Download - Lapsus Interna Bph
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh
adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau
keduanya.
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus
tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita diabetes
setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai
8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah
21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.
Peningkatan insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya
kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Berbagai penelitian prospektif
menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular
seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit pembuluh darah koroner dan
juga pembuluh darah tungkai bawah. Dengan demikian, pengetahuan mengenai diabetes dan
komplikasi vaskularnya menjadi penting untuk diketahui dan dimengerti
BAB II
KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 38 tahun
Suku bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawan PT.KL
Status Marital : Menikah
Alamat : Ds. Pohsangit Kidul-Kademangan
Tanggal Masuk : 24 September 2013
No/ RM : 136497
II. ANAMNESA
Keluhan Utama : nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang:
nyeri perut dirasakan mulai kemarin malam (23/9/2013), nyeri diseluruh area perut terutama
di uluhati, pasien juga merasa perut sebah/kembung, tidak bisa buang air besar dan buang air
kecil mulai kemarin malam, pasien merasa mual (+), muntah (+) 3 kali keluar air, pasien
tidak mau makan dan minum selama 3 hari, pasien tidak bisa kentut sejak 2 hari,
Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien memiliki riwayat Diabetes Mellitus dan Hipertensi
Riwayat Keluarga:
Dikeluarga pasien ada yang menderita Hipertensi, yaitu ayah kandung pasien.
Riwayat Sosial:
Sebelum sakit pasien kurang memperhatikan pola makan, sering ngemil dan makan-makanan
yang berlemak, pasien suka minum kopi
Riwayat Alergi:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat ataupun makanan
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : somnolen GCS: E3 V4 M5
Vital sign
Tekanan Darah : 179/101
Nadi : 106 kali per menit
RR : 24 kali per menit
Suhu : 36,80 C
Kepala / Leher:
a/i/c/d : - / - / - / -
Pembesaran kelenjar getah bening : -
Pupil : isokor 3mm/3mm, RC +/+
Thorax:
Cor :
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi: ictus cordis di ICS IV-V midclavicular line sinistra
Heaves (-), Thrill (-)
Perkusi: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi: S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo:
Inspeksi: retraksi otot-otot pernapasan (-)
Palpasi: gerak napas simetris, tactile fremitus +/+
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: suara paru vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
Inspeksi : flat, soefl
Palpasi :Nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi :timpani
Auskultasi :Bising usus (+) Normal
Ekstremitas:
Superior : akral hangat +/+, edema -/-
Inferior : akral hangat -/-, edema -/-
Motorik : Lateralisasi (-)
Reflex fisiologis: BPR : +N/+N, TPR : +N/+N
KPR: +N/+N, APR: +N/+N
Reflex patologis : Babinsky -/-, Chaddock -/-
IV. DIAGNOSIS
DM Hiperglikemi + gastropathy diabetic + penurunan kesadaran
V. DIAGNOSIS BANDING
VI. PLANNING
Diagnosis
Laboratorium: 24 September 2013
GDA 491mg/dL
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 10,3 g/dL
Leukosit 23.160/cmm
PCV( Hematokrit) 24 %
Trombosit 518.000/cmm
FUNGSI HATI (LFT)
Alkali Phophatase 195 U/l
Bilirubin Direct 0,20 mg/dL
Bilirubin Total 0,50 mg/dL
SGOT 132 U/l
SGPT 85 U/l
RFT
BUN 45 mg/dL
Creatinin 2,0 mg/dL
UA 8,9
Penatalaksanaan
VII. FOLLOW UP
Tanggal 25 September 2013
S: pasien hanya bisa mengerang dan menangis, tidak bisa diajak bicara
O: Kesadaran: Delirium GCS: 4 2 5
TD: 120/70mmHG Nadi: 100kali/menit, reguler
RR: 28 kali/menit Temp: 36,50C
Kepala Leher:
a/i/c/d: -/-/-/-
pembesaran KGB : -
Thorax:
Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
I: slight distended
P: Nyeri tekan (+) epigastrium
P: Meteorismus
A: Bising usus (+) meningkat
Ekstremitas:
Akral : Hangat +/+ edem: -/-
+/+ -/-
Urogenital : terpasang Catheter (+)
Lab: GDA (25/9/2013)
Pukul 01.25: 57 mg/dL
pukul 02.45 : 88 mg/dL
A: DM tipe II + Gastropaty diabetikum+ Encephalopaty diabetikum
P: Inf. D5%
Lasix 2x1
Gootropil 3 x 2gram
Lapibal 3x1
Per oral : Lagesil Puresco
Aminoral
Tanggal 26 September 2013
S: pasien sulit diajak bicara, hanya bisa mengerang, gelisah, tidak bisa tidur, tidak bisa
makan, hanya minum sedikit
O: Kesadaran: Delirium GCS: 4 2 5
TD: 130/70mmHG Nadi: 100kali/menit, reguler
RR: 28 kali/menit Temp: 370C
Kepala Leher:
a/i/c/d: -/-/-/-
pembesaran KGB : -
Thorax:
Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
I: slight distended
P: Nyeri tekan (+) epigastrium
P: Meteorismus
A: Bising usus (+) meningkat
Ekstremitas:
Akral : Hangat +/+ edem: -/-
+/+ -/-
Urogenital : terpasang Catheter (+)
Lab: GDA (26/9/2013) : 146 mg/dL
A: DM tipe II + Gastropaty diabetikum+ Encephalopaty diabetikum
P: Inf. RL
Lasix 1x1
Gootropil 3 x 2gram
Lapibal 3x1
Per oral : Lagesil
Puresco
Tanggal 27 September 2013
S: pasien menunjuk perutnya sambil mengerang, sulit menelan, tidak bisa makan
O: Kesadaran: Somnolen GCS: 3 X 5
TD: 140/80mmHG Nadi: 112kali/menit, reguler
RR: 32 kali/menit Temp: 370C
Kepala Leher:
a/i/c/d: -/-/-/-
pembesaran KGB : -
Thorax:
Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
I: slight distended
P: Nyeri tekan (+) epigastrium
P: Meteorismus
A: Bising usus (+) menurun
Ekstremitas:
Akral : Hangat +/+ edem: -/-
+/+ -/-
Urogenital : terpasang Catheter (+)
A: DM tipe II + Gastropaty diabetikum+ Encephalopaty diabetikum
P: Inf. RL
Lasix 2x1
Gootropil 3 x 1gram
Lapibal 3x1
Tanggal 28 September 2013
S: pasien tidak sadarkan diri sejak kemarin malam
O: Kesadaran: Delirium GCS: 2 1 1
TD: 155/100mmHG Nadi: 96kali/menit, reguler
RR: 32 kali/menit Temp: 360C
Kepala Leher:
a/i/c/d: -/-/-/-
pembesaran KGB : -
terpasang O2 nasal 3 lpm
Thorax:
Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
I: flat
P: Nyeri tekan : sde
P: Meteorismus
A: Bising usus (+) menurun
Ekstremitas:
Akral : Hangat +/+ edem: -/-
+/+ -/-
Urogenital : terpasang Catheter (+)
GDA : 191 mg/dL
A: DM tipe II + Gastropaty diabetikum+ Encephalopaty diabetikum
P: Inf. RL
Cefaflox
Gootrophyl 3 x 1gram
Lapibal 3x1
Tanggal 29 September 2013
S: pasien tidak sadarkan diri sejak kemarin malam
O: Kesadaran: Coma GCS: 1 1 1
TD: 150/100mmHG Nadi: 96kali/menit, reguler
RR: 32 kali/menit Temp: 36,60C
Kepala Leher:
a/i/c/d: -/-/-/-
pembesaran KGB : -
terpasang O2 masker 8 lpm
terpasang NGT
Thorax:
Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
I: flat
P: Nyeri tekan : sde
P: timpani
A: Bising usus (+) menurun
Ekstremitas:
Akral : Hangat +/+ edem: -/-
+/+ -/-
Urogenital : terpasang Catheter (+)
A: DM tipe II + Chronic Kidney Disease+ Encephalopaty diabetikum
P: Inf. RL
Cepaflox
Gootrophyl 3 x 1gram
Lapibal 3x1
Ceftriaxon inj.1x1gram
Molesco 1x1
Miniten 1x1
RC: 3x8 iucek GDA pagi
Cek Lab: BUN, Creatinin dan Elektrolit CITO:
Hasil : Natrium 119,0 135 – 155 mmol/t
Kalium 22,4 3,6 – 5,5 mmol/t
Calsium 0,8 1,12 – 1,32 mm
Chlorida 76,7 96,0 – 106,0 mm
BUN 45 mg/dL
Creatinin 2,1 mg/dL
GFR = 27, 2 ml/menit/1,73m2
Tanggal 30 September 2013
S: pasien masih tidak sadarkan diri
O: Kesadaran: Coma GCS: 2 1 1
TD: 180/100mmHG Nadi: 96kali/menit, reguler
RR: 32 kali/menit Temp: 36,60C
Kepala Leher:
a/i/c/d: -/-/-/-
pembesaran KGB : -
terpasang O2 masker 8 lpm
terpasang NGT
Thorax:
Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
I: flat
P: Nyeri tekan : sde
P: timpani
A: Bising usus (+) menurun
Ekstremitas:
Akral : Hangat +/+ edem: -/-
+/+ -/-
Urogenital : terpasang Catheter (+)
A: DM tipe II + Chronic Kidney Disease+ Encephalopaty diabetikum
P: Inf. RL
Gootrophyl 3 x 1gram
Lapibal 3x1
Ceftriaxon inj.1x1gram
Molesco 1x1
Miniten 1x1
Tanggal 31 September 2013
S: pasien mulai bisa membuka mata, tidak bisa diajak biacara, tidak bisa menoleh
O: GCS: 2 1 1
TD: 160/100mmHG Nadi: 96kali/menit, reguler
RR: 32 kali/menit Temp: 36,60C
Kepala Leher:
a/i/c/d: -/-/-/-
pembesaran KGB : -
terpasang O2 masker 8 lpm
terpasang NGT
Thorax:
Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmo: suara napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen:
I: flat
P: Nyeri tekan : sde
P: timpani
A: Bising usus (+) menurun
Ekstremitas:
Akral : Hangat +/+ edem: -/-
+/+ -/-
Urogenital : terpasang Catheter (+)
A: DM tipe II + Chronic Kidney Disease+ Encephalopaty diabetikum
P: Inf. RL
Gootrophyl 3 x 1gram
Lapibal 3x1
Ceftriaxon inj.1x1gram
Molesco 1x1
Miniten 1x1
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan
bahwa diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang
merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.
3.2 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005,
yaitu1 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari
sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam hari),
sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal
atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi
hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
A
3.3 Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus
tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita
diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes
mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia
akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari
bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan
secara teratur.
3.4Patogenesis
3.4.1Diabetes mellitus tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel pankreas sudah
rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya masih
KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI 1998
DM TIPE 1:
Defisiensi
insulin absolut
akibat destuksi
sel beta,
karena:
1.autoimun
2. idiopatik
DM TIPE 2 :
Defisiensi insulin
relatif :
1, defek sekresi
insulin lebih
dominan daripada
resistensi insulin.
2. resistensi insulin
lebih dominan
daripada defek
sekresi insulin.
DM TIPE LAIN :
1. Defek genetik fungsi sel beta :
Maturity onset diabetes of the young
Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis
Pankreatektomy
3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
hipertiroidisme
4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme
5.Akibat virus: CMV, Rubella
6.Imunologi: antibodi anti insulin
7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter
DM
GESTASIONAL
samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik
terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu
mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis,
sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap
keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima adalah
perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel asing, terbentuk
antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah
perusakan sel beta dan penampakan diabetes.
3.4.2Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal dan
resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama tidak
diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama,
glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat.
Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin
meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase
ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan
hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.
3.5 Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa
yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan
tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit .
Kriteria diagnostik :
Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu merupakan
hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan
sedikit nya 8 jam, atau
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan
dalam air.
Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.
Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94
Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih
tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan dalam 250
ml air dan diminum dalam 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan
ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah puasa
terganggu) dari hasil yang diperoleh
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl
3.6 Komplikasi
a. Komplikasi akut
1. Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia.
Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-
A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb
cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di oksidasi
untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan
mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping itu
glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai ketogenic effect
menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35,
HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa
anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah
pernapasan kussmaul dan berbau aseton.
2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg% tanpa
ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang
mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada
keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana
kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat
mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau
GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,
tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan
kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitu keringat dingin pada muka,
bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala
neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.
b. Komplikasi Kronis
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis
Retinopati Diabetik
Nefropati Diabetik
Neuropati diabetik
2. Makroangiopati
• Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
• Pembuluh darah tepi
3.7 Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan kualitas hidup dengan
menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol sehingga sama dengan orang
normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari :
1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga dan
masyarakat.
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada prinsipnya melakukan
pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan
modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid :
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola makan
diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status kesehatan, aktivitas fisik
dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa
pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi
berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi,
lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang bersangkutan serta kemampuan
petugas kesehatan yang ada.
1. obat hipoglikemik oral
a. insulin secretagogue :
sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat pilihan
utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada peningkatan
sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid,
nateglinid.
b. insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin endogen pada
target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat. Agonis PPARγ
yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
c. glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien
dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan hipoksemia.
d. Inhibitor absorbsi glukosa
α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus halus
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak
menimbulkan efek hipoglikemi
Hal-hal yang harus diperhatikan :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon kadar glukosa
darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30 menit sebelum
makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum
makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum makan. Penghambat glukosidase α bersama makan
suapan pertama. Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.
2. Insulin
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin prandial. Terapi
insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan
puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang
terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja
pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran tetap
(premixed insulin)
Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia
yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,
hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis yang hampir
maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM
Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal
yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian
diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO
dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja menengah
atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin
yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam
22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa
keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin
KRISIS HIPERGLIKEMIA
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD),
status hiperosmolar hiperglikemik (SHH) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan
diatas. KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton
yang berlebihan, sedangkan SHH ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar glukosa
serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni.
KAD mengandung triad yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan
asidemia.Konsensus diantara para ahli dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk KAD
adalah pH arterial < 7,3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glucosa darah > 250 mg/dl
disertai ketonemia dan ketonuria moderate.
SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia extrim, osmolalitas serum yang tinggi
dan dihidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan. Osmolalitas serum dihitung
dengan rumus sebagai berikut : 2(Na)(mEq/L) + glucose (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8.
Nilai normalnya adalah 290 ± 5 mOsm/kg air. Pada umumnya keton serum negatif dengan
pemeriksaan metoda nitroprusid pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial >
7,3. Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa darah > 600
mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua atau
pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat.
Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah,
terjadi juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan
hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh
ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia
dan perubahan osmolaritas extracellular
Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormone kontrainsulin
pada KAD juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose
(lipolysis) ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß-
hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan ketonemia
dan asidosis metabolik.
Pada sisi lain, SHH mungkin disebabkan oleh konsentrasi hormone insulin plasma
yang tidak cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin,
tetapi masih cukup adekuat ( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis
dan ketogenesis; akan tetapi bukti-bukti untuk teori ini masih lemah.
KAD dan SHH berkaitan dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik,
sehingga air, natrium, kalium, dan elektrolit lain keluar.
Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :1.Infeksi : meliputi 20 – 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan olehInfeksi.
Infeksinya dapat berupa :
Pneumonia
Infeksi traktus urinarius
Abses
Sepsis, lain-lain.
2.Penyakit vaskular akut: Penyakit serebrovaskuler
Infark miokard akut
Emboli paru
Thrombosis V.Mesenterika
3.Trauma, luka bakar, hematom subdural.
4.Heat stroke
5.Kelainan gastrointestinal:
Pankreatitis akut
Kholesistitis akut
Obstruksi intestinal
6.Obat-obatan :
Diuretika
Steroid, lain-lain
Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh gejala diabetes
yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan, pandangan kabur, poliuria,
polidipsia dan penurunan berat badan.
KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan SHH
cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan hiperosmolalitas. Dehidrasi
akan bertambah berat bila disertai pemakaian diurétika.Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah
membran mukosa yang kering, turgor kulit menurun, hipotensi dan takhikardia.Pada pasien tua
mungkin sulit untuk menilai turgor kulit. Demikian juga pasien dengan neuropati yang lama
mungkin menunjukkan respons yang berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status mental dapat
bervariasi dari sadar penuh , letargi, sampai koma.
Bau nafas seperti buah mengindikasikan adanya aseton yang dibentuk dengan
ketogenesis. Mungkin terjadi pernafasan Kussmaul sebagai mekanisme kompensasi terhadap
asidosis metabolik. Pada pasien-pasien SHH tertentu, gejala neurologi fokal atau kejang
mungkin merupakan gejala klinik yang dominan.
Nyeri abdomen lebih sering terjadi pada KAD dibandingkan dengan SHH.
Diperlukan perhatian khusus untuk pasien yang mengeluh nyeri abdomen, sebab gejala ini bisa
merupakan akibat ataupun faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA.
Evaluasi laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau SHH meliputi
penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit (dengan anion
gap), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik, analisa gas darah pemeriksaan
sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan elektrokardiogram. Kultur bakteri dari air seni, darah,
dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika
dicurigai ada infeksi
TERAPI
Kebehasilan pengobatan KAD dan SHH membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang merupakan
faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan monitoring pasien yang ketat.
Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan
dengan baik.
Terapi cairan:
Pasien Orang dewasa.
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan
extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan kadar
glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon kontra insulin
(dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin). Pada keadaan tanpa kelainan
jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat badan/jam atau lebih besar pada jam
pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa).
Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit
darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika
sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika Na
serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakinkini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l
kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.
Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik
(perbaikan dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik.
Penggantian cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan
osmolaritas serum mestinya tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1 ( 14–20,22). Pada pasien
dengan gangguan ginjal atau jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung,
ginjal, dan status mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari
overload yang iatrogenik .
Pasien berusia < 20 tahun
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravascular dan
extravascular ,dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan volume
vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena pemberian cairan
yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 10–
20 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi awal
pemberian kembali mestinya tidak melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama therapy. Terapi Cairan
selanjutnya untuk menggantikan defisit cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum NaCl,
0.45–0.9% ( tergantung pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari
kebutuhan pemeliharaan selama 24-h ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan rehidrasi,
dengan penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm· kg-1 H2O· h-1. Sekali lagi jika fungsi
ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, maka perlu diberikan 20–40 mEq/l kalium ( 2/3
KCl atau potassium-acetate dan 1/3 KPO4). Jika glukosa serum mencapai 250 mg/dl, cairan
harus diubah menjadi dextrose 5% dan NaCl 0.45–0.75%, dengan kalium seperti diuraikan di
atas.
Pengelolaan juga meliputi pemantauan status mental agar dapat dengan cepat
mengidentifikasi perubahan apabila terjadi overload yang iatrogenik, yang dapat mengakibatkan
edema cerebral.
Terapi Insulin
Pada keadaan KAD ringan, insulin reguler diberikan dengan infus intravena secara
kontinu adalah terapi pilihan. Pada pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l,
maka pemberian insulin intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian
insulin reguler secara infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7
unit/jam pada orang dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak dianjurkan pada pasien
pediatrik; pemberian insulin reguler dengan infuse intravena secara kontinu dengan dosis 0.1
unit· kg-1· h-1 dapat diberikan pada pasien-pasien tersebut. Dosis insulin rendah ini pada
umumnya dapat menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75 mg· dl-1· h-1,
sebanding dengan pemberian insulin dosis tinggi .
Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal pada jam pertama,
periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap jam sampai tercapai
penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai. Ketika glukosa plasma
mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk SHH, mungkin dosis insulin perlu
diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 ( 3–6 units/jam), dan dextrose ( 5–10%)
ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau konsentrasi dextrose perlu
disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai asidosis pada KAD atau status
mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik.
Ketonemia biasanya lebih lama hilang dibandingkan dengan hiperglikemia.
Pengukuran ß-OHB dalam darah secara langsung adalah metoda yang lebih disukai untuk
pemantauan KAD. Metoda Nitroprusside hanya mengukur aseton dan asam acetoacetic.
Bagaimanapun, ß-OHB, asam yang paling banyak dan paling kuat pada KAD, tidaklah terukur
dengan metoda nitroprusside. Selama therapy, ß-OHB dikonversi ke asam asetoacetik, yang
membuat para klinisi percaya bahwa ketosis memperburuk keadaan. Oleh karena itu, penilaian
benda keton dari urin atau serum dengan metoda nitroprusside tidak digunakan sebagai suatu
indikator terapi.
Selama terapi untuk KAD atau SHH, darah harus diperiksa tiap 2–4 jam untuk
memeriksa elektrolit serum, glukosa, urea-N, creatinine, osmolaritas, dan pH vena ( untuk
DKA). Biasanya, analisa gas darah tidak perlu dilakukan berulang-ulang ; pH vena (pada
umumnya 0.03 unit lebih rendah dari pH arteri) dan gap anion dapat diikuti, untuk memonitor
resolusi asidosis. Pada KAD yang ringan, insulin reguler baik secara subkutan maupun
intramuskular tiap jam adalah sama efektif seperti pemberian intravena dalam menurunkan
glukosa darah dan benda keton . Pertama-tama diberikan dosis dasar sebanyak 0.4–0.6 units/kg
bb, separuh sebagai suntikan bolus intravena, dan setengah secara subkutan atau intramuskular .
Sesudah itu, 0.1 unit· kg-1· h-1 insulin reguler diberi secara subkutan atau intramuscular.
Kriteria untuk resolusi KAD meliputi kadar glukosa < 200 mg/dl, bikarbonat serum > 18 mEq/l,
dan pH vena > 7.3. Bila KAD membaik, dan pasien masih NPO (Nothing Per Oral), insulin
intravena yang kontinyu dan penggantian cairan dilanjutkan dan ditambah dengan suplemen
insulin subcutan sesuai kebutuhan tiap 4 jam.
Ketika pasien sudah bisa makan, jadwal multiple-dose harus dimulai menggunakan
kombinasi insulin kerja pendek/singkat dengan insulin kerja menengah atau lama untuk
mengendalikan glukosa plasma. Pemberian insulin intravena tetap diberikan untuk 1–2 jam
setelah regimen campuran insulin dimulai untuk memastikan hormon insulin plasma cukup.
Suatu penghentian mendadak insulin intravena dengan penundaan insulin subcutan akan
memperburuk keadaan; oleh karena itu, perlu diberikan insulin intravena dan inisiasi subkutan
secara bersamaan.
Pasien yang telah diketahui menderita diabetes dapat diberikan insulin dengan dosis
seperti sebelum mereka terkena serangan KAD atau SHH dan jika dibutuhkan dilakukan
penyesuaian. Pada pasien diabetes yang baru, total insulin awal mungkin berkisar antara 0.5–1.0
unit· kg - 1· day-1, dibagi menjadi sedikitnya dua dosis dalam bentuk campuran insulin kerja
pendek dan panjang sampai mencapai suatu dosis optimal yang diinginkan.Akan tetapi perlu
diingat bahwa dosis insulin ini sangat individual. Pada akhirnya, ada penderita-penderita DM
tipe 2 yang bisa diberi obat antihiperglikemia oral dan pengaturan diit.
Kalium
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar
dalam darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium
( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan konsentrasi
kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang menunjukkan keadaan
hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian, kalium penggantian harus dimulai
bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin harus ditunda sampai konsentrasi kalium > 3.3
mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot pernapasan.
Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai sedang
sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi asidosis, dan
penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum.
Bikarbonat
Penggunaan larutan bikarbonat pada KAD masih merupakan kontroversi. Pada pH >
7.0, aktifitas insulin memblok lipolysis dan ketoacidosis dapat hilang tanpa penambahan
bikarbonat. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan adanya keuntungan atau
perbaikan pada angka morbiditas dan mortalitas dengan pemberian bikarbonat pada penderita
KAD dengan pH antara 6.9 dan 7.1 . Tidak ada laporan randomized study mengenai penggunaan
bikarbonat pada KAD dengan pH < 6.9.
Asidosis yang berat menyebabkan efek vaskuler yang kurang baik, jadi sangat
bijaksana pada pasien orang dewasa dengan pH < 6.9, diberikan sodium bikarbonat. Tidak perlu
tambahan bikarbonat jika pH > 7.0.
Pemberian insulin, seperti halnya bikarbonat, menurunkan kalium serum; oleh karena
itu supplemen Kalium harus diberikan dalam cairan infus seperti diuraikan di atas dan harus
dimonitor dengan ketat. Sesudah itu, pH aliran darah vena harus diukur tiap 2 jam sampai pH
mencapai 7.0, dan terapi bikarbonat harus diulangi tiap 2 jam jika perlu.
Fosfat
Pada KAD serum fosfat biasanya normal atau meningkat. Konsentrasi fosfat
berkurang dengan pemberian terapi insulin. Beberapa penelitian prospektif gagal membuktikan
adanya keuntungan dengan penggantian fosfat pada KAD , dan pemberian fosfat yang berlebihan
dapat menyebabkan hypocalcemia yang berat tanpa adanya gejala tetani . Bagaimanapun, untuk
menghindari kelainan jantung dan kelemahan otot dan depresi pernapasan oleh karena
hipofosfatemia, penggantian fosfat kadangkadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan
jantung, anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan konsentrasi fosfat serum < 1.0
mg/dl. Blia diperlukan, 20–30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan ke larutan
pengganti.Tidak ada studi mengenai penggunaan fosfat dalam HHS.
NEFROPATI DIABETIK
Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal
pada diabetes melitus. Pada nefropati diabetik, terjadi peningkatan tekanan glomerular, dan
disertai meningkatnya matriks ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran
basal, ekspansi mesangial dan hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya
area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah ke terjadinya
glomerulosklerosis dan dapat berakhir sebagai gagal ginjal.
Pada umumnya, nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada
pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap ( > 300 mg/24 jam atau >200
ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.
Faktor risiko
Adapun beberapa faktor etiologis yang paling sering menimbulkan nefropati diabetik
adalah:
1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140-160 mg/dl (7.7 –
8.8 mmol/l); A1C > 7-8 %.
2. Faktor-faktor genetis. Fakta bahwa seseorang yang menderita diabetes melitus
memiliki kecenderungan untuk menderita nefropati diabetik di waktu onset
penyakit yang berbeda-beda membuktikan bahwa faktor genetis juga memiliki
peranan. Seseorang dengan diabetes cepat atau lambat pasti akan mengalami
komplikasi baik makrovaskular ataupun mikrovaskular . Berbagai penelitian telah
dilakukan untuk membuktikan hal tersebut. Saat ini, belum ditemukan faktor gen
yang memiliki efek yang cukup besar mengenai kecenderungan kejadian nefropati
diabetik ini. Akan tetapi, dalam beberapa studi dilaporkan bahwa orang yang
memiliki gen dengan alel DD angiotensin converting enzyme (ACE)
kemungkinan memiliki fungsi glomerulus yang lemah dan kurang berespon
terhadap pemberian ACE inhibitor sehingga memiliki kecenderungan yang lebih
cepat untuk menderita nefropati diabetik dibandingkan orang yang tidak memiliki
gen dengan alel D ACE tersebut.
3. Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit primer dan dapat menyebabkan kerusakan pada
ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik yang berat dapat menyebabkan
hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan air, pengaruh vasopresor dari sistem
renin angiotensin, dan mungkin pula melalui defisiensi prostaglandin. Hipertensi
yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada arteriol di
seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) pembuluh darah.
Organ sasaran utama keadaan ini adalah jantung, otak, ginjal, dan mata.
Orang yang secara genetik berisiko menderita nefropati diabetik memiliki tekanan
darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat
keluarga, bahkan sebelum mereka terdiagnosis menderita nefropati diabetik.
Sekitar 80 % pasien, hipertensi terdiagnosis bersamaan dengan diabetes melitus.
Hipertensi memiliki pengaruh yang kuat dengan kejadian albuminuria.
4. Sindrom metabolik /Sindrom resistensi insulin.suatu kondisi dimana terjadi
penurunan sensitivitas jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi
peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas.
Disfungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan dengan konsekuensi
klinik yang serius berupa penyakit kardiovaskular atau DM tipe 2, sindrom
ovarium polikistik, dan perlemakan hati non alkoholik serta penyakit-penyakit
lainnya.
5. Hiperlipidemia. Peningkatan kadar trigliserida dalam plasma dan rendahnya kadar
HDL berhubungan dengan progresifitas kejadian nefropati diabetik maupun
meningkatnya risiko penyakit kardiovaskular. Hal ini dapat menyebabkan
penyumbatan arteria dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan
atrofi tubulus, sehingga menyebabkan seluruh nefron rusak.
Protein intake. Diet tinggi protein memiliki pengaruh yang tidak signifikan dalam
risiko kejadian nefropati diabetik dan progresifitas gagal ginjal. Namun, pasien dengan
DM tipe 1 yang mengurangi intake proteinnya, memiliki prevalensi rendah untuk
mengalami mikroalbuminuria
Patologi dan patofisiologi
A. Patologi
Ditemukan tiga kelainan penting pada ginjal yang telah mengalami
gangguan akibat hiperglikemia, yaitu :
1. Lesi glomerulus
Lesi glomerulus terpenting adalah penebalan membran basal kapiler,
glomerulosklerosis difus, dan glomerulosklerosis nodular (lesi Kimmelstiel-
Wilson). Membran basal kapiler glomerulus menebal diseluruh panjangnya.
Glomerulosklerosis difus terdiri atas peningkatan difus matriks mesangium
dan hampir selalu disertai penebalan membran basal. Kelainan ini sitemukan
pada sebagian besar pasien yang telah mengidap penyakit lebih dari 10 tahun.
2. Lesi vaskular ginjal, terutama arteriosklerosis
Merupakan suatu perubahan sistemik yang dialami oleh seluruh pembuluh
darah di seluruh tubuh pada pasien diabetes. Namun, ginjal adalah salah satu
organ yang paling sering dan paling parah terkena. Arteriosklerosis hialin
pada ginjal tidak saja mempengaruhi arteriol aferen, tetapi juga arteriol eferen.
Arteriosklerosis eferen ini jarang ditemukan pada orang yang tidak mengidap
diabetes.
3. Pielonefritis, termasuk papilitis nekroticans
Pielonefritis adalah peradangan akut atau kronis ginjal yang biasanya berawal
di jaringan interstitium kemudian menyebar untuk mempengaruhi tubulus dan
pada kasus ekstrem, glomerulus. Salah satu pola khusus pielonefritis akut,
papilitis nekroticans, jauh lebih prevalen pada pengidap diabetes daripada
pasien nondiabetes. Papilitis nekroticans merupakan nekrosis akut pada papila
ginjal.
B. Patofisiologi
Patogenesis dan perkembangan nefropati diabetik merupakan hasil
interaksi antara gangguan metabolik dan gangguan hemodinamik yang terjadi
pada penderita diabetes melitus. Lebih dari satu dekade yang lalu telah dilakukan
berbagai penelitian menyangkut topik ini sehingga telah banyak kemajuan yang
dicapai mengenai patomekanisme terjadinya nefropati diabetik.
Patofisiologi nefropati diabetik
Glukosa
AGE
Metabolik Genetik Hemodinamik
Aliran/tekanan darah Aktivasi Protein kinase C
Hormon-hormon vasoaktif
(angiotensin II, endotelin)
Permeabilitas pembuluh darah
Sitokin
Transforming vascular
Growth endothelial
Factor β growth factor
ECM cross linking
ECM
Penimbunan ECM
Proteinuria
Pembentukan nodul, fibrosis tubulointerstitialis Glomerulosklerosis noduler
Laju filtrasi glomerulus meningkat pd nefron yg sehat
Perjalanan klinis
Secara tradisional nefropati diabetik selalu dibagi dalam tahapan sebagai berikut :
Tahap I. LFG meningkat sampai 40 % diatas normal yang disertai pembesaran
ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih
reversibel dan berlangsung 0 – 5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan.
Pengendalian glukosa darah dapat menormalkan fungsi maupun struktur ginjal.
Tahap II (silent stage). LFG masih meningkat. Albuminuria meningkat setelah
latihan jasmani, keadaan stress, atau kendali metabolik yang memburuk. Terjadi
setelah 5 – 10 tahun diagnosis DM ditegakkan dan perubahan struktur ginjal tetap
berlanjut. Progresifitas biasanya terkait dengan memburuknya keadaan metabolik.
Tahap III (incipient nephropathy diabetic). Mikroalbuminuria telah nyata. LFG
masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah meningkat juga. Biasanya terjadi 10 -15
tahun sejak diagnosis DM. Masih dapat dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan
darah yang ketat.
Tahap IV. Merupakan tahap dimana nefropati diabetik bermanifestasi secara klinis
dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, LFG sudah menurun
dibawah normal (10 ml/menit/tahun). Terjadi 15-20 tahun setelah diagnosis DM.
Penyulit diabetes sudah dapat dijumpai : retinopati, neuropati, gangguan profil lemak,
dan gangguan vakular umum. Progresifitas ke arah gagal ginjal dapat diperlambat
dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah.
Tahap V. Tahap ini adalah tahap gagal ginjal dimana LFG sudah sedemikian
rendahnya sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan
memerlukan terapi pengganti.
Gejala klinis pasien dengan nefropati diabetik meliputi16 :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya yaitu diabetes melitus
b) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasi : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Gambaran laboratorium pasien dengan nefropati diabetik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya : diabetes melitus
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG.
c) Kelainan biokimia darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, asidosis metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis nefropati diabetes akibat DM tipe 1 atau DM
tipe 2 harus dicari manifestasi klinis maupun laboratorium yang menunjang
penyakit dasarnya (diabetes) maupun komplikasi yang ditimbulkannya (nefropati
diabetes).
Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya albuminuria pada
pasien DM, baik tipe 1 maupun tipe 2. Pada penderita dengan DM tipe 1,
pemeriksaan dilakukan setelah pubertas atau setelah 5 tahun didiagnosis
menderita DM. Sedangkan pada penderita dengan DM tipe 2 dimana onset
penyakit terkadang tidak bisa ditentukan maka pemeriksaan harus dimulai saat
diagnosis DM ditegakkan.
Pemeriksaan mikroalbuminuria disarankan dilakukan setiap tahun setelah
pemeriksaan pertama kali. Sekali mikroalbuminuria diidentifikasi, penderita harus
melakukan pemeriksaan rutin setiap 3-6 bulan sekali.
Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per
hari.Berikut tabel laju ekskresi albumin urin:
Kondisi
Laju ekskresi albumin urin
Perbandingan albumin
urin-kreatinin (µg/mg)24 jam
(mg/hari)
Sewaktu
(µg/menit)
Normoalbuminuria < 30 <20 < 30
Mikroalbuminuria 30 - 300 20 – 200 30 – 300 (299)
Makroalbuminuria >300 >200 > 300
Berikut adalah alur penegakan diagnosis nefropati diabetik :
Penatalaksanaan
Tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu
dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor
risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko
Pasien dengan DM tipe 1 atau tipe 2
Urinalisis rutin untuk deteksi protein
Negatif Positif
Tes untuk mikroalbumin
(30 – 300 mg/hari )
Nefropati yang jelas
Tentukan jumlah ekskresi protein
Memulai terapi
Jika 2 dari 3 tes (+)
Jika (+), di ulang 2 kali dalam 3 bulan
Memulai terapi
lainnya adalah konsumsi rokok. Maka terapi di tiap tahapan pada umumnya sama dan
adalah merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas
dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah, dan
kendali lemak darah. Disamping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya hidup
seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, juga
tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular.
Pengendalian kadar gula darah
Menurut kepustakaan, pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah
progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik pada pasien DM
tipe 1 ataupun tipe 2. Yang dimaksud dengan pengendalian secara intensif adalah
pencapaian kadar HbA1c < 7 %, kadar gula darah pre prandial 90 – 130 mg/dl, post-
prandial < 180 mg/dl.
Pengendalian tekanan darah
Pengendalian tekanan darah ditujukan untuk memberikan efek perlindungan
yang besar, baik terhadap ginjal, renoproteksi, maupun terhadap organ
kardiovaskular. Makin rendah tekanan darah yang dicapai, makin baik pula
renoproteksi. Pada umumnya target tekanan darah adalah < 130/90 mmHg, akan
tetapi bila proteinuria lebih berat, > 1gr/24 jam maka target harus lebih rendah, yaitu
< 125/75 mmHg. Untuk mencapai target ini tidaklah mudah sehingga harus memakai
kombinasi berbagai macam obat dengan berbagai efek samping yang dapat timbul.
Yang paling penting adalah, apapun jenis obatnya, target tekanan darah yang
diinginkan harus tercapai.
Obat jenis angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) dan
angiotensin receptor blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik maupun
renoproteksi yang baik, sehingga obat-obat ini sering digunakan sebagai awal
pengobatan hipertensi pada pasien DM.
Penggunaan ACE inhibitor dan ARB
ACE inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII sehingga terjadi
vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan
Ya
Ya
Screening albuminuria
Kontrol glukosa memuaskan ? Perbaiki kontrol glukosa
Mengkaji dan memodifikasi faktor risiko :
Kolesterol total < 5 mmol/L
LDL < 3 mmol/L
Stop merokok
BMI < 25 kg/m2
Pemberian ACE inhibitor bila tidak ada kontraindikasi
Apakah tekanan darah terkontrol ?
( < 130/80 mmHg atau < 125/75 mmHg bila proteinuria (+))
Target :
LFG stabil
Mikroalbuminuria stabil atau menurun
TD < 130/80 mmHg (< 125/75 mmHg apabila proteinuria (+))
Kontrol tekanan darah :
Diet rendah garam
Aktivitas fisik
Dapat dibantu dengan obat anti hipertensi
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
ekskresi air dan natrium dan retensi kalium. Di ginjal, ACE inhibitor menyebabkan
vasodilatasi arteri renalis sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum
akan memperbaiki laju filtrasi glomerulus (LFG).
Pada sirkulasi glomerulus, ACE inhibitor menimbulkan vasodilatasi lebih
dominan pada arteriol eferen dibanding dengan arteriol aferen sehingga menurunkan
tekanan intraglomeruler. Efek ini dimanfaatkan untuk mengurangi proteinuria pada
nefropati diabetik dan juga dapat memperlambat progresivitas nefropati diabetik.18
Obat ini juga menunjukkan efek positif terhadap lipid darah dan mengurangi
resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada diabetes, dislipidemi,
dan obesitas.
Dalam JNC VII, pemberian ACE-inhibitor harus hati-hati terutama bila ada
hiperkalemia. Kadar kreatinin darah perlu dipantau selam pemberian obat ini.
Pemberian bersama diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia.
Dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau unilateral.
ARB bekerja selektif pada reseptor AT1 yang terdapat terutama pada otot
polos pembuluh darah dan di otot jantung. Pemberian obat ini akan menghambat
semua efek AngII, seperti : vasokonstriksi, sekresi aldosteron, dll. ARB sangat
efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi dengan kadar renin yang
tinggi seperti hipertensi renovaskular, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan
aktivitas renin yang rendah. Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa
mempengaruhi frekuensi denyut jantung.
Algoritme penanganan nefropati diabetik
DAFTAR PUSTAKA
1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai
penerbit FKUI, 2006; 1857.
2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008 [ diakses
tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi
pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I
dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.
4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta : PERKENI, 2011
5. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie,
A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006
7. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi
Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam
FKUI; 2006; hal. 1920
8. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873
9. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus. Patofisiologi :
Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc Carty Wilson; alih bahasa,
Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005; hal.1259