At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Pembelajaran Kitab Kuning Di Pondok Pesantren Sebagai Upaya Pengembangan
Kopetensi Santri
Fathor Rosi1, Azisi2
1,2Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Huda Kapongan [email protected]
Abstract Various research and scientific works related to the concept, method, and process ofimplementing religious education in Islamic boarding schools are indeed quite a lot, butthere are still not many that discuss about learning the yellow book through the traditionof the learning process in Islamic boarding schools, so it is important and interesting todiscuss and understand. more comprehensive. As for scientific writings about Islamicboarding schools have been widely distributed, both in the form of books, papers,newsletters and magazines. However, the reality is that there are still many things left thathave not been revealed by some observers of education about Islamic boarding schools,which are not found outside of pesantren or other education, which they clearly agree andconclude, that in pesantren there are values that are very interesting and specific to study,one of which is the other is about the yellow book learning model. The yellow booklearning is one of the traditional characteristics that are still preserved in Islamicboarding schools, so the authors have found many scientific works that examine the yellowbook learning system in various Islamic boarding schools. This conceptual journal isclassified into two things, namely as follows; First, how is the implementation of theyellow book learning as an effort to develop the ability of students and the impact andurgency of learning the yellow book in developing students' competencies.Keywords: Learning, Yellow Book, Santri Competence
AbstrakBerbagai penelitian dan karya ilmiah yang berhubungan dengan konsep, metode, danproses pelaksanaan pendidikan keagamaan di pesantren memang cukup banyak namunyang ansih membahas tentang pembelajaran kitab kuning melalui tradisi prosespembelajaran di pondok pesantren masih belum banyak, sehingga menjadi penting danmenarik untuk dibahas dan dipahami lebih konprehensif. Adapun karya tulis ilmiahtentang pesantren telah tersebar luas, baik dalam bentuk buku–buku, makalah, buletien danmajalah. Namun realitasnya masih banyak yang tersisa yang belum terungkap olehsebagian pemerhati pendidikan tentang pondok pesantren, yang tidak ditemukan di luarpesantren atau pendidikan lain, yang jelas mereka sepakat dan berkesimpulan, bahwa dipesantren terdapat nilai-nilai yang sangat menarik dan spesifik untuk dikaji, salah satunyatentang model pembelajaran kitab kuning. Pembelajaran kitab kuning merupakan salahsatu ciri khas tradisional yang masih dilestarikan di lembaga pondok pesantren, makapenulis banyak menemukan karya ilmiah yang mengkaji terhadap system pembelajarankitab kuning di berbagai pondok pesantren. Jurnal konseptual ini diklasifikasikan menjadidua hal yaitu sebagai berikut; pertama bagaimana implementasi pembelajaran kitab kuningsebagai upaya pengembangan kemampuan santri serta dampak dan urgensi pembelajarankitab kuning dalam mengembangkan kompetensi santriKata Kunci: Pembelajaran, Kitab Kuning, Kompetensi Santri
At-Turost: Journal of Islamic Studies 242
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Pendahuluan
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan. Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai
sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh
pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.
(Syah, 2007: 10)
Melalui definisi pendidikan diatas, dapat diketahui bahwa objek pendidikan
adalah manusia yang didesain untuk memiliki nilai sifat kemanusiaan. Kata lain yang
dikatakan oleh Ahmad Tafsir, pendidikan adalah pertolongan kepada manusia agar ia
menjadi manusia (Tafsir, 2006: 32)
Sementara upaya pendidikan di dalam memanusiakan manusia tentunya tidak
terlepas dari tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan yang dipergunakan untuk
menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahan, kebiasaan,
sikap dan sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung secara informal, non formal, di
samping secara formal seperti sekolah, madrasah, dan institusi-institusi lainnya (Syah,
2007: 11).
Membahas institusi pendidikan, dalam catatan sejarah, pondok pesantren
(Poerbakawatja,1976: 233) adalah lembaga tertua yang secara signifikan ikut andil
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertafaqquh fi al-din (Departemen
Agama, 2009: 10), akhlakul karimah, dan faqih fi maslahih al- ummah. Sehinnga
alumni pesantren menjadi agen of change di tengah masyarakat yang produktif,
egalitas, serta terbuka terhadap realitas perubahan sosial, tanpa kehilangan nilai
transendentalnya.
Saat ini definisi yang populer dari pesantren adalah suatu lembaga pendidikan
Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam dan
mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (tafaqquh fi al-din) dengan
menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Orientasi dan tujuan
didirikannya pesantren adalah memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan.
Pengajaran-pengajaran yang diberikan di pesantren itu mengenai ilmu-ilmu agama
dalam segala macam bidangnya, seperti tauhid, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, akhlak,
tasawuf, bahasa Arab, dan sebagainya. Diharapkan seorang santri yang keluar dari
At-Turost: Journal of Islamic Studies 243
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
pesantren telah memahami beraneka ragam mata pelajaran agama dengan kemampuan
merujuk kepada kitab-kitab Islam klasik (Daulay, 2001: 30) Hal itu juga sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikkan
Nasional, sebagai berikut:
Pendidikan sebagai salah satu unsur yang paling penting dalam pembangunan
nasional, seperti yang diamanahkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijadikan landasan pokok yang
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sebagaimana peranan di atas, pesantren menghasilkan produktifitas santri yang
diharapkan menjadi kader-kader ulama yang ikut andil untuk mencerdaskan bangsa
dengan menggunakan manhaj (kurikulum) yang diajarkan dan ditanam pada jiwa
santri yang digali langsung dari sumber asalnya yaitu kitab-kitab kuning.
Dari sisi yang lain, peranan pesantren berupaya meningkatkan pengembangan
masyarakat diberbagai sektor kehidupan. Sebagai manifestasi atau perwujudan dari
nilai-nilai dan pengalaman tafaqquh fi al-din baik secara tekstual maupun kontekstual.
Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kini semakin diminati oleh
banyak kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah atas. Hal ini membuktikan
lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan anak-anak
mereka.
Sekitar Pada tahun 70-an, Abdurrahman Wahid telah mempopulerkan
pesantren sebagai sub-kultur dari bangsa Indonesia. Sekarang ini, umat Islam sendiri
tampaknya telah menganggap pesantren sebagai model institusi pendidikan yang
memiliki keunggulan, baik dari sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam
(Fadjar, 1998: 125) maupun dari aspek tardisi keilmuan, yang oleh Martin Van
Bruinessen dinilainya sebagai salah satu tradisi agung (great tradition) (Bruinessen,
1999: 17)
Di sisi yang lain juga, tantangan yang dihadapi oleh pondok pesantren semakin
hari semakin keras lebih komleks dan mendesak, sebagai akibat semakin
At-Turost: Journal of Islamic Studies 244
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
meningkatnya kebutuhan pengembangan, kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan
tekhnologi. Tantangan ini menyebabkan terjadinya rekonstruksi paradigma dalam
rangka transformasi dan strategi pendidikan di pondok pesantren, baik yang
menyangkut peningkatan suber daya manusia, pembelajaran, maupun pengelolaan
pendidikan pondok pesantren secara khusus, atau penyelenggaraan pondok pesantren
itu sendiri.
Ditengah derap kemajuan ilmu dan teknologi yang menjadi motor bergeraknya
modernisasi, dewasa ini banyak fihak merasa ragu terhadap eksistensi lembaga
pendidikan pesantren. Keraguan itu dilatar belakangi oleh kecenderungan dari
pesantren untuk bersikap menutup diri terhadap perubahan di sekelilingnya dan sikap
kolot dalam merespon upaya modernisasi. Menurut Azyumardi Azra, kekolotan
pesantren dalam mentransfer hal-hal yang berbau modern itu merupakan sisa-sisa dari
respon pesantren terhadap kolonial Belanda. Lingkungan pesantren merasa bahwa
sesuatu yang bersifat modern, yang selalu mereka anggap datang dari barat, berkaitan
dengan penyimpangan terhadap agama (Azra, 1997 :151). Oleh sebab itu, mereka
melakukan isolasi diri terhadap sentuhan perkembangan modern sehingga membuat
pesantren dinilai sebagai penganut Islam tradisional.
Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan perjalanan zaman, pesantren
dituntut untuk melakukan proses adaptasi dengan menyelenggarakan pendidikan jalur
formal serta kegiatan lain yang bertujuan untuk pemberdayaan potensi masyarakat
diberbagai sektor kehidupan. Berawal dari tuntutan moderenisasi tersebut kepada
peasantren yang semakin kompleks, maka mau tidak mau pesantren senantiasa
berbenah diri melakukan pembaharuan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakatnya.
Pada satu sisi, ide-ide pembaharuan tersebut berdampak positif bagi pesantren,
karena dapat menciptakan produktifitas potensi sumber daya manusia (SDM) para
santri yang memiliki kecerdasan spiritual, intelektual serta kecerdasan sosial. Namun
dari sisi yang lain aplikasi pembaharuan tersebut berdampak negatif bagi pesantren itu
sendiri, karena dapat merubah bahkan menghilangkan karakter asli atau watak
dasariah pesantren itu sendiri yang acap kali bersentral pada kitab-kitab kuning.
Membahas kitab kuning, dikalangan pesantren pembelajaran kitab kuning
menjadi salah satu unsur mutlak kurikulum di pesantren, dalam membentuk
kecerdasan intelektualitas, dan membangun manusia berbudi, berakhlakul karimah
At-Turost: Journal of Islamic Studies 245
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
pada diri santri. Pendidikan yang bertumpu pada kitab kuning, ternyata telah berhasil
membentuk masyarakat santri dan masyarakat pendukungnya yang arif, bermural dan
beradap, meskipun dengan tingkatan kecerdasan dan kesalihan yang berbeda-beda.
Mengingat fakta tersebut, maka wajar jika kitab kuning menjadi sentral perhatian
dalam kajian atas pesantren (Mukhtar, 1999: 221-222).
Di pondok pesantren umumnya kemampuan membaca dan memahami kitab
kuning merupakan kebanggaan tersendiri. Sebab, keadaannya yang gundul itu telah
membuatnya eksklusif, dalam arti dia bisa didekati oleh orang-orang tertentu saja
yang memiliki perangkat keilmuan khusus untuk itu, yaitu ilmu-ilmu bahasa Arab
seperti nahwiah, ilmu shorfiah dan lainnya. Hal ini karma kitab kuning menggunakan
bahasa Arob. Itupun bukan sembarang bahasa Arab. Akan tetapi sesuai dengan latar
belakang sejarahnya yang kembali pada abad pertengahan, uslub (stiyle) bahasa kitab
kuning sangat di pengaruhi oleh styile zamannya.
Yang dimaksud kitab kuning dikalangan pondok pesantren yaitu kitab-kitab
mu’tabaroh yang dikarang oleh para ulama terdahulu disebut kitab kuning, karena
kitab ini lahir jauh sebelum keberadaan pesantren Nusantara. Di samping kitab kuning
dikalangan pondok pesantren juga beredar istilah “kitab klasik” (al-kutub al-qadimah)
untuk menyebut kitab yang sama. Selain itu juga dikenal dengan “kitab gundul”,
karena tidak dilengkapi dengan syakal dan harokat. Dan karena rentang waktu sejarah
yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki sebagai
“kitab klasik” (Departemen Agama, 2009: 33).
