Download - Lp Hiperbilirubin 2014 Oka
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA PASIEN DENGAN HIPERBILIRUBIN
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Hiperbilirubinemia merujuk pada tingginya kadar bilirubin terakumulasi
dalam darah dan ditandai dengan jaundis atau ikterus, suatu warna kuning pada
kulit, sklera, dan kuku. Hiperbilirubin merupakan temuan yang wajar pada bayi
baru lahir dan pada kebanyakan kasus relatif jinak. Akan tetapi hal ini, bisa juga
menunjukkan keadaan patologis (Wong, ddk, 2009).
Hiperbilirubinemia merupakan kondisi bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai
dengan ikterus (ikterus neonatorum patologis). Hiperbilirubinemia merupakan
suatu keadaan meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler,
sehingga konjungtiva, kulit, dan mukosa (Hidayat, 2004).
Hiperbilirubinemia (Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang
terjadi pada bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan
ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya
berwarna kuning (Ngastiyah, 2005).
Hiperbilirubin adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2001).
2. Epidemiologi
Angka kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar antara 50% pada bayi
baru lahir yang cukup bulan dan 75% pada bayi baru lahir yang kurang bulan.
Angka kejadian ikterus ternyata berbeda-beda untuk beberapa negara, klinik, dan
waktu yang tertentu. Hal ini kemungkinan besar disebabkan perbedaan dalam
pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan
(Sarwono, 2005).
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi baru lahir setiap tahunnya sekitar 65%
mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998
menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama.
Di Indonesia, diperoleh data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit
pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum
Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan
prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5
mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama
kehidupan.
Hal yang sama diketahui dari RS Dr. Sardjito bahwa sebanyak 85% bayi
baru lahir cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan
23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada
hari pertama, ketiga, dan kelima. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari,
didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 16,6% bayi
cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat
sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan
24% kematian terkait hiperbilirubinemia.
3. Etiologi
Menurut Ngastiyah (2005), ada dua kemungkinan yang dapat
menyebabkan hiperbilirubin pada bayi, yaitu penyebab fisiologis dan penyebab
patologis dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Penyebab ikterus fisiologis
Kurang protein Y dan Z
Enzyme glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
b. Penyebab ikterus patologis
1) Peningkatan produksi
Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat
ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan
ABO.
Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik
yang terdapat pada bayi hipoksia atau asidosis .
Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta), diol (steroid).
Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin
Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2) Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
pada hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya
Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn, dan lain-
lain.
3) Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau
toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti
Infeksi, Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis, dan lain-lain.
4) Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra hepatik.
5) Peningkatan sirkulasi enterohepatik misalnya pada ileus obstruktif,
hirschsprung.
Menurut Wong, dkk (2009), ada beberapa kemungkinan yang dapat
menyebabkan hiperbilirubin pada bayi, antara lain
a. Faktor fisiologis (perkembangan – prematuritas)
b. Berhubungan dengan pemberian ASI
c. Produksi bilirubin yang berlebihan (misalkan, penyakit haemolitik, defek
biokimia, memar)
d. Gangguan kapasitas hati untuk menyekresi bilirubin terkonjugasi (misalkan
defisiensi enzim, obstruksi duktus empedu)
e. Kombimasi berlebihan produksi dan kekurangan sekresi.
f. Beberapa keadaan penyakit, misalmya hipotiroidisme, galaktosemia, bayi dari
ibu diabetes.
g. Predisposisi ginetik terhadap peningkatan produksi (Penduduk Amerika Asli,
Asia)
4. Patofisiologi
Bilirubin merupakan salah satu hasil pemecahan hemoglobin yang
disebabkan oleh kerusakan sel darah merah (SDM). Ketika sel darah merah
dihancurkan, hasil pemecahannya terlepas ke sirkulasi, tempat haemoglobin
terpecah menjadi dua fraksi: heme dan globin. Bagian globin (protein) digunakan
lagi oleh tubuh, dan bagian heme diubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi,
suatu zat yang tidak larut yang terikat pada albimin.
