Download - Konsep Dasar Bph Ok
LAPORAN KASUS INDIVIDU SISTEM PERKEMIHAN
BPH
Disusun Oleh :
Nama : I Putu Agus Indra Saputra
NIM : 1002055
Kelompok : V
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BETHESDA YAKKUM
YOGYAKARTA
2012
BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering terjadi pada berbagai masalah
saluran kemih pada pria, insidennya menunjukan peningkatan sesuai dengan umur,
terutama mereka yang berusia 60 tahun. Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan
pembesaran organ yang mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars
intraprostatik, keadaan ini menyebabkan gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi
traktus urinarius memerlukan tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting dan sering
dari timbulnya gejala dan tanda ini adalah hiperlasia prostat dan karsinoma prostat.
Radang prostat yang mengenai sebagian kecil prostat sering ditemukan secara tidak
sengaja pada jaringan prostat yang diambil dari penderita hiperlasia prostat atau
karsinoma prostat (J.C.E Underwood, 1999).
Beranekaragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang
ditimbulkannya sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan BPH, sehingga
pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan etiologinya. Terapi
yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya BPH berkepanjangan. Oleh karena itu,
mengetahui secara lebih mendalam faktor-faktor penyebab (etiologi) BPH akan sangat
membantu upaya penatalaksanaan BPH secara tepat dan terarah.
Menurut data yang penulis dapatkan dari catatan bagian rekam medik RSPAD
Gatot Soebroto Jakarta, tercatat mulai dari bulan November 2007 sampai Januari 2008
jumlah klien dengan BPH mencapai 332 dari jumlah klien yang dirawat di lantai V
perawatan bedah.
Peran perawat pada klien meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Secara promotif perawat dapat memberikan penjelasan pada klien tentang
penyakit BPH mulai dari penyebab sampai dengan komplikasi yang akan terjadi bila
tidak segera ditangani. Kemudian pada aspek preventif perawat memberikan penjelasan
bagaimana cara penyebaran penyakit BPH, misalnya cara pembesaran prostat akan
menyebabkan obstruksi uretra. Secara kuratif perawat berperan memberikan obat-obatan
sebagai tindakan kolaborasi dengan tim dokter. Aspek rehabilitatif meliputi peran
perawat dalam memperkenalkan pada anggota
Keluarga cara merawat klien dengan BPH dirumah, serta memberikan
penyuluhan tentang pentingnya cara berkemih. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka
penulis merasa tertarik untuk mengangkat dengan judul “Asuhan keperawatan pada klien
dengan Benigna Prostat Hiperlasia (BPH).
B. PENGERTIAN
1. Hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat yang jinak bervariasi berupa
hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan
adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994)
2. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
3. Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat
(secara umum pada pria tua lebih dari 50 tahun) menyebabkan derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius. (Marilyn E. Doenges. 1999)
4. Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah kondisi patologis yang paling umum pada
pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada
pria di atas usia 60 tahun. (Brunner dan Suddarth. 2001).
5. Benigna prostat hiperlasia (BPH) adalah pertumbuhan dari nodul- nodul
fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. (Sylvia A. Prince. 2005).
Dari beberapa pengertian di atas disimpulkan bahwa benigna prostat hiperlasia
adalah penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami
pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran
urin yang biasa menimbulkan gangguan pembuangan produksi urine pada pria
dewasa tua lebih dari 50 tahun.
