Download - Laporan Kasus PPOK Winny
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), yang juga dikenal sebagai Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD), merupakan obstruksi saluran pernapasan yang progresif dan
ireversibel, terjadi bersamaan bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya. Terdapat enam
faktor risiko terjadinya PPOK yaitu merokok, hiperesponsif saluran pernapasan, infeksi jalan
napas, pemaparan akibat kerja, polusi udara dan faktor genetik. Merokok dikatakan sebagai
faktor risiko utama terjadinya PPOK.
Menurut WHO, PPOK merupakan salah satu penyebab kematian yang bersaing dengan
HIV/AIDS untuk menempati tangga ke-4 atau ke-5 setelah penyakit jantung koroner, penyakit
serebrovaskuler, dan infeksi akut saluran pernapasan. Laporan terbaru WHO menyatakan bahwa
sebanyak 210 juta manusia mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal akibat
PPOK pada tahun 2005. Diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan menjadi penyebab ke-3
kematian di seluruh dunia.
Dikatakan 80-90% kematian pada penderita PPOK berhubungan dengan merokok. WHO
menyatakan hampir 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan oleh rokok.
Dilaporkan perokok adalah 45% lebih berisiko untuk terkena PPOK berbanding bukan perokok.
WHO turut menyatakan bahwa perokok pasif berisiko tinggi, terutama pada anak-anak dan
individu yang terpapar. Diperkirakan perokok pasif dapat meningkatkan risiko PPOK pada orang
dewasa sebanyak 10-43%.
Menurut Regional COPD Working Group, jumlah kasus PPOK di Asia adalah tiga kali
lipat jumlah kasus di negara-negara lain di dunia. Di negara-negara yang sedang berkembang,
perilaku merokok semakin bertambah sekitar 3.4% setiap tahun. Menurut WHO, bagian Pasifik
Barat, yang meliputi Asia Timur dan Pasifik, adalah bagian yang tercatat dengan angka merokok
tertinggi. Sekitar 80,000 hingga 100,000 anak-anak di seluruh dunia mulai merokok setiap hari
dan hampir sebagiannya adalah dari Asia. Regional COPD Working Group menunjukkan
sebanyak 56,6 juta individu telah dijangkiti PPOK yang sederhana dan buruk. Data ini adalah
dikalangan individu berumur 30 tahun ke atas di 12 buah negara Asia yang telah dikenal pasti.
Menurut Depkes RI, survei di lima rumah sakit propinsi di Indonesia pada tahun 2004
menunjukkan bahwa PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%),
diikuti asma bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%). Penggunaan tembakau di
Indonesia diperkirakan telah menyebabkan 70% kematian akibat penyakit paru kronik dan
emfisema. Lebih dari setengah juta penduduk Indonesia menderita penyakit saluran pernapasan
akibat penggunaan tembakau pada tahun 2001.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/berbahaya.
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara
obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema)
yang bervariasi pada setiap individu. PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat
merokok dalam waktu yang lama. Dampak PPOK pada setiap individu tergantung derajat
keluhan (khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala
komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran
udara.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena :
Emfisema merupakan diagnosis patologi
Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran napas.
II. FAKTOR RISIKO
Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan
penatalaksanaan PPOK. Beberapa studi longitudinal telah mengikuti populasi hingga 20
tahun, termasuk periode dan perinatal yang penting dalam membentuk masa depan individu
yang berisiko PPOK. Pada dasarnya semua risiko PPOK merupakan hasil interaksi
lingkungan dan gen. Misalnya, dua orang dengan riwayat merokok yang sama, hanya satu
yang berkembang menjadi PPOK, karena perbedaan dalam predisposisi genetik untuk
penyakit ini, atau dalam berapa lama mereka hidup. Status sosial ekonomi dapat
dihubungkan dengan berat badan lahir anak yang dapat berdampak pada pertumbuhan dan
pengembangan paru. Beberapa hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK sampai
saat ini, yaitu :
a. Asap Rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi
sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian
2
dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan VEP1. Angka kematian pada perokok
mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan perokok. Perokok dengan
pipa dan cerutu mempunyai morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan
bukan perokok, tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan perokok sigaret.
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak
semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor
risiko genetik setiap individu. Perokok pasif atau dikenal sebagai environmental tobacco
smoke (ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, karena
terjadi peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas.
Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-199
Sedang : 200-599
Berat : >600
b. Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi penyebab
terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek yang berbeda
terhadap timbulnya dan beratnya PPOK.
c. Stres Oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul dari sel
fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap rokok.
Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses
oksidan dan atau deplesi anti oksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif
tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktivitas
molekuler sebagai awal inflamasi paru.
d. Infeksi Saluran Napas Bawah Berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi
bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan
eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi
paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat beberapa
kemungkinan seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar
timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK. Pengaruh
berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan faktor
risiko PPOK. Kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian emfisema. Riwayat
3
infeksi tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40
tahun.
e. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara
pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi yang
jelek, dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan
dapat menjelaskan hal ini. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan
kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan massa otot dan kekuatan serabut
otot. CT-scan paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa
menunjukkan gambaran seperti emfisema.
f. Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan pajanan
waktu kecil. Studi menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa
anak.
g. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun belum dapat
disimpulkan. The Tucson Epidemilogical Study mendapatkan bahwa orang dengan asma
12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti
merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan
ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel.
h. Gen
Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan α-1 antitrypsin
sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada
individu yang berasal dari Eropa Utara. Meskipun kekurangan α-1 antitrypsin yang
hanya sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini menggambarkan interaksi antara gen
dan pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK. Risiko obstruksi aliran udara secara
genetik telah diteliti pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya
PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1 dan TNF. Gen-gen di atas banyak yang belum pasti
kecuali kekurangan α-1 antitrypsin.
III. PATOLOGI, PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran napas yang besar dan kecil
bahkan unit respiratori terminal. Terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar
patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukus dan emfisema paru yang
4
ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal
bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Penyempitan saluran napas tampak pada saluran napas yang besar dan kecil yang
disebabkan oleh perubahan normal saluran napas terhadap respon inflamasi yang
persisten. Epitel saluran napas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami
metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertrofi. Proses
ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran napas tersebut, hanya saja proses
remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi
dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran napas yang kecil akan
memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran napasnya, termasuk hiperplasia sel
goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, serta hipertrofi dan
hiperplasia otot polos.
Gambar 1. Gambaran Epitel Saluran Napas pada PPOK dan Orang Sehat
Pola kerusakan saluran napas pada emfisema menyebabkan terjadinya
pembesaran rongga udara pada permukaan saluran napas yang kemudian menjadikan
paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.
Inflamasi pada saluran napas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi
yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin
dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidakseimbangan
pada protease dan anti protease serta defisiensi α-1 antitrypsin menjadi dasar patogenesis
PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil, makrofag dan limfosit akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi dengan struktur sel pada
saluran napas dan parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan inflamasi saluran
napas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah
berhenti merokok.
5
Peningkatan netrofil, makrofag dan
limfosit T di paru-paru akan memperberat
keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini
akan melepaskan beragam sitokin dan
mediator yang berperan dalam proses
penyakit, diantaranya adalah leucotrien-
B4, chemotactic factors seperti CXC
chemokines, interleukin-8 dan growth
related oncogene-α, TNF-α, IL-1ß dan
TGF-ß. Selain itu ketidakseimbangan
aktivitas protease atau inaktivitas
antiprotease, adanya stres oksidatif dan
paparan faktor risiko juga akan memacu
proses inflamasi seperti produksi netrofil
dan makrofag serta aktivasi faktor
transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor
inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi
silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi
saluran napas pada saluran napas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping
pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas
perbandingan ventilasi, yaitu perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia
arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi
pulmonal dimana abnormalitas perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi
arteri pulmonalis sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri
pulmonalis (hipertrofi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi pulmonary capillary bad
menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.
IV. DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang
jelas. Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indikator ini ada pada
individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnosis pasti, tetapi
keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK.
Spirometri diperlukan untuk memastikan diagnosis PPOK.
6
Gr 2. Mekanisme Inflamasi Pada PPOK
Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut :
a. Gambaran Klinis
Anamnesis :
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Pemeriksaan fisik :
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a) Inspeksi :
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertrofi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Pink puffer :
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed-lips breathing.
Blue bloater :
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed-lips breathing :
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
b) Palpasi :
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
7
c) Perkusi :
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah.
d) Auskultasi :
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
b. Pemeriksaan Penunjang :
a) Pemeriksaan rutin :
Faal paru : Spirometri
The National Heart, Lung, dan Darah Institute merekomendasikan spirometri untuk
semua perokok yang berusia 45 tahun atau lebih tua, terutama mereka yang dengan sesak
napas, batuk, mengi, atau dahak persisten. Meskipun spirometri merupakan gold standard
dengan prosedur sederhana yang dapat dilakukan di tempat, tetapi itu kurang
dimanfaatkan oleh praktisi kesehatan.
Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced Expiratory Volume in
1s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1 adalah volume udara yang pasien dapat
keluarkan secara paksa dalam satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada
pasien dapat diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah volume
maksimum total udara yang pasien dapat hembuskan secara paksa setelah inspirasi penuh.
Laboratorium darah :
Hemoglobin, Hematokrit, Trombosit, Leukosit, Analisis Gas Darah.
Radiologi :
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
• Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum/ tear drop/ eye drop appearance)
• Pada bronkitis kronik :
Normal
8
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
b) Pemeriksaan Penunjang Lanjutan :
Analisis gas darah :
Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal
napas kronik.
Elektrokardiografi (EKG) :
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
Ekokardiografi : menilai fungsi jantung kanan
Bakteriologi :
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
V. DIAGNOSIS BANDING
Berbagai penyakit dapat memiliki gejala dan tanda menyerupai PPOK. Oleh sebab itu,
diagnosis PPOK harus didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Tabel 1. Diagnosis Banding PPOKDiagnosis GejalaPPOK Onset pada usia pertengahan
Gejala progresif lambatLamanya riwayat merokokSesak saat aktivitasSebagian besar hambatan aliran udaraIreversibel
Asma Onset awal sering pada anakGejala bervariasi dari hari ke hariGejala pada malam / menjelang pagiDisertai atopi, rhinitis atau eksimRiwayat keluarga dengan asmaSebagian besar keterbatasan aliran udaraReversibel
Gagal Jantung Kongestif Auskultasi terdengar ronkhi halus di bagian basalFoto toraks tampak jantung membesar, edema paruUji faal paru menunjukkan restriksi bukan
9
obstruksiBronkiektasis Sputum produktif dan purulen
Umumnya terkait dengan infeksi bakteriAuskultasi terdengar ronki kasarFoto toraks / CT-scan toraks menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus
Tuberkulosis Onset segala usiaFoto toraks menunjukkan infiltratKonfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)Prevalensi tuberkulosis tinggi di daerah daerah
Bronkiolitis Obiterans Onset pada usia muda, bukan perokokMungkin memiliki riwayat rheumatoid arthritis atau pajanan asapCT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hipodens
Panbronkiolitis Difus Lebih banyak pada laki-laki bukan perokokHampir semua menderita sinusitis kronikFoto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak menyebar kecil di sentrilobular dan gambaran hiperinflamasi
Gejala-gejala diatas ini sesuai karakteristik penyakit masing-masing, tetapi tidak terjadi pada setiap kasus. Misalnya, seseorang yag tidak pernah merokok dapat menderita PPOK (terutam di Negara berkembang yang faktor risiko lain mungkin lebih penting daripada merokok; asma dapat berkembang di usia dewasa bahkan pada lanjut usia.
Penyakit lain yang bisa menjadi diagnosis banding PPOK adalah :
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis) :
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pascatuberkulosis dengan lesi paru yang minimal.
Pneumotoraks :
Dada cembung di tempat kelainan, perkusi hipersonor, auskultasi saluran napas melemah.
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : destroyed lung.
VI. KLASIFIKASI
Terdapat ketidaksesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu
diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1.
10
Tabel 2. Klasifikasi PPOKDerajat Klinis Faal Paru
Gejala Klinis(batuk, produksi sputum)
Normal
Derajat I :PPOK Ringan
Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien seering tidak menyadari bahwa faal paru mulai menurun
VEP1 / KVP < 70%.
VEP1 ≥ 80% prediksi
Derajat II :PPOK Sedang
Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
VEP1 / KVP < 70%.
50% < VEP1 < 80% prediksi
Derajat III :PPOKBerat
Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien
VEP1 / KVP < 70%.
30% < VEP1 < 50% prediksi
Derajat IV :PPOK Sangat Berat
Gejala diatas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat menganjam jiwa.
VEP1 / KVP < 70%.
VEP1 < 30% prediksi atau
VEP1 < 50% prediksi
disertai gagal napas kronik
VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan :
Mengurangi gejala
Mencegah progresivitas penyakit
Meningkatkan toleransi latihan
Meningkatkan status kesehatan
Mencegah dan menangani komplikasi
Mencegah dan menangani eksaserbasi
Menurunkan kematian
a) Edukasi :
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari
edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan
perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel,
11
menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma.
b) Berhenti merokok :
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.
c) Obat-obatan :
Bronkodilator :
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator :
• Golongan antikolinergik : digunakan pada derajat ringan sampai berat,
disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi mukus (maksimal
4 kali perhari).
• Golongan agonis β-2 : bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
• Kombinasi antikolinergik dan agonis β–2 : kombinasi kedua golongan obat
ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai
tempat kerja yang berbeda.
Antiinflamasi :
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison.
Antibiotika : hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.
Mukolitik :
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viskous.
Antitusif : diberikan dengan hati–hati
12
d) Rehabilitasi :
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu :
latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan.
e) Terapi Oksigen :
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ-organ lainnya.
f) Nutrisi :
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapnia menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan
menambah mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru
dan perubahan analisis gas darah.
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
a. Gagal napas
Gagal napas kronik :
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal.
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
• Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
• Sputum bertambah dan purulen
• Demam
• Kesadaran menurun
b. Infeksi berulang :
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni
kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang.
c. Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung
kanan.
13
IX. PENCEGAHAN
a. Mencegah terjadinya PPOK :
Hindari asap rokok
Hindari polusi udara
Hindari infeksi saluran napas berulang
b. Mencegah perburukan PPOK :
Berhenti merokok
Gunakan obat-obatan adekuat
Mencegah eksaserbasi berulang
14
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. H.E
Tempat/ Tanggal Lahir : Romboken, 9 Januari 1948
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pensiunan Guru
Alamat : Jl. Kembang
Tanggal Berobat : 2 Februari 2015
II. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Sesak napas memberat sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sesak napas dirasakan memberat sejak 2 hari yang lalu. Sesak napas dirasakan terus-
menerus, sesak semakin bertambah saat melakukan aktivitas, berkurang dengan istirahat.
Sesak napas tidak dicetuskan oleh karena menghirup debu atau bau-bauan. Riwayat sesak
napas sejak ±2 tahun yang lalu. Setiap hari pasien tetap merasa sesak napas meskipun
minimal dan bertambah berat seiring berjalannya waktu. Saat sesak napas, sering terdengar
suara mengi. Untuk mengobati keluhan ini, pasien telah berobat ke Puskesmas namun pasien
tidak mengetahui nama obat yang diberikan.
Batuk sejak ±2 minggu yang lalu, batuk berdahak berwarna kehijauan. Riwayat batuk
sejak ±2 tahun yang lalu, batuk berdahak berwarna putih. Riwayat batuk bercampur darah
disangkal.
Demam sejak ±2 minggu yang lalu, demam dirasakan sumer-sumer. Riwayat penurunan
berat badan yang drastis dalam waktu singkat disangkal. Berkeringat saat malam hari
disangkal.
Riwayat nyeri dada disangkal, riwayat jantung terasa berdebar-debar disangkal. Riwayat
sesak napas yang membuat pasien terbangun pada malam hari disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat diabetes melitus disangkal
15
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat asma bronkial disangkal
Riwayat pengobatan TB paru disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Hanya penderita yang memiliki keluhan seperti ini.
Riwayat Sosial :
Pasien merokok sejak berumur 16 tahun dan sampai saat ini pasien masih merokok.
Pasien merokok ± 18 batang/hari.
Indeks Brinkman (IB) : 51 tahun x 18 batang/hari = 918 Perokok Berat
III. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital :
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 26 x/menit
Suhu : 37,9 °C
Status Gizi
Keadaan Gizi : cukup
TB : 165 cm
BB : 55 Kg
IMT : 20,2
Status Internus
Kepala : mesosefali, rambut hitam, tidak mudah dicabut
Kongjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Pernapasan cuping hidung : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Leher :
Trakea : letak di tengah
Kelenjar Getah Bening : tidak membesar
JVP : 5+2 cmH2O
16
Toraks :Bentuk dada : barrel chest
Paru : Anterior - Inspeksi : Statis : simetris kanan dan kiri
Dinamis : simetris kanan dan kiri
Retraksi : (-)
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri
Auskultasi : suara pernapasan vesikuler,
rhonki basah kasar setinggi ICS III ke bawah kanan dan
kiri,
wheezing diseluruh lapangan paru kanan dan kiri.
Posterior - Inspeksi : Statis : simetris kanan dan kiri
Dinamis : simetris kanan dan kiri
Palpasi : stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri
Auskultasi : suara pernapasan vesikuler,
rhonki basah kasar setinggi ICS IV ke bawah kanan dan
kiri,
wheezing diseluruh lapangan paru kanan dan kiri.
Jantung :Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V
linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
batas jantung kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, reguler, bising (-)
Abdomen :Inspeksi : datar, lemas
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium (-),
hepar dan lien tidak teraba,
nyeri tekan supra pubik (-)
Perkusi : timpani
Ekstremitas : keempat ekstremitas edema (-),
akral hangat, sianosis (-), CRT < 2 detik
17
IV. RESUMELaki-Laki, 67 tahun, datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RS. Ratumbuysang Manado
dengan keluhan sesak napas yang dirasakan memberat sejak 2 hari yang lalu, bertambah saat
beraktivitas, berkurang dengan istirahat. Riwayat sesak napas sejak ±2 tahun yang lalu,
bertambah berat seiring berjalannya waktu. Batuk sejak ±2 minggu yang lalu, batuk berdahak
berwarna kehijauan. Riwayat batuk berdahak sejak ±2 tahun yang lalu. Demam sumer-sumer
sejak ±2 minggu yang lalu. Merokok selama ±51 tahun dengan jumlah ±18 batang/hari. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan respirasi 26 x/menit dan suhu 37,9 °C. Toraks berbentuk barrel
chest, ronkhi basah kasar setinggi ICS III ke bawah kanan dan kiri, wheezing diseluruh
lapangan paru kanan dan kiri.
V. DIAGNOSIS KERJAPPOK Eksaserbasi Akut dengan Suspek Pneumonia
VI. DIAGNOSIS BANDING Asma Bronkial TB Paru Gagal Jantung Kongestif
VII. RENCANA PEMERIKSAAN Hematologi rutin, LED, analisis gas darah, gula darah, profil lipid, fungsi hati (SPOT,
SGPT), fungsi ginjal (ureum, kreatinin, asa urat), elektolit (Na, K, Cl), kultur darah, kultur sputum, sputum BTA 3x, urinalisis.
Spirometri X-Foto Toraks PA dan Lateral EKG Ekokardiografi
VIII. PENATALAKSANAAN
a. Non farmakologis :
Edukasi tentang penyakit kepada pasien dan keluarga, tentang obat-obatan, cara
pencegahan perburukan, berhenti merokok, penyesuaian aktivitas, makan makanan
bergizi.
b. Farmakologis :
Inhalasi Berotec 100 mcg (Fenoterol hidrobromida), 3 x sehari (terutama saat serangan sesak)
Salbutamol 4 mg, 3 x 1 tablet
Inhalasi Spiriva 18 mcg (Tiotropium Bromide), 2 x sehari
Metilprednisolon 4 mg, 3 x 1 tablet
Azitromisin 500 mg, 1 x 1 kaplet
Ambroxol 30 mg, 3 x 1 tablet
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Eksaserbasi
merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi yang ditandai dengan adanya perburukan
gejala pernapasan yang akut dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, memberatnya sesak
napas dan bertambahnya volume serta purulensi sputum. Mekanisme inflamasi yang
mengakibatkan eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum diketahui. Pada eksaserbasi ringan
dan sedang terdapat peningkatan netrofil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil
dalam sputum dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi
mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif.
Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian
menunjukkan peningkatan netrofil pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi
kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperflasi dan terperangkapnya udara, dengan
pengurangan aliran ekspirasi, sehingga terjadi peningkatan sesak napas.
Penyebab tersering eksaserbasi adalah infeksi virus, bakteri, dan polusi udara. Sampai
saat ini, peran bakteri sebagai penyebab utama eksaserbasi masih diperdebatkan. Hurst dkk,
mendapati 76% eksaserbasi berhubungan dengan infeksi bakteri. Bakteri yang sering dijumpai
saat eksaserbasi antara lain Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae dan Moraxela
catarrhalis. Selain itu terdapat pula Pseudomonas aeruginosa, Klebsiela spp, Staphylococcus.
aureus, Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia spp. Global initiative for Obstructive Lung
Disease (GOLD) 2007 sepakat adanya sputum yang purulen mengindikasikan dapat dimulainya
terapi antibiotik secara empiris.
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang
ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Obat yang diperlukan pada
eksaserbasi akut berupa bronkodilator, kortikosteroid serta antibiotik. Penggunaan preparat β2-
agonis baik inhalasi maupun oral dengan atau tanpa antikolinergik serta glukokortikoid oral
merupakan pengobatan yang efektif untuk PPOK eksaserbasi akut. Pada pasien ini diberikan
kombinasi preparat β2-agonis kerja cepat dengan antikolinergik yaitu berupa inhalasi Berotec
100 mcg (Fenoterol hidrobromida) saat serangan sesak, dan salbutamol oral 30 mg, 3 x 1 tablet.
Untuk terapi maintenence pasien diberikan inhalasi Spiriva 18 mcg (Tiotropium Bromide) 2 x
sehari. Pasien ini juga diberikan Metilprednisolon 4 mg, 3 x 1 tablet untuk mengurangi proses
inflamasi yang terjadi di saluran napas.
19
Pemakaian Ambroksol saat eksaserbasi akut masih dipertanyakan, namun kegunaannya
terbukti efektif untuk mengurangi eksaserbasi serta dapat meredakan gejala penderita bronkitis
kronik. Efek ini kemungkinan disebabkan karena Ambroxol bersifat mukolitik sehingga dapat
mengurangi hipersekresi mukus. Pada pasien ini diberikan terapi Ambroxol 30 mg dengan dosis
3x1 tablet sehari.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman. Pemberian antibiotik di rumah
sakit sebaiknya intravena, sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya
kombinasi dengan makrolide, bila ringan dapat diberikan tunggal. PPOK eksaserbasi
menunjukkan hubungan antara purulensi sputum dengan terdapatnya bakteri. Keputusan untuk
memilih penggunaan antibiotik oral atau intravena berdasarkan kemampuan pasien untuk makan
dan farmakokinetik antibiotik tersebut. Pada pasien ini diberikan Azitromisin 500 mg, 1 x 1
kaplet selama 3 hari.
Prognosis untuk kehidupan (quo ad vitam) adalah dubia ad bonam, karena tidak adanya
kegawatan selama pasien berada di poliklinik. Dengan adanya penanganan yang berkelanjutan
dari terapi non farmakologis maupun farmakologis maka prognosis terhadap kesembuhan (quo
ad sanam) dan fungsi (quo ad fungsionam) adalah dubia ad bonam.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.
2. Wright JL, Churg A. Pathologic features of chronic obstructive pulmonary disease:
Diagnostic criteria and differential diagnosis. In: Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi
MA, Senior RM, et al. editors. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders, 4 th ed. New
York: McGrow Hill; 2008, P 693-706.
3. Reilly JJ, Shapiro SD, Silverman EK. Chronic obstructive pulmonary disease: Introduction.
In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, et al, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine, 18th ed. New York: McGrow Hill; 2012.
21