Di hati bilirubin dilepas dari molekul albumin dan dengan adanya enzim
glukuronil transferase, dikonjugasi dengan asam glukoronat menghasilkan larutan
dengan kelarutan tinggi, bilirubin glukuronat terkonjugasi, yang kemudian
diekskresi dalam empedu. Di usus kerja bakteri mereduksi bilirubin terkonjugasi
menjadi urobilinogen (pigmen yang memberikan warna khas pada tinja. Sebagian
besar bilirubin tereduksi dieksresikan ke feses, sebagian kecil dieliminasi ke urine.
Normalnya tubuh mampu mempertahankan keseimbangan antara destruksi
SDM dan penggunaan atau ekpresi produk sisa. Tetapi, bila keterbatasan
perkembangan atau proses patologis mempengaruhi keseimbangan ini, bilirubin
akan terakumulasi dalam jaringan dan mengakibatkan jaundis.
Terdapat dua fase jaundis fisiologis yang teridentifikasi pada bayi term.
Pada fase pertama, kadar bilirubin bertahap naik sampai sekitar 6 mg/dl pada hari
ketiga kehidupan, kemudian menurun sampai plato 2 sampai 3 pada hari ke lima.
Kadar bilirubin akan tetap dalam keadaan plato pada fase kedua tanpa
peningkatan atau penurunan sampai sekitar 12 sampai 14 hari yang kadarnya akan
menurun ke harga normal < 1 mg/dl. Pola ini bervariasi sesuai kelompok ras,
metode pemberian makanan (ASI vs Botol), dan usia gestasi. Pada bayi preterm,
kadar bilirubin serum dapat memuncak sampai setinggi 10 sampai 12 mg/dl pada
hari keempat sampai kelima dan perlahan menurun selama periode 2 sampai 4
minggu.
Rata-rata bayi baru lahir memproduksi dua kali lebih banyak bilirubin
dibandingkan orang dewasa karenalebih tingginya kadar eritrosit yang beredar dan
lebih pendeknya lama hidup sel darah merah (hanya 70 sampai 90 hari,
dibandingkan 120 hari pada anak yang lebih tua dan dewasa). Selain itu,
kemampuan hati untuk mengkonjugasi bilirubin sangat rendah karena terbatasnya
produksi glukuronil transferase. Bayi baru lahir juga memiliki kapasitas ikatan
plasma terhadap bilirubin yang lebih rendah karena rendahnya konsentrasi
albumin dibandingkan anak yang lebih. Perubahan normal dalam sirkulasi hati
setelah kelahiran mungkin berkontribusi terhadap tingginya kebutuhan fungsi hati.
Normalnya bilirubin terkonjugasi direduksi menjadi urobilinogen oleh
flora usus dan dieksresi dalam feses. Akan tetapi, usus bayi yang steril dan kurang
motil pada awalnya kurang efektif dalam mengeksresi urobilinogen. Pada usus
bayi baru lahir, enzim β-glucuronidase mampu mengonversi bilirubin terkonjugasi
menjadi bentuk tidak terkonjugasi, yang kemudian diserap oleh mukosa usus dan
ditransfor ke hati. Proses ini dikenal sebagai sirkulasi atau pirau enteropatik
(Wong, dkk, 2009).
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban
Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat
peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia dan
asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah
apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar
larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya
efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah
otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya
dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila
kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah,
Hipoksia, dan Hipoglikemia (Ngastiyah, 2005).
Diagram metabolisme bilirubin
Melalui duktus billiaris
Hati
Bilirubin direk dieksresi melalui feses dan urine
Kantung empedu ke deudenum
Bilirubin berikatan dengan glukoronat/ gula
residu bilirubin direk (larut dalam air)
Bilirubin direk dieksresi ke dalam kantung
empedu
Terjadi dalam plasma darah
Bilirubin indirek(tidak larut dalam air)
Bilirubin berikatan dengan albumin
Melalui hati
Terjadi pada limpha, makofag
Hem Globulin
Besi/Fe
Haemoglobin
Eritrosit
5. Pathway
Haemoglobin
Hemo Globin
Feco Biliverdin
Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjungsi eritrositbilirubin /gangguan transport bilirubin/peningkatan siklus enteropatik), Hb, dan eritrosit abnormal.
