Download - Makalah MNC
Makalah Mata Kuliah Multinational Corporations
Analisis Implementasi CSR Transnational Corporations
Kelapa Sawit di Indonesia
Kelompok MNC IV & X
Disusun Oleh:
Binar S. Suryandari (...)
Denia Ghaisani Awanis (1106016941)
M. Adhiatma Akosah (...)
Sartika (1106012691)
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2013
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah sengketa atau konflik perkebunan kelapa sawit sudah menjadi hal yang
tidak mencengangkan di Indonesia. Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia
yang banyak mengalami kasus persengketaan perkebunan kelapa sawit. Konflik terjadi
antara investor pengembangan perkebunan sawit dan masyarakat setempat. Pada tahun
2008, terdapat 280 kasus sengketa yang terjadi di Kalimantan.1
Kelapa sawit merupakan komoditi perdagangan yang dapat menjadi sumber
ekonomi bagi warga, namun ekspansi perkebunan sawit secara masif dapat memberikan
dampak yang signifikan. Ekspansi perkebunan monokultur ini dapat menghilangkan
habitat satwa langka, mencemari sumber air, dan menghilangkan daerah resapan air.2
Hal serupa juga terjadi di Jambi. Provinsi Jambi mempunyai tanah sekitar 2.1 juta
hektar yang sebagian diataranya, sekitar 1.1 juta hektar merupakan kawasan taman
nasional.3 Selebihnya merupakan kawasan hutan ekosistem dan hutan produksi. Namun
kawasan-kawasan ini terganggu atas perluasan perkebunan kelapa sawit. Menurut
kementrian pertanian dari seribu perusahaan kelapa sawit di Indonesia, 59% diataranya
terlibat konflik.4 Hal yang diperdebatkan dalam konflik juga meliputi masyarakat yang
tidak dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan maupun kepemilikan lahan kelapa sawit.
Selain dampak sosial yang ditimbulkan dari perluasan atau pengambilan lahan
untuk perkebunan kelapa sawit, juga terdapat dampak lingkungan atas praktik tersebut.
Lahan-lahan yang dibersihkan (land clearing) demi perkebunan yang bersifat monokultur
telah membunuh tanaman dan keanekaragaman hayati lainnya. Hal ini dapat memutus
rantai makanan dan keseimbangan ekosistem di hutan tersebut. Ditambah lagi, proses
1 “Ada Ratusan Konflik Sawit di Kalimantan Barat” dalam Tempo, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/11/21/058531439/Ada-Ratusan-Konflik-Sawit-di-Kalimantan-Barat, diakses pada 03/12/13, pukul 15:51 WIB2 Ibid3 “Aktivis: Stop Pembukaan Lahan Sawit di Indonesia” dalam Tempo, SELASA, 09 APRIL 2013, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2013/04/09/058472303/Aktivis-Stop-Pembukaan-Lahan-Sawit-di-Indonesia, diakses pada 14/12/13 pukul 13:30 WIB4 Ibid
2
land clearing yang dilakukan dengan cara membakar tanaman-tanaman tersebut agar
lahan dapat diibersihkan dengan waktu yang cepat. Hal ini juga menimbulkan masalah
asap polusi yang mengotori alam sekitar.
Penggunaan lahan yang terus menerus dapat mengurangi kualitas dari tanah
tersebut karena adanya penggunaan pupuk dan pestisida lainnya.5 Lama-kelamaan
kesuburan tanah akan berkurang karena banyaknya zat-zat kimia yang dipergunakan
untuk penanaman kelapa sawit. Penanaman kelapa sawit yang terus menerus juga dapat
mengurangi cadangan air tanah karena kelapa sawit merupakan tanaman yang
membutuhkan banyak air. Hal ini tentu sangat membahayakan kelestarian alam dan
konservasi air dalam jangka panjang jika perluasan perkebunan sawit terus diizinkan.
Melihat fenomena yang terjadi, tulisan ini mempertanyakan Corporate Social
Responsibility yang seharusnya diterapkan oleh berbagai perusahaan kelapa sawit di
Indonesia. Makalah ini ingin mengkaji lebih lanjut sejauh apa CSR yang telah diterapkan
oleh perusahaan multinasional kelapa sawit kepada masyarakat. Apakah yang terjadi
adalah pelanggaran CSR saja tanpa ada dampak positifnya bagi masyarakat sekitar? Hal
ini akan ditelaah lebih lanjut dalam tulisan ini.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Sejauh mana pengimplementasian Corporate Social Responsibility yang
diterapkan perusahaan Transnasional kelapa sawit di Indonesia?
1.3. Kerangka Konsep
ndoensiaMaimunah Ismail, Corporate Social Responsibility and it’s role in Community Developement: An International Perspective, dalam Journal of International Social Research, Vol.2, No.9, (Ordu: Journal of International Social Research, 2009) 199-209
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah konsep dimana perusahaan melihat kepentingan dari masyarakat sehingga mengambil tanggung jawab dari aktivitasnya. Perusahaan harus melakukan kegiatan CSR karena diwajibkan oleh hukum dan turut meningkatkan kesejahteraan karyawannya serta masyarakat sekitar, dan juga
5 Raymond Simanjorang, MASALAH KELAPA SAWIT INDONESIA: LINGKUNGAN, KETAHANAN PANGAN DAN KONFLIK AGRARIA, diakses dari http://inawf.org/v2013/192/, diakses pada 05/12/13 pukul 16:50 WIB
3
meningkatkan kualitas lingkungan yang mereka tempati. CSR berupa strategi yang ditempuh oleh perusahaan untuk membuat kegiatan yang mereka lakukan bermanfaat bagi masyarakat. Contoh dari CSR adalah kegiatan community developement, bakti sosial, atau pelestarian lingkungan.
