Download - Laporan 1, Pneumonia
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI INFEKSI DAN TUMOR
“SALURAN PERNAPASAN”
“PNEUMONIA”
DISUSUN OLEH
KELOMPOK C-I FKK 2
Eko Sarwono 17113215A
Nining Anugrah WS 18123421A
Aina Kurnia JS 18123431A
Yeni Andani 18123437A
Ridha Nurul Qumaryah 18123438A
Retno Ning Aty 18123439A
DOSEN PENGAMPU
Inaratul RH., M.Sc., Apt
Hari, tanggal praktikum : Selasa, 15 September 2015
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2015
I. PENDAHULUAN
A. Definisi
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan dimana alveoli
(mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab untuk menyerap
oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan penimbunan cairan.
Pneumonia adalah suatu peradangan pada paru yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing. Penyakit ini merupakan
penyakit yang serius yang dapat mengenai semua umur terutama pada bayi/ anak, usia lebih
dari 65 tahun, dan orang dengan penyakit pemberat lain seperti penyakit jantung kongestif,
diabetes, dan penyakit paru kronis. Penyakit ini lebih sering muncul pada musim dingin,
perokok dan pria dibanding wanita.
B. Epidemiologi
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas
yang terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian
hampir di seluruh dunia. Di Inggris pneumonia menyebabkan kematian 10
kali lebih banyak dari pada penyakit infeksi lain, sedangkan di AS
merupakan penyebab kematian urutan ke 15.
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, menunjukkan prevalensi nasional ISPA sebesar 25,5% (16
provinsi di atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia
pada Bayi sebesar 2.2 %, Balita sebesar 3%, angka kematian (mortalitas)
pada bayi sebesar 23,8%, dan Balita sebesar 15,5%.
Pneumonia pada dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas
yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita
pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang
mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensi relative terhadap
mikroorganisme petogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika
infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan masyarakat, panti
perawatan, ataupun rumah sakit. Selain itu factor iklim dan letak
geografik mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini.
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia).
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia).
c. Pneumonia aspirasi.
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised.
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri
mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada
penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia.
c. Pneumonia virus.
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua.
Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder
disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses
keganasan.
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat
disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang
dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial.
D. Faktor Resiko
Beberapa kelompok-kelompok mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi untuk
terkena pneumonia, yaitu antara :
Usia lebih dari 65 tahun.
Merokok.
Malnutrisi baik karena kurangnya asupan makan ataupun dikarenakan penyakit
kronis lain.
Kelompok dengan penyakit paru, termasuk kista fibrosis, asma, PPOK, dan
emfisema.
Kelompok dengan masalah-masalah medis lain, termasuk diabetes dan penyakit
jantung.
Kelompok dengan sistem imunitas dikarenakan HIV, transplantasi organ, kemoterapi
atau penggunaan steroid lama.
Kelompok dengan ketidakmampuan untuk batuk karena stroke, obat-obatan sedatif
atau alkohol, atau mobilitas yang terbatas.
Kelompok yang sedang menderita infeksi traktus respiratorius atas oleh virus.
II. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Ada beberapa
mekanisme yang pada keadaan normal melindungi paru dari infeksi. Partikel infeksius
difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia di
saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru, partikel tersebut akan
berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme imun sistemik, dan
humoral. Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan juga memiliki antibodi maternal yang
didapat secara pasif yang dapat melindunginya dari pneumokokus dan organisme-organisme
infeksius lainnya. Perubahan pada mekanisme protektif ini dapat menyebabkan anak mudah
mengalami pneumonia misalnya pada kelainan anatomis kongenital, defisiensi imun didapat
atau kongenital, atau kelainan neurologis yang memudahkan anak mengalami aspirasi dan
perubahan kualitas sekresi mukus atau epitel saluran napas. Pada anak tanpa faktor-faktor
predisposisi tersebut, partikel infeksius dapat mencapai paru melalui perubahan pada
pertahanan anatomis dan fisiologis yang normal. Ini paling sering terjadi akibat virus pada
saluran napas bagian atas. Virus tersebut dapat menyebar ke saluran napas bagian bawah dan
menyebabkan pneumonia virus.
Kemungkinan lain, kerusakan yang disebabkan virus terhadap mekanisme pertahan
yang normal dapat menyebabkan bakteri patogen menginfeksi saluran napas bagian bawah.
Bakteri ini dapat merupakan organisme yang pada keadaan normal berkolonisasi di saluran
napas atas atau bakteri yang ditransmisikan dari satu orang ke orang lain melalui penyebaran
droplet di udara. Kadang-kadang pneumonia bakterialis dan virus ( contoh: varisella, campak,
rubella, CMV, virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks ) dapat terjadi melalui penyebaran
hematogen baik dari sumber terlokalisir atau bakteremia/viremia generalisata.
Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi akut yang
meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear di alveoli
yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan konsolidasi lobaris
yang khas pada foto toraks. Virus, mikoplasma, dan klamidia menyebabkan inflamasi dengan
dominasi infiltrat mononuklear pada struktur submukosa dan interstisial. Hal ini
menyebabkan lepasnya sel-sel epitel ke dalam saluran napas, seperti yang terjadi pada
bronkiolitis.
A. Patogenesis
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang
berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit
sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN
mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan.
Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada
daerah parasitik terset yaitu :
Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN yang banyak.
Zona resolusiE : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko
infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan
merusak permukaan epitel saluran napas.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
Inokulasi langsung
Penyebaran melalui pembuluh darah
Inhalasi bahan aerosol
Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara
inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur.
Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50
%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri
yang tinggi dan terjadi pneumonia.Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara
inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas
sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di
temukan jenis mikroorganisme yang sama.
B. Etiologi.
Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukan bahwa di negara
berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza merupakan
bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9 % aspirat paru
dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, pneumonia pada
umumnya disebabkan oleh virus.6 Etiologi pneumonia antara lain:
1. Bakteri : Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus
hemolyticus,Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus
Friedlander.
2. Virus :Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus,
cytomegalovirus.
3. Jamur :Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidioides immitis,
Aspergillus, Candida albicans.
4. Aspirasi :Makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion, benda
asing.
Tabel 1. Penyebab pneumonia
Penyebab Penyebab terjadinya
Bakteri Penumonia akibat bakteri ini biasanya terjadi setelah flu,
demam, atau ISPA yang menurunkan system imunitas tubuh.
Sistem imunitas yang lemah menjadi keadaan yang baik untuk
bakteri berkembang biak di paru, dan menimbulkan penyakit.
Bermacam-macam bakteri dapat menyebabkan pneumonia,
yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae
(pneumococcus). Dapat disebarkan apabila orang yang
terinfeksi batuk, bersin, atau menyentuh objek dengan tangan
yang terkontaminasi. Pneumonia akibat bakteri ini dapat
menjadi lebih serius bila dibandingkan dengan pneumonia
akibat virus.
Virus Bermacam-macam virus dapat menyebabkan pneumonia.
Contohnya termasuk influenza, chickenpox, herpes simplex,
and respiratory syncytial virus (RSV). Virus dapat ditularkan
antar manusia ke manusia lain melalui batuk, bersin atau
menyentuh objek dengan tangan yang terkontaminasi yang
berkontak dengan cairan dari orang yang terinfeksi.
Jamur Bermacam-macam jamur dapat menyebabkan pneumonia.
Yang paling sering adalah jamur yang terhirup dari udara luar/
lingkungan.
Aspirasi Pneumonia aspirasi terjadi apabila materi/ bahan-bahan dalam
lambung atau benda asing terhirup masuk ke saluran
pernafasan, menyebabkan cedera, infeksi atau penyumbatan.
C. Gejala
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut
selama beberapa hari, demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40 derajat
celcius, sesak napas, nyeri dada, takipnea, takikardia dan batuk yang produktif, terkadang
dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui gejala lain seperti
nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala.
D. Manifestasi Klinik
Secara umum dapat di bagi menjadi:
a. Manifestasi non spesifik infeksi dan toksisitas berupa demam
(39,5ºC sampai 40,5ºC), sakit kepala, iritabel, gelisah, malaise,
nafsu makan kurang keluhan gastrointestinal.
b. Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnuea
(25–45 kali/menit), ekspektorasi sputum, nafas cuping hidung, sesak
napas, air hinger, merintih, sianosis. Anak yang lebih besar dengan
pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada.
c. Tanda pneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bawah
kedalam saat bernapas bersama dengan peningkatan frekuensi
napas), perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah,
dan ronki.
d. Tanda efusi pleura atau empiema, berupa gerak ekskusi dada
tertinggal di daerah efusi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara
napas melemah, suara napas tubuler tepat di atas batas cairan,
friction rup, nyeri dada karena iritasi pleura (nyeri bekurang bila
efusi bertambah dan berubah menjadi nyeri tumpul), kaku
duduk/meningimus (iritasi menigen tanpa inflamasi) bila terdaat
iritasi pleura lobus atas, nyeri abdomen (kadang terjadi bila iritasi
mengenai diafragma pada pneumonia lobus kanan bawah).
e. Pada neonatus dan bayi kecil tanda pneumonia tidak selalu jelas.
Efusi pleura pada bayi akan menimbulkan pekak perkusi.
f. Tanda infeksi ekstrapulmonal.
E. Diagnosis
Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
dibantu dengan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Gejala tersering dari pneumonia antara lain nyeri dada, nafas memendek, nyeri saat bernafas,
nadi dan pernafasan meningkat/ cepat, nausea, vomitus, diare, dan batuk dengan sputum
berwarna hijau, kuning dan berwarna karat. Kebanyakan penderita demam (temperatur >
380C), walaupun pada lansia dapat menderita demam dengan suhu yang lebih rendah.
Pemeriksaan Fisik
Pneumonia dicurigai saat pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki (crackling sounds) saat
mendengar dengan stetoskop pada bagian dada. Dapat juga ditemukan wheezing, atau suara
nafas yang menjadi kasar pada beberapa daerah di dada.
Pemeriksaan Penunjang
a. Rogent torak PA merupakan dasar diagnosis utama pneumonia
b. Leukosit>15.000/ul, dengan didominasi sel neutrofil
c. Trombositopenia bisa didapatkan pada pneumonia dengan empiema
d. Pemeriksaan sputum kurang berguna
e. Biakan darah jarang positif (3 – 11%) kecuali untuk Pneumokokus dan H. Influenzae
(25 – 95%)
f. Rapid test untuk deteksi antigen bakteri mempunyai sensitifitas dan spesifisitas
rendah.
g. Pemeriksaan serologis kurang bermanfaat.
III. SASARAN TERAPI
Kontrol eradikasi patogen dan penyembuhan klinis
Menurunkan morbiditas
IV. TUJUAN TERAPI
Menghilangkan infeksi
Mencegah terjadinya komplikasi akibat infeksi tersebut
Meningkatkan kualitas hidup pasien
V. STRATEGI TERAPI
A.Tata Laksana Terapi
Guideline terapi pneumonia
IDSA/ATS Guidelines for CAP in Adults • CID 2007:44,S27-72
Guideline terapi PPOK
Guideline terapi asma
Terapi non farmakologi
1. Kontrol pemeriksaan, keluhan, dan pengobatan secara teratur
2. Menerapkan pola hidup sehat termasuk tidak merokok
3. Menjaga kebugaran dan olahraga secara teratur dan rutin
Terapi farmakologi
Terapi suportif umum
a. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan
pemeriksaan AGD.
b. Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.
c. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan napas
dalam.
d. Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif terhadap
pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral.
e. Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.
f. Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan bila terjadi
hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan respiratoy distress dan
respiratory arrest.
Terapi antibiotik
Merupakan terapi utama pada pasien pneumonia dengan manifestasi apapun, yang
dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman penyebabnya. Antibiotik yang sering
digunakan untuk pengobatan pneumonia komuniti (CAP) :
Penicillin:
Ampicillin
Amoxicillin
Cephalosporin:
Gen I : cephalothin, cephalexin
Gen II : cefuroxime, cefprozil
Gen III : cefotaxime, ceftriaxone
Gen IV : cefepime
Makrolide:
Erythromycin
Azithromycin
Clarithromycin
Aminoglycoside:
Streptomycin
Neomycin
Kanamycin
Amikacin
Gentamycin
Tobramycin
Spectinomycin
Sisomycin
Quinolone:
Nalidixicacid
Ciprofloxacin
Gatifloxacin
Levofloxacin
Moxifloxacin
Ofloxacin
VI. PENYELESAIAN KASUS
KASUS
Seorang bapak bernama Bpk BB (58 tahun) mengalami sesak nafas, dan demam dengan
suhu mencapai 39° C. Nafas terlihat terengah-engah, sianosis, dan takikardi. Kemudian
masuk dibawa ke UGD oleh isterinya. Setelah beberapa pemeriksaan dokter memberi
diagnosa sementara “pneumonia” dengan RR = 45 X/menit, DBP 55 mmHg. TD : 130/90
mmHg. Pak BB juga menderita asma yang sering kambuh, dan diobati dengan salbutamol
Riwayat penyakit : COPD, batuk pilek berat 2 minggu yang lalu dan tidak diobati
Kebiasaan buruk : perokok berat
Keluhan saat ini : chest pain, sesak nafas, demam, badan terasa lemas.
ANALISIS KASUS :
Penyelesaian kasus dengan menggunakan metode SOAP (Subjective, Objective,
Assesment, dan Plan) pada kasus ini adalah sebagai berikut :
SUBYEKTIF
Nama : Bapak BB
umur : 58 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Keluhan : mengalami sesak nafas, dan demam dengan suhu mencapai 39° C. Nafas
terlihat terengah-engah, sianosis, dan takikardi. Kemudian masuk dibawa ke UGD oleh
isterinya. Keluhan saat ini : chest pain, sesak nafas, demam, badan terasa lemas.
OBYEKTIF
Data tanda vital kondisi awal :
Pemeriksaan Data pasien Nilai normal Keterangan
Tekanan Darah 130/90 mmHg 120/80 mmHg Prehipertensi
RR 45x per menit 16-20 x per menit Takipnea
DBP 55 mmHg 60-90 mmHg Dibawah normal
Suhu 39°C 36-37°C Meningkat / diatas Normal
ASSESMENT
Pasien menderita pneumonia komuniti atau pneumonia yang didapat di masyarakat,
hal ini ditandai dengan keluhan pasien yaitu demam, chest pain, sianosis dan takipnea.
PLAN
Dilihat dari keluhannya, pasien mengalami pneumonia komuniti. Walaupun belum
ada kultur bakteri yang dilakukan, pasien pneumonia komuniti pengobatannya
mengikuti terapi empiris CAP (Community-Accuired Pneumonia), sampai
didapat kultur bakteri. Apabila sudah didapat kultur bakteri maka
antibiotiknya disesuaikan.
Terapi empiris pada pasien pneumonia komuniti dengan faktor
modifikasi (perokok dan PPOK) menurut guideline terapi diberikan
kombinasi golongan β-laktam + makrolida.
Pasien menderita asma dan mempunyai riwayat COPD sehingga
ditangani menggunakan Combivent dengan alasan Combivent merupakan
sediaan kombinasi yang mengandung ipatropium dan albuterol yang
sesuai dengan guideline terapi asma dan COPD. Untuk batuk pilek pasien
ditangani menggunakan ambroxol yang merupakan golongan mukolitik.
TERAPI NON FARMAKOLOGI
1. Kontrol pemeriksaan, keluhan, dan pengobatan secara teratur
2. Menerapkan pola hidup sehat termasuk tidak merokok
3. Menjaga kebugaran dan olahraga secara teratur dan rutin
TERAPI FARMAKOLOGI
Penggunaan obat rasional
Analisis rasionalitas terapi dilakukan dengan melakukan analisis obat-obat yang digunakan.
Berikut ini adalah uraian analisis rasionalitas obat yang digunakan :
O2 dengan menggunakan nasal canula
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot
maupun organ-organ lainnya. O2 merupakan terapi suportif dimana pasien mengalami
sianosis dan nyeri dada sehingga dengan pemberian O2 dapat memperlebar jalan napas
yang diharapkan dapat menghilangkan nyeri dada tersebut.
Infus
Infus digunakan untuk terapi suportif pada pasien dengan keluhan lemas karena dapat
menambah nutrisi dan elektrolit pada pasien dan mengembalikan keseimbangan
elektrolit pada dehidrasi.
Antibiotik
Antibiotik digunakan pada penanganan pneumonia komuniti, dimana kasus ini pasien
termasuk dalam kategori pasien rawat inap dan menurut guideline tatalaksana pneumonia
untuk pasien tersebut ditangani dengan pemberian antibiotik fluorokuinolon atau
kombinasi dari antibiotik beta laktam dan makrolida. Dilihat dari riwayat pengobatan,
pasien belum pernah mendapatkan penanganan antibiotik untuk pneumonianya sehingga
antibiotik lini pertama yang diberikan adalah antibiotik golongan beta laktam dan
makrolida. Antibiotik golongan beta laktam yang dipilih adalah co-amoksiklav
sedangkan antibiotik makrolida yang dipilih adalah klaritromisin.
Dimana Co-amoksiklav merupakan antibiotik beta laktam yang memiliki keunggulan
dibanding antibiotik golongan penisilin yang lain yaitu Co-amoksiklav terdiri dari
amoksisilin dan penghambat beta laktamase, asam klavulanat. Asam klavulanat sendiri
hampir tidak memiliki efek antibakterial. Tapi dengan menginaktifkan penisilinase,
kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap
amoksisilin.
Sedangkan untuk golongan makrolida terdapat 3 obat yaitu eritromisin, azitromisin
dan klaritromisin. Dipilih klaritromisin karena memiliki aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan yang lain dan efek sampingnya pada saluran cerna lebih ringan.
Kombinasi antikolinergik dan SABA
Pasien menderita asma dengan riwayat COPD sehingga penanganannya dapat diberikan
kombinasi antikolinergik dan SABA. Karena sesuai dengan guideline asma digunakan
golongan SABA sedangkan COPD digunakan antikolinergik. Dengan demikian
kombinasi keduanya dapat menangani masalah asma dan COPD secara bersamaan.
Kombinasi ini dapat mengurangi efek samping dari masing-masing obat, dapat
meredakan gejala yang ada dan meningkatkan fungsi paru-paru.
Mukolitik
Pasien memiliki riwayat batuk pilek yang belum ditangani, sehingga diberikan obat
batuk golongan mukolitik sebagai pilihan pertama karena pasien menderita asma tidak
dianjurkan menggunakan antitusif dan apabila meggunakan ekspektoran dapat
menyebabkan pengeringan mukus.
Evaluasi obat terpilih
Rawat inap
1. Terapi O 2 nasal kanula 1-6L/menit
Indikasi : Kateter nasal dan kanul nasal merupakan alat dengan sistem arus rendah
yang digunakan secara luas. Kanul nasal terdiri dari sepasang tube dengan panjang ±
2 cm, dipasangkan pada lubang hidung pasien dan tube dihubungkan secara langsung
ke oxygen flow meter. Alat ini dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat masker,
terutama bagi pasien yang membutuhkan suplemen oksigen rendah.
Kanul nasal arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/m,
dengan FiO2 antara 24-40%. Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO2 secara
bermakna diatas 44% dan akan menyebabkan mukosa membran menjadi kering.
Kanul nasal merupakan pilihan bagi pasien yang mendapatkan terapi oksigen jangka
panjang. Oksigen diberikan dengan kanula nasal 2 (dua) liter permenit dapat
meningkatkan fraksi oksigen inspirasi dari 21% menjadi 27%, pendapat lain
menyatakan bahwa oksigen dapat diberikan 2-4 liter per-menit. Pemberian terapi
oksigen merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan asma, merupakan hal yang
sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen. Terapi oksigen pada
pasien PPOK dengan konsentrasi oksigen yang tepat dapat mengurangi sesak nafas
saat aktivitas, dapat meningkatkan kemampuan beraktifitas dan dapat memperbaiki
kualitas hidup.
2. Infus Ringer laktat 75-125 tetes/menit
Indikasi : mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
Dosis : larutan infus intravena 1 botol @ 500 ml. 500-1000 ml dengan kecepatan 300-
500 ml per jam (kira-kira 75-125 tetes/menit).
Efek samping : panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis
yang meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi.
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : menambah nutrisi dan menjaga keseimbangan elektrolit pada
pasien dan harga lebih terjangkau.
Harga : lartan infus 1 botol @500 ml Rp. 4.727
3. Co-amoksiklav 250 mg 3x sehari
Kandungan : Amoksisilin 250 mg (500 mg) asam klavulanat 125 mg (125 mg)
Indikasi : infeksi saluran napas atas dan bawah
Dosis : Dewasa dan anak > 12 tahun : 3x sehari 1 kaplet 250 mg
Efek samping : iritasi gastrointestinal, reaksi hipersensitif
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : merupakan antibiotik untuk pengobatan terapi empirik pada pasien
pneumonia komuniti. Dimana Co-amoksiklav merupakan antibiotik beta laktam yang
memiliki keunggulan dibanding antibiotik golongan penisilin yang lain yaitu Co-
amoksiklav terdiri dari amoksisilin dan penghambat beta laktamase, asam klavulanat.
Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki efek antibakterial. Tapi dengan
menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil
penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin.
Harga : Dos 3x10 tablet 250 mg Rp. 152.500
4. Klaritromisin 250 mg 2x sehari
Indikasi : Infeksi saluran nafas atas dan bawah
Dosis : 250-500 mg tiap 12 jam selama 10-14 hari.
Efek samping : diare, nyeri abdomen
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : golongan makrolida terdapat 3 obat yaitu eritromisin, azitromisin
dan klaritromisin. Dipilih klaritromisin karena memiliki aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan yang lain dan efek sampingnya pada saluran cerna lebih ringan.
Harga : Kaplet salut selaput 250 mg x 30 Rp.143.000
5. Combivent 20-40 mcg 4x sehari
Kandungan : Ipatropium-Br 21 mcg, albuterol 120 mcg tiap hirupan
Indikasi : Untuk membantu mengatasi gejala bronkospasme reversible yang berkaitan
dengan asma, bronchitis kronik, emfisema (PPOK).
Dosis : Inhaler : 20-40 mcg, 3-4 kali sehari 2 semprot, maksimal 12 semprot per hari
Efek samping : Mulut kering, mual, konstipasi
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : untuk mengatasi COPD pasien. Pasien menderita asma dengan
riwayat COPD sehingga penanganannya dapat diberikan kombinasi antikolinergik dan
SABA. Karena sesuai dengan guideline asma digunakan golongan SABA sedangkan
COPD digunakan antikolinergik. Dengan demikian kombinasi keduanya dapat
menangani masalah asma dan COPD secara bersamaan. Kombinasi ini dapat
mengurangi efek samping dari masing-masing obat, dapat meredakan gejala yang ada
dan meningkatkan fungsi paru-paru.
Harga : 200 dosis MDI 10 ml Rp.90-090 – 2,5 ml UDV Rp. 84.920
6. Ambroksol 3 x sehari 30 mg
Indikasi : sekretolitik pada gangguan pernafasan akut dan kronis pasa asma bronkial
Dosis : 3 x sehari 1 tablet 30 mg
Efek samping : reaksi alergi dan gangguan saluran cerna
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : Merupakan mukolitik atau mukokinetik dan sekretolitik mengatasi
batuk dengan mengeluarkan lendir kental dan lengket dari saluran pernafasan
sehingga melegakan pernafasan dan berfungsi secara normal kembali.
Harga : dos 10x10 tablet Rp.48.400
Rawat jalan/rumah
Pada penanganan rawat jalan atau pasien status pulang, pemberian obat tidak jauh berbeda
dengan penanganan pasien rawat inap. Hanya saja pada keadaan rawat jalan tidak diperlukan
lagi terapi O2 dan infus.
1. Co-amoksiklav 250 mg 3x sehari
Kandungan : Amoksisilin 250 mg (500 mg) asam klavulanat 125 mg (125 mg)
Indikasi : infeksi saluran napas atas dan bawah
Dosis : Dewasa dan anak > 12 tahun : 3x sehari 1 kaplet 250 mg
Efek samping : iritasi gastrointestinal, reaksi hipersensitif
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : merupakan antibiotik untuk pengobatan terapi empirik pada pasien
pneumonia komuniti. Dimana Co-amoksiklav merupakan antibiotik beta laktam yang
memiliki keunggulan dibanding antibiotik golongan penisilin yang lain yaitu Co-
amoksiklav terdiri dari amoksisilin dan penghambat beta laktamase, asam klavulanat.
Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki efek antibakterial. Tapi dengan
menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil
penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin.
Harga : Dos 3x10 tablet 250 mg Rp. 152.500
2. Klaritromisin 250 mg 2x sehari
Indikasi : Infeksi saluran nafas atas dan bawah
Dosis : 250-500 mg tiap 12 jam selama 10-14 hari.
Efek samping : diare, nyeri abdomen
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : golongan makrolida terdapat 3 obat yaitu eritromisin, azitromisin
dan klaritromisin. Dipilih klaritromisin karena memiliki aktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan yang lain dan efek sampingnya pada saluran cerna lebih ringan.
Harga : Kaplet salut selaput 250 mg x 30 Rp.143.000
3. Combivent 20-40 mcg 4x sehari
Kandungan : Ipatropium-Br 21 mcg, albuterol 120 mcg tiap hirupan
Indikasi : Untuk membantu mengatasi gejala bronkospasme reversible yang berkaitan
dengan asma, bronchitis kronik, emfisema (PPOK).
Dosis : Inhaler : 20-40 mcg, 3-4 kali sehari 2 semprot, maksimal 12 semprot per hari
Efek samping : Mulut kering, mual, konstipasi
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : untuk mengatasi COPD pasien. Pasien menderita asma dengan
riwayat COPD sehingga penanganannya dapat diberikan kombinasi antikolinergik dan
SABA. Karena sesuai dengan guideline asma digunakan golongan SABA sedangkan
COPD digunakan antikolinergik. Dengan demikian kombinasi keduanya dapat
menangani masalah asma dan COPD secara bersamaan. Kombinasi ini dapat
mengurangi efek samping dari masing-masing obat, dapat meredakan gejala yang ada
dan meningkatkan fungsi paru-paru.
Harga : 200 dosis MDI 10 ml Rp.90-090 – 2,5 ml UDV Rp. 84.920
4. Ambroksol 3 x sehari 30 mg
Indikasi : sekretolitik pada gangguan pernafasan akut dan kronis pasa asma bronkial
Dosis : 3 x sehari 1 tablet 30 mg
Efek samping : reaksi alergi dan gangguan saluran cerna
Interaksi obat : tidak ada interaksi dengan obat lain yang digunakan.
Alasan pemilihan : Merupakan mukolitik atau mukokinetik dan sekretolitik mengatasi
batuk dengan mengeluarkan lendir kental dan lengket dari saluran pernafasan
sehingga melegakan pernafasan dan berfungsi secara normal kembali.
Harga : dos 10x10 tablet Rp.48.400
KOMUNIKASI INFORMASI EDUKASI
Menerapkan pola hidup sehat termasuk tidak merokok
Menjaga kebugaran dan olahraga secara teratur dan rutin
Cara penggunaan inhaler yang benar :
a. Duduk tegak atau berdiri dengan dagu terangkat.
b. Buka tutup inhaler dan kocok inhaler dengan teratur.
c. Jika baru pertama kali menggunakan inhaler selama seminggu atau lebih, maka
untuk penggunaan pertama sebelum digunakan, semprotkan inhaler ke udara untuk
mengecek apakah inhaler berfungsi dengan baik.
d. Tarik nafas dalam-dalam dan buang perlahan. Lalu letakkan bagian mulut inhaler
pada mulut (diantara gigi atas dan bawah), kemudian tutup mulut dengan
merapatkan bibir (jangan digigit).
e. Mulai dengan bernapas perlahan dan dalam melalui mulut inhaler, sambil bernapas
secara berbarengan tekan bagian tombol inhaler untuk melepaskan obatnya. Satu
kali tekan merupakan satu kali semprotan obat.
f. Lanjutkan untuk bernapas dalam untuk memastikan obat dapat mencapai paru-paru.
g. Tahan napas selama kurang lebih 10 detik (atau selama kondisi senyaman yang
terasa) lalu buang napas perlahan.
h. Jika membutuhkan semprotan berikutnya, tunggu sampai 30 detik, dan kocok
kembali inhaler, ulangi langkah a sampai g.
i. Tutup kembali mulut inhaler dan simpan inhaler di tempat yang kering.
j. Setelah selesai, berkumur-kumur, dan catat dosis yang sudah terpakai.
Memberikan informasi kepada pasien tentang obat yang dikonsumsi
Menyarankan kepada pasien untuk mematuhi terapi farmakologi
terutama penggunaan antibiotik harus dihabiskan guna menghindari
terjadinya resistensi
Jangan lupa minum obat secara teratur sesuai dengan aturan dan
dosisnya
Menerapkan gaya hidup sehat seperti olahraga teratur, istirahat cukup
dan tidak merokok.
MONITORING DAN EVALUASI
Monitoring pemeriksaan fisik :
Kerja nafas / RR hingga mencapai target normal yaitu 16-20 x per menit
Suhu tubuh hingga mencapai target normal yaitu 36-37°C
DBP (Diastole Blood Pressure) hingga mencapai target normal yaitu
60-90 mmHg
Tekanan darah hingga mencapai target normal yaitu 120/80 mmHg
Monitoring pemeriksaan lab :
Monitoring kadar PaO2 dan SaO2 hingga mencapai target normal
sebesar PaO2 ≥ 80 mmHg dan SaO2 ≥ 95%
Monitoring nyeri dada hingga hilangnya nyeri pada dada
Monitoring terhadap ESO selama pengobatan
VII. PERTANYAAN DAN JAWABAN
1. Nur Itciani Harlin (18123441A)
Pertanyaan :
Belum melakukan kultur bakteri mengapa antibiotik yang dipilih Co-amoksiklav ?
Jawaban :
Karena belum dilakukan kultur bakteri maka tindakan yang tepat adalah segera
diberi pengobatan antibiotik menurut terapi empirik CAP, dimana antibiotik yang
direkomendasikan adalah golongan beta laktam + makrolida. Dimana Co-
amoksiklav merupakan antibiotik beta laktam yang memiliki keunggulan dibanding
antibiotik golongan penisilin yang lain yaitu Co-amoksiklav terdiri dari amoksisilin
dan penghambat beta laktamase, asam klavulanat. Asam klavulanat sendiri hampir
tidak memiliki efek antibakterial. Tapi dengan menginaktifkan penisilinase,
kombinasi ini aktif terhadap bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap
amoksisilin.
2. Irfan (18123547A)
Pertanyaan :
Apakah ada pemberian obat untuk nyeri dada ? berapa dosis antibiotik Co-
amoksiklav yang diberikan ?
Jawaban :
Tidak ada pemberian obat spesifik untuk nyeri dada karena nyeri dada merupakan
gejala dari pneumonia. Dengan memberi pengobatan pada pneumonia, diharapkan
gejala yang menyertai juga akan hilang. Dosis Co-amoksiklav yang diberikan adalah
250 mg 3x sehari.
3. Priscila Wahyu Christiana (18123459A)
Pertanyaan :
Dengan umur pasien 58 tahun memiliki tekanan darah 130/90 mmHg, sudah
termasuk tekanan darah normal atau tidak ? Apakah perlu diberi pengobatan ?
Jawaban :
Pasien yang berumur 58 tahun dengan tekanan darah 130/90 mmHg termasuk dalam
kategori prehipertensi. Ini dilihat dari klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII
dengan kriteria pasien berumur >18 tahun. Menurut JNC VII, pengobatan
prehipertensi dilakukan dengan modifikasi gaya hidup dan diet sehat, tidak perlu
diberi obat-obatan kimia.
4. Rosita Rahmah (18123452A)
Pertanyaan :
Kenapa menggunakan Combivent sebagai terapi asma, padahal terapi asma
sebelumnya telah diberi salbutamol ?
Jawaban :
Sebenarnya antara salbutamol dan Combivent dapat digunakan hanya salah satu saja,
dilihat dari efektifitasnya dapat dipilih yang paling menguntungkan dan praktis.
Sehingga dipilih Combivent dan menghilangkan salbutamol. Komposisi dari combivent
adalah ipatropium dan albuterol yang merupakan kombinasi antikolinergik dan SABA.
Dimana SABA dalam sediaan combivent dapat digunakan untuk penanganan asma,
sehingga dengan satu obat dapat menangani dua penyakit yaitu PPOK dan asma.
VIII. KESIMPULAN
Co-amoksiklav dan Klaritromisin merupakan kombinasi antibiotik untuk penanganan
pneumonia komuniti.
Combivent digunakan untuk penanganan asma dan COPD.
Ambroksol digunakan untuk penanganan batuk.
DAFTAR PUSTAKA
AARC CPG, 2002. AARC Clinical Practice Guideline : Oxygen Therapy for Adults in the
Acute Care Facility. diakses dari www.rcjournal.com pada tanggal 12 Januari 2010.
American thoracic society. Guidelines for management of adults with community-acquired
pneumonia. Diagnosis, assessment of severity, antimicrobial therapy, and prevention.
Am J Respir Crit.Care Med 2001; 163: 1730-54.
Anonim. 2008. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan.
Anonim, 2003. Pneumonia komuniti : Pedoman diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia : Jakarta.
Astowo. Pudjo. Terapi oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi. FKUI. Jakarta. 2005.
Medison, I. 2005. Pneumonia. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas : Padang.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2006, “Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
Sukandar, E.Y., et al. 2008. ISO Farmakoterapi Buku I. Jakarta : PT. ISFI Penerbitan.