Download - liquid smoke from nira.pdf
KAJIAN PENGAWETAN NIRA MENGGUNAKAN
ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengawetan Nira
Menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa adalah karya saya dengan arahan
komisi pembimibing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Tubagus Bahtiar Rusbana NRP F251070021
ABSTRACT TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA. Study of Palm Juice Preservation using Coconut Shell Liquid Smoke. Under direction of SLAMET BUDIJANTO and HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM.
Smoke is used traditionally as an alternative indirect way to preserve the palm juice. Preservation of palm juice using liquid smoke directly have never been conducted before. The aim of this study is to investigate the effects of redistilated liquid smoke to preserve the palm juice. The plam juice of Arenga pinnata was chose. Antimicrobial effect of crude liquid smoke was determinated. Concentration of crude liquid smoke at 0,50% until 3,00% gave the inhibitory effect of microbial growth in the palm juice, but it caused the colour of palm sugar getting dark. Redistilation was done to make the crude liquid smoke clearer. It also caused the change of total fenol. The method to measure the number of total fenol was AOAC 1995. Antimicrobial activity of redistilated liquid smoke was tested by suspension methode to determine the MIC. This test used concentrations 0,22% - 0,30%(v/v) for P.aeruginosa, 0,20% - 0,40%(v/v) for S.aureus, and 3,00% - 30,00%(v/v) for isolated lactic acid bacteria (LAB) from palm juice. When the redistilation liquid smoke applied in the nira, it used concentrations 0,50% - 3,00%(v/v). Total amount of microorganism and pH value were measured in this step. In conclusion, redistilation caused total fenol decrease 0,7%. The MIC value of P.aeruginosa S.aureus, and LAB isolate are 0,22%, 0,20% and 3,00% consecutively. The most preferable concentration of redestilated liquid smoke for application is 1,00 %. It is the smallest concentration that could prevent the decrease of pH by inhibit the microorganism growth until 12 hours. Keyword : liquid smoke; redistilated liquid smoke; MIC; pH; Palm Juice
RINGKASAN
TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA. Kajian Pengawetan Nira menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa. Dibawah bimbingan SLAMET BUDIJANTO dan HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM.
Gula merah merupakan gula hasil pengolahan nira tanaman palma banyak digunakan sebagai ingredient pada industri pangan. Keunggulan dari gula merah adalah memiliki nilai indeks glisemik (IG) rendah serta komposisi asam-asam organik dan komponen volatil yang terdapt didalamnya dapat memberikan rasa khas yang disukai secara sensori yang tidak dapat digantikan oleh gula putih (tebu). Akan tetapi, nira sebagai bahan baku pembuatan gula merah merupakan bahan yang mudah mengalami perubahan fermentatif akibat aktivitas mikroorganisme yang mengkontaminasinya selama penyadapan. Teknik pengawetan nira secara tradisional yang selama ini dilakukan belum dapat mengatasi masalah tersebut. Penerapan hasil penelitian pengawetan menggunakan natrium bisulfit, natrium metabisulfit dan natrium benzoat, serta zat aditif berupa penambahan kapur di satu sisi dapat mengawetkan nira tetapi disisi lain dapat menurunkan kualitas gula merah. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengawetan lain yang lebih efektif dan lebih terjamin dari segi keamanan pangan.
Penggunaan asap sebagai pengawet nira secara tidak langsung telah lama dilakukan oleh penderes dengan mengasapi wadah penampung (lodong). Penggunaan asap cair sebagai pengawet nira secara langsung belum pernah dilakukan. Penelitian ini mengkaji potensi asap cair tempurung kelapa sebagai pengawet nira. Asap cair tempurung kelapa diperoleh dari CV Wulung Prima, Desa Cihideung Udik – Ciampea, Bogor. Nira aren segar diambil dari penderes di Desa Cibogo, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Uji aktivitas mikroba dilakukan dengan menentukan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) asap cair hasil destilasi ulang terhadap bakteri uji dengan metode kontak (suspension test). Kultur murni yang digunakan adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, serta bakteri asam laktat (BAL) yang diisolasi dari nira. Uji aplikasi asap cair dilakukan dengan simulasi di laboratorium untuk menentukan konsentrasi berapa yang akan diujikan pada tahap simulasi penyadapan dengan melihat perubahan nilai pH, total mikroba, serta aplikasi langsung dalam pembuatan gula merah setelah penyadapan. Pengujian terakhir berupa uji organoleptik dan perubahan warna gula.
Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa penggunaan asap cair hasil pengendapan tanpa destilasi ulang (asap cair kasar) berpotensi untuk digunkan sebagai pengawet nira, tetapi penggunaan asap cair tersebut mempengaruhi karakteristik gula terutama warna. Gula merah yang dihasilkan berwarna hitam sehingga asap cair yang digunakan untuk tahap selanjutnya adalah asap cair hasil destilasi ulang (redestilasi).
Asap cair redestilasi memiliki kandungan total fenol lebih rendah 0,7% dari asap cair kasar tetapi memiliki penampakan jernih yang lebih baik dibandingkan dengan asap cair kasar. Pengujian aktivtas antimikroba menunjukkan nilai MIC asap cair redestilasi terhadap P.aeruginosa dan S.aureus berturut-turut adalah 0,22% dan 0,20%v/v, sedangkan nilai MIC asap cair redestilasi terhadap isolat BAL asal nira adalah 3,00%%.
Uji aplikasi asap cair redestilasi pada konsentrasi 0,50%, 1,00%, 1,50%, 2,00%, dan 3,00% menunjukkan bahwa konsentrasi 1,00% dapat digunakan untuk pengawetan nira. Nira yang disadap selama 12 jam dengan penambahan asap cair redestilasi pada konsentrasi 1,00% memiliki pH lebih dari enam. Gula merah yang dihasilkan dari nira tersebut memiliki warna coklat cerah dengan rasa yang disukai panelis pada tingkat kesukaan 5 (suka). Kata Kunci : Asap cair; Asap Cair Redestilasi; MIC; pH; Nira
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PENGAWETAN NIRA MENGGUNAKAN
ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA
Tesis sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Judul Tesis : Kajian Pengawetan Nira menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa Nama : Tubagus Bahtiar Rusbana NRP : F251070021
Disetujui,
Komisi Pembimbing Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr Ketua
Dr.Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Myor Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 9 September 2009
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Ir. Yadi Haryadi, M.Sc
PRAKATA
Alhamdulillahi rabbil ’aalamiin, sepenuh hati penulis ungkapkan rasa syukur atas selesainya penelitian bertema ”Kajian Pengawetan Nira menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa” yang diakhiri dengan penulisan tesis ini. Berangkat dari keprihatinan terhadap potensi besar yang dimiliki komoditi gula merah yang tersisihkan karena penggunaan pengawet yang tidak tepat dan proses pengolahan yang kurang baik, maka kajian ini dilakukan dengan harapan agar gula merah dari Indonesia dapat dikenal dan menjadi komoditi bernilai tinggi.
Penyelesaian tesis ini tidak dilakukan oleh penulis sendiri melainkan dengan bantuan beberapa pihak yang dengan penuh perhatian mendukung, mengarahkan, serta berjuang bersama penulis dalam rangka penyempurnaan kajian ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr yang telah memberi rekomendasi untuk kelanjutan studi S2 sekaligus menjadi pembimbing utama. Tidak ada penghargaan yang bisa saya berikan selain ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas jasanya selama ini.
2. Dr.Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum selaku anggota pembimbing yang senantiasa memberikan keluangan waktu dan curahan pemikiran ditengah kesibukan tugasnya.
3. Dr.Ir. Yadi hariyadi, M.Sc sebagai Dosen Penguji. Terima kasih atas waktu dan semua saran yang diberikan.
4. Ratri Hanindha Majid, S.P. Istri tercinta yang menjadi sumber motivasi, ilmuwan yang senantiasa memberikan solusi cerdas dalam setiap kesempitan, pendamping dengan segala curahan kasih sayang yang tidak ternilai tingginya bagi penulis, aca.
5. Ananda Tubagus Alifian Akhyar, kehadirannya memberi semangat dan ketenangan dalam kesibukan setiap hari.
6. Keluarga Semarang dan Keluarga Pandeglang yang memberikan doa dan dukungan baik moril maupun materil.
7. Rekan-rekan IPN 2007 terutama untuk Reski dan Zaim, serta Mbak Dwi dan keluarga.
8. Rekan-rekan satu laboratorium, Mbak Ari, Pak Taufik, Mbak Mar, Ibu Sofi, dan Ibu Sari; serta
9. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu dalam kesempatan ini.
Semoga apa yang kita lakukan senantiasa bermanfaat dan diberi balasan oleh Allah SWT sebagai tabungan amal kebajikan. ”Tak ada gading yang tak retak” merupakan pepatah yang tepat untuk karya ini sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritik agar karya ini menjadi lebih baik. Semoga karya ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya. Bogor, September 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 20 September 1981 sebagai
putra bungsu dari pasangan Hj. Masku’ah dan H. Tubagus Entus Basuni. Tahun
2003 penulis menyelesaikan jenjang Strata Satu di Institut Pertanian Bogor pada
jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Sejak tahun 2005 penulis diangkat menjadi
staf pengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan tahun 2007 penulis
berkesempatan untuk melanjutkan studi Strata Dua di Institut Pertanian Bogor
pada mayor Ilmu Pangan dengan dana beasiswa BPPS Dikti.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ........................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... v
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5
2.1. Gula Merah ............................................................................................. 5
2.2. Nira ......................................................................................................... 9
2.3. Penyadapan Nira dan Sumber-Sumber Kontaminasi Nira...................... 10
2.4. Mikrobiologi Nira .................................................................................. 14
2.5 Bakteri Asam Laktat dan Fermentasi Nira ............................................. 17
2.6. Derajat Keasaman (pH) Nira dalam Pembuatan Gula Merah ................ 19
2.7. Upaya-Upaya Pengawetan Nira ............................................................. 20
2.8. Aspek Keamanan Pangan dalam Penggunaan Zat Aditif ...................... 22
2.9. Asap Cair ................................................................................................ 23
2.10 Aktivitas Antimikroba Asap Cair........................................................... 24
2.11. Asap Cair Tempurung Kelapa............................................................... 25
2.12. Redestilasi Asap Cair ........................................................................... 28
3. METODOLOGI ...................................................................................... 30
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 30
3.2. Bahan dan Alat ....................................................................................... 30
3.3. Tahapan Penelitian dan Prosedur Pengujian .......................................... 30
3.3.1. Penelitian Pendahuluan ..................................................................... 33
3.3.2. Redestilasi Asap Cair ........................................................................ 33
3.3.3. Uji Aktivitas Antimikroba Asap Cair Redestilasi ............................. 34
3.3.4. Aplikasi Asap Cair Redestilasi untuk Pengawetan Nira ................... 36
3.3.5. Pembuatan Gula Merah dengan Menggunakan Konsentrasi Asap Cair Redestilasi Terpilih .................................................................. 38 3.3.6. Analisis Statistik ................................................................................. 39
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 40
4.1. Potensi Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Pengawet Nira.......................................................................................................... 40
4.2. Kadar Fenol Asap Cair Redestilasi ......................................................... 43
4.3. Aktivitas Antimikroba Asap Cair Redestilasi ........................................ 50
4.3.1. Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Redestilasi 46
4.3.2. Uji Aktivitas Antibakteri Asap cair Tempurung Kelapa Redestilasi terhadap Isolat Bakteri Asal Nira ...................................................... 49
4.4. Aplikasi Asap Cair Redestilasi sebagai Pengawet Nira ......................... 51
4.4.1. Perubahan pH selama 12 Jam Penyimpanan ..................................... 51
4.4.2. Perubahan Jumlah Mikroba selama 12 Jam Penyimpanan ............... 53
4.4.3.. Aplikasi Penyadapan Selama 12 Jam ............................................... 55
4.4.4. Simulasi Perubahan pH selama Penyadapan ..................................... 56
4.5. Uji Organoleptik .................................................................................... 57
4.6. Pengujian Warna .................................................................................... 58
5. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 61
5.1.Simpulan .................................................................................................. 61
5.2. Saran ........................................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 62
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Populasi Industri Gula Merah di Indonesia Tahun 2001 ................. 5
Tabel 2 Komposisi Asam Organik yang terdapat pada Kecap (mg/100g) .... 6
Tabel 3 Jenis dan Persentase Area Komponen Volatil Kecap Manis dan Gula Merah ................................................................................ 7
Tabel 4 Kategori Pangan Berdasarkan Indeks Glisemik ............................... 8
Tabel 5 Syarat Mutu Gula Palma berdasarkan SNI 01-3743-1995 ............... 9
Tabel 6 Komposisi Nira dari Berbagai Tanaman Palmae ............................. 10
Tabel 7 Isolat Mikroorganisme dari Nira Lontar pada Berbagai Waktu Fermentasi ........................................................................................ 16
Tabel 8 Komponen-Komponen yang Teridentifikasi dari Fraksi terlarut Asap Cair Tempurung Kelapa dalam dichloromethane.................... 27
Tabel 9 Jumlah Mikroba setelah Dikontakkan selama 24 Jam dengan Asap Cair Kasar pada berbagai Konsentrasi ............................................. 41
Tabel 10 Nilai L, a*, dan b* Gula Merah dari Nira yang Mengandung Asap Cair .......................................................................................... 59
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Proses Pengasapan Lodong menggunakan Pemuput .................... 12
Gambar 2 Proses Penyadapan Nira : (A) Penyayatan Ujung Mayang dan (B) Pemasangan Penampung Nira dan Penutupnya ...................... 13
Gambar 3 Alat Destilasi Asap Cair ................................................................ 29
Gambar 4 Skema Alur Penelitian Kajian Pengawetan Nira Menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa........................................................ 32
Gambar 5 Deskripsi Nilai L, a, dan b pada Pembacaan Chromameter .......... 38
Gambar 6 Asap Cair Kasar Tempurung Kelapa Hasil Pengendapan.............. 41
Gambar 7 Perubahan pH Nira setelah Diberi Perlakuan Penambahan Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 12 Jam .................. 42
Gambar 8 Gula Merah dari Nira yang Mengandung Asap Cair 0,50%.......... 43
Gambar 9 Total fenol Asap Cair Sebelum (A) dan Sesudah Destilasi (B) ..... 44
Gambar 10 Asap Cair Sebelum (A) dan Sesudah Destilasi (B) ...................... 45
Gambar 11 Jumlah S.aureus setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 24 Jam .................................. 46
Gambar 12 Jumlah P.aeruginosa setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 24 Jam ......................... 47 Gambar 13 Isolat Bakteri Asam Laktat Asal Nira Hasil Pewarnaan Gram .... 50
Gambar 14 Jumlah BakteriAsam Laktat setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 24 Jam................. 51
Gambar 15 Grafik Perubahan pH Nira yang Diberi Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 12 Jam Penyimpanan .................... 52 Gambar 16 Jumlah Total Mikroba pada Nira yang Diberi Asap Cair (AC) Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan ......................... 53
Gambar 17 Jumlah Total BAL pada Nira yang Diberi Asap Cair Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan .......................... 54
Gambar 18 Jumlah Total Khamir pada Nira yang Diberi Asap Cair Redestilasi 1% selama 12 Jam Penyimpanan ............................... 54
Gambar 19 Hubungan pH dan Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Fermentasi Nira selama 12 Jam Penyimanan .............................. 55
Gambar 20 Perubahan pH selama Simulasi Penyadapan selama 12 Jam Menggunakan Asap Cair pada Konsentrasi 1,00% dan 3,00% .... 56
Gambar 21 Penilaian Panelis terhadap Kenormalan Rasa Gula Merah dengan Nira yang Mengandung Asap Cair 1,00% dan 3,00%...... 58
Gambar 22. Warna Gula Merah dengan Asap Cair 1,00% (A) dan Gula Merah dengan Asap Cair 3,00% (B) .................................. 59
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Pengukuran Total Fenol Pada Asap Cair Tempurung Kelapa ...................................................................... 69 Lampiran 2. Hasil ANOVA Kadar Fenol Asap Cair Redestilasi .................... 70
Lampiran 3. Uji Lanjut Duncan untuk Pengaruh Destilasi ............................. 71
Lampiran 4. Penentuan MIC Asap Cair Redestilasi Terhadap P.aeruginosa . 72
Lampiran 5. Hasil ANOVA Nilai MIC P.aeruginosa ..................................... 73
Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC P.aeruginosa ..................... 75
Lampiran 7. Data Penentuan MIC S.aureus.................................................... 76
Lampiran 8. Hasil ANOVA Nilai MIC S.aureus ............................................ 77
Lampiran 9. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC S.aureus............................. 79
Lampiran 10. Data Penentuan MIC Isolat BAL ............................................. 80
Lampiran 11. Hasil ANOVA Nilai MIC Isolat BAL ...................................... 81
Lampiran 12. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC Isolat BAL ...................... 82
Lampiran 13. Perubahan pH Nira Selama 12 Jam Penyimpanan ................... 83
Lampiran 14. Hasil ANOVA Perubahan pH Nira Selama 12 Jam Penyimpanan ............................................................................ 84
Lampiran 15. Uji Lanjut Duncan untuk Konsentrasi ...................................... 86
Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan untuk Waktu .............................................. 87
Lampiran 17. Data Simulasi Penyadapan Nira ............................................... 89
Lampiran 18. Hasil ANOVA Perubahan pH Simulasi Penyadapan Nira ....... 90
Lampiran 19. Uji Lanjut Duncan untuk Konsentrasi ...................................... 92
Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan untuk Waktu .............................................. 93
Lampiran 21. Hasil Uji Organoleptik .............................................................. 95
Lampiran 22. Hasil ANOVA Uji Organoleptik .............................................. 96
Lampiran 23. Uji Lanjut Duncan untuk Kesukaan ......................................... 97
Lampiran 24. Uji Warna ................................................................................. 98
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Gula merah merupakan gula yang diperoleh dari pengolahan nira
tanaman palma seperti aren, kelapa, dan lontar (nipah). Di Indonesia, produksi
gula aren tersebar hampir diseluruh pulau. Daerah yang paling banyak
memproduksi gula merah adalah: Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Barat,
Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat (Sulaeman, 2002).
Hasil penelusuran media massa menunjukkan bahwa pengembangan
industri gula aren, salah satu jenis gula merah, mulai dilakukan pada tahun
2006 terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur,
Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Pada tanggal
14 Januari 2007 dilakukan ekspor perdana gula aren sebanyak 12,5 ton dari
Tomohon, Sulawesi Utara, ke Rotterdam, Belanda. Hal ini menunjukkan
bahwa gula merah memiliki pasar yang luas, tidak hanya dalam negeri tetapi
juga luar negeri (ekspor).
Keunggulan yang dimiliki gula merah diantaranya adalah memiliki
flavor dengan komposisi tertentu asam-asam organik dan komponen volatil
yang dapat memberikan rasa dan aroma khas sehingga penggunaannya sebagai
ingredient pada industri pangan seperti kecap manis dan makanan tradisional
tidak dapat digantikan oleh gula putih. Keunggulan lain dari gula merah
adalah memiliki nilai indeks glisemik (IG) sebesar 35 yang
menggolongkannya sebagai bahan pangan dengan IG rendah sehingga lebih
aman untuk dikonsumsi bagi para penderita diabetes karena tidak
menyebabkan kadar gula darah meningkat tajam.
Gula merah yang berkualitas diperoleh dari nira yang masih terjaga
kesegarannya. Nira adalah bahan baku gula merah berupa cairan yang keluar
dari mayang atau tandan bunga tanaman palma melalui proses penyadapan.
Nira merupakan produk yang sangat rentan terhadap kerusakan akibat
fermentasi oleh mikroorganisme yang mengkontaminasinya selama
penyadapan. Nira yang asam akibat proses fermentasi tidak dapat diolah
menjadi gula cetak karena sukar mengeras.
Antispasi terhadap kerusakan nira dilakukan dengan pengawetan baik
secara tradisional maupun dengan penambahan zat aditif. Teknik pengawetan
nira secara tradisional yang selama ini dilakukan oleh para penderes adalah
dengan melakukan pembersihan lodong (wadah penampung nira) dan
melakukan pemuputan atau pengasapan lodong sebelum digunakan untuk
menyadap. Ketika proses pemasakan nira menjadi gula merah dengan bahan
bakar kayu berlangsung, lodong yang telah dibersihkan diletakkan di atas
perapian. Dengan demikian lodong mengalami proses pengasapan dan
mendapat efek antimikroba. Upaya lain yang dilakukan adalah menambahkan
pengawet alami seperti kulit pohon manggis, kulit buah manggis muda, daun
manggis, akar kawao, kulit kayu ralu, dan sebagainya.
Pengetahuan mengenai pengawet kimia (zat aditif) mendorong petani
untuk menambahkan pengawet kimia seperti natrium bisulfit, natrium
metabisulfit, serta natrium benzoat ketika penyadapan dan pengolahan nira.
Penggunaan zat aditif seperti ini di satu sisi dapat mengawetkan nira tetapi
disisi lain mendatangkan masalah baru dimana para penderes menggunakan
zat aditif tersebut secara berlebihan sehingga dapat menurunkan kualitas gula
merah. Efek yang paling umum terjadi akibat penggunaan pengawet secara
berlebihan adalah timbulnya rasa (after taste) yang tidak enak. Efek lain
penggunaan zat aditif seperti sulfit yang berasal dari zat aditif makanan dapat
mengakibatkan serangan asma, rasa panas dan gangguan pada daerah
abdomen (perut). Hal ini tentu akan menjadi hambatan dalam pemasaran gula
merah sebagai komoditi ekspor.
1.2. Perumusan Masalah
Nira sebagai bahan baku gula merah memiliki sifat mudah mengalami
perubahan sifat psikokimia terutama penurunan pH akibat fermentasi spontan
oleh mikroorganisme. Kontaminasi mikroorganisme dalam nira bersumber
dari perlengkapan menyadap yang kurang bersih, kondisi penyadapan yang
terbuka, serta higiene penderes yang kurang baik ketika melakukan
2
penyadapan. Penurunan pH nira akibat fermentasi akan menghambat proses
pengkristalan sukrosa sehingga gula yang dihasilkan tidak padat. Nira yang
disadap tanpa disertai upaya pengawetan memiliki pH dibawah 5. Proses
pengkristalan sukrosa agar menghasilkan gula yang padat harus dilakukan
pada pH diatas 5,5. Penambahan pengawet sintetis seperti asam dan garam
benzoat serta senyawa golongan sulfit yang biasa digunakan penderes
mengakibatkan gula yang dihasilkan ditolak oleh konsumen khususnya
konsumen luar negeri. Penambahan kapur untuk menetralkan keasaman nira
yang sudah terlanjur asam mengakibatkan perubahan rasa pada gula yang
dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu langkah pengawetan guna
mencegah penurunan pH dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
yang mengkontaminasi nira selama penyadapan menggunaan pengawet yang
lebih efektif dan aman.
Pengasapan merupakan metode tradisional yang digunakan oleh petani
penderes untuk membantu membunuh mikroorganisme pada peralatan
penyadapan nira (lodong). Pengasapan tradisional ini belum dapat mengatasi
masalah fermentasi nira karena prosesnya tidak terkontrol dan efek
antimikroba yang didapatkan tidak seragam. Penggunaan asap cair secara
langsung belum pernah dilakukan. Asap cair merupakan hasil kondensasi asap
yang tidak mengandung zat karsinogenik dan memiliki aktivitas antimikroba,
serta terbukti sebagai ingredient yang aman. Penggunaan asap cair diharapkan
dapat menjadi pengawet alternatif nira yang aman dan lebih terkontrol proses
penggunaannya.
1.3. Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji penggunaan asap
cair tempurung kelapa sebagai pengawet nira yang lebih terkontrol dan lebih
aman, sedangkan tujuan khususnya yaitu (1) Mengevaluasi potensi asap cair
tempurung kelapa tanpa dan dengan destilasi ulang (redestilasi) sebagai
pengawet nira, (2) Menguji aktivitas antimikroba dengan menentukan
perubahan total fenol akibat destilasi ulang dan nilai MIC asap cair terhadap
bakteri gram positif, bakteri gram negatif, serta bakteri asam laktat (BAL) asal
3
nira, dan (3) Menentukan konsentrasi asap cair untuk aplikasi dalam
penyadapan nira yang mampu mempertahankan kesegaran nira (pH = 6 – 7)
selama penyadapan (12 jam).
1.4. Manfaat penelitian
Kajian ini dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam pengawetan
nira dan menjadi informasi ilmiah mengenai penggunaan asap cair sebagai
pengawet untuk komoditi pangan lainnya.
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gula Merah
Gula merah atau gula palma merupakan produk olahan yang diperoleh
dari pengolahan nira segar tumbuhan palma. Agroindustri usaha gula merah
umumnya terdapat di pedesaan pada skala rumah tangga dengan tingkat
permodalan yang kecil tetapi berkontribusi besar dalam memberikan
tambahan pendapatan bagi rumah tangga pengrajin. Gula merah diproduksi
dalam skala rumah tangga dengan jumlah unit produksi sebanyak 147.362 unit
(Sulaeman, 2002). Populasi industri gula merah di Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Populai Industri Gula Merah di Indonesia Tahun 2001
Daerah Penghasil Jumlah Unit Industri Jenis Gula
Sumatera Utara 454 Aren
Bengkulu 919 Aren
Jawa Barat dan Banten 11.809 Aren, Kelapa
Jawa Tengah 107.374 Aren, Kelapa, Tebu
Kalimantan Selatan 4.664 Aren, Kelapa
Bali 6.994 Aren
Nusa Tenggara Barat 404 Aren, Kelapa, Lontar
Sulawei Selatan 2.901 Aren, Kelapa, Lontar
Sulawesi Utara 1.792 Aren, Kelapa
Daerah lainnya 10.071 Aren, Kelapa, Lontar
Total 147.362
Sumber : Sulaeman (2002)
Hasil penelusuran mengenai perkembangan industri gula merah dari
media massa menunjukkan bahwa pengembangan industri gula aren mulai
dilakukan lagi pada tahun 2006 terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara,
Jawa Barat, Jawa Timur, Pulau Muna di Sulawesi Tenggara, Kalimantan
Barat, dan Kalimantan Timur (Tempointeraktif, 2006). Pada tanggal 14
Januari 2007 dilakukan ekspor perdana gula aren sebanyak 12,5 ton dari
Tomohon, Sulawesi Utara, ke Rotterdam, Belanda (Humas Kementerian
Korbidkesra, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa gula merah memiliki pasar
yang luas, tidak hanya dalam negeri tetapi juga luar negeri (ekspor).
Gula merah memiliki perbedaan sifat fungsional dengan gula putih
(tebu) terutama pada rasa manis, warna, aroma, dan keempukan. Karena
kekhasan yang dimilikinya, gula merah banyak digunakan sebagai ingredient
(bahan tambahan pangan) dalam berbagai jenis makanan dan minuman
tradisional. Gula merah dibedakan berdasarkan asal niranya. Gula kelapa, gula
aren, dan gula nipah masing-masing secara berturut-turut berasal dari nira
kelapa, nira aren, dan nira nipah. Soekarto et al. (1991) menjelaskan bahwa
penggunaan gula merah di industri pangan (kecap, dodol, dan tauco) lebih
banyak menggunakan gula kelapa dan gula aren.
Penelitian sensoris yang dilakukan oleh Apriyantono dan Wiratma
(1997) memberi kesimpulan bahwa penggunaan gula merah (gula kelapa dan
gula aren) sebagai ingredient pada kecap manis lebih disukai dari pada gula
putih. Hal ini disebabkan karena gula merah memiliki kandungan flavor khas
dengan komposisi tertentu asam-asam organik yang dapat memberikan rasa
disukai secara sensori.
Tabel 2 Komposisi Asam Organik yang terdapat pada Kecap (mg/100g)
Jenis Asam Organik Kecap Aren Kecap Kelapa Kecap Tebu
Asam Oksalat - 0,4 1,1
Asam Sitrat 7,3 3,5 -
Asam Tartarat 2,2 4,2 -
Asam Laktat 35,5 53,7 -
Asam Format 8,6 13,1 21,1
Asam Fumarat 1,6 1,0 2,7
Asam Malat 54,8 71,2 35,6
Asam Suksinat 54,5 49,8 918,4
Asam Asetat 14,6 23,1 2,5
Total 179,0 219,9 981,4
Sumber : Apriyantono dan Wiratma (1997)
Penggunaan gula merah sebagai ingredient pada pengolahan pangan
tradisonal lainnya, juga tidak dapat digantikan oleh gula putih. Hal ini
6
diperkuat oleh hasil penelitian Nurhayati (1996) yang menyimpulkan bahwa
hampir semua komponen volatil yang terdeteksi pada gula merah juga
terdeteksi pada kecap manis yang ingredientnya adalah gula merah (Tabel 3).
Tabel 3. Jenis dan Persentase Area Komponen Volatile Kecap Manis dan Gula
Merah Komponen
Volatil
Kecap
Kelapa
Gula
Kelapa
Kecap
Aren
Gula Aren Kecap Tebu Gula tebu
% Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ
Aldehid 5,43 4 0,74 3 3,40 3 - - 7,08 1 1,35 2
Keton 3,27 9 12,62 13 2,56 10 3,31 12 2,91 12 2,74 11
Alkohol 4,22 5 4,28 6 2,90 5 2,0 3 3,20 7 3,27 2
Asam 40,07 12 63,88 8 49,89 13 45,31 14 36,66 13 15,0 12
Furan 21,49 12 5,12 5 13,92 6 7,81 5 21,29 12 31,83 9
Pirazin 4,77 11 5,93 11 8,87 12 24,95 16 3,63 6 28,83 12
Pirol 1,11 4 0,48 3 1,40 3 1,36 3 0,68 2 1,25 3
Tiazol 0,19 1 0,21 2 - - - - - - - --
Tur. Benzene 10,07 7 0,66 4 11,01 7 4,69 6 13,71 8 1,39 6
Ester 3,88 9 1,47 7 3,13 7 - - 1,86 5 4,30 6
Hidrokarbon 0,10 3 0,69 3 0,20 2 0,06 1 0,33 4 0,68 3
Piridin 0,34 3 - - 0,28 1 0,46 3 - - 0,20 2
Piran 0,07 2 0,04 1 0,12 1 - - 0,08 1 0,47 3
Fenol 0,25 2 0,36 1 1,56 5 3,39 9 2,48 6 2,52 6
Unknown 4,47 22 3,62 22 10,85 27 4,66 24 6,09 32 7,13 31
Total 100,00 106 100,00 89 100,00 102 100,00 104 100,00 109 100,00 108
Sumber : Nurhayati (1996)
Keunggulan lain yang dimiliki gula merah ditunjukkan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Philippine Food and Nutrition Research
Institute (PFNRI) (2009) mengenai indeks glisemik gula merah. Indeks
glisemik (IG) merupakan angka yang menunjukkan tingkatan pangan
berdasarkan besarnya efek (immediate effect) pengaruh konsumsi suatu jenis
makanan terhadap kadar gula darah. Dengan mengetahui nilai IG suatu
makanan, penderita diabetes khususnya dapat melakukan pemilihan makanan
sendiri sehingga kadar gula darah dapat dikontrol. Makanan dengan nilai IG
tinggi mengindikasikan bahwa kandungan karbohidrat yang berada
7
didalamnya dapat dengan cepat diubah menjadi gula sederhana (glukosa) yang
menyebabkan kenaikan gula darah secara cepat. Kategori bahan pangan
berdasarkan nilai IG dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kategori Pangan Berdasarkan Indeks Glisemik
Kategori Pangan Rentang Indeks Glisemik*
IG Rendah < 55
IG Sedang (intermediate) 56 – 69
IG Tinggi >70 *Pangan acuan yang digunakan adalah glukosa
Sumber : Miller et al. (1996)
Miller (1996) diacu dalam Rimbawan dan Siagian (2004)
menjelaskan bahwa gula pasir (sukrosa) memiliki IG sedang yaitu 65.
Fruktosa murni memiliki IG sebesar 23 (rendah) karena untuk menjadi gula
darah harus diubah dahulu dalam hati menjadi glukosa sehingga respon
kenaikan gula darah pasca konsumsi fruktosa terjadi lebih lambat. Bahan
pangan yang mengandung sukrosa tinggi ternyata memiliki IG mendekati nilai
60, lebih rendah dari IG sukrosa sendiri. Begitupun dengan madu yang terdiri
dari beragam jenis gula, memiliki IG 58. Namun beberapa jenis madu yang
telah dicampur sirup glukosa memiliki IG sangat tinggi yaitu 87. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh komposisi gula (yang secara alami terdapat
didalam pangan seperti laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa dalam berbagai
proporsi) terhadap respon gula darah sangat sulit diprediksi.
Hasil penelitian PNFRI (2009) menunjukkan bahwa gula merah dari
nira kelapa (gula kelapa) memiliki indeks glisemik (IG) sebesar 35 sehingga
gula merah ini digolongkan sebagai bahan pangan dengan IG rendah.
Makanan dengan IG rendah dinilai lebih aman untuk dikonsumsi karena tidak
menyebabkan kadar gula darah meningkat tajam setelah dikonsumsi terutama
bagi para penderita diabetes.
Gula merah yang berkualitas diperoleh dari nira yang masih terjaga
kesegarannya. Kualitas gula merah menurut Standar Nasional Indonesia
memiliki syarat mutu seperti yang tercantum pada Tabel 5.
8
Tabel 5 Syarat Mutu Gula Palma berdasarkan SNI 01-3743-1995
Persyaratan No Kriteria Uji Satuan Cetak Granula/Butiran
1 Keadaan 1.1 Bentuk Normal Normal 1.2 Rasa dan Aroma Normal, Khas Normal, Khas 1.3 Warna Kuning Kecoklatan
sampai Coklat Kuning Kecoklatan sampai Coklat
2 Bagian yang tak larut air % b/b Maks. 1,0 Maks. 0,2 3 Air % b/b Maks. 10,0 Maks. 3,0 4 Abu % b/b Maks. 2,0 Maks 2,0 5 Gula Pereduksi % b/b Maks. 10,0 Min. 6,0 6 Jumlah gula sebagai
sakarosa % b/b Maks. 77 Min. 90
7 Cemaran Logam 7.1 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0 7.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0 Maks. 2,0 7.3 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0 7.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03 7.5 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0 8 Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0 Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (1995)
2.2. Nira
Nira adalah cairan mengandung gula yang diperoleh dari tanaman
tertentu seperti tebu dan tanaman palma. Nira tebu diperoleh dengan
melakukan pemerasan batang tebu, sedangkan nira dari tanaman palma
diperoleh dengan melakukan penyadapan. Tanaman palma yang umum
disadap niranya adalah kelapa, aren, dan lontar. Cairan yang mengandung gula
ini mempunyai pH netral sekitar 7 pada saat keluar dari mayang dengan kadar
air sekitar 80-85% (Lalujan, 1995). Komposisi nira dari berbagai jenis
tanaman palma disajikan pada Tabel 6.
Komposisi nira pada berbagai jenis tanaman palma tidak begitu
berbeda jauh. Semua komponen tersebut merupakan faktor-faktor yang
menentukan karakter dari produk olahan yang dihasilkan. Walaupun
demikian, perbedaan kandungan komponen organik mikro seperti asam
organik, gula perduksi, jumlah protein, serta kondisi nira ketika akan diolah
dan penggunaan zat aditif pada akhirnya akan membedakan karakteristik gula
yang dihasilkan (Apriyantono dan Wiratma, 1997; Nurhayati, 1996).
9
Tabel 6 Komposisi Nira dari Berbagai Tanaman Palma
Kandungan (%) pada : Komposisi Kelapa Siwalan/Lontar Aren
Air 87,78 87,00 85,00 Sukrosa 10,88 10,93 13,69 Gula Pereduksi 0,21 0,96 0,23 Protein 0,17 0,35 0,20 Lemak 0,37 0,02 0,11
Sumber : Lalujan (1995) Putra (1990) dan Apriyantono et al. (2003) menyatakan bahwa
komponen pada nira yang menjadi reaktan proses pencoklatan pada
pembuatan gula merah adalah gula dan protein. Komponen gula yang
berpengaruh pada pembentukan warna coklat dalam pembuatan gula merah
adalah glukosa dan fruktosa (sebagai gula perduksi) dan reaksi Maillard
memegang peranan penting dalam pembentukan warna coklat dari gula merah.
Kemampuan nira untuk mengeras (mengkristal) ditentukan oleh kandungan
sukrosa dan keasaman nira. Penggunaan kapur untuk menetralkan nira yang
telah sedikit asam akan menyebabkan warna gula menjadi lebih gelap,
sebaliknya penggunaan senyawa sulfit sebagai pengawet akan meningkatkan
kecerahan warna gula merah karena sulfit menghambat terjadinya reaksi
pencoklatan.
2.3. Penyadapan Nira dan Sumber-Sumber Kontaminasi Nira
Penyadapan nira dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi hari dan
sore hari. Nira hasil penyadapan yang dimulai pada pagi hari dikumpulkan
pada sore harinya, sedangkan yang disadap pada sore hari dikumpulkan pada
pagi hari berikutnya. Proses penyadapan nira diawali dengan mempersiapkan
lodong (wadah penmpung nira). Pembersihan lodong yang biasa dilakukan
yaitu dengan membasuh lodong menggunakan air dingin, kemudian dibasuh
dengan air panas sesaat sebelum lodong dibawa menuju tempat penyadapan.
Pembersihan lodong juga dilakukan dengan pengasapan selama sepuluh menit
menggunakan suatu alat khusus (pemuput). Penggunaan lodong saat ini mulai
digantikan dengan ember plastik karena lebih praktis.
Lodong merupakan salah satu sumber kontaminasi silang terhadap
nira yang akan disadap. Iskandar (1991) menjelaskan bahwa pembersihan
10
lodong dengan menggunakan air panas dan pengasapan pada bumbung yang
masih baru tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap pH, kadar sukrosa, dan
kadar gula pereduksi dari nira aren. Lodong yang telah digunakan berulang-
ulang tidak cukup hanya dibasuh dengan air karena bumbung yang telah lama
biasanya memiliki retakan-retakan yang sangat mungkin untuk ditumbuhi
berbagai jenis mikroorganisme perusak nira dan tidak terbersihkan sewaktu
dilakukan pencucian. Oleh karena itu bumbung sering juga disucihamakan
dengan menggunakan kaporit atau dengan asap belerang (BBIHP, 1984; diacu
dalam Iskandar, 1991).
Bakteri asam laktat, khamir, serta mikroorganisme lainnya dapat
mengkontaminasi nira jika lodong yang digunakan dalam penyadapan nira
tidak bersih. BAL diduga kuat merupakan mikroba awal yang menyebabkan
kerusakan nira. Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang dicirikan
dengan hasil metabolisme terhadap karbohidrat yang membentuk asam laktat
(sebagai produk utama) yang berdampak pada penurunan pH nira. BAL
merupakan bakteri pembusuk berbentuk basil golongan gram positif
sedangkan P.aeruginosa merupakan bakteri pembusuk berbentuk basil,
termasuk dalam golongan bakteri gram negatif yang sering menimbulkan
kerusakan pada berbagai jenis makanan (Fardiaz, 1992). .
Pengasapan yang dilakukan oleh petani penderes dilakukan dengan
dua cara. Cara pertama dengan memanfaatkan asap pada saat pembuatan gula.
Ketika proses pembuatan gula dilakukan, lodong diletakkan diatas perapian
sehingga asap pembakaran melingkupinya. Proses pengasapan lainnya adalah
dengan menggunakan alat khusus yang disebut pemuput atau alat untuk
memuput (mengasapi). Proses pemuputan dilakukan kurang lebih sepuluh
menit.
Gambar 1 menunjukkan proses pengasapan yang sedang dilakukan
oleh penderes sebelum lodong digunakan untuk menyadap. Asap yang
digunakan pada proses pengasapan berasal dari pembakaran berbagai macam
kayu. Dengan demikian, proses pengasapan yang dilakukan secara tradisional
ini tidak terkontrol dan setiap kali proses ini dilakukan efek antimikroba yang
didapatkan tidak seragam.
11
LODONG
PEMUPUT
Gambar 1 Proses Pengasapan Lodong menggunakan Pemuput.
Setelah proses pembersihan dan pengasapan lodong selesai,
selanjutnya dilakukan penyadapan. Petani menggunakan sigay, sejenis tangga
dari sebatang bambu, untuk mencapai posisi tandan yang terdapat dibagian
atas pohon aren. Panjang sigay mencapai 15 sampai 20 meter. Penyadapan
pertama kali dilakukan dengan memotong tandan bunga atau mayang. Untuk
mengawali proses penyadapan berikutnya dilakukan dengan menyayat
permukaan mayang yang telah dipotong. Penyayatan yang dilakukan setiap
kali akan menyadap mengakibatkan panjang mayang mengalami pengurangan
sampai akhirnya tidak dapat disadap lagi.
Purnomo (1997) menjelaskan bahwa pemotongan atau pengirisan
ujung mayang dilakukan untuk mempermudah proses keluarnya nira. Jika
tidak dilakukan pengirisan, ujung mayang akan mengalami kebusukan dan
pori-pori mayang tetutup sehingga nira yang dihasilkan jumlahnya sedikit dan
terkontaminasi mikroba yang sudah tumbuh lama pada ujung mayang.
Purnomo (1997) juga menjelaskan bahwa pada penyadapan nira kelapa yang
baik, pengirisan batang mayang dilakukan ketika ujung mayang yang telah
dipotong sebelumnya mengalami kebusukan. Tebal irisan tidak boleh terlalu
tipis dan juga tidak boleh terlalu tebal. Pengirisan yang baik adalah pada
permukaan mayang yang layu saja. Jika terlalu tebal akan merugikan petani
karena masa penyadapan akan berkurang, sedangkan jika terlalu tipis akan
12
menyisakan bagian mayang yang layu dan telah terkontaminasi
mikroorganisme.
Gambar 2 memperlihatkan proses penyadapan nira oleh penderes.
Pada penyayatan mayang aren, pemotongan dan penyayatan mayang
dilakukan dengan menggunakan golok yang tajam. Penyayatan mayang
dilakukan dengan teknik khusus sehingga tetesan nira tepat masuk kedalam
wadah penampung. Setelah penyayatan dilakukan, wadah penampung yang
telah disiapkan dipasang dengan cara dikaitkan pada mayang sedemikian rupa
sehingga tetesan nira dapat tertampung. Setelah wadah penampung dipasang,
dilakukan penutupan dengan menggunakan penutup yang dibuat dari kulit
pohon, kain atau plastik.
A B
Gambar 2 Proses Penyadapan Nira : (A) Penyayatan Ujung Mayang dan (B) Pemasangan Penampung Nira dan Penutupnya.
Pisau atau golok yang digunakan sebagai alat pengiris biasanya
diasah menggunakan batu asah dan air terlebih dahulu. Golok dengan kondisi
tidak bersih ini merupakan sumber kontaminasi terhadap nira yang disadap.
Kondisi penampung yang terbuka merupakan sumber kontaminasi yang lain
dimana dari udara bebas akan masuk kontaminan. Penutupan wadah
penampung bertujuan untuk melindungi nira agar tidak terkena panas matahari
langsung dan tidak terkena air hujan. Tetapi penutupan yang dilakukan tidak
dapat menghindarkan nira dari jangkauan serangga seperti lebah, lalat, dan
semut. Serangga-serangga ini merupakan agen sumber kontaminasi karena
pada permukaan tubuhnya membawa mikroorganisme yang bisa
mengkontaminasi dan memfermentasi nira.
13
Nira segar yang keluar dari tandan dan belum mengalami fermentasi
mempunyai pH netral dengan kadar air sekitar 80-85% (Lalujan, 1995). Nira
yang dihasilkan dari pohon aren dapat mencapai lima liter dari satu mayang
untuk sekali penyadapan. Nira yang dihasilkan dari pohon kelapa volumenya
lebih sedikit dalam satu kali penyadapan yaitu berkisar antara 1 sampai 1,5
liter (Purnomo, 1997). Hal inilah yang menyebabkan mengapa lodong yang
digunakan untuk menampung nira aren berbentuk lebih besar dan lebih
panjang dibandingkan dengan lodong untuk menampung nira kelapa yang
betuknya lenih kecil dan lebih pendek. Volume nira yang dihasilkan semakin
berkurang sampai akhirnya tidak ada lagi nira yang menetes dari mayang.
Selain karena pengirisan mayang yang dilakukan setiap hari, berkurangnya
volume nira juga dipengaruhi oleh musim. Pada musim kemarau, nira yang
dihasilkan lebih sedikit sedangkan pada musim hujan sebaliknya, nira yang
dihasilkan lebih banyak.
Proses penyadapan nira yang sepenuhnya dilakukan secara manual
oleh penderes memungkinkan terjadinya kontaminasi silang. Staphylococcus
aureus merupakan salah satu bakteri patogen yang keberadaannya
berhubungan dengan higiene dari manusia yang mengelola bahan pangan
(Sunen, 1998). S.aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk kokus yang
tumbuh secara optimum pada suhu 350-370 C dengan pH 7,0 – 7,8. Kondisi
higiene penderes yang kurang baik merupakan suatu peluang bagi S.aureus
untuk tumbuh dengan baik pada nira.
2.4. Mikrobiologi Nira
Pengolahan cairan bergula alami seperti nira umumnya dilakukan
masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penelitian-penelitian yang
berkembang tentang nira umumnya dihubungkan dengan proses pengolahan
fermentatif nira menjadi minuman beralkohol dan asam asetat. Hal inilah yang
menyebabkan reaksi perubahan psikokimia seperti perubahan pH, kadar gula,
total asam, dan kadar alkohol yang terjadi pada nira diidentikkan dengan hasil
metabolisme khamir dan bakteri asam asetat.
14
Perubahan sifat nira akibat fermentasi mulai tampak satu sampai dua
jam setelah dikumpulkan. Perubahan yang terjadi berupa penuruan pH dan
peningkatan kadar alkohol. Organisme yang bertanggung jawab dalam
perubahan nira adalah S.cerevisiae dan Schizosaccharomyces pombe dari
golongan khamir dan Lactobacillus plantarum serta Leuconostoc
mesenteroides dari golongan bakteri. Jika fermentasi dibiarkan terus lebih dari
96 jam maka nira akan berubah menjadi cuka (vinegar). Selama 24 jam
penyimpanan, pH nira akan berubah dari 7,4-6,8 menjadi 5,5 dan kandungan
alkohol juga meningkat menjadi 1,5-2,1%. Selama 72 jam, kadar alkohol
dapat mencapai 4,5%-5,2% dan pH 4,0. Senyawa asam organik yang biasanya
terdapat pada nira asam ini adalah asam laktat, asam asetat, dan asam tartarat
(Battcock dan Azam-Ali, 1998).
Fermentasi yang terjadi pada pembuatan minuman dari sari buah
anggur juga tidak jauh berbeda. Fermentasi yang terjadi dapat bersifat spontan
dengan menggunakan khamir yang berada pada kulit anggur atau
menggunakan kultur starter berupa S.cerevisiae. Penggunaan khamir yang
terdapat secara alami pada kulit buah anggur menyebabkan hasil akhir
fermentasi tidak terkontrol. Fermentasi akan terhenti secara alami ketika gula
yang dapat difermentasi telah habis atau ketika kadar alkohol mencapai kadar
limit toleransi bagi pertumbuhan khamir. Penghentian proses fermentasi juga
dapat dilakukan secara teknis dengan menambahkan alkohol atau dengan
sentrifugasi dan filtrasi steril (Battcock dan Azam-Ali, 1998).
Sumanti et al. (2004) dan Okrafor (1978) menyatakan fermentasi
spontan yang terjadi pada nira adalah fermentasi laktat-alkohol-asetat yang
melibatkan bakteri asam laktat, khamir, dan bakteri asam asetat. Bakteri
Leuconostoc spp dan Lactobacillus spp merupakan mikroorganisme awal yang
diduga dominan terdapat dalam nira segar. Saccharomyces cereviceae adalah
khamir yang biasa melakukan fermentasi alkohol. Bakteri asam laktat dan
khamir bekerja secara bersama dalam proses fermentasi nira. Mikroorganisme
terakhir yang berperan adalah bakteri pembentuk asam asetat, antara lain
Acetobacter spp, C. mycoderma, dan S. pombe.
15
James dan Chen (1985) menyatakan bahwa nira memiliki kandungan
gula yang tidak cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme,
bahkan merupakan media yang baik untuk petumbuhan mikroorganisme jika
nira dibiarkan beberapa waktu. Cahyaningsih (2006) melakukan isolasi
mikroorganisme pada beberapa waktu fermentasi (Tabel 7). Berdasarkan data
ini maka dapat dinyatakan bahwa BAL merupakan mikroorganisme awal yang
bertanggung jawab dalam fermentasi awal nira.
Tabel 7. Isolat Mikroorganisme dari Nira Lontar pada Berbagai Waktu
Fermetasi Jam ke- Nilai pH Jenis Mikroorganisme Total BAL (CFU/ml)
0 6,5 Khamir dan BAL 3,6 x 102
6 5,3 Bacillus, khamir dan BAL 6,8 x 107
12 4,8 Bacillus, khamir dan BAL 6,4 x 105
24 4,1 Bacillus, khamir dan BAL 7,1 x 103
36 3,6 Bacillus dan khamir -
48 3,6 Bacillus dan khamir -
Sumber : Cahyaningsih (2006)
Bakteri asam laktat yang berhasil diisolasi oleh Cahyaningsih (2006)
diidentifikasi sebagai Lactobacillus plantarum dan Leuconostoc
mesenteroides. Kehadiran BAL didalam fermentasi nira berlangsung selama
24 jam. Setelah itu mikroorganisme yang tetap bertahan adalah khamir dan
Bacillus.
Kehadiran BAL dalam proses fermentasi nira dan pengolahan sari
anggur menjadi minuman beralkohol sangat tidak diharapkan karena hasil
metabolisme BAL akan menyebabkan produk yang dihasilkan berasa asam.
Kerusakan produk akhir pada minuman beralkohol juga disebabkan oleh
kehadiran bakteri pembentuk asam asetat yang mengoksidasi alkohol menjadi
asam asetat sehingga minuman beralkohol tersebut memiliki bau yang
menyimpang dan rasa yang asam. Oleh karena itulah maka dalam tahap awal
pembuatan minuman anggur beralkohol pada skala industri dilakukan
penambahan potassium metabisulfit untuk mencegah pertumbuhan
mikroorganisme yang tidak diinginkan (Jay et al., 2005).
16
2.5. Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Fermentasi Nira
Penelitian Cahyaningsih (2006) mendukung pernyataan Okrafor
(1978) dan Sumanti et al. (2004). Berdasarkan hasil penelitiannya, BAL
diduga kuat merupakan mikroba awal yang menyebabkan fermentasi nira.
Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang dicirikan dengan hasil
metabolisme terhadap karbohidrat yang membentuk asam laktat (sebagai
produk utama). Produksi asam oleh BAL sangat cepat sehingga dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Bakteri asam laktat
merupakan bakteri gram positif, tidak membentuk spora, berbentuk bulat,
katalase dan oksidase negatif, non motil atau sedikit motil, mikroaerofilik
sampai anaerob, toleran terhadap asam, kemoorganotrofik, dan mesofilik
(Salminen et al. 2004; Stamer, 1979).
Jenis bakteri yang termasuk kedalam BAL adalah family
Lactobacilliceae yaitu Lactobacillus, serta family Streptoceae yaitu
Leuconostoc, Streptococus, dan Pediococus (Fardiaz, 1992). Nettless dan
Brefort (1993) menyatakan genus BAL antara lain Lactococcus, Pediococcus,
Leuconostoc, Lactobacillus dan Carnobacterium.
Bakteri asam laktat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan
kemampuannya memetabolisme karbohidrat dan produk akhir yang
dihasilkan, yaitu BAL homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri asam
laktat homofermentatif memfermentasi glukosa menjadi asam laktat. Bakteri
asam laktat heterofermentatif memetabolisme glukosa menjadi asam laktat,
asam asetat, etanol, dan CO2 (Sharpe, 1979). Salminen et al. (2004) juga
menerangkan bahwa BAL homofermentatif memetabolisme gula melalui jalur
Embden-Meyerhoff-Parnass menghasilkan produk utama berupa asam laktat,
sedangkan BAL heterofermentatif memetabolisme gula melalui jalur
fosfoketolase menjadi asam laktat dan produk organik lainnya seperti alkohol,
asam asetat, asam lemak bebas, asam format, amonia, diasetil, asetonin, dan
CO2. Umumnya BAL bekerja pada kondisi mikroaerofilik dan anaerobic
(Ayres et al. 1980).
Battcock dan Azam-Ali (1998) menjelaskan metabolisme BAL
homofermentatif berjalan dengan reaksi kimia sebagai berikut :
17
C6H12O6 2 CH3CHOHCOOH Glukosa
Asam Laktat
Sedangkan pada BAL heterofermentatif berlangsung dengan reaksi kimia
sebagai berikut :
C6H12O6 CH3CHOHCOOH+ C2H5OH+ CO2
Glukosa
Asam Laktat Etanol Karbondioksida
Goutara dan Wijandi (1985) menjelaskan kerusakan nira akibat
aktivitas mikroorganisme ditandai dengan rasa asam pada nira, berbuih putih,
dan berlendir. Perlengkapan menyadap yang kurang bersih, kondisi
penyadapan yang terbuka, kebersihan tangan penderes serta waktu
penyadapan yang cukup lama merupakan faktor-faktor yang menyebabkan
nira terkontaminasi oleh mikroorganisme. Rasa asam yang timbul pada awal
kerusakan nira merupakan efek dari asam laktat yang dihasilkan oleh BAL.
Proses fermentasi selanjutnya dilakukan oleh BAL dan khamir secara
bersama-sama menghasilkan asam laktat, etanol dan terbentuknya gas CO2
yang diindikasikan dengan terbentuknya buih pada nira. Kekeruhan dan
penampakan pada nira yang lebih kental dan berlendir disebabkan oleh kerja
Saccharomyces spp. Keruskan nira diakhiri dengan terbentuknya asam asetat
dari proses oksidasi etanol oleh bakteri asam asetat. Reaksi yang umum terjadi
pada proses fermentasi adalah sebagai berikut:
C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2Glukosa / Fruktosa Khamir Etanol Karbondioksida C2H5OH + O2 CH3COOH + H2O Etanol Bakteri asam asetat Asam Asetat Air
Turunnya pH akibat asam laktat meningkatkan laju pertumbuhan dan
metabolisme BAL, menekan aktivitas bakteri tidak tahan asam, serta
meningkatkan laju degradasi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa
dan fruktosa yang terbentuk meningkatkan laju pertumbuhan dan metabolisme
khamir menghasilkan etanol yang berkontribusi pada penghambatan
18
pertumbuhan BAL dan khamir itu sendiri. Etanol selanjutnya dioksidasi oleh
bakteri asam asetat menjadi cuka.
2.6. Derajat Keasaman (pH) Nira dalam Pembuatan Gula Merah
Faktor utama yang menjadi kunci dalam pengolahan nira menjadi
gula padat adalah derajat keasaman nira. Nira yang baik untuk menjadi gula
merah adalah nira yang memiliki pH diatas 6. Jackson (1995) mengungkapkan
bahwa sukrosa dapat mengkristal dengan baik pada kondisi pH diatas 5,5.
Pada kondisi ini, reaksi degradasi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa
sangat sedikit sekali terjadi. pH nira akan dengan cepat mengalami penurunan
karena adanya fermentasi oleh mikroorganisme yang mengkontaminasinya.
Sukrosa akan mengalami degradasi akibat lingkungan yang asam,
panas, dan mineral tertentu melalui reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis (reaksi
inversi) sukrosa dapat terjadi secara spontan pada kondisi asam (Wang, 2004).
Sebagai contoh, sirup sukrosa dengan pH 3,2 yang disimpan pada suhu 200C
selama tiga bulan akan mengalami inversi glukosa sebesar 10% dan hanya
0,1% pada pH 5,5 (Jackson, 1995). Banyaknya ion H+ pada kondisi asam
menyebabkan sukrosa mengalami inversi menjadi fruktosa dan glukosa.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
C12H22O11+ H2O + H+ C6H12O6 + C6H12O6+ H+
(sukrosa) air ion (fruktosa) (glukosa)
Reaksi hidrolisis ini dipercepat dengan adanya pemanasan, dikatalisis oleh
enzim invertase, serta kehadiran mineral tertentu seperti mineral pada garam.
Reaksi ini bersifat endotermik dan irreversible dengan energi aktivasi 25,9
kkal/mol. Jackson (1995) menjelaskan bahwa pada pH diatas 5,5 hanya terjadi
sedikit inversi sukrosa. Jika dilakukan pemanasan pada nira yang memiliki
pH 4 – 3,5 atau lebih rendah maka sukrosa yang terdegradasi bisa mencapai
50%.
Tingginya kadar keasaman (nilai pH rendah) serta kadar glukosa dan
fruktosa dalam nira akan menghambat terjadinya proses pengkristalan sukrosa
(Laos et al.,2007). Nilai pH yang rendah disertai proses pemanasan (pada
pemasakan nira) menyebabkan proses degradasi sukrosa semakin tinggi.
19
Glukosa dan fruktosa sebagai hasil reaksi inversi memiliki kelarutan yang
sangat tinggi dalam air sehingga sulit untuk dikristalkan bahkan menghambat
proses kristalisasi (Winarno, 1992).
Laos et al. (2007) melakukan suatu simulasi kristalisasi supersaturasi
sukrosa dengan kehadiran fruktosa dan glukosa. Secara umum, kehadiran
kedua gula pereduksi tersebut akan memperlambat proses kristalisasi. Agar
dapat terbentuk kristal, rasio minimal antara sukrosa dan glukosa adalah
80:20, sedangkan untuk rasio sukrosa dan fruktosa adalah 90:10. Hal ini
menunjukkan bahwa proses kristalisasi gula lebih dipengaruhi oleh kehadiran
fruktosa. Konsentrasi 10% fruktosa akan menghambat proses kristalisasi
sukrosa. Pada pengolahan gula merah, hal ini diindikasikan dengan hasil akhir
yang tidak bisa memadat.
2.7. Upaya-Upaya Pengawetan Nira
Penurunan pH nira akibat fermentasi menyebabkan kadar sukrosa
menurun dan kandungan gula pereduksi meningkat. Perubahan psikokimia
akibat fermentasi pada akhirnya mempengaruhi mutu gula yang dihasilkan.
Nira yang telah asam karena fermentasi tidak dapat diolah menjadi gula merah
yang padat. Hal ini mendorong petani penderes melakukan berbagai upaya
pengawetan untuk menjaga mutu nira agar tetap terjaga kesegarannya. Selain
pengawetan secara tidak langsung dengan mengasapi lodong, petani penderes
juga melakukan upaya pengawetan yang sifatnya tradisional.
Pengawetan tradisional yang dilakukan diantaranya dengan
menambahkan potongan atau irisan kulit batang kayu manggis, kayu ralu,
kayu kesambi, akar kawao, kulit buah manggis muda, daun manggis, dan
sebagainya. Penggunaan pengawet tradisional ini belum efektif karena setelah
penyadapan, petani penderes biasa menambahkan air kapur untuk menetralkan
nira yang sudah sedikit asam. Penambahan bahan tambahan ini akan
menurunkan kualitas gula merah.
Penelitian mengenai pengawetan nira telah banyak dilakukan.
Kusumah (1992) dan Mansyur (1992) menggunakan natrium metabisulfit dan
kapur. Penggunaan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 70 sampai 100
ppm serta kapur 500 ppm dapat digunakan untuk mengawetkan nira aren dan
20
nipah. Widyaningsih et al. (1985) menggunakan natrium metabisulfit, kapur,
dan toluene masing-masing sebanyak 0,10% sebagai pengawet. Natrium meta
bisulfit efektif digunakan dalam pengawetan nira dan mampu menghambat
reaksi pencoklatan. Penggunaan kapur lebih berpengaruh pada warna gula
merah dimana warna gula yang dihasilkan menjadi lebih gelap. Penggunaan
toluene efektif untuk pengawetan nira, namun hasil gula merah yang
dihasilkan kurang baik dimana warna gula tidak sebaik gula yang diawetkan
dengan natrium metabisulfit.
Yasni et al. (1999) mengkaji penggunaan ekstrak kayu ralu. Kayu
ralu yang dapat digunakan untuk mengawetkan nira adalah 10 gram serbuk
kayu untuk 2-3 liter nira aren. Ekstrak kayu ralu yang paling berpotensi untuk
digunakan sebagai pengawet nira adalah ekstrak polar pertengahan dengan
konsentrasi 300 ppm dan diduga mengandung senyawa fenol dan terpenoid.
Hamzah dan Hasbullah (1997) menggunakan pengawet alami untuk
pengawetan nira aren. Pengawet yang digunakan berupa kulit buah manggis
muda (3 g/l nira), kulit pohon rupih (3g/l nira), kulit pohon nangka (4g/l nira),
dan daun manggis (4g/l nira). Pemberian pengawet alami ini mampu
menghasilkan nira dengan pH 5,82 sampai 6,25 dan menghasilkan gula yang
memenuhi standar mutu gula semut (SII No. 2043 – 87). Penggunaan kulit
manggis muda memberikan hasil yang terbaik dalam menjaga pH, kadar gula
pereduksi, dan mutu gula akhir.
Sunantyo (1997) menggunakan pengawet tatal kayu nangka (10g/l
nira) ditambah susu kapur (10 ml 50Be/l nira) untuk menggantikan
penggunaan SO2 pada pengawetan nira kelapa pada pembuatan gula semut.
Azima (1997) melakukan pengawetan nira nipah dengan menggunakan kapur
sebanyak 0,5 – 1,5g/l nira selama pengumpulan dan menunggu proses
pengolahan. Penggunaan kapur dalam penelitian ini ditujukan untuk
menetralisir nira yang telah asam. Hasil yang terbaik adalah penambahan
kapur sebanyak 1,5g/l nira.
Lalujan (1995) dalam kajian pengawetan nira aren untuk industri
kecil merekomendasikan penggunaan kapur (CaO) sebanyak 300-500 ppm,
natrium benzoat 700 – 900 ppm, dan natrium metabisulfit 200-400 ppm.
21
Penggunaan kapur lebih dari 800 ppm menghasilkan rasa, warna, dan bau
yang tidak disukai secara sensori.
Hasil penelitian ini telah banyak diadopsi oleh masyarakat termasuk
penggunaan zat aditif. Namun ternyata menjadi bumerang ketika gula merah
yang dihasilkan tertolak dari pasar (terutama ekspor) karena penggunaan zat
aditif yang digunakan dalam penelitian diatas tidak disukai bahkan dihindari
oleh konsumen luar negeri yang lebih memperhatikan aspek kemanan dan
kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengawetan lain yang lebih
efektif dan lebih terjamin dari segi keamanan pangan.
Pengasapan merupakan metode tradisional yang digunakan oleh
petani penderes untuk membantu membunuh mikroorganisme pada peralatan
penyadapan nira (lodong) dan merupakan pengawetan nira secara tidak
langsung. Aliudin (2009) dan Iskandar (1997) menerangkan bahwa kegiatan
pengasapan lodong atau memuput dilakukan oleh penderes untuk mengurangi
atau membunuh mikroba. Proses pengasapan dapat juga dilakukan secara
khusus dengan menggunakan alat puputan atau pamuput selama kurang lebih
sepuluh menit.
2.8. Aspek Keamanan Pangan dalam Penggunaan Zat Aditif
Penggunaan zat pengawet harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku seperti batas maksimal yang boleh masuk ke dalam tubuh atau
acceptable daily intake (ADI). Setiap zat pengawet telah ditentukan jumlah
ADI-nya. CSPI (The Centre of Science in the Public Interest)
mengkategorikan zat pengawet menjadi pengawet yang benar-benar aman,
harus diperhatikan jumlahnya agar aman, harus diwaspadai karena belum diuji
keamanannya, harus dihindari orang tertentu, serta kategori harus dihindari
setiap konsumen (Syah et al., 2005).
Natrium benzoat dan asam benzoat merupakan bahan pengawet yang
aman, tetapi jika jumlahnya berlebihan akan berpengaruh pada aftertaste yang
menimbulkan gangguan secara sensori. Kelompok sulfit seperti sulfur
dioksida, natrium bisulfit, natrium metabisulfit dan sejenisnya, dikategorikan
sebagai zat pengawet yang harus dihindari oleh orang tertentu. Kelompok
sulfit merupakan pengawet sekaligus pemutih yang biasa digunakan untuk
22
buah kering, anggur (wine), dan kentang olahan. Penggunaan sulfit lebih
khusus lagi digunakan sebagai senyawa untuk mencegah terjadinya reaksi
pencoklatan (Syah et al., 2005).
Mahakkapong (2004) merinci pengaruh penggunaan sulfit sebagai
zat aditif dalam gula kelapa di negara Thailand. Sulfit digunakan untuk
pengawet karena memiliki sifat antimikroba dengan cara berinteraksi dengan
membran, berpenetrasi kedalam sel, dan menghambat kerja enzim ATPase dan
bereaksi dengan komponen dalam sitoplasma sehingga terjadi gangguan pada
mikroba yang berakhir dengan kematian sel. Sulfit juga digunakan untuk
mencegah reaksi pencoklatan karena mampu menginhibisi kerja enzim
pencoklatan dan membentuk sulfonat bersama senyawa karbonil intermediet
pada reaksi pencoklatan non enzimatik. Dijelaskan pula bahwa penggunaan
sulfit dapat menyebabkan gangguan bagi orang-orang tertentu. Sulfit dapat
menginduksi terjadinya asma, menyebabkan timbulnya rasa panas dan
gangguan pada bagian abdomen, serta dapat merusak thiamin dalam tubuh.
2.9. Asap Cair
Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari
uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu (Putnam et al.,
1999). Kayu keras dan kayu lunak dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan asap cair. Asap diperoleh melalui pembakaran kayu keras dan kayu
lunak yang banyak mengandung lignin, selulosa, dan hemiselulosa (Maga,
1988). Jaya et al. (1997) menyebutkan bahwa diantara kayu bakau, kesambi,
jati dan tempurung kelapa, kadar lignin tertinggi terdapat pada tempurung
kelapa dan terendah pada kayu bakau. Kadar selulosa tertinggi terdapat pada
kayu jati sedangkan terendah pada tempurung kelapa.
Asap diproduksi melalui proses pirolisis dengan cara pembakaran
yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer
menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas
yang meliputi reaksi oksidasi, dekomposisi, polimerisasi, dan kondensasi
(Girrard, 1992). Reaksi yang terjadi berupa penghilangan air pada suhu 1200-
1500C. Pirolisis hemiselulosa (yang tersusun dari pentosan dan heksosan )
23
pada 2000-2500C menghasilkan furfural, furan, serta asam asetat dan
homolognya. Pirolisis selulosa bersama dengan heksosan berlangsung pada
2800-3200C menghasilkan asam asetat dan homolognya. Lignin mengalami
degradasi pada suhu 3000-4000C menghasilkan senyawa fenol, dan eter
fenolik seperti guaiakol (2-metoksifenol) dan homolognya serta turunannya
yang berperan dalan menghasilkan flavor asap.
Siskos et al. (2007) mengemukakan bahwa asap cair mengandung
beberapa zat antimikroba yaitu asam dan turunannya (format, asetat, butirat,
propionat, dan metil ester), alkohol (metil, etil, propil, alkil, dan isobutil
alkohol), aldehid (formladehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural),
hidrokarbon (silene, kumene, dan simene), keton (aseton, metil etil keton,
metil propil keton, dan etil propil keton), fenol, piridin, dan metil piridin.
2.10. Aktivitas Antimikroba Asap Cair
Pelczar et al. (1988) menyatakan senyawa kimia utama yang
memiliki sifat antibakteri adalah fenol dan senyawa fenolat, alkohol, halogen,
logam berat dan persenyawaannya, detrejen, aldehid, dan kemosterilisator gas.
Branen dan Davidson (1993) menjelaskan mekanisme senyawa antibakteri
tersebut dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme ada beberapa cara,
diantaranya :
1) Merusak struktur dinding sel dengan cara menghambat proses
pembentukan atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah
terbentuk. Adanya perbedaan struktur dinding sel mikroba menyebabkan
perbedaan resistensi terhadap senyawa antimikroba;
2) Mengubah permeabilitas membran sitoplasma. Komponen senyawa
antimikroba mengganggu integritas membran sitoplasma sehingga terjadi
kebocoran. Fenol dapat mengakibatkan lisis sel dan menyebabkan
denaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitolpasma dan
asam nukleat, serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran;
3) Menghambat kerja enzim sehingga metabolisme sel terganggu. Dengan
menghambat proses sintesis protein maka ketersediaan enzim intraseluler
manjadi terganggu dan pada akhirnya menghambat proses metabolisme
24
sel. Senyawa fenol dapat bereaksi dengan enzim dehidrogenase sehingga
aktivitas enzim tersebut menjadi hilang;
4) Menginaktivasi fungsi material genetik. Senyawa antibakteri dapat
mengganggu kerja dari RNA dan DNA polimerase sehingga pembentukan
asam nukleat dan transfer informasi genetik menjadi terganggu.
Aktivitas antimikroba asap cair terutama disebabkan oleh adanya
senyawa kimia yang terkandung dalam asap seperti fenol, formaldehid, asam
asetat, dan kreosat. Semua senyawa tersebut menghambat pembentukan spora
dan pertumbuhan beberapa jenis jamur dan bakteri. Proses pemurnian asap
cair dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan fraksi tar yang mengandung
hidrokarbon aromatik. Benzo[a]pirene merupakan salah satu Policyclic
Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang bersifat karsinogenik, memiliki titik cair
179 0C dan titik didih 312 0C (Jaya, et al., 1997).
Asap cair komersial dapat menghambat pertumbuhan Vibrio
vulnivicus, Yersinia enterolitica, dan Lactococcus lactis dengan MIC masing-
masing <0,2%, 0,6%, dan 0,8% secara berturut-turut (Sunen, 1998). Munoz et
al. (1998) melaporkan bahwa asap cair komersial pada konsentrasi 8% dapat
menghambat pertumbuhan E.coli O157:H7 yang diinokulasikan pada daging.
Milly et al. (2005) melaporkan bahwa konsentrasi 0,75% asap cair komersil
merupakan MIC untuk Lactobacillus plantarum.
Sunen (1998) menunjukkan bahwa asap cair komersial memiliki
efektivitas yang berbeda-beda dengan penghambatan terhadap
mikroorganisme yang berbeda pula, tergantung dari komponen antimikroba
yang dikandungnya. Rentang kisaran nilai MIC asap cair komersial mulai dari
0,4% sampai lebih dari 8% untuk menghambat satu jenis mikroorganisme
yang sama. Catte et al. (1999) menunjukkan juga bahwa penggunaan asap cair
komersial pada konsentrasi 0,33 ml – 4,33ml/l tidak mampu menghambat
petumbuhan Lactobacillus plantarum ATCC 12315.
2.11. Asap Cair Tempurung Kelapa
Asap diperoleh melalui pembakaran kayu keras dan kayu lunak yang
banyak mengandung lignin, selulosa, dan hemiselulosa (Maga, 1988).
25
Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu keras
tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih
rendah.
Zuraida (2008) membuktikan bahwa pada asap cair tempurung
kelapa tidak mengandung benzo[a]pirene. Keamanan asap cair tempurung
kelapa juga telah diteliti Zuraida (2008) dimana asap cair dari tempurung
kelapa dinyatakan aman untuk dikonsumsi karena berdasarkan uji toksisitas
menunjukkan bahwa nilai LD50 (konsentrasi tunggal bahan sebagai ransum
yang menyebabkan 50% populasi hewan percobaan mati) lebih besar dari
15.000 mg/kg berat badan mencit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI
Nomor 74 Tahun 2001, suatu dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg
berat badan hewan uji, maka zat/ senyawa/ bahan kimia dikategorikan sebagai
bahan yang tidak toksik dan aman untuk digunakan dalam pangan.
Zuraida (2008) melaporkan beberapa komponen yang terdapat dalam
asap cair tempurung kelapa yang disajikan pada Tabel 8. Hasil identifikasi
asap cair tempurung kelapa dengan GC-MS menunjukkan bahwa senyawa
fenolik merupakan komponen utama. Guillen dan Ibargoitia (1998)
menyatakan bahwa fenolik juga merupakan senyawa yang menjadi flavor dari
asap cair. Senyawa guaiacol merupakan flavor rasa asap sedangkan syringol
merupakan flavor aroma asap.
Komponen yang bersifat sebagai zat antimikroba dari asap cair
tempurung kelapa adalah fenol dan turunannya (Munoz et al. 1998; dan
Soldera et al. 2008). Selain itu, fenol juga memberikan efek antioksidan
kepada makanan yang diawetkan. Yulistiani et al. (1997) melaporkan
kandungan fenol dalam destilat asap tempurung kelapa sebesar 1,28%.
Tranggono (1996) menyatakan bahwa kandungan fenol pada asap cair dari
berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa berkisar antara 2,0 – 5,13% .
Karseno et al. (2002) menjelaskan bahwa fenol dan turunannya dapat
bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal karena mampu menginaktifkan
enzim-enzim esensial, serta mengkoagulasikan SH grup dan NH grup pada
protein. Davidson et al. (2005) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas
antimikrobial fenol dan turunannya meliputi reaksi dengan membran sel yang
26
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel yang berakibat pada
keluarnya materi intraseluler, inaktivasi enzim, dan perusakan atau inaktivasi
material genetik.
Tabel 8. Komponen-Komponen yang Teridentifikasi dari Fraksi Terlarut Asap Cair tempurung Kelapa dalam Dichloromethane Golongan Nama Komponen Keton 2-methyl-2cyclopentenone
3- methyl-2cyclopentenone 2-Hydroxy-1-methylcyclopenten-3-one 2,3-dimethylcyclopenten-3-one 2-Ethylcycloheptanone
Furan dan Turunan Pyran
2-Acetylfuran 3 methyl furfural
Karbonil dan Asam 1-Cyclohexene-1-carboxaldehidyde 2,3-dihydroxy-benzoic acid 3-methoxybenzoic acid methyl ester 4-Hydroxy-benzioc acid methyl ester
Fenol dan turunannya Phenol 2-Methylphenol 3-Methylphenol 2,6-dimethylphenol 2,4-Dimethylphenol 3-Ethylphenol
Guaiakol dan Turunannya 2-Methoxyguaiacol 3- Methylguaiacol p- Methylguaiacol 2-Methoxy-4-Methylphenol 4-Ethyl-2-Methoxyphenol Eugenol Acetovanilline Methyl vanilate
Siringol dan Turunannya 2,6-Dimethoxyphenol 3,4- Dimethoxyphenol 4-(2-Propenyl)-2,6-Dimethoxyphenol Syringylaldehide Acetosyringone 3,5-Dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic acid
Alkil Aril eter 1,2-Dimethoxybenzene 2,3-Dimethoxytoluene 1,2,3-Trimethoxybenzene 1,2,4- Trimethoxybenzene 5-Methyl-1,2,3-trimethoxybenze
Sumber : Zuraida (2008)
Asam-asam organik lemah yang terdapat dalam asap cair tempurung
kelapa seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl
ester, dan 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester memiliki sifat antimikroba
karena kemampuannya untuk membentuk ion H+ bebas. Senyawa asam dalam
27
bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi ke dalam membran sel
mikroorganisme. Senyawa asam dapat menurunkan pH sitoplasma,
mempengaruhi struktur dan fluiditas membran, serta mengkelat ion-ion dalam
dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein
struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat, dan fosfolipid membran (Davidson
et al. 2005).
Penggunaan asap cair kasar tempurung kelapa hasil pengendapan
dalam produk pangan dilakukan oleh Zuraida (2008) pada produk bakso ikan
serta Syabana dan Rusbana (2008) pada produk sate bandeng. Metode
pencampuran asap cair kasar pada adonan produk pangan yang akan
diawetkan menyebabkan warna, aroma dan rasa produk akhir terpengaruh.
Pada konsentrasi diatas 2,5% aroma asap pada produk sate bandeng terasa
sangat menyengat sehingga tidak disukai oleh panelis (Syabana dan Rusbana,
2008).
2.12. Redestilasi Asap Cair
Pemurnian asap cair yang dilakukan oleh produsen asap cair
dilakukan dengan cara pengendapan. Senyawa-senyawa yang tidak larut
dalam asap cair yang terkondensasi dari hasil pyrolisis ditampung dan
diendapkan sehingga selama beberapa hari sehingga diperoleh asap cair yang
lebih jernih. Asap cair yang diperoleh dari hasil pengendapan ini belum begitu
murni walaupun penampakannya bening berwarna coklat kehitaman sampai
coklat kekuningan. Jika disimpan dalam jangka waktu lama, senyawa
berwarna hitam yang terdapat didalam asap cair yang belum sempurna
pemurniannya tersebut akan kembali mengendap.
Council of Europe Comitee of Experts on Flavouring Substances
(CECEFS) (1992) menerangkan bahwa asap terdiri dari komponen gas, cairan,
dan partikel padat. Pada saat kondensasi asap, partikel padat tercampur dalam
asap cair kasar sehingga perlu dilakukan pemisahan karena partikel padat
tersebut bersifat karsinogenik. Partikel-pertikel tersebut diantaranya adalah
senyawa nitrogen oksida, polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), senyawa
fenolik, senyawa karbonil, furan, asam alifatik karboksilat, serta komponen tar
dengan karakteristik yang sama yaitu memiliki titk didih yang tinggi. Guillen
28
et al. (2001) menjelaskan bahwa komponen-komponen asap cair yang
berwarna hitam merupakan komponen yang berbeda dengan komponen asap
cair yang digunakan sebagai ingredient dan flavor dalam pangan. Komponen-
komponen tersebut termasuk golongan levoglucosan, turunan karbohidrat,
senyawa bernitrogen, serta senyawa-senyawa yang belum teridentifikasi.
Ditemukannya sifat karsinogenik dari Polycyclic Aromatic
Hydrocarbon (PAH) menyebabkan penelitian mengenai bahan pangan hasil
pengasapan meningkat. Begitupun dengan penelitian terhadap kandungan
PAH dalam asap cair kasar yang merupakan kondensat langsung hasil proses
pirolisis. Berbagai metode pemurnian telah dilakukan diantaranya dengan
menurunkan suhu pirolisis (Daun, 1979), destilasi kondensat asap cair dan
penyaringan menggunakan pulp selulosa (Gorbatov et al., 1971), serta
penggunaan zeolit sebagai penyaring molekuler (Jaya et al., 1997).
Salah satu proses yang digunakan adalah destilasi dengan
menggunakan destilator (Gambar 3). Prinsip destilasi adalah pemisahan
komponen dari campuran cairan berdasarkan titik. Komponen destilator terdiri
dari pemanas, wadah penampung asap cair yang akan didestilasi, kondensor,
serta wadah penampung destilat. Suhu pemanasan yang diberikan untuk
memanaskan asap cair berkisar antara 1000 – 2000C. Hal ini didasarkan pada
nilai titik didih fenol yaitu 1810C, sehingga pada kisaran suhu tersebut
diharapkan semua komponen fenolik dalam asap cair akan menguap dan dapat
terkonsentrasi sebagai destilat asap cair yang lebih murni. Proses pemanasan
dengan suhu lebih dari 300 0C sebaiknya dihindari karena pada suhu1790C
Polyciclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) akan mencair dan mendidih pada
suhu 3120C (Sax dan Lewis, 1987; diacu dalam Jaya et al., 1997).
Gambar 3 Alat Destilasi Asap Cair.
29
Keterbatasan asap cair kasar yang memiliki warna hitam sampai
coklat kekuningan diharapkan bisa diatasi dengan perlakuan destilasi sehingga
aplikasi asap cair dalam pengolahan pangan dapat dilakukan lebih luas lagi.
Destilasi asap cair memungkinkan destilat yang dihasilkan untuk dijadikan
sebagai ingredient yang dapat ditambahkan langsung pada adonan pangan.
Pengujian aktivitas antimikroba asap cair terhadap beberapa jenis
mikroorganisme telah dilakukan. Destilasi ulang asap cair dari tempurung
kelapa terhadap mikroorganisme perusak nira dan penggunaannya sebagai
pengawet nira belum pernah dilakukan. Penggunaan asap cair redestilasi ini
diharapkan menjadi alternatif pengawet nira yang lebih efektif dan lebih
terjamin dari segi keamanan pangan.
30
III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Agustus 2009. Lokasi
penelitian di Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia Pangan SEAFAST Center-
IPB, serta Laboratorium Technopark, IPB. Aplikasi lapangan dilakukan di Desa
Cibogo, Kecamatan Cigombong, Bogor.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan berupa :
a. Asap cair tempurung kelapa diperoleh dari CV Wulung Prima, Desa
Cihideung Udik – Ciampea, Bogor.
b. Nira aren segar diambil dari penderes di Desa Cibogo, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor.
c. Bahan-bahan untuk pengujian mikrobiologi diantaranya berupa NA, NB,
MRSA, MRSB, PDA, PDB, asam tartarat, dan PCA. Kultur murni berupa
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa diperoleh dari
Laboratorium SEAFAST Center IPB, sedangkan bakteri asam laktat yang
merupakan isolat dari nira aren.
d. Bahan-bahan untuk analisis kimia berupa NaCO3 jenuh, aquades, dan reagen
folin ciocalteu.
Alat yang digunakan berupa destilator untuk destilasi ulang asap cair dan
spektrofotometer untuk analisis kimia. Peralatan untuk analisa mikrobiologi
berupa autoclave, inkubator, cawan petri, erlenmeyer, tabung reaksi, pipet mikro,
bunsen, ose, dan sebagainya.
3.3. Tahapan Penelitian dan Prosedur Pengujian
Tahap penelitian yang dilakukan dalam kajian ini disarikan dalam diagram
alur penelitian pada Gambar 4.
Asap Cair Kasar
Destilasi Ulang (Redestilasi) Asap Cair
Uji Aktivitas Antimikroba Asap Cair Redestilasi
Aplikasi Asap Cair Redestilasi untuk Pengawet Nira
Pembuatan Gula Merah dengan Menggunakan Konsentrasi Asap
Cair Redestilasi Terpilih
Kadar Fenol
Penentuan Nilai MIC dengan Metode Kontak
Penentuan Konsentrasi
Parameter yang digunakan : 1. Pengkuran pH 2. Analisis Total Mikroba 3. Aplikasi Pembuatan Gula
Uji Organoleptik Uji Warna
Potensi Asap Cair Kasar
Simulasi Penyadapan
Gambar 4 Skema Alur Penelitian Kajian Pengawetan Nira Menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa.
32
3.3.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan mengenai potensi penggunaan asap cair kasar
sebagai pengawet nira dilakukan untuk mengevaluasi apakah asap cair kasar
dapat diaplikasikan pada pengawetan nira. Penelitian ini diawali dengan uji
kontak asap cair tempurung kelapa hasil pengendapan (asap cair kasar)
terhadap kultur campuran mikroorganisme yang diambil langsung dari nira.
Konsentrasi asap cair kasar yang digunakan pada pengujian sebesar 0,50%,
0,60%, 0,80%, 1,00%, 2,00%, dan 3,00%(v/v).
Pengujian selanjutnya berupa uji pengawetan nira selama 12 jam
penyimpanan dengan penggunaan asap cair kasar sebesar 0,50%, 1,00%,
2,00%, dan 3,00%(v/v). Pengujian dilakukan dengan cara melakukan
penyadapan secara langsung menggunakan wadah penampung nira yang telah
diberi asap cair kasar dengan volume sedemikian rupa sehingga ketika waktu
penyadapan mencapai satu jam diperoleh nira dengan konsentrasi asap cair
kasar yang diinginkan tersebut (0,50%, 1,00%, 2,00%, dan 3,00%). Setelah
satu jam penyadapan dilakukan, nira yang telah mengandung asap cair ini
diukur pH-nya dan dicatat sebagai pH pada jam ke-0. Nira kemudian dibawa
ke laboratorium menggunakan botol steril dan disegel menggunakan parafilm.
Setelah sampai di laboratorium, nira ditampung dalam wadah terbuka pada
suhu ruang dan diukur pH-nya setiap jam selama 12 jam. Selain itu, pada
konsentrasi yang sama juga dilakukan penyadapan selama 12 jam dan aren
hasil penyadapan dibuat menjadi gula.
3.3.2. Redestilasi Asap Cair
Proses destilasi dilakukan dengan pemanasan asap cair secara terus
menerus pada suhu 2000C. Uap hasil pemanasan dikondensasi dan kondensat
yang dihasilkan ditampung dalam wadah bersih. Hasil destilasi ulang
kemudian diukur kadar fenolnya dengan menggunakan metode Slinkard dan
Singleton (1977).
33
3.3.2.1. Prosedur Pengukuran Kadar Fenol (Slinkard dan Singleton, 1977).
Sebanyak 0.1 ml sampel dimasukkan kedalam labu takar 100 ml.
Selanjutnya dimasukkan 75 ml aquades, 5 ml pereaksi follins dan 10 ml
NaCO3 jenuh secara berurutan. Selanjutnya ditambahkan aquades sampai
tanda tera, dikocok dan diinkubasi pada suhu kamar selama 30 menit. Larutan
yang dihasilkan kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang
760 nm. Sebagai standar digunakan asam Tannat konsentrasi 0.1 mg/ml
kemudian dipipet 0, 2, 3, 4, 6, dan 8 ml ke dalam labu takar 100 ml yang
berbeda, diperlakukan seperti sampel dengan standar sebagai pengganti
sampel.
3.3.3. Uji Aktivitas Antimikroba Asap Cair Redestilasi
Uji aktivitas mikroba dilakukan dengan mencari nilai MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) asap cair hasil destilasi ulang (asap cair redestilasi)
terhadap bakteri uji. Kultur murni yang digunakan adalah Staphylococcus
aureus mewakili bakteri patogen gram positif yang mungkin
mengkontaminasi nira akibat higiene penderes yang kurang baik.
Pseudomonas aeruginosa mewakili bakteri pembusuk gram negatif,
sedangkan bakteri asam laktat (BAL) yang diisolasi dari nira sebagai bakteri
perusak nira dari kelompok gram positif.
3.3.3.1. Prosedur Persiapan Kultur Mikroba
Kultur bakteri (Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa)
dalam agar miring diambil satu ose dan diinokulasikan dalam 10 ml Nutrient
Broth (NB), kemudian diinkubasikan pada suhu 370C selama 24 jam. Setelah
inkubasi selama 24 jam, bakteri siap digunakan untuk uji kontak.
Kultur BAL diperoleh dengan melakukan isolasi langsung dari nira
dengan menggunakan metode cawan tuang. Isolasi diawali dengan melakukan
plating 1 ml nira pada cawan menggunakan media MRSA yang ditambahi
CaCO3. Penambahan CaCO3 dalam media MRSA menyebabkan terbentuknya
34
halo pada wilayah sekitar koloni yang diduga sebagai BAL. Setelah dilakukan
plating, cawan dengan agar yang telah memadat diinkubasi terbalik pada suhu
370C selama 48 jam. Koloni yang terpisah dan memperlihatkan zona halo
pada wilayah disekitarnya dipilih untuk diisolasi. Koloni tersebut diambil
secara aseptis menggunakan ose dan dimasukkan ke dalam media MRSB dan
diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Kultur yang berusia 24 jam ini di
uji pewarnaan Gram dan uji katalase. Kultur yang memberikan warna ungu
(indikator gram positif) dan katalase negatif sudah dapat dijadikan sebagai
isolat BAL asal nira.
3.3.3.2. Prosedur Penentuan MIC dengan Metode Kontak (Suspension Test)
Penentuan MIC dengan metode kontak pada prinsipnya dilakukan
dengan cara menumbuhkan mikroorganisme pada media yang sudah ditambah
senyawa antimikroba pada konsentrasi tertentu. Satu seri tabung diisi dengan
media pertumbuhan. Pada setiap tabung ditambahkan senyawa antimikroba
dengan konsentrasi yang berbeda. Selanjutnya pada setiap tabung
diinokulasikan mikroorganisme uji dengan jumlah yang sama (106 CFU/ml).
Semua seri tabung uji diinkubasikan dengan menggunakan shaker pada suhu
ruang selama 24 jam dengan kecepatan 150 rpm. MIC merupakan konsentrasi
terendah yang mampu menurunkan jumlah mikroba uji sebesar 90% dari
jumlah bakteri kontrol (tanpa penambahan asap cair) setelah dikontakkan
selama 24 jam.
Konsentrasi uji untuk S.aureus dan P. aeruginosa secara berturut-
turut adalah 0,20% – 0,80%(v/v) dan 0,22% - 0,30%(v/v). Konsentrasi ini
dirujuk dari Zuraida (2008) yang menggunakan asap cair tanpa destilasi ulang
untuk pengawetan bakso ikan. Konsentrasi uji untuk BAL asal nira adalah
0,50% - 30,00%(v/v). Penghitungan nilai MIC ditentukan dengan persen
penghambatan dengan rumus : ( )[ ]%100/%100tan% xNoNtpenghamba −=
dimana : Nt = Jumlah mikroba setelah dikontakkan selama 24 jam, dan
No = Jumlah mikroba kontrol setelah dikontakkan selama 24 jam
35
3.3.4. Apilkasi Asap Cair Redestilasi untuk Pengawet Nira
Aplikasi asap cair redestilasi dilakukan dengan melakukan suatu
simulasi di laboratorium. Simulasi pertama dilakukan untuk menentukan
konsentrasi berapa yang akan diujikan pada tahap simulasi penyadapan
dengan melihat perubahan nilai pH setelah penyadapan, total mikroba, serta
aplikasi langsung dalam pembuatan gula merah. Simulasi kedua dilakukan
untuk melihat proses perubahan pH dan perkembangan jumlah mikroba pada
nira selama penyadapan.
Simulasi pertama dilakukan dengan cara melakukan penyadapan
secara langsung menggunakan wadah penampung nira yang telah diberi asap
cair dengan volume tertentu. Asap cair yang ditambahkan adalah sebanyak
sedemikian rupa sehingga pada waktu penyadapan selama satu jam diperoleh
konsentrasi yang diinginkan (2 sampai 10 kali MIC). Setelah satu jam
penyadapan dilakukan, nira yang telah mengandung asap cair ini diambil
diukur pH-nya dan dicatat sebagai pH pada jam ke- nol. Nira kemudian
dibawa ke laboratorium menggunakan botol steril dan disegel menggunakan
parafilm. Setelah sampai di laboratorium, nira ditampung dalam wadah
terbuka pada suhu ruang.
Penghitungan jumlah total mikroba, jumlah bakteri asam laktat, serta
jumlah khamir dilakukan dengan cara yang sama pada simulasi pertama.
Penghitungan mikroba dilakukan dengan metode BAM (2001). Aplikasi
langsung dilakukan dengan menambahkan asap cair kedalam wadah
penampung nira yang digunakan untuk menyadap. Nira yang dihasilkan
selanjutnya dievaluasi dan diolah menjadi nira.
Simulasi kedua adalah simulasi penyadapan. Nira untuk simulasi
diperoleh dari nira segar yang disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit
menggunakan autoclave. Wadah penampung yang biasa digunakan petani
untuk menyadap diberi asap cair dengan jumlah tertentu. Setiap jam selama
12 jam dilakukan pengisian nira hasil sterilisasi sebanyak 25 ml kedalam
36
wadah penampung berisi asap cair dan diukur perubahan pH-nya baik
sebelum diberi tambahan nira maupun sesudahnya.
3.3.4.1. Prosedur Analisis Total Mikroba (BAM, 2001)
Satu mililiter sampel dipipet dari pengenceran yang dikehendaki ke
dalam cawan petri. Sebanyak ± 12-15 ml media dituang ke dalam cawan petri
dan segera setelah penuangan agar, cawan petri kemudian digerakkan secara
hati-hati untuk menyebarkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan
gerakkan seperti angka delapan. Setelah agar membeku, cawan di inkubasi
dengan posisi terbalik pada suhu 350 C selama 48 jam. Setelah inkubasi,
jumlah koloni yang tumbuh pada cawan dihitung berdasarkan metode
Bacteriological Analytical Manual (BAM).
Proses perhitungan total bakteri dilakukan dengan berbagai
ketentuan berdasarkan BAM (2001), antara lain :
1. Cawan yang normal berisi 25-250 koloni. Semua koloni dihitung
termasuk titik yang berukuran kecil. Pengenceran dan jumlah koloni
semua dicatat untuk setiap cawan.
2. Cawan yang berisi lebih dari 250 koloni dicatat sebagai TBUD (Terlalu
Banyak Untuk Dihitung). Jika tidak ada koloni yang tumbuh maka
ditulis kurang dari 1 kali pengenceran terendah.
3. Rumus perhitungan yang digunakan adalah :
Untuk sampel 25-250 koloni :
[ ] dnnCN
××+×∑
=)1,0()1( 21
dimana : N = Total Bakteri C = Jumlah Total seluruh bakteri
n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua d = Tingkat pengenceran
37
3.3.5. Pembuatan Gula Merah dengan Menggunakan Konsentrasi Asap Cair Redestilasi Terpilih
Tahap akhir dari penelitian adalah aplikasi asap cair secara langsung
dalam proses penyadapan nira dengan konsentrasi terpilih yang selanjutnya
diolah menjadi gula merah. Rasa gula yang dihasilkan kemudian diuji secara
organoleptik dan warna gula diuji menggunakan Chromameter.
3.3.5.1. Prosedur Uji Organoleptik
Uji organoleptik (Rahayu, 2001) berupa pengujian hedonik oleh 30
panelis terhadap produk gula merah dari nira yang menggunakan pengawet
dalam penelitian ini. Pelaksanaan uji hedonik ini adalah dengan menyajikan
gula merah yang telah diberi kode tertentu dan panelis diminta untuk
memberikan penilaian pada lembar nilai yang telah disediakan. Pengukuran
skala hedonik menggunakan skala angka satu sampai tujuh dengan tingkat
kesukaan terdiri dari: sangat suka, agak suka, suka, netral, agak tidak suka,
tidak suka, sangat tidak suka. Penilaian lainnya adalah dari segi aroma dimana
panelis diminta untuk memberikan ada tidaknya aroma asing yang dirasakan
pada saat menguji sampel.
3.3.5.2. Prosedur Uji Warna
Uji warna dilakukan untuk menentukan apakah penggunaan asap cair
sebagai pengawet mempengaruhi penampakan akhir. Alat yang digunakan
berupa Chromameter CR300. Angka hasil pemotretan oleh Chromameter
CR300 adalah nilai tristimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh
suatu permukaan. Data pengukuran dapat berupa nilai absolut maupun nilai
selisih dengan warna standar. Pengukuran absolut dapat ditampilkan dalam
skala Yxy (CIE 1931), L*a*b* (CIE, 1976), L*C*Ho, Hunter L a b, atau
nilai tristimulus XYZ. Dalam penelitian ini hanya digunakan nilai L, a*, dan
b*. Gambar 5 mendeskripsikan pembacaan nilai L, a*, dan b*. Nilai L
memperlihatkan kecerahan, nilai a(+) menandakan produk memiliki
38
kecendrungan berwarna kemerahan sedangkan nilai a(-) menandakan produk
memiliki kecenderungan berwarna kehijauan. Nilai b(+) menandakan produk
berwarna kekuningan sedangkan nilai b(-) menandakan produk berwarna
mengarah pada kebiruan.
L*
-a*
+a*
-b*
+b*
L*
+a*
+b*
-a*
-b*
L*=100
L*=0
++ LL == LLiigghhttnneessss -- LL** == DDaarrkknneessss ++ aa** ==
RReeddnneessss -- aa** == GGrreeeenneessss
++ bb** == YYeelllloowwnneessss -- bb** == BBlluueenneessss
Gambar 5 Deskripsi Nilai L,a,dan b pada Pembacaan Chromameter. 3.3.6. Analisis Statistik
Total fenol, uji warna, dan uji aktivitas anti bakteri diuji menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL). Perubahan pH dan jumlah mikroba serta
perubahan pH pada simulasi penyadapan diuji menggunakan RAL in time
untuk melihat pengaruh waktu dan perlakuan asap cair. Uji organoleptik
dianalisis menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Uji statistik ini
menggunakan software SAS untuk analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji
lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95%.
39
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Potensi Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Pengawet Nira
Asap cair tempurung kelapa diperoleh dari asap pembakaran yang tidak
sempurna tempurung kelapa. Proses yang terjadi pada pembuatan asap cair
terdiri dari reaksi dekomposisi, oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi. Uap asap
yang dihasilkan selama pembakaran tempurung kelapa dikondensasi
menghasilkan kondensat asap berupa cairan kental berwarna hitam. Kondensat
asap yang dihasilkan ditampung dan diendapkan selama beberapa hari untuk
memperoleh cairan asap yang terpisah dari partikel padat berwarna hitam yang
bercampur didalamnya.
Council of Europe Comitee of Experts on Flavouring Substances
(CECEFS) (1992) menerangkan bahwa asap terdiri dari komponen gas, cairan,
dan partikel padat. Pada saat kondensasi asap, partikel padat berwarna hitam
tercampur dalam asap cair kasar sehingga perlu dilakukan pemisahan karena
partikel padat tersebut bersifat karsinogenik. Partikel-pertikel tersebut
diantaranya adalah senyawa nitrogen oksida, polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs), senyawa fenolik, senyawa karbonil, furan, asam alifatik karboksilat,
serta komponen tar dengan karakteristik yang sama yaitu memiliki titik didih
yang tinggi. Guillen et al. (2001) menjelaskan bahwa komponen-komponen asap
cair yang berwarna hitam merupakan komponen yang berbeda dengan
komponen asap cair yang digunakan sebagai ingredient dan flavor dalam
pangan. Komponen-komponen tersebut termasuk golongan levoglucosan,
turunan karbohidrat, senyawa bernitrogen, serta senyawa-senyawa yang belum
teridentifikasi.
Produsen asap cair menggunakan metode pengendapan selama
beberapa hari untuk memisahkan cairan asap cair dengan padatan terlarut
tersebut. Asap cair tempurung kelapa yang dihasilkan dari proses pengendapan
memiliki warna coklat kehitaman dengan pH 4,9 (Gambar 6).
Gambar 6 Asap Cair Kasar Tempurung Kelapa Hasil Pengendapan. Penelitian pendahuluan mengenai potensi asap cair sebagai pengawet nira
dilakukan dengan melakukan uji kontak asap cair kasar terhadap kultur
campuran dari nira pada konsentrasi 0,50%, 0,60%, 0,80%, 1,00%, 2,00%, dan
3,00%. Konsentrasi yang digunakan dalam penelitian pendahuluan ini mengacu
pada Syabana dan Rusbana (2008) serta Zuraida (2008). Tabel 9 memperlihatkan
bahwa pada konsentrasi asap cair kasar 0,50% sudah dapat menghambat
pertumbuhan mikroba sebesar 3 log dibanding kontrol. Pada konsentrasi 0,80%
sampai 3,00% asap cair kasar mampu menghambat pertumbuhan mikroba
sampai 5 log dibanding kontrol.
Tabel 9 Jumlah Mikroba setelah dikontakkan selama 24 jam dengan Asap
Cair Kasar pada berbagai Konsentrasi Konsentrasi asap cair kasar(% v/v) Jumlah Mikroba (CFU/ml)
0,00 3,7 x 108
0,50 7,6 x 105
0,60 7,0 x 103
0,80 <103
1,00 <103
2,00 <103
3,00 <103
Hasil uji kontak ini memberi kesimpulan awal bahwa asap cair kasar
hasil pengendapan memiliki potensi untuk digunakan dalam pengawetan nira.
Penelitian pendahuluan selanjutnya adalah dengan mengaplikasikan asap cair
kasar pada nira selama 12 jam penyimpanan. Konsentrasi yang digunakan adalah
0,50%, 1,00%, 2,00%, dan 3,00% berdasarkan hasil uji kontak tahap
sebelumnya. Pengujian dilakukan dengan cara melakukan penyadapan secara
langsung menggunakan wadah penampung nira yang telah diberi asap cair
41
dengan volume sedemikian rupa sehingga pada waktu penyadapan mencapai
satu jam diperoleh nira dengan konsentrasi asap cair yang diinginkan (0,50%,
1,00%, 2,00%, dan 3,00%). Setelah satu jam penyadapan dilakukan, nira yang
telah mengandung asap cair ini diukur pH-nya dan dicatat sebagai pH pada jam
ke-0. Nira kemudian dibawa ke laboratorium menggunakan botol steril dan
disegel menggunakan parafilm. Setelah sampai di laboratorium, nira ditampung
dalam wadah terbuka pada suhu ruang dan diukur pH-nya setiap jam selama 12
jam.
Gambar 7 memperlihatkan hasil pengukuran pH nira yang telah diberi
asap cair kasar dan disimpan selama 12 jam. Hasil pengukuran perubahan pH
pada penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa penggunaan asap cair kasar
dengan konsentrasi 0,50% mampu mempertahankan pH nira diatas 7 sampai 6
jam penyimpanan, sedangkan dengan konsentrasi 3,00% mampu
mempertahankan pH nira pada kisaran 6,6 - 6,8 selama 12 jam penyimpanan.
Tahap lanjutan dari hasil pengukuran pH adalah aplikasi asap cair konsentrasi
0,50% dan 3,00% untuk penyadapan nira selama 12 jam. Nira hasil penyadapan
dengan menggunakan asap cair 0,50% dan 3,00% selanjutnya diolah menjadi
gula.
Gambar 7 Perubahan pH Nira setelah Diberi Perlakuan Penambahan Asap
Cair (AC) pada berbagai Konsentrasi selama 12 Jam Penyimpanan.
3
4
5
6
7
8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jam ke -
pH
Nira + 0,00% AC
Nira + 0,50% AC
Nira + 1,00% AC
Nira + 1,50% AC
Nira + 2,00% AC
Nira + 3,00% AC
Gula yang diperoleh dari nira dengan asap cair kasar hasil pengendapan
memiliki warna yang gelap. Nira dengan asap cair kasar 0,50% menghasilkan
gula yang berwarna coklat tua, sedangkan konsentrasi 3,00% berwarna hitam.
42
Perubahan warna yang terjadi ini disebabkan oleh komponen berwarna hitam
yang terdapat dalam asap cair kasar. Gambar 8 memperlihatkan warna gula
merah dari nira yang disadap dengan menggunakan pengawet asap cair kasar
hasil pengendapan sebanyak 0,50% dan 3,00%.
Gambar 8 Gula Merah dari Nira yang mengandung Asap Cair Kasar 0,50% dan 0,30%.
Hasil penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa asap cair kasar
memiliki potensi untuk diaplikasikan sebagai pengawet nira. Pada konsentrasi
asap cair 0,50% sampai 3,00% mampu memberikan aktivitas penghambatan
terhadap kultur campuran dari nira aren dan mampu mempertahankan pH nira
pada kisaran 6-7 selama 12 jam penyimpanan. Gula yang dihasilkan dari nira
yang mengandung asap cair kasar menyebabkan warna gula menjadi lebih gelap.
Oleh karena itu, pada penelitian utama dilakukan destilasi ulang asap cair
sehingga diperoleh asap cair redestilasi yang lebih murni dan jernih.
4.2. Kadar Fenol Asap Cair Redestilasi Destilasi merupakan suatu perlakuan fisik dengan memberikan panas
sehingga sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan sifat dan karakteristik dari
asap cair sebelum dan sesudah destilasi. Destilasi dilakukan dalam rangka
menurunkan kadar partikel padat yang terdispersi dalam asap cair.
Guillen et al. (2001) dan CECEFS (1992) menerangkan bahwa asap
terdiri dari komponen gas, cairan, dan partikel padat. Pada saat kondensasi asap,
partikel padat tercampur dalam asap cair kasar sehingga perlu dilakukan
pemisahan karena partikel padat tersebut bersifat karsinogenik. Partikel-pertikel
43
tersebut diantaranya adalah senyawa nitrogen oksida, polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs), senyawa fenolik, senyawa karbonil, furan, asam alifatik
karboksilat, serta komponen tar dengan karakteristik yang sama yaitu memiliki
titk didih yang tinggi.
Penemuan sifat karsinogenik dari Polycyclic Aromatic Hydrocarbon
(PAHs) menyebabkan penelitian mengenai bahan pangan hasil pengasapan
meningkat. Salah satu metode yang diterapkan untuk memurnikan asap cair
adalah dengan detilasi. Prinsip destilasi adalah dengan melakukan evaporasi atau
penguapan melalui proses pemanasan dan dilanjutkan dengan kondensasi
(pendinginan uap hasil pemanasan) sehingga uap asap cair mengembun.
Perlakuan evaporasi umumnya akan menyebabkan penurunan jumlah kandungan
zat pada destilat dibandingkan dengan kandungan awal zat pada bahan sebelum
didestilasi. Hasil pengukuran kadar fenol disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Total Fenol Asap Cair Sebelum (A) dan Sesudah Destilasi (B)
Sebelum Destilasi
Setelah Destilasi
1.00
2.00
3.00
4.00
Kada
r Fen
ol (%
)
Sebelum DestilasiSetelah Destilasi
A B
Destilasi ulang asap cair menyebabkan kadar total fenol dalam asap
menjadi turun sebesar 0,7%. Berdasarkan hasil ANOVA, penurunan sebesar
0,7% ini menyebabkan perbedaan yang signifikan antara sebelum proses
destilasi dan setelah destilasi pada taraf kepercayaan 95%. Penurunan kadar
fenol ini terjadi akibat proses kondensasi yang dilakukan tidak sempurna
sehingga sebagian senyawa fenolik masih berbentuk uap ketika keluar dari alat
destilator. Hal ini diindikasikan dengan aroma asap yang tercium menyengat
ketika proses destilasi ulang dilakukan. Guillen dan Ibargoitia (1998)
menyatakan bahwa fenolik merupakan salah satu senyawa yang menjadi flavor
44
dari asap cair. Senyawa guaiacol merupakan flavor rasa asap sedangkan syringol
merupakan flavor aroma asap. Terciumnya aroma asap yang menyengat dari
lubang kondensor menjadi indikator bahwa tidak semua komopenen fenol
tertampung sebagai kondensat.
Gambar 10 memberikan ilustrasi tentang perbandingan warna antara asap
cair kasar dengan asap cair hasil destilasi. Perubahan warna setelah proses
destilasi dilakukan disebabkan oleh proses pemanasan pada saat destilasi tidak
sampai menguapkan senyawa yang berwarna hitam, sehingga uap yang
terkondensasi memiliki warna lebih jernih. pH asap cair redestilasi juga
mengalami perubahan menjadi 3,0. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan
bandingkan dengan asap cair kasar yang memiliki pH sebesar 4,9.
A B Gambar 10 Warna Asap Cair (A) Sebelum Destilasi dan (B) Sesudah Destilasi.
Berkurangnya kadar fenol, bertambahnya kadar keasaman, dan
perubahan warna asap cair menjadi lebih jernih yang terjadi akibat destilasi
ulang memungkinkan terjadinya perubahan sifat antimikroba asap cair. Asap cair
redestilasi dengan penampakan yang lebih jernih dapat dilaplikasikan lebih luas
lagi dalam pengolahan pangan.
4.3. Aktivitas Antimikroba Asap Cair Redestilasi
Penggunaan asap cair tanpa destilasi ulang telah dilakukan oleh Zuraida
(2008) dan terbukti mampu menambah umur simpan bakso ikan 16 jam lebih
lama dibandingkan kontrol. Destilasi ulang terhadap asap cair menyebabkan
kadar fenol menurun dan memungkinkan juga terjadinya perubahan aktivitas
45
antimikroba yang dimilikinya. Aktivitas antimikroba asap cair redestilasi dapat
diuji dengan penentuan nilai MIC terhadap kultur murni suatu mikroorganisme.
4.3.1.Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Redestilasi
Uji aktivitas antibakteri asap cair redestilasi dilakukan dengan penentuan
nilai MIC. Nilai MIC merupakan konsentrasi terkecil yang mampu menghambat
90% mikroorganisme setelah dikontakkan selama 24 jam. Penentuan nilai MIC
asap cair hasil destilasi ulang diujikan terhadap S.aureus dan P.aeruginosa, dan
bakteri asam laktat (BAL) yang diisolasi dari nira. S.aureus mewakili bakteri
patogen gram positif yang dapat mengkontaminasi nira melalui tangan dari
penderes yang higienenya tidak terjaga dengan baik. P.aeruginosa mewakili
bakteri pembusuk dari golongan gram negatif, sedangkan BAL mewakili bakteri
pembusuk dari golongan bakteri gram positif. Konsentrasi uji untuk S.aureus
dan P.aeruginosa secara berturut-turut adalah 0,20% – 0,80%(v/v) dan 0,22% -
0,30%(v/v). Hasil pengujian MIC disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12.
Jumlah S.aureus dan P.aeruginosa awal yang diinokulasikan ke dalam tabung uji
berturt-turut adalah 2,5x104 dan 2,9x104 CFU/ml.
0123456789
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80
Konsentrasi Asap Cair Redestilasi (%)
Jum
lah
S.a
ureu
s (L
og C
FU/m
l)
Gambar 11 Jumlah S.aureus setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair pada berbagai konsentrasi selama 24 Jam.
46
0123456789
0.00 0.22 0.25 0.28 0.30
Konsentrasi Asap Cair Redestilasi (%)
Jum
lah
P.ae
rugi
nosa
(L
og C
FU/m
l)
Gambar 12 Jumlah P.aeruginosa setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair pada berbagai Konsentrasi selama 24 Jam.
Nilai MIC untuk P.aeruginosa dan S.aureus berturut-turut adalah 0,22%
dan 0,20%v/v. Pada konsentrasi 0,20%, asap cair redestilasi mampu
menghambat pertumbuhan S.aureus dan P.aeruginosa sebesar 90%
dibandingkan dengan kontrol. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa antara
kontrol yang tidak diberi asap cair dan perlakuan pemberian asap cair
memberikan perbedaan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini
berarti bahwa pemberian asap cair redestilasi memiliki pengaruh yang nyata
dalam menghambat pertumbuhan S.aureus dan P.aeruginosa. Hasil penelitian
Zuraida (2008) dengan menggunakan asap cair tanpa destilasi diperoleh nilai
MIC terhadap S.aureus dan P.aeruginosa sebesar masing-masing 0,10% dan
0,16%. Hal ini menunjukkan bahwa destilasi ulang asap cair menyebabkan
penurunan aktivitas antimikroba.
Bakteri P.aeruginosa lebih sensitif dibandingkan dengan S.aureus diduga
karena struktur dinding sel P.aeruginosa lebih tipis kandungan peptidoglikannya
dan memiliki protein porin dengan diameter cukup besar (2 nm) sehingga asap
cair dapat masuk ke dalam membran sel (Helander et al.,1998). Lebih lanjut
Pelczar et al. (1988) menjelaskan bahwa senyawa kimia utama yang memiliki
sifat antibakteri seperti fenol dan senyawa fenolat dapat berinteraksi dengan
membran sehingga integritas membran sel terganggu dan permeabilitasnya
berkurang.
47
Pada umumnya, bakteri gram positif lebih sensitif dibandingkan dengan
bakteri gram negatif. Bakteri gram positif sangat rentan terhadap serangan
senyawa antimikroba. Selain lapisan peptidoglikan yang sangat tmudah
diganggu integritasnya, sintesis lapisan peptidoglikan juga dapat terganggu oleh
serangan senyawa antimikroba. Dua mekanisme ini cukup untuk menggangu dan
menghambat pertumbuhan bakteri gram positif. Berbeda dengan bakteri gram
negatif yang memiliki lapisan peptidoglikan tipis tetapi dilindungi oleh lapisan
luar membran yang umumnya terdiri dari senyawa golongan lipida dan gula.
Adanya lapisan terluar ini mampu menahan serangan-serangan senyawa
antimikroba yang umumnya berada dalam fraksi polar. Oleh karena itu senyawa
antimikroba dengan basis non polar atau semi polar umumnya memiliki aktivitas
antimikroba yang lebih tinggi dibandingkan dengan antimikroba fraksi polar.
S.aureus sebagai bakteri gram positif dan P.aeruginosa sebagai bakteri
gram negatif pada penelitian ini ternyata memiliki nilai MIC yang tidak berbeda
jauh yaitu 0,20%. Hasil penelitian Yulistiani et al. (1997) menghasilkan MIC
asap cair tempurung kelapa untuk S.aureus dan P.fluorescens sebesar 0,60% dan
0,50% secara berturut-turut. Fenomena ini menunjukkan bahwa ternyata bakteri
gram negatif lebih sensitif dibandingkan dengan bakteri gram positif ketika
dikontakkan dengan asap cair tempurung kelapa. Hal ini tentu tidak sejalan
dengan fenomena umum yang terjadi antara bakteri gram positif dan negatif.
Pengecualian dari sifat umum tersebut juga terjadi pada penelitian Sunen et al.
(2001) dimana Aeromonas hydrophila sebagai bakteri gram negatif ternyata
lebih sensitif dan memiliki kepekaan yang sama dengan bakteri uji dari golongan
bakteri gram negatif (L.monocytogenes dan Y.enterolitica) ketika dikontakkan
dengan ekstrak asap cair.
Sunen et al. (2001) dan Faith et al. (1992) menduga bahwa kemungkinan
terjadi efek sinergis antara senyawa yang terkandung dalam asap cair, sehingga
efek antimikroba yang diberikan oleh asap cair tidak hanya disebabkan oleh
kandungan fenol yang tinggi tetapi juga disebakan oleh asam-asam lemah yang
terdapat dalam asap cair sehingga mampu memberikan efek yang lebih besar.
Asam-asam lemah seperti asam laktat dan asam asetat diduga bersifat lipolitik.
48
Asam asetat merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam asap cair
tempurung kelapa dalam bentuk turunan siringol dan guaiakol.
Siskos et al. (2007) mengemukakan bahwa asap cair mengandung
beberapa zat antimikroba yaitu asam dan turunannya (format, asetat, butirat,
propionat, dan metil ester), alkohol (metil, etil, propil, alkil, dan isobutil
alkohol), aldehid (formladehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural),
hidrokarbon (silene, kumene, dan simene), keton (aseton, metil etil keton, metil
propil keton, dan etil propil keton), fenol, piridin, dan metil piridin.
Kehadiran senyawa selain fenol, terutama asam dan turunannya, dalam
asap cair mampu menembus pertahanan bakteri gram negatif dengan
memutuskan ikatan lipida dalam membran luarnya. Pori-pori yang lebih besar
pada P.aeruginosa dan kemampuan fenol untuk berpenetrasi setelah lapisan
terluar bakteri rusak menyebabkan efek asap cair sebagai senyawa antimikroba
berjalan dengan baik. Senyawa asam dalam bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat
berpenetrasi ke dalam membran sel mikroorganisme. Senyawa asam dapat
menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur dan fluiditas membran, serta
mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan
mempengaruhi protein struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat, dan fosfolipid
membran (Davidson et al. 2005).
4.3.2.Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Redestilasi terhadap Isolat Bakteri Asam Laktat Asal Nira
BAL yang digunakan untuk pengujian tahap ini adalah isolat BAL asal
nira. Hasil pengujian pewarnaan gram dan pengujian katalase menunjukkan
bahwa isolat yang dipilih memiliki warna ungu, berbentuk basil, dan bersifat
katalase negatif. Berdasarkan hasil pengujian tersebut maka isolat yang diambil
merupakan bakteri asam laktat asal nira. Bakteri asam laktat ini selanjutnya
digunakan untuk uji aktivitas antibakteri dan simulasi penyadapan. Gambar 13
memperlihatkan bentuk dan warna dari isolat bakteri asal nira.
Battcock dan Azam-Ali (1998) menyatakan bahwa salah satu bakteri
terpenting dan umum dalam fermentasi pangan adalah BAL dari golongan
Lactobacillieae. Bakteri asam laktat banyak ditemui dalam bahan pangan dengan
49
kadar air tinggi dan kadar gula atau karbohidrat tinggi. Kehadiran BAL
berkontribusi pada penurunan pH bahan pangan akibat hasil metabolisme
utamanya yaitu mengubah glukosa menjadi asam laktat. Cahyaningsih (2006)
menyatakan bahwa BAL merupakan mikroorganisme awal yang bertanggung
jawab fermentasi awal nira karena BAL merupakan mikroba dominan pada nira
segar. Kehadiran BAL didalam fermentasi nira berlangsung selama 24 jam,
setelah itu mikroorganisme yang tetap bertahan adalah khamir dan Bacillus.
Gambar 13 Isolat Bakteri Asam Laktat Asal Nira Hasil Pewarnaan Gram.
Pengujian aktivitas antibakteri asap cair redestilasi terhadap BAL asal
nira dilakukan dengan menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan uji aktivitas asap cair terhadap S.aureus dan P.aeruginosa. Konsentrasi
yang digunakan adalah 3,00%, 5,00%, 10,00%, 20,00%, dan 30,00%. Penentuan
konsentrasi ini didasarkan pada hasil percobaan sebelumnya menggunakan
konsentrasi dibawah 3,00%, dengan mengacu penelitian Milly et al. (2005) yang
melaporkan bahwa nilai MIC asap komersial untuk L.plantarum (salah satu jenis
BAL) sebesar 0,75%, ternyata tidak menunjukkan adanya efek penghambatan.
Gambar 14 memperlihatkan jumlah bakteri setelah dikontakkan dengan
asap cair pada berbagai konsentrasi pengujian. Nilai MIC asap cair redestilasi
terhadap isolat BAL asal nira berdasarkan hasil uji kontak selama 24 jam adalah
3,00%. Besarnya penghambatan yang diberikan oleh asap cair redestilasi 3,00%
tidak berbeda nyata dengan penghambatan oleh asap cair redestilasi dengan
konsentrasi 5,00% dan 10,00%. Hal ini menandakan bahwa isolat BAL asal nira
50
sangat tahan dengan konsentrasi asap cair redestilasi yang tinggi. Salah satu
faktor yang menyebabkan tingginya resistensi BAL adalah karena BAL toleran
terhadap asam (Salminen et al. 2004; Stamer, 1979).
51
0
2
4 6 8
1
1
0.00 3.00 5.00 10.00 20.00 30.00
Konsentrasi Asap Cair (%)
Jum
lah
BAL
(Log
CFU
/ml)
2 0
Gambar 14 Jumlah Bakteri Asam Laktat setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair Redestilasi pada Berbagai Konsentrasi selama 24 Jam.
4.4. Aplikasi Asap Cair Redestilasi sebagai Pengawet Nira
Pengujian aplikasi diawali dengan simulasi pemilihan konsentrasi untuk
aplikasi pada tahap selanjutnya dengan melihat perubahan pH dan total mikroba
disertai dengan pengujian secara langsung selama 12 jam penyadapan. Simulasi
selanjutnya berupa aplikasi konsentrasi terpilih dengan melihat pola perubahan
pH selama penyadapan.
4.4.1. Perubahan pH Selama 12 Jam Penyimpanan
Simulasi pertama dilakukan dengan melakukan penyadapan nira selama
satu jam dengan menggunakan wadah bersih yang telah diberi asap cair
sedemikian rupa sehingga setelah satu jam memiliki konsentrasi yang
diinginkan. Konsentrasi yang digunakan adalah 0,50%, 1,00%, 1,50%, 2,00%,
dan 3,00%(v/v) dengan mengacu hasil penelitian pendahuluan. Volume nira
yang dihasilkan setiap mayang dapat diperkirakan jumlahnya sehingga dalam
aplikasi ini dapat ditentukan dari awal berapa volume asap cair yang harus
diberikan dalam wadah penampung untuk satu kali penyadapan.
Setelah nira disadap selama satu jam, dilakukan pengukuran pH nira
setiap jam selama 12 jam penyimpanan di suhu ruang. Perubahan pH yang
terjadi dapat dilihat pada Gambar 15.
8
7
52
3
4
5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jam ke -
pH
0,00% AC 0,50% AC
6 1,00% AC 1,50% AC
2,00% AC 3,00% AC
Gambar 15 Grafik Perubahan pH Nira yang Diberi Asap Cair (AC) Rerdestilasi
pada Berbagai Konsentrasi selama 12 Jam Penyimpanan. Simulasi ini dilakukan untuk menentukan nilai konsentrasi yang akan
digunakan selanjutnya dalam uji aplikasi. Gambar 15 menjelaskan bahwa
semakin bertambahnya konsentrasi asap cair yang diberikan, maka pH nira awal
akan semakin turun dibandingkan dengan kontrol. Hal ini terjadi karena asap cair
memiliki tingkat keasaman tinggi (pH =3,0) sehingga nilai pH nira awal menjadi
rendah.
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa perubahan waktu dan perlakuan
penambahan asap cair redestilai berpengaruh nyata terhadap penurunan pH.
Penambahan asap cair redestilasi menyebabkan laju penurunan pH yang berbeda
nyata dengan kontrol. Konsentrasi asap cair redestilasi 1,00% memberikan
pengaruh yang berbeda dengan konsentrasi 0,50%. Konsentrasi 1,50% dan
2,00% tidak berbeda nyata, sedangkan keduanya berbeda nyata dengan
konsentrasi 3,00%. Konsentrasi 0,50%, 1,00%, 1,50%, 2,00%, dan 3,00%
memberikan efek pengawetan yang diindikasikan dengan kemampuan menahan
laju penurunan pH selama 4, 6, 6, , 8, dan 9 jam secara berurutan.
4.4.2. Perubahan Jumlah Mikroba Selama 12 Jam Penyimpanan
Berdasarkan hasil pengujian penurunan pH nira selama 12 jam
penyimpanan, selanjutnya dilakukan pengujian untuk menghitung jumlah
mikroba. Konsentrasi asap cair yang digunakan dalam pengujian ini adalah
1,00% dengan alasan bahwa pada konsentrasi ini memiliki efek penahanan
kesegaran nira selama 6 jam peyimpanan dari 12 jam pengukuran. Penggunaan
1,00% asap cair ini diharapkan akan memberikan informasi mengenai kondisi
mikrobiologis nira ketika masih segar dan ketika proses penurunan pH terjadi.
Gambar 16 menunjukkan jumlah total mikroba yang terdapat dalam nira.
Jumlah mikroba awal pada nira kontrol terdapat sebanyak 106 CFU/ml,
sedangkan pada nira yang ditampung dengan wadah yang berisi asap cair
mengandung 105 CFU/ml mikroba. Jumlah mikroba pada nira kontrol meningkat
pada jam ke tiga sampai 107 CFU/ml, sedangkan pada nira dengan asap cair
mencapai kondisi 107 CFU/ml pada jam ke enam.
0123456789
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jam ke-
Jum
lah
Tota
l Mik
roor
gani
sme
(lo
g C
FU/m
l)
Nira + 0,00% ACNira + 1,00% AC
Gambar 16 Jumlah Total Mikroorganisme pada Nira yang Diberi Asap Cair
Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan.
Gambar 17 merupakan grafik yang menunjukkan jumlah bakteri asam
laktat dalam nira. Jumlah bakteri asam laktat awal pada nira yang mendekati
jumlah total mikroba awal yaitu sebanyak 106 CFU/ml. Jika dihubungkan antara
jumlah mikroba total dengan jumlah BAL maka dapat disimpulkan bahwa
mikroba yang dominan pada nira segar merupakan BAL. Menurut Sumanti et al.
(2004) dan Okrafor (1978), fermentasi yang terjadi pada nira adalah fermentasi
laktat-alkohol-asetat yang melibatkan bakteri asam laktat, khamir, dan bakteri
asam asetat. Bakteri Leuconostoc spp dan Lactobacillus spp merupakan
53
mikroorganisme awal yang diduga dominan terdapat dalam nira segar.
Cahyaningsih (2006) juga menyimpulkan hal yang sama dimana fermentasi awal
pada nira lontar didominasi oleh aktivitas bakteri asam laktat.
Gambar 17 Jumlah Total BAL pada Nira yang Diberi Asap Cair (AC) Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan.
0123456789
10
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12Jam ke-
Jum
lah
BAL
(log
CFU
/ml)
Nira +0,00% ACNira + 1,00% AC
Jumlah bakteri asam laktat dari jam ke nol sampai jam ke enam
mengalami hambatan pertumbuhan. Hal ini terjadi karena komponen asap cair
bekerja sebagai antimikroba dengan sifat mikrostatik. Berbeda halnya dengan
khamir, selama 12 jam jumlah khamir cenderung menurun (Gambar 18).
0
1
2
3
4
5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jam ke -
Jum
lah
Kham
ir (lo
g CF
U/m
l) Nira + 0,00% ACNira + 1,00% AC
Gambar 18 Jumlah Total Khamir pada Nira yang Diberi Asap Cair (AC) Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan.
Hal ini terjadi akibat efek senyawa antimikroba asap cair menghambat
pertumbuhan khamir. Jika pengamatan dilanjutkan, sampai melebihi 12 jam,
54
sampel nira yang digunakan dalam pengujian ini berbau alkohol sebagai
indikator adanya metabolisme khamir. Hal ini menandakan bahwa khamir hanya
mengalami hambatan pertumbuhan.
Jika dihubungkan data penurunan pH dengan jumlah total BAL, maka
semakin tinggi jumlah BAL yang terdapat dalam nira, maka pH nira akan
semakin menurun. Hal ini terjadi karena aktivitas metabolisme BAL
menghasilkan asam laktat dan asam organik lainnya sehingga menaikkan kadar
asam yang terdapat dalam nira. Hubungan pH dan jumlah BAL dapat dilihat
pada Gambar 19.
5
6
7
8
9
10
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5
pH
Jum
lah
BA
L (L
og C
FU/m
l)
Gambar 19 Hubungan Perubahan pH nira dan Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Fermentasi Nira selama 12 jam Penyimpanan .
4.4.3.Aplikasi Penyadapan selama 12 Jam
Aplikasi dilakukan dengan memberikan asap cair pada wadah bersih
sebagai penampung nira dengan konsentrasi sama seperti pada pengujian
perubahan pH dan total mikroba. Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa asap
cair dengan konsentrasi 0,50% menghasilkan nira dengan pH 5,0 dan tidak bisa
diolah lagi menjadi gula. Konsentrasi 1,00% sampai 3,00% menghasilkan nira
dengan pH lebih dari 6,0 dan nira tersebut dapat diolah menjadi gula.
Berdasarkan hasil simulasi pertama ini, konsentrasi 1,00% dipilih
menjadi batas bawah dan 3,00% menjadi batas atas konsentrasi untuk aplikasi
pada pengujian selanjutnya. Konsentrasi 1,00% dan 3,00% dipilih karena
memberikan pengaruh yang berbeda nyata dalam menahan laju penurunan pH
55
nira dan nira yang dihasilkan setelah penyadapan dengan konsentrasi tersebut
dapat diolah menjadi gula.
4.4.4. Simulasi Perubahan pH selama Penyadapan
Simulasi selanjutnya adalah simulasi penyadapan untuk melihat
perubahan pH selama penyadapan. Hal ini dilakukan untuk melihat fenomena
yang mendekati kenyataan mengenai mekanisme kerja teknik penghambatan
asap cair sebagai pengawet nira. Gambar 20 menerangkan tentang perubahan pH
yang terjadi selama penyadapan nira. Konsentrasi asap cair yang digunakan
dalam simulasi ini adalah 1,00% dan 3,00%.
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jam ke-
pH
0,00% AC1,00% AC3,00% AC
Gambar 20 Perubahan pH pada Simulasi Penyadapan selama 12 Jam Menggunakan Asap Cair pada Konsentrasi1,00% dan 3,00%.
Nira yang digunakan untuk simulasi merupakan nira yang disterilisasi.
pH awal nira untuk simulasi ini adalah 5,1. Volume nira pada akhir simulasi
selama 12 jam ditetapkan sebanyak 300 ml, sehingga setiap jam dilakukan
penambahan nira sebanyak 25 ml. Pengukuran pH dilakukan sebelum dan
sesudah penambahan nira.
Data pada Gambar 20 menunjukkan bahwa nira yang tidak diberi
perlakuan pengawetan akan mengalami penurunan pH selama penyadapan. Hal
ini menandakan bahwa telah terjadi kontaminasi oleh mikroba dan berlanjut
dengan terjadinya fermentasi. Berbeda dengan nira yang diberi asap cair. Nira
yang diberi asap cair mengalami peningkatan pH selama penyadapan. Hal ini
56
terjadi karena sejak awal penyadapan telah terdapat asap cair yang memiliki pH
rendah yaitu 3 dalam wadah penampung, sehingga ketika nira segar dengan pH 7
masuk ke dalam penampung akan mengalami penurunan pH karena terjadi
proses pengenceran asap cair oleh nira. pH nira dalam penampung yang telah
diberi asap cair akan mengalami peningkatan seiring dengan berkurangnya
konsentrasi asap cair akibat pertambahan volume nira.
Jika dihubungkan dengan simulasi perubahan pH selama 12 jam (Gambar
15) dan total mikroba pada simulasi tersebut (Gambar 16 dan 17) maka dapat
digambarkan bahwa ketika proses penyadapan berlangsung, mikroba tidak dapat
berkembang biak karena selama penyadapan terdapat asap cair dengan
konsentrasi yang tinggi (lebih tinggi dari konsentrasi akhir yang diinginkan yaitu
1,00%). Konsentrasi asap cair redestilasi 1,00% pada saat simulasi penyimpanan
sudah dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme selama 6 jam.
Penghambatan pertumbuhan mikroorganisme tentu akan terjadi lebih kuat lagi
ketika penyadapan berlangsung. Hal ini terjadi karena selama penyadapan
berlangsung, konsentrasi asap cair yang terdapat dalam wadah penampung lebih
tinggi dari 1,00%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa kontrol, perlakuan asap
cair 1,00%, dan perlakuan 3,00% menunjukkan hasil yang berbeda nyata
terhadap kemampuan mempertahankan pH. Hasil ANOVA juga menunjukkan
bahwa perubahan waktu penyadapan pada kisaran waktu selama 12 jam dan
pemberian asap cair memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan pH pada
taraf kepercayaan 95% dimana dengan semakin lamanya waktu penyadapan
menyebabkan pH nira juga mengalami perubahan yaitu cenderung menurun jika
tanpa asap cair dan cenderung meningkat jika diberi asap cair.
4.5. Uji Organoleptik
Pengujian organoleptik yang dilakukan adalah penilaian kesukaan panelis
terhadap rasa dari gula merah yang berbahan baku nira yang diberi pengawet
sebesar 1,00% dan 3,00%. Hasil ANOVA menunjukkan bahwa panelis memiliki
kesukaan yang berbeda terhadap gula yang berbahan baku nira dengan asap cair
1,00% dibandingkan dengan gula yang berbahan baku nira dengan asap cair
3,00%. Panelis memberikan nilai 5 (suka) pada gula yang berbahan baku nira
57
dengan asap cair 1,00% dan nilai 4 (netral) untuk gula berbahan baku nira
dengan asap cair 3,00%.
0102030405060708090
100
1,00% 3,00%
Kandungan Asap Cair dalam Gula
Jum
lah
Pane
lis (%
)NormalTidak Normal
Gambar 21 Penilaian Panelis terhadap Kenormalan Rasa Gula Merah dengan Nira yang mengandung Asap Cair 1,00% dan 3,00%.
Hasil pengujian terhadap aroma gula (Gambar 21) menunjukkan bahwa
sebanyak 15% panelis merasakan aroma asap pada gula berbahan baku nira
dengan asap cair redestilasi 1,00% dan sebanyak 67% panelis menyatakan hal
yang sama terhadap gula berbahan baku nira dengan asap cair redestilasi 3,00%.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan asap cair yang terlalu banyak akan
mempengaruhi rasa dan aroma gula yang dihasilkan.
4.6. Pengujian Warna
Aplikasi asap cair ditujukan untuk memberikan flavor yang khas pada
produk, membantu pengawetan, serta memberikan perubahan warna pada produk
akhir. Abu-Ali dan Barringer (2007) meneliti pengaruh penambahan asap cair
terhadap perubahan warna keripik kentang dengan berbagai metode pemanasan.
Hasil penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa asap cair mampu
memberikan warna coklat yang seragam dan mempercepat proses pengolahan
sehingga pembentukan akrilamid bisa dihindari. Penggunaan asap cair
tempurung kelapa redestilasi ini juga menunjukkan hal yang sama bahwa
aplikasinya pada pengawetan nira berpengaruh terhadap perubahan warna gula.
Gambar 22 memperlihatkan produk gula merah dengan nira yang
mengandung asap cair dan Tabel 10 merupakan data hasil pengujian warna.
Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan chromameter CR300 sistem
58
CIE (Commission Internationale de l’Eclairag) dengan out put berupa nilai L,
a*, dan b*. Nilai L memperlihatkan kecerahan (lighteness) sampel. Nilai a positif
(+) menandakan bahwa produk memiliki kecendrungan berwarna kemerahan
sedangkan nilai a negative (-) menandakan produk memiliki kecenderungan
berwarna kehijauan. Nilai b(+) menandakan produk berwarna kekuningan
sedangkan nilai b(-) menandakan produk berwarna mengarah pada kebiruan.
A B
Gambar 22 Warna Gula Merah dengan Asap Cair 1,00% (A) dan Gula Merah dengan Asap Cair 3,00 % ( B).
Tabel 10 Nilai L, a*, dan b* Gula Merah dari Nira yang Mengandung Asap Cair
Parameter Sampel L a b Gula merah dengan Asap Cair 1% 32.49 +12.51 +15.32 Gula merah dengan Asap Cair 3% 31.63 +13.49 +17.75
Hasil pengukuran warna menunjukkan bahwa gula dengan asap cair
1,00% lebih cerah (nilai Lightness lebih tinggi) dibandingkan dengan gula
dengan asap cair 3,00%. Begitupun dengan warna, gula dengan asap cair 1%
memiliki warna coklat lebih muda (nilai a+ dan b+ yang lebih kecil)
dibandingkan dengan gula berbahan baku nira dengan asap cair redestilasi 3%.
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa kedua sampel ini memiliki perbedaan warna
yang nyata pada taraf kepercayaan 95%.
Perbedaan intensitas warna pada kedua gula yang dihasilkan terjadi
karena degradasi sukrosa semakin meningkat dengan perlakuan pemanasan
selama pengolahan nira menjadi gula. Kandungan gula pereduksi yang lebih
tinggi menyebabkan warna gula yang dihasilkan lebih gelap karena gula
pereduksi merupakan reaktan dalam reaksi pencoklatan. Nira yang disadap
59
dengan menggunakan 3,00% asap cair memiliki intensitas kontak dengan
suasana keasaman lebih tinggi pada rentang waktu yang sama dibandingkan
dengan aplikasi asap cair 1,00%, sehingga proses degradasi sukrosa menjadi gula
perduksi pada nira dengan asap cair 3,00% menjadi lebih tinggi. Selain itu,
kandungan asap cair yang lebih banyak pada konsentrasi 3,00% memberikan
efek lebih gelap terhadap gula yang dihasilkan.
60
V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Perlakuan destilasi ulang terhadap asap cair kasar tempurung kelapa
menyebabkan perubahan karakteristik fisik, kimia serta aktivitas antimikroba
asap cair. Asap cair redestilasi memiliki penampakan jernih kekuningan lebih
baik dibandingkan dengan asap cair kasar yang berwarna coklat kehitaman.
Jumlah total fenol asap cair redestilasi mengalami penurunan yang signifikan
sebesar 0,7% sehingga berakibat pada penurunan aktivitas antimikrobanya.
Asap cair redestilasi memiliki nilai MIC terhadap S.aureus, P.aeruginosa, dan
isolat bakteri asam laktat asal nira berturut – turut sebesar 0,20%, 0,22% (v/v),
dan 3,00%(v/v).
Uji aplikasi asap cair redestilasi pada konsentrasi 0,50%, 1,00%,
1,50%, 2,00%, dan 3,00% menunjukkan bahwa konsentrasi 1,00% dapat
digunakan untuk pengawetan nira. Nira yang disadap selama 12 jam dengan
penambahan asap cair redestilasi pada konsentrasi 1,00% memiliki pH lebih
dari enam sehingga nira dapat diolah menjadi gula. Gula merah yang
dihasilkan dari nira dengan konsentrasi asap cair redestilasi 1,00% tersebut
memiliki warna coklat cerah dengan rasa yang disukai panelis pada tingkat
kesukaan 5 (suka).
5.2. Saran
Hasil kajian teknik pengawetan nira dengan menggunakan asap cair
redestilasi merupakan alternatif yang mudah diaplikasikan. Penerapan hasil
kajian ini dimasyarakat sebaiknya menggunakan pendekatan praktis seperti
penggunaan sendok sebagai alat penakar. Satu sendok makan asap cair setara
dengan 5 ml asap cair. Aplikasi asap cair ini juga hendaknya tidak hanya
ditekankan pada penggunaan asap cair sebagai pengawet saja, melainkan
harus didukung dengan penguatan kesadaran akan pentingnya kebersihan baik
pada peralatan yang digunakan maupun higiene dari penderes sehingga
kontamiasi silang sebagai awal proses fermentasi nira dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA Abu-Ali JM, Barringer SA. 2007. Color and Texture Development Of Potato
Cylinders with Liquid Smoke during Baking, Frying, and Microwaving. Journal of Food Processing and Preservation. 31 : 334–344
Aliudin. 2009. Efisiensi Ekonomi dan Nilai Tambah Gula Aren Cetak serta
Implikasinya terhadap Kontribusi Pendapatan Rumah Tangga Pengrajin. (Studi Kasus di Kabupaten Lebak, Banten). [Disertasi]. Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran . Bandung.
Apriyantono A, Wiratma E. 1997. Pengaruh Jenis Gula terhadap Sifat Sensori dan
Komposisi Kimia Kecap Manis. Bul. Teknol. dan Industri Pangan. VIII (1): 8-14.
Apriyantono A, Astrid A, Nurhayati, Yeni L, Slamet B, Soewarno TS. 2003. Rate
Of Browning Reaction During Preparation Of Coconut and Palm Sugar . www.sciendirect.com (19 Agustus 2009)
Ayres JC, JO Mundt, WE Sandine. 1980. Mycrobiology of Foods. WH Freeman,
San fransisco. Azima F. 1997. Pembuatan dan Evaluasi Mutu Gula Semut dari Nira Nipah. Di
dalam : Budijanto S., Editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. hlm : 395-405.
[BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Di dalam Sylviana, 2008.
Prevalensi Cemaran S.typhimurium pada Potongan Karkas Ayam dan Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Pipper betle, Linn.) sebagai Larutan Sanitiser Alami. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Battcock M, Azam-Ali S. 1998. Fermented fruits and vegetables: A global
perspective. FAO's Agricultural Services Bulletin series. http://www.fao.org/docrep/x0560e/x0560e00.htm (19 Agustus 2009)
Branen AL, Davidson PM.1993. Antimicrobial in Food. Marcel dekker. New
York. Cahyaningsih HE. 2006. Identifikasi Bakteri Asam Laktat dari Nira Lontar serta
Aplikasinya dalam Mereduksi S. thypimurium dan A.flavus pada Biji Kakao. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Catte M, Gancel F, Dzierszinski F, Tailliez R. 1999. Effects of water activity,
NaCl and smoke concentrations on the growth of Lactobacillus plantarum ATCC 12315. International Journal of Food Microbiology 52 : 105–108
[CECEFS] Council of Europe Committee of Experts on Flavouring Substances. 1992. Health Aspect of Using Smoke Falvour as Food Ingredients. Publishing and Document Service. Strasbourg.
Daun, H. 1979.Interaction of Wood Smoke Components and Food. J Food
Technol. 32: 66-71. Davidson PM, Sofos JN, Branen AL. 2005. Antimicrobial in Food. 3td ed. Boca Raton: Taylor and Francis Group, CRC Press. Dewan Standardisasi Nasional. 1995. SNI Gula Palma. SNI 01-3747-1995. Faith NG, Yousef AE, Luchansky JB. 1992. Inhibition of Listeria
monocytogenes by Liquid Smoke and Isoeugenol, a Phenolic Component Found in Smoke. J. Food Safety. 12: 303-314.
Fardiaz S. 1992. Mikrobilogi Pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Girrard JP. 1992. Smoking in Technology of Meats Product.: Clermont-Ferrand
Ellis Horwood, New York Gorbatov et al. 1971. Liquid Smoke for Use in Curred Meats. J Food Technol. 25:
71-77. Goutara, Wijandi S. 1985. Dasar Pengolahan Gula I. Agro Industri Press. Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA, IPB. Bogor. Grimwood BE. 1975. Coconut Palm Product Tropical. London. Product Institute. Guillen MD, Ibargoitia ML. 1996. Relationship between The Maximum
Temperature Reached in the Smoke Generation Process from Vitis vinivera l. J. Agric. Food Chem. 44: 1302-1307.
Guillen MD, Manjanos MJ, Ibargoitia ML. 2001. Carbohydrate and Nitrogenated
Compounds in Liquid Smoke Flavorings. . J. Agric. Food Chem. 49: 2395-2403
Hamzah N, Hasbullah. Evaluasi Mutu Gula Semut yang dibuat dengan
Menggunakan Beberapa Bahan Pengawet Alami . Di dalam : Budijanto S., Editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. hlm : 175-180.
Helander LM, Alakomi HL, Latva-Kala K. 1998. Characterization of The Action
of Selected essential oil components on Gram-negative Bacteria. J. Agric. Food Chem. 46: 3590-3595
63
Humas Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2007. Presiden Lepas Ekspor Gula Aren kristal ke Belanda. www.menkokesra.go.id/php. (19 Agustus 2009)
Iskandar A. 1991. Memperlajari Penambahan Pengawet, Pemanasan, dan
Penyimpanan terhadap Mutu Gula Semut Aren . Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor.
Jackson EB. 1995.. Sugar Confectionary Manufacture, 2nd ed. Blackie Academic
& Professional, UK. James CP, Chen M. 1985. Cane Sugar Handbook. John Willey and Sons.
New York. Jay JM, Martin JL, David AG. 2005. Modern Food Microbiology. 7th eds.
Springer. Jaya IK, Darmaji P, Suhardi. 1997. Penurunan Kandungan Benzo[a]pirene Asap
cair dengan Zeolit dalam upaya meningkatkan keamanan pangan. Di dalam : Budijanto S., Editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. hlm : 11-18.
Karseno, Darmaji P, Rahayu K. 2002. Daya Hambat Asap Cair Kayu Karet
terhadap Bakteri Uji Pengkontaminasi Lateks dan Ribbed Smoke Sheet. Agritech. 21 (1): 10-15.
Kusumah RD. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet Pada
Nira Aren terhadap Mutu Gula Merah, Gula Semut, Sirup Nira, dan Gula Putih yang Dihasilkan. [Skripsi]. Fateta, IPB. Bogor.
Lalujan LE. 1995. Studi Pengawetan Nira Aren untuk Industri Kecil. [Tesis].
Program Pascasarjana KPK IPB-UNSRAT, Bogor-Manado. Laos, AK, Kirs E, Kikkas CA, Paalme DT. 2007. Crystallization of The Saturated
Sucrose Solution in the Presence Of Fructose, Glucose, and Corn Syrup. Di dalam: Proseeding of European Congres of Chemical Engineering (ECCE-6). Copenhagen, 16 – 20 September 2007.hlm :231-237
Maga JA. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press, Florida. Mahakkapong O. 2004. Sulphite Content in Coconut Sugar and Development for
Safe Product. [Thesis]. Faculty of Graduate Studies. Mahidol University. Thailand.
Mansyur BAA. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Bahan Pengawet
terhadap Daya Simpan Nira Nipah . [Skripsi]. Fateta, IPB. Bogor.
64
Milly PJ, Toledo RT, Ramakrishnan S. 2005. Determination of Minimum Inhibitory Concentration of Liquid Smoke Fractions. J Food Sci. 70:12-17
Munoz RE, Boyle EAE, Marsden JL. 1998. Liquid Smoke Effect of E.coli
O157:H7 and its antioxidant properties in beef Product. J Food Sci. 63:150-153.
Nettles CG, Brefort SF. 1993. Biochemical and Genetic Characteristic of Bacteriosin of Food Assosiated Lactic Acid Bacteria. J Food Protection. 4:338-356.
Nurhayati. 1996. Mempelajari Kontribusi Flavor Gula Merah pada Pembentukan
Flavor Kecap Manis. [Skripsi]. Fateta, IPB. Bogor. Okrafor, N. 1978. Microbiology and Biochemistry of Oil Palm Wine. pp. 237-225.
Di dalam D. Pelman (ed) Advance in Applied Microbilogy. Vol 24. Acad. Press Inc., New York
Pelczar MJ, Reid RD, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Hadiutomo
R.S. Penerjemah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. [PFNRI] Phillipine Food and Nutrition Research Insitute. 2009. Coco Palm
Sugar–Glycemic Index Determination. www. cocopalmsugar.sch.ph/ (19 Agustus 2009)
Purnomo E. 1997. Upaya Peningkatan Daya Saing Gula Merah Rakyat dari
Pengolahan Hasil Tanaman Pemanis Alami. Di dalam : Budijanto S., Editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. hlm : 438-450.
Putnam KP, Bombick DW, Avalos JT, Doolitle DJ. 1999. Comparison of The
Cytotoxic and Mutagenic Potential of Liquid Smoke Food Flavourings, cigarette Smoke Condensate, and Wood Smoke Condensate. Food and Chem. Toxicol. 37: 1113-1118.
Putra INK. 1990. Kajian Reaksi Pencoklatan Termal pada Proses Pembuatan Gula
Merah dari Nira Aren. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Penebar Swadaya. Jakarta Salminen S, Wright AV, Ouwehand A. 2004. Lactic Acid Bacteria. Marcel
Decker Inc., New York. Bassel. Sarjono, Dachlan MA. 1988. Penelitian Pemecahan Fermentasi pada Penyadapan
Nira Aren Sebagai Bahan Baku Pembuatan Gula Merah. Warta BBI Hasil Pertanian. 2: 55-58.
65
Sharpe EM. 1979. Identification of actic Acid Bacteria. Di dalam : F.A. Skinner
dan D.W. Lovelock (eds). Identification Methodes for Microbiologists. Academic Press, London.
Siskos I, Zotos A, Melidou S, Tsikritzi R. 2007. The effect of liquid smoking of
trout (salmo gairdnerri) on sensory, microbiological, chemical changes during chilled storage. Food Chem. 101 : 458-464.
Slinkard K, Singleton VL. 1977. Total Phenol Analysis: Automation and
Comparison with Manual Methods. American Journal of Enology and Viticulture, 28: 49-55
Soekarto ST, Wijaya CH, Sulaeman A, Wijandi S. 1991. Kajian Beberapa Jenis
Penggunaan Gula Merah untuk Industri dan Pengolahan Pangan di Indonesia. Bul. Pen. Ilm dan Teknol. Pangan. IV (1): 53-59.
Soldera S, Sebastianutto N, Bortolomeazzi R. 2008. Comopsition of Phenolic
Compounds and Antioxidant Activity of Commercial Aqueous Smoke Flavorings. J Agric Food Chem. 56:2727-2734.
Stamer JR. 1979. The Lactic Acid Bacteria: microbes of diversity. J. Food
technology. 33: 60-65. Sulaeman A. 2002. Kajian Penggunan Gula Merah di Indonesia. Gula Palma.
Proram Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Sumanti D, Tjahjadi C, Betty DS, Cucu SA, Abdul R. 2004. Efek Bahan
Pengawet Alami terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme Kontaminan Nira Aren. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian, Universutas Padjadjaran. Jatinangor.
Sunantyo. Pengaruh Pemakaian Bahan Pengawet terhadap Kualitas Hasil Nira
sadapan Kelapa dan Hasil Gula Semut. Di dalam : Budijanto S., Editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. hlm : 384-394.
Sunantyo, Utami S. Suatu Upaya Peningkatan Kualitas Gula Merah Nabati Non
Tebu. Di dalam : Budijanto S., Editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. hlm : 196-213.
Sunen E. 1998. Minimum Inhibitory Concentration of Smoke Wood Extract
Againts Spoilage and Pathogenic Micro-organism Associated With Food. Letters in Applied Microbiology. 27 : 45-48.
66
Sunen E, Fernandez-Galian B, Aristimuno C. 2001. Antibacterial Activity of Smoke Wood Condensate Againts Aeromonas hydrophila, Yersinia enterolitica, and Listeria monocytogenes in Vacuum-packed cold-smoked rainbow trout stored at 40C. Food Res Int. 36: 111-116.
Syabana MA, Rusbana TB. 2008. Peningkatan Daya Tahan Sate Bandeng melalui
Teknik Ensiling dan Asap Cair. Laporan Penelitian. LPPM Universita Sultan Ageng Tirtayasa. Serang.
Tempointeraktif. 2007. Pemerintah Kembangkan Proyek Gula Aren. Rabu, 11 Oktober 2006 . www.tempointeraktif.co.id/hg/ekbis/ (19 Agustus 2009) Tranggono. 1996. Identifikasi Asap Cair dari berbagai Kayu dan Tempurung
Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknolgi Pangan 1(2) : 15-24. Vigil AL, Parish ME, Davidson PM. 2005. Methode for Activity Assay and
Evaluation Method. Di dalam : Davidson PM, Safos JN, Branen AL (eds) Antimicrobial in Foods. 3rd ed. Boca Raton. Taylor and Francs. Inc.
Wang NS. 2004. Enzyme Kinetic of Invertase Via Initial Rate Determination.
Departement of Chemical Engineering. University of Maryland. Widyaningsih A, Nasution MZ, Hardjo S. 1985. Mempelajari Pengaruh Jenis
Pengawet dan Bahan Pembungkus terhadap Mutu Gula Kelapa. Buletin Penelitian Teknologi Industri. 2(1) : 6-15.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta. Yulistiani R, Darmadji P, Harmayani E. Kemampuan Penghambatan Asap Cair
terhadap Pertumbuhan Bakteri Patogen dan Perusak pada Lidah Sapi. Di dalam : Budijanto S., Editor. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. hlm : 19-30.
Yasni S, Suliantari, Sunarko IA. 1999. Aktivitas Antimikroba Ekstraksi Kulit
Kayu Ralu pada Fermentasi Nira Aren. Bul. Teknol. dan Industri Pangan X(2) :47 – 58.
Zuraida I. 2008. Kajian Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Daya
Awet Bakso Ikan. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
67
Lampiran 1. Data Pengukuran Total Fenol Pada Asap Cair Tempurung Kelapa Sebelum Destilasi dan Sesudah Destilasi
Konsentrasi Standar Absorbansi
0 0.000
2 0.122
4 0.236
6 0.337
8 0.451
10 0.553
Konsentrasi Sampel Ulangan Absorbansi
ppm (%) Rata-rata (%)
1 0.478 372317 3.72 Asap cair
(tanpa didestilasi) 2 0.473 368356 3.68 3.70
1 0.400 310535 3.11 Asap cair
(hasil destilasi) 2 0.395 306574 3.07 3.09
69
70
Lampiran 2. Hasil ANOVA Kadar Fenol Asap Cair Redestilasi
Class Level Information
Class Levels Values
perlakuan 2 destilas tdestila
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 1 38167684.00 38167684.00 486.78 0.0020
Error 2 156816.00 78408.00
Corrected Total 3 38324500.00
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.995908 0.824930 280.0143 33944.00
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 1 38167684.00 38167684.00 486.78 0.0020
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 1 38167684.00 38167684.00 486.78 0.0020
71
Lampiran 3. Uji Lanjut Duncan untuk Perlakuan Sebelum dan Setelah Destilasi
Duncan's Multiple Range Test for respon
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 2
Error Mean Square 78408
Number of Means 2
Critical Range 1205
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
A 37033.0 2 tdestila
B 30855.0 2 destilas
72
Lampiran 4. Data Penentuan MIC Asap Cair Redestilasi Terhadap P.aeruginosa
Ulangan 1
Jumlah Koloni pada Pengenceran ke- Konsentrasi
2 3 4 5 6 7
0.00 TBUD TBUD 250 66
0.22 TBUD 332 124 19
0.25 270 77 18 1
0.28 130 52 0 2
0.30 31 3 1 1
Ulangan 2
Jumlah Koloni pada Pengenceran ke- Konsentrasi
2 3 4 5 6 7
0.00 TBUD TBUD 211 74
0.22 TBUD 340 149 31
0.25 241 97 22 1
0.28 105 41 5 2
0.30 27 4 1 1
Hasil Penghitungan Jumlah Mikroba Setelah Perlakuan Selama 24 Jam
Konsentrasi Ulangan
0 0.22 0.25 0.28 0.3
1 2.50E+08 1.20E+06 7.70E+04 1.60E+04 3.10E+03
2 2.60E+08 1.60E+06 3.10E+04 1.30E+04 2.70E+03
73
Lampiran 5. Hasil ANOVA Nilai MIC P.aeruginosa
Class Level Information
Class Levels Values
perlakuan 5 0 0.22 0.25 0.28 0.3
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 1.0374289E17 2.5935724E16 2589.37 <.0001
Error 5 5.0081063E13 1.0016213E13
Corrected Total 9 1.0379298E17
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.999517 6.169967 3164840 51294280
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 4 1.0374289E17 2.5935724E16 2589.37 <.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 4 1.0374289E17 2.5935724E16 2589.37 <.0001
74
Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC P.aeruginosa
Duncan's Multiple Range Test for respon
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 5
Error Mean Square 1.002E13
Number of Means 2 3 4 5
Critical Range 8135483 8388694 8495972 8534613
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
A 255000000 2 0
B 1400000 2 0.22
B 54000 2 0.25
B 14500 2 0.28
B 2900 2 0.3
75
Lampiran 7. Data Penentuan MIC Asap Cair Redestilasi Terhadap S.aureus
Ulangan 1
Jumlah Koloni pada Pengenceran ke- Konsentrasi
2 3 4 5 6 7
0.0 TBUD TBUD 216 67
0.2 TBUD TBUD 250 85
0.4 TBUD 180 61 9
0.6 147 55 12 2
0.8 24 8 0 1
Ulangan 2
Jumlah Koloni pada Pengenceran ke- Konsentrasi
2 3 4 5 6 7
0.0 TBUD TBUD 241 117
0.2 TBUD TBUD 302 100
0.4 TBUD 260 78 4
0.6 151 43 18 3
0.8 21 5 1 1
Hasil Penghitungan Jumlah Mikroba Setelah Perlakuan Selama 24 Jam
Konsentrasi Ulangan
0 0.2 0.4 0.6 0.8
1 2.60E+08 3.00E+06 2.20E+05 1.80E+04 2.40E+03
2 3.30E+08 1.0E+07 7.80E+05 1.80E+04 2.10E+03
76
Lampiran 8. Hasil ANOVA Nilai MIC S.aureus
Class Level Information
Class Levels Values
perlakuan 5 0 0.2 0.4 0.6 0.8
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 4 1.3764851E17 3.4412127E16 69.53 0.0001
Error 5 2.4746568E15 4.9493136E14
Corrected Total 9 1.4012316E17
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.982339 36.83040 22247053 60404050
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 4 1.3764851E17 3.4412127E16 69.53 0.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 4 1.3764851E17 3.4412127E16 69.53 0.0001
77
Lampiran 9. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC S.aureus
Duncan's Multiple Range Test for respon
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 5
Error Mean Square 4.949E14
Number of Means 2 3 4 5
Critical Range 57187886 58967817 59721928 59993549
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
A 295000000 2 0
B 6500000 2 0.2
B 500000 2 0.4
B 18000 2 0.6
B 2250 2 0.8
78
Lampiran 10. Data Penentuan MIC Asap Cair Redestilasi Terhadap Isolat BAL
Ulangan 1
Jumlah Koloni pada Pengenceran ke- Konsentrasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0.00 TBUD TBUD 184 13
0.03 TBUD 192 54 0
0.05 TBUD TBUD 182 16
0.1 TBUD TBUD TBUD 54
0.2 TBUD TBUD 130 14
0.3 TBUD 129 26 0 0
Ulangan 2
Jumlah Koloni pada Pengenceran ke- Konsentrasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0.00 TBUD TBUD 161 18
0.03 TBUD 150 24 0
0.05 TBUD TBUD 163 9
0.1 TBUD TBUD TBUD 36
0.2 TBUD TBUD 127 6
0.3 TBUD 118 16 0 0
Hasil Penghitungan Jumlah Mikroba Setelah Perlakuan Selama 24 Jam
Konsentrasi Ulangan
0 0.03 0.05 0.1 0.2 0.3
1 1.80E+10 2.20E+09 1.80E+09 5.40E+08 1.30E+07 1.40E+04
2 1.60E+10 1.50E+09 1.60E+09 3.60E+08 1.30E+07 1.20E+04
79
Lampiran 11. Hasil ANOVA Nilai MIC Isolat BAL
Class Level Information
Class Levels Values
perlakuan 6 0 3 5 10 20 30
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 5 4.438481E20 8.876962E19 233.48 <.0001
Error 6 2.2812E18 3.802E17
Corrected Total 11 4.461293E20
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.994887 17.60634 616603600 3502168833
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 5 4.438481E20 8.876962E19 233.48 <.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 5 4.438481E20 8.876962E19 233.48 <.0001
80
Lampiran 12. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC Isolat BAL
Duncan's Multiple Range Test for respon
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 6
Error Mean Square 3.802E17
Number of Means
2 3 4 5 6
Critical Range 1508774739 1563706251 1590956702 1604585544 1610625665
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
A 1.7E10 2 0
B 1850000000 2 3
B 1700000000 2 5
C B 450000000 2 10
C 13000000 2 20
C 13000 2 30
81
Lampiran 13. Perubahan pH Nira Selama 12 Jam Penyimpanan
Ulangan 1
Konsentrasi Asap Cair Redestilasi Jam ke- Kontrol
0.50% 1% 1.50% 2% 3%
0 7.7 7.5 7.3 7.1 6.9 6.7
2 7.7 7.5 7.3 7.1 7 6.8
3 7.4 7.5 7.2 7.1 7 6.9
4 7.3 7.4 7.2 7.1 7 7
5 6.8 7.2 7.1 7.1 6.9 7
6 6.3 6.8 7 7 6.9 7
7 5.4 6.3 6.8 6.8 6.7 6.9
8 4.9 5.4 5.9 6.3 6.6 6.8
9 4.5 4.9 5.4 5.6 6.2 6.8
10 4.3 4.6 4.9 5.1 5.8 6.6
11 4.1 4.1 4.5 4.8 5.3 6.5
12 4.1 4.1 4.3 4.6 5.1 5.7
Ulangan 2
Konsentrasi Asap Cair Redestilasi Jam ke- Kontrol
0.50% 1% 1.50% 2% 3%
0 7.7 7.1 7.2 7.3 6.7 6.6
2 7.7 7 7.3 7.5 6.8 6.8
3 7.7 7 7.3 7.5 6.8 6.8
4 7.6 6.7 7.4 7.5 7 6.9
5 7.4 6.4 7.4 7.2 7 6.9
6 6.9 6 7.1 6.9 6.9 7
7 6.3 5.3 6.5 6.5 6.7 7
8 5.5 4.8 6 6.2 6.5 6.8
9 4.9 4.5 5.4 5.8 6.2 6.8
82
10 4.3 4.1 4.5 5.4 6.1 6.7
11 4.2 4.1 4.2 5.1 5.7 6.4
12 4.1 4.1 4.2 4.9 5.4 6
83
Lampiran 14. Analisis ANOVA Perubahan pH Nira Selama 12 Jam Penyimpanan
Class Level Information
Class Levels Values
perlakuan 6 0 0.5 1 1.5 2 3
jam 12 0 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
ulangan 2 1 2
Number of Observations Read 144
Number of Observations Used 144
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 88 165.7205556 1.8831881 60.01 <.0001
Error 55 1.7260417 0.0313826
Corrected Total 143 167.4465972
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.989692 2.819695 0.177151 6.282639
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 5 11.8803472 2.3760694 75.71 <.0001
ulangan(perlakuan) 6 2.4004167 0.4000694 12.75 <.0001
jam 11 121.9457639 11.0859785 353.25 <.0001
ulangan(jam) 11 0.1485417 0.0135038 0.43 0.9358
perlakuan*jam 55 29.3454861 0.5335543 17.00 <.0001
84
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 5 11.8803472 2.3760694 75.71 <.0001
ulangan(perlakuan) 5 2.3997917 0.4799583 15.29 <.0001
jam 11 121.9457639 11.0859785 353.25 <.0001
ulangan(jam) 11 0.1485417 0.0135038 0.43 0.9358
perlakuan*jam 55 29.3454861 0.5335543 17.00 <.0001
85
Lampiran 15. Uji Lanjut Duncan untuk Konsentrasi
Duncan's Multiple Range Test for respon
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 55
Error Mean Square 0.031383
Number of Means 2 3 4 5 6
Critical Range .1025 .1078 .1113 .1138 .1158
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
A 6.72500 24 3
B 6.46667 24 2
B 6.39583 24 1.5
C 6.22500 24 1
D 6.03333 24 0
E 5.85000 24 0.5
86
Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan untuk Waktu
Duncan's Multiple Range Test for respon
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 55
Error Mean Square 0.031383
Number of Means
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Critical Range
.1449 .1525 .1574 .1610 .1638 .1660 .1678 .1693 .1706 .1717 .1727
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N jam
A 7.20833 12 2
B A 7.18333 12 3
B A 7.17500 12 4
B A 7.15000 12 0
B 7.03333 12 5
C 6.81667 12 6
D 6.43333 12 7
E 5.97500 12 8
F 5.58333 12 9
G 5.20000 12 10
H 4.91667 12 11
I 4.71667 12 12
87
Lampiran 17. Data Simulasi Penyadapan Nira
Perubahan pH Ulangan 1
Konsentrasi Asap Cair Redestilasi Jam ke
0% 1% 3%
0 5 4.6 4.3
1 5 4.6 4.3
2 5 4.8 4.5
3 5 4.9 4.6
4 4.9 4.9 4.7
5 4.9 5 4.7
6 4.9 5 4.8
7 4.8 5 4.8
8 4.8 5 4.8
9 4.8 5 4.8
10 4.7 5 4.9
11 4.7 5.1 4.9
12 4.7 5.1 4.9
Perubahan pH Ulangan 2
Konsentrasi Asap Cair Redestilasi Jam ke
0% 1% 3%
0 5.1 4.8 4.5
1 5 4.8 4.4
2 5 4.8 4.6
3 5 4.9 4.8
4 4.9 4.9 4.8
5 4.9 4.9 4.9
6 4.9 4.9 4.9
88
7 4.9 4.9 4.9
8 4.8 5 4.9
9 4.8 5 4.9
10 4.7 5 5
11 4.7 5 4.9
12 4.7 5 4.9
89
Lampiran 18. Hasil ANOVA Perubahan pH Simulasi Penyadapan Nira
Class Level Information
Class Levels Values
perlakuan 3 0 1 3
jam 13 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
ulangan 2 1 2
Number of Observations Read 78
Number of Observations Used 78
Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 53 2.14474359 0.04046686 20.15 <.0001
Error 24 0.04820513 0.00200855
Corrected Total 77 2.19294872
R-Square Coeff Var Root MSE respon Mean
0.978018 0.925036 0.044817 4.844872
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 2 0.41256410 0.20628205 102.70 <.0001
ulangan(perlakuan) 3 0.07730769 0.02576923 12.83 <.0001
jam 12 0.36128205 0.03010684 14.99 <.0001
ulangan(jam) 12 0.04948718 0.00412393 2.05 0.0646
perlakuan*jam 24 1.24410256 0.05183761 25.81 <.0001
90
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
perlakuan 2 0.41256410 0.20628205 102.70 <.0001
ulangan(perlakuan) 2 0.04846154 0.02423077 12.06 0.0002
jam 12 0.36128205 0.03010684 14.99 <.0001
ulangan(jam) 12 0.04948718 0.00412393 2.05 0.0646
perlakuan*jam 24 1.24410256 0.05183761 25.81 <.0001
91
Lampiran 19. Uji Lanjut Duncan untuk Konsentrasi
Duncan's Multiple Range Test for respon
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 0.002009
Number of Means 2 3
Critical Range .02565 .02694
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N perlakuan
A 4.91923 26 1
B 4.86923 26 0
C 4.74615 26 3
92
Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan untuk Waktu
Duncan's Multiple Range Test for respon
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 0.002009
Number of Means
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Critical Range
.05340 .05609 .05781 .05903 .05994 .06065 .06120 .06165 .06202 .06232 .06257 .06278
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N jam
A 4.90000 6 6
A 4.88333 6 9
A 4.88333 6 8
A 4.88333 6 7
A 4.88333 6 5
A 4.88333 6 12
A 4.88333 6 10
A 4.88333 6 11
A 4.86667 6 3
A 4.85000 6 4
B 4.78333 6 2
C 4.71667 6 0
C 4.68333 6 1
93
Lampiran 21. Hasil Uji Organoleptik
Kesukaan
Panelis Sampel 1% Sampel 3%
1 5 2
2 6 6
3 2 2
4 6 6
5 6 5
6 6 6
7 6 5
8 6 2
9 2 2
10 3 2
11 5 2
12 7 5
13 4 3
14 6 2
15 5 3
16 3 2
17 5 5
18 6 6
19 3 5
20 5 2
21 7 6
22 3 3
23 5 5
24 6 3
25 6 5
26 4 5
94
27 6 6
28 5 2
29 5 2
30 2 3
31 6 7
32 5 2
33 6 5
Rata-rata 5 4
Persentase panelis menyatakan suka 73 48
95
Lampiran 22. Hasil ANOVA Uji Organoleptik
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 34 206.5858586 6.0760547 3.56 <.0001
Error 64 109.1919192 1.7061237
Corrected Total 98 315.7777778
R-Square Coeff Var Root MSE rasa Mean
0.654213 31.77211 1.306187 4.111111
Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F
Perlk 2 35.4747475 17.7373737 10.40 0.0001
blok 32 171.1111111 5.3472222 3.13 <.0001
Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F
Perlk 2 35.4747475 17.7373737 10.40 0.0001
blok 32 171.1111111 5.3472222 3.13 <.0001
96
Lampiran 23. Uji Lanjut Duncan untuk Kesukaan
Duncan's Multiple Range Test for rasa
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 64
Error Mean Square 1.706124
Number of Means 2 3
Critical Range .6424 .6758
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Perlk
A 4.9394 33 1%
B 3.8485 33 3%
97
Lampiran 24. Uji Warna
Parameter Ulangan 3% 1%
1 31.68 32.48
L (Lighteness) 2 31.58 32.49
1 13.47 12.53
a 2 13.51 12.49
1 17.63 15.38
b 2 17.87 15.25
Class Level Information
Class Levels Values
treat 2 1% 3%
Number of observations 4
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 1 274.5723000 68.6430750 1742.65 <.0001
Error 5 0.1969500 0.0393900
Corrected Total 9 274.7692500
R-Square Coeff Var Root MSE analisis1 Mean
0.999283 0.674492 0.198469 29.42500
Duncan's Multiple Range Test for analisis1
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 5
Error Mean Square 0.03939
Duncan Grouping Mean N treat
A 32.4850 2 1%
B 31.6300 2 3%