1
LAPORAN PENELITIAN
STANDAR PELAYANAN PENDIDIKAN
DI KABUPATEN BALANGAN
Oleh :
Dra. Rabiatul Adawiah M.Si
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara filosofis tanggung jawab pendidikan melekat pada keluarga,
masyarakat dan pemerintah. Dalam kontek rumah tangga negara pendidikan
merupakan hak setiap warga negara, maka di dalamnya mengandung makna
bahwa negara berkewajiban memberikan layanan pendidikan kepada
warganya. Karena itu pengolahan sistem Pelayanan Minimal (SPM) Bid.
Pendidikanharus didesain dan dilaksanakan secara bermutu, efektif dan
efisien. Pelayanan pendidikan harus beroreantasi pada upaya peningkatan
akses pelayanan seluas-luasnya bagi warga masyarakat.
Apa yang tersurat tersirat dalam pasal 31 UUD 1945 diperjelas dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang sistem Pendidikan Nasional
Menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berkhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”
Filosofis dalam Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
dijiwai oleh cita-cita luhur sebagaimana rumusan yang termaktub dalam
3
amanat konstitusi tersebut. Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM)
Bid. Pendidikan ini sebagai acuan/pedoman bagi para pemangku
kepentingan di bidang pendidikan dalam rangka pembangunan manusia yang
berilmu pengetahuan, mampu membangun dan menguasai teknologi, serta
berdaya saing tinggi, yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Dokumen tersebut dapat menjadi arah kebijakan dan
rencana implementasi bidang pendidikan di Kabupaten Balangan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalahnya dapat dirumuskan
sebagai berikut : Bagaimanakah standar pelayanan pendidikan dasar di
Kabupaten Balangan
C. Tujuan Kegiatan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan kegiatan ini adalah
untuk mengetahui standar pelayanan minimum pendidikan dasar di kabupaten
Balangan.
D. Manfaat Kegiatan
Manfaat dari kajian ini adalah dapat digunakan sebagai
acuan/pedoman bagi para pemangku kepentingan di bidang pendidikan
dalam rangka pembangunan manusia yang berilmu pengetahuan, mampu
membangun dan menguasai teknologi, serta berdaya saing tinggi, yang
4
berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dokumen tersebut dapat menjadi arah kebijakan dan rencana implementasi
bidang pendidikan di Kabupaten Balangan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelayanan Publik
1. Pengertian
Dalam konteks ke-Indonesia-an, penggunaan istilah pelayanan publik
(public service) dianggap memiliki kesamaan arti dengan istilah pelayanan
umum atau pelayanan masyarakat. Oleh karenanya ketiga istilah tersebut
dipergunakan secara interchangeable, dan dianggap tidak memiliki perbedaan
mendasar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian
pelayanan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan
(mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service
dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something
that the public needs, organized by the government or a private company”.
Oleh karenanya, pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang
menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public),
terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa
Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian
umum atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering
(penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility
(perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service
6
(pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dll. Sedangkan
dalam pengertian negara salah satunya adalah public authorities (otoritas
negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan
negara) dan public sector (sektor negara). Dalam hal ini, pelayanan publik
merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum.
Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak
sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish
(2005 : 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang
mempunyai kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang
benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meng
PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan
publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan
maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service
sebagai “a service such as transport or health care that a government or an
official organization provides for people in general in a particular society”.
Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang
harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini
juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan
layanan jasa dan atau barang publik.
7
Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku pelayanan, yaitu
penyedia layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau service
provider (Barata, 2003 : 11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu
layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk
penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). Penerima
layanan atau service receiver adalah pelanggan (customer) atau konsumen
(consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan.
Adapun berdasarkan status keterlibatannya dengan pihak yang
melayani terdapat 2 (dua) golongan pelanggan, yaitu:
(a) Pelanggan internal, yaitu orang-orang yang terlibat dalam proses
penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan,
pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang,
penjualan dan pengadministrasiannya.
(b) Pelanggan eksternal, yaitu semua orang yang berada di luar organisasi
yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa.
Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta.
Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu:
a. Keduanya berusaha memenuhi harapan pelanggan, dan mendapatkan
kepercayaannya;
b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup
organisasi.
Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang
membedakannya dari pelayanan swasta adalah:
8
a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata.
Misalnya perijinan, sertifikat, peraturan, informasi keamanan, ketertiban,
kebersihan, transportasi dan lain sebagainya.
b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk
sebuah jalinan sistem pelayanan yang berskala regional, atau bahkan nasional.
Contohnya dalam hal pelayanan transportasi, pelayanan bis kota akan
bergabung dengan pelayanan mikrolet, bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk
membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta.
c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi
pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip
utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi
nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan
petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal.
d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan
peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi
masyarakat, maka semakin tinggi pula kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta
masyarakat dalam kegiatan pelayanan.
e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung,
yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pengembangan pelayanan.
Desakan untuk memperbaiki pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh
hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan
keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat.
9
f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan
masyarakat yang berdaya untuk mengurus persoalannya masing-masing.
B. Ruang Lingkup Pelayanan Publik
Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible),
barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa. Layanan barang tidak
nyata dan jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini
memiliki perbedaan mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah
diamati dan dinilai kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk
dinilai. Walaupun demikian dalam prakteknya keduanya sulit untuk dipisahkan.
Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa
pemasangan telepon berikut pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya
pelayanan barang selalui diikuti dengan pelayanan jasanya.
Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua)
jenis saja, yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari
Gronroos (1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.
Tabel 1
Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa
Barang Jasa
Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud
Satu jenis barang dapat berlaku untuk
banyak orang (homogen)
Satu bentuk pelayanan kepada
seseorang belum tentu sesuai/sama
dengan bentuk jasa pelayanan kepada
orang lain (heterogen)
Proses produksi dan distribusinya
terpisah dengan proses konsums
Proses produksi dan distribusi
pelayanan berlangsung bersamaan pada
saat dikonsumsi
Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan
10
Nilai utamanya dihasilkan di
perusahaan
Nilai utamanya dihasilkan dalam proses
interaksi antara penjual dan pembeli.
Pembeli pada umumnya tidak terlibat
dalam proses produksi
Pembeli terlibat dalam proses produksi
Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan
Dapat terjadi perpindahan kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan
Sumber: Gronroos (1990)
Lebih lanjut Savas (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang dan jasa
yang dibutuhkan masyarakat dan individu ke dalam 4 (empat) kelompok
berdasarkan konsep exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyediaan
pelayanan publik. Ciri dari exclusion akan melekat pada barang/jasa jika
pengguna potensialnya dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang
bersangkutan dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan
penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan apabila terjadi
kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi consumption
adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat
dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada
pengurangan kualitas maupun kuantitasnya.
Tabel 2
Pengelompokkan Barang dan Jasa
Berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Comsumption
Exclusion
Consumption
Konsumsi
Individual
Konsumsi
Kolektif
Mudah mencegah orang
lain untuk ikut menikmati Barang privat
Barang semi
publik
Sulit mencegah orang
lain untuk ikut menikmati
Barang semi
privat Barang publik
Sumber : Savas, (1987)
11
a. Barang privat
Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dapat
diperoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan
biasanya dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta
transaksi pembelian. Contoh: makanan, pakaian.
b. Barang semi privat
Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual, namun sulit mencegah
siapapun untuk memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau
biasa disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat
ini adalah pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah
orang lain untuk tidak ikut mendengarkan.
c. Barang semi publik
Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si
pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat
dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut.
Semakin sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari
pemanfaatan toll goods semakin serupa barang tersebut dengan ciri barang
publik (Collective Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik.
Misal: jalan Toll, Jembatan Timbang
d. Barang publik
Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak
mungkin mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat
12
(pengguna) pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa
untuk memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman.
Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang
privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan
barang semi publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus
untuk penyediaan jenis barang publik haruslah oleh pemerintah.
Selanjutnya Nurcholis (2005 : 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan
publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:
a. Pendidikan.
b. Kesehatan.
c. Keagamaan.
d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan.
e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme.
f. Sosial.
g. Perumahan.
h. Pemakaman/krematorium.
i. Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.
j. Air minum.
k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.
Dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman
Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik
secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan administratif
13
2. Pelayanan barang
3. Pelayanan jasa
Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh
pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan
publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003 :
16) sebagai berikut:
1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output
maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah.
2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam
hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak dapat
ditentukan dengan jelas.
3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun
kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut.
4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam
memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah
menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah
sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari
kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa
yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan
penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga
menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari crowding out effect,
dimana pemerintah lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu
14
diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana
yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana yang murni dikerjakan
oleh pemerintah.
C. Paradigma Pelayanan
Pelayanan publik adalah identik dengan representasi dari eksistensi
birokrasi pemerintahan, karena berkenaan langsung dengan salah satu fungsi
pemerintah yaitu memberikan pelayanan. Oleh karenanya sebuah kualitas
pelayanan publik merupakan cerminan dari sebuah kualitas birokrasi pemerintah.
Di masa lalu, paradigma pelayanan publik lebih memberi peran yang sangat besar
kepada pemerintah sebagai sole provider. Peran pihak di luar pemerintah tidak
pernah mendapat tempat atau termarjinalkan. Masyarakat dan dunia swasta hanya
memiliki sedikit peran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pada tahun 1990-an terjadi reformasi di sektor publik. Hal ini terjadi
karena terjadi kesalahan dalam memahami (mitos) upaya perbaikan kinerja
pemerintah. Berkenaan dengan hal tersebut, Osborne & Plastrik (1996 : 13)
menjelaskan 5 mitos di seputar reformasi sektor publik, yaitu:
1. Mitos Liberal, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan yang
lebih dan bekerja lebih banyak (spending more and doing more). Dalam
kenyataannya, menganggarkan banyak uang kepada sistem yang disfungsional
tidak menghasilkan hasil yang signifikan.
2. Mitos Konservatif, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui pembelanjaan
yang dikurangi dan bekerja lebih sedikit (spending less and doing less). Dalam
15
kenyataannya, penghematan yang dilakukan pemerintah terhadap anggarannya
tidak menolong kinerja pemerintah menjadi lebih baik.
3. Mitos Bisnis, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalu penyelenggaraan
pemeritahan yang meniru teknik penyelenggaraan bisnis. Dalam
kenyataannya, walaupun metafora bisnis dan teknik manajemen seringkali
menolong, namun ada perbedaan kritis antara realitas sektor publik dan bisnis.
4. Mitos Pekerja, bahwa kinerja pegawai pemerintah dapat meningkat apabila
mempunyai uang yang cukup. Dalam kenyataannya kita harus mengubah cara
sumber daya dimanfaatkan jika kita ingin mengubah hasil.
5. Mitos Rakyat, bahwa pemerintah dapat diperbaiki melalui perekrutan sumber
daya manusia yang lebih baik. Dalam kenyataannya, masalahnya bukan
terletak pada sumber daya, akan tetapi sistemlah yang menjebak mereka.
Oleh karenanya berkenaan dengan reformasi di sektor publik, salah satu
prinsip penting yang merubah paradigma pelayanan publik adalah prinsip
streering rather than rowing. Berkenaan dengan prinsip ini, pemerintah
diharapkan untuk lebih berperan sebagai pengarah daripada sekedar pengayuh.
Fungsi pengayuh bisa dilakukan secara lebih efisien oleh pihak lain yang
profesional. Prinsip ini menjelaskan bahwa pemerintah tidak dapat secara terus
menerus bekerja sendirian, dan harus mulai mengubah paradigma pelayanan agar
tujuan dari penyelenggaraan pelayanan dapat tercapai lebih baik lagi. Masih
banyak prinsip-prinsip yang dikenalkan dalam konsep ini, namun intinya adalah
semuanya mengubah cara pandang kita terhadap cara kerja pemerintahan.
16
Semangat entrepreneurial government ini lebih didasarkan pada
pengalaman yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Amerika
Serikat. Konsep lain yang sebenarnya telah lebih dulu eksis dan memiliki
kemiripan dengannya adalah New Public Management (NPM) yang dipelopori
oleh Inggris dengan gerakan privatisasi pada masa kepemimpinan Margaret
Thatcher. Pada masa Thatcher, privatisasi untuk pertama kalinya diselenggarakan
terhadap perusahaan milik negara dengan tujuan untuk menyehatkan perusahaan
negara. Gerakan ini menjadi tren di dunia manajemen BUMN. Banyak negara
yang kemudian meniru pola privatisasi Inggris ini, termasuk juga New Zealand,
dan menyebar ke seluruh dunia.
Dengan paradigma baru di bidang pelayanan yang dilandasi oleh filosofi
entrepreneurial government dan new public management inilah maka cara
pandang tradisional terhadap peran pemerintah dalam menyelenggarakan
pelayanan publik haruslah diubah. Osborne dan Plastrik (1996) menjelaskan 5
Strategi penting untuk mewujudkannya, yaitu:
1. Strategi inti: menciptakan kejelasan tujuan
2. Strategi konsekuensi: menciptakan konsekuensi untuk kinerja
3. Strategi pelanggan: menempatkan pelanggan di posisi penentu.
4. Strategi pengendalian: memindahkan pengendalian dari puncak dan pusat
5. Strategi budaya: menciptakan budaya wira usaha
Dalam perspektif lain, secara umum pergeseran paradigma pelayanan
adalah pergeseran dari birokrasi yang “dilayani” menjadi birokrasi yang
“melayani”. Fungsi pelayanan yang diemban dan melekat pada birokrasi, tidak
17
serta merta menempatkan warga masyarakat sebagai kelompok pasif. Dalam hal
ini partisipasi masyarakat dalam pelayanan harus ditingkatkan, karena sejalan
dengan mini pemberdayaan yang harus lebih diutamakan (empowering rather
than serving). Pemberdayaan ini akan menuntun pada adanya peningkatan
partisipasi warga masyarakat dalam pelayanan publik.
Partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dikenal dengan konsep co-
production. Konsep ini dikenal pertama kali dan dikembangkan sejak tahun 1980-
an, ketika pakar administrasi publik dan politik urban membangun teori yang
menjelaskan kegiatan kolektif dan peran kritis dari keterlibatan warga masyarakat
dalam penyediaan pelayanan barang dan jasa. Pada dasarnya teori co production
mengkonseptualisasi pemberian layanan baik sebagai sebuah penataan maupun
proses, di mana pemerintah dan masyarakat membagi tanggung jawab (conjoint
responsibility) dalam menyediakan pelayanan publik. Sehingga di sini kita tidak
lagi membedakan warga masyarakat sebagai pelanggan tradisional dengan
pemerintah sebagai penyedia layanan. Kedua pihak dapat bertindak sebagai
bagian dari pemberi layanan.
Secara singkat, teori co-production dalam pelayanan publik dapat
dipahami dengan memahami konsep-konsep pelanggan dan produksi di sektor
publik, yaitu consumer producer, regular producer dan co-production. Menurut
Parks consumer producers adalah pihak yang berhubungan dengan produksi yang
pada akhirnya akan mengkonsumsi akhir dari produk yang dibuatnya. Di sisi lain,
regular producers adalah yang menyelenggarakan proses produksi, yang akan
merubah output menjadi pembayaran, yang pada akhirnya akan
18
membelanjakannya untuk barang dasn jasa lainnya. Dalam hal ini co-production
memerlukan kedua pihak berkontribusi input pada proses produksi untuk barang
dan jasa tertentu. Dengan kata lain, dalam banyak pelayanan, proses produksi
output dan outcome memerlukan partisipasi aktif dari penerima layanan barang
dan jasa.
Menurut Cooper sebagaimana dikutip oleh McLaverty (2002 : 15)
menjelaskan bahwa partisipasi publik terutama dalam proses pengambilan
keputusan adalah sarana untuk memenuhi hak dasar sebagai warga. Pada akhirnya
tujuan dari partisipasi publik adalah untuk mendidik dan memberdayakan warga.
Sedangkan menurut Marschall (2004 : 231), tujuan dari partisipasi publik adalah
pada dasarnya untuk mengkomunikasikan dan mempengaruhi proses pengambilan
keputusan sebagaimana juga membantu dalam pelaksanaan pelayanan.
Heller dalam Rich (1995 : 660) menjelaskan dua bentuk dasar partisipasi,
yaitu partisipasi akar rumput (grass-root participation) yang mengacu pada
organisasi dan gerakan sosial yang didasarkan pada inisiatif warga yang memilih
tujuan dan metode mereka sendiri, dan partisipasi mandat pemerintah
(government-mandated participation) yang melibatkan persyaratan hukum di
mana akan ada kesempatan bagi masukan warga terhadap pengambilan keputusan
(kebijakan) atau pelaksanaan sebuah lembaga.
Secara sederhana Cooper (Lynch, 1983 : 14-15) membedakan partisipasi
ke dalam partisipasi tidak langsung (indirect participation) dan partisipasi
langsung (direct participation). Partisipasi tidak langsung, misalnya, partisipasi
dalam hal penyelenggaraan negara dengan memilih wakilnya untuk duduk di kursi
19
parlemen. Sama halnya ketika menyuarakan pendapat untuk kepentingan
penyelenggaraan pemerintah melalui media massa dan sebagainya. Sementara
partisipasi langsung bisa berupa keterlibatan secara langsung warga dalam
penyelenggaraan pemerintah, seperti menjadi komisi penasehat, aktivitas dengan
pendapat, keterlibatan di kelompok-kelompok kepentingan dan partisipasi dalam
lembaga pemerintah. Konsep partisipasi masyarakat terhadap fungsi pelayanan
yang diberikan pemerintah dapat berupa partisipasi dalam hal mentaati
pemerintah, membangun kesadaran hukum, kepedulian terhadap peraturan yang
berlaku, dan dapat juga berupa dukungan nyata dengan membantu secara
langsung proses penyelenggaraan pelayanan umum.
Gambar berikut menjelaskan konsep dasar peran pemerintah sebagai
penyedia pelayanan umum dan peran warga masyarakat sebagai pengguna atau
penerima layanan sekaligus peran dalam membantu penyelenggaraan pelayanan
publik (co-produser).
Gambar 1
Partisipasi dalam Pelayanan Publik
Sumber: Suwarno, Yogi. (2005: 5).
Service
Participation
Co-producer
Citizenry
Government
20
Dalam gambar di atas dikenal istilah co-produser, yang berarti penghasil
jasa atau layanan. Co-produser ini adalah warga atau sebagian dari warga
masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan pemberian layanan umum,
sebagai bentuk partisipasi. Ini berangkat dari konsep ko-produksi yang dijelaskan
oleh Ostrom. Dalam definisinya Ostrom (1996 : 86) menjelaskan bahwa
“coproduction as the process through which inputs used to produce a good or
service are contributed by individuals who are not “in” the same organization”,
yaitu bahwa co-production adalah proses di mana input yang digunakan untuk
menghasilkan barang atau jasa diberikan oleh individu yang bukan berasal dari
organisasi yang sama. Keterlibatan warga dalam memproduksi layanan yang
seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah termasuk kegiatan ko-produksi
dalam pelayanan umum.
Sejalan dengan itu, Bjur dan Siegel dalam Lynch (1983 : 41) telah meneliti
bahwa kegiatan co-produksi sebenarnya dapat dirancang untuk melayani berbagai
jenis tujuan dari partisipasi warga. Hal ini menunjukkan hubungan yang kuat
antara partisipasi warga dengan kegiatan pelayanan umum.
pentingnya peran aktif kedua belah pihak dalam menyelenggarakan
pelayanan publik dapat dijelaskan dalam konteks partisipasi. Partisipasi publik
berhubungan erat dengan kedua belah pihak; pemerintah dan masyarakat. Melalui
sisi pemerintah, kita bisa melihat penerapan kebijakan dan pengunaan teknik-
teknik manajemen dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat sekaligus
dalam rangka penegakkan peraturan, sedangkan pada sisi masyarakat adalah
21
keterlibatan dalam berdisiplin dan menaati aturan, serta dukungan langsung dalam
proses pemberian pelayanan publik.
Peran pada sisi pemerintah, penggunaan teknik-teknik manajerial dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat dilakukan dengan cara menyiapkan dan
memanfaatkan seluruh sumber daya organisasi yang dimiliki untuk mencapai
tujuan. Sedangkan peran pada sisi masyarakat adalah partisipasi aktif baik dalam
hal ketaatan, maupun dukungan langsung dalam proses penyelenggaraan
pelayanan publik.
D. Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan telah menjadi salah satu isu penting dalam penyediaan
layanan publik di Indonesia. Kesan buruknya pelayanan publik selama ini selalu
menjadi citra yang melekat pada institusi penyedia layanan di Indonesia. Selama
ini pelayanan publik selalu identik dengan kelambanan, ketidak adilan, dan biaya
tinggi. Belum lagi dalam hal etika pelayanan di mana perilaku aparat penyedia
layanan yang tidak ekspresif dan mencerminkan jiwa pelayanan yang baik.
Kualitas pelayanan sendiri didefinisikan sebagai suatu kondisi dinamis
yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan (Goetsch & Davis, 2002). Oleh karenanya
kualitas pelayanan berhubungan dengan pemenuhan harapan atau kebutuhan
pelanggan.
Penilaian terhadap kualitas pelayanan ini dapat dilihat dari beberapa sudut
Pandang yang berbeda (Evans & Lindsay, 1997), misalnya dari segi:
22
1. Product Based, di mana kualitas pelayanan didefinisikan sebagai suatu
fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda terhadap
karakteristik produknya.
2. User Based, di mana kualitas pelayanan adalah tingkatan kesesuaian
pelayanan dengan yang diinginkan oleh pelanggan.
3. Value Based, berhubungan dengan kegunaan atau kepuasan atas harga.
Kualitas pelayanan ini dapat diketahui ketika dilakukan mengenai
beberapa jenis kesenjangan yang berhubungan dengan harapan pelanggan,
persepsi manajemen, kualitas pelayanan, penyediaan layanan, komunikasi
eksternal, dan apa yang dirasakan oleh pelanggan.
Secara mendetail, kesenjangan-kesenjangan tersebut dapat diidentifikasi
pada gambar berikut ini:
Gambar 2
Model Kesenjangan dari Kualitas Pelayanan
23
Sumber : Delivering Quality Service, Zeithaml, et. Al., (1990), hal. 131
Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi
manajemen (Management Perception of Customer Expectation).
Hal ini terjadi disebabkan karena kurang dilakukannya survey akan kebutuhan
pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang
terjadinya interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab
lainnya adalah kurang terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan
petugas penyedia pelayanan (customer contact personel), padahal dari
merekalah paling banyak diperoleh informasi tentang hal-hal yang menjadi
harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor klasik dari terlalu banyaknya
jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga merupakan salah satu faktor
munculnya kesenjangan ini.
24
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen (Management Perception of
Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality
Specification). Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang
dalam mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi
manajemen terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demikian
pula dengan tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak
adanya penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan.
3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality
Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery).
Kesenjangan ini terjadi karena munculn konflik peran dalam diri pegawai
dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan
untuk memenuhi harapan pimpinan. Selain itu juga adalah teknologi yang
tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan
penghargaan, serta kurang kerjasama internal.
4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External
Communication to Customers) dengan proses penyampaian pelayanan
(Service Delivery).
Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam
organisasi.
5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service)
dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service).
Kesenjangan kelima ini menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari
tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda
25
dengan kesenjangan sebelumnya, kesenjangan kelima ini menitikberatkan
pada sisi pelanggan.
C. Standar Pelayanan Publik
1. Prinsip-prinsip Dasar
Dalam upaya mencapai kualitas pelayanan yang diuraikan di atas,
diperlukan penyusunan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur
pelayanan yang berkualitas. Penetapan standar pelayanan publik merupakan
fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya executive
order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua
instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting
customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai
berikut :
ldentify customer who are, or should be, served by the agency, survey the
customers to determine the kind and quality of service they want and their
level of satisfaction with existing service, post service standards and measure
result against the best business, provide the customers with choice in both
sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means
to adress customer complaints.
Inti isi executive order tersebut di atas adalah adanya upaya identifikasi
pelanggan yang (harus) dilayani oleh instansi, mensurvei pelanggan untuk
26
menentukan jenis dari kualitas pelayanan yang mereka inginkan dari untuk
menentukan tingkat kepuasan pelanggan dengan pelayanan yang sedang berjalan,
termasuk standar pelayanan pos serta mengukur hasil dengan yang terbaik,
menyediakan berbagai pilihan sumber-sumber pelayanan kepada pelanggan dan
sistem pengaduan yang mudah diakses, serta menyediakan sarana untuk
menampung dan menyelesaikan keluhan/pengaduan.
Di Inggris juga diperkenalkan Service First the New Charter Programme,
yang berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari
visi pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip
tersebut adalah :
a. Menentukan standar pelayanan;
b. Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya;
c. Berkonsultasi dan terlibat;
d. Mendorong akses dan pilihan;
e. Memperlakukan semua secara adil;
f. Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan;
g. Memanfaatkan sumber daya secara efektif;
h. Inovatif dan memperbaiki; dan
i. Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.
Di Indonesia, upaya untuk menetapkan standar pelayanan publik dalam
kerangka peningkatan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah lama dilakukan.
upaya tersebut antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti:
27
1. Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan
Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha,
2. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun
1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
3. Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan peningkatan Mutu
Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat.
4. Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang
Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi
Mendagri No. 20/1996;
5. Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat
Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3/1999; hingga Surat Edaran
Mendagri No. 503/125/PUOD/1999; yang kesemuanya itu bermuara pada
peningkatan kualitas pelayanan.
6. Kep. Menpan No 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum
7. Surat Edaran Depdagri No. 100/757/OTDA tetang Pelaksanaan
Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimum, pada tahun 2002
8. Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan publik.
Namun sejauh ini standar pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud
masih lebih banyak berada pada tingkat konseptual, sedangkan implementasinya
masih jauh dari harapan. Hal ini terbukti dari masih buruknya kualitas pelayanan
yang diberikan oleh berbagai instansi pemerintah sebagai penyelenggara layanan
publik.
28
Adapun yang dimaksud dengan standar pelayanan (LAN, 2003) adalah
suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan
sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan
untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan yang dimaksud dengan
pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak
mengandung kesalahan. Serta mengikuti proses dan prosedur yang telah
ditetapkan terlebih dahulu. Jadi pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan
oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun
dipenuhi kebutuhannya.
Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya standar pelayanan (LAN,
2003) antara lain adalah:
1. Memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa mereka mendapat pelayanan
dalam kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan, memberikan fokus
pelayanan kepada pelanggan/masyarakat, menjadi alat komunikasi antara
pelanggan dengan penyedia pelayanan dalam upaya meningkatkan pelayanan,
menjadi alat untuk mengukur kinerja pelayanan serta menjadi alat monitoring
dan evaluasi kinerja pelayanan.
2. Melakukan perbaikan kinerja pelayanan publik. Perbaikan kinerja pelayanan
publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara
pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini
disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan
memfasilitasi berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat,
mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan
29
lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan,
kesehatan, utlilitas, sosial dan lainnya.
3. Meningkatkan mutu pelayanan. Adanya standar pelayanan dapat membantu
unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang
terbaik bagi masyarakat pelanggannya. Dalam standar pelayanan ini dapat
terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan,
waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan
memahami apa yang seharusnya mereka lakukan dalam memberikan
pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat
mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus mereka dapatkan
dan lakukan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar pelayanan juga
dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu
unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat
suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka standar pelayanan menjadi faktor kunci
dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Upaya penyediaan
pelayanan yang berkualitas antara lain dapat dilakukan dengan memperhatikan
ukuran-ukuran apa saja yang menjadi kriteria kinerja pelayanan. Menurut LAN
(2003), kriteria-kriteria pelayanan tersebut antara lain:
a. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan
secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan
dilaksanakan oleh pelanggan.
30
b. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan
menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia
pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam
pencatatan data dan tepat waktu.
c. Tanggungjawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan
sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya
apabila terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan.
d. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan
menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.
e. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan
petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak
hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau
internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga
harus diperhatikan.
f. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak
antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan
jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak
penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika
layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak
langsung.
g. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi
yang mereka butuhkan secara mudah dan gambling, meliputi informasi
mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
31
h. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan
pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang
berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka
mengerti.
i. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan
penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan
tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan
kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.
j. Kejelasan dan Kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan
dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut.
Hal ini sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap
pelayanan yang diberikan.
k. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada
pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan
keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, financial dan
kepercayaan pada diri sendiri.
l. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan
berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa
yang diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai
dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan
pelanggan dan memberikan perhatian secara personal.
m. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa
fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang
32
digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas
penunjang lainnya.
n. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal
yang berkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan tetap
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
o. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara
wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan
untuk membayar.
Penyusunan sebuah standar pelayanan minimal atau SPM di daerah
mengikuti prinsip-prinsip antara lain:
1. Diterapkan pada kewenangan wajib daerah dan kewenangan yang lain
2. Ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerah
kabupaten/kota
3. Menjalin hak individu dan akses masyarakat mendapat pelayanan dasar
dari pemerintah daerah
4. Bersifat dinamis sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan
perkembangan kapasitas daerah
5. Berbeda dengan standar teknis yang merupakan faktor pendukung alat
mengukur pencapaian SPM.
Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan mengadakan survey kepada
pelanggan ataupun dengan identifikasi internal yang dilakukan melalui penggalian
informasi kepada pegawai yang terlibat langsung dalam kegiatan pelayanan.
33
F.Standar Pelayanan Publik di Daerah
Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena
itu pemerintah daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tabun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah menyelenggarakan urusan
pemerintahanan yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pada ayat (5) dinyatakan pula bahwa
pemerintah juga menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar enam urusan
pemerintahan tersebut. Pada pasal 11 dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan
pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi
dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
Eksternalitas adalah dampak yang timbul sebagai akibat dari
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan
pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas ditentukan berdasarkan luas,
besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Berdasarkan kriteria eksternalitas maka semakin langsung dampak
penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan kepada masyarakat, maka urusan
tersebut paling tepat untuk diselenggarakan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban pemerintah, pemerintahan
daerah propinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
34
urusan pemerintahan tertentu kepada masyarakat. Penyelenggaraan urusan
pemerintahan berdasarkan kriteria akuntabilitas ditentukan berdasarkan kedekatan
suatu tingkatan pemerintahan dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak yang
ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan
kriteria akuntabillitas maka semakin dekat pemberi layanan dan penggunanya, dan
semakin banyak jumlah pengguna layanan maka layanan tersebut lebih tepat
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Efisiensi adalah tingkat daya guna tertinggi yang dapat diperoleh dari
penyelenggaran suatu urusan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan
pemerintahan berdasarkan kriteria efisiensi ditentukan berdasarkan perbandingan
tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan. Berdasarkan kriteria efisiensi maka penyelenggaraan
urusan lebih tepat pada tingkat pemerintahan dimana terdapat perbandingan
terbaik antara cost penyelenggaraan urusan dibandingkan dengan manfaat yang
diperoleh dengan penyelenggaraan urusan. Penggunaan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat
pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,
yang diselenggarakan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi
terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib didefinisikan sebagai
urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal
ini berarti pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar
yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan
35
pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi
merupakan urusan dalam skala propinsi, sedangkan urusan wajib yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang
berskala kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat
wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten
dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar
Pelayanan Minimal (SPM).
Urusan yang bersifat pilihan adalah urusan-urusan yang dapat dipilih
untuk diselenggarakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan kriteria pembagian
urusan pemerintahan sebagaimana disebutkan di atas. Urusan yang bersifat pilihan
tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan
pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang
tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kehutanan dan
perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan,
pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya.
Adanya pembagian urusan pemerintahan memberi petunjuk bahwa
terdapat urusan-urusan pemerintahan tertentu yang penyelenggaraannya dibagi-
bagi antara pemerintah, pemerintahan daerah propinsi, dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut
melibatkan pemerintah, pemerintahan daerah propinsi dan pemerintahan daerah
36
kabupaten/kota secara bersama-sama. Pembagian dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara
pemerintah dan pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota atau antar
pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai satu
sistem pemerintahan.
Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan
bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan
dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan
secara bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah
diterapkan, maka SPM akin dijabarkan oleh masing-masing kementrian/lembaga
terkait untuk menyusun SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal
didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan
wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Dalam
pelaksanaannya, SPM menganut beberapa prinsip yakni:
1. SPM merupakan standar yang dikenakan pada urusan wajib, sedangkan untuk
urusan lainnya pemerintah daerah boleh menetapkan standar sendiri sesuai
dengan kondisi daerah masing-masing.
2. SPM berlaku secara nasional, yang berarti harus diberlakukan di seluruh
daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.
3. SPM harus dapat menjamin akses masyarakat terhadap pelayanan tertentu
yang harus disediakan oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan
urusan wajibnya.
37
4. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki sesuai dengan
perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah secara
merata.
5. SPM ditetapkan pada tingkat minimal yang diharapkan secara nasional untuk
pelayanan jenis tertentu. Yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata
kondisi daerah-daerah, merupakan konsensus nasional, dan lain-lain.
6. SPM harus diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah,
pengawasan, pelaporan, dan merupakan salah satu alat untuk menilai Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta menilai kapasitas daerah.
Sesuai dengan PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara
Pertanggungjawaban Kepala Daerah, yang mengarut mengenai evaluasi kinerja
pemerintah daerah, secara spesifik menetapkan kriteria SPM harus
memperhatikan unsur input (tingkat atau besaran sumber daya yang digunakan),
output (keluaran), outcome (hasil atau wujud pencapaian kinerja), benefit (tingkat
manfaat yang dirasakan sebagai nilai tambah), dan impact (dampak atau pengaruh
pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan manfaat yang dihasilkan).
Kriteria penentuan biaya dengan metode SPM sangat mendukung konsep
anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output, outcome,
benefit dan impact.
SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat
tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah
daerah. SPM sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai
38
konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu SPM dapat
dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan
untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat SPM akan
menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan
kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Penerapan SPM akan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang
disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
2. SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang
sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran
yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.
3. SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang
lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK).
4. SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan
membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih
berimbang.
5. SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara
lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam
menilai kinerja pemerintah daerah.
6. SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah
daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan
antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan
pemerintah daerah.
39
7. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan
pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan
masyarakat.
Dalam penyelenggaraannya, SPM dibuat berdasarkan sejumlah peraturan
perundang-undangan, yakni:
1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah;
3. PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom;
4. PP No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan;
5. PP No. 108 Tahun 2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Keuangan
Daerah;
6. PP No. 20 Tahun 2001 mengenai Pembinaan dan Pengawasan atas
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
7. PP No. 56 Tahun 2001 mengenai Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah; dan
8. PP No. 65 Tahun 2005 mengenai Pedoman Penyusunan dan Penerapan
Standar pelayanan Minimal.
Sesuai dengan PP No. 65 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1), penyusunan SPM
oleh masing-masing Menteri/Pimpinan LPND dilakukan melalui konsultasi yang
dikoordinasi oleh Menteri Dalam Negeri. Konsultasi tersebut dilakukan dengan
tim konsultasi yang terdiri dari unsur-unsur Departemen Dalam Negeri,
40
Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas,
Departemen Keuangan, Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara,
dengan melibatkan Menteri/Pimpinan LPND terkait, yang dibentuk dengan
Kepmendagri. Hasil konsultasi tersebut dikeluarkan oleh masing-masing
Departemen/LPND sebagai Peraturan Menteri yang bersangkutan.
Sebelum PP No. 65 Tahun 2005 dikeluarkan, untuk mengatasi kelangkaan
peraturan perundangan mengenai SPM, sedangkan SPM harus sudah
dilaksanakan, dikeluarkan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.
100/756/OTDA Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar
Pelayanan Minimal. Berdasarkan SE Mendagri tersebut, beberapa departemen
telah mengeluarkan Pedoman Standar Pelayanan Minimal. Pedoman tersebut
digunakan untuk menjabarkan SPM ke dalam aturan yang lebih spesifik, seperti
penjabaran definisi operasional, cara perhitungan pencapaian kinerja, rumus
indikator, sumber data, target, maupun langkah-langkah kegiatan yang harus
dilakukan.
Kondisi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah di
Indonesia saat ini sangat beragam dari satu daerah ke daerah lainnya, baik dari
segi kuantitas maupun kualitasnya. Misalnya, dalam hal penyediaan Puskesmas di
setiap Kecamatan sebagai Standar Pelayanan Minimal di bidang kesehatan masih
belum dapat dipenuhi oleh banyak pemerintah daerah. Demikian pula dengan
dengan pelayanan di bidang lainnya, seperti pelayanan KTP, akses jalan dari
kecamatan ke ibukota Kabupaten, dan sebagainya masih berada dalam kondisi di
bawah standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
41
(departemen terkait). Selain itu, tingkat kesiapan masing-masing departemen
dalam memberikan acuan mengenai standar pelayanan minimal untuk diterapkan
di daerah juga cukup beragam. Dari sebanyak 11 (sebelas) sektor yang dalam UU
ditetapkan untuk didesentralisasikan kewenangannya ke pemerintah daerah, baru
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional yang telah siap
melaksanakannya dengan menyediakan acuan SPM yang ditetapkan, yakni
dengan SK Menteri Kesehatan No. 1457/2003 dan SK Menteri Pendidikan
Nasional No. 1299/V/2004. Hingga saat ini terdapat 10 (sepuluh) departemen
terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di
Indonesia. Namun penerapan di daerah masih belum seragam/sama, karena
pemerintah daerah menginterprestasikannya secara berbeda sesuai dengan kondisi
masing-masing. Hal ini karena terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaan
SPM. Kegagalan dalam mengatasi kendala-kendala tersebut mengakibatkan
ketidakakuratan pengukuran, sehingga SPM tidak akan mencerminkan kondisi
yang sesungguhnya. Kendala-kendala tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Data yang tidak akurat dan dapat dipercaya, sedangkan data BPS yang ada,
bila dapat dipercaya, terlambat beberapa tahun.
2. Data keuangan tidak disajikan dalam bentuk yang dapat dianalisa dengan baik.
3. Data statistik yang ada seringkali tidak sesuai dengan jenis data yang
dibutuhkan. Misalnya, data BPS yang tersedia adalah jumlah penduduk usia 0-
14 tahun, sedangkan jenis data yang dibutuhkan adalah jumlah penduduk usia
7-16 tahun.
42
4. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk mengumpulkan dan
mengelola data secara sistematis.
5. Kurangnya kemampuan staf pemerintah daerah untuk melakukan analisa dan
perencanaan strategis.
6. Indikator-indikator SPM yang ada tidak mencerminkan problem sebenarnya
yang terjadi di daerah/desa; dan
7. Dalam mengevaluasi pelaksanaan SPM, satuan kerja perangkat daerah tidak
menjelaskan kondisi yang ada secara objektif. Misalnya, bila dinas melakukan
evaluasi, hasil evaluasi bisa untuk kepentingan dinas. Sedangkan Bawasda
maupun Bappeda tidak dapat melakukan evaluasi karena kemampuan teknikal
yang rendah.
Kendala-kendala tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan
penyelenggaraan SPM. Beberapa alternatif cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kendala-kendala tersebut antara lain adalah:
1. Dinas kesehatan memperbaiki sistem pendataan dan pelaporan sektor
kesehatan.
2. BPS memperbaiki sistem pendataannya dengan membentuk sistem informasi
populasi.
3. Melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat atas
pelayanan publik yang berdasarkan SPM. Survey tersebut dilakukan setiap
tahun sekali.
4. Evaluasi atas penyelenggaraan SPM hendaknya dilakukan oleh sebuah tim
yang terdiri dari Bappeda, Bagian Penyusunan Program, dan Bawasda, serta
43
auditor independen untuk kasus-kasus tertentu. Pemerintah Propinsi juga
harus melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan SPM di Kabupaten/Kota
di wilayahnya.
G. Dinamika dan Problematika Pelayanan Publik Pada Era Otonomi
Daerah
Sudah sejak lama banyak kesan buruk yang disandang aparat pemerintah
(sektor publik) dalam hal pelayanan. Hal ini antara lain dapat diindikasikan dari
besarnya dana yang digunakan untuk membiayai aparatur pemerintah, namun hal
itu ternyata tidak diimbangi dengan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang
maksimal. Bahkan sebaliknya, kualitas pelayanan yang diberikan instansi
pemerintah dapat dinilai sangat buruk. Padahal masyarakat telah bersedia
mengorbankan (sacrifice) sebagian sumber dayanya untuk negara dengan
membayar berbagai macam pungutan, baik pajak, retribusi dan sebagainya. Sudah
sewajarnya jika masyarakat mengharapkan kepuasan (satisfaction) yang maksimal
atas pelayanan yang diberikan oleh negara. Namun apa yang diperoleh masyarakat
adalah buruknya kualitas pelayanan instansi pemerintah. Salah satu keluhan
masyarakat yang sering terungkapkan adalah lambatnya waktu pelayanan dan
tidak jelasnya prosedur dan biaya pelayanan. Ungkapan-ungkapan yang
berkembang selama ini, seperti “kalau bisa dilakukan besok kenapa harus
sekarang? “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah?” menunjukkan
bahwa budaya pelayanan pada instansi pemerintahan masih belum berorientasi
pada kepuasan masyarakat selaku pelanggannya. Hal yang demikian bukan saja
44
mengakibatkan pemborosan sumberdaya tetapi juga kualitas jasa yang dihasilkan
menjadi sangat buruk.
Sektor publik (pemerintahan) pada dasarnya adalah perusahaan yang
menghasilkan produk berupa jasa pelayanan publik, baik pelayanan yang bersifat
langsung dinikmati oleh masyarakat maupun pelayanan yang dinikmati
masyarakat secara tidak langsung. Namun demikian, pemerintah tidak bermaksud
mengambil keuntungan dari operasionalnya. Salah satu prinsip dalam pelaksanaan
tugas instansi pemerintah adalah transparansi dan pertanggungjawaban kepada
publik atas apa yang telah dilakukan. Hal ini sesuai dengan prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance), yang terdiri dari tiga prinsip utama,
yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Namun demikian tampaknya
pemerintah belum sepenuhnya mampu menerapkan ketiga pilar utama tersebut
dalam pelayanan. Dengan kondisi demikian, seandainya negara sebagai penyedia
layanan harus bersaing dengan swasta dengan produk pelayanan yang sama, dapat
diperkirakan bahwa secara perlahan namun pasti negara akan bangkrut karena
biaya produksi sangat tinggi, sedang pendapatan akan berkurang drastis akibat
ditinggalkan oleh para pelanggan yang tidak puas dengan pelayanan yang
diberikan.
Bergulirnya era reformasi sebagai dampak krisis multidimensi yang
melanda negara kita telah melahirkan tuntutan perubahan yang juga bersifat
multidimensional. Krisis multidimensi tersebut berpengaruh terhadap kemampuan
negara dalam aspek keuangan. Pada sisi lain kompleksitas pelayanan publik yang
dibutuhkan masyarakat baik secara kuantitatif maupun kualitatif meningkat secara
45
tajam tanpa diimbangi dengan peningkatan keuangan daerah untuk
membiayainya. Akibatnya pelayanan publik menjadi terbengkalai seperti
rusaknya sarana dan prasarana transportasi, saluran irigasi, pendidikan serta
kesehatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Menurunnya kinerja ekonomi secara keseluruhan akan sangat berpengaruh
terhadap penerimaan daerah baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) maupun yang berasal dari Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum
(DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi tersebut memunculkan
kebutuhan yang sangat mendesak bagi sektor publik di daerah (Pemda) untuk
melibatkan sektor swasta dan masyarakat dalam pemenuhan pelayanan publik
yang meningkat dalam kondisi keuangan daerah yang terpuruk. Hal ini seiring
dengan argumen Osborne dan Gabler yang menganjurkan pemerintahuntuk lebih
berperan dalam mengendalikan (steering) dibandingkan menangani langsung
(rowing). Dalam hal ini, pemerintah harus mampu menjadi katalisator bagi
keterlibatan pihak swasta dan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
menyediakan pelayanan publik. Implementasi pelibatan swasta dan masyarakat
dalam pelayanan publik kemudian mendapatkan legitimasi dengan penerapan
otonomi daerah.
Salah satu perubahan signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan
pasca krisis multidimensi adalah penerapan otonomi daerah dengan lahirnya UU
No. 22 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 yang diamandemen dengan UU
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
46
Daerah. Penerapan demokratisasi pemerintahan melalui otonomi daerah
membawa perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,
yakni berkurangnya secara signifikan patronasi dan kooptasi pusat terhadap
daerah. Dengan diterapkannya otonomi daerah, daerah memiliki diskresi yang
sangat tinggi, bahkan oleh berbagai pihak sering dikatakan “kebablasan” dalam
berbagai aspek pemerintahan daerah, yaitu diskresi dalam aspek kewenangan atau
urusan pemerintahan, diskresi dalam aspek kelembagaan dan personil, serta
diskresi dalam aspek pengelolaan keuangan daerah.
Pada era reformasi yang bersendikan demokratisasi, pemerintah daerah
dituntut untuk mampu menggalang partisipasi, mengedepankan transparansi dan
akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Esensi dari “good
governance” sebagai proses pelibatan sektor publik, swasta dan masyarakat
menemukan bentuknya dalam menangani persoalan-persoalan publik yang tidak
mungkin lagi ditangani oleh Pemda. Melalui mekanisme good governance
kemudian terjadi proses “co-guiding, co-steering dan co-managing” dari ketiga
stakeholders utama yaitu Pemda, sektor swasta dan masyarakat. Ketiga aktor akan
terlibat baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan Pengawasan dalam manajemen
pemerintahan daerah. Dengan cara tersebut akan terbentuk “sense of
belongingness” dari masyarakat atas kebijakan-kebijakan publik di
lingkungannya.
Pada dasarnya kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada
masyarakat daerah ditujukan, agar masyarakat mampu mengorganisir dirinya
sedemikian rupa dalam menyelenggarakan rumah tangga daerahnya untuk
47
meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran warga daerah tersebut. Untuk
tujuan itu maka Pemda harus mampu menyediakan pelayanan-pelayanan publik
(public service) yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Oleh karenanya diperlukan adanya analisis kebutuhkan masyarakat untuk
mengidentifikasi pelayanan-pelayanan apa yang benar-benar dibutuhkan
masyarakat dearah yang bersangkutan.
Secara akademik, terdapat dua jenis kebutuhan masyarakat. Pertama,
masyarakat membutuhkan penyediaan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan
pokok (basic services) seperti air, kesehatan, pendidikan, transportasi, kebersihan
lingkungan, pasar, terminal, dan sebagainya. Kedua, masyarakat membutuhkan
pelayanan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan (core competency)
yang ada di daerah tersebut. Dengan demikian maka isi otonomi daerah harus
terkait dengan kebutuhan masyarakat yaitu, kewenangan yang memungkinkan
daerah menyediakan pelayanan kebutuhan pokok dan pelayanan yang
memungkinkan daerah mengembangkan sektor unggulan. Dan betapapun luasnya
otonomi, maka otonomi daerah harus diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang
sesuai kebutuhan masyarakat.
Dilihat dari jenis output yang dihasilkan Pemda, maka hasil akhir
pelayanan Pemda adalah tersedianya barang dan jasa (public good and public
regulation). Public good tercermin dari diadakannya barang-barang untuk
memenuhi kebutuhan publik seperti jalan, jembatan, rumah sakit, sekolah, irigasi,
pasar, terminal dsb. Sedangkan public regulation akan terwujud dalam bentuk
mewajibkan penduduk untuk memiliki kartu tanda penduduk (KTP), Akta
48
Kelahiran, Akta Perkawinan, IMB, HO (bila akan membuka usaha) dan bentuk-
bentuk pengaturan lainnya yang pada dasarnya ditujukan untuk menciptakan
ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk itu setiap pemda seharusnya
memiliki agenda pelayanan yang jelas, jenis-jenis pelayanan publik apa yang akan
diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarkat, bagaimana memberikannya, siapa
yang perlu dilibatkan, dan sebagainya. Dalam penyusunan agenda pelayanan
tersebut, keterlibatan masyarakat dan swasta menjadi suatu kebutuhan yang tak
terhindarkan, kalau kita mau menghasilkan Pemda yang berorientasi pada
penciptaan kesejahteraan serta kemakmuran rakyatnya. Hal ini sejalan dengan
peringatan terkenal yang diberikan oleh Lord Acton bahwa “power tends of
corrupt and absolute power will corrupt absolutely”.
Setelah berjalan selama lebih kurang lima tahun, terdapat begitu banyak
fenomena menarik dibidang pelayanan yang dilakukan Pemda dalam pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, kisah menyedihkan,
dimana banyak daerah yang belum mampu meningkatkan pelayanan publiknya
pada era desentralisasi. Bahkan, banyak daerah yang pimpinannya sampai saat ini
masih berurusan dengan pengadilan karena kasus-kasus korupsi dalam
penyalahgunaan dana-dana public yang seharusnya digunakan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, pada saat yang sama di
daerah-daerah lain terdapat pula kisah yang menggembirakan, dimana terdapat
kisah mengenai kerja keras para pemimpin daerah dalam mengoptimalkan dana
APBD yang terbatas untuk memberikan pelayanan publik secara optimal bagi
masyarakatnya. Kedua kondisi yang bertentangan tersebut menunjukkan bahwa
49
terdapat berbagai variabel yang mempengaruhi pelaksanaan desentralisasi
tersebut, namun salah satu yang kelihatannya paling penting adalah political will
dari pemimpin daerah untuk menggunakan kewenangannya bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya.
Substansi dari pelaksanaan desentralisasi adalah pemberian kewenangan
kepada daerah untuk secara aktif mengupayakan peningkatan kesejahteraan bagi
masyarakatnya berdasarkan aspirasi dan potensi lokal. Dengan demikian
keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerah dapat dilihat dari
indikator sejauhmana keberhasilan pemerintah daerah (bersama DPRD dan
masyarakatnya) dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai
bentuk pelayanan yang diberikan bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs)
masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengurangan angka
kemiskinan, dan sebagainya secara berkesinambungan. Dalam kerangka inilah
diperlukan political will dari Kepala Daerah untuk mengoptimalkan alokasi
belanja publik pada kegiatan-kegiatan yang secara langsung terkait dengan upaya
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakatnya secara berkesinambungan yang
disertai dengan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah (khususnya
kelembagaan pemerintahan daerah) dalam memberikan pelayanan public yang
berkualitas.
50
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Alasan digunakannya metode ini adalah karena metode ini orientasinya pada
meneliti status kelompok manusia, suatu objek set kondisi, suatu sistem
pemiikiran atau suatu peristiwa yang terjadi sekarang ini. Di samping itu metode
deskriptif ini mencoba untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
51
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antara fenomena atau gejala.
A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Balangan Provinsi
Kalimantan Selatan. Kabupaten Balangan memiliki delapan kecamatan, yaitu
kec Lampihong, Batu Mandi, Awayan, Tebing Tinggi, Paringin, Paringin
Selatan, Juai dan Halong. Dari delapan kecamatan tersebut kemudian diambil
sampel wilayah sebanyak empat kecamatan yaitu kecamatan Paringin,
Lampihong, Juai dan Halong. Ke empat kecamatan yang dipilih telah
mewakili daerah dataran tinggi, daerah tengah dan daerah dataran rendah.
B. Sumber dan Jenis Data
1. Sumber Data
a. Key informan, yaitu informan awal atau informan kunci yang dipilih
seara purposif (purposive sampling). Pemilihan informan ini
didasarkan atas subjek yang menguasai permasalahan, memiliki data
dan bersedia memberikan data yang benar-benar relevan dan kompeten
dengan masalah penelitian. Dari informan kunci kemudian peneliti
meneruskan pengumpulan data keinforman berikutnya dan seterusnya
sampai peneliti merasa bahwa informan sudah cukup yakni jika sudah
menunjukkkan kejenuhan informasi. Sebagaimana dikatakan Muhadjir
(1990) bahwa bila dengan menambah informanhanya memperoleh
informasi yang sama, berarti jumlah informan sudah cukup (sebagai
52
informan terakhir) karena informasinya sudah jenuh. Cara seperti ini
disebut dengan teknik Snowball Sampling yaitu informasi dipilih
secara bergulir sampai menunjukkan tingkat kejenuhan informasi atau
disebut juga dengan theoritical sampling.
b. Tempat dan peristiwa, sebagai sumber data tambahan yang dilakukan
melalui observasi langsung terhadap tempat dan peristiwa yang
berkaitan dengan pelaksanaan pengawasan sekolah dasar di Kabupaten
Balangan.
c. Dokumen yang relevan, yaitu berbagai dokumen yang berkaitan
dengan data-data yang berkaitan dengan guru, pengawas dan sekolah
dasar di kabupaten Balangan.
2. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini meliputi kata-kata atau cerita langsung
dari para informan penelitian. Keterangan berupa kata-kata atau cerita
laangsung dari informan dijadikan sebagai data primer (utama), sedangkan
tulisan atau data dari berbagai dokumen dijadikan data sekunder (pelengkap).
C. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti sendiri yang menjadi instrumen
utama yang turun ke lapangan serta berusaha sendiri mengumpulkan informasi
baik melalui observasi maupun wawancara.
53
Untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti menggunakan alat
bantu berupa catatan lapangan, kamera foto dan pedoman wawancara. Dalam
penelitian ini, proses pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti meliputi
tiga kegiatan :
1. Proses memasuki lokasi penelitian (gettting in)
Dalam tahap ini, peneliti memasuki lokasi penelitian dengan membawa
izin formal dari instansi terkait, sebagai bukti bahwa peneliti benar-benar
akan mengadakan penelitian. Kemudian peneliti terlebih dahulu menemui
staf Dinas Pendidikan. Setelah itu baru menemui responden ke masing-
masing sekolah yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini peneliti
berusaha menjalin hubungan baik khususnya dengan para para guru untuk
mendapatkan data yang benar-benar valid.
2. Ketika berada di lokasi penelitian (getting along)
Pada tahap ini, peneliti menjalin hubungan dengan responden penelitian.
Melalui teknik snowball peneliti mencari informasi yang berkaitan dengan
pelaksanaan pengawasan akademik di sekolah dasar.
3. Mengumpulkan Data
Dalam tahap ini, ada tiga macam teknik pengumpulan data yang
peneliti gunakan, yaitu
a. Wawancara, untuk mendapatkan informasi yang berkaitan efektifitas
pengawasan sekolah dasar. Wawancara ini dilakukan dengan pihak
Dinas Pendidikan setempat dan para guru SD yang menjadi objek
penelitian.
54
b. Dokumentasi, dengan menghimpun data yang diambil dari berbagai
dokumen yang berkaitan dengan kepengawasan pendidikan.
D. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara
kualitatif. Dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Berdasarkan data yang telah terkumpul, peneliti menetapkan
masalah, periostiwa atau kejadian yang berulang-ulang terjadi
untuk dijadikan unit analisis.
2. Mengumpulkan data dan memilah-milah sejumlah unit menjadi
suatu kategori tertentu berdasarkan karakteristik yang hampir sama
3. Menguraikan kategori-kategori itu untuk memahami aspek yang
terdapat di dalamnya sambul mencari cari hal baru. Dalam
menguraikan setiap kategori tersebut, peneliti menjelaskan
hubungan satu sama lainnya, sehingga tidak kehilangan
konteksnya.
4. Memberikan tafsiran yang menggambarkan perspektif peneliti
untuk memberikan makna terhadap analisis unit kategori, dan
hubungannya antara unit dan kategori.
E. Keabsahan data
Setiap penelitianmemerlukan adanya standar untuk melihat
derajat keperayaan atau kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Di
55
dalam penelitian kualitatif standar tersebut sering disebut dengan
keabsahan data. Moleong (1999:173) mengemukakan bahwa ada empat
kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability).
Untuk memeriksa keabsahan data dilakukan kegiatan sebagai berikut
:
1. Kredibilitas
Untuk memeriksa kredibilitas dilakukan kegiatan sebagai berikut
:
a. Memperpanjang masa observasi
Dengan cara ini, peneliti mempunyai waktu beberapa Minggu
untuk betul-betul mengenal situasi lingkungan, untuk
mengadakan hubungan baik dengan para informan. Dengan
keadaan yang demikian, peneliti bisa mengeek data yang
diperoleh dari informan sehingga data yang diperoleh sudah
dirasa benar
b. Melakukan Peer debriefing
Hasil kajian didiskusikan dengan orang lain yang mempunyai
pengetahuan tentang pokok penelitian dan metode penelitian yang
diterapkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh masukan, saran
dan kritik berkaiatan dengan hasil penelitian.
c. Melakukan Triangulasi
56
Hal ini dilakukan dengan maksud mengeek kebenaran data
tertentu dan membandingkan dengan data yang diperoleh dari
sumber lain, pada berbagai fae penelitian di lapangan, pada waktu
yang berekainan, dan sering dengan menggunakan metode yang
berlainan
2. Keteralihan
Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada
kesamaan antara konteks pengirim dn penerima. Untuk melakukan
keteralihan tersebut, peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan
data kejadian empiris dalam konteks yang sama. Keteralihan hasil
penelitian ini berkenaan dengfan pertanyaan, hingga manakah hasil
penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi-
situasi lain.
3. Ketergantungan dan Kepastian
Untuk mengecek apakah hasil penelitian ini benar atau salah,
peneliti akan mendiskusikannya dengan semua tim setahap demi
setahap, mengenai konsep-konsep yang dihasilkan di lapangan.
Setelah hasil penelitian dianggap benar, kemudian dibuat dalam satu
laporan untuk diseminarkan. Dengan seminar diharapkan diperoleh
banyak masukan untuk menambah kualitas dari hasil kajian
57
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Balangan yang beribukota Paringin adalah salah satu dari
13 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Selatan. Bila dibandingkan
dengan beberapa kabupaten lain di Kalimantan Selatan, kabupaten ini
tergolong masih muda usianya. Pada tanggal 27 Januari 2003 dilangsungkan
sidang paripurna DPR-RI yang membahas pembentukan dan pemekaran
kabupaten sehingga terbitlah UU No 2 Tahun 2003 tentang pembentukan
58
Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tanah Bumbu yang disahkan oleh
Presiden RI pada tanggal 25 Pebruari 2003.
Luas Wilayah Kabupaten Balangan 1.873,3 Km2 secara geografis
terletak pada 2° 01' 37" sampai dengan 2° 35' 58" Lintang Selatan dan 114°
50' 24" sampai dengan 115° 50' 24" Bujur Timur. Luas wilayah kabupaten ini
1.878,3 km atau hanya 5% dari luas total Provinsi Kalimantan Selatan. Dari
luas wilayah itu terbagi menjadi delapan kecamatan yaitu Kecamatan
Lampihong, Batu Mandi, Awayan, Paringin, Juai, Halong, Tebing Tinggi dan
Paringin Selatan. Daerah yang paling luas adalah Kecamatan Halong
mencapai 35,13 % atau 659,84 km2,
selanjutnya Kecamatan Awayan 142,57
km2, Kecamatan Juai 386,88 km
2, Kecamatan Paringin 100,04 km2,
Kecamatan Batumandi 147,96 km2, Kecamatan Lampihong luasnya hanya
96,96 km2 , Kecamatan Paringin Selatan 86,80 km
2 dan Kecamatan Tebing
Tinggi 257,25 km2.
Kabupaten Balangan memiliki kondisi topografi yang cukup
variatif. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Balangan berada di
ketinggian antara 25-100 m dpl (41,43%). Ketinggian yang paling kecil
adalah ketinggian 0-7 meter, yaitu hanya 1,21%. Ketinggian 0-7 meter dpl
hanya terdapat di Kecamatan Lampihong dan Kecamatan Batumadi
sedangkan ketinggian di atas 500 meter dpl hanya terdapat di Kecamatan
Awayan dan Halong. Kawasan bencana tanah longsor berada di bagian
selatan timur Kabupaten Balangan yang berbatasan dengan Kalimantan
Timur yaitu Kecamatan Halong, Tebing Tinggi dan Awayan. Potensi dapat
59
terjadi pada sekitar daerah kemiringan lereng 25-40% dan lebih dari 40%
dengan ketinggian 500 mdpl.
Wilayah kabupaten Balangan sebagian besar berada pada kemiringan
0-2 meter. Jika dilihat dari jenis tanahnya, wilayah kabupaten Balangan
didominasi jenis tanah podsolik merah kuning dengan bahan induk batuan
endapan. Berdasarkan jenis tanah tersebut, wilayah kabupaten Balangan lebih
cocok untuk budidaya tanaman pangan lahan kering, perkebunan dan
kehutanan. Sumber daya air di Kabupaten Balangan berupa sungai dan
embung (kolam-kolam retensi). Sungai-sungai utama yang mengalir di
daerah Kabupaten Balangan adalah sungai Pitap, sungai Balangan,
sungai Mantuyan, sungai Tabuan, sungai Galumbang, sungai Halong, sungai
Uren, sungai Ninian, sungai Jauk, sungai Batumandi, sungai Lokbatu dan
sungai Jual. Keadaan iklim di Kalimantan Selatan, menurut sistem Koppen
dapat digolongkan kedalam iklim hutan tropika humid dengan rata-rata curah
hujan tahunan berkisar antara 2000 mm hingga 3000 mm, curah hujan
terendah jatuh sekitar bulan Juni, Juli, Agustus dan September,
sedangkan curah hujan tertinggi jatuh sekitar bulan Desember, Januari,
Februari dan Maret.
Penggunaan lahan di Kabupaten Balangan belum mengalami
perubahan yang begitu signifikan. Dengan dominasi hutan, perkebunan
dan persawahan pada penggunaan lahan, kabupaten Balangan dapat
dikatakan memiliki lahan terbuka (tidak terbangun) yang telatif besar,
dibandingkan dengan lahan yang terbangun. Kabupaten Balangan
60
memiliki beberapa sektor unggulan daerah yaitu di sektor pertanian,
sektor pertambangan dan sektor pariwisata (Profil Kabupaten Balangan,
2010).
Secara administratif, Kabupaten Balangan berbatasan dengan
Kabupaten Tabalong di sebelah Utara, berbatasan dengan kabupaten Pasir
propinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kotabaru di sebelah Timur,
berbatasan dengan kabupaten Hulu Sungai Tengah di sebelah Selatan dan
berbatasan dengan kabupaten Hulu Sungai Utara di sebelah Barat.
B. Standar Pelayanan Minimal Pendidikan di Kabupaten Balangan
Dalam mengkaji Standar Minimal Pelayanan Pendidikan di
Kabupaten Balangan ini, mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 15 Tahun 2010. Hasil penelitian tentang standar pelayanan
minimal di Kabupaten Balangan dapat dideskripsikan sebagai berikut :
1. Jarak antara Pemukiman Permanen dengan Sekolah
Tuntutan SPM bidang pendidikan bahwa pemerintah kaabupaten/kota
menyediakan satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan berjalan
kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk SMP/MTs. Hasil
penelitian tentang hal tersebut dapat terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.1
Jarak antara Pemukiman Permanen dengan Sekolah
Tuntutan
SPMP
SD/MI
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Mak 3 km < 1 km 76 < 3 km 60
61
1 – 3 km 8 Mak 6 km 3 – 6 20
3 km 16 6 km 20
Jumlah 100 Jumlah 100
2. Jumlah peserta Didik dalam Setiap Rombel
Sesuai dengan ketentuan bahwa Jumlah peserta didik dalam setiap
rombel yaitu maksimal 32 orang untuk SD/MI dan 36 orang untuk SMP/MTs.
Hasil penelitian mengenai jumlah peserta didik dalam setiap rombel ini dapat
terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.2
Jumlah Peserta Didik dalam Setiap Rombel
Tuntutan
SPMP SD/MI
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Mak simal 32
orang
Mak 40 org 89
Maksimal 36
orang
< 36 orang 60
33 – 40 org 11 37 – 40 org 20
40 org 0 40 org 0
Jumlah 100 Jumlah 100
3. Ketersediaan Ruang Kepala Sekolah dan Guru
Baik untuk SD/MI maupun untuk SMP/MTs dituntut memilki ruang
guru yang dilengkapi dengan meja kursi dan memiliki ruang kepala sekolah
yang terpisah dengan ruang guru. Hasil penelitian mengenai hal tersebut
dapat terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.3
Gambaran Ketersediaan Ruang Kepsek dan Guru
Tuntutan
SPMP
SD/MI
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Tersedia Belum ada 14 Tersedia
ruang
guru
dilengkapi
meja kursi
dan
terpisah
dg ruang
Belum ada 10
62
ruang guru
dilengkapi
meja kursi
dan terpisah
dg ruang
kepsek
Ada tp
menyatu dg
ruang kepsek
62
Ada tp
menyatu dg
ruang kepsek
20
Ada dan
terpisah dg
ruang kepsek
24 Ada dan
terpisah dg
ruang kepsek
70
Jumlah 100 Jumlah 100
4. Ketersediaan Guru dalam Satuan Pendidikan
Di setiap SD/MI harus tersedianya satu orang guru untuk setiap 32
peserta didik, dan enam orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk
daerah khusus empat orang guru untuk setiap satuan pendidikan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa masih 8% menyatakan memiliki guru di
sekolahnya kurang dari 6 orang, seperti terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.4
Gambaran Ketersediaan Guru untuk Satuan Pendidikan di SD/MI
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Tersedia 6 orang guru
untuk setiap satuan
pendidikan
< 6 org 8
6 orang 3
> 6 org 89
Jumlah 100
5. Ketersediaan guru untuk Setiap Mata Pelajaran di SMP/MTs
Di setiap SMP/MTs ditutuntut tersedianya satu orang guru untuk setiap
mata pelajaran dan untuk daerah khusus tersedianya satu orang guru untuk
setiap rumpun pelajaran. Hasil penelitian tentang ketersediaan guru tersebut
dapat digambarkan pada tabel berikut :
63
Tabel 4.5
Gambaran Ketersediaan Guru untuk Setiap Mata Pelajaran
di SMP/MTs
Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %
Tersedianya 1 orang guru
untuk setiap mata pelajaran
Tersedia 30
Belum tersedia
70
Jumlah 100
6. Ketersediaan Guru di SD/MI yang Memiliki Kualifikasi Akademik D-
IV/S1 dan Sertifikat Pendidik
Di setiap SD/MI tersedianya dua orang guru yang memenuhi kualifikasi
D-IV/S1 dan dua orang guru yang memiliki sertifikat pendidik. Mengenai hal
tersebut, hasil penelitian menunjukkan sebagaimana terlihat pada tabel berikut :
a. Kualifikasi Jumlah Guru SD/MI yang Berkualifikasi Akademik D-IV/S1
Tabel 4.6
Gambaran Ketersediaan Guru SD/MI yang Berkualifikasi S1/DIV
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Tersedia 2 org guru yg
berkualifikasi S1/D IV
1 orang 24
Orang 14
> 2 orang 62
Jumlah 100
b. Gambaran jumlah Guru SD yang bersertifikat Pendidik
Tabel 4.7
Gambaran Ketersediaan Guru yang Bersertifikat Pendidik
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Tersedia 2 org guru yg
memiliki sertifikat
Belum ada 14
1 orang 41
64
pendidik
2 0rang/lebih 45
Jumlah 100
7. Ketersediaan Guru di SMP/MTs yang Berkualifikasi Akademik D-IV/S1
dan Sertifikat Pendidik
Di setiap SMP/MTs dituntut tersedianya guru dengan kualifikasi
akademik D-IV/S1 sebanyak 70% dan separuh diantaranya telah memiliki
sertifikat pendidik
a. Gambaran kualifikasi Adademik Guru
Tabel 4.8
Gambaran Persentase Kualifikasi Akademik Guru SMP/MTs
di Setiap Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
70% dari jumlah guru di
sekolah harus S1/D IV
< 60 % 20
60 – 69 % 10
70% 70
Jumlah 100
b. Gambaran Persentase Guru SMP/MTs yang Bersertifikat Pendidik
Tabel 4.9
Gambaran Persentase Guru yang Bersertifikat Pendidikan di Sekolah
Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %
35% dari jumlah guru meiliki
sertifikat pendidik
< 35% 50
35 – 40 % 10
> 40% 40
Jumlah 100
8. Ketersediaan Jumlah Guru Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris di SMP/MTs yang Bersertifikat Pendidik
Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik D-
IV/S1 dan telah memiliki sertifikat pendidik masing-masing satun orang
65
guru untuk mata pelajaran matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris
a. Guru Matematika
Tabel 4.10
Gambaran Ketersediaan Guru Matematika yang Bersertifikat Pendidik
Tuntutan SPMP
SMP/MTs
Hasil Penelitian %
Setiap sekolah minimal
memiliki 1 orang guru
bersertifikat guru
matematika
Belum ada 40
1 40
2 dan lebih 20
Jumlah 100
b. Guru IPA
Tabel 4.11
Gambaran Ketersediaan Guru IPA yang Bersertifikat Pendidik
Tuntutan SPMP
SMP/MTs
Hasil Penelitian %
Setiap sekolah minimal
memiliki 1 orang guru
bersertifikat guru
matematika
Belum ada 30
1 30
2 dan lebih 40
Jumlah 100
c. Guru Bahasa Indonesia
Tabel 4.12
Gambaran Ketersediaan Guru Bahasa Indonesia yang Bersertifikat
Pendidik
Tuntutan SPMP
SMP/MTs
Hasil Penelitian %
Setiap sekolah minimal
memiliki 1 orang guru
bersertifikat guru
matematika
Belum ada 40
1 60
2 dan lebih 0
Jumlah 100
d. Guru Bahasa Inggris
Tabel 4.13
Gambaran Ketersediaan Guru Bahasa Inggris yang Bersertifikat
Pendidik
Tuntutan SPMP
SMP/MTs
Hasil Penelitian %
Setiap sekolah minimal Belum ada 80
66
memiliki 1 orang guru
bersertifikat guru
matematika
1 10
2 dan lebih 10
Jumlah 100
9. Kualifikasi Akademik Kepala Sekolah SD/MI dan Kepemilikan
Sertifikat Pendidik
Di setiap kabupaten/kota semua kepala SD/MI dituntut
berkualifikasi akademik S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik
a. Gambaran Kualifikasi Kepala Sekolah
Tabel 4.14
Gambaran Kualifikasi Akademik Kepala Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Semua Kepsek Harus
Berkualifikasi S1/D IV
Belum D IV/S1 38
D IV/ S1 62
Jumlah 100
b. Gambaran Sertifikasi Kepala Sekolah
Tabel 4.15
Gambaran Sertifikasi Kepala Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Semua Kepsek Harus
Bersertifikat Pendidik
Belum 65
Sudah 35
Jumlah 100
Jumlah 100
10 Kualifikasi Akademik Kepala Sekolah SD/MI dan Kepemilikan
Sertifikat Pendidik
Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs dituntut
berkualifikasi akademik S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik.
Gambaran tentang hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
67
Tabel 4.16
Gambaran Kualifikasi Akademik Kepala Sekolah
Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %
Semua Kepsek Harus
Berkualifikasi S1/D IV
D III 10
D IV/ S1 70
S2 20
Jumlah 100
Tabel 4.17
Gambaran Sertifikasi Kepala Sekolah
Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %
Semua Kepsek Harus
Bersertifikat Pendidik
Belum 10
Sudah 90
Jumlah 100
11. Frekuensi Kunjungan Pengawas ke Satuan Pendidikan
Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap
bulan dan kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan
supervisi/pembinaan. Hasil penelitian mengenai hal tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 4.18
Gambaran Kunjungan Pengawas Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Kunjungan pengawas ke
sekolah satu kali setiap bulan
1 x setiap bulan 65
1 x setiap 2 bulan 19
> 2 bulan 16
Jumlah 100
68
Tabel 4.19
Gambaran Lamanya Kunjungan Pengawas ke Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Lamanya Kunjungan
pengawas ke sekolah 3 jam
1 jam 35
2 jam 54
3 jam 11
Jumlah 100
12. Ketersediaan Buku Teks di SD/MI
Setiap SD/MI menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan
kelayakannya oleh pemerintah mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia,
Matematika, IPA dan IPS dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta
didik. Hasil penelitian berkaitan dengan ketersediaan buku teks ini dapat
terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.20
Gambaran Ketersediaan Buku Teks di Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Setiap SD /MI menyediakan
buku teks
(B.Ind,Matematika,IPA,IPS) 1 set
utk setiap peserta didik
Belum 30
Sudah 70
Jumlah 100
13. Ketersediaan Buku Teks di SMP/MTs
Setiap SMP/MTs dituntut menyediakan buku teks yang sudah
ditetapkan kelayakannya oleh pemerintah mencakup semua pelajaran dengan
perbandingan satu set untuk setiap peserta didik. Hasil penelitian berkaitan
69
dengan buku teks ini dapat terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.21
Gambaran Ketersediaan Buku Teks di Sekolah
Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %
Setiap sekolah menyediakan
buku teks semua pelajaran 1
set setiap peserta didik
Belum 60
Sudah 40
Jumlah 100
14. Ketersediaan Alat Peraga IPA
Alat peraga merupakan hal penting yang harus disediakan sekolah. Oleh
karena itu di setiap SD/MI dituntut untuk menyediakan satu set peraga IPA.
Berkaitan dengan alat peraga ini, hasil penelitian dapat terlihat pada tebel
berikut
Tabel 4.22
Gambaran Ketersediaan Alat Peraga IPA di Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Setiap sekolah menyediakan
satu set alat peraga IPA
Belum ada 11
Ada tapi tdk lengkap 73
Ada dan lengkap 16
Jumlah 100
15. Ketersediaan Buku Pengayaan dan Buku Referensi
Setiap SD/MI dituntut memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10
buku referensi, dan setiap SMP/MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan
20 referensi. Hasil penelitian ini menunjukkan ternyata masih banyak sekolah
yang belum memenuhinya bahkan ada yang tidak memilki, sebagaimana
70
terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.23
Gambaran Ketersediaan buku pengayaan di sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Setiap sekolah memiliki buku
pengayaan minimal 100 judul
bukuu pengayaan minimal
100 judul buku
Belum Belum adaada 888
< 100 judul 65
Sekitar 100
judul/lebih
27
Jumlah 100
Tabel 4.24
Gambaran Ketersediaan buku pengayaan di sekolah
Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %
Setiap sekolah memiliki 200
judul buku pengayaan
Belum ada 0
< 200 60
200/lebih 40
Jumlah 100
Tabel 4.25
Gambaran Ketersediaan buku referensi di sekolah
Tuntutan SPMP SMP/MTs Hasil Penelitian %
Setiap sekolah memiliki 20
judul buku referensi
Belum ada 0
< 20 40
20/lebih 60
Jumlah 100
16. Jumlah Jam Kerja Guru Tetap Per Minggu
Setiap guru dituntut bekerja 37, 5 jam per minggu disatuan
pendidikan. Hasil penelitian berkaitan dengan hal ini dapat terlihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.26
Gambaran Jumlah Jam Kerja Guru tetap Per Minggu
71
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Kerja guru tetap per minggu
37,5 jam
< 30 jam 84
37,5 jam 16
> 37,5 jam 0
Jumlah 100
17. Jumlah Jam Penyelenggaraan PBM Per Minggu
Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34
minggu dengan kegiatan tatap muka per minggu 18 jam untuk kelas I dan II,
24 jam untuk kelas III, dan 27 jam untuk kelas IV sampai dengan kelas IX.
Mengenai hal ini hasil penelitian dapat terlihat pada gambar berikut :
a. Kelas I – II : 18 jam perminggu
Tabel 4.27
Gambaran Penyelenggaraan PBM Kelas I dan II Per Minggu di Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Kegiatan PBM 18 jam
perminggu
< 18 jam 0
18 jam 22
> 18 jam 78
Jumlah 100
b. Kelas III : 24 jam perminggu
Tabel 4.28
Gambaran Penyelenggaraan PBM Kelah III Per Minggu di Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Kegiatan PBM 24 jam < 24 jam 0
72
perminggu 24 jam 22
> 24 jam 78
Jumlah 100
c. Kelas IV-VI : 27 jam perminggu
Tabel 4.29
Gambaran Penyelenggaraan PBM KelaS IV s.d VI Per Minggu di Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Kegiatan PBM 27 jam
perminggu
< 27 jam 8
27 jam 16
> 27 jam 76
Jumlah 100
d. Kelas VII-IX : 27 jam perminggu
Tabel 4.30
Gambaran Penyelenggaraan PBM KelaS IV s.d VI Per Minggu di Sekolah
Tuntutan SPMP SMT/MTs Hasil Penelitian %
Kegiatan PBM 27 jam
perminggu
< 27 jam 50
27 jam -
> 27 jam 50
Jumlah 100
18. Penerapan KTSP di Sekolah
Satuan pendidikan dituntut untuk menerapkan kurikulum tingkat
satuan pelajaran (KTSP). Hasil penelitian mengenai hal ini dapat terlihat pada
tabel berikut :
Tabel 4.31
Gambaran Penerapan KTSP di Sekolah
Tuntutan SPMP
SD/MTs
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Menerapkan
KTSP sesuai
ketentuan yang
berlaku
Belum
menerapkan
0 Setiap
sekolah
melaksanakan
KTSP sesuai
ketentuan
Belum
sesuai
10
Sebagian
besar
menerapkan
46 Sebagian
sesuai
40
73
Sudah
menerapkan
semua
54 Sudah
sesuai
50
Jumlah 100 Jumlah 100
19. Penerapan RPP di Sekolah
Setiap guru dituntut menerapkan RPP yang disusun berdasatkan silabus
untuk setiap mata pelajaran yang diampunya. Hasil penelitian mengenai hal ini
dapat terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.32
Gambaran Penerapan RPP yang Disusun berdasarkan Silabus
Tuntutan SPMP
SD/MTs
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Menerapkan
KTSP sesuai
ketentuan yang
berlaku
Belum
menerapkan
0 Setiap guru
menerapkan
RPP yg
disusun
berdasarkan
silabus utk
setiap mata
pelajaran
Sebagian
kecil
10
Sebagian
besar
menerapkan
46 Sebagian
besar
30
Sudah
menerapkan
semua
54 Semua
menerapka
n
60
Jumlah 100 Jumlah 100
74
20. Pengembangan dan penerapan Program Penilaian
Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk
membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik. Hasil penelitian
berkaitan dengan hal tersebut dapat digambarkan pada tabel di bawah ini
Tabel 4.33
Gambaran Pengembangan dan Penerapan Program Penilaian
Tuntutan SPMP
SD/MTs
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Setiap guru
menerapkan dan
mengembangkan
prog penilaian
utk membantu
meningktkn bel
siswa
Baru sebagian
kecil
5 Setiap guru
mengembang
kan dan
menerapkan
prog
penilaian
Sebagian
kecil
10
Sebagian besar 43 Sebagian
besar
20
Semua
menerapkan
52 Semua
menerapka
n
70
Jumlah 100 Jumlah 100
21. Pelaksanaan Supervisi Kelas oleh Kepala Sekolah
Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan
balik kepada guru dua kali dalam setiap semester
Tabel 4.34
Gambaran Pelaksanaan supervisi oleh Kepala Sekolah
Tuntutan
SPMP
SD/MTs
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Kepsek
melakukan
supervisi kls
dan
memberikan
umpan balik
Tidak
Tdiakperna
h
0 Kepsek
melakukan
supervisi
kelas dan
memberikan
umpan balik
Tidak pernah 0
Melakukan
tp tdk
memberikan
16 Memberi tp
tdk ada
umpan balik
40
75
kepada guru umpan balik
Melakukan
dan
memberikan
umpan balik
84 Memberi dan
ada umpan
balik
60
Jumlah 10
0
Jumlah 100
Tabel 4.35
Gambaran Prekuensi supervisi oleh Kepala Sekolah dalam Setiap Semester
Tuntutan
SPMP
SD/MTs
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Kepsek
memberikan
supervisi 2 x
dalam setiap
semester
1 x 30 Kunjungan
pengawas ke
sekolah satu
kali setiap
bulan
1 x setiap
bulan
65
2 x 60 1 x setiap 2
bulan
19
> 2 x 10 > 2 bulan 16
Jumlah 10
0
Jumlah 100
22. Laporan Hasil Evaluasi oleh Guru kepada Kepala Sekolah
Berdasarkan ketentuan bahwa hasil evaluasi mata pelajaran serta hasil
penilaian setiap peserta didik dilaporkan kepada kepala sekolah pada akhir
semester dalam bentuk laporan hasil prestasi belajar peserta didik. Hasil
penelitian berkaitan dengan hal tersebut dapat terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.36
Gambaran Penyampaian Laporan Hasil Evaluasi Guru kepada Kepala
Sekolah
Tuntutan
SPMP
SD/MTs
Hasil
Penelitian
% Tuntutan
SPMP
SMP/MTs
Hasil
Penelitian
%
Setiap guru
menyampaikan
hasil evaluasi
setiap akhir
semester
kepada Kepsek
Sebagian kecil
melaporkan
0 Guru
menyampaikan
laporan hasil
bel pd Kepsek
setiap akhir
semester
Sebagian kecil 10
Sebagian besar
melaporkan
0 Sebagian
besar
10
Semua
melaporkan
100 Semua
melaporkan
80
76
Jumlah 100 Jumlah 100
23. Penyampaian Laporan Hasil UAS dan UKK serta US/UN kepada Orang
Disdik Kabupaten/Kota
Kepala sekolah dituntut untuk menyampaikan laporan hasil UASdan
UKK serta US/UN kepada orang tua peserta didik dan menyampaikan kepada
Disdik kab/kota atau kantor kementrian agama di kabupaten/kota setiap akhir
semester. Hasil penelitian berkaitan dengan hal tersebut dapat terlihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.37
Gambaran Penyampaian Laporan Hasil UAS/UKK kepada Disdik
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Kepsek menyampaikan hasil
rekapitulasi kepada Disdik
setempat
Tidk pernah 0
Kadang-kafang 0
Selalu 100
Jumlah 100
24. Penerapan Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Setiap satuan pendidikan dituntut menerapkan prinsip-prinsip
manajemen berbasis sekolah. Hasil penelitian mengenai MBS tersebut dapat
terlihat pada tabel berikut :
Tabel 4.38
Gambaran Penerapan KTSP di Sekolah
Tuntutan SPMP SD/MI Hasil Penelitian %
Setiap satuan pendidikan
menerapkan manajemen
berbasis sekolah
Belum 0
Sebagian 30
Sudah Semua 70
Jumlah 100
77
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan :
1. Standar pelayanan pendidikan dasar di Kabupaten Balangan jika mengacu
pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 15 Tahun 2010
tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar umumnya masih
jauh dari yang diharapkan
78
2. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur standar pelayanan
Pendidikan Dasar ini adalah :
a. Tersedianya satuan pendidikan dalam jarak yang terjangkau dengan
berjalan kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km untuk
SMP/MTs
b. Jumlah peserta didik dalam setiap rombel yaitu maksimal 32 orang
untuk SD/MI dan 36 orang untuk SMP/MTs
c. Tersedianaya ruang laboratorium di SMP/MTs yang dilengkapi dengan
meja dan kursi yang cukup untuk 36 orang peserta didik
d. Di setiap SD/MI dan SMP/MTs tersedianya satu ruang guru yang
dilengkapi dengan meja dan kursi, dan untuk SMP/MTs tersedianya
ruang kepala sekolah yang terpisah dengan ruang guru
e. Di setiap SD/MI tersedianya satu orang guru untuk setiap 32 peserta
didik, dan enam orang guru untuk setiap satuan pendidikan, dan untuk
daerah khusus empat orang guru untuk setiap satuan pendidikan
f. Di setiap SMP/MTs tersedianya satu orang guru untuk setiap mata
pelajaran dan untuk daerah khusus tersedianya satu orang guru untuk
setiap rumpun pelajaran
g. Di setiap SD/MI tersedianya dua orang guru yang memenuhi kualifikasi
D-IV/S1 dan dua orang guru yang memiliki sertifikat pendidik
h. Di setiap SMP/MTs tersedianya guru dengan kualifikasi akademik D-
IV/S1 sebanyak 70% dan separuh diantaranya telah memiliki sertifikat
pendidik
79
i. Di setiap SMP/MTs tersedia guru dengan kualifikasi akademik D-
IV/S1 dan telah memiliki sertifikat pendidik masing-masing satun
orang guru untuk mata pelajaran matematika, IPA, Bahasa Indonesia
dan Bahasa Inggris
j. Di setiap kabupaten/kota semua kepala SD/MI berkualifikasi akademik
S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik
k. Di setiap kabupaten/kota semua kepala SMP/MTs berkualifikasi
akademik S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik
l. Di setiap kabupaten/kota semua pengawas sekolah berkualifikasi
akademik S1/D-IV dan telah memiliki sertifikat pendidik
m. Pemerintah kabupaten/kota memiliki rencana dan melaksanakan
kegiatan untuk membantu satuan pendidikan dalam mengembangkan
kurikulum dan proses pembelajaran yang efektif
n. Kunjungan pengawas ke satuan pendidikan dilakukan satu kali setiap
bulan dan kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan
supervisi/pembinaan
o. Pelayanan Pendidikan Dasar oleh satuan Setiap SD/MI menyediakan
buku teks yang sudah ditetapkan kelayakannya oleh pemerintah
mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA dan IPS
dengan perbandingan satu set untuk setiap peserta didik
p. Setiap SMP/MTs menyediakan buku teks yang sudah ditetapkan
kelayakannya oleh pemerintah mencakup semua pelajaran dengan
perbandingan satu set untuk setiap peserta didik
80
q. Setiap SD/MI menyediakan satu set peraga IPA
r. Setiap SD/MI memiliki 100 judul buku pengayaan dan 10 buku
referensi, dan setiap SMP/MTs memiliki 200 judul buku pengayaan dan
20 referensi
s. Setiap guru bekerja 37,5 jam per minggu disatuan pendidikan
t. Satuan pendidikan menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34
minggu dengan kegiatan tatap muka :
1) Kelas I – II : 18 jam perminggu
2) Kelas III : 24 jam perminggu
3) Kelas IV-VI : 27 jam perminggu
4) Kelas VII-IX : 27 jam perminggu
u. Satuan pendidikan meneraapkan kurikulum tingkat satuan pelajaran
(KTSP)
v. Setiap guru menerapkan RPP yang disusun berdasatkan silabus untk
setiap mata pelajaran yang diampunya
w. Setiap guru mengembangkan dan menerapkan program penilaian untuk
membantu meningkatkan kemampuan belajar peserta didik.
x. Kepala sekolah melakukan supervisi kelas dan memberikan umpan
balik kepada guru dua kali dalam setiap semester
y. Setiap guru menyampaikan laporan hasil evaluasi mata pelajaran serta
hasil penilaian setiap peserta didik kepada kepala sekolah pada akhir
semester dalam bentuk laporan hasil prestasi belajar peserta didik
z. Kepala sekolah menyampaikan laporan hasil UASdan UKK serta
81
US/UN kepada orang tua peserta didik dan menyampaikan kepada
Disdik kab/kota
aa. Setiap satuan pendidikan menerapkan prinsip-prinsip manajemen
berbasis sekolah
B. Rekomendasi
Dari hasil temuan ini direkomendasikan :
1. Dalam rangka memenuhi tuntutan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan
sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 15 Tahun 2010, Pemerintah daerah secara bertahap
mengalokasikan anggaran untuk memenuhi berbagai sarana dan prasarana
pendidikan
2. Instansi terkait khususnya Disdik Kabupaten hendaknya memfasilitasi
para guru, kepala sekolah dan pengawas untuk meningkatkan kualifikasi
dan kompetensinya sesuai ketentuan yang berlaku
DAFTAR PUSTAKA
Atep Adya Barata. 2003. Dasar-dasar pelayanan Prima. Gramedia. Jakarta.
Joshi, Anuradha and Mick Moore. 2003. Institutionalised Co-production:
Unorthodox Public Service Delivery in Challenging Environments. The
Institute of Development Studies. Brighton.
Leisher, Susannah Hopkins & Stefan Nachuk. 2006. Making Services Work for
the Poor: A Syinthesis of Nine Case Studies from Indonesia. Available
online at http://www.innovations.harvard.edu/
Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik.
LAN. Jakarta.
82
Marschall. Melissa J. 2004. Citizen Participation and the Neighborhood Context:
A New Look at the Coproduction of Local Public Goods. Political
Research Quarterly. Academic Research Library.
McLaverty, Peter. 2002. Public Participation and Innovations in Community
Governance. Ashgate. England
Nucholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. PT.
Grasindo. Jakarta
Osborne, David & Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government. Addison-Wesley
Publishing Company. Massachusetts.
Osborne, David & Peter Plastrik, 1996. Banishing Bureaucracy: The Five
Strategies for Reinventing Government, Addison-Wesley Publishing
Company. Massachusetts.
Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy, and
Development. World Development, Vol. 24, No. 6 (June 1996), 1073-87.
Salamon, Leister M. (1995) Partners in Public Service. Baltimore. The John
Hopkins University Press.
Suwarno, Yogi. 2005. The Emergence of Public Participation in Contemporary
Indonesia: Coproduction Role of Neighborhood Association in delivering
Public Service. Master Thesis at GSPA-ICU, Tokyo.
Zeithand, Valerie A. et. al. 1990. Delivering Quality Service. The Free Press. New
York.