Kitab kuning merupakan sumber ilmu pengetahuan yang berharga bagi umat
manusia, karena banyak tokoh muslim yang menulis karya-karyanya kedalam bentuk
kitab kuning, misalnya:Ibnu-Rusyd, Ibnu al-Haitham, al-Mawardi, Ibnu Sina, al-
Ghazali, dan lain semacamnya.
Pembelajaran kitab kuning sebagai wahana untuk menyalurkan dan mengkaji
karya para ulama’ dan cendikia muslim yang dilakukan oleh pesantren amatlah baik
bagi perkembangan pemikiran dan moral para penerus Islam dikemudian hari,
misalnya: mengenai masalah kedokteran, para penerus Islam dapat mempelajari kitab
karya dari Ibnu Sina, mengenai masalah akhlak, para penerus islam dapat mempelajari
kitab karya Imam al-Ghazali dan mengenai masalah fiqih, para penerus islam dapat
mempelajari kitab karya imam Syafi’i.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 246
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Persoalan lain, sebagai implikasi dari aplikasi penerapan ide baru di tengah-
tengah pesantren lambat laun dapat merubah tradisi pesantren itu sendiri. Tradisi
pengajian dan pengkajian kitab kuning yang dikembangkan di pondok pesantren
mengalami perubahan yang acap kali hanya pada taraf pengajian tanpa adanya upaya
pengkajian. Hal ini dapat dilihat dari tamatan atau alumi pesantren dari era sebelum
tahun 90-an yang identik dengan penguaasaan kitab kuningnya. Namun pada periode
selanjutnya lulusan atau alumni pesantren penguasaan kitab kuning semakin
berkurang. Bahkan para pengamat pesantren menyatakan, lembaga pesantren pada era
sekarang mulai bergeser dan tidak berlebihan jika alumni pesantren banyak yang tidak
bisa membaca kitab kuning, karena sudah meninggalkan tradisi lamanya yang
bertumpu pada peningkatan kemampuan santri melalui pembelajaran kitab kuning.
Dari latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
tentang” Pembelajaran Kitab Kuning dalam mengembangkan Kompetensi Santri”.
Sedangkan peneliti memilih objek penelitian adalah di Pondok Pesantren Sumber
Bunga Kapongan Situbondo melalui pendidikan keagamaan yang ada pada lembaga
kajian kitab salaf berdasarkan alasan sebagai berikut; (1) Pondok Pesantren Sumber
Bunga adalah salah satu pesantren yang masih tetap eksis dengan pembelajaran kitab
kuningnya, hal ini dapat dibulktikan dengan kontinuitas kegiatan santri yang lebih
memfokuskan pada pengajian dan pemahaman kitab-kitab kuning. (2) kompetensi
santri dalam pembacaan dan pemahaman kitab kuningnya masih menjadi perhatian
yang serius di Pondok Pesantren Sumber Bunga, hal ini dapat dibuktikan dengan
manhaj berupa target-target penguasaan kitab-kitab tertentu sesuai dengan tingkatan
santrinya.
PEMBAHASAN
Konsepsi Pondok Pesantren.
kajian perspektif deskriptif para ahli dalam memberikan definisi pondok
pesantren sangat berbeda, tergantung dari mana ia memandang sebuah pondok
pesantren dengan segala aplikasinya. Secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mempunyai makna sebagai berikut, pondok adalah madrasah dan
asrama tempat mengaji, belajar agama Islam sedangkan kata pesantren adalah asrama
tempat santri atau murid-murid belajar mengaji dan sebagainya.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 247
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Istilah pondok pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu
arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut
sebagai pondok pesantren. Zamakhasyari Dhofier mengatkan, istilah pondok berasal
dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal
yang dibuat dari bambu atau barangkali berasal dari kata Arab fundug yang berarti
hotel atau asrama.
Adapun secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis
kemukakan dari pendapatnya para ahli antara lain: M.Arifin menyatakan pendapatnya
bahwa:
“Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam tradisionalyang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajaran atau madrasah yangsepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapaorang kyai dengan ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalamsegala hal” (Arifin, 1999 :240).
Sedangkan definisi pesantren menurut Mastuhu :
“Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam tradisional yangmempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam denganmemberi penekanan pada pentingnya moralitas keagamaan sebagai pedomanperilaku sehari-hari” (Mastuhu, 1994, :55).
Menurut Zamakhsyari Dhofier,
“Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, dimana para siswanyasemua tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan guru yang lebih dikenaldengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santritersebut berada dalam komplek yang juga menyediakan masjid untuk beribadah,ruang untuk belajar dan kegiatan keagamaan lainnya. Komplek ini biasanyadikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuaidengan peraturan yang berlaku” (Dhofier, 1994 :18).
Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, bahwa pondok pesantren
tidak dapat diberikan dengan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas
pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren.
Setidaknya ada lima ciri yang terdapat pada suatu lembaga pondok pesantren
diantaranya, kyiai, santri, pengajian,asrama, dan masjid dengan aktivitasnya.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 248
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Dari beberapa definisi diatas, dapat penulis simpulkan bahwa pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat aktivitas
pembelajaran, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam yang
pembelajarannya didasarkan pada kitab-kitab klasik dalam bentuk bahasa Arab yang
ditulis oleh cendikia muslim terdahulu, dan para santri tinggal bersama dalam sebuah
kelompok yang dilengakapi dengan asrama, masjid/mushola dengan adanya kyai
sebagai tokoh sentralnya.
Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai bagian dari system pendidikan nasional, memiliki
sejarah panjang sesuai dengan dinamika tuntutan zaman. Pada awal perkembangannya
di Indonesia, misalnya, kira-kira 7-8 abad lalu, pondok pesantren fokus pada upaya
penyebaran Islam di Nusantara.Pada perkembangan berikutnya pada masa penjajahan,
pondok pesantren memposisikan dirinya sebagai sentra perlawanan terhadap
Imperialis Belanda atau pusat penyebaran Islam. Pada masa awal kemerdekaan, antara
tahun 1945-1968 M, pendidikan pondok pesantren kembali mewujudkan misi
penyebaran agama di samping tetap melakukan penguatan semangat dan patriotisme
dan kebangsaan agar tetap mampu melanjutkan perjuangan bangsa mencapai cita-
citanya.
Pada saat ini, posisi pondok pesantren mulai terakomodir dengan disahkan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-
Undang ini menjadikan keimanan dan ketaqwaan sebagai tujuan Pendidikan nasional.
Dan sama difahami, istilah yang identik dan sangat akrab dengan pendidikan
keagamaan.
Secara yuridis posisi pendidikan keagamaan dalam system pendidikan nasional
semakin jelas setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
55 tahun 2007 tentang Pendidika Agama dan Pendidikan Keagamaan sebagai tindak
lanjut dari amanat yang terdapat pada pasal 30 ayat (5) UU nomor 20 tahun 2003
menempatkan pondok pesantren sebagai bagian integral dari system pendidikan
nasional.
Posisi pondok pesantren dalam system pendidikan nasional setidaknya
memberikan empat peranan penting dalam pelaksanaan system pendidikan nasional,
At-Turost: Journal of Islamic Studies 249
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
diantaranya adalah, peranan instrumental, peranan keagamaan, peranan mobilisasi
masyarakat dan peranan pembinaan mental dan keterampilan.
Berikut beberapa definisi tentang pembelajaran: Pertama, upaya untuk
membelajarkan siswa. Kedua, pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa
untuk belajar. Kegiatan ini mengakibatkan siswa mempelajari sesuatu dengan cara
lebih efektif dan efisien. Ketiga, pembelajaran adalah suatu usaha mengorganisasi
lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa. (Hamali, 2001 :48). Jadi
yang dimaksud dengan pembelajaran adalah sebuah proses untuk menciptakan kondisi
belajar yang mengikut sertakan siswa didalamnya untuk mencapai suatu tujuan.
Tipologi Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan
bentuk sesuai dengan perubahan zaman, terutama sekali adanya dampak kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan
lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk
masyarakat. Sementara Wardi Bahtiar dan kawan-kawannya didalam membagi
pesantren menjadi dua macam, dilihat dari macam pengetahuan yang diajarkan,
menurtutnya prsantren dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
a. Pesantren salafiyah
Yaitu pesantren yang menajarkan kitab-kitab Islam klasik, sistem madrasah
ditetapkan untuk mempermudah tehnik pengajaran sebagai metode sorogan.
b. Pesantren Khalafiyah
Selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah
umum dilingkungan dan dibawah tanggung jawab pesantren. (Tafsir, 1991 :193-194).
Dewasa ini, secara faktual ada tiga tipe pesantren yang berkembang dalam
masyarakat, yaitu pesantren tradisional yang masih tetap mempertahankan bentuk
aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab-kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh
para ulama abad pertengahan (kitab kuning), kedua pesantren modern orientasi yang
belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasikal dan
meninggalkan sistem belajar tradisional, dan ketiga pesantren komprehensif. (Ghazali,
2001 :14). sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara pesantren tradisional
dan pesantren modern.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 250
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Pesantren Dan Kitab Kuning.
Di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah “kitab kuning”, terdapat juga
istilah “kitab klasik” (al-kutub al-qadimah), karena kitab yang ditulis merujuk pada
karya-karya tradisional ulama berbahasa Arab yang gaya dan bentuknya berbeda
dengan buku modern. (Turmudi, 2004 :36). Dan karena rentang kemunculannya sangat
panjang maka kitab ini juga disebut dengan “kitab kuno.” Bahkan kitab ini, di
kalangan pesantren juga kerap disebut dengan “kitab gundul”. Disebut demikian
karena teks di dalamnya tidak memakai syakl (harakat), bahkan juga tidak disertai
dengan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru, tanda tanya, dan lain sebagainya.
Untuk memahami kitab tanpa harakat (kitab gundul), maka dari itu di pesantren telah
ada ilmu yang dipelajari santri yaitu ilmu alat atau Nahwu dan Sharf serta bahasa
Arab.
Pembelajaran kitab kuning yang merupakan manhaj (kurikulum) pesantren
merupakan hasil dari pengkajian dan penafsiran para cendikia serta ulama muslim
terdahulu, warisan pemikiran itu banyak menyimpan segudang jawaban atas banyak
permasalahan, yang kemudian banyak diabadikan ke dalam tulisan berbentuk buku
atau kitab, sehingga karya-karya mereka tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh para
generasi berikutnya. Oleh sebab itulah, keberadaan kitab kuning sebagai khazanah
keilmuan Islam penting untuk dikaji. Sedangkan alasan yang lain mengenai perlunya
pengkajian atau pembelajaran kitab kuning diantaranya adalah:
1) Sebagai pengantar bagi langkah ijtihad dan pembinaan hukum Islam kontemporer.
2) Sebagai materi pokok dalam memahami, menafsirkan dan menerapkan bagian
hukum positif yang masih menempatkan hukum Islam atau mazhab fikih tertentu
sebagai sumber hukum, baik secara historis maupun secara resmi.
3) Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan umat manusia secara universal dengan
memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu hukum sendiri melalui studi
perbandingan hukum (dirasah al-qanun al-muqaran), (Musdah Mulia, IV :133). dan
4) Sesuai dengan tujuan utama pengajian kitab-kitab kuning adalah untuk mendidik
calon-calon ulama.
Dalam tradisi intelektual Islam, untuk menyebutan istilah kitab karya ilmiyah
para ulama itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format penulisannya.
Katagori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan
At-Turost: Journal of Islamic Studies 251
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
katagori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-asriyah). Apa yang disebut
kitab kuning adalah pada dasarnya mengacu pada ketagori pertama, yakni kitab
klasik, yaitu kitab yang dikarang oleh para cendekiawan Islam masa lalu. Istilah
tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning. Warna
kuning pada kitab itu dimungkinkan karena warna asalnya yang memang kuning atau
akibat lamanya kitab itu disimpan sehingga berwana kuning, namun belakangan ini
kitab kuning karya para cendikia Muslim tersebut sudah banyak dicetak oleh para
penerbit dengan menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan
untuk produk pemikiran salaf. Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan
akademisi lebih populer dengan sebutan turats.
Adapun pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati tentang kitab
kuning adalah kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan yang
berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa
lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-
an M. Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi dari kitab kuning adalah:
a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi seacara turun-temurun menjadi
referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia,
b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan
c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab
karya ulama “asing”. (Siradj, 2004 :222).
Berdasarkan paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kitab kuning
adalah kitab yang senantiasa berpedoman pada al-Qur’an dan Hadits, dan ditulis oleh
para ulama-ulama terdahulu dalam lembaran-lembaran ataupun dalam bentuk jilidan
baik yang dicetak diatas kertas kuning maupun kertas putih dan juga merupakan
ajaran Islam yang merupakan hasil interpretasi para ulama dari kitab pedoman yang
ada serta hal-hal baru yang datang kepada Islam sebagai hasil dari perkembangan
peradaban Islam dalam sejarah.
Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren
Sebagai bagian dari pendidikan, pesanten mempunyai karakter tersendiri yang
tidak dimiliki oleh lembaga lain selain pesantren. Ciri khas tersebut adalah adanya
pengajaran kitab-kitab klasik yang menempati posisi ter istimewa di dalam kurikulum
pesantren. Karena keberadaannya menjadi unsur utama dalam diri pesantren,
At-Turost: Journal of Islamic Studies 252
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
sekaligus menjadikan pembeda antara pesantren dengan lembaga selainnya. (Raharjo,
2004 :8-9).
Secara umum implementasi pembelajaran yang dijadikan refernsi sebagai
kurikulum pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, kelompok ajaran
dasar sebagaimana terdapat pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedang ajaran yang timbul
sebagai hasil penafsiran para ulama-ulama Islam terhadap ajaran-ajaran dasar yang
ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits tersebut. Kedua, kelompok kitab kuning yang tidak
termasuk dalam kelompok ajaran agama Islam, tetapi kajian yang masuk ke dalam
Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam sejarah, seperti kitab membahas
lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, dan metode keilmuan. (Raharjo,
2004 :7-8).
Sebagai system ajaran yang komprehensip," cakupan kitab kuning secara
keseluruhan meliputi berbagai aspek yang sangat luas baik mencakup keyakinan
terhadap hal-hal yang bersifat metafisik maupun yang berupa tata nilai kehidupan
keluarga dan masyarakat yang kesemuanya itu bwrmuara pada satu titik tujuan
terciptanya insan kamil baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama dan
lingkungan. (Masudi, 1985 :95).
Dilihat dari jenis pengelompokannya, kitab kuning yang diajarkan dipesantren
terdapat dua kelompok diantaranya adalah kelompok ilmu syari’at dan non syari’at.
Dari kelompok ilmu-ilmu syari’at, yang sangat dikenal ialah kitab-kitab ilmu fikih,
tasawuf, tafsir, hadits, tauhid (‘aqaid), dan tarikh (terutama sirah nabawiyah, sejarah
hidup Nabi Muhammad saw.). Dari kelompok ilmu non-syari’at, yang banyak dikenal
ialah kitab-kitab nahw, al- sarf, yang mutlak diperlukan sebagai alat bantu untuk
memperoleh kemampuan membaca kitab tanpa harakat (kitab gundul). Dapat
dikatakan bahwa kitab kuning yang banyak beredar di kalangan pesantren adalah
kitab yang berisi ilmu-ilmu syari’at, khususnya ilmu fikih.
Secara keseluruhan kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren secara
umum dikelompokkan dalam delapan bidang kajian, yaitu Nahw, dan al-sarf
(gramatika fan marfologi ), Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawwuf dan etika, Tafsir, Hadits,
Tauhid (ideologi) dan cabang-abang ilmu lainnya seperti Tarih (sejarah) dan
Balaghah (sastra).
At-Turost: Journal of Islamic Studies 253
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Lebih lanjut Martin Van Bruinessen menjelaskan, bahwa kitab kuning yang yang
banyak dimiliki oleh para kyai yang diajarkan di pesantren adalah kitab-kitab yang
umumnya karya ulama amdzhab Syafi’i. Beliau juaga menegaskan bahwa dikalangan
pesantren pada akhir abad ke-20 ini judul kitab kuning yang beredar di pesantren di
Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900 judul. Padahal L.W.C. Van den Berg
dalam penelitian sebelumnya, pada akhir abad 19, hanya menemukan 54 judul saja.
Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren.
Metode-metode pembelajaran di pndok pesantren yang telah dirumuskan oleh
para ahli pendidikan ada yang bersifat tradisional dan kontemporer (modern). Metode
yang bersifat tradisional adalah metode yang diselenggarakan menurut kebiasaan-
kebiasaan pendidikan dan pembelajaran non formal yang berlaku di masyarakat
umum, dan metode ini berangkat dari pola pelajaran yang sangat sederhana.
Sementara metode yang bersifat kontemporer atau modern adalah metode-metode
pembelajaran hasil pemikiran para pendidikan kontemporer dan menjadi bahan
rujukan dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan modern.
Secara implisit, Fadjar mensinyalir bahwa penggunaan metode pembelajaran yang
dikategorikan kontemporer adalah banyak digunakan oleh institusi pendidikan yang
mengelola pembelajarannya dengan sistem madrasi atau klasikal, yang
mengorganisasi kegiatan pendidikannya dengan sitem kelas-kelas berjenjang dengan
waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan.
Sementara metode yang bersifat tradisional adalah yang dibakukan pada institusi
pendidikan individual dan non formal. (Fadjar, 1998 :22).
Sebagaimana disebutkan di atas metode pembelajaran di pesantren ada yang
bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut
kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan pada institusi pesantren atau
merupakan metode pembelajaran asli (original) pesantren. Ada pula metode
pembelajaran yang berifat baru ( tajdid).
Sedangkan metode-metode yang bersifat tradisional biasa digunakan oleh
lembaga pendidikan pesantren. Departemen Agama mendefinisikan metode ini
sebagai metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan
yang telah lama dipergunakan pada institusi pesantren atau merupakan metode
pembelajaran asli (original) pondok pesantren.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 254
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Menurut Zamakhsyari Dhofier dan Nurcholish Madjid, metode pembelajaran
kitab Tanpa Harakat di pesantren meliputi, metode sorogan, dan bandongan.
Sedangkan Husein Muhammad menambahkan bahwa, selain metode yang diterapkan
dalam pembelajaran kitab tanpa harakat adalah metode wetonan atau bandongan, dan
metode sorogan, diterapkan juga metode diskusi (munazharah), metode evaluasi, dan
metode hafalan.
Di bawah ini disebutkan metode-metode pembelajaran yang bersifat tradisional
menjadi kebiasaan pesantren.
1) Metode sorogan
Metode sorogan adalah kegiatan pembelajaran bagi santri yang lebih
menitik beratkan kepada pengembangan kemampuan perseorangan
(individu),di bawah bimbingan ustad atau kiai.
Tekhnik pembelajaran dalam metode sorogan ini adalah, santri satu per satu
secara bergiliran menghadap kiai dengan membawa kitab tertentu. Kiai
membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya, kemudian santri
mengulangi bacaan kiainya. Husein Muhammad menambahkan bahwa, murid
yang membaca sedangkan guru mendengarkan sambil memberi catatan,
komentar, atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi dalam metode ini,
dialog murid dan guru belum atau tidak terjadi. Adapun pelaksanaannya dapat
digambarkan sebagai berikut;
a) Santri berkumpul ditempat pengajian sesuai dengan waktu yang
ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang hendak diaji.
b) Seorang santri yang mendapat giliran secara langsung bertatap muka
dengan gurnya.
c) Guru membaca teks kitab kemudian memberikan artinya dengan
menggunakan bahasa melayu atau bahasa daerahnya.
d) Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan kiai atau ustadz
dengan mencocokan nya dengan kitab yang dibawanya. Selain itu juga
melakukan pencatatan atas; 1) bunyi teks arob dengan pemberia syakal
(pendhobitan) pemastian harokat, 2) penulisan arti setiap kata
(memberikan makna).
e) Santri kemudian menirukan kembali apa yang dibacakan gurunya.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 255
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
f) Kiai atau ustadz juga mendengarkan dengan tekun pula apa yang
dibacakan satrinya sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya dan
juga tidak jarang memberikan tambahan penjelasan agar apa yang
dibaca dapat lebih dimengerti.
2) Metode wetonan atau bandongan
Metode wetonan atau bandongan adalah “cara penyampaian kitab dimana
seorang guru, kiai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab,
sementara santri, murid, atau siswa mendengarkan, memberikan makna, dan
menerima.”
Senada dengan yang diungkapkan oleh Endang Turmudi bahwa, dalam
metode ini kiai hanya membaca salah satu bagian dari sebuah bab dalam
sebuah kitab, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dan memberikan
penjelasan-penjelasan yang diperlukan. (Turmudi, 2004 :36). Berbeda sedikit
dengan Hasil Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok
Pesantren, bahwa metode wetonan ialah “pembacaan satu atau beberapa kitab
oleh kiai atau pengasuh dengan memberikan kesempatan kepada para santri
untuk menyampaikan pertanyaan penjelasan lebih lanjut.” (Saleh, 1982 :79).
Dari ketiga pengertian diatas, dapat dipahami bahwasanya dari metode ini,
para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan
lebih lanjut atas keterangan kiai. Sementara catatan-catatan yang dibuat santri
di atas kitabnya membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih
lanjut isi kitab tersebut setelah pelajaran selesai. (Dhofier, 1994 :176).
Konon metode ini merupakan warisan dari Timur Tengah (Makah dan
Mesir). Karena kedua negara ini dianggap sebagai poros, pusat dari ajaran
agama Islam di dunia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mujamil Qamar,
bahwa “metode yang disebut bandongan ini ternyata merupakan hasil adaptasi
dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama di
makah dan Mesir. Kedua tempat ini menjadi “kiblat” pelaksanaan metode
wetonan lantaran dianggap sebagai poros keilmuan bagi kalangan pesantren
sejak awal pertumbuhan hingga perkembangan yang sekarang ini.” (Qamar,
2007 :143). Dan metode inilah yang paling banyak digunakan di pesantren-
pesantren di Indonesia.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 256
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
3) Metode pengajian pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui
pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kyai/ustad. yang dilakukan
oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (marathon) selama
tenggang waktu tertentu. Sistem pengajaran ini ditandai dengan ciri-ciri yang
khas, antara lain, tidak adanya daftar santri pengajian dan tidak adanya
evaluasi hasil belajar secara formal bagi santri. (Departemen Agama RI, 2003 :2).
Pada umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan,
dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab
yang dikaji. Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan, tetapi pada
metode ini target utamanya adalah “selesai”nya kitab yang dipelajari. Jadi,
dalam metode ini yang menjadi titik beratnya terletak pada pembacaan bukan
pada pemahaman sebagaimana pada metode bandongan.
Sedangkan tekhnik pembelajarannya umumnya sebelum memasuki bulan
Romadhon, beberapa pesantren biasanya mengeluarkan jadwal, jenis kitab dan
kyai yang akan melakukan balagh pasaran dibulab itu. Informasi itu dengan
mudah beredar di pesantren-pesantren lainnya juga. Berdasarkan itu santri,
ustadz atau yang berminat barang pasti merencanakan sendiri kemana ia akan
menuju dan kitab apa yang ia pilih.
Kegiatan pengjian itu sendiri biasanya dilakukan sepanjang hari. Kitab yang
telah ditentukan dibaca kyai secara cepat, sedang santri menyimak untuk
memberikan catatan pada bagian-bagian tertentu saja atau mencatat
penjelasan-penjelasan singkat yang biasanya memang diberikan.
4) Metode Diskusi (Munadarah)/ Bahtsul Masa’il.
Metode Diskusi (munadarah) adalah sekelompok santri tertentu membahas
permasalahan, baik yang diberikan kiai maupun masalah yang benar-benar
terjadi dalam masyarakat. Diskusi ini dipimpin oleh seorang santri dengan
pengamatan dari pengasuh/kiai yang mengoreksi hasil diskusi itu. Sedangkan
pembahasan dalam forum tersebut adalah mengkaji suatu persoalan yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanannya santri dengan bebas mengjukan
pertanyaan-pertanyaan ataupun pendapatnya. Dqengan demikian, metode ini
lebih menitik beratkan pada kemampuan perseorangan di dalam menganalisis
At-Turost: Journal of Islamic Studies 257
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
dan memecahkan suatu persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada
kitab-kitab tertentu.
Metode diskusi bertujuan untuk merangsang pemikiran serta berbagai jenis
pandangan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan
tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis, dan
akan lebih memicu para santri untuk menelaah atas kitab-kitab yang lain.
Keberhasilan yang dicapai akan ditentukan oleh tiga unsur yaitu
pemahaman, kepercayaan diri sendiri dan rasa saling menghormati.
(Muhaimin, 1996 :89).
5) Metode Hafalan.
Metode hafalan adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu
teks tertentu dengan bimbingan dan pengawasan seorang ustadz/kyai. Para
santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam jangka waktu
tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian dihafalkan dihadapan
ustadz/kyainya secara periodik atau insindental tergantung kepada petunjuk
gurunya tersebut.
Metode ini merupakan metode unggulan dan sekaligus menjadi ciri khas
yang melekat pada sebuah pesantren sejak dahulu hingga sekarang. Metode
hafalan masih tetap dipertahankan sepanjang masih berkaitan dan diperlukan
bagi argumen-argumen naqly dan kaidah-kaidah. Dan metode ini biasanya
diberikan kepada anak-anak yang berada pada usia sekolah tingkat dasar atau
tingkat menengah. Sebaliknya, pada usia-usia di atas itu sebaiknya metode ini
dikurangi sedikit demi sedikit dan digunakan untuk rumus-rumus dan kaidah-
kaidah.
Materi pembelajaran di pondok pesantren yang disajikan dengan
menggunakan metode hafalan pada umumnya berkenaan dengan al-Qur’an,
nadzom-nadzom untuk disiplin nahwu, ssharaf, balaghah, tajwid ataupun teks-
teks nahwu sharf dan juga fiqh.
Titik tekan pada pembelajaran ini adalah santri mampu mengucap atau
melafalkan kalimat-kalimat tertentu secara lancar dengan tanpa melihat atau
membaca teks. Hal itu dapat di;lakukan secara perorangan menghadap
(bertatap muka langsung) kepada gurunya ataupun dilakukan secara
At-Turost: Journal of Islamic Studies 258
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
berkelompok diucapkan bersamaan pada waktu-waktu tertentu, baik secara
khusus ataupun tidak. Metode hafalan biasanya keberhasilannya ditentukan
dengan target atau batas-batas tertentu.
6) Metode Evaluasi.
Evaluasi adalah penilaian atas tugas, kewajiban, dan pekerjaan. Cara ini
dilakukan setelah kajian kitab selesai dibacakan atau disampaikan. Di masa
lalu cara ini disebut imtihan, yakni suatu pengujian santri melalui munaqasyah
oleh para guru atau kiai-ulama di hadapan forum terbuka. Selesai munaqasyah,
ditentukanlah kelulusan.
Metode-metode yang telah disebutkan diatas, merupakan metode yang
(sebagian) sudah biasa diterapkan di pesantren-pesantren, misalnya, metode
wetonan, hafalan, dan bandongan. Dan sebagian (metode) yang lain tidak
menutup kemungkinan untuk diterapkan di berbagai pesantren.
Untuk pengajian dalam bentuk sorogan, wetonan dan bandongan biasanya
disebut sebagai kurikulum system ma’hady artinya jenis kitab, alokasi waktu
pembelajaran dan kalender akademiknya sepenuhnya terserah sang Kiyai.
Adapun pengajian yang dikemas dalam bentuk klasikal atau system madrasy
secara umum sama dengan model-model klasikal lainnya. Kitab-kitab yang
dikaji biasanya sudah ringkasan/ikhtishar dari kitab-kitab kuning yang ada.
Pembelajarannya sudah terjadwal dengan rapi layaknya sekolah formal
lainnya.
Kesimpulan
Sebagaimana analisis penulis terhadap implementasi pembelajaran kitab
kuning sebagai upaya pengembangan kemampuan santri, maka penulis menyimpulkan
pada tingkat dasar, santri diarahkan pada penguasaan nahw dan shorf dengan
pembelajaran materi-materi nahw dan shorf secara komprehensif melalui pengkajian
tuntas terhadap kitab pegangan.