Pemecahan bilirubin berlebihan
Suplay bilirubin melebihi tampungan hepar
Hepar tidak mampu melakukan konjugasi
Sebagian masuk kembali ke siklus enterohepatik
Peningkatan bilirubin unkonjuned dalam darah pengeluaran mekonium terlambat/obstruksi usus tinja berwarna pucat.
Ikterik neonatus
Ikterus pada sklera, leher, dan badan, peningkatan bilirubin indirect > 12 mg/dL
Gangguan metabolik Hiperbilirubinemia
Kerusakan integritas kulit
Indikasi fototerapi
Terpapar sinar dengan intensitas tinggi
Fluktuasi suhu lingkungan
Ketidakefektifan termoregulasi
Risiko Kekurangan volune cairan
6. Klasifikasi
Berikut ini merupakan klasifikasi dari hiperbilirubin, yaitu :
a. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis sel
darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi terbatas
terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan kenaikan bilirubin yang
tidak terkonjugasi.
b. Ikterus hepatik
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat kerusakan
hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam hati
serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang tidak sempurna dikeluarkan ke
dalam doktus hepatikus karena terjadi retensi dan regurgitasi.
c. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga empedu dan
bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam usus halus. Akibatnya
adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi dalam serum dan bilirubin dalam
urin, tetapi tidak didapatkan urobilirubin dalam tinja dan urin.
d. Ikterus neonatus fisiologi
Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.
Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu
Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik.
e. Ikterus neonatus patologis
Adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah, 205) sebagai berikut :
Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah
bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada
bayi baru lahir BBLR.
Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan
(BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi
enzim G-6-PD, dan sepsis).
Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown
menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada
cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg
% dan 15 mg%.
7. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang timbul dari ikterus, yaitu : letargi, kejang, tidak
mau menyusui, spasme otot, perut membuncit, pembesaran hati, faeses berwarna
seperti dempul, tampak ikterus: sklera, kuku, kulit, dan membran mukosa.
Jaundice pada 24 jam pertama disebabkan karena penyakithemolotik waktu lahir,
sepses, atau ibu dengan diabetik. Gejala yang timbul, antara lain :
Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum, dan hipotoni.
Gejaa kronik : tangisan yang melengking, meliputi hipertonus dan opistonus
(bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral
dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis sebagaian otot mata dan
dysplasia dentalis).
8. Pemeriksaan fisik
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir
atau setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peningkatan
bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga,
sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna
kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan
ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia
kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup
berarti memerlukan penilaian diagnostik lengkap, yang mencakup
penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek)
hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan
apusan darah tepi (Ngastiyah, 2005)
9. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl antara 2-4
hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl tidak fisiologis.
Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl antara
5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl tidak
fisiologis.
b. Pemeriksaan radiology
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau peningkatan
diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses hati atau hepatoma
c. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic dengan ekstra
hepatic.
d. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang sukar
seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan intra hepatic
selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti hepatitis, serosis hati,
hepatoma.
e. Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi
untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
f. Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto dokumentasi
untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada penderita penyakit ini.
10. Penanganan
Tujuan primer penanganan hiperbilirubinemia adalah mencegah
ensepalopati bilirubin, inkomatibilitas darah, membalikkan proses hemolitik.
Bentuk penanganan utama melibatkan penggunaan fototerapi. Transfusi tukar
biasanya digunakan mengurang kadar bilirubin tinggi yang berbahaya dan terjadi
pada penyakit haemolitik.
Terapi obat
Penatalaksanaan farmakologis hiperbilirubinemia dengan fenobarbilat
dipusatkan pada bayi dengan penyakit haemolitik dan paling efektif jika diberikan
pada ibu beberapa hari sebelum persalinan. Fenobarbital membantu sintesis
glukuronil transferase dalam hati, yang akan meningkatkan konjugasi bilirubin
dan klirens hati pigmen dalam empedu dan sintesis protein yang dapat
meningkatkan albumin untuk menambah tempat ikatan bilirubin. Akan tetapi
penggunaan fenobarbital pada periode antenatal maupun pasca natal tidak terbukti
efektif dibandingkan obat lain dalam menurunkan bilirubin. Produksi bilirubin
pada bayi baru lahir dapat dikurangi dengan menghambat oksigenasi heme (suatu
enzim yang diperlukan untuk pemecahan heme menjadi biliverdin dengan
metalopofirin, terutama tin-protoporfirin dan tin-mesoporfirin.
