Download - Konsep ketahanan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang permintaannya terus meningkat
seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup,
namun demikian dalam beberapa hal definisi atau konsep ketahanan pangan
sangat bervariasi pada banyak pihak yang berkepentingan.
Pada tahun 1987, World Commision on Environment and Development
(WCED) menyerukan perhatian pada masalah besar dan tantangan yang dihadapi
pertanian dunia, jika kebutuhan pangan saat ini dan mendatang harus terpenuhi,
dan perlunya suatu pendekatan baru untuk pengembangan pertanian, dan pada
beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia terhadap ketahanan pangan dirasakan
semakin meningkat, oleh karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang
permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk
dunia. Pangan diproduksi secara luas sehingga dunia surplus pangan, tetapi
mengapa banyak orang yang masih kelaparan (Barichello, Rick, 2000). Tulisan ini
dimaksudkan untuk mereview ketahanan pangan khususnya di Indonesia, oleh
karena masih banyaknya permasalahan ketahanan pangan dan pengertian yang
terkait dengan ketahanan pangan tersebut.
1.2. Definisi Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan umumnya merupakan capaian peningkatan ketersediaan
pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional, sasaran utamanya adalah
komoditas pangan dari produk pertanian seperti beras, jagung, kedelai, kacang
tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar strategi yang diterapkan dalam
swasembada pangan adalah subtitusi impor dengan target yang diharapakan
adalah peningkatan produksi pangan dengan sasaran petani. Sedangkan hasil
target ketersediaan pangan oleh produk domestic (tidak impor).
Kemandirian pangan merupakan kondisi dinamis karena sifatnya lebih
menekankan pada aspek perdangan atau komersialisasi: kemandirian lebih
menuntut daya saing tinggi karena produk yang dihasilkan pada skema proporsi
ekspor, sedangkan swasembada lebih tertuju pada skema subtitusi impor. Ruang
lingkup dari kemandirian pangan adalah nasional/wilayah dengan sasaran
komoditas pangan dengan strategi yang diterapkan adalah peningkatan daya saing
atau dapat dikatakan promosi ekspor. Upaya atau harapan yang ditargetkan adalah
peningkatan produksi pangan yang berdaya saing pangan sehingga hasil yang
akan didapatkan ketersediaan pangan oleh produk domestic yang didapatkan dari
hasil petani sebagai stake holder dalam negeri sedangkan impor hanya digunakan
sebagai pelengkap.
Kedaulatan pangan adalah kebebasan dan kekuasaan rakyat serta
komunitasnya untuk menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan produksi
pangan sendiri dan tindakan melawan kekuasaan perusahaan-perusahaan serta
kekuatan lainnya yang merusak system produksi pangan rakyat melalui
perdagangan, investasi, serta alat kebijakan lainnya. Tetapi dengan menggunakan
konsep kedaulatan rakyat dalam kenyataannya (sebagai contoh di Negara India),
menerapkan konsep tersebut mengakibatkan kelaparan yang bertambah buruk
sebagai indikasi tindasan terhadap hak atas pangan masih, maka selama
berlangsungnya World Food Summit tahun 1996, konsep kedaulatan pangan
diajukan menjadi bahan perdebatan public untuk mencari alternative jalan keluar
dinegara-negara yang menerapkan konsep kedaulatan pangan. Ruang lingkup dari
kedaulatan pangan tidak jauh berbeda dengan swasembada pangan dan
kemandirian pangan yaitu ruang lingkup secara nasional dengan sasaran petani
sebagai pengelola lahan produktif dapat menghasilkan pangan yang beraneka
ragam serta selain itu dengan prioritas petani maka akan dapat mengurangi alih
fungsi lahan sebagai pengahasi pangan dengan adaka kebijakan terhadap ha-hak
atas petani. Strategi yang diterapkan adalah pelarangan impor dengan target utama
peningkatan produksi pangan dengan menekankan perlindungan pada petani
sehingga menghasilkan kesejahteraan petani.
. Berdasarkan definisi dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan
memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi yaitu berorientasi pada rumah tangga dan
individu, dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses,
menekankan pada akses pangan rumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi
dan social, berorientasi pada pemenuhan gizi serta ditujukan untuk hidup sehat
dan produktif. Dalam konsep ketahanan pangan ruangnya lingkup berdeda dengan
yang lain yaitu meliputi rumah tangga dan individu. Strategi yang diterapkan
dalam konsep ketahan pangan adalah peningkatan ketersediaan pangan, akses
pangan, dan penyerapan pangan. Capaian utama dalam konsep ini meliputi
peningkatan status gizi (penurunan kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk). Hasil
yang diharapkan adalah manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi)
pada konsep ketahanan lebih mengutamakan akses setiap individu untuk
memperoleh pangan yang bergizi untuk sehat dan produktif. Aspek-aspek
ketahanan pangan terdiri dari 4 (empat) yaitu ketersediaan, akses, penyerapan
pangan dan stabilitas pangan. Sedangkan status gizi merupakan outcome dari
ketahanan pangan. Ketersediaan akses, dan penyerapan pangan merupakan aspek
yang harus terpenuhi secara utuh. Salah astu aspek tersebut tidak terpenuhi maka
satu Negara belum dapat dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang cukup
baik. Walaupun pangan tersedia cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika
akses individu untuk memenuhi pangannya tidak merata, maka ketahan pangan
masih dikatakan rapuh. Secara rinci penjelasan mengenai subsistem tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keamanan Pangan
Keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan
bahaya kepada konsumen jika disiapkan atau dimakan sesuai dengan maksud dan
penggunaannya (FAO/WHO 1997).
Sedangkan definisi keamanan pangan menurut Undang – Undang
Republik Indonesia nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan
Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan
adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ketentuan mengenai
keamanan pangan meliputi sanitasi pangan, bahan tambahan pangan, rekatasa
genetika dan iradiasi pangan, kemasan pangan, jaminan mutu dan peperiksaan
laboratprium, dan pangan tercemar. Selain hal tersebut, di dalam peraturan yang
sama juga disebutkan bahwa setiap orang dilarang mengedarkan pangan yang
mengandung bahan beracun, berbahaya, yang dapat merugikan, atau
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia.
Salah satu cara produsen untuk memenuhi ketentuan tersebut adalah
mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, termasuk persyaratan
sanitasi di setiap rantai pangan, yang meliputi proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan dan peredarannya serta penerapan cara produksi makanan yang
baik (CPMB).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Perspektif Pembangunan Ketahanan Pangan
Dalam undang-undang RI Nomor 7 tahun 1996 disebutkan bahwa ke-tahanan
pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata dan terjangkau. Pe-ngembangan ketahanan pangan mempunyai
perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena:
1. Akses terhadap pangan dengan gizi seimbang bagi segenap rakyat Indonesia
merupakan hak yang paling azasi bagi manusia.
2. Keberhasilan dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat
ditentukan oleh keberhasilan pemenuhan kecukupan dan konsumsi pangan dan
gizi.
3. Ketahanan pangan merupakan basis atau pilar utama dalam mewujudkan
ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan (Anonymous,
2001).
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas
berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi
pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan me-rupakan
sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut.
Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta
keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Ketersediaan pangan harus
dikelola sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman,
terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi
masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaannya dari
waktu ke waktu.
Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan
ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata
menyangkut aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang
membutuhkan, tetapi juga masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum
menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini
perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar
terbuka agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh
penduduk.
Subsistem konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan
kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan
kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal.
Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup
dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat,
kuat, cerdas dan produktif. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain
yaitu aspek diversifikasi. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk
memperoleh keragaman konsumsi zat gizi sekaligus mengurangi ketergantungan
masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu, yaitu beras. Ketergantungan
yang tinggi dapat memicu instabilitas apabila pasokan pangan tersebut terganggu.
Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu peningkatan cita
rasa, penampilan dan kepraktisan pengolahan pangan agar dapat bersaing dengan
produk-produk yang telah ada. Dalam kaitan ini peranan teknologi pengolahan
pangan sangat penting.
Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ketiga
subsistem tersebut (Hardinsyah, Dodik Briawan, Retnaningsih, Tin Herawati dan
Retno Wijaya, 2002). Pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan
untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan, yang berasal
dari produksi, cadangan dan impor. Pembangunan sub-sistem distribusi pangan
ber-tujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan.
Pembangunan sub-sistem konsumsi bertujuan menjamin setiap rumah tangga
mengkonsumsi pangan dalam jumlah yang cukup, bergizi dan aman. Keberhasilan
pembangunan masing-masing sub-sistem tersebut perlu didukung oleh faktor
ekonomi, teknologi dan sosial budaya.yang pada akhirnya akan berdampak pada
status gizi
3.2 Pemantapan Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan nasional masih merupakan isu strategis bagi Indonesia
mengingat kecukupan produksi, distribusi dan konsumsi pangan mempunyai
dimensi sangat luas dan terkait dengan dimensi sosial, ekonomi dan politik.
Dengan demikian diperlukan penyelarasan peningkatan produksi di satu pihak
(kepentingan makro) dan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani di
lain pihak (kepentingan mikro) dengan prinsip pembangunan dari, oleh dan untuk
masyarakat petani sebagai upaya pemberdayaan. Oleh karena itu, jika secara
konsisten ingin mensimultankan pencapaian tujuan peningkatan produksi dan
tujuan kesejahteraan khususnya untuk petani yang sebagian besar berusahatani
pangan, maka kebijakan swasembada (self sufficiency) untuk komoditi beras yang
strategis haruslah disesuaikan dan diarahkan kepada self sufficiency ratio sebagai
guide lines yaitu suatu indeks yang menunjukkan perbandingan supplai pangan
yang harus dihasilkan secara domestik terhadap jumlah keseluruhan permintaan
pangan dalam negeri. Dengan demikian terjadi keseimbangan antara kepentingan
produsen dan konsumen dengan tingkat harga produk yang layak (at reasonable
prices), sehingga memungkinkan usahatani itu memperoleh nilai tambah,
melakukan reinvestasi dan berkembang mandiri secara berkelanjutan. Sikap
seperti ini menjadi penting mengingat pemerintah akhir-akhir ini kewalahan
dalam mengamankan kebijakan harga dasar gabah/beras sehingga cenderung
sangat merugikan petani produksi. Dengan perkataan lain biarlah petani yang
melakukan keputusan-keputusan usahataninya sesuai signal pasar dimana
kepentingan petani produsen dan konsumen dalam konteks stabilitas dapat
diakomodir melalui pendekatan usahatani terpadu (mixed and integrated farming
system) yang mencerminkan the right crops in the right place principles. Upaya
tersebut perlu pula diikuti dengan kampanye pola makan (dietary pattern) untuk
mengurangi tekanan terhadap permintaan beras (Napitupulu, Tom Edward Marasi,
2000).
Pemantapan ketahanan pangan tidak terlepas dari penanganan kerawanan
pangan karena kerawanan pangan merupakan penyebab penting instabilitas
ketahanann pangan. Kerawanan pangan dapat disebabkan karena kendala yang
bersifat kronis seperti terbatasnya sumber daya dan kemampuan, maupun yang
bersifat sementara seperti tertimpa musibah atau bencana alam. Untuk mengatasi
hal ini pemerintah dan masyarakat perlu membangun suatu sistem kewaspadaan,
yang mampu mendeteksi secara dini adanya gejala kerawanan pangan di
sekitarnya serta dapat meresponnya dengan cepat dan efektif. Penanganan yang
cepat dan tepat sangat diperlukan untuk menghindarklan masyarakat tersebut dari
kerawanan yang lebih parah, dengan segala dampak yang mengikutinya.
Ketahanan pangan yang kokoh dibangun pada tingkat rumah tangga yang
bertumpu pada keragaman sumberdaya lokal. Sejalan dengan dinamika
pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan mengembangkan sumber-
sumber bahan pangan, kelembagaan pangan dan budaya pangan yang dimiliki
pada masyarakat masing-masing wilayah. Keunggulan dari pendekatan ini antara
lain adalah bahwa bahan pangan yang diproduksi secara lokal telah sesuai dengan
sumberdaya pertanian dan iklim setempat, sehingga ketersediaannya dapat
diupayakan secara berkesinambungan. Dengan kemampuan lokal tersebut maka
ketahanan pangan masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh masalah atau gejolak
pasokan pangan yang terjadi d luar wilayah atau luar negeri.
Dalam kaitan inilah, aspek pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat
menjadi sangat penting. Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan
kemandirian masyarakat sebagai perwujudan dan pengembangan kapasitas
masyarakat yang berlandaskan pada pemberdayaan sumberdaya manusia agar
dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai status dan peranannya dalam
pembangunan ketahanan pangan.
Namun demikian, setiap wilayah atau daerah mempunyai keunggulan
maupun keterbatasan dalam memproduksi bahan pangan secara efisien. Ada
daerah yang surplus dan ada daerah yang minus dalam memproduksi pangan
tertentu. Dengan banyaknya jenis pangan esensial nabati maupun hewani sebagai
sumber zat gizi makro dan mikro, tidak satupun daerah mampu memenuhi seluruh
jenis pangan yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakatnya.
Oleh karena itu interaksi antar wilayah mutlak diperlukan bagi pemenuhan
kebutuhan pangan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan daerah.
Demikian pula interaksi antar tataran daerah dengan tataran nasional, dalam suatu
jejaring yang aktif dan dinamis sangat diperlukan dalam rangka ketahanan pangan
nasional.
Pada dasarnya pemantapan ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui
pengembangan sistem dan usaha agribisnis di bidang pangan, utamanya bagi
golongan rawan pangan sementara maupun rawan pangan kronis yang masih
mempunyai potensi pengembangan aktivitas ekonominya. Agribisnis pangan
melibatkan banyak pelaku, usaha kecil seperti petani, pengolah dan pedagang
yang berbasis pada keunggulan komparatif dan kompetitif sumberdaya lokal.
Agar terwujud ketahanan yang kokoh, mulai dari tingkat rumah tangga
sampai tingkat nasional, sistem dan usaha agribisnis yang dibangun adalah yang
berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralisasi.
1. Berdaya saing, dicirikan dengan tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi
serta kemampuan untuk menerobos pasar, meningkatkan pangsa pasar dan
memberikan pelayanan profesional.
2. Berkerakyatan, dicirikan dengan berkembangnya usaha produktif yang
melibatkan masyarakat secara luas dengan peluang berusaha, kesempatan kerja
dan menikmarti nilai tambah (pendapatan).
3. Berkelanjutan, dicirikan dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas
sumber daya pangan yang semakin besar dari waktu ke waktu yang semakin
mensejahterakan masyarakat baik secara ekonomis, sosial dan lingkungan hidup.
4. Desentralistis, diartikan bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh masyarakat
pelaku sesuatu dengan kondisi wilayahnya atas dasar keunggulan komparatif dan
aspirasi masyarakat setempat (Anonymous, 2001).
3.3. Opsi Pencapaian Ketahanan Pangan
Ada dua pilihan luas untuk mencapai ketahanan pangan pada tingkat
nasional yaitu swasembada pangan atau kecukupan pangan.9 Swasembada pangan
diartikan sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, yang sejauh mungkin berasal
dari pasokan domestik dengan meminimalkan ketergantungan pada perdagangan
pangan. Di lain pihak, konsep kecukupan pangan adalah sangat berbeda dengan
konsep swasembada pangan, akibat masuknya variabel perdagangan internasional.
Dalam konsep kecukupan pangan, menuntut adanya kemampuan menjaga tingkat
produksi domestik ditambah dengan kemampuan untuk mengimpor pangan agar
dapat memenuhi kebutuhan (kecukupan) pangan penduduk. Keuntungan resiko
dari menggantungkan pada perdagangan internasional untuk menjamin ketahanan
pangan saat ini tampaknya masih menjadi topik hangat perdebatan diantara
beberapa strategi alternatif. Yang menjadi pertanyaan bersama ialah, bagaimana
posisi dimasa yang akan datang dan konsep apa yang akan dianut? Di dalam
konstelasi perdagangan bebas jelas kedua pilihan tersebut di atas harus dapat
dirumuskan secara hati-hati dan komprehensif dengan memper-timbangkan
seluruh determinan faktor produksi, pengadaan dan konsumsi pangan.
Ketahanan pangan di tingkat nasional merupakan prakondisi penting
dalam memupuk ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan
nasional selama ini dicapai melalui kebijaksanaan swasembada pangan dan
stabilitas harga. Secara umum pemerintah berupaya menjaga stabilitas pangan
(khususnya beras) yang diindikasikan dengan adanya kemampuan menjamin
harga dasar (floor price) dan harga langit-langit (ceiling price) yang ditetapkan
melalui pengadaan pangan dan operasi pasar dan terhadap tingkat harga pedagang
besar yang jauh lebih stabil lagi dari harga beras di pasaran internasional.
3.4. Strategi Pencapaian Ketahanan Pangan
Pada masa yang akan datang upaya-upaya memantapkan swasembada
beras dan pencapaian swasembada lainnya tampaknya perlu difokuskan pada
terwujudnya ketahanan pangan, diversifikasi konsumsi pangan serta terjaminnya
keamanan pangan.9 Dengan mengadaptasi pendapat dari beberapa dari pakar,
dapat dirumuskan beberapa strategi umum untuk mencapai ketahanan pangan
rumah tangga. Pertama adalah sangat perlu untuk mengadopsi strategi
pembangunan dan kebijakan ekonomi makro yang menciptakan pertumbuhan
yang berdimensi pemerataan dan berkelanjutan (sustainable development). Kedua
adalah merupakan keperluan yang mendesak untuk mempercepat pertumbuhan
sektor pertanian dan pangan serta pembangunan perdesaan dengan fokus
kepentingan golongan miskin. Dan ini berarti pertanian (pangan) harus menjadi
mainstream dalam ekonomi nasional. Ketiga, sudah saatnya harus meningkatkan
akses terhadap lahan dan sumberdaya pertanian dalam arti luas secara lebih
bijaksana, termasuk menciptakan dan meningkatkan kesempatan kerja, transfer
pendapatan, menstabilkan pasokan pangan, perbaikan perencanaan dan pemberian
bantuan pangan dalan keadaan darurat kepada masyarakat.
3.5. Aspek kebutuhan Pangan
Kebutuhan pangan di dunia semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk di dunia. dengan adanya pertumbuhan penduduk
ini akan mengkibatkan berbagai permasalahan diantaranya kerawanan pangan. Di
Indonesia sendiri, permasalah pangan tidak dapat kita hindari, walaupun kita
sering disebut sebagai negara agraris yang sebagian besar penduduknya adalah
petani. Kenyataannya masih banyak kekurangan pangan yang melanda Indonesia,
hal ini seiring dengan meningkatnya penduduk.
Bertambahnya penduduk bukan hanya menjadi satu-satunya permasalahan
yang menghambat untuk menuju ketahanan pangan nasional. Berkurangnya lahan
pertanian yang dikonversi menjadi pemukiman dan lahan industri, telah menjadi
ancaman dan tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa
yang mandiri dalam bidang pangan.
Ketahanan pangan minimal harus ada dua unsur pokok, yaitu ketersediaan
dan aksebelitas masyarakat terhadap pangan (Bustanul Arifin, 2004). Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan :
a. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang
diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan atau
pembuatan makanan dan minuman.
b. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau
metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
c. Sistem pangan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengaturan,
pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi pangan
dan peredaran pangan sampai dengan siap dikonsumsi manusia.
d. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran kimia, biologis dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia.
e. Mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan,
kandungan gizi, dan standart perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan
minuman.
f. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta turunnya yang bermanfaat
bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
g. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi atau
membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun
yang tidak.
h. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup.
3.5.1. Aspek Konsumsi
Permasalahan dari aspek konsumsi diawali dengan suatu keadaan dimana
masyarakat Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang cukup tinggi terhadap
bahan pangan beras. Berdasarkan data tingkat konsumsi masyarakat Indonesia
terhadap beras sekitar 134 kg per kapita. Walaupun kita menyadari bahwa beras
merupakan bahan pangan pokok utama masyarakat Indonesia. Keadaan ini dapat
mengancam ketahanan pangan negara kita. Jika kita melihat bahwa produksi beras
Indonesia dari tahun ke tahun yang menurun tidak diimbangi dengan tingkat
konsumsi masyarakat terhadap beras yang terus meningkat. Walaupun selama ini
keadaan ini bisa teratasi dengan mengimport beras. Namun sampai kapan negara
ini akan terus mengimport beras? Pertanyaan ini perlu kita perhatikan.
Pola konsumsi masyarakat terhadap suatu bahan pangan sangat dipengaruhi
oleh dua faktor, diantaranya : tingkat pengetahuan masyarakat tersebut terhadap
bahan pangan atau makanan yang dikonsumsi dan pendapatan masyarakat.
Tingkat pengetahuan masyarakat terhadap bahan pangan juga sangat
mempengaruhi pola konsumsi masyarakat tersebut. Apabila suatu masyarakat
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bahan pangan yang sehat, bergizi,
dan aman untuk dikonsumsi. Maka masyarakat tersebut tentunya akan lebih
seksama dalam menentukan pola konsumsi makanan mereka. Selain itu,
pendapatan masyarakat sangat berpengaruh di dalam menentukan pola konsumsi
masyarakat. Semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita per bulan suatu
masyarakat maka akan semakin tinggi pula pola pangan harapan masyarakat
tersebut.
3.5.2. Aspek Kemiskinan
Ketahanan pangan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek kemiskinan.
Kemiskinan menjadi penyebab utamanya permasalahan ketahanan pangan di
Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan tingkat pendapatan masyarakat yang dibawah
rata-rata sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka
sendiri. Tidak tercukupi pemenuhan kebutuhan masyarakat dikarenan daya beli
masyarakat yang rendah juga akan mempengaruhi tidak terpenuhinya status gizi
masyarakat. Tidak terpenuhinya status gizi masyarakat akan berdampak pada
tingkat produktivitas masyarakat Indonesia yang rendah. Status gizi yang rendah
juga berpengaruh pada tingkat kecerdasan generasi muda suatu bangsa. Oleh
karena itu daptlah kita lihat dari tahun ke tahun kemiskinan yang dikaitkan dengan
tingkat perekonomian, daya beli, dan pendapatan masyarakat yang rendah sangat
berpengaruh terhadap stabilitas ketahanan pangan di Indonesia.
Dari berbagai aspek permasalahan di atas, sebenarnya ada beberapa solusi
yang dapat dilakukan oleh bangsa kita agar memiliki ketahanan pangan yang baik.
Diantara solusi tersebut ialah diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan adalah
suatu proses pemanfaatan dan pengembangan suatu bahan pangan sehingga
penyediaannya semakin beragam. Latar belakang pengupayaan diversifikasi
pangan adalah melihat potensi negara kita yang sangat besar dalam sumber daya
hayati. Indonesia memiliki berbagai macam sumber bahan pangan hayati terutama
yang berbasis karbohidrat. Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik
bahan pangan lokal yang sangat berbeda dengan daerah lainnya. Diversifikasi
pangan juga merupakan solusi untuk mengatasi ketergantungan masyarakat
Indonesia terhadap satu jenis bahan pangan yakni beras.
Selanjutnya ialah mendukung secara nyata kegiatan peningkatan
pendapatan in situ (income generating activity in situ). Peningkatan pendapatan in
situ bertujuan meningkatan pendapatan masyarakat melalui kegiatan pertanian
berbasis sumber daya lokal. Pengertian dari in situ adalah daerah asalnya.
Sehingga kegiatan peningkatan pendapatan ini dipusatkan pada daerah asal
dengan memanfaatkan sumber daya lokal setempat. Kegiatan ini dapat mengikuti
permodelan klaster dimana dalam penerapannya memerlukan integrasi dari
berbagai pihak, diantaranya melibatkan sejumlah besar kelompok petani di
beberapa wilayah sekaligus. Kegiatan ini juga harus melibatkan integrasi proses
hulu-hilir rantai produksi makanan. Pertumbuhan dari kegiatan hulu-hilir
membutuhkan dukungan dari teknologi. Teknologi dapat meningkatkan efektifitas
dan efisiensi. Inilah tugas dari akademisi. Akademisi berperan untuk melahirkan
penelitian yang tidak hanya dapat diterapkan pada skala lab namun juga dapat
diterapkan pada skala industri. Akademisi menjembatani teknologi sehingga dapat
diterapkan pada skala industrialisasi. Hal ini meningkatkan efektifitas dan
efisiensi industrialisasi. Model kelompok industri meliputi serangkaian program,
diantaranya :
1. Pengembangan sumber daya manusia oleh partner industri
2. Persiapan penanaman modal untuk inisiasi konstruksi dan sistem
produksi
3. Pengembangan brbagai macam produk pangan yang dapat di proses secara
komersial dan dijual ke pasaran
4. Penerapan konsultasi dan pengawasan dalam penanganan komoditas dan
keamanan produk kepada para petani sehingga dapat memenuhi kualitas standart
yang diterapkan oleh industri
5. Penerapan konsultasi dan pengawasan dalam penanganan komoditas dan
keamanan produk kepada para petani sehingga dapat memenuhi kualitas standart
yang diterapkan oleh industri
6. Pengembangan dan penerapan operasi prosedur standar dari pabrik.
7. Inisiasi dan memperkuat jaringan dengan perusahaan untuk pemasaran produk
Klaster merupakan kumpulan berbagai kelompok petani, dimana satu kelompok
petani merupakan satu industri kecil yang bekerjasama untuk memproses bahan
BAB IV
PENUTUP
Istilah ketahanan pangan dalam kebijaksanaan dunia, pertama kali
digunakan pada tahun 1971 oleh PBB, tetapi Inodonesia secara formal baru
mengadopsi ketahanan pangan dalam kebijakan dan program pada tahun 1992,
yang kemudian definisi ketahanan pangan pada undang-undang pangan no:7 ada
pada tahun 1996.
Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam wewujudkan ketahanan
ekonomi, ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan
sinergi dan interaksi utama dari subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi,
dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan
apakah swasembada atau kecukupan. Dalam pencapaian swasembada perlu
difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan.
Daftar Pustaka
Anonymous, 2001. Program Kerja Pengembangan Kewaspadaan Pangan. Pusat
Kewaspadaan Pangan 2001-2004. Pusat Kewaspadaan Pangan. Badan Bimas
Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Barichello, Rick, 2000. Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia.
University of British Columbia. Berlin
Hardinsyah, Dodik Briawan, Retnaningsih, Tin Herawati dan Retno Wijaya, 2002.
Modul Ketahanan Pangan 03. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Pusat Studi
Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) Institut Pertanian Bogor dan Pusat
Pengembangan Konsumsi Pangan (PPKP) Badan Bimas Ketahanan Pangan,
Deptan.
Latief, D., Atmarita, Minarto, Abas Basuni dan Robert Tilden, 2000. Konsumsi Pangan
Tingkat Rumah Tangga Sebelum dan Selama Krisis Ekonomi. Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi.VII. Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. Jakarta.
Muhilal, Fasli Jalal dan Hardinsyah, 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan.
Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jakarta.
Napitupulu, Tom Edward Marasi, 2000. Pembangunan Pertanian dan pengembangan
Agroindustri. Wibowo, R. (Editor). Pertanian dan pangan. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.
Syarief, Hidayat, Hardinsyah dan Sumali, 1999. Membenahi Konsep Ketahanan Pangan
Indonesia. Thaha, Hardinsyah dan Ala (Editor). Pembangunan Gizi dan Pangan
Dari Perspektif Kemandirian Lokal. Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan
(PERGIZI PANGAN) Indonesia dan Center For Regional Resource Development
& Community Empowenment. Bogor.
Sukandar, Dadang., Dodik Briawan, Yayat Heryatno, Mewa Ariani dan Meilla Dwi
Andestina, 2001. Kajian Indikator Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga: di
Propinsi Jawa Tengah. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG)
Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.