Manajemen Pasca Operasi pada Karsinoma Tiroid
Timothy A. Manzone, MD, JD,Hung Q. Dam, MD, Charles M. Intenzo, MD, Vidya V. Sagar, MDa, Charles J. Schneider, MD, Prakash Seshadri, MD
Walaupun pembedahan merupakan terapi utama pada kanker tiroid, manajemen pasca
operasi memiliki pengaruh yang besar terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup bebas
kambuh. Prognosis yang baik pada umumnya dikaitkan dengan manajemen pasca operasi yang
efektif setelah operasi yang sesuai. Kelangsungan hidup dari kanker tiroid terdiferensiasi
(Differentiated Thyroid Cancer) adalah baik, dengan angka kelangsungan hidup 10 tahun sebesar
93% pada tipe papiler dan 85% pada tipe folikel1. Di lain sisi, kekambuhan penyakit (seringnya
di kelenjar tiroid ayau nodus cervicalis) relatif sering terjadi dan dapat terjadi pada 20-30%
pasien2. Tujuan utama dari manajemen pasca operasi adalah (1) meminimalkan kemungkinan
terjadinya kekambuhan dan (2) melakukan pengawasan yang optimal sehingga kekambuhan
dapat segera ditangani.
Artikel ini membahas tentang manajemen pasca operasi yang terfokus pada pasien
dewasa dengan DTC yang mencakup sebagian besar dari kanker tiroid. Kemoterapi konvensional
hampir tidak memiliki peran pada DTC. Kemampuan yang khas dari sel tiroid terdiferensiasi
untuk memusatkan iodine, bersama dengan sensitivitasnya untuk mengatur hormon,
menghasilkan situasi manajemen kanker yang berbeda dan sebuah kesempatan yang tak
tertandingi untuk menelaah terapi hormonal dan radioterapi yang “ditargetkan”. Evaluasi dan
penatalaksanaan DTC pasca operasi pada umumnya dilakukan oleh dokter ahli endokrin dan
dokter kedokteran nuklir, yang sering sebagai bagian dari tim multi disiplin ilmu. Endokrinologis
mengatur penggantian hormone tiroid atau penekanan/supresi pada thyroid stimulating hormone,
mengawasi petanda endokrin, dan mengkoordinasikan pengawasan. Gokter ahi kedokteran nuklir
menilai pasien dengan kanker tiroid dengan pencitraan dan memberikan target terapi dengan
radioaktif iodine (131I).
Artikel ini memberikan gambaran manajemen pasca operasi DTC pada dewasa, termasuk
penilaian awal pasien dan stratifikasi risiko, pengobatan dengan Thyroid Remnant Ablation
(TRA), manipulasi TSH, dan pengawasan terhadap kekambuhan penyakit. Kami mencatat
beberapa masalah mengenai kasus DTC pada anak-anak. Akhirnya kami membahas secara
singkat manajemen kanker tiroid meduler (Medullary Thyroid Cancer / MTC) dan kanker tiroid
anaplastic (Anaplastic Thyroid Cancer / ATC) ; perbedaan biologis secara menyeluruh penyakit
ini membutuhkan pendekatan yang sangat berbeda dalam penilaian dan penanganan.
Penilaian Awal dan Stratifikasi Risiko
Setelah operasi tiroidektomi selesai, pasien pada umumnya dievaluasi lebih lanjut oleh
endokrinologis. Hampir semua pasien dengan DTC memiliki prognosis yang baik dalam hal
kelangsungan hidup jangka panjang, tetapi memiliki risiko untuk kekambuhan penyakit, yang
seringnya terjadi lokal. Tujuan dari manajemen pasca operasi adalah untuk memperpanjang
kelangsungan bebas kekambuhan, sehingga penilaian risiko kekambuhan merupakan dasar untuk
manajemen pasien. Setiap risiko pasien dinilai berdasarkan usia, histologi tumor (kanker jenis
papiler memiliki prognosis yang paling baik, lalu tipe folikuler, sel Hurtle, dan sebagainya),
ukuran tumor, kelengkapan reseksi, dan keterlibatan limfonodi. Sekitar sepertiga dari DTC (tipe
folikuler dan papiler) mengalami kekambuhan dan sekitar 20% bermetastasis jauh3. Risiko
kekambuhan dapat diprediksi paling baik dengan menggunakan stadium tumor dan histologi
tumor. Banyak pembahasan terkait pokok kekambuhan dalam sistem stadium yang digunakan
dan stadium penyakit dengan sistem tersebut. Karena kemudahan dalam pengguanaan dan
prediktabilitasnya, pada pedoman penatalaksanaan DTC American Thyroid Association tahun
20064 menyetujui model TNM yang dibuat oleh American Joint Commission on Cancer model5.
