Download - Peluang Riset Aksi Di Perguruan Tinggi
MENERAPKAN RISET AKSI DI PERGURUAN TINGGI
(MUNGKINKAH?)
Oleh:Tua Hasiholan HutabaratMataram, 03 Juni 2010
Siapapun yang pernah mengenal, menikmati dan dibesarkan di dalam
perguruan tinggi di Indonesia seharusnya gelisah. Sebagai institusi yang katanya
dibangun dan dijalankan demi mencetak intelektual, perguruan tinggi telah
mengalami kegagalan total dalam banyak hal, termasuk dalam pengembangan ilmu
1
pengetahuan. Institusi yang dahulunya lahir untuk menghasilkan pemikiran-
pemikiran besar yang dapat merubah dunia kini hanya menjadi sebuah skrup
pelengkap sistem liberal.
Pengaruh terbesar dari liberalisme terhadap pendidikan adalah terhadap
paradigma riset atau penelitian yang dilaksanakan di perguruan tinggi. Selain
menghamba terhadap liberalisme, riset-riset pendidikan tinggi, khususnya ilmu-
ilmu sosial telah dikerdilkan fungsi dan manfaatnya menjadi sekedar simbol-simbol
kualitas institusi pendidikan tinggi. Begitu kecilnya pemaknaan masyarakat,
penyelenggara pendidikan maupun negara terhadap riset pendidikan tinggi,
sehingga kontribusinya terhadap masyarakat juga hampir sama sekali tidak
dirasakan. Penelitian-penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi sekedar menjadi
formalitas dan prasyarat untuk mendapatkan gelar kesarjanaan, maupun sebagai
simbol-simbol kapabilitas kelembagaan dan individu di perguruan tinggi.
Ada banyak pihak yang turut prihatin dengan kondisi pelaksanaan dan
kapasitas pendidikan tinggi di Indonesia dalam melakukan penelitian ilmiah.
Namun kebanyakan keprihatinan tersebut tidak menyentuh substansi dari penyebab
rendahnya kualitas penelitian, namun cenderung diarahkan pada minimnya dana
yang dianggarkan lembaga penyelenggara, maupun negara. Salah satunya
diungkapkan oleh Prof. Hadi Sutanto dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar
Fakultas Teknik Unika Atmajaya. Menurutnya, salah satu permasalahan besar yang
dihadapi oleh pendidikan tinggi di Indonesia adalah lemahnya daya saing riset
dalam menunjang ekonomi nasional. Dana yang dianggarkan oleh Pemerintah
Indonesia hanya 0,07 dari total GDP Indonesia. Angka tersebut masih sangat minim
jika dibandingkan dengan standar 3% seperti yang diharapkan oleh UNESCO.
Pernyataan tersebut tentu ada benarnya. Dana atau anggaran dalam melakukan
riset memang sangat dibutuhkan, untuk membiayai kegiatan dan program-program
penelitian yang diasumsikan berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia.
2
Namun minimnya dana penelitian bukanlah penyebab satu-satunya atau penyebab
utama dari kemunduran ekonomi dan lemahnya pendidikan tinggi dalam
menghasilkan sarjana yang berkualitas. Dana hanya satu aspek yang sebenarnya
dipaksa dan dikondisikan menjadi faktor utama pelaksanaan penelitian, sehingga
penyediaannya dianggap menentukan kualitas pelaksanaan penelitian.
Hubungan antara keberadaan dana dengan kualitas penelitian di perguruan
tinggi sudah sangat berakar di kalangan civitas akademika, bahkan sudah menjadi
motif utama dalam melakukan penelitian. Untuk menstimulasi peningkatan
pelaksanaan penelitian di perguruan tinggi, kemudian pemerintah menaikkan dana
alokasi penelitian di perguruan tinggi menjadi kurang lebih Rp. 1 triliun pada tahun
2009. Pada tahun 2008 jumlah dana yang disediakan hanya Rp. 173 Miliar (Harian
Waspada, Depdiknas Naikkan Dana Penelitian 1, 57 Triliun, 4 November 2009,
www. Waspada.co.id). Dana tersebut disiapkan untuk pelaksanaan penelitian,
publikasi nasional dan internasional, dan dialokasikan untuk seluruh skim penelitian
(Program Dikti Tahun 2009, Kementrian Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, 26 Februari 2009, http://dikti.kemdiknas.go.id).