C. ANATOMI FISIOLOGI
Kelenjar prostat terletak di bawah kandung kemih dan mengelilingi / mengitari
uretra posterior dan disebelah proximalnya berhubungan dengan buli- buli, sedangkan
bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering
disebut sebagai otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki- laki dewasa kurang lebih
sebesar buah kemiri atau jeruk nipis. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm,
dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm. Beratnya sekitar 20 gram. Prostat terdiri dari :
Jaringan Kelenjar 50 - 70 % Jaringan Stroma (penyangga)·
Kapsul/Musculer Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang banyak mengandung
enzym yang berfungsi untuk pengenceran sperma setelah mengalami koagulasi
(penggumpalan) di dalam testis yang membawa sel-sel sperma. Pada waktu orgasme
otot-otot di sekitar prostat akan bekerja memeras cairan prostat keluar melalui uretra. Sel
– sel sperma yang dibuat di dalam testis akan ikut keluar melalui uretra. Jumlah cairan
yang dihasilkan meliputi 10 – 30 % dari ejakulasi. Kelainan pada prostat yang dapat
mengganggu proses reproduksi adalah peradangan (prostatitis). Kelainan yang lain
sepeti pertumbuhan yang abnormal (tumor) baik jinak maupun ganas, tidak memegang
peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperanan pada terjadinya gangguan
aliran kencing. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki-
laki usia lanjut.
D. ETIOLOGI
Hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperlasia
prostat, Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses
penuaan.
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperlasia prostat adalah :
1. Teori dihidrotestosteron.
Ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan
estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim 5-
α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam
sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor
ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk
kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis
protein sehingga terjadi protiferasi sel.
Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan
hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah
androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui
estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan
lobus medius) hingga pada hiperestrinism, bagian inilah yang mengalami hiperplasia
2. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia
lanjut. Dengan bertambahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan
terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995).
3. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan
stroma kelenjar prostat. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah
pengaruh androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF)
dan atau fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi
transforming growth factor-. (TGF-), akan menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
4. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati.
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell hypotesis.
Stem sel akan berkembang menjadi sel aplifying. Sel aplifying akan berkembang
menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen, sehingga dengan
adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan pertumbuhan prostat
yang normal. Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada
seorang dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar
testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem
sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat
bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal
sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel
kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.
Faktor Resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :
1. Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko
BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu
dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α-reductase, yang memegang peran
penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat
2. Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot
detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua
menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses
adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan
gejala. Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan
dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron, dihidrotestosteron
dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-
alfa-reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di
jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain testosteron adalah
pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai
dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada
usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas.
3. Ras
Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk terjadi BPH
dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH paling rendah.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya
kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota
keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota keluarga yang
lain untuk dapat terkena BPH.
5. Obesitas
Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan seksual, tipe
bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk tubuh yang membesar
di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah apel. Beban di perut itulah
yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-lama organ seksual kehilangan
kelenturannya, selain itu deposit lemak berlebihan juga akan mengganggu kinerja
testis. Pada obesitas terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh
terhadap pembentukan BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap
androgen dan menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat. Pola obesitas
pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada abdomen.
6. Pola Diet
Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium berpengaruh pada
fungsi reproduksi pria. Yang paling penting adalah seng, karena defisiensi seng
berat dapat menyebabkan pengecilan testis yang selanjutnya berakibat penurunan
kadar testosteron. Selain itu, makanan tinggi lemak dan rendah serat juga
membuat penurunan kadar testosteron. Walaupun kolesterol merupakan bahan
dasar untuk sintesis zat pregnolone yang merupakan bahan baku DHEA
(dehidroepianandrosteron) yang dapat memproduksi testosteron, tetapi bila
berlebihan tentunya akan terjadi penumpukan lemak pada perut yang akan
menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis, sehingga kelebihan lemak
tersebut justru dapat menurunkan kemampuan seksual. Akibat lebih lanjut adalah
penurunan produksi testosteron, yang nantinya mengganggu prostat.
7. Aktivitas Seksual
Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk pembentukan
hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks berlebihan dan alasan
kebersihan. Saat kegiatan seksual, kelenjar prostat mengalami peningkatan
tekanan darah sebelum terjadi ejakulasi. Jika suplai darah ke prostat selalu tinggi,
akan terjadi hambatan prostat yang mengakibatkan kalenjar tersebut bengkak
permanen. Seks yang tidak bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang
mengakibatkan BPH. Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan
meningkatnya kadar hormon testosteron.
8. Kebiasaan merokok
Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan
aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan kadar
testosteron.
9. Kebiasaan minum-minuman beralkohol
Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin B6 yang
penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk kelenjar prostat.
Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan dengan organ yang lain.
Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin di dalam darah. Prolaktin
meningkatkan penukaran hormon testosteron kepada DHT.
10. Olah raga
Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih sedikit
mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Dengan aktif olahraga, kadar
dihidrotestosteron dapat diturunkan sehingga dapat memperkecil risiko gangguan
prostat. Selain itu, olahraga akan mengontrol berat badan agar otot lunak yang
melingkari prostat tetap stabil. Olahraga yang dianjurkan adalah jenis yang
berdampak ringan dan dapat memperkuat otot sekitar pinggul dan organ seksual.
11. Penyakit Diabetes Mellitus
Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dL mempunyai
risiko tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki dengan penyakit
Diabetes Mellitus mempunyai risiko dua kali terjadinya BPH dibandingkan
dengan laki-laki dengan kondisi normal.
E. KLASIFIKASI
Menurut R. Sjamsuhidayat dan wim de jong, 2002
Derajat Colok dubur Sisa volume urine
I
II
III
IV
Penonjolan prostate, batas atas mudah
diraba
Penonjolan prostate jelas, batas atas dapat
dicapai
Batas atas prostate tidak dapat diraba
Batas atas prostate tidak dapat diraba
< 50 ml
50 – 100 ml
> 100 ml
retansi urine total
F. PATOFISIOLOGI
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo
(2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan
pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah
prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis
besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan
prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan
terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.
Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi
lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung
kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli
balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakulasedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan
kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
G. PATHWAY
H. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi.
1. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan
kuat
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi
adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih (Mansjoer, 2000)
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Sering buang air kecil, nocturia, pancaran urin lemah, urin yang keluar
menetes-netes pada bagian akhir masa buang air kecil. Gejala hiperplasia prostat
biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan, obstruksi dan iritasi.
Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat
atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak
BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus
mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah
berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
Normal : Tidak ada sisa
Grade I : sisa 0-50 cc
Grade II : sisa 50-150 cc
Grade III : sisa > 150 cc
Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
3. International Prostatic Symptom Score
Pertanyaan Jawaban dan skor
Keluhan pada bulan
terakhir
Tidak
sekali<20% <50% 50% >50% Hampir selalu
a. Adakah anda merasa
buli-buli tidak kosong
setelah berkemih
0 1 2 3 4 5
b. Berapa kali anda
berkemih lagi dalam
0 1 2 3 4 5
waktu 2 menit
c. Berapa kali terjadi
arus urin berhenti
sewaktu berkemih
0 1 2 3 4 5
d. Berapa kali anda
tidak dapat menahan
untuk berkemih
0 1 2 3 4 5
e. Beraapa kali terjadi
arus lemah sewaktu
memulai kencing
0 1 2 3 4 5
f. Berapa keli terjadi
bangun tidur anda
kesulitan memulai
untuk berkemih
0 1 2 3 4 5
g. Berapa kali anda
bangun untuk
berkemih di malam
hari
0 1 2 3 4 5
Jumlah nilai :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk
2 = kurang baik 5 = buruk sekali
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien
dengan BPH adalah :
1. Pemeriksaan fisik
Dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba kelenjar
prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan
keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi).
Biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal dan untuk
penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat atau PSA).
Pada penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi
peningkatan kadar PSA, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menentukan apakah penderita juga menderita kanker prostat. Untuk mengukur
jumlah air kemih yang tersisa di dalam kandung kemih setelah penderita berkemih,
dilakukan pemasangan kateter atau penderita diminta untuk berkemih ke dalam
sebuah uroflometer (alat yang digunakan untuk mengukur laju aliran air kemih).
2. Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran
kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
c. Pencitraan
Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat
dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada
buli-buli.
Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
4. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan gambaran adanya
pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat
memberikan gambaran prostat pada bidang transversal maupun sagital pada berbagai
bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang dilakukan karena mahal biayanya.
5. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan
urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat memberi gambaran
kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas
apabila darah datang dari muara ureter atau batu radiolusen di dalam vesica.