Bayi cukup bulan yang mengalami jaundis juga mendapat manfaat dari
pemberian ASI yang sering. Usaha preventif ini ditujukan untuk membantu
meningkatkan motilitas usus, mengurangi pirau enterohepatik, dn menstabilkan
flora bakteri normal sehingga secara efektif memperbanyak eksresi bilirubin
terkonjugasi.
Fototerapi
Fototerapi terdiri atas pemberian lampu fluoresen ke kulit bayi yang
terpajan. Cahaya lampu akan membantu eksresi bilirubin dengan cara
fotoisomerasi, yang mengubah struktur bilirubin menjadi bentuk larut (lunirubin)
agar eksresinya lebih mudah. Beberapa studi menunjukkan bahwa lampu fluresen
biru lebih efektif dalam menurunkan bilirubin, akan tetapi karena cahaya biru
dapat mengubah warna bayi, maka lampu fluresen cahaya normal denga spektrum
420-460 lebih disukai sehingga kulit bayi dapat diobservasi lebih baik mengenai
warnanya (jaundis, palor, sianosis) atau kondisi lainnya. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan fototerapi, antara lain (Surasmi, Siti Handayani,
dan Heni Nur Kusuma, 2003) :
a. Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam untuk
menghindari turunnya energi yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.
b. Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh bayi dapat seluas mungkin terkena
sinar.
c. Kedua mata bayi ditutup dengan menggunakan penutup yang dapat
memantulkan cahaya untuk mencegah kerusakan retina. Pemantauan iritasi
mata dilakukan setiap 6 jam dengan membuka penutup mata.
d. Daerah kemaluan ditutup dengan menggunakan penutup yang dapat
memantulkan cahaya untuk melindungi kemaluan dari efek fototerapi.
e. Posisi lampu diatur dengan jarak 20-30 cm di atas tubuh bayi untuk
mendapatkan energi yang optimal.
f. Posiis tubuh bayi diubah tiap 8 jam, agar tubuh bayi mendapatkan penyinaran
seluas mungkin.
g. Suhu tubuh bayi diukur tiap 4-6 jam.
h. Pemasukan cairan dan pengeluaran urine, feses, dan muntah diukur dan dicatat,
dan dilakukan pemantauan tanda-tanda dehidrasi.
i. Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan.
j. Catat lamanya penyinaran.
Ada beberapa kelainan yang dapat ditimbulkan oleh karena penyinaran,
yaitu (Surasmi, Siti Handayani, dan Heni Nur Kusuma, 2003) :
a. Peningkatan kehilangan cairan yang tidak diukur.
b. Frekuensi defekasi meningkat oleh karena peningkatan pembentukan enzim
laktase yang berfungsi untuk meningkatkan peristaltik usus.
c. Timbulnya kelainan kulit “flea bite rush” di daerah muka, badan, dan
ekstremitas. Kelainan ini akan hilang jika terapi sinar dihentikan.
d. Peningkatan suhu tubuh bayi oleh karena peningkatan suhu lingkungan atau
gagguan pengaturan suhu tubuh bayi.
e. Gangguan lain yang kadang ditemukan, antara lain : gangguan minum, letargi,
gangguan pertumbuhan, dan mata, serta iritabilitas.
Transfusi Tukar
Penggantian sirkulasi darah neonatus dengan darah dari donor dengan
cara mengeluarkan darah neonatus dan memasukkan darah donor secara berulang.
Pergantian darah mencapai 75-85%. Tujuan dari tukar transfusi, yaitu
menurunkan kadar bilirubin indirek,mengganti eritrosit yang dapat dihemolisis,
membuang antibodi yang dapat menyebabkan hemolisis, dan mengoreksi anemia.