Besarnya dana yang disediakan oleh pemerintah maupun yang diperoleh oleh
dosen, mahasiswa maupun peneliti di perguruan tinggi tentu saja tidak menjamin
kontribusinya terhadap masyarakat. Alih-alih untuk membangun relasi terhadap
pembangunan masyarakat, malah kini banyak perguruan tinggi di Indonesia sekedar
mengejar popularitas di level internasional. Perguruan tinggi kita sekarang
berlomba-lomba untuk masuk pada jajaran universitas terkemuka, dimana salah
satunya adalah melalui produksi karya ilmiah dan penelitian yang dimuat oleh
jurnal-jurnal internasional. Di satu sisi tentu saja hal itu penting, namun tentu saja
target menjadi world class university harus menjadi tujuan pelengkap. Kaki-kaki
perguruan tinggi di Indonesia harus tetap berpijak pada ibu pertiwi, bukan semata-
mata untuk menaikkan peringkat sehingga lupa proses pencerdasan kehidupan
bangsa (Kompas, 2 Juni 2010, World Class University, Haruskah Menjadi Tujuan
3
Utama Perguruan Tinggi di Indonesia? Nicholaus Prasetya,
http://edukas.kompasiana.com).
Selain kendala dana, riset di perguruan tinggi juga dikhawatirkan akan
terjerembab dalam praktek-praktek plagiarisme. Hal itu terjadi dikarenakan adanya
dorongan yang sangat besar terhadap pelaksanaan penelitian di kalangan civitas
akademika, namun tidak didukung oleh etika dan moral akademik yang cukup.
Kemampuan melakukan penelitian, baik sebagai syarat kualitas dan syarat
eksistensi civitas akademik telah mendorong terjadinya praktek plagiat. Ada banyak
kasus plagiarisme di Indonesia saat ini, bahkan dilakukan oleh dosen ber titel doktor
di perguruan tinggi besar di Indonesia (4 Doktor ITB Diduga Terseret Plagiarisme,
Kamis 14 April 2010, Detiknews, http://www.detiknews.com). Sungguh
memalukan memang, namun begitulah mental kaum pendidik dan peneliti di
Indonesia yang berfikir pendek dan pragmatis terhadap produksi penelitian dan
karya ilmiah di Indonesia.
Mentalitas Peneliti
Salah satu faktor pembentuk rendahnya kualitas penelitian perguruan tinggi di
Indonesia adalah rendahnya mentalitas, etika, dan moral civitas akademika, baik
dosen, pemimpin dan pengelola perguruan tinggi, mahasiswa, bahkan para staff.
Rendahnya mentalitas tersebut menurut Prof. Dr. Imam Buchori Zainuddin sebagai
berhubungan dengan mentalitas orang Asia yang kurang nyali dalam
mempertanyakan hal-hal yang tidak pasti, karena khawatir jika akan kehilangan
pscychological security (Redi Panuju, PR I Unitomo Surabaya, Minggu 17 May
2004, http://www.freelist.org). Sikap tersebut awam dilakukan masyarakat, dimana
kita terbiasa meniru, menjiplak, dan mengikuti jejak, sehingga melahirkan
mentalitas me too.
Keberadaan moral, mentalitas dan etika peneliti sangatlah penting, bukan
karena memenuhi code of conduct, namun sebenarnya berhubungan dengan
4
bangunan pengetahuan dan masyarakat. Pentingnya moral dan etika bagi scientist
atau ilmuan akan semakin krusial, karena tindakan maupun hasil-hasil penelitian
memiliki dampak yang besar bagi orang lain. Dr. Bahruddin Khan berpendapat,
suatu karya ilmiah yang dihasilkan secara tidak jujur akan akan membahayakan
masyarakat yang menggunakan hasil penelitian tersebut, sehingga dibutuhkan
kejujuran dan kebenaran dalam setiap hasil-hasil kerja ilmiah (Dr. Bahruddin Khan,
Need of Moral Education And Ethics, Articlesbase, 22 Maret 2010,
http://www.articklebase.com). Untuk itu, para ilmuan, khususnya komunitas ilmuan
perlu serangkaian nilai, tradisi, dan standar kejujuran, integritas, objektivitas, dan
Collegiality. Hasil panel Panel tentang tanggungjawab Ilmiah dan Research
Conduct, Muriel J. Bebeau dari University of Minnesota, peneliti harus menerapkan
nilai-nilai ini dalam memformulasikan tanggungjawab penelitian ilmiah (Bebeau,
Muriel J., University of Minnesota, Cases for Teaching and Assessment,
Bloomington, Indiana, 1995).
