Download - Laporan Kjt Pembuatan Media
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara
vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara
mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-
bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat
pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian
tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.
Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan
menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang
dilakukan di tempat steril.
Dalam pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman, hal-hal yang harus
diperhatikan adalah kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan
dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh), serta kondisi
ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol. Media kultur jaringan
tersusun dari 3 komponen dasar yaitu: (1) hara esensial atau ion mineral, (2) ba-
han organik, dan (3) sumber energi berupa karbon.
Medium yang digunakan dalam kultur in vitro tanaman dapat berupa
medium padat atau cair. Untuk memudahkan pembuatan medium kultur sebagian
besar komponen disiapkan dalam bentuk larutan beku. Bahan seperti sukrosa,
agar, dan beberapa komponen tertentu tidak dibuat larutan baku, tetapi langsung
ditambahkan ke dalam campuran untuk pembuatan medium. Medium padat
umumnya digunakan untuk menghasilkan kalus yang selanjutnya diinduksi
membentuk tanamanyang lengkap (planlet), sedangkan medium cair biasanya
digunkan untuk kultur sel.
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Menurut Prakash et al. (2004), pertumbuhan tanaman in vitro
sebagian besar dipengaruhi oleh komposisi media kultur. Komponen media yang
utama dalam kultur jaringan tanaman yaitu garam, mineral dan gula sebagai
sumber karbon dan air. Komponen lain merupakan tambahan organik, pengatur
pertumbuhan, gell agar. Terdapat 13 komposisi media dalam kultur jaringan
antara lain Murashige dan Skoog (MS), Linsmaier dan Skoog (LS), Woody Plant
Medium (WPM), Knop, Knudson-C, Anderson dan lain-lain.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu diadakan praktikum mengenai
cara pembuatan media. Hal ini dimaksudkan agar segala hal yang diketahui
tentang kultur jaringan bukan hanya sekedar mengetahui tentang adanya kultur
jaringan, tetapi dapat membuat bibit tanaman melalui kultur jaringan. Agar semua
yang diketahui tentang kultur jaringan bukan sekedar teori, tetapi dapat
diaplikasikan dalam praktikum untuk dijadikan pengabdian kepada masyarakat.
1.2. Tujuan Praktikum
Mahasiswa dapat memahami fungsi medium, komposisi dan peranan
masing-masing komponen dari medium.
1.3. Manfaat Praktikum
Dari praktikum yang dilakukan diharapkan mahasiswa dapat mengetahui
sifat dan komposisi pembuatan media, mengetahui teknik aseptic pembuatan
media dan mampu membuat media kultur jaringan tanaman serta dapat
diaplikasikan untuk pengabdian kepada masyarakat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Media Tumbuh
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral,
vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar,
gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga
bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur
jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi
atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara
memanaskannya dengan autoklaf (Anonim, 2009).
Pelaksanaan teknik ini memerlukan berbagai prasyarat untuk mendukung
kehidupan jaringan yang dibiakkan. Yang paling esensial adalah wadah dan media
tumbuh yang steril. Media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan
mengambil nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Media tumbuh
menyediakan berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan
memperbanyak dirinya (Rahardja, 1988).
Untuk membuat media dengan jumlah zat seperti yang ditentukan,
diperlukan penimbangan dan penakaran bahan secara tepat. Ketidaktepatan
ukuran dapat menyebabkan terjadinya proses yang dikehendaki. Pada umumnya
untuk suatu keperluan, media yang telah dirumuskan dapat diubah atau diperbarui,
dengan mengganti zat-zat tertentu, atau menambah zat lain. Untuk melakukan
perubahan ini diperlukan acuan yang mantap atau pengalaman (Rahardja, 1988).
Keberhasilan dalam teknik in-vitro ini bergantung pada media yang
digunakan, eksplan akan tumbuh baik pada lingkungan tumbuh yang sesuai.
Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara makro dan
mikro saja, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk
menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis
( Gunawan, 1998).
2.2. Komposisi Media Tumbuh
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman
yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam
mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti
agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga
bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur
jaringan yang dilakukan. Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi
atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara
memanaskannya dengan autoklaf (Suryowinoto, 1991).
Dalam kultur jaringan, unsur-unsur diberikan tidak dalam bentuk unsure
murni, tetapi berupa senyawa berbentuk garam. Sebelum dicampurkan kedalam
media tumbuh, garam-garam mineral itu haruslah lebih dahulul dilarutkan dalam
konsentrasi tertentu, sehingga dalam media tumbuh nantinya jumlah tiap gram
benar sesuai dengan ketentuan sebagai pelarut dipakai akuades (Yuwono, 2008).
Untuk memenuhi factor pertumbuhan tanaman, media kultur jaringan yang
baik mengandunga (Anonim, 2009):
2.2.1 Hara anorganik
Setiap tanaman membutuhkn paling sedikit 16 unsur untuk pertumbuhan
normalnya. Tiga unsur di antaranya adalah Karbon (C) , Hydrogen (H), dan
Oksigen (O) yang diambil dari udara, sedangkan 13 unsur lainnya berupa pupuk
yang dapat diberikan melalui akar atau daun. Ada unsusr yang dibutuhkan dalam
jumlah besar yang disebut unsur makro dan ada yang dibutuhkan dalam jumlah
sedikit disebut unsur mikro (Gunawan, 1998).
2.2.1.1 Unsur Makro
Air selain sebagai bahan untuk membentuk material tubuh, juga sebagai
media untuk terjadinya reaksi-reaksi kimia dan fisika. Air juga berguna untuk
transport dan distribusi zat-zat terlarut di dalamnya. Pada media kultur jaringan
digunakan air murni yang sudah mengalami demineralisasi, deionisasi dan
mengalami dua kali destilasi (bidestilasi) (Gunawan, 1998).
Kebutuhan garam-garam mineral di dalam jaringan kurang lebih sama
dengan tanaman utuh. Garam-garam mineral merupakan gabungan unsur0unsur
esensial makro dan mikro. Konsentrasi optimum dari tiap-tiap komponen untuk
mencapai kecepatan pertumbuhan maksimal sangat bervariasi. Jenis-jenis yang
termasuk unsur makro adalah Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S),
Kalsium (Ca), dan Magnesium (Mg). Unsur-unsur makro biasanya diberikan
dalam bentuk persenyawaan (Gunawan, 1998).
2.2.1.2 Unsur Mikro
Unsur hara mikro adalah unsur yang dibutuhkan dalam jumlah yang
sedikit. Fungsinya belum diketahui secara pasti, tetapi tidak adanya zat-zat ini
dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan. Jenis-jenis yang termasuk hara mikro
adalah Besi (Fe), Boron (B), Molibdenum (Mo), Mangan (Mn), Kobalt (Co), Seng
(Zn),Tembaga (Cu), dan Klor (Cl). Unsur hara mikro diberikan dalam bentuk
persenyawaan (Gunawan, 1998).
2.2.2 Hara organic
Zat-zat organic yang biasa ditambahkan ke dalam media kultur jaringan
adalah gula, mio-inositol, vitamin, asam-asam amino dan zat pengatur tumbuh.
Selain bahan organik tersebut, bahan kompleks seringkali ditambahkan, termasuk
ekstrak ragi, casein hydrolysate, air kelapa, jus jeruk, jaringan pisang, dan lain –
lain (Gunawan, 1998).
2.2.2.1 Vitamin
Tanaman yang tumbuh dalam kondisi normal bersifat autotrof dan dapat
mensintesa semua kebutuhan bahan organiknya. Meskipun tanaman in vitro dapat
mensintesa senyawa ini, diperkirakan mereka tidak menghasilkan vitamin dalam
jumlah yang cukup untuk pertumbuhan yang sehat dan satu atau lebih vitamin
harus ditambahkan ke media. Thiamin merupakan vitamin yang penting, selain itu
asam nikotinat dan piridoksin.vitamin tersebu merupakn vitamin umum yang
terdapat dalam tanaman. selain itu ada beberapa jenis vitamin lainnya yaitu asam
folat, kolin, klorida, asam askorbat, asam pantotenat dan adenine. Vitamin
ditambahkan pada media untuk mempercepat pertumbuhan, diferinsiasi kalus dan
berperan sebagai kofaktor atau bagian dari molekul kofaktor dari reaksi-reaksi
enzimatis yang penting (Gunawan, 1998).
2.2.2.2 Gula
Tanaman dalam kultur jaringan tumbuh secara heterotrof dan karena tidak
cukup mensintesa kebutuhan karbonnya, maka sukrosa harus ditambahkan ke
dalam media. Sumber karbon ini menyediakan energi bagi pertumbuhan tanaman
dan juga sebagai bahan pembangun untuk memproduksi molekul yang lebih besar
yang diperlukan untuk tumbuh. Biasanya sukrosa pada konsentrasi 1 – 5%
digunakan sebagai sumber karbon tapi sumber karbon lain seperti glukosa,
maltosa, galaktosa dan laktosa juga digunakan. Ketika sukrosa diautoklaf, terjadi
hidrolisis untuk menghasilkan glukosa dan fruktosa yang dapat digunakan lebih
efisien oleh tanaman dalam kultur. Pemilihan gula dan konsentrasi yang akan
digunakan tergantung dari jaringan tumbuhan yang akan dikulturkan dan tujuan
yang ingin dicapai (Gunawan, 1998)
2.2.2.3 Asam-asam amino
Asam amino merupakan sumber N organic yang lebih cepat diserap oleh
sel atau jaringan tanaman darpada N anorganik dalam media yang sama. Beberapa
asam amino yang biasa ditambahkan ke dalam media kultur jaringan di antaranya
L-sistein, asparagine, L-asam aspartate, glisin, L-arginin dan glutamin (Gunawan,
1998)
2.2.2.4 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organic bukan hara yang diproduksi
di dalam tubuh tanaman (endogen) dan memberikan pengaruh pada konsentrasi
yang rendah. Terdapat dua kelompok zat pengatur tumbuh yang sering digunakan
yaitu kelompok auksin seperti Indoleacetic acid (IAA) dan naphthalene acetic acid
(NAA) sedangkan kelompok sitokinin misalnya kinetin dan benzylamino purine
(BAP). Penggunaan auksin (IAA dan NAA) dan sitokinin (BAP dan kinetin) pada
konsentrasi yang tepat dapat memacu pertumbuhan eksplan, terutama
pembentukan daun, tunas dan ruas (Gunawan, 1988; Wardiyati, 1998; Cameiro et
al., 1999).
Zat pengatur tumbuh terdiri dari golongan sitokinin dan auksin. Auksin
mempunyai peran ganda tergantung pada struktur kimia, konsentrasi, dan jaringan
tanaman yang diberi perlakuan. Pada umumnya auksin digunakan untuk
menginduksi pembentukan kalus, kultur suspensi, dan akar, yaitu dengan memacu
pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium (Pierik, 1987).
Untuk memacu pembentukan kalus embriogenik dan struktur embrio somatik
seringkali auksin diperlukan dalam konsentrasi yang relatif tinggi.
Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses
biologi dalam jaringan tanaman (Davies, 1995; Gaba, 2005). Perannya antara lain
mengatur kecepatan pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan
mengintegrasikan bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita
kenal sebagai tanaman. Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan
tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase
fisiologi tanaman (Satyavathi et al., 2004; George, 1993; Dodds dan Roberts,
1982).
Dalam proses pembentukan organ seperti tunas atau akar ada interaksi
antara zat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan ke dalam media dengan
zat pengatur tumbuh endogen yang diproduksi oleh jaringan tanaman (Winata,
1987). Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat
meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga
menjadi “factor pemicu” dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan. Untuk
memacu pembentukan tunas dapat dilakukan dengan memanipulasi dosis auksin
dan sitokinin eksogen (Poonsapaya et al., 1989). Kombinasi antara sitokinin
dengan auksin dapat memacu morfogenesis dalam pembentukan tunas (Flick et
al., 1993).
Penggunaan zat pengatur tumbuh di dalam kultur jaringan tergantung pada
tujuan atau arah pertumbuhan tanaman yang diinginkan. Zat pengatur tumbuh BA
(benzyl adenin) paling banyak digunakan untuk memacu penggandaan tunas
karena mempunyai aktivitas yang kuat dibandingkan dengan kinetin (Zaer dan
Mapes, l982). BA mempunyai struktur dasar yang sama dengan kinetin tetapi
lebih efektif karena BA mempunyai gugus benzil (George dan Sherington, l984).
Flick et al. (1993) menyatakan bahwa pada umumnya tanaman memiliki respon
yang lebih baik terhadap BA dibandingkan terhadap kinetin dan 2-iP sehingga BA
lebih efektif untuk produksi tunas in vitro. Pada banyak jenis tanaman zat
pengatur tumbuh 2-iP merupakan sitokinin yang mempunyai daya aktivitas lebih
lemah dibandingkan dengan sitokinin lainnya sehingga jarang digunakan. Pada
tanaman nilam penggunaan 2-iP menghasilkan tunas yang lemah dan kurus
(Seswita et al., 1996).
Di samping sitokinin BA atau kinetin, penggunaan thidiazuron (TDZ)
dapat pula meningkatkan kemampuan multiplikasi tunas. Lu (1993) menyatakan
bahwa thidiazuron dapat menginduksi pembentukan tunas adventif dan proliferasi
tunas aksilar. Diduga thidiazuron mendorong terjadinya perubahan sitokinin
ribonukleotida menjadi ribonukleosida yang secara biologis lebih aktif (Herawan
dan Na’iem. 2006). Thidiazuron merupakan senyawa organik yang banyak
digunakan dalam perbanyakan in vitro karena aktivitasnya menyerupai sitokinin
(Pierik, l987; Singha dan Bathia, l988).Thidiazuron berpotensi memacu frekuensi
regenerasi pada kacang tanah (Arachis hipogaea) secara in vitro, dan memacu
pembentukan tunas adventif pada beberapa jenis tumbuhan (Huetterman dan
Prece, 1993) karena dapat menginduksi proses pembelahan sel secara cepat pada
kumpulan sel meristem sehingga terbentuk primordia tunas (George dan
Sherington, 1984). Senyawa organik tersebut merupakan derivate urea yang tidak
mengandung rantai purin yang umumnya dimiliki oleh sitokinin.
2.2.3 Agar
Bahan pemadat yang paling sering diguanakn adalah agar. Keuntungan
dari pemakaian agar adalah (Gunawan, 1998):
1. Agar dapat membeku pada suhu ≤ 45° C dan mencair pada
temperature 100°C, sehingga dalam kisaran suhu kultur agar
berada dalam keadaan beku yang stabil
2. Tidak dicerna oleh enzim tanaman
3. Tidak bereaksi dengan substansi penyusun media
Agar adalah campuran polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies
alga. Dari hasil analisa diperoleh bahwa agar mengandung unsur Ca, Mg, K dan
Na. kekerasan media akan meningkat sesuai denganpeningkatan konsentrasi agar.
Konsentrasi pemadat yang terlalu tinggi dapat mengurangi difusi zat dari media ke
dalam jaringan sehingga pengambilan hara dan zat tumbuh berkurang. Kekerasan
media juga dipengaruhi oleh (Gunawan, 1998):
1. Jenis agar yang digunakan
2. pH media
3. Penambahan arang aktif. Arang aktif 0,8-1 % dapat mengahmbat
pembekuan agar
Konsentrasi agar yang biasa digunakan sebagai pemadat dalam media
kultur adalah 6-10 g/L. bahan pemadat lain yang dapat digunakan adalah gelrite,
yang memliki ciri lebih bening dari agar. Agsrose juga sering digunakan untuk
kultur protoplas dan mikrospora (Gunawan, 1998).
2.2.4. pH Media
Faktor penting lain adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa sehingga
tidak mengganggu fungsi membrane dan pH dari sitoplasma, pengaturan pH
selain memperhatikan kepentingan fisiologis sel jga berpengaruh pada (Gunawan,
1998):
1. Kelarutan garam-garam penyusun media
2. Penyerapan garam-garam lain dan zat pengatur tumbuh dari media
oleh jaringan tanaman
3. Efisiensi pembekuan agar
Media biasanya diatur pada kisaran 5.6 – 5.8 tapi tanaman yang berbeda
mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum. Jika pH
lebih tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH kurang dari
5.2, agar tidak dapat memadat. Pada umumnya setelah sterilisasi terjadi penurunan
pH media. Untuk mendapatkan pH media yang diinginkan setelah sterilisasi,
biasanya sebelu disterilkan pH media dibuat netral atau pH 7 (Gunawan, 1998).
2.2.5. Pemilihan Media.
Jika tidak ada informasi awal, biasanya mulai dengan media MS
(Murashige dan Skoog 1962). Media ini mengandung konsentrasi garam dan
nitrat yang lebih tinggi dibandingkan media lain, dan telah sukses digunakan pada
berbagai tanaman dikotil (Suryowinoto, 1991).
Umumnya, media kultur jaringan tanaman dibedakan menjadi media dasar
dan media perlakuan. Media dasar adalah kombinasi zat yang mengandung unsur
hara esensial (makro dan mikro), sumber energy dan vitamin. Penamaan media
dasar umumnya diambil dari nama penemunya atau peneliti yang menggunakan
pertama kali dalam kultur. Terdapat 13 komposisi media dalam kultur jaringan
antara lain Murashige dan Skoog (MS), Linsmaier dan Skoog (LS), Woody Plant
Medium (WPM), Knop, Knudson-C, Anderson dan lain-lain. Meskipun beberapa
jumlah komposisi dirubah untuk langkah-langkah kultur jaringan dan spesies
tanaman berbeda, media MS (Murashige dan Skoog, 1962) dan LS (Linsmaier
dan Skoog, 1965) paling banyak digunakan dalam kultur jaringan tanaman
(Suryowinoto, 1991).
2.3 Sterilisasi Media
Sebagai syarat mutlak suksesnya kultur jaringan tanaman, biasanya
sterilisasi dilakukan dengan menggunakan autoklaf. Bahkan autoklaf juga dapat
digunakan untuk sterilisasi media tumbuh kultur jaringan. Seperti halnya peralatan
kultur, media yang digunakan juga perlu dilakukan sterilisasi untuk menciptakan
kondisi lingkungan yang aseptic bagi eksplan.Tipe autoklaf yang dapat digunakan
untuk sterilisasi sangatlah beragam macamnya, mulai dari yang sederhana sampai
digital (terprogram) (Gunawan, 1988).
Autoklaf yang sederhana menggunakan sumber uap dari pemanasan air
yang ditambahkan ke dalam autoklaf. Pemanasan air dapat menggunakan kompor
atau api Bunsen. Dengan autoklaf sederhana ini, tekanan dan temperatur diatur
dengan jumlah panas dari api. Kelemahan dari autoklaf ini adalah bahwa perlu
adanya penjagaan dan pengaturan panas secara manual dan terkontrol, selama
masa sterilisasi dilakukan. Tetapi autoklaf ini mempunyai keuntungan, yaitu:
lebih sederhana sederhana, harga relatif murah, tidak tergantung dari aliran listrik
yang sering merupakan problema untuk negara-negara yang sedang berkembang,
serta lebih cepat dari autoklaf listrik yang seukuran dan setaraf (Gunawan, 1988).
Autoklaf yang lebih komplit menggunakan sumber energi dari listrik.
Alatnya dilengkapi dengan timer dan thermostat. Bila pengatur automatis ini
berjalan dengan baik. Maka autoklaf dapat dijalankan sambil mengerjakan
pekerjaan lain. Kelemahannya adalah bila salah satu pengatur tidak bekerja, maka
pekerjaan persiapan media menjadi sia-sia dan kemungkinan menyebabkan
kerusakkan total pada autoklaf. Sebagai sumber uap, juga berasal dari air yang
ditambahkan ke dalam autoklaf dan didihkan (Gunawan, 1988).
Biasanya untuk laboratorium komersial, menurut Gunawan (1988),
diperlukan autoklaf dengan kapasitas besar dan sumber uap biasanya dari boiler
yang terpisah. Autoklaf ini sangat cepat dan dapat diprogam waktu sterilisasi serta
waktu pendinginan. Setelah sterilisasi bahan atau alat selesai, temperatur dan
tekanan autoklaf diturunkan secara perlahan-lahan dalam waktu 15-20 menit.
Pada autoklaf yang programmable (memiliki program yang dapat diatur), panas
ini diatur secara atomatis. Tetapi pada autoklaf yang sederhana hal ini harus diatur
secara manual.
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Praktikum
Pembuatan media kultur dilakukan pada tanggal 24 Nopember 2012, pukul
10.00 WIB dan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan FMIPA Universitas
Tanjungpura Pontianak.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum pembuatan medum kultur adalah 10
buah spuit ( suntikan) , aluminium foil, autoklaf, batang pengaduk, beaker glass
500 ml, botol kultur, hot plate, karet gelang, magnetic stirrer, kertas pH dan
timbangan.
Bahan yang digunakan dalam praktikum pembutan media kultur adalah
akuades, agar, gula (sukrosa), stok hara makro A, B, C, D, E, dan stok besi (F),
stok hara mikro (G), stok vitamin, dan stok ZPT.
3.2. Prosedur Kerja
Pembuatan media kultur dilakukan dengan terlebih dahulu membuat
larutan agar dengan cara gula sebanyak 15 gram dimasukkan ke dalam beaker
glass yang berisi aquadest 500 ml, kemudian dimasukkan 3,5 gram serbuk agar.
Proses ini dilakukan di atas hot plate dengan suhu tertentu, ke dalam beaker galass
tersebut kemudian dimasukkan megnteic stirer yang dimaksudkan untuk
mempercepat homogenitas dari agar dan gula. Setelah itu, dengan menggunakan
sluit diambil masing-masing sebanyak 5 ml stok hara makro A, B, C, D, E, dan
stok besi (F) dan dimasukkan ke dalam campuran akuades, agar dan gula.
Kemudian dimasukkan juga ke dalamnya larutan stok hara mikro (G) sebanyak
0,5 ml, dan stok vitamin sebanyak 5 ml. Larutan media dibiarkan hingga
mendidih,
Setelah itu, larutan media dibagi menjadi 9 bagian sama banyak (50 ml).
Lalu ke dalam larutan media dimasukkan kombinasi stok ZPT (NAA dan BAP )
dengan konsentrasi yang berbeda-beda untuk masing-masing bagian larutan
media, yaitu : 0;0, 0;10-6, 0;10-7, 10-6;10-6, 10-6;10-7, 10-7;10-7, 10-7;10-6, 10-6;0, 10-
7;0. Lalu diukur pH media hingga mencapai pH 7 menggunakan kertas pH. Jika
belum mencapai ph 7 ke dalam larutan media ditambahkan larutan NaOH jika
larutan media terlalu asam dan ditambahkan larutan HCl jika terlalu asam. Setelah
itu setiap bagian larutan media yang sudah ber- pH 7 dimasukkan ke dalam 3
botol media (volume larutan media sama banyak) yang telah disterilisasi.
Dilakukan hal yang sama pada konsentrasi larutan media lainnya.
Kemudian dengan segera botol media ditutup menggunakan aluminuim
foil yang telah disterilisasi sebanyak 2 lapis dan diikat dengan karet gelang hingga
rapat. Lalu, ditepuk-tepuk mulut botol media yang telah dilapisi aluminium foli
dengan menggunakan telapak tangan. Setelah itu dibungkus dengan plastik
wayang, diikat dengan karet gelang, diusahakan agar tidak terdapat udara di dalam
palstik. Kemudian dilakukan sterilisasi media dengan menggunakan autoklaf. Hal
yang perlu diperhatiakn adalah pemberian label pada setiap botol media sesuai
dengan kombinasi konsentrasi stok ZPT.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Perlakuan Pengamatan
1. Pembuatan larutan agar dengan
mencampurkan akuades,
serbuk agar dan gula
a. Serbuk agar : 3,5 gram
b. Gula : 15 gram
c. Akuades : 500 ml
2. Diambil stok A, B, C, D, E, F,
G, dan stok vitamin dengan
menggunakan spuit
a. Stok A, B, C, D, E, dan F : 5
ml
b. Stok G : 0,5 ml
c. Stok vitamin : 5 ml
3. Campuran dipanaskan dengan
suhu tertentu di atas hot plate
yang di dalamnya sudah
terdapat magnetic stirer
4. Dibiarkan hingga mendidih Larutan agar keruh
5. Larutan agar dibagi menjadi 9
bagian sama banyak
1 bagian= 50 ml
1 bagian untuk 3 botol media
6. Setiap bagian ditetesi dengan
stok ZPT dengan volume
tertentu
ZPT : BAP dan NAA
7. Kemudian diukur pH media
hingga mencapai pH 7dengan
menggunakan kertas pH
8. Jika pH media belum mencapai
pH 7 ditambahkan larutan
HCl / NaOH
Jika larutan terlalu asam
ditambahkan larutan NaOH
Jika larutan terlalu basa
ditambahkan larutan HCl
9. Media kemudian dimasukkan
ke dalam botol media yang
telah disterilisasi
27 botol media
10. Botol media ditutup dengan
segera menggunakan aluminum
foil yang telah diserilisasi
11. Diikat dengan menggunakan
getah gelang dan ditepuk tepuk
12. Semua botol media kemudian
dimasukkan ke dalam plastik
wayang dan diikat dengan karet
gelang
Jangan sampai terdapat udara
didalamnya
13. Dilakukan proses sterilisasi
menggunakan autoklaf
Temperature 121°C, tekanan
15 lbs selama 15 menit
14. Diletakkan di dalam ruangan
steril ber-AC dan
berpermukaan rata
Disimpan hingga proses
penanaman dilakukan
4.2. Perhitungan
Diketahui : Konsentrasi Stok ZPT (NAA dan BAP) = 10-3 M
Volume media = 50 mL
Konsentrasi yang diinginkan = 10-6 M dan 10-7 M
Ditanya : Volume NAA dan BAP yang diambil = V1?
Jawab :
- NAA dan BAP 10-6 M
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 10-3 M = 50 mL x 10-6 M
V1 = 0,05 mL
- NAA dan BAP 10-7 M
V1 x M1 = V2 x M2
V1 x 10-3 M = 50 mL x 10-7 M
V1 = 0,005 mL
Tabel Konsentrasi ZPT
NAA
BAP 0 10-610-7
0 0,0 0, 10-6 0, 10-7
10-6 10-6,0 10-6, 10-6 10-6, 10-7
10-7 10-7,0 10-7, 10-6 10-7, 10-7
4.3 Pembahasan
Praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai pembuatan media
tumbuh kultur jaringan tanaman. Media merupakan faktor penentu dalam
perbanyakan dengan kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung
dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya
terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan
tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang
ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan
tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Pada praktikum ini media yang dibuat
adalah media Murashige- Skoog. Media ini merupakan media yang paling sering
digunakan untuk hamper semua tanaman terutama tanaman herbal, mempunyai
konsentrasi garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3-
dan NH4+
Langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan larutan agar yang
akan dijadikan media tumbuh. Larutan agar dibuat dengan mencampurkan 3,5
gram agar, 15 gram gula dan 500 ml akuadest, pencampuran dilakukan di dalam
beaker glass dan di atas hot plate untuk menghindari terjadinya pembekuan agar.
Setiap penimbangan atauun penakaran harus dilakukan secara tepat karena
ketidaktepatan ukuran dapat menyebabkan terjadinya proses yang tidak
dikehendaki. Kemudian ke dalam campuran dimasukkan magnetic stirer yang
berfungsi untuk membantu proses pengadukan agar homogenitas cepat terjadi.
Selain itu penggunaan stirer juga untuk menggantikan batang pengaduk sehingga
memperkecil terjainya kontaminasi. Agar merupakan bahan pemadat yang paling
banyak digunakan.
Agar dalah campuran polisakarida yang diperoleh dari spesies alga.
Penggunaan agar sebagai bahan pemadat karena agar tidak dicerna oleh enzim
tanaman, tidak bereaksi dengan substansi penyusun media, serta dapat
mempertahankan keadaan kultur dalam beku yang stabil. Kekerasan media akan
meningkat sesuai dengan peningkatan konsentrasi agar. konsentrasi pemadat yang
terlalu tinggi dapat mengurangi difusi zat dari media ke dalam eksplan sehingga
pengambilan hara dan zat tumbuh berkurang. Sedangkan gula merupakan salah
satu unsur hara organic yang ditambahkan ke dalam media kultur jaringan. Pada
kultur in vitro sel dan jaringan tumbuhan belum sempurna untuk melakukan
asimilaspi fotoautotrof, sehingga diperlukan gula sebagai sumber karbon dan
energy. Selain itu gula juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tekanan
osmotic di dalam media. Pemilihan gula dan konsentrasi yang digunakan
tergantung dari jaringan tumbuhan yang akan dikulturkan dan tujuan yang akan
dicapai. Air yang digunakan berfungsi untuk membentuk material tubuh, sebagai
media untuk reaksi-reaksi kimia dan fisika, dan berguna untuk transport dan
distribusi zat-zat terlarut di dalamnya.
Setelah itu ditambahkan stok yang telah dibuat sebelumnya, yaitu stok
hara makro A, B, C, D, E, dan F, stok hara mikro G, dan stok vitamin.stok hara
makro yang ditambahkan sebanyak 5 ml yang diambil menggunakan spuit
(suntikan) yang berbeda untuk setiap stok. Stok hara mikro yang digunakan
sebanyak 0,1 ml, sedangkan stok vitamin yang ditambahkan sebanyak 5 ml.
Terlihat terdapat perbedaan yang signifikan antara volume stok hara makro dan
mikro yang digunakan. Karena sesuai dengan namanya sendiri dapat diketahui
bahwa hara makro merupakan hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang besar
sedangkan hara mikro merupakan hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang kecil.
Kemudian larutan dibiarkan hingga mendidih. Terbentuk larutan yang keruh.
Setiap stok mengandung unsur-unsur anorganik yang berbeda-beda, di
mana mempunyai fungsi masing-masing. Unsur-unsur tersebut seperti Nitrogen
(N), Kalium (K), Sulfur (S), Kalsium (Ca),Magnesium (Mg), Besi (Fe), Mangan
(Mn), Seng (Zn), Boron (B), Molibdenum (Mo), Tembaga (Cu), Klor (Cl) dan
Kobalt (Co), yang diberikan dalam bentuk persenyawaan. Nitrogen merupakan
penyusun asam-asam nukleat, protein, sebagai koenzim atau persenyawaan lain
dan beberapa hormone. Kalium diperlukan untuk memacu pembelahan sel, sintesa
karbohidrat dan protein, pembentukan klorofil serta mereduksi nitrat. Sulfur untuk
memacu perkembangan akar, juga berguna untuk ketahanan atau proteksi tubuh
tumbuhan. Sedangkan kalsium diperlukan untuk pembentukan dinding sel primer,
Magnesium sebagai elemen utama dalam pembentukan klorofil, sebagai activator
enzim terutama dalam proses fosforilasi dan sintesis protein dengan cara
membentuk kompleks enzim-substrat. Besi berfungsi sebagai penyanggauntuk
menangga kestabilan pH media selama masa kultur, Boron beperan dalam
translokasi karbohidrat dan sebagai activator dan inaktivator bagi zat pengatur
tumbuh. Molibdenum berperan dalam konfersi nitrogen ke ammonia dan fiksasi
nitrogen, sedangkan Mangan berperan sebagai activator enzim dan Kobalt penting
untuk fiksasi nitrogen. Seng berperan sebagai activator enzim, penyusun klorofil,
Tembaga berperan dalam proses fotosintesis dan reduksi nitrat, sedangkan Klor
sebagai ion berpengaruh terhadap aktivitas enzim, memacu proses fotosintesis.
Stok vitamin yang ditambahkan berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan,
diferesiansi kalus. Berperan sebagai kofaktor dari reaksi-reaksi enzimatis penting
dan berfungsi protektif. Vitamin yang digunakan adalah glisin, mio-inositol, asam
nikotinat, piridoksin HCl dan tiamin HCl.
Langkah selanjutnya adalah membagi larutan media menjadi 9 bagian
dengan volume 50 ml. kemudian ke dalam setiap bagian ditambahkan stok
kombinasi ZPT, yaitu NAA (1- Naphtalene acetic acid) yang merupakan auksin
dan BAP (6-benzyl amino purine) yang merupakan sitokinin. Zat pengatur
tumbuh adalah senyawa organic bukan hara yang diproduksi di dalam tubuh
tanaman (endogen) dan memberikan pengaruh pada konsentrasi yang rendah. Zat
pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi
dalam jaringan tanaman. Dalam proses pembentukan organ seperti tunas atau akar
ada interaksi antara zat pengatur tumbuh eksogen yang ditambahkan ke dalam
media dengan zat pengatur tumbuh endogen yang diproduksi oleh jaringan
tanaman. Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat
meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga
menjadi “factor pemicu” dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan. Untuk
memacu pembentukan tunas dapat dilakukan dengan memanipulasi dosis auksin
dan sitokinin eksogen. Kombinasi antara sitokinin dengan auksin dapat memacu
morfogenesis dalam pembentukan tunas. Konsentrasi NAA dan BAP yang
digunakan adalah 0;0, 0;10-6, 0;10-7, 10-6;10-6, 10-6;10-7, 10-7;10-7, 10-7;10-6, 10-6;0,
10-7;0. Satu kombinasi ZPT digunakan untuk satu bagian media.
Setelah itu dilakukan pengukuran pH media dengan menggunakan kertas
pH. pH merupakan salah satu factor penting yang harus diperhatikan sehingga
nantinya tidak mengganggu fungsi membrane dan pH dari sitoplasma. Selain itu
pH juga berpengaruh pada kelarutan garam-garam penyusun media, penyerapan
garam-garam lain dan zat pengatur tumbuh serta efisiensi pembekuan agar. pH
media optimum berkisar antar 5,0 – 6,0. pH akan mengalami peningkatan apabial
nutrient telah habis. pH yang ingin dicapai pada praktikum ini adalah pH netral =
pH 7, karena pada umumnya setelah serilisasi akan terjadi penurunan pH media
sehingga nantinya akan mencapai pH optimum saat proses sterilisasi selesai. Jika
pH media belum mencapai 7 atau bahkan melebihi 7 dapat dilakukan pengaturan
pH dgan menggunakan larutan NaOH atau HCl. Larutan NaOH digunakan jika
pH media kurang dari 7 sedangkan larutan HCl digunakan jika pH media lebih
dari 7.
Jika pH media sudah mencapai 7 maka kemudian media dimasukkan ke
dalam 3 botol media untuk setiap bagian. Jadi setiap konsentrasi dibuat 3 media
sebagai perbandingan dan sebagai cadangan jika terjadi kontaminasi pada salah
satu botol. Media yang telah dimasukkan ke dalam botol media kemudian segera
ditutup untuk menghindari kontaminasi dari luar. Penutupan dilakukan dengan
menggunakan aluminium foil steril dan diikat dengan karet gelang untuk
meminimalisir masuknya kontaminan ke dalam botol sambil ditepuk-tepuk bagian
atas aluminium foil untuk menhilangkan udara di dalam botol. Setelah itu,
keseluruhan botol dimasukkan ke dalam plastic wayang dan diikat dengan karet
gelang dengan erat, diusahakan agar tidak ada udara di dalam palstik karena akan
mengganggu pada proses sterilisasi.
Seperti halnya peralatan kultur, media yang digunakan juga perlu
dilakukan sterilisasi untuk menciptakan kondisi lingkungan yang aseptic bagi
eksplan. Sterilisasi media dilakukan dengan menggunakan autoklaf. Temperature
yang digunakan untuk sterilisasi adalah 121°C pada tekanan 15 lbs selama 15-20
menit tergantung dari volume wadah dan volume media. Volume yang lebih besar
membutuhkan tekanan yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama. Namun
sterilasasi yang lama akan menyebabkan terjadinya penguraian gula, degradasi
vitamin dan asam amino dan perubahan pH yang berakibat depolimerisasi agar.
Perhitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan yang diinginkan tercapai.
Jika waktu sterilisasi media selesai, tekanan pada autoklaf tidak boleh diturunkan
secara mendadak karena dapat menyebabakan cairan yang ada di dalam wadah
menjadi mendidih dan meluap. Setelah selesai sterilisasi media diletakkan di
dalam ruangan steril yang ber- AC dan diusahan agar peletakkan botol media pada
permukaan yang rata karena akan mempengaruhi bentuk permukaan agar. Media
kemudian disimpan hingga proses penanaman selanjutnya.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa :
a. Fungsi media pada kultur jarinagn tanaman adalah sebagai tempat tumbuh
berkembangnya ekspan/ jaringan untuk mejadi tanaman utuh.
b. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur hara
makro dan mikro saja, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa
gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer
melalui fotosintesis.
c. Setiap komponen-komponen penyusun media memliki perannya masing-
masing yang mendukung proses pertumbuhan dan perkembangan jaringan
tanaman.
5.2. Saran
a. Penimbangan dan penakaran bahan yang digunakan harus dilakukan
dengan tepat
b. Tidak banyak melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan kemungkinan
terjadinya kontaminasi
c. Setiap proses dilakukan dengan cepat tapi tepat
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Media Kultur Jaringan. http://www.fp.unud.ac.id/biotek/kultur-
jaringan-tanaman/ 12-media-kultur-jaringan.html. Diakses tanggal Diakses
4 Januari 2013 pukul 22.32 WIB.
Cameiro, L.A., R.F.G. Araujo, G.J.M Brito, M.P.H.P. Fonseca, . Costa, O.J.
Crocomo and. E. Mansur, 1999. In Vitro Regeneration from Leaf Explants of
Neoregelia cruenla (R. Graham) L.B. Smith, an endemic bromeliad from Eastern
Brazil. Plant Cell, Tissue and Organ Culture.
Davies, P.J. 1995. The plant hormone their nature, occurence and function. In
Davies (ed.) Plant Hormone and Their Role in Plant Growth Development.
Dordrecht Martinus Nijhoff Publisher. London.
Dodds, J.H. and L.R. Roberts. 1982. Experiments in Plants Tissue Culture.
Cambridge University Press. Cambridge.
Gaba, V.P. 2005. Plant Growth Regulator. In R.N. Trigiano and D.J. Gray (eds.)
Plant Tissue Culture and Development. CRC Press. London.
Flick, C.E., D.A. Evans, and W.R. Sharp. 1993. Organogenesis. In D.A. Evans,
W.R. Sharp, P.V. Amirato, and T. Yamada (eds.) Handbook of Plant Cell
Culture Collier Macmillan. Publisher London.
George, E.F. 1993. Plant Propagation by Tissue Culture. Part 1. The Technology
Exegetic. England.
George, E.F. and P.D. Sherington. l984. Plant Propagation by Tissue Culture.
Handbook and Directory of Commercial Laboratories. Exegetic.
England.
Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur
Jaringan, PAU Bioteknologi. IPB.
Herawan, T dan M. Na’iem. 2006. Pengaruh Jenis Media dan Konsentrasi Zat
Pengatur Tumbuh Terhadap Perakaran pada Kultur Jaringan Cendana
(Santalum album Linn.). Jurnal Agrosains 19(2) : 103-109.
Huetterman, C.A. and J.E. Preece. 1993. Thidiazuron a potent cytokinin for
woody plant tissue culture. Plant Cell Tiss. Org. Cult.
Lestari, Endang G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1):63-68.
Lu, C.Y. l993. The use of thidiazuron in tissue culture. In Vitro Cell Dev. Biol.
Pierik, R.L.M. l987. In Vitro Culture of Higher Plants.Martinus Nijhoff Publisher.
London.
Poonsapaya, P.M.W, Nabors, W. Kersi, and M. Vajrabhaya. l989. A comparison
of methods for callus culture and plant regeneration of RD-25 rice (Oryza
sativa L.) in vitro laboratoris. Plant Cell Tiss. Org. Cult.
Prakash, S., M.I. Hoque, and T. Brinks. 2004. Culture media and containers. In:
Low Cost Options for Tissue Culture Technology in Developing Countries.
Proceedings of Workshop of FAO-IAEA Division of Nuclear
Techniques in Food and Agriculture. Vienna, 26-30 August 2002.
Rahardja, P. C. 1995. Kultur Jaringan : Teknik Perbanyakan Tanaman Secara
Modern. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Satyavathi, V.V., P.P. Jauhar, E.M. Elias, and M.B. Rao. 2004. Genomics,
molecular genetic and biotechnology efects of growth regulators on in vitro
plant regeneration. Crop Sci.
Seswita, D., I. Mariska, dan E.G. Lestari. 1996. Mikropropagasi nilam
penampakan chimera hasil radiasi pada kalus. Prosiding Pertemuan Ilmiah
Aplikasi Isotop dan Radiasi. Jakarta.
Singha, S. and S.K. Bathia. l988. Shoot proliferation of pear culture on medium
containing thidiazuron and benzyl aminopurine. Hort. Sci.
Suryowinoto, M. 1991. Budidaya Jaringan dan Manfaatnya. Fakultas Biologi.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Wardiyati, T.. 1998. Kultur Jaringan Tanaman Hortikultura. Lembaga Penelitian
Fakultas Pertanian UNIBRAW. Malang.
Winata, L. l987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman.
Pusat Antar Universitas (PAU). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yuwono T. 2008. Bioteknologi Pertanian. UGM Press. Yogyakarta.
Zaer and Mapes. 1982. Action of growth regeneration. In Bonga and Durzan
(eds.) Tissue Culture in Forestry. Martinus Nijhoff. London.