J. PENATALAKSANAAN
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung
pada stadium-stadium dari gambaran klinis
1. Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan
konservatif, misalnya menghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin
dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan,
tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
2. Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
3. Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat
sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya
dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropubik dan perineal.
4. Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi
urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive
dengan TUR atau pembedahan terbuka. Pada penderita yang keadaan umumnya
tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan
konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan
konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi
LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat
dilakukan dengan:
1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi,
hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa
a. Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan prostat
memperlihatkan respon mengecil terhadap agonis. Komponen yang berperan
dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh
reseptor α1a. Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa
perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda (sing and symptom)
BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat diklasifikasikan berdasarkan
selektifitas reseptor dan waktu paruhnya
Obat Mekanisme dan tempat kerja Efek samping
Fenoksibenzamin Blokade alfa1, alfa2, dan
pascasinaps
Hipotensi
Prazosin, terazosin,
doksazosin,
alfuzosin
Blokade alfa1, pascasinaps Hipotensi
Tamsulosin Alfa1a, pascasinaps Hipotensi
b. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)
Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat perubahan
testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen
epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan
memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna
melihat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan
gejala-gejala
Obat Mekanisme Efek samping
Ablasi androgen
Agonis GnRH
(nafarelin, leuproid,
buserelin, goserelin)
Menghambat sekresi
LH hipofisis,
menurunkan T dan
DHT. Mengurangi
volume prostat sebesar
35%.
Penurunan libido,
impotensi.
Antiandrogen sejati
(flutamid, bikalutamid)
Inhibisi reseptor
androgen.
Nyeri tekan pada payudara,
insiden impotensi tidak
terlalu bermakna.
Inhibitor 5 alfa-
reduktase
(finasterid, dutasterid)
Menurunkan DHT,
tidak terjadi perubahan
pada T atau LH.
Mengurangi volume
prostat sebesar 20%.
Insiden impotensi dan
penurunan libido 3-4%.
Mekanisme kerja Menghambat sekresi Berkurangnya libido,
campuran
Progestin (megestrol
asenat medrogeston)
LH hipofisis,
menurunkan T dan
DHT dengan derajat
bervariasi, inhibisi
reseptor androgen.
impotensi, intoleransi panas.
c. Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan
untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa
selama beberapa tahun. Mekanisme kerja fitoterapi tidak diketahui, efektifitas
dan keamanan fitoterapi belum banyak diuji
4. Terapi Bedah
Indikasinya Pembedahan biasanya dilakukan terhadap penderita yang mengalami:
a. inkontinensia uri
b. hematuria (darah dalam air kemih)
c. retensio uri (air kemih tertahan di dalam kandung kemih)
d. infeksi saluran kemih berulang.
Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala serta
ukuran dan bentuk kelenjar prostat.
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
TURP adalah sebuah operasi yang dimaksudkan menghilangkan bagian dari
prostat yang menekan urethra. TURP adalah sebuah prosedure endoscopic
dimana dapat dilihat secara langsung bagian yang akan di resected, dilakukan
pada Benigna prostat hipertropi (BPH) atau dengan istilah lain benigna prostat
Enlargement (BPE), Pada prosedur ini dimasukan alat melalui urethra.BPH
adalah kelanjar prostat yang mengalami pembesaran sehingga pembesaran ini
dapat menyebabkan penekanan pada urethra, yang menyebabkan aliran urin dari
bladder akan terganggu. bila di biarkan akan menyebabkan penyumbatan, yang
pada akhirnya akan menybabkan hidronefrosis; resiko terjadi kegagalan ginjal
tinggi.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung
kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah
melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara
skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan
jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah,
uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
f. Terapi Invasif Minimal
Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
K. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu
melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak
diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
L. EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan
sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang
lambat dari lahir sampai pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi peningkatan
cepat dalam ukuran yang berkelanjutan sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa
ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasia.