Penggunaan metode atau tekhnik pembelajaran kitab kuning di pondok
pesantren menggunakan bermacam metode, diantaranya adalah yaitu : diantaranya
adalah, ceramah yang meliputi metode bandongan (wetonan) atau yang biasa juga
disebut dengan metode pengajian pasaran, sorogan, metode musyawarah/diskusi dan
hafalan. Metode-metode tersebut bukan suatu ketetapan yang wajib diaplikasikan, tapi
At-Turost: Journal of Islamic Studies 259
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
diwaktu yang lain disaat pembelajaran berlangsung di dalam kelas dengan meninjau
kebutuhannya menggunakan metode campuran, yaitu dengan teknik ceramah dan pada
kesempatan menggunakan teknik diskusi, tanya jawab atau seminar.
Evaluasi yang biasanya dilaksanakan untuk mengukur tingkat keberhasilan
santri melalui tes. Tes tersebut berupa tes formal yang berupa (tes sumatif) yaitu Tes
Qiro’atul Kutub yang dilaksanakan setiap menjelang Ujian Akhir Semester (UAS).
Efektifitas pembelajaran nahw dan shorf pada pondok pesantren diarahkan
pada penguasaan esensi dari nahw dan shorf sebagai ilmu karena pondok pesantren ini
menjadikan nahw dan shorf sebagai tujuan atau target pembelajaran dalam
mengetahui pembacaan kitab kuning. Untuk menunjang tujuan tersebut, maka pondok
pesantren pembelajaran materi-materi nahw dan shorf secara komprehensif melalui
pengkajian tuntas terhadap kitab-kitab nahw dan shorf yang digunakan sebagai
pegangan. Sedangkan pada santri senior santri lebih ditekankan pada pemahaman teks
kitab sehingga santri lebih analisa terhadap teks kitab kuning ataupun teks Arab
lainnya dengan kemampuan menginterpretasikan kalimat yang dianggap gharib
(asing) dan kalimat mutarodif (banyak persamaannya).
Dilihat efektifitas penggunaan metode pembelajaran kitab kuning di pondok
pesantren dengan menggunakan berbagai metode yang disesuaikan dengan kebutuhan
pembelajaran. Efektifitas penggunaan metode bandongan diaplikasikan pada waktu
yang relatif sedikit dengan jumlah santri yang cukup banyak. Disamping itu kmpetensi
dapat diukur dari aspek pengetahuan (kognitif) terhadap penguasaan materi kitab baik
kemampuan santri di dalam membaca, menerjemah dan menjelaskan ulang terhadap
materi yang di ajarkan. Sedangkan pada metode sorogan adalah santri akan merasakan
hubungan husus ketika berlangsung pembacaan kitab dan jika terdapat kesalahan
ustad langsung memberikan komentar dan bimbingan terhadap kesalahan santri.
Sedangkan metode diskusi efektifitas dapat dilihat dari rumusan jawaban yang
dibuat kesimpulan di dalam setiap pertanyaan. Dalam teknik hal al-musykilât atau
biasa disebut problem solving juga diawali dengan mengemukakan beberapa
permasalahan-permasalahan baru kemudian dianalisis secara bersama-sama oleh para
santri. Sedangkan metode hafalan efektivitas dalam pencapaian kompetensi adalah
santri mampu mengucapkan/melafalkan kalimat-kalimat atau teori-teori gramatika
arab dan juga nadzam-nadzam tertentu secara lancar dengan tanpa melihat teks.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 260
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Dari aspek evaluasi, pesantren menggunakan tes formal sebagai alat untuk
mengukur tingkat ketercapaian tujuan pembelajaran kitab kuning.
Daftar Pustaka
Affandi, M. (1999). Tradisi Kitab Kuning Sebuah Observasi Dalam Pesantren Masa
Depan. Bandung: Pustaka Hidayah.
Ahmad, T. (2006). Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Azumardi, A. (1997). Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam
Nucholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta :
Paramadina.
Bahri, G. (2001). Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Pedoman
Ilmu Jaya.
Bruinessen, V. M. (1999). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat : Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Choirul, F. Y. (2009). Bagian III : Pedoman Penyelenggaraan Pondok Pesantren
Muadalah. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren
Dhofier, Z. (1994). Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta,
LP3S.
Dimyati & Mudjiono. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Faliyandra, F. (2019). KONSEP KECERDASAN SOSIAL GOLEMAN DALAM
PERSPEKTIF ISLAM (Sebuah Kajian Analisis Psikologi Islam). Faisal
Faliyandra.
Haidar, P. D. (2001). Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah.
Yogyakarta : Tiara Wacana.
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Masudi. (1985). Mengenal Pemikiran Kitab Kuning: Dalam Pergulatan Dunia
Pesantren Membangun Dari Bawah. Jakart:P3M
Moloeng, L. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya
Muslich, M. (2007). KTSP, Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.
Jakarta: Bumi Aksara 2007.
Mujamil, Q. (1998). Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi
Institusi,. Jakarta:Erlangga.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 261
At-Turost: Journal of Islamic Studies, Vol.08 No.02, Agustus 2021 P-ISSN:2086-3179Website: https://ejurnal.stainh.ac.id/index.php/jurnal E-ISSN:2581-1622
Nurcholish, M. (2002). Modernisasi Pesantren. Jakarta:Ciputat Press.
Oemar, H. (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara
Sahal, M. (1999). Pesantren Mancari Makna. Jakarta: Pustaka Ciganjur.
Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif; Dilengkapi Dengan Contoh
Proposal dan Laporan Penelitian, cet, ke-4. Bandung: CV. Alfa Beta.
Yusuf, T., & Anwar, S. (1997). Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab.
Jakarta, RajaGrafindo.
At-Turost: Journal of Islamic Studies 262