247
MENELAAH FUNGSI CULTURAL MEDIATOR DALAM PROMOSI VAKSIN DI
PEDESAAN
ANALYZING CULTURAL MEDIATOR FUNCTION IN VACCINE PROMOTIONS IN
RURAL AREA
Yun Fitrahyati Laturrakhmi
Department of Communication Science, Faculty of Social and Political Sciences
Brawijaya University
ABSTRACT
Various cultural construct inhibit the vaccine promotion in rural areas. The perspective of
a midwife about vaccines which emphasize in the biomedical tradition, becomes difficult to
accept by the community who have non-biomedical perspective. As a result, posyandu
cadres are needed to mediate that two different perspectives. The aim of this study is to
explore the communication complexity in the promotion of vaccines that focused on the
function of cadres as cultural mediators. Through an instrumental case study design, this
study was conducted on 20 posyandu cadres and 3 midwives in the Gendro area, Tutur
District, Pasuruan Regency - East Java. Data collected through FGD, interview and
observation. This study reveals that posyandu cadres perform their functions as cultural
mediators, especially in facilitating a constructive relationships between midwives and the
community by redefining various biomedical terms and explanations to be accepted by the
public in non-biomedical perspective. However, in cultural mediator’s role cadres can’t
able to fulfill the community empowerment function because of the low level of health
literacy. This research has shown that the concept of cultural mediators is not only
applicable in the communication context involving migrants.
Keywords: cultural mediator, cadre, promotion, vaccine.
ABSTRAK
Berbagai konstruk kultural seringkali menghambat promosi vaksin di wilayah pedesaan.
Cara pandang bidan tentang vaksin yang menekankan pada tradisi biomedis menjadi
sulit diterima masyarakat yang berangkat dari cara pandang non-biomedis. Sehingga,
kehadiran kader posyandu diperlukan untuk menjembatani kedua cara pandang yang
berbeda tersebut. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi kerumitan komunikasi dalam
promosi vaksin dengan berfokus pada fungsi kader sebagai cultural mediator. Beberapa
studi sebelumnya menempatkan konsep cultural mediator dalam konteks komunikasi
yang melibatkan migran. Peneliti berargumen bahwa konsep cultural mediator dapat
digunakan dalam konteks yang lebih luas. Melalui desain instrumental case study,
penelitian dilakukan terhadap 20 orang kader posyandu dan 3 bidan di wilayah Desa
Gendro, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan – Jawa Timur. Data dikumpulkan
melalui FGD, wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kader
posyandu menjalankan fungsi sebagai cultural mediator khususnya dalam memfasilitasi
terbangunnya hubungan yang konstruktif antara bidan dan masyarakat. Hal tersebut
dilakukan dengan cara meredifinisi berbagai istilah dan penjelasan yang berbasis
biomedis agar dapat diterima masyarakat dalam cara pandang non-biomedis. Akan
248
tetapi, dalam peran sebagai cultural mediator, kader belum dapat memenuhi fungsi
pemberdayaan masyarakat karena rendahnya level health literacy. Penelitian ini telah
dapat menunjukkan bahwa konsep cultural mediator tidak hanya berlaku dalam konteks
komunikasi yang melibatkan migran.
Kata kunci : mediator kultural, kader, promosi, vaksin.
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang vaksin dan imunisasi tidak terlepas dari sisi pro dan kontra.
Terbangun berbagai klaim yang mendasari perdebatan tersebut, baik yang dikaitkan
dengan aspek agama maupun berbagai isu historis dan budaya. Kondisi ini terjadi dalam
dunia nyata maupun dunia maya. Dalam dunia maya, hasil riset Laturrakhmi,
Swastikawara, dan Wardasari (2017) menunjukkan bahwa dari 9 online group facebook
dan blog, tercatat sebanyak 3 online group facebook dan sebuah blog menujukkan sikap
kontra terhadap vaksin dan imunisasi, hanya terdapat 2 online group facebook dan sebuah
blog yang pro pada vaksin dan imunisasi, dan sisanya menaungi sikap pro sekaligus
kontra.
Berkaitan dengan sikap anti-vaksin, Gultom (2016) menyebutkan bahwa terdapat 3
kategori kelompok anti-vaksin. Pertama, komunitas yang memiliki kecurigaan berlebih
pada pemerintah, sistem kesehatan dan bisnis farmasi. Hal ini berkaitan dengan riset
Kasarda (2013) yang menunjukkan bahwa gerakan anti-vaksinasi turut didukung oleh
teknologi komunikasi modern yang memungkinkan kelompok tertentu menyebarluaskan
ideologi-ideologi tertentu dengan menyerang masyarakat ataupun berbagai sarana yang
digunakan pemerintah untuk mempromosikan program vaksinasi nasional. Terlepas dari
hal tersebut, kategori kedua disebutkan Gultom (2016) sebagai kelompok yang berisikan
masyarakat yang menolak vaksinasi karena alasan teologis (berseberangan dengan
249
keimanan), dan dilarang dalam kepercayaannya. Sementara itu, kategori ketiga adalah
kelompok yang merupakan kombinasi antara kategori pertama dan kedua.
Kennedy, LaVail, Nowak, Basket, dan Landry (2011) melalui risetnya
mengungkapkan bahwa sebagian besar orang tua di US masih mempertanyakan bahkan
mempunyai interpretasi yang salah terhadap vaksin. Beberapa mis-interpretasi terhadap
vaksin tersebut yaitu kepercayaan bahwa vaksin dapat menyebabkan demam bahkan
autisme, serta sisi keamanan dari vaksin yang masih dipertanyakan. Dalam konteks
Indonesia, khususnya di wilayah Padang, Triana (2016) menemukan bahwa belum
tercapainya target cakupan imunisasi terjadi karena masyarakat yang masih berpendapat
bahwa imunisasi menyebabkan anak menjadi sakit, cacat, bahkan meninggal dunia. Riset
yang sama juga menggarisbawahi bahwa sisi halal-haram dari vaksin serta konspirasi
negara barat dan Yahudi seringkali dijadikan sebagai isu utama bagi kelompok anti-vaksin.
Tidak jauh berbeda dengan wilayah Padang, resistensi masyarakat juga menghambat
pelaksanaan program imunisasi di wilayah Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Evaluasi
Bupati Pasuruan terhadap hasil pelaksanaan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2016
menunjukkan bahwa terdapat sekitar 92 dari total 273 desa belum melaksanakan program
PIN (dikutip dari Radar Bromo, 2016). Data dari Dinas Kesehatan (2015) menunjukkan
bahwa tingkat ketercapaian imunisasi campak masih sekitar 78,91%. Data yang sama
mengungkap bahwa hanya sekitar 57,79% dari sebanyak 1.893 posyandu di wilayah
Kabupaten Pasuruan yang aktif melaksanakan program posyandu. Kondisi tersebut
menuntut pemerintah selaku pelaksana program untuk lebih aktif dalam
mengomunikasikan pentingnya vaksin, khususnya melalui bidan dan kader sebagai
pelaksana program di tingkat desa/kelurahan sebagaimana diatur dalam Permenkes RI
250
Nomor 42 Tahun 2013. Peningkatan mutu dan kualitas kesehatan sendiri merupakan salah
satu prioritas dalam program pembangunan.
Salah satu permasalahan utama yang seringkali dihadapi dalam promosi vaksin pada
masyarakat di wilayah pedesaan di Kabupaten Pasuruan adalah konstruk kultural yang
berlaku. Sebagaimana ditunjukkan beberapa studi sebelumnya, anggapan bahwa vaksin
justru menyebabkan bayi dan balita mengalami demam juga menjadi salah satu faktor yang
membuat masyarakat di wilayah ini enggan memberikan vaksin. Di samping itu, terdapat
keyakinan bersama tentang penyebab serta pengobatan terhadap penyakit seperti campak
maupun polio yang turut meneguhkan penolakan terhadap vaksin. Secara mendasar kondisi
ini sejalan dengan argumentasi Conrad & Barker (2010), bahwa beberapa penyakit
(illnesses) melekat pada makna kultural, sehingga kemudian membentuk bagaimana
respon yang diberikan masyarakat terhadapnya. Sementara itu, di sisi yang lain vaksin
dalam konteks medis dipahami sebagai salah satu cara yang dapat digunakan untuk
memproduksi sistem kekebalan tubuh aktif (active immunity) yang dapat mencegah
penyakit tertentu (dikutip dari situs resmi CDC, n.d.). Dengan demikian, terdapat potensi
perbedaan pemahaman antara masyarakat dengan tenaga medis tentang vaksin itu sendiri.
Dalam penelitian ini, peneliti berargumen bahwa komunikasi yang terjadi di antara
tenaga medis dengan masyarakat tentang vaksin berangkat dari dua perspektif yang
berbeda. Sehingga, proses promosi vaksin seringkali mendapatkan penolakan. Dengan
demikian, komunikasi yang berlaku diantara keduanya dapat dikatakan sebagai
komunikasi antarbudaya mengingat kedua belah pihak berangkat dari cara pandang dan
nilai yang berbeda terhadap penyakit, termasuk pencegahan serta penanganannya. Hal lain
yang juga dapat diamati dari promosi vaksin adalah penggunaan istilah-istilah medis yang
cenderung tidak dapat dipahami masyarakat umum (sebagaimana ditunjukkan riset
251
Taglieri, dkk., 2013) demikian pula dengan berbagai istilah lokal yang digunakan
masyarakat untuk menyebutkan berbagai gejala tertentu. Dalam titik ini, peluang
terjadinya mis-interpretasi menjadi semakin besar yang dapat berujung pada keputusan
untuk menggunakan atau tidak menggunakan vaksin.
Untuk membantu mengatasi berbagai kerumitan komunikasi, dalam tataran praktis
para tenaga medis turut melibatkan kader posyandu terutama dalam upaya promosi vaksin.
Pentingnya keberadaan ‘perantara’ yang menjembatani tenaga medis dengan masyarakat
terkait promosi vaksin setidaknya dapat dilihat melalui riset Taglieri, dkk (2013), maupun
riset Balkan (2016) yang menekankan pentingnya keberadaan para perantara yang
menjembatani para migran dengan tenaga medis dan organisasi kesehatan berkaitan
dengan perawatan kesehatan migran. Pada kedua riset tersebut, para perantara ini
diistilahkan sebagai cultural mediator. Secara khusus, Martin dan Phelan (2009)
menegaskan bahwa cultural mediator yang seringkali dipandang secara tumpang tindih
dengan medical interpreter lebih menduduki posisi sebagai penghubung antara dua nilai
yang berbeda yang dianut tenaga medis dan pasien mereka. Ditegaskan pula bahwa salah
satu tanggung jawab cultural mediator adalah menciptakan ruang dialog yang
memungkinkan professional medis dan pasien (masyarakat) dapat membangun hubungan
yang efektif dan saling menghargai (Martin dan Phelan, 2009).
Pada dasarnya, riset Martin dan Phelan (2009), Taglieri, dkk. (2013) dan Balkan
(2016) menempatkan cultural mediator dalam konteks perbedaan budaya yang melibatkan
etnisitas di bawah konsep migran dan non-migran. Peneliti berargumen bahwa pemahaman
tentang cultural mediator tidak hanya terbatas pada kerangka etnisitas ataupun batas
negara, tetapi juga berkaitan dengan lingkup perbedaan perspektif maupun isu
sosioekonomi. Mengikuti argumentasi Kreuter dan McLure (2004), dalam konteks praktik
252
maupun riset, budaya seringkali dibatasi pada ras dan etnisitas, khususnya menyangkut isu
mayoritas-minoritas. Batasan tersebut justru menempatkan budaya sebagai sebuah variabel
kategorisasi yang relatif sederhana dan tetap, bukan sebagai sistem makna yang lebih
kompleks, dinamis dan adaptif (Kreuter dan McLure, 2004). Ting-Toomey dan Chung
(2012) memandang budaya sebagai “a learned meaning system that consists of patterns of
traditions, beliefs, values, norms, and symbols…” Dengan demikian, secara jelas bahwa
pemahaman tentang keberadaan cultural mediator tidak terbatas sebagai penghubung
antara dua etnisitas yang berbeda mengingat konsep budaya tidak terbatas pada etnisitas
ataupun batasan negara.
Berdasarkan argumentasi tersebut, menjadi penting untuk melihat kerumitan
komunikasi antarbudaya yang terjadi dalam promosi vaksin, khususnya dengan melihat
peranan kader posyandu sebagai penghubung, bahkan cultural mediator antara bidan dan
masyarakat desa yang berangkat dari latar belakang, tingkat pendidikan dan pemahaman
yang berbeda tentang vaksin. Riset ini dapat berkontribusi pada studi-studi berbasis isu
antarbudaya dalam konteks komunikasi kesehatan dengan memberikan perluasan pada
konsep cultural mediator dalam konteks kesehatan. Beberapa studi sebelumnya banyak
berfokus pada pentingnya kompetensi antarbudaya dalam interaksi dokter-pasien
sebagaimana ditunjukkan Johnson, dkk (2004) maupun Schouten dan Meeuwesen (2006).
Sementara itu, studi yang dilakukan Viswanath dan Ackerson (2011) menyoroti tentang
penggunaan komunikasi kesehatan tentang kanker dibentuk oleh ras, etnisitas, bahasa dan
kelas sosial. Berkaitan dengan keberadaan cultural mediator, studi-studi yang dilakukan
Martin dan Phelan (2009), Taglieri, dkk (2013) serta Balkan (2016), membatasi cultural
mediator dalam hubungan migran-non migran dalam konteks kesehatan. Oleh sebab itu,
253
penelitian ini dapat menyajikan pandangan yang lebih luas terhadap cultural mediator
yang tidak hanya terbatas pada hubungan migran non-migran dalam konteks antarbudaya.
TINJAUAN PUSTAKA
Diskusi akademis tentang kultur dan konteks kesehatan telah banyak dilakukan.
Dalam kajian ilmu komunikasi, hal tersebut dapat ditelusuri dari pembahasan yang
mengarah pada studi komunikasi kesehatan. Komunikasi kesehatan mengacu pada
berbagai jenis komunikasi manusia yang di dalamnya mengandung pesan kesehatan
(Rogers, 1996) dan berfokus pada transaksi berbasis kesehatan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya (Berry, 2007). Komunikasi kesehatan juga dipandang sebagai studi dan
penggunaan berbagai strategi komunikasi untuk menginformasikan dan mempengaruhi
keputusan individu maupun kelompok dalam upaya meningkatkan kesehatan (CDC dalam
Schiavo, 2007). Kedua definisi tersebut menggambarkan bahwa komunikasi kesehatan
menggarisbawahi pentingnya pengetahuan atas karakteristik masing-masing aktor
komunikasi dalam pembicaraan tentang kesehatan. Maka, secara tidak langsung aspek
budaya menjadi salah satu variabel penting dalam proses komunikasi transaksional yang
mengarah pada upaya peningkatan kesehatan.
Menurut Kreuter dan McClure (2004), karakteristik budaya berhubungan secara
langsung ataupun tidak langsung dengan prioritas kesehatan, pengambilan keputusan,
perilaku dan/atau penerimaan terhadap edukasi kesehatan. Dikemukakan pula bahwa
budaya mempengaruhi perilaku kesehatan dan health outcome. Hal ini ditunjukkan oleh
hasil riset Viswanath dan Ackerson (2011) di AS bahwa penggunaan media untuk
pencarian informasi tentang kanker dibentuk oleh ras, etnisitas, bahasa dan kelas sosial.
254
Budaya juga seringkali dikaitkan dengan kompetensi health provider. Taglieri, dkk
(2013) melalui risetnya mengemukakan bahwa berbagai aktivitas komunikasi antara
individu dengan health provider melibatkan ciri khas masing-masing dan membutuhkan
pengembangan kompetensi komunikatif dan relasional dalam upaya mencapai transmisi
pesan secara efektif. Bahkan, kompetensi health provider dipandang berpengaruh secara
signifikan terhadap hasil dari interaksi resiprokal dengan pasien. Argumentasi lain yang
juga menekankan pada pentingnya kompetensi health provider ditunjukkan oleh
Betancourt (dalam Silva, 2014) bahwa kompetensi kultural dibutuhkan healthcare
providers agar dapat berkomunikasi secara efektif serta menunjang pemberian layanan
yang lebih baik terhadap pasien dengan berbagai background kultural dan sosial.
Kompetensi kultural seringkali dikaitkan dengan health literacy, meskipun terdapat
beberapa researcher justru menempatkan kompetensi kultural dalam posisi yang
berlawanan dengan health literacy (Silva, 2014).
Lebih lanjut, Cooper & Roter (dalam Johnson, dkk, 2004) menegaskan pentingnya
kompetensi kultural dalam hubungan health provider dan pasien. Kompetensi kultural
dipandang dapat menunjukkan kemampuan individu dalam menegaskan hubungan
interpersonal dan professional yang efektif dengan memperhatikan perbedaan budaya.
Namun, pada kenyataannya komunikasi di antara health provider dan pasien seringkali
terhambat oleh berbagai bias kultural. Sebagaimana ditunjukkan Schouten & Meeuwesen
(2006) dalam review-nya pada beberapa studi terkait bias kultural dalam layanan
kesehatan, yang menemukan bahwa perilaku dokter cenderung tidak efektif ketika
berinteraksi dengan kelompok etnis minoritas. Ditemukan pula bahwa pasien etnis
minoritas cenderung tidak ekspresif secara verbal, bahkan cenderung tidak asertif.
255
Sementara dari sisi pasien, Johnson, dkk (2004) menemukan bahwa perbedaan etnis dan
ras mempengaruhi persepsi pasien terhadap kompetensi kultural health provider.
Sejalan dengan beberapa riset sebelumnya, Silva (2014) melihat lebih khusus tentang
kemampuan pasien dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, dalam berbicara,
menulis dan memahami berbagai instruksi dan tahapan proses perawatan. Riset tersebut
menemukan bahwa kemampuan berbahasa berpengaruh pada munculnya masalah
komunikasi yang dapat berakibat pada risiko dalam proses layanan kesehatan. Ditemukan
pula bahwa bukan hanya perbedaan bahasa, nilai budaya dalam memandang health and
illness berkontribusi pada kemampuan individual dalam memahami dan bertindak
berdasarkan instruksi dokter dalam cara-cara tertentu yang berkaitan pula dengan level
health literacy (Silva, 2014).
Berkaitan dengan nilai budaya, Samovar, Porter dan McDaniel (2010) mengemukakan
bahwa budaya dan etnis menciptakan pola kepercayaan dan persepsi yang unik mengenai
kesehatan dan penyakit. Terkait dengan hal tersebut, Andrews (dalam Samovar, Porter dan
McDaniel, 2010) membagi paradigma sistem kepercayaan kesehatan ke dalam 3 kelompok
yaitu supranatural/religius, holistik, dan ilmiah/biomedis. Premis yang mendasari tradisi
supranatural yaitu sistem kepercayaan bahwa dunia merupakan arena dengan kekuatan
supranatural yang mendominasi, dan penyakit dianggap sebagai akibat dari intervensi aktif
makhluk supranatural, makhluk bukan manusia ataupun tukang sihir (Samovar, Porter,
McDaniel, 2010). Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Mulyana (2012) menyebut sistem
ini sebagai sistem personalistik. Kemudian, tradisi holistik berangkat dari premis tentang
sistem hubungan yang seimbang antara tubuh, pikiran, dan jiwa, sehingga penyakit terjadi
karena ada ketidakseimbangan dari salah satu aspek tersebut (Samovar, Porter, McDaniel,
2010). Sistem ini diistilahkan pula sebagai sistem naturalistik (Mulyana, 2012).
256
Berbeda dengan kedua tradisi sebelumnya, tradisi ilmiah/biomedis berfokus pada
diagnosis objektif dan pendekatan ilmiah penyakit (Samovar, Porter, McDaniel, 2010),
sehingga penyakit dipandang terjadi karena abnormalitas fungsi atau struktur tubuh
(Mulyana, 2012). Model biomedis umumnya diterapkan para professional medis melalui
penggunaaan prinsip dan metode scientific untuk mengidentifikasi dan memberikan
perawatan terhadap penyakit (Engle dalam Apker, 2012). Dalam perkembangannya, dalam
konteks kesehatan muncul reaksi terhadap model biomedis, Apker (2012) membaginya ke
dalam 2 model lainnya yaitu biopsikososial (pandangan bahwa penyakit bukan semata-
mata fenomena fisik tetapi dipengaruhi pula oleh pendapat dan pemikiran tentang
kesehatan), dan model relationship centered care (pentingnya relasi interdependen antara
pasien, dokter, organisasi dan masyarakat). Berbagai kategori sistem, tradisi ataupun
model tersebut berimbas pada cara berpikir dan cara memandang penyakit serta
penanganannya yang kemudian turut menghadirkan kerumitan dalam komunikasi antara
pasien dengan health provider.
Salah satu fenomena yang berpotensi memunculkan kesalahpahaman dalam proses
komunikasi health provider – pasien adalah keberadaan para migran. Taglieri, dkk (2013)
mengemukakan bahwa migrasi membawa pada hadirnya new citizen yang berarti
memunculkan berbagai kebutuhan kesehatan yang menuntut diperlukannya new
communication – relational procedures yang memungkinkan tumbuhnya pemahaman
secara resiprokal antara health provider dan pasien. Dalam risetnya tentang konseling HIV
melalui telepon, Taglieri, dkk (2013) menekankan bahwa kehadiran mediator kultural
dalam memberikan jawaban sesuai dengan bahasa utama kelompok migran ternyata dapat
meningkatkan penyediaan informasi kesehatan bagi migran.
257
Selain perbedaan bahasa, kerumitan komunikasi kesehatan dengan pasien dari
kalangan migran juga berkisar tentang perbedaan nilai budaya. Balkan (2016) melakukan
eksplorasi terhadap negosiasi antarbudaya tentang kematian dan pemakaman warga
muslim di Jerman, dengan menyoroti peran mediasi yang dijalankan pengurus muslim
dalam negosiasi antara keluarga muslim migran dengan pemerintah Jerman. Melalui
metode etnografi pada keluarga muslim asal Turki di Berlin, riset ini menunjukkan
bagaimana mediator kultural dipahami dalam kerangka peran mediasi antarbudaya, bukan
hanya penerjemah dalam konteks bahasa. Khususnya berkaitan dengan perbedaan norma
agama dan budaya yang juga berusaha dinegosiasikan dengan regulasi pemerintah yang
tidak terlepas dari konteks politik serta budaya yang berlaku setempat.
Menyoal tentang mediator kultural (cultural mediator), pada dasarnya dalam
perawatan kesehatan dengan melibatkan konteks antarbudaya, seringkali dipertukarkan
dengan medical interpreters. Mengikuti Martin dan Phelan (2009), medical interpreters
berperan dalam menjembatani hambatan bahasa dengan melibatkan transfer makna, tidak
sebatas menerjemahkan kata per-kata. Literatur yang sama mengungkap bahwa cultural
mediators berperan dalam memberdayakan pasien dengan cara menginformasikan dan
mendorong pasien agar menyuarakan kebutuhan dan apa yang menjadi perhatian utama
mereka. Sehingga, dapat dikatakan bahwa cultural mediators menjembatani 2 nilai budaya
yang berbeda, tidak sebatas mengatasi kendala bahasa. Martin dan Phelan (2009) juga
mengungkap bahwa cultural mediators juga bertanggung jawab pada penciptaan ruang
dialog antara health provider dan pasien, bahkan mereka diharapkan menjadi agen yang
dapat membawa perubahan dalam konteks layanan kesehatan dengan memperkuat
kesetaraan dan keadilan.
258
Beberapa studi sebelumnya seperti Martin dan Phelan (2009), Taglieri (2013), maupun
Balkan (2016) menunjukkan bahwa pada negara-negara maju, keberadaan cultural
mediators ini menempati posisi professional yang juga menuntut skill dan pengetahuan
khusus. Dalam beberapa riset akademis, konsep cultural mediators seringkali dikaitkan
dengan komunikasi kesehatan yang melibatkan para migran. Padahal, ditegaskan bahwa
cultural mediators berfungsi pula sebagai cultural brokers yang berfungsi menjembatani 2
cara pandang yang berbeda tentang kesehatan sebagaimana dikemukakan Martin dan
Phelan (2009), sehingga dapat diargumentasikan bahwa cultural mediators tidak hanya
berlaku pada komunikasi kesehatan yang melibatkan migran. Terlebih konsep tentang
budaya sendiri tidak hanya mencakup batasan negara, ras ataupun etnisitas.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini berangkat dari paradigma interpretif yaitu menjelaskan fenomena yang
diteliti dari perspektif pelaku itu sendiri. Neumann (2000) mengemukakan bahwa
penelitian interpretif berusaha mempelajari apa yang dianggap bermakna oleh subjek-
subjek yang diteliti, atau bagaimana individu-individu mengalami kehidupan sehari-hari.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumental case study.
Mulyana (2013) mengemukakan bahwa case study digunakan ketika peneliti bertujuan
memberikan pandangan yang lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti.
Penelitian ini menggunakan studi kasus berjenis instrumental sebab penelitian ditujukan
memperoleh gambaran yang mendalam tentang fungsi mediator kultural oleh kader
posyandu dalam promosi vaksin di tingkat pedesaan. Mengikuti argumentasi Creswell
(1998) bahwa instrumental case study digunakan ketika terdapat suatu isu atau beberapa
isu tertentu dengan mengambil satu kasus untuk menggambarkan isu tersebut, maka
259
penelitian ini mengambil satu kasus yaitu di wilayah Desa Gendro, Kecamatan Tutur,
Kabupaten Pasuruan- JATIM.
Data dikumpulkan melalui Focused Group Disscussion (FGD) dan dilengkapi dengan
wawancara mendalam, serta observasi. FGD dilakukan pada 20 orang kader Desa Gendro
untuk mendapatkan gambaran tentang praktik promosi vaksin yang dilakukan. Di samping
itu, dilakukan pula wawancara terhadap 3 bidan desa untuk melengkapi data penelitian.
Observasi dilakukan pada aktivitas posyandu yang dilakukan. Digunakannya beragam
metode pengumpulan data ditujukan untuk memperoleh gambaran mendalam dari berbagai
perspektif untuk menjelaskan kerumitan komunikasi antarbudaya dalam promosi vaksin,
khususnya dengan melihat fungsi mediator kultural oleh kader posyandu. Data dianalisis
dengan menggunakan kerangka analisis interaktif sebagaimana dikemukakan Miles,
Huberman dan Saldana (2014) meliputi data condensation, data display, conclusion
drawing (verification).
HASIL PENELITIAN
Peran Kader sebagai Jembatan
Berdasarkan data di lapangan, ditemukan bahwa kader posyandu memiliki peran
utama dalam menyampaikan pesan kesehatan utamanya terkait vaksin pada masyarakat.
Idealnya, hal ini dilakukan dalam bentuk penyuluhan pada meja khusus selama proses
imunisasi berlangsung. Akan tetapi, dalam praktiknya kader lebih banyak menyerahkan
peran ini pada bidan desa di meja tindakan. Padahal, sebagaimana ditegaskan Tse, Suprojo,
& Adiwidjaja (2017) kader posyandu diharapkan menempati posisi sebagai perpanjangan
tangan bidan desa dan puskesmas dalam menunjang perilaku sehat masyarakat. Minimnya
penyuluhan oleh kader disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan kader sehingga
260
muncul kekhawatiran bahwa informasi kesehatan yang disampaikan tidak dipercaya
mengingat mereka tidak berasal dari golongan profesional kesehatan. Hal ini berkaitan
dengan apa yang dikemukakan Rakhmat (2011) bahwa siapa yang mengatakan terkadang
lebih penting dari apa yang dikatakan, maka kredibilitas sumber menjadi faktor kunci
dalam proses komunikasi. Terlebih Northouse & Northouse (dalam Berry, 2007)
menggarisbawahi tentang asymmetrical ‘power’ relationship, bahwa seringkali profesional
kesehatan dianggap lebih powerful di mata masyarakat.
Meskipun demikian, temuan di lapangan menunjukkan bahwa kader tetap secara aktif
menyampaikan informasi dan melakukan persuasi terkait penggunaan vaksin, dengan
informasi seadanya. Berdasarkan hasil FGD ditemukan bahwa di kalangan masyarakat
Desa Gendro, terdapat beberapa sudut pandang atas vaksin. Pertama, masyarakat yang
mudah menerima dan menggunakan vaksin, didominasi oleh ibu-ibu di Dusun Krajan
(pusat pemerintahan Desa Gendro). Kedua, masyarakat yang resisten terhadap vaksin,
didominasi oleh masyarakat di Dusun Dukutan, dusun terjauh dari pusat pemerintahan
desa dan secara geografis cenderung terisolir dengan akses informasi yang minim. Pada
dasarnya temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Palupi (2017) bahwa pola adopsi
terhadap inovasi kesehatan di kalangan masyarakat pedesaan turut dipengaruhi oleh posisi
tempat tinggal masyarakat dari pusat pemerintahan desa. Resistensi masyarakat cenderung
lebih tinggi sebab akses informasi lebih terbatas.
Terkait dengan penelitian ini, keengganan masyarakat Dusun Dukutan untuk
menggunakan vaksin didasarkan pada alasan bahwa vaksin tidak dikenal pada zaman
leluhur mereka. Mereka meyakini bahwa tanpa menggunakan vaksin pun anak-anak
mereka akan tumbuh sehat. Efek samping dari penggunaan vaksin turut meneguhkan
resistensi masyarakat dengan memunculkan anggapan bahwa vaksin justru menyakiti bayi
261
dan balita. Hasil wawancara dan FGD juga menunjukkan bahwa berbagai tradisi dan ritual
yang dilaksanakan masyarakat di wilayah tersebut menjadi hambatan terbesar bagi kader
dalam mengajak masyarakat untuk membawa bayi dan balita ke posyandu. Salah satu
tradisi yang berlaku yaitu tradisi khusus yang melarang ibu dan bayi ke luar rumah selama
40 hari setelah proses persalinan. Bagi keluarga yang dianggap mampu, tradisi ini ditutup
dengan “Among-among” yang merupakan upacara dengan menyediakan sesaji khusus
dengan dipimpin dukun adat. Pada kenyataanya, tradisi ini menyebabkan imunisasi
hepatitis dan BCG sering dilewatkan, terlebih bagi para ibu yang melakukan persalinan
melalui dukun beranak.
Di samping itu, ditemukan pula bahwa di kalangan masyarakat di wilayah riset
terdapat keyakinan bahwa demam seringkali diasosiasikan dengan gangguan makhluk
halus, yang diistilahkan sebagai penyakit sawan. Selain demam, terdapat bintik-bintik di
sekujur tubuh bayi dengan penyakit tersebut, umumnya bayi menjadi cengeng dan rewel.
Umumnya, masyarakat menggunakan pengobatan tersendiri mulai dari penggunaan air
rendaman kikir (alat untuk mengasah pisau dan benda tajam lainnya) maupun air rendaman
tali pusar bayi hingga membawa bayi pada dukun untuk diberikan mantra dan jimat.
Kondisi ini selain menyulitkan kader dalam promosi vaksin juga mencerminkan
berlakunya sistem atau tradisi supranatural sebagaimana dikemukakan Samovar, Porter
dan McDaniel (2010), atau diistilahkan pula sebagai sistem personalistik (Mulyana, 2012).
Sementara itu, penyakit tersebut dalam konteks medis diistilahkan sebagai campak yang
dapat dicegah melalui vaksin. Content pesan yang disampaikan bidan cenderung berangkat
dari tradisi biomedis yang berbasis scientific, sementara masyarakat yakin bahwa penyakit
tersebut terjadi karena intervensi zat supranatural. Dengan demikian, komunikasi dalam
262
konteks pemberian vaksin dan perawatan bayi menjadi semakin rumit mengingat masing-
masing berangkat dari nilai dan cara pandang yang berbeda.
Penggunaan Analogi dan Pembahasaan Ulang Istilah Vaksin
Berbagai konstruk kultural yang berlaku dalam masyarakat menjadikan tugas kader
sebagai jembatan antara bidan yang berangkat dari pemahaman medis dengan masyarakat
yang berangkat dari pemahaman non medis, menjadi semakin berat. Pemahaman medis
oleh Engle (dalam Apker, 2012) diistilahkan sebagai biomedical approach yang
menerapkan prinsip-prinsip dan metode scientific untuk mengindentifikasi dan
memberikan perawatan terhadap penyakit. Meskipun demikian, hasil penelitian
menunjukkan bahwa upaya kader untuk mengajak masyarakat untuk memberikan vaksin
pada bayi-balita adalah dengan menggunakan berbagai analogi terhadap vaksin yang
sangat berbasis biomedis agar dapat diterima masyarakat. Dengan mengikuti cara pandang
masyarakat yang sangat tradisional, para kader berusaha membahasakan kembali jenis
penyakit yang dapat muncul jika vaksin tertentu tidak diberikan. Misalnya menggunakan
istilah ‘semper’ (penyakit yang diyakini terjadi karena ter-serempet makhluk halus penjaga
desa yang mendiami danyang/pohon besar tempat sesaji) untuk mendefinisikan penyakit
polio, dan vaksin dianalogikan sebagai ‘penangkal’ bagi masuknya penyakit. Ditemukan
pula bahwa kader juga mengombinasikan cara-cara tradisional dan biomedis terkait
penanganan efek samping penggunaan vaksin. Dalam hal ini, demam sebagai efek samping
pemberian bayi dibahasakan ulang sebagai pertanda bahwa penangkal yang diberikan
bekerja dengan baik. Kader juga tidak menentang cara-cara tradisional yang masih
digunakan masyarakat, misalnya pemberian pijat oleh dukun bayi hingga pemberian air
rendaman tali pusar bayi untuk meredakan demam pasca pemberian vaksin. Namun,
263
mereka tetap menekankan pentingnya pemberian puyer untuk meredakan demam pada
bayi/balita.
Penggunaan Saluran Tradisional
Pada dasarnya, pemberian berbagai treatment tradisional tidak semata-mata aman bagi
bayi, namun dalam praktiknya kader memilih untuk tidak melarang penggunaan cara-cara
tradisional. Selain untuk menghindari penolakan dari masyarakat, para kader juga tidak
dapat menyediakan informasi yang cukup mengingat keterbatasan pengetahuan di samping
terbentur sisi kredibilitas dalam menyajikan informasi kesehatan dari sudut pandang
biomedis. Meskipun demikian, secara tidak langsung para kader turut menegosiasikan
penggunaan cara-cara tradisional agar dapat dipahami bidan yang berangkat dari perspektif
biomedis sehingga dapat lebih tepat dalam melakukan promosi vaksin.
Menyadari kuatnya konstruk kultural pada masyarakat, selain berfokus pada content
informasi, para kader juga memanfaatkan berbagai saluran tradisional seperti jamaah tahlil
khusus bagi ibu-ibu dalam promosi penggunaan vaksin. Melalui saluran tersebut, kader
tidak hanya meyakinkan kalangan ibu, tetapi juga meyakinkan generasi yang lebih tua
(nenek), bahwa vaksin bukanlah benda asing, penyebab penyakit yang harus dihindari.
Dalam upaya ini, kader tetap berupaya memberikan penjelasan tentang vaksin dengan
pendekatan tradisional agar lebih mudah diterima dan lebih mudah dipahami masyarakat
sasaran.
PEMBAHASAN
Jika ditelaah lebih lanjut, pada dasarnya kader posyandu sedang menjalankan fungsi
sebagai mediator kultural (cultural mediator), sebab mereka berusaha menjembatani 2 nilai
dan cara pandang yang berbeda terhadap vaksin, yaitu supranatural/personalistik dari sisi
264
masyarakat, dan biomedis dari sisi bidan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa kader posyandu tidak semata-mata menerjemahkan istilah medis yang rumit pada
masyarakat, sebagaimana dikemukakan Sue & Mettger (2007) bahwa penggunaan bahasa
medis yang rumit seringkali menjadi hambatan utama dalam pemahaman masyarakat
tentang informasi kesehatan. Kader lebih banyak melakukan redefinisi berbagai istilah
medis dan mengombinasikannnya dengan cara-cara tradisional sesuai dengan cara pandang
dan keyakinan masyarakat. Dalam fungsi ini, kader posyandu telah memenuhi peranan dari
cultural mediator sebagaimana ditegaskan Martin dan Phelan (2009) dalam hal
memfasilitasi terbangunnya hubungan yang konstruktif antara health provider dan health
user (pasien). Meskipun demikian, para kader posyandu belum dapat memenuhi fungsi
pemberdayaan pasien. Martin dan Phelan (2009) mengemukakan bahwa salah satu peran
cultural mediator adalah memberdayakan pasien dengan cara menginformasikan dan
mendorong pasien agar menyuarakan kebutuhan dan apa yang menjadi perhatian mereka.
Tidak dapat dipenuhinya peran pemberdayaan pasien setidaknya dapat ditelusuri dari
2 hal. Pertama, wacana tentang kesehatan maupun pengobatan penyakit sangat kental
dengan tradisi biomedis, sedangkan tradisi non-biomedis (khususnya supranatural) lebih
tidak populer dan dianggap tidak rasional. Hal ini tidak terlepas dari konteks historis
bahwa model biomedis menggambarkan kerangka filosofis dan praktik dari pengobatan
barat lebih dari 100 tahun (Starr dalam Apker, 2012). Kedua, rendahnya pengetahuan yang
dimiliki kader posyandu dalam kerangka tradisi biomedis. Temuan di lapangan
menunjukkan bahwa hanya 4 dari 20 kader memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang
vaksin. Jika merujuk pada WHO, kelompok kader yang mempunyai pengetahuan yang
cukup atas vaksin ini dapat digolongkan sebagai kelompok dengan kemampuan health
literacy (Bernhardt dan Cameron dalam Thompson, Dorsey dan Miller, 2003).
265
Berkaitan dengan fungsi sebagai cultural mediators, temuan dalam penelitian ini
menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan beberapa studi sebelumnya. Martin dan
Phelan (2009) menegaskan bahwa cultural mediators secara ideal tidak mensyaratkan
dimilikinya latar pendidikan khusus, namun umumnya mereka dibekali dengan training
dan memiliki kode etik tersendiri. Bahkan, pada beberapa negara di Eropa seperti Inggris,
cultural mediators umumnya dibantu oleh aktor profesional yang diistilahkan sebagai
community health educators untuk membantu menjembatani para migran dan pemerintah
(Taglieri, 2013). Temuan dalam penelitian ini sejalan dengan hasil riset Balkan (2016)
yang menunjukkan bahwa fungsi cultural mediators tidak selalu beriringan dengan
kualifikasi khusus tidak pula mendapatkan training antarbudaya. Akan tetapi, dalam
menjalankan fungsinya, kader posyandu memiliki pedoman khusus, hal ini tidak dibahas
lebih jauh dalam riset Balkan (2016).
Secara umum, dalam konteks komunikasi kesehatan, peneliti berargumen bahwa
meskipun menempati fungsi sebagai cultural mediator, kader posyandu tidak berdiri dalam
posisi health provider, mengingat health provider diasosiasikan dengan professional
kesehatan seperti dokter dan perawat (Berry, 2007) maupun apoteker dan berbagai staf
klinis lainnya (Viswanath dalam Donsbach, 2008). Akan tetapi, interaksi di antara kader
posyandu dan masyarakat termasuk interaksi kesehatan yang melibatkan tugas
instrumental. Merujuk pada Roter dan Hall (dalam Berry, 2007), setiap interaksi kesehatan
setidaknya mengandung 2 tugas dasar yaitu tugas instrumental yang berkaitan dengan
pemberian informasi kesehatan, serta tugas yang berkaitan dengan aspek sosioemosional
yang mencakup partnership building.
Berbagai temuan dalam penelitian ini telah dapat menunjukkan bagaimana cultural
mediators dapat diluaskan bukan hanya dalam konteks migran. Di samping itu, penelitian
266
ini juga memperkaya studi-studi sebelumnya yang membicarakan dimensi kultural dari
penyakit dan perawatan kesehatan seperti Arifin (2015) tentang ritual menjaga kesehatan
ibu hamil dalam masyarakat Madura, Putri (2015) tentang komunikasi terapeutik melalui
terapi pengobatan ayurveda di Bali, maupun Setiawati (2015) tentang komunikasi
terapeutik pada pengobatan alternatif.
Peneliti menggarisbawahi posisi kader posyandu sebagai cultural mediator menuntut
dimilikinya pengetahuan yang cukup terkait vaksin dan efek sampingnya yang sangat
berbasis biomedis. Sehingga diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan level literasi
kesehatan pada kader, terutama penyediaan akses yang cukup terhadap informasi
kesehatan. Terlebih, penelitian ini menunjukkan bahwa kader posyandu tidak menjadi
pasif meskipun terindikasi memiliki tingkat literasi kesehatan yang rendah. Temuan ini
bertentangan dengan hasil riset Suhat dan Hasanah (2014) bahwa kader yang
berpengetahuan kurang baik akan mempunyai risiko pasif dibanding kader yang
berpengetahuan baik.
SIMPULAN
Dalam proses promosi vaksin di wilayah pedesaan, kader posyandu menjalankan fungsi
sebagai cultural mediator (mediator kultural), khususnya dalam hal memfasilitasi
terbangunnya hubungan yang konstruktif antara health provider dan health user (pasien).
Fungsi tersebut dijalankan dengan penggunaan analogi dan membahasakan kembali
berbagai istilah dan manfaat vaksin yang sangat berbasis biomedis sebagaimana
ditekankan bidan, dengan berbagai istilah dan pendekatan kultural yang dapat diterima dan
sesuai dengan cara pandang masyarakat yang berbasis non-biomedis. Di samping itu, kader
juga menggunakan berbagai saluran tradisional yang dekat dengan ibu-ibu sasaran dalam
267
promosi vaksin. Fungsi cultural mediator menjadi sangat tepat untuk menimimalisir
penolakan masyarakat dalam penggunaan vaksin yang muncul dan diteguhkan berbagai
konstruk kultural. Akan tetapi, fungsi pemberdayaan pasien tidak dapat dicapai mengingat
rendahnya level health literacy bagi sebagian besar kader sehingga menghambat fungsi
penyediaan informasi terkait vaksin.
SARAN
Berdasarkan temuan penelitian, dalam tataran praktis peneliti merekomendasikan
dilakukan berbagai pelatihan dan membuka akses informasi yang seluas-luasnya bagi
kader posyandu. Sementara dalam konteks riset, peneliti merekomendasikan dilakukan
riset lanjutan dengan berfokus pada wacana-wacana yang dibangun masyarakat tentang
kesehatan yang berbasis non-biomedis, maupun analisis terhadap kompetensi kultural yang
dimiliki health provider dalam penyediaan informasi seputar vaksin.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, S. (2015). Pelet Kandhung sebagai ritual menjaga kesehatan ibu hamil pada
masyarakat Madura. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Komunikasi
Kesehatan. Bandung, Jawa Barat: Universitas Padjadjaran.
Apker, J. (2012). Communication in Health Organizations. New York: Willey.
Balkan, O. (2016). Between Civil Society and the State: Bureaucratic Competence and
Cultural Mediation among Muslim Undertakers in Berlin. Journal of intercultural
studies, 32 (2).
Berry, D. (2007). Health Communication: Theory and Practice. Berkshire: McGraw-Hill.
Conrad, P. & Barker, KK. (2010). The Social Construction of Illness: Key Insights and
Policy Implications. Journal of Health and Social Behavior, 51.
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design:Choosing among Five
Traditions. London: Sage Publication.
Gultom, D. (2016, Maret 8). Imunisasi dan komunitas anti-vaksin, Kompasiana. Diakses
dari www.kompasiana.com.
Johnson, R.L., Saha, S., Arbelaez, J.J., Beach, M.C., Cooper, L.A. (2004). Racial and
ethnic differences in patient perception of bias and cultural competence in healthcare.
Journal of general internal medicine, 19 (2), 101 – 110.
Kasarda, M. (2013). The media environment and anti-vaccination movement. European
scientific journal, 1.
Kennedy, A., LaVail, K., Nowak, G., Basket, M., Landry, S. Confidence about vaccine in
United States: understanding parents’ perception. (2011). Health affairs, 30(6).
268
Kreuter, M.W., McClure, S.M. (2004). The role of culture in health communication.
Annual review of public health, 25, 439 – 455.
Laturrakhmi, Y.F., Swastikawara, S. & Wardasari, N. (2017). Rancangan Model
Komunikasi Risiko dalam Konteks Kesehatan: Studi Eksploratif Pengomunikasian
Risiko Vaksin 5 Dasar Lengkap di Wilayah Pedesaan. Paper dipresentasikan di
Conference on Media, Communications and Sociology. Yogyakarta, D.I. Yogyakarta:
Universitas Atmajaya.
Martin, M.C., Phelan, M. Interpreter and cultural mediators: different but complementary
roles. (2009). Translocation: migration and social change.
Miles, M.B., Huberman, A.M., Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Method
Sorce Books. California: Sage Publication.
Mulyana, D. (2012).Cultures and communication: an indonesian scholar’s perspective.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, D. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Neuman, W. Lawrence. (2000). Social research methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. Boston: Allyn and Bacon.
Palupi, S.W. (2017). Strategi komunikasi anggota paguyuban KB lanang dalam upaya
meningkatkan jumlah akseptor KB pria: studi kualitatif pada pengguna KB pria di
kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri. (Skripsi, Universitas Brawijaya, 2017).
Putri, I.D.A.H. (2015). Komunikasi terapeutik dalam terapi pengobatan Ayurveda di Ubud
Bali. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional Komunikasi Kesehatan. Bandung,
Jawa Barat: Universitas Padjadjaran.
Rakhmat, J. (2011). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Samovar, L.A., Porter, R.E., McDaniel, E.R. (2010). Komunikasi lintas budaya: edisi
ketujuh. terj. Indri Margaretha Sidabalok. Jakarta: Salemba Humanika.
Schiavo, R. (2007). Health Communication From Theory and Practice. San Fransisco:
Josey Bass.
Schouten, B.C., Meeuwesen, L. (2006). Cultural differences in medical communication: a
review of the literature. Patient and education counseling, 64, 21-34.
Setiawati, R. (2015). Komunikasi Terapeutik melalui music campursari pada pengobatan
alternatif Eyang Agung, Ciputat. Paper dipresentasikan di Simposium Nasional
Komunikasi Kesehatan. Bandung, Jawa Barat: Universitas Padjadjaran.
Silva, I. Addressing language and culture differences in healthcare settings. (2014).
Disparities national coordinating center (DNCC), Centers for Medicare and Medicaid
Services.
Streatfield, K. & Singarimbun, M. Social Factors Affecting Use of Immunization in
Indonesia. (1988). Journal of Social Science and Medicine. 27, (11).
Sue, S. & Mettger, W. Plain Language: A Strategic Response to the Health Literacy
Challenge. (2007). Journal of Public Health Policy. 28, (1).
Suhat & Hasanah, R. (2014). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keaktifan Kader
dalam Kegiatan Posyandu (Studi di Puskesmas Palasari Kabupaten Subang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 10, 73-79.
Taglieri, F.M., Colucci, A., Barbina, D., Fanales-Belasio, E., Luzi, A.M. (2013).
Communication and cultural interaction in health promotion strategies to migrant
populations in Italy: the cross-cultural phone counselling experience. Ann Ist Super
Sanita, 9 (2), 138 – 142.
Ting-Toomey, Stella & Chung, Leeva C. (2012). Understanding intercultural
communication. Oxford: Oxford University Press.
269
Triana, V. (2016). Faktor yang berhubungan dengan pemberian imunisasi dasar lengkap
pada bayi tahun 2015. Jurnal kesehatan masyarakat Andalas, 10 (2).
Thompson, T.L., Dorsey, A. & Miller, K.I. (2003). Handbook of Health Communication.
New York: Lawrence Earlbaum.
Tse, A.D.P., Suprojo, A. & Adiwidjaya, I. (2017). Peran Kader Posyandu terhadap
Pembangunan Kesehatan Masyarakat. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 6 (1).
Viswanath K, Ackerson LK. Race, Ethnicity, Language, Social Class, and Health
Communication Inequalities: A Nationally-Representative Cross- Sectional Study.
(2011). PLoS ONE, 6 (1).
Viswanath, K. (2008). Health communication. Dalam Donsbach, W. (Eds.). The
International Encyclopedia of Communication. Malden, MA: Blackwell Publishing.