KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN
DALAM PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Mamur Rizki
1110054100038
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
KONSEPSI NEGARA KESEJAHTERAAN
DALAM PANCASILA DAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Mamur Rizki
1110054100038
Dibawah Bimbingan :
Muhtadi, M.Si
19750601 2014111 001
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
ABSTRAK
Mamur Rizki
Konsepsi Negara Kesejahteraan Dalam Pancasila Dan Undang-Undang Dasar
1945.
Negara kesejahteraan merupakan model ideal pembangunan yang difokuskan
pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada
negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif
kepada warganya. Pilihan model seperti itu juga telah diinisiasi oleh para pendiri
bangsa dan tertuang jelas dalam pancasila dan undang-undang dasar 1945.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui konsep dan praktik negara
kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan (library
reasearch) dan wawancara. Adapun teknik analisis data yang penulis gunakan yaitu
deskriptif-analisis, Deskriptif berarti memaparkan dan menggambarkan secara
objektif isi seluruh UUD 1945 dan Pancasila yang berkaitan dengan materi muatan
negara kesejahteraan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah dan
sosial. Sementara analitis berarti upaya memahami posisi, pemikiran, dan upaya
menularkan gagasan baru tentang konsep negara kesejahteraan disertai kritik dan
kesimpulan.
Hasil penelitian dan analisis menunjukan bahwa Indonesia menganut negara
kesjehateraan. Hal tersebut tertuang jelas dalam undang-undang dasar dan bertumpu
pada sila kelima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dimana
dalam proses perumusan Pancasila para pendiri bangsa menghendaki bentuk Negara
Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Kemudian prinsip dalam UUD 1945
mengakomodir ketiga konsep rezim negara kesejahteraan. Konsep residual welfare
state tertuang dalam pasal 34 ayat 1. Konsep universal welfare state tertuang dalam
pasal 27 ayat 2, pasal 28H, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34 ayat 2, 3, 4. Konsep social
insurance welfare state tercermin pada pasal 28C ayat 2. Sementara pada praktiknya
Indonesia lebih dekat dengan Konsep Residual Welfare State, hal itu terlihat dari
program-program yang dikeluarkan lebih bersifat kuratif dan residu.
Kata kuci: Negara kesejahteraan; Pancasila; deskriptif analisis; undang-undang dasar;
residu
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Konsep Negara Kesejahteraan Menurut Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945”. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah kepada junjungan
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya, dan semoga kita
termasuk dalam golongan yang istiqomah menjalankan sunnahnya hingga hari
kiamat.
Skripsi ini merupakan tugas akhir yang harus diselesaikan sebagai syarat
guna meraih gelar Sarjana Sosial Jurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis
ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu hingga selesainya penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun
tidak langsung kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Bapak Suparto, M.Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, Ibu
Dr. Roudhonah, MA selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum,
Bapak Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si selaku Ketua Program Studi
Kesejahteraan Sosial, Ibu Nunung Khoiriyah, MA selaku Sekretaris
Program Studi Kesejahteraan Sosial. Terima kasih atas nasehat dan
bimbingannya.
3. Bapak Muhtadi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membantu
mengarahkan, memberikan masukan dan selalu bersedia meluangkan
waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
iii
4. Seluruh dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalamannya kepada
penulis.
5. Kedua orang tua yang sangat penulis cintai, Bukhori Muslim dan Siti
Khodijah yang tidak pernah berhenti mendoakan dan memberikan
dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
6. HMJ Kesejahteraan Sosial, DEMA Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dan keluarga besar mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah menjadi tempat belajar dan berproses yang “asik” bagi
peneliti.
7. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menemukan,
merumuskan dan menyelesaikan skripsi ini.
Dengan demikian skripsi ini penulis susun dengan sebaik-baiknya.
Semoga skripsi ini dapat membawa manfaat bagi kita semua yang membacanya,
terutama dalam memajukan keilmuan Kesejahteraan Sosial. Amin.
Ciputat, Januari 2017
Mamur Rizki
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. . vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................ 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 10
D. Metodologi Penelitian ................................................................... 11
E. Tinjauan Pustaka…………………………………………………. 13
F. Sistematika Penulisan…………………………………………….. 14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Negara Kesejahtaraan .................................................................... 15
1. Pengertian Negara Kesejahteraan ........................................... 15
2. Filosofi Negara Kesejahteraan……………………………… 21
3. Sejarah dan Dinamika Negara Kesejahteraan ........................ 26
BAB III ANALISIS KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM
PANCASILA DAN UUD 1945
A. Latar Belakang Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila .. 37
1. Fase Pembuahan Keadilan Sosial ............................................ 38
v
2. Fase Perumusan Keadilan Sosial ............................................. 45
B. Undang-undang Negara Kesejahteraan Di Indonesia .................... 51
1. Kebijakan Ketenagakerjaan ....................................................... 51
2. Kebijakan Pendidikan ................................................................ 53
3. Kebijakan Ekonomi ................................................................... 55
4. Kebijakan Sosial ........................................................................ 59
C. Kelembagaan ...................................................................................... 62
1. Departemen Sosial (Kementerian Sosial) .................................. 62
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ....................................... 64
BAB IV PRAKTIK NEGARA KESEJAHTERAAN DI INDONESIA
A. Praktik Negara Kesejahteraan Di Indonesia ...................................... 66
B. Analisis Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945
........................................................................................................... 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 86
B. Saran .............................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 88
vi
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Kebijakan ketenagakerjaan……………………………….. 53
2. Tabel 2 Kebijakan Pendidikan……. ................................................ 54
3. Tabel 3 Kebijakan Ekonomi............................................................. 59
4. Tabel 4 Kebijakan Sosial................................................................. 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertanyaan awal ketika berbicara tentang negara kesejahteraan
Adalah bagaimana mendefinisikan konsep negara kesejahteraan itu
sendiri, karena negara kesejahteraan bukanlah sebuah konsep dengan
pendekatan baku. negara kesejahteraan sering ditengarai dari atribut-
atribut kebijakan pelayanan sosial dan transfer sosial yang disediakan
negara kepada warganya, seperti pelayanan pendidikan, lapangan
pekerjaan, pengurangan kemiskinan sehingga negara kesejahteraan dan
kebijakan sosial sering diidentikkan.1
Sebagai kajian makro dalam ilmu kesejahteraan sosial, negara
kesejahteraan jarang sekali mendapat perhatian. Hal tersebut terjadi karena
pertama-tama wacana pendekatan negara kesejahteraan lebih sering
bernuansa negatif ketimbang positif. Misalnya saja, seperti yang sering
kita dengar bahwa negara kesejahteraan adalah pendekatan yang boros,
tidak kompatibel dengan pembangunan ekonomi, dan menimbulkan
ketergantungan penerima manfaat (beneficiaries). Akibatnya, tidak sedikit
yang beranggapan sistem ini telah menemui ajalnya, alias sudah tidak
dipraktekkan lagi di negara manapun. Meskipun anggapan ini jarang
1 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan
(Jakarta: LP3ES,2006), h. 8.
2
disertai argumen dan riset yang memadai, banyak orang menjadi kurang
berminat membicarakan, dan apalagi memperhitungkan pendekatan ini.2
Di sisi lain kajian mikro maupun mezzo lebih populer di Indonesia.
Seperti kita tahu bidang ini mengedepankan pelayanan pada lingkup
individu yang sudah kadung menyandang masalah kesejahteraan sosial,
yang tidak lain sifat dari lingkup ini adalah kuratif (mengobati). Sementara
ada yang salah di bagian hulu sehingga terkesan individu-individu yang
mempunyai masalah kesejahteraan sosial tak pernah habis dan bertambah
terus jumlahnya. Seperti yang disampaikan Edi Suharto dalam makalahnya
“Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos” bahwa peningkatan
kesejahteraan, termasuk pemberdayaan masyarakat, tidaklah vakum dari
situasi sosial yang mengitarinya. Seringkali, kemiskinan yang dialami
masyarakat di suatu wilayah bukanlah disebabkan oleh ketiadaan modal
finansial dan faktor-faktor produksi lainnya. Melainkan, oleh lemahnya
modal sosial, tidak adanya perlindungan sosial, dan tidak beroperasinya
sistem keadilan sosial.3
Sementara itu program dalam lingkup mikro tersebut juga kerap
menimbulkan stigma. Di Inggris, sebagai ilustrasi, The Poor Law
dirancang untuk orang miskin. Karena tidak efektif dan menimbulkan
stigma pada penerimanya sistem ini ganti oleh Welfare State. Program dan
pelayanan yang hanya diberikan kepada orang miskin tidak akan dapat
2 Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” artikel diakses pada 6
September 2008 dari
http://209.85.175.104/search?q=cache:gBlPSii64oJ:www.depsos.go.id/modules.php%3Fnam
%3DDownloads%26d_op%3Dgetit%26lid%3D24+sejarah+lahir+negara+kesejahteraan&hl=id&c
=clnk&cd=5&gl=id 3 Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos,” h. 19.
3
mencegah kemiskinan. Karena orang harus miskin terlebih dahulu agar
dapat menerima program dan pelayanan ini.4
Saat ini upaya untuk mentransformasikan gagasan konsep negara
kesejahteraan begitu urgen. Faktor utama yang mendorong mengapa
konsep negara kesejahteraan begitu urgen dan secepat mungkin harus
direalisasikan karena didasarkan pada fakta bahwa di negara-negara
berkembang saat ini tingkat kemiskinan kian hari kian memperihatinkan.
Peran negara yang semakin berkurang di sektor publik seiring dengan
berjalannya proses demokratisasi, segala sesuatu yang bukan menjadi
urusan negara akan diserahkan kepada masyarakat. Sebagai salah satu
contoh misalnya ialah privatisasi beberapa perguruan tinggi negeri, rumah
sakit dan perusahaan-perusahan milik negara.
Tim Peneliti PSIK dalam bukunya ”Negara Kesejahteraan dan
Globalisasi”, mengutip dari buku Adam Smith, yang berjudul “An Inquiry
into the Nature and the Causes of the Wealth of Nation”, menjelaskan
bahwa ada dua tugas utama yang menjadi tanggung jawab negara.
Pertama, negara memiliki kewajiban untuk menciptakan sebuah rasa aman
bagi setiap warga negaranya dari ancaman dalam bentuk apa pun. Kedua,
kewajiban negara harus mendorong dan menciptakan kesejahteraan
ekonomi bagi semua warga negara. Faktor keamanan biasanya menjadi
pilar utama bagi terwujudnya kesejahteraan sosial.5 Jadi keamanan dan
kesejahteraan merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan,
4 Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reinventing Depsos,” h. 16.
5 Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi:
Pengembangan Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas
Paramadina, 2008), h. 16.
4
situasi sosial dan politik yang tidak stabil akan menyulitkan terciptanya
kesejahteraan sosial, dan situasi keamanan sulit untuk terwujud bila suatu
negara warganya tidak memiliki jaminan kesejahteraan sosial.
Mimpi akan terciptanya sebuah negara yang “Budiman”, yakni
sebuah negara yang kuat namun mencurahkan segala upaya untuk
memenuhi dan melindungi hak-hak warganya dan negara yang berdaya
dan peduli terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar sosial-politik-ekonomi
warga negaranya. Namun setelah tiga dasawarsa lebih, Negara lebih sering
diidentikkan dengan wajah bengisnya, angan-angan tentang sebentuk
negara yang kuat dan budiman bisa menjadi bahan “cemooh”. Tidak dapat
dipungkiri lagi ruang publik didominasi oleh wacana “emoh negara” atau
“state denial”. Negara seolah-olah berasosiasi dengan segala keburukan.
Dibidang ekonomi, negara berkonotasi dengan kolusi, inefisiensi dan
nepotisme; di ranah birokrasi, bergandeng makna korupsi; sedangkan di
dalam ranah politik, negara disandingkan dengan aneka bentuk
pelanggaran hak-hak asasi manusia. Sebuah reputasi buruk yang seolah
memberikan legitimasi bagi pelucutan kapasitas dan peran Negara.6
Pengalaman empiris negara-negara Eropa dengan demikian
merupakan sumber telaah yang menarik dan penting. Perjalanan negara
kesejahteraan Eropa yang dimulai dari era Otto Van Bismarck pada tahun
1883 hingga awal abad ke-21 ini telah menggambarkan pengalaman
empiris yang kaya tentang bagaimana negara menjalankan peran
kesejahteraan dan beradaptasi dengan tantangan-tantangan eksternal dan
6 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES,2006), h. 1-2.
5
internal yang terus berubah. Eksperimen yang dilakukan negara-negara
Eropa Barat dan Utara melalui format negara kesejahteraan tersebut
menunjukkan bahwa negara mampu memikul peran yang aktif dalam
pengurangan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja yang luas, sistem
kesehatan dan pendidikan yang terjangkau oleh warga, serta jaminan sosial
yang universal. Hal ini membuktikan bahwa negara kesejahteraan (walfare
state) merupakan bentuk paling riil dari angan-angan tentang “negara
budiman”.7
Indonesia, merupakan negara yang unik. Yang berbeda dengan
negara lain. Dalam hal ideologi, Indonesia tidak menganut paham sosialis,
liberalis, nasionalis, ataupun agamis. Melainkan ideologi yang dibentuk
melalui budaya bangsa Indonesia sendiri. Adalah Pancasila, yang menjadi
dasar bagi negara Indonesia. Sedangkan penjelas bagi Pancasila termaktub
dalam Undang-undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa negara mempunyai tanggung jawab untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan
umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.8
Cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan
emansipasi dan partisipasi di bidang politik namun juga emansipasi dan
partisipasi di bidang ekonomi. Sila keempat (kerakyatan) dan sila kelima
(keadilan) dari pancasila merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat
7 Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 4.
8 Lihat Pembukaan UUD 1945
6
dipisahkan. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, hasil rumusan
orisinil Panitia 9, kedua sila tersebut dihubungkan dengan kata sambung
(“serta”), “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam
permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”9 Soekarno menyebut keterkaitan
kedua sila tersebut sebagai rangkaian dari prinsip “sosio-demokrasi”.
Istilah terakhir ini dia pinjam dari seorang teoritikus Marxis Austria, Fritz
Adler, yang mendefinisikan “sosio demokrasi” sebagai “Politiek
ekonomische democratie” (demokrasi politik-ekonomi). Ungkapan Adler
yang sering dikutip Bung Karno adalah bahwa, “demokrasi yang kita kejar
janganlah hanya demokrasi politik saja, tetapi kita harus mengejar pula
demokrasi ekonomi.”10
Dalam suatu pamflet berjudul „Menuju Indonesia Merdeka‟ Bung
Hatta menulis, “Di atas sendi [cita-cita tolong menolong] dapat didirikan
tonggak demokrasi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil
yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang,
melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi
pedoman perusahaan dan penghasilan”. Selanjutnya dia menegaskan
bahwa demokrasi politik dan demokrasi ekonomi tidak bisa dipisahkan
dan saling terkait. “Cita-cita demokrasi kita lebih luas, tidak saja
demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi.” Senada dengan itu,
Soekarno kerap mengatakan bahwa “Untuk membangun satu negara yang
9 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas,dan Aktualitas Pancasila
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), h.491. 10
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
h.491.
7
demokratis, maka satu ekonomi yang merdeka harus dibangun. Tanpa
ekonomi yang merdeka, tak mungkin kita mencapai kemerdekaan, tak
mungkin kita mendirikan negara, tak mungkin kita tetap hidup”.11
Para pendiri Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian
bahwa revolusi kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas bangsa
terjajah dan sebagai bangsa yang telah hidup dalam alam feodalisme
ratusan tahun lamanya, haruslah berwajah dua: revolusi politik (nasional)
dan revolusi sosial. Revolusi politik (nasional) adalah untuk
mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme serta untuk mencapai satu
Negara Republik Indonesia. Revolusi sosial adalah untuk mengoreksi
struktur sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur.12
Cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir dari
revolusi Indonesia hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan
demokrasi politik dengan demokrasi ekonomi melalui pengembangan dan
pengintegrasian pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial
yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan. Keadilan
ekonomi dan jaminan sosial diupayakan tanpa mengorbankan hak milik
dan usaha swasta (pasar). Daulat pasar dihormati dalam kerangka
penguatan daulat rakyat (keadilan sosial). Sebagai katalis untuk
menghadirkan pranata-kebijakan ekonomi dan pranata-kebijakan sosial
yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan itu, para pendiri
8 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h.
492. 9 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h.
492.
8
bangsa menghendaki penjelmaan negara Republik Indonesia sebagai
“Negara Kesejahteraan” (dalam istilah Yamin) atau “Negara Pengurus”
(dalam istilah Hatta).13
Sebagai gagasan atau cita-cita kebangsaan “Kesejahteraan Sosial”
pertama kali dikemukakan oleh Bung Karno dalam pidato 1 juni 1945,
sebagai sila ke 4 Pancasila. Tapi istilah itu hilang dari rumusan Pancasila
dan diganti dengan istilah “Keadilan Sosial”, sebuah istilah yang
dikemukakan oleh Bung Hatta. Tapi istilah keadilan sosial itu, oleh Bung
Hatta dijelaskan sebagai kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dapat
diinterpretasikan bahwa keadilan sosial adalah prinsip yang mendasari
kesejahteraan sosial. Dalam pengertian itu istilah kesejahteraan sosial
sinonim dengan istilah “adil dan makmur” atau kemakmuran yang
berkeadilan yang dijelaskan juga sebagai kemakmuran yang merata di
antara semua warga atau istilah “samarasa-samarata” dalam istilah
pejuang sosialis Mas Marco.14
Istilah kejahteraan muncul kembali dalam Piagam Jakarta dan
Mukaddimah UUD 1945, dalam istilah “kesejahteraan umum” sebagai
salah satu tujuan kemerdekaan. Sementara itu istilah kesejahteraan sosial
sendiri menjadi judul bab XIV UUD 1945, yang berisikan pasal 33 dan
34.15
Landasan ideologi Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
dengan jelas menegaskan bahwa Republik Indonesia adalah negara
13
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h.
492-493. 14
M. Dawam Rahardjo, Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Di Era Globalisasi, h. 1. 15
M. Dawam Rahardjo, Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Di Era Globalisasi, h. 1.
9
kesejahteraan. Tetapi sistem negara kesejahteraan Indonesia berbeda
dengan ketiga model sistem negara kesejahteraan diutarakan di atas.
Sistem negara kesejahteraan dari negara-negara kapitalis barat, baik model
universal, asuransi sosial, maupun selektif residual, semuanya berbasis
kapitalisme liberal, sebagai lampiran dari sistem kaptalisme, untuk
memelihara kelangsungan hidup kaptalisme, bukan untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat, dan kesejahteraan yang adil. Sistem negara
kesejahteraan Indonesia berdasarkan demokrasi politik dan demokrasi
ekonomi.16
Oleh karena itu, melalui penelitian ini, penulis ingin memahami
dan mengkaji serta ikut berpartisipasi memberikan sedikit sumbangsih
literasi tentang “Konsepsi Negara Kesejahteraan Menurut Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar penelitian ini tidak jauh melebar perlu kiranya penulis
membatasi masalah, yaitu memfokuskan penelitian pada persoalan
bagaimana konsep negara kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945
serta bagaimana praktik negara kesejahteraan di indonesia.
Dalam penelitian ini penulis mencoba merumuskan beberapa hal
pokok yang akan menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini, antara
lain:
16
Holil Sulaiman, Perencanaan Kebijakan dan Program Sosial, h. 18.
10
1. Bagaimana konsep Negara Kesejahteraan menurut Pancasila dan
UUD 1945 ?
2. Bagaimana praktik negara kesejahteraan di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah agar mengetahui konsep negara
kesejahteraan menurut Pancasila dan UUD 1945.
2. Manfaat Penelitian
a) Manfaat Akademis
1) Melacak jejak akar konsep Negara Kesejahteraan
dalam sejarah politik Indonesia pada masa-masa
awal kemerdekaan.
2) Sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi
studi-studi selajutnya, dan akan menambah jumlah
studi mengenai Negara Kesejahteraan.
3) Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana
strata satu (S1) di Program Studi Kesejahteraan
Sosial Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
11
b) Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai
referensi bagi penelitian lebih lanjut tentang Negara
Kesejahteraan dan atau kebijakan sosial di Indonesia.
D. Metodelogi Penelitian
1. Pendekatan
Dalam menggarap skripsi ini, jenis data yang digunakan adalah
kualitatif dimana pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber
tertulis seperti buku, artikel, jurnal, serta majalah yang berkaitan dengan
Pancasila dan UUD 1945 serta hubungannya dengan konsep negara
kesejahteraan dan kesejahteraan sosial.
2. Teknik Pengumpulan Data
Secara kategoris, teknik pengumpulan data dalam skripsi ini
menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu dengan
memanfaatkan sumber informasi yang berada di perpustakaan baik berupa
buku, jurnal dan lain sebagainya. Menurut M. Nazir dalam bukunya yang
berjudul ‟Metode Penelitian‟ mengemukakan bahwa yang dimaksud
dengan Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan
mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur,
catatan-catatan, dan laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang
dipecahkan. 17
17
M.Nazir, Metode Penilitian ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), cet ke-5. h. 27.
12
Peneliti juga menambahkan metode wawancara dalam skripsi ini
kepada narasumber yaitu Yudi Latif (penulis buku Negara Paripurna dan
Ketua Harian Pusat Studi Pancasila, Universitas Pancasila). Alasan penulis
memilih Yudi Latif sebagai narasumber dalam penelitian ini adalah karena
beliau fokus mengkaji Pancasila, itu terlihat dari karya-karyanya seperti
“Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”
yang merupakan karya monumental yang oleh banyak kalangan intelektual
dianggap sebagai buku klasik yang menjadi rujukan di era mendatang, satu
lagi adalah buku yudi latif yang berjudul “Mata Air Keteladanan:
Pancasila dalam Perbuatan”.
3. Teknik Analisis Data
Data tersebut kemudian diklasifikasi sesuai dengan judul yang akan
dibahas oleh penulis. Secara metodologis, penelitian ini bersifat deskriptif-
analitis. Deskriptif berarti memaparkan dan menggambarkan secara
objektif isi seluruh UUD 1945 dan Pancasila dalam kaitannya dengan
materi muatan negara kesejahteraan. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan sejarah dan sosial. Sementara analitis berarti upaya memahami
posisi, pemikiran, dan upaya menularkan gagasan baru tentang konsep
Negara Kesejahteraan disertai kritik dan kesimpulan.
4. Keabsahan Data
Pada teknik keabsahan data, penulis melakukan diskusi secara
analitis dimana hasil penelitian sementara diekspos. Kemudian, dilakukan
pola pengoreksian bersama teman sejawat untuk kemudian melakukan
13
perbaikan secara terus menerus dan memfokuskan pada isu yang sedang
diteliti.
5. Pedoman Penulisan Skripsi
Untuk tujuan mempermudah, teknik penulisan yang dilakukan
dalam skripsi ini merujuk pada buku “Pedoman Karya Ilmiah” yang
diterbitkan oleh CeQda UIN Jakarta 2008.
E. Tinjauan Pustaka
Seperti yang telah disinggung di atas, topik tentang negara
kesejahteraan seolah tak ada habisnya untuk dikaji dan diteliti. Oleh
karena itu, penelitian tentang negara kesejahteraan juga telah banyak
dilakukan, akan tetapi hanya sedikit yang mengungkapkan dan meneliti
konsep negara kesejahteraan menurut Pancasila dan UUD 1945.
Dari beberapa skripsi yang penulis temukan ada juga yang
membahas negara kesejahteraan, tetapi tidak mengkhusukan diri pada
Pancasila dan UUD 1945 tentang konsep negara kesejahteraan. Seperti
skripsi Abdul Aziz Azamzami, dari Fakultas Ushuludin dan Filsafat,
Jurusan Pemikiran Politik Islam tahun 2008, yang berjudul Negara
Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab. Skripsi ini,
sesuai dengan judulnya lebih mengulas konsep kepemimpinan syaidinna
Umar tentang negara kesejahteraan. Dalam bentuk karya tulis lain ada juga
yang membahas tentang negara kesejahteraan dalam konteks Indonesia
salah satunnya adalah Antonius Galih Prasetyo yang bertajuk “Ekonomi
Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia”
14
karya tersebut berbebentuk prosiding yang diterbitkan oleh Institute of
International Studies Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, tahun 2013.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian skripsi ini, terdiri dari beberapa bab dengan
penyusunan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Menguraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,
pedoman penulisan skripsi, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II : PENGERTIAN NEGARA KESEJAHTERAAN
Menguraikan mengenai pengertian dan beberapa contoh model
Negara Kesejahteraan di dunia.
BAB III : ANALISIS KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN
DALAM PANCSILA dan UUD 1945
Menguraikan tentang latar belakang dan bentuk negara
kesejahteran dalam pancasila dan UUD 1945.
BAB IV: PRAKTIK NEGARA KESEJAHTERAAN DI INDONESIA
Menguraikan tentang praktik negara kesejahteraan di Indonesia.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini berisi kesimpulan, kritik dan saran.
15
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Negara Kesejahteraan (Welfare State)
1. Pengertian Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Kesejahteraan rakyat merupakan wacana yang menarik untuk
selalu dijadikan bahan perdebatan oleh politisi dan akademisi, karena
kesejahteraan merupakan hal paling mendasar yang harus diciptakan oleh
negara. Ide konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara
dalam mengelola sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk
menciptakan kesejahteraan rakyat. Tujuan mulia untuk mensejahterakan
rakyat, kemudian direalisasikan oleh negara lewat kebijakan-kebijakan
pelayanan sosial (social service). Dengan demikian dalam negara
kesejahteraan menuntut adanya peranan yang dominan dalam
pengelolaan sektor publik.
Seperti yang dituliskan pada bab sebelumnya pengertian tentang
sebuah negara kesejahteraan sangatlah beragam dan itu artinya
pengertian negara kesejahteraan tidak bersifat statis dan baku.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi negara kesejahteran
adalah negara yang mengusahakan kesejahteraan rakyat dengan
mengatasi anarki produksi dan krisis ekonomi, meningkatkan jaminan
hidup warga dengan memberantas pengangguran.1 Sedangkan Edi
Suharto dalam bukunya berjudul Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan
1 Save M. dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: LKPN, 2000), h. 708.
16
Publik mendefinisikan negara kesejahteraan (welfare state) sebagai
model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan
kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara
dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif
kepada warganya. Jadi fokus dari sistem negara kesejahteraan adalah
untuk menciptakan sebuah sistem perlindungan sosial yang melembaga
bagi setiap warga negara sebagai gambaran adanya hak warga negara dan
kewajiban negara.2 Negara kesejahteraan sebenarnya tidak hanya
menciptakan pelayanan-pelayanan sosial untuk orang miskin saja, akan
tetapi pelayanan sosial ditunjukan untuk semua penduduk seperti; orang
tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin. Hal ini
dimaksudkan agar pelayanan sosial yang diselanggarakan oleh negara
bisa tersebar secara merata dan adil.
Karya Richard Titmuss, Essays on the Welfare State (1958) telah
mendapat tempat istimewa dalam studi-studi tentang negara
kesejahteraan, Buku Titmuss ini dapat dikatakan sebagai magnum-opus
yang secara mendalam mengupas ide negara kesejahteraan sebagai
berikut: "a welfare state is a state in which organized power is
deliberately used through politics and administration in an effort to
modify the play of market forces to achieve social prosperity and
economic well-being of thepeople".3
2 Edi Suharto, Kebijakan Sosial:Sebagai Kebijakan Publik (Bandung: ALFABET, 2007),
h. 57.
3 Richard Titmuss, “Essays on the Welfare State” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed.,
Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 11.
17
Pemikiran tersebut dapat disarikan menjadi tiga hal esensial.
Pertama, negara harus menjamin tiap individu dan keluarga untuk
memperoleh pendapatan minimum agar mampu memenuhi kebutuhan
hidup paling pokok. Kedua, negara harus memberi perlindungan sosial
jika individu dan keluarga ada dalam situasi rawan/rentan sehingga
mereka dapat menghadapi masa-masa krisis, seperti sakit, usia lanjut,
menganggur, dan miskin yang potensial mengarah ke atau berdampak
pada krisis sosial. Ketiga, semua warga negara, tanpa membedakan status
dan kelas sosial, harus dijamin untuk bisa memperoleh akses pelayanan
sosial dasar, seperti pendidikan, kesehatan, pemenuhan gizi (bagi anak
balita), sanitasi, dan air bersih.4
Negara kesejahteraan sering ditengarai dari atribut-atribut
kebijakan pelayanan sosial dan transfer sosial yang disediakan negara
kepada warganya, seperti pelayanan pendidikan, lapangan pekerjaan,
pengurangan kemiskinan sehingga negara kesejahteraan dan kebijakan
sosial sering diidentikkan.5 Namun hal tersebut dinilai kurang tepat
karena kebijakan sosial dan negara kesejahteraan tidak mempunyai
hubungan dua arah. Kebijakan sosial bisa diterapkan tanpa keberadaan
negara kesejahteraan, tapi sebaliknya negara kesejahteraan selalu
membutuhkan kebijakan sosial untuk mendukung keberadaannya.6
Secara umum, suatu negara bisa digolongkan sebagai negara
kesejahteraan jika mempunyai empat pilar utamanya, yaitu: (i) social
4 Titmuss, “Essays on the Welfare State” h. 12.
5 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES,2006), h. 8. 6 Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 8.
18
citizenship; (ii) full democracy; (iii) modern industrial relation systems;
serta (iv) rights to education and the expansion of modern mass
education systems.7 Keempat pilar ini dimungkinkan dalam negara
kesejahteraan karena negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial
sebagai “penganugerahkan hak-hak sosial” (the granting of social rights)
kepada warganya yang diberikan berdasarkan basis kewargaan
(citizenship) dan bukan atas dasar kinerja atau kelas.8
Negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari
ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan
yang (kemudian disebut sebagai dekomodifikasi) dengan menjadikannya
sebagai hak setiap warga yang diperoleh melalui perangkat kebijakan
sosial yang disediakan oleh negara. Lebih jauh lagi, keberadaan hak-hak
sosial dan social citizenship ini digunakan oleh negara untuk menata
ulang relasi kelas dalam masyarakat, serta menghapuskan kesenjangan
kelas yang terjadi. Seperti yang di ungkapan oleh Esping-Andersen:
“…negara kesejahteraan bukan hanya suatu mekanisme untuk
melakukan intervensi terhadap, atau mengoreksi struktur
ketidaksetaraan yang ada. Namun, merupakan suatu sistem stratifikasi
sosial yang khas. Negara kesejahteraan merupakan suatu kekuatan
yang dinamis dalam penataan ulang relasi sosial…”.9
Jelaslah bahwa negara kesejahteraan adalah lebih dari kumpulan
kebijakan sosial. Keberadaannya tidak bisa dengan sederhana diukur
melalui besaran pengeluaran sosial oleh negara karena negara
7 Esping-Andersen “Three World of Welfare Capitalism” dalam Triwibowo dan Bahagijo,
ed., Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 9. 8 Esping-Andersen “Three World of Welfare Capitalism” h. 9.
9 Esping-Andersen, “Social Foundation for Postindustrial Economies” dalam Triwibowo
dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 9
19
kesejahteraan adalah upaya negara untuk menggunakan kebijakan sosial
sebagai alat untuk meredefinisikan relasinya terhadap warga. Seperti
halnya yang diungkapkan Marshall:
“…istilah tersebut (negara kesejahteraan) merujuk pada suatu
komitmen politik yang baru, penulisan ulang kontrak sosial antara
negara dan warganya.. yang melibatkan pengakuan atas hak sosial
seluruh warga dan merefleksikan suatu tekad untuk menjembatani
kesenjangan kelas sosial yang ada…”.10
Dalam negara kesejahteraan, adanya sistem kesejahteraan sebagai
hak sosial warga harus diimbangi oleh dua hal yang saling terakait, yaitu
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja penuh (full employment).
Di satu sisi, hak sosial tidak seharusnya menjadi disinsentif bagi warga
untuk terlibat dalam pasar tenaga kerja, sehingga Negara harus
menerapakan kebijakan ketenagakerjaan yang aktif untuk mendorong
partisipasi penuh warga dalam pasar tenaga kerja. Di sisi lain, luasnya
basis hak sosial membutuhkan sumber pembiayaan yang memadai
melalui sistem perpajakan yang kuat yang hanya dimungkinkan dalam
pertumbuhan ekonomi dengan peran aktif pemerintah didalamnya.
Segitiga antara peran negara dalam pertumbuhan ekonomi-jaminan hak
sosial-kebijakan aktif tenaga kerja merupakan karakteristik kunci dari
suatu negara kesejahteraan.11
Negara kesejahteraan sendiri bukanlah satu entitas berwajah
tunggal. Luas cakupan dan ragam kebijakan sosial yang diterapkan oleh
negara bervariasi dari satu negara kesejahteraan dengan negara
10
Esping-Andersen, “Social Foundation for Postindustrial Economies” h. 10-11. 11
Kuhnle dan Hort, “The Developmental Welfare State in the Scandinavia: Lessons for
the Developing World” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kesejahteran (Jakarta:
LP3ES, 2006), h. 11.
20
kesejahteraan lainnya. Titmuss telah mengidentifikasi adanya dua
tipologi negara kesejahteraan, yaitu residual welfare state dan
institusional welfare state. Residual welfare state mengasumsikan
tanggung jawab negara sebagai penyedia kesejahteraan jika dan hanya
jika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya serta terpusat pada
kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti kelompok marginal serta
mereka yang patut mendapatkan alokasi kesejahteraan dari negara.
Sedangkan institutional welfare state bersifat universal, mencakup
semua populasi warga, serta terlembaga dalam basis kebijkan sosial
yang luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat.12
Penggolongan Titmuss membawa kita pada pemahaman tentang
pengaruh rezim kesejahteraan terhadap kemampuan negara
kesejahteraan untuk memproduksi dan mendistribusi kesejahteraan
melalui kebijkan sosial. Rezim kesejahteraan mengacu pada pola
interaksi dan saling keterkaitan dalam produksi dan alokasi
kesejahteraan antara negara, sistem pasar, dan keluarga/rumah tangga.
Ketiga lembaga tersebut merupakan penyedia kesejahteraan dan tempat
individu mendapatkan perlindungan dari resiko-resiko sosial. Masing-
masing lembaga menerapkan pola pengelolaan resiko yang berbeda.
Sebagai contoh, dalam keluarga, pola alokasi kesejahteraan bersandar
pada resiprositas (reciprocity), sedangkan pada pasar basisnya adalah
pertukaran tunai (cash nexus), dan dalam negara basisnya adalah
redistribusi otoritatif (authoritative redistribution) melalui kebijakan
12
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES, 2006), h. 11-12.
21
sosial. Bagaimana risiko dikelola dan siapa aktor utama pengelola
risiko/penyedia kesejahteraan akan menentukan bentuk rezim
kesejahteraan.13
2. Filosofi Negara Kesejahteraan
Negara kesejahteraan adalah bagian dari rezim kesejahteraan.
Rezim mengacu pada seperangkat norma, prinsip, aturan dan prosedur
pengambilan keputusan, baik implisit maupun eksplisit, yang
menyatukan ekspektasi para aktor dalam wilayah tertentu dalam
kehidupan sosial.14
Sebagai temuan kelembagaan (institutional invention)
dalam suatu bentuk rezim, negara kesejahteraan juga terikat dan
didasarkan pada kerangka etik spesifik. Barr (1998) menyatakan bahwa
kerangka etik negara kesejahteraan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai
Katolik dan pengaruh doktrin karitatif sosial (social charity) gereja. Hal
senada juga diungkapkan oleh Huber dan Stephens (2001) maupun
Manow (2004) yang menengarai pengaruh doktrin sosial katolik dalam
desain dan proses pengembangan negara kesejahteraan di negara-negara
Eropa. Manow menyimpulkan bahwa perbedaan rezim kesejahteraan di
negara-negara Eropa juga dipengaruhi oleh “ragam” basis religius, yang
didalamnya negara-negara dengan basis Protestan reformis lebih memilih
rezim kesejahteraan liberal; negara dengan basis Protestan Lutheran
cenderung kearah rezim sosial demokrat; sedangkan negara dengan basis
13
Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 13-14. 14
Krasner dan I Gough, “Welfare Regimes: On Adapting the Framework to Development
Countries,” dalam Triwibowo dan Bahagijo, ed., Mimpi Negara Kejahteraan (Jakarta: LP3ES,
2006), h. 18.
22
Gereja Katolik Roma lebih condong ke rezim kesejahteraan
konservatif.15
Kelley (1994) menyatakan bahwa etika Katolik yang “alergi”
terhadap orientasi-diri (selfishness) dan ketamakan (avarice),
menyebakan munculnya paham keadilan sosial yang menjadi legitimasi
intervensi negara terhadap mekanisme pasar.16
Kelley membagi paham
keadilan sosial menjadi dua aliran, yaitu Welafrism dan egalitarianism.
Welafrism memandang bahwa individu mempunyai hak untuk
mendapatkan kebutuhan dasar tertentu dalam hidup, sehingga menjadi
kewajiban masyarakat untuk memastikan setiap individu mempunyai
akses pada kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sistem kapitalis laissez-faire
tidak mampu menjamin tercapainya hal tersebut, sehingga dibutuhkan
intervensi negara untuk memodifikasi pasar agar bisa memenuhi
tanggung jawab distribusinya. Egalitarianism, disisi lain, menyatakan
bahwa kemakmuran yang diproduksi oleh masyarakat harus
didistribusikan dengan adil. Sistem kapitalis berbasis pasar cenderung
membenarkan bahkan mendorong terjadinya kesenjangan, baik
pendapatan maupun kemakmuran di antara individu-individu. Inilah yang
menyebabkan dibutuhkannya negara untuk memastikan terjadinya
distribusi kemakmuran yang lebih merata.
Paham ini sangat dekat dengan pandangan liberal dalam teori
sosial. Seperti yang diungkapkan George dan Wilding dalam Barr (1998),
15
Philip Manow, “The Good, the Bad,and the Ugly: Esping-Andersen‟s Regime
Typology and the Religious Roots of the Western Welfare State,” dalam Triwibowo dan Bahagijo,
Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 19. 16
David Kelley, “Altruism and Capitalism,” dalam Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi
Negaara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 19.
23
kaum liberal memandang bahwa: (i) kapitalisme merupakan sistem yang
paling efisien dibandingkan dengan sistem lain yang ada; (ii) meskipun
efisien, kapitalisme mempunyai efek negatif berupa kemiskinan dan
ketimpangan; (iii) negara mampu mengatasi efek negatif tersebut.
Berbeda dengan kaum natural –right libertarian (seperti Nozick), yang
memandang intervensi negara salah secara moral, dan kaum empirical
libertarian (seperti layaknya Hayek dan Friedman), yang memandang
bahwa campur tangan negara akan menurunkan kesejahteraan agregat,
kaum liberal meyakini pentingnya fungsi redistribusi kesejahteraan dari
negara untuk menjamin terjadinya keadilan sosial dan pemerataan dalam
sistem kapitalis.17
Merujuk pada Beveridge:
“(adalah suatu hal yang penting) untuk
menggunakan kuasa negara, sepanjang diperlukan dengan tanpa
batasan apapun, untuk menghindari merajalelanya lima „iblis‟
utama didalam tatanan masyarakat, yaitu ketamakan, penyakit
menular, ketidakpedulian, kekejaman (squalor), serta kesia-siaan
(idleness)”18
Seperti halnya Beveridge, Keynes memandang bahwa kapitalisme
tidak mengatur dirinya sendiri.19
Berbeda dengan yang dijanjikan hukum
pasar say, permintaan tidak selalu bisa mengimbangi tingkat produksi.
Keynes menunjukkan bahwa kapitalisme, sebagai suatu sistem ekonomi,
tidak selalu akan dengan sendirinya mengoordinasi permintaan dan
penawaran dengan harmonis melalui mekanisme pasar bagi keseluruhan
17
Nicholas Barr, “The Economics of the Welfare State” dalam Triwibowo dan Bahagijo,
Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 20-21. 18
Barr, “The Economics of the Welfare State” h. 22. 19
Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1992), hal. 75.
24
perekonomian, khususnya ketika terjadi defisit permintaan agregat.20
Kaum kolektivis setengah hati, seperti Keynes, Galbraith, dan Beveridge,
sependapat dengan pandangan liberal dan percaya tentang dibutuhkannya
peran negara dalam perokonomian. Mereka berpendapat bahwa negara
dibutuhkan untuk memikul tanggung jawab pengelolaan perekonomian
guna memelihara suatu agregat permintaan yang akan menjamin
kesempatan kerja penuh.21
Mereka juga percaya bahwa tanpa tindakan
pemerintah, pertumbuhan ekonomi tidak akan mampu mengahapuskan
kemiskinan.22
Hanya saja, seperti disampaikan Tawney, negara kesejahteraan
bukanlah wujud dari sosialisme.23
Dalam format negara kesejahteraan
memang terdapat persinggungan antara pemikiran liberal dan kolektivis
sosial demokrat, khususnya dalam area “social justice” dan “mutual
responsibility and the duty of the strong aid to the weak”.24
Namun,
persinggungan tersebut tidak bisa menghapuskan perbedaan dasar
diantara pandangan kolektivis dan liberal. Kaum kolektivis menilai
negara kesejahteraan sebagai bentuk peralihan dari kapitalisme laissez-
faire menuju sosialisme, sehingga dalam kaca mata mereka, negara
kesejahteraan tidak pernah lebih dari suatu “tahapan antara” (a staging
post in the transition).25
Kaum kolektivis Marxian bahkan menilai
20
George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h. 82. 21
George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h.90. 22
George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h.93. 23
George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h.108. 24
Nicholas Barr, “The Economics of the Welfare State” dalam Triwibowo dan Bahagijo,
Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 22. 25
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3S, 2006), h. 23.
25
negara kesejahteraan bukan didorong oleh motif keadilan sosial,
melainkan lebih sebagai tipu daya kaum kapitalis untuk melindungi
kepentingan kapitalisme itu sendiri. Negara kesejahteraan kemudian
hanya berfungsi membantu memenuhi kebutuhan industri kapitalis untuk
tenaga kerja terdidik yang sehat, dan itu adalah uang tebusan yang
dibayar oleh elite penguasa yang mengandung kerusuhan sosial.26
Pandangan a la Marx ini akurat pada tahap awal pengembangan negara
kesejahteraan, khususnya di Eropa kontinental yang konservatif, tapi
menjadi tidak akurat dengan makin berkembangnya pengakuan hak
sosial warga yang makin universal, khususnya di Skandinavia.
Rawls, Keynes, Beveridge, maupun Galbraith, sebaliknya,
bukanlah kolektivis. Mereka memandang kapitalisme sebagai sistem
yang paripurna dan negara kesejahteraan adalah upaya untuk
menyelamatkan kapitalisme agar bisa lebih diterima secara moral dengan
menggunakan campur tangan negara.27
Apa yang ingin mereka capai
adalah menyelamatkan kapitalisme dan unsur-unsur pentingnya, sambil
mengurangi atau menghapus hal-hal yang sekarang tidak dapat diterima.
Keynes melihat kesalahan-kesalahan kapitalisme lebih sebagai kesalahan
teknis daripada kesalahan mendasar. Kapitalisme, merujuk pada Keynes,
jika dikelola secara bijak mungkin dapat menjadi alat yang efisien untuk
mencapai tujuan ekonomi dibandingkan dengan sistem lain manapun
yang dibayangkan. Melalui tindakan yang tepat ia percaya bahwa suatu
26
Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 23. 27
Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat (Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti ,1992), h. 103.
26
jalan tengah dapat ditemukan antara anarki laissez-faire dan kelaliman
totaliterisme.28
Negara kesejahteraan, dengan demikian, merupakan jalan
tengah tersebut.
3. Sejarah dan Dinamika Negara Kesejahteraan
Gagasan Negara kesejahteraan lahir di Eropa sebagai respon
kemiskinan akibat proses industrialisasi pada abad 19. Munculnya
teknologi baru dalam industri dimana mesin-mesin mengambil peran
lebih dan menggantikan tenaga manusia mengakibatkan pengangguran
dan menurunkan upah buruh. Dengan demikian, maka sumber
kemiskinan ada dua, upah buruh rendah dan pengangguran.
Di Jerman cikal bakal Welfare State adalah program kesejahteran
yang diciptakan oleh Kanselir Jerman, Otto Van Bismark (1815-1878).
Latar belakang ontologisnya adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh
proses industrialisasi yang menimbulkan kemerosotan kesejahteraan
dikalangan kaum buruh. Karena kekhawatiran terhadap gerakan sosialis
yang merebak kuat di Jerman ketika itu, maka Bismark berusaha
membendungnya dengan program kesejahteraan dalam bidang yang
sempit, yaitu jaminan sosial dalam bentuk skema asuransi oleh negara.
Tapi UU itu disertai dengan UU Anti-Sosialis pada tahun 1878, yang
pada intinya adalah pemberangusan kebebasan pers.29
Dalam kasus ini
program kesejahteran sosial yang di gagas oleh Bismark adalah sebagai
peredam dari gerakan sosialisme yang masiv di negara-negara eropa
28
George dan Wilding, Ideologi dan Kesejahteran Rakyat, h. 84. 29
M. Dawam Rahardjo, Mewujudkan Kesejahteraan Sosial di Era Globalisasi, h. 3.
27
dalam konteks ini adalah Jerman. Setelah Jerman pada tahun 1884
menerapkan sistem asuransi nasional wajib pertama untuk
penanggulangan penyakit. Segera setelah itu Denmark dan Negara-
negara Skandinavia lain ikut menyusul.
Sir William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963) adalah
merupakan tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara
kesejahteraan. Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance
and Allied Services (asuransi sosial dan kumpulan pelayanan sosial),
yang terkenal dengan nama Beveridge Report, Beveridge, menyebut
kekurangan (want), kemelaratan (squalor), Kebodohan (ignorance),
Penyakit (disease) dan Kemalasan (idleness) sebagai „the five giant evil’
(lima setan-setan raksasa) yang harus diperangi. Dalam laporan itu,
Beveridge, memiliki gagasan-gagasan mengenai perlindungan hak-hak
warga negara yang harus dipenuhi oleh negara, yaitu dengan
menciptakan sebuah sistem asuransi sosial yang komperhensif. Menurut
Beveridge, hanya sistem itu yang mampu memberikan kesejahteraan dan
mampu melindungi hak-hak warga negara dari mulai lahir hingga
meninggal (from cradle to grave). Pengaruh laporan Beveridge tidak
hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara-negara lain di
Eropa dan bahkan hingga ke Amerika Serikat dan kemudian menjadi
dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara
tersebut.30
30 Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” dalam Abdul Aziz
Azamzami, Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab, (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 28.
28
Kesejahteraan sosial dengan sistem asuransi yang digagas oleh
Beveridge, memiliki banyak kekurangan. Karena dengan menggunakan
dasar prinsip dan skema asuransi, banyak resiko-resiko yang dihadapi
oleh warga negara, terutama ketika mereka tidak mampu membayar
kontribusi (premi). Kemudian asuransi sosial juga tidak mampu
merespon kebutuhan kelompok-kelompok khusus, seperti; orang cacat,
orang tua tunggal, serta orang-orang yang tidak mendapatkan pekerjaan.
Manfaat asuransi sosial terkadang tidak mampu memenuhi kesejahteraan
warga negara, karena jumlahnya yang terlalu kecil sehingga hanya
mampu memenuhi kebutuhan dasar secara minimal.
Marshall, memiliki pemikiran yang berbeda mengenai
kesejahteraan sosial terutama dalam konteks kapitalisme. Menurutnya
kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan sosial menjadi
tanggungjawab semua warga negara. Warga negara memiliki kewajiban
kolektif untuk memperjuangkan kesejahteraan orang lain lewat sebuah
lembaga yang disebut negara. Ketidakadilan yang disebabkan karena
ketidak sempurnaan pasar menyebabkan kesejahteraan sosial tidak
tumbuh secara merata dalam kehidupan warga negara. Menjadikan
negara sebagai lembaga yang mampu menciptakan pelayanan sosial dan
kesejahteraan sosial merupakan sebuah solusi untuk menutupi dan
mengurangi ketidak sempurnaan pasar dan juga untuk mengurangi
dampak-dampak negatif dari sistem kapitalisme.31
31
Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” dalam Abdul Aziz
Azamzami, Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 28.
29
Pematangan konsep negara kesejahteraan terjadi pada periode
akhir 1960-an dan awal 1970-an. Pada periode-periode tersebut di
negara-negara Eropa khususnya, kebijakan-kebijakan sosial tumbuh
dengan pesat dan negara banyak mengeluarkan kas negaranya untuk
menciptakan pelayanan sosial. Negara-negara Eropa banyak mengadopsi
berbagai program jaminan sosial baru, seperti; program pensiun, program
jaminan orang cacat, dan santunan bagi pengangguran.32
Program-
program kesejahteraan sosial yang diciptakan oleh negara terus
mengalami peningkatan sesuai dengan kemajuan industrialisasi dan laju
pertumbuhan ekonomi yang terjadi.
Sistem negara kesejahteraan mencoba menjadi penyeimbang
antara peran negara dan pasar, antara oligarki dan redistribusi ekonomi,
antara pertumbuhan dan pemerataan. Seperti Amerika Serikat, Inggris,
Kanada, Uni Eropa dan negara Skandinavia, menganut negara
kesejahteraan atau welfare state sebagai langkah untuk membangun
kesejahteraan sosial warganya. Seperti telah dijelaskan diatas, pada
hakikatnya kesejahteraan sosial merupakan hak asasi warga negara yang
wajib dipenuhi oleh negara. Maka, hak asasi merupakan sebuah titik
sentral pertimbangan negara dalam pengambilan kebijakan-kebijakan
sosial. hak-hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara,
yaitu; hak untuk mendapatkan keamanan sosial, hak mendapatkan
pekerjaan, hak mendapatkan tempat tinggal yang layak, hak
mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan pelayanan kesehatan, dan
32
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES, 2006), h. 28.
30
jaminan-jaminan sosial lainnya. Bila hak warga negara tidak dipenuhi
oleh negara maka negara telah melakukan pelanggaran kemanusiaan dan
tidak menjalankan fungsinya.33
Upaya untuk menyingkirkan peranan negara atau intervensi
negara terhadap kebijakan-kebijakan publik telah dimulai sejak lahirnya
pemikiran aliran Kanan Baru, aliran ini sering disebut ekonomi
Thatcherisme atau Reaganisme.
Neoliberalisme pertama kali dipraktekkan oleh Perdana Menteri
Margareth Thatcher di Inggris, yaitu dengan menghapus kewajiban
negara memikul tanggung jawab terhadap rakyat yang tidak produktif,
meminggirkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan full employment
(kesempatan kerja penuh), memangkas secara radikal subsidi-subsidi
sosial, dan sebagai gantinya, pemerintahan Thatcher lebih mementingkan
pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan
program privatisasi/swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan
pengawasan terhadap penyiaran, telekomunikasi, transportasi, dan
perikanan, kemudian membabat habis seluruh serikat buruh dan
menyalahkannya sebagai penyebab rendahnya kinerja industri Inggris.34
Pelucutan peran negara terus berlanjut lewat pengaruh globalisasi
pada abad ke-21. Istilah globalisasi menempati berbagai agenda
intelektual dan politik. Kata itu sekarang muncul dimana-mana, pidato
politik tidak lengkap, atau manual bisnis tidak dapat diterima jika tidak
33
Negara dan Kesejahteraan, artikel diakses pada 6 September 2015 dari
http://www.inilah.com/berita/2008/07/24/40004/negara-dan-kesejahteraan/. 34
Noreena Herzt, Perampok Negara: Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya
Demokrasi, dengan judul asli buku; “The Silent Take Over; Global Capitalism and the Death of
Democracy” (Yogyakarta: Alinea, 2005), h. ix.
31
menyebut kata globalisasi. Globalisasi dengan segala kebaikan dan
keburukannya telah mendorong perdebatan intens, dan menjadi pusat dari
sebagian besar diskusi politik dan perdebatan ekonomi.35
Istilah globalisasi berakar pada konsep yang lebih umum bahwa
akumulasi modal, perdagangan dan investasi tidak lagi dibatasi pada
negara-bangsa. Dalam pengertiannya yang lebih umum, globalisasi
mengacu pada aliran-aliran barang, investasi, produksi dan teknologi
lintas bangsa. Globalisasi telah menciptakan sebuah tatanan dunia baru
dengan lembaga-lembaga dan konfigurasi-konfigurasi kekuasaannya
yang menggantikan struktur-struktur sebelumnya yang diasosiasikan
dengan negara-bangsa.36
Perkembangan ekonomi global memiliki implikasi terhadap
negara kesejahteraan (welfare state). Batas dan kekuatan negara yang
semakin memudar, organisasi-organisasi independen, badan-badan supra-
nasional dan perusahaan perusahaan multinasional. Sebuah konsekuensi
logis dari kecenderungan global dan telah memunculkan kritik terhadap
sistem negara kesejahteraan yang dipandang tidak tepat lagi untuk
diterapkan sebagai pendekatan dalam pembangunan suatu negara.
Bahkan berkembangnya anggapan yang menyatakan bahwa negara
kesejahteraan telah mati (welfare state has gone away and died).37
35
Anthony Giddens, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, dengan judul asli buku;
“The Third Way: The Renewal of Social Democracy” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002),
Cet. Ke-4, h. 32. 36
James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, dengan judul asli buku;
“Globalization Unmasked: Imperialism in the 21 Century” (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2002), h.37. 37
Edi Suharto, “Peta dan Dinamika Welfare State Di Beberapa Negara”, artikel diakses
pada tenggal 12 September 2016 dari
situs: http://www.policy.hu/suharto/naskah%20PDF/UGMWelfareState.pdf
32
Edi Suharto, dalam makalahnya yang berjudul “Islam dan Negara
Kesejahteraan” mengutip dari bukunya Ramesh Misrah, yang berjudul
“Globalization and welfare state” , dijelaskan bahwa globalisasi telah
membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan
sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia (World Bank)
dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/ IMF)
menjual kebijakan-kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara
berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil
pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan
terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.38
Adanya anggapan yang mengatakan bahwa negara kesejahteraan
telah berakhir (mati), karena tidak mampu menghadapi ancaman
globalisasi dan berkuasanya sistem kapitalisme adalah sebuah anggapan
yang tidak benar. Sistem Negara Kesejahteraan masih tetap berdiri kokoh
dengan segala skema-skema kesejahteraan sosial yang dipraktekkan di
negara-negara Skandinavia, Eropa Barat, bahkan di negara-negara yang
menganut paham liberal yang kuat seperti Amerika, Inggris dan
Australia. Dalam hal ini, negara kesejahteraan sedang mengalami
reformulasi dan penyesuaian sejalan dengan tuntutan perubahan tatanan
global. Jadi, sangat salah bila menganggap sistem negara kesejahteraan
telah menemui akhir dari sejarahnya.
38
Edi Suharto, “Islam dan Negara Kesejahteraan”, artikel diakses pada tanggal 25
September 2016 dari
http://www.policy.hu/suharto/Naskah20%PDF/IslamNegaraKesejahteraan.pdf.
33
Salah satu bukti yang mampu mematahkan mitos the end of
welfare state, adalah masih beroperasi 3 (tiga) model negara
kesejahteraan yang dipraktekkan oleh negara-negara di dunia, yaitu:39
1. Model Residual (Residual Welfare State)
Model ini dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon yang
meliputi Amerika Serikat, Inggris, Australia, Kanada dan Selandia
Baru. Model negara kesejahteraan residual dicirikan dengan basis
rezim kesejahteraan liberal dan pemberian jaminan sosial kepada
warga negara secara terbatas dan selektif, serta adanya kesempatan
besar bagi swastanisasi pelayanan publik. Umumnya pelayanan
sosial yang diberikan berjangka pendek dan relatif kecil.
2. Model Universal (Universalist Welfare State)
Model universal sering juga disebut sebagai The
Scandinavia Welfare State. Model ini diadopsi oleh negara-negara
seperti; Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Belanda.
Model negara kesejahteraan ini dicirikan dengan basis rezim
kesejahteraan sosial demokrat dan jaminan sosial yang diberikan
kepada warga negara bersifat komprehensif.
3. Model Korporasi (Social Insurance Welfare State)
Model korporasi ini diadopsi oleh negara-negara seperti;
Jerman, Austria, Belgia, Prancis, Italia, dan Spanyol. Model negara
kesejahteraan ini dicirikan dengan basis rezim kesejahteraan
konservatif dan jaminan sosial yang diberikan kepada warga negara
39
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan
(Jakarta:LP3ES, 2006), h. 14-15.
34
dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi
terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pilar,
yaitu; pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Dalam hal ini,
pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan
terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan
kontribusi melalui skema asuransi sosial. Ide model negara
kesejahteraan ini pertama kali dikembangkan oleh Otto Van
Bismarck dari Jerman, dan model negara kesejahteraan ini sering
disebut sebagai model Bismarck.
Globalisasi yang menjadi anak kandung dari sistem kapitalisme
memiliki peran yang besar dalam upaya pelucutan segi tiga “suci”
(pertumbuhan ekonomi kesempatan kerja penuh-jaminan sosial) sistem
negara kesejahteraan. Seiring perubahan tatanan global dan perekonomian
dunia, peristiwa itu telah memaksa sistem negara kesejahteraan yang
dipraktekkan di beberapa negara-negara direstrukturisasi. Restrukturisasi
itu sebenarnya lebih kepada upaya untuk melucuti skema-skema
kesejahteraan yang ada dalam sistem negara kesejahteraan.40
Negara memang bukan satu-satunya lembaga yang dapat
menyelenggarakan pelayanan sosial kepada warga negaranya. Namun,
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan sosial kepada
warga negaranya sebagai usaha untuk menciptakan kesejahteraan sosial,
dan mandat negara untuk melaksanakan pelayanan sosial lebih kuat dari
pada masyarakat, dunia usaha atau lembaga-lembaga kemanusiaan
40
Triwibowo dan Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, h. 29.
35
internasional. Negara sebagai lembaga yang memiliki legitimasi publik
yang dipilih dan dibiayai oleh rakyat, memiliki kewajiban untuk
memenuhi, melindungi dan menghargai hak-hak dasar warga negara,
ekonomi dan budaya.
Edi Suharto, dalam makalahnya yang berjudul “Negara
Kesejahteraan dan Reinventing Depsos”, mengutip dari buku Bessant, Rob
Watts Judith, Tony Dalton dan Paul Smith yang berjudul, “Talking Policy:
How Social Policy in Made”, menjelaskan bahwa akar atau ide dasar
konsep negara kesejahteraan telah ada sejak abad ke-18, yaitu ketika
Jeremy Bentham (1748-1832), mempromosikan gagasan bahwa
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest
happiness (welfare) of the greatest number of their citizens (kebahagiaan
terbesar atau kesejahteraan dari sebanyak-banyaknya warga negara
mereka). Ia mencoba menjelaskan konsep kebahagiaan dan kesejahteraan
dengan menggunakan istilah kegunaan (Utilitarian). Menurutnya segala
sesuatu yang mampu menciptakan atau menghadirkan kebahagiaan yang
lebih adalah sesuatu yang baik. Begitupun sebaliknya sesuatu yang tidak
menghadirkan kebahagiaan atau kesejahteraan adalah sesuatu yang buruk.
Dalam hal ini ia ingin menjelaskan bahwa negara harus mampu
menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan sebanyak mungkin untuk
rakyat. Negara pun harus mampu melakukan upaya reformasi hukum yang
tidak mengarah kepada kesejahteraan, peran konstitusi dan penelitian
sosial untuk membangun kebijakan sosial. Bentham, lewat gagasan-
36
gagasannya itu ia digelari sebagai “Bapak Negara Kesejahteraan” (father
of welfare state).41
41
Edi Suharto, “Negara Kesejahteraan dan Reniventing Depsos,” dalam Abdul Aziz
Azamzami, Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin Khattab, (Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 28.
37
BAB III
NEGARA KESEJAHTERAAN DALAM PANCASILA DAN UUD 1945
A. Latar Belakang Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila
Dalam penetapan tujuan-tujuan hidup berbangsa dan bernegara, sebuah
bangsa merumuskan konsep-konsep tersendiri yang diidentifikasi oleh pemimpin
dan rakyatnya sebagai kristalisasi dari hasrat dan ikhtiar untuk membumikan apa-
apa yang dianggap sebagai ideal. Dasar dan ideologi negara seringkali menjadi
payung dan sumber referensi utama untuk pencarian tujuan-tujuan bersama
tersebut. Dalam konteks Indonesia, Pancasila berperan sebagai sumber mata air
konseptual tersebut sehingga darinyalah kemudian para pendiri bangsa
merumuskan model-model tata pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam segala bidang. Termasuk dalam konteks negara kesejahteraan di Indonesia,
Pancasila merupakan sumber telaah penting. Sehingga membaca dan mempelajari
teks serta konteks dalam proses perumusan Pancasila adalah jalan untuk
menemukan pengetahuan tentang bagaimana negara ini dirancang.
Sejarah konseptualisasi pancasila sudah melewati beberapa fase yang
panjang, fase “pembuahan” ,fase “perumusan” dan fase “pengesahan”. Fase
“pembuahan” dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk
mencari sintesis antar ideologi dan gerakan. Fase “perumusan” dimulai pada masa
persidangan pertama BPUPK dengan pidato Soekarno (1 juni) yang kemudian
memunculkan istilah pancasila, dan di godok melalui pertemuan Chuo Sangi in
dengan membentuk panitia Sembilan yang menyempurnakan rumusan pancasila
38
dari pidato Soekarno dalam versi piagam Jakarta. Fase “pengesahan” dimulai
sejak 18 Agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan
bernegara.1
Salah satu yang menjadi kesepakatan bersama para pendukung Negara
Kesejahteraan di Indonesia adalah bahwa konsep ini bertumpu pada sila kelima
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”.2 Maka di bab ini penulis akan
membahas khusus pada sila kelima saja. Mulai dari fase pembuahan, fase
perumusan, dan fase pengesahan.
1. Fase Pembuahan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pada fase ini para tokoh dari kalangan pergerakan kebangsaan Indonesia
mulai mengemukakan gagasannya tentang apa yang disebut sebagai sosialisme a
la Indonesia. Munculnya istilah tersebut karena besarnya pengaruh ajaran
Sosialisme-Marxisme yang merebak di dunia, khususnya kritik kaum Marxis
terhadap kolonialisme yang oleh mereka dianggap sebagai perpanjangan tangan
dari individualisme dan kapitalisme.
Sosialisme-Marxisme masuk ke Indonesia lewat salah satu pemimpin
partai buruh Belanda Henk Sneevliet.3 Kehadiran ajaran sosialisme-marxisme di
Indonesia menimbulkan sisi positif sekaligus negatif. Positif karena telah
merangsang proses pembelajaran social bagi elemen-elemen pergerakan yang ada
1 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 39. 2 Antonius. G. Prasetyo, “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi
Indonesia.,” h. 3. 3 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 514.
39
untuk merumuskan ideologinya masing-masing, baik sebagai respon terhadap
pengaruh Marxisme maupun sebagai cara perlawanan baru terhadap kolonialisme.
Di sisi lain, kritik ideologi Marxisme juga mendorong terjadinya perpecahan pada
perkumpulan Sarekat Islam.4
Dalam perkembangan lebih lanjut, ada upaya untuk membumikan
sosialisme dalam kenyataan sosial-historis negeri ini. Upaya ini berkembang
seiring kemunculan generasi baru intelegensia yang lahir pada awal abad ke-20,
baik yang berkuliah di Eropa maupun di dalam negeri.5
Dari dalam negeri, salah satu tokoh terpenting dari generasi baru
intelegensia ini adalah Soekarno. Dalam pidato pembelannya di depan hakim
kolonial pada 1930, yang kemudian diterbitkan dalam buku Indonesia
Menggugat, Soekarno mengalamatkan sumber kesengsaraan dan kemelaratan
bangsa Indonesia di masa kolonial pada kapitalisme dan imperialisme. Terlebih
dahulu dia mendefinisikan kapitalisme dan imperialism sebagai berikut:
“Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara
produksi yang memisahkan kaum buruh dan alat-alat produksi.
Kapitalisme timbul dari cara produksi, yang oleh karenanya menjadi
penyebab nilai lebih baik jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan
jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme oleh karena itu pula,
menyebabkan akumulasi capital, sentralisasi capital dan industriele
reservearmee (tentara kaum pengganggu). Kapitalisme mempunyai arah
kepada Verelendung (memelaratkan kaum buruh).”6
Soekarno memandang perlu adanya kontekstualisasi Marxisme dalam
realitas sosial-historis keindonesiaan dalam rangka menghadirkan sosialisme yang
4 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 515. 5 Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, cet. Ke-4. h. 517.
6 Soekarno, Pancasila Dasar Falsafah Negara (Jakarta: Panitia Nasional Peringatan Hari Lahirnya
Pancasila, 2001), h. 10.
40
berakar dan berjalan. Sejak 1926, dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme”, Soekarno beragumen bahwa Marxisme sendiri mengalami perubahan
baik secara taktis maupun teoritis. “… sebab taktik Marxisme yang baru, tidaklah
menolak pekerjaan bersama Nasionalis dan Islamis di Asia …”.7 Secara teoritis,
menurutnya sudah berubah dan memang seharusnya seperti itu, selengkapnya
Soekarno menyatakan:
Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi, yang bisa mengadakan
aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Teori-teorinya
haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori-teorinya haruslah
diikutkan pada perobahannya dunia, kalau tidak mau menjadi bangkrut.
Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini; mereka sendiripun
dalam tulisan-tulisannya sering menunjukkan perobahan paham ataupun
perobahan tentang kejadian-kejadian pada zaman mereka hidup.
Bandingkanlah pendapat-pendapatnya sampai tahun 1847; bandingkanlah
pendapatnya tentang arti Verelendung (pemelaratan kaum buruh) sebagai
yang dimaksudkan dalam “Manifes Komunis” dengan pendapat tentang
arti perkataan itu dalam “Das Kapital”, maka segeralah tampak pada kita
perobahan faham atau perindahan itu. Bahwasanya: benarlah pendapat
Sosia-demokrat Emile Vandervelde, di mana ia mengatakan, bahwa
“revisionisme” itu tidak dimulai dari Bernstein, akan tetapi dengan Marx
dan Engels adanya.”8
Dalam pandangan Soekarno, keadaan kapitalisme di Eropa berbeda
dengan keadaan kapitalisme di Indonesia. Di Eropa, kapitalisme yang
berkembang terutama kapitalisme kepabrikan, sedang di sini ia adalah kapitalisme
pertanian; di Eropa, kapitalisme bersifat industrial, sedang di sini sebagian besar
bersifat perkebunan. Oleh karena itu, di Eropa dampak buruk kapitalisme
kepabrikan-industrial melahirkan terutama kaum proletar, yakni kaum yang tidak
memiliki alat produksi. Adapun di sini, kapitalisme pertanian-perkebunan
menghasilkan kaum tani melarat; pada umumnya, mereka masih memiliki alat
7 Soekarno, 19 Tahun Lahirnya Panjta Sila (Jakarta: Departemen Penerangan RI,1965), h. 17.
8 Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Di Bawah Bendera Revolusi, 1964) h. 256.
41
produksi (lahan, cangkul dan sebagainya), namun sangat terbatas dan hasilnya
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.9
Dengan mempertimbangkan hal itu, Soekarno berkesimpulan bahwa
revolusi sosialisme yang di alamatkan kepada kaum proletar tidak bisa
sepenuhnhya di terapkan di Indonesia. Untuk memperkuat argumennya kemudian
Soekarno membuat istilah baru yang lebih tepat menggambarkan kaum kecil di
Indonesia yakni “Marhaen” yang kemudian ia sebut sosialisme a la Indonesia
(Marhaenisme).10
Dari luar negeri, salah satu tokoh terpenting dari intelegensia generasi
baru adalah Mohammad Hatta. Sebagai mahasiswa ilmu ekonomi, Hatta memiliki
perhatian mendalam mengenai keadaan struktur ekonomi kolonial serta
bagaimana politik perekonomian yang praktis sebagai jalan ekonomi menuju
ekonomi kemerdekaan sejati. Sebagai aktivis Perhimpunan Indonesia, Hatta
mewakili kecenderungan baru aktivis mahasiswa Indonesia di Belanda setelah
Perang Dunia I yang lebih progresif dan apresiatif terhadap pemikiran-pemikiran
sosialisme. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa Indonesia tidak saja harus
mencapai kemerdekaan politik, tetapi juga kemerdekaan ekonomi.
Seperti halnya Soekarno, Hatta juga ditangkap di Negeri Belanda pada
akhir 1927, karena aktivitas politiknya. Dalam pidato pembelaannya di depan
Pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, yang kemudian diterbitkan dalam
“Indonesia Merdeka”, Bung Hatta mulai melancarkan tuntutan keadilan ekonomi
dan sosial bagi rakyat Indonesia. Selanjutnya dikatakan:
9 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 520. 10
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 521.
42
“Orang melihat dengan jelas, betapa telah dipakai dua macam
ukuran! Hal ini memang cocok dengan system kolonial, yang bertolak dari
prinsip, bahwa daerah jajahan harus mendukung kesejahteraan negeri
penjajah, sehingga tekanan yang paling berat justru dilakukan atas
penduduk bumiputera yang lemah ekonominya.”11
Usaha memperjuangkan keadilan dan kemakmuran, dalam pandangan
Bung Hatta, meniscayakan adannya semangat kerja sama, tolong-menolong
sesama rakyat dalam suasana kesederajatan. Dalam suatu pamflet berjudul
“Menuju Indonesia Merdeka” tahun 1932, Bung Hatta menulis, “ Di atas sendi
cita-cita tolong menolong dapat didirikan tonggak demokrasi. Tidak lagi orang
seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang
banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak
harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan”.12
Meski memeperjuangkan keadilan dan kolektivisme dalam perekonomian,
gagasan sosialisme Hatta tidak mau menjadi epigon dari paket utuh Marxisme.
Seperti halnya Soekarno, dia memandang perlu untuk mengembangkan sosilaisme
yang cocok dengan perspektif sosio-historis dan alam pemikiran keindonesiaan.
Dia lebih dekat dengan paham social-democracy seperti yang dikembangkan di
Negara-negara Skandinavia, yang berusaha memperjuangkan sosialisme melalui
jalur parlemen (demokrasi). Perbedaan pahamnya dengan pengikut komunisme
ditandai oleh penghapusan namanya dari keanggotaan Liga Imperialisme dan
untuk Kemerdekaan Nasional pada 1930. Sebuah majalah komunis di Berlin
mengumumkan bahwa empat orang dikeluarkandari organisasi tersebut karena
11
Mohammad Hatta, Indonesia Merdeka (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1976), h. 113. 12
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 523-524.
43
dituduh berhaluan reformis. Dua orang dari Eropa (Maxton dan Edo Fimmen)
dituduh sebegai reformis social, dan dua orang dari Asia (Mohammad Hatta dan
Jawaharlal Nehru) dituduh sebagai reformis nasional.13
Dalam risalahnya tentang
teori Marx, Hatta menuliskan catatan kritisnya bahwa Marx tidak
memperhitungkan munculnya banyak irasionalitas dalam masyarakat. Buruh yang
membelanya, dalam kasus Jerman, malah mendukung Fasisme dan menindas
kelas mereka sendiri.14
Haluan sosialisme Hatta diperkuat ke arah yang lebih “kanan” oleh
sejawat Yuniornya di Perhimpunan Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia,
Sutan Sjahrir. Dalam serangkaian tulisannya seperti dalam jurnal Daulat Ra’jat,
Sjahrir menyerang Komunisme sebagai ideology yang mengkhianati sosialisme
karena mengabaikan kemanusiaan. Dengan mengutip pandangan tokoh peletak
dasar sosialisme, Robert Owen, dia menekankan bahwa, “… Sosialisme yang kita
perjuangkan adalah sosialisme yang memerdekakan manusia dari penindasan dan
penghisapan oleh manusia ...”. Dalam konteks ini kebebasan individu dihormati
namun individu tersebut hendaknya individu yang kooperatif dengan sikap
altruism, asosiatif dan harmonis dengan kehidupan secara kolektif.
Persebrangan garis pemikirannya dengan komunisme juga tampak dalam
konsepsinya tentang negara. Di satu sisi, dalam pemikiran komunisme-leninisme
negara dipandang semata-mata sebagai alat kekuasaan golongan yang berkuasa
yaitu kelas borjuis dan harus diganti menjadi alat kekuasaan diktator proletariat.
Di sisi lain, Sjahrir menyandarkan pemikirannya pada pemikiran kaum sosialis
13
Mohammad Hatta, Memoir Mohammad Hatta (Jakarta: Tintamas, 1982), h. 242-243. 14
Eko Kurniawan Komara, Kemerdekaan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial: Penggalan Riwayat dan
Pemikiran Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka (Jakarta: Tempo Institute, 2009), h. 4.
44
(sosial-demokrasi) yang memandang bahwa negara mempunyai bentuk yang
dinamis sesuai dengan perkembangan dan perbandingan kekuatan yang ada.
Berdasarkan pada cara pandang seperti itu, Sjahrir mengidealkan adanya suatu
bentuk negara yang mampu menjembatani dinamika masyarakat dan
mengharmoniskan kekuatan-kekuatan yang ada di dalamnya. Sejak tahun 1930-
an, Sjahrir juga sudah mulai menggagas apa yang dikenal sebagai konsep “Negara
Kesejahteraan”. Dalam artikelnya di Daulat Ra’jat (1931-1934) yang berjudul “
Barisan Persatoean Baroe”, Sjahrir menuliskan pelbagai bentuk intervensi Negara
dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social antara lain:
1. Standar penghidupan minimum,
2. Upah atau pendapatan elementer guna memenuhi keperluan hidup
secara sederhana (ditetapkan batas upahnya dengan peraturan yang
bijaksana,
3. Pesangon (pensiun) bagi para orang tua,
4. Dibebaskan dari kewajiban membayar pajak bagi orang-orang yang
penghasilannya minim karena hanya cukup dipakai untuk memenuhi
kehidupan sederhana bagi keluarganya,
5. Kerja 8 jam per hari bagi pekerja,
6. Anak-anak di bawah 15 tahun tidak boleh menjadi buruh,
7. Perempuan hamil tidak boleh bekerja,
8. Ada uang pengganti ongkos berobat,
9. Ekstra gaji bagi buruh yang mendapat kecelakaan.
45
Berkaitan dengan jaminan-jaminan sosial tersebut, Sjahrir juga menyebut tugas-
tugas yang harus dikeluarkan oleh negara:
1. Membuat aturan pajak progresif,
2. Membuat undang-undang sosial tentang keselamatan kerja,
3. Menetapkan batas upah minimum (living wage),
4. Menghapus hukuman sanksi rodi dan segala bentuk kerja paksa,
5. Mengeluarkan undang-undang anti-riba,
6. Peraturan yang mewajibkan semua orang untuk menyekolahkan anak-
anaknya dan bebas uang sekolah kepada anak-anak miskin hingga
umur 15 tahun,
7. Memerangi buta huruf melalui pengurusan rakyat dan pendidikan
umum.15
2. Fase Perumusan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh para
pemimpin pergerakan kebangsaan kemudian mewarnai diskusi tentang dasar
falsafah negara dalam persidangan BPUPK. Sebelum dinyatakan Soekarno dalam
pidatonya pada 1 juni 1945, gagasan keadilan dan kesejahteraan telah
dikemukakan oleh beberapa pembicara.
Pada 29 mei, Muhammad Yamin pada poin kesepuluh dari pidatonya,
menyebutkan tentang pentingnya “kesejahteraan rakyat: perubahan besar tentang
kesejahteraan yang mengenai kehidupan ekonomi dan sosial sehari-hari yang
mengenai dari putra-putra negeri”. Pada hari yang sama, Soerio menyatakan
15
Sutan Sjahrir, Pikiran dan Perjuangan (Yogyakarta: Jendela, 2000), h. 65-66.
46
bahwa salah satu yang dikehendaki oleh negara baru nanti adalah bahwa negara
tersebut harus “subur dan makmur”. Untuk mencapai negara yang subur dan
makmur itu, menurutnya, “membutuhkan perekonomian yang sehat dan praktis”.
Dalam kaitan ini, “karena perekonomian ini berhubungan erat dengan keadaan
rakyat jelata, maka seharusnya kita pandang lebih dahulu keadaan rakyat pada
dewasa ini”. Untuk itu, menurutnya selain perlu mengatasi “kerendahan
penghidupan”, yang amat penting diperhatikan dari kesejehteraan rakyat adalah
“kesehatan”.16
Pada 30 Mei, A. Rachim Pratalykrama menyatakan bahwa salah satu dasar
negara yang harus diperhatikan adalah masalah perekonomian. “Ekonomi dalam
arti seluas-luasnya perlu diperluas dan diperdalam disegala lapangan misalnya
nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan. Aturan-aturan hak tanah-tanah komunal
dihapuskan, tanah erfpach,... dan opstal harus dikembalikan pada rakyat via
pemerintah.”17
Pada 31 Mei, Abdul Kadir menyatakan bahwa salah satu dari tiga dasar
pembentukan negara baru yang diusulkannya adalah “Pembangunan untuk
memajukan ekonomi yang sehat agar rakyat menjadi makmur”. Pada tanggal yang
sama Soepomo menguraikan gagasan tentang keadilan sosial ini secara lebih
elaboratif, dalam kaitannya dengan “perhubungan antara negara dengan
perekonomian”. Menurutnya, “Dalam negara yang berdasar integralistik yang
16
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h. 528. 17
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 528.
47
berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem
„sosialisme negara‟ (staatssocialime).”18
Pada 1 Juni 1945, giliran Soekarno menyampaikan pidatonya. Dalam
uraiannya mengenai dasar falsafah negara Indonesia merdeka , dia memasukan
prinsip “kesejahteraan” sebagai prinsip keempat. Dia memulai uraiannya
mengatakan bahwa “saya dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu
prinsip kesejahteraan”. Pernyataan itu barangkali disebabkan prinsip keadilan dan
kesejahteraan itu dikemukakan oleh para pembicara sebelumnya dengan formulasi
yang beragam dan secara umum tidak dinyatakan dalam terma “kesejahteraan”.
Meski demikian secara substantif prinsip ini juga diidealisasikan oleh anggota-
anggota BPUPKI lainnya. Selanjutnya, Soekarno mengemukakan visi
emansipasinya, bahwa dengan prinsip kesejahteraan, “ tidak akan ada kemiskinan
di dalam Indonesia merdeka”. Juga tidak akan dibiarkan “kaum kapitalis
merajalela”.19
Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang berkembang
pada masa persidangan pertama dan usulan dari anggota Chuo Sang In itu
dirumuskan ulang oleh panitia sembilan yang merancang pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan hasil rumusan panitia sembilan,
prinsip kesejahteraan, yang disebut sebagai prinsip keempat dalam pidato
Soekarno pada 1 juni, ditempatkan menjadi sila ke-5. Redaksinya disempurnakan
menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.20
18
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 529-530. 19
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 530-531. 20
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h.533.
48
Menurut penjelasan tentang UUD Negara Republik Indonesia, Pembukaan
UUD 1945 mengandung empat pokok pikiran. Dua dari empat pikiran pokok
tersebut terkait dengan “keadilan sosial”. Pokok pikiran pertama menyatakan,
“Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan „keadilan sosial‟
bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pokok pikiran ini mengandung pengertian bahwa
persatuan nasional sebagai wahana untuk melindungi segenap bangsa dan tanah
air mensyaratkan perwujudan keadilan sosial. Pokok pikiran kedua menyatakan,
“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan pokok pikiran ini, negara mengemban misi mewujudkan keadilan sosial
sebagai basis legitimasinya.21
Pada hari kedua masa persidangan kedua BPUPK (11 Juli), Radjiman
Widioningrat selaku Ketua BPUPK membentuk tiga kelompok panitia: (1) panitia
perancang hukum dasar, (2) panitia perancang keuangan dan ekonomi, (3) panitia
perancang pembelaan tanah air. yang pertama diketuai oleh Soekarno, yang kedua
diketuai oleh Mohammad Hatta, dan yang ketiga diketuai oleh Abikoesno
Tjokrosoejoso. Dalam perkembangannya, Panitia Perancang Hukum Dasar yang
diketuai Soekarno membentuk Panitia Kecil yang bertugas untuk merumuskan
rancangan UUD yang dipimpin oleh Soepomo. Persoalan yang menyangkut
prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial dibicarakan dalam Panitia Kecil
perumus rancangan UUD dan dalam Panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi
yang diketuai oleh Mohammad Hatta.
21
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 534.
49
Hatta memberi masukan kepada Panitia Kecil perumus UUD mengenai
persoalan keadilan dan kesejahteraan sosial diantaranya:
1. Orang Indonesia hidup dalam tolong menolong,
2. Tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan mendapat
penghidupan yang layak bagi manusia. Pemerintah menanggung dasar
hidup minimum bagi seseorang,
3. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar kolektif,
4. Cabang-cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak,
dikuasai oleh pemerintah,
5. Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orang-seorang berhak memakai
tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga,
6. Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang
lain,
7. Fakir dan miskin dipelihara oleh Pemerintah.
Mempertimbangkan sifat supel dari rancangan UUD, tidak semua
masukan Hatta itu diakomodasi dalam pasal-pasal (rancangan) UUD. Meski
demikian, pokok-pokok pikiran yang tidak tersurat dalam pasal-pasal UUD itu
tetap menjiwai pasal-pasal UUD yang berkaitan dengan keadilan dan
kesejahteraan sosial yakni pasal 27 ayat 2, pasal 33 dan pasal 34.22
Pada Rapat Besar BPUPK (15 juli) yang membahas rancangan UUD
tersebut, Soekarno sekali lagi mengingatkan: “Kita telah menentukan di dalam
sidang yang pertama bahwa kita menyetujui kata keadilan dan preambule.
22
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 536.
50
Keadilan inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme.”23
Setelah Soepomo menjelaskan hasil rancangan UUD, Muhammad Yamin
mengajukan usulan, “hendaklah fasal-fasal tentang kesejahteraan, seperti
dijanjikan dalam pembuka undang-undang dasar, diberi jaminan yang lebih luas
dan lebih terang”. Yamin juga menekankan perlunya Republik Indonesia
mewujudkan diri sebagai “negara kesejahteraan”. Selengkapnya dia nyatakan:
“Adapun republik Indonesia ialah negara kesejahteraan, maka
seperti Constution Weimar, Rusia, Filipina dan Republik Tiongkok
hendaklah garis-garis besar kesejahteraan diatur dengan sebaik-baiknya
dan sejelas-jelasnya. Rancangan ini mempunyai isi yang sangat
sederhana dan tidak memberi jaminan yang teguh kepada suatu dasar,
yang telah dijanjikan dalam penerangan kemerdekaan dan preambule
undang-undang dasar ini.”24
Demikianlah, prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial menjadi perhatian
penting dalam Pembukaan UUD 1945. Prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial
dari Pembukaan ini meliputi suasana kebatinan perumusan pasal-pasal UUD dan
dokumen lain yang terkait dengan itu yang bisa dijadikan sebagai sumber hukum
yang tidak tertulis. Komitmen keadilan itu tampak nyata, baik dalam pasal-pasal
yang menyangkut pengelolaan keuangan negara yang menekankan pemuliaan
partisipasi dan daulat rakyat maupun dalam pasal-pasal yang menyangkut
pengelolaan perekonomian yang menekankan pemenuhan hak warga dan jaminan
keadilan dan kesejahteraan sosial.
23
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 539. 24
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, h. 541-542.
51
B. Undang-undang Negara Kesejahteraan di Indonesia
Dalam gambaran besarnya Indonesia adalah negara kesejahteraan. Ini bukan
merupakan pembacaan yang ahistoris atau retrospektif karena sudah sejak masa-masa
persiapan kemerdekaan, para pendiri bangsa mencita-citakan terbentuknya negara
kesejahteraan di Indonesia. Cita-cita itu lalu kemudian diterjemahkan ke dalam sila
kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia” dan beberapa pasal dalam
konstitusi, di antaranya Pasal 27 (2), 31, 33, dan 34. Prinsip negara kesejahteraan
diterima secara bulat, baik oleh anggota BPUPKI maupun anggota PPKI yang bersidang
pada 18 Agustus 1945.25
1. Kebijakan Ketenagakerjaan
Pasal 27 ayat 2 “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak” oleh Soepomo dalam Rapat Besar BPUPK 15 juli 1945 dijelaskan “bahwa
panitia memasukan ayat ini dalam undang-undang dasar, sebagai pernyataan, bahwa kami
hendak menyelesaikan hukum negara kita dengan aliran zaman. Ini sesungguhnya aliran
keadilan sosial yang sesuai dengan sifat kekeluargaan.”26
Kebijakan ketenagakerjaan merupakan kebijakan yang paling utama dalam negara
kesejahteraan. Di sini, negara harus mampu menyediakan akses lapangan pekerjaan bagi
warganya. Tujuan dari kebijakan ketenagakerjaan tidak lain adalah untuk menciptakan
daya beli masyarakat dan mengurangi ketergantungan warga negara atas tunjangan-
tunjangan sosial yang disediakan oleh negara.
25
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2012), cet. Ke-4. h.584. 26
Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, h. 539.
52
Kebijakan ketenagakerjaan (employment policy) dibagi kedalam dua kebijakan
pokok, yaitu; outset kebijakan dan kebijakan active employment (kebijakan tenaga kerja
aktif). Mengenai Outset kebijakan, negara memiliki beberapa kewajiban: Pertama,
negara harus membuat sebuah kebijakan dan upaya untuk memberikan bantuk-bentuk
asuransi penganguran, sebagai peranan negara dalam mensiasati kompetisi yang tidak
sempurna dalam dunia lapangan kerja. Kedua, negara harus membuat kebijakan dan
upaya agar tidak tercipta tingginya angka pengangguran, karena hal itu akan menimbulan
konflik masyarakat dan meningkatnya angka kemiskinan. Ketiga, negara membuat
kebijakan dan upaya untuk mengaitkan antara kebijakan pendidikan dengan kebijakan
ketenagakerjaan dengan tujuan untuk merespon tantangan sosial-ekonomi yang dihadapi
negara.27
Sedangkan kebijakan active employment yaitu kebijakan yang akan menjawab
segala permasalahan dalam ketenagakerjaan, terutama pasar tenaga kerja. Pasar tenaga
kerja merupakan penjelasan mengenai kondisi dan status dari warga negara yang
berkaitan dengan kerja, seperti; lapangan pekerjaan, usia kerja, jenis pekerjaan, dan
output kerja. Ketika suatu lembaga statistik memberikan data mengenai pasar tenaga
kerja, kewajiban pemerintah, para ahli dan politisi adalah mampu menafsirkan data pasar
tenaga kerja secara benar dan kemudian merekomendasikan kepada warga negara. Jika
mereka gagal menafsirkan data pasar tenaga kerja, maka warga negara akan menuai
kualitas kehidupan yang buruk. Pemerintah tidak hanya berkewajiban untuk menyediakan
27
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan
Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman (Jakarta: PSIK Universitas Paramadina, 2008), h. 70-71.
53
lapangan pekerjaan bagi warga negara di satu sisi, disisi lain lapangan pekerjaan yang
disediakan pemerintah harus mampu mensejahterakan.28
Tabel 1
Kebijakan Ketenagakerjaan
NO. KEBIJAKAN KETERANGAN
1 UUD 1945 Pasal 27
ayat 2
Membahas mengenai ketenagakerjaan bahwa
setiap warga negara, baik individu atau
kelompok berhak mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak.
2 UU Nomor 13 Tahun
2003 Pasal 4
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap
tenaga kerja mempunyai perlindungan yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
serta pemerataan kesempatan kerja untuk
mencapai pembangunan nasional.
2. Kebijakan Pendidikan
Pasal 31 terdiri dari 4 ayat berikut: (1) setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (4)
negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
28
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan
Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman, h. 71.
54
Keempat ayat tersebut berfungsi sebagai batu sendi yang menginskripsikan salah
satu wujud negara kesejahteraan yaitu jaminan pembiayaan pendidikan gratis oleh
negara. Layanan pendidikan memiliki posisi penting dalam mewujudkan sebuah negara
yang adil, makmur dan sejahtera. Dalam hal ini pendidikan adalah bagian penting dari
pemberdayaan masyarakat untuk turut serta dalam menciptakan kemakmuran negara. Jadi
tugas negara agar bisa menjadi negara yang kehidupan rakyatnya sejahtera adalah
menyediakan sistem pendidikan dan pengembangan pendidikan.29
Pendidikan akan menciptakan kemampuan orang perorang dan masyarakat
mengakses sumber daya dan tata kebijakan, dan mengorganisasikannya untuk mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran mereka sendiri. Pendidikan yang didapatkan oleh warga
negara akan menciptakan kemampuan efektif dalam menghadapi situasi dimana orang
atau masyarakat terjebak dalam struktur sosial-kemasyarakatan yang bisa menciptakan
kemiskinan dan kemunduran atau deprivasi sosial. Terutama dalam era globalisasi,
kemampuan dan layanan pendidikan yang didapatkan warga negara akan menentukan
seberapa jauh kehidupan sosial-ekonomi dapat terus berkembang, seiring berkembangnya
negara-negara lain.
Tabel 2
Kebijakan Pendidikan
NO. KEBIJAKAN KETERANGAN
1 UUD 1945 Pasal
31 Ayat 1,2,3
Dalam UUD tersebut dijabarkan bahwa
Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional bagi semua warga
dan Negara wajib membiayainya.
29
Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi: Pengembangan
Kebijakan Dan Perbandingan Pengalaman, h. 101.
55
3. Kebijakan Ekonomi
Sebelum diamandemen dengan menambahkan dua ayat yang merupakan
pendetailan dari ayat asli sehingga pada hemat penulis tidak mengubah roh yang
terkandung di dalamnya, Pasal 33 terdiri dari tiga ayat berikut: (1) perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
dan (3) bumi dan air dan kekayaan alamyang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bersama-sama, ketiga ayat tersebut berfungsi sebagai batu sendi yang
menginskripsikan bentuk dari ekonomi Pancasila. Untuk memahami bagaimana
ketiganya dapat dimaknai dalam kerangka ekonomi Pancasila, perhatian perlu diberikan
pada kata-kata kunci yang terdapat di dalamnya. Dalam Pasal 33 ayat 1, kata kuncinya
adalah “asas kekeluargaan”. Perumus pasal ini, yakni wakil presiden pertama Mohammad
Hatta yang juga acapkali disebut dengan Bapak Ekonomi Pancasila dan Bapak Ekonomi
Kerakyatan, menjelaskan secara tegas bahwa apa yang dimaksud dengan asas
kekeluargaan adalah koperasi. Meski Hatta tidak memasukkannya ke dalam batang tubuh
pasal 33, hal itu diuraikannya dalam bagian penjelasan di mana dikemukakan bahwa
ekonomi yang disusun sebagai usaha bersama bentuknya adalah koperasi. Istilah asas
kekeluargaan berasal dari Taman Siswa untuk menggambarkan bagaimana guru dan
murid-murid hidup sebagai satu keluarga. Maka begitu pulalah hendaknya corak
koperasi, satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara sekeluarga.30
Secara historis, ketertarikan Hatta terhadap koperasi tersebut berakar dari studinya pada
tahun 1921-1922 mengenai bentuk usaha masyarakat menengah ke bawah di Inggris,
30
Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (Jakarta: Mutiara, 1977), h. 27.
56
Jerman, dan Swedia dan kunjungannya ke negara-negara Skandinavia, khususnya
Denmark, pada akhir tahun 1930-an.31
Pandangannya mengenai koperasi dapat ditelusuri
dari pandangan Perhimpoenan Indonesia tentang ekonomi seperti yang diuraikan Hatta
dalam pleidonya di pengadilan Den Haag.32
Bila dikatakan bahwa asas kekeluargaan menemukan perwujudannya dalam
bentuk bangun usaha koperasi, tentu tidak lantas berarti bahwa seluruh penyelenggaraan
ekonomi yang dijalankan di suatu negara harus dilakukan melalui koperasi sebagai
institusi yang paling selaras dengan norma ekonomi Pancasila. Tentu ini merupakan hal
yang tidak mungkin karena dalam realitasnya, sudah sejak masa awal kemerdekaan,
koperasi hidup bersama-sama dengan bangun usaha lainnya seperti perusahaan negara
dan perusahaan swasta (baik besar, menengah, maupun kecil). Di antara berbagai bangun
usaha tersebut, peranan perekonomian rakyat kecil dialokasikan pada koperasi, dengan
harapan berangsur -angsur meningkat ke atas, artinya koperasi mendapatkan peranan
membangun dari bawah.33
Asas kekeluargaan dengan demikian lebih tepat dipahami
sebagai semangat dan spirit daripada sebagai bentuk institusional yang baku.34
Hatta
sendiri meyakini bahwa asas kekeluargaan tidak hanya dapat diterapkan pada koperasi,
melainkan juga dapat diterapkan pada perusahaan negara (BUMN) dan swasta. Meski
demikian, koperasi tetap memegang peranan yang istimewa dalam keseluruhan usaha
ekonomi nasional. Dia merupakan sokoguru dari perekonomian Indonesia, artinya semua
31
Dawam Rahardjo, ”Apa Kabar Koperasi Indonesia,” dalam Rikard Bagun, ed., Seratus Tahun Bung
Hatta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 294. 32
Sutan Sjahrir, ”Ideologi Hatta, Tapi Masih Relevankah itu?,” dalam Rikard Bagun, ed., Seratus Tahun
Bung Hatta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 246. 33
Suharso Monoarfa, ”Semestinya Hatta Menang,” dalam Rikard Bagun, ed., Seratus Tahun Bung Hatta
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), h. 290. 34
Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan: Analisa Trans-Disiplin Dalam Rangka Mendalami
Ekonomi Pancasila (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980), h. 82.
57
bentuk usaha lain hendaknya menjadikan prinsip dan nilai-nilai koperasi sebagai model
idealnya.
Sementara itu, ayat 2 dan 3 dari Pasal 33 UUD 1945 pada dasarnya merupakan
dua ayat yang secara bersama menubuhkan prinsip sosialisme dalam ekonomi Indonesia.
Prinsip sosialisme ini hadir dalam pernyataan “cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara‖ dan
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.”
Ini artinya, dalam ekonomi Pancasila hak milik pribadi tidak diberikan secara sebebas-
bebasnya. Barang-barang publik yang vital bagi kepentingan orang banyak, berikut
sumber daya alam dalam rupa bumi dan air berikut kekayaan yang terkandung di
dalamnya, hanya boleh dikuasai dan dikelola oleh negara dalam rangka untuk
mewujudkan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Rumusan demikian memberikan
tilikan yang jelas mengenai posisi dari hak milik pribadi: pendakuan atasnya hanya
berlaku untuk barang-barang yang tidak menyentuh kepentingan orang banyak, dan
penggunaan serta pemanfaatannya hendaknya disertai dengan tanggung jawab, yakni
tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Gabungan dari dua pokok tersebut, yakni menyerahkan cabang produksi dan
sumber daya yang penting bagi orang banyak ke tangan negara sembari tetap mengakui
hak milik pribadi, memberikan karakterisasi yang khusus pada bangunan ekonomi
Pancasila. Dia bukanlah sosialisme dalam pengertiannya yang murni negara-negara
komunis dan sosialis sekaligus juga bukan kapitalisme yang menyerahkan jalannya
perekonomian sepenuhnya pada pasar dan norma hak milik pribadi. Sistem ekonomi
Pancasila adalah, sebagaimana dituliskan salah satu penyokongnya yang paling militan,
58
sistem ekonomi campuran yang mengandung pada dirinya ciri-ciri positif dari kedua
sistem yang kita kenal (kapitalis-liberal dan sosialis-komunis) tetapi menolak ciri-cirinya
yang negatif.35
Dalam tataran global, sistem campuran atau jalan tengah tersebut telah banyak
dimanifestasikan oleh berbagai negara di dunia dalam suatu format yang disebut dengan
negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan merupakan negara yang
pemerintahnya menjalankan serangkaian program untuk melindungi rakyatnya dari
kerugian akibat risiko kehidupan, memberikan bantuan bagi yang membutuhkan, dan
mendorong konsumsi atas pelayanan tertentu seperti pendidikan, perumahan, dan
perawatan anak. Berbagai program tersebut sengaja diciptakan untuk memenuhi tujuan-
tujuan tertentu, di antaranya menyediakan rasa keamanan bagi semua warga dan
mengurangi kemiskinan.36
Selain berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang
menyejahterakan dan memberi rasa aman warganya, konsep negara kesejahteraan juga
bersinggungan erat dengan nilai-nilai kewarganegaraan modern seperti kebebasan,
toleransi, persaudaraan, kemakmuran, dan otonomi.37
Dalam gambaran besarnya, ekonomi Pancasila memang dapat dipahami dan
dimaknai sebagai negara kesejahteraan. Setelah melihat penjabaran diatas dapat diketahui
bahwa Pasal 33 merupakan terjemahan dari semangat para pendiri bangsa dalam
merumuskan keadilan sosial versi Indonesia atau Sosialisme a la Indonesia dalam bahasa
Yudi Latif.
35
Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan: Analisa Trans-Disiplin Dalam Rangka Mendalami
Ekonomi Pancasila, h. 84. 36
Antonius Galih Prasetyo, “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian.” dalam
Proceeding Model bagi Indonesia Papers Indonesia International Political Economy Week “Quo Vadis
Developmentalisme”, 7-8 Desember, 2013 (Yogyakarta: IIS UGM, 2013), h. 6. 37
Rei Shiratori, “The Future Of The Welfare State,” dalam Antonius Galih Prasetyo, ed., Ekonomi
Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian Model bagi Indonesia (Yogyakarta: IIS UGM, 2013), h. 6.
59
Tabel 3
Kebijakan Ekonomi
NO. KEBIJAKAN KETERANGAN
1 UUD 1945 Pasal 33
ayat 1
Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2 UUD 1945 Pasal 33 ayat 2
Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara
3 UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
Bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat
4. Kebijakan Sosial
Jaminan Sosial (Pasal 28 H ayat 3 dan Pasal 34 ayat 2)
Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian rezim
dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa skema kebijakan
sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat dari jumlah peserta,
cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk itu, mulai dilakukan reformasi
kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem jaminan sosial yang lebih bersifat
sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk melakukan reformasi tersebut mendapatkan
penguatan melalui amandemen UUD 1945 Pasal 28H ayat 3 “Setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat” dan Pasal 34 ayat 2 “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat kemanusiaan”. MPR juga telah menetapkan Ketetapan MPR-RI No.
60
X/MPR-RI/2001 yang mengamanatkan presiden membentuk sistem jaminan sosial yang
terpadu dan komprehensif.38
Sebagai tindak lanjut terhadap amanat konstitusi tersebut, pemerintah kemudian
membentuk Tim Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada Maret 2001 yang
kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim SJSN pada April 2002 dengan tugas
yang lebih luas, antara lain membuat RUU SJSN dan melaporkannya kepada Presiden.
Setelah melalui proses perdebatan dan tawar-menawar yang alot, UU 40/2004 tentang
SJSN akhirnya disetujui. Substansi jaminan sosial yang disetujui dalam UU SJSN
mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun, dan jaminan kematian. Sebelumnya, diusulkan pula tunjangan pengangguran
namun usulan ini akhirnya ditolak.39
Demikian juga usulan mengenai tunjangan PHK
dimentahkan karena telah terakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan.
Penetapan UU SJSN merupakan momen historis dalam sejarah kebijakan sosial di
Indonesia sekaligus merupakan langkah yang penting bagi tercapainya cita-cita negara
kesejahteraan di negeri ini. Selain mencakup bantuan yang lebih luas dari skema-skema
yang telah ada sebelumnya, SJSN juga bersifat universal. Kini tidak hanya mereka yang
bekerja di sektor tertentu saja yang dilindungi, melainkan seluruh warga tanpa
memandang profesi maupun penghasilannya. SJSN menganut sistem asuransi sosial
sehingga sumber pendanaannya berasal dari iuran penerima manfaat dan pemberi kerja
atau pemerintah (bagi PNS). Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu atau tidak
mempunyai penghasilan, iurannya akan dibayar oleh pemerintah.
38
Antonius Galih Prasetyo, Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan:
Pencarian Model bagi Indonesia, h. 6. 39
Dinna Wisnu, Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam Ekonomi Pasar (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 100-102.
61
SJSN memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga sepanjang hidupnya,
dari sejak lahir sampai meninggal. Rasa aman itu terwujud karena berbagai ancaman
yang berisiko pada turunnya pendapatan, baik yang datang secara tiba-tiba (sakit,
kecelakaan) maupun alamiah (pensiun), dijamin tidak akan memberikan pengaruh
terhadap kualitas kesejahteraan. Melalui sistem asuransi, SJSN juga akan berperan secara
tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat dengan cara memobilisasi dana
masyarakat untuk membentuk tabungan nasional yang besar. Tabungan tersebut dapat
diinvestasikan untuk menghasilkan keuntungan. Dana yang ditempatkan di bank
misalnya, diskenariokan dapat menurunkan tingkat bunga sehingga mendorong investasi,
dan investasi pada gilirannya akan membuka perluasan lapangan kerja dan mengurangi
jumlah penduduk yang menerima bantuan iuran. Terbentuknya tabungan nasional yang
besar juga akan meningkatkan kemampuan keuangan negara untuk membiayai program-
program pembangunannya sehingga negara tidak perlu lagi berutang. Skenario semacam
ini terbukti sukses di Malaysia sehingga negara tersebut terhindarkan dari dampak yang
parah dari krisis 1997. Sementara di Jepang, akumulasi dana jaminan sosial digunakan
pemerintah untuk dipinjaman ke berbagai negara termasuk Indonesia. Bunga dari
pinjaman tersebut kemudian masuk ke dana jaminan sosial.40
40
Sulastomo, “SJSN: Mesin Pembangunan,” Kompas, 21 Januari 2003, h. 6.
62
Tabel 4
Kebijakan Sosial
NO. KEBIJAKAN KETERANGAN
1 UUD 1945 Pasal 34 Fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh negara.
2 UUD 1945 Pasal 28H ayat 3
Setiap orang berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang
bermartabat
3 UUD 1945 Pasal 34 ayat 2
Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh
rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan
C. Kelembagaan
Dalam rangka menunjukan komitmen konstitusionalnya Pemerintah mendirikan
beberapa Intitusi untuk menjalankan apa-apa yang sudah di cita-citakan para pendiri
bangsa yang kemudian termaktub dalam Pasal-Pasal dalam UUD 1945. Memang tidak
semua lembaga yang didirikan pemerintah akan dibahas, penulis hanya membahas
beberapa lembaga yang berhubungan dengan pasal-pasal negara kesejahteraan yang
disebutkan di atas diantaranya; Departemen Sosial (yang kemudian berganti nama
menjadi Kementerian Sosial), dan BPJS.
1. Departemen Sosial (Kementerian Sosial)
Departemen Sosial (Depsos) pertama kali dibentuk pada tanggal 19 Agustus
1945. Rezim Soekarno yang mendirikan Depsos ini menunjuk posisi setingkat menteri
untuk departemen ini. Hanya ada sedikit informasi yang menjelaskan asal-usul
Departemen sosial sebagai lembaga modern. Namun satu hal yang pasti adalah pendirian
63
lembaga ini adalah hasil dari sebuah perdebatan panjang diantara para pendiri negara
Indonesia. Beberapa berpendapat bahwa pendirian Departemen Sosial diperjuangkan oleh
partai sosialis Indonesia dengan gagasan-gagasan Sosialis-Dermokratnya.41
Pimpinan tertinggi Departemen Sosial pada masa awal kemerdekaan
dipercayakan pada Mr. Iwa Kusuma Sumantri yang pada waktu itu membawahi kurang
lebih 30 orang pegawai untuk Bagian Perburuhan dan Bagian Sosial. Hampir semua
pegawai tersebut kurang/tidak berpengetahuan dan berpengalaman cukup mendalam
dalam bidang perburuhan dan bidang sosial.42
Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, Pemerintah memikul tanggung
jawab konstitusional, mengenai pembangunan kesejahteraan sosial, termaktub dalam
pasal 34 UUD‟ 45 bahwa : “Fakir miskin dan anak -anak terlantar dipelihara oleh
Negara”, yang berarti bahwa secara konstitusional, berdasarkan pasal 34 yang
dirangkaikan dengan pasal 33 tentang perekonomian. Pemerintah membangun
kesejahteraan sosial untuk meniadakan kemiskinan dan keterlantaran, yang terutama
disebabkan oleh penjajahan, yang menindas dan menghisap Bangsa Indonesia yang
nyata-nyata tidak berusaha untuk membangun kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia,
malah membiarkan rakyat Indonesia cukup hidup dengan segobang atau dua setengah sen
sehari.
Departemen sosial memang mengalami banyak perubahan seiring bergantinya
rezim pemerintahan. Di awal era reformasi, tepatnya pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Depsos di likuidasi (dibubarkan) dengan asumsi dari
41
Budi Rahman Hakim, Rethinking Social Work Indonesia: Suatu Jelajah Kritis (Jakarta: RM BOOKS,
2010), h. 121. 42
Budi Rahman Hakim, Rethinking Social Work Indonesia: Suatu Jelajah Kritis, h. 123.
64
Presiden Gus Dur bahwa pelayanan kesejahteraan sosial cukup dilakukan oleh
masyarakat. Namun keadaan berkata lain, secara tidak diduga pula, saat itu muncul
berbagai masalah kesejahteraan social seperti bencana alam, bencana sosial, populasi
anak jalanan dan anak terlantar semakin bertambah terus jumlahnya, sehingga para
mantan petinggi Departemen Sosial menggagas untuk dibentuknya sebuah Badan yang
berada langsung di bawah Presiden, maka terbentuklah Badan Kesejahteraan Sosial
Nasional (BKSN). Baru ketika masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
Depsos difungsikan kembali untuk menyelenggarakan tugas-tugas pembangunan di
bidang kesejahteraan sosial.
Demikian fungsi Departemen sosial dengan sendirinya bersifat kuratif. Pelayanan,
Perlindungan, dan Jaminan dilakukan pada golongan masyarakat yang sudah mengalami
kesulitan dan masalah-masalah sosial.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Sebagai lembaga yang berwenang untuk menjalankan dan mengelola SJSN,
dibentuk badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS). Untuk itu, setelah melalui proses
yang panjang dan berlarut-larut, pada tahun 2011 lalu dibentuklah UU 24/2011 tentang
BPJS. Di dalamnya, ditentukan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial nasional akan
dijalankan oleh dua BPJS, yakni BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Untuk itu,
dua BUMN, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek, akan bertransformasi menjadi BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Januari 2014 dengan status badan hukum
publik. BPJS Ketenagakerjaanakan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian bagi pekerja selambatnya
1 Juli 2015. Adapun BPJS Kesehatan bertugas menyelenggarakan jaminan kesehatan per
65
1 Januari 2014 dengan menerima pelimpahan peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek,
TNI/Polri, PNS, Jamkesmas, dan Jamkesda. Selain melayani pekerja formal, BPJS
Kesehatan juga akan melayani pekerja informal dan penganggur. Bagi mereka yang tidak
mampu mengiur, pemerintahlah yang akan mengiuri. Pelaksanaannya dilakukan secara
bertahap hingga pada 2019 diharapkan sudah melayani seluruh warganegara. Sementara
itu, PT Taspen dan PT Asabri baru akan bertransformasi dan bergabung ke dalam BPJS
Ketenagakerjaan paling lambat pada 31 Desember 2029.43
43
Antonius Galih Prasetyo, Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan:
Pencarian Model bagi Indonesia, h. 15.
66
BAB IV
PRAKTIK NEGARA KESEJAHTERAAN DI INDONESIA
A. Praktik Negara Kesejahteraan Di Indonesia
Untuk melacak jejak praktek negara kesejahteraan di Indonesia
penulis mencoba menguraikan beberapa program pemerintah yang
menurut hemat penulis dapat memberi gambaran bagaimana sebenarnya
konsep negara kesejahteraan di Indonesia diterapkan.
Salah satu fitur utama dari negara kesejahteraan adalah kebijakan
sosial. Setiap negara kesejahteraan selalu menerapkan kebijakan-kebijakan
sosial untuk menunjang sistemnya, meskipun tidak bisa dikatakan
sebaliknya bahwa setiap negara yang memiliki kebijakan sosial secara
otomatis pasti merupakan negara kesejahteraan.1 Kebijakan sosial
merupakan instrumen kebijakan yang digunakan untuk memastikan bahwa
warganegara mendapatkan akses terhadap pelayanan sosial dasar seperti
layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sebagainya. Kebijakan
sosial berperan sebagai komplemen dari kebijakan ekonomi dan kebijakan
sektoral lainnya.2
Salah satu bentuk dari kebijakan sosial adalah bantuan sosial,
bantuan sosial merupakan bantuan yang dapat bersifat tunai maupun non
tunai, ini biasanya ditujukan bagi kelompok miskin dan rentan seperti
1 Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa, 2006), h. 8. 2 Darmawan Triwibowo dan Nur Iman Subono, Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di
Indonesia: Lebih Dari Sekadar Pengurangan Kemiskinan (Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan
Prakarsa, 2009), h.5.
67
janda dan yatim piatu. Skema pemberiannya bersifat mean-tested, artinya
penerimanya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti yang
ditetapkan oleh pemerintah.3 Di Indonesia, pemerintah beberapa kali
pernah membuat kebijakan dalam bentuk bantuan sosial, misalnya dalam
bentuk beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, beras untuk
rakyat miskin (raskin), Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada saat krisis
ekonomi 1998, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau BLSM (Bantuan
Langsung Tunai Sementara) sebagai kompensasi atas kenaikan harga
BBM. Kebijakan sosial yang diberikan dalam skema bantuan sosial
biasanya bersifat ad hoc.4
Namun demikian, dalam konteks negara kesejahteraan, bantuan
sosial tidaklah mencukupi. Dalam negara kesejahteraan yang sejati,
kebijakan sosialnya dibangun melalui pendekatan yang sistemik dan
berkelanjutan dalam bentuk jaminan sosial (social security). Jaminan
sosial merupakan sistem yang diwujudkan untuk mewujudkan
kesejahteraan dan memberikan rasa aman sepanjang hidup manusia
melalui penyediaan layanan-layanan untuk menanggulangi risiko-risiko
hidup seperti sakit, kecelakaan, menganggur, pensiun, kematian, dan
sebagainya. Masing-masing negara kesejahteraan memiliki mekanisme
penggalian sumber dana yang berbeda untuk menjalankan sistem jaminan
3 Triwibowo dan Subono, Meretas Arah Kebijkan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih Dari
Sekedar Pengurangan Kemiskinan, h.6. 4 Antonius. G. Prasetyo, “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian
Model bagi Indonesia.” dalam Proceeding Papers Indonesia International Political Economy Week
“Quo Vadis Developmentalisme”, 7-8 Desember, 2013, 261-286 (Yogyakarta: IIS UGM, 2013), h.
11.
68
sosialnya, entah apakah itu melalui asuransi, tabungan, pajak, atau
kombinasi di antara berbagai mekanisme yang ada.5
Indonesia sebenarnya telah menginisiasi kebijakan jaminan sosial
sejak lama. Pada masa awal kemerdekaan, telah diterbitkan peraturan
mengenai jaminan kesehatan di bawah Peraturan Menteri Perburuhan No.
48/1953 yang kemudian diamandemen menjadi Peraturan Menteri
Perburuhan No. 57/1957. Peraturan ini menjadi landasan dari diberikannya
bentuk-bentuk tunjangan bagi pekerja seperti jasa di poliklinik, santunan
selama sakit, hamil, melahirkan, dan kematian. Di tahun 1964, jaminan
kesehatan direvisi dalam Peraturan Menteri Perburuhan No. 3/1964.
Kemudian, pada masa pemerintahan Orba ketika Soeharto menjadi
presiden, peraturan-peraturan terdahulu tentang jaminan sosial direvisi
menjadi Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3/1967. Lalu dalam Rencana
Pembangunan Lima Tahun periode 1974-1979, pemerintah menargetkan
untuk memperluas dan meningkatkan distribusi jaminan sosial. Sejak saat
itulah kemudian dibentuk perusahaan-perusahaan umum yang memberikan
jaminan sosial bagi warganegara berdasarkan pekerjaannya. Pada tahun
1977 dibentuk Astek (berubah menjadi Jamsostek pada 1992) yang
melayani pekerja formal sektor swasta, Taspen di tahun 1963 untuk
jaminan hari tua pegawai negeri, Asabri untuk jaminan hari tua personel
militer, dan Askes di tahun 1968 yang memberikan jaminan kesehatan
bagi pegawai negeri dan personel militer.6
5 Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional: Mewujudkan Amanat Konstitusi (Jakarta:
Kompas Gramedia, 2014), h. 5-7. 6 Dinna Wisnu, Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam Ekonomi
Pasar (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 100-102.
69
Ciri utama dari kebijakan jaminan sosial yang diberlakukan pada
masa Orba, yang sebagiannya masih berlanjut hingga saat ini, adalah
sifatnya yang parsial dan instrumental, yakni untuk mendukung tujuan
pertumbuhan ekonomi. Hanya sebagian kecil warganegara yang
terlindungi dan menerima manfaat dari jaminan sosial. Mereka merupakan
golongan yang dipandang penting bagi negara seperti PNS, pekerja swasta
formal, dan militer. Sementara untuk asuransi yang berbasis privat, hanya
kelas menengahlah yang mempunyai kemampuan untuk mengaksesnya.
Adapun sebagian besar warganegara lainnya, misalnya mereka yang
bekerja di sektor informal, pertanian, pekerja musiman, dan
pengangguran, sama sekali tidak terlindungi.7
Dalam beberapa hal, kebijakan di masa Orba ini paralel dengan
yang dilakukan oleh negara-negara industri Asia Timur, terutama sejak
Perang Dunia II sampai dengan tahun 1980-an. Negara-negara seperti
Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan membentuk corak negara
kesejahteraan yang dalam literatur disebut sebagai negara kesejahteraan
produktivis atau developmentalis. Dalam model negara kesejahteraan ini,
kebijakan kesejahteraan sosial ditempatkan di bawah orientasi
pertumbuhan ekonomi. Penyediaan jaminan sosial tidak didasarkan pada
prinsip kesetaraan sosial atau redistribusi ekonomi, namun lebih pada
investasi modal SDM demi produktivitas ekonomi. Untuk itu negara hanya
memberikan jaminan kesejahteraan bagi sekelompok kecil pekerja yang
bekerja di dalam sektor-sektor yang berperan penting dalam menggenjot
7 Darmawan Triwibowo dan Subono, Meretas Arah Kebijakan Sosial Baru Di Indonesia:
Lebih Dari Sekadar Pengurangan Kemiskinan, h.16-17.
70
pertumbuhan seperti pegawai negeri, personel militer, pekerja industri
besar, dan guru. Sementara bagi mereka yang bekerja di sektor-sektor
marjinal, jaminan kesejahteraannya diserahkan kepada keluarga masing-
masing.8 Bagi negara-negara produktivis yang dipimpin oleh rezim
otoriter, sekali lagi mirip dengan Orba, legitimasi pemerintah didasarkan
pada pertumbuhan ekonomi dan masyarakat sipil serta gerakan buruh
ditindas.
Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan
pergantian rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin
disadari bahwa skema kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak
mencukupi, baik bila dilihat dari jumlah peserta, cakupan dan kualitas
manfaat, maupun tata kelola. Untuk itu, mulai dilakukan reformasi
kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem jaminan sosial yang
lebih bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk melakukan reformasi
tersebut mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD 1945 Pasal
28H ayat 3 (“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”)
dan Pasal 34 ayat 2 (“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”). MPR juga telah
menetapkan Ketetapan MPR-RI No. X/MPR-RI/2001 yang
8 Triwibowo dan Subono, Meretas Arah Kebijkan Sosial Baru Di Indonesia: Lebih Dari
Sekedar Pengurangan Kemiskinan, h.39.
71
mengamanatkan presiden membentuk sistem jaminan sosial yang terpadu
dan komprehensif.9
Sebagai tindak lanjut terhadap amanat konstitusi tersebut,
pemerintah kemudian membentuk Tim Kerja Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) pada Maret 2001 yang kemudian dilanjutkan dengan
pembentukan Tim SJSN pada April 2002 dengan tugas yang lebih luas,
antara lain membuat RUU SJSN dan melaporkannya kepada presiden.
Setelah melalui proses perdebatan dan tawar-menawar yang alot, UU
40/2004 tentang SJSN akhirnya disetujui. Substansi jaminan sosial yang
disetujui dalam UU SJSN mencakup jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan
kematian. Sebelumnya, diusulkan pula tunjangan pengangguran namun
usulan ini akhirnya ditolak.10
Demikian juga usulan mengenai tunjangan
PHK dimentahkan karena telah terakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan.
Penetapan UU SJSN merupakan momen historis dalam sejarah
kebijakan sosial di Indonesia sekaligus merupakan langkah yang penting
bagi tercapainya cita-cita negara kesejahteraan di negeri ini. Selain
mencakup bantuan yang lebih luas dari skema-skema yang telah ada
sebelumnya, SJSN juga bersifat universal. Kini tidak hanya mereka yang
bekerja di sektor tertentu saja yang dilindungi, melainkan seluruh warga
tanpa memandang profesi maupun penghasilannya. SJSN menganut sistem
9 Antonius. G. Prasetyo, “Ekonomi Pancasila sebagai Negara Kesejahteraan: Pencarian
Model bagi Indonesia.” dalam Proceeding Papers Indonesia International Political Economy Week
“Quo Vadis Developmentalisme”, 7-8 Desember, 2013, 261-286 (Yogyakarta: IIS UGM, 2013),
h.13. 10
Dinna Wisnu, Politik Sistem Jaminan Sosial: Menciptakan Rasa Aman dalam Ekonomi
Pasar (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), h. 111.
72
asuransi sosial sehingga sumber pendanaannya berasal dari iuran penerima
manfaat dan pemberi kerja atau pemerintah (bagi PNS). Sedangkan bagi
mereka yang tidak mampu atau tidak mempunyai penghasilan, iurannya
akan dibayar oleh pemerintah.
SJSN memberikan jaminan rasa aman bagi seluruh warga
sepanjang hidupnya, dari sejak lahir sampai meninggal. Rasa aman itu
terwujud karena berbagai ancaman yang berisiko pada turunnya
pendapatan, baik yang datang secara tiba-tiba (sakit, kecelakaan) maupun
alamiah (pensiun), dijamin tidak akan memberikan pengaruh terhadap
kualitas kesejahteraan. Melalui sistem asuransi, SJSN juga akan berperan
secara tidak langsung pada peningkatan kesejahteraan rakyat dengan cara
memobilisasi dana masyarakat untuk membentuk tabungan nasional yang
besar. Tabungan tersebut dapat diinvestasikan untuk menghasilkan
keuntungan. Dana yang ditempatkan di bank misalnya, diskenariokan
dapat menurunkan tingkat bunga sehingga mendorong investasi, dan
investasi pada gilirannya akan membuka perluasan lapangan kerja dan
mengurangi jumlah penduduk yang menerima bantuan iuran.
Terbentuknya tabungan nasional yang besar juga akan meningkatkan
kemampuan keuangan negara untuk membiayai program-program
pembangunannya sehingga negara tidak perlu lagi berutang.11
Skenario
semacam ini terbukti sukses di Malaysia sehingga negara tersebut
terhindarkan dari dampak yang parah dari krisis 1997. Sementara di
Jepang, akumulasi dana jaminan sosial digunakan pemerintah untuk
11
Sulastomo, Sistem Jaminan Sosial Nasional: Mewujudkan Amanat Konstitusi (Jakarta:
Kompas Gramedia, 2014), h. 30-31.
73
dipinjaman ke berbagai negara termasuk Indonesia. Bunga daripinjaman
tersebut kemudian masuk ke dana jaminan sosial.12
Sebagai lembaga yang berwenang untuk menjalankan dan
mengelola SJSN, dibentuk badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS).
Untuk itu, setelah melalui proses yang panjang dan berlarut-larut, pada
tahun 2011 lalu dibentuklah UU 24/2011 tentang BPJS. Di dalamnya,
ditentukan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial nasional akan
dijalankan oleh dua BPJS, yakni BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS
Kesehatan. Untuk itu, dua BUMN, yaitu PT Askes dan PT Jamsostek,
akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
mulai 1 Januari 2014 dengan status badan hukum publik. BPJS
Ketenagakerjaanakan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian bagi
pekerja selambatnya 1 Juli 2015. Adapun BPJS Kesehatan bertugas
menyelenggarakan jaminan kesehatan per 1 Januari 2014 dengan
menerima pelimpahan peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek,
TNI/Polri, PNS, Jamkesmas, dan Jamkesda. Selain melayani pekerja
formal, BPJS Kesehatan juga akan melayani pekerja informal dan
penganggur. Bagi mereka yang tidak mampu mengiur, pemerintahlah yang
akan mengiuri. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap hingga pada
2019 diharapkan sudah melayani seluruh warganegara. Sementara itu, PT
Taspen dan PT Asabri baru akan bertransformasi dan bergabung ke dalam
BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 31 Desember 2029.
12
Sulastomo, “SJSN: Mesin Pembangunan,” Kompas, 21 Januari 2003, h. 6.
74
B. Analisis Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD
1945
Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945,
Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan
hidup, ideologi nasional, dan pemersatu dalam peri kehidupan kebangsaan
dan kenegaraan Indonesia. Secara singkat, Pancasila adalah dasar statis
yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun yang dinamis, yang
mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuanya. Dalam posisinya seperti
itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan
haluan keselamatan bangsa. Dengan demikian, negara Indonesia memiliki
landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner.
Sebagai ideologi negara, pancasila mempunyai peranan penting
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga mempunyai
dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jika dipahami,
dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang cita-
cita luhur peradaban bangsa. Pancasila, yang terdiri dari lima sila tersusun
secara hierarkis dan sistematis yang saling menopang demi terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Sila pertama, “Ketuhanan yang maha Esa” nilai-nilai ketuhanan
sebagai sumber etika dan spiritualitas dianggap penting sebagai fundamen
etik kehidupan bernegara. Berkaitan dengan hal ini Indonesia bukanlah
negara sekuler yang ekstrim yang memisahkan antara agama dan negara.
75
Negara diharapkan dapat melindungi dan mengembangkan kehidupan
beragama, sementara agama diharapkan mampu memainkan peran publik
yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Artinya, peran agama dan
negara tidak perlu dipisahkan melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa
keduanya saling mengerti batas otoritas masing-masing, yang dalam
bahasa Latif disebut dengan istilah “Toleransi-kembar” (twin tolerations).
Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” nilai-nilai
kemanusiaan universal yang dari hukum tuhan, hukum alam, dan sifat-
sifat sosial manusia dianggap penting sebagai fundamen etika politik
kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Landasan etik sebagai
prasayarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan “beradab”. Dalam
mengembangkan kemanusiaan secara adil dan beradab itulah
menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara idealisme politik dan
realisme politik yang berorientasi kepentingan nasional dan hubungan
internasional.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” nila-nilai etis kemanusiaan itu
harus terlebih dahulu mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan
kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang
lebih jauh. Indonesia adalah negara persatuan kebangsaan yang mengatasi
paham golongan dan perseorangan. Kesatuan masyarakat Indonesia ini
dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan
persatuan dalam keragaman dan keragaman dalam persatuan, yang dalam
slogan negara dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Disisi
lain ada wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup
76
bagi aneka perbedaan, seperti aneka keyakinan, budaya dan bahasa daerah,
dan unit-unit politik tertentu sebagai warisan budaya. Dengan demikian
Indonesia memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat yang mampu
mempertemukan kemajemukan masyarakat, keragaman komunitas, agar
tidak tercerabut dari akar tradisi sejarahnya masing-masing. Konsepsi ini
menyerupai perspektif “etnosimbolis”, yang memadukan perspektif
modernis dengan perspektif primordialis.
Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” menurut alam
pemikiran pancasila nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, dan nilai serta
cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan yang dimpin oleh hikmat
kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi
memperoleh kesejatiaannya dalam penguatan daulat rakyat. Dalam prinsip
musyawarah-mufakat, keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas
(mayokrasi) atau kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha
(minorokrasi), melainkan di pimpin oleh hikmat/kebijaksanaan yang
memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan warga tanpa
pandang bulu.
Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”
menurut alam pemikiran pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,
nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu
memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial.
Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus mencerminkan imperatif
77
keempat nilai pada sila lainnya. Di sisi lain, otensitas pengalaman sila-sila
pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam
perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut pancasila
semua hendak di seimbangkan. Keseimbangan peran manusia sebagai
makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, keseimbangan
pemenuhan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam suasana kehidupan sosial-perekonomian yang ditandai oleh aneka
kesenjangan sosial, kompetisi ekonomi diletakkan dalam kompetisi yang
kooperatif berlandaskan asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara; bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dalam mewujudakan keadilan sosial masing-masing
pelaku ekonomi diberi peran masing-masing yang secara keseluruhan
mengembangkan semangat kekeluargaan. Peran individu (pasar)
diberdayakan, dengan tetap menempatkan negara dalam posisi penting
dalam menyediakan kerangka hukum dan regulasi, fasilitas, penyediaan,
dan rekayasa sosial, serta penyediaan jaminan sosial.
Berdasarkan uraian setiap sila di atas, penulis meminjam karya
“Panitia Lima” yang telah menyelesaikan penafsiran tunggal tentang
pancasila. Panitia Lima yang terdiri dari Mohammad Hatta (Ketua),
Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, A.A. Maramis, Sunario, dan A.G.
Pringodigdo. Menunjukan dua cara pendekatan dasar yang terkandung
dalam pancasila dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat.
78
Pertama adalah cara pendekatan etis yang memberi dasar moral.
Kedua adalah cara pendekatan politis, memberi dasar politis kepada
seluruh sistem sosial, ekonomi dan politik.
Sila pertama dan kedua dari pancasila yang dalam satu rangkaian
menyatakan “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab”, dengan jelas menunjukan dasar pendekatan etis yang di
maksudkan itu. Moral yang disampaikan dari kedua sila yang berhubungan
erat ini menduduki tempat tertingi dalam hierarki nilai-nilai yang meliputi
seluruh kehidupan sosial serta kebenaran-kebenaran politis yang
terkandung dalam tiga sila lainnya dari pancasila, yang bila dinyatakan
dalam satu rangkaian kalimat menyatakan: “Persatuan Indonesia, dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia ”.
Dengan demikian, maka maksud pendekatan politis tersebut adalah
pendekatan menurut kebenaran-kebenaran politis itu, dan dengan
sendirinya sistem perekonomian dan kesejahteran sosial, juga berurusan
dengan apa yang menurut etika atau moralitas (sila pertama dan kedua)
baik atau tidak baik, seharusnya atau tidak seharusnya.
Sejalan dengan itu Yudi Latif menyampaikan dalam wawancara
pribadi dengan penulis bahwa karya studi Esping Andersen tentang
tipologi rezim Negara kesejahteraan ; 1) “Universal Welfare State”, 2)
“Sosial Insurance“, dan 3) “Residual Welfare State”, masih tetap berguna
79
untuk sekedar melakukan studi komparatif bukan untuk diadopsi. Masih
menurut Latif, Indonesia punya orisinialitas sendiri dalam hal model tata
pengaturan kesejahteraannya, yaitu kristalisasi dari basis etis atas refleksi
keagamaan (Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa) dan refleksi
kehidupan masyarakat di Indonesia sejak dahulu (Sila Kedua,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab).
Dibeberapa negara yang menerapkan sistem negara kesejahteraan
kita bisa melacak jejak akar konsep rezim kesejahteraannya dari basis etis
di masing-masing negara. Manow menyimpulkan bahwa perbedaan rezim
kesejahteraan di negara-negara Eropa juga dipengaruhi oleh “ragam” basis
religius, yang didalamnya negara-negara dengan basis Protestan reformis
lebih memilih rezim kesejahteraan liberal; negara dengan basis Protestan
Lutheran cenderung kearah rezim sosial demokrat; sedangkan negara
dengan basis Gereja Katolik Roma lebih condong ke rezim kesejahteraan
konservatif.
Rupanya Latif hendak menarik garis sejajar dengan ungkapan
Manow bahwa basis etis keagamaan akan merefleksikan suatu bentuk
tatanan kehidupan secara menyeluruh dalam segala sendi kehidupan
bernegara dan kehidupan bermasyarakat. Menurut Latif utamanya
Indonesia merefleksikan pengaruh ajaran Islam. Didalam Islam hak milik
pribadi diperbolehkan tetapi milik pribadi tersebut haruslah memiliki
fungsi sosial bagi sesamanya.
80
Didalam Al-Quran Surat Al A’raf Ayat 10 dijelaskan bahwa
manusia memegang tanggung jawab sebagai Khlaifatullah Fil Al- Ardh,
dan Allah Swt. Telah menganugerahkan sumber penghidupan bagi seluruh
ummat di muka bumi, berikut bunyi firman Allah Swt:
ولقد ن ٱفيكم مك قليليش فيهامع نالكم ضوجعل ر ل ا ٠١كزونم
Yang artinya; “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu
sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur”. (Q.S. Al A’raf; 10)
Oleh sebab itu, manusia menggemban amanat Khalifah Allah
dimukabumi, dan diberikan kebebasan untuk mencari sumber penghidupan
(nafkah) sesuai dengan hukum yang berlaku serta dengan cara yang adil.
Dengan kata lain, Islam pada dasarnya mengakui kepemilikan peribadi.
Islam tidak membatasi kepemilikan peribadi, alat-alat produksi, barang
dagangan, tetapi Islam melarang cara-cara yang ilegal dan tidak bermoral
dalam memperoleh kekayaan. Islam juga sangat menentang setiap bentuk
keuntungan yang tidak layak dari kesulitan orang lain, dan melarang
penimbunan kekayaan yang tidak sesuai dengan ketentuan ajaran Islam.
seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an:
همزة ل وي لذيجمعمالٱ٠ةلمزلكل د مالهيح ٢ۥو ٣ۥلدأخ ۥسبأن
Yang artinya; “1) kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi
pencela. 2) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung. 3) Dia
mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya”. (Q.S Al Humazah;
1-3)
81
Dengan demikian, sifat menumpuk harta serta tidak menggunakan
harta yang dimiliki untuk tujuaan yang bermaanfaat bagi seluruh umat
manusia sangat dilarang oleh Allah Swt. karena sifat menumpuk harta
hanya akan menjadi seseorang kaya raya sementara kesejahteraan umat
manusia yang lain akan terabaikan dan menciptakan jurang pemisah antara
si kaya dan si miskin.
Oleh karena itu, dalam Pancasila prinsip keadilan sosial pada sila
kelima menjadi landasan adanya konsep negara kesejahteraan di
Indonesia. Mengenai model dan bentuk akan lebih jelas dituangkan dalam
pasal-pasal dalam undang-undang dasar 1945.
Dalam pembahasan berikutnya akan lebih terlihat spesifik konsep
negara kesejahteraan dalam prinsip-prinsip dan nilai pancasila yang
diabstraksikan dalam bentuk Undang-undang dasar.
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya ditemukan beberapa
kecenderungan hendak mengarah kemana model negara kesejahteraan
yang akan di pilih oleh Indonesia. Dalam Pancasila dan turunannya yaitu
Undang-Undang Dasar 1945, rupanya konsitusi kita memberikan ruang
kepada tiga model rezim kesejahteraan yang ada yaitu, 1) Rezim Universal
welfare state , terlihat pada pasal 27 ayat 2, pasal 28H, pasal 31, pasal 33
dan pasal 34 ayat 2, 3, 4. 2) Rezim Residual Welfare State, termaktub
dalam pasal 34. dan 3) Rezim Social Insurance Welfare State, tersirat
dalam pasal 28C ayat 2.
82
Jika hanya melihat landasan hukum normatif, Indonesia tentu
menganut konsep negara kesejahteraan dengan ciri khas yang memberi
ruang kepada tiga model rezim kesejahteraan yang ada. Ciri tersebut di
satu sisi mempunyai kelebihan berupa kemampuan untuk mengakomodir
semua lembaga penyedia kesejahteraan (negara-pasar-keluarga). Di sisi
lain, keluwesan dan sifat supel tersebut juga mempunyai kekurangan yaitu
mudah untuk ditarik kesatu posisi saja. Seperti dalam praktiknya
pemerintah dari era pasca kemerdekaan (1945) sampai pasca reformasi
belum ada yang benar-benar berkomitmen menerapkan konsep negara
kesejahteraan.
Salah satu yang menjadi instrumen wajib bagi berdirinya negara
kesejahteraan adalah jaminan sosial. Hampir disemua penganut negara
kesejahteraan terdapat lembaga atau sistem jaminan sosial. Di Indonesia
legislasi dasar tentang jaminan sosial sebenarnya sudah ada sejak 1950-an,
namun tunjangan yang ada (sampai saat sebelum di sahkannya UU BPJS)
masih sangat kecil dan terbatas untuk kalangan tertentu saja.
Kajian yang dilakukan Lindenthal (2004) mengidentifikasikan
karakteristik umum sistem jaminan sosial yang telah berkembang di
Indonesia selama ini sebagai berikut:13
Cakupan sistem jaminan sosial yang terbatas, hanya melayani
minoritas populasi, khususnya pegawai negeri, angkatan
bersenjata dan sebagian kecil sektor swasta. Sejauh ini, sistem
13
Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (Jakarta:
LP3ES, 2006), h. 87-88.
83
yang dikembangkan secara keseluruhan hanya mampu
mencakup kurang dari 20 persen populasi Indonesia.
Ketergantungan yang kuat terhadap keluarga (inti maupun
extended family) serta komunitas untuk memberikan
perlindungan sosial informal terhadap hilangnya pendapatan,
gangguan kesehatan, ataupun musibah lainnya.
Ketergantungan yang terbatas pada majikan/perusahaan,
melalui peraturan perburuhan yang didesakkan lewat
kesepakatan kolektif, untuk mneyediakan benefit, seperti upah
semasa sakit atau cuti melahirkan dan kompensasi saat
pemutusan hubungan kerja.
Pilihan jaminan sosial yang terbatas bagi pekerja disektor
swasta dengan tumpuan pada skema dana pensiun bagi
pemberian lump sum saat berhenti bekerja.
Paket benefit sosial yang relatif lebih komprehensif bagi
pegawai negeri dan anggota angkatan bersenjata dibandingkan
dengan yang diterima oleh kelompok masyarakat lainnya.
Tunjangan sosial berbasis subsidi yang tidak memadai, serta
memiliki tingkat kebocoran dan biaya administrasi yang tinggi.
Sistem kesehatan publik yang tidak didanai dengan memadai
serta tidak mampu memberikan pelayanan yang memadai
kepada seluruh warga.
84
Kajian tersebut sekaligus membuktikan dalam prakteknya pemerintah
(sebelum UU BPJS disahkan) justru lebih dekat pada konsep rezim
kesejahteraan residual, dimana penyedia kesejahteraan dan pengelola
risiko lebih banyak dibebankan pada mekanisme pasar dan keluarga, dan
bentuk peran pemerintah yang minim dan terbatas pada golongan yang
paling tidak diuntungkan saja. Negara seolah berpangku tangan
menyerahkan semua kepada mekanisme pasar dan memberi beban kepada
keluarga untuk menanggung risiko-risiko yang menimpa. Meskipun dalam
prakteknya pemerintah banyak menggelontorkan dana sosial untuk
mengurangi kemiskinan tapi nyatanya belum bisa berbicara banyak. Hal
itu disebabkan dana-dana sosial tersebut dikeluarkan dalam bentuk
terpisah diberbagai instansi pemerintah dalam pecahan kecil-kecil,
sehingga target utama justru tak terpenuhi, sementara biaya birokrasi
justru tinggi. Lebih parah lagi, masing-msing instansi pemerintah ini
kemudian bersaing mempertahankan porsi kegiatan sosialnya itu, dan
mengklaim diri dapat mendesain program pengentasan kemiskinan yang
lebih baik daripada instansi lain.
Baru kemudian pada 2011 pemerintah mengambil momentum
pengesahan UU BPJS No 24 Tahun 2011 dimana jaminan sosial
diselenggarakan dalam satu kesatuan lembaga (tidak parsial) dan
menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Skema ini dekat dengan aliran
universal welfare state, dimana program menjangkau keseluruh warga
negara dan cakupan programnya yang komprehensif. Sementara
kecenderungan rezim social insurance welfare state juga lekat dengan
85
masyarakat kita dimana peran keluarga menjadi tumpuan dari risiko-risiko
kehilangan pendapatan baik yang bersifat tiba-tiba (sakit, kecelakaan)
maupun yang alamiah (pensiun).
86
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengetahui pembahasan
dalam skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan. Kesimpulan mengenai
bagaimana konsep negara kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945, sebagai
berikut:
1. Para pendiri bangsa dalam cita-citanya mensejatahteran rakyat memilih
bentuk negara kesejahteraan sebagai pilihan yang dianggap tepat untuk
kondisi negara Indonesia. Hal itu tertuang dalam Pancasila terutama sila
kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dalam proses
perumusan dasar falsafah negara pada sidang BPUPKI prinsip keadilan
dan kesejahteraan sosial mewarnai diskusi. Beberapa nama
mengeluarkan pendapatnya tentang keharusan negara menjelma sebagai
lembaga yang adil dan mensejahterakan diantaranya: 1). Muhammad
Yamin, pada 29 Mei 1945, 2). Soerio, pada 29 Mei 1945, 3). A. Rachim
Pratalykrama, 30 Mei 1945, 4). Abdul Kadir, pada 31 Mei 1945, 5).
Soepomo, pada 31 Mei 1945, dan 6). Soekarno, Pada 1 Juni 1945.
2. Prinsip negara kesejahteraan itu kemudian tertuang dalam UUD 1945.
Prinsip dalam UUD 1945 mengakomodir ketiga konsep rezim negara
kesejahteraan. Konsep residual welfare state tertuang dalam pasal 34
ayat 1. Konsep universal welfare state tertuang dalam pasal 27 ayat 2,
87
pasal 28H, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34 ayat 2, 3, 4. Konsep social
insurance welfare state tercermin pada pasal 28C ayat 2.
3. Dalam praktiknya pemerintah dari awal kemerdekaan sampai dengan
periode disahkannya UU BPJS lebih banyak menjalankan mandat pasal
34 ayat 1 saja. Dimana prinsip itu dekat dengan konsep residual welfare
state.
4. Momen disahkannya UU SJSN adalah sejarah bagi kebijakan sosial di
Indonesia sekaligus merupakan langkah penting bagi tercapainya cita-
cita negara kesejahteraan di negara ini. Selain mencakup bantuan yang
lebih luas dari skema-skema yang telah ada sebelumnya, UU tersebut
juga bersifat universal. Kini tidak hanya mereka yang bekerja di sektor
tertentu saja yang dilindungi, melainkan seluruh warga tanpa
memandang profesi maupun penghasilannya.
B. SARAN
1. Momen disahkannya SJSN dan BPJS memang merupakan sebuah
langkah besar akan tetapi hal tersebut belum dirasa cukup untuk
mengukuhkan berdirinya negara kesejahteraan. Basis pendukung harus
kuat agar skema-skema bantuan yang sudah ada dalam BPJS bisa tetap
dijalankan dan diperluas cakupannya.
2. Saatnya pemerintah terutama Kemensos harus berani mengurangi
program-program yang sifatnya residual dan mengalihkan bantuan pada
penambahan anggota yang iurannya (BPJS) dibayari oleh pemerintah.
88
DAFTAR PUSTAKA
Azamzami, Abdul Aziz. Negara Kesejahteraan Dalam Kepemimpinan Umar Bin
Khattab. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Barr, N. The Ecoimics Of The Welfare State. Stanford: Stanford University Press,
1998.
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LKPN, 2000.
George, V dan Wilding, P. Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Pustaka
Utama Garfiti, 1992.
Giddens, Anthony. Jalan Ketiga : Pembaruan Demokrasi Sosial. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Hatta, Mohammad. Indonesia Merdeka. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Hatta, Mohammad. Memoir Mohammad Hatta. Jakarta: Tintamas, 1982.
Herzt, Noreena. Perampok Negara: Kuasa Kapitalisme Global dan Matinya
Demokrasi. Yogyakarta: Alinea, 2005.
Komara, Eko Kurniawan. Kemerdekaan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial:
Penggalan Riwayat dan Pemikiran Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan
Malaka. Jakarta: Tempo Institute, 2009.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997.
Nazir, M. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2008.
Petras, James dan Veltmeyer, Henry. Imperialisme Abad 21. Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2002.
Prasetyo, Antonius G. Ekonomi Pancasila Sebagai Negara Kesejahteraan:
Pencarian Model Bagi Indonesia. Yogyakarta, 2013.
Rahardjo, M Dawam. Diskursus Kesejahteraan Sosial.
Rahardjo, M Dawam. Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Di Era Globalisasi.
Sjahrir, Sutan. Pikiran dan Perjuangan. Yogyakarta: Jendela, 2000.
89
Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitia Dibawah Bendera
Revolusi, 1964.
Soekarno. 19 Tahun Lahirya Pantja Sila. Jakarta: Departemen Penerangan RI,
1965.
Soekarno. Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Panitia Nasional Peringatan
Lahirnya Pancasila, 2001.
Suharto, Edi. Kebijakan Sosial: Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabet,
2007.
Sulaiman, Holil. Perencanaan Kebijakan Sosial dan Program Sosial.
Triwibowo, Darmawan dan Bahagijo, Sugeng. Mimpi Negara Kesejahteraan.
Jakarta: LP3ES, 2006.
90
SUMBER INTERNET
D Kelley, Altruism anda Capitalism 1994. Artikel diakses pada 29 Mei 2015 dari
www.objectivist-center.org/text/dkelley-altruism-captalism.asp.
Negara dan Kesejahteraan. Artikel diakses pada 06 Sepetember 2015 dari
http:www.inilah.com/berita/2008/07/24/40004/negara-dan-kesejahteraan/.
Edi Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara. Artikel
diakses pada 12 Oktober 2016 dari http
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Transkrip Wawancara Pribadi
Yudi Latif (penulis buku Negara Paripurna)
Selasa, 28 juni 2016, 09.30 s/d 10.30
Wawancara bertempat di kediaman Yudi Latif
Pertanyaan; Apa itu Negara Kesejahteraan?
Jawaban; Negara kesejahteraan itu sebenernya merefleksikan teologi keagamaan
masyarakatnya. Jadi kalau di Skandinavia umumnya itu gereja lutheran. Dalam keyakinan
lutheran itu manusia itu terlahir setara hanya karena ada distorsi pasar, maka muncul
ketidakadilan, dan negara lebih melayani segelintir orang lain, akhirnya kesetaraan itu berubah
menjadi ketidaksetaraan. Ada yang beruntung, ada yang buntung.
Pertanyaan; Seberapa dominan peran agama dalam menciptakan negara kesejahteraan?
Jawaban; Ada beberapa negara dengan basis katolik yang kuat. Nah mereka itu terinspirasi
oleh pelayanan gereja. Gereja itu hadir untuk melayani . Maka lahirnya kesejahteraan itu
tunjangan dari Kekawanan komunitas Gereja.
Pertanyaan; Bagaimana dengan di Indonesia?
Jawaban; Agama mayoritas di Indonesia adalah Islam. Di dalam Islam, hak milik pribadi itu
boleh. Hak milik pribadi itu mempunyai efek sosial. Nah, dalam Islam kan ada juga pajak, ada
juga shadaqah. Jadi, zakat itu sama dengan pajak . ada juga itu kan sifatnya shadaqoh. Tapi, kalo
pajak itu kan dimensinya universal memang untuk pembangunan. Seumpama kita lihat 8 asnaf
itu ya sifatnya universal. Kena semua. Tapi, ada yang sifatnya pemberian khusus. Bukhori,
Masakin, zakat fitrah. Dan residual itu ada juga. Jadi yang sebagian universal itu dikenal dalam
Islam . Makanya kenapa dulu orang Islam bayar djizzah. Tapi itu intinya sama dengan bayar
pajak. Semua penduduk yang hidup harus bayar untuk 8 asnaf itu. Karena 8 asnaf itu sebenernya
universal. Ada zakat fitrah, shadaqoh, padahal itu residu. Artinya, peran agama begitu dominan
dalam menciptakan sistem Negara kesejahteraan. dalam prakteknya, di Indonesia sendiri kan
masyarakat Islam Indonesia ini kan kebetulan juga karena dibawah penjajahan lama. Penjajahan
ini kan lama, makanya sudah sejak lama dalam perjalanan kita, ormas ormas keagamaan itu
mengembangkan rezim kesejahteraannya sendiri. Muhammadiyah punya panti panti,klinik, dll.
Pelayanan pelayanan komunitas komunitas keagamaan itu mempunyai basis tersendiri yang
sangat kuat . Bahkan dalam banyak waktu kita lihat kita jadi pembelahan juga dalam hal pajak
dan zakat juga. Pajak untuk sekuler gitu, dan zakat untuk sifatnya keagamaan gitu. Ada
pembedaan kaya gitu. Jadi kalo zakat diurus oleh masyarakat, kalo pajak oleh negara. Kita
mengalami split seperti itu. Jadi akibatnya nanti baru belakangan UU zakat itu di ambil oleh
negara. Tapi saya kira kalau kita lihat para pendiri bangsa juga melihat konteks agama dan sisi
historis itu.
Pertanyaan; Apa tugas negara dalam menciptakan negara kesejahteraan?
Jawaban; Tugas dari Negara kesejahteraan pokoknya mengembalikan kondisi-kondisi
kesetaraan itu dengan mengembangkan satu konsep namanya yaitu universal welfare state. gak
pandang bulu, pokoknya semua diberikan pelayanan-pelayanan keseharian. Kebutuhan Dasar
lah. Kesehatan, pendidikan, kerja, jaminan mengaggur juga. Tapi, ada juga semisal Amerika, di
Amerika itu ada yang namanya reform church. Reform church ini mempunyai keyakinan bahwa
manusia itu pada dasarnya lahirnya sudah tidak setara . jadi jangan ada upaya-upaya untuk
menyamaratakan manusia. Karena memang dari sononya itu memang sudah tidak setara. Nah,
tugas dari negara itu hanya memastikan supaya ketidaksetaraan ini jangan sampai melahirkan
unsur-unsur destruktif yang bisa mengacaukan tatanan masyarakat.
Pertanyaan; Bagaimana dengan di Indonesia?
Jawaban; Dalam UUD 45 itu memberi ruang pada 3 rezim negara kesejahteraan. Pertama
Negara Kesejahteraan yang sifatnya universal . Pasal 23 tentang pajak, pasal 27 setiap warga
berhak untuk pekerjaan dan wilayah oleh kemanusiaan. Pasal 31 tentang pendidikan. Pasal 32
tentang kebudayaan. Pasal 33 tentang cabang produksi. Kalau negara kesejahteraan di Eropa itu
karena mereka tidak punya sumber daya alam hanya mengandalkan pada pajak. Nah sedangkan
kita, selain dari pajak kita juga ngambil dari sumber daya alam itu. Makanya kalau di Eropa itu
klabakan untuk membuat sistem negara kesejahteraan. Karena orangnya banyak sedangkan
penduduk muda lebih kecil dibandingkan dengan yang tua . Yang muda makin nyusut, yang tua
makin besar. Nah kita pajak punya. Pasal 123. Itu semua sifatnya universal. Pasal 26 tentang
basicly. Kehidupan yang layak bagi manusia itu seharusnya basicly. Tidak ada yang kelaparan,
mendapatkan pekerjaan, dan segala hal yang mencakup semua kehidupan. Pun halnya dengan
pasal 31, setiap warga negara berhak atas pengajaran.
Kedua, negara kesejahteraan yang sifatnya residual, dengan sistem negara kesejahteraan yang
sifatnya universal tadi, masih ada orang-orang yang terlantar, fakir, dan miskin. Nah itulah
residual, yang dipelihara oleh negara. Jadi pasal 34 UUD 1945 itu sifatnya residu. Problem kita
hari ini kan karena yang universal welfare state nya gak di jalankan, pasal 23, pasal 26 , 31, 32
tidak dijalankan maka kemiskinan kan tinggi. Sehingga itu bukan residu lagi. Tapi sudah urat
nadi dan menjadi tulang punggug negara. Kalo kemiskinan sudah melebihi 40 juta itu, beban.
Tapi kemudian setelah amandemen, pasal 34 itukan juga diperluas misalnya jaminan jaminan
sosial. Sebenernya menurut saya jaminan-jaminan itu si sifatnya universal. Adanya di pasal 26
itu pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi perikemanusiaan . hidup layak itu kan harus sehat.
jadi kalo jaminan jaminan sosial itu ada di pasal 26, 31 dan isinya kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, itu semua sudah ada disitu masalah sosial itu . pasal 34 itu kan memang tentang
residual. Korban-korban pembangunan lah. Makanya sekarang ada raskin. Nah, karena
kebanyakan, maka bukan residu residu lagi itu. Akibat tidak dijalankanya program universal
welfare state.memberi beban pada residu, dan residu itu kemudian jadinya universal . program
raskin, bantuan langsung tunai lah, apalah. Ketiga, Swasta itu juga memiliki fungsi pen-
deliver kesejahteraan juga. Artinya hak milik pribadi itu harus juga digunakan untuk hak milik
social juga. Jadi, ia juga memiliki fungsi sosial. Makanya tanah-tanah yang mangkrak itu kan
tidak produktif, mestinya itu harus di pajak tinggi. Bukan sebaliknya,kita ini tanah mangkrak
malah gak di pajak. Justru tanah mangkarak itu di pajak tinggi kalau diusahakan, paling tidak
men generalisasikan untuk lapangan kerja. Itu juga untuk mendeliver kesejahteraanya sendiri,
baik selain lewat pajak, lewat tenaga kerja. Jadi kalo residual itu kan utamanya pendeliver
kesjahteraan itu di berikan kepada market. Kecuali sisanya baru ditangani oleh Negara. Jadi kita
juga memberi peran pada swasta itu untuk mengembangkan kesejahteraan. tapi yg sering kali
terjadi itu kepemilikan pribadi itu tidak memiliki fungsi sosial. Padahal tanah apapun itu harus
menjadi kepemilikan sosial. Dan industri juga menjadi kepemilikan sosial yang sifatnya
koperarif. Koperasi yang mendatangkan kesejahteraan bukan hanya segelintir orang, tapi untuk
banyak orang. Jadi koperasi itu sebenernya dalam penghayatan para pendiri bangsa kita kan
bukan hanya badan pusat koperasi, tapi semangatnya itu harus koperatif. Gotong royong juga,
koperatif juga, semangatnya, kekayaanya diambil sebagian orang. Tapi buruhnya semuanya di
miskinkan. Eksploitatif. Hal yang sama kita tahu kemudian adalah karena hak.milik pribadi itu
boleh dan memiliki fungsi sebagai hak sosial. Artinya, negara memberi peran kepada asosiasi
asosiasi dibiarkan untuk mengelola kesejahteraannya juga. Apalagi kita mempunyai pengalaman
historis tadi. Bagian2 keagamaan sudah lama ngurus panti2, zakat, dll . Itu seperti sosial
insurance. Ia juga dibiarkan untuk mengembangkan kesejahteraan juga. Jadi tidak semua
kesejahteraan ini di tangani oleh negara. Bisa pasar, bisa juga masyarakat sipil. Jadi kita
memadukan antara universal welfare state, residual, dan juga sosial insurent. Jadi, secara
universal, sektor swasta juga diharapkan mengembangkan kesejahteraan. Karena milik pribadi
juga memiliki fungsi sosial, dan juga usaha2 masyarakat sipil oleh sosial insurent. Panti2, dll itu.
Makanya sebenarnya zakat dengan pajak kan gede zakat. Seperti dompet dhuafa dll ini bisa kita
berdayakan dan negara itu hanya mengandalkan audit aja. dan untuk memastikan aja bahwa
dana2 masyarakat itu tidak di korupsi. Jadi yang penting adalah bagaimana semua itu ujungnya
membawa ke muara kesejahteraan masyarakat. Kan gitu. Itulah negara gotong royong. Jadi kita
lebih fleksibel, lebih luas cakupannya. Kita tidak meniru, kita ada kesamaan lah untuk melihat.
hanya untuk komparatif . Tapi kita punya orisinalitasnya tersendiri yang merefleksi sendiri
keagamaan kita dan merefleksi dari sisi historis masyarakat kita. Dan perbandingan itu hanya
untuk sekedar melihat. Dibandingkan negara lain, dilihat bagaimana program negara
kesejahteraannya.mungkin lebih pasnya menjadi rezim kesejahteraan. Itulah tugas negara.
Karena itu tadi memberi ruang privat juga bagi rakyat sipil .
Pertanyaan; Apakah sistem Negara Kesejahteraan sudah tercantum semua dalam UUD 1945?
Jawaban; dalam bentuk uud tidak mendalami hakikat itu seperti itu. Kalau menurut saya,
kecuali kalau zakat itu disamakan dengan pajak itu harus diserahkan. Kalau pajak diurus sama
negara, yaudah zakat diurus sama masyarakat. Tapi harus disampaikan sudah sampai ke
mustahiqnya. Karena kita kan memang pengertian Zakat ini kan juga residu. Perbaiki rumah
ibadah, bukan pengertian Zakat yang 8 asnaf itu yang mencakup ilmu pengetahuan. Kan beda
juga.
Pertanyaan; Kenapa Indonesia tidak mengarah ke satu sistem Negara Kesejahteraan?
Ya karena tadi, ada berbagai macam ideologi, agama, budaya, dll. Kalau dalam komunisme tidak
ada namanya milik pribadi. Semua kolektif. Kalau liberalisme sebaliknya. Yang penting adalah
hak individu. Nah kita ini di jalan ketiga, milik pribadi boleh, karena milik pribadi itu
mempunyai fungsi sosial. Yang tidak boleh digunakan sembarangan . Harus Digunakan sesuai
dengan sifat2 sosial dan hak milik itu. Misalnya tanahnya tanah apa nih...tanah perkebunan,
tanah pertanian atau tanah apa? Kalau tanah pertanian gunakan hak milik itu sesuai dengan sifat
sosial dari tanah pertanian itu. Gitu loh. Tapi harus ada pembatasan hak milik atas tanah. Kita itu
yang tidak ada sama sekali . Makanya kesenjangan kepemilikan tanah .
Pertanyaan; Apakah di UUD 1945 mengatur pembatasan itu?
saya belum cek di UU agraria, tapi kalau dalam konstitusi semangatnya lebih dari itu. Ini
dikuasai oleh negara. Makna dikuasai itu juga memiliki batasan atas kepemilikan itu .dan
sebenernya yang kalau punya pribadi mau di akomodir sama negara juga bisa. Kalau diluar,
misal di Singapura, di Australia itu kan sebenernya hak guna. Hak guna tanah. Atau hak milik.
Tapi di kita karena dulu dibawah pengaruh kapitalisme juga. Dibawah pengaruh penjajah. Tapi
kalau diluar kan masih ada hak wilayah atas tanah.
Pertanyaan; berarti kalau kita menekankan titik universal nya harus jalan gitu? Itu berarti
tidak menghilangkan yang residunya gitu di panti panti misalnya?
Jawaban; ya karena tetep aja masih ada residu karena kan selalu ada orang yang terlempar
dari dunia kerja makanya kenapa harus ada jaminan atas itu. Kalau di negara Skandinavia kan
orang hilang pekerjaan itu kan dapet santunan. Santunan bulanan. Karena selalu ada residu.
Karena gak ada sistem yang sempurna. Pasti ada seorang yang residu. Selama dunia ada, orang
miskin akan tetap ada. Seberapa canggihnya pun kan cuma derajatnya aja. Barusan saya
dikirimin gambar tadi. Di Amerika sekarang udah banyak orang yang mencari makanan untuk
makanan anjing yang ditaruh di jalanan terus di ambil. Terus mereka di interview kenapa kamu
sering mencuri makanan anjing dia jawab i have no access for decent meal. Jadi hal kaya gitu
ada. Apalagi di Indonesia.
Pertanyaan; Apakah kalau negara melakukan program universal, yang residu itu akan
berkurang?
Jawaban; Ya akan berkurang. Jadi gak akan sebanyak dengan jumlah yang sekarang,
sekarang banyak yang residu karena univeresal state nya gak di jalanin.
Pertanyaan; Jadi fungsi Kemensos sekarang itu residu?
Jawaban; Ya sebenernya Kemensos itu fungsinya residual. Yang diurusin ya orang2
pelacur, orang-orang korban bencana. Orang-orang yang dapet jaminan ya gitulah. Jadi
fungsinya yang residual. Mereka itu sebenernya ga ngerti apa fungsinya Kemensos. Saya
merumuskan kemarin. Pertama, proteksi sosial, kedua kesetiakawanan sosial, ketiga
kepahlawanan sosial. Proteksi sosial ini termasuk jaminan sosial. Sehingga saya bingung kenapa
Kemensos setiap tahun cuma kasih reward kepahlawanan pada orang-orang yang sudah mati.
Padahal disana ada bagiannya loh. Direkrorat dan dibagian kepahlawanan apa gitu. Saya bilang
bukan begitu caranya mendefinisikanya. Ini adalah pahlawan pahlawan yang memberi dan
membangkitkan kembali orang-orang yang memberi residu itu. Jadi kaya pemberian award desa-
desa yang sudah ditinggalkan orang terus kemudian ada orang dari kota besar terus kembali dan
membangun desa tersebut dan memberi kemajuan kepada masyarakat. Itu yang disebut dengan
pahlawan. Orang-orang yang tadinya dari rumah bordir tiba-tiba bisa mempelopori berhentilah
sebagai pelacur, gimana caranya yang residu ini kembali ke cara yang restoratif memulihkan
kembali yang tadinya pelacur gimana caranya biar dia tidak lagi melacur gimana caranya yang
tadinya membuat komunitas yang eksklusif kaya Ahmadiyah Syiah korban-korban pemerkosaan
disitu banyak sekali residu itu, orang-orang menjadikan residu menjadi normal, jadi residual itu
juga fakir miskin yang dilindungi negara itu dipelihara bukan dalam artian disantuni tapi
disantuni dlm artian restoratif itu di pulihkan di sehatkan diberdayakan, sosial segtimate
beasiswa untuk orang-orang yang tidak mampu artinya itukan memberi bantuan khusus terhadap
orang-orang yaitu prinsipnya positive discrimination memenuhi kapasitas ulang untuk bangkit
seperti halnya manusia lain.
Pertanyaan; Kalo misalkan negara udah menangani yang residu itu pak kaya misalkan adanya
panti anak atau panti untuk orang tua terus panti untuk PSK dll itu udh banyak, cuma ketika
mereka memberikan pelayanan karena yang melayani itu kapabilitasnya seadanya akhirnya
mereka itu ngerasa kaya cuman di pelihara bukan diberdayakan. Nah kira-kira menurut bapak
seharusnya panti itu tetap ada atau dihapuskan saja cuma negara punya cara lain untuk
menangani masalah ini?
Jawaban; negara mempunyai hak untuk melindungi dan memproteksi dalam
menjalankannya tidak harus pemerintah yang ngejalanin. Kita juga memiliki ruang bagi peran
serta masyarakat dan lembaga-lembaga pelayanan sosial nya mungkin mereka jauh lebih
profesional jadi yg dilakukan negara sebenarnya menantang masyarakat sipil yg memiliki
kompetensi menangani hal-hal seperti itu, lalu pencapaian nya itu negara memberikan reward.
Tidak semua bisa dipahami negara . Jadi di Amerika dulu itu ada daerah hardine brbrong. Itu
selalu standar pendidikan ya paling buruk. Rata-rata nasional selalu paling buruk. Negara gak
bisa menjegal itu. Karena emang diperlukan lembaga-lembaga masyarakat sipil yang memiliki
kompetensi khusus bagaimana berhadapan dengan kelompok-kelompok seperti itu. Akhirnya
negara bikin yang namanya Charter school. Jadi mereka ini menjadi Charter organisasi
masyarakat semacam di undang siapa diantara kalian yang memiliki gagasan untuk membangun
satu institusi pembelajaran di daerah itu. Nah semakin banyak peserta Didik dan semakin sukses
hasil. Orang-orang yang berhasil disitu mereka diberikan ganjaran besar nah ternyata Charter
sxhool ini yang bisa mengangkat tarag pendidikan orang orang di daerah tersebut. Misalnya kita
juga punya sekolah rimba itu. Negara gak bisa bikin sekolah rimba. Karena itu memerlukan
passion khusus. Bagaimana kerjasama dengan masyarakat yang suka berpindah-pindah gitu. Nah
itu kan cuma swasta yang ppunya . Nah sebenernya panti2 inigak perlu dikelola oleh negara.
Negara cuma menfasilitasi aja. Kalau ada organisasi masyarakat yang memengaruhi butuh dan
mempunyai kompetensi ya negara cuma kasih subsidi aja. Makanya kekuasaan itu tidak harus
dijalankan langsung bisa memfasilitasi atau memprotekting tidak harus memprofit. Penguasa tuh
banyak fungsinya. Tapi ga harus memprofit langsung . Nisa aja cuma memfasilitasi dengan
membuat sarana atau memberikan uang atau memprotekting. Jadi negara juga ada batas
kemampuan. Makanya kita itu jauh lebih fleksibel dalam konteks itu. Kita juga membuka
peluang untuk sosial insurance dimana masyarakat juga bisa berkontribusi. Nah menurut saya
dompet dhuafa itu bisa di pelajari. Cara dia menghabiskan handle program-program. Pelayan
sosial kan jauh lebih bagus. Dan mulai bberkembang bikin rumah sakit, sekolah, menciptakan
interpeuner baru. Artinya kan uang ini bisa memberdayakan ketimbang hal ini ditangani
langsung oleh negara. Nah dalam kasus ini sebenernya negara tinggal memprotekting aja.
Memprotekting memfasilitasi lembaga lembaga seperti ini. Memprotekting dua hal. Pertama
eksistensi itu sendiri, kedua memprotekting Masyarakat yang menjadi mustahiq dengan cara
mengaudit auang itu untuk memastikan uangnya sampai ke mustahiqnya. Jangan ambil zakatnya
aja. Nah itu fasilitating. Dan memprotekting juga. Restorasi itu kan bukan hanya fungsi uang
zakat itu . Kalau uang di taburin itu sama aja kaya naburin garam di laut. Paradigma kita kan
kadang gitu. Yang penting justru memberdayakan ulang. Terus memberdayakan ulang tuh lebih
dari sekedar uang. Memanajemen faktor pembelajaran. Jadi si uang miskin ini kan perlu di ajarin
bagaimana cara mengembangbiakan lele yang baik, bagaimana cara nanenm sayuran, itu kan
lebih dari sekedar ngasih uang. Nah ini bisa terjadi jika badan Amil zakatnya ini bukan cuma
ngasih umpan, tapi juga ngasih pancing dan kail. Nah terkadang negara gak sanggup sampai
kesitu. jadi perlu ada kelompok-kelompok yang lebih spesifik.
Pertanyaan; Perlukah Negara ini membentuk lembaga khusus untuk menjalankan universal
state?
Jawaban; Ya, udah ada lembaganya. Pendidikan udah ada, pajak udah ada di direktorat
pajaknya. Pasal 33 udah ada menteri BUMN. Sudah ada SDM nya. Masalahnya kan tidak sesuai
dengan mandat konstitusi. Lembaganya sih udah ada. Tapi mereka tidak menjalankannya
konstitusi. Kesalahan nya kan di mis manajemen. Jadi misalnya bumi, air, tanah. dan segala
macem sumber daya alam di kuasai oleh negara. Mana sih operasisasi dari pasal ini? Nah itu
banyak orang yang gak paham. Bumi air dan alam dikuasai oleh negara, itu artinya sampai
kapanpun mereka tidak boleh diperjualbelikan. Akan tetapi dikuasai oleh negara. Tapi dalam
pemanfaatannya di serahkanlah ke BUMN atau BUMD. Bukan di serahkan ke freeport atau ke
new mon. Nah tapi kan BUMN dan BUMD untuk menambang kan perlu duit, perlu teknologi,
dan tidak selalu tersedia duit dan teknologi itu. Nah dalam kasus itu bolehlah kita mengundang
modal asing tapi dia hanya mendapatkan keuntungan dari usaha itu aja. Bukan menguasai
sumurnya langsung. Nah kalau kita kan orang Indonesia bisa. Menguasai sumurnya langsung.
Jadi cara kita mengoperasionalisasikan mandat kesejahteraan di pasal 33 ini tidak berjalan
semestinya. Sekarang Pertamina itu punya apa sih? Sumur aja hampir udah gak punya. Emang
alasannya selalu faktor modal, ngebor, padat modal, tapi sebenernya permasalahanya itu cuma di
pembagian hasil saja. Tapi penguasaannya ttep dikuasai oleh nenega. Sumur2 itu tidak boleh
jatuh ke tangan asing. Swasta lokal aja belum tentu boleh, apalagi asing. Sebenernya kan bisa
diatur skala2 tambang itu. Tapi yang mempunyai atauu yang menguasai hajat hidup orang
banyak itu dikuasai oleh negara. Jadi sebenarnya lembaganya udah ada. Tali mereka semua
menyalahkan mandat konstitusinya. Misalnya pasal 31 ttg pendidikan setiap warga negara
berhak atas pengajaran. Kalau begitu kan pada dasarnya pendidikan ini merupakan kewajiban
negara dong? Apalagi kemudian atas dasar itu menjalankannya program wajib belajar ini
mestinya kan setiap anak yang berada di wajib belajar, harus belajar kan? Karena wajib belajar,
negara berarti juga wajib membiayainya. Nah tapi kan tadi di dalam pelaksanaannya negara juga
mempunyai keterbatasan dan lagi pula sejarah kita juga tadi. Swasta juga ingin mengadakan
pemberdayaan pendidikan, maka daya tampung sekolah2 negeri tidak mampu menampung
seluruh minat orang untuk belajar. Nah kemudian di tampung oleh swasta. Nah tetapi karena itu
wajib belajar mestinya swasta juga dapet subsidi dari pemerintah. Negara wajib mengikuti
subsidi sekolah swasta sampai titik tertinggi wajib belajar itu dimana. Terutama swasta2 yang
garis besar ekonominya itu rendah. Kalau swasta yang emang buat masyarakat kelas. Ekonomi
tinggi sih gapapa. Cumaa itu bagi yang gak.mamoaja. Tapi kusus sekolah yang menampung
rakyat kekecil. Di tampung negara juga gak bisa karena kapasitasnya terbatas terus masuk
sekolah mahal dia gak bisa. Nah dia masuk sekolah swasta biasa. Nah sekolah swasta ini yang
diberikan subsidi oleh pemerintah. Kalau di subsidi oleh negara dia juga bisa meningkatkan
kualitas. maslah kaya gini aja kok gak bisa dipikirkan. Jadi ujungnya nih kita ada sekolah
kambing, padahal itu negara wajib kan? Kewajiban negara itu banyak. Kalau negara ga bisa
menampung semua? Oke, swasta yang akan menampung. Swasta yang akan kita kategorisasi
lagi. Ada sekolah sekolah Jersy ya okelah. Negara gausah men subsidi. Nah sekolah2 yang untuk
masyarakat biasa itu yang biarpun swasta harus di subsidi oleh negara. Karena dia malah
menolong negara itu. Dia harus di subsidi. Dana pendidikajadn itu kan paling besar. Tapi negara
malah bingung mau mengalokasalokasikanemanmalah dibikinin bos semuanya. Biaya
operasional sekolah. Jadi biarkan orang itu miskin tapi mendapatkan pelayanan pendidikan yang
bermutu. Nanti orang-orang kreativ bisa buat sekolah yang memiliki sasaran orang-orang yang
spesifik atau yang memiliki kebutuhan khusus. Sekarang saya teeus terang kelompok2 daun
sindrom orang autis atau orang apa yang negara tidak membangun sekolah-sekolah nya. Nah ini
kelompok-kelompok residu juga. Yang membutuhkan pelayanan da dari negara. Ini sekarang
saya baru ketemu sama istrinya Umar Wahab . Umar Wahabi kususma dia baru sekolah untuk
anak yang diseleksi itu susah banget. Karena dia gak dapet subsidi apa apa dari negara. Bahkan
sampai sekarang tanah itu susah banget. Padahal peminatnya banyak hampir seluruh Indonesia.
Itu harusnya dapet subsidi dari negara. Karena setiap warga negara berhak atas. Pengajaran
karena orang orang seperti ini tidak di perhatikan . Ini adalah bersifat universal. Semua harus
terima. Ya jadi itu institusi ada tapi pemahaman dasar terhadap itu tidak ada. Padahal kata setiap
itu maknanya universa. Kalau dijalanin semua sebenernya Indonesia bisa maju lah semua.
Mungkin pemahaman dasar tentang kesejahteraan sosial aja menteri banyak yang tidak faham.
Pertanyaan; Bagaimana Konsep menciptakan kesejahteraan sosial dalam negara
kesejahteraan?
Jawaban; Kesejahteraan sosial itu harus kembali ke empat fungsi negara. 1. Protekting,
fasilitating, providing, serving. Jadi negara misalnya ada dana untuk desa. Itu juga gak clear
pikirannya. Desa juga harus di kategorisasi. Ada desa yang tertinggal. Desa yang ora sejahtera,
desa yang sejahtera. Ini dana desa jangan seragam semua begitu. Sama 1 milyar. Itu kan
menggarami air laut itu. Di kategorisasi desanya. Di Indonesia itu ada 74 ribu desa. Sekitar 39rb
desanya termasuk tertinggal. Dan sebagian banyak desa tertinggal itu ada di bagian timur
Indonesia. Jadi kalau desa2 sudah mandiri, mestinya gak harus dapet dana desa. Desa2 itu kan
juga harus membentuk kemandirian. Sebenernya kalo seluruh kepala desa itu harus di gaji negara
ya berapa banyak negara ini harus menggaji orang. Menggaji pensiun. Katakanlah 74 rb desa.
Banyak banget. Mestinya yang di subsidi itu bukan gaji kepala desa. Tapi setiap desa itu
mendapatkan subsidi dana desa. Itua anggaranya akan diterima oleh desa2 yang tadi itu. Nah
dana desa itu bisa di alokasikan untuk kepala desa. Tapi sifatnya ethok aja. Tidak dapat pensiun
apa2. Jadi itu dana desa, bukan gaji kepala desa. Sifatnya itu ethok tidak permanen. Kalau dia
udah selesai menjabat kepala desa, tidak ada jaminan pensiun. Karena mereka kan sebenernya
mau membangun kemandirian desa. jadi memang ada desa2 yang harus di providing secara
keseluruhan oleh nsebenerny a juga desa yang bersifat desa adat, nah itu difungsikan tanahnya
dan adatnya karena mereka punya adat dan wilayah. kan sekarang desa adat juga diakui.
sebenernya kan juga hanya perlu difungsikan adat dan pengelolaan tanahnya. dll. kepala desa itu
bukan pegawai negara. Kepala desa itu kan sebenakaki dari permuswaratan desa. Mandiri dia.
Tidak bisa di intervensi dari politik manapun. Kalau misalnya kepala desa itu Pegawai negara,
dia bisa di atur oleh politik. Tapi kalau dia mandiri, dia tidak bisa diatur oleh partai politik.
Itulah negara kesejahteraan bagian dari welfare state. Padahal kan sekarang negara lagi
mengurangi pegawai sampai 1 jt. Tapi kalau kepala desa dijadikan kepala negeri. Gimana coba
logikanya. Gak logis. Karena di kepalanya gak clear.