Standar nilai yang seharusnya dimiliki seorang peneliti tersebut sungguh
sangat bertolak belakang dengan realitas yang ada. Kejujuran, dan integritas jauh
ditinggalkan demi kepentingan sesaat dan kualitas semu yang kerap diagung-
agungkan oleh sistem pendidikan kita. Entah itu mahasiswa, dosen, profesor dan
peneliti tergoda dengan capaian-capaian kabur yang ironisnya memang dibentuk
oleh negara.
Mentalitas yang pragmatis dan menjunjung tinggi capaian kualitas secara
simbolik tersebut membawa konsekuensi pada stagnasi penelitian di perguruan
tinggi. Selain tak berkebang, riset perguruan tinggi, khususnya ilmu-ilmu sosial
kurang memiliki pengaruh terhadap sistem sosial yang lebih luas. Seperti berada
dalam aquarium raksasa, ada dan kelihatannya sibuk, namun tak melebur dengan
lingkungan di sekitarnya, terutama kepada masyarakat sebagai sumber utama
pengembangan pengetahuan. Penelitian dilaksanakan melalui pendekatan proyek,
dimana profesionalitas, inovasi, dan penghargaan menjadi lebih utama daripada
5
manfaat. Tidak heran kemudian penelitian yang dilakukan di perguruan tinggi
menjadi salah satu cara menambah tebal dompet para peneliti. Uang menjadi motif
utama, sedangkan kegunaannya bagi masyarakat sering kali terlupakan. Akhirnya,
yang lahir adalah para peneliti-peneliti profesional dengan konsep, teori, dan
metode super rumit yang memproduksi hasil penelitian yang tak dipahami dan
berguna bagi masyarakat.
Paradigma Riset Perguruan Tinggi
Ketika riset sosial perguruan tinggi dianggap sebagai proyek atau bagi
mahasiswa dimaknai sebagai sekedar syarat, maka penelitian kehilangan banyak
makna, salah satunya makna terpentingya terhadap social transformation. Hampir
seluruh personal civitas akademika perguruan tinggi sudah terjebak dalam sistem
dan budaya seperti itu. Bagi yang mencoba keluar jalur dan berusaha
mengembalikan fungsi riset yang sebenarnya, maka ia akan tergilas oleh rekan,
teman, atasan, dan akhirnya oleh institusinya. Hampir tidak ada tempat bagi orang
yang berupaya kerjas untuk mengembalikan fungsi riset. Tekanan paling berat
adalah dari bangunan atau paradigma pengetahuan yang mendasari basis riset di
kampus.
Walaupun dianggap sebagai sebuah institu pengembang ilmu pengetahuan,
ternyata dunia pendidikan tinggi, tidak terkecuali di Indonesia bertindak tidak adil.
Paradigma yang digunakan cenderung mereduksi kemampuan riset sosial dalam
mengungkap realitas sosial. Pendekatan dan paradigma yang dipakai cenderung
menyederhanakan riset sosial sebatas persoalan metodologis semata, tanpa melihat
konsekuensinya terhadapmahasiswa maupun terhadap masyarakat secara luas.
