KARYA TULIS
KETERKAITAN IKLIM MIKRO DENGAN PERILAKU API
PADA KEBAKARAN HUTAN
OLEH: ACHMAD SIDDIK THOHA
NIP 132 259 563
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2008
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
0
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas kemudahan dari-Nya,
tulisan judul Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api pada Kebakaran Hutan telah dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada, Dr.
Ir. Yonny Koesmaryono, MS yang telah mengarahkan penulis sehingga tulisan
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari, masih banyak keterbatasan yang dimiliki penulis baik
berupa waktu, bahan literatur, penyajian dan teknik penulisan sehingga tulisan ini
layak untuk mendapatkan koreksi dari berbagai pihak. Semoga tulisan
sederhana ini bisa menyumbangkan sedikit pengetahuan khususnya wawasan
mikroklimatologi bagi penulis sendiri dan pihak yang membutuhkan.
Medan, Januari 2008
Penulis
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
1
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
PERILAKU KEBAKARAN................................................................................. 2
Proses Terjadinya Kebakaran ................................................................. 2
Tahapan Proses Pembakaran ................................................................. 3
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU
KEBAKARAN.................................................................................................... 6
Karakteristik Bahan Bakar....................................................................... 6
Kadar Air Bahan Bakar ........................................................................... 6
Karakteristik Bahan Bakar Lainnya ......................................................... 7
Faktor Cuaca dan Iklim............................................................................ 8
Topografi.................................................................................................. 9
HUBUNGAN IKLIM MIKRO DAN PERILAKU KEBAKARAN
HUTAN ............................................................................................................ 10
Radiasi matahari...................................................................................... 10
Suhu Udara.............................................................................................. 11
Kelembaban Udara.................................................................................. 12
Presipitasi ................................................................................................ 13
Angin ....................................................................................................... 13
KESIMPULAN .................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 16
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
0
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan menjadi salah satu peristiwa yang menimbulkan
kerugian besar baik dari segi ekonomi , ekologi maupun sosial dan politik.
Kerugian ekonomi berhubungan dengan musnahnya aset yang benilai ekonomis
tinggi berupa hasil hutan kayu dan non kayu. Secara ekologis, kebakaran dapat
merusak keseimbangan ekologis suatu ekosistem. Dari segi sosial politik,
dampak kebakaran yang menimpa negara lain berakibat munculnya protes yang
mempengaruhi hubungan antar negara.
Penanggulangan bahaya kebakaran hutan secara terus menerus
dikembangkan. Upaya pengembangan mencakup aspek pencegahan dan
pemadaman kebakaran. Upaya pencegahan mendapatkan prioritas penting
karena relatif ringan dalam penyiapan sumberdayanya. Disamping itu, upaya
pemadaman sangat sulit dilaksanakan mengingat api yang berkembang liar di
alam hampir tidak pernah bisa dipadamkan oleh upaya manusia.
Dalam rangka upaya penanggulangan kebakaran hutan, perlu
pemahaman mendalam aspek ekologi kebakaran, perilaku kebakaran dan faktor
yang mempengaruhi kebakaran. Ekologi kebakaran mencakup aspek
komponen dan proses terjadinya kebakaran. Perilaku kebakaran berhubungan
dengan perilaku kebakaran dapat didefinisikan sebagai cara dimana api di alam
berkembang : bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan
penyebaran api (Perry, 1990) dan bagaimana api bereaksi terhadap variabel-
variabel bahan bakar, cuaca atau iklim dan topografi. Sedangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi kebakaran terdiri atas karakteristik bahan bakar, faktor iklim
dan topografi.
Iklim merupakan faktor alamiah yang menjadi pemicu terjadinya
kebakaran. Faktor iklim selain dapat menjadi pemicu juga dapat dijadikan dasar
bagi pengendalian kebakaran. Pemahaman tentang iklim kebakaran (fire
climate) akan dapat memprediksi perilaku api dan menentukan upaya
penanggulangan yang sesuai.
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
1
PERILAKU KEBAKARAN
Perilaku kebakaran dapat didefinisikan sebagai cara dimana api di alam
berkembang : bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan
penyebaran api (Perry, 1990) dan bagaimana api bereaksi terhadap variabel-
variabel bahan bakar, cuaca atau iklim dan topografi (Chandler et. al. 1983)
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Tiga kompoanen yang diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala
dan mengalami proses pembakaran (Countryman, 1975). Pertama harus
tersedia bahan bakar yang dapat terbakar. Lalu, panas yang cukup yang
digunakan untuk menaikkan suhu bahan bakar hingga ke titik penyalaan. Dan
akhirnya harus terdapat pula cukup udara untuk mensuplai oksigen yang
diperlukan dalam menjaga proses pembakaran agar tetap berjalan dan untuk
mempertahankan suplai panas yang cukup sehingga memungkinkan terjadinya
penyalaan bahan bakar yang sulit terbakar. Ketiga unsur itu yaitu bahan bakar,
panas dan oksigen yang memungkinkan terjadinya api, disebut dengan segitiga
api (fire triangel) dan api tersebut hanya dapat terjadi bila ketiga komponen
berada pada saat yang bersamaan atau tidak akan terjadi api sama sekali.
Proses Terjadinya Kebakaran
Pembakaran adalah proses yang stabil (steady state) (Chandler et. al.
1983) dari bentuk khusus oksidasi (Luke and Mc Arthur, 1978) dan kebalikan dari
proses fotosintesis dimana dapat dibedakan dalam flaming dan glowing
(Chandler et. al. 1983 and pyne et. al. 1996). Pembakaran flaming adalah
cahaya oksidasi gas-gas yang dihasilkan dari dekomposisi bahan bakar
(Chandler et. al. 1983) sebagai nyala bebas, turbulen dan difusi (Pyne et. al.
1996).
Pada dasarnya, perkembangan kebakaran hutan terdiri dari dua proses
yang disebut dengan: penyalaan dan pembakaran. Penyalaan adalah fase
transisi antara pra-pemanasan dan fase pembakaran (Pyne et. al. 1996), yang
tidak stabil (Chandler et. al. 1983) dan mempunyai suhu antara 204 – 371 oC.
Dasar dari proses terjadinya kebakaran adalah proses pembakaran
secara kimia dan fisika. Energi yang tersimpan dalam biomassa dilepaskan pada
saat bahan-bahan seperti daun, rumput dan kayu berkombinasi dengan oksigen
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
2
membentuk karbondioksida (CO2), air dan sejumlah subtansi lain. Dengan kata
lain, reaksi ini merupakan reaksi kebalikan dari fotosintesis, dimana CO2, air dan
energi matahari berkombinasi memproduksi suatu energi kimia simpanan dn
oksigen, seperti yang tergambar di bawah ini :
Reaksi pembakaran (C6H10O5)n + sumber penyulutan (panas) =======» CO2 + H2O + panas
Reaksi fotosintesis CO2 + H2O + energi matahari =======» (C6H10O5)n + O2
Tahapan Proses Pembakaran
Adapun beberapa tahapan proses pembakaran dalam pembakaran
biomassa adalah sebagai berikut :
Pre-ignition Pada tahapan ini baha bakar mulai terpanaskan, terdehidrasi (kering) dan
mulai terjadi proses pyrolisasi yaitu terjadi pelepasan uap air, CO2 dan gas-gas
yang mudah terbakar termasuk methane, methanol dan hydrogen. Dalam proses
pyrolisis ini, reaksi berubah exothermic (memerlukan panas untuk melaju)
menjadi endothermic (pemanasan sendiri). Sekali terbakar, api akan terus
bergerak secara kontinyu dan melakukan dua proses termal yang bersambungan
yaitu pyrolisis dan pembakaran.
Karena bahan bakar berdekatan dengan nyala api maka terpanaskan
oleh radiasi dan konveksi hingga mencapai suhu > 100 o C, uap air dan bahan
organik yang tidak mudah terbakar, dan zat ekstraktif yang mudah menguap
tersuling di permukaan bahan bakar dan terbawa ke udara (Ryan dan McMahon,
1976). Radiasi dan konveksi dapat mentransfer panas yang dibutuhkan pyrolisis
pada permukaaan bahan bakar, namun transfer panas bagian dalam bahan
bakar dilakukan melalui konduksi. Oleh karena itu, konduksi adalah komponen
utama dalam proses pembakaran terutama untuk bahan bakar yang lebih besar.
Karena flux panas bahan bakar meningkatkan dekomposisi termal dari selulosa,
hemiselulosa dan lignin menghasilkan senyawa-senyawa organik yang mudah
terbakar. Bila senyawa tersebut tersuling dari bahan bakar berkayu, maka
mereka dapat menyala pada suhu 300-600oC dalam udara yang relatif kaya
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
3
oksigen yang terdapat di sekitar bahan bakar. Penyalaan ini menghasilkan fase
flaming, ke-dua dari pembakaran.
Flaming Combustion Reaksi exothermic pada fase ini dapat menaikkan suhu melonjak dari 300
- 800 o C (Ryan dan McMahon, 1976). Pyrolisis melaju dan mempercepat
oksidasi dari gas-gas yang menonjol yang dapat terbakar (Debano et al, 1998).
Gas-gas yang mudah terbakar dan uap air hasil dari pyrolisis naik ke atas bahan
bakar, bercampur dengan O2 dan terbakar selama fase flaming. Panas yang
dihasilkan dari reaksi flaming ini mempercepat laju pyrolisis dan melepaskan
jumlah gas-gas yang dapat terbakar lebih besar. Api meledak dan benar-benar
bergerak mengikuti angin seperti massa dari pembakaran gas dalam fase ini.
Volume gas yang mudah terbakar yang dilepaskan dari bahan bakar meningkat
dengan menyolok sekali
Smoldering Fase smoldering biasanya mengikuti flaming combustion (Debano et al,
1998). Berjalan lambat (< 3 cm/jam) pada kebakaran bahwa, pembakaran yang
kurang penyalaan menjadi proses pembakaran dominan dalam fase ini. Perlu
diketahui bahwa flaming combustion tidak akan terjadi secara keseluruhan dalam
bahan bakar seperti duff dan tanah organik (gambut). Smoldering adalah fase
combustion permulaan dalam tipe bahan bakar ini. Terdapat dua zona yang
menjadi karakterstik fase smoldering dari pembakaran, 1) suatu zona pyrolisis
dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan 2) suatu zona arang dengan
pelepasan hasil-hasil pembakaran yang tidak tampak.
Partikel hasil emisi selama fase smoldering lebih besar dari partikel pada
fase flaming. Istilah emisi faktor digunakan untuk mengkuantifikasikan jumlah
partikel atau produk gas-gas yang dilepaskan oleh suatu kebakaran. Ini adalah
massa api melalui produk, dalam kg/Mg bahan bakar yang dikonsumsi yang
dilepaskan ke dalam atmosfer. Peningkatan secara proporsional smoldering
selama flaming combustion meningkatkan dua atau tiga kali jumlah emisi faktor
(Debano et al, 1998).
Smoldering biasanya terjadi pada ”fuel bed´ dengan bahan bakar yang
tersusun dengan baik dan aliran oksigen terbatas seperti duff, kayu yang
membusuk dan tanah organik (gambut). Permukaan abu pada fuel bed dan
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
4
pada bahan bakar berkayu dapat merangsang smoldering melalui pemisahan
zona reaksi dari oksigen atmosfer.
Glowing Fase glowing adalah bagian akhir dari proses smoldering. Namun,
glowing adalah bukan smoldering. Bila suatu kebakaran mencapai fase glowing,
sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap yang hilang dan oksigen
mengadakan kontak langsung dengan permukaan bahan bakar yang mengarang
(Debano et al, 1998).
Extinction Suatu kebakaran akhirnya terhenti (Debano et al, 1998) bila semua bahan
bakar telah dikonsumsi, atau bila panas yang dihasilkan melalui oksidasi baik
dalam fase smoldering maupun glowing tidak cukup untuk menguapkan uap air
yang dibutuhkan yang berasal dari bahan bakar basah (kadar air tinggi). Panas
yang diserap oleh bahan bakar yang lembab, udara yang mengelilinginya, atau
material inoganik (seperti batu dan tanah mineral) mengurangi jumlah panas
yaang tersedia dari pembakaran, mempercepat proses padamnya api.
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
5
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KEBAKARAN
Karakteristik Bahan bakar
Pada dasarnya, karakteristik bahan bakar dikelompokkan ke dalam dua
kategori (Pyne et al. 1996): sifat bahan bakar intrinsik dimana mencakup kimia
bahan bakar, kerapatan dan kandungan panas dan sifat ekstinsik meliputi
kelimpahan relatif dari berbagai ukuran komponen bahan bakar, fraksi yang mati
(fraction dead) dan kekompakan bahan bakar. Di hutan tropis, karakteristik
bahan bakar bervariasi antar tempat dan waktu. Hutan gambut berkayu
merupakan bahan bakar yang baik karena mengandung nilai kalor sangat tinggi
atau kapasitas panas. Disamping itu, pembangunan hutan tanaman dengan
spesies eksotik seperti Acacia mangium, Gmelina arborea dan Eucalyptus bisa
menyumbangkan pertambahan resiko kebakaran, khususnya selama musim
kering karena akan terjadi muatan bahan bakar yang tinggi di lantai hutan.
Kadar Air Bahan Bakar
Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar
(Chandler et.al. 1983, Pyne et. al. 1996) adalah faktor terpenting yang
mempengaruhi perilaku kebakaran hutan (De Ronde, et. al.), dimana begitu jelas
dan nyata mempengaruhi tingkat kebakaran khususnya daya nyala bahan bakar
hutan (Artybashev 1983). Selain itu, kandungan air yang lebih tinggi pada bahan
bakar yang lebih tinggi panasnya dibutuhkan untuk melepaskan uap air sebelum
bahan bakar dimakan api. sehingga, tingkat kebakaran dan daya nyala bahan
bakar akan berkurang. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar dapat digunakan
pada peramalan perilaku api (Chandler et.al 1983a) sebagai respon bahan bakar
terhadap perubahan faktor-faktor lingkungan seperti presipitasi, kelembaban dan
suhu (De Ronde et. al.)
Kadar air dapat ditekankan pada kadar air bahan bakar mati dan bahan
bakar hidup. Kadar air bahan bakar mati bervariasi dari 1 – 2 % pada gurun,
300% pada kayu lapuk (Pyne, et. al. 1996), 200 % pada lapisan-lapisan yang
dalam dan pada kayu sumbu (Luke and Mc Arthur, 1978). Hal tersebut
dikendalikan oleh cuaca khususnya presipitasi, kelembaban relatif dan suhu (De
Ronde et. al. 1990)
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
6
Kadar air bahan bakar semata-mata merespon kondisi lingkungan luar
bahan bakar dan sangat penting dalam menentukan potensi kebakaran. Kadar
air bahan bakar berhubungan dengan keseimbangan kadar air dan time lag.
Oleh karena itu, kadar air bahan bakar mati digolongkan sebagai time lag.
Bahan bakar ‘time lag’ adalah sebanding dengan diameternya dan
kehilangannya didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan partikel bahan bakar
untuk mencapai 2/3 dari dirinya untuk menyeimbangkan dengan lingkungan
lokalnya (USDA Foret Service, 2001).
Kadar air bahan bakar yang hidup adalah air yang terdapat pada
rerumputan, paku-pakuan, semak, belukar, dan pohon. Bahan bakar hutan hidup
yang haluis menunjukkan kisaran yang lebar dalam respon waktu untuk kondisi
kadar airnya. Respon waktu bervariasi dari yang lebih kecil dari satu jam untuk
rerumputan dan lumut hingga lebih dari 24 jam untuk daun konifer (Anderson,
1985). Selain itu, tingkat kadar air pada tanaman hidup dikontrol secara dominan
oleh proses fisiologinya. (de Ronde et. al. 1990), kondisi cuaca, kadar air tanah,
aspek (arah lereng) dan tahap-tahap tanaman dalam siklus hidupnya (Luke and
Mc Arthur, 1978).
Karakteristik Bahan Bakar Lainnya
Kandungan senyawa inorganik menghasilkan sebuah efek katalitik yang
menghalangi pembentukan senyawa yang dapat membakar selama Pyrolisis.
Pyrolisis adalah degradasi secara termal molekul-molekul tumbuhan sebelum
sebelum terjadi pembakaran. Pyrolisis bahan tumbuhan menghasilkan bahan-
bahan volatil yang mendukung penyalaan pembakaran. Peningkatan kandungan
abu asam tak terurai (abu bebas silika) menurunkan atau meminimalkan reaksi
pirolisis bersih yang memudahkan penyalaan pada pembakaran (Broido dan
Nielsen, 1964 dalam Saharjo dan Watanabe , 1999) Menurut Saharjo dan Watanabe (1999), abu bebas silika dapat digunakan
sebagai sebuah indikator untuk mengenali bagian semak-semak atau pepohonan
yang lebih mudah terbakar. Daun memiliki kandungan yang lebih besar daripada
batang dan kandungannya berkisar antara 1.7 dan 11.4% untuk daun dan antara
0.4% dan 7.8 % untuk batang.
Berdasarkan kandungan abu bebas silika, semak-semak yang perlu
diberikan perhatian dalam rangka mencegah perluasan serangan api: D. linearis
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
7
(batang), I. cylindrica (daun), E. pubescens (batang), C. laurifolia (batang),
Pterospermum sp. (batang), H. similis (daun), C. hirta (batang), and T. orientalis
(daun dan batang). Pepohonan yang mudah diserang api yaitu : P. falcataria, E
uruphylla, C. callothyrsus and P canescens (Saharjo dan Watanabe, 1999).
Faktor Cuaca dan Iklim
Iklim dan atau cuaca adalah salah satu unsur segitiga lingkungan api
disamping bahan bakar dan topografi. Cuaca dan iklim mempengaruhi
kebakaran hutan pada berbagai cara (Chandler et.al 1983a): menentukan jumlah
total ketersediaan bahan bakar, panjang dan kekerasan musim kebakaran,
mengatur kadar air dan daya nyala bahan bakar hutan yang mati, berpengaruh
tidak langsung pada penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan.
Chandler et. al (1983) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi
kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu :
1. iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia
2. iklim menentukan jangka waktu dan kekerasan musim bakaran
3. cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar
4. cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan
Menurut Fuller (1991), karena cuaca sangat mempengaruhi bagaimana,
dimana dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi, pengendali kebakaran
menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather) yaitu sifat-sifat cuaca yang
mempengaruhi terjadinya kebakaran. Seperti cuaca panas yang kering disertai
dengan angin ribut, badai dan petir akan menyebabkan kebakaran.
Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar
dan panjangnya musim kebakaran atau waktu dalam setahun dimana sering
terjadi kebakaran. Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa pola, lamanya
dan intensitas dari musim kebakaran dari suatu daerah tertentu merupakan
fungsi utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan.
Selain pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun
musiman mencerminkan bahan bakar dan cuaca, musim kebakaran yang parah
juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dam cenderung untuk
terjadi dalam suatu siklus.
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
8
Topografi
Menurut Saharjo (2000), dampak lereng pada satu daerah yang terbakar
adalah sama dengan dampak angin. Penjalaran api dibawa hingga mendekat
kepada permukaan akibatnya pra-pemanasan bahan bakar berlangsung lebih
cepat terhadap bahan bakar yang berdekatan dengan muka api. Dampak
penting lain dari topografi adalah interaksinya dengan iklim lokal dan kelompok
kecil dari komunitas tanaman. Api yang bergerak menaiki lereng dapat
diharapkan untuk terbakar dengan cepat dan dengan intensitas yang tinggi.
Dalam aktivitas pembakaran terkendali, pembakaran dimulai dari areal
yang bertopografi relatif curam hingga landai. Untuk itu setiap pembakaran
harus ada beberapa orang yang terlibat sebagai pembakar pada titik bakar yang
berbeda. Pembakaran dimulai dibawah satu komando yang berarti bahwa
pembakaran dimulai pada tiga posisi yang berbeda. Sambil bergerak setengah
berlari dengan arah yang searah/berlawanan, setiap pembakar harus membuat
titik api dengan jarak tidak lebih dari 1 m antar titik api, sehingga tidak ada celah
yang tidak terbakar yang memungkinkan api loncat ke lain arah.(Saharjo, 2001)
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
9
HUBUNGAN IKLIM MIKRO DAN PERILAKU KEBAKARAN HUTAN
Radiasi Matahari
Waktu mempengaruhi kebakaran hutan yaitu melalui proses pemanasan
bahan bakar yang dipengaruhi oleh raduasi matahari yang berfluktuasi dalam
sehari semalam. Suhu maksimum dicapai pada tengah hari sedangkan suhu
minimum tercapai pada saat menjelang matahari terbenam dan dini hari
(Schroeder dan Buck, 1970).
Fuller (1991) menyatakan bahwa perbedaan pemanasan matahari pada
permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada
bahaya kebakaran hutan. Penyinaran matahari, selain memanaskan permukaan
bumi juga memanaskan lapisan udara dibawahnya. Pemanasan udara
menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola
pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari daerah bertekanan tinggi
ke daerah bertekanan rendah.
Radiasi surya adalah sumber energi (Lockwood, 1979) yang
mempengaruhi pemanasan bahan bakar. Sinar matahari yang tegak lurus lebih
dekat, lebih besar efek pemanasannya (Chandler et.al. 1983a) dimana radiasi
surya maksimum (pemanasan matahari) terjadi pada tengah hari yang
menyebabkan suhu udara maksimum, sedangkan radiasi surya minimum terjadi
pada waktu matahari tenggelam.
Pada data lima tahun di hutan jati di Jawa Tengah menunjukkan bahwa
frekuensi kebakaran puncak terjadi antara pukul 09:00 dan 15:00 selama radiasi
surya maksimum (Syaufina, 1988). Hal tersebut diakibatkan oleh meningkatnya
proses pemanasan dimana pengeringan bertambah pada bahan bakar hutan. Di
Brazil, sekitar 85.2% kejadian kebakaran dan 92.0 % area yang terbakar tercatat
antara pukul 10:00 dan 18:00. Waktu yang mempresentasikan kejadian tertinggi
adalah pukul 14:00, dengan 17.2% dari kebakaran yang tercatat (Soares dan
Dampaio, 2000).
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
10
Suhu Udara
Suhu sangat kuat mempengaruhi perubahan kadar air pada bahan bakar
hutan (de Ronde et al. 1990). Suhu yang tinggi membantu pengeringan bahan
bakar dengan cepat. Bahan bakar terpapar sinar matahari menjadi lebih hangat
dari pada udara sekitarnya dan secara signifikan mengurangi energi panas yang
dibutuhkan untuk penyalaan (Brown and Davis, 1973).
Suhu bahan bakar adalah salah satu faktor yang menentukan
kemudahannya untuk terbakar dan tingkat terbakarnya. Suhu dicapai dengan
penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan
termasuk udara yang meliputinya. Suhu udara merupakan faktor yang selalu
berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk
terbakar (Chandler et. al. 1983).
Menurut Young dan Giesse (1991), suhu udara merupakan faktor cuaca
penting yang menyebabkan kebakaran Suhu udara secara konstan merupakan
faktor yang berpengaruh pada suhu bahan bakar dan kemudahan bahan bakar
untuk terbakar.
Menurut Saharjo (1997), pada pagi dengan suhu yang cukup rendah
sekitar 200 C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak
berkembang sehingga terkonsentrasi pada satu titik. Sementara siang hari
dengan suhu 30-350 C, berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak
satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.
Terdapat kecenderungan penurunan suhu bara, baik suhu awal maupun
suhu akhir dengan naiknya kadar air pada bahan bakar gambut Namun bila diuji
statistik dengan regresi linear hasilnya kurang baik dengan nilai R2 masing-
masing 29.36%, 17.86% dan 3.94%. Panas dari sumber panas 600 0C akan
mencari keseimbangan suhu baru, sehingga suhu yang terbentuk pada bara
gambut pada awal merupakan suhu keseimbangan awal, kemudian suhu mulai
meningkat. Meningkatnya suhu tersebut disebabkan oleh produksi zat atau gas
yang mudah terbakar pada saat proses pyrolisis yang terus terjadi secara
simultan (Udiputra, 2003)
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
11
Kelembaban Udara
Kelembaban udara berasal dari evaporasi air tanah, badan air dan
transpirasi tumbuh-tumbuhan. Ketika kandungan air di udara sama dengan
besarnya penguapan air, maka terjadilah kondisi jenuh udara. Umumnya
kandungan air di udara lebih kecil dari penguapan yang terjadi, dan kondisi ini
disebut udara tak jenuh. Para ahli meteorologi menggambarkan kelembaban
udara sebagai Relative Humidity (Kelembaban Relatif) yang didefinisikan sebagai
rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan kandungan
air maksimum yang dapat dikandung udara pada suhu dan tekanan yang sama
(Fuller, 1991).
Menurut Suratmo (1985), cuaca atau iklim merupakan faktor yang sangat
menentukan kadar air bahan bakar hutan, terutama peranan air hujan. Di dalam
musim kering kelembaban udara sangat menentukan kadar air bahan bakar.
Menurut Saharjo (1997), kelembaban relatif yang tinggi di pagi hari yaitu
sekitar 90-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat titik api
tidak berkembang sehingga terkonsentrasi pada sati titik. Sementara pada siang
hari dengan kelembanan relatif 70-80% dan kadar air bahan bakar cukup rendah
(<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk
kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin
(Saharjo, 1997).
Hasil yang diperoleh Udiputra (2003) menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kecepatan pembakaran dengan semakin meningkatnya kadar air
gambut (0-117,39%). Semakin besar kadar air, proses pembakaran akan
menurun akibat panas yang menurun, panas tidak mampu menguapkan air dan
menguraikan bahan kimia gambut atau bahan-bahan lain sehingga konduktivitas
panas gambut menjadi berkurang hingga proses penyalaan pun terhenti.
Kecepatan pembakaran sangat terkait dengan kadar air karena
berhubungan dengan kemampuan penetrasi panas pada saat pyrolisis, sehingga
bila kadar air semaikin tinggi maka kemampuan penetrasi panas akan menurun,
dan suhu pembakaran akan semakin menurun kemudian kecepatan pembakaran
juga menurun. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sampai dengan kadar air
117,39% menunjukkan bahwa peningkatan kadar air akan mengurangi
kecepatan pembakaran dan berdampak pada peningkatan konsentrasi gas dari
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
12
pembakaran, karena semakin tidak sempurna pembakaran akan menaikkan
konsentrasi emisi gas rumah kaca (Levine, 1994).
Presipitasi
Air yang dikandung udara berada dalam tiga wujud, yaitu sebagai uap air
tidak terlihat dan bereaksi seperti gas lain, sebagai cairan yang berbentuk
tetesan pada berbagai ukuran, sebagai padatan berbentuk kristal-kristal es yang
jatuh sebagai salju, hujan batu es, hujan bercampur es atau salju (Chandler et.
al. 1983).
Penelitian Triani (1995), yang mengadakan penelitian di KPH Banyuwangi
selatan menunjukkan hasil perhitungan indeks kekeringan berkisar 0-800
(menurut Kingston dan Ramadhan). Pada bulan dengan sedikit curah hujan,
indek kekeringan cukup tinggi, sebaliknya pada bulan dengan curah hujan tinggi,
indek kekeringan rendah, bahkan mencapai angka nol. Hal ini menunjukkan
bahwa curah huajan mempengaruhi kadar air bahan bakar.
Hal yang sama juga dijelaskan Syaufina (1988), bahwa di Semarang,
Jawa Tengah, puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan Agustus dan
September. Data observasi selama 5 tahun menunjukkan bahwa kebakaran
hutan meningkat seiring dengan menurunnya curah hujan dan puncak kebakaran
hutan terjadi pada bulan-bulan tanpa curah hujan dan puncak kebakaran hutan
terjadi pada bulan-bulan tanpa curah hujan. Pada saat itu, tanaman jati
menggugurkan daun-daunnya, sehingga ketersediaan bahan bakar menjadi
meningkat dalam jumlah sedangkan kadar iar yang menurun drastis. Kondisi
tersebut membuat bahan bakar menjadi lebih mudah terbakar.
Angin
Menurut Chandler et. al. (1983), angin merupakan salah satu faktor
penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan. Angin
bisa menyebabkan kebakaran hutan melalui beberapa cara. Angin membantu
pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah diuapkan dari
bahan bakar. Angin juga mendorong dan meningkatkan pembakaran dengan
mensuplai udara secara terus menerus dan peningkatan penjalaran melalui
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
13
kemiringan nyala api yang terus merembes pada bagian bahan bakar yang
belum terbakar.
Lebih lanjut Deeming (1995), mengemukakan bahwa tiupan angin akan
memperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya (korek api,
obor, kilat dan sebagainya). Sekali nyala api terjadi, maka kecepatan
pembakaran, lama penjalaran dan kecepatan perkembangan api akan meningkat
dengan membesarnya tiupan angin.
Sedangkan menurut Suratmo (1985), angin menentukan arah dan
menjalarnya api dan mempunyai korelasi positif dengan kecepatan menjalarnya
api, tetapi besar kecilnya api ditentukan oleh kadar air bahan bakar.
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
14
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
15
KESIMPULAN
Terdapat keterkaitan yang kuat antara iklim mikro dan perilaku kebakaran
hutan. Keterkaitan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengenali perilaku api
berhubungan dengan kecepatan penjalaran api, arah penjalaran dan waktu
terjadinya api.
Dengan makin kompleknya kejadian kebakaran khususnya kebakaran
hutan dan lahan, maka pemahaman yang baik tentang pengetahuan perilaku api
dan faktor iklim sangat diperlukan bagi yang menggeluti bidang manajemen
sumberdaya alam. Di samping itu, kajian penyebab dan penanggulangan
bahaya kebakaran yang makin berkembang perlu dikuasai untuk mendukung
pengambilan keputusan yang tepat dalam penanggulangan kebakaran.
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
16
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, H.E. 1985. Moisture and Fine Forest Fuel Response. In L. R. Donoghue and R. E. Martin eds., Weather-The Drive Train Connecting the Solar Engine to Forest Ecosystem. Society of American Foresters. Bathesda. USA. Pp. 192 – 199.
Artsybashev, E.S. 1983. Forest Fire and Their Control. K. Badaya Trans, V.
Pandit ed., Oxonian Press Pvt., New Delhi, India. 160 pp. Brown, A. A. and K. P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. McGraw-Hill
Company. New York. USA. 686 pp. Countryman, C.M. 1975. The Nature Heat. Heat-Its Role in Wildland Fire Part-
1. Unnumbered Publication. USDA For.Serv. Pacific Southwest Forestry and Range Experiment Station, California.
Chandler, C., P. Cheney, P. Thomas, L. Trabaud, D. Williams. 1983. Fire in
Forestry Vol. I. John Wiley and Sons. Canada. 450pp De Bano, L. F., D. G. Neary and P. F. Folliot. 1998. Fire’s Effects on Ecosystem.
John Wiley and Sons. USA. 330 pp. De Ronde J.G. Goldammer, D.D. Wade and R.V. Soares. 1990. Prescribed
Fire in Industrial Pine Plantation. In J. G. Goldammer ed., Fire in The Tropical Biota. Ecosystem Processes and Global Challenges Ecological Studies 84. Springer-Verlag. Berlin, Germany. pp. 261-272
Deeming, J. E. 1995. Development of a Fire Danger Rating System for East
Kalimantan, Indonesia. Integrated Forest Fire Management Project, Samarinda. German Agency for Technical Cooperation and the Ministry of Forestry. Jakarta. Indonesia. 12 pp.
Keetch, J. J. dan G. M. Byram. 1988. A drought Index for Forest Fire control
(Revision). USDA Forest Service. Southeastern Forest Experiment Station, Ashville, North California. USA. 32 pp.
Luke, R. H. and A. G. McArthur. 1978. Bushfires in Australia. Australian
Goevrnment Publishing Service. Canberra. Australia. 359 pp Lockwood, J.G. 1979. World Climatology An Environmental Approach.
Whitstable. Kent. 330 pp. Perry, D. G. 1990. Windland Firefighting : Fire Behaviour, Tactics and
Command. Fire Publications. USA. 412 pp. Pyne, S.J., P.L. Andrews dan R.D. Laven. 1996. Introduction to Wildland Fire.
John Wiley and Sons Inc. New York. 769 pp Ryan, P.W. dn C.K. McMahon. 1976. Some Chemical and Physical
Characteristics of Emissions from Forest Fires. In : Proceeding of The 69th
Achmad Siddik Thoha : Keterkaitan Iklim Mikro dengan Perilaku Api Pada Kebakaran Hutan, 2008 USU Repository © 2008
17
Annual Meeting of The Air Pollution Control Association, Portland. Oregon.Paper Number 76-2.3.
Rieley, J. O. dan B. Setiadi. 1997. Role of Tropical Peatlands in Global Carbon
Balance : Preliminary Findings from The High Peat of Central Kalimantan, Indonesia. In Pengelolaan Gambut Berwawasan Lingkungan. ALAMI Vol. 2 No. 1. Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta, Indonesia. pp 52-56.
Saharjo B.H. 1997. Mengapa Hutan dan lahan terbakar. Harian Republika 29
September 1997. Saharjo, B. H. 1999. Study on Forest Fire Prevention for Fast-Growing Tree
Species Acacia mangium Plantation in South Sumatera, Indonesia. Doctoral Thesis of Faculty of Agriculture. Kyoto University. Japan. 107 pp.
Saharjo, B.H. 2001. Manajemen Penggunaan Api dan Bahan Bakar dalam
Penyiapan Lahan. Makalah Pelatihan Pengendalian Kebakaran Hutan. Bapedal. Jakarta.
Schroeder, M.J. dan C.C. Buck. Fire Weather. A Guide for Application of Meteorological Information to Fire Control Operations. U.S. Department of Agricultural Forest Service. Agricultural Handbook 360. Washington.
Soares R. V. and O. B. SaMPAIO 2000. wILDFIREoCCURENCE IN A Forest
District and Other Brazilian Protected Areas. In Proceedings of Forests and Society: The Role of Research. Poster Abstracts Vol. III. XXI IUFRO World Congress. Kual Lumpur 7 – 12 Agustus 2000. Malaysian XXI IUFRI World Congress Organizing Committee. Pp 498.
Syaufina, L. 1988. Pola Penyebaran Kebakaran Hutan Menurut Musim di Jawa
Tengah. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan, 110 pp.
Syaufina, L. 1998. Forest Fire Climate. Unpublished Paper for Special Topic
(Unpublished). Faculty of Forestry Universiti Putra Malaysia. Malaysia. 37 pp.
Suratmo, F.G. 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Triani, W. 1995. Keterkaitan Kebakaran hutan dengan Faktor-faktor Iklim di
KPH Banyuwangi Selatan Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. [Skripsi] Institut Pertanian Bogor. Fakultas Kehutanan. Jurusan Manajemen hutan. Bogor.
Udiputra, N.S.S. 2003. Hubungan Kadar Air dengan Konsentrasi Emisi Gas
Rumah Kaca pada Kebakaran Gambut. [Tesis] Institut Peranian Bogor. Sekolah Pascasarjana. Bogor.
USAD Forest Service. 2001. Wildland Assessment System. World wide web
version. http;/www.FS.FED.US/LAND/WFAS. Young R.A. and Giese R.L. 1991. Introduction to Forest Fire. John Wiley and
Sons Inc. Toronto. Canada