19
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Secara konseptual, konservasi dapat dibedakan menjadi tiga aliran,
yaitu (1) Romantic-trancendental Conservation Ethic, (2) Resource
Conservation Ethic, dan (3) Evolutionary-Ecological Land Ethic (Noss dan
Cooperrider,1994).
Konsep Konservasi
Romantic-trancendental Conservation Ethic. Konsep ini berkembang
sejak pertengahan abad ke-19. Beberapa tokoh yang mengembangkan konsep
ini adalah Ralph Waldo, Henry David Thoreau, dan John Muir. Menurut
konsep ini, alam diciptakan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi semata,
tetapi alam juga mempunyai fungsi religius, yaitu untuk pencucian jiwa.
Pendapat ini telah mendapat dukungan dari beberapa kelompok masyarakat
dan mereka telah membentuk organisasi, yaitu Sierra Club.
Resource Conservation Ethic. Konsep ini berkembang pada pergantian
abad ke-19 menjadi abad 20. Tokohnya adalah Gifford Pinchot. Pendekatan
yang digunakan dalam konsep ini adalah utilitarian, artinya alam diciptakan
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian sumberdaya alam
berfungsi sebagai bahan baku untuk menjalankan perekonomian. Dari konsep
ini berkembang ilmu ekonomi sumberdaya alam. Menurut Pinchot:
- Konservasi adalah penggunaan semberdaya alam yang sebaik-baiknya
untuk sebanyak-banyaknya orang dan dalam jangka waktu yang selama
mungkin
- Konservasi pada akhirnya ditujukan untuk pembangunan
- Konservasi menekankan pemerataan, yaitu pembagian sumberdaya alam
yang adil bagi konsumen, baik masa sekarang maupun untuk masa yang
akan datang, termasuk efisiensi dan meminimalkan limbah.
- Praktek konservasi diarahkan kepada pemanfaatan multi-guna (multiple-
use) dalam pemanfaatan sumberdaya tanah dan air.
Kedua konsep di atas mempunyai pendapat yang saling bertolak
belakang. Kelompok John Muir menekankan perlindungan sumberdaya alam,
20
sedangkan kelompok Pinchot menginginkan pemanfaatan sumberdaya alam
tetapi terbatas.
Evolutionary-Ecological Land Ethic. Konsep ini mulai berkembang
sejak tahun 1949, ketika Aldo Leopold mempublikasikan “A Sand County
Almanac”. Sebenarnya Leopold termasuik penganut konsep Romantic-
trancendental Conservation Ethic. Tetapi dalam perkembangannya, Leopold
merasa bahwa konsep tersebut kurang memadai dan kurang ilmiah. Pendapat
seperti itu muncul setelah Leopold melihat bahwa dalam ilmu ekologi dan
evolusi, alam tidaklah sesederhana yang dibayangkan, melainkan sangat rumit
dan di dalamnya terjadi interaksi yang sangat padu. Menurut konsep ini
equilebrium tidak ada, yang ada adalah keseimbangan dinamis atau non-
equilibrium. Selain itu alam juga menyangkut dimensi waktu yang sangat
panjang, karena alam merupakan hasil dari proses evolusi. Dari konsep ini
berkembang ilmu conservation biology, ecological-economic dan ecological-
anthropology.
Bagi Indonesia konsep yang paling berpengaruh pada awal
pembentukan kawasan lindung adalah konsep Romantic-trancendental
Conservation Ethic, yang salah satu tokohnya adalah John Muir. Dia
mempengaruhi pandangan konservasi sebagian orang-orang Eropa, termasuk
bangsa Belanda yang pernah menjajah Indonesia.
Konsep Romantic-trancendental Conservation Ethic yang dianut
Belanda itulah yang diterapkan di Indonesia, yaitu berupa penetapan kawasan-
kawasan lindung yang relatif kecil. Bentuk kawasan waktu itu adalah suaka
margasatwa dan cagar alam. Suaka margasatwa ditujukan untuk melindungi
satwa tertentu saja, sedangkan cagar alam lebih ditekankan pada perlindungan
spesies tumbuhan tertentu. Dalam konsep ini keberadaan manusia diabaikan,
yang dipentingkan adalah kelestarian spesies tumbuhan dan satwa. Sejak itu
penetapan kawasan lindung lebih banyak memusatkan perhatian pada
perlindungan jenis. Pendekatan seperti itulah yang mempengaruhi Indonesia
sampai dengan diselenggarakannya III World Congress on National Park and
Protected Areas di Bali tahun 1992.
21
Tema Kongres adalah Parks and Sustainable Development. Peserta
yang hadir dalam Kongres cukup berimbang, artinya proporsi peserta dari
negara maju seimbang dengan peserta dari negara berkembang. Hal ini sangat
mendukung bagi munculnya pemikiran baru yang mendorong lahirnya konsep
konservasi yang mungkin sesuai untuk negara berkembang. Walaupun
demikian perbedaan pendapat tetap terjadi, antara kelompok Environmentalist
dengan kelompok International Conservationitst.
Kelompok Environmentalist adalah kelompok yang mempertahankan
konsep konservasi lama. Mereka tetap menghendaki agar Taman Nasional
merupakan tempat yang dilindungi untuk kepentingan rekreasi, pendidikan,
dan tempat untuk merenungkan nilai-nilai dasar kehidupan manusia. Dengan
demikian manajemen Taman Nasional diarahkan untuk kepentingan tersebut.
Seandainya timbul dampak positif berupa perlindungan tata air dan tanah dari
erosi, maka hal tersebut tidak dimasukkan menjadi bagian dari manajemen
kawasan.
Kelompok International Conservationists merupakan kelompok yang
menginginkan agar Taman Nasional dapat memberikan sumbangannya
terhadap masyarakat lokal, karena keberadaan suatu Taman Nasional
sesungguhnya tergantung dari dukungan masyarakat lokal. Dengan demikian
seharusnya keberadaan masyarakat lokal menjadi salah satu bahan yang
dipertimbangkan dalam penyusunan manajemen Taman Nasional. Oleh karena
itu kelompok ini menginginkan pendekatan multiple-use approach, dengan
penerapan sistem zonasi, misalnya zona inti dan zona penyangga.
Pimbert (1994) menyampaikan bahwa partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan konservasi terdiri atas tujuh tipe, yaitu (1) Passive
participation, (2) Participation in Information Giving, (3) Participation by
Consultation, (4) Participation for Material Incentives, (5) Functional
Participation, (6) Interactive Participation, dan (7) Self-Mobilization.
Ketujuh tipe partisipasi masyarakat beserta ciri-cirinya dijelaskan pada Tabel 3.
Peluang Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Taman Nasional
22
Tabel 3. Tipologi Partisipasi Masyarakat
No. Tipologi Partisipasi
Keterangan
1 Passive participation
Masyarakat diberi tahu apa yang sedang atau sudah terjadi. Informasi disampaikan oleh pengelola proyek atau pengelola kawasan tanpa memberi kesempatan bagi masyarakat untuk menanggapi. Informasi hanya disebarkan kepada pihak luar yang professional.
2 Participation in Information Giving
Masyarakat ditanya oleh peneliti atau penglelola proyek dengan menggunakan kuesioner. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk memeriksa hasil kajian, apalagi mempengaruhi hasil kajian.
3 Participation by Consultation
Masyarakat diajak berkonsultasi. Pihak luar mendengarkan pendapat masyarakat, tetapi pihak luarlah yang mendefinisikan masalah dan solusi dengan sedikit memasukkan pandangan dari masyarakat. Proses konsultasi tidak memberi ruang untuk proses pengambilan keputusan dan pihak luar tidak memiliki kewajiban untuk menjamin diterimanya masukan dari masyarakat.
4 Participation for Material Incentives
Masyarakat berpartisipasi dengan berkontribusi sesuatu, misalnya tenaga kerja, untuk memperoleh sesuatu bisa berupa uang, makanan dll.
5 Functional Participation
Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan tertentu yang berhubungan dengan proyek, dan bisa difasilitasi oleh pihak luar seperti organisasi sosial. Keterlibatan masyarakat belum tentu dimulai dari tahap perencanaan proyek tetapi bisa ketika proyek sudah berjalan atau setelah keputusan tentang proyek telah dibuat. Kelompok masyarakat seringkali tergantung pada fasilitator dari luar tetapi cenderung akan menjadi mandiri.
6 Interactive Participation
Masyarakat terlibat dalam analisis bersama yang akan berujung pada penyusunan rencana aksi dan pembentukan kelompok baru atau memperkuat kelompok yang sudah ada. Partisipasi tingkat ini melibatkan metode multi-disiplin dan mengakomodir berbagai pandangan dan menggunakan system pembelajaran yang sistematis dan terstruktur. Pada tingkat ini, kelompok telah berperan dalam pengambilan keputusan.
7 Self-Mobilization Masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatiatif mandiri untuk mengubah system. Inisiatif tsb. mungkin saja memberi tantangan terhadap ketidak seimbangan power.
23
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam memberikan peluang
bagi masyarkat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan Taman Nasional.
Dalam Pasal 35 PP No. 28 tahun 2011 tentang Pemanfaatan Taman Nasional
disebutkan pada ayat (1) bahwa Taman Nasional dapat dimanfaatkan antara
lain untuk pemanfaatan tradisional. Pada ayat (2) disebutkan yang dimaksud
dengan pemanfaatan tradisional dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan
bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk
jenis yang tidak dilindungi.
Selanjutnya dalam Pasal 49 tentang Pemberdayaan Masyarakat
disebutkan pada ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan pemberdayaan
masyarakat meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses
pemanfaatan KSA atau KPA. Pada ayat (3) disebutkan bahwa Pemberdayaan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui (a)
pengembangan desa konservasi, (b) pemberian izin untuk memungut hasil
hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional,
serta izin pengusahaan jasa wisata alam; dan (c). fasilitasi kemitraan pemegang
izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.
Pengertian konflik (Fuad & Maskanah, 2000) adalah benturan yang
terjadi antara dua pihak/lebih, yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status,
kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya. Menurut Fisher et al. (2001), konflik
adalah hubungan antara dua pihak/lebih (individu/kelompok) yang memiliki
atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Berdasar kedua
pengertian ini, dapat dikatakan bahwa kehidupan manusia dan konflik
sangatlah sulit untuk dipisahkan.
Konflik
Menurut Moore (1996), ada 5 jenis konflik berdasarkan sumber penyebab,
yaitu:
1. Konflik nilai: konflik yang terjadi karena adanya perbedaan kriteria dalam
mengevaluasi ide-ide/perilaku; tujuan yang secara intrinsik paling bernilai
bersifat eksklusif; perbedaan cara hidup, ideologi atau agama.
24
2. Konflik struktural : konflik yang terjadi karena adanya pola perilaku atau
interaksi yang destruktif; kontrol, kepemilikan atau distribusi atas
sumberdaya yang timpang; kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara;
faktor-faktor geografi, fisik atau lingkungan yang menghalangi kerjasama;
kendala waktu.
3. Konflik kepentingan: konflik yang terjadi karena adanya kompetisi yang
dirasakan/nyata atas kepentingan substansi (isi); kepentingan tata cara;
kepentingan psikologis.
4. Konflik hubungan: konflik yang terjadi karena adanya emosi-emosi yang
kuat; salah persepsi atau stereotipe; kurang/salah komunikasi; perilaku
negatif yang berulang-ulang.
5. Konflik data: konflik terjadi karena kurang/salah informasi; perbedaaan
pandangan tentang apa yang relevan; perbedaaan interpretasi atas data;
perbedaan prosedur penilaian.
Selain dari jenis konflik, maka konflik juga bisa dilihat dari proses
terbentuknya konflik (Doucet, 2006). Tahapan Yang Dilalui Konflik
Formation (pembentukan)
Eskalation (eskalasi/peningkatan)
Endurance (bertahan)
Improvement (perbaikan)
Settlement/resolution
Reconstrution and reconciliation
endurance improvemment/ de-escalation escalation
settlement/ resolution Formation reconstruction and Reconciliation
Gambar 2. Tahapan Konflik (Doucet, 1996)
25
Masing-masing tahapan tahapan konflik secara rinci oleh Doucet (1996:
hal 12-18) dijelaskan secara jelas dan ringkas. Pada tahap pertama di dalam
perkembangan konflik, berkaitan dengan kemunculan suatu konflik, yaitu
bergerak dari konflik tersembunyi berkembang menjadi konflik mencuat lalu
menjadi konflik terbuka. Dan pada saat inilah konflik mulai kelihatan
wujudnya.
Jika keberadaan mekanisme kelembagaan yang tersedia tak mampu
merespon secara konstruktif dan para pihak yang berkonflik telah sampai pada
titik dimana sikap permusuhan telah diekspresikan secara terbuka, maka
eskalasi konflik akan terus meningkat. Dan konflik ini akan bertahan dalam
jangka waktu tertentu atau konflik mungkin akan berlarut-larut dan
berkepanjangan karena perbedaaan telah berpindah pada suatu kondisi perang
terbuka, kekerasan menjadi bagian yang diakui pada tahap konflik ini, proses
negosiasi telah mengalami jalan buntu.
Menurut Doucet Ada waktunya konflik mengalami perbaikan atau
deeskalasi. Kondisi ini sering dibantu oleh keadaan ketika konflik telah
mencapai tingkat yang stabil dimana para pihak yang bersengketa mulai
merasa tidak nyaman dengan pengorbanan yang sangat merugikan bagi
mereka. Para pihak mulai memikirkan untuk melakukan usaha-usaha
penyelesaian dan melakukan interaksi yang lebih konstruktif. Bahkan
terkadang mulai meminta bantuan pihak ketiga untuk melakukan proses
mediasi. Selain itu, mulai juga ada inisiatif proses pre-negoasiasi antara para
pihak yang berkonflik. Proses ini memberikan kesempatan pada perwakilan
para pihak yang bersengketa untuk berinteraksi, mengakui bahwa dialog yang
konstruktif paling tidak memungkinkan dan menghasilkan ide-ide dan
perspekstif baru. Di dalam proses ini partisipan mengembangkan suatu tingkat
kepercayaan. Mereka dapat menemukan rentang pandangan, kebutuhan dan
prioritas pada sisi yang lain mengindentifikasi area yang fleksibel,
menghasilkan ide untuk membangun kepercayaan yang terukur dimana akan
mengkonsolidasikan proses-proses eskalasi dan bergerak ke arah formal dan
proses negosiasi publik.
26
Sering pada tahap perbaikan atau deeskalasi ini dicapai beberapa kali,
tetapi kadang tidak dapat berkelanjutan dan konflik segera memasuki kembali
pada tahap bertahan (endurance), upaya penyelesaian konflik menjadi buntu
atau macet lagi.
Di dalam penyelesaian konflik (settlement or resolution), para pihak
yang bersengketa mulai mengarah ke perubahan perilaku dan sikap. Perubahan
perilaku seperti para pihak mengakhiri kekerasan secara langsung dan tidak
terlalu ngotot terhadap beberapa tujuan mereka demi pencapaian kepentingan
yang lain. Walaupun perasaan permusuhan, ketakutan dan kecurigaan,
persepsi ketidakadilan dan ketidasetaraan yang bersifat struktural yang
melandasi terjadinya konflik mungkin masih tersisa. Pada tahap ini mungkin
akan ditemukan solusi yang kompromistik, yang nantinya dapat menjadi
landasan untuk mendapatkan solusi kolaborasi yang lebih sejati, tetapi
mungkin juga tidak, karena penyelesaian (settlement) merupakan suatu cara
mencapai suatu kesepakatan tentang aspek khusus dari konflik dari pada untuk
mencapai kesapakatan atas konflik secara keseluruhan.
Sebaliknya penyelesaian konflik (conflict resolution), adalah suatu
jalan keluar yang menyeluruh, dimana sumber penyebab yang utama dari
konflik dihilangkan agar supaya tidak menjadi laten, seperti elemen-elemen
sisa yang mungkin akan memicu terjadi kembali kekerasan. Ada 7 dimensi
dari penyelesaian konflik sejati, yaitu (Doucet, 1996: hal 16):
1. completeness— isu-isu dalam konflik dilenyapkan atau penting untuk
menghentikannya;
2. acceptability---jalan keluar dapat diterima oleh seluruh pihak, tidak hanya
satu atau kelompok elit;
3. self –supporting—tidak cukup ada sangsi dari pihak ketiga untuk
memelihara kesapakatan;
4. satisfactory—seluruh pihak memandang jalan keluar sesuai dengan sistem
nilai mereka;
5. uncompromising—tidak ada tujuan dirahasiakan di dalam bentuk solusi
yang bersifat kompromis;
27
6. innovative—solusi baru yang ditetapkan positif dan mengabsahkan
hubungan baru antara para pihak;
7. uncoerced—kesepakatan yang telah dicapai tanpa pemaksaan oleh
kekuatan dari luar.
Reconstruction dan reconciliation ini merupakan dua komponen
paling penting dari tahap pasca kesepakatan. Rekontruksi dan rekonsiliasi
adalah dua proses yang saling berkaitan dan saling mendukung. Melalui dua
proses tersebut, pelaksanaan kesapakatan memberikan kesempatan kepada
para pihak untuk bekerja bersama dalam aksi konkrit.
Rekonstruksi lebih bersifat fisik (perbaikan infrastruktur, membangun
kembali rumah sakit, sekolahan, pabrik, perbaikan pasokan air), ekonomi
(pelatihan, pekerjaan, pendapatan, reformasi agraria), politik (penetapan
kewenangan sipil, kekuatan polisi dan pengadilan yang mandiri, reformasi
konstitusi dan pemilihan umum), dan sosial (mengintegraikan kembali rakyat
yang menjadi korban perang, pemukiman kembali pengungsi, mengurangi
mobillisasi tentara). Keberhasilan pelaksanaan rekontruksi ni adalah penting
untuk membangun kembali masyarakat yang dirobek oleh perang dan untuk
membantu kelancaran proses rekonsiliasi dalam jangka panjang.
Rekonsiliasi dapat digambarkan sebagai perbaikan hubungan antara
orang, selain juga antara orang dan lingkungan. Ini harus diingatkan bahwa
proses ini dapat menjadi sulit, butuh waktu yang sangat lama dan
mensyaratkan rasa sensitif yang besar serta dorongan.
Berbagai konflik yang terjadi memerlukan penyelesaian agar kawasan
konservasi dapat dikelola dengan baik, sehingga tujuan pengelolaan dapat
tercapai. Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara atau
proses.
Negosiasi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan konflik.
Menurut Fisher (1995), ada tiga fase penting dari proses membangun
konsensus, yaitu: pre-negosiasi, negosiasi dan pelaksanaan (or post-negosiasi),
yaitu:
1. Fase Pra-negosiasi
memulai inisiatif
28
perwakilan
menyusun aturan main dan agenda bersama
pencarian fakta bersama
2. Fase Negosiasi
menemukan pilihan yang saling menguntungkan
mengemas kesepakatan
memproduksi kesepakatan
mengikat para pihak untuk berkomitmen
Ratifikasi
3. Fase Pelaksanaan atau Pasca Negosiasi
mencari keterkaitan kesepakatan dengan kebijakan formal. Dalam hal
ini coba dikaji adakah kendala untuk melaksanakan kesepakatan yang
telah disetujui, terutama dari sisi kebijakan yang ada;
Monitoring
menegosiasikan kembali jika diperlukan
Means, Cynthia, Nielsen dan Vitoonviriyasakltorn (2002)
Konflik dan Kolaborasi
dalam
Selanjutnya Means et.al. (2002) menyatakan bahwa memulai
manajemen kolaboratif mensyaratkan agar konflik dapat diidentifikasi dan
ditanggapi.
Suporahardjo (2005) menyatakan bahwa konflik kadang-kadang memiliki
sejarah panjang dalam hal dampaknya di dalam suatu kawasan sebelum
aktivitas manajemen kolaboratif dimulai. Hal ini dapat disebabkan oleh
hubungan dan persaingan kekuasaan yang berkembang antara atau antar desa,
atau hubungan buruk yang telah berlangsung lama antar kelompok masyarakat
dan agen luar. Kadang-kadang ada warisan hubungan permusuhan,
kecurigaan, aliansi dan usaha pendamaian konflik yang gagal. Konflik yang
ada mungkin menyangkut masalah persaingan sumberdaya, kelangkaan,
pembagian keuntungan hasil hutan yang tidak merata, kurang terlibatnya
pengguna kunci dalam pengambilan keputusan, dsb.
29
Pendekatan kolaborasi juga dikenal sebagai salah satu pendekatan yang
bukan bersifat permusuhan (nonadversarial approach) untuk penyelesaian
problem dan penyelesaian konflik (Straus, 2002). Sehingga dalam prakteknya
kolaborasi banyak digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak
dalam konflik multi-pihak.
Kolaborasi adalah suatu proses dimana dua stakeholder atau lebih yang
berbeda kepentingan dalam satu persoalan yang sama menjajaki dan bekerja
melalui perbedaan-perbedaan untuk bersama-sama mencari pemecahan bagi
keuntungan bersama (Gray, 1989).
Kolaborasi
Ada empat desain kolaborasi yaitu (1) perencanaan yang apresiatif; (2)
strategi secara kolektif, (3) dialog, dan (4) menegosiasikan penyelesaian (Gray;
1989).
Desain Kolaborasi
Faktor-faktor yang memotivasi
Peningkatan berbagi visi
Hasil yang diharapkan
Pertukaran informasi Kesepakatan bersama
Perencanaan yang apresiatif - Search conference - Pengumpulan
informasi bersama komunitas
Strategi kolektif - Kemitraan swasta –
komunitas - Usaha bersama (joint
venture) - Konsorsium riset
dan pengembangan Penyelesaian konflik
Dialog - Dialog kebijakan - Pertemuan publik
Negosiasi penyelesaian - Negosiasi peraturan - Status kepemilikan
tanah - Pilihan cara
penyelesaian (peradilan, musyawarah, jalur politik, kolaborasi)
Gambar 3. Desain Kolaborasi (Gray, 1989)
30
Untuk desain perencanaan yang apresiatif, tujuannya adalah
meningkatkan penyelidikan bersama atas problem yang terjadi. Dalam
perencanaan ini belum dibebani harapan adanya kesepakatan yang secara
eksplisit akan dicapai. Kerja Utama dalam perencanaan ini adalah melakukan
eksplorasi dan analisis bersama secara mendalam atas problemnya.
Perencanaan ini mendorong penyelidikan bersama oleh para pihak yang
bersengketa dalam konteks problem dan saling ketergantungan. Dari sini
diharapkan akan muncul secara ideal bersama sehingga meningkatkan
kesadaran tentang suatu ranah problem dan memperoleh suatu nilai bersama
untuk basis perencanaan masa depan. Perencanaan ini dapat juga menjadi
perangsang munculnya inisiatif-inisiatif baru untuk dijadikan agenda yang
harus dinegesiasikan untuk diselesaikan. Untuk menghasilkan perencanaan
yang apresiatif ini dapat menggunakan berbagai cara seperti search
conference/future gathering (sejenis lokakarya dengan menyelidiki masa depan
yang diinginkan), community gathering (mengumpulkan informasi bersama
komunitas).
Strategi kolektif biasanya dimotivasi untuk berbagi visi, dapat
merupakan tindak lanjut dari perencanaan apresiatif dengan menciptakan
kesepakatan khusus yang ditujukan untuk mengatasi problem atau untuk
merealisasikan visi. Strategi kolektif ini dapa dalam bentuk kemitraan atau
joint venture.
Dialog antara para pihak yang bersengketa merupakan bentuk
pertemuan penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses kolaborasi.
Tujuan dialog ini adalah untuk mengeskplorasi perbedaan, memperjelas area
ketidak sepakatan dan menyeldiki landasan bersama tanpa dibebani harapan
atas kesepakatan yang mengikat. Tujuan dialog yang sebenarnya ini perlu
dipahami oleh para pihak yang bersengketa, karena dalam banyak kasus sering
mekanisme dialog ini diposisikan sebagai forum untuk membangun
kesepakatan yang mengikat. Misalnya dalam pertemuan public dan dialog
kebijakan, dialog ini lebih fokus pada pertukaran informasi dan kemungkinan
menghasilkan usulan kebijakan untuk dipertimbangkan oleh para pihak
legislative atau lembaga pemerintahan.
31
Penyelesaian yang harus dinegosiasikan oleh para pihak yang
bersengketa ini dimotiviasi oleh keinginan menyelesaikan konflik dan harapan
membangun kesepakatan bersama. Untuk kasus sengketa pengelolaan
sumberdaya alam, isu-isu apa saja yang perlu diselesaikan dan dinegosiasikan,
misalnya masalah status kepemilikan atas tanah, berbagai peraturan kebijakan
yang perlu dicabut dan direvisi. Pilihan cara-cara penyelesaian sengketa
melalui peradilan, musyawarah, jalur politik atau strategi kolaborasi.
Istilah Collaborative Management atau Manajemen Kolaboratif
digunakan oleh Borrini-Fayerabend (1996) untuk menggambarkan suatu situasi
dimana keterlibatan beberapa (atau semua) stakeholder dalam kegiatan
manajemen melalui cara yang substansial. Lebih spesifik lagi, dalam proses
manajemen kolaboratif, pengelola kawasan yang dilindungi mengembangkan
kemitraan (partnership) dengan stakeholder lain yang relevan, terutama
masyarakat lokal dan pengguna sumberdaya alam, yang sudah mempunyai
kejelasan fungsi, hak dan tanggung jawab. Dalam proses kerjasama itu dapat
terjadi beberapa kemungkinan, seperti terlihat pada Gambar 4.
Manajemen Kolaboratif
Pengawasan penuh
oleh pengelola Kerjasama dalam mengontrol antara pengelola dengan
stakeholder Pengawasan penuh oleh stakeholder
Manajemen Kolaboratif pada suatu kawasan konservasi
Proses konsultasi Mencari konsensus
Negosiasi (terlibat dalam proses pembuatan
keputusan dan mengembangkan perjanjian yang
spesifik)
Berbagi otoritas dan tanggung jawab dalam bentuk formal
Pelimpahan otoritas dan
tanggung jawab
Tidak ada kontribusi dari
stakeholder yang lain
Tidak ada kontribusi dari
pengelola
Meningkatnya harapan stakeholder
Meningkatnya kontribusi, komitmen, dan ‘akuntabilitas’ stakeholder
Gambar 4. Skema Manajemen Kolaboratif (Borrini-Feyerabend, 1996)
Penjelasan dari ketujuh kemungkinan kolaborasi seperti yang ada pada
Gambar 3 adalah:
32
1. pengelola kawasan yang dilindungi mengabaikan kapasitas stakeholder
dan meminimalkan hubungan mereka dengan kawasan, atau
2. memberi informasi kepada stakeholder tentang isu-isu yang relevan dan
keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengelola, atau
3. secara aktif berkonsultasi dengan stakeholder tentang isu-isu relevan dan
keputusan-keputusan yang dibuat, atau
4. mencari kesepakatan tentang isu-isu relevan dan keputusan-keputusan
yang dibuat, atau
5. membuka peluang negosiasi dengan stakeholder yang terbuka (dan pada
gilirannya membuka kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam
proses pengambilan keputusan), atau
6. berbagi otoritas dan tanggung jawab dengan stakeholder secara formal,
misalnya melibatkan mereka dalam Management Board, atau
7. melimpahkan sebagian atau semua otoritas dan tanggung jawab kepada
satu atau beberapa stakeholder. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan TN Gunung Ciremai yang
termasuk dalam Kabupaten Kuningan, di desa-desa yang sudah pernah
menandatangani perjanjian atau kesepakatan kerjasama dalam program PHBM
dengan Perhutani. Penelitian juga akan dilakukan di Jakarta dan Bogor,
terutama untuk mengumpulkan informasi, data serta diskusi dengan pihak
Departemen Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA). Penelitian dilakukan mulai bulan
September 2006 sampai September 2010.
33
i
Gambar 5. Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunung
Ciremai
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah action research
(Riset Aksi). Pengertian action research dikutip dari Dick (1997) adalah suatu
proses dimana terjadinya suatu perubahan dan meningkatnya pemahaman
terhadap situasi yang berubah, dapat dicapai dalam waktu yang sama. Riset
Aksi biasanya digambarkan sebagai siklus, dengan aksi dan refleksi kritis yang
terjadi secara bergantian. Refleksi digunakan untuk mengkaji Aksi terdahulu
dan menyusun rencana untuk siklus berikutnya.
Riset Aksi digunakan dalam situasi tertentu. Dick (1997) menyarankan
bahwa Riset Aksi dapat digunakan ketika situasi di lokasi penelitian sangat
dinamis sehingga membutuhkan tanggapan yang cepat atau dengan kata lain,
penelitian juga harus responsive terhadap dinamika atau perubahan yang
terjadi. Oleh karena itu, penelitian juga dituntut untuk memiliki fleksibilitas
yang tinggi.
Selain itu Dick (1997) juga menyatakan bahwa Riset Aksi bersifat
partisipatif. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, “Siapa yang harus
berpartisipasi? Partisipasi dalam kegiatan apa?” Dalam konteks partisipasi,
34
Riset Aksi biasanya dilakukan oleh sekelompok orang, walaupun kadang-
kadang juga dilakukan oleh individu, namun keduanya sama-sama bertujuan
untuk memperbaiki suatu praktek atau kegiatan untuk melakukan suatu
perubahan.
Riset Aksi yang dilaksanakan di Kabupaten Kuningan melibatkan LPI
PHBM (Lembaga Pelayanan Implementasi Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat), yaitu organisasi multi-pihak dan terdiri atas berbagai instansi
pemerintah Kabupaten Kuningan, perwakilan petani, LSM, Perhutani KPH
Kuningan, serta individu pemerhati lingkungan (Lampiran 1). LPI PHBM
adalah organisasi yang lahir pada waktu terjadi konflik antara masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan Negara, dengan Perhutani KPH Kuningan. LPI PHBM
berperan untuk memfasilitasi proses negosiasi antara masyarakat dengan
Perhutani. Mereka juga berperan mendorong kebijakan Pemerintah Kabupaten
Kuningan untuk mengalokasikan dana untuk pengembangan PHBM.
Dalam konflik perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman
Nasional, LPI PHBM mengalami perpecahan, dan sebagian anggota bergabung
dalam wadah yang disebut Para Penggiat PHBM. Mereka adalah perwakilan
petani, individu dan LSM yang peduli terhadap masyarakat yang terkena
dampak negative dari perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman
Nasional, dan ingin mencari solusi.
LPI PHBM maupun Para Penggiat PHBM adalah pihak-pihak atau
mitra yang dilibatkan dalam Riset Aksi. Mereka menjalankan beberapa peran.
Menurut Dick (1997) ada 7 bentuk peran yang dijalankan oleh mitra, yaitu (a)
peran sebagai informan untuk menyediakan data, (b) peran sebagai interpreter
untuk menginterpretasikan data, (c) peran sebagai perencana dan pengambil
keputusan, (d) peran sebagai pelaksana, (e) peran sebagai fasilitator, (f) peran
sebagai peneliti dan asisten peneliti yang merancang penelitian, (g) peran
sebagai resipien yang berarti mitra hanya diinformasikan hasil penelitian dan
implikasinya.
Dalam riset aksi, orang-orang atau para pihak tersebut secara sadar dan
konsisten bergerak mengikuti suatu siklus yang berulang, yang terdiri atas:
memahami masalah melalui proses Refleksi, menyusun Rencana, melakukan
35
Aksi atau tindakan, melakukan Monitoring, refleksi dan kembali menyusun
rencana untuk siklus berikutnya (siklus “Action Research Spiral” ini
dipaparkan oleh Kemmis and McTaggart, 1988a).
Gambar 6. Spiral Action Research yang digunakan [diadaptasi dari
Kemmis and McTaggart, 1988a]
Siklus Riset Aksi dijelaskan oleh Kemmis and McTaggart (1988a)
terdiri atas Refleksi, Perencanaan, Aksi, dan Monitoring, dan selanjutnya ke
siklus berikutnya untuk melakukan Refleksi. Pengertian dari setiap langkah di
dalam satu siklus Riset Aksi adalah:
• Refleksi adalah upaya untuk memahami masalah dan mengkritisi apa yang
sudah terjadi. Menigkatnya pemahaman yang muncul akibat proses
refleksi kritis kemudian digunakan untuk merancang langkah selanjutnya
(Dick, 2000).
• Rencana merupakan kegiatan untuk merespon masalah yang dihadapi
berupa langkah-langkah yang akan dilakukan
• Melakukan aksi atau tindakan merupakan pelaksanaan dari rencana yang
dilakukan, dan di dalamnya juga termasuk hasil dari tindakan
• Melakukan monitoring merupakan upaya untuk menilai dampak dari
kegiatan atau Aksi yang telah dilakukan dan melihat sejauh mana
perubahan telah terjadi. Apabila ada perbaikan, maka perlu dikaji apakah
data yang dimiliki bisa menjadi bukti terjadinya perubahan? Apabila tidak
36
terjadi perubahan, maka perbaikan apa yang harus dilakukan untuk
memperoleh hasil yang lebih baik ? (Ferrance, 2000).
Lebih jauh lagi, Dick (2000) menyatakan bahwa Riset Aksi cenderung
untuk:
• Siklus – langkah-langkah yang sama cenderung berulang, dalam urutan
yang sama
• Partisipatif – klien dan informan terlibat sebagai mitra, atau paling tidak
sebagai partisipan aktif, dalam proses penelitian
• Kualitatif – lebih sering menggunakan cerita daripada angka dan
• Reflektif – refleksi kritis terhadap proses dan outcomes adalah bagian
penting dari setiap siklus
Menurut Uhlmann (1995), Riset Aksi berbeda dengan riset lainnya.
Riset Aksi lebih mementingkan perubahan. Untuk bisa terjadi perubahan
diperlukan partisipasi dari orang-orang yang terlibat pada situasi yang ingin
diubah atau yang akan terkena dampak dari suatu keadaan. Partisipasi dalam
Riset Aksi sangat penting karena:
• Stakeholder lebih mengenal situasi sehingga mereka dapat
mengidentifikasi isu yang mereka hadapi secara jelas
• Mereka mengetahui sejarah dan dapat menceritakan apa yang sudah
dicoba dan apa yang bisa diterima secara kultural
• Mereka mampu melakukan aksi dan mengevaluasi aksi dan solusi yang
dihasilkan sesuai dengan lingkungan yang mereka hadapi.
• Mereka akan tetap berada di lokasi penelitian, setelah Riset selesai
dilakukan dan mereka sanggup melakukan perbaikan karena mereka
akan belajar bagaimana mengatasi masalah sepanjang waktu.
• Mereka juga akan membangun hubungan atau relasi yang lebih baik
sepanjang waktu, yang juga akan membantu mereka dalam mencapai
kemajuan dari Aksi yang mereka lakukan
Perbedaan Riset Aksi dengan riset lainnya juga dinyatakan oleh
Alwasilah (2001). Beberapa perbedaan Riset Aksi dengan penelitian formal
ditulis pada Tabel 4.
37
Tabel 4. Perbedaan Riset Aksi dengan Penelitian Formal Kuantitatif
Riset Aksi Penelitian Formal
Tujuannya memecahkan persoalan lokal dengan populasi yang terbatas.
Tidak memerlukan pelatihan formal yang ketat.
Dilakukan untuk mengetahui atau mengkoreksi problem lokal yang dihadapi.
Kurang ketat (rigorous)
Biasanya tidak bebas nilai.
Mengembangkan atau menguji teori dan menghasilkan pengetahuan yang dapat digeneralisasi bagi populasi yang lebih besar.
Memerlukan pelatihan formal yang sangat ketat.
Dilakukan untuk meneliti isu-isu yang relative besar.
Lazimnya dilakukan oleh peneliti yang tidak terlibat langsung dalam penelitian.
Lebih ketat (rigorous).
Seringkali bebas nilai
Peran Peneliti
Peneliti memiliki beberapa peran dalam riset aksi. Pertama, peneliti
berperan sebagai fasilitator. Menurut Roger (1994), akar kata fasilitasi adalah
“facilitation” yang mempunyai arti “membuat sesuatu menjadi mudah”. Dari
segi proses, facilitation didefinisikan sebagai suatu proses dimana seseorang
membantu pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaannya dan memperbaiki
cara mereka bekerja bersama. Sedangkan sebagai keahlian, facilitation adalah
keahlian mengelola suatu pertemuan (a meeting management skill). Oleh
karena itu, facilitation juga dikatakan sebagai cara membantu kelompok
bekerja bersama di dalam pertemuan.
Peran kedua adalah peran untuk meningkatkan kapasitas. Hal ini
dilakukan dengan memberi informasi tentang kerangka teori yang bisa
digunakan untuk membantu proses penyelesaian konflik. Salah satu contohnya
adalah analisis stakeholder. Peneliti member informasi tentang teori analisis
stakeholder dan juga memfasilitasi proses analisis stakeholder, sesuai dengan
teori yang diberikan.
Peran ketiga, peneliti berperan untuk menganalisis proses yang terjadi
dan membandingkan dengan kerangka teori yang sudah ada.
38
Prosedur Kerja Riset Aksi
Prosedur kerja Riset Aksi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi
(a) pengumpulan data, (b) memfasilitasi proses diskusi, (c) melakukan
komunikasi dengan pengambil keputusan untuk bernegosiasi, (d) melakukan
mediasi pada proses negosiasi, (e) melakukan dokumentasi proses, (f)
menyusun hasil Riset Aksi dan (g) melakukan analisis atau pembahasan
terhadap hasil Riset Aksi.
Tabel 5. Prosedur Kerja Riset Aksi
Prosedur Kerja Keterangan Pengumpulan Data dilakukan melalui:
Diskusi informal
Focus Group Discussion
Melakukan kunjungan ke desa
Diskusi informal dilakukan sepanjang Riset Aksi dilakukan. Diskusi informal bisa dilakukan dengan cara kunjungan silaturahmi ke rumah atau terlibat dalam “obrolan” kelompok tertentu. Tujuannya untuk membangun hubungan dan kepercayaan stakeholder terhadap peneliti, serta mengumpulkan informasi yang tidak bisa diperoleh dari diskusi formal.
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk memperoleh informasi yang spesifik, dengan peserta diskusi yang spesifik juga. Peserta FGD terbatas, tidak lebih dari 10 orang agar efektif.
Tujuan kunjungan ke desa adalah untuk memahami kepentingan dan pandangan masyarakat lokal terhadap perubahan status Gunung Ciremai menjadi Taman Nasional.
Memfasilitasi proses diskusi
diskusi untuk melakukan refleksi, menyusun rencana, menggali pendapat para pihak dan mempersiapkan negosiasi,
Berkomunikasi dengan pejabat Departemen Kehutanan
Komunikasi bisa dilakukan secara informal, terutama untuk menentukan jadwal dan agenda pertemuan. Setelah itu ditindak lanjuti dengan mengadakan pertemuan. Peneliti berkomunikasi dengan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II, Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi, Direktur Kawasan Konservasi, Kepala Biro Hukum Departemen Kehutanan, serta Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan.
Melakukan mediasi Yang dilakuan peneliti adalah memfasilitasi persiapan negosiasi, memfasilitasi pertemuan dengan Departemen Kehutanan, memfasilitasi perumusan hasil negosiasi
Melakukan dokumentasi proses
Mencatat dan mengumpulkan semua dokumen yang dihasilkan selama Riset Aksi berlangsung.
Menyusun hasil Riset Aksi secara sistematis
Informasi yang diperoleh dari hasil dokumentasi proses disusun secara sistematis berdasarkan siklus Riset Aksi.
Melakukan analisis berdasarkan kerangka teori yang ada
Kerangka analisis digunakan untuk membandingkan antara informasi atau temuan yang diperoleh dari dokumentasi proses dengan teori yang ada
39
Analisis Stakeholder
Analisis parapihak merupakan suatu alat yang digunakan untuk
mengidentifikasi dan mendeskripsikan parapihak dari basis kedudukan,
hubungan, dan kepentingan parapihak tersebut terhadap suatu masalah atau
sumberdaya (Ramirez, 2003). Analisis ini telah banyak digunakan pada
berbagai bidang yang mencakup bisnis, hubungan internasional, penyusunan
kebijakan, penelitian partisipatif, ekologi dan pengelolaan sumberdaya alam.
Menurut Bisset (1998) dalam Ramirez (2003) yang dimaksud dengan
parapihak (stakeholders) adalah individu yang berkepentingan dan mempunyai
perhatian terhadap sesuatu. Sedangkan Freeman (1984) mendefinisikan
parapihak sebagai kelompok atau individu yang mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh tujuan suatu korporasi. Dalam konteks pengelolaan
sumberdaya alam, Röling dan Wagemakers (1998) menawarkan definisi yang
lebih tepat: parapihak adalah pemanfaat dan pengelola sumberdaya alam.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa parapihak adalah merujuk pada
kelompok atau institusi yang berkepentingan atau yang berperan aktif dalam
suatu sistem. Parapihak yang berkepentingan inilah yang seharusnya
diakomodasikan kepentingannya dalam penyusunan suatu sistem, termasuk
didalamnya penyusunan sistem pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Analisis yang dilakukan untuk mengetahui kepentingan dan peran parapihak
ini adalah yang disebut sebagai analisis parapihak (stakeholders analysis).
Terdapat beberapa manfaat ang diperoleh dari analisis parapihak.
Beberapa manfaat tersebut adalah (Röling and Wagemakers 1998):
a. Untuk mengetahui pola interaksi empirik yang ada
b. Dapat dianalisis untuk peningkatan model intervensi
c. Sebagai alat untuk pengambilan keputusan, dan
d. Sebagai alat untuk memprediksikan konflik.
Lebih jauh lagi, analisis parapihak pada saat ini juga merupakan topik utama
dalam manajemen konflik untuk memperoleh resolusi dari sudut pandang para
aktor sosial.
40
Masing-masing stakeholders dapat diidentifikasi jenis kepentingan
(interest), hak (right), pengaruh (influence), dan tingkat kepentingan
keterlibatan (importance) dalam pengelolaan kawasan konservasi Gunung
Ciremai. Kepentingan (interest) dalam hal ini adalah berupa tingkat utilitas
yang diharapkan oleh parapihak, sedangkan hak (right) adalah merujuk pada
hak individu/kelompok terhadap KKGC. Pengaruh (influence) adalah merujuk
pada kekuatan stakeholders tertentu, sedangkan kepentingan keterlibatan
(importance) adalah merujuk pada prioritas tingkat kebutuhan dan interest
masing-masing stakeholders (Grimble and Wellard, 1997).
Dengan mengkombinasikan pengaruh dan kepentingan dari setiap
stakeholder dalam sebuah matriks, maka asumsi dan resiko tentang stakeholder
bisa diidentifikasi. Dalam matriks berukuran 2 x 2, setiap stakeholder
dipetakan berdasar dua criteria, yaitu pengaruh dan kepentingan. Pemetaan ini
mengindikasikan potensial koalisi yang mungkin dibangun (DFID, 1995).
A *2 *1 *5
B *4 *3
D *7
C *6
high low Influence →
Gambar 7. Contoh Matriks Klasifikasi Stakeholder Berdasarkan Pengaruh dan Kepentingan (DFID, 1995)
Kotak A, B dan C adalah stakeholder kunci, yaitu mereka yang
mempunyai pengaruh signifikan, dan juga yang paling penting dalam mencapai
tujuan suatu proyek. Implikasi dari setiap kotak adalah:
A. Kotak A diisi oleh stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tingi,
tetapi pengaruh yang kecil Implikasinya adalah mereka membutuhkan
special inisiatif khusus apabila kepentingan mereka ingin dilindungi
(stakeholders 2,1, and 5)
high ↑ Importance low
41
B. Kotak B diisi oleh stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi dan juga
memiliki tingkat kepentingan yang tinggi pula. Implikasinya adalah staf
proyek perlu membina hubungan baik dengan stakeholder ini untuk
memastikan koalisi yang efektif dan dapat mendukung proyek
(stakeholders 3 and 4).
C. Kotak C diisi oleh stakeholder yang memiliki pengaruh tinggi, yang bisa
juga mempengaruhi hasil dari proyek, tetapi kepentingan mereka bukanlah
target dari proyek. Stakeholder ini mungkin merupakan sumber resiko
yang tinggi, dan mereka perlu dimonitor dan dikelola secara hati-hati.
Stakeholder ini bisa jadi menghambat proyek (stakeholder 6).
D. Kotak D diisi oleh stakeholder dengan pengaruh dan tingkat kepentingan
yang rendah. Mereka bukanlah stakeholder yang perlu dilibatkan dalam
proyek (stakeholder 7).
Hasil dari matriks stakeholder akan memberi informasi, siapa yang
harus diajak bernegosiasi (DFID, 1995).