Saat transfusi, darah donor dihangatkan sesuai dengan suhu temperatur ruangan.
Selain itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
a. Neonatus harus dipasangi monitor kardio-respirasi.
b. Tekanan darah harus dipantau.
c. Neonatus dipuasakan, bila perlu pasang selang nasogastrik.
d. Neonatus dipasang imfus.
e. Disediakan peralatan resusitasi.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Bagian pengkajian fisik rutin, meliputi mengobservasi adanya bukti
jaundis dengan interval teratur. Jaundis paling sering dapat dikaji secara realibel
dengan mengobservasi kulit bayi dari kepala ke kaki, warna sklera, dan mmbran
mukosa. (Wong, 2009). Penekanan langsung pada kulit, terutama pada tonjolan
tulang, seperti tulang pada ujug hidung atau sternum akan menyebabkan
pemutihan dan kemungkinan pewarnaan kuning menjadi jelas. Untuk bayi
berkulit gelap, warna sklera, konjungtiva, dan membran mukosa oral lebih realibel
untuk menjadi indikator.
Menurut (Surasmi, Handayani, dan Kusuma, 2003) hal yang perlu dikaji
untuk bayi dengan hiperbilirubin, antara lain :
a. Riwayat penyakit, terdapat riwayat penyakit hemolisis darah
(ketidakseimbangan golongan Rh atau golongan darah ABO), polisitemia,
infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran cerna, ibu
menderita DM.
b. Temuan fisik, ikterus terlihat pada sklera, selaput lendir, kulit berwarna merah
tua, yrine pekat seperti teh, letargi, hipotonus, refleks menghisap kurang,
rangsangan peka tremor, kejang, dan tangisan melengking.
c. Laboratorium, Rh darah Ibu dan janin berlainan. Kadar bilirubin bayi aterm
lebih dari 12,5 mg/dL, prematur >15mg/dL.
2. Diagnosa keperawatan
Berikut ini merupakan diagnosa yang dapat muncul akibat adanya
penyakit gagal jantung, antara lain :
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan bilirubin tidak terkonjugasi di dalam
sirkulasi.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolik
(hiperbilirubin)
c. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi suhu lingkungan
d. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan terpapar sinar dengan
intensitas tinggi
3. Rencana tindakan keperawatan
NO DX KEP.TUJUAN DAN KRITERIA
HASILRENCANA TINDAKAN RASIONAL
1. Ikterik neonatus b. d. bilirubin tidak terkonjugasi di dalam sirkulasi
Setelah diberikan asuhan keperawatan, selama … x .... jam, diharapkan kadar bilirubin total kurang dari 10 mg/dL kriteria hasil: Bilirubin total kurang dari 10
mg/dL Memar kulit normal Membran mukosa tisak
kuning Kulit tidak ikterik Sklera anikterik
Mandiria. Amati tanda-tanda ikterus.
b. Monitor vital sign pada bayi setiap 6 jam.
c. Ubah posisi bayi setiap 2 jam.
d. Lindungi mata bayi dengan menggunakan penutup mata yang memantulkan cahaya.
Kolaborasie. Pantau kadar bilirubin total.
f. Lakukan foto terapi pada bayi sesuai instruksi dokter
Mandiria. Tanda-tanda ikterus ada kulit, membran
mukosa, dan sklera bayi menunjukkan adanya gangguan metabolisme bilirubin.
b. Perubahan vita sign menandakan perubahan kondisi bayi
c. Mencegah terjadinya kemerahan pada kulit.
d. Melindungi mata bayi dari efek foto terapi
Kolaborasie. Memantau peningkatan kadar bilirubin
total.f. Foto terapi dapat membantu mengubah
bilirubin menjadi bentuk larut (lunirubin).
2. Kerusakan
integritas
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, selama … x...jam,
Mandiria. Kaji warna kulit setiap 8 jam
Mandiria. Memantau adanya perubahan warna
kulit b. d.
gangguan
metabolik
(hiperbiliru
bin)
diharapkan integritas kulit bayi normal dengan kriteria hasil : Turgor kulit baik Tidak ada tanda-tanda
kerusakan kulit (kulit kering dan kemerahan pada kulit)
b. Ubah posisi bayi setiap 2 jam.
c. Masase daerah yang menonjol.
d. Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab.
