Download - Mental Disorders
MENTAL DISORDERS & CEREBRAL PALSY
TUGAS KESEHATAN MENTAL
Disusun oleh:
Novia (12120080037)
Joice Novita Limpo (12120080039)
Restu Randesalu (12120080045)
Fakultas Psikologi
Universitas Pelita Harapan Surabaya
2011
Gangguan Gerakan Stereotipik
I. Definisi
Anak-anak dengan gangguan metal ini menunjukkan gerakan-gerakan non-
fungsional yang berulang-ulang yang dapat mengakibatkan cidera fisik atau
mengganggu fungsi normal.
II. Karakteristik
Gangguan gerakan stereotipik terjadi ketika gerakan-gerakan stereotipik, seperti
mengisap jempol, menggigit kuku, menahan napas, yang semula merupakan
kebiasaan kemudian cukup parah untuk dapat menyebabkan cidera fisik yang
memerlukan perawatan medis. Berbeda dengan gangguan tik dan sindrom tourette,
yang seringkali muncul sekitar usia 6-7 tahun, gangguan ini cenderung muncul
bahkan sebelum usia 2 tahun.
III. Kriteria
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk gangguan gerakan stereotipik:
1. Perilaku motorik yang berulang-ulang, nampak disengaja, dan non-fungsional
(seperti jabat tangan atau melambai, mengguncang tubuh, membenturkan
kepala, memasukkan barang ke dalam mulut, menggigit diri sendiri,
mencabuti kulit, memukul diri sendiri).
2. Perilaku tersebut jelas mengganggu aktivitas normal atau menyebabkan cidera
tubuh yang memerlukan perawatan medis (ataupun akan menyebabkan cidera
apabila tidak dilakukan pencegahan).
3. Apabila terdapat retardasi mental, gerakan stereotipi atau menyakiti diri
sendiri berada pada tingkat keparahan yang cukup untuk menjadi fokus
perawatan.
4. Perilaku tidak disebabkan oleh kompulsi (seperti dalam Gangguan Obsesif-
Kompulsif), tik (seperti dalam Gangguan Tik), stereotipi yang merupakan
bagian dari Gangguan Perkembangan Pervasif, ataupun menarik rambut
(seperti dalam Trikotilomania).
5. Perilaku tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari obat ataupun kondisi medis
umum lainnya.
6. Perilaku bertahan selama 4 minggu atau lebih.
DELIRIUM
I. Definisi
DSM-IV-TR (Hales, Yudofsky dan Gabbard, 2008) mendefinisikan delirium
sebagai sindom neuropsikiatris yang akut dan dapat muncul lagi, yang disebabkan
oleh kondisi medis umum dan/atau substansi yang berasal dari luar tubuh (substansi
eksogen). Sumber lain menyatakan bahwa delirium merupakan keadaan kebingungan
mental atau disfungsi mental secara global dengan perubahan menyolok, yang sering
berubah-ubah (berfluktuasi), pada aspek kewaspadaan atau perhatian (Mazzoni dkk.,
2006).
II. Karakteristik
Dalam DSM-IV (American Psychiatric Association [APA], 1994), delirium
dikarakteristikkan sebagai gangguan pada kesadaran dan perubahan kognisi yang
terjadi dalam jangka waktu yang singkat. Individu yang mengalami delirium menurut
Mazzoni beserta rekan-rekannya (2006) biasanya mengalami disorientasi, tingkat
kesadarannya berubah-ubah, tidak mampu mempertahankan perhatian, dan
mengalami agitasi. Karakteristik ini dapat berlangsung selama berjam-jam atau
berhari-hari, sering memburuk pada malam hari, dan cenderung reversible (dapat
muncul kembali). Akan tetapi, kadang kala delirium juga disertai dengan rasa
ngantuk, kegelisahan, inkoherensi (ketidaklogisan), mudah marah, kelabilan
emosional, kesalahan menafsir secara perseptual (berilusi), atau berhalusinasi.
Karakteristik delirium menurut Fiebach, Barker, Burton dan Zieve (2007):
1. Adanya kerusakan kognitif
2. Kesadaran yang kabur (clouding of consciousness)
3. Mengantuk atau terlalu waspada (hyperalert/hypervigilant)
4. Mengalami kesulitan dalam mempertahankan dan mengalihkan perhatian
5. Terjadi secara cepat, waktu singkat, dan berubah-ubah sepanjang hari
6. Gangguan persepsi (ilusi atau halusinasi) umum terjadi
Prevalensi delirium menurut DSM-IV (APA, 1994) ialah sekitar 10% ketika
mendaftar di rumah sakit dan sekitar 10-15% lainnya ketika dirawat di rumah sakit
pada individu yang berumur 65 tahun ke atas.
