Download - Laporan Pbl 4 Nss
LAPORAN PBL 4
BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS (NSS)
Tutor : : dr. Agung Saprasetya D.L, MSc.PH
Disusun Oleh:
Kelompok 1
G1A009016 Bunga
G1A009020 Dera Fakhrunnisa
G1A009033 Bagus Sanjaya H.
G1A009037 Ayu Astrini P. S.
G1A009059 Karina Adzani Herma
G1A009073 Rahmi Laksita Rukmi
G1A009078 Amrina Ayu Floridiana
G1A009084 Titiyan Herbiyanto Nugroho
G1A009094 Suryo Adi Kusumo B.
K1A006112 Widhitiya S. P.
G1A008115 Andhita Chairunissa
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Skenario
Informasi 1
Seorang laki-laki, usia 30 tahun dibawa ke IGD oleh tukang ojek karena
tertabrak mobil saat sedang menyeberang jalan. Menurut keterangan tukang
ojek, kejadian berlangsung sekitar 30 menit sebelum pasien tiba di IGD. Saat
itu pasien tengah menyeberang jalan, kemudian tiba-tiba meluncur sebuah
mobil dengan kecepatan tinggi dan menabrak dari arah kiri pasien. Pasien
terpelanting dan kepalanya membentur tiang listrik yang ada di pinggir jalan.
Pasien seketika langsung tidak sadarkan diri.
Ketika sampai di IGD, pasien tampak gelisah, mata tertutup dan sesekali
mengerang kesakitan. Pasien kemudian muntah menyemprot.
BAB II
PEMBAHASAN
I. KLARIFIKASI ISTILAH
Tidak ada istilah yang perlu diklarifikasi.
II. BATASAN MASALAH
a. Identitas
Nama : Tn. X
Umur : 30 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : -
Pekerjaan : -
b. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Keluhan utama : Kehilangan kesadaran
Onset : 30 menit yang lalu
Kronologi : pasien tengah menyeberang jalan, kemudian
tiba-tiba meluncur sebuah mobil dengan
kecepatan tinggi dan menabrak dari arah kiri
pasien. Pasien terpelanting dan kepalanya
membentur tiang listrik yang ada di pinggir
jalan. Pasien seketika langsung tidak
sadarkan diri.
Keluhan lain : tampak gelisah, mata tertutup dan sesekali
mengerang kesakitan kemudian muntah
menyemprot.
c. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Lingkungan
Dapat ditanyakan pekerjaan pasien, pendapatan pasien, memiliki asuransi
kesehatan atau asuransi pekerjaan, lingkungan rumah dan lingkungan
sekitar rumah pasien.
III. ANALISIS MASALAH
1. Patofisiologi muntah menyemprot
2. Apa tindakan pertama yang harus dilakukan ketika mendapat pasien
seperti ini?
3. Trauma di bagian tubuh lain yang mungkin terjadi pada pejalan kaki yang
tertabrak mobil.
4. Cedera kepala dan klasifikasinya.
5. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
IV. PENJELASAN MENGENAI ANALISIS MASALAH
1. Patofisiologi muntah menyemprot
Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)
↓
Merangsang reseptor tekanan intra cranial
↓
Merangsang pusat muntah di dorso lateral retikulo formasio
↓
Kontraksi duodenum dan antrum di lambung
↓
Peningkatan Tekanan Intra Abdomen
↓
Peristaltik Retrograd
↓
Lambung terisi penuh
↓
Diafragma naik ke kavitas toraks
↓
Peningkatan Tekanan Intra Thoraks
↓
Spinchter esophagus membuka
↓
Muntah menyemprot
Kalau berdasarkan kasus, muntah proyektil disebabkan karena
adanya benturan pada bagian kepala yang memungkinkan terjadinya
sesuatu perdarahan, dimana darah ini merupakan komponen yang
mempengaruhi dalam tekanan intracranial. Karena adanya penambahan
darah tetapi otak dan lcs menetap bias menimbulkan terjadinya
peningkatan intracranial, peningkatan ini bias menimbulkan manifestasi
muntah proyektil.
2. Tindakan pertama yang harus dilakukan ketika mendapat pasien seperti
ini
1. Tindakan Pra-Rumah Sakit
Dalam kondisi yang ideal, sedapat mungkin penderita cedera
kepala langsung ditangani oleh tenaga medis maupun paramedic yang
terlatih sejak di lokasi kejadian. Hal ini akan semakin penting apabila
cedera kepala yang terjadi tergolong berat. Pada dasarnya, yang perlu
dilakukan dalam fase ini tidaklah berbeda dalam kasus trauma lainnya.
Jaga jalan napas, mengontrol perdarahan dan mencegah syok,
imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komnplikasi dan segera
mengirim ke rumah sakit. Perlu diperhatikan, bahwa imobilisasi di
sini sangatlah penting, karena dapat menentukan keselamatan nyawa
pasien selanjutnya (FK UPH, 2005).
Ambulans harus dilengkapi dengan alat resusitasi dan perawat
yang terlatih, dimana apabila terjadi sesuatu yang tidak
memungkinkan bias diambil tindakan dengan segera.
2. Mencari informasi
a. Tanyakan bagaimana pasien kehilangan kesadaran. Apakah pasien
langsung tidak sadar sesaat setelah kejadian atau pasien sempat
sadar kembali sebelum akhirnya tidak sadar (luside interval).
b. Tanyakan apakah ada riwayat sakit kepala dan muntah karena hal
ini dapat mengidentifikasi adanya peningkatan tekanan intrakranial.
c. Tanyakan ada kejang atau tidak.
d. Tanyakan bagaimana ilustrasi kejadian (Sjamsuhidajat, et al, 2004).
3. Stabilisasikan kondisi pasien dengan A B C
4. Lakukan pemeriksaan fisik
b. Pemeriksaan GCS
c. Pemeriksaan pupil
d. Pemeriksaan motorik
e. Pemeriksaan tanda fraktur basis cranii ( racoon eyes, battle sign,
rinorea, otorea)
f. Pemeriksaan luka di kepala dan di seluruh tubuh pasien
g. Pemeriksaan luka terbuka sehingga otak dapat terlihat dari luar
(Sjamsuhidajat, et al, 2004).
3. Trauma di bagian tubuh lain yang mungkin terjadi pada pejalan kaki
yang tertabrak mobil.
1. Trauma kaki
Merupakan tempat tersering dan dapat berupa abrasi dan laserasi,
lokasinya pada tibia bagian atas, area lutut, dan femur. Dikenal istilah
“Bumper fracture” yang berarti fraktur gabungan pada tibia dan fibula
yang biasanya terletak setinggi bamper mobil, fraktur pada femur
jarang terdapat kecuali pada anak kecil yang oleh karena posturnya
yang kecil.
Tibia sering mengalami fraktur yang berbentuk baji, basis dari baji
mengindikasikan arah dari tumbukkan.
Kadang-kadang didapatkan tinggi dari cedera ada di bawah tinggi
normal kebanyakan bamper mobil, hal ini juga dapat disebabkan oleh
karena kendaraan yang berhenti secara tiba-tiba dan terjadi penurunan
bemper depan mobil oleh karena efek dari suspensi1.
Jika kaki yang menahan berat badan terkena tumbukkan maka
fraktur tibia cenderung berbentuk oblik, jika pada kaki yang sedang
terangkat, maka tumbukkan cenderung berbentuk transversal.
Pada otopsi, kulit dari kaki bagian bawah harus diinsisi untuk
mencari memar yang dalam oleh karena sering tertutup oleh baju
(Knight, 1996).
2. Cedera kepala
Menduduki tempat kedua, oleh karena tertumbuk kaca mobil, tepi
mobil, atap mobil atau ke tanah dan merupakan penyebab tersering
kematian (Knight, 1996).
3. Cedera jaringan lunak
Sering terjadi dan dapat berupa abrasi, laserasi, memar, luka
remuk1. Pada korban yang jatuh dan terseret di jalan didapatkan luka
lecet serut yang luas2. Dikenal istilah “flying injury” dimana terjadi
oleh karena efek berutarnya roda dari kendaraan merobek kulit dan
otot dari tubuh atau kepala. Jika mobil melindas abdomen atau pelvis
dapat mengakibatkan striae pararel multipel atau laserasi yang dangkal
oleh karena tekanan yang merobek pada kulit (Knight, 1996).
4. Kerusakan tubuh bagian dalam
Kerusakan yang hebat dapat terjadi saat roda melewati pelvis,
abdomen atau kepala, walaupun disertai dengan cedera permukaan
yang ringan. Berat dari kendaraan sendiri dapat menghancurkan
tulang tengkorak dan sering disertai keluarnya otak dari luka laserasi
kulit kepala, tulang pelvis dapat menjadi rata, patah tulang simfisis,
terputusnya sendi sakroiliaka, pada organ dalam dapat terjadi ruptur
limpa atau hati, pada dada dapat terjadi fraktur iga yang dapat melukai
paru dan jantung (Knight, 1996).
4. Cedera kepala dan klasifikasinya
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
1. Fraktur kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan menjadi :
a. Fraktur kalvaria :
Dapat berbentuk garis atau bintang, depresi atau non depresi, dapat
pula terbuka atau tertutup (Aritonang, 2007).
b. Fraktur basis cranii :
Dapat dengan atau tanpa paresis N VII atau kebocoran cairan
cerebrospinal (Aritonang, 2007).
2. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan menjadi sebagai berikut :
a. Lesi focal
1) Hematoma epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria.
Umumnya terjadi pada regon temporal atau temporopariental
akibat pecahnya arteri meningea media (Aritonang, 2007).
2) Hematoma subdural
Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan yang terletak antara korteks cerebri dan sinus venous
tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak (Aritonang,
2007).
3) Hematoma intraserebral
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus
temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk
batang otak dan cerebellum (Aritonang, 2007).
b. Lesi difus
1) Komosio ringan
Komosio ringan diakibatkan oleh cedera tetapi kesadaran tetap
tidak terganggu (Aritonang, 2007).
2) Komosio klasik
Komosio klasik merupakan cedera yang mengakibatkan
menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cedera (Aritonang, 2007).
3) Cedera axon difus
Merupakan suatu keadaan dimana penderita mengalami koma
pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh
suatu lesi masa atau serangan iskemi (Aritonang, 2007).
5. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi,
tensi darah, frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat
kesadaran dicatat yaitu kompos mentis (kondisi segar bugar), apatis,
somnolen (ngantuk), sopor (tidur), soporokomo atau koma.
Pemeriksaan Skala Koma Glasgow tidak dapat dilakukan bila
kedua mata tertutup, misalnya bila kelopak mata membengkak.
Rangsangan nyeri untuk menimbulkan respon motorik dilakukan
dengan menekan pertengahan sternum dengan kapitulum metakarpal
(telapak tangan) pertama jari tengah. Bila ada tetraplegi tentu tes ini
tidak akan berguna (Japardi, 2004).
2. Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis
lengkap seperti biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan
koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan obyektif. Bentuk
pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens,
yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna
vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh
dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis. Selain itu
dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik
(nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12,
yaitu : nervus I (nervus olfaktoris), nervus II (nervus optikus), nervus
III (nervus okulomotoris), nervus IV (troklearis), nervus V
(trigeminus), nervus VI (Abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII
(oktavus), nervus IX (glosofaringeus) dan nervus X (vagus), nervus
XI (spinalis) dan nervus XII (hipoglosus), nervus spinalis (pada otot
lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai
saraf sensorik dan saraf motorik (Japardi, 2004).
3. Pemeriksaan tanda fraktur basis cranii ( racoon eyes, battle sign,
rinorea, otorea)
4. Pemeriksaan luka di kepala dan di seluruh tubuh pasien
5. Pemeriksaan luka terbuka sehingga otak dapat terlihat dari luar
(Sjamsuhidajat, et al, 2004).
Informasi 2
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : GCS E2M4V3
Vital sign : TD = 150/90 mmHg
Nadi = 94 x/ menit
Respirasi rate = 20x/menit
Suhu = 37°C
Kepala : Pupil anisokor, diameter D/S = 2mm/4mm,
reflek cahaya N/↓
Thorak dan abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : tidak ditemukan fraktur maupun luka
terbukan
INTERPRETASI INFORMASI 2
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit berat, mungkin dapat
disebabkan trauma yang pasien alami
Kesadaran : GCS E2M4V3
Hasil GCS pasien 9 yang dapat
diklasifikasikan sebagai cedera kepala
sedang (GCS 9-12)
Vital sign : TD = 150/90 mmHg Normal
Nadi = 94 x/ menit Normal
Respirasi rate = 20x/menit Normal
Suhu = 37°C Normal
Pupil anisokor sebelah sinistra dan reflek cahaya pada pupil sinistra menurun
mengindikasikan ada lesi ipsilateral di kepala yang menyebabkan kelainan
N.III yang ipsilateral juga.
Thorak dan abdomen dalam batas normal sehingga menyingkirkan DD
trauma pada thorak dan abdomen.
Ekstremitas tidak ditemukan fraktur maupun luka terbukan sehingga
menyingkirkan DD trauma pada ekstremitas
DIAGNOSIS BANDING
1. Hematom Subdural
Beberapa gejala klinik yang didapat pada pasien yang mengarah ke
Differential diagnostic Hematom subdural adalah :
a. Ada riwayat trauma kepala yang sering menjadi etiologi hematom
subdural (Isselbacher, et al, 2000).
b. Ada dilatasi anisokor pada pupil sinistra (Isselbacher, et al, 2000).
c. Reflek cahaya pada pupul sinistra menghilang (Isselbacher, et al,
2000).
d. Adanya penurunan kesadaran pada pasien (Isselbacher, et al, 2000).
2. Epidural Hematoma
Karena terdapat tanda dan gejala klinis yang mungkin sesuai dengan
kasus, yaitu :
1. Terdapat lucid interval (masa sadar setelah pingsan sehingga
kesadaran menurun lagi). Terdapat lima gambaran klinik pada
penderita hematoma apidural, yakni :
a. Tanpa penurunan kesadaran
b. Tidak sadar sejak saat kejadian
c. Awalnya sadar kemudian tidak sadar
d. Awalnya tidak sadar kemudian sadar
e. Awalnya tidak sadar diikuti lucid interval dan kemudian tidak sadar
lagi.
2. Tensi yang semakin bertambah tinggi.
3. Denyut nadi yang semakin bertambah tinggi
4. Denyut nadi yang semakin bertambah lambat
5. Hemiparesis
6. Pupil anisokor
Pemeriksaan Neurologis
Meningeal Sign (-)
N. Cranialis sulit dinilai
Fungsi Motorik Superior (D/S) Inferior (D/S)
Gerak N/N N/N
Kekuatan 5/5 5/5
Refleks fisiologis N/N N/N
Refleks patologis -/- -/-
Tonus N/N N/N
Trofi Eutrofi Eutrofi
Fungsi sensorik : sulit dinilai
Fungsi vegetatif : sulit dinilai
V. SASARAN BELAJAR
1. Anatomi dan fisiologi trauma kepala
2. Kaku kuduk pada hematom subdural
3. Patogenesis dan patofisiologi hematom epidural
4. Pathogenesis dan patofisiologi hematom subdural
1. Anatomi dan fisiologi trauma kepala
Anatomi
Anatomi kepala dalam kasus ini akan lebih ditekankan kea rah
meninges dan lapisannya.Struktur lapisan kepala terdiri dari paling luar
yaitu SCALP (Skin, Connective tissue, aponeuretic, Loose areolar tissue,
Pericranium). Ketika ada trauma yang terjadi maka akan dapat merusak
dari jaringan SCALP itu sendiri, dapat berupa lesi, atau laserasi yang
dapat menyebabkan perdarahan. Kemudian setelah SCALP, ada lapisan
os cranium. Lapisan ini berwujud tulang dank eras, sehingga dapat
melindungi otak dari benturan yang cukup keras. Setelah cranium, aka
nada lapisan duramater, yang kemudian lapisan duramater ini akan dibagi
menjadi dua yaitu, pars endosteal yang lebih dekat ke os. Cranium dan
pars meningeal yang lebih dekat ke meninges. Setelah duramater ada
arachnoid. Perlu diperhatikan, sebelum masuk ke lapisan arachnoid, ada
ruangan yang disebut subdural, ruangan ini cukup sering terjadi
perdarahan apabila mengalami trauma dikarenakan banyaknya pembuluh
darah yang terdapat di ruangan ini. Setelah arachnoid ada lapisan
piamater (Guyton dan Hall, 2008).
Gambar . Lapisan Pelindung Otak
Fisiologi (Mekanisme Fisik Cedera Kepala)
Menurut mekanisme fisik terjadinya cedera kepala, maka dapat
dibagi menjadi dua, yaitu beban static dan beban dinamik.
1. Beban Statis
Beban static secara relative dikatakan terjadi secara perlahan-lahan,
yaitu dalam waktu yang melebihi 200 milidetik. Dalam situasi ini
tenaga tekanan mengenai kepala secara bertahap, dan efek tekanan /
efek gencetan terjadi secara lambat. Dalam prakteknya, kasus cedera
beban static jarang terjadi, namun jika terjadi dapat menimbulkan
fraktur multiple, fraktur kominutif, maupun fraktur basis cranii.
Contoh beban statika dalah ketika kepala terjepit dari 2 arah (FK
UPH, 2005).
2. Beban Dinamik
Beban dinamik merupakan mekanisme cedera yang lebih sering
terjadi dalam kasus cedera kepala. Beban yang terjadi di sini terjadi
dalam waktu yang singkat, yaitu kurang dari 200 milidetik. Beban
dinamik dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Beban Benturan
Beban benturan dialami kepala dan jaringan otak akibat adanya
benda padat yang membentur kepala dengan kecepatan tertentu.
Beban ini merupakan yang paling sering terjadi dan merupakan
dari kekuatan beban kontak dan beban lanjut. Beban kontak sendiri
merupakan beban benturan yang dialami kepala ketika sedang
dalam posisi istirahat (tidak bergerak). Sedangkan beban lanjut
terjadi bila kepala mengalami akselerasi gerakan dengan atau tanpa
beban kontak (FK UPH, 2005).
b. Beban Guncangan
Beban guncangan dialami kepala ketika terjadi perubahan atau
gerakan mendadak tanpa ada kontak fisik secara langsung ke
kepala. Berdasar prosesnya, peristiwa ini dapat berupa kepala diam
kemudian diguncang secara mendadak, atau dapat pula kepala yang
sedang dalam keadaan bergerak dihentikan secara tiba-tiba. Dalam
kedua kejadian ini tidak terjadi benturan kepala secara langsung,
namun terjadi benturan langsung yang hebat pada bagian tubuh
lainnya, badan, tangan, kaki, dll (FK UPH, 2005).
2. Kaku kuduk pada hematom subdural
Etiologi kaku kuduk :
1. Adanya iritasi meningeal
2. Masa pada bagian fossa posterior
Kalau untuk hematoma subdural bisa terjadi kaku kuduk apabila
adanya masa pada bagain fossa posterior, tetapi ini relative lebih sedikit
karena kebanyakan perdarahn subdural terjadi pada konveksitas otak
daerah parietal, dan hanya sebagian kesil terdapat di fossa posterior dan
pada fisura interhemisferik serta tentorium atau di antara lobus temporal
dan dasar tengkorak ((Sastrodiningrat, 2006)
3. Patogenesis dan patofisiologi hematom epidural
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak
dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila
salah satu cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi
bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula
terjadi di daerah frontal atau oksipital ( Hafid, 2004).
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari
tulang kepala sehingga hematom bertambah besar (Hafid,2004)
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan
pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik
yang dapat dikenal oleh tim medis (Anderson,1995).
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya
kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga
(okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan
ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan
naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik
kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski
positif (Anderson,1995).
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial
yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial
antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan
fungsi pernafasan (Anderson,1995).
Mekanisme Periode Lusid (Periode Sadar-Tidak Sadar) Pada Hematoma
Epidural :
Trauma kepalahipoksia sesaat di otakpingsanada kompensasi
peningkatan simpatisaliran darah lancar kembalisadarseiring
waktu, darah makin menumpukdekompensasi otakpeningkatan TIK
terus-menerus menyebabkan pendorongan otak yang akan mengurangi
pasokan perfusi darah ke otak, khususnya pada area formasio
retikularishipoksia pasien tidak sadar kembali (Isselbacher, et al,
2000).
4. Pathogenesis dan patofisiologi hematom subdural
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam
duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang
bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus
venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi
pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana
mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural (Baehr and Frotscher,
2010).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah
lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat (Baehr and Frotscher, 2010).
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi
cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila
volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja
dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara
perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan
terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada
perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan.
Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran
vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan
berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan
penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan
subdural kronik(Baehr and Frotscher, 2010).
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial
dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi
oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup
tinggi(Baehr and Frotscher, 2010).
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains
intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum
dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura
tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma
subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia
basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya(Baehr and Frotscher, 2010).
Konsekuensi peningkatan tekanan intrakranial akut tergantung pada
letak lesi. Massa pada hemisfer serebri awalnya akan menyebabkan
herniasi tentorium lateral dan juga pergeseran struktur garis tengah. Pada
herniasi tentorium lateral, terjadi herniasi lobus temporal melalui hiatus
tentorium. Kompresi formatio retikularis menyebabkan gangguan tingkat
kesadaran. Palsi nervus III yang disebabkan kompresi kedua nervus dan
nukleus okulomotrius pada otak tengah menyebabkan dilatasi pupil
ipsilateral terfiksasi. Pembengkakan serebri difus dapat menyebabkan
herniasi tentorium sentral. Herniasi terjadi ke arah vertikal melalui hiatus
tentorium. Terjadi penurunan kesadaran; pupil awalnya kecil, terfiksasi
kemudian berdilatasi. Gambaran lain meliputi gangguan lirikan mata ke
atas, terjadi diabetes insipidus akibat tarikan hipofisis dan hipotalamus ke
bawah. Massa subtentorium dapat menyebabkan herniasi tonsil. Herniasi
tonsil menyebabkan kaku kuduk dan kadang posisi kepala terangkat.
Terjadi gangguan kesadarn dan dapat menyebabkan gagal nafas (Ginsberg,
2007).
Skala Hunt dan Hess untuk penentuan derajat PSA
Derajat Status NeurologikI Asimtomatik; atau nyeri kepala minimal dan kaku
kuduk ringanII Nyeri kepala sedang sampai parah; kaku kuduk;
tidak ada deficit neurologic kecuali kelumpuhan saraf kranialis
III Mengantuk; deficit neurologic minimalIV Stupor; hemiparesis sedang sampai berat,
mungkin rigiditas deserebrasi dini dan gangguan vegetatif
V Koma dalam; rigiditas deserebrasi; penampakan parah
Informasi 3
Pemeriksaan Penunjang
Head CT Scan : tampak gambaran hiperdens berbentuk bulan sabit di
region temporal sinistra ukuran 5x2x2 cm sesuai untuk hematoma
subdural akut
Diagnosis : Penurunan kesadaran e.c Hematoma Subdural Akut
PENATALAKSANAAN
1. Penanganan Kegawatdaruratan
a. Stabilisasi pasien dengan ABC
b. Airway, menjaga jalan nafas
c. Breathing, memastikan ventilasi berjalan dengan baik
d. Circulation, jaga sirkulasi darah pasien
2. Terapi Konservatif
a. Analgetik, misal dengan pemberian NSAID.
b. Terapi diuretik, menggunakan manitol 20% dengan dosis 0,5 – 1
mg/kgBB setiap pemberian. Pemberian dilakukan setiap 4-6 jam.
c. Antikonvulsan, misal dengan pemberian fenitoin (diazepam)
d. Antibiotik, digunakan antibiotik yang dapat menembus sawar darah
otak, misalnya cephalosporin.
e. Kortikosteroid, berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor
otak. akan tetapi manfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh
karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala
(Japardi, 2002).
3. Terapi operatif
Terapi operatif dilakukan dengan indikasi sebagai berikut (Japardi,
2004) :
a. Massa hematoma kira-kira 40 cc
b. Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
c. EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis
tengah dengan GCS 8 atau kurang.
d. Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang
jelas atau pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.
e. Pasien – pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu
disertai berkembangnya tanda – tanda lokal peningkatan tekanan
intrakranial lebih dari 25 mmHg.
Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang )
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada
kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya
fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya
gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk
melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan
untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah
airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif yang dapat
dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy, subdural
drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural kronik
adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik
pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika
pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan
klinis, reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan
operasi ulang kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan
tindakan prosedur bedah yang invasif dengan tingkat komplikasi yang
lebih tinggi. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari
perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang(Ginsberg, 2007).
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran,
pupil anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral
hemiparesis merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi
uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial.
Indikasi Operasi(Ginsberg, 2007),
Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana
CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Informasi 4
Terapi Inisial
Konservatif
1. Injeksi manitol
2. Antibiotika
3. Antikonvulsan
4. Kortikosteroid
KEGUNAAN PEMBERIAN OBAT PADA TERAPI KASUS
1. Injeksi manitol
Injeksi manitol diberikan dengan tujuan untuk mengurangi peningkatan
tekanan intrakranial (Sjamsuhidajat, et al, 2004).
Obat ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi tekanan
intrakranial. Umumnya sediaan yang digunakan adalah larutan 20
persen mannitol (bm 180). Umumnya dipercaya bahwa mannitol
mempertahankan gradien osmotik antara plasma dan otak, dengan
akibat pergeseran cairan keluar dari otak dan, karenanya, menurunkan
TIK (Riyanto, 1992).
2. Antibiotika
Antibiotik diberikan untuk mencegah infeksi yang dapat timbul sebagai
komplikasi trauma kepala dan akibat keadaan imunocompromised yang
disebabkan pemberian imunosupresan yaitu kortikosteroid
(Sjamsuhidajat, et al, 2004).
3. Antikonvulsan
Antikonvulsan seperti fenitoin diberikan sebagai terapi profilaksis pada
24 jam pertama untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic. Jika
pasien mengalami kejang maka akan menyebabkan hipoksia otak yang
berdampak peningkatan tekanan darah sehingga memicu terjadinya
udem otak (Sjamsuhidajat, et al, 2004).
Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin yang dimulai sesegera
mungkin (dalam 24 jam) mungkin mencegah terbentuknya fokus
epileptogenik. Young mengadakan penelitian yang memperlihatkan
pemberian fenytoin profilaktik tidak mencegah kejang pasca cedera
baik dini maupun tunda. Pada penelitian ini konsentrasi plasma
dipertahankan antara 10 dan 20 ug/m (Riyanto, 1992).
4. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid masih menjadi kontroversi. Fungsi pemberian
kortikosteroid adalah untuk mengatasi udem otak yang terjadi, sehingga
kortikosteroid diberikan jika pada pasien didapatkan penurunan GCS
yang berat dan terdapat tanda defisit neurologis yang parah
(Sjamsuhidajat, et al, 2004).
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak
beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung
menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber- manfaat pada kasus
cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini
menstabilkan sawar darah otak (Riyanto, 1992).
BAB III
KESIMPULAN
1. Diagnosis kerja pada kasus PBL 4 adalah Penurunan kesadaran et causa
Hematoma Subdural Akut.
2. Hematom subdural akut adalah hematom atau perdarahan yang sering terjadi
akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara korteks cerebri dan
sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat
laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Hematom subdural disebut
akut apabila gejala yang timbul berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam.
3. Diagnosis banding hematom subdural adalah hematom epidural, hematom
subaraknoid, dan hematoma intraserebral.
4. Penatalaksanaan pada kasus PBL 4 yaitu hematom subdural akut adalah
Terapi Inisial dan terapi Konservatif. Terapi konservatif meliputi Injeksi
manitol, Antibiotika, Antikonvulsan, dan Kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.
Aritonang, Sahat. 2007. Hubungan Kadar Gula Darah Dengan Outcome Cedera Kepala Tertutup Derajat Sedang – Berat Dengan Gambaran Brain CT SCAN Dalam Batas Normal. Available at http://eprints.undip.ac.id/29403/.
Baehr, M dan Frotscher, M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS edisi 4. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. Hal 136-41.
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo.
Ginsberg, lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi Edisi 8. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 113.
Guyton, A.C & John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hafid A, Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819.
Isselbacher, Kurt J., Eugene Braunwald., Jean D. Wilson., Joseph B. Martin., Anthony S. Fauci., Dennis L. Kasper. 2000. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 5. Edisi 13. Jakarta: EGC. Hal. 2558-2566.
Japardi, Iskandar. 2004 . Penatalaksanaan Cedera kepala secara operatif . Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Knight, Bernard. 1996. Forensic Pathology Edition 2nd. New York : Oxford
Purwirantoro, Toni. 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik Dalam Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural Pada Kasus Cedera Kepala. Available from : eprints.undip.ac.id/14729/1/2002FK548.pdf, Diakses pada Senin, 26 Maret 2012, Pukul 21.00.
Price, Sylvia; Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC.
Purwirantoro, Toni. 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik Dalam Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural Pada Kasus Cedera Kepala. Available from : eprints.undip.ac.id/14729/1/2002FK548.pdf, Diakses pada Senin, 26 Maret 2012, Pukul 21.00.
Riyanto, Budi. 1992. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Cermin Dunia Kedokteran No. 77.
Sastrodiningrat, Abdul Gofar. 2006. Memahami Fakta-fakta Perdarahan Subdural Akut. Majalah Kedokteran Nusantara volume 39 No 3.
Scaletta, Tom. 2011. Emergent Management of Acute Subdural Hematoma available on http://emedicine.medscape.com/article/828005-overview di akses pada 24 Maret 2012.University Press.
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal.820-821.