Kolaborasie. Kolaborasi dalam pemeriksaan kadar
bilirubin bayi, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5 mg/dL fototerapi dapat dihentikan.
kulit.b. Mencegah penekanan kulit pada daerah
tertentu dalam waktu lama.c. Memperlancar peredaran darah sehingga
mencegah adanya luka tekan.d. Mencegah terjadinya kemerahan dan
lecet pada kulit bayi.
Kolaborasie. Mencegah terpaparnya kulit bayi dengan
sinar intensitas tinggi terlalu lama.
3. Ketidakefek
tifan
termoregula
si b.d.
fluktuasi
suhu
lingkungan
Setelah diberikan asuhan keperawatan, selama … x... jam, diharapkan termoregulasi pasien stabil dengan kriteria hasil : Tanda-tanda vital dalam batas
normal (RR bayi = 30-50 x/menit; Nadi bayi 120-160 x/menit; TD bayi 85/64 mmHg; suhu = 36-37,50 C)
Tidak ada penurunan kesadaran
Perfusi jaringan adekuat
Mandiria. Lihat pucat, sianosis, belang, kulit
dingin/lembab. Catat kekuatan nadi perifer.
b. Monitoring adanya sianosis pada bagian distal tubuh.
c. Pantau vital sign tiap 6 jamKolaborasid. Berikan obat Antipiretik.
Mandiria. Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh
penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi.
b. Sianosis menandakan aliran darah tidak beredar secara adekuat.
c. Mengetahui keadaan umum bayi.Kolaborasid. Antipiretik berfungsi untuk menurunkan
suhu tubuh.
(CRT <2dtk) Tidak ada sianosis Akral hangat Nadi perifer teraba kuat
4. Risiko kekurangan volume cairan
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ….x...jam diharapkan volume cairan pasien terpenuhi, dengan kriteria hasil : Jumlah intake dan output
seimbang Tanda-tanda vital dalam batas
normal (RR bayi = 30-50 x/menit; bayi 120-160 x/menit; TD bayi 85/64 mmHg; suhu = 36-37,50 C)
Turgor kulit elastis Penurunan berat badan tidak
melebihi 10% dari berat badan lahir
Mandiria. Kaji refleks hisap bayi.
b. Berikan minum peroral bila refleks bayi tidak adekuat.
c. Timbang berat badan tiap hari.
d. Catat jumlah intake, output, frekuensi, dan konsistensi faeses bayi.
e. Pantau turgor kulit dan vital sign setiap 6 jam.
Kolaborasif. Kolaborasi daalam pemberian
cairan intravena sesuai kebutuhan bayi.
Mandiria. Mengetahui kemampuan bayi untuk
meghisap.b. Memenuhi keadekuatan intake cairan
bayi.c. Catat perubahan/hilangnya berat badan
bayi.d. Mengetahui kecukupan intake bayi.
e. Penurunan turgor kulit, suhu dan hearth rate yang meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi.
Kolaborasia. Memenuhi kebutuhan cairan yang tidak
dapat dipenuhi dengan cara oral.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan
yang telah dibuat.
5. Evaluasi
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan bilirubin tidak terkonjugasi di dalam
sirkulasi.
Evaluasi : Bilirubin total normal kurang dari 10 mg/dL.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan metabolik
(hiperbilirubin)
Evaluasi : integritas kulit normal.
c. Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan fluktuasi suhu
lingkungan
Evaluasi : termoregulasi stabil.
d. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan terpapar sinar
dengan intensitas tinggi
Evaluasi : kebutuhan volume cairan terpenuhi secara adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
Betz & Sowden. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. 2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.
Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
NANDA Internasional, 2010, Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2009-2011, Jakarta: EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Sarwono, P. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Soegeng Soegijanto. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan.
Jakarta: Salemba Medika.
Surasmi, Siti Handayani, dan Heni Nur Kusuma. 2003. Perawatan Bayi Risiko
Tinggi. Jakarta: EGC.
Wong, D. L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatik. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC.