oleh vektor nyamuk.3 Vektor utama DBD adalah
nyamuk Aedes aegyptidan Aedes albopictussebagai vektor sekunder. Kedua
1 Andriani, N. W. E. et al.,”Kajian Penatalaksanaan Terapi Pengobatan Demam BerdarahDengue (DBD) Pada Penderita Anak Yang Menjalani Perawatan Di RSUP Prof. Dr. R.D KandouTahun 2013”, Jurnal Ilmiah Farmasi. 2014 Vol. 3 (2): 2
2Data dan informasi profil kesehatan republik indonesia 2016. Kementerian kesehatanRepublik indonesia. Hlm. 137
3Andriani, N. W. E. et al.,”Kajian Penatalaksanaan ..,” hlm. 2
2
vektor tersebut tersebar di seluruh Indonesia termasuk Nusa Tenggara Barat.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), pada
tahun 2016 kasus DBD mencapai 1.939 orang yang tersebar di 10 Kabupaten/Kota
se-NTB. Kasus terbanyak dilaporkan terjadi di Kota Mataram, Lombok Timur dan
Kabupaten Sumbawa.4 Kasus DBD terbilang meningkat setiap tahunnya.
Berdasarkan data yang diperoleh secara spesifik dari keseluruhan daerah di
wilayah kota Mataram, kecamatan Sekarbela dan Sandubaya merupakan daerah
yang paling banyak ditemukan kasus DBD.5
Tingkat kasus DBD di suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, di
antaranya adalah kondisi lingkungan, mobilitas penduduk, kepadatan penduduk,
adanya kontainer buatan ataupun alami di tempat pembuangan akhir sampah
(TPA) ataupun di tempat sampah lainnya serta perilaku masyarakat. Semakin
tinggi tingkat kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, tersedianya banyak
kontainer di tempat-tempat TPA maupun tempat lainnya serta rendahnya
pengetahuan masyarakat dalam pengendalian DBD dapat menyebabkan
meningkatnya kasus DBD pada masyarakat setempat.6 Dalam menghadapi
berbagai factor-faktor tersebut, maka perlu dilakukan pengelolaan lingkungan
sebagai salah satu upaya pengendalian penyebaran DBD.
4Profil Kesehatan Provinsi NTB Tahun 2015. Hlm 375Profil Kesehatan kota Mataram. Hlm 286Fathi. et al., “Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap Penularan Demam
Berdarah Dengue Di Kota Mataram”, Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005. 2 (1): 3
3
Pengelolaan lingkungan yang paling populer dikalangan masyarakat dalam
pengendalian vektor dengue adalah kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) dengan 3M (menguras, menutup dan menimbun atau mendaur ulang).
Kegiatan PSN sudah lama dilaksanakan namun hasilnya masih kurang dari yang
diharapkan.7 Selain itu, pengendalian vektor DBD yang biasa dilakukan atau
diterapkan oleh dinas kesehatan lingkungan yaitu dengan cara pengasapan atau
fogging. Berdasarkan hasil penelitian Kusumawatiet al. (2007), menunjukkan
bahwa metode pengasapan/fogging sebenarnya bukan upaya yang efektif untuk
menaggulangi DBD karena secara garis besar hanya mampu membunuh nyamuk
dewasa.8 Selain fogging, upaya lain yang sering dilakukan masyarakkat yakni
penggunaan larvasida. Akan tetapi, cara ini tidak menjamin terbasminya larva
nyamuk secara permanen serta dapat menimbulkan bau yang kurang sedap.9 Pada
dasarnya, pencegahan maupun pemberantasan nyamuk menggunakan PSN, teknik
fogging, larvasida serta teknik yang lainnya menjadi kurang efektif jika belum
diketahui daerah-daerah yang menjadi titik pusat sebaran vektor DBD tersebut.
Karenanya, salah satu cara pengendalian nyamuk Aedes yang diterapkan di
beberapa negara adalah dengan caramapping atau pemetaan geografis untuk
mengetahui wilayah-wilayah yang memiliki potensi tinggi dalam penyebaran DBD
7Hamzah. E., et al., “Perbedaan Ovitrap Indeks Botol, Ember dan Port Mosquito Trapsebagai Perangkap NyamukAedessp. di Area Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas II SamarindaWilayah Kerja Sangatta Kabupaten Kutai Timur”, Higiene. 2016. 2 (3): 2
8Kusumawati,et al ”Upaya Pemberantasan Nyamuk Aedes Aegypti Dengan Pengasapan(Fogging) Dalam Rangka Mencegah Peningkatan Kasus Demam Berdarah”, Warta. 2007 10 (1) : 1-9
9Tairas. S.,et al., “Analysis of Implementation of Control ofDengue Hemorrhagic FeverinNorth Minahasa Regency”, Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Umum. 2015. 5 (1): 22
4
sehingga dapat dilakukan berbagai upaya penangggulangan penyebarannya.
Adapun teknik pemetaan yang sering digunakan saat ini yaituGeographic
Information System(GIS).
GIS merupakan sistem informasi yang sifatnya geografis yang menjelaskan
suatu keadaan “ruang” atau wilayah atau yang dikenal dengan istilah spasial
(analisis keruangan). GIS mampu menunjukkan secara spasial persebaran
penderita dan pola penyebarannya. Dengan menggunakan peta antara kondisi
lokasi dengan persebaran penderita, dapat pula diprediksi lokasi yang potensial
endemik penyakit menular dan membahayakan. Salah satu penelitian mengenai
penggunaan GIS telah dilakukanSumunar (2007), menunjukkan bahwa
Penginderaan jauh danGeographic Information System(GIS) dapat membantu
dalam menentukan tingkat kerentanan wilayah terhadap perkembagbiakan nyamuk
Aedes AegyptidanAedes Albopictus.10
Pengendalian penyakit demam berdarah dengan pemetaan GIS masih
merupakan salah satu cara baru yang mulai diterapkan di Indonesia, salah satunya
yakni di kota Mataram. Mengingat penyakit DBD merupakan salah satu penyakit
yang berbahaya bahkan bisa menyebabkan kematian serta jumlah penderita yang
semakin meningkat setiap tahunnya, maka perlu dilakukan tindakan pencegahan
terhadap permasalahan tersebut. Langkah awal dalam melakukan pencegahan dan
10Sumunar“Penentuan Tingkat Kerentanan Wilayah Terhadap Perkembangbiakan NyamukAedes AegyptiDan Aedes AlbopictusDengan Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis”
Paper of: International Seminar on Mosquito and Mosquito borne Disease Control ThroughEcological Approaches Departement of Parasitology, Faculty of Medicine Gadjah Mada University,27 November 2007
5
pengendalian DBD adalah dengan membuat peta sebaran vektor pembawa virus
dengue.Salah satu daerah di Kota Mataram yang memiliki kasus DBD tergolong
tinggi serta belum memiliki peta sebaran vektor virus dengue hingga saat ini
adalah kecamatan Sandubaya. Keadaan tersebut dapat didukung oleh tingkat
kepadatan penduduk yang cukup tinggi, adanya beberapa pasar– pasar besar yang
menjadi sumber sampah dapat menjadi tempat perindukan vektor serta pola
prilaku masyarakat belum memahami penuh masalah pengendalian vektor DBD.
Berdasarkan latar belakang tersebut sehingga penting dilakukannya studi dengan
judul “Pemetaan SebaranAedes albopictusDi Kecamatan Sandubaya, Kota
Mataram MenggunakanGeographic Information Systems(GIS) Sebagai Dasar
Pengendalian Penyakit Demam Berdarah” yang diharapkan dapat membantu
proses pengendalian DBD di wilayah tersebut.
B. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini yaitu:
a. Bagaimanakah penyebaranAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya,
Kota Mataram ?
b. Berapa kelimpahanAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya, Kota
Mataram?
2. Batasan Masalah
Agar tidak tejadi perluasan makna pada penelitian yang dilakukan,
maka masalah yang dibahas terbatas pada:
6
a. Penelitian dilakukan di Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram sebagai
tempat pengambilan sampel dan analisis sampel akan dilakukan di
laboratorium Universitas Islam Negeri Mataram
b. Sampel penelitian yang akan dianalisis yaitu larva, pupa dan imago
nyamuk Aedes albopictusyang didapatkan dari beberapa titik
pengambilan sampel di Kecamatan Sandubaya, kota Mataram
c. Jenis penelitian ini yaitu observasional deskriptif analitik dengan teknik
sampling yang digunakan yaitupurposive sampling
d. Data akan diolah menggunakan softwareGeographic Information
Systems(GIS)
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
a. Mengetahui penyebaranAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya,
Kota Mataram
b. Mengetahui kelimpahanAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya,
Kota Mataram
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data penting bagi Dinas
Kesehatan Kota Mataram sebagai dasar pengendalian virus Dengue
penyebab DBD di Kota Mataram
7
b. Dapat menjadi data penting sebagai dasar pengendalian vektor virus
dengue (Aedes albopictus) di Kota Mataram
c. Dapat menjadi informasi ilmiah bagi masyarakat Kota Mataram
D. Defenisi Operasional
1. Pemetaan sebaran
Pemetaan sebaran merupakan proses pembuatan peta atau
penggambaran wilayah mengenai persebaran suatu obyek.
2. Geographich Information System(GIS)
Teknologi Georaphic Information System(GIS) atau SIG (Sistem
Informasi Geografis) merupakan suatu sistem informasi teknologi
mengenai geografis yang memiliki kemampuan yang sangat baik dalam
memvisualisasikan data spasial berikut atribut-atributnya, memodifikasi
bentuk, warna, ukuran, dan symbol.11
3. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit
disebabkan oleh virus dengue yang ditransmisikan oleh vektor nyamuk.12
Vektor utama DBD adalah nyamukAedes aegyptidan Aedes albopictus
sebagai vektor sekunder
11Anwar, C.et al., “Identifikasi dan Distribusi NyamukAedesSp. Sebagai Vektor PenyakitDemam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Su matera Selatan”, Makara Kesehatan. 2014. 46(2): 5
12Andriani, N. W. E. et al.,”Kajian Penatalaksanaan ..,” hlm. 2
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Telaah Pustaka
1. Demam Berdarah Dengue (DBD)
a. Pengertian
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) ataudengue
haemorrhagic fever(DHF) merupakan penyakit demam akut terutama
sering menyerang anak–anak namun juga menyerang orang dewasa.13
Demam berdarah adalah suatu penyakit menular yang ditandai demam
mendadak, perdarahan baik di kulit maupun bagian tubuh lainnya serta
dapat menimbulkan shock (renjatan) dan kematian.14 Kasus DBD
dilaporkan terjadi pada tahun 1953 di Filipina kemudian disusul negara
Thailand dan Vietnam. Pada dekade enam puluhan, penyakit ini mulai
menyebar ke negara-negara Asia Tenggara antara lain Singapura, Malaysia,
Srilanka, dan Indonesia. DBD menjadi salah satu penyakit endemis di
Indonesia, dengan daerah terjangkit yang semakin meluas dan angka
kesakitan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, bahkan sering
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Penyakit DBD di Indonesia
mulai dikenal sejak tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta. Setelah itu jumlah
13Suhardiono, “sebuah analisis faktor resiko perilaku masyarakat terhadap kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di kelurahan Helvetia tengah, Medan, tahun 2005” Jurnal mutiarakesehatan Indonesia. 2005. 1 (2): 1
14Sukana,B. “Pemberantasan Vektor DBD di Indonesia” Media Litbangkesehatan. 1993. 3(1): 10
9
kasus DBD terus bertambah seiring dengan semakin meluasnya daerah
endemis DBD. Penyakit DBD dahulu hanya menyerang atau ditemukan
pada anak-anak, namun sekarang juga banyak ditemukan pada orang
dewasa. Prevalensi terendah ditemukan pada bayi (0,2%) dan prevalensi
tertinggi ditemukan pada kelompok umur 25–34 tahun (0,7%).15
b. Etiologi Demam Dengue (DBD)
Penyakit DBD adalah penyakit yang infeksi oleh virus dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri demam tinggi
mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan
renjatan (shock) dan kematian. Sampai sekarang penyakit DBD belum
ditemukan obat maupun vaksinnya, sehingga satu-satunya cara untuk
mencegah terjadinya penyakit ini dengan memutuskan rantai penularan
yaitu dengan pengendalian vektor.16 Penyakit DBD ini sangat di pengaruhi
oleh faktor risiko lingkungan dan penyebaran vector yang membawa virus
‘dengue’.17 Vektor penyebab demam dengue yang paling sering di sebut
yaitu nyamukAedessp, baik Aedes aegyptymaupunAedes albopictus.
Kedua spesies nyamuk tersebut dapat menularkan virus dengue melalui
15Murniani, A. P.et al., “Pemetaan Kejadian DBD Berdasarkan Angka Bebas Jentik Dan
Jenis Infeksi Virus Dengue”, Jurnal Keperawatan & Kebidanan Stikes-Dian Husada Mojokerto.Hlm. 32
16Fathi, et al., “Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap Penularan DemamBerdarah Dengue Di Kota Mataram”, Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005. 2 (1): 2
17Andri, R.et al., “Tingkat Kerawanan Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Sistem
Informasi Geografi Dan Penginderaan Jauh Di Kota Banjar Propinsi Jawa Barat” Jurnal EkologiKesehatan2013. 12(2): 106– 116
10
nyamuk betina ke telur sampai keturunannya.Aedes albopictuspada
dasarnya adalah spesies hutan yang beradaptasi dengan lingkungan
manusia dipedesaan, pinggiran kota maupun diperkotaan. Meskipun tidak
banyak diketahui, akan tetapiAedes albopictusjuga merupakan salah satu
vektor penyebab terjadinya demam dengue.18 Oleh karena keberadaan
vektor tersebut yang telah akrab dengan lingkungan manusia, maka
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh rudi (2015) dengan
judul faktor risiko penyakit demam berdarah dengue di wilayah kerja
puskesmas guntung payung kota banjarbaru, maka dapat disimpulkan
bahwa faktor risiko penyakit demam berdarah dengue diantaranya perilaku
keluarga, faktor lingkungan serta keberadaan larvaAedes aegypti
(container index).19
c. Faktor yang mempengaruhi kasus DBD
Tingkat kasus DBD di suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah kepadatan penduduk, kondisi lingkungan,
kontainer buatan ataupun alami serta perilaku masyarakat.
1. Kepadatan Penduduk
Menurut WHO tahun 2000 Kepadatan penduduk turut
menunjang atau sebagai salah satu faktor risiko penularan penyakit
18Rahayu, D. F.et al., IdentifikasiAedes aegyptiDan Aedes albopictus”, Balaba. 201N3. 9(1) : 1
19Fakhriadi, R.et al., “Faktor Risiko Penyakit Demam Berdarah Dengue Di Wilayah KerjaPuskesmas Guntung Payung Kota Banjarbaru (Tinjauan Terhadap Faktor Manusia, Lingkungan, DanKeberadaan Jentik”, Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2015. 2 (1): 5
11
DBD. Semakin padat penduduk, semakin mudah nyamuk Aedes
menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya. Pertumbuhan
penduduk yang tidak memiliki pola tertentu dan urbanisasi yang tidak
terencana serta tidak terkontrol merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam munculnya kembali kejadian luar biasa penyakit DBD.
2. Iklim
Beberapa unsur iklim yang berpengaruh dominan terhadap angka
kejadian DBD adalah curah hujan, kelembaban dan suhu. Curah hujan
merupakan faktor penentu tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk.
Hujan dengan intensitas yang cukup akan menimbulkan genangan air di
beberapa tempat penampungan air yang merupakan tempat
perkembangbiakan nyamuk. Suhu menentukan kecepatan tumbuh
kembang nyamuk. Nyamuk Aedes akan berkembang optimum pada
suhu 280 C – 320 C. selain curah hujan dan suhu, kelembaban udara juga
menentukan daya hidup nyamuk, yaitu menentukan daya tahan trachea
yang merupakan alat pernafasan nyamuk. Kasus penyakit DBD tertinggi
di Indonesia terjadi pada kelembaban 82%20
3. Keberadaan kontainer
Keberadaan kontainer sangat berperan dalam kepadatan vektor
nyamuk Aedes, karena semakin banyak kontainer akan semakin banyak
20Rahayu. D. K., et al “Pemodelan Pengaruh Iklim Terhadap Angka Kejadian DemamBerdarah Dengue Di Surabaya”, Jurnal Sains Dan Seni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).2012. ISSN: 2301-928X
12
tempat perindukan dan akan semakin padat populasi nyamuk Aedes.
Semakin padat populasi nyamuk Aedes, maka semakin tinggi pula risiko
terinfeksi virus DBD dengan waktu penyebaran lebih cepat sehingga
jumlah kasus penyakit DBD menjadi meningkat. Dengan demikian
program pemerintah berupa penyuluhan kesehatan masyarakat dalam
penanggulangan penyakit DBD antara lain dengan cara menguras,
menutup, dan mengubur (3M) serta mendaur ulang dapat dilakukan
sebagai upaya dasar bersama masyarakat dalam mengendalikan DBD
melalui pengurangan container untuk vector DBD.
4. Perilaku masyarakat
Perilaku atau sikap masyarakat terhadap penyakit DBD memiliki
pengaruh yang cukup besar yaitu semakin tidak serius dan tidak berhati-
hati terhadap penularan penyakit DBD akan semakin bertambah risiko
terjadinya penularan penyakit DBD. Secara sederhana, sikap dapat
dikatakan adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah
terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin kurang sikap seseorang atau
masyarakat terhadap penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD
maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya KLB penyakit
DBD.21
21Fathi, et al., “Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap Penularan DemamBerdarah Dengue Di Kota Mataram”, Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005. 2 (1): 2
13
3. Aedes albopictus
Menurut Barraud (1928), melaporkan bahwaAedes albopictuspertama
kali dijelaskan oleh Skuse pada tahun 1894 dari spesimen yang dikumpulkan
di kota Calcutta India. Secara filogenetik, SpesiesAedes albopictustelah
ditempatkan dalam kelompok Diptera, famili Culicidae dan genus Aedes.22
Nyamuk Aedes albopictus(Ae. Albopictus) merupakan salah satu vektor
penyakit DBD di Indonesia.23 Widjana (2012), menjelaskankan bahwaAedes
aegypti dan Aedes albopictusmempunyai potensi untuk menularkan kasus-
kasus DHF (Dengue Hemorrhagic Fever) atau lebih sering dikenal dengan
DBD.24 Penelitian serupa juga pernah dilakukan Rozilawatiet al. (2007),
menjelaskankan bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan selama 14
bulan di wilayah Taman Permai Indah (TPI) dan Kampung Pasir Gebu (KPG)
di Penang Malaysia dinyatakan bahwaAedes albopictusberpotensi tinggi
sebagai penyebab DBD.25 Oleh karena itu, keberadaan vektorAedes
albopictus juga perlu diwaspadai dengan pengelolaan dan penanganan
lingkungan yang tepat disekitar kita untuk mencegah penyebaran dan
mewaspadai penularan virus dengue.
22Franco, J.G.E., “Biology, Disease Relationships, And Control Of Aedes albopictus”
Washingto: Paito, 1995: 123Lidia. K. et al., “Deteksi Dini Resistensi NyamukAedes albopictusTerhadap Insektisida
Organofosfat Di Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue Di Palu (Sulawesi Tengah)” MaktabKontribusi Malaysia.2008. 3 (2): 105
24Widjana. D.P,et al., “The Fauna of Aedes Mosquito and Its Potential Role in theTransmission ofDengue Hemorrhagic Feverin the Hamlet of Graha Kerti and Kerta Petasikan,Denpasar” Jurnal Kedokteran Yarsi. 2012.20 (2) : 081-086
25Rozilawati, H.dkk., “Seasonal abundance ofAedes albopictusin selected urban andsuburban areas in Penang, Malaysia”, Tropical Biomedicine. 2007. 24(1): 83–94
14
a. Klasifikasi Aedesalbopictus
Klasifikasi Aedesalbopictusadalah sebagai berikut:
Golongan : AnimaliaFilum : ArthropodaClass : InsektaOrdo : DipteraFamily : CulicidaeGenus : AedesSpesies :Aedes albopictus26
b. Perbedaan Aedes dengan genus Anopheles dan Culex
1. Perbedaan genus Aedes, Anopheles dan Culex pada tahap telur
Telur Aedes berbentuk cerutu dengan ujung sedikit lancip,
berukuran kecil, tidak memiliki pelampung serta berwarna hitam.
Berbeda halnya dengan Culex dan Anopheles yang meletakkan
telurnya dalam bentuk rakit yang bisa mengambang di permukaan
air. Saat bertelur, mereka berwarna putih namun akan berubah
menjadi gelap gulita dalam beberapa jam setelahnya. Rata-rata
jumlah telur per satu kumpulan telur berbentuk rakit adalah 155
telur.27 Pada genus anophelesbetina dewasa dapat menghasilkan
50-200 butir telur per oviposisi. Telur diletakkan sendiri secara
langsung di atas air dan uniknya, telur anopheles memiliki
pelampung di kedua sisinya. Telur ini tidak tahan terhadap
26Boesri, H. “Biologi dan PerananAedes albopictus,…”hlm 11827Subra. R., “Biology And Control OfCulexPipiensUlnquefasciatus" Say, 1823 (Diptera,
Culicidae) With Special Reference To Africa”, intsect Science Applicofion. 1981. 1 (4): 319-338
15
pengeringan dan biasanya menetas dalam 2-3 hari, meskipun
penetasan bisa memakan waktu hingga 2-3 minggu di iklim yang
lebih dingin.28
(a) (b) (c)
Gambar 1Telur Aedes (a), Anopheles (b), Culex (c)29
2. Perbedaan genus Aedes, Anopheles dan Culex pada tahap larva
Larva nyamuk memiliki kepala yang berkembang dengan baik
dengan sikat mulut yang digunakan untuk makan, thorax besar, dan
perut tersegmentasi. Berbeda dengan nyamuk Aedes dan Culex,
larva Anopheles tidak memiliki sifon pernafasan. Oleh karena itu,
larva anopheles selalu memposisikan diri sejajar dengan permukaan
air. Larva bernafas melalui spirakel yang terletak di segmen perut
ke 8 oleh karena itu harus sering datang ke permukaan.30 berbeda
halnya dengan larva Aedes dan Culex yang bisa menggantung atau
bergerak ke bawah permukaan karena memiliki siphon. Siphon
pada Culex lebih panjang dengan 2 atau lebih kelompok rambut
28Centers forDisease Control and Prevention(CDC)., “Anopheles Mosquitoes”, U.S.
Department of Health & Human Services. Hal: 2329 Pictorial Keys Of mosquitoes30Ibid
16
pada bagian pecten dibandingkan siphon pada Aedes yang hanya
ditemukan satu kelompok rambut pada bagian pecten .31
(a) (b) (c)
Gambar 2 :Larva Anopheles (a), larva Aedes (b), larva Culex (c)32
3. Perbedaan dengan genus Anopheles dan Culex pada tahap pupa
Pupa berbentuk koma bila dilihat dari samping. Kepala dan
toraks bergabung menjadicephalothoraxdengan perut melengkung
di bawahnya. Seperti halnya larva, kepompong harus segera muncul
ke permukaan untuk bernafas. Pupa Aedes berukuran lebih kecil
dibandingkan 2 lainnya. Anopheles melakukan pernapasan melalui
sepasang terompet pernafasan dicephalothorax. Setelah beberapa
hari sebagai pupa, permukaan dorsal daricephalothoraxterbelah
dan nyamuk dewasa akan muncul muncul.33
31Michele. M.et al., ”Photographic Guide To Common Mosquitoes Of Florida”, Universityof Florida. Florida Medical Entomology Laboratory. Hal : 20
32 Pictorial Keys Of mosquitoes33
Centers for Disease Control and Prevention (CDC)., “Anopheles…,” hal: 25
17
(a) (b) (c)
Gambar 3 :Pupa Anopheles (a), Aedes (b), Culex (c)34
4. Perbedaan dengan genus anopheles dan culex pada tahap dewasa
Pada tahap ini, perbedaan yang sangat mencolok pada ketiga
genus tersebut adalah panjangnya palps yang berbeda- beda.
Anopheles dewasa memiliki palp dan proboscis yang hampir sama
panjang, sedangkan pada Aedes dan Culex memiliki palpi yang
pendek.35 Selain itu, ciri yang paling mudah dikenali yaitu genus
Aedes memiliki bintik– bintik berwarna putih di tubuhnya.36
(a) (b) (c)
Gambar 4 :tahap dewasa. Anopheles (a), Aedes (b), Culex (c)37
34 Pictorial Keys Of mosquitoes35Ibid36Michele. M.et al., ”Photographic…,” hal: 2337 Pictorial Keys Of mosquitoes
18
5. Perbedaan dengan genus anopheles dan culex pada saat istirahat
Ciri lain yang membedakan antar genus adalah tipe posisi saat
beristirahat. Nyamuk Anopheles memilih cara istirahat yang unik
yaitu dengan menaikkan bagian abdomen ke udara saat istirahat
baik betina maupun jantan, sedangkan genus Aedes dan genus
Culex memposisikan diri seperti biasa dengan Aedes lebih rendah
menekuk kakinya dibandingkan genus Culex.38
(a) (b) (c)
Gambar 5 :posisi pada fase istirahat. Anopheles (a), Aedes (b), Culex (c)39
b. Perbedaan Aedes albopictus dan Aedes aegypti
Pada proses identifikasiAedes albopictus, ciri-ciri serta
perbedaan yang harus diperhatikan tidak hanya terletak pada
perbedaan antar genus melainkan juga disertai perbedaan-perbedaan
antar spesies dalam genus yang sama.Aedes albopictusdan Aedes
aegyptiyang sama-sama merupakan vector DBD memiliki kemiripan
38Ibid39 Pictorial Keys Of mosquitoes
19
yang sangat signifikan. Oleh karena itu, beberapa perbedaan padaAe
albopictusdanAe aegyptiadalah sebagai berikut.
1. PerbedaanAedes albopictusdanAedes aegyptipada tahap larva
Pada bagian thorax,Aedes albopictusmemiliki kelompok
rambut yang tidak memiliki duri panjang yang ditemukan diAedes
aegypti. Terdapat dua cabang di seta 7-C Pada kepalaAedes
albopictus, sementaraAedes aegyptihanya memiliki sikat ventral.
Bagian comb (sisir) Ae albopictusterlihat polos, namun terdapat
spinulus kecil pada bagian dasarnya di setiap masing-masing sisi,
sementara Sisik sisirAedes aegyptimemiliki ujung sisir yang di
sertai beberapa duri pendek yang ukurannya lebih panjang dari
spinulus padaAedes albopictussehingga nampak jelas jika
diamati.40
Gambar 6 :perbedaan larvaAe aegyptidan Ae albopictus41
40Franco,J.G.E., “Biology, Disease Relationships.,,, “, hal 1641 Pictorial Keys Of mosquitoes
20
2. PerbedaanAedes albopictusdanAedes aegyptipada bagian kepala
Pada thoraxAedesbagian atas terdapat perbedaan antara
Aedes aegyptidanAedes albopictus. Perbedaan pada thoraks kedua
spesies tersebut terletah ada garis atau strip putih yang terdapat
pada bagian longitudinal kepala. Secara morfologi keduanya sangat
mirip, namun dapat dibedakan berdasarkan strip putih yang terdapat
pada bagian scutumnya. ScutumAedes aegyptiberwarna hitam
dengan dua strip putih sejajar di bagian dorsal tengah yang diapit
oleh dua garis lengkung berwarna putih. SedangkanAedes
albopictusyang juga berwarna hitam hanya berisi satu garis putih
tebal pada bagian dorsalnya.42
a. b
Gambar 7 :bagian thoraks. Scutum.Aedes (Stegomyia) aegypti (a) dan Aedes (Stegomyia)
albopictus.(b).43
42Purnamasari, A.B.et al., “Distribusi Keruangan Spesies LarvaAedes Sp. DanKarakteristik Tempat Perkembangbiakan Di Kelurahan Karunrung Kota Makassar”, JurnalBionature. 2016. 17 (1): 5
43 Zootaxa 589
21
3. PerbedaanAedes albopictusdanAedes aegyptipada bagianclypeus
kepala
Pada bagianclypeus kepala Aedes aegyptidan Aedes
albopictus memiliki perbedaan yaitu denganClypeusbersisik putih
padaAedes aegypti, sedangkanAedes albopictusmemiliki bagian
clypeus yang berwarna cokelat hingga hitam polos serta tidak
memiliki sisik putih pada bagianclypeusnya44
(b) (b)
Gambar 8 :Bagian clypeus. Kepala.Aedes (Stegomyia) aegypti (a)danAedes (Stegomyia)
albopictus.(b).45
4. PerbedaanAedes albopictusdan Aedes aegyptipada bagian
mesepimeron
Aedes aegyptimemiliki mesepimeron dengan dua skala
putih yang terpisah dengan baik seperti pada gambar, sedangkan
pada Aedes albopictusmemiliki skala putih yang tidak terpisah atau
tersambung membentuk huruf V.
44Rueda, L.M., “Pictorial keys for the identification of mosquitoes (Diptera: Culicidae)associated with Dengue Virus Transmission(Zootaxa 589)”, 2004. New Zealand. Magnolia Press.Hlm 16 - 17
45 Zootaxa 589
22
(a) (b)
Gambar 9:BagianmesepimeronKepala. Aedes (Stegomyia) aegypti (a)danAedes
(Stegomyia) albopictus.(b).46
5. PerbedaanAedes albopictusdanAedes aegyptipada bagian kaki
Secara morfologi, perbedaan antaraAedes aegyptidan
Aedes albopictustidak hanya terletak pada bagian kepala atau
bagian tubuh yang lainnya, melainkan juga terdapat perbedaaan
pada bagian kaki. Pada bagian kaki, tepatnya setiap ruas kaki yang
berada ruas tengah atau ruas kedua, padaAedes aegyptimemiliki
garis putih yang memanjang di sepanjang bagian ruas tengah
tersebut. Berbeda halnya dengan kaki padaAedes albopictusyang
tidak memiliki garis putih dan tampak polos berwarna hitam
kecoklatan seperti gambar di bawah ini.47’48
46 Zootaxa 58947Rahayu, D. F. et al., “Identifikasi…, “ hlm. 348Franco,J.G.E., “Biology, Disease Relationships.,,, “, hal 16
23
(a)
(b)
Gambar 10 :Bagiankaki. Aedes (Stegomyia) aegypti (A) dan Aedes (Stegomyia
albopictus.(B).49
6. PerbedaanAedes albopictusdan Aedes aegyptipada kemampuan
beradaptasi
Aedes albopictusdiketahui lebih mudah beradaptasi terhadap
perubahan suhu dibandingkan denganAedes aegyptiBahkan,
telurnya masih dapat bertahan selama musim dingin berlangsung.
Keadaan ini menjadi salah satu penyebab mudahnya menemukan
Aedes albopictusdi berbagai lokasi dengan berbagai ketinggian,
sekalipun tidak didapatkanAe aegypti. Suhu udara yang tinggi
menjadi faktor yang meningkatkan laju pertumbuhan nyamuk.50
7. PerbedaanAedes lbopictusdan Aedes aegyptipada periode
menghisap darah dan istirahat
Nyamuk Aeds aegyptiditemukan mengisap darah di dalam
rumah (60,53%) dengan puncak kepadatan jam 10.00-11.00 (0,42
nyamuk/orang/jam). NyamukAedes albopictus lebih banyak
49 Zootaxa 58950Anwar, C.et al., “Identifikasi dan Distribusi NyamukAedesSp. Sebagai Vektor Penyakit
Demam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Sumatera Selatan”, Majalah Kedokteran Sriwijaya.2014. 46 (2): 5
24
tertangkap di luar rumah (77,27%) dengan puncak aktivitas
mengisap darah pada jam 10.00-11.00 (0,42 nyamuk/orang/jam).
Perilaku istirahat nyamukAedes aegypticenderung lebih menyukai
di dalam rumah danAedes albopictuslebih menyukai istirahat di
luar rumah.51
8. Perbedaan habitatAedes albopictusdanAedes aegypti
Larva (jentik) nyamukAedes aegyptibiasanya lebih banyak
ditemukan di tempat-tempat penampungan air buatan di dalam
rumah dan lingkungan sekitar pemukiman. SedangkanAedes
albopictus lebih banyak ditemukan terutama pada wilayah
pinggiran kota dan pedesaan di penampungan air alami luar rumah,
seperti pada lubang pohon, potongan bambu dan sejenisnya, meski
ada juga yang ditemukan di tempat penampungan buatan di dalam
dan luar rumah.52 Saat ini pendataan dan pengendalian DBD lebih
banyak dilakukan dan difokuskan padaAedes aegyptikarena lebih
sering ditemukan berada di dalam rumah dan sekitarnya saat
dilakukan beberapa pendataan, sedangkanAedes albopictuskurang
mendapat perhatian dalam proses pengendalian vektor DBD. Hal ini
disebabkan karenaAedes albopictuslebih sering ditemukan di luar
rumah. Akan tetapi, keberadaanAedes albopictusjuga perlu
51Fadilla, Z.et al., “Bioekologi vektor…,” hlm. 752Sukowati,S., “Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Pengendaliannya di
Indonesia”.Buletin Jendela Epidemiologi. 2010: 26
25
diperhatikan dalam pengendaliannya karenaAedes albopictusjuga
merupakan vektor DBD.
c. Siklus hidup Aedes albopictus
spesies vektor DBD ini tergolong nyamuk pemukiman dengan
habitat perkembangbiakan stadium pra dewasanya ada di tempat
penampungan air jernih yang ada di pemukiman penduduk. Selain air
jernih, tempat perkembangbiakan nyamukAedes aegyptidan Aedes
albopictusjuga di temukan pada beberapa media yang telah terpolusi
seperti air tanah, air rendaman jerami dan air yang tercampur kotoran
sapi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wurisastuti (2013),
dengan membandingkan perilaku bertelur nyamukAedes pada
beberapa media air Tercemar, menyatakan bahwa Air yang tercemar
kotoran sapi merupakan media yang paling disukai nyamukAedes
untuk meletakkan telur dan larvanya.53 Dari pernyataan tersebut dapat
diketahui bahwa ada pergeseran tingkat kesukaan bertelur nyamuk
genus Aedes dari air jernih menjadi air tercemar.
1. Tahap telur
Perkembang biakan nyamukAedes albopictus. mengalami
metamorfosa lengkap (helometabola) yakni dari telur, larva, pupa
dan nyamuk dewasa. Melihat metamorfosa pada umumnya
53Tri Wurisastuti “Perilaku Bertelur NyamukAedes aegyptipada Media Air Tercemar”,
Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 2013. 2 (1):25
26
nyamuk Aedes albopictussp. dari telur sampai menjadi larva
dalam kurun waktu selama 2 hari, dari larva menjadi pupa
membutuhkan waktu 6– 8 hari dan sampai menjadi nyamuk
dewasa selama 2 hari.54
Selama masa bertelur, seekor nyamuk betina mampu
meletakkan 100 - 400 butir telur. Telur-telur tersebut diletakkan
dibagian yang berdekatan dengan permukaan air. Setiap kali
nyamuk betina bertelur, diletakkan satu-satu pada dinding ovitrap
yang telah diberi kertas saring. Telur berwarna hitam, ukuran ±
0,8 mm. Telur akan menetas menjadi jentik larva dalam waktu
kurun 2 hari setelah terendam air.55
Telur Aedes albopictusberbentuk cerutu tidak jauh
berbeda sepertiAe aegypti, dan tanpa pelampung. Morfologi telur
berbasis pengamatan mikroskop elektronscanning, adalah sebagai
berikut
54Rosilawati, H. et al., Seasonal abundance ofAedes albopictusin selected urban andsuburbaewn areas in Penang, Malaysia”, Tropical Biomedicine. 2007. 24(1): 83
55Adifian, et al., “Adaptability In Breeding OfAedes aegyptiAnd Aedes albopictusMosquitoes In Breeding Based On The Type Of Water” Bagian Kesehatan Lingkungan, FakultasKesehatan Masyarakat, UNHAS, Makassar. Hlm. 5
27
Gambar 11:Telur Aedes albopictusdengan mikroskop,Skala: bar 100 μ m.
56
2. Tahap larva
Stadium larva merupakan stadium penting karena
gambaran jumlah larva akan menunjukkan populasi dewasa,
selain itu stadium larva juga mudah untuk diamati dan
dikendalikan karena berada di tempat perindukan (air).57 Larva
Aedes albopictuspada dasarnya dapat berkembang biak di
wadah alami maupun buatan.Aedes albopictustelah ditemukan
berkembang biak di habitat alami seperti lubang pohon, lubang
bambu, tempurung kelapa, tangkai tanaman, kolam tanah dan
kolam batu. Habitat buatannya termasuk ban karet, kaleng,
drum, wadah gerabah, waduk, dan ember. Di benua Amerika
Serikat, infestasiAe. Albopiclustelah ditemukan di ban bekas,
56Franco,J.G.E., “Biology, Disease Relationships.,,, “, hal 1657Rosa. E., “Studi Tempat Perindukan Nyamuk Vektor Demam Berdarah Dengue di Dalam
Dan di Luar Rumah di Rajabasa Bandar Lampung”, JurnalSains MIPA. 2007. 13 (1) : 57 - 60
28
tempat pembuangan sampah ilegal, tempat dealer truk dan
peralatan besar.58
Dalam kondisi alamiah larvaAedes albopictus
berkembang di air dengan kekeruhan rendah dan pada pH
mulai dari 5,2-7,6, dengan pH optimal antara 6,8 dan 7-6 di
Asia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laird,
(1959) dan Hien (1975), Air yang mengandung asam amino,
amonia, dan secara umum, memiliki kandungan nitrogen
organik tinggi tampaknya menjadi habitat yang ideal untuk
Aedes albopictus.Selain itu, ukuran interval atau durasi
perkembangan larva dipengaruhi oleh suhu, persediaan
makanan dan kepadatan larva. Dalam kondisi laboratorium,
menunjukkan Suhu mempengaruhi durasi perkembangan larva,
pada suhu 300 C terlihat fase larva dilewati selama 6 hari,
sedangkan pada 250 C dan 200 C, Butuh waktu 9 dan 13 hari.59
Larva umumnya mempunyai masa hidup rata-rata 6-8 hari.60
berdasarkan penelitian yang diilakukan oleh Bahang (1978)
melaporkan perincian masa instar berkisar kira-kira yaitu :
instar I antara 1-2 hari; instar II antara 2-3 hari; instar III antara
58Moore, C. G.et al., “Aedes AlbopictusIn The United States: Rapid Spread Of A PotentialDisease Vector”, Journal of the American mosquito control association. 1988. 4(3):356
59Franco,J.G.E., “Biology, Disease Relationships.,,, “, hal 6160Christopers, S.R. 1960.Aedes aegypti(L) The Yellow Fever Mosquito. Cambridge
University Press. London.
29
2-3 hari dan instar IV sampai menjadi pupa rata-rata selama 3
hari61
Gambar 12:Aedes albopictus. (a) Bagian dorsal larva instar ke-4. (b) skala sisiryang representatif. (c) bagian dahi. (d) Tampilan lateral segmen terminal.APP = anal papilla; CS = comb scale; LH = lateral hair (seta1-X); Pt =pecten teeth; S = siphon; Sa = saddle; ST = siphonal tuft (seta 1-S); 5C,upper head hair; 6-C, lower head hair;7-C, preantennal head hair62
Pada mesothorax dan metathorax,Aedes albopictus
memiliki kelompok rambut yang tidak memiliki duri panjang .
Terdapat dua cabang di seta 7-C Pada bagian kepala. Bagian
ujung bawah comb (sisir) Aedes albopictusterlihat polos,
namun terdapat spinulus kecil pada bagian dasarnya di setiap
masing-masing sisi.63
3. Tahap pupa
Pada tahap pupa,Aedes albopictusserta nyamuk lain
pada umumnya hanya akan berdiam diri dan tidak melakukan
61Boesri,H. “Biologi dan PerananAedes albopictus,…”hlm 12162Farajollahi. A. et al., “A Rapid Identification Guide for Larvae of the Most Common
North American Container-Inhabiting Aedes Species of Medical Importance” Journal of theAmerican Mosquito Control Association. 2013. 29(3):203–221
63Franco,J.G.E., “Biology, Disease Relationships.,,, “, hal 17
30
pergerakan apapun di dalam kepompongnya. Berdasarkan
penelitian Hien (1975) menunjukkan bahwa perkembangan
pupa berlangsung dua hari pada suhu 30 C, tiga hari pada suhu
25 C, dan lima hari di 200 C. PupaAedes albopictusbertahan
pada keadaan kering sampai dua hari pada suhu 26 C dan
kelembaban relatif 87%. Angka kematian pada fase pupa
sekitar 1% dalam kondisi lapangan.64
A B
Gambar 13:Aedes albopictuspada fase pupa. Gambar pupa lengkap (A) dan bagian
paddle pupa (B)65
4. Nyamuk dewasa
Rauben, R melaporkan dalam “Pictorial key to the mosquitoes
Aedes (Stegomyia) SPP” bahwa Aedes albopictusmemiliki
tubuh berwarna hitam dengan bercak/garis-garis putih pada
notum dan abdomen, antena berbulu/plumose, pada yang jantan
palpus sama panjang dengan proboscis sedang yang betina
palpus hanya 1/4 panjang proboscis, mesonotum dengan garis
64Franco,J.G.E., “Biology, Disease Relationships.,,, “, hal 1665Cutwa. .M. et al., “Photographic Guide To Common Mosquitoes Of Florida”, University
of Florida; Florida Medical Entomology Laboratory
31
putih horizontal, femur kaki depan sama panjang dengan
proboscis, femur kaki belakang putih memanjang di bagian
posterior, tibia gelap/ tidak bergelang pucat dan sisik putih pada
pleura tidak teratur66
Gambar 14 :Aedes albopictuspada fase dewasa67
d. PerilakuAedes albopictus
Nyamuk Aedes albopictusmerupakan nyamuk yang mirip
Aedes aegyptidengan perindukan pada tempat penampungan air di
dalam maupun di luar rumah dengan kecenderungan lebih sering di
luar rumah. Umur nyamuk dewasa betina rata-rata berkisar antara 12
sampai 40 hari, dapat hidup tanpa makan darah sampai 104 hari dan
dengan makan darah dapat bertahan hidup selama 122 hari di
66Boesri, H. “Biologi dan PerananAedes albopictus,…”hlm 12267 Quick Guide To Mosquito Genera
32
laboratorium. Kemampuan bertelur antara 60 sampai 80 perekornya
setiap masa bertelur. Telur dapat bertahan berbulan bulan karena
pengeringan dengan daya menetas tidak berubah.68 Perilaku mengisap
darah nyamukAedes spp. hasil penelitian menunjukan bahwa nyamuk
Aedes albopictuslebih banyak tertangkap saat mengisap darah di luar
rumah dengan puncak aktivitas pada jam 10:00-11:00 dan 14:00-
15:00.69 Aedes albopictuslebih menyukai darah manusia (antropofilik)
dan bersifat anautogenik atau memerlukan darah untuk perkembangan
telurnya. Sifat mengigit multipel atau mengigit berkali-kali /
berpindahpindah pada beberapa individu.70
e. DistribusiAedes albopictus
Penyebaran nyamuk ini cukup luas meliputi Australia, Jepang,
Asia Tenggara, India, kepulauan Hawaii sampai Afrika Timur. Di
Indonesia telah ditemui di semua pulau terutama di pulau-pulau besar
dan berpenduduk. Habitatnya adalah tempat-tempat penyimpanan air
bersih termasuk tempat tertampungnya air hujan di alam terutama di
luar rumah dan teduh/ terlindung seperti kebun.71 ketinggian maksimal
untuk distribusi Aedes sp adalah 525 mdpl . Dari fakta ini, dapat
68Boesri, H. “Biologi dan PerananAedes albopictus(Skuse) 1894 sebagai PenularPenyakit”, Aspirator. 2011. 3 (2): 7
69Fadilla, Z.et al., “Bioekologi vektor demam berdarah dengue (DBD) serta deteksi virusdengue padaAedes aegypti(Linnaeus) danAe. albopictus(Skuse) (Diptera: Culicidae) di kelurahanendemik DBD Bantarjati, Kota Bogor”, Jurnal Entomologi Indonesia. 2015. 12 (1): 6
70Boesri, H. “Biologi dan Peranan…,” hlm. 771Ibid
33
disimpulkan bahwa semakin tinggi suatu wilayah, akan semakin sulit
bagi nyamukAedessp untuk bertahan hidup. Hal ini dibuktikan
dengan tidak ditemukannya nyamukAedessp di wilayah dengan
ketinggian 1458 m dpl, 1477 m dpl dan 2392 m dpl, karena suhu di
wilayah tersebut tidak dapat menunjang kehidupan Aedes sp.
Aedes albopictusdiketahui lebih mudah beradaptasi terhadap
perubahan suhu dibandingkan denganAedes aegyptiBahkan, telurnya
masih dapat bertahan selama musim dingin berlangsung . Keadaan ini
menjadi salah satu penyebab mudahnya menemukanAedes albopictus
di berbagai lokasi dengan berbagai ketinggian, sekalipun tidak
didapatkanAedes aegypti. Suhu udara yang tinggi menjadi faktor yang
meningkatkan laju pertumbuhan nyamuk. Sebaliknya, suhu yang lebih
dingin dapat menghambat laju pertumbuhan tersebut. Penelitian di
Amerika Utara menunjukkan adanya peningkatan kepadatanAedes
albopictusdi musim dingin yang suhunya mulai menghangat sebagai
dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim sangat mempengaruhi
bionomik dari Aedes sp yang merupakan vektor pembawa virus
dengue. Faktor musim menjadi faktor pendukung meningkatnya
distribusiAedes spdan berpotensi menimbulkan wabah.72
72Anwar, C.et al., “Identifikasi dan Distribusi NyamukAedesSp. Sebagai Vektor PenyakitDemam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Sumatera Selatan”, Makara Kesehatan. 2014. 46(2): 5
34
5. Geografic Information system (GIS)
a. Pengertian
Teknologi Georaphic Information System(GIS) atau SIG (Sistem
Informasi Geografis) merupakan suatu sistem informasi teknologi
mengenai geografis yang sangat berkembang. GIS memiliki kemampuan
yang sangat baik dalam memvisualisasikan data spasial berikut atribut-
atributnya, memodifikasi bentuk, warna, ukuran, dan symbol. GIS dapat
digunakan oleh berbagai bidang ilmu, pekerjaan, dan peristiwa.Banyak
sekali aplikasi–aplikasi yang dapat ditangani oleh sistem informasi
geografis, di antaranya adalah pada bidang kesehatan. Peristiwa yang dapat
diteliti dengan dasar SIG adalah daerah yang dilanda wabah penyakit
demam berdarah dengue (DBD).73 Sistem informasi geografis mampu
menunjukkan data secara spatial persebaran penderita dan pola
penyebarannya. Dengan menggunakan pertampalan peta antara kondisi
lokasi dengan persebaran penderita, dapat pula diprediksi lokasi yang
potensial endemik penyakit menular.74
b. Sejarah Singkat GIS
Geographich Information System(GIS) pertama kali diperkenalkan
di Kanada pada tahun 1963 dengan namaCanadian Geographic
73Astuti. H.D., “Perancangan Sistem Informasi Geografis Penyebaran DBD Di WilayahKota Depok Dengan Menggunakan Arcview” Jurusan Sistem Informasi, Ilmu Komputer danTeknologi Informasi Universitas Gunadarma
74Widyawati. et al., “Penggunaan Sistem Informasi Geografi Efektif Memprediksi PotensiDemam Berdarah Di Kelurahan Endemik”, Makara Kesehatan. 2011.15 (1). 21-30
35
Information System(CGIS). Dua tahun kemudian Amerika serikat juga
mengembangkan system serupa dengan nama MIDAS dibidang
epidemiologi kesehatan, pemetaan penyakit telah diperkenalkan sejak
tahun 1849 oleh Dr. Jhon snow saat terjadi wabah kolera di kota London.
Pada tahun 1993 kerjasamaWorld Health Organization(WHO) dan
UNICEF dalam suatu badan yang bernamaDivisi pengendalian penyakit
tropis (Divission of Control Of Tropical Desease(CTD) membentk
Healthmap untuk pengembangan GIS dalam upaya pngelolaan dan
pementauan program eradikasi penyakit kecacingan (The Guinea Worn
Eradication Programme) di Afrika. Sejak tahun 1995, terjadi peningkatan
untuk pemetaan dan GIS dari banyak kalangan administrasi kesehatan
masyarakat di berbagai Negara.
Perkembangan GIS di Indonesia dimulai sejak tahun 1990 an yang
dikenal dengan SIG PPM (system infirmasi Geografis– pemberantasan
penyakit menular) yang mengembangkan GIS Archview kesehatan
masyarakat untuk pemetaan penyekit malaria, TB serta imunisasi. Sejak
saat itu, GIS banyak dimanfaatkan di institusi kesehatan dari tingkat
puskesmas hingga tingkat pusat.75
75Sunaryo, “Sistem Informasi Geografis Untuk Kajian Masalah Kesehatan”, Balaba2010 6(1): 26-27
36
c. Kelebihan pemetaan wilayah menggunakan GIS
Adapun beberapa Kelebihan pemetaan wilayah menggunakan
GISyaitu Interface yang mudah dipahami dan menggunakan tampilan web
sehingga kedepannya mempermudah para user dalam mengakses informasi
via online atau internet, data penderita dan jumlah yang meninggal
ditampilkan kedalam bentuk grafik dan data spasial, informasi jumlah
penderita dan jumlah orang meninggal akibat DBD dapat di update sesuai
perkembangan setiap tahunnya, user atau pengunjung dapat mengetahui
sebaran penderita DBD di tiap kecamatan secara kenampakan
kegeografisan, jadi tidak hanya berupa data tulisan, data informasi tentang
puskesmas, informasi tentang rumah sakit, info nama jalan dapat diupdate
secara langsung oleh admin sesuai kebutuhan dan sesuai perubahan data
yang telah didapat. Semisal pelayanan tentang DBD atau jaminan
kesehatan pada instansi.76 Adapun salah satu contoh penggunaan aplikasi
GIS dalam pemetaan kasus DBD olehRiska (2015) di kotamobagu
Sulawesi utara adalah sebagai berikut:
76Nugroho. G.S. dkk., “Geographic Information SystemPenyebaran DBD Berbasis Web diWilayah Kota Solo”, Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi Sinar Nusantara. 2012: 6. ISSN :2338-4018
37
Gambar 15 :Pemetaan Kasus DBD di Kota Kotamobagu tahun 2014 Skala 1:300.000 KM
Berdasarkan gambar, dapat kita ketahui bahwa hasil penelitian yang
telah dilakukan menggambarkan Penyebaran penderita penyakit DBD di
Kota Kotamobagu tahun 2013 dan 2014 tertinggi terdapat di kecematan
Kotamobagu Barat dengan jumlah 54 penderita dan terendah terdapat di
kecamatan Kotamobagu Selatan dengan jumlah 12 penderita. Melalui
penelitian tersebut dapat kita ketahui bahwa penggunaan GIS dalam
pemetaan vector maupun kasus DBD dapat mempermudah proses
pengendalian.77
1. Kerangka Berpikir
Demam dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan
oleh gigitan nyamukAedessp. Penyakit DBD tergolong salah satu penyakit yang
77Riska R..S., “Pemetaan Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue DenganGeographicInformationSystem(GIS) Di Kota Kotamobagu” Jurnal kedokteran komunitas dan tropik.2015. 3 (2): 5
38
banyak menelan korban di berbagai belahan dunia. Pada dasarnya, penyebab
terjadinya demam dengue adalah virus dengue yang dapat ditularkan melalui
nyamuk tersebut. Nyamuk genusAedeshanya berperan sebagai vector pembawa
virus tersebut. Vektor penyebab demam dengue yang paling dikenal oleh
masyarakat umum yaituAedes aegypti. Akan tetapi, ada spesies lain yang dapat
menyebabkan penyakit tersebut yakniAedes albopictus.
Aedes albopictusmerupakan salah satu jenis nyamuk yang sudah
beradaptasi dengan lingkungan manusia seperti di sekitar lingkungan tempat
tinggal kita. NyamukAedes albopictusbiasanya pada fase larva lebih banyak
terdapat pada genangan-genangan air yang berada pada tempat alami di
lingkungan kita seperti pada lubang pepohonan, bebatuan, potongan bambu dan
lainnya. Aedes albopictusbiasanya di katakana sebagai vektor sekunder
penyebab demam dengue karena spesies ini tidak terlalu sering teridentifikasi
sebagai penyebab DBD pada berbagai kasus. Akan tetapi tetap harus diwaspadai
karenaAedes albopictusjuga merupakan salah satu vektor penyebabnya. Salah
satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan melakukan berbagai pencegahan.
Berbagai upaya pencegahan telah dilakukan dalam upaya pencegahan.
Salah satu upaya pencegahan yang sering dilakukan yakni 3M (menguras,
menutup dan menimbun atau mendaur ulang), Fogging, menggunakan abate,
namun hasilnya belum sesuai harapan. Selain itu, hingga saat ini belum
ditemukan vaksin untu virus dengue tersebut. Oleh karena itu, salah satu upaya
pencegahan yang dapat dilakukan yaitu memutus rantai persebaran vector
39
penyebab penyakit tersebut seperti Aedes albopictus. Berbagai kendala dalam
melakukan pencegahan menjadi faktor utama penyebab meningkatnya kasus
DBD di berbagai daerah, salah satunya Kota Mataram Nusa Tenggara Barat
(NTB). salah satu kendala dalam menanggulangi demam dengue di Kota
Mataram khususnya Kecamatan Sandubaya yakni tidak tersedianya data sebaran
vektor penyebab demam tersebut di Dinas Kesehatan dan lembaga terkait di
Kota Mataram.
Berdasarkan paparan di atas, sebagai salah satu tindakan pengendalian
dan pencegahan awal yang dapat dilakukan yaitu pembuatan peta sebaran vektor.
pemetaan sebaran dapat dilakukan demngan menggunakan programGeographich
Information System(GIS). Program ini merupakan salah satu system yang dapat
menyejikan data yang bersifat spasial atau data keruangan, sehingga dapat
mempermudah proses pemetaan serta mempermudah dalam memahami data
yang telah di modifikasi dalam berbagai bentuk, warna, symbol, dan berbagai
modifikasi lainnya. Oleh karena itu, dengan adanya data sebaran yang diperoleh
dari peenelitian ini diharapkan dapat mempermudah dalam penanggulangan
penyakit DBD di wilayah Sandubaya, Kota Mataram.
40
Gambar 16 :bagan kerangka teori penelitian
Peningkatan penderitaDBD
Pengendalian vektorDBD
Penularan melaluivektor Aedes
Aedes albopictuspembuatan ovitrap
Aedes aegypti
Penentuan titik sampling
Peletakkan ovitrap
Menunggu selama1 minggu
Tindakanpengendalian
Pengambilan sampelpada ovitrap yang telah
dipasang
Pemetaan sebaran vektormenggunakan GIS
Identifikasi larva, pupadan imago dari sampel di
laboratoriumAnalisis data
41
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini yaitu observasional deskriptif analitik dengan
pendekatanecological study(studi ekologi), dilaksanakan di Kecamatan
Sandubaya, Kota Mataram. Subjek penelitiannya yaitu larvaAedes Albopictus
dengan sampel 7 kelurahan yaitu Abian Tubuh Baru, Babakan, Bertais,
Turida, Mandalika, Selagalas dan Dasan Cermen. Tehnik sampling yang
digunakanpurposive sampling.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua telur, larva dan imago
nyamuk di Kecamatan Sandubaya Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara
Barat.
2. Sampel
Sampel penelitian ini yaitu telur, larva, pupa dan imago hasil
koleksi pada ovitrap dari beberapa titik pengambilan sampel di Kecamatan
Sandubaya Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sampel akan
diambil sekitar 20% dari luas wilayah kecamatan dengan diletakkan 20
ovitrap pada 10 titik di setiap Kelurahan.
42
C. Waktu dan Tempat Penelitan
Penelitian ini akan dilakukan dikecamatan Sandubaya, Kota Mataram
Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai lokasi pengambilan sampel dan di
Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Islam Negeri Mataram sebagai
lokasi tempat analisis sampel yang didapat dari lapangan. Penelitian ini
direncanakan akan dilaksanakan pada Bulan November 2017.
D. Variabel Penelitian
Variabel terikat pada penelitian ini yaitu kelimpahan nyamuk genus Aedes
dan sebarannya, variabel bebasnya yaitu penentuan jumlah titik sampling
untuk peletakan ovitrap.
E. Alat dan Bahan
Alat dan bahan pada penelitian ini yaitu GPS, Hygrometer, Mikroskop
stereo, Ember (Ovitrap), Waring, kawat kecil, Gelas Beaker, erlenmeyer, Luv,
Kamera, Pinset, Gunting, tang, lem, kotoran sapi dan Alkohol 95%.
F. Teknik Pengumpulan Data
Adapun prosedur pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti
dalam melakukan penelitian ini adalah
1. Observasi langsung
Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan observasi langsung
kelapangan yakni pada 7 kelurahan di kecamatan sandubaya, kota
Mataram yaitu Abian Tubuh Baru, Babakan, Bertais, Turida, Selagalas,
43
Mandalika dan Dasan Cermen. pengambilan sampel dilakukan di daerah
tersebut untuk dilakukan analisis data di laboratorium
2. Dokumentasi
Dokumentasi dilakukan sebagai bukti penelitian berupa
pengambilan gambar serta berbagai data prndukung lainnya.
G. Prosedur Kerja
1. Pembuatan Ovitrap
Penelitian ini dimulai dengan pembuatan ovitrap (perangkap telur
dan larva nyamuk) menggunakan ember hitam dengan ukuran diameter ±
20 cm kemudian ditengah ember di beri waring/jaring ikan, dan ditahan
menggunakan kawat. Selanjutnya ovitrap tersebut diberi label kode sesuai
lokasi tempat peletakan ovitrap tersebut dan akan di letakan di pekarangan
rumah penduduk pada 7 kelurahan di Kecamatan Sandubaya. Setiap
kelurahan akan diletakkan masing-masing 2 ovitrap pada setiap titik
dengan kondisi yang berbeda, yaitu pada tempat yang ternaungi dan
tempat terbuka. Ovitrap akan diletakkan pada 10 titik di setiap kelurahan,
dengan jumlah total ovitrap menjadi 140 ovitrap dari keseluruhan yang
digunakan. Titik koordinat setiap lokasi peletakan ovitrap dicatat dan
disimpan menggunakan GPS. Peletakan ovitrap dilakukan selama 1
minggu, lalu akan diambil kembali untuk mengoleksi telur, larva, puva
dan nyamuk dewasa yang terperangkap dalam ovitrap tersebut.
44
2. Peninjauan kondisi lingkungan dan peletakan ovitrap
Peninjauan kondisi lingkungan yang dilakukan pada penelitian ini
berupa pengukuran intensitas cahaya dan suhu. Pengukuran intensitas
cahaya menggunakan luxmeter atau multimeter digital dan pengukuran
suhu menggunakan termometer. Pengkuran kondisi lingkungan pada
wilayah penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi
lingkungan terhadap kelimpahan sebaran nyamukAedes albopictus.
Setelah dilakukan peninjauan kondisi lingkungan, lalu ovitrap akan
diletakkan di tempat yang telah diukur tersebut.
3. Pencarian dan pengkoleksian larva dan telur nyamuk
Setelah 1 minggu peletakan ovitrap kemudian akan dilakukan
pencarian dan pengkoleksian larva dan telur nyamuk dari ovitrap yang
telah dibuat. Pencarian dan pengkoleksian juga dilakukan di sekitar rumah
warga pada lokasi peletakan ovitrap. Pencarian dan pengkoleksian larva
dan telur nyamuk dilakukan untuk tujuan identifikasi di laboratorium
4. Identifikasi dan analisis larva nyamuk
Identifikasi dan analisis larva nyamuk dilakukan menggunakan luv
dan mikroskop stereo di Laboratorium. Identifikasi yang dilakukan yaitu
identifikasi morfologi terhadap telur, larva, pupa dan dewasa dari hasil
koleksi nyamuk yang ditemukan di wilayah penelitian. Identifikasi akan
dilakukan dengan panduan identifikasi jenis nyamuk. Semua data hasil
45
identifikasi dilaboratorium di analisis kepadatan dan kelimpahannya, serta
dibuat peta sebarannya.
5. Pembuatan peta sebaran menggunakanGeografic Information
System(GIS)
Pembuatan peta sebaran akan menggunakan perangkat lunak GIS
dan pemetaan yang dikembangkan oleh ESRI (Environmental System
Research Institut). Dengan perangkat lunak ini akan melakukan
visualisasi, mengeksplore serta menganalisis data secara geografis.
H. Analisis Data
Data yang dihasilkan dari lapangan dan Laboratorium kemudian
dihitung kepadatan dan kelimpahannya menggunakan rumus:
a. Perhitungan indeks kelimpahan relatif (IKR) dengan persamaan yang
diadopsi dari Krebs (1989) yaitu:
= ( )( )×100%
Selanjutnya nilai indeks kelimpahan relatif digolongkan dalam tiga
kategori yaitu tinggi (>20%), sedang (15%-20%), dan rendah (<15%).
b. Perhitungan frekuensi keterdapatan (Fi) menggunakan persamaan yang
diadopsi dari Misra (1968) yaitu:
46
= ×100%
Setelah itu, data lokasi sebaran nyamuk genus Aedes (berupa titik
koordinat GPS) kemudian diolah pada software QGIS, sehingga
menghasilkan peta sebaran vector virus dengue berbasis GIS
47
BAB IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kondisi Geografis Lokasi
Sandubaya merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota
Mataram. Kecamatan Sandubaya memiliki luas wilayah 10,32 km² dengan
letak astronomi 117 30’ – 118 30’ Bujur Timur dan antara 05 54’– 08
04’’Lintang Selatan. Kecamatan Sandubaya di sebelah selatan berbatasan
dengan Kecamatan Labuapi Lombok Barat dan utara berbatasan dengan
Kecamatan Cakranegara, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Mataram dan Kecamatan Cakranegara dan di sebelah timur
48
berbatasan dengan Kecamatan Lingsar dan Kecamatan Narmada Lombok
Barat
Tabel 1Luas Wilayah Per Kelurahan Kecamatan Sandubaya tahun 2015
Kelurahan Luas Wilayah(km2)
Mandalika 1,00
Babakan 1,10
Turida 1,97
Selagalas 2,99
Abian Tubuh 0,64
Dasan Cermen 1,58
Bertais 1,04
Jumlah 10,32
Kecamatan Sandubaya memiliki luas wilayah sebesar 10,32 km²,
yang terbagi dalam tujuh kelurahan dan kelurahan Selagalas merupakan
kelurahan dengan luas wilayah paling besar yaitu 2,99 km² atau sekitar
28,97% dari total luas wilayah. Sementara kelurahan Abian Tubuh hanya
seluas 0,64 km² atau 6,20% dari total luas wilayah dan merupakan kelurahan
terkecil di Kecamatan Sandubaya.
49
2. Hasil Penelitian
a. Tabel hasil pengamatan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kecamatan
Sandubaya pada tiap-tiap kelurahan, maka dapat diketahui persebaran
Aedes albopictusdi wilayah tersebut bervariasi pada tiap-tiap wilayahnya.
Dari hasil tersebut maka didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 2:Sebaran nyamuk Aedes albopictus di Kecamatan Sandubaya Kota
Mataram
No Kelurahan
Jumlah Faktor Abiotik
Larva Pupa Imago SuhuRerata
(0C)
IntensitasCahayaRerata
1 Mandalika 85 0 0 28,40 4499.80
2 Babakan 466 21 0 27,60 4555.10
3 Turida 140 8 0 27,50 4852.50
4 Selagalas 57 0 0 26,00 3455.30
5 Abian tubuh 519 66 6 30,10 10872,00
6 Dasan Cermen 127 7 0 31,00 16000.20
7 Bertais 13 0 0 28,20 1683,00
Berdasarkan Tabel 1.2, dapat kita ketahui bahwa jumlah individu
Aedes albopictusterbanyak terdapat di Kelurahan Abian Tubuh yaitu
larva sebanyak 519, pupa sebanyak 66 dan 6 imago. Jumlah sebaran
50
Aedes albopictuspaling sedikit ditemukan di Kelurahan Bertais yaitu 13
larva serta tidak di temukan pupa dan imago pada kelurahan tersebut.
Berdasarkan hasil identifikasi menggunakan mikroskop stereo,
didapatkan 3 genus nyamuk yang tersebar di Kecamatan Sandubaya yaitu
genus Aedes, Anopheles dan Culex seperti ditunjukkan pada gambar
berikut.
A B C
D E
Gambar 17:Spesies yang ditemukan di Kelurahan Mandalika. (A)Anophelessp, (B)Aedes albopictus,
(C) Culexsp (D)Aedes aegyptidan (E) PupaAedes albopictus
A B C
51
D E
Gambar 18:Spesies yang ditemukan di Kelurahan Babakan (A) larvaAedes albopictus, (B) larva
Aedes aegypti, (C) larvaCulexsp, (D) pupaAedes albopictusdan (E) larvaAnophelessp
A B
C D
Gambar 19:Spesies yang ditemukan di Kelurahan Turida. (A) larvaAnophelessp, (B) larvaAedes
aegypti, (C) larvaAedes albopictusdan (D) larvaCulexsp
A
Gambar 20:
Spesies yang ditemukan di Kelurahan Selagalas (A) larvaAedes albopictus
52
A B C
D E
Gambar 21:Spesies yang ditemukan di Kelurahan Abian Tubuh (A) larvaAnophelessp, (B) pupa
Aedes albopictus, (C) larvaAedes albopictus, (D) imagoAedes albopictusdan (E) imagoAnophelessp
A B C
C D
Gambar 22:Spesies yang ditemukan di Kelurahan Abian Tubuh (A) larvaAedes aegypti, (B) larva
Aedes albopictus, (C) larvaCulexsp dan (D) pupaAedes albopictus
53
A B
C D
Gambar 23:Spesies yang ditemukan di Kelurahan Mandalika. (A)Anophelessp, (B)Aedes albopictus,
(C) Culexsp (D)Aedes aegypti
B. Analisis Data
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk mendapatkan
persentase kelimpahan serta frekuensi keterdapatan spesiesAedes albopictus
pada tiap-tiap kelurahan di Kecamatan Sandubaya Kota Mataram maka di
lakukan Perhitungan Indeks Kelimpahan Relatif (IKR) dan Frekuensi
Keterdapatan (Fi). Perhitungan Indeks Kelimpahan Relatif (IKR) dihitung
dengan menggunakan persamaan yang diadopsi dari Krebs (1989) yaitu:
= ( )( )×100%
Selanjutnya, perhitungan frekuensi keterdapatan (Fi) menggunakan
persamaan yang diadopsi dari Misra (1968) yaitu:
54
= ×100%
Adapun hasil penghitunganIKR dan Fi pada penelitian tersebut
berdasarkan rumus di atas dapat lihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 3:Persentase IKR dan Fi spesies Aedes allbopictus di Kecamatan Sandubaya
Kota Mataram.
Kelurahan Indeks KelimpahanRelatif (IKR) ( %)
FrekuensiKeterdapatan (Fi) (%)
Mandalika 17,31 40
Babakan 33,92 75
Turida 60,41 55
Selagalas 100 15
Abian Tubuh 97,52 80
Dasan Cermen 58,26 25
Bertais 18,05 65
Indeks Kerapatan Relatif (IKR) merupakan perbandingan jumlah
individu suatu spesies terhadap jumlah total individu yang ditemukan.
Menurut Krebs (1989), nilai indeks kelimpahan relatif (IKR) digolongkan
dalam tiga kategori yaitu tinggi (>20%), sedang (15% - 20%), dan rendah
(<15%). Berdasarkan acuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa
Kelurahan Mandalika merupakan kelurahan dengan nilai IKR paling
rendah, namun dikategorikan sedang karena memiliki IKR dengan nilai
55
17,31 %. sedangkan kelurahan yang lainnya memiliki nilai IKR relatif
tinggi yaitu di atas 20%. Selagalas merupakan kelurahan yang memiliki
nilai IKR tertinggi yaitu mencapai 100%. Dari keseluruhan tempat titik
pengambilan sampel di wilayah Kelurahan Selagalas, hanya ditemukan
spesiesAedes albopictus. Oleh karena itu, perbandingan jumlah individu
Aedes albopictusterhadap jumlah total individu bernilai 100%.
Pada Tabel 1.3, data frekuensi keterdapatan juga bervariasi pada
setiap kelurahannya. Berdasarkan tabel frekuensi keterdapatan tertinggi
spesiesAedes albopictusterdapat di Kelurahan Abian tubuh yakni sebesar
80%, sedangkan frekuensi keterdapatan terendah terdapat di Kelurahan
Selagalas yakni sebesar 15% .
C. Pembahasan
Penelitian di Kecamatan Sandubaya dilakukan di semua Kelurahan
yaitu Kelurahan Mandalika, Babakan, Turida, Bertais, Abian Tubuh,
Selagalas dan Dasan Cermen dengan jumlah titik pengambilan sampel yang
sama pada setiap kelurahan yaitu 10 titik, dengan jumlah ovitrap sebanyak 20
buah, sehingga total titik pengambilan yaitu 70 titik. Berdasarkan hasil
pengamatan, setiap kelurahan memiliki sebaran nyamuk yang berbeda. Tinggi
rendahnya angka keterdapatan spesies pada tiap-tiap wilayah diduga
dipengaruhi oleh berbagai faktor berupa faktor biotik dan faktor abiotik.
Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jacob
56
(2014), yang menyatakan bahwa perkembangan nyamukAedessp dipengaruhi
oleh faktor biotik maupun abiotik.78
Larva nyamuk Aedes albopictuspaling banyak ditemukan di
Kelurahan Abian Tubuh dengan total larva Aedes sebanyak 519 larva, 66
pupa, dan 6 imago. Pada kelurahan ini tercatat rata - rata suhu sekitar 300C
dan intensitas cahaya rata– rata 10872 lx. Jumlah individuAedes albopictus
paling sedikit ditemukan di Kelurahan Bertais, dengan total larva sebanyak 13
larva serta tidak ditemukan pupa dan imago dalam keseluruhan ovitrap yang
dipasang. Rata– rata suhu di Kelurahan ini tercatat 28,200C dan intensitas
cahaya sebesar 1683 lx. Perbedaan kelimpahan sebaran tersebut diduga
dipengaruhi oleh berbagai fakor, di antaranya habitat, jenis ovitrap, jenis
atraktan, suhu, kepadatan penduduk, keberadaan tempat pembuangan akhir
sampah (TPA), ketersediaan kontainer, intensitas cahaya serta perilaku
masyarakat sekitar. Dugaan ini sejalan dengan hasil penelitian Yudhastuti
(2005), yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan, keberadaan kontainer
dan perilaku masyarakat memberikan pengaruh terhadap keberadaan larva
nyamuk.79
78Jacob. A.,et al., “Ketahanan Hidup Dan Pertumbuhan Nyamuk Aedes Spp Pada BerbagaiJenis Air Perindukan”, Jurnal e-Biomedik. 2014. 2 (3): 1
79Yudhastuti. R., et al., “Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer dan PerilakuMasyarakat Dengan Keberadaan Jentik NyamukAedes AegyptiDi Daerah Endemis DemamBerdarah Dengue Surabaya“,Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005. 1 (2): 1
57
1. Habitat
Data keseluruhan yang telah diperoleh memberikan informasi
bahwa genus Aedes merupakan genus nyamuk yang paling dominan
ditemukan pada tiap-tiap kelurahan dibandingkan genus lain seperti
Anopheles dan Culex. Selain itu, genus Aedes juga paling sering
ditemukan pada tiap-tiap titik tempat pengambilan sampel, terutama
spesiesAedes albopictus. Hal ini diduga karena lokasi peletakan ovitrap di
halaman-halaman rumah yang masih menjadi bagian dari habitat spesies
tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya oleh Sitorus (2004), yang menyebutkan bahwaAedessp, baik
Aedes aegyptimaupunAedes albopictusdapat ditemukan dalam kontainer
alami maupun buatan manusia.80 Aedes aegyptilebih senang meletakkan
telurnya pada tempat yang teduh seperti di dalam ruangan dibandingkan
denganAedes albopictusyang justru lebih senang meletakkan telurnya di
luar ruangan.Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat kita
ketahui bahwa keterdapatanAedes albopictuslebih besar dibandingkan
dengan Aedes aegypti diduga karena titik pengambilan sampel
dilingkungan luar rumah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sari
(2012), yang menyebutkan bahwa larvaAedes aegyptilebih sering
80Sitorus. H.,et al “Pengamatan Larva Aedes Di Desa Sukaraya Kabupaten Oku Dan DiDusun Martapura Kabupaten Oku Timur Tahun 2004”, Media Litbang Kesehatan2007. 17(2): 28
58
ditemukan pada kontainer yang berada dalam ruangan dibandingkan
Aedes albopictusyang lebih sering dimukan di luar ruangan.81
Jenis ovitrap yang telah digunakan dalam pengamatan yaitu ovitrap
sederhana yang terbuat dari ember plastik berwarna hitam dengan
diameter sekitar 20 cm. Penggunaan ember plastik berwarna hitam
diharapkan dapat menarik perhatian vektor nyamuk, sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh Hendri (2010) dan Budiyanto (2012),
menyatakan bahwa berdasarkan pengamatan mengenai tempat
perkembangbiakan nyamukAedes spp. di Pasar Wisata Pangandaran
ditemukan bahwa ember yang berbahan plastik,82 serta berwarna gelap
merupakan tempat ditemukannya larva nyamuk paling banyak
dibandingkan tempat perindukan yang lain.83 Hasil penelitian ini juga
sejalan dengan penelitian Widjaja (2011), yang menyatakan bahwa wadah
yang berbahan plastik seperti ember dan berwarna gelap sangat
berpengaruh terhadap kelimpahan genus Aedes termasukAedes albopictus
serta dapat meningkatkan risiko terjangkit penyakit DBD.84
81Sari. P.,et al., Hubungan Kepadatan JentikAedes SpDan Praktik PSN Dengan KejadianDBD Di Sekolah Tingkat Dasar Di Kota Semarang”, Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012. 1 (2):413 - 422
82Hendri. J., et al., “Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedes spp. Di Pasar WisataPangandaran”, Aspirator. 2010. 2 (1): 23-31
83Budiyanto. A., “Perbedaan Warna Kontainer Berkaitan dengan Keberadaan Jentik Aedes
aegyptidi Sekolah Dasar”, Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 2012. 1 (2): 65-7184Widjaja. J., et al. “Keberadaan Kontainer sebagai Faktor Risiko Penularan Demam
Berdarah Dengue di Kota Palu, Sulawesi Tengah”, Aspirator.2011. 3 (2) 82-88
59
Selain jenis ovitrap, kelimpahan vektor nyamuk yang dapat
terkoleksi juga diduga dipengaruhi oleh jenis atraktan yang digunakan.
Adapun jenis atraktan yang telah digunakan yaitu dari kotoran sapi yang
dicampur dengan air dengan konsentrasi 10%. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Wiriastusi (2012), melaporkan bahwa media
yang lebih efektif untuk dijadikan larutan pada ovitrap adalah media yang
tercampur dengan kotoran sapi dibandingkan media tercemar lain yang
telah digunakan seperti air sabun, air cucian beras, air yang tercampur
kotoran ayam, air yang tercampur kotoran kuda dan air yang tercampur
dengan tanah.85
2. Kepadatan Hunian Penduduk
Dari keseluruhan wilayah yang diamati diketahui bahwa kuantitas
dan jenis larva nyamuk yang diperoleh berbeda-beda di setiap kelurahan.
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, ovitrap yang diletakkan di
lingkungan hunian penduduk yang padat, kurang bersih serta kumuh
ditemukan lebih banyak larva nyamuk dibandingkan dengan lingkungan
yang memiliki kepadatan hunian yang rendah serta bersih. Salah satu
kelurahan yang memiliki kepadatan dan pola pemukiman yang cukup
padat yaitu kelurahan Abian tubuh dan Babakan. Kedua kelurahan
tersebut memiliki indeks keterdapatan vektor yang cukup tinggi
85Wurisastuti. T., “Perilaku Bertelur NyamukAedes aegyptipada Media Air Tercemar”,
Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 2013. 2 (1):25– 32
60
dibandingkan kelurahan yang lain. Hal tersebut memberikan gambaran
bahwa faktor kepadatan hunian penduduk juga diduga dapat
mempengaruhi keterdapatan dan kelimpahan vektorAedes albopictuspada
suatu wilayah.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Oktikasari (2008),
yang mengatakan bahwa kepadatan hunian dapat mempengaruhi
keberadaan vektor nyamuk.86
Hasil penelitian yang diperoleh tersebut juga sejalan dengan hasil
penelitian yang telah dilaporkan dalam data WHO (2000), yang
menyatakan bahwa semakin padat penduduk, semakin besar peluang
keterdapatan vektor di lingkungan hunian penduduk yang padat sehingga
semakin mudah pula bagi nyamuk Aedes menularkan virusnya dari satu
orang ke orang lainnya. Selain itu, hasil penelitian Hasyimi (2007),
melaporkan bahwa kepadatan hunian atau kepadatan penduduk juga dapat
meningkatkan resiko kejadian DBD. Hal ini dapat terjadi karena di daerah
dengan kepadatan penduduk tinggi dapat memberi banyak peluang
tumbuh dan berkembang bagi vektor pada berbagai media serta limbah
rumah tangga dari penduduk yang padat tersebut.87
86Oktikasari. F. Y.,et al., “Faktor Sosiodemografi Dan Lingkungan Yang MempengaruhiKejadian Luar Biasa Chikungunya Di Kelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok 2006”,
MakaraKesehatan. 2008. 12 (1): 20-2687Hasyimi. M., et al., “Hubungan Tempat Penampungan Air Minum Dan Faktor Lainnya
Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Provinsi DKI Jakarta Dan Bali (Analisis dataRiskesdas 2007)”, Media Litbang Kesehatan. 2011. 21 (2): 2011
61
3. Tempat Penampungan Air (TPA) dan Keberadaan Kontainer
Tempat penampungan air (TPA) merupakan salah satu tempat
yang disenangi olehAedes albopictus.Keberadaan TPA pada suatu
lingkungan sangat berperan dalam indeks keterdapatanAedes albopictus.
Semakin banyak terdapat TPA pada suatu lingkungan, diduga semakin
besar peluang meningkatnya keterdapatan vektor pada wilayah tersebut.
Data yang diperoleh dari wilayah penelitian memberikan informasi bahwa
kelurahan-kelurahan yang memiliki banyak tempat-tempat penampungan
air terutama yang digunakan oleh warga memiliki indeks kelimpahan yang
tinggi seperti kelurahan Abian Tubuh, Babakan dan Turida yang memiliki
nilai frekuensi keterdapatan masing-masing 80%, 75% dan 55%. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Fathi (2005), yang menyatakan
bahwa keberadaan tempat penampungan air berperan terhadap
keterdapatan nyamuk Aedes.88
Kecamatan Sandubaya merupakan salah satu Kecamatan yang
memiliki pasar dan pusat bisnis lokal terbesar di wilayah Kota Mataram.
Keberadaan pasar besar tidak hanya menimbulkan banyak TPA,
melainkan juga dapat menyediakan lebih banyak kontainer yang berasal
dari sisa barang-barang yang diperjualbelikan dan selanjutnya dapat
menjadi perindukan vektor nyamuk. Selain di wilayah sekitar pasar,
88Fathi. et al., “Peran Faktor Lingkungan Dan Perilaku Terhadap Penularan DemamBerdarah Dengue Di Kota Mataram”, Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2005.2. (1): 1 - 10
62
lingkungan sekitar rumah penduduk yang terdapat kontainer yang tidak
diperhatikan pemiliknya juga dapat meningkatkan keterdapatan vektor.
Seperti yang terjadi di wilayah Abian Tubuh, lingkungan rumah penduduk
masih terdapat banyak kontainer-kontainer sehingga mendukung tingginya
keterdapatan vektor.
Berdasarkan hasil penelitian Azizah (2010), melaporkan bahwa
keberadaan kontainer lebih dari 3 kontainer memiliki risiko untuk
mengalami DBD 6,75 kali lebih besar daripada responden yang
mempunyai kontainer kurang dari 3.89 Data tersebut menggambarkan
bahwa keberadaan kontainer sangat berperan penting terhadap keberadaan
vector demam berdarah, salah satunya yaituAedes albopictus.Hasil
penelitian tersebut sesuai dengan hasil pengamatan yang telah dilakukan.
Lingkungan yang jarang memiliki kontainer seperti Kelurahan Selagalas
memiliki frekuensi keterdapatan paling sedikit yaitu 15% jika
dibandingkan dengan kelurahan lain yang memiliki indeks keterdapatan
rata - rata di atas 25%.
4. Suhu dan Intensitas Cahaya
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 4.3, di perkirakan
bahwa keterdapatan dan kelimpahan spesiesAedes albopictusdi suatu
wilayah dapat dipengaruhi oleh faktor suhu, sebagaimana hasil penelitian
89Gama. A. T.,et al., “Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue Di DesaMojosongo Kabupaten Boyolali” Eksplanasi. 2010. 5 (2):9
63
dari beberapa peneliti sebelumnya seperti pada penelitian Rahayu (2012),
yang menyatakan bahwa terdapat beberapa unsur iklim yang berpengaruh
dominan terhadap angka kejadian DBD, salah satunya adalah suhu. Pada
suhu tertentu vektor DBD dapat berkembang secara optimal. Suhu optimal
untuk perkembanganAedes albopictusberdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Rahayu (2012), melaporkan bahwa suhu optimal untuk
perkembanganAedes albopictusyaitu 28-32 oC.90 Dari pernyataan
tersebut dapat diketahui bahwa angka keterdapatanAedes albopictus
dipengaruhi oleh suhu. Larva terbanyak diperoleh di Kelurahan Abian
Tubuh dengan rata-rata suhu di wilayah tersebut sekitar 300C, yang
merupakan suhu optimal untuk perkembanganAedes albopictus.
Selain suhu, intensitas cahaya juga diduga dapat mempengaruhi
aktifitas dan keberadaanAedes albopictus. Spesies tersebut lebih sering
pada lingkungan yang memiliki intensitas cahaya yang rendah
dibandingkan lingkungan dengan intensitas cahaya tinggi. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Waluyo (2011), yang menyatakan bahwa nyamuk
Aedes lebih banyak ditemukan dan lebih aktif melakukan aktifitas pada
intensitas cahaya yang lebih rendah.91
90Rahayu. D. K., et al “Pemodelan Pengaruh Iklim Terhadap Angka Kejadian DemamBerdarah Dengue Di Surabaya”, Jurnal Sains Dan Seni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).2012. ISSN: 2301-928X
91Waluyo. B., at al., “Pengaruh Penggunaan Cahaya Buatan Terus Menerus TerhadapPerilakuAedesMenghisap Darah”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2011. 7 (1): 40
64
5. Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat dapat berperan penting terhadap keberadaan
vektor nyamuk di lingkungan sekitar. Perilaku masyarakat sangat
didukung oleh pengetahuan dari masyarakat di wilayah tersebut. Semakin
tinggi pendidikan dan pengetahuan mengenai keberadaan, faktor serta
dampak yang diakibatkan keberadaan vector DBD, maka semakin tinggi
pula kesadaran dan keseriusan masyarakat untuk melakukan upaya
pencegahan keberadaan vektor tersebut. Salah satu upaya yang bisa
dilakukan yaitu gerakan pemberantasan sarang nyamuk, abate,fogging,
pemakaian reflane dan lainnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat kita amati frekuensi
keterdapatan dari seluruh kelurahan menggambarkan bahwa Kelurahan
Selagalas merupakan kelurahan yang memiliki frekuensi keterdapatan
paling rendah yaitu 15% serta indeks kelimpahan relatif 100%. Hasil ini
sangat didukung oleh hasil penelitian Cahyo (2006) dan Monintja (2015),
yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat
dapat mempengaruhi keberadaan vektor DBD tersebut.92’93
92Cahyo. K., ”Kajian Faktor – Faktor Dalam Keluarga yang mempengaruhi Pencegahan
Penyekit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Metesh Kota Semarang”, 2006. MediaLitbang Kesehatan. 16(4): 9
93Monintja, T. C. N., “Hubungan Antara Karakteristik Individu, Pengetahuan Dan Sikap
Dengan Tindakan PSN DBD Masyarakat Kelurahan Malalayang I Kecamatan Malalayang KotaManado.Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi. 2015. 5 (2):516
65
6. Curah Hujan
Curah hujan merupakan faktor penentu tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk. Hujan yang cukup akan menimbulkan genangan
air di beberapa tempat penampungan air yang merupakan tempat
perkembangbiakan nyamuk. jumlah hari hujan tertinggi di Kecamatan
Sandubaya terjadi di bulan November yaitu sekitar 25 hari.94 Oleh karena
itu, penelitian yang telah dilakukan bulan November ini juga diperkirakan
dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi tersebut. tingginya curah hujan
dapat mendukung persentase keterdapatan vektor teutama di wilayah
kelurahan yang tersedia banyak container seperti kelurahan Abian Tubuh,
Babakan dan Bertais.
D. Geographic Information System(GIS)
Geographic Information System(GIS) adalah sistem informasi khusus
yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan).
Dalam arti sempit, GIS adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan
untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi
berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya,
dalam sebuah database.95 Adapun hasil pemetaan sebaran nyamukAedes
albopictusdi Kecamatan Sandubaya tahun 2017 menggunakan GIS adalah
sebagai berikut:
94Badan Pusat StatistikKota Mataram “kecamatan Sandubaya dalam angka” 2017: 1-240
95 Tumimomor, M.,et al., “Sistem Informasi Geografis Pariwisata Kota Kupang”, JurnalNasional Pendidikan Teknik Informatika.2013. 1 (2) :1-11
66
Gambar 24:hasil pemetaan sebaranAedes albopictusdi Kecamatan
Sandubaya Kota Mataram tahun 2017
Keterangan:Fi=Frekuensi Keterdapatan
: Fi = 0 - 24% :Fi = 50 - 74%
: Fi = 25 - 49% :Fi = 75 - 100%
67
Berdasarkan Gambar 24 dapat diketahui bahwa peta tersebut
menggambarkan persebaran vectorAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya
bervariasi pada setiap Kelurahan. Kelurahan Abian Tubuh merupakan
Kelurahan dengan Frekuensi Keterdapatan (Fi) paling tinggi yaitu 80 %,,
kemudian disusul oleh kelurahan Babakan dengan nilai (Fi) 75%. Kelurahan
Mandalika dan Turida memiliki nilai (Fi) masing-masing 40 % dan 55%,
sedangkan Kelurahan Selagalas dan Dasan Cermen merupakan Kelurahan
dengan nilai (Fi) paling rendah yaitu masing-masing 15% dan 25%.
Berdasarkan peta tersebut maka dapat diketahui hasil pemetaan sebaranAedes
albopictusmenggambarkan bahwa di Kecamatan Sandubaya tergolong daerah
yang berisiko tinggi terhadap penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. penyebaranAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya Kota Mataram
bervariasi pada setiap kelurahan. Frekuensi keterdapatan (Fi) terdapat pada
kelurahan Abian Tubuh yaitu 80% dan terendah terdapat pada kelurahan
Selagalas yaitu 15%
2. KelimpahanAedes albopictusdi Kecamatan Sandubaya juga berbeda–
beda. Indeks Kelimpahan Relatif (IKR) tertinngi terdapat pada Kelurahan
Selagalas yaitu 100% sedangkan frekuensi keterdapatan terendah terdapat
pada kelurahan Mandalika yaitu 17,31%. Dengan demikian, dapat
diketahui bahwa masyarakat Kecamatan Sandubaya berpotensi tinggi
terkena penyakit Demam berdarah Dengue (DBD). Oleh karena itu perlu
dilakukan upaya pengendalian dengan melihat potensi keterdapatan vektor
Aedes albopictuspada wilayah–wilayah yang telah dipetakan
B. Saran
Berdasarkan hasil peneltian yang telah dilaksanakan, beberapa hal
yang dapat disarankan sebagai tindakan lanjutan yaitu:
a. Kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan kepedulian terhadap
kebersihan lingkungan, terutama pelaksanaan PSN
69
b. Kepada Dinas Kesehatan agar memberikan penyuluhan rutin kepada
masyarakat mengenai bahaya DBD serta upaya penanggulangan yang
bisa dilakukan.
c. Kepada peneliti selanjutnya agar mencoba menggunakan jenis ovitrap
dan jenis atraktan yang berbeda dan lebih efektif
70
DAFTAR PUSTAKA
Alfonso, J & Morales. L., “Mappingmalaria in municipalities of the Coffee Triangleregion of Colombia usingGeographic Information Systems(GIS)”, Journal ofInfection and Public Health. 2015. Vol 8 : 1– 650
Andriani, N. W. E., “Tjitrosantoso. H., Paulina V & Yamlean. Y., “Kajian
Penatalaksanaan Terapi Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) PadaPenderita Anak Yang Menjalani Perawatan Di Rsup Prof. Dr. R.D KandouTahun 2013”, Jurnal Ilmiah Farmasi. 2014. 3 (2): 57– 61
Andri, R., Gunawan. T & Juwono M., “Tingkat Kerawanan Demam BerdarahDengue Berdasarkan Sistem Informasi Geografi Dan Penginderaan Jauh DiKota Banjar Propinsi Jawa Barat”, Jurnal Ekologi Kesehatan.2013. 12(2): 72– 81
Anwar, C., Lavita. R.A & Handayani. D., “Identifikasi dan Distribusi Nyamuk AedesSp. Sebagai Vektor Penyakit Demam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah diSumatera Selatan”, Majalah Kedokteran Sriwijaya. 2014. 46 (2): 111– 117
Boesri, H. “Biologi dan PerananAedes albopictus(Skuse) 1894 sebagai PenularPenyakit”, Aspirator. 2011. 3 (2): 117– 125
Budiyanto,A., “Perbedaan Warna Kontainer Berkaitan dengan Keberadaan JentikAedes aegyptidi Sekolah Dasar”, Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 2012. 1(2): 65-71
Cahyo,K., ”Kajian Faktor – Faktor Dalam Keluarga yang mempengaruhi PencegahanPenyekit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Metesh KotaSemarang”, 2006. Media Litbang Kesehatan. 16(4): 9
Christopers, S.R.,Aedes aegypti(L) The Yellow Fever Mosquito. CambridgeUniversity Press. London. 1960: 1– 750
Data dan informasi profil kesehatan republik indonesia 2016.Kementerian KesehatanRepublik indonesia. Hlm. 1– 175
Fadilla, Z. Hadi. U. K & Setiyaningsih.S., “Bioekologi vektor demam berdarahdengue (DBD) serta deteksi virus dengue padaAedes aegypti(Linnaeus) danAe. albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae) di kelurahan endemik DBDBantarjati, Kota Bogor”, Jurnal Entomologi Indonesia. 2015. 12 (1): 31– 38
71
Fakhriadi, R., Yulidasari. F & Setyaningrum. R., “Faktor Risiko Penyakit DemamBerdarah Dengue Di Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Payung KotaBanjarbaru (Tinjauan Terhadap Faktor Manusia, Lingkungan, Dan KeberadaanJentik”, Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2015. 2 (1): 7– 14
Farajollahi, A & Dana C., “A Rapid Identification Guide for Larvae of the MostCommon North American Container-Inhabiting Aedes Species of MedicalImportance”, Journal of the American Mosquito Control Association. 2013.29(3): 203– 213
Fathi, Keman. S & Wahyuni. C. U., “Peran Faktor Lingkungan Dan PerilakuTerhadap Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram”, JurnalKesehatan Lingkungan. 2005. 2 (1): 1– 10
Franco,J.G.E., “Biology, Disease Relationships, And Control Of Aedes albopictus”,Washington: Paito, 1995 : 1– 61
Gama,A. T., “Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue Di Desa
Mojosongo Kabupaten Boyolali”, Eksplanasi. 2010. 5 (2): 9
Hamzah, E & Basri. S., “Perbedaan Ovitrap Indeks Botol, Ember dan Port MosquitoTrap sebagai Perangkap Nyamuk Aedes sp. di Area Kantor KesehatanPelabuhan Kelas II Samarinda Wilayah Kerja Sangatta Kabupaten KutaiTimur”, Higiene. 2016. 2 (3): 156– 158
Hasyimi, M., “Hubungan Tempat Penampungan Air Minum Dan Faktor Lainnya
Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Provinsi DKI JakartaDan Bali (Analisis data Riskesdas 2007)”, Media Litbang Kesehatan. 2011. 21(2): 2011
Hendri, J., Nusa, R & Prasetyowati, H., “Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Aedesspp. Di Pasar Wisata Pangandaran”, Aspirator. 2010. 2 (1): 23-31
Jacob,A., “Ketahanan Hidup Dan Pertumbuhan Nyamuk AedesSpp Pada BerbagaiJenis Air Perindukan”, Jurnal e-Biomedik. 2014. 2 (3): 1
Lidia, K & Setianingrum. E. L. S., “Deteksi Dini Resistensi NyamukAedesAlbopictus Terhadap Insektisida Organofosfat Di Daerah Endemis DemamBerdarah Dengue Di Palu (Sulawesi Tengah)”, Maktab Kontribusi Malaysia2008. 3 (2): 105– 110
Kusumawati, Y., Suswardany. D.L., Yuniarno. S & Darnoto. S.,” UpayaPemberantasan NyamukAedes aegyptiDengan Pengasapan (Fogging) Dalam
72
Rangka Mencegah Peningkatan Kasus Demam Berdarah”, Warta. 2007. 10 (1):1 – 11
Murdani, A. P., Martini. S & Purnomo.W., “Pemetaan Kejadian DBD Berdasarkan
Angka Bebas Jentik Dan Jenis Infeksi Virus Dengue”, Jurnal Keperawatan &Kebidanan Stikes-Dian Husada Mojokerto. Hlm. 30– 43
Monintja, T. C. N., “Hubungan Antara Karakteristik Individu, Pengetahuan Dan
Sikap Dengan Tindakan PSN DBD Masyarakat Kelurahan Malalayang IKecamatan MalalayangKota Manado”, Jurnal Ilmu Kesehatan MasyarakatUniversitas Sam Ratulangi. 2015. 5 (2): 516
Moore, C. G., Francy.D. B., Eliason. D. A & Monath. T. P., “Aedes AlbopictusInThe United States: Rapid Spread Of A Potential Disease Vector”, Journal of theAmerican mosquito control association. 1988. 4(3): 1– 360
Nugroho, G.S., Nugroho. D & Hasbi. M., “Geographic Information SystemPenyebaran DBD Berbasis Web di Wilayah Kota Solo”, Jurnal TeknologiInformasi dan Komunikasi Sinar Nusantara. 2012: 6: 59– 65
Oktikasari, F. Y.,Susanna, D & Djaja, I. M., “Faktor Sosiodemografi Dan
Lingkungan Yang Mempengaruhi Kejadian Luar Biasa Chikungunya DiKelurahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok 2006”, Makara Kesehatan.2008. 12 (1): 20-26
Purnamasari, A.B. Kadir. S & Marhtyni., “Distribusi Keruangan Spesies LarvaAedesSp. Dan Karakteristik Tempat Perkembangbiakan di Kelurahan KarunrungKota Makassar”, Jurnal Bionature. 2016. 17 (1): 1– 7
Profil Kesehatan Provinsi NTB Tahun 2015. Hlm 37
Rahayu, D. F & Ustiawan. A.,“Identifikasi Aedes AegyptiDan Aedes albopictus”,Balaba. 2013. 9 (1) : 7– 10
Rahayu, D. K.,“Pemodelan Pengaruh Iklim Terhadap Angka Kejadian Demam
Berdarah Dengue Di Surabaya”, Jurnal Sains Dan Seni Institut TeknologiSepuluh Nopember(ITS). 2012.
Riska, R..S., “Pemetaan Penyebaran Penyakit Demam Berdarah Dengue DenganGeographic Information System(GIS) Di Kota Kotamobagu”, Jurnalkedokteran komunitas dan tropik.2015. 3 (2): 1– 11
73
Rueda, L.M., “Pictorial keys for the identification of mosquitoes (Diptera: Culicidae)associated with Dengue Virus Transmission(Zootaxa 589)”, New Zealand.Magnolia Press. 2004:1– 60
Rosa,E., “Studi Tempat Perindukan Nyamuk Vektor Demam Berdarah Dengue diDalam Dan di Luar Rumah di Rajabasa Bandar Lampung”, Jurnal SainsMIPA.2007. 13 (1) : 57– 60
Rosilawati, H & Zairil. J., Seasonal abundance ofAedes albopictusin selected urbanand suburbaewn areas in Penang, Malaysia”, Tropical Biomedicine. 2007.24(1): 83– 94
Sari. P., Martini & Ginanjar, P., Hubungan Kepadatan Jentik Aedes Sp Dan PraktikPSN Dengan Kejadian DBD Di Sekolah Tingkat Dasar Di Kota Semarang”,
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2012. 1 (2): 413 - 422
Sitorus,H., “Peng Amatan Larva Aedes Di Desa Sukaraya Kabupaten Oku Dan Di
Dusun Martapura Kabupaten Oku Timur Tahun 2004”, Media LitbangKesehatan2007. 17(2): 28
Suhardiono, “sebuah analisis faktor resiko perilaku masyarakat terhadap kejadian
demam berdarah dengue (DBD) di kelurahan Helvetia tengah, Medan”, 2005”
Jurnal mutiara kesehatan Indonesia. 2005. 1 (2): 1– 7
Subra, R., “Biology And Control Of CulexPipiensUlnquefasciatus" Say, 1823(Diptera, Culicidae) With Special Reference To Africa”, Intsect ScienceApplicofion. 1981. 1 (4): 250– 340
Sukana, B. “Pemberantasan Vektor DBD di Indonesia” Media Litbangkesehatan.1993. 3 (1): 9– 16
Sumunar “Penentuan Tingkat Kerentanan Wilayah Terhadap PerkembangbiakanNyamukAedes AegyptiDan Aedes AlbopictusDengan Penginderaan Jauh DanSistem Informasi Geografis” Paper of: International Seminar on Mosquito andMosquito borne Disease Control Through Ecological Approaches Departementof Parasitology, Faculty of Medicine Gadjah Mada University, 27 November2007: 1– 10
Sunaryo “Sistem Informasi Geografis Untuk Kajian Masalah Kesehatan” Balaba2010. 6(1) : 26-27
Sukowati, S., “Masalah Vektor Demam Berdarah Dengue dan Pengendaliannya diIndonesia”, .Buletin Jendela Epidemiologi. 2010:20–28
74
Tairas, S., “Analysis of Implementation of Control of Dengue Hemorrhagic Fever in
North Minahasa Regency”, Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat Umum. 2015. 5
(1): 22– 28
Widjaja, J., “Keberadaan Kontainer sebagai Faktor Risiko Penularan Demam
Berdarah Dengue di Kota Palu, Sulawesi Tengah”, Aspirator. 2011. 3 (2) 82-88
Waluyo, B., “Pengaruh Penggunaan Cahaya Buatan Terus Menerus TerhadapPerilaku Aedes Menghisap Darah”, Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia.2011. 7 (1): 40
Widjana, D. P. Sudarmaja. M & Sutisna. P., “The Fauna of Aedes Mosquito and ItsPotential Role in the Transmission ofDengue Hemorrhagic Feverin theHamlet of Graha Kerti and Kerta Petasikan, Denpasar”, Jurnal KedokteranYarsi. 2012.20 (2) : 81– 86
Widyawati., Irene. F., Nitya., Syaukat. S., Rudy. P., Tambunan., Tri E. B & Soesilo.,“Penggunaan Sistem Informasi Geografi Efektif Memprediksi Potensi DemamBerdarah Di Kelurahan Endemik”, Makara Kesehatan.2011. 15 (1): 21– 30
Wurisastuti, T., “Perilaku Bertelur NyamukAedes aegyptipada Media AirTercemar”, Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 2013. 2 (1):25– 32
Yudhastuti, Z & Vidiyani, A., “Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer , Dan
Perilaku Masyarakat Dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti DiDaerah Endemis Demam Berdarah Dengue Surabaya “, Jurnal KesehatanLingkungan. 2005. 1 (2): 1
75
LAMPIRAN - LAMPIRAN
76
Data Hasil Koleksi Spesies Aedes albopictus di Kecamatan Sandubaya1. Kelurahan Mandalika
Titik SamplingJumlah
Larva Pupa Imago
A1 13 0 02 0 0 0
B1 40 0 02 4 0 0
C1 0 0 02 0 0 0
D1 26 0 02 0 0 0
E1 0 0 02 0 0 0
F1 0 0 02 0 0 0
G1 0 0 02 0 0 0
H1 0 0 02 0 0 0
I1 1 0 02 0 0 0
J1 1 0 02 0 0 0
Total 85 0 0
2. Kelurahan Babakan
Titik SamplingJumlah
Larva Pupa Imago
A1 12 1 02 0 0 0
B1 50 0 02 4 0 0
C1 136 20 02 2 0 0
D1 7 0 02 28 0 0
E 1 0 0 0
77
2 0 0 0
F1 60 0 02 0 0 0
G1 0 0 02 1 0 0
H1 73 0 02 0 0 0
I1 41 0 02 44 0 0
J1 8 0 02 0 0 0
Total 466 21 0
3. Kelurahan Turida
Titik SamplingJumlah
Larva Pupa Imago
A1 0 0 02 2 1 0
B1 0 0 02 8 0 0
C1 0 0 02 25 0 0
D1 0 0 02 12 0 0
E1 0 0 02 2 0 0
F1 11 0 02 18 0 0
G1 0 0 02 0 0 0
H1 18 0 02 25 0 0
I1 0 0 02 0 0 0
J1 7 0 02 12 7 0
Total 140 8 0
78
4. Kelurahan Selagalas
Titik SamplingJumlah
Larva Pupa Imago
A1 21 0 02 0 0 0
B1 0 0 02 0 0 0
C1 0 0 02 0 0 0
D1 0 0 02 0 0 0
E1 0 0 02 0 0 0
F1 0 0 02 26 0 0
G1 0 0 02 0 0 0
H1 0 0 02 10 0 0
I1 0 0 02 0 0 0
J1 0 0 02 0 0 0
Total 57 0 0
5. Kelurahan Abian Tubuh
Titik SamplingJumlah
Larva Pupa Imago
A1 14 0 02 0 0 0
B1 22 1 02 85 0 0
C1 3 0 02 0 0 0
D1 0 0 02 40 0 0
E 1 15 0 0
79
2 10 0 0
F1 25 30 02 0 0 0
G1 18 0 32 49 0 0
H1 74 4 32 31 30 0
I1 68 0 02 0 0 0
J1 65 1 02 0 0 0
Total 519 66 6
6. Kelurahan Dasan Cermen
Titik SamplingJumlah
Larva Pupa Imago
A1 0 0 02 0 0 0
B1 0 0 02 0 0 0
C1 0 0 02 1 7 0
D1 0 0 02 0 0 0
E1 0 0 02 0 0 0
F1 48 0 02 0 0 0
G1 0 0 02 68 0 0
H1 0 0 02 7 0 0
I1 0 0 02 0 0 0
J1 0 0 02 3 0 0
Total 127 7 0
80
7. Kelurahan bertais
Titik Sampling
JumlahLarva Pupa Imago
A1 2 0 0
2 0 0 0
B1 1 0 0
2 4 0 0
C1 3 0 0
2 0 0 0
D1 0 0 0
2 0 0 0
E1 0 0 0
2 0 0 0
F1 0 0 0
2 3 0 0
G1 0 0 0
2 0 0 0
H1 0 0 0
2 0 0 0
I1 0 0 0
2 0 0 0
J1 0 0 0
2 0 0 0
Rata-rata 13 0 0
81
Data Faktor Abiotik di Sekitar tempat pengambilan Sampel1. Kelurahan Mandalika
Ovitrap I.Chaya SuhuKoordinat
G. Lintang G. Bujur
A1 49
31 C-8,605,367 116,145,493
2 5844 8 36'19,32" S 116 8'43,78" E
B1 32
31 C-8,605,253 116,145,425
2 3435 8 36'18,91" S 116 8'43,53" E
C1 552
26 C-8,605,230 116,145,475
2 5679 8 36'18,83" S 116 8'43,71" E
D1 0
29 C-8,605,332 116,145,472
2 1157 8 36'19,19" S 116 8'43,7" E
E1 712
31 C-8,604,773 116,145,212
2 3797 8 36'17,18" S 116 8'42,76" E
F1 913
26 C-8,605,087 116,144,995
2 1492 8 36'18,31" S 116 8'41,98" E
G1 1163
26 C-8,605,130 116,145,045
2 42156 8 36'18,47" S 116 8'42,16" E
H1 26
31 C-8,605,358 116,145,050
2 1810 8 36'19,29" S 116 8'42,18" E
I1 26
27 C-8,606,985 116,136,847
2 159 8 36'25,15" S 116 8'12,65" E
J1 8820
26 C-8,605,177 116,145,322
2 12174 8 36'18,64" S 116 8'43,16" ERata-rata 4499.8 28.4 C
2. Kelurahan Babakan
Ovitrap I.Chaya SuhuKoordinat
G. Lintang G. Bujur
A1 104
27 C-8,605,367 116,145,037
2 8820 8 36'19,32''s 116 8'42,13'' E
B1 1580
26 C-8,605,475 116,145,185
2 4335 8 36'1971'' S 116 8'42,67'' E
C1 794
26 C-8,605,443 116,145,420
2 13027 8 36'19,6'' S 116 8'43,51'' E
D1 75
27 C-8,607,302 116,136,245
2 1349 8 36'26,29'' S 116 8'10,48'' EE 1 4915 28 C -8,607,288 116,136,117
82
2 6994 8 36'26,24'' S 116 8'10,02'' E
F1 3780
27 C-8,606,890 116,136,328
2 3985 8 36'24,8'' S 116 8'1078'' E
G1 2743
26 C-8,606,888 116,136,385
2 8119 8 36'24,82''s 116 8'10,99''e
H1 552
30 C-8607125 116,136,367
2 1515 8 36'2565'' S 116 8'10,92'' E
I1 2486
30 C-8,607,217 116,136,650
2 4579 8 36'25,98'' S 116 8'11,94'' E
J1 3217
29 C-8,607,195 116,136,247
2 18132 8 36'25,9'' S 116 10,49'' ERata-rata 4555.05 27.6 C
3. KelurahanTurida
Ovitrap I.Chaya SuhuKoordinat
G. Lintang G. Bujur
A1 40 30 C -8,606,690 116,136,2952 11706 8 36'24,08" S 116 8'10,66" E
B1 40 30 C -8,604,642 116,153,7352 52 8 36'16,71" S 116 9'13,45" E
C1 5567 29 C -8,605,732 116,153,2802 15139 8 6'20,63" S 116 9'11,81" E
D1 1106 26 C -8,605,907 116,153,0672 3042 8 36'21,26" S 116 9'11,04" E
E1 5649 26 C -8,605,852 116,152,9772 12409 8 36'21,07" S 116 9'10,72" E
F1 2200 26 C -8,606,025 116,152,9022 9929 8 36'21,69" S 116 9'10,45" E
G1 0 26 C -8,605,717 116,153,0402 1943 8 36'20,58" S 116 9'10,94" E
H1 7358 26 C -8,605,462 116,153,0572 10364 8 36'19,66"S 116 9'11" E
I1 123 26 C -8,605,413 116,153,1332 9207 8 36'19,49" S 116 9'11,28" E
J1 523 30 C -8,605,355 116,152,6872 653 8 36'19,28" S 116 9'9,67" E
Rata-rata 4852.5 27.5 C
83
4. Kelurahan Selagalas
Ovitrap I.Chaya Suhu
Koordinat
G. Lintang G. Bujur
A1 40 26 C -8,604,743 116,129,7352 1108 8 36'17,08" S 116 7'47,05" E
B1 13 30 C -8,604,732 116,129,2322 16 8 36'17,03" S 116 7'45,23" E
C1 266 30 C -8,604,923 116,129,7922 9314 8 36'17,72" S 116 7'47,25" E
D1 227 30 C -8,605,223 116,129,5132 267 8 36'18,8" S 116 7'46,25" E
E1 0 24 C -8,583,262 116,154,6622 32 8 34'59,74" S 116 9'16,78" E
F1 130 24 C -8,583,315 116,154,6422 315 8 34'59,93" S 116 9'16,71" E
G1 14 24 C -8,583,413 116,154,7982 56797 8 35'0,29" S 116 9'17,27" E
H1 20 24 C -8,583,445 116,154,8132 59 8 35'0,4" S 116 9'17,33" E
I1 162 24 C -8,583,568 116,154,4222 241 8 35'0,85" S 116 9'15,92" E
J1 39 24 C -8,583,558 116,154,2372 46 8 35'0,81" S 116 9'15,25" E
Rata-rata 3455.3 26 C
5. Kelurahan Abian Tubuh
Ovitrap I.Chaya SuhuKoordinat
G. Lintang G. Bujur
A1 127
30 C-8,583,545 116,154,303
2 712 8 35'0,76" S 116 9'15,49" E
B1 29
30 C-8,583,797 116,154,562
2 527 8 35'1,67" S 116 9'16,42" E
C1 23
30 C-8,604,758 116,129,357
2 17850 8 36'17,13" S 116 7'45,68" E
D1 560
30 C-8,604,780 116,129,417
2 5206 8 36'17,21" S 116 7'45,9" EE 1 4960 30 C -8,604,752 116,129,360
84
2 12155 8 36'17,11" S 116 7'45,7" E
F1 5935
30 C-8,604,838 116,129,293
2 10914 8 36'17,42" S 116 7'45,46" E
G1 17235
30 C-8,605,190 116,129,173
2 56797 8 36'18,68" S 116 7'45,02" E
H1 1242
30 C-8,605,233 116,129,310
2 56797 8 36'18,84" S 116 7'45,52" E
I1 2896
31 C-8,583,758 116,154,548
2 5008 8 35'1,53" S 116 9'16,37" E
J1 5831
30 C-8,583,722 116,154,667
2 12636 8 35'1,4" S 116 9'16,8" ERata-rata 10872 30.1 C
6. Kelurahan Selagalas
Ovitrap I.Chaya SuhuKoordinat
G. Lintang G. Bujur
A1 10166
31 C-8,611,622 116,128,350
2 32780 8 36'41,84'' S 116 7'42,06'' E
B1 391
31 C-8,611,707 116,128,455
2 926 8 36'42,14'' S 116 7'42,44'' E
C1 920
31 C-8,611,758 116,128,583
2 56797 8 36'42,33''s 116 7'42,9'' E
D1 887 -8,611,697 116,128,5952 56797 31 C 8 36'42,11''s 116 7'42,94'' E
E1 783
31 C-8,611,952 116,128,405
2 5060 8 36'43,03'' S 116 7'42,26'' E
F1 101
31 C-8,611,687 116,127,957
2 124 8 36,42,07'' S 116 7'40,64'' E
G1 14930
31 C-8,611,557 116,127,932
2 56797 8 36'41,6'' S 116 7'40,55'' E
H1 23
31 C-8,611,690 116,128,037
2 12597 8 36,42,08'' S 116 7'40,93'' E
I1 5961
31 C-8,611,917 116,128,038
2 56797 8 36''42'' S 116 7'40,94'' E
J1 2948
31 C-8,611,795 116,128,023
2 4219 8 36'42,46'' S 116 7'40,88'' ERata-rata 16000.2 31 C
85
7. Kelurahan Bertais
OvitrapI.Cahaya Suhu
KoordinatG. Lintang G. Bujur
A
1
70 28 C-8.591487 116.158792
2 8 35'29,35"S 116 9'31,65"E
B
1
3850 28 C-8.591487 116.158792
2 8 35'29,35"S 116 9'31,65"E
C
1
540 28 C-8.59189 116.159088
2 8 35'31,52"S 116 9'33,18"E
D
1
730 27 C-8,591,790 116.159088
2 8 35'31,52"S 116 9'33,18"E
E
1
3890 29 C-8,591,790 116.159088
2 8 35'30,44"S 116 9'32,72"E
F
1
1170 29 C-8.59179 116.159088
2 8 35'3044S 116 9'32,72"E
G
1
1940 29 C-8.591677 116.159723
2 8 35'30,04"S 116 9'35"E
H
1
1300 28 C-8,591,677 116.159723
2 8 35'30,04"S 116 9'35"E
I
1
1900 28 C-8,591,583 116.59457
2 8 35'29,7"S 116 9'34,04"E
J
1
1440 28 C-8.591583 116.159457
2 8 35'29,34"S 116 9'3404"ERata-rata
1683 28.2 C
86
LAMPIRAN GAMBAR
1. Proses pembuatan ovitrap
2. Proses pembuatan atraktan
87
3. Hasil pembuatan atraktan
4. Pemberitahuan penelitian kepada kepala lingkungan dan masyarakat
88
5. Penentuan titik sampling
6. Penuangan atraktan kedalam ovitrap
89
7. Pengukuran faktor abiotik di tempat peletakan ovitrap
8. Pengambilan ovitrap setelah seminggu
90
9. Pengambilan larva dari setiap ovitrap
10. Hasil koleksi larva yang diperoleh
91
11. Identifikasi larva yang diperoleh
92
LAMPIRAN DATA
E. Analisis Data
1. Perhitungan indeks kelimpahan relatif (IKR) dengan persamaan yang
diadopsi dari Krebs (1989) yaitu:
= ( )( )×100%
a. indeks kelimpahan relatif (IKR) di Kelurahan Mandalika
= ×100%
= 17,31 %
b. indeks kelimpahan relatif (IKR) di Kelurahan Babakan
= ×100%
= 33,92 %
c. indeks kelimpahan relatif (IKR) di Kelurahan Turida
= ×100%
= 60,41 %
d. indeks kelimpahan relatif (IKR) di Kelurahan Selagalas
= ×100%
= 100 %
93
e. indeks kelimpahan relatif (IKR) di Kelurahan Abian tubuh
= ×100%
= 97,52 %
f. indeks kelimpahan relatif (IKR) di Kelurahan Dasan Cermen
= ×100%
= 58,26 %
g. indeks kelimpahan relatif (IKR) di Kelurahan Bertais
= ×100%
= 18,05 %
Selanjutnya nilai indeks kelimpahan relatif digolongkan dalam
tiga kategori yaitu tinggi (>20%), sedang (15%-20%), dan rendah (<15%).
Berdasarkan acuan tersebut, dapat diketahui bahwa kelurahan Mandalika
memiliki indeks kelimpahan relatif sedang dengan indeks 17,31 %.
seangkan kelurahan yang lainnya memiliki indeks kelimpahan relatif
tinggi yaitu di atas 20 %
2. Perhitungan frekuensi keterdapatan (Fi) menggunakan persamaan yang
diadopsi dari Misra (1968) yaitu:
= ×100%
94
a. frekuensi keterdapatan (Fi) Mandalika
= ×100%
= 40%
b. frekuensi keterdapatan (Fi) Babakan
= ×100%
= 75%
c. frekuensi keterdapatan (Fi) Turida
= ×100%
= 55%
d. frekuensi keterdapatan (Fi) Selagalas
= ×100%
= 15%
e. frekuensi keterdapatan (Fi) Abian Tubuh
= ×100%
= 80%f. frekuensi keterdapatan (Fi) Dasan Cermen
= ×100%
= 25 %g. frekuensi keterdapatan (Fi) Bertais
= ×100%
= 65 %