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang
akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya
sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas
akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Dari beberapa autopsi dalam ukuran prostat dan insiden histologi hiperplasia
prostat, mereka melaporkan bahwa prostat tumbuh dengan cepat selama masa remaja
sampai ukuran dewasa dalam tiga dekade dan pertumbuhan melambat sampai laki-laki
mencapai usianya yang ke 40 dan 50 tahun, mulai memasuki pertumbuhan yang makin
lama makin besar. Mereka juga menetapkan insiden hiperplasia prostat makin meningkat
dengan meningkatnya usia dimulai dari dekade ke-3 kehidupan dan menjadi sangat besar
pada waktu usia 80-90 tahun.
Tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai korelasi antara faktor-faktor lain
selain usia dalam peningkatan kejadian BPH. Merokok juga diduga sebagai faktor yang
berhubungan dengan prostatektomi, namun ras, habitus, riwayat vasektomi, kebiasaan
seksual dan penyakit-penyakit lain serta obat-obatan belum ditemukan mempunyai
korelasi dengan peningkatan kejadian BPH.
M. PENCEGAHAN
Laki-laki 40 tahun keatas perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Menjalankan pola hidup sehat. Cara paling sederhana adalah konsumsi buah-
buahan yang mengandung antioksidan yang penting bagi prostat seperti tomat,
alpukat, dan kacang-kacangan.
2. Cukupi kebutuhan lemak essensial. Asam lemak omega-3 dan mineral seng (Zn)
dapat mengurangi gejala gangguan prostat. Makanan yang kaya akan katekin,
terutama epigalokatekin galat, selenium, sulforafan dan vitamin C mendorong
kemampuan sistem kekebalan tubuh dan menghilangkan racun pencetus kanker
(karsinogenik).
3. Sering konsumsi kubis-kubisan
4. Periksa kesehatan prostat secara rutin ke dokter untuk mengantisipasi munculnya
gangguan pada prostat.
Pilihan tanpa terapi ini untuk BPH dengan skor IPSS < 7, pasien tidak dapat terapi
apapun dan hanya diberi penjelasan seperti:
1. Jangan konsumsi kopi / alkohol setelah makan malam
2. Kurangi konsumsi makanan / mminuman yang dapat mengiritasi vesica urinari.
Seperti: kopi / cokelat
3. Kurangi makanan pedas dan asin
4. Jangan menahan kencing terlalu lama
5. Banyak mengkonsumsi vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting
dalam mencegah pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus
BPH dapat berkembang menjadi kanker prostat. Vitamin B1, B2, dan B6, yang
dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, sehingga
kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat
6. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
7. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari
8. Berolahraga secara rutin
9. Pertahankan berat badan ideal
10. Jangan sering manahan air kencing
Zat-zat gizi yang juga amat penting untuk menjaga kesehatan prostat antara lain :
1. Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah
pertumbuhan sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat
berkembang menjadi kanker prostat.
2. Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat,
lemak, dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat.
3. Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan
pengeluaran air seni dan mendukung fungsi ginjal.
4. L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan
ke susunan syaraf pusat.
5. Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.
N. PROGNOSIS
Prognosis BPH tidak selalu sama dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditanggulangi
memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Pria
dengan BPH yang tidak dapat terapi (31-55%) mengalami perburukan gejala, hanya 1-
5% yang berkembang jadi berkomplikasi.
O. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan
oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi
sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan
volume cairan.
b. Pola Persefsi / konsep diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari
tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c. Pola Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh
pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin,
aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi
berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH
yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu
adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin.
Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah,
perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap
dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi
prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan
pola makan dan makanan.
d. Pola Nutrisi Metabolik
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
e. Pola kognitif Perseftual
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul
tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f. Pola aktivitas dan Latihan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak
luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari
segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan
adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam
(pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan
juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran
perkemihannya.
g. Pola Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
2. Diaknosa Keperawatan
a. Retensi Urin berhubungan dengan Sumbatan (obstruksi anatomik)
b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan agen cedera Fisik
c. Resiko kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah
e. Defisensi pengetahuan tentang berhubungan dengan keterbatasan kognitif
3. Intervensi
a. Retensi Urin berhubungan dengan Sumbatan (obstruksi anatomik)
1) Tujuan : Setelah dilakukn tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan : tidak terjadi obstruksi
2) Kriteria hasil :
Berkemih dalam jumlah yang cukup
tidak teraba distensi kandung kemih
3) Rencana tindakan dan rasional
Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang
dapat mempengaruhi fungsi ginjal
Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan agen cedera fisik
1).Tujuan : Setelah dilakukn tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
Nyeri hilang / terkontrol.