Sebahagian besar riset sosial di perguruan tinggi saat ini didominasi oleh
paradigma positivistik, yakni paradigma dimana pengetahuan dibangun melalui
pendekatan deduktif dan didasarkan pada logika formal dan matematik, dan harus
diuji dan dibuktikan secara empirik (Eichelberger, 1989). Paradigma positivistik
6
cenderung menganggap realitas sosial sebagai sebuah fakta yang dapat diukur,
sehingga penggunaan metode kuantitatif dianggap paling tepat. Metode kuantitatif
dianggap sebagai upaya pencarian ilmiah (scientific inquiry) yang beroperasi
dengan aturan-aturan yang ketat mengenai logika, kebenaran, hukum-hukum dan
prediksi (Watson dalam Danim, 2002).
Sangat jelas, bahwasannya prinsip-prinsip riset yang berbasis paradigma
positivistik memberi ruang dominan terhadap penggunaan metode dan pendekatan-
pendekatan yang dapat mengukur fakta sosial. Kemampuan pengukuran adalah
yang utama, sehingga keberadaan paramater menjadi penting. Sedangkan parameter
biasanya diperoleh dari pendekatan deduktif yang menempatkan teori, konsep dan
indikator-indikator terdahulu sebagai kewajiban yang harus dirujuk oleh peneliti
atau mahasiswa.
Ada satu hal yang mendorong dunia pendidikan tinggi, khususnya bidang
ilmu sosial cenderung memilih paradigma positivisme. Selain pertarungan makro
yang bersifat teoritis dan ideologis, kuantifikasi fakta sosial dalam riset di
pendidikan tinggi dianggap lebih mudah (walaupun penggunaan statistik dianggap
sulit), cepat, lebih valid dan reliable. Penggunaan riset kuantitatif cocok dengan
corak pendidikan tinggi yang cenderung terbatas dari sisi waktu, dan sesuai dengan
kultur instan sistem pendidikan. Dunia pendidikan sudah kehilangan fungsi
utamanya yakni mengembangkan ilmu pengetahuan dan masyarakat. Kini fungsi
bisnis lebih menonjol, sehingga kemampuannya melahirkan lulusan dalam jumlah
besar, cepat, berkualitas (baca:bagi dunia bisnis) adalah capaian terpenting.
Terkesan dunia pendidikan tak lagi memperdulikan mahasiswa untuk meresap
dan mendalami realitas sosial. Kecepatan melakukan riset untuk kemudian meraih
gelar sarjana menjadi kompetisi antar mahasiswa dan perguruan tinggi.
Konsekuensinya, riset sosial pun menjadi instan. Ketika instani-sasi ini menjadi
utama, maka riset kuantitatif yang berbasis paradigma positivislah yang menjadi
pilihan.
7
Sebenarnya ada perkembangan baru, dimana riset berbasis paradigma
hermeneutik dan fenomenologis yang lebih dianggap membumi, grounded dan tak
melulu berurusan dengan angka. Kedua paradigma tersebut pada intinya memiliki
sifat yang berbeda objektivitas bukan semata-mata cara tunggal untuk mengungkap
realitas sosial. Kedua paradigma tersebut menjadi basis penggunaan metode riset
kualitatif, penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena
sosial dari sudut pandang partisipan, dan digunakan untuk meneliti pada kondisi
objek secara alamiah, dan menempatkan peneliti sebagai instrumen kunci
(Sugiyono, 2005).
Di satu sisi, kedua paradigma tersebut membawa warna baru, dimana
masyarakat tak lagi dianggap sebagai angka statistik belaka seperti dalam penelitian
kuantitatif. Realisasinya ternyata tak seindah tujuan luhurnya. Paradigma mendasari
pendekatan alamiah dalam memandang realitas sosial juga tereduksi. Sistem
pendidikan tinggi telah menjadi sebuah perusahaan pendidikan yang tak memberi
ruang pada kemurnian pendekatan ini. Riset berbasis subyektivisme dalam
memandang realitas kembali dikerdilkan menjadi sekedar sebuah metode. Padahal,
riset kualitatif yang seharusnya didasari oleh kemampuan memahami (verstehen)
realitas sosial dan memiliki ruang berkontribusi pada perubahan sosial, seharusnya
dilaksanakan secara utuh. Pemahaman, aspek grounded, proses dan subyektivitas
yang seharusnya diterapkan dalam riset kualitatif disederhanakan menjadi sekedar
metode alternatif dari mainstream pendekatan kuantitatif yang sudah berakar dalam
riset sosial.
Peluang Penerapan Riset Aksi di Perguruan Tinggi
Apapun argumentasinya, perguruan tinggi adalah milik masyarakat, sehingga
harus sebesar mungkin berkontribusi terhadap realitas yang tak berpihak kepada
rakyat, melalui upaya perubahan sosial yang dapat menghapus kesenjangan,
ketidakadilan, kemiskinan dan posisi marginal masyarakat. Pendidikan tinggi
8
sebagai institusi yang dianggap lebih netral karena mengusung pengetahuan empiris
tak seharusnya berdiri di tengah (karena tidak mungkin). Untuk dapat berkontribusi
terhadap masyarakat, maka riset perguruan tinggi harus menjadi bagian dari sosial
transformasi dan social movement. Tanpa itu, perguruan tinggi hanya berproses dan
mencapai tujuannya sendiri, atau sekedar menjadi pelayan pasar ekonomi dan kultur
liberal.
Kontribusi terhadap social transformation dapat diwujudkan melalui
penerapan metode riset yang lebih berpihak dan terintegrasi dengan dinamika
perubahan sosial. Salah satu cara untuk merubah kenyamanan riset pendidikan
tinggi dan keluar dari ruang hampa adalah mulai menerapkan riset aksi dalam
penelitian-penelitiannya. Persoalannya, apakah mungkin dengan sistem pendidikan
tinggi seperti saat ini diterapkan sebuah metode riset yang mengharuskan adanya
keberpihakan dan tindakan praxis seorang peneliti/mahasiswa? Jawabannya;
sangatlah mungkin!
Sebelum kita menjawab pertanyaan itu, mungkin kita bisa sedikit mengupas
tentang apa itu riset aksi. Menurut Thomas Gilmore, Jim Krantz, dan Rafael
Ramirez (1986), Riset aksi memiliki dua tujuan, yakni sebagai bentuk konsern
praktis terhadap situasi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, sekaligus
juga menjawab tujuan-tujuan ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, riset aksi
mengkolaborasikan komitmen dari peneliti, yakni selain untuk mengkaji sistem,
juga mengarahkan satu upaya untuk melakukan perubahan, sehingga dituntut
adanya sebuah integrasi atau kolaborasi antara peneliti dengan yang diteliti secara
aktif.
9
Berdasarkan model yang disusun oleh Gerald I Susman. Berdasarkan alur
berfikir tersebut, riset aksi merupakan sebuah proses yang saling terkait satu sama
lainnya, dan bersifat tidak terputus. Mulai diagnosis, rencana tindak, melakukan
tindakan, evaluasi dan pengidentifikasian yang kemudian berlanjut dalam proses
diagnosis berlangsung terus-menerus hingga proses tersebut mencapai sebuah hasil.
Proses riset seperti itu sangat berbeda dengan riset positivis cenderung linear.
Penekanan terhadap metode dan instrumen menjadi yang utama, sehingga posisi
peneliti sangat minimal. Akibat adanya penekanan terhadap metode dan instrumen,
peneliti cenderung disibukkan dengan kemampuan penyusunan,perencanaan dan
penggunaan instrumen, sedangkan keterlibatan peneliti bersifat pasif. Akhirnya,
10
akan tercipta jarak yang besar antara peneliti dan realitas yang diteliti. Tidak
demikian dengan riset aksi. Peneliti dan yang diteliti membentuk satu kolaborasi
yang saling melengkapi dalam kerangka mendorong sebuah tindakan perubahan.
Sekarang kita kembali ke pertanyaan sebelumnya. Apakah memungkinkan
untuk menerapkan riset aksi di perguruan tinggi? Jawabannya; mungkin, namun
sangat tergantung dari dilakukannya perubahan terhadap sistem, mekanisme dan
proses penelitian.
Selama ini penelitian di perguruan tinggi sangat terstandarisasi, terbelenggu
oleh waktu, memberi penekanan berlebih terhadap kemampuan metodologi, linear,
dan instan. Prinsip dan standar seperti itu tidak memberi ruang kepada sebuah
proses panjang yang sirkuler. Mahasiswa dan peneliti di dunia pendidikan tinggi
dikejar oleh waktu sehingga tak sempat memiliki waktu untuk mendalami dan
menyatu dengan permasalahan yang diteliti.
Lihat saja bagaimana panduan-panduan penyusunan skripsi di seluruh
universitas dan sekolah-sekolah tinggi di Indonesia. Semuanya terstandar, time
limits, dan terstruktur rapi. Tujuan utamanya adalah menciptakan sebuah
mekanisme yang sama diantara seluruh mahasiswa dan peneliti, sehingga dapat
dinilai dengan standar yang sama pula. Tidak ada ruang untuk fleksibilitas, apalagi
peluang untuk melakukan perubahan. Secara rapi proses pengerjaan skripsi dan
kegiatan penelitian diarahkan untuk mengikuti mekanisme dan standar yang sama,
karena instrumen dan metode menjadi paling utama. Tak penting apakah mahasiswa
atau peneliti benar-benar bisa memahami secara organis dengan masyarakat yang
diteliti. Mahasiswa dibentuk dan dituntut untuk berjarak dengan realitas, karena ada
anggapan, integrasi dengan realitas akan merusak objektivisme dan kemudian
mengancam empirisme sebuah penelitian.
Sebenarnya ada peluang untuk menerapkan riset aksi di perguruan tinggi. Jika
pun tetap menerapkan standar waktu, kendala tersebut bisa diantisipasi dengan
mensyaratkan riset sebagai sebuah kemampuan dan kegiatan awal yang harus
11
dilakukan oleh mahasiswa. Walaupun selama ini kemampuan penelitian sudah
ditanamkan pada awal perkuliahan, namun tidak disertai dengan tindakan praksis.
Rencana penelitian hanya dibuka pada masa-masa akhir studi, sehingga waktu yang
disediakan untuk melakukan penelitian sangat pendek (paling lama 1 tahun).
Seharusnya, kemampuan riset dan rencana-rencana tindak yang disyaratkan dalam
riset aksi sudah dilakukan di awal-awal studi. Mahasiswa dibekali dengan teori,
konsep, sekaligus kemampuan-kemampuan berintegrasi dengan masyarakat.
Dengan demikian, di awal studi mahasiswa sudah mempersiapkan dirinya untuk
lebih memahami permasalahan, menyusun rencana tindak, melakukan evaluasi dan
menuliskan kegiatan riset yang dilakukannya secara terus-menerus. Sehingga,
ketika sudah mencapai waktu studi yang disyaratkan, mahasiswa tinggal melakukan
penulisan laporan lengkap.
Pola pelaksanaan riset seperti inilah yang sebenarnya tepat untuk dilakukan
oleh mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak sekedar pintar dengan teori riset,
menguasai metode dan instrumen. Pola seperti ini akan menanamkan kepada
mahasiswa tentang bagaimana ilmu pengetahuan dikawinkan dengan masyarakat
untuk bersama-sama mendorong perubahan sosial. Tinggal bagaimana dunia
pendidikan tinggi bisa membuat terobosan. Jika tidak ada keinginan untuk merubah
sistem yang ada, maka riset sosial akan semakin jauh dengan perubahan, dan yang
lebih parah lagi akan menciptakan mahasiswa instan yang tak percaya diri karena
jiwa dan pengetahuannya sudah dirampas oleh instrumen dan metode.
******************************
12
DAFTAR BACAAN
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif . Bandung: Pustaka Setia.
Eichelberger, Tony R. 1989. Disciplined Inquiry : understanding and doing
educational research. New York : Longman Inc.
Gerald I. Susman, "Action Research: A Sociotechnical Systems Perspective," ed. G.
Morgan (London: Sage Publications, 1983) 102.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sutanto, Hadi, 2009. Pengangguran Intelektual Bertambah 20% Setiap Tahun,
Disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar, Unika Atmajaya,
Jakarta.
Thomas Gilmore, Jim Krantz and Rafael Ramirez, Fall 1986. "Action Based Modes
of Inquiry and the Host-Researcher Relationship," Consultation, Dalam Rory
O’Brian, Faculty of Information Studies, University of Toronto, 1988.
13