Terdapat tiga teori CSR, yaitu teori ultilitarian, manajerial, dan relasional. Teori ultilitarian berkembang dari prinsip ekonomi yaitu mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin. Teori ultilitarian melihat bahwa perusahaan akan melakukan CSR apabila kegiatan tersebut akan menambah keuntungan bagi perusahaan. Teori ultilitarian elihat CSR sebagai inverstasi dan menyarankan perusahaan untuk melakukannya karena selain dapat meningkatkan keuntungan, CSR dapat meningkatkan nama baik perusahaan.
Teori manajerial melihat CSR dari perspektif internal perusahaan. Terdapat tiga tipe teori manajerial, yaitu Corporate Social Performance (CSP), Social Accountability, Auditing, and Reporting (SAAR), dan Social Responsibility for Multinationals. CSP bertujuan untuk mengukur aspek sosial dengan kepentingan ekonomi dari perusahaan. Terdapat lima tahap dari CSP. Pertama, melihat apakah kegiatan CSR sesuai dengan tujuan perusahaan. Kedua, melihat apakah kegiatan CSR membawa keuntungan bagi perushaan. Ketiga, mengukur apakah tindakan perusahaan sudah sesuai dengan keinginan masyarakat. Keempat, melihat apakah perusahaan mempunyai sumber daya untuk melakukan CSR. Kelima, melihat apakah tindakan dan CSR perusahaan sesuai di mata stakeholder.
SAAR dibutuhkan untuk meningkatkan performa sosial perusahaan. SAAR mengukur dan meningkatkan performa perusahaan melalui kegiatan laporan dan audit. Social Responsibility for Multinationals berkembang setelah munculnya banyak perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi ke negara lain seringkali menghadapi perlawanan dari masyarakat setempat, dan CSR adalah cara untuk membuktikan bahwa perusahaan multinasional bukan sebuah entitas yang merugikan bagi masyarakat setempat.
Teori relasional melihat hubugnan antara perusahaan dan lingkungan di sekitarnya. Terdapat empat tipe teori relasional, yaitu bisnis dan masyarakat, pendekatan stakeholder, corporate citizenship, dan kontrak sosial. Pertama, teori bisnis dan masyarakat menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara bisnis dan masyarakat. Semakin sukses sebuah pebisnis atau perusahaan, maka semakin besar kekuatannya untuk mengubah lingkungannya, dan seharusnya kekuatan tersebut digunakan untuk mengubah lingkungan dan masyarakat sekitar menjadi lebih baik. Kedua, pendekatan stakeholder menjelaskan bahwa stakeholder perusahaan harus melihat kondisi dari masyarakat sekitar. Stakeholder harus memenuhi kebutuhan masyarakat, atau melakukan hal yang
4
tepat agar masyarakat di sekitarnya dapat menjadi lebih baik. Ketiga, corporate citizenship menyatakan bahwa sebuah perusahaan mempunyai tanggung jawab kepada stakeholder. Hal ini menyebabkan stakeholder sebuah perusahaan harus melakukan hal yang terbaik bagi perusahaanya dan lingkungan sekitar karena stakeholder adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas tindakan perusahaanya. Keempat, kontrak sosial menyatakan bahwa sebuah perusahaan memiliki kontrak sosial seperti layaknya warga negara. Perusahaan memiliki tanggung jawab moral kepada karyawan, masyarakat, dan lingkungan sekitar, maka dari itu CSR harus dilakukan.
Salah satu bentuk CSR yang paling efektif adalah Community Developement (CD). CD adalah tindakan yang diambil oleh masyarakat untuk meningkatkan kemampuannya melalui pelatihan-pelatihan dan program-program yang seringkali dilaksanakan dengan bantuan organisasi eksternal. CD seringkali dilakukan di kawasan yang terbelakang sebagai usaha untuk meningkatkan taraf hidup orang-orang didalamnya.
Terdapat sepuluh peran CSR bagi CD. Pertama, CSR akan mengurangi dampak negatif dari industrialisasi. Kedua, CSR akan mendekatkan perusahaan dengan lingkungan sekitarnya. Ketiga, CSR dapat meningkatkan daya tarik bagi bakat-bakat potensial yang ingin masuk ke perusahaan tersebut. Keempat, CSR dapat menjadi kesempatan bagi perusahaan untuk memberikan teknologi mereka bagi masyarakat sekitar. Kelima, CSR dapat melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan sekitar perusahaan tersebut. Keenam, CSR dapat membantu masyarakat sekitar menegakkan nilai-nilai HAM. Hal ini dilakukan dalam bentuk kerjasama dan advokasi yang dibantu oleh perusahaan. Ketujuh, CSR dapat meningkatkan interdependensi antara perusahaan dan masyarakat. Kedelapan, CSR dapat mengurangi kemiskinan masyarakat sekitar. Kesembilan, CSR dapat membantu meringankan pekerjaan pegawai pemerintah, seperti dinas lingkungan atau kepolisian. Kesepuluh, CSR dapat meningkatkan ketahanan perusahaan dengan menjalankan kebijakan ramah lingkungan.
5
BAB II
ANALISA
2.1 Transnational Corporations (TNCs) dan Permasalahan Lingkungan Global
Transnational Corporations (TNC) bukanlah suatu fenomena yang baru di dalam
hiruk pikuknya dinamika dunia internasional. Melanjutkan aktivitas ekonomi antar
negara yang dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia ke-2, TNC menyebar hingga ke
tingkat yang tidak diragukan lagi pengaruhnya.6 Berkembangnya TNC inipun tidak luput
dari perhatian para akademisi. Sejak tahun 1960, akademisi menjadikan isu cross border
corporation tersebut suatu isu dalam perdebatan yang hangat terkait efek kemunculan dan
perkembangannya yang sangat pesat, terutama setelah berkembang teknologi dan
informasi dalam era globalisasi.7
Globalisasi ekonomi yang pesat telah menyebabkan semakin bayaknya jumlah
transnational corporation (TNCs) yang muncul. Jumlah TNC meningkat dari jumlah
7000 perusahaan induk TNC pada tahun 1970, sampai lebih dari 65.000 di tahun 2002.
Menjamurnya jumlah TNCs didukung oleh peningkatan kuantitas investasi transnasional
melalui Foreign Direct Investment (FDI) ke negara-negara tertentu.8 TNC tidak hanya
dipandang sebagai korporasi bisnis yang memanfaatkan kesempatan di sela-sela
pertarungan antar negara dalam era globalisasi ini, namun TNC juga menjadi satu
ketakutan yang nyata yang bisa menjadi ancaman bagi (sistem) negara.9
Berkembangnya TNC dan kuatnya sumber daya yang dimilikinya juga menyeret
satu permasalahan baru, yang tidak melulu berkenaan dengan politik dan uang. Yang
muncul kali ini adalah permasalahan lingkungan. Permasalahan lingkungan tidak dapat
6 Ira Hobson, Jr., The Unseen World of Transnational Corporations’ Powers, hlm. 1, diunduh dari http://www.neumann.edu/academics/divisions/business/journal/Review_SP06/pdf/transnational_corporations.pdf, pada 5 Desember 2013 pukul 22.03 WIB.7 Gralf-Peter Calliess, Introduction: Transnational Corporation Revisited, diakses dari http://muse.jhu.edu/login?auth=0&type=summary&url=/journals/indiana_journal_of_global_legal_studies/v018/18.2.calliess01.pdf pada 5 Desember 2013 pukul 5.43 WIB.8 Jennifer Clapp, “Global Environmental Governance for Corporate Responsibility and Accountability” dalam Global Environmental Politics, Vol. 5, No. 3, (The Massachusetts Institute of Technology: Agustus 2005), hlm. 239 Gralf-Peter Calliess, Op. Cit.
6
dipisahkan dari keberadaan korporasi-korporasi yang kian bertambah jumlahnya dari
tahun ke tahun. Operasinya yang menembus batas negara juga menjadikan dampak yang
dibawa oleh sebuah TNC juga ikut berkembang dan menyebar di ujung batas negara lain,
terutama di negara-negara berkembang. TNC dengan kekuatannya yang sangat besar
tersebut dinilai mampu mempengaruhi negara-negara dan bahkan institusi internasional
untuk terus melanggengkan tujuan dari TNC, bukan melihat dampak-dampak yang secara
nyata dibawanya.10
Negara berkembang menjadi satu pihak yang harus bekerja lebih keras dalam hal
ini. Hal ini terkait dengan fakta bahwa kebanyakan TNC beroperasi di negara-negara
berkembang. Kecenderungan ini terjadi karena di negara berkembang, regulasi-regulasi
yang mengatur tentang permasalahan ingkungan cenderung lebih lunak, dan negara-
negara tersebut cenderung lebih toleran terhadap polusi yang disebabkan oleh
perusahaan-perusahaan tersebut. Selain toleransi yang begitu tinggi di negara-negara
berkembang, TNC juga kerap memindahkan operasinya dari negara maju ke negara
berkembang karena di negara berkembang, TNC-TNC ini bisa dengan mudah melakukan
hal-hal yang sudah dilarang di negara-negara maju. Misal yang terjadi pada tahun 1985 di
mana Westinghouse Electric Corporation dari Amerika Serikat dengan mudah saja
menjual reaktor nuklir ke Filipina, padahal reaktor tersebut tidak memenuhi standar
keselamatan Amerika Serikat sendiri.11 Ini menunjukkan kecenderungan bahwa di
negara-negara berkembang regulasi untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
permasalahan lingkungan masih sangat lemah, dibuktikan dengan ‘penerimaan’ alat-alat
produksi yang mempunyai potensi bahaya dan barang-barang out-of-date yang berpolusi
tinggi. Hal ini belum lagi ditambah kemampuan finansial negara berkembang yang
mengalami dilema karena sangat tergantung pada penyerapan tenaga kerja dan
keuntungan-keuntungan lain yang diberikan oleh TNC, sehingga apabila TNC tersebut
berbahayapun, negara tidak mampu mengambil langkah tegas karena ketergantungan
yang terjadi.
Marian Miller dalam tulisannya bahkan mengungkapkan bahwa TNC
menggunakan power dan kemampuannya untuk mempengaruhi kebijakan dan keluaran
10 Ibid., hlm. 24.11 Loc. Cit.
7
lingkungan pada negara-negara dunia ketiga. TNC cenderung untuk mengeksploitasi
sumber daya yang dimiliki oleh negara-negara dunia ketiga tersebut, tetapi TNC ini
mengklaim bahwa mereka telah bertanggung jawab secara sosial dan terhadap
lingkungan. TNC ini juga mengklaim bahwa mereka telah mempromosikan
pembangunan yang berkelanjutan di negara-negara selatan.12
Banyak kerusakan-kerusakan lingkungan yang terjadi karena beroperasinya TNC-
TNC baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya defradasi mutu tanah,
deforestasi, polusi atmosfer, air lingkungan yang terkontaminasi, dan lain-lain.
Permasalahan-permasalahan lingkungan tersebut berpengaruh pada kesehatan, yang di
antaranya adalah gangguan sistem pernafasan dan masalah paru-paru, permasalahan kulit,
alergi, tumor, kanker dan penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kematian.
Permasalahan lingkungan juga tidak mudah dibenahi dalam waktu singkat (dan banyak
yang sama sekali tidak bisa dikembalikan ke dalam kondisi semula), dan ini, memberikan
satu ancaman yang serius bagi generasi yang akan datang.13
2.2 Analisis Dampak Negatif Industri Kelapa Sawit dan Contoh TNC
Industri kelapa sawit adalah salah satu sektor yang memberikan kontribusi
terbesar bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2008 industri kelapa sawit di
Indonesia telah memproduksi lebih dari 18 juta ton minyak. Industri kelapa sawit juga
dapat membawa dampak baik bagi kesejahteraan rakyat Indonesia, karena industri ini
selalu berpusat di daerah pedesaan. Lapangan kerja baru dapat tercipta sehingga
penduduk mendapatkan sumber penghasilan baru. Dalam beberapa tahun terakhir,
beberapa organisasi telah menggugat bahwa industri kelapa sawit mempunyai dampak
yang buruk bagi lingkungan, seperti berkurangnya wilayah hutan, berkurangnya habitat
bagi fauna liar, dan meningkatnya emisi karbon. Untuk mengurangi dampak tersebut
pemerintah Indonesia ke depannya harus membuat kebijakan pengurangan lahan
penanaman kelapa sawit. Ekonomi Indonesia telah mengalami perubahan yang cukup
signifikan selama empat dekade. Dahulu, ekonomi Indonesia sangat bergantung pada
12 Marian Miller, The third World in Global Environmental Politics, (Boulder, CO: Lynne Reinner, 595), hlm. 3713 Loc. Cit.
8
sektor agrikultur, dan saat ini lebih berfokus kepada sektor industri dan jasa. Pada tahun
2010 sektor agrikultur menyumbang 14% kepada Gross Domestic Product (GDP)
Indonesia, dan kelapa sawit adalah komoditas agrikultur terbesar kedua yang diproduksi
oleh Indonesia.
Terdapat beberapa tantangan untuk industri kelapa sawit di Indonesia, yaitu masalah
lingkungan, ketersediaan lahan, dan produktivitas.
Pertama, masalah lingkungan. Terdapat beberapa kelompok dan organisasi yang
menyatakan bahwa industri kelapa sawit telah meningkatkan emisi karbon karena lahan
yang digunakan untuk menanam kelapa sawit adalah kawasan hutan. Industri kelapa
sawit juga menyebabkan hilangnya habitat fauna liar seperti Orang Utan. Meningkatnya
emisi karbon Indonesia tidak serta-merta terjadi karena penanaman kelapa sawit, tetapi
juga karena tingginya tingkat polusi dari industri-industri lainnya, dan dari kendaraan
pribadi. Penanaman kelapa sawit juga tidak terlalu berpengaruh terhadap hilangnya
habitat fauna liar, karena lahan yang digunakan untuk penanaman kelapa sawit tidak
merusak kawasan hutan dalam jumlah banyak.
Kedua, yaitu masalah ketersediaan lahan. Karena Indonesia memiliki wilayah
perkotaan dan hutan yang tinggi, hal tersebut menjadi masalah bagi industri kelapa sawit
karena lahan yang dapat digunakan untuk menanam jumlahnya sangat terbatas. Menurut
WWF pada 2012, hilangnya wilayah hutan atau deforestasi akibat perkebunan kelapa
sawit juga telah menghilangkan 90% dari biodiversitas hutan hujan Indonesia.
Deforestasi telah menghilangkan habitat spesies endemik yang ada di dalamnya, seperti
harimau Sumatera dan orang utan. Tidak hanya itu, penduduk asli yang hidup di hutan
(indigenous people) juga ikut tersingkir karena pembukaan lahan tersebut. Padahal hidup
penduduk asli tersebut sangat tergantung pada alam. Mereka biasanya hidup secara
nomaden sebagai masyarakat pemburu dan pengumpul. Ekspansi perkebunan kelapa
sawit telah menghilangkan ‘tanah’ tradisional mereka.14
Dampak negatif dari industri kelapa sawit di Indonesia sudah terlihat dalam
beberapa tahun terakhir. Penanaman kelapa sawit adalah penyebab utama dari
14 Environmental Geographies, Palm Oil; The Invisible Truth (diakses 5 Desember 2013 pukul 15.38); dari http://environmentalgeographies.wordpress.com/2012/05/03/palm-oil-the-invisible-truth/.
9
penebangan hutan di Indonesia. Penebangan hutan juga menyebabkan rusaknya habitat
dari fauna-fauna endemik Indonesia, seperti Orang Utan dan Harimau Sumatra, dan
meningkatkan emisi karbon Indonesia. Saat ini, Indonesia merupakan negara dengan
emisi karbon terbesar ketiga di dunia. Selain itu warga lokal yang menetap di wilayah
Sumatra dan Kalimantan harus kehilangan lahannya karena dibeli oleh perusahaan kelapa
sawit. Lahan adalah materi yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia, dan industri
kelapa sawit memunculkan konflik lahan karena pemerintah tidak dapat menyatakan
kepemilikan lahan dengan jelas. Sebagian besar warga adat yang tinggal di pedesaan
harus kehilangan lahannya karena mereka tidak memiliki surat-surat yang sah untuk
membuktikan bahwa mereka memiliki lahan yang mereka tempati. Kelemahan ini
seringkali dimanfaatkan oleh pengusaha kelapa sawit yang memiliki koneksi dengan
pejabat setempat untuk membuat surat kepemilikan tanah adat sehingga mereka dapat
menggunakan lahan tersebut untuk kepentingan industri. Idealnya, pengusaha,
pemerintah daerah, dan masyarakat adat bernegosiasi untuk menyerahkan kepemilikan
tanah, tetapi pada praktiknya hal ini hampir tidak pernah dilakukan karena penegakkan
hukum di Indonesia sangat lemah. Masyarakat adat pun seringkali tidak diberikan
kompensasi apapun oleh pengusaha. Resistensi dari masyarakat adat seringkali
menghasilkan tindakan kekerasan, dan masyarakat setempat pada akhirnya tidak
mendapatkan hasil apa-apa karena pemerintah daerah dan institusi penegak hukum akan
berpihak kepada pengusaha yang membayarnya.15
Industri kelapa sawit juga tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
setempat karena gaji yang diberikan kepada buruh ladang teralu kecil. Industri kelapa
sawit yang sangat besar juga telah menutup kemungkinan masyarakat setempat mencari
sumber pencaharian lain, sehingga dapat dikatakan bahwa munculnya industri kelapa
sawit telah menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan di Sumatra dan
Kalimantan. Industri kelapa sawit juga membawa dampak buruk bagi lingkungan.
Penanaman kelapa sawit yang menggantikan hutan tropis tidak dapat menyerap air saat
musim hujan, sehingga banjir lebih sering terjadi. Selain banjir, industri kelapa sawit juga
menyebabkan pencemaran air bersih, karena sebagian besar pabrik pengolahan kelapa
sawit membuang limbahnya di sungai dan muara sekitar pabrik. Dampak lain yang
15 Friends of The Earth, LifeMosaic, dan Sawit Watch, Losing Ground: The Human Rights Impacts of Oil Palm Plantation Expansion in Indonesia, (London: FOE, 2008) 7-10
10
disebabkan oleh industri kelapa sawit adalah hilangnya tradisi-tradisi masyarakat adat
Sumatra dan Kalimantan karena situs-situs penting bagi masyarakat adat telah digusur
dan diubah menjadi lahan kelapa sawit. Industri kelapa sawit sangat penting bagi
perekonomian Indonesia, tetapi bila industri ini akan terus dikembangkan, dampak-
dampak negatif seperti konflik antara pengusaha dan masyarakat, penebangan hutan, dan
pencemaran air harus dihentikan.16 Dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri kelapa
sawit merupakan fenomena yang disebabkan oleh praktik-praktik yang seharusnya tidak
terjai karena tidak ada pertimbangan jangka panjang.
Berkembangnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia ternyata menarik beberapa
perusahaan transnasional untuk menanamkan investasinya di Indonesia, salah satunya
adalah Wilmar International Ltd. yang merupakan perusahaan transnasional yang berasal
dari Singapura.
Wilmar International Ltd. merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
agribisnis terbesar di kawasan Asia yang berpusat di Singapura. Kegiatan bisnis utama
yang dijalankan oleh Wilmar International adalah budidaya kelapa sawit, pengolahan
serta penyulingan Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO) menjadi
minyak goring, lemak nabati khusus, oleochemichals, biodiesel dan pupuk. Wilmar
International memiliki unit-unit bisnis penanaman kelapa sawit di Asia, khususnya di
Indonesia yang menjadi tempat penanaman terbesar. Sekitar 74 persen dari luas lahan
perkebunan kelapa sawit Wilmar International berada di Indonesia yaitu dengan total luas
perkebunan kelapa sawit produktif sebesar 146.128 hektar dengan luas lahan 400.000
hektar yang tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.17 Namun,
sampai dengan 31 Desember 2011 lalu, luas tanam perkebunan yang produktif milik
Wilmar meningkat sebesar 247.081 hektar.18 Penjualan tahunan yang diterima Wilmar
adalah sebesar 5,3 milyar dollar AS di tahun 2006 dan pada tahun 2008 keuntungan yang
didapat Wilmar meningkat dua kali lipat dari tahun 2007, yaitu 580 juta dollar AS.19
16 Ibid, 11-1417 “Wilmar International Indonesia Operation”, diakses dari http://www.uksw.edu/swca/files/jf/12/lowongan/pdf/wilmar.pdf pada 5 Desember 2013 pukul 12.00 WIB18 “Wilmar Kesulitan Perluas Perkebunan di Indonesia”, Rabu 22 Februari 2012, diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2012/02/22/14222133/Wilmar.Kesulitan.Perluas.Perkebunan.di.Indonesia pada 5 Desember 2013 pukul 12.01 WIB19 “Masyarakat Mendesak Wilmar untuk Menghapus Praktik Kotor”, Desember 2008, diakses dari http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/masyarakat-mendesak-wilmar-untuk-menghapus-praktik-
11
Pesatnya pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia mendorong Wilmar
International untuk melakukan ekspansi lahan. Hal ini terbukti pada awal tahun 2011,
Wilmar melakukan realokasi enam pabriknya dari Malaysia dan Cina ke Indonesia,
tepatnya di provisnsi Riau. Nilai pabrik pengolahan minyak sawit mentah atau crude
palm oil (CPO) tersebut mencapai 900 juta dollar AS.20 Ekspansi perkebunan kelapa
sawit tersebut ternyata membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pepohonan di
hutan hujan Sumatera dan Kalimantan banyak ditebangi untuk membuka lahan baru
kelapa sawit. Dalam jangka waktu dekade 2000 hingga 2010, sebanyak 8,8 juta hektar
hutan di Indonesia dilaporkan telah musnah. Ekspansi lahan kelapa sawit bahkan telah
memasuki kawasan hutan lindung. Contohnya seperti apa yang terjadi di kawasan hutan
lindung Pulau Sebatik, dimana 70% lahannya telah lenyap dan diganti perkebunan kelapa
sawit.21
Selain itu, foto satelit menunjukkan bahwa 90% lahan hutan taman nasional di
Kalimantan telah ditebangi. Menurut United Nations Environment Program (UNEP),
diprediksi pada tahun 2022 sekitar 98% hutan hujan di Indonesia akan musnah. Hal ini
memprihatinkan mengingat hutan hujan Indonesia adalah paru-paru dunia, bersamaan
dengan hutan hujan Amazon dan hutan hujan lainnya. Artinya, bila wilayah hutan hujan
berkurang maka konsentrasi gas rumah kaca akan semakin tinggi di atmosfer dan
memperparah pemanasan global.
Menurut WWF pada 2012, hilangnya wilayah hutan atau deforestasi akibat
perkebunan kelapa sawit juga telah menghilangkan 90% dari biodiversitas hutan hujan
Indonesia. Deforestasi telah menghilangkan habitat spesies endemik yang ada di
dalamnya, seperti harimau Sumatera dan orang utan. Tidak hanya itu, penduduk asli yang
hidup di hutan (indigenous people) juga ikut tersingkir karena pembukaan lahan tersebut.
Padahal hidup penduduk asli tersebut sangat tergantung pada alam. Mereka biasanya
kotor pada 5 Desember 2013 pukul 14.24 WIB20 “Wilmar Pindahkan Pabrik ke Indonesia”, Selasa 8 Februari 2011, diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2011/02/08/11313786/Wilmar.Pindahkan.Pabrik.ke.Indonesia pada 5 Desember 2013 pukul 13.48 WIB21 Korporasi Asing Terus Lakukan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (diakses 5 desember 2013 pukul 13.41); dari http://www.mongabay.co.id/2013/03/25/korporasi-asing-terus-lakukan-ekspansi-perkebunan-kelapa-sawit-di-indonesia/.
12
hidup secara nomaden sebagai masyarakat pemburu dan pengumpul. Ekspansi
perkebunan kelapa sawit telah menghilangkan ‘tanah’ tradisional mereka.22
Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh Wilmar International di
Sumatera juga menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat adat suku Anak Dalam,
Jambi. Sekitar 80 rumah masyarakat suku Anak Dalam digusur dan dihancurkan akibat
perluasan lahan perkebunan sawit. Hal ini tentunya memperlihatkan bagaimana Wilmar
International telah melakukan pelanggaran HAM karena secara sistematis telah
melakukan perampasan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Tidak hanya itu,
mereka juga sudah merampas hak ekonomi, sosial, dan budaya suku Anak Dalam.23 Di
sisi lain, Wilmar International disinyalir juga beroperasi tanpa AMDAL (analisis
mengenai dampak lingkungan) dan tanpa ada proses konsultasi yang transparan untuk
memperoleh persetujuan masyarakat atas pengambil-alihan tanah. Pada kasus serupa di
Sambas, Kalimantan Barat, Menteri Lingkungan Hidup akhirnya melakukan tindakan
yaitu mengeluarkan instruksi di bulan April 2007 kepada Wilmar Group yang beroperasi
di Indonesia untuk menghentikan seluruh operasinya hingga AMDAL telah selesai dan
disetujui, namun instruksi tersebut tidak dihiraukan. Wilmar Group tetap menjalankan
kilang pemrosesan dan memperluas perkebunannya tanpa AMDAL. 24
Karena kasus tersebut, masyarakat di Kalimantan Barat, dengan didukung oleh
Organisasi non Pemerintah (Ornop) nasional dan internasional, akhirnya mengambil
langkah yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan yaitu menentang dampak sosial
dan lingkungan yang merusak dari perusahaan minyak sawit Wilmar International,
dengan memakai prosedur pengaduan resmi Kelompok Bank Dunia. Ornop
menggunakan laporan mereka untuk melancarkan tiga protes. Pertama, kepada kantor
Compliance, Advisory and Ombudsman (CAO) dari International Finance Corporation
(IFC); kedua, kepada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), melalui panel
22 Environmental Geographies, Palm Oil; The Invisible Truth (diakses 5 Desember pukul 15.38); dari http://environmentalgeographies.wordpress.com/2012/05/03/palm-oil-the-invisible-truth/.23 Nurul Hidayat, “Walhi: Tindakan WIlmar Group Pelanggaran HAM Serius”, Senin 5 September 2011. http://nasional.kompas.com/read/2011/09/5/13584518/Walhi.Tindakan.Wilmar.Group.Pelanggaran.HAM.Serius pada 5 Desember 2013 pukul 13.00 WIB24 “Masyarakat Mendesak Wilmar untuk Menghapus Praktik Kotor”, Desember 2008, diakses dari http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/masyarakat-mendesak-wilmar-untuk-menghapus-praktik-kotor pada 5 Desember 2013 pukul 14.24 WIB
13
pengaduan yang baru saja terbentuk; dan ketiga kepada pembeli minyak sawit dan para
penyandang dana Wilmar. Setelah melalui korespondensi yang berlarut-larut dan
beberapa pertemuan, IFC akhirnya setuju untuk menempuh proses mediasi dan
mengirimkan ombudsman mereka ke Sambas. Sebagai hasilnya, pada Februari 2008,
Wilmar mengakui kepada publik kesalahan mereka pada tiga kasus di Sambas. Untuk
mengatasi masalah itu, Wilmar mengatakan mereka sudah membentuk suatu komite,
badan penegak prinsip keberlanjutan regional dan prosedur audit dan monitoring untuk
memastikan bahwa prinsip-prinsip RSPO dan kriteria tentang 'minyak sawit lestari' akan
dapat dipatuhi. Tindakan khusus akan diambil untuk melindungi keanekaragaman hayati
dan hutan yang bernilai konservasi tinggi dan tidak akan membuka perkebunan tanpa
persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat lokal.25
Sudah jelas bahwa kombinasi dari pengakuan hak yang lemah dari negara,
kurangnya jaminan penguasaan tanah dan pemaksaan sistem administrasi yang asing
amat menyulitkan masyarakat untuk menegaskan kepentingan mereka ketika ada rencana
operasi sebuah perusahaan di atas tanah mereka. UU Pokok Agraria memberikan
berbagai opsi penguasaan lahan termasuk kepemilikan pribadi, hak guna usaha dan
berbagai ijin di atas tanah negara kepada perusahaan. UU ini juga mengakui keberadaan
hak kolektif berdasarkan adat (hak ulayat) namun memperlakukan hak-hak ini sebagai
hak guna usaha atas tanah negara yang harus tunduk pada pembangunan nasional.26
Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang seringkali dilakukan oleh Wilmar telah
mengorbankan ratusan ribu hektar hutan hujan di Indonesia yang menjadi paru-paru
dunia demi mendapatkan keuntungan ekonomi. Wilmar sebagai TNC juga telah
menggunakan power-nya di bidang ekonomi untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan
negara terkait dengan lingkungan untuk terus melanggengkan tujuannya. Kasus Wilmar
di Indonesia juga menggambarkan bagaimana negara-negara berkembang cenderung
menjadi sasaran bagi kegiatan usaha TNC dengan cara mengeksploitasi sumber daya
alam yang ada di Indonesia. Tidak hanya menghasilkan deforestasi hutan hujan
25 Ibid.26 Marcus Colchester, Patrick Anderson, dan Ahmad Zazali, “Free, Prior and Informed Consent di Indonesia 12-15 Oktober 2010” dalam The Forest Dialogue, (Connecticut: Yale University, 2010), hlm. 3
14
Indonesia, Wilmar juga telah merampas Hak Azasi masyarakat sekitar perkebunan dan
habitat spesies endemic di Indonesia.
Selain itu, kegiatan produksi Wilmar International yang tidak menggunakan
AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) dan tanpa ada proses konsultasi yang
transparan untuk memperoleh persetujuan masyarakat atas pengambil-alihan tanah
memperlihatkan bagaimana TNC gagal untuk menerapkan dan mewujudkan sustainable
development. Instruksi yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup Indonesia
kepada Wilmar Group yang beroperasi di Indonesia untuk menghentikan seluruh
operasinya hingga AMDAL telah selesai dan disetujui pun tidak dihiraukan. Wilmar
Group tetap menjalankan kilang pemrosesan dan memperluas perkebunannya tanpa
AMDAL.
2.3 Analisis Corporate Social Responsibility dalam Industri Kelapa Sawit
Kelapa sawit memang merupakan komoditas yang penting dalam produksi
makanan ataupun berbagai kegunaan lainnya. Hal tersebut menyebabkan kelapa sawit
menjadi salah satu komoditas yang paling dicari untuk pada akhirnya diolah menjadi
produk-produk tertentu oleh perusahaan-perusahaan di seluruh dunia. Kehadiran
perusahaan-perusahaan yang mengolah kelapa sawit ini seringkali menuai berbagai
polemik di masyarakat. Sebagai perusahaan yang secara operasinya dekat dengan
masyarakat, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit
tentu mempengaruhi masyarakat secara sosial dan juga lingkungan sekitar. Hal inilah
yang seringkali muncul dan menjadi sorotan di kalangan publik. Perusahaan-perusahaan
yang bergerak di bidang ini seringkali dianggap merusak lingkungan sekitar dan
mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat sekitar. Kerusakan yang marak terjadi
inilah yang pada dasarnya menjadi pembahasan utama mengenai TNC yang bergerak di
bidang kelapa sawit di berbagai media.
Perdebatan yang terjadi adalah mengenai bagaimana masyarakat menilai bahwa
alam dan lingkungannya telah dirusak oleh TNC yang mengolah kelapa sawit. Di lain
pihak, TNC berusaha melaksanakan kegiatan ekonominya untuk dapat mencapai
keuntungan, dan dalam hal ini TNC membutuhkan kelapa sawit sebagai unsur utama
15
dalam operasinya. Beberapa TNC pada dasarnya telah berusaha menunjukkan
kepeduliannya untuk tetap menjaga kelestarian alam melalui pelaksanaan Corporate
Social Responsibility masing-masing. Namun demikian, nyatanya kerusakan alam akibat
TNC yang bergerak di bidang kelapa sawit masih marak dan terjadi secara nyata di
masyarakat. Kerusakan yang terjadi pun mengancam eksistensi dari berbagai fauna yang
berhabitat di dalam hutan, seperti orang utan. Bagi penggiat lingkungan dan pecinta
hewan, hal ini tentunya merupakan masalah serius yang perlu diselesaikan. Berbagai
macam kampanye yang memprotes kinerja TNC di bidang ini pun sering dilakukan. Hal
inilah yang menggiring kita pada pertanyaan terkait CSR dari perusahaan-perusahaan
kelapa sawit yang telah merusak stabilitas sosial dan lingkungan sekitar akibat
operasinya.
Pada dasarnya untuk mengontrol permasalahan yang terjadi di dalam industri
kelapa sawit ini, telah terbentuk sebuah asosiasi non profit yang mengumpulkan seluruh
pihak yang berkaitan dengan industri kelapa sawit untuk dapat berkumpul bersama
sambil merumuskan standar global untuk sustainable palm oil. Asosiasi ini disebut
Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan dibentuk pada tahun 2004.27 RSPO telah
menetapkan standar-standar operasi yang diperlukan oleh tiap pelaku industri kelapa
sawit agar dalam pelaksanaan kegiatan industrinya, kelapa sawit yang pada akhirnya
diolah tidak meninggalkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar.
Hingga saat ini, telah terdapat delapan prinsip, dan 39 kriteria yang didesain untuk
mencegah dampak terburuk dari pengolahan kelapa sawit seperti deforestasi ilegal, polusi
kimia, kerusakan keanekaragaman hayati, kekurangan air, dan lain-lain.28 RSPO ini
memiliki hampir 1.300 anggota dan merupakan inisiatif multi-stakeholder terbesar dalam
bidangnya. Selain itu, saat ini 15% dari produksi global kelapa sawit telah tersertifikasi
oleh RSPO sebagai sustainable palm oil.29 Kehadiran RSPO ini pada dasarnya merupakan
sebuah langkah positif dalam upaya penjagaan kelestarian lingkungan di bidang kelapa
sawit yang merupakan komoditas serbaguna dalam proses produksi.
27 Oliver Balch, “Palm oil production: what are the social and environmental impacts?” dalam http://www.theguardian.com/sustainable-business/palm-oil-production-social-environmental-impacts yang diakses pada 5 Desember 2013 pukul 13.32 WIB.28 Ibid.29 Ibid.
16
Kehadiran RSPO ini dalam praktiknya dapat mendorong setiap pelaku industri
kelapa sawit untuk lebih memperhatikan keseimbangan alam di dalam setiap kegiatan
ekonominya. Hal ini berkaitan erat pula dengan Corporate Social Responsibility (CSR)
tiap TNC pelaku industri kelapa sawit. Sesuai dengan apa yang telah dikemukakan dalam
kerangka konsep, CSR merupakan sebuah konsep yang menunjukkan bagaimana
hubungan antara perusahaan atau TNC dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Dalam kasus industri kelapa sawit ini, dapat dilihat bahwa secara nyata yang terjadi di
lapangan isu lingkungan dan protes-protes di masyarakat masih muncul. Hal tersebut
menunjukkan bahwa walaupun beberapa TNC sudah melakukan upaya CSR-nya untuk
dapat menanggulangi dampak-dampak negatif dari kegiatan ekonomi yang
dilaksanakannya, nyatanya secara kolektif dan keseluruhan hal tersebut belum dapat
dikatakan berhasil. Beberapa media masih menyoroti masalah lingkungan hidup yang
terusak akibat tindakan-tindakan ekonomi TNC.
Industri kelapa sawit dapat dianggap merupakan industri yang paling banyak
disoroti ketika membahas mengenai tanggung jawab sosial dan masalah lingkungan yang
diakibatkannya. Hal ini dikarenakan penggunaan kelapa sawit yang sangat versatile dan
serbaguna. Kegunaan kelapa sawit yang berbagai macam tersebut membuat kelapa sawit
menjadi komoditas yang paling dicari dan dengan demikian dampak akibat usaha
perolehannya pun menjadi masalah yang paling sering diperbincangkan. Kalimantan atau
Indonesia secara umum menjadi lokasi utama di mana masalah ini sering terjadi, karena
lahan kelapa sawit terluas memang terletak di Kalimantan seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Kerusakan merajalela dalam industri kelapa sawit ini pada dasarnya
mengindikasikan adanya urgency bagi setiap pihak yang terlibat, terutama TNC sebagai
pelaku ekonomi, untuk dapat memberikan perhatian lebih dalam tanggung jawab sosial
dan lingkungan melalui pelaksanaan CSR-nya.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya RSPO menjalankan peran yang
besar dalam mendesak TNC untuk melaksanakan CSR-nya. CSR dalam industri kelapa
sawit memang belum dapat dikatakan berhasil seluruhnya, mengingat fakta-fakta bahwa
protes dan kerusakan masih marak. Namun demikian, seiring dengan terbentuknya
RSPO, kondisi ini perlahan semakin membaik. Dengan adanya standarisasi dan criteria-
17
kriteria yang ditetapkan oleh RSPO, TNC dalam industri kelapa sawit semakin terdorong
untuk dapat mewujudkan sustainable palm oil sesuai dengan tujuan pembentukan RSPO.
Keterlibatan TNC dalam RSPO ini juga menunjukkan kesadaran yang baik dari tiap TNC
untuk dapat mengurangi dan meminimalisasi dampak negatif dari industri kelapa sawit
ini. Bergabungnya TNC dalam roundtable ini menunjukkan bahwa paling tidak ada
keinginan dan kesadaran dari TNC tersebut untuk dapat melestarikan alam. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa pembentukan RSPO merupakan sebuah pemicu dan
pendorong yang baik bagi TNC untuk melaksanakan CSR-nya dan memberikan perhatian
lebih pada masyarakat dan lingkungan sekitar. Apa yang terjadi pada perusahaan seperti
Wilmar ini memanglah sebuah kasus yang perlu diperhatikan. Walaupun RSPO telah
berhasil membuat 15% kelapa sawit sebagai sustainable palm oil seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, RSPO perlu mengkaji ulang kriteria dan standarisasi yang telah
ditetapkan. Terdapat kemungkinan bahwa pada dasarnya RSPO perlu memperketat
standar bagi para TNC yang terlibat dalam industri ini agar tiap TNC semakin terdesak
untuk dapat memperbaiki kegiatannya yang merusak lingkungan sekitar. Hal ini juga
diharapkan dapat berkontribusi pada meningkatnya jumlah produksi global kelapa sawit
yang tersertifikasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan utama TNC memang pada
dasarnya untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Namun demikian, secara sosial
dan lingkungan, tidak dapat dipungkiri bahwa kelestarian lingkungan dan tanggung jawab
sosial perlu diperhatikan dan dijunjung tinggi. Tanggung jawab sosial dan lingkungan ini
dari sisi masyarakat merupakan suatu hal yang penting karena mereka merupakan
stakeholder utama dalam kegiatan ekonomi TNC dalam industri kelapa sawit. Selain itu,
perusahaan dan TNC perlu juga melihat pelaksanaan CSR sebagai sebuah kesempatan
untuk dapat mengoptimalkan keuntungannya. Melalui pelaksanaan CSR, TNC tidak
hanya dapat memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dengan pelestarian
lingkungan, tetapi melalui hal ini TNC juga dapat seolah membentuk dan membersihkan
image mereka sebagai pelaku ekonomi. Pelaksanaan CSR dalam hal ini dapat
menggiring TNC untuk pada akhirnya meningkatkan keuntungannya. Bersihnya nama
sebuah TNC dapat berkontribusi pada simpati masyarakat terhadap TNC tersebut dan
produk-produk yang dihasilkannya. Secara sosial, terdapat peluang di mana masyarakat
18
akan lebih menghargai dan mengkonsumsi produk-produk yang ‘bersih’ dan tidak
mencemarkan lingkungan. Dengan demikian, CSR dalam hal ini seharusnya dapat lebih
dijunjung tinggi oleh TNC yang berkaitan dengan industri kelapa sawit.
19