Pasien dengan DTC dan berusia kurang dari 45 tahun diklasifikasikan sebagai stage I
kecuali bila terdapat metastasis yang jauh; metastasis meningkatkan stage pasien usia muda ke
stadium II5. DTC cenderung mengalami kekambuhan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal
(<15 tahun) dan terlambat (>65 tahun) dan pada umumnya terjadi pada 5 tahun pertama setelah
didiagnosis2. Kekambuhan pada umumnya lebih sering terjadi pada tumor yang muncul awal
dengan invasi lokal, metastasis ke limfonodi, dan ukuran tumor yang lebih besar2. Analisis lebih
rinci mengenai faktor risiko kekambuhan membentuk dasar pedoman National Comprehensive
Cancer Network untuk DTC pada tahun 2006 (tabel 1)6.
Tabel 1
Variabel stratifikasi risiko yang mempengaruhi kekambuhan kanker tiroid terdiferensiasi dan
kematian kanter
Faktor prediktif risiko tinggi Faktor prediktif risiko rendah
Variabel pasien
Usia < 15 tahun atau > 45 tahun
Jenis kelamin pria
Riwayat keluarga yang sakit kanker tiroid
Variabel tumor
Diameter tumor > 4 cm
Bilateral
Penyebaran ke ekstra tiroid
Invasi vaskuler (tipe papiler dan folikuler)
Metastasis ke linfonodi cervicalis atau
mediastinalis
Tipe sel tertentu : sel Hurthle, sel kolumner, tall
cell, sclerosis difus, varian insular
Inti sel atipik tertentu, nekrosis, invasi vaskuler
(misal derajat histologis)
Tumor atau metastasis yang sedikit mengandung
iodine atau tidak sama sekali
Metastasis jauh
Variabel pasien
Usia 15-45 tahun
Jenis kelamin wanita
Tidak ada riwayat keluarga yang sakit
kanker tiroid
Variabel tumor
Diameter tumor < 4 cm
Unilateral
Tidak ada penyebaran ke ekstra tiroid
Tidak ada invasi vaskuler
Tidak ada metastasis ke limfonodi
Karsinoma tiroid papiler berkapsul,
mikrokarsinoma papiler, karsinoma
tiroid kistik papiler
Tidak ada inti sel atipik, nekrosis tumor,
dan invasi vaskuler
Tumor atau metastasis yang
mengandung cukup iodin
Tidak ada metastasis yang jauh
Dikutip dari Mazzaferri EL, Kloos RT. Clinical report 128: current approaches to primary therapy for papillary and follicular thyroid cancer. J Clin Endocrinol Metab 2001;86(4):1449; with permission. Copyright 2001, The Endocrine Society
Penilaian risiko terpusat pada patologi tumor dan perluasannya telah dihapuskan. Sebuah
studi multicenter menunjukkan bahwa residual tumor terdapat pada 10,7% jenis papiler, 8,0%
jenis folikuler dan 10,5% neoplasma jenis sel Hurthle7, akan tetapi pada hal ini, kanker tiroid
jenis papiler hanya 4,8% yang menginvasi ke vaskuler, dibandingkan folikuler sebesar 28,7%
dan sel Hurthle sebesar 25,4%7. Operasi ulang juga lebih sering dilakukan pada kanker jenis sel
Hurthle pada seri pembedahan yang lain8.
Penilaian risiko juga harus mengikutsertakan prevalensi kejadian karsinoma tiroid kecil
(small thyroid carcinoma) yang ditemukan secara kebetulan pada spesimen tiroidektomi. Angka
kejadian mikrokarsinoma (<1 cm) telah ditunjukkan pada sebuah seri otopsi menjadi dua kali
lipat dari makrokarsinoma9. Asosiasi Tiroid Amerika (The American Thyroid Association) belum
menentukan bagaimana untuk mengevaluasi pasien ini, tetapi pasien dengan gambaran histologi
yang agresif atau invasi kapsuler atau vaskuler dalam mikrokarsinoma yang tidak terduga perlu
dipertimbangkan sebagai risiko yang lebih tinggi4. Pada gambaran histologis yang agresif dan
adanya invasi, penanganan karsinoma tiroid mikropapiler harus diproses sebagai tumor yang
lebih yang besar.
Penanganan pasca operasi DTC untuk mengurangi risiko kekambuhan penyakit pada
setiap pasien. Kelangsungan bebas kekambuhan pada DTC dapat ditingkatkan melalui
tiroidektomi total, yang dilanjutkan denga TRA dengan radioaktif iodin, dan suplementasi
hormon tiroid jangka panjang yang cukup untuk menghasilkan supresi atau penekanan terhadap
hormon TSH2.
Persiapan ablasi sisa tiroid
TRA dengan 131I dianjurkan pada sebagian besar kasus, karena TRA secara signifikan
dapat menurunkan angka kejadian kekambuhan. Tujuan TRA adalah untuk menghancurkan sel
kanker tiroid yang tersisa pada kelenjar tiroid atau pada daerah metastasis dan menghilangkan
jaringan tiroid normal yang masih tersisa. Alasan dibalik penghancuran lebih lanjut termasuk
hal-hal berikut : (1) pengukuran kadar tiroglobulin (Tg) serum merupakan indikator paling
sensitif pada kekambuhan kanker ketika tidak ada jaringan normal kelenjar tiroid, (2) destruksi
sel tiroid normal yang tersisa mengeliminasi kemungkinan terjadinya transformasi ke malignansi
dan (3) penghancuran terhadap sisa jaringan tiroid meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
pemindaian radio iodin untuk mendeteksi kekambuhan penyakit maupun ada tidaknya
metastasis10.
Ablasi jaringan tiroid yang tersisa dengan 131I paling efektif dengan di bawah stimulasi
dari peningkatan TSH, karena pengambilan iodine oleh sel tiroid berbanding langsung dengan
kadar serum TSH. Peningkatan TSH didapatkan melalui pengambilan hormon tiroid, yang dapat
meningkatkan TSH serum melalu umpan balik negative sehingga pasien menjadi hipotiroid.
Standar perawatan adalah peningkatan kadar TSH paling sedikit 30 mlU/mL. Setelah
tiroidektomi, hipotiroidisme mudah dicapai hanya dengan menahan penggantian hormon tiroid.
Kadar serum TSH paling sedikit 30 mlU/mL didapatkan sekitar 3 sampai 6 minggu setelah
tiroidektomi total, tergantung dari ukuran sisa. Untuk beberapa alasan kenyamanan, pasien sering
diberikan suplementasi liotironin (Cytomel) selama 1 bulan setelah operasi dan kemudian
menghentikan seluruh pengobatan tiroid selama 2 minggu sebelum pemberian 131I TRA. Pasien
diingatkan bahwa mereka akan merasa tidak nyaman dalam 2 minggu tersebut, tetapi pastikan
bahwa gejalanya (seperti kelelahan, konstipasi, edema, dan intolerasi udara dingin) akan segera
menghilang segera setelah mereka memulai terapi denga levotiroksin. Alternatif potensial
terhadap penghentian hormon tiroid adalah dengan pemberian TSH eksogen dalam bentuk
recombinant human TSH (rh TSH) atau Thyrogen (Genzyme). Beberapa penelitian mendukung
bahwa penggunaan rhTSH dari TRA11, akan tetapi, pengguanaan rh TSH belum mendapatkan
persetujuan dari US Food and Drug Administration dan masih dianggap eksperimental /
percobaan oleh American Thyroid Association4.
Selama 2 minggu sebelum TRA, pasien harus diberikan diet rendah iodin. Diet tipikal
khas orang Amerika mengandung iodin yang cukup untuk bersaing dengan radioaktif iodin
dalam pengambilannya oleh jaringan tiroid yang normal dan ganas. Diet rndah iodin
mengharuskan untuk menghidari makanan laut atau seafood, restaurant, atau makanan kemasan
dan makanan ringan, produk olahan susu, dan garam beriodin. Pasien juga harus memeriksa label
produk, karena penekan batuk, suplemen makanan dan produk lainnya sering mengandung iodin
yang perlu dipertimbangkan. Beberapa endokrinologis mengukur kadar iodin dalam urin untuk
memastikan ada tidaknya deplesi/kekurangan cadangan iodin dalam tubuh.
Target terapi
TRA dengan 131I merupakan bentuk dari “target” radioterapi yang memicu aviditas iodin
dari sel tiroid untuk mengirimkan dosis radiasi dari secara langsung dari 131I ke kelenjar tiroid.
131I merupakan radioaktif dengan isotope iodin ( waktu paruh 8 hari), paling banyak terdapat di
kelenjar tiroid dimana radiasi merusak dan menghancurkan sel. Karena efektivitas TRA
bergantung pada pengambilan iodin oleh sel tiroid, penting untuk memastikan bahwa sel tiroid
manapun masih bersifat mengikat iodin secara kuat. Sebelum TRA hasil pemeriksaan harus
memastikan bahwa pasien memiliki kadar TSH serum lebih dari 30 mlU/mL dan sudah
menjalani diet rendah iodin.
Pada sebagian institusi di dunia, telah mencantumkan bukti empiris kadar fixed-activity
dari 131I. Pendekatan ini dapat dilakukan lebih sering karena kesederhanaannya. Sisa tiroid tanpa
invasike jaringan lunak sekitarnya pada umumnya diberikan 131I sebanyak 100 mCi (3700 MBq).
Untuk tumor yang lebih besar dengan invasi ke jaringan lunak melewati kapsula tiroid, diberikan
dosis 131I yang lebih besar, yaitu sebesar 150 sampai 200 mCi (5500-7400 MBq). Untuk
penyebaran ke limfonodi cervicalis diberikan 150-175 mCi (5550-7350 MBq), tergantung dari
penyebaran penyakitnya. Metastasis ke organ yang lebih jauh (seperti paru-paru, tulang, dan
hepar) diberikan dengan dosis 200 mCi (7400 MBq) atau lebih. Sebuah alternatif dari metode
fixed-activity adalah dengan pendekatan kuantitatif menggunakan dosimetri 131I. Pendekatan
lebih lanjut akan lebih ilmiah karena pemberian 131I dengan dosis spesifik pasien. Dosimetri
kuantitatif termasuk satu dari dua pendekatan, baik dengaan perhitungan batas keamanan atas
dari seluruh tubuh atau kadae paparan radiasi 131I dalam darah, atau perhitungan dari jumlah
radiasi yang harus diberikan ke jaringan target. Dosimetri juga termasuk memberikan dosis kecil
pelacak 131I yang dilanjutkan dengan pemindaian dan pengukuran kadar 131I dalam urin yang
dilakukan beberapa hari. Walaupun dosimetri 131I dihitung dosis 131I spesifik pasien, sebagian
besar pusat kesehatan menggunakan pendekatan fixed-activity karena hal ini membutuhkan
labor/usaha yang lebih sedikit dan lebih nyaman bagi pasien. Metode yang optimal untuk
menentukan dosis TRA 131I (seperti aktivitas secara empiris dengan dosimetri individual) masih
kontroversial dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut2,4,13.
Selama beberapa tahun, hampir seluruh pasien yang menjalani TRA yang masuk ke
rumah sakit untuk menjalani prosedur tersebut, kebuali bila dosis 131I yang diberikan kurang dari
30 mCi. Beberapa pasien ditangani dengan dosis rendah untuk menghindari rawat inap di rumah
sakit. Sejak tahun 1997, the Nuclear Regulatory Commission telah memperbolehkan pasien
untuk pulang setelah TRA asalkan paparan radiasi total ke orang manapun yang melakukan
kontak dengan pasien diharapkan kurang dari dosis maksimum tertentu yang masih
diperbolehkan14. Paparan yang diharapkan ini ditentukan dari perhitungan spesifik setiap pasien
dengan mempertimbangkan dosis 131I yang diresepkan sisa pengambilan tiroid yang diantisipasi,
dan berbagai macam faktor kepemilikan yang menggambarkan transportasi pasien ke rumah
setelah prosedurm level kemandirian dalam kehidupan sehari-hari, dan kemampuan penggunaan
kamar mandi dan tidur secara eksklusif selama 1 sampai 2 malam. Pasien harus diberikan
instruksi secara mendetail tentang pembatasan sosial dan pembuangan kotoran, yang harus
diikuti selama 2 sampai 3 hari setelah pengobatan. Sebagai masalah yang praktis, sebagian besar
prosedur TRA dilakukan melalui rawat jalan, sehingga menghasilkan pengeluaran biaya yang
lebih sedikit dan meningkatkan kenyamanan pasien. Outpatient TRA tidak dapat melakukan hal
ini pada beberapa kondisi seperti bila pasien (1) membutuhkan pendampingan kegiatan fisik
untuk kegiatan sehari-hari, (2) tidak memiliki penggunaan kamar mandi dan kamar tidur secara
eksklusif paling sedikit 24 jam, (3) tinggal di fasilitas perawatan, atau (4) sedang menjalani
dialysis. Kehamilan merupakan kontraindikasi absolut bagi pengobatan dengan 131I.
Pemeriksaan kehamilan harus dilakukan sebelum TRA pada setiap perempuan yang masih dalam
masa reproduktif. Menurut panduan dari The American Thyroid Association, menyarankan
bahwa setiap perempuan yang hamil paling sedikit 6 sampai 12 bulan setelah TRA, perlu
penanganan terutama pada kasus TRA kedua.
Setelah dokter ahli kedokteran nuklir melengkapi konseling pasien dan dokumentasi yang
diperlukanm dosis 131I diberikan secara peroral dalam bentuk sodium iodida baik cair maupun
bentuk kapsul. TRA ditoleransi secara baik oleh sebagian besar pasien, tetapi terdapat beberapa
yang mengalami komplikasi. Hampir 50% pasien yang sedang menjalani TRA merasakan radiasi
sialadenitis yang disebabkan oleh pengambilan 131I oleh kelenjar salivarius. Komplikasi ini pada
umumnya muncul sebagai pperasaan tidak nyaman, metallic taste, menurunnya pengecapan, atau
xerostomia pada sekitar hari ke 5 sampai 7 setelah TRA. Pada umumnya gejala menghilang
tetapi dapat pula menahun atau bahkan menetap. Kemungkinan terjadinya sialadenitis sebanding
dengan dosis 131I yang diberikan, sehingga semakin sering ditemukan pada pasien yang
mendapatkan 131I denga dosis yang lebih tinggi. Pasien disarankan untuk meningkatkan asupan
cairan normal dan menstimulasi kelenjar salivarius secara periodic dengan permen asam dimulai
dari hari setelah pemberian terapi. Permen tersebut akan meningkatkan sekresi saliva dan
menurunkan waktu tinggal dari 131I di kelenjar salivarius.
Efek samping akut lainnya yang sering terjadi dari TRA adalah gastritis yang dipicu oleh
radiasi, pada umumnya bermanifestasi sebagai mual, yang muncul pada sekitar sepertiga pasien.
Hal ini biasanya dimulai sekitar 24 jam setelah pemberian terapi dan berlangsung selama 1
sampai 2 hari, tetapi dapat pula berlangsung lebih lama. Beberapa fasilitas kesehatan
memberikan anti emetik suppositoria secara rutin. Seperti halnya sialadenitism gastritis yang
dipicu oleh radiasi 131I tergantung dari jumalah dosis yang diberikan dan jarang terjadi dengan
hidrasi oral yang baik.
Secara umum, komplikasi lanjut dari terapi 131I terjadi setelah beberapa dosis kumulatif
131I, termasuk supresi sumsum tulang sementara, diskrasia darah, dan sterilitas pria sementara
(jarang permanen). Pada beberapa kasus dengan metastasis jauh ke paru-paru, ditemukan fibrosis
paru-paru yang diinduksi oleh radiasi. Secara keseluruhan komplikasi lanjut dari terapi 131I telah
jarang ditemukan dalam beberapa dekade terakhir sehingga menggunakan modalitas terapi
dengan efektivitas yang lebih tinggi, mungkin karena hanya beberapa pasien yang membutuhkan
pengobatan yang bermacam-macam.
Pemindaian Pasca Ablasi
Sekitar 1 minggu setelah ablasi, secara rutin dilakukan pemindaian iodin seluruh tubuh
(an iodine whole-body pemindaian / WBS) untuk melihat foton yang dikeluarkan dari dosis
ablasi. Pemindaian ini menunjukkan pengambilan 131I oleh jaringan tiroid (normal dan ganas),
dan visualisasi aktivitas sisa merupakan konfirmasi dari penargetan dosis TRA (Gambar 1).
Sekitar 25% dari kasus, pemindaian pasca ablasi mendemonstrasikan lesi-lesi tambahan atau
metastasis tidak terdeteksi dengan WBS diagnostik, karena pemindaian pasca pengobatan
menyediakan gambaran jumlah 131I yang lebih besar. Sebagai hasilnya, pemindaian pasca
pengobatan dapat menjadi indikator prognosis. Pada beberapa instansi, pemindaian ini dapat
mengubah manajemen pasien; visualisasi dari lokasi pengambilan iodin yang tidak diharapkan
dapat mendorong penelitian lain atau pengulangan WBS diagnostik lebih awal dari yang
diharapkan (seperti 6 bulan daripada 12 bulan). Pemindaian pasca ablasi juga bermanfaat pada
beberapa keadaan yang menunjukkan hasil yang negative dengan WBS diagnostik, tetapi kadar
serum Tg meningkat. Pada keadaaan ini, WBS pasca ablasi dilakukan setelah TRA empiris dapat
mengkonfirmasikan target terapi pada kelenjar tiroid, di limfonodi cervicalis, atau metastasis ke
pulmoner. Mengenai WBS diagnostik seharusnya dilakukan sebelum TRA masih kontroversial.
Beberapa pusat penelitian mendapatkan hanya WBS pasca ablasi; tetapi WBS diagnostik
sebelum TRA dapat mengubah manajemen pada beberapa pasien.
Terapi supresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH)
Setelah proses ablasi telah selesai, TSH harus ditekan dengan levotiroksin untuk
mencegah pertumbuhan kanker tiroid. Dosis pengganti yang biasa dapat dimulai pada berat dasar
sekitar 1,6 mg / kg / hari. Pasien yang dipertimbangkan dengan risiko redah (misal, ukuran tumor
yang kecil, tidak ada gangguan atau metastasis, patologi yang tidak beresiko tinggi) seharusnya
tetap menjaga kadar TSHnya diantara 0.1 dan 0.5 mlU/mL. Pasien yang beresiko tinggi
seharusnya memiliki kadar TSH dibawah 0.1 mIU/mL yang dapat ditoleransi tanpa munculnya
gejala hipertiroid. TSH dapat diikuti setiap 6 minggu sekali begitu terapi levotiroksin mulai
diberikan untuk mendapatkan kadar TSH yang diinginkan.
Gambar 1. Gambaran WBS komposit depan dari penelitian berurutan pada seorang wanita 44 tahun, 5 tahun setelah tiroidektomi dengan kanker tipe papiler berukuran 3 cm dengan sebuah limfonodi positif. TSH dimaksimalkan pada dosis 10 mlU/mL walaupun hormon tiroid ditarik. (A) 123I WBS diagnostik menunjukkan pengambilan dalam jumlah besar pada sisa jaringan tersisa yang masih berfungsi (panah). Garis putus-putus menunjukkan kepala dan bahu. (B) WBS pasca ablasi 1 minggu setelah TRA dengan 155 mCi (5735 MBq) 131I memastikan dosis target TRA; aktivitas di hepar (anah putih) menunjukkan metabolism dari radioaktif tiroglobulin (Tg). (C) 131I WBS diagnostic dilakukan saat 9 bulan menunjukkan pengambilan yang normal di mulut, gaster, dan vesica urinaria (panah) tetapi tanpa aktivitas sisa ataupun metastasis.
Pengujian kadar Tiroglobulin
Dalam beberapa tahun terakhir, pengukuran serum Tiroglobulin (Tg) telah menjadi
andalah dalam pengawasan terhadap kekambuhan DTC. Tg merupakan hasil dari protein utama
yang dihasilkan oleh sel tiroid yang berfungsi dan tidak dihasilkan oleh sel lain di tubuh. Jika
seluruh sel tiroid telah dieliminasi, serum Tg seharusnya sangat rendah. Peningkatan kadar serum
Tg (>2 ng/mL) merupakan indikator yang sangat spesifik dan spesifik untuk kekambuhan DTC
setelah TRA4. Serum antibodi anti-Tg juga harus diukur pada setiap pemeriksaan TG, karena
adanya anti bodi Tg (lebih sering positif pada pasien dengan DTC daripada populasi umum)
menyanggah pengujian Tg17. Sensivitas dari pengujian Tg untuk kekambuhan DTC sangat
meningkat ketika diperoleh sebagai suatu Tg yang "terstimulasi" (misal, darah diambil ketika
kadar serum TSH meningkat). Stimulasi TSH dilakukan oleh penarikan hormon tyroid yang lain
atau rhTSH(thyrogen). (Stimulasi TSH juga membutuhkan untuk WBS iodine, sehingga dua
pemeriksaan tersebut dilakukan bersamaan). Pedoman Asosiasi Tiroid Amerika menyarankan
pemeriksaan kadar awal Tg dan antibodi Tg sebelum dilaksanakannya TRA. Walaupun Tg
hampir selalu dapat terdeteksi pada adanya beberapa sisa tiroid yang masih dapat berfungsi,
kadar yang tinggi dapat menunjukkan adanya residual maupun metastasis keganasan4.
Gambar 2. Penelitian berurutan dari seorang wanita 55 tahun dengan karsinoma tiroid tipe papiler 8 minggu setelah tiroidektomi total. (A) WBS dilakukan 48 jam setelah pemberian 5 mCi (185 MBq) secara oral 131I menunjukkan sisa jaringan yang berfungsi (panah panjang), kemungkinan metastasis ke nodus di leher kanan, dan metastasis ke dada bawah bilateral (panah pendek). Pasien mendapat 131I 250 mCi (9250 MBq). (B) WBS pasca ablasi diperoleh 1 minggu
memastikan target TRA. Artefak “bintang” (panah putih) muncul dari energy tinggi dari foton 131I. (C) follow up 1 tahun WBS 131I menunjukkan resolusi yang lengkap dari seluruh lesi.
Pemindaian seluruh tubuh dengan Radioaktif iodin (131I atau 123I)
WBS radioaktif iodin telah lama menjadi alat diagnostik didlam manajemen DTC
walaupun perananannya berkurang dengan adanya pengujian Tg. Sel-sel fungsional tiroid yang
muncul pada WBC karena mereka terkonstrasi pada pelacak radioaktif iodin. Dua isotop
radioaktif (131I and 123I) dapat digunakan. 131I, isotop yang sama digunakan untuk terapi telah
digunakan bertahun-tahun. walaupun 131I bersifat sensitif dan spesifik, radionuklida ini memiliki
kelemahan : 131I energi photon (364 kV) tidak optimal untuk standar perlengkapan pencitraan
obat nuklir dan memancarkan partikel beta 131I, yang lebih merusak jaringan daripada bentuk
radiasi lainnya. Kenyataan' ini menimbulkan topik yang kontroversial dari "stunning tyroid.
"Stunning" mengacu pada kekhawatiran bahwa radiasi dari sebuah dosis diagnostik WBS 131I
merusak sel tyroid dalam penyerapan iodin yang berpotensi menurunkan efektifitas dari dosis
terapi iodin selanjutnya18. Walaupun stunning adalah fenomena yang nyata, hal ini mungkin
tidak benar-benar mengganggu efektifitas terapi. Namun masalah dapat dihindari sepenuhnya
dengan melakukan WBS 123I. 123I lebih mahal dan waktu paruh yang lebih pendek (13 jam)
tetapi menghasilkan gambaran yang sangat baik dan tidak memiliki emisi beta. Penilitian
mengindikasikan bahwa 123I memiliki diagnostik yang dapat sebanding dengan 131I19. Sehingga,
123I telah menggantikan 131I untuk WBS pada beberapa fasilitas kesehatan.
Pengawasan yang pertama WBS 123I biasanya dilakukan untuk pasien yang memiliki
resiko yang rendah untuk terjadinya kekambuhan sekitar 6 sampai 12 bulan setelah TRA. karena
pengambilan iodin bergantung pada TSH, WBS membutuhkan peningkatan serum TSH, yang
dapat dilakukan dengan penarikan hormon tiroid yang dideskripsikan untuk ablasi awal atau
dengan injeksi rhTSH (thyrogen)20. Untuk penelitian tyrogen pasien mendapatkan 0.9 mg rhTSH,
secara intramuskuler setiap hari selama dua hari diikuti dengan pemberian 123I pada hari ketiga
dan pencitraan pada hari keempat. Dengan membolehkan pasien untuk mencapai stimulasi TSH
tanpa menimbulkan gejala hypothyroidism, rhTSH meningkatkan kualitas hidup. Namun, akan
lebih bijaksana untuk menarik hormon tyroid jika ada beberapa antisipasi terkait penanganan 131I
akan dibutuhkan. Penggunaan rhTSH sering disimpan untuk pasien dengan resiko rendah. WBS
juga dioptimalkan dengan diet rendah iodin selama 2 minggu.