Download - MAKALAH AGAMA KEL 1
MAKNA ISLAM SERTA KARAKTER ISLAM SEBAGAI
AGAMA FITRAH DAN TAUHID
KELOMPOK 1
KELAS FK 2
ANGGOTA KELOMPOK :
1. Ahmad Barrun N (102010101045)2. Endivia Rizki M (102010101046)3. Indah Kusuma W (102010101048)4. Puspita Sari (102010101050)
UNIVERSITAS JEMBER
2010
PRAKATA
i
Puji syukur kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga tim
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Makna Islam serta Karakter Islam Sebagai
Agama Fitrah dan Tauhid”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah agama
sebagai mata kuliah umum pada semster ganjil ini.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
tim penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen mata kuliah agama yaitu Ibu Dra. Hj.
Mukni’ah, M.Pd. yang telah membimbing dan memberi petunjuk kepada kami dalam menyusun
makalah ini. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu selama proses penyusunan
makalah ini.
Penyusun juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan
skripsi ini. Akhirnya seluruh anggota tim penulis berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Jember, 7 Oktober 2010
Tim Penulis
DAFTAR ISI
ii
Halaman
Halaman Judul...................................................................................... i
Prakata.................................................................................................. ii
Daftar Isi............................................................................................... iii
Isi :
1. Makna Islam Dari Berbagai Sisi..................................... 1
2. Islam sebagai Agama Fitrah............................................ 2
3. Islam Sebagai Agama Tauhid.......................................... 6
Kesimpulan........................................................................................... 11
Daftar Pustaka....................................................................................... 12
iii
1. MAKNA ISLAM DARI BERBAGAI SISI
Secara etimologis (asal-usul kata, lughawi) kata “Islam” berasal dari
bahasa Arab: salima yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama yang
artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah
SWT, “Bahkan, barangsiapa aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia
berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (Q.S. 2:112). Dari
kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang
yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada
ajaran-Nya .
Hal senada dikemukakan Hammudah Abdalat. Menurut beliau, kata
“Islam” berasal dari akar kata Arab, SLM (Sin, Lam, Mim) yang berarti
kedamaian, kesucian, penyerahan diri, dan ketundukkan. Dalam pengertian
religius, menurut Abdalati, Islam berarti “penyerahan diri kepada kehendak
Tuhan dan ketundukkan atas hukum-Nya” (Submission to the Will of God and
obedience to His Law). Hubungan antara pengertian asli dan pengertian religius
dari kata Islam adalah erat dan jelas. Hanya melalui penyerahan diri kepada
kehendak Allah SWT dan ketundukkan atas hukum-Nya, maka seseorang dapat
mencapai kedamaian sejati dan menikmati kesucian abadi.
Secara terminologis (istilah, maknawi) dapat dikatakan, Islam adalah
agama wahyu berintikan tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah
SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan
berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Cukup banyak ahli dan ulama yang
berusaha merumuskan definisi Islam secara terminologis. KH Endang Saifuddin
Anshari mengemukakan, setelah mempelajari sejumlah rumusan tentang agama
Islam, lalu menganalisisnya, ia merumuskan dan menyimpulkan bahwa, “agama
Islam adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk
disampaikan kepada segenap umat manusia sepanjang masa dan setiap persada
dan ianya adalah suatu sistem keyakinan dan tata-ketentuan yang mengatur
1
segala perikehidupan dan penghidupan asasi manusia dalam pelbagai hubungan:
dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam lainnya.”
2. ISLAM SEBAGAI AGAMA FITRAH
Secara bahasa, kata fitrah berasal dari bahasa Arab (bentuk qi-yasan mashdar
dari kata fathara-yafthuru-fathran), artinya sifat, asal kejadian, kesucian, kemuliaan,
bakat, atau agama yang benar. Yang semuanya disandarkan kepada manusia. Sedangkan
menurut istilah, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan fitrah, di antaranya Asy-
Syarif Ali bin Ahmad al-Jurjani, sebuah karakter yang senang dalam menerima agama;
Raghib al-Isfahani, kekuatan dan kemampuan yang diberikan Allah SWT kepada
manusia untuk mengenal iman; menurut ahli fikih, karakter yang bersifat suci dan asli
yang dibawa manusia sejak lahir; sedangkan ahli filsafat mengartikan sebagai suatu
persiapan sebelum lahir ke dunia untuk melaksanakan hukum Allah SWT yang akan
mampu membedakan antara hak dan batil.
Kalau kita merujuk pada definisi fitrah tadi (menurut bahasa dan istilah), tentu
fitrah yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia tidak terbatas nilai dan
jumlahnya. Lebih jauhnya lagi akan menghasilkan pemahaman tentang makna fitrah
yang lebih luas, karena segala suatu yang berhubungan dengan proses penciptaan
(fathara) manusia dinamakan fitrah. Legalitas pemberian fitrah pun tidak hanya ketika
lahir ke dunia - tetapi terus berlaku tetap (istamara)- bahkan akan sampai pada hari
perhitungan di alam akhirat kelak. Tentu ini berlaku bagi umatnya nabi Muhammad
saw., yakni dengan adanya syafaat udzma dari Beliau (Q.S. al-Isra (17) 79).
Fitrah diungkap dalam hadits dengan berbagai bentuk dan makna. Masing-
masing hadits memiliki topik dan latar belakang yang berbeda-beda. Penulis di sini
hanya menampilkan beberapa hadits dalam bentuk terjemah ke bahasa Indonesia.
Walaupun kuantitasnya masih relatif minim, namun diperkirakan mampu mengkaver
keseluruhan kata-kata fitrah dalam hadits. Adapun hadits yang dimaksud Hadits
pertama : “Seseorang tidak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang
tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (H.R. Al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah). Hadits kedua : “Sepuluh macam yang termasuk dalam
kategori fitrah, yaitu (1) mencukur kumis, (2) membiarkan jengggot panjang dan lebat,
(3) bersikat gigi/bersiwak, (4) menghirup air untuk membersihkan hidung, (5)
2
menggunting kuku, (6) membersihkan jari-jemari, (7) mencabut bulu ketiak, (8)
mencukur bulu kelamin, (9) membersihkan kencing dengan air, dan (10) berkumur-
kumur.”(H.R. Muslim dan Abu Dawud dari Aisyah). Hadits ketiga: “Zakat fitrah itu
diwajibkan sebanyak segantang kurma atau segantang gandum bagi setiap orang
Muslim merdeka maupun budak, laki-laki maupun wanita.” (H.R. Al-Bukhari dari Ibn
Umar). Hadits keempat: “Shalat Idul Adha itu sebanyak dua rakaat, shalat Idul Fitri itu
sebanyak dua rakaat, shalat orang yang berpergian itu sebanyak dua rakaat, shalat Jumat
itu sebanyak dua rakaat.” (H.R. Al-Nasa’I dari Umar ibn al-Khattab). Hadits kelima :
“Doa Nabi SAW: Ya Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang mengetahui yang
gaib dan yang tampak, Tuhan segala sesuatu dan sesuatu itu menjadi milik-Nya. Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Aku minta perlindungan-Mu dari keburukan
hawa nafsu dan syaitan serta kroni-kroninya.” (H.R. Al-Darimiy dari Abu Hurairah).
Berkenaan beberapa hadits di atas, maka dapat dipahami sebagai berikut : Pertama,
hadits pertama berkaitan dengan masalah takdir dan status anak yang dilahirkan, baik
dari keturunan mukmin atau kafir. Konsep fitrah pada hadits ini mengisyaratkan adanya
takdir manusia atau status anak yang dilahirkan selalu dalam kondisi kemusliman.
Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi psikis manusia yang
berpotensi untuk ber-Islam. Kedua, hadits kedua berkaitan dengan topik kesucian fisik
manusia. Dalam hadits di atas, terdapat sepuluh macam yang termasuk bagian kefitrian
(kesucian). Barangsiapa yang mau melaksanakan sepuluh macam itu maka fisiknya
berada dalam kefitrian. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan kondisi
kesucian fisik manusia. Ketiga, hadits ketiga berkaitan dengan topik zakat fitrah, yaitu
zakat yang dikeluarkan oleh setiap umat Islam pada bulan Ramadhan, baik kecil
maupun besar, laik-laki maupun perempuan, budak maupun merdeka. Zakat ini
berfungsi untuk mensucikan jiwa manusia, dan dapat menambah kesempurnaan ibadah
puasa. Konsep fitrah di sini lebih dekat diartikan dengan jenis zakat yang diwajibkan
untuk setiap individu Muslim agar jiwanya menjadi fitri (suci). Keempat, hadits
keempat berkaitan dengan topik shalat pada hari raya Idul Fitri. Pelaksanaan shalat Idul
Fitri dua rakaat. Konsep fitrah pada hadits ini lebih dekat diartikan dengan jenis shalat
sunnat yang dilakukan setiap satu bulan syawal. Kelima, hadits kelima berkaitan dengan
topik salah satu nama (asma) Allah, yaitu al-Fathir. Nabi Muhammad SAW ketika
berdoa terkadang menyebut asma Allah dengan al-Fathir, yaitu Zat Pencipta, sebab
3
hanya Allah yang menciptakan jagat raya ini. Konsep fitrah di sini diartikan dengan
“penciptaan”.
Islam adalah ajaran fitrah di mana Nabi Muhammad diutus untuk
menjelaskan ajaran kebenaran-Nya dan memperlihatkan tuntunan-Nya, serta
mengembalikan manusia kepada jalan yang lurus setelah manusia dikuasai oleh
bujuk rayu setan. (Ghazali, 2003 : 14). 1
Para ulama telah memberikan petunjuk bagaiman cara kita
mempertahankan fitrah sehingga tetap berada dalam Islam secara kaffah. Imam
Ghazali misalnya memberikan tahapan dalam membersihkan jiwa ini. Pertama,
dengan jalan Muraqabah. Jiwa yang selalu merasa diawasi oleh Allah SWT
sehingga ia selalu takut berbuat segala sesuatu yang menimbulkan
kemarahannya.Al Mujaadillah ayat 7 yang berbunyi, “tidakkah kamu perhatikan,
bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi?
tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan
tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada
(pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian
Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah
mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Yang kedua, dengan jalan Mu’ahadah. Mengingat dan mengokohkan
kembali perjanjian kita dengan Allah SWT di alam ruh. Di sana sebelum kita
menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita
sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka
menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172). Allah
juga mengingatkan dalam surat Al Baqarah:83 yang berbunyi “dan (ingatlah),
ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata
yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian
1 Yusuf Al-Qardhawi, Krakteristik Islam, Kajian Analitik( Surabaya :Risalah Gusti.1995)
4
kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan
kamu selalu berpaling.”
Yang ketiga, dengan jalan Muhasabah (evaluasi). Jiwa yang selalu
memperhitungkan dan mempertimbangkan segala amalannya dalam perspektif
kehidupan akhirat seperti firman Allah SWT dalam surat Al Hasyr ayat ke-18
yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Melakukan muhasabah (evaluasi)
terhadap dirinya atas kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti
kebaikan dan keburukan yang ia miliki, agar ia tidak terperanjat kaget dengan
sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya pada hari kiamat. Dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda : “Orang cerdas (berakal)
ialah orang yang menghisab dirinya dan berbuat untuk setelah kematian. Dan,
orang yang lemah ialah orang yang mengikutkan dirinya kepada hawa nafsunya
dan berangan-angan kepada Allah.” (At-Tirmidzi)
Yang keempat, dengan jalan Mua’qabah. Selain mengingat perjanjian
(mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri,
kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab
(menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Dengan kata lain jiwa
yang selalu menghukum dirinya apabila terlanjur khilaf berbuat Maksiyat
(salah). Allah SWT telah memberikan petunjuk kepada kita seperti terlihat
dalam surat Al Hajj: 78 yang berbunyi, “dan berjihadlah kamu pada jalan Allah
dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-
kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-
orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah
Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.”
5
Yang kelima, dengan jalan Mujahadah. Jiwa yang selalu sungguh-
sungguh dalam beramal ibadah. Mujahadah adalah upaya keras untuk
bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang
dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya.
3. ISLAM SEBAGSAI AGAMA TAUHID
Tauhid adalah mengesakan Allah Subhanahu wata’ala dengan beribadah
kepadaNya semata. Ibadah merupakan tujuan penciptaan alam semesta ini. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman, "Dan Aku (Allah) tidah menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzaariyaat: 56). Maksudnya, agar
manusia dan jin mengesakan Allah Subhanahu wata’ala dalam beribadah dan
mengkhususkan kepadaNya dalam berdo’a.
Tauhid berdasarkan Al-Qur’anul Karim ada tiga macam, yaitu Tauhid Rububiyah,
Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’Wa Shifat. Tauhid Rububiyah adalah pengakuan
bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala adalah Tuhan dan Maha Pencipta.
Orang-orang kafir pun mengakui macam tauhid ini. Tetapi pengakuan tersebut tidak
menjadikan mereka tergolong sebagai orang Islam. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman, "Dan sungguh, jika Kamu bertanya kepada mereka, ‘Siapakah yang
menciptakan mereka’, niscaya mereka menjawab,’Allah’." (Az-Zukhruf: 87). Berbeda
dengan orang-orang komunis, mereka mengingkari keberadaan Tuhan. Dengan
demikian, mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah.
Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah Subhanahu wata’ala dengan
melakukan berbagai macam ibadah yang disyari’atkan. Seperti berdo’a, memohon
pertolongan kepada Allah, thawaf, menyembelih binatang kurban, bernadzar dan
berbagai ibadah lainnya. Macam tauhid inilah yang diingkari oleh orang-orang kafir.
Dan ia pula yang menjadi sebab perseteruan dan pertentangan antara umat-umat
terdahulu dengan para rasul mereka, sejak Nabi Nuh alaihissalam hingga diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam.
6
Dalam banyak suratnya, Al-Qur’anul Karim sering memberikan anjuran soal tauhid
uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo’a dan meminta hajat khusus
kepada Allah semata. Dalam surat Al-Fatihah misalnya, Allah berfirman, "Hanya
Kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah Kami memohon
pertolongan." (Al-Fatihah: 5). Maksudnya, khusus kepadaMu (ya Allah) kami
beribadah, hanya kepadaMu semata kami berdo’a dan kami sama sekali tidak memohon
pertolongan kepada selainMu. Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah berdo’a semata-
mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-Qur’an, dan tunduk berhukum
kepada syari’at Allah. Semua itu terangkum dalam firman Allah, "Sesungguhnya Aku
ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku." (Thaha:
14).
Tauhid Asma’Wa Shifat adalah beriman terhadap segala apa yang terkandung
dalam Al-Qur’anul Karim dan hadits shahih tentang sifat-sifat Allah yang berasal dari
penyifatan Allah atas DzatNya atau penyifatan Rasulullah Subhanahu wata’ala.
Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara benar, tanpa ta’wil (penafsiran),
tahrif (penyimpangan), takyif (visualisasi, penggambaran), ta’thil (pembatalan,
penafian), tamtsil (penyerupaan), tafwidh (penyerahan, seperti yang.banyak dipahami
oleh manusia) .
Misalnya tentang sifat al-istiwa ‘ (bersemayam di atas), an-nuzul (turun), al-yad
(tangan), al-maji’ (kedatangan) dan sifat-sifat lainnya, kita menerangkan semua sifat-
sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-istiwa’ misalnya, menurut keterangan
para tabi’in sebagaimana yang ada dalam Shahih Bukhari berarti al-’uluw wal irtifa’
(tinggi dan berada di atas) sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah
Shallallahu’alaihi wasallam. Allah berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura: 11).2
Maksud beriman kepada sifat-sifat Allah secara benar adalah dengan tanpa
Tahrif (penyimpangan), Ta’thil (pembatalan, penafian), Takyif (visualisasi,
penggambaran), Tamtsil (penyerupaan), Tafwidh (penyerahan). Ta’thil (pembatalan,
penafian) adalah mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikannya. Seperti Allah berada
di atas langit, sebagian kelompok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap
tempat. Takyif (visualisasi, penggambaran) adalah menvisualisasikan sifat-sifat Allah.
2 Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan II/17-18.
7
Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy itu begini
dan begini. Bersemayamnya Allah di atas ‘Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya
para makhluk, dan tak seorang pun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah
semata.
Tamtsil (penyerupaan) adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat
makhlukNya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan, "Allah turun ke langit,
sebagaimana turun kami ini". Hadits tentang nuzul-nya Allah (turunnya Allah) ada
dalam riwayat Imam Muslim. Sebagian orang menisbatkan tasybih (penyerupaan) nuzul
ini kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong besar. Kami tidak
menemukan keterangan tersebut dalam kitab-kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami
temukan adalah pendapat beliau yang menafikan tamtsil dan tasybih.
Tafwidh (penyerahan), menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada al-kaif (hal,
keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa’ misalnya berarti al-’uluw (ketinggian), yang
tak seorang pun mengetahui bagaimana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali hanya
Allah. Tafwidh (penyerahan): Menurut Mufawwidhah (orang-orang yang menganut
paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan makna secara bersamaan. Pendapat
ini bertentangan dengan apa yang diterangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah,
Rabi’ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka semua sependapat
bahwa, "Istiwa’ (bersemayam di atas) itu jelas pengertiannya, bagaimana
cara/keadaannya itu tidak diketahui, iman kepadanya adalah wajib dan bertanya
tentangnya adalah bid’ah."
Wahyu dalam hal ini al Qur’an dan akal disatu sisi dalam Islam, sejatinya tidak
mengenal adanya dikotomisasi. Kebenaran yang didapat melalui akal dalam titik
tertentu bisa mempunyai kedudukan yang setingkat dengan wahyu. Ayat “fa’lam
annahu la illaha ilallah” (ketahuilah, tidak ada Tuhan selain Allah) menunjukan bahwa
beriman itu perlu ilmu (yakni melalui proses “mengetahui”), jadi ilmu dalam Islam
adalah mendahului iman. Maka dari itu pintu masuknya bukanlah keimanan yang
didasari oleh taqlid buta, tapi kesaksian yang penuh kesadaran (shahadah). Proses
kesadaran (shahadah) inilah yang sebetulnya memberikan ruang bagi akal untuk
mencapai kebenaran setingkat wahyu. Akal dalam hal ini melalui metode induksi
(observasi dan eksperimen) (Ibn Ruyd), ia bisa membaca tanda-tanda alam dan
menemukan kebenaran didalamnya. Wahyu (al Qur’an) adalah “inspirasi”, didalamnya
8
terdapat hukum-hukum dan pengetahuan yang bersifat umum dan statmen-statmen final
seperti dalam ayat mengenai masa dalam bumi, bahwa matahari beredar juga layaknya
bumi pada jalurnya. Begitu juga dalam masalah hukum fiqh mengenai tatanan sosial
dan bermasyarakat, dan perlu diingat fiqh tidak sekaku yang dibayangkan orang, ia
punya mekanisme seperti qiyas yang memungkinkan fiqh itu berkembang, maka tak
heran dimasa-masa dinasti Abasyiah, bisa terjadi
adanya perbedaan masalah fiqh dimasing-masing daerah, misal masalah pajak, zakat
dan sistem pemerintahan. Nah, pada titik tersebut akal memainkan peranannya yang
sangat besar.
Pada metode-metode argumentasi dari Ibn Rusyd dalam sanggahannya terhadap
Tahafut-nya al Ghozali lebih menekankan pembuktian akal daripada metafisika atau
mistik al Ghozali dalam mencapai kebenaran. Bagi Ibn Ruyd, al-Qur’an terdapat banyak
ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk memahami
segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang
menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik adalah
metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-
fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum, metode demonstrasi
(qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-mawjudat), Hasil
dari proses berfikir demonstratif ini adalah kebenaran dan tidak dapat bertentangan
dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran.
Akal secara fitrahnya juga sudah tersetting untuk mendeskripsikan tentang
kebenaran. Ia dapat mengetahui perbedaan perbuatan buruk dan baik, cinta dan benci,
kebohongan dan kebenaran, yang bathil dan yang haq, dan kata Ibn Taimiyah
“seandainya Allah tidak menurunkan agamanya, manusia dengan akalnya bisa
mengetahui hakikat tentang Tuhannya dan kebenaran itu sendiri”. Namun, secara fitrah
juga manusia punya kelemahan, lemah dalam menahan nafsu sehingga mudah tertipu
daya, suka tergesa-gesa, tidak cermat, dan lain-lain. Maka disinilah urgensi Wahyu,
sebab manusia tidak hanya perlu mengetahui hakikat kebenaran namun juga perlu
ditunjukan jalan atas kebenaran itu sendiri. Wajar jikalau kemudian Ibn Taimiyah
maupun Ibn Hazm memposisikan Aqal sebagai instrument syarat atau watak
“gharizah”, hal ini perlu digaris bawahi. Sebab ketika aqal difungsikan sebagai gharizah
9
maka ia bisa sejajar dengan wahyu. Gharizah akal akan menjadi syarat bagi segala
macam ilmu, apakah Rasional ataupun Irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai
syarat, akal tidak dapat bertentangan dengan wahyu. Demikian pula sebagai
pengetahuan yang diperoleh dari gharizah tadi akal difahami sebagai pengetahuan akal
yang jelas dan pasti kebenarannya (‘aqli qat’i).
Di antara bukti kesempurnaan Islam adalah, bagaimana ia mengagungkan kaum
wanita dan menempatkannya dalam posisi dan derajat yang sangat mulia. Islam
memandang, bahwa hanya kualitas ketakwaanlah yang patut menjadi barometer
kemuliaan seseorang di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tak ada yang lain. Bukan
kekayaan, kedudukan, ketampanan, apalagi jenis kelamin.
Allah menciptakan manusia, lelaki dan wanita, sebagai makhluk yang mulia dan
sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Ia diciptakan dalam sebaik-baik ciptaan. Namun
sayang, kadang manusia sendiri yang merendahkan martabatnya dan melecehkan
kedudukannya. Seperti, sikap sebagian mereka yang menzhalimi, mensubordinasi, dan
memandang sebelah mata posisi wanita dalam kehidupannya dengan justifikasi dalil
agama. Padahal dalam pandangan Islam, sesungguhnya wanita adalah sama mulianya
dengan pria. Wanita adalah saudara, mitra, dan sahabat sejati yang menemani dalam
menciptakan hari-hari bahagia dan penuh kesuksesan.
10
KESIMPULAN
Islam adalah agama yang paling murni diantara agama agama yang lain.
Inti dari semuanya adalah fitrah dan tauhid itu sendiri. Dari islamlah semua
bersumber. Islam pada hakikatnya membawa ajaran ajaran yang bukan hanya
mengenai satu segi, tetapi mengenai berbagai segi dari kehidupan manusia.
Ajaran islam itu sendiri bersumber pada Al Quran dan hadits yang disampaikan
oleh Nabi besar Muhammad Saw. Sehingga pengembangan ilmu islam oleh para
ulama dapat sampai hari ini menjadi pegangan muslim di dunia.
11
DAFTAR PUSTAKA
Arandi, Agus.dkk,"Islam Rahmatan Li Al'Alamin", Surabaya, Unesa University Press,
2002.
Ali, Mochammad Daud,"Pend Agama Islam", Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
1998.
Ali, Mochammad Daud, "Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum & tata hukum islam di
Indonesia", Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Nasution, Harun, "Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya", UI Press, 1974.
Yusuf, Ali Anwar, "Wawasan Islam", Bandung, CV. Pustaka Setia, Catatan Pertama,
2002.
Yusuf Al-Qardhawi, Krakteristik Islam, Kajian Analitik, Risalah Gusti, Surabaya,
1995.Islam ditinjau dari berbagai Aspek Jilid II (Harun Nasution).
(MKDU) Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi.
Pola-pola Hidup Muslim Aqidah.
Asas-asas Hukum Islam (H. Safadus).
12