III. Kriteria
Menurut DSM-IV (APA, 1994), kriteria diagnosis delirium tergantung pada
penyebab yang melatarbelakangi munculnya delirium tersebut. Adapun beberapa
subtipe delirium dan disertai dengan kriteria diagnosis masing-masing, yakni sebagai
berikut:
1. Delirium yang Disebabkan oleh Kondisi Medis Umum
a. Gangguan pada kesadaran (menurunnya kewaspadaan terhadap
lingkungannya) dengan menurunnya kemampuan memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b. Perubahan pada kognisi (misalnya, defisit memori, disorientasi, gangguan
pada bahasa) atau perkembangan gangguan perseptual yang terjadi di luar
adanya, terbentuknya, atau berkembangnya demensia.
c. Gangguan terjadi dalam jangka waktu singkat (biasanya berjam-jam hingga
berhari-hari) dan cenderung berubah-ubah (berfluktuasi) dalam sehari.
d. Terdapat bukti dari sejarah, pemeriksaan fisikal, atau penemuan
laboratorium bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologis
langsung dari kondisi medis umum.
2. Substance-Induced Delirium
o Substance Intoxication Delirium
a. Gangguan pada kesadaran (menurunnya kewaspadaan terhadap
lingkungannya) dengan menurunnya kemampuan memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b. Perubahan pada kognisi (misalnya, defisit memori, disorientasi, gangguan
pada bahasa) atau perkembangan gangguan perseptual yang terjadi di luar
adanya, terbentuknya, atau berkembangnya demensia.
c. Gangguan terjadi dalam jangka waktu singkat (biasanya berjam-jam
hingga berhari-hari) dan cenderung berubah-ubah (berfluktuasi) dalam
sehari.
d. Terdapat bukti dari sejarah, pemeriksaan fisikal, atau penemuan
laboratorium bahwa adanya dua keadaan berikut:
i. Simptom-simptom pada kriteria a dan b terjadi saat Substance
Intoxication.
ii. Penggunaan obat-obatan berhubungan dengan gangguan.
o Substance Withdrawal Delirium
a. Gangguan pada kesadaran (menurunnya kewaspadaan terhadap
lingkungannya) dengan menurunnya kemampuan memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b. Perubahan pada kognisi (misalnya, defisit memori, disorientasi, gangguan
pada bahasa) atau perkembangan gangguan perseptual yang terjadi di luar
adanya, terbentuknya, atau berkembangnya demensia.
c. Gangguan terjadi dalam jangka waktu singkat (biasanya berjam-jam
hingga berhari-hari) dan cenderung berubah-ubah (berfluktuasi) dalam
sehari.
d. Terdapat bukti dari sejarah, pemeriksaan fisikal, atau penemuan
laboratorium bahwa symptom-simptom pada kriteria a dan b terjadi saat
atau beberapa saat setelah sindrom withdrawal.
3. Delirium yang Disebabkan oleh Berbagai Penyebab
a. Gangguan pada kesadaran (menurunnya kewaspadaan terhadap
lingkungannya) dengan menurunnya kemampuan memusatkan,
mempertahankan, dan mengalihkan perhatian.
b. Perubahan pada kognisi (misalnya, defisit memori, disorientasi, gangguan
pada bahasa) atau perkembangan gangguan perseptual yang terjadi di luar
adanya, terbentuknya, atau berkembangnya demensia.
c. Gangguan terjadi dalam jangka waktu singkat (biasanya berjam-jam hingga
berhari-hari) dan cenderung berubah-ubah (berfluktuasi) dalam sehari.
d. Terdapat bukti dari sejarah, pemeriksaan fisikal, atau penemuan
laboratorium bahwa delirium memiliki lebih dari satu penyebab (misalnya,
lebih dari satu penyebab kondisi medis umum, satu kondisi medis umum
ditambah dengan Substance Intoxication atau efek samping pengobatan).
4. Delirium yang Tidak Tergolong secara Khusus
Subtipe ini didiagnosis ketika delirium yang muncul tidak tergolong pada kriteria
subtipe manapun yang telah dijelaskan sebelumnya.
DEMENSIA
I. Definisi
Guze (1997) mendefinisikan Demensia merupakan suatu defisit yang didapat
dalam fungsi intelektual, termasuk gangguan bahasa, kognisi (perhitungan,
pertimbangan, dan abstraksi), kepribadian (termasuk alam perasaan dan perilaku),
ketrampilan visual spasial, dan ingatan.
Demensia dapat dibagi ke dalam beberapa bagian berdasarkan gangguan fisik
yang mempengaruhi fungsi psikologis dalam berbagai cara sebagai berikut.
1. Demensia Akibat Penyakit Pick
Penyakit Pick menyebabkan Demensia progresif yang secara simptomatif
mirip dengan AD. Simptom-simptomnya mencakup hilangnya ingatan dan
ketidaklayakan secara sosial, seperti kehilangan kesopanan atau perlihatkan perilaku
seksual yang mencolok. Paling banyak terjadi pada usia 50-60 tahun. Meskipun dapat
terjadi pada usia yang lebih tua. Laki-laki lebih banyak menderita penyakit Pick
daripada wanita. Penyakit pick tampaknya menurun dalam keluarga, dan komponen
genetis dianggap merupakan penyebabnya.
2. Demensia Akibat Penyakit Parkinson
Penyakit Parkinson ditandai oleh getaran-getaran anggota badan yang tidak
terkontrol atau tremor, kekakuan, gangguan dalam postur (condong ke depan), dan
hilangnya kontrol terhadap gerakan tubuh. Beberapa orang tidak mampu berjalan
sama sekali. Dan bahkan ada yang berjalan dengan sangat sulit, dengan menunduk.
Memiliki kontrol yang buruk terhadap gerakan motorik halusnya seperti kontrol jari-
jari, dan memilki refleks yang buruk. Orang-orang yang menderita penyakit Parkinson
kemungkinan tidak dapat mengordinasikan dua gerakan saat bersamaan.
Bentuk Demensia yang dihubungkan dengan penyakit Parkinsion biasanya
melibatkan perlambatan proses berpikir, hendaya kemampuan untuk berpikir abstrak
atau merencanakan atau mengorganisasikan serangkaian tindakan, dan kesulitan
dalam mengingat sesuatu. Secara keseluruhan, hendaya kognitif yang terkait pada
penyakit parkinson cenderung lebih samar daripada yang terkait dengan penyakit
Alzheimer.
3. Demensia Akibat Penyakit Huntington.
Penyakit Hungtington adalah penyakit degeneratif yang diwariskan, ditandai
oleh gerakan berkedut, paranoid, dan deteroirasi mental. Seiring dengan
berkembangnya penyakit, paranoid dapat berkembang dan orang dapat menjadi
depresi dan cenderung bunuh diri. Kesulutan untuk mengingat sesuatu awal penyakit
dapat berkembang menjadi Demensia seiring dengan berkembangnya penyakit. Pada
akhirnya terdapat hilangnya kendali pada fungsi tubuh, dan menyebabkan kematian
yang terjadi pada sekitar 15 tahun setelah kemunculan awal penyakit. Laki-laki dan
perempuan cenderung memiliki kemungkinan yang sama untuk terserang penyakit ini.
Penyakit Hungtington disebabkan oleh kerusakan genetis pada satu gen yang telah
mengalami kerusakan. Secara genetis dari orang tua pada anak dari kedua gender.
4. Demensia Akibat Penyakit HIV
HIV, virus yang menyebabkan AIDS, dapat menyerang sistem saraf pusat
yang menyebabkan gangguan kognitif.–Demensia akibat penyakit HIV. Tanda-tanda
yang paling tipikal dari Demensia akibat penyakit HIV meliputi, kepikunan dan
hendaya pada kemampuan berkonsentrasi serta kemampuan pemecahan masalah. Ciri-
ciri perilaku yang umum dari Demensia adalah sikap apati dan penarikan diri secara
sosial. Ketika AIDS berkembang, Demensia pun berkembang menjadi semakin parah,
dalam bentuk waham, disorientasi, hendaya yang lebih lanjut dalam hal ingatan dan
proses berpikir, serta bahkan mungkin Deliriunm.
5. Demensia Akibat Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Creutzfeldt-Jakob merupakan penyakit otak yang jarang terjadi dan
fatal. Demensia merupakan ciri utama penyakit ini. Penyakit ini biasanya menyerang
orang-orang pada usia 40-60 tahun. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan rongga
kecil pada otak yang menyurupai lubang-lubang pada spons.
6. Demensia Akibat Trauma Kepala
Trauma kepala dapat melukai otak. Sentakan yang keras, pukulan, atau
jaringan-jaringan otak yang terpotong, biasanya karena kecelakaan atau akibar
serangan, adalah penyebab luka pada otak. Demensia progresif akibat trauma kepala
lebih cenderung merupakan hasil trauma kepala berulang (contohnya kasus petinju
yang menerima pukulan berulang kali dikepala sepanjang karir mereka).
7. Neurosifilis
Paresis umum (general paresis) adalah bentuk Demensia “beristirahat” otak
dalam konotasi yang paling negatif, yang merupakan akibat dari neurosifilis, bentuk
sefilis dimana organisme penyakit, pada tahap lanjut infeksi, secara langsung
menyerang otak dan sistem saraf pusat. Pada abad ke-19 tentang hubungan antara
bentuk Demensia ini dengan penyakit fisik yang kongkret, sifilis, memperkuat model
modis dan mempertahankan pendapat, bahwa penyakit organik pada akhirnya akan
ditemukan pada pola perilaku abnormal lainnya. Sifilis adalah penyakit yang
ditularkan secara seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum.
Paresia umum memilki simptom-simptom fisik seperti tremor, pembicaraan
yang tidak jelas, koordinasi motor yang terganggu dan akhirnya kelumpuhan yang
semuanya mengacu pada kurangnya pengendalian tubuh. Tanda-tanda psikologis
termsuk pada kondisi mood, responsivitas emosi yang tumpul dan mudah marah;
delusi; perubahan dalam kebiasaan personal, deteriorasi intelektual yang progresif,
termasuk hendaya dalam ingatan, penilaian, dan pemahaman.
II. Karakteristik
Ciri-ciri klinis utama, Demensia berbeda dari gangguan afasik atau gangguan
kognitif lainnya seperti amnesia, dan melalui keterlibatan dari beberapa daerah fungsi
mental.
Karakteristik demensia
1. Demensia menetap selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun
2. Demensia dengan sedikit gangguan perhatian
3. Demensia dengna halusinasi, ilusi, dan waham yang kurang sering
4. Demensia dengan kelainan EEG yang kurang sering
5. Demensia biasanya dengan awitan kurang akut atau mendadak dan dengan
kemajuan yang lambat
6. Demensia dengan sedikit gangguan dalam siklus tidur/terjaga
7. Demensia dengan sedikit disfungsi autonomik
III. Kriteria
Kriteria Demensia berdasarkan DSM IV adalah sebagai berikut.
A. perkembangan defisit kognitif multipel terdiri dari:
1. Gangguan memori (gangguan kemampuan dalam mempelajari informasi
baru atau mengingat informasi yang sudah dipelajari)
2. Salah satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut ini:
- Afasia (gangguan berbahasa)
- Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas motorik
dalam keadaan fungsi otot yang normal)
- Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau menamai objek)
- Gangguan dalam fungsi eksekutif (merencanakan, pengorgani-sasian,
merangkai aktivitas, berpikir secara abstrak)
B. Gangguan kognitif pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan yang berat
pada fungsi sosial dan pekerjaan penderita.
C. Gangguan bukan hanya terjadi ketika mengalami Delirium
Navid (2003) kriteria Demensia berdasarkan DSM-IV :
Defisit Kognitif
Definisi Deskripsi
Afasia Hendaya dalam kemampuan memahami dan atau berbicara
Terdapat beberapa jenis afasia. Pada afasia sensoris atau reseptif, tetapi tetap memiliki kemampuan untuk mengekspresikan diri mereka dengan berbicara. Pada afasia motorik, kemampuan untuk mengekspresikan pikiran dengan berbicara terganggu, tetapi orang ini dapat memahami bahasa yang diucapkan. Seorang dengan afasia motorik mungkin tidak dapat mengingat nama objek-objek yang familiar atau mungkin mengacaukan urutan normal dari kata-kata
Apraksia Hendaya dalam kemampuan
Terdapat ketidakmampuan untuk mengikat tali sepatu atau
penampilan gerakan yang bertujuan walaupun tiada gangguan pada fungsi motorik
mengancingkan baju, meskipun orang ini dapat menjelaskan bagaimana aktifitas tersebut seharusnya dilakukan dan terlepas dari fakta bahwa tidak ada sesuatu yang salah dengan tangan atau lengan orang tersebut. Orang tersebut mungkin mengalami kesulitan untuk memperagakan penggunaan objek (misalnya, menyisir rambutnya).
Agnosia Ketidakmampuan untuk mengenali objek meskipun sistem sensoris tetap baik
Agnosia terbatas pada sensoris tertentu. Seseorang dengan agnosia visual mungkin tidak dapat mengenali sebuah garpu apabila ditunjukkan gambar objek tersebut. Meskipun ia memiliki sistem visual yang tetap baik, dan mungkin dapat mengenali objek jika diizinkan untuk menyentuh dan memainkannya dengan tangan. Agnosia auditori ditandai dengan hendaya kemampuan untuk mengenali suara pada agnosia taktil, orang tidak dapat mengenali objek (seperti koin atau kunci) dengan cara memegangnya atau menyentuhnya.
Gangguan dalam fungsi eksekutif
Penurunan kemampuan dalam hal perencanaan, pengorganisasian, atau merangkai aktivitas, atau untuk berpikir secara abstrak.
Seorang menajer kantor sebelumnya memegang keunangan dan penjadwalan kehilangan kemampuan untuk mengelolah aliran kerja dikantor atau untuk beradaptasi dengan tuntutan yang baru. Seorang guru bahasa Inggris kemampuan untuk menyimpulkan warna dari sebuah puisi atau cerita.
ALZHEIMER
I. Definisi
Pangkalan ide (2008) mengungkapkan bahwa penyakit Alzheimer diambil dari
nama Dr. Alois Alzheimer, seorang neurologi Jerman. Ditahun 1906, ia memeriksa
otak seorang wanita yang meninggal setelah bertahu-tahun mengidap demensia
progresif. Jaringan otaknya menunjukkan pengumpulan abnormal dan sel otak
menjadi kusut tidak beraturan membentuk simpul. Saat ini, gumpalan itu disebut plak,
dan serabut serat neuron tersbeut disebut tangles dianggap sebagai pertanda penyakit
Alzheimer. Alzheimer termasuk dalam golongan penyakit demensia, yaitu penyakit
yang memiliki gejala gangguan memori dan kemampuan kognitif berupa penurunan
daya ingat, kondisi tersebut dapat mengakibatkan perubahan perilaku penderitanya.
Brashers (2007) penyakit Alzheimer (AD) didefenisikan sebagai penurunan
fungsi kognitif dari tingkat yang sebelumnya lebih tinggi dengan awitan terhadap dan
terus menerus, mengakibatkan ganggua fungsi sosial dan okupasional.
Terjadi ganggua memori baru dan paling tidak satu dari yang berikut:
1. gangguan bahasa
2. kesulitan mencari kata-kata
3. gangguan praksis
4. agnosia visual
5. gangguan konstruksional
6. gangguan fungsi eksekusi, termasuk rasionalisasi abstrak dan konsentrasi.
Defisit kognitif tidak dikarenakan oleh penyakit psiatrika, neorologis, atau
sistemik lain. Defesit kognitif tidak secara ekslusif terjadi dalam bentuk deliriu.
II. Karakteristik
Semiun (2006) menguraikan karakteristik Alzheimer sebagai berikut.
1. Performansi berkurang dalam perkerjaan dan situasi-situasi sosial yang banyak
persyaratannya. Bukti objektif tentang kekurangan ingaran yang diperoleh hanya
dengan wawancara yang intensif. Kecemasan yang ringan sampai sedang
menyertai simtom-simtom.
2. Tidak mampu melakukan tugas-tugas yang sulit. Penyangkalan adalah mekanisme
pertahanan yang dominan. Terjadi penunpukan afek dan penarikan diri situasi-
situasi menantang.
3. Penderita tidak dapat lagi bertahan hidup tanpa bantuan orang lain. mereka tetap
mengetahuin nama-nama mereka sendiri dan pada umumnya mengetahui anggota
pasangan dan nama anak-anak mereka. mereka tidak memerlukan bantuan untuk
pergi ke toilet dan makan tetapi mungkin sulit memilih pakaian yang tepat untuk
dipakai.
4. Mungkin kadang-kadang lupa akan nama dari anggota pasangan dan tempat
mereka sama sekali tergantung pada orang lain untuk bisa bertahan hidup.
Sebagian penderita tidak akan menyadari semua peristiwa dan pengalaman yang
baru saja terjadi dalam kehidupan mereka akan memerlukan bantuan terhadap
aktifitas-aktifitas dalam kehidupan mereka sehari-hari. Terjadi perubahan-
perubahan kepribadian dan emosi.
5. Semua kemampuan verbal hilang. Sering kali penderita sama sekali tidak dapat
berbicara dan hanya menggerutu. Ketika penderita ingin membuang air kecil ia
membutuhkan bantuan orang lain. ketrampilan-ketrampilan psikomotor dasar
hilang (misalnya kemampuan untuk berjalan)
Penyakit Alzheimer itu suatu gangguan otak atau Demensia (pikun) yang
menahun, terus berlanjut, dan tidak dapat kembali seperti semula, tidak ada penyebab
pasti, tidak ada pengobatan tepat dan sampai sekarang tidak ada obat yang dapat
diharapkan. Demensia itu kemunduran fungsi intelektual dalam berbagai hal yang
cukup berat sehingga mengganggu aktifitas kehidupan sehai-hari, karir, hubungan
sosial, maupun aktifitas sosial penderitanya. Dimensia mengakibatkan perubahan
kepribadian, kehilangan daya ingat, dan pikir, dan kesulitan dalam berpikir abstrak
maupun berorientasi. Penyakit Alzheimer diperkirakan menjadi penyebab utama
dimensia yang tidak dapat disembuhkan pada pria maupun wanita diatas usia 65
tahun. (Fish, 1994)
Nevid (2003) juga mengungkapkan karakteristik Alzheimer sebagai berikut.
1. Penyakit Alzheimer berkembang berangsur-angsur tetapi secara terus
menerus, menyebabkan Demensia sekitar 3 bulan setela onset.
2. Tahap awal dari penyakit ditandai oleh masalah-masalah keterbatasan ingatan
dan perubahan kepribadian yang tidak kentara.
3. Ketika AD berkembang pada tingkat keparahan sedang, bantuan dibutuhkan
dalam mengatur tugas sehari-hari.
4. Keluarga yang tidak berdaya melihat orang yang mereka cintai secara
perlahan-lahan mengalami deteriorasi digambarkan seperti menghadiri
“pemakaman yang tak pernah berakhir”.
5. Sejumlah orang yang menderita AD tidak menyadari kekurangan mereka
bahkan ada yang menyangkal.
6. Pergerakan dan fungsi koordinasi terganggu lebih jauh. Orang yang menderita
AD pada tingkat keparahan sedang mungkin mulai berjalan dengan langkah
yang lebih pendek dan pelan.
7. Orang yang menderita AD tingkat lanjut mungkin mulai berbicara dengan diri
mereka sendiri atau mengalami halusinasi visual bahkan waham paranoid.
8. Pada tingkat yang paling parah, fungsi kognitif menurun hingga derajat
dimana orang tersebut menjadi tidak berdaya. Mereka mungkin kehilangan
kemampuan untuk berbicara atau mengendalikan pergerakan tubuh.
9. Pada tahap akhir, kejang, koma, dan kematian terjadi.
10. Ciri-ciri umum Alzheimer, seperti hilangnya ingatan, disorientasi dan
masalah-masalah perilaku, degambarkan dalam kasus:
Seorang pria juru gambar berusia 65 tahun mulai mengalami masalah dalam
mengingat detail yang penting dalam pekerjaan; dirumah ia mulai mengalami
kesulitan untuk terus memperbaharui catatan keuangannya dan membayar tagihan-
tagihannya tepat waktu. Kemampuan intelektualnya berkurang secara progresif,
memaksanya untuk akhirnya pensiun dari pekerjaannya. Masalah perilaku mulai
tampak di rumah, dimana ia menjadi sangat keras kepala dan bahkan bersikap kasar
secara verbal dan fisik terhadap orang lain ketika ia merasa sedang terganggu.
Pemeriksaan neurologis, menunjukkan bahwa ia mengalami disorientasi
terhadap temapt dan waktu, meyakini bahwa ruang konsultasi merupakan tempat
kerjanya dan tahun ini adalah “ tahun 1960 atau sekitarnya”, ketika sesungguhnya
saat itu adalah tahun 1982. Ia mengalami kesulitan bahkan dalam tes ingatan
sederhana, gagal meningat salah satu dari 6 objek yang diperlihatkan padanya 10
menit sebelumnya, tidak dapat mengingat nama orang tua atau saudara kandungnya,
atau nama presiden Amerika Serikat. Bicaranya tidak jelas dan penuh dengan frase
yang tidak berarti. Ia tidak dapat melakukan perhitungan aritmetika sederhana, tetapi
ia dapat menginterpretasikan peribahasa dengan benar.
Tidak lama setelah konsultasi neurologis pria itu ditempatkan di rumah sakit
karena keluarganya tidak lagi dapat mengendalikan perilaku bermasalahnya yang
semakin menjadi-jadi. Di rumah sakit, penurunan mentalnya terus berlanjut,
sedangkan sebagian besar perilaku agresifnya dikontrol dengan penanang mayor
(obat-obatan anti psikotik). Ia didiagnosis menderita Demensia Degenratif Primer
tipe Alzheimer. Ia meninggal pada usia 74 tahun, sekitar 8 tahun kemunculan awal
simptombya.
___diadaptasi dari Spitzer dkk., 1989, hal. 131-132 (dalam Nevid, 2003)
III. Kriteria
Dewanto (2009) menguraikan kriteria diagnostik penyakit Alzheimer menurut DSM-
IV (Diagnostic and Statistical of Mental Disorder, fourth revision)
A. perkembangan defisit kognitif multiple terdiri dari:
3. Gangguan memori (gangguan kemampuan dalam mempelajari informasi
baru atau mengingat informasi yang sudah dipelajari)
4. Salah satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut ini:
- Afasia (gangguan berbahasa)
- Apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
motorik dalam keadaan fungsi otot yang normal)
- Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau menamai objek)
- Gangguan fungsi berpikir abstrak (misalnya, merencanakan
berorganisasi)
B. Gangguan kognitif pada kriteria A1 dan A2 menyebabkan gangguan yang berat
pada fungsi sosial dan pekerjaan penderita.
C. Kelainan ini ditandai dengan proses yang bertahap dan penurunan fungsi
kognitif yang berkelanjutan.
D. Gangguan kognitif kriteria A1 dan A2 tidak disebabkan hal-hal berikut:
1. Kelainan SSP yang menyebabkan gangguan memori yang progresif
(misalnya, gangguan peredaran darah otak, parkinson dan tumor otak)
2. Kelainan sistematik yang dapat menyebabkan dimensia (misalnya,
hipotiroidisme, defisiensi vitamin B12 dan asam folat defisiansi niasin,
hiperkaleni, neorosifilis, infeksi HIV)
3. Kondisi akibat penyalahgunaan obat-obatan
E. Kelainan pasien tidak disebabkan oleh delirium
F. Kelainan tidak disebabkan oleh kelainan aksis 1 (misalnya, gangguan depresi
dan skizofrenia)
Kriteria diagnsotik DSM-IV perlu ditunjang dengan pemeriksaan fisik
(pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis). Pemeriksaan fisik umum
berguna untuk mendeteksi kelainan-kelainan metabolik yang mungkin timbul pada
penderita tersebut.
INSOMNIA PRIMER
I. Definisi
Insomnia Primer adalah kesulitan untuk memulai atau menerus tidur yang tidak
disebabkan/disertai oleh gangguan-gangguan lain, seperti gangguan mood, ataupun
akibat penyalahgunaan obat-obatan.
II. Karakteristik
Seseorang dengan gangguan insomnia primer memiliki kesulitan untuk tertidur
ataupun untuk tetap tertidur, atau keduanya. Penderita insomnia primer seringkali
tidak merasa segar ketika bangun tidur, dan hal ini menyebabkan kantuk di siang hari.
Hal ini menyebabkan penderita tidak dapat berfungsi dengan baik dalam pekerjaan
ataupun dunia sosial, juga menyebabkan penderita merasa tertekan.
III. Kriteria
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk Insomnia Primer:
1. Keluhan utama adalah kesultian dalam memulai ataupun mempertahankan
tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama paling kurang 1 bulan.
2. Gangguan tidur (ataupun kelelahan di siang hari yang disebabkan)
menyebabkan distress yang signifikan ataupun gangguan dalam bidang sosial,
pekerjaan, ataupun area penting lainnya.
3. Gangguan tidur tidak terjadi karena Narkolepsi, Gangguan Tidur terkait
dengan Pernapasan, Gangguan Tidur Ritme Chricadian, atau Parasomnia.
4. Gangguant tidak terjadi karena adanya gangguan mental lain (contoh Major
Depressive Disorder, Generalized Anxiety Disorder, atau Delirium).
5. Gangguan tidak terjadi karena efek fisiologis langsung dari obat (contoh,
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi medis umum.
HIPERSOMNIA PRIMER
I. Definisi
Hipersomnia primer merupakan salah satu gangguan tidur dimana individu
tidur secara berlebihan dan, dengan kondisi demikian, individu tersebut akan tertidur
beberapa kali dalam sehari (Barlow dan Durand, 2009).
II. Karakteristik
Menurut First dan Tasman (2010), ada beberapa karakteristik yang ditemukan
pada individu yang mengalami hipersomnia primer, yakni:
o Umumnya ada keluhan bahwa tidur malam hari yang panjang dan tidak terbatas
o Mengalami kesulitan bangun tidur (sleep drunkenness)
o Mengantuk di siang hari
o Mengalami disfungsi intelektual
o Tidak mengalami symptom tambahan dari Narcolepsy (misalnya, cataplexy, sleep
paralysis, dan hypnagogic hallucinations)
o Sering mengalami sakit kepala dan fenomena Raynaud
o Onset: umumnya sebelum umur 25 tahun
o Umumnya bersifat kronis sejak pertama kali muncul
Biasanya orang-orang yang mengalami hipersomnia primer memiliki
simptom-simptom yang terjadi secara konsisten dan terus-menerus (APA, 1994).
Akan tetapi, pada kasus khusus, yakni hipersomnia yang recurrent, simptom-simptom
tersebut muncul pada waktu-waktu tertentu dari beberapa hari hingga beberapa
minggu, dengan kemunculan periode simptomatik selama beberapa kali per tahun. Di
antara periode mengantuk secara berlebihan yang terjadi, lamanya seseorang tidur dan
kesiagaannya di siang hari bersifat normal.
III. Kriteria
Kriteria diagnosis menurut DSM-IV (APA, 1994):
i. Keluhan utama ialah mengantuk secara berlebihan paling tidak selama 1 bulan
(atau kurang bila recurrent) yang dibuktikan oleh perpanjangan episode tidur
maupun episode tidur siang hari yang muncul hampir setiap hari.
ii. Mengantuk secara berlebihan menyebabkan distress atau kerusakan yang
signifikan secara klinis dalam sosial, pekerjaan, atau area fungsional penting
lainnya
iii. Mengantuk secara berlebihan yang terjadi di luar adanya insomnia dan tidak
muncul selama adanya gangguan tidur lainnya (Narcolepsy, Breathing-Related
Sleep Disorder, Circadian Rhythm Sleep Disorder, atau Parasomnia) dan tidak
dikarenakan ketidakcukupan jumlah tidur.
iv. Gangguan tidak muncul selama adanya gangguan mental lainnya.
v. Gangguan bukan disebabkan efek fisiologikal langsung dari substansi (misalnya,
penyalahgunaan obat-obatan, pengobatan) atau kondisi medis umum.
DSM-IV (APA, 1994) menentukan bahwa hipersomnia yang recurrent
didiagnosis ketika terdapat periode mengantuk secara berlebihan paling tidak selama
3 hari yang muncul beberapa kali dalam setahun selama kurang lebih 2 tahun.
CEREBRAL PALSY (CP)
I. Definisi
Cerebral Palsy, atau yang biasa disingkat CP adalah istilah kedokteran yang
mengindikasikan kondisi kanak-kanak di mana terdapat ketidak mampuan motorik
(palsy) yang disebabkan oleh luka yang statis dan non-progresif di otak (cerebral)
(Miller, 2005).
II. Kriteria
Hal yang menyebabkan terjadinya luka di otak harus terjadi pada masa kanak-
kanak awal, seringkali didefinisikan sebagai di bawah 2 tahun. Anak-anak dengan CP
memiliki kondisi yang stabil dan tidak progresif, karena itu, mereka sama dengan
anak normal pada umumnya, namun dengan kebutuhan khusus. Karakteristik CP
dapat bervariasi tergantung lokasi dan tingkat keparahan kerusakan otak.
Referensi:
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders: DSM-IV, Fourth Edition. Washington, DC: American Psychiatric Association.
Barlow, D. H., & Durand, V. M. (2009). Abnormal Psychology: An Integrative Approach, Fifth Edition. USA: Wadsworth Cengage Learning.
Dewanto, G., dkk. (2009). Panduan Praktis Diagnosisdan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGCFiebach, N. H., Barker, L. R., Burton, J. R., & Zieve, P. D. (2007). Principles of Ambulatory Medicine.
Philadelphia, USA: LIPPINCOTT WILLIAMS & WILKINS.First, M. B., & Tasman, A. (2010). Clinical Guide to the Diagnosis and Treatment of Mental
Disorders, Second Edition. United Kingdom: Wiley- Blackwell.Fish, S. (1994). Penyakit Alzheimer: Bagaimana Menjaga Diri Anda dan Orang yang Anda Kasihi.
Jakarta: UFUK PressGuze, B., Richeimer, S., & Siegel, J.D. (1997). The Handbook of Psychiatry. Jakarta. EGC
Hales, R. E., Yudofsky, S. C., & Gabbard, G. O. (2008). The American Psychiatric Publishing Textbook of Psychiatry, Fifth Edition. USA: American Psychiatric Publishing, Inc.
Mazzoni, P., Pearson, T., Rowland, L. P., & Merrit, H. H. (2006). Merrit’s Neurology Handbook. Philadelphia, USA: LIPPINCOTT WILLIAMS & WILKINS.
Miller, F. 2005. Cerebral Palsy. New York: Springer Science+Business Media, Inc.Nevid, J. S dkk. (2003). Psikologi Abnormal (ed. ke-5). Jakarta: ErlanggaPangkalan Ide. (2008). Gaya Hidup Penghambat Alzheimer. Jakarta: GramediaSemiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: KanisiunTamher, S., & Norkasiani. (2009). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika