Download - Laporan Pl Chem III
]\LAPORAN PRAKTIK LAPANGAN
BLOK COMMUNITY HEALTH AND ENVIRONMENTAL MEDICINE III
KELOMPOK 12
NAMA ANGGOTA:
Iman Hakim Wicaksana G1A011001Gilang Rara Amrullah G1A011004RadityaBagasWicaksono G1A011006Mulia Sari G1A011112Tri Ujiana Sejati G1A011113Kania Kanistia G1A011114Nadhilah Idzni G1A011115Niswati Syarifah Anwar G1A011116Katharina Listyaningrum P. G1A011117Fitriani Nurnadziah G1A011118
PEMBIMBING FAKULTAS:
dr. Raudatul Jannah
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecamatan Cilongok terletak di bagian barat Kabupaten
Banyumas. Cilongok merupakan kecamatan dengan jumlah desa terbanyak,
yaitu 20 desa. Terdapat dua puskesmas pada Kecamatan Cilongok, yaitu
Puskesmas 1 Cilongok dan Puskesmas 2 Cilongok. Kami akan melakukan
survey pada daerah kerja Puskesmas 1 Cilongok.
Wilayah Kerja Puskesmas I Cilongok meliputi 11 ( sebelas ) Desa
yang berada di Kecamatan cilongok , yaitu Cilongok, Cikidang, Pernasidi,
Rancamaya, Panembangan, Karanglo, Kalisari, Karangtengah, Sambirata,
Gununglurah, Sokawera dengan luas wilayah kurang lebih sebesar
62,1 Km2 . Terdapat beberapa penyakit yang menjadi demand tinggi di
wilayah Puskesmas 1 Cilongok, diantaranya ISPA, TBC, dan diare (BPS
Banyumas, 2012).
Daerah Kecamatan Cilongok yang sering dilalui bus-bus besar
tentu menimbulkan faktor tersendiri bagi kesehatan lingkungan daerah
setempat. Beberapa desa di wilayah Kecamatan Cilongok juga masih
merupakan desa dengan rumah penduduknya yang belum permanen dengan
jalanan yang dilalui masih jalan tidak beraspal.
Kelompok kami memilih penyakit diare sebagai penyakit yang
akan kami teliti karena jumlah penderita penyakit ini cukup tinggi tiap
bulannya. Kami mengambil sampel balita karena jumlah pasien diare pada
balita merupakan jumlah dengan angka tertinggi. Tercatat bahwa bulan lalu,
terdapat satu balita yang meninggal akibat diare pada wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok, yaitu di Desa Kalisari.
Kami ingin menelaah lebih lanjut untuk mengetahui mengapa hal
itu dapat terjadi, faktor-faktor apa yang mempertinggi jumlah pasien balita
karena diare, dan faktor resiko apa yang dapat menjadi penyebab timbulnya
diare pada balita di daerah Kecamatan Cilongok.
1
B. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Mahasiswa mampu mengidentifikasi faktor-faktor risiko, rute transmisi,
dan pemajanan yang berhubungan dengan terjadinya penyakit (terutama
infeksi) di wilayah pedesaan.
2. Tujuan Khusus:
a. Mahasiswa mampu mengidentifikasi faktor risiko pada penyakit
diare pada balita
b. Mahasiswa mampu membuat kuesioner yang sesuai dengan
kebutuhan data yang akan diidentifikasi
c. Mahasiswa mampu melakukan metode pengumpulan, pengolahan,
analisis, penyajian, dan pelaporan data secara benar sesuai prinsip-
prinsip epidemiologi (statistik deskriptrif)
d. Mahasiwa mampu menjelaskan metode rapid survey sebagi salah
satu metode pengumpulan data/informasi dari sebagian populasi
yang dianggap mewakili (representatif)
e. Mahasiswa mampu melakukan penelitian dengan metode
epidemiologi deskriptif.
2
BAB II
HASIL PRAKTIK LAPANGAN
A. Gambaran Geografi
Gambar 1. Peta Wilayah Kecamatan Cilongok Tahun 2012
Peta di atas menunjukkan peta kecamatan secara keseluruhan. Dapat
dilihat batas wilayah yaitu (BPS Banyumas, 2012) :
Batas Utara : Kabupaten Pemalang
Batas Timur : Kecamatan Karanglewas
Batas Selatan : Kecamatan Purwojati
Batas Barat : Kecamatan Ajibarang
Luas Wilayah : 10. 534,126 Ha
Tinggi ibukota kecamatan dari atas permukaan laut adalah 225 M.
3
Tabel 1. Data Curah Hujan di Kecamatan Cilongok tahun 2012
No
Bulan Hari HujanCurah Hujan
(mm)1 Januari 19 2272 Februari 21 2733 Maret 24 3784 April 25 1655 Mei 20 2496 Juni 6 267 Juli 5 378 Agustus 3 49 September 2 610 Oktober 12 14011 Nopember 25 63912 Desember 25 337
Jumlah 187 2481
Tabel di atas menjelaskan jumlah hari dalam satu bulan yang terjadi hujan
serta curah hujan per bulannya. Hari hujan terbanyak pada bulan April,
Nopember, Desember dengan curah hujan tertinggi pada bulan Nopember
(BPS Banyumas, 2012).
B. Keadaan Demografi
Beberapa data yang kami temukan dapat digunakan untuk
menggambarkan keadaan demografi di Kecamatan Cilongok pada tahun 2012.
Data-data tersebut antara lain jumlah KK, jumlah penduduk, populasi
berdasarkan jenis kelamin dan umur, natalitas, dan mortalitas.
Tabel 2. Jumlah Penduduk di Kecamatan Cilongok pada Tahun 2012
No
Nama DesaRumah Tangga
Penduduk (Orang)
1 Batuanten 1232 44302 Kasegeran 1209 42893 Jatisaba 1345 45344 Panusupan 2395 77435 Pejogol 1064 40276 Pageraji 2762 99777 Sudimara 998 39288 Cilongok 2187 8410
4
9 Cipete 1001 368410 Cikidang 777 286711 Pernasidi 1425 529912 Langgengsari 1834 674913 Rancamaya 1055 398614 Panembangan 1267 479315 Karanglo 895 338216 Kalisari 1162 455017 Karangtengah 2151 822618 Sambirata 1281 487519 Gununglurah 1899 722820 Sokawera 1932 7532
Jumlah 29871 110509Berdasarkan data yang kami peroleh dari kecamatan, terdapat total 29. 871
Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk 110. 509 jiwa. Desa dengan
kepadatan penduduk tinggi adalah Desa Pageraji. Desa yang termasuk wilayah
Puskesmas 1 Cilongok adalah Cikidang, Cilongok, Kalisari, Karanglo,
Karangtengah, Panembangan, Purnasidi, Rancamaya, Sambirata, Sokawera,
dan Gununglurah (BPS Banyumas, 2012).
Tabel 3. Populasi Kecamatan Cilongok pada Tahun 2012
NoKelompok
UmurLaki-laki
Perempuan
Jumlah
1 00 - 04 5307 4987 102942 05 - 09 5410 5145 105553 10 - 14 5061 4766 98274 15 - 19 4433 4071 85045 20 - 24 3410 3425 68356 25 - 29 4269 4229 84987 30 - 34 4223 4127 83508 35 - 39 4399 4344 87439 40 - 44 3868 3881 774910 45 - 49 3606 3758 736411 50 - 54 3263 3116 637912 55 - 59 2651 2352 500313 60 - 64 1829 1854 368314 65 - 69 1714 1710 342415 70 - 74 1169 1249 241816 75+ 1396 1487 2883
Jumlah 56008 54501 110509
5
Maka, dengan data di atas dapat digambarkan dengan piramida
penduduk berikut:
00 - 0405 - 0910 - 1415 - 1920 - 2425 - 2930 - 3435 - 3940 - 4445 - 4950 - 5455 - 5960 - 6465 - 6970 - 74
75+
15 10 05 00 05 10 15
PerempuanLaki-laki
Persentase
Kelo
mpo
k Um
ur
Gambar 2. Piramida Penduduk Kecamatan Cilongok pada Tahun 2012
Berdasarkan piramida penduduk di atas dapat dilihat bahwa yang
mendominasi populasi di Kecamatan Cilongok adalah usia 05-09 tahun
dengan mayoritas laki-laki dibanding perempuan (BPS Banyumas, 2012).
Tabel 4. Jumlah Natalitas dan Mortalitas Kecamatan Cilongok Tahun 2012
No Nama DesaLahir Mati
L P J L P J1 Batuanten 31 44 75 26 21 472 Kasegeran 33 35 68 12 10 223 Jatisaba 45 31 76 23 16 394 Panusupan 13 10 23 4 4 85 Pejogol 40 58 98 7 20 276 Pageraji 125 96 221 48 43 917 Sudimara 9 7 16 5 2 78 Cilongok 62 39 101 33 18 519 Cipete 34 28 62 16 19 3510 Cikidang 28 22 50 7 8 1511 Pernasidi 6 7 13 2 5 712 Langgengsari 81 63 144 95 60 15513 Rancamaya 46 51 97 14 18 3214 Panembangan 13 8 21 3 6 9
6
15 Karanglo 3 2 5 1 1 216 Kalisari 28 33 61 25 22 4717 Karangtengah 40 43 83 31 20 5118 Sambirata 59 38 97 21 25 4619 Gununglurah 58 50 108 30 19 4920 Sokawera 43 34 77 15 14 29
Jumlah 797 699 1496 418 351 769
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa angka natalitas lebih besar
dibandingkan mortalitas dengan dominasi natalitas maupun mortalitas pada
jenis kelamin laki-laki (BPS Banyumas, 2012).
C. Keadaan Sosial Ekonomi
Data-data yang kami temukan berikut dapat digunakan untuk
mendeskripsikan keadaan sosial ekonomi di Kecamatan Cilongok, antara lain
jumlah sarana pendidikan, jumlah sarana peribadatan, jumlah pemeluk agama,
jumlah petugas kesehatan, jumlah sarana kesehatan, dan sektor perdagangan.
Tabel 5. Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Cilongok tahun 2012
No. Tingkat Sekolah
Jumlah Sekolah
1. TK 512. SD 553. SMP 54. SMK 1
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas sarana pendidikan
di Kecamatan Cilongok adalah TK sedangkan hanya ada 1 SMK di seluruh
kecamatan (BPS Banyumas, 2012).
7
Tabel 6. Jumlah Sarana Peribadatan di Kecamatan Cilongok tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012)
No. Sarana Peribadatan Jumlah1. Masjid 1642. Mushola/Surau 6353. Gereja -4. Pura/Wihara -
Tabel 7. Jumlah Pemeluk Agama di Kecamatan Cilongok tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012)
No. Agama Jumlah1. Islam 109. 8872. Kristen Katolik 63
3. Kristen Protestan
108
4. Buddha 135. Hindu 2
Berdasarkan tabel nomor enam dan nomor tujuh dapat dilihat
bahwa mayoritas pemeluk agama dan sarana peribadatan di Kecamatan
Cilongok adalah Islam dengan jumlah mushola yang mendominasi.
Tabel 8. Jumlah Petugas Kesehatan di Kecamatan Cilongok tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012)
No. Petugas Kesehatan Jumlah1. Dokter 32. Bidan 283. Petugas Kesehatan 294. Dukun Bayi 72
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas petugas
kesehatan di Kecamatan Cilongok adalah petugas kesehatan selain dokter,
bidan, dan dukun bayi. Hanya terdapat tiga dokter di seluruh kecamatan
(BPS Banyumas, 2012).
8
Tabel 9. Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Cilongok tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012)
No. Sarana Kesehatan Jumlah1. Pusling 182. Polides 113. Puskesmas 2
4. Puskesmas Pembantu
2
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas sarana
kesehatan di Kecamatan Cilongok adalah Pusling sedangkan hanya ada 2
Puskesmas di seluruh kecamatan (BPS Banyumas, 2012).
Tabel 10. Jumlah Sektor Perdagangan di Kecamatan Cilongok tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012)
No. Sektor
PerdaganganJumlah
1. Pasar 62. Toko/Kios Warung 2. 1583. Warung Makan 116
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas sektor
perdagangan di Kecamatan Cilongok adalah toko atau kios dan warung
sedangkan hanya ada 6 pasar di seluruh kecamatan (BPS Banyumas,
2012).
9
BAB III
PENCAPAIAN PROGRAM KESEHATAN
A. Derajat Kesehatan Mayarakat
Derajat kesehatan masyarakat menurut Mosley (1985) dan Cadwel
(1990) dapat diukur dengan indikator-indikator sensitif yang dapat
menggambarkan derajat kesehatan masyarakat yaitu angka kematian ibu
(AKI) dan angka kematian bayi (AKB) (Cadwel, 1990).
AKI di Kecamatan Cilongok pada tahun 2010 terdapat satu kasus
kematian ibu yang diakibatkan oleh preeklamsi berat yang disebabkan oleh
hipertensi. Sedangkan pada tahun 2011 terdapat satu kasus kematian ibu yang
disebabkan oleh gagal jantung. Angka tersebut menggambarkan keadaan yang
cukup baik karena menunjukkan perbandingan 1 : 1072 kelahiran sehat.
Sedangkan menurut WHO dalam The World Health Report 2001 menyatakan
bahwa Indonesia termasuk masih jauh tertinggal dibandingkan negara lain
dengan perbandingna AKI 450 : 100. 000 kelahiran hidup. Derajat kesehatan
Kecamatan Cilongok menunjukkan peningkatan ketika tahun 2012 dengan
pencapaian nol pada AKI atau tidak ada ibu yang meninggal saat partus atau
melahirkan (BPS Banyumas, 2012).
Indikator derajat kesehatan masyarakat yang lain adalah AKB. AKB
di Kecamatan Cilongok pada tahun 2011 adalah tujuh bayi dengan penyebab
kematian yang bervariasi dan menunjukkan kenaikan yang tajam pada tahun
2012 dengan angka kematian 16 bayi dimana penyebabnya dapat dibedakan
yaitu (BPS Banyumas, 2012) :
a. Asfiksi : 4 bayi
b. BBLR : 5 bayi
c. Diare : 1 bayi
d. Jantung Bocor : 1 bayi
e. Lain-lain : 5 bayi
10
Hal ini menunjukkan bahwa AKB di Kecamatan Cilongok termasuk
angka yang cukup rendah dengan perbandingan 16 : 1054 kelahiran hidup
dibandingkan dengan data WHO tahun 2001 AKB Indonesia menggambarkan
keadaan yang cukup memperihatinkan dengan pencapaian 40 : 1000 kelahiran
hidup (BPS Banyumas, 2012).
B. Perilaku Masyarakat
Kondisi perilaku masyarakat di Kecamatan Cilongok dapat dinilai
berdasarkan aktifitas fisik yang dilakukan, banyaknya penduduk yang tidak
merokok, mencuci tangan sebelum makan, setelah makan, dan apabila tangan
kotor, menggosok gigi sebelum dan ketika bangun tidur, tidak minum-
minuman keras, tidak menggunakan narkoba, pengunaan jaminan pelayanan
kesehatan, dan pemberantasan sarang nyamuk. Adapun data-data di
kecamatan cilongok yang berkaitan dengan perilaku masyarakat tercantum
dalam tabel sebagai berikut (BPS Banyumas, 2012).
Tabel 11. Indikator Perilaku Mayarakat dan Persentase KK yang telah
melakukannya di Wilayah Kerja Puskesmas I Cilongok pada Tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012)
No Indikator Persentase (%)1 Beraktivitas fisik 73,42 Tidak merokok 28,13 Mencuci tangan 95,14 Menggosok gigi 96,65 Mengkonsumsi miras dan narkoba 976 Memiliki jaminan pelayanan kesehatan 747 Memberantas sarang nyamuk 83,1
Berdasarkan data yang kami dapatkan, yang menjadi permasalahan utama
dalam perilaku masyarakat di wilayah kerja Puskesmas I Cilongok yakni
banyaknya penduduk yang merokok, dengan presentase penduduk yang tidak
merokok sebanyak 28,1%, sedangkan presentase penduduk yang merokok
sebanyak 71,9%. selain itu, aktifitas fisik juga merupakan salah satu faktor
utama yang memperburuk kesehatan masyarkat dikecamatan cilongok, dengan
presentase penduduk yang melakukan aktifitas fisik sebanyak 73,4%. namun
11
di samping itu, sebagian besar masyarakatnya sudah mulai sadar akan
pentingnya kebersihan, yakni mereka melakukan cuci tangan (95,1%) dan
menggosok gigi (96,6%) (BPS Banyumas, 2012).
C. Kesehatan Lingkungan
Penilaian kesehatan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas I Cilongok
dapat dinilai berdasarkan indikator PHBS di tatanan rumah tangga diantaranya
dengan menilai jumlah ibu yang memeriksakan kehamilannya minimal
sebanyak 4 kali, pemberian asi eksklusif terhadap balita, melakukan
penimbangan balita di posyandu, dan pemberian makan balita dengan gizi
seimbang 4 sehat 5 sempurna. Selain itu, kesehatan lingkungan di kecamatan
Cilongok dapat dinilai berdasarkan kualitas air yang digunakan oleh setiap
keluarga, penggunaan jamban sehat, tempat pembuangan sampah, dan
menggunakan lantai yang kedap air di setiap rumah. Adapun data-data
masyarakat di kecamatan cilongok yang berkaitan dengan kesehatan
lingkungan tercantum dalam tabel-tabel sebagai berikut (BPS Banyumas,
2012).
Tabel 12. Indikator Kesehatan Lingkungan dan Persentase KK yang telah
melakukannya di Wilayah Kerja Puskesmas I Cilongok pada Tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012)
No Indikator Persentase (%)1 Persalinan dan tenaga kesehatan 73,992 Memeriksakan kehamilan minimal 4x 78,53 Pemberian ASI Eksklusif 51,34 Penimbangan balita 62,75 Gizi seimbang 91,46 Air bersih 93,27 Jamban sehat 45,68 Membuang sampah pada tempatnya 74,19 Lantai kedap air 62,3
Berdasarkan data di atas, masalah kesehatan utama di kecamatan cilongok
yakni disebabkan banyaknya keluarga yang tidak memiliki jamban sehat,
dengan presentase keluarga yang menggunakan jamban sehat sebanyak
45,6%. mereka memiliki WC jongkok berleher angsa namun tidak memiliki
12
septi tank sehingga hasil buangan di alirkan ke kolam dan atau ke sungai (BPS
Banyumas, 2012).
Selain itu, yang menjadi masalah utama lainnya yakni tidak diberikannya
asi eksklusif pada balita dengan presentase ibu yang memberikan asi eksklusif
terhadap anaknya sebanyak 51,3%, sedangkan yang tidak memberikan asi
eksklusif sebanyak 48,7%. ibu-ibu yang baru melahirkan tidak memberikan
ASI ekskusif karena khawatir akan ASI yang tidak kunjung keluar sehingga
bayi mereka diberikan makanan lain seperti susu formula, madu dan lain
sebagainya (BPS Banyumas, 2012).
Tabel indikator perilaku masyarakat dan kesehatan lingkungan dapat
digunakan untuk menilai strata PHBS (Pola Hidup Bersih dan Sehat) di
wilayah kerja Puskesmas I Cilongok yang dapat dilihat pada tabel dan grafik
berikut.
Tabel 13. Strata Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas I
Cilongok pada Tahun 2012
No Strata PHBS Jumlah KK Persentase (%)1 Sehat Pratama 155 0,922 Sehat Madya 3875 23,013 Sehat Utama 12042 71,504 Sehat Paripurna 769 4,57
Jumlah 16841 100Berdasarkan tabel di atas, rata-rata keluarga di Kecamatan Cilongok
mayoritas termasuk kelompok strata utama yakni 71,5% namun masih ada yang
termasuk strata pratama walaupun hanya 0,92% (BPS Banyumas, 2012).
13
1%23%
72%
5%
strata pratamastrata madyastrata utamastrata paripurna
Gambar 3. Grafik Strata Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Wilayah Kerja
Puskesmas I Cilongok pada Tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012)
D. Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang diselengarakan oleh Puskesmas Cilongok I
dilakukan secara menyeluruh atau holistic. Mulai dari promotif, preventif,
kuratif, hingga rehabilitative. Pelayanan promotif yang dilakukan oleh
Puskesmas Cilongok I dilakukan dengan cara penyuluhan-penyuluhan ke
berbagai sasaran di 11 desa yang berada di bawah naungan Puskesmas
Cilongok I. Pelayanan promotif dan preventif yang dilakukan oleh puskesmas
antara lain (BPS Banyumas, 2012) :
1. Penyuluhan tentang kesehatan bayi dan balita
Penyuluhan ini dilakukan oleh pihak puskesmas secara rutin mengikuti
jadwal masing-masing posyandu di setiap desa (BPS Banyumas, 2012).
2. Pelacakan
Kegiatan pelacakan dilakukan puskesmas bila terjadi suspek sebuak
penyakit yang kemungkinan bisa menjadi KLB di kecamatan dengan
menggunakan penelitian epidemiologi yang kemudian ditindaklanjuti
dengan penyuluhan yang berhubungan dengan penyakit yang
bersangkutan (BPS Banyumas, 2012).
14
5%12%
7%
9%
11%16%4%
11%
7%
6% 11%
JUMLAH PENYULUHAN
1 CILONGOK2 PERNASIDI3 CIKIDANG4 KARANGLO5 KALISARI6 PANEMBANGAN7 RANCAMAYA8 GUNUNG LURAH9 SAMBIRATA10 KARANG TENGAH11 SOKAWERA
Gambar 4. Jumlah Penyuluhan yang Dilakukan di 11 Desa Wilayah Kerja
Puskesmas 1 Cilongok
(BPS Banyumas, 2012)
Sedangkan pelayanan yang dilaksanakan guna kuratif selain
pengobatan yang biasa dilakukan adalah :
1. Klinik Sanitasi
Klinik ini digunakan bila keadaan sanitasilah yang menjadi penyebab
penyakit yang diderita. Sepeti contohnya adalah diare maka dibutuhkan
klinik sanitasi untuk mendukung kegiatan kuratif secara medikamentosa
(BPS Banyumas, 2012).
Gambar 5. Klinik Sanitasi Puskesmas I Cilongok
15
2. Pojok Gizi
Pojok gizi digunakan saat pasien merasa perlu terjadi perbaikan status gizi
atau juga bisa dilakukan setelah dirujuk oleh dokter yang bersangkutan
(BPS Banyumas, 2012).
Gambar 6. Klinik Gizi Puskesmas I Cilongok
3. Konseling untuk TB
Konseling yang khusus untuk TB sengaja dilakukan karena memang
kasus TB di Kecamatan Cilongok termasuk masih banyak (BPS
Banyumas, 2012).
4. Rawat Inap
Selain kegiatan promotif, preventif, dan kuratif puskesmas juga
melakukan beberapa kegiatan rehabilitative di unit rawat inap yang
tersedia (BPS Banyumas, 2012).
16
Tabel 14. Jumlah Kunjungan Rawat Jalan , Rawat Inap, dan Kunjungan Gangguan
Jiwa di Puskesmas I Cilongok Tahun 2011
(BPS Banyumas, 2012)
Keterangan Jumlah KunjunganKunjungan
Gangguan JiwaPerawatan Rawat Jalan Rawat Inap Jumlah
Jenis kelamin
L P L+P L P L+P L P L+P
Jumlah kunjungan
14,812 17,880 32,692 205 282 487 45 33 78
Total penduduk
33,512 34,560 68,072 33,512 34,560 68,072
Cakupan kunjungan
44. 2 51. 7 48. 0 0. 6 0. 8 0. 7
Mayoritas kunjungan pada Puskesmas I Cilongok terjadi pada rawat jalan
dengan pasien mayoritas perempuan. Sedangkan pada gangguan jiwa
didominasi oleh pasien laki-laki (BPS Banyumas, 2012).
17
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Masalah
1. Daftar penyakit yang dilakukan surveilans berdasarkan register
Puskesmas I Cilongok tahun 2012
Tabel 15. Jumlah Angka Kejadian Penyakit yang Dilakukan Surveilans
pada Puskesmas I Cilongok pada Tahun 2011 dan 2012
(BPS Banyumas, 2012).
No PenyakitJumlah Angka Kejadian2011 2012
1 Diare 1320 8412 Cacar air 104 943 DBD 8 44 Malaria 3 55 Campak 6 3Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa angka kejadian diare
merupakan angka kejadian tertinggi di antara penyakit yang dilakukan
surveilans pada Puskesmas I Cilongok yaitu 841 kasus pada tahun 2012
(BPS Banyumas, 2012).
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2012 61 53 50 69 62 70 104 114 103 64 60 31
2011 102 103 111 100 78 113 152 115 133 155 93 65
10
30
50
70
90
110
130
150
170
Gambar 7. Grafik Diare Bulanan Puskesmas I Cilongok Tahun 2012 (BPS
Banyumas, 2012).
18
Pada grafik di atas kita dapat melihat jumlah pasien diare yang
fluktuatif, dimana bulan Agustus terjadi angka kejadian yang tertinggi
dibanding bulan lainnya, yaitu sebesar 114 kasus (BPS Banyumas, 2012).
2. Daftar penyakit yang termasuk Kejadian Luar Biasa (KLB)
Tabel 16. Kejadian Luar Biasa Puskesmas I Cilongok tahun 2011
(BPS Banyumas, 2012).
No Jenis KLBYang Terserang Jumlah Penduduk
TerancamJumlah
PenderitaJumlah Kec.
Jumlah Desa L P L+P L P L+P
1 Diare 1 1 3.
820 4.
069 7. 889 1 0 1
2Keracunan Makanan
1 1 3.
820 4.
069 7. 889 8 5 13
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penyakit diare yang
menduduki peringkat 1 pada jumlah angka kejadian di antara penyakit
yang dilakukan surveilans juga termasuk KLB (kejadian luar biasa) pada
tahun 2011 (BPS Banyumas, 2012).
3. Penyakit yang diambil dalam pengamatan
Penyakit yang kami ambil untuk diamati kaitannya dengan faktor
risiko di wilayah kerja Puskesmas I Kecamatan Cilongok adalah diare
pada anak berusia 0-6 tahun (usia prasekolah) (BPS Banyumas, 2012).
4. Metode studi epidemiologi yang digunakan
Epidemiologi Deskriptif adalah studi yang ditujukan untuk
menentukan jumlah atau frekuensi dan distribusi penyakit di suatu daerah
berdasarkan variabel orang, tempat, dan waktu (Budiarto, 2003).
Studi epidemiologi deskriptif digunakan jika pengetahuan tentang
suatu penyakit hanya sedikit. Studi deskriptif memberikan pengetahuan,
data, dan informasi tentang perjalanan atau pola penyakit, kondisi, cedera,
ketidakmampuan, dan kematian dalam kelompok atau populasi. Informasi
biasanya berasal dari data yang dikumpulkan secara rutin berdasarkan
karakteristik demografi seperti jenis kelamin, usia, pendidikan, ras, status
19
perkawinan, sosial ekonomi, geografis, dan periode waktu (Timmreck,
2005).
Manfaat studi deskriptif yaitu pertama, memberikan masukan
tentang pengalokasian sumber daya dalam rangka perencanaan yang
efisien; kedua, memberi petunjuk awal untuk merumuskan hipotesis
bahwa suatu variabel adalah faktor resiko penyakit (Rajab, 2009).
Tujuan dari studi epidemiologi deskriptif sendiri adalah (Rajab, 2009) :
1. Menggambarkan karakteristik distributif dari berbagai penyakit
dari suatu populasi
2. Mengidentifikasi kemungkinan determinan, masalah, dan faktor
resiko
3. Memperhitungkan besar dan pentingnya berbagai masalah
kesehatan pada suatu populasi
B. Perumusan Masalah
1. Definisi diare
Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi
lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali
dalam 24 jam. Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan
sebagai pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata
pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie, 2010).
Sedangkan menurut Boyle, diare adalah keluarnya tinja air dan
elektrolit yang hebat. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 g/kg/24 jam
disebut diare. Pada umur 3 tahun, yang volume tinjanya sudah sama
dengan orang dewasa, volume >200 g/kg/24 jam disebut diare. Frekuensi
dan konsistensi bukan merupakan indikator untuk volume tinja (Elliot,
2004).
20
Menurut World Gastroenterology Organization Global Guidelines,
etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab (WGOGG, 2005):
a. Bakteri
Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus,
Clostridium perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter
aeromonas
b. Virus
Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus
c. Parasit
Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,
Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides
stercoralis
d. Non infeksi
Malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,
imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.
Diare yang akan dibahas pada pengamatan epidemiologi case-
control ini adalah diare yang mengalami mode transmisi faecal-oral yaitu
melalui makanan atau minuman yang tercemar kuman atau kontak
langsung tangan penderita atau tidak langsung melalui lalat (melalui 5F =
faeces, flies, food, fluid, finger). Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa
berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta
tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi:
kesadaran, rasa haus, dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan
lainnya: ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak, ada
atau tidaknya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah
(Juffrie, 2010).
2. Faktor-faktor risiko yang memicu diare
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011,
beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan seorang individu
terkena diare adalah (Depkes, 2011):
21
a. Faktor perilaku
1) Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan
Makanan Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat
bayi kontak terhadap kuman
2) Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko
terkenapenyakit diare karena sangat sulit untuk membersihkan
botol susu
3) Tidak menerapkan Kebiasaaan Cuci Tangan pakai sabun sebelum
memberi ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah
membersihkan BAB anak
4) Penyimpanan makanan yang tidak higienis
b. Faktor lingkungan
1) Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya
ketersediaan Mandi Cuci Kakus (MCK)
2) Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk
c. Faktor dari penderita yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk
diare
1) kurang gizi/malnutrisi terutama anak gizi buruk
2) penyakit imunodefisiensi/imunosupresi
3) penderita campak
C. Prioritas Masalah
1. Data responden
Data responden terlampir.
22
2. Persebaran responden
a. Berdasarkan umur ibu atau pengasuh balita
3%
50%40%
7%
Umur Ibu
<20 tahun20-30 tahun30-40 tahun>40 tahun
Gambar 8. Usia ibu dari anak usia 0-6 tahun dengan penyakit diarePada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran usia ibu
pada kasus penyakit diare pada usia 0-6 tahun paling besar pada
kelompok umur 20-30 tahun sebesar 50 %.
b. Berdasarkan pendidikan terakhir ibu atau pengasuh balita
23%
40%
7%
17%
13%
Pendidikan
tidak tamat SD SD
tidak tamat SMP SMP
tidak tamat SMA SMA
perguruan tinggi
Gambar 9. Tingkat pendidikan terakhir ibu dari anak usia 0-6 tahun dengan penyakit diare.
Pada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran tingkat
pendidikan terakhir ibu pada kasus penyakit diare usia 0-6 Tahun
paling besar adalah pada kelompok SMP sebesar 40 %.
23
c. Berdasarkan status kerja ibu atau pengasuh balita
83%
7%
10%
Status Kerja
ibu rumah tangga buruh
pegawai wiraswasta
lainnya
Gambar 10. Status pekerjaan ibu dari anak dengan penyakit diare usia
0-6 tahun
Pada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran status
pekerjaan ibu pada kasus penyakit diare usia 0-6 Tahun paling besar
adalah pada kelompok pada kelompok ibu rumah tangga sebesar 83%.
3. Faktor risiko dari ibu atau pengasuh balita
a. Berdasarkan umur ibu atau pengasuh balita
3%
50%40%
7%
Umur Ibu
<20 tahun20-30 tahun30-40 tahun>40 tahun
Gambar 8. Usia ibu dari anak usia 0-6 tahun dengan penyakit diarePada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran usia ibu
pada kasus penyakit diare pada usia 0-6 tahun paling besar pada
kelompok umur 20-30 tahun sebesar 50 %. Beberapa referensi seperti
pada penelitian oleh Suharyono tahun 2003 menemukan bahwa
semakin tua umur ibu maka kesiapan dalam mencegah terjadinya
diare akan semakin baik dan berdampak pada terhindarnya anak dari
diare (Nurharyani, 2007).
24
b. Berdasarkan pendidikan terakhir ibu atau pengasuh balita
23%
40%
7%
17%
13%
Pendidikan
tidak tamat SD SD
tidak tamat SMP SMP
tidak tamat SMA SMA
perguruan tinggi
Gambar 9. Tingkat pendidikan terakhir ibu dari anak usia 0-6 tahun dengan penyakit diare.
Pada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran tingkat
pendidikan terakhir ibu pada kasus penyakit diare usia 0-6 Tahun
paling besar adalah pada kelompok SMP sebesar 40 %. Beberapa
referensi seperti pada penelitian oleh Juliaty tahun 1999 menyebutkan
salah satu faktor sosial yakni pendidikan ibu memiliki pengaruh
terhadap prevalensi diare. Pada pendidikan ibu yang tinggi, prevalensi
diare ditemukan rendah (Nurharyani, 2007).
c. Berdasarkan status kerja ibu atau pengasuh balita
83%
7%
10%
Status Kerja
ibu rumah tangga buruh
pegawai wiraswasta
lainnya
Gambar 10. Status pekerjaan ibu dari anak dengan penyakit diare usia
0-6 tahun
Pada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran status
pekerjaan ibu pada kasus penyakit diare usia 0-6 Tahun paling besar
25
adalah pada kelompok pada kelompok ibu rumah tangga sebesar 83%.
Pada penelitian lain yang dilakukan Iriantoro tahun 1996 menemukan
status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian diare pada anak. Pada pekerjaan ibu atau keaktifan ibu dalam
berorganisasi sosial berpengaruh pada kejadian diare pada anak.
Dengan pekerjaan tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang
pencegahan diare. Terdapat 9,3% anak menderita diare pada ibu yang
bekerja, sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak 12% (Rahmataji,
2006).
d. Pengetahuan Ibu tentang Diare
60%
40%
Pengetahuan Ibu Tentang Diare
baikburuk
Gambar 11. Grafik Faktor Risiko ketidaktahuan ibu mengenai diare
pada responden di wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Ditemukan 40% responden dengan pengetahuan buruk terhadap
diare dan 60% dengan pengetahuan baik terhadap diare. Pengetahuan
meliputi penyebab dan cara mencegah diare. Semakin tinggi tingkat
pengetahuan ibu maupun keluarga tentang penyakit diare maka
semakin rendah insidensi, resiko, maupun peluang terjadinya penyakit
diare. Oleh sebab itu perlu adanya penyuluhan, dan edukasi yang baik
dari pemerintah atau dalam hal ini petugas kesehatan di daerah kepada
tiap-tiap keluarga tentang penyakit diare ini (Ali, 2003).
26
e. Pemberian ASI yang tidak eksklusif selama 6 bulan pertama
50%50%
ASI Eksklusif
yatidak
Gambar 12. Grafik Faktor Risiko tidak diberikannya ASI eksklusif
selama 6 bulan terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan responden yang menjalankan ASI
ekslusif selama 6 bulan mempunyai proporsi sama dengan yang tidak
menjalankan ASI ekslusif selama 6 bulan. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang menyatakan bahwa pemberian ASI eksklusif dapat
mengurangi angka kejadian diare karena ASI mengandung zat
antibodi yang bisa meningkatkan sistem pertahanan tubuh anak.
Pemberian ASI secara eksklusif mampu melindungi bayi dari berbagai
macam penyakit infeksi. Selain itu pencernaan anak tidak terpapar
makanan asing terlalu dini (Apriyanti dkk, 2009).
27
f. Pemberian makanan pendamping setelah masa ASI eksklusif yang
tidak sesuai dengan panduan
40%
50%
10%
Pemberian Makanan setelah Usia >6 bulan
buah-buahan
biskuit
sama dengan makanan keluarga
Gambar 13. Grafik Faktor Risiko tidak diberikannya makanan
pendamping sesuai panduan setelah usia anak 6 bulan terkait penyakit
diare pada responden di wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun
2013.
Pada responden ditemukan 50 % memberikan anaknya makanan
tambahan berupa biskuit, 40% dengan buah-buahan, dan 10 % sama
dengan makanan keluarga. Makanan tambahan yang diberikan terlalu
cepat akan menganggu perkembanganlambung atau usus bayi.
Makanan tambahan dapat berupa sari buah-buahan (jeruk, tomat,
alpukat, apel, pepaya, atau pisang ambon),biskuit, bubur susu, dan
nasi tim. Buah-buahan merupakan makanan tambahan yang
diutamakan untuk diberikan terlebih dahulu karena pencernaan bayi
mudah beradaptasi dengannya (Adisasmito, 2007).
28
g. Tidak mencuci tangan saat akan menyusui atau memberi makan anak
80%
20%
Cuci Tangan Sebelum Menyusui
yatidak
Gambar 14. Grafik Faktor Risiko tidak mencuci tangan sebelum
menyusui atau memberi makan terkait penyakit diare pada responden
di wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada responden ditemukan bahwa 20% dari responden tidak
mencuci tangannya ketika akan menyusui atau memberi makan
anaknya, sedangkan 80% nya mencuci tangannya sebelum menyusui
atau memberi makannya. Hasil yang didapatkan dari survey di
Kecamatan Cilongok pada 40 responden yaitu peluang, risiko, serta
insiden terjadinya diare tidak disebabkan oleh orang tua yang tidak
mencuci tangan pada saat sebelum menyusui atau memberi makan
pada anaknya. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang
menyatakan perilaku masyarakat terhadap cuci tangan sebelum makan
(14%), sebelum memberi makan bayi (7%), dan sebelum menyiapkan
makanan (6 %) telah berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian
diare di Indonesia (Keputusan Menteri Kesehatan, 2006)
29
h. Tidak mencuci tangan saat sebelum makan
97%
3%
Cuci Tangan Sebelum Makan
ya tidak
Gambar 15. Grafik Faktor Risiko tidak mencuci tangan sebelum
makan untuk ibu terkait penyakit diare pada responden di wilayah
kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan 97% respon mencuci tangan sebelum
makan sedangkan 3% lainnya tidak. Hal ini berbeda dengan hasil
penelitian yang menyatakan praktik mencuci tangan dengan sabun
yang memenuhi syarat sebesar 39% memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian diare pada balita (Zen, 2011).
Perbedaan data dan literatur dapat dikarenakan bias seleksi dimana
responden yang dapat diamati terlalu sedikit. Selain itu dapat
disebabkan kurangnya keterbukaan ibu pada saat menjawab
pertanyaan kuesioner, serta kemungkinan ibu menutupi perilaku yang
sebenarnya. Bisa juga terjadi bias informasi dimana cuci tangan yang
dimaksudkan ibu, bukan cuci tangan dengan sabun, melainkan hanya
membasuh tangan dengan air (Zen, 2011).
30
tidakya
i. Tidak mencuci peralatan makanan sebelum digunakan
100%
Cuci Alat Peralatan Makan
ya tidak
Gambar 16. Grafik Faktor Risiko tidak mencuci peralatan makan
terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja Puskesmas 1
Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan seluruh responden mencuci peralatan
makan sebelum digunakan. Dari 30 responden yang berpartisipasi
dalam survey di Kecamatan Cilongok tidak didapatkan hubungan
antara angka insidensi, peluang serta risiko terjadinya diare dengan
faktor risiko tidak mencuci peralatan makan. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menegaskan bahwa praktik ibu menyiapkan makanan
dan minuman yang memenuhi syarat sebesar 79% tidak ada hubungan
yang bermakna dengan kejadian diare pada balita, praktik ibu
mensterilkan botol susu yang memenuhi syarat sebesar 54% juga
tidak ada hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada balita
(Zen, 2011).
31
tidakya
j. Tidak mencuci bahan-bahan makanan sebelum dipersiapkan
100%
Cuci Bahan Makanan
ya tidak
Gambar 17. Grafik Faktor Risiko tidak dilakukan pencucian bahan
makanan sebelum diolah terkait penyakit diare pada responden di
wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan bahwa seluruh responden mencuci
bahan makanan sebelum dimasak dan digunakan. Pengolahan bahan
makanan untuk bayi maupun balita perlu dilakukan dengan cermat
untuk menghindari makanan tercemar oleh bakteri yang dapat
menimbulkan penyakit termasuk diare. Termasuk dalam hal ini
kebersihan tangan, alat yang digunakan dan bahan pangan yang akan
diolah. Sebelum diolah bahan makanan harus dicuci dengan benar
(Sutomo, 2010).
32
tidakya
k. Tidak mencuci tangan setelah buang air besar (BAB) dan buang air
kecil (BAK)
100%
Cuci Tangan setelah BAB & BAK
ya tidak
Gambar 18. Grafik Faktor Risiko tidak mencuci tangan setelah BAB
dan BAK terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan semua responden mencuci tangan
setelah buang air besar dan buang air kecil. Mencuci tangan sesudah
buang air besar dan sebelum mempersiapkan bahan makanan adalah
salah satu cara mencegah terjadinya diare. Ini disebabkan menghindari
masuknya bakteri ke dalam saluran pencernaan, khususnya bakteri E.
coli yang merupakan penyebab penyakit diare (Behrman, 2000).
33
l. Tidak merebus air minum sebelum digunakan
97%
3%
Merebus Air untuk Minum
ya tidak
Gambar 19. Grafik Faktor Risiko tidak direbusnya air minum rumah
tangga terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan 97% responden merebus air untuk
minumnya, sedangkan 3% lainnya tidak.
m. Kebiasaan memberi anak makanan di luar rumah
97%
3%
Kebiasaan Jajan di Luar Rumah
ya tidak
Gambar 20. Grafik Faktor Risiko pada anak yang sering jajan
makanan di luar rumah terkait penyakit diare pada responden di
wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan 97% responden mempunyai kebiasaan
jajan di luar rumah, sedangkan 3% lainnya tidak. Hasil analisis yang
menunjukkan bahwa perilaku memberi makan anak sambil bermain
diluar rumah merupakan faktor protektif terhadap kejadian diare
(Sulastri, 1999).
34
n. Penyimpanan makanan bayi dan balita
90%
10%
Penyimpanan Makanan
higienistidak higienis
Gambar 21. Grafik Faktor Risiko tidak higienisnya tempat
penyimpanan makanan terkait penyakit diare pada responden di
wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan 90% responden menyimpan
makanannya dengan higienis, sedangkan 10% lainnya tidak.
4. Faktor risiko dari anak
a. Usia anak penderita diare
7%
23%
10%
7%17%
37%
Usia Penderita Diare
0-11,1-22,1-33,1-44,1-55,1-6
Gambar 22. Grafik faktor risiko usia penderita diare pada responden
di wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada responden penderita diare didapatkan mayoritas berusia 5
Tahun,1-6 tahun (36%).
35
b. Jenis kelamin penderita diare
Perempuan67%
Laki-laki33%
Jenis Kelamin pada Penderita Diare
Gambar 23. Grafik faktor risiko jenis kelamin penderita diare pada
responden di wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada responden penderita diare didapatkan mayoritas berjenis
kelamin perempuan (67%).
c. Ketidaklengkapan imunisasi dasar
Lengkap100%
Status Imunisasi pada Penderita Diare
Gambar 24. Grafik faktor risiko tidak lengkapnya pemberian
imunisasi terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
36
Pada responden yang menderita diare ditemukan 100%
memiliki status imunisasi lengkap, tidak ada yang memiliki faktor
risiko ketidaklengkapan imunisasi. Pencegahan penyakit infeksi salah
satunya dengan pengendalian dan pemusnahan sumber infeksi melalui
imunisasi. Dari lahir hingga usia 9 bulan terdapat rangkaian imunisasi
dasar yang harus dilakukan, yakni BCG, HB, DPT, Polio, dan
campak. Pada penelitian yang dilakukan Lestiyorini (2001) pada anak
balita usia 1-4 tahun imunisasi campak dapat menurukan angka
kematian diare sebesar 6-20%. Hal tersebut disebabkan karena
penyakit ikutan dari campak adalah diare hebat (Lestiyorini, 2001).
d. Status gizi yang kurang atau buruk
Underweight13%
Normoweight87%
Status Gizi pada Penderita Diare
Gambar 25. Grafik faktor risiko status gizi buruk terkait penyakit
diare pada responden di wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun
2013.
Mayoritas responden penderita diare memiliki status gizi
normal (sebesar 87%). Pada penderita kurang gizi serangan diare
terjadi lebih sering dan lebih lama terjadi. Semakin buruk keadaan gizi
anak, semakin sering dan berat diare yang diderita. Diduga bahwa
mukosa penderita malnutrisi sangat peka terhadap infeksi karena daya
tahan tubuh yang kurang. Keadaan sistem immunitas dari host ini
sangat menentukan apakah respons imun untuk melawan antigen
37
berupa bakteri berhasil atau tidak. Status gizi sangat menentukan
kemampuan ini. Status gizi diantaranya dipengaruhi oleh sangat
dipengaruhi oleh kemiskinan, ketidaktahuan dan ada tidaknya
penyakit yang mendasari tercapainya status gizi tersebut
(Shintamurniwaty, 2006).
e. Pemberian vitamin A
Ya93%
Tidak7%
Pemberian Vitamin A pada Penderita Diare
Gambar 26. Grafik faktor risiko tidak mendapat Vit. A terkait
penyakit diare pada responden di wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok
tahun 2013.
Pada responden penderita diare mayoritas 93% mendapat
vitamin A dari puskesmas. Vitamin A telah digolongkan sebagai
vitamin anti infeksi,19 karena defisiensi vitamin ini memungkinkan
terjadinya beragam kejadian infeksi walaupun mekanisme pasti masih
belum jelas. Penelitian Scrimshaw dkk (1968) menyatakan bahwa
“tidak ada defisiensi nutrien yang lebih bersifat sinergistik dengan
penyakit infeksi selain defisiensi vitamin A (Shintamurniwaty, 2006).
Vitamin A merupakan salah satu mikronutrien essensial sistem
imun tubuh. Secara langsung, vitamin A dapat memulihkan dan
mempertahankan integritas epitel yang rusak, sehingga menekan
translokasi mikroorganisme dan infeksi lebih lanjut. Secara tidak
langsung vitamin A menstimulasi sistem imun tubuh dengan
menginduksi respon antibodi sIgA (secretory IgA), antibodi terbanyak
yang diproduksi limfosit usus, yang menghalangi kontak mukosa
dengan mikroorganisme. Vitamin A juga meningkatkan aktifitas sel T,
Interleukin-12 (IL-12), IL-5 dan IL-6 dan menekan aktifitas
38
interferon- (IFN-) yang kemudian mengaktifasi sel T sitotoksik dan
makrofag. Anak dengan defisiensi vitamin A cenderung mengalami
diare karena defisiensi vitamin A memperpanjang siklus sel dari sel
crypt dan menggangu kemampuan migrasinya, menekan differensiasi
sel goblet ususdan produksi mukus, menyebabkan terjadi kerusakan
atau atrofi vili usus, sehingga integritas epitel usus terganggu, dan
menjadi rentan terhadap infeksi.Selain itu, defisiensi vitamin A
menyebabkan gangguan respon antibodi tubuh. Karena itu, pada tahun
1996, IVACG (International Vitamin A Consultative Group)
mengeluarkan Policy Statement on Vitamin A, Diarrhea and Measles,
yang merekomendasikan suplementasi vitamin A sebagai strategi
penting memperkecil konsekuensi dari defisiensi vitamin ini
(Shintamurniwaty, 2006).
f. Kunjungan ke posyandu setiap bulan
Ya100%
Rutinitas Pergi Ke Posyandu pada Penderita Diare
Gambar 27. Grafik faktor risiko tidak ke Posyandu dengan teratur
satu bulan sekali terkait penyakit diare pada responden di wilayah
kerja Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada responden penderita diare seluruhnya rutin pergi ke
posyandu setiap bulan. Di posyandu beberapa kegiatan
diselenggarakan selain pemeriksaan status kesehatan balita oleh para
kader dan petugas kesehatan juga diselenggarakan penyuluhan
39
kesehatan termasuk untuk mencegah dan menanggulangi diare. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Kanali (2008) didapatkan hasil
bahwa persentase kedatangan rutin ke posyandu berpengaruh namun
tidak secara signifikan terhadap insidensi diare (Kanali, 2008).
g. Penyakit lain pada penderita diare
20%
13%
7%
3%
53%
3%
Penyakit Lain pada Penderita Diare
DemamISPADiareDermatittisTidak AdaTyphoid
Gambar 28. Grafik faktor risiko adanya penyakit lain pada responden
penderita diare pada responden di wilayah kerja Puskesmas 1
Cilongok tahun 2013.
Pada responden penderita diare mayoritas tidak memiliki penyakit
lain selain diare.
40
5. Faktor risiko dari lingkungan tempat tinggal
a. Keadaan jamban dan septic tank
Baik57%Sedang
23%
Buruk20%
Faktor Resiko Kualitas Jamban dan MCK Pada Penderita Diare
Gambar 29. Grafik Faktor Risiko tidak tersedianya jamban yang
memadai terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan 57% responden mempunyai
kualitas jamban yang buruk, 23% sedang, 20% baik. Hal ini
dikarenakan tinja anak yang menempel pada jamban jika tidak
dibersihkan akan menyebabkan kuman-kuman dan virus-virus yang
ada dalam tinja tersebar dan menjadi rantai penularan penyakit diare
(Apriyanti, 2009).
Insiden anak yang terkena diare pada responden yang diteliti
didapatkan angka -17%. Angka tersebut menggambarkan tidak adanya
hubungan sebab akibat antara keadaan jamban dengan angka kejadian
diare pada anak. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian
sebelumnya. Kemungkinan kesalahan dalam pengambilan data ini
disebabkan bias seleksi dan bias informasi misalnya orangtua
responden yang tidak kooperatif, menutup-nutupi keadaan yang
sebenarnya sehingga hasil tidak sesuai dengan literatur (Apriyanti,
2009).
41
b. Pemanfaatan jamban
Ya90%
Tidak10%
Faktor Resiko Pemanfaatan Jamban Pada Penderita Diare
Gambar 30. Grafik Faktor Risiko pemanfaatan jamban yang tidak
konsisten terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan bahwa 90% responden memanfaatkan
jamban secara konsisten, sedangkan 10% lainnya tidak. Pengalaman
di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban
mempunyai dampak yang besar dalam penurunan resiko terhadap
penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus
membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban
(Depkes RI, 2006).
c. Pembuangan sampah
Memadai87%
Tidak Memadai13%
Fasilitas Pembuangan Sampah Pada Penderita Diare
Gambar 31. Grafik Faktor Risiko pembuangan sampah yang tidak
memadai terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan bahwa 87% responden mempunyai
fasilitas pembuangan sampah pada penderita diare. TPSS (Tempat
42
Penyimpanan Sampah Sementara) yang baik adalah yang mudah
dibersihkan, kuat dan awet, tertutup dan ditempatkan jauh dari
penmukiman, karena kondisi TPSS yang buruk akan mendukung
penyebaran penyakit lewat vector penyakit. Hasil penelitian
menunjukkan TPSS dengan Kondisi sedang banyak terjadi kejadian
diare. Hal ini terbukti dengan hasil analisis yang menunjukkan
hubungan antara kondisi TPSS dengan kejadian diare (Junias, 2008).
d. Sarana sumber air bersih untuk minum dan mencuci
Ya80%
Tidak20%
Ketersediaan Air bersih Pada Penderita Diare
Gambar 32. Grafik Faktor Risiko tidak tersedianya air bersih terkait
penyakit diare pada responden di wilayah kerja Puskesmas 1 Cilongok
tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan 80% penderita diare memakai air bersih
yang tersedia sedangkan 20% lainnya tidak. Sumber air minum utama
merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah pentingnya
berkaitan dengan kejadian diare. Sebagian kuman infeksius penyebab
diare ditularkan melalui jalur fekal oral. Mereka dapat ditularkan
dengan memasukkan ke dalam mulut, cairan atau benda yang
tercemar dengan tinja, misalnya air minum, jari-jari tangan, dan
makanan yang disiapkan dalam panci yang dicuci dengan air tercemar
(Depkes RI, 2000).
43
e. Kualitas sarana sumber air bersih untuk minum dan mencuci
Ya90%
Tidak10%
Kualitas Sarana Sumber Air Bersih Baik Pada Penderita Diare
Gambar 33. Grafik Faktor Risiko tidak cukup baiknya kualitas air
yang ada terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja
Puskesmas 1 Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan bahwa kualitas sumber air bersih baik
pada 90% penderita diare, sedangkan 10% lainnya tidak. Data yang
diperoleh didapatkan responden yang sarana penyediaan air bersih
tidak memenuhi syarat dan tidak diare yaitu sebanyak 18 dari 20
responden, hal ini dikarenakan walaupun air yang dikonsumsi tidak
memenuhi syarat penyediaan air bersih namun untuk keperluan
minum, responden terlebih dahulu memasak airnya hingga mendidih
dan sebagian besar responden selalu menampung air untuk keperluan
minum dan memasak dalam wadah tertutup sehinga sedikit
kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab kejadian
diare. Disamping itu diperoleh sebanyak 1 dari 20 responden yang
sarana penyediaan air bersih memenuhi syarat namun menyebabkan
diare. Hal ini dikarenakan sebagian responden masih ada yang
menampung air untuk keperluan minum dan memasak dalam wadah
terbuka dan masih banyak pula yang jarak jamban keluarga dengan
sumber air bersihnya kurang dari 10 meter sehingga besar
kemungkinan untuk terkontaminasi dengan bakteri penyebab kejadian
diare (Depkes RI, 2000).
44
f. Kepadatan rumah di sekitar tempat tinggal
Padat17%
Tidak83%
Kepadatan Rumah Penduduk di Lingkungan sekitar penderita diare
Gambar 34. Grafik Faktor Risiko kepadatan lingkungan rumah warga
terkait penyakit diare pada responden di wilayah kerja Puskesmas 1
Cilongok tahun 2013.
Pada penelitian ditemukan 83% penderita diare tinggal di
lingkungan rumah yang tidak padat, sedangkan pada 17% lainnya
tinggal di lingkungan rumah yang padat. Kepadatan populasi
berhubungan dengan ketersediaan air bersih. Semakin padat penduduk
di wilayah tersebut, semakin kurang ketersediaan air bersih di wilayah
tersebut, dan begitu pula sebaliknya. Bila kebutuhan air bersih tidak
tersedia, maka salah satunya dapat menyebabkan penyakit diare di
wilayah tersebut, sebab penyakit diare ini sangat berhubungan erat
dengan sanitasi air di lingkungan tersebut (Depkes RI, 2000).
45
D. Analisis Penyebab Masalah
Berdasarkan penelitian yang kami lakukan di wilayah kerja Puskesmas 1
Cilongok, ditemukan bahwa beberapa faktor risiko seperti umur
ibu/pengasuh, pekerjaan ibu/pengasuh, kebiasaan membeli makanan dari luar
rumah, serta keadaan jamban dan septic tank berkontribusi terhadap kejadian
diare pada anak usia 0-6 tahun. Berikut ini adalah analisis dari masing-masing
penyebab masalah.
1. Faktor risiko usia ibu atau pengasuh.
Pada penelitian ini kami menemukan bahwa persebaran usia ibu pada
kasus penyakit diare pada usia 0-6 tahun paling besar pada kelompok
umur 20-30 tahun sebesar 50 %. Beberapa referensi seperti pada penelitian
oleh Suharyono tahun 2003 menemukan bahwa semakin tua umur ibu
maka kesiapan dalam mencegah terjadinya diare akan semakin baik dan
berdampak pada terhindarnya anak dari diare (Nurharyani, 2007).
2. Status Pekerjaan Ibu
Pada penelitian lain yang dilakukan Iriantoro tahun 1996 menemukan
status pekerjaan ibu mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian diare pada anak. Pada pekerjaan ibu atau keaktifan ibu dalam
berorganisasi sosial berpengaruh pada kejadian diare pada anak. Dengan
pekerjaan tersebut diharapkan ibu mendapat informasi tentang pencegahan
diare. Terdapat 9,3% anak menderita diare pada ibu yang bekerja,
sedangkan ibu yang tidak bekerja sebanyak 12% (Rahmataji, 2006).
3. Kebiasaan memberi anak makanan di luar rumah
Hasil analisis yang menunjukkan bahwa perilaku memberi makan
anak sambil bermain diluar rumah merupakan faktor protektif terhadap
kejadian diare (Sulastri, 1999).
4. Keadaan jamban dan septic tank yang buruk
Hal ini dikarenakan tinja anak yang menempel pada jamban jika tidak
dibersihkan akan menyebabkan kuman-kuman dan virus-virus yang ada
dalam tinja tersebar dan menjadi rantai penularan penyakit diare
(Apriyanti, 2009).
46
Insiden anak yang terkena diare pada responden yang diteliti
didapatkan angka -17%. Angka tersebut menggambarkan tidak adanya
hubungan sebab akibat antara keadaan jamban dengan angka kejadian
diare pada anak. Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya.
Kemungkinan kesalahan dalam pengambilan data ini disebabkan bias
seleksi dan bias informasi misalnya orangtua responden yang tidak
kooperatif, menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya sehingga hasil tidak
sesuai dengan literatur (Apriyanti, 2009).
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya
penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan
resiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban
harus membuat jamban, dan keluarga harus buang air besar di jamban
(Depkes RI, 2006).
47
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan kami pada responden di wilayah kerja
Puskesmas I Cilongok, didapatkan faktor risiko yang memiliki kecenderungan
kaitan dengan diare pada anak usia 0-6 tahun, yaitu :
1. Usia ibu/pengasuh
Usia ibu yang paling banyak memiliki anak usia 0-6 tahun yang
mengalami diare adalah sebesar 50 % pada usia 20-30 tahun.
2. Pekerjaan ibu/pengasuh
Pekerjaan ibu yang paling banyak memiliki anak usia 0-6 tahun yang
mengalami diare adalah sebesar 83% sebagai Ibu Rumah Tangga
3. Kebiasaan makan di luar rumah
Kebiasaan makan di luar rumah pada anak usia 0-6 tahun yang mengalami
diare adalah sebesar 97%
4. Kebersihan jamban dan septic tank
Kebersihan jamban dan septic tank pada rumah dengan anak usia 0-6
tahun adalah sebesar 43% dengan kondisi sedang sampai buruk
B. Saran
1. Ibu dapat mengontrol pola makan anak di luar rumah sehingga makanan
yang masuk sesuai dengan kebutuhan gizi pada usianya.
2. Kebersihan jamban dan septic tank harus diperhatikan pada setiap rumah
tangga agar kesehatan keluarga terjaga
3. Ibu diharapkan dapat mengajarkan kebiasaan baik mencuci tangan
sebelum makan dan setelah buang air besar atau buang air kecil pada anak
sehingga kesehatan anak terjaga
4. Puskesmas memberi penyuluhan (edukasi) kepada ibu yang belum
mengerti mengenai diare dan melakukan pemantauan secara komprehensif
48
5. Puskesmas memberi penyuluhan (edukasi) mengenai pentingnya
pemberian ASI eksklusif serta pemberian makanan setelah periode ASI
eksklusif (setelah 6 bulan) yang baik dan benar
6. Puskesmas memberi penyuluhan (edukasi) mengenai kaitan kebiasaan
jajan diluar rumah dengan kejadian diare serta melakukan pemantauan
terkait higienitas makanan yang dijual di lingkungan serta edukasi
mengenai pentingnya mencuci tangan sebelum makan, dan diberi pelatihan
mengenai cara mencuci tangan yang baik dan benar
49
LAMPIRAN
A. Daftar Responden
No. Nama AnakJenis
Kelamin
UsiaNama
OrangtuaUsia
Pekerjaan Alamat
1 Revina P 1 tahun 1 bulan Dasirah 28 IRTDesa Sambirata RT 03/RW 02
2 Sahda P 1 tahun 1 bulan Nurdiyanto 27 BuruhDesa Sambirata RT 03/RW 01
3 Naufal L 1 tahun 1 bulan Titis 18 IRTDesa Cilongok RT 03/RW 01
4 Robi L 5 tahun 6 bulan Nurdiyanto 27 BuruhDesa Sambirata RT 03/RW 01
5 Triana P 6 tahun Ratum 40 PetaniDesa Cimerang Sambirata
6 Layla P 1 tahun 5 bulan Indah 35 IRTDesa Cilongok RT 03/RW 01
7 Fatimah P 2 tahun 3 bulan Nurul 32 IRTDesa Sambirata RT 04/RW 04
8 Dika L 5 tahun 6 bulan Yati 35 IRTDesa Pernasidi RT 03/RW 05
9 Ahisa Zahra P 3 tahun Dewi 30 WiraswastaDesa Cilongok RT 03/RW 04
10Tsalits Muslihatun
P 18 bulan Uki 31 WiraswastaDesa Cilongok RT 03/RW 05
11 Rafif L 1 bulan Tatik 24Pegawai Honorer
Desa Cilongok RT 03/RW 04
12Ahmad Naf'an Zidan
L 5 tahun 5 bulan Ruminah 27 IRTDesa Cilongok RT 03/RW 05
13Maulid Daffa Al-Fahrizi
L 2 tahun Heli 23 IRTDesa Cilongok RT 04/RW 01
14Setyo Afif W
L 2 tahun Septi 20 IRTDesa Cilongok RT 03/RW 01
15 Revalina P 5 tahun Winarti 25 IRTDesa Pernasidi RT 05/RW 05
16Siti Nurhayati Amalia
P 6 tahun Ramina 32 IRTDesa Pernasidi RT 05/RW 06
17 Kukuh L 6 tahun Siti 35 IRT Desa Cikadang18 Aura P 5 tahun 1 bulan Neti 32 IRT Desa Pernasidi
19 Muh. Siddiq L 6 tahun Susiani 46 PegawaiDesa Pernasidi RT 05/RW 03
20Alexander Sastra Bumi
L 4 tahun 10 bulan Anggi 27 IRTDesa Cilongok RT 03/RW 04
21Mona P
4 tahun 6 bulanWarsini
27IRT
Cilongok RT 04 RW 01
22Jihan Astrel Makayla P
2 tahun 11 bulanAni
28IRT
Cilongok RT 03 RW 01
23Owen L
4 tahun 6 bulanAgus Susminah
26IRT
Cilongok RT 04 RW 01
24 Rezki Bagas L 2 tahun 10 bulan Laras 28 Pedagang Cilongok RT 03
50
Saputra RW 04
25Novita P
1 tahun 1 bulanSilastri
32IRT
Cilongok RT 03 RW 01
26Yeni Fegi Rahmawati P
5 tahun 6 bulanJasiyem
70IRT
Cikidang RT 04 RW 02
27Amirah Zakiyah P
4 tahunSri
38IRT
Cilongok RT 03 RW 04
28Wulandari P
4 tahunSus
40IRT
Cilongok RT 03 RW 01
29Lutfi L
9 bulanYanti
38Wiraswasta
Cilongok RT 03 RW 04
30Aurelia Gina P
5 tahun 6 bulanUmi
29Pedagang
Pernasidi RT 02 RW 05
51
B. Dokumentasi
Gambar 35. Puskesmas I Cilongok
Gambar 36. Unit Gawat Darurat beserta Ambulance milik Puskesmas I Cilongok
52
Gambar 37. Tarif Retribusi Puskesmas
53
Gambar 38. Tarif Tindakan Puskesmas
54
Gambar 39. Jamban dan septic tank rumah penduduk
Gambar 40. Kamar mandi rumah penduduk
55
Gambar 41. Jajanan di luar rumah
Gambar 42. Salah satu ibu yang diwawancarai
56
C. Lampiran Kuesioner
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANKampus Unsoed RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Jl. Gumbreg No. 1
(0281) 641522 Fax (0281) 635208 Purwokerto 53123
INFORM CONSENT
Dalam rangka mengetahui faktor risiko terkait penyakit diare di wilayah kerja
Puskesmas I Kecamatan Cilongok, maka saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama :
Alamat :
Dengan penuh kesadaran menyatakan bersedia untuk menjadi responden guna
pengumpulan data mengenai faktor risiko terkait penyakit diare di wilayah kerja
Puskesmas I Kecamatan Cilongok.
Purwokerto, Januari 2013
(………………………………………)
57
KUESIONER FAKTOR RISIKO PENYAKIT DIAREWILAYAH PUSKESMAS 1 KECAMATAN CILONGOK
KELOMPOK 12 CHEM III Tahun 2012/2013
Kasus / Kontrol DATA RESPONDEN Anak Nama anak :Jenis Kelamin :Usia : ……. Tahun ………. BulanOrang tua Nama ortu : Usia :Pekerjaan :Alamat : Desa ... RT/RW …
FAKTOR IBU/PENGASUH BALITA1. Umur ibu
a. <20 th b. 20-30 th c. 30-40 thd. > 40 th
2. Pengetahuan mengenai diarea. Baik (tahu penyebab
langsung/tidak langsung dan cara mencegahnya)
b. Buruk (tidak tahu)3. Pendidikan terakhir
a. Tidak tamat SD b. SDc. Tidak tamat SMPd. SMPe. Tidak tamat SMAf. SMAg. Perguruan tinggi
4. Status kerjaa. Ibu rumah tanggab. Buruh c. Pegawai d. Wiraswatae. Lainnya ………….
5. Pemberian ASI Ekslusif (harus 6 bulan hanya diberikan ASI saja)a. Ya b. Tidak
6. Pemberian makanan setelah 6 bulana. Buah-buahan (yang
seharusnya dilakukan)b. Biscuit c. Sama dengan makanan
keluarga 7. Cuci tangan pada saat
menyusui/memberi makan anak a. Ya b. Tidak
8. Cuci tangan pada saat sebelum makan (untuk diri sendiri)a. Yab. Tidak
9. Cuci peralatan makan sebelum dimakana. Yab. Tidak
10. Selalu mencuci bahan makanan sebelum dipersiapkana. Yab. Tidak
11. Selalu mencuci tangan setelah BAB dan BAKa. Yab. Tidak
12. Merebus air minum sebelum digunakana. Yab. Tidak
58
13. Kebiasaan memberi anak makanan di luar rumaha. Yab. Tidak
14. Penyimpanan makanan bayi dan balita a. Higienisb. Tidak higienis
FAKTOR ANAK 1. Usia : …… tahun ……. bulan 2. Jenis Kelamin : L / P3. Imunisasi dasar lengkap : Lengkap / Tidak Lengkap
Jika lengkap <7 hari : HB 01 bulan : BCG, Polio 12 bulan : DPT / HB 1, Polio 23 bulan : DPT / HB 2, Polio 34 bulan : DPT/ HB3, Polio 4 9 bulan : Campak
4. Status GIzi : BB ……… kg; TB ……….. cm; maka WHZ ………5. Penyakit lain : 6. Pemberian vit. A Puskesmas : dapat / tidak mendapat 7. Setiap bulan ke posyandu : ya / tidak
FAKTOR LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL 1. Keadaan jamban dan septic tank : baik / sedang / buruk (dilihat langsung
di MCK)2. Pemanfaatan jamban secara konsisten
a. Yab. Tidak
3. Pembuangan sampah : memadai / tidak memadai 4. Ketersediaan sarana sumber air bersih untuk minum dan mencuci peralatan
a. Adab. Tidak
5. Kualitas sarana sumber air bersih untuk minum dan mencuci peralatana. Adab. Tidak
6. Kepadatan rumah penduduk di sekitara. Padatb. Tidak
REFERENSI
Adisasmito, Wiku. 2007. Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia : Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Makara Kesehatan FKM UI. Vol. 11 : 1-10.
59