2).Kriteria hasil
Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan
ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk
situasi individu.
Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.
3).Rencana tindakan dan rasional
Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).
R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase
urin sekitar kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung
lebih berat pada pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48
jam ).
Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang
bebas dari lekukan dan bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan
resiko distensi / spasme buli - buli.
Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan
posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta
meningkatkan penyembuhan ( pendekatan perineal ).
Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
c. Resiko kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1) Tujuan : Setelah dilakukn tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
: Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2) Kriteria hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital
stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa
lembab dan keluaran urin tepat.
3) Rencana tindakan dan rasional
Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200
ml/.
R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena
ketidakl cukupan jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.
Pantau masukan dan haluaran cairan.
R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan,
penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.
Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai
indikasi, contoh:
Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah
trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan
penggantian. Serta dapat mengindikasikan terjadinya komplikasi
misalnya penurunan faktor pembekuan darah,
d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah.
1) Tujuan : Setelah dilakukn tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
Pasien tampak rileks.
2) Kriteria hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan penurunan
rasa takut.
3) Rencana tindakan dan rasional
Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau
perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan
masalah
e. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif
1) Tujuan : Setelah dilakukn tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.
2) Kriteria hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu
berpartisipasi dalam program pengobatan.
3) Rencana tindakan dan rasional
Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.
R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat
pilihan informasi terapi.
P. Jurnal Terkait
FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERJADINYA PEMBESARAN PROSTAT JINAK
(STUDI KASUS DI RS DR. KARIADI, RSI SULTAN AGUNG,
RS ROEMANI SEMARANG) Rizki Amalia
Abstrak:
Latar Belakang : BPH merupakan penyakit yang biasa terjadi pada laki-laki usia lanjut,
ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat pada epitel prostat dan daerah transisi
jaringan fibromuscular pada daerah periurethral yang bisa menghalangi dan mengakibatkan
pengeluaran urin yang tertahan. Data prevalensi tentang BPH secara mikroskopi dan anatomi
sebesar 40% dan 90 % terjadi pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun. Di samping
efek yang penting pada kesehatan masyarakat, penyebab BPH masih sedikit mendapatkan
perhatian. Identifikasi faktor risiko BPH harus mengetahui etiologi sehingga bias menentukan
intervensi efektif atau mengarahkan strategi.
Metode Penelitian : Penelitian menggunakan metode case control study. Diagnosis penderita
BPH dilihat dari hasil USG, sedang pada kelompok kontrol juga dilakukan dengan USG tapi
tidak terjadi pembesaran Prostat. Analisis data dilakukan dengan analisis univariat, analisis
bivariat dengan chi square test dan analisis multivariat dengan metode regresi logistik
berganda. Hasil Penelitian : Hasil penelitian menunjukkan faktor risiko yang berpengaruh
terhadap BPH adalah umur _ 50 tahun (OR = 6,27 ; 95% CI : 1,71-22,99 ; p = 0,006), riwayat
keluarga (OR = 5,28 ; 95% CI : 1,78-15,69 ; p = 0,003), kurangnya makan-makanan berserat
(OR = 5,35 ; 95% CI : 1,91-14,99 ; p = 0,001) dan kebiasaan merokok (OR = 3,95 ; 95% CI :
1,35-11,56 ; p = 0,012). Sedangkan faktor-faktor risiko yang tidak berpengaruh terhadap
BPH adalah riwayat obesitas (OR = 1,784 ; 95% CI : 0,799-3,987 ; p = 0,156), kebiasaan
berolahraga (OR = 3,039 ; 95% CI : 1,363-6,775 ; p = 0,006), Riwayat penyakit Diabetes
Mellitus (OR = 5,829 ; 95% CI : 1,803-18,838 ; p = 0,001), Kebiasaan minum-minuman
beralkohol (OR = 1,973 ; 95% CI : 0,821-4,744 ; p = 0,126). Probabilitas untuk individu
untuk terkena BPH dengan semua faktor risiko diatas adalah sebesar 93,27 %.
