Diabetes Melitus Tipe 2
Roykedona Lisa Triksi
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Pendahuluan
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit yang sudah tidak asing lagi di telinga kita.
Sudah banyak sekali orang yang menderita penyakit ini. Diperkirakan sekitar 14,57%
kelompok pada usia 45-54 tahun meninggal akibat DM. Angka ini menduduki ranking kedua
penyebab kematian di daerah perkotaan. Indonesia adalah dengan jumlah penderita DM
tertinggi di dunia. Tingginya angka penderita DM ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah
satunya adalah pola hidup dan pola makan yang tidak teratur. Selain karena faktor pola makan
dan gaya hidup yang tidak diatur dengan baik, DM bisa timbul karena kelainan yang terjadi
pada sistem tubuh yang berfungsi untuk mengatur pengeluaran insulin.
Sistem tubuh yang mengalami kelainan tersebut adalah pada reseptor hormon insulin.
Selain itu, kelainan juga bisa terjadi pada sel pankreas. Jika kelainan ini terjadi, maka organ
tubuh tidak akan bisa melakukan tugasnya sebagai pengatur kadar gula dengan baik. Jika
pengaturan ini tidak berjalan baik, orang akan bisa mengalami DM. Sesuai dengan skenario,
seorang laki-laki 45 tahun datang untuk berkonsultasi karena ia merasa makin lemah sejak 2
minggu lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun lalu. Maka dari itu, untuk
mengetahui secara lengkap dan jelas, penulis akan membahas tentang diabetes melitus mulai
dari anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis dan lain sebagainya.
Alamat korespondensi: Roykedona Lisa Triksi (102011207)Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 Email : [email protected]
1
Anamnesa
Menanyakan riwayat penyakit disebut ‘Anamnesa’. Anamnesa berarti ‘tahu lagi’,
‘kenangan’. Jadi anamnesa merupakan suatu percakapan antara penderita dan dokter, peminta
bantuan dan pemberi bantuan. Tujuan anamnesa pertama-tama mengumpulkan keterangan
yang berkaitan dengan penyakitnya dan yang dapat menjadi dasar penentuan diagnosis.
Mencatat (merekam) riwayat penyakit, sejak gejala pertama dan kemudian
perkembangan gejala serta keluhan, sangatlah penting. Perjalanan penyakit hampir selalu khas
untuk penyakit bersangkutan.1 Selain itu tujuan melakukan anamnesa dan pemeriksaan fisik
adalah mengembangkan pemahaman mengenai masalah medis pasien dan membuat diagnosis
banding. Selain itu, proses ini juga memungkinkan dokter untuk mengenal pasiennya, juga
sebaliknya, serta memahami masalah medis dalam konteks kepribadian dan latar belakang
sosial pasien.
Anamnesa yang baik akan terdiri dari identitas (mencakup nama, alamat, pekerjaan,
keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan), keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit dalam keluarga. Anamnesa yang
dapat dilakukan pada pasien di skenario adalah sebagai berikut:
1. Anamnesa Umum
Seorang laki-laki, umur 45 tahun, alamat, pekerjaan.
2. Keluhan Utama: gangguan atau keluhan yang terpenting, yang dirasakan penderita
sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta
menjelaskan tentang lamamnya keluhan tersebut. Keluhan utama merupakan dasar
untuk memulai evaluasi pasien.
Merasa makin lemah sejak 2 minggu lalu
3. Riwayat Penyakit Sekarang: apakah ada keluhan lainnya seperti
Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya
sering disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari
tidurnya dan sering menganggu kualitas tidur
Polidipsi. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsi disebabkan
oleh banyaknya volume urin yang dikeluarkan
Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar
Penurunan berat badan
Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada
bagian distal tubuh seperti kaki.
2
Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar
sembuh, terutama pada bagian kaki
Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan penglihatan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Diabetes Melitus sejak 5 tahun lalu
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
Apakah di keluarganya pernah ada yang mengalami hal yang sama.
6. Riwayat Pengobatan: Sudah mengkonsumsi obat apa saja, atau sudah mendapat
pengobatan apa dan apakah keadaan membaik atau tidak, sedang mengkonsumsi suatu
obat atau tidak
Sedang mengkonsumsi metformin dan glibenklamid
Pemeriksaan
Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik spesifik.
Pemeriksaan yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan fisik namun, bagi penyakit yang tidak
memiliki gejala klinik khas, untuk menegakkan diagnosisnya kadang-kadang diperlukan
pemeriksaan laboratorium (diagnosis laboratorium).
1. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan umum dan fisik sering didapat keterangan – keterangan yang
menuju ke arah tertentu dalam usaha membuat diagnosis. Pemeriksaan fisik
dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melihat keadaan umum pasien, kesadaran,
tanda-tanda vital (TTV), pemeriksaan mulai dari bagian kepala dan berakhir pada
anggota gerak yaitu kaki. Pada pemeriksaan fisik ditemukan beberapa hal berikut:
Keadaan umum pasien baik
TTV: TD 120/ 80, nadi 88x/ menit, suhu afibris, RR 16x/ menit
Inspeksi: hiperpigmentasi pada daerah leher dan ketiak (merupakan salah satu
ciri khas dari resisten insulin)
IMT: 22,5 (normal)
2. Pemeriksaan Penunjang3
Kegunaan dari pemeriksaan penunjang adalah untuk keakuratan diagnosis
suatu penyakit. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk kasus ini adalah.
- Glukosa Darah
Nilai normal glukosa darah puasa bervariasi antara 60 hingga 110 mg/dL (3,3-6,1
mmol/L). Kadar plasma atau serum adalah 10-15% lebih tinggi karena komponen-
komponen struktural sel darah dihilangkan, sehingga akan lebih banyak glukosa
perunit volume. Jadi, nilai normal glukosa plasma atau serum puasa adalah 70-120
mg/dL (3,9-6,7 mmol/L). Penentuan kadar glukosa darah penuh dilakukan di tempat
untuk menguji glukosa pada keadaan-keadaan darurat dan juga pada prosedur
pemantauan sendiri glukosa kapiler. Suatu teknik yang telah diterima luas dalam
penatalaksanaan diabetes melitus.2
Uji Toleransi Glukosa Oral:
Tes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini tidak
dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
manifestasi klinik DM dan hiperglikemia.2
- Kadar Insulin
Untuk mengukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum
atau plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen
sebelum diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20µU/mL
dalam keadaan puasa, dan mencapai 50 – 130 µU/mL sesudah satu jam, dan biasanya
turun kembali dibawah 30µU/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang
memiliki manfaat klinis karena alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa
melampaui 120 mg.dL, hiperinsulinemia dapat timbul secara terlamabat sebagai
akibat resistensi insulin pada penderita DM II; akan tetapi juga dapat terjadi pada
bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana pelepasan insulin dini yang
lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat merangsang pelepasan
insulin berlebihan setelah 2 jam.2
Homeostasis Model of Assessment - Insulin Resistance (HOMA-IR):
Merupakan parameter untuk mengukur kualitas / mutu insulin. Jika Homa IR
dibawah nilai normal, berarti kualitas insulin bagus, maka otomatis HbA1C turun
sehingga Gula darah 2 jamPP pasti TURUN. Artinya Homa IR dikatakan baik jika
hasilnya < Nilai normal (2,77)
4
International Formula: fasting glucose (mmol/L) x fasting insulin
(mU/L) / 22.5
US Formula: fasting glucose (mg/dL) x fasting insulin (µU/mL) / 405
State Glukosa Darah Puasa
(GDP)
TTGO HbA1C
Normal < 100mg/dL < 140mg/dL < 5.7 %
Pre-
diabetes
100-125mg/dL 140-199mg/dL 5.7 – 6.4%
Diabetes ≥ 126mg/dL ≥ 200mg/dL >6.5%
Tabel 1. Diagnosis DM Tipe 2 (ADA, 2011)
Selain berdasarkan kriteria dari ADA, DM bisa dilihat dari hasil glukosa darah
sewaktu (GDS) dan glukosa darah puasa (GDP). Kriteria DM tipe 2 ini bisa ditegakan
berdasarkan:
- Gejala klasik DM + GDS ≥ 200mg/dL (cukup u/ menegakan WD)
- Gejala klasik DM + GDP ≥ 126mg/dL (mudah dilakukan)
- TTGO ≥ 200mg/dL (TTGO dilakukan jika gejala klasik tidak terlihat)
Berdasarkan skenario didapatkan hasil pasien sebagai berikut:
GDS = 252mg/dL, HbA1C = 10%, HOMA-IR = 8
Diagnosis
Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk menangani
suatu penyakit. Proses diagnosa adalah proses yang dilakukan seorang ahli kesehatan untuk
menentukan jenis penyakit yang diderita oleh pasien, kemudian menentukan diagnosis
penyakit pasien tersebut sehingga dapat memberi pengobatan yang tepat dengan jenis
penyakit (etiologik) maupun gejalanya (simptomatik).3
Diagnosa dilakukan berdasarkan prinsip bahwa suatu penyakit dapat dikenali dengan
memperhatikan ciri gejala klinis pada tubuh pasien yang ditimbulkan penyakit tersebut.
Keadaan penyakit yang diderita dapat juga di ukur dengan memperhatikan gejala klinis.
Semua gejala yang teramati kemudian dibandingkan dengan pengetahuan menenai penyakit
dan ciri-cirinya yang dimiliki ahli tersebut, bila terdapat kecocokan maka ahli tersebut dapat
menentukan jenis penyakitnya.3
I. Differential Diagnosis
5
Differential diagnosis atau diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang
dilakukan dengan membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda
klinis penyakit lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami
pasien, pasien bias dicurigai menderita beberapa penyakit seperti:
a. Diabetes Melitus Tipe-1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependent
insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes
tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua
subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan
(b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya.4 Penderita
diabetes mellitus tipe I (diabetes yang tergantung kepada insulin) menghasilkan sedikit
insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. Sebagian besar diabetes mellitus
tipe I terjadi sebelum usia 30 tahun. Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan
(mungkin berupa infeksi virus atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa
awal) menyebabkan sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di
pankreas. Untuk terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik. Pada diabetes
tipe I, 90% sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen. Terjadi
kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan insulin
secara teratur. Biasanya orang yang mengalami DM tipe ini di haruskan menggunakan
insulin ( Injeksi pastinya) sebagai pengobatannya, penggunaan insulin ini, agar jumlah
gula yang menumpuk tadi, jadi berkurang akibat penambahan insulin ini.
b. Diabetes Awitan Dewasa Muda (MODY)
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) adalah kelainan genetik dan klinik
yang heterogen dan merupakan salah satu tipe dari DM yang ditandai dengan onset
yang cepat, kelainan genetik autosomal dominan dan defek utama pada sekresi insulin
- Genetic defects of beta cell function. Mutasi pada pada enam gen merupakan
penyebab MODY terbanyak. Kelainan gen tersebut adalah :
1. Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4 (MODY 1)
2. Glucokinase (MODY 2)
3. HNF-1 (MODY 3)
4. Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
5. HNF-1 (MODY 5)
6. NeuroD1 (MODY 6)
6
MODY seperti DM tipe 2 yang disebabkan oleh kelainan gen autosomal dominan dan
terjadi pada usia muda dengan riwayat DM dalam keluarga. MODY merupakan
kelainan genetik diwariskan melalui keturunan. MODY sering dibandingkan dengan
DM tipe 2 dan memiliki beberapa kesamaan gejala. Tetapi bagaimanapun, MODY
tidak ada hubungannya dengan obesitas, penderitanya biasanya muda dan tidak ada
kaitannya dengan kelebihan berat badan. Onset terjadi sebelum usia 25 tahun. Dapat
terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam keluarga. MODY tidak selalu
membutuhkan pengobatan insulin.
Manifestasi klinis yang digunakan untuk menegakkan diagnosis MODY :
Hiperglikemik ringan sampai sedang (tpically 130–250 mg/ dl, atau 7–14
mmol/ l) dan ditemukan sebelum usia 30 tahun. Tetapi bagaimanapun, MODY
masih dapat berkembang sampai dibawah usia 50 tahun.
Gejala awal sama seperti gejala DM pada umumnya.
Tidak ada autoantibodi atau kelainan autoimun lainnya.
Kadar insulin yang Persita rendah.
Tidak ada obesitas atau kelainan lainnya yang berhubungan dengan DM tipe
2.
Resistensi insulin jarang terjadi.
Adanya kista pada ginjal pasien juga sering ditemukan.
Non-transient neonatal DM.
c. Diabetes Autoimun Laten pada Dewasa (LADA)
Latent Autoimmune Diabetes of Adults (LADA) adalah sebuah konsep yang
diperkenalkan pada tahun 1993 untuk menggambarkan slow-onset autoimun DM tipe
1 pada dewasa. Biasanya individu dewasa yang menderita LADA sering salah
didiagnosa menderita DM tipe 2 karena mungkin pengaruh dari umur tetapi bukan
etiologi. Pasien dengan LADA memiliki gejala lebih sedikit dibanding DM tipe 2. Ciri
khas lainnya adalah pada pasien LADA ada kesulitan untuk mengontrol kadar glukosa
darah menggunakan obat standar hipoglikemi oral.
Pasien LADA memiliki marker autoimmun dalam darahnya seperti marker
pada DM tipe 1 tetapi bisanya pada awal diagnosis, pasien LADA tidak membutuhkan
terapi insulin – bukan insulin dependen. Tetapi ketika kelainan metaboliknya terus
berlanjut, maka pasien dengan LADA akan membutuh terapi insulin (insulin
7
dependen) seperti pada DM tipe 1. Gejala ketoasidosis juga mulai timbul pada
keadaan lanjut pasien dengan LADA yang tidak terkontrol.
Berdasarkan The UK Prospective Diabetes Study menemukan bahwa antibodi
spesifik LADA dapat ditemukan pada 6% - 10% pasien yang didiagnosis menderita
DM tipe 2. Diagnosis LADA ditegakkan ketika ditemukan peningkatan kadar marker
autoantibodi dalam darah pasien seperti pada DM tipe 1.
Karakteristik LADA yang mungkin dapat digunakan pada diferensial diagnosis :
Onset biasanya umur 25 tahun atau lebih tua.
Bergejala awal seperti DM tipe 2 pada orang yang bukan obese. (pasien LADA
biasanya memiliki berat badan yang ideal.
Sering tetapi tidak selalu, pasien LADA jarang memiliki riwayat DM tipe 2
dalam keluarganya.
Individu dengan LADA kelihatannya seperti resisten insulin.
HLA gen berhubungan dengan DM tipe 1 bukan DM tipe 2.
Biasanya sekitar 12 tahun setelah salah didiagnosa sebagai DM tipe 2, pasien
LADA akan dependen insulin.
II. Working Diagnosis
Working Diagnosis atau diagnosis kerja merupakan suatu kesimpulan berupa
hipotesis tentang kemungkinan penyakit yang ada pada pasien. Berdasarkan gejala-
gejala yang timbul dan hasil dari pemeriksaan fisik serta penunjang, dapat ditarik
kesimpulan kalau pasien tersebut menderita diabetes melitus tipe 2.
Diabetes melitus (DM) mengacu pada sekelompok kelainan metabolik dengan
gejala hiperglikemia. Terdapat beberapa jenis DM dan disebabkan oleh interaksi
antara faktor genetic dan lingkungan. Berdasarkan etiologi yang menyebabkan DM,
faktor yang ikut berperan dalam terjadinya hiperglikemia adalah berkurangnya
sekresi insulin, pengurangan kemampuan menggunakan glukosa, dan peningkatan
produksi glukosa. Kelainan metabolik yang menyertai DM dapat menyebabkan
perubahan patofisiologik sekunder pada berbagai sistem organ. Di US, DM adalah
penyebab utama terjadinya End-Stage Renal Disease (ESRD), amputasi ekstremitas
bawah non-trauma, kebutaan pada orang dewasa. DM juga merupakan faktor
predisposisi terjadinya kelainan kardiovaskular.5,6
8
Etiologi
Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih
sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan
sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.7 Agaknya, diabetes melitus
tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (yaitu, asupan kalori berlebihan, pengeluaran
tidak memadai obesitas, kalori) yang ditumpangkan di atas genotipe rentan. Indeks massa
tubuh di mana berat badan berlebih meningkatkan risiko untuk diabetes bervariasi dengan
kelompok-kelompok ras yang berbeda. Sekitar 90% pasien yang mengidap diabetes mellitus
tipe 2 adalah obesitas.
Faktor risiko utama untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:
Umur lebih dari 45 tahun (meskipun, seperti disebutkan di atas, diabetes mellitus tipe
2 terjadi dengan frekuensi yang meningkat pada orang muda)
Bobot yang lebih besar dari 120% dari berat badan yang diinginkan
Riwayat keluarga diabetes tipe 2 pada seorang saudara tingkat pertama (misalnya,
orang tua atau saudara)
Sejarah toleransi glukosa terganggu sebelumnya (IGT) atau glukosa puasa terganggu
(IFG)
Hipertensi (> 140/90 mm Hg) atau dislipidemia (high-density lipoprotein [HDL]
tingkat kolesterol <40 mg / dL atau tingkat trigliserid> 150 mg / dL)
Sejarah diabetes mellitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat lahir ≥ 4000
gram
Sindrom ovarium polikistik (yang mengakibatkan resistensi insulin)
Epidemiologi
Prevalensi DM di dunia meningkat secara dramatis dalam dua dekade terakhir,
diperkirakan dari 30 juta kejadian pada tahun 1985 menjadi 285 juta kasus pada tahun 2010.
Berdasarkan pada trendnya, International Diabetes Federation memperkirakan bahwa pada
tahun 2030 akan ada 438 juta individu yang terkena diabetes. DM tipe 2 prevalensinya
meningkat lebih cepat daripada tipe 1. Mungkin disebabkan oleh peningkatan obesitas,
pengurangan aktivitas fisik dan usia harapan hidup yang meningkat.
9
gambar 1. Prevalensi DM di Indonesia
Patofisiologi
Insulin resistensi dan kelainan sekresi insulin berperan utama pada perkembangan DM
tipe 2. Meskipun efek utama masih menjadi kontroversi, kebanyakan studi mendukung
pandangan bahwa resistensi insulin mendahului defek insulin sekresi tetapi diabetes mulai
terjadi hanya ketika sekresi insulin menjadi inadekuat. DM tipe 2 dicirikan dengan kelainan
insulin sekresi, resistensi insulin, produksi glukosa oleh hati yang berlebihan dan kelainan
metabolisme lemak.
Kegemukan, terutama visceral atau sentral sangat sering menderita DM tipe 2. Pada
kelainan tahap awal, toleransi glukosa cukup normal, meskipun terjadi resistensi karena cell
beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan pengeluaran insulin. Ketika insulin
resistensi dan kompensasi hiperinsulinemia terus terjadi, sel beta pankreas pada beberapa
individu tidak dapat menopang keadaan hiperinsulinemia. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya IGT, ditandai dengan meningkatnya glukosa post prandial. Pada keadaan yang
lebih lanjut, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa oleh hati
menyebabkan diabetes yang jelas dengan hiperglukosa pada saat keadaan puasa. Yang paling
terakhir adalah terjadi kerusakan cell beta.
10
Gambar 2. Patofisiologi DM tipe 2
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis diabetes klasik adalah rasa haus yang berlebihan yang
mengakibatkan banyak minum (polidipsi), sering kencing (poliuria) terutama pada malam hari
(nokturia) yang dapat mengganggu kehidupan, banyak makan (poliphagi) tapi berat badan
menurun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada
jari tangan dan kaki (neuropati), cepat lapar, penglihatan jadi kabur, gairan seks menurun,
infeksi dan luka yang sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg.
Komplikasi
Komplikasi akut sebagai penyulit pada diabetes melitus adalah :
1. Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi
akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat.
Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat
sampai menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam
11
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering),
kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak
terlalu mudah tercium. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab
penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi
merupakan faktor pencetus yang paling sering.5
2. Hiperosmolar Hiperglikemik non ketotik
Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya
ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali
disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis
HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai
beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri,
polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus.
HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit
penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan.5
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2)
merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah
normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik
dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul
akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan
dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis
tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling
utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes
adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan.5
Penatalaksanaan
Pengobatan dibagi atas atas medica mentosa (menggunakan obat–obat yang di minum)
dan juga non-medica mentosa (tidak mengonsumsi obat).
A. Macam-macam Obat Hipoglikemik Oral:
1) Golongan Insulin Sensitizing2
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin.
Glitazone
12
Golongan Thiazolidinediones atau glitazone adalah golongan obat yang juga
mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
2) Penghambar Alfa Glukosidase2
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam
saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak
menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
3) Golongan Sekretagok Insulin2
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pancreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.
Sulfonilurea
Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk
meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Glinid
Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh
yang singkat karena lama menempel pada kompleks sulfonylurea sehingga dapat
menurunkan ekuivalen A1C pada SU. Sedang nateglinid mempunyai masa tinggal
lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya
merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek
hipoglikemik yang minimal.
B. Insulin
Insulin diberikan melalui subkutan dan digunakan pada semua pasien dengan diabetes
tipe 1 dan sebagian pasien dengan diabetes tipe 2. Obat hipoglikemik oral (misalnya
metformin) terkadang diberikan bersama terapi insulin untuk penderita diabetes tipe 2
untuk memperbaiki sensitivitas terhadap insulin.
Non-medica mentosa
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari: terapi non
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan
yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai
masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus. kedua
terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan injeksi insulin.
13
- Terapi Gizi
Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan
kebutuhan individual.15
Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:
1. menurunkan berat badan
2. menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik
3. menurunkan kadar glukosa darah
4. memperbaiki profil lipid
5. meningkatkan sensitivitas reseptor insulin
6. memperbaiki system koaguasi darah
Gambar 3. Rekomendasi nutrisi untuk pasien diabetes dewasa.
Prognosis
Sepanjang dapat dikontrol dengan baik, prognosis DM dapat memuaskan. Selain itu
juga ketaatan pasien sangat menentukan juga prognosis kelainan ini. Kadar glukosa darah
harus dijaga agar selalu optimal; tidak berlebihan ataupun kekurangan. Pencegahan atau
penanganan komplikasi yang cepat juga dapat menurunkan angka mortalitas dari penyakit ini.
Kesimpulan
Diabetes melitus terutama yang tipe 2 merupakan kelainan metabolik gabungan dari
penurunan sekresi insulin, peningkatan resistensi insulin dan pembentukan glukosa
berlebihan. Manifestasi utamanya adalah kadar glukosa darah yang sangat tinggi. Diagnosis 14
DM 2 ditegakkan berdasarkan klasifikasi ADA dengan melihat kadar GDS ataupun GDP dan
juga gejala klasik DM. Maka berdasarkan keluhan utama, pemeriksaan fisik dan penunjang
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita DM tipe 2.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jong WD. Kanker, apakah itu? Jakarta: Arcan; 2005.h.104.
2. Karam JH, Forsham PH. Hormon-hormon pankreas dan diabetes melitus. Dalam:
Greenspan FS, Baxter JD, editor. Endokrinologi dasar dan klinis. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC; 2008.h.754-72.
3. Nelson WE, Behrman ER, Kliegman R, Arvin MA. Nelson ilmu kesehatan anak.
Volume 2. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2012.h.1658-63, 1455-8.
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2006.h.1261-70.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam; 2009.h.1880-82, 1900-13.
6. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th ed.
USA: McGraw-Hill; 2008.p.2293.
7. Achmad T, Sutisna H, Kurniawan A.N. Diabetes melitus. Buku saku dasar patologi
penyakit. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2004.h.557- 8.
15