Kesimpulan : Faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak adalah umur, riwayat
keluarga, kurangnya makan-makanan berserat dan kebiasaan merokok.
Kata Kunci : Studi Kasus Kontrol, BPH, Faktor Risiko
SATUAN ACARA PENYULUHAN
(SAP)
Tema : BPH
Sub Tema : Pencegahan Penyakit BPH
Waktu : Jumat 06 November 2012
Sasaran : Keluarga Pasien
Tempat : Di Ruang D Rumah Sakit Y
A. Tujuan instruksional umum (TIU)
Setelah mengikuti pentuluhan selama 30 menit di harapkan keluarga pasien mampu
memahami tentang pencegahan BPH .
B. Tujuan instruksional Khusus (TIK)
a. Mampu Menjelaskan pengertian BPH dengan benar
b. Mampu Menyebutkan tentang penyebab Penyakit BPH dengan benar
c. Mampu Menyebutkan tentang Tanda dan gejala Penyakit BPH dengan benar
d. Mampu menyebutkan tentang cara pencegahan penyakit BPH
e. Mampu Menjelaskan Pengobatan Penyakit BPH dengan jelas dan benar
C. Materi penyuluhan
1. Pengertian Penyakit BPH
2. Penyebab Penyakit BPH
3. Tanda dan gejala Penyakit BPH
4. Pencegahan Penyakit BPH
5. Pengobatan penyakit BPH
D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
E. Kesimpulan
NO Kegiatan Penyuluh Peserta Waktu
1 Pembukaan 1. Salam pembukaan
2. Menyampaikan tujuan
1. Menjawab salam
2. Menyimak
5 menit
2 Penyampaian
materi (ISI)
1. Menyampaikan materi BPH
2. Memberikan kesempatan
bertanya hal yang belum jelas
1. Menyimak
2. Menanyakan hal
yang belum jelas
20 menit
3 Penutup 1. Evaluasi
2. Menyimpulkan
3. Salam penutup
1. Menyimak
2. Menyimak
3. Menjawab salam
5 menit
F. Media
1. Brosur
2. lembar balik
G. Sumber / Referensi
H. Evaluasi
1. formatif
Klien mampu mengerti tentang pengertian Penyakit BPH
Klien mampu mengerti tentang penyebab Penyakit BPH
Klien mampu menjelaskan tanda dan gejala penyakit BPH
Klien mampu menjelaskankan Pencegahan penyakit BPH
Klien mampu menjelaskan pengobatan penyakit BPH
2. Sumatif
Klien mampu memahami tentang penyakit BPH
Klien mampu melakukan pencegahn terhadap penyakit BPH
Yogyakarta, 06 – 11 - 2012
Pembimbing
( Indrayanti, S Kep., Ns )
Penyuluh
( I Putu Agus Indra Saputra )
Q. DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC.
Jakarta.
2. Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta
3. Brunner dan suddarth. Buku Saku Keperawatan Medical Bedah. Jakarta : EGC;
2002
4. Carpenito Lynda Jual, Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa Monica Ester. Jakarta,
EGC : 2001
5. Samsuhidajat R, De Jong W. Buku ajar Ilmu bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.2004.
6. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.
7. Reksoprodjo S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara. 2000.
8. Mansjoer. Dkk.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta, EGC : 2000
9. Nanda diagnosis keperawatan, 2002, Alih Bahasa Mahasiswa PSIK – BFK UGM
Angkatan 2002
10. http://muhammadarisardiansyah.blogspot.com/2011/03/askep-bph.html
11. http://holisoh.wordpress.com/2010/07/31/laporan-pendahuluan-askep-bph/