KHAIRA UMMAH DALAM TAFSIR SUNNI DAN SYI‘AH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
IVA RUSTIANA
11140340000002
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2018 M
KHAIRA
v
ABSTRAK
Iva Rustiana
Khaira Ummah dalam Tafsir Sunni dan Syi‘ah
Al-Qur`ân dalam membicarakan umat terdahulu tentu sangat eksplisit
terutama umat Islam. Umat Islam disebutkan sebagai umat terbaik (khaira
ummah) sesuai dengan firman Allah Swt. dan hadis Nabi Muhammad Saw.,
bahwa pemaknaan khaira ummah merupakan sebutan yang istimewa bagi umat
Islam, umat Nabi Muhammad Saw. Namun terdapat beberapa hal dalam
penafsiran mengenai penjelasan khaira ummah dari mufasir yang memiliki latar
belakang yang berbeda, dalam hal ini penulis menyajikannya dengan tafsir Sunni
dan Syi‘ah.
Oleh karena itu, untuk memberikan penjelasan mengenai hal tersebut, maka
penulis mengangkat tema Khaira Ummah dalam Tafsir Sunni dan Syi‘ah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan riset atau
kajian pustaka. Penelitian ini pula dengan menganalisis, mendeskripsikan dan
mengkomparasikan penafsiran beberapa tafsir yang memiliki latar belakang
berbeda yaitu Sunni dan Syi‘ah. Adapun rujukan utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kitab Tafsir Sunni yang meliputi Tafsir Al-Qurṯubî, Tafsir
Ibn Katsîr dan Tafsir Al-Munîr, dan kitab Tafsir Syi‘ah yang meliputi Tafsir Al-
Mîzân dan Tafsir Al-Qummî.
Melalui pembacaan dari sumber utama penelitian, dapat diketahui
penjelasan khaira ummah dari tafsir Sunni dan Syi‘ah yang penulis gunakan,
bahwasannya kedua belah pihak baik mufasir Sunni maupun Syi‘ah menafsirkan
ayat 110 surah Âli ‘Imrân dalam kitab tafsirnya masing-masing mereka tidak
partisan, walaupun ada sebagian yang menyatakan penafsiran dari khaira ummah
dengan berbeda, mufasir Syi‘ah al-Qummî beliau menafsirkan khaira ummah
ditujukan kepada para imam terbaik. Khaira ummah secara tekstual lebih
cenderung pada golongan orang-orang sehidup dan sezaman pada masa Nabi
Muhammad Saw. Akan tetapi secara kontekstual yang digunakan adalah mereka
yang mampu mempertahankan eksistensi umat sebagai umat pilihan yang diberi
gelar khaira ummah, menjaga gelar kehormatan tersebut dengan menjalankan
kebaikan, menunaikan tugas amar ma‘rûf nahî munkar dan beriman Allah Swt.
Kata Kunci : Khaira Ummah, Tafsir Sunni, Tafsir Syi‘ah
vi
KATA PENGANTAR
لرحيمبسم هللا الرمحن ا
Alhamdulillah, puji dan syukur atas segala nikmat yang Allah Subhânahu wa
Ta‘âlâ berikan. Segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir skripsi ini yang berjudul “Khaira Ummah dalam Tafsir
Sunni dan Syi‘ah”.
Salawat serta salam semoga senantiasa selalu tercurahkan kepada junjungan
baginda besar Nabi Muhammad Sallallâh ‘Alaihi wa Sallam, keluarganya, para
sahabatnya, tabi‘ tabi‘in, dan kita sebagai umatnya semoga mendapatkan curahan
syafaatnya di hari akhir nanti.
Dalam penyusunan skripsi ini tentunya penulis banyak mendapatkan saran,
kritik, arahan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak yang akhirnya penulis
bisa menyelesaikan skripsi ini. Terutama kepada dosen pembimbing yang tak pernah
lelah memberikan ilmu, arahan, dan bimbingannya kepada penulis agar dapat
memberikan hasil penelitian yang baik. Oleh karena itu, dengan segala hormat dan
kerendahan hati perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak diantaranya sebagai berikut:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para staf pembantu dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.,
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Dr. Ahsin Sakho Muhammad Asyrofuddin, MA., selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang sudah banyak meluangkan waktunya untuk memberi
ilmu, arahan, dan masukan kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis memohon maaf jika selama masa bimbingan
skripsi telah banyak merepotkan dan melakukan kesalahan baik disengaja
vii
maupun tidak disengaja. Semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat bagi
penulis.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah membagikan ilmu dan
pengalamannya kepada penulis, semoga ilmu yang didapat menjadi bekal untuk
masa depan dan semoga seluruh Dosen mendapatkan pahala kebaikan dari
Allah Swt.
6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Pusat Studi al-Qur`an,
Perpustakaan STFI Sadra, yang telah banyak membantu dalam menyediakan
referensi-referensi kepustakaan.
7. Kedua orang tua tercinta yang tak pernah lelah memanjatkan do’a untuk
kemudahan urusan dan cita-cita anak-anaknya, jasanya tak akan pernah terbalas
sepanjang masa. Ayahanda Sa’in dan Ibunda Rukanah, terima kasih atas segala
cinta, kasih, do’a, nasehat, dukungan, semangat, dan semuanya yang telah
diberikan untuk penulis, yang benar-benar penulis rasakan keberkahannya
hingga saat ini. Semoga bapak dan mamah panjang umur, selalu dalam
kesehatan, keberkahan, dan berada dalam lindungan Allah Swt.
8. Kepada kakanda Nia Setiawati beserta suami, Budi Prasetyo, yang selalu
memberikan dukungan, arahan, dan motivasi untuk adiknya agar selalu tetap
bersyukur dan semangat dalam menjalani kehidupan serta senantiasa membantu
dalam masa pendidikan penulis.
9. Kepada keponakan tercinta, Yoga Pratama Putra yang selalu membuat rindu
menjadi kekuatan agar terus bangkit dan tetap semangat dalam menjalani
aktivitas, semoga adik menjadi anak yang Saleh.
10. Kepada Ustadz KH. Akhmad Sodiq, MA. dan Ustadz Utob Tabroni, Lc., MCL.
Selaku Pimpinan dan Pengasuh Ma’had UIN Jakarta yang tak pernah lelah
membimbing kami menuju jalan yang diridhai-Nya, serta seluruh keluarga besar
Ma’had Al-Jami’ah UIN Jakarta.
11. Kepada teman-teman jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2014, khususnya
teman-teman Tafsir Hadits A yang sama-sama berjuang menyelesaikan tugas
viii
akhir kuliah. M. Asy’war Saleh, S.Ag., Dea Fauziah, S.Ag., Khanifatur Rahma,
S.Ag., Rifqoh Qudsiah, S.Ag., M. Firdaus, S.Ag yang saling memberikan
dukungan dan bantuan dengan penulis, semoga Allah Swt. memudahkan segala
urusan semuanya.
12. Kepada teman-teman penerima Beasiswa Bidik Misi tahun 2014 yang selalu
menginspirasi dan men-support penulis yaitu Eri Kusnardi, S.Ak., Ida Nur
Jannah, S.Hum., dkk serta keluarga besar Forum Mahasiswa Bidik Misi
(FORMABI) UIN Jakarta yang senantiasa telah menjadi wadah bagi penulis
untuk berorganisasi dengan baik.
13. Keluarga besar Himpunan Qari dan Qariah Mahasiswa (HIQMA) UIN Jakarta,
yang telah berkenan menjadi wadah tempat penulis mengembangkan dan
menimba ilmu al-Qur`an dan seni-seni Islami serta ke-organisasi-an.
14. Kepada teman-teman Ikatan Alumni MAN 2 Lebak daerah Ciputat, Nida
Sriwidiyanti, S.H., Abdul Yamin, Syahrizal Dzulqarnain, Alvi Tri Putri Utami,
Suci Martina, Anantha Ivan Wijaya, dll yang selalu memberikan support
kepada penulis, semoga keberkahan selalu mengiringi kalian.
15. Kepada teman-teman KKN GEMBIRA 078 tahun 2017 yang telah memberikan
pengalaman yang luar biasa, berjuang bersama mengabdi di tempat pengabdian,
semoga keberkahan selalu mengiringi dan segala urusannya dilancarkan..
16. Kepada semua ustadz, guru, kerabat, saudara, teman, dan semua pihak yang
telah membantu dan mendoakan penulis dalam menyusun skripsi ini. Mohon
maaf tidak bisa disebutkan namanya satu persatu, penulis mengucapkan terima
kasih dan semoga kebaikan tersebut bernilai pahala di sisi Allah Swt.
Ciputat, September 2018
Iva Rustiana
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ....................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
E. Metodologi Penelitian ...................................................................... 8
F. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 9
G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12
BAB II : GAMBARAN UMUM KHAIRA UMMAH DAN RUANG
LINGKUPNYA ................................................................................... 14
A. Definisi Khaira Ummah .................................................................. 14
1. Makna dari kata Khaira ............................................................. 14
2. Makna dari kata Ummah ............................................................ 17
B. Telaah Dalil tentang Khaira Ummah .............................................. 20
1. Dalil Al-Qur`ân .......................................................................... 20
2. Dalil Hadits ................................................................................ 22
C. Karakteristik Khaira Ummah .......................................................... 24
1. Amar Ma‘rûf dan Nahî Munkar ................................................ 24
2. Beriman kepada Allah Swt. ...................................................... 26
x
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG MUFASIR DAN TAFSIR AYAT
KHAIRA UMMAH ............................................................................. 30
A. Mufasir dan Sistematika Tafsir ....................................................... 30
1. Al-Qurṯubî .................................................................................. 30
2. Ibn Katsîr .................................................................................... 31
3. Wahbah al-Zuhaili ...................................................................... 32
4. M. Husain Ṯabâṯabâ`î ................................................................. 35
5. Al-Qummî .................................................................................. 38
B. Penjelasan Umum Ayat Khaira Ummah dalam Tafsir ................... 40
1. Al-Qurṯubî dalam Tafsir al-Jami‘ Li Ahkâm al-Qur`ân ............. 40
2. Ibn Katsîr dalam Tafsir al-Qur`ân al-‘Aẕîm ............................... 42
3. Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munîr .................................. 42
4. M. Husain Ṯabâṯabâ`î dalam Tafsir al-Mîzân ............................. 43
5. Al-Qummî dalam Tafsir al-Qummî ............................................. 44
BAB IV : KLASIFIKASI KHAIRA UMMAH MENURUT MUFASIR SUNNI
DAN SYI‘AH DALAM Q.S. ÂLI ‘IMRÂN/3: 110 ......................... 45
A. Syarat-Syarat Khaira Ummah ......................................................... 45
B. Objek Khaira Ummah ..................................................................... 51
C. Dampak dari Khaira Ummah .......................................................... 57
BAB V : PENUTUP .......................................................................................... 61
A. Kesimpulan ..................................................................................... 61
B. Kritik dan Saran .............................................................................. 62
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 63
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Syarat Khaira Ummah terkait Ajakan kepada Kebaikan (amar ma‘rûf
nahî munkar) ........................................................................................ 45
Tabel 4.2 Syarat Khaira Ummah terkait Beriman kepada Allah Swt. ................ 48
Tabel 4.3 Syarat lain yang menunjukkan kepada Khaira Ummah ...................... 50
Tabel 4.4 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan Sahabat
dan orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad Saw. ......... 51
Tabel 4.5 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan orang
yang dikhususkan ................................................................................ 54
Tabel 4.6 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan orang
atau manusia secara umum .................................................................. 56
Tabel 4.7 Dampak Khaira Ummah terhadap kemuliaan umat di hadapan Allah
dan Rasul ............................................................................................. 58
Tabel 4.8 Dampak Khaira Ummah terhadap kebaikan lain ................................ 59
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Dalam skripsi, tesis, dan disertasi bidang keagamaan (baca: Islam), alih
aksara atau transliterasi, adalah keniscayaan. Oleh karena itu, untuk menjaga
konsistensi, aturan yang berkaitan dengan alih aksara ini penting diberikan.
Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara, antara
lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, serta versi Paramadina. Umumnya,
kecuali versi Paramadina, pedoman alih aksara tersebut meniscayakan
digunakannya jenis huruf (font) tertentu, seperti font Transliterasi, Times New
Roman, atau Times New Arabic.
Untuk memudahkan penerapan alih aksara dalam penulis tugas akhir,
pedoman alih aksara ini disusun dengan tidak mengikuti ketentuan salah satu versi
di atas, melainkan dengan mengkombinasikan dan memodifikasi beberapa ciri
hurufnya. Kendati demikian, alih aksara versi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini
disusun dengan logika yang sama, sesuai dengan Surat Keputusan Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta nomor 507 tahun 2017 tentang Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara lain:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts Te dan es ث
J Je ج
H H dengan garis bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
xiii
D De د
Dz De dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
(S Es dengan garis di bawah ص
(D De dengan garis di bawah ض
(T Te dengan garis di bawah ط
Z Zet dengan garis di bawah ظ
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
xiv
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah ـ
i Kasrah ـ
u Dammah ـ
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي ـ ai a dan i
و ـ au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), ynag dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dan garis di atas ـا
ـي î i dan garis di atas
û u dan garis di atas ـو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf
kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
xv
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydīd (ـ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak
ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti
kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat
contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-Jâmi‘ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain.
Jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-
Kindi.
xvi
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat dierapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic) atau cetak
tebal (bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd
al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
Dzahaba al-ustâdzu ذهب األستاد
Tsabata al-ajru ثبت األجر
Al-harakah al-‘asriyyah احلركة العصرية
هللاأشهد أن ال إله إال Asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh
Maulânâ Malik al-Sâlih موالان ملك الصاحل
yu`atstsirukum Allâh يؤثركم هللا
Al-maẕâhir al-‘aqliyyah املظاهر العقلية
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri mereka. Nama
orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab tidak perlu dialihaksarakan.
Contoh: Nurcholish Madjid, bukan Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan
Muhammad Rûm; Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam menempatkan manusia itu tidak saja dalam dimensi individu, akan
tetapi juga dalam dimensi sosial sebagai anggota sebuah masyarakat atau umat.1
Masyarakat atau umat Islam berarti para penganut daripada agama Islam itu sendiri.
Shariati berpandangan bahwa umat merupakan kumpulan manusia yang para
anggotanya memiliki tujuan yang sama, yang satu sama lain saling bahu-membahu
agar dapat bergerak menuju tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu
kepemimpinan kolektif.2 Selanjutnya al-Qarḏawi mengatakan bahwa individu
dalam suatu umat, memiliki hak dalam menjalankan akidah dan kewajiban-
kewajiban di depan komunitasnya, sebagaimana halnya masyarakat harus memiliki
ideologi atau akidah, di mana ideologi tersebut pada gilirannya berarti
merealisasikan cita-cita dan mencapai kemajuan.3
Umat Islam dituntut untuk mendirikan masyarakat yang Rabbani, Insani,
Akhlaqi dan masyarakat yang seimbang (tawâzun), sehingga mereka bisa
memperkuat agama mereka, membentuk kepribadian mereka dan bisa hidup di
bawah naungannya dengan kehidupan Islami yang sempurna. Suatu kehidupan
yang diarahkan oleh aqidah Islamiyah dan dibersihkan dengan ibadah, dituntun oleh
pemahaman yang sahîh, digerakkan oleh semangat yang menyala, terikat dengan
moralitas dan adab Islamiyah, serta diwarnai oleh nilai-nilai Islam. Lalu diatur oleh
hukum Islam dalam perekonomian, seni, politik dan seluruh segi kehidupannya.4
Umat Islam yang memiliki status sebagai penganut agama Islam, wajib
beriman kepada Allah Swt., mengerjakan kebaikan, ber-amar ma‘rûf dan nahî
munkar sesuai perintah yang tertera dalam al-Qur`ân. Akan tetapi, jika dilihat masih
banyak di kalangan masyarakat yang masih saja berbuat maksiat atau melakukan
perbuatan lainnya padahal mereka berstatus sebagai muslim. Contohnya di era
1 Yûsuf Al-Qarḏawi. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur`ân dan Sunnah (Solo: Citra
Islami Press, 1997), h. 33. 2 Ali Shariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Penerjemah: Afif
Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 52. 3 Ali Shariati, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Penerjemah: Afif
Muhammad, h. 53. 4 Yusuf Al-Qardhawi. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur`ân dan Sunnah, h. 35.
2
sekarang tidak sedikit masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak
sesuai dengan norma-norma agama, seperti kenakalan remaja yang terjadi di
kalangan para pelajar, merajalelanya kasus narkoba, sesama umat muslim bercerai
berai, rusaknya citra Islam oleh terorisme dan perbuatan tidak senonoh lainnya yang
tidak berperilaku amar ma‘rûf nahî munkar. Contoh-contoh tersebut merupakan
perilaku yang tidak menggambarkan atas umat Islam yang mana dalam al-Qur`ân
telah dijelaskan bahwa umat Islam merupakan umat yang terbaik.
Kewajiban dalam berdakwah, persatuan dan kesatuan umat Islam pada
hakikatnya merupakan lahir dari sebuah kedudukan umat Islam itu sendiri yang
merupakan sebagai sebaik-baik umat. Hal inilah yang membedakan umat Islam
dengan sementara Ahl al-Kitab yang justru mengambil sikap bertolak dengan itu.
Tanpa ketiga hal (Menyuruh kepada yang ma‘rûf, dan mencegah dari yang munkar,
dan beriman kepada Allah) yang disebutkan dalam Q.s. Âli ‘Imrân ayat 110, maka
kedudukan mereka (umat Islam) sebagai sebaik-baik umat tidak dapat mereka
pertahankan.5 Allah Swt. berfirman:
مرون ب هون عن ٱلمنكر و كنتم خي أمة أخرجت للناس ت ٱلمعروف وت ن ت ؤمنون بٱلل
م م هم ولو ءامن أهل ٱلكتب لكان خيا ل ١١٠ سقون ٱلمؤمنون وأكث رهم ٱلف ن “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110).
Ayat di atas menjelaskan bahwa jika sekelompok umat ingin disebutkan
sebagai umat yang terbaik (Khaira ummah) maka wajib baginya untuk
melaksanakan perintah yang tertera dalam ayat tersebut. Kemudian umat tersebut
akan memperoleh apa yang diinginkan sebagai Khaira ummah.
Islam merupakan agama yang bersatu dan damai, karena umat Islam
merupakan umat yang terbaik, maka perlunya untuk melakukan sesuatu tindakan
yang mencerminkan sesuai dalam al-Qur`ân, salah satunya yaitu dengan menjaga
5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah. Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`ân, I (Ciputat:
Lentera Hati, 2000), h. 172-173
3
persatuan dan kesatuan umat terutama melalui para ulama agar tidak terjadi
perselisihan dan perpecahan di dalam umat.
Umat Islam sebagai umat terbaik bukan karena faktor pandai membaca al-
Qur`ân, pergi naik Haji atau Umrah tiap tahun, atau bahkan pula bukan karena
pandai berkhotbah, akan tetapi umat Islam dikatakan umat terbaik seperti yang
dijelaskan oleh beberapa ulama, bahwa umat muslim mampu mengajak orang lain
untuk berbuat baik, mencegah perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt., mampu
melakukan dengan tangannya, kekuasaannya, jabatannya untuk menolak suatu
kemunkaran guna menegakkan tali agama Allah Swt.6
Lalu bagaimana dengan paham Sunni dan Syi‘ah yang merupakan paham
yang paling besar dan melingkup dalam masyarakat Islam, juga tak dapat
dipungkiri bahwa keduanya memiliki beberapa perbedaan yang sangat signifikan,
bahkan bertentangan satu sama lain. Pertentangan antara Sunni dengan Syi’ah tidak
hanya sebatas pada tataran siapa yang seharusnya meneruskan Nabi, namun juga
berkaitan dengan fungsi dan penerusnya.7
Berikaitan dengan Khaira ummah, dalam umat Sunni, Sahabat setiap nabi
adalah orang-orang pilihan dan generasi terbaik dari umat nabi tersebut. Sabda
Rasulullah Saw.:
ف أمة ق بل ب قال: ما من نب ملسو هيلع هللا ىلصعن عبد هللا بن مسعود أن رسول هللا ى إال عثه اللا تلف ث ه ذون بسنيه وي قتدون بمر كان له من أمته حواريون وأصحاب ي خ إن فعلون ما ال ي ؤمرون..من بعد هم خلوف ي قولن ما ال ي فعلون وي
“Tidaklah ada seorang nabi pun yang diutus kepada suatu umat sebelumku,
kecuali ia memiliki para pendamping dan sahabat setia, yang senantiasa
mengikuti ajarannya dan berpedoman dengan perintahnya. Sepeninggal
mereka, datanglah suatu generasi yang biasa mengatakan sesuatu yang tidak
mereka perbuat, serta melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan”. (HR.
Muslim)8
6 Tafaqquh Video. “Ciri Ummat Terbaik - Ustaz Abdul Somad, Lc., MA.” Klip video daring.
YouTube, 03 Oktober 2016. Web. 11 Juli 2018. 7 Ayatollah Jafar Sobhani, Doctrines of Shi’I Islam, Reza Shah. Kazemi, trans, and ed.
(London: I. B. Tauris, 2001), h. 96-119. 8 Imâm al-Hâfiẕ Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî. Sahîh Muslim.
(Riyaḏ: Dâr al-Ṯaibah, 1426 H), Kitâb al-Îmân (1), Bâb Bayân kaun al-Nahî ‘an al-Munkar min al-
Îmân, wa an al-Îmân yazîdu wa yanqusu, wa an al-Amr bi al-Ma‘rûf, wa al-Nahîi ‘an al-Munkar
wâjibâni (20), nomor hadis 80/50, h. 42.
4
Sedangkan dalam riwayat umat Syi‘ah, bahwa sahabat Nabi Saw. dijelaskan
dalam riwayat berikut, yaitu:
نب صلى الل : كان الناس أهل ردة ب عد العن سدير عن أب جعفر عليه السالم قال ن الألسود و ن الثالثة ؟ ف قال : المقداد ب م عليه وأله سنة، إال ثالثة : ف قلت : و ، وق م الرحى وأب ؤا ال : هؤالء الذين دارت عليه أب و ذر الغفاري و سلمان الفا رسي
"ها ف بايع ي مكر أن ي با يعوا حت جاؤوا بمي المؤ من “Dari Sudair, ia meriwayatkan dari Abu Ja‘far (Muhammad bin ‘Alî bin al-
Husain) a.s., “Dahulu sepeninggal Nabi Saw. seluruh manusia murtad
selama satu tahun, kecuali tiga orang. Al-Sudair pun bertanya, “Siapakah
ketiga orang tersebut?”dia menjawab, al-Miqdâd ibn al-Aswad, Abu Dzar
al-Gifâri, dan Salmân al-Fârisi, lalu beliau berkata, “Mereka itulah orang-
orang yang tetap kokoh dengan pendiriannya dan enggan untuk membaiat
(Abu Bakar Al-Siddîq) hingga didatangkan Amirul Mukminin (‘Alî ibn Abi
Ṯalib) a.s. dalam keadaan terpaksa, lalu beliaupun berbaiat.”9
Umat Syi‘ah mempropagandakan sebagai para pencinta Ahlul Bait dan
pembela mereka. Akan tetapi, faktanya mereka menghinakan Ahlul Bait, bahkan
menganggap mereka telah murtad dari Islam. Alasan bagi Imam ‘Amir bin Syurahil
al-Sya’bi10 untuk berkata tentang sekte Syi‘ah, “Kaum Yahudi dan Nasrani
memiliki satu kelebihan bila dibandingkan dengan agama Syi‘ah. Bila dikatakan
kepada kaum Yahudi, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu? Niscaya
mereka menjawab, “Tentu para Sahabat Nabi Mûsa a.s. Dan bila dikatakan kepada
kaum Nasrani, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu? Niscaya mereka
menjawab, “Tentu para Sahabat sekaligus pengikut setia Nabi ‘Isa. Akan tetapi, bila
dikatakan kepada agama Râfiḏah (Syi‘ah), “Siapa orang terjelek dari penganut
agamamu? Niscaya mereka menjawab, “Tentu para Sahabat sekaligus pengikut
setia Nabi Muhammad.”11
9 Bihâr al-Anwâr oleh al-Majlisî 22/351 dan Tafsir Nur Al-Tsaqalain, karya Abdu Ali ibn
Jum‘ah al- ‘Arusy al-Huwaizi 1/396. 10 Amir bin Syurahbil al-Humairi atau yang lebih dikenal dengan al-Sya’bi, seorang tokoh
muslimin yang lahir selang enam tahun setelah masa khalifah al-Farruq Umar ibn Khaṯṯab r.a. Lihat
kisahmuslim.com/2831-kisah-tokoh-tabiin-amir-bin-syurahbil-asy-syabi.html (diakses pada Kamis,
18 Oktober 2018 pukul 11.15 WIB) 11 https://almanhaj.or.id/3118-sunnah-dan-syiah-bersandingan-mustahil.html (diakses pada
tanggal 30 Agustus 2018, pukul 21:52 WIB)
5
Abu Zur’ah al-Râzi rahîmahu Allâh menyampaikan hasil studi dan
pengalaman beliau pada ucapannya berikut, “Bila engkau dapatkan seseorang
mencela seorang Sahabat Rasulullah Saw., maka ketahuilah bahwa ia adalah orang
zindīq (kafir yang menampakkan keislaman). Alasannya, karena kami meyakini
bahwa Rasulullah Saw. pasti benar, dan al-Qur`ân juga pasti benar. Sedangkan yang
menyampaikan al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Saw. adalah para Sahabat.
Dengan demikian, sesungguhnya orang yang mencela para saksi (perawi) kami
(yaitu para Sahabat), hendak menggugurkan al-Qur`ân dan Sunnah. Karena itu,
merekalah yang lebih layak untuk dicela.”12
Dalam Syi‘ah dan keyakinan mereka tentang pendistorsian al-Qur`ân,
dijelaskan bahwa di antara ulama Râfiḏah yang berpendapat hal tersebut yaitu
‘Alî ibn Ibrâhim al-Qummî yang berkata dalam tafsirnya (jilid I, hal 36): (Di
dalam firman Allah Swt.: “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar
dan beriman kepada Allah.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110). Abu Abdillah berkata
kepada yang membaca ayat ini, “Umat yang terbaik, lantas membunuh amîr al-
mu`minîn Hasan dan Husain bin ‘Ali ‘alaihima salam??” Lantas ada yang
bertanya, “Bagaimana sebenarnya ayat tersebut diturunkan wahai putra
Rasûlullâh?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan: (Kalian
para imam terbaik yang dilahirkan untuk manusia)”)).13
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwasannya ada beberapa yang
membedakan dari pemahaman Sunni dan Syi‘ah tentang siapa itu Khaira ummah.
Maka selanjutnya, bagaimana sebenarnya yang terjadi dalam penafsiran-penafsiran
ulama-ulama mufasir baik dari Sunni dan Syi‘ah tentang Khaira ummah.
Dari beberapa kajian pustaka yang penulis dapatkan, setidaknya penulis
menemukan ada beberapa orang yang memberikan pendapatnya dalam sebuah hasil
penelitian yaitu Harles Anwar dan Kari Sabara, juga Moh. Abdullah Thohir.
Mereka melakukan penelitian dengan mengambil data utama yaitu Khaira Ummah,
namun keduanya menyajikan penelitiannya dengan berbeda. Bagi Harles Anwar
12 Riwayat al-Khaṭīb al-Bagdādi di dalam kitab Al-Kifāyah Fī ‘Ilmi al-Riwāyah. 13 https://muslim.or.id/417-kesesatan-agama-syiah-2.html (diakses pada tanggal 30 Agustus
2018, pukul 21:52 WIB)
6
dan Kari Sabara,14 kedua penulis tersebut menyajikan karya tulis tentang Khaira
Ummah dengan implementasi dakwah dan menyimpulkan bahwa menurut para
mufasir terkait implementasi dakwah berdasarkan prinsip-prinsip Khaira Ummah
ialah dakwah Islam harus mengacu pada amar ma‘rûf nahî munkar, serta beriman
kepada Allah Swt. karena dengan hal tersebut akan mengantarkan umat Islam
menuju umat yang terbaik. Lalu tiga prinsip yang harus dimiliki oleh seseorang atau
golongan agar bisa dikatakan sebagai umat yang terbaik yaitu amar ma‘rûf nahî
munkar dan beriman kepada Allah Swt.
Sedangkan Moh. Abdullah Thohir15 menyajikan karya tulis tentang Khaira
Ummah dengan Implementasi Penafsiran dalam Tafsir Jalalain terhadap
Pembentukan Generasi Khaira Ummah di sebuah Pondok Pesantren. Penelitian ini
menjelaskan tentang penafsiran ayat Khaira ummah dalam Q.s. Âli ‘Imrân ayat 110
dalam Tafsir Jalalain yaitu sebaik-baik umat yang hidup pada zaman Nabi dahulu
maupun pada zaman sekarang, dengan kriteria yang terdapat dalam ayat tersebut.
Kemudian diimplementasikan dalam kehidupan di Pondok Pesantren melalui
penerapan kriteria Khaira ummah tersebut, yaitu amar ma‘rûf nahî munkar dan
beriman kepada Allah Swt.
Berdasarkan kajian pustaka di atas, penulis menyimpulkan bahwa keduanya
melakukan pengimplementasian dari makna Khaira ummah dengan metode yang
berbeda. Peneliti pertama dengan melakukan riset pustaka dengan implementasi
dakwah, sedangkan yang kedua dengan riset lapangan dengan implementasi
penerapan kriteria di lingkungan masyarakat. Maka, jika dilihat dari keduanya,
penulis tidak menemukan penguraian dan analisis makna Khaira ummah dari
berbagai pandangan mufasir. Untuk itu, penulis akan menyajikan pengklasifikasian
berdasarkan makna Khaira ummah dengan menguraikan pendapat daripada
mufasir-mufasir klasik maupun kontemporer dengan dua latar belakang yang
berbeda yaitu Sunni dan Syi‘ah.
14 Harles Anwar dan Kari Sabara. “Prinsip-Prinsip Khaira Ummah Berdasarkan Surah Âli
‘Imrân Ayat 110”. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palangka Raya. Jurnal Kajian Islam 4, no.
2 (2012): 191-210. 15 Moh Abdullah Thohir, 2017. “Implementasi Penafsiran Q.s. Âli ‘Imrân ayat 110 dalam
Tafsir Jalalain Terhadap Pembentukan Generasi Khaira Ummah di Pondok Pesantren an-Nur al-
Islami Kauman Jekulo Kudus”. Skripsi. STAIN Kudus.
7
Berdasarkan hal tersebut yang melatar belakangi penulis untuk mengkaji
penelitian dalam skripsi yang diberi judul: “Khaira Ummah dalam Tafsir Sunni
Syi‘ah”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi masalah terkait
penelitian ini yaitu:
1. Pengaruh faktor-faktor yang menjadikan umat Islam sebagai Khaira Ummah.
Bagaimana pandangan para mufasir mengungkapkan faktor tersebut sebagai
ciri dari umat terbaik yang dihubungkan dalam realitas dalam kehidupan
umat?
2. Makna Khaira Ummah yang tertera dalam al-Qur`ân telah banyak tokoh
mufasir yang menafsirkannya, termasuk mufasir yang berbeda latar belakang
(Sunni dan Syi’ah). Bagaimanakah pandangan dari mufasir yang berlatar
belakang berbeda terkait pengklasifikasian makna Khaira Ummah?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penulis
melakukan penelitian skripsi ini dengan membatasi pada hal yaitu bagaimanakah
pandangan mufasir yang memiliki latar belakang keislaman berbeda dengan
menguraikan hal-hal yang menjadi pengklasifikasian yang terjadi berdasarkan
makna Khaira ummah.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis menyusun rumusan
masalahnya sebagai berikut: Bagaimana para mufasir Sunni dan Syi‘ah
menafsirkan dan menjelaskan pandangannya tentang pengklasifikasian makna
Khaira Ummah dalam kitab-kitab tafsirnya ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperkenalkan kitab tafsir Sunni dan Syi‘ah yang turut memberikan
kontribusi besar bagi perkembangan umat Islam.
2. Mendeskripsikan pandangan ulama Sunni dan Syi‘ah mengenai Khaira
Ummah dalam tafsir al-Qur`ân.
8
Adapun signifikansi penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan praktisnya:
1. Dalam aspek teoritis
a. Melengkapi penelitian yang ditulis oleh Harles Anwar dan Kari Sabara,
juga Moh. Abdullah Thohir tentang Khaira ummah.
b. Memberikan wawasan mengenai Khaira ummah dalam al-Qur`ân dan
Tafsir.
c. Memberikan wawasan informasi tentang kontribusi dari kitab tafsir ulama
Sunni dan Syi‘ah.
2. Dalam aspek praktis
a. Karya ilmiah ini akan berguna bagi mahasiswa yang hendak menambah
keilmuannya dan menjadi referensi dalam memberikan proses belajar-
mengajar, terutama dalam mata kuliah Metode Tafsir dan Membahas
Kitab Tafsir. Penelitian ini dapat memberikan penjelasan mengenai
kontekstualisasi makna Khaira ummah.
b. Sebagai karya ilmiah, tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan di bidang pendidikan al-Qur`ân dan Tafsir khususnya yang
berkaitan dengan makna umat terbaik dan diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-sehari.
E. Metodologi Penelitian
Metode yang penulis gunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu dengan
menggunakan model penelitian kualitatif dengan cara mengadakan penelusuran
terhadap beberapa karya besar mufasir Sunni dan Syi‘ah. Dalam hal ini penulis
menyajikan tiga karya tafsir Sunni dan dua karya tafsir Syi‘ah yang mana di
antaranya merupakan mufasir klasik dan kontemporer, serta karya-karya ilmiah
yang terkait dengan pembahasan Khaira Ummah tersebut. Dengan kata lain, jenis
penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library Research), karena data yang
diperoleh berdasarkan hasil riset pustaka.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode tafsir muqaran
(perbandingan), membandingkan berbagi pendapat para mufasir dalam
menafsirkan ayat al-Qur`ân. Penulis mengambil tiga kitab tafsir Sunni dan dua kitab
tafsir Syi‘ah sebagai perbandingan rujukan primer (primary resources). Rujukan
sekunder (secondary resources) adalah tulisan atau karya-karya mufasir yang
9
terkait dengan pembahasan di atas serta buku-buku ilmiah, jurnal, artikel, skripsi,
tesis, disertasi, dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini dan dianggap
penting untuk dikutip dan dijadikan informasi tambahan.
Kemudian metode pengumpulan datanya yaitu dengan mengeksplor semua
materi terkait dengan topik yang dibahas, baik itu berasal dari buku-buku, kitab,
kajian terdahulu (Skripsi, Tesis, Disertasi, Jurnal dan Artikel), rekaman, film
dokumenter dan sebagainya.
F. Tinjauan Pustaka
Penulis melakukan kajian pustaka dengan membagi sumber kedalam dua
bagian yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Dalam sumber primer, penulis
mengambil rujukan langsung terhadap al-Qur`ân dan kitab-kitab tafsir seperti kitab
tafsir yang penulis gunakan yaitu kitab tafsir al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur`ân karya
Al-Qurṯubî, kitab tafsir Ibn Katsîr, kitab tafsir al-Munîr karya Wahbah al-Zuhaili,
kitab tafsir al-Mîzân karya M. Husain ṮabâṮabâ’î dan kitab tafsir al-Qummî karya
Ibrâhîm al-Qummî.
Kemudian dalam sumber sekunder, penulis mengambil rujukan yang diambil
dari kitab-kitab tafsir lainnya sebagai pengetahuan tambahan, buku-buku, skripsi,
tesis, disertasi, maupun karya tulis ilmiah lainnya yang memiliki kaitannya dengan
penelitian yang penulis sajikan.
Penelitian yang terkait dengan yang disajikan oleh penulis sendiri, setidaknya
ada beberapa yang memiliki hubungan dengan ini, di antaranya yaitu:
Skripsi karya Tomi Sutrisno, dengan judul “Konsep Umatan Wahidatan
Perspektif al-Qur`ân dan Dampaknya di Indonesia: Studi Perbandingan Penafsiran
Sayyid Quṯb dan M. Quraish Shihab”. Penelitian ini membandingkan pendapat
antara penafsiran dari Sayyid Quṯb dan Quraish Shihab melalui ayat-ayat Umatan
Wahidatan. Dalam penafsiran Sayyid Quṯb, penulis ini berkesimpulan bahwa
manusia yang dahulunya mempunyai satu ajaran, kemudian mereka berselisih
karena mengalami berbeda pandangan dalam memahami ajaran tersebut. Sayyid
Quṯb mempunyai keinginan untuk menciptakan sebuah aturan Islam dalam satu
wilayah. Sedangkan Quraish Shihab tentang ayat-ayat Umatan Wahidatan yaitu
umat yang satu dalam ajaran kemudian terjadi perselisihan yang mengakibatkan
umat manusia terpecah belah. Dampak kedua penafsiran tersebut terhadap bangsa
10
Indonesia yaitu Indonesia sendiri mempunyai semboyan yang berfungsi sebagai
penyatu warga negaranya.16
Skripsi Dede Asmudin yang berjudul “Konsep Umatan Wasaṯan dalam al-
Qur`ân Kajian surat Al-Baqarah ayat 143 menurut Sayyid Quṯb”, menjelaskan
bahwa umatan wasaṯan merupakan amanah bagi umat Islam yang mampu menjadi
umat pilihan, adil, pertengahan, dan seimbang dalam segala hal. Karena umat Islam
akan menjadi saksi atas seluruh umat manusia.17 Karya tulis ini hanya terbatas pada
ayat 143 surah al-Baqarah yang membahas mengenai umatan wasaṯan atau umat
pertengahan yang merupakan bagian dari konsep umat terbaik. Penelitian ini pun
dilakukan dengan mengkaji satu orang mufasir yang menafsirkan tentang umat
pertengahan itu sendiri.
Skripsi karya Herman, dengan judul “Konsep Masyarakat Islami Sayyid Quṯb
dalam Tafsîr fî Ẕilâl al-Qur’ân”. Dalam penelitian ini penulis menyebutkan bahwa
masyarakat Islami adalah masyarakat yang memberlakukan Islam, baik akidah
maupun ibadahnya sesuai dengan syariat, aturan, akhlak dan tingkah lakunya.
Masyarakat jenis ini berdiri di atas landasan prinsip-prinsip yaitu fiṯrah, kesatuan
umat manusia, kemuliaan umat manusia, dan pertanggungjawaban. Sayyid Quṯb
merangkai pemikirannya tentang masyarakat Islami lewat landasan yang tersusun
rapi dan jelas.18
Skripsi Akhmad Fajarus Shadiq, dengan judul “Konsep Ummah dalam al-
Qur`ân (Sebuah Analisis Semantik Toshihiko Izutsu)”. Penelitian ini menyebutkan
bahwa term ummah menggambarkan bagaimana pandangan Islam terhadap konsep
kewargaan dalam suatu negara. Ia mengkaji term ummah dengan menggunakan
pendekatan semantik Toshihiko Izutsu, dan menghasilkan bahwa makna dasar dari
kata ummah ialah menuju atau menumpu. Kemudian terbentuk suatu himpunan
yang memiliki arah dan tujuan. Pemahaman terhadap konsep ummah memiliki
16 Tomi Sutrisno. 2013. “Konsep Umatan Wahidatan Perspektif al-Qur`ân dan Dampaknya
di Indonesia: Studi Perbandingan Penafsiran Sayyid Quthb Dan M. Quraish Shihab”. Skripsi. UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 17 Dede Asmudin. 2012. “Konsep Umatan Wasaṯan dalam al-Qur`ân Kajian surat Al-Baqarah
ayat 143 menurut Sayyid Quṯb”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 18 Herman. 2012. “Konsep Masyarakat Islami Sayyid Quṯb dalam Tafsir fî Ẕilâl al-Qur’ân”.
Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11
makna yang statis dan mengalami perkembangan dilihat jika dari aspek sinkronik
dan diakronik.19
Jurnal yang berjudul “Konsep Ummah (Sebuah Upaya Melerai Miskonsepsi
Negara-Bangsa” yang ditulis oleh Zayad Abd. Rahman, bahwa al-Qur`ân
menggunakan istilah ummah dalam bentuk tunggal untuk berbagai makna. Ummah
memiliki lebih dari satu makna. Makna umat tidak hanya terbatas bagi umat
manusia. Lebih dari itu terma ummah juga digunakan untuk menyebut suatu
kelompok tertentu seperti agama, waktu atau tempat. Terma ummah dan negara-
bangsa (nation-state) secara artifisial bertentangan satu dengan yang lain. Ummah
lebih dipahami sebagai entitas agamawi yang terbebas oleh koloni spasial
nasionalisme dan teritorialisme.20
Skripsi yang ditulis oleh Budy Prestiawan,21 Al-Qurṯubî meriwayatkan bahwa
al-Nuhas mengatakan “di antara hujjah yang sah sanadnya, diceritakan kepada kami
oleh Muhammad bin Rayyan, dia berkata “al-Laits menceritakan kepada kami dari
Nafi‘, bahwa Abdullah bin Umar jika ditanya tentang seorang laki-laki yang akan
menikahi wanita nashrani atau Yahudi, maka dia menjawab, Allah telah
mengharamkan wanita musyrik kepada orang-orang yang beriman, sementara aku
tidak mengetahui suatu kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang
mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa, atau salah satu dari hamba-hamba Allah
Swt. Al-Jasas dan al-Qurṯubî telah mengharamkan untuk menikahi wanita-wanita
musyrik, karena ajakan mereka ke dalam neraka menjadi alasan tegas
diharamkannya menikah dengan mereka. Hal ini karena mereka (orang musyrik)
dan kita (muslim) berada pada keyakinan yang berseberangan, dan seandainya
terjadi perkawinan maka anak-anaknya kelak akan tumbuh dalam kondisi
pertengkaran yang terjadi dalam keluarganya dan hal ini pula akan mempengaruhi
akhlak mereka yang setiap harinya selalu berada dalam kondisi pertengkaran.
19 Akhmad Fajarus Shadiq. 2016. “Konsep Ummah dalam al-Qur`ân: Sebuah Analisis
Semantik Toshihiko Izutsu”. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 20 Zayad Abd. Rahman. 2015. “Konsep Ummah: Sebuah Upaya Melerai Miskonsepsi
Negara-Bangsa”. Religi: Jurnal Studi Islam 6, no.1 (2015): 1-18. Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Kediri. 21 Budy Prestiawan. 2014. “Menikahi Orang Musyrik Perspektif Al-Jashash dan al-Qurthubi:
Analisa terhadap surah al-Baqarah/2: 221 dalam Tafsir Ahkam al-Qur’an dan Al-Jami’ Li Ahkam
Al-Qur’an”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12
Skripsi yang ditulis oleh Putri Ajeng Fatimah,22 menjelaskan bahwa
berdasarkan analisis dari kedua ayat di atas, perbedaan makna kalalah di antara para
ulama ataupun mufassir-mufassir dengan Wahbah al-Zuhaili, yakni mendefinisikan
seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak dan orang tua, seseorang yang
meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah ataupun seseorang yang meninggal
tanpa meninggalkan anak saja. Adapun mengenai pembagian-pembagiannya
terhadap orang yang menerima waris, pendapat wahah al-Zuhaili memiliki
persamaan dengan mufassir lainnya. Hanya saja terdapat penambahan dalam setiap
pembagiannya.
Skripsi yang ditulis oleh Pipin Tohidin,23 membandingkan pendapat dua
tokoh mufasir, bahwa menurut Imam al-Syaukani, mut’ah pernah dihalalkan oleh
Nabi Saw. dan kemudian dinasakh oleh beliau dengan hadis-hadis shahih.
Sedangkan Ṯabâṯabâ’î mengatakan mut’ah tidak dinasakh dan berlaku sampai pada
hari kiamat berdasarkan Q.s. al-Nisâ`/4: 24 yang ditafsirkan oleh Ibn Abbas, Ibn
Mas’ud, dan Ubay ibn Ka’ab.
Dari beberapa kajian pustaka yang telah dibahas di atas, penulis belum
menemukan mengenai konteks kajian umat terbaik dalam al-Qur`ân serta
pandangan hal tersebut dari mufasir yang memiliki latar belakang keislaman yang
berbeda. Kemudian penulis mengembangkan pemikiran dari tokoh mufasir Al-
Qurṯubî yang beraliran Ahl Sunnah dan dikomparasikan dengan ṮabâṮabâ’î yang
beraliran syiah, yang mana keduanya memiliki pandangan berdasarkan latar
belakangnya.
G. Sistematika Penulisan
Teknik penulisan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode
penulisan yang biasa digunakan pada buku Panduan Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, Disertasi) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
pedoman transliterasi yang berdasarkan pada Surat Keputusan Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta nomor 507 Tahun 2017, panduan penulisan catatan kaki dan
22 Putri Ajeng Fatimah. 2011. “Waris Kalâlah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili: Tafsir
Q.s. Al-Nisâ/4: 12 dan 176”. Skripsi. UIN Syarif Hidatullah Jakarta. 23 Pipin Tohidin. 2010. “Nikah Mut’ah dalam Pandangan Al-Syaukani dan Ṯabâṯabâ’î: Studi
Komparatif atas Penafsiran Imam al-Syaukani dan Imam Ṯabâṯabâ’î terhadap surah al-Nisa/4: 24”.
Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
13
daftar pustaka (Turabian Style Citations/ Notes-Bibliography Style) dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
Adapun sistematika penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima bab dengan
perincian sebagai berikut:
BAB I berisi pendahuluan tentang pandangan umum dari penelitian ini yang
meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan dan batasan
masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II berisi tentang kerangka teori dari gambaran umum mengenai Khaira
Ummah dan ruang lingkupnya: Definisi dari kata Khaira Ummah, telaah dalil
tentang Khaira Ummah baik dari al-Qur`ân maupun hadits, dan karakteristik
Khaira Ummah.
BAB III berisi tentang tinjauan umum mufasir dan tafsir yang meliputi dua
subbab, pertama yaitu biografi mufasir dan sistematika tafsir yang meliputi lima
tokoh mufasir beserta penjelasan karya kitab tafsirnya. Kedua yaitu penjelasan ayat
Khaira Ummah dari masing-masing tafsir yang digunakan.
BAB IV berisi mengenai pembahasan hasil dari tinjauan analisis penelitian
mengenai klasifikasi makna Khaira Ummah menurut para mufasir dalam tafsiran
Q.S. Âli ‘Imrân/3: 110.
BAB V penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan penelitian yang dibuat oleh
penulis dan saran-saran atas penelitian.
Daftar Pustaka meliputi rujukan atau referensi yang dicantumkan dalam
penulisan karya ilmiah ini, baik itu yang berasal dari buku-buku pustaka, jurnal,
internet/web, maupun karya ilmiah yang lainnya.
14
BAB II
GAMBARAN UMUM KHAIRA UMMAH DAN RUANG LINGKUPNYA
A. Definisi Khaira Ummah
1. Makna dari Kata Khaira
Kata khair secara harfiah diterjemahkan dengan kebajikan. Dalam berbagai
ayat al-Qur`ân dan hadits, khair bisa berarti kekayaan atau juga kemakmuran.
Dalam Q.s. Al-Baqarah/2: 269, khair itu adalah hikmah atau ilmu pengetahuan.1
Dalam kamus mufradat al-Fâdz al-Qur`ân, kata khair (baik atau kebaikan)
diartikan sebagai sesuatu yang disukai atau disenangi dalam semua hal, seperti akal,
adil, keutamaan, sesuatu yang bermanfaat, dan lawannya adalah al-Syarru
(keburukan). Dikatakan bahwa kata khair memiliki dua macam: pertama, khair
mutlaq (kebaikan mutlak), yaitu kebaikan yang disenangi dalam setiap keadaan
oleh semua orang, seperti surga yang digambarkan oleh Rasulullah Saw.:2
.ة ان االااه اداعاب اار راشاباار ااشالا,اوار االن ااه اداعاب اايراباايااخالا“Tidak ada kebaikan dengan kebaikan yang akan membawa kepada neraka,
dan tidak ada kejahatan dengan keburukan yang akhirnya surga.”
Kedua, khair muqayyad (kebaikan yang terikat), yaitu suatu kebaikan bagi
seseorang, sementara menurut yang lainnya adalah keburukan.3
Kata Khair merupakan term yang lebih komprehensif dalam mengungkapkan
kualifikasi positif tentang perbuatan ataupun lainnya. Dalam al-Qur`ân, kata khair
yang berakar dari huruf-huruf kha-ya-ra disebutkan sebanyak 153 kali dengan
berbagai bentuk dan redaksinya, ditambah enam kali kata lainnya yang berarti
‘memilih’. Arti dasar dari kata khair adalah al-‘aṯfu wal mail4 (cenderung pada
sesuatu). Kata khair diartikan sebagai kebajikan (good) yang antonimnya adalah al-
1 M. Dawam Rahardjo. Ensiklopedi al-Qur`ân Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 121. 2 Al-Râghib al-Asfahâni. Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân (Beirut: al-Dâr al-Syâmiyyah, 2009),
h. 300. 3 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 300. 4 Abû al-Hasan Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ. Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, II (Kairo:
Musṯafâ al-Bâbi al-Halabi wa Awlâduh, 1972), h. 232.
15
syarr (kejahatan, evil) karena setiap orang cenderung pada kebaikan sehingga orang
itu memilihnya.5
Term yang hampir sama dengan khair adalah kata ma‘rûf yang dalam al-
Qur`ân terdapat pada 39 tempat dan dua kali disebut dengan kata al-‘urf (ini tidak
termasuk kata kerja yang berakar dari kata yang terbentuk dari ‘ain-râ`-fâ). Ada
dua arti dasar kata tersebut, yakni tatâbu‘ al-syay`i muttasilan ba‘ḏuhu bi ba‘ḏ dan
sukûn wa al-ṯuma`nînah.6 Maksud dari yang pertama adalah sesuatu yang berangkai
dan teratur antara satu dengan lainnya.7
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata khair (baik atau kebaikan)
memiliki arti elok, patut, teratur (apik, rapi, tidak ada celanya, dan sebagainya).8
Diartikan pula dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan bahwa kata “baik”
merupakan suatu sifat dari sesuatu yang bisa menyempurnakan eksisten dan
menjadi obyek minat, nilai, keinginan atau kehendak rasional.9
Di samping itu, bahwasannya al-Qur`ân juga menyebutkan beberapa istilah
yang menunjuk kepada arti kebaikan. Istilah-istilah tersebut antara lain:10
a. Ma‘rûf
Kata ma‘rûf cukup banyak disebut dalam al-Qur`ân. Misalnya, dalam
surah al-Baqarah disebut 15 kali. Dalam setiap kali penyebutan, maknanya diberi
konteks tertentu. Jika hanya melihat terjemahan harfiyahnya saja, maka
maknanya menjadi terlalu umum atau abstrak.11
b. Ihsân
Kata Ihsân terambil dari akar kata husn yang menurut al-Râghib al-
Asfahâni bermakna dasar segala sesuatu yang menggembirakan dan disenangi.
5 Lihat Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan
(Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 80. 6 Abû al-Hasan Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu‘jam Maqâyis al-Lughah, IV, h. 232. 7 Lihat Munzir Hitami, Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan, h.
80-81. 8 Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2008), cet. I, ed. 4, h. 118. 9 Save M. Dagun. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1997), h. 91. 10 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân
(Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006), h. 175-176. 11 Lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi al-Qur`ân Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci, h. 121. Lihat pula Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal
dalam Al-Qur`ân, h. 165-175.
16
Kebaikan atau kebajikan lawannya adalah sayyiah yang sering diartikan sebagai
keburukan. Kebaikan ini terdiri dari tiga macam, yaitu baik menurut akal, baik
menurut hawa nafsu, dan baik menurut panca indera. Sedangkan kata ihsân
secara bahasa kemudian digunakan untuk dua hal, yaitu memberi nikmat kepada
pihak lain, dan perbuatan baik.12
c. Birr
Kata birr secara bahsa bermakna dasar “keluasan dalam kebajikan”.13 Kata
yang tediri dari huruf-huruf ba` dan ra` ganda mengandung empat makna dasar
yaitu pertama kebenaran, dari sini lahir makna ketaatan, karena yang taat
membenarkan yang memerintahnya dengan tingkah laku; menepati janji karena
yang menepati janjinya membenarkan ucapannya; juga makna kejujuran dan
cinta. Kedua, daratan sebagai lawan dari lautan (bahr), dari sini lahir kata
bariyah yang berarti padang pasir, luas dan masyarakat manusia, karena daratan
atau padang pasir sedemikian luas, dan karena masyarakat manusia pada
umumnya hidup di daratan. Ketiga, jenis tumbuhan dan keempat, meniru suara;
seseorang yang suaranta keras dan banyak bicara tanpa dipahami dinamai
barbarah dari sini lahir istilah barbar.14
d. Ṯayyib
Makna dasar kata ṯayyib adalah segala sesuatu yang dirasakan enak oleh
panca indera maupun jiwa material maupun immaterial.15 Ṯayyib dapat juga
dipahami dalam arti bebasnya sesuatu dari segala yang mengeruhkannya, ṯayyib
sebagai lawan dari kata khabîts.16
e. Sâlih
Kata sâlih yang kadang juga diartikan dengan “baik” terambil dari akar
kata saluha yang dalam beberapa kamus bahasa al-Qur`ân dijelaskan maknanya
sebagai antonim dari kata fâsid, yang berarti “rusak”.17 Sehingga kata salih juga
12 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 235-236. Lihat pula Ali Nurdin.
Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h. 183-187. 13 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 114. 14 Ibnu Fâris, Mu‘jam al-Maqâyîs Fî al-Lughah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), h. 107. 15 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 527. 16 Ibnu Fâris, Mu‘jam al-Maqâyîs Fî al-Lughah, h. 629. 17 Ibnu Fâris, Mu‘jam al-Maqâyîs Fî al-Lughah, h. 574; Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-
Fâdz al-Qur`ân, h. 284.
17
diartikan sebagai “bermanfaat dan sesuai”. Dari sinilah amal sâlih dapat
diartikan sebagai aktivitas yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan
terhenti atau menjadi tiada; atau dapat juga diartikan sebagai suatu aktivitas yang
dengan melakukannya diperoleh manfaat dan kesesuaian.18
2. Makna dari Kata Ummah
Dalam al-Qur`ân, istilah ummah mengandung sejumlah arti, umpamanya
bangsa (nation), masyarakat atau kelompok masyarakat (community), agama
(religion) atau kelompok keagamaan (religious community), waktu (time) atau
jangka waktu (term), juga pemimpin atau sinonim dengan imam.19
Kosa kata ummah muncul dalam al-Qur`ân tidak kurang dari 62 kali, baik
dalam bentuk mufrad maupun jamak, dan terletak pada ayat-ayat yang turun di
Mekah juga Madinah. Hanya saja pada ayat-ayat Madaniah-lah term ini merujuk
pada entitas keagamaan dan politik kaum Muslim.20
Ummah (dalam Bahasa Arab latin) yang merupakan kata berbentuk tunggal
dan umam adalah bentuk jamaknya. Menurut M. Quraish Shihab, kata ummah
terambil dari kata ي ؤ م اا–ام ا yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari
akar kata yang sama, lahir antara lain kata ا م ا yang berarti “ibu” dan امام ا yang
maknanya “pemimpin”;21 karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan,
dan harapan anggota masyarakat.22 Ibn Mandzur mengungkapkan makna leksikal
(berkaitan dengan kata) umat dengan tiga cakupan arti, yaitu (1) suatu golongan
18 Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur`ân al-Karîm (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 480. 19 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur`ân: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, h. 482-483. 20 M. Amin Nurdin, Eva Nugraha, dan Dadi Darmadi, Sosiologi Al-Qur`ân: Agama dan
Masyarakat dalam Islam (Ciputat: UIN Jakarta Pres, 2015), h. 17. 21 Dalam pandangan H.A.R. Gibb dan J.H. Kramers, kata umat dalam Qur’an yang berarti
“manusia” dan “masyarakat” ini, sebenarnya tidak berasal dari bahasa Arab dengan akar kata umm,
namun ia merupakan kata pinjaman dari bahasa Ibrani “umma” dan bahasa ‘Aram “umtha”. Oleh
karena itu, ia tidak memiliki kaitan langsung dengan homonimnya sebagaimana ditemukan dalam
al-Qur`ân, yang berarti “penggal waktu” (Q.S. Hud/11:8) dan “tingkah laku” (Q.S al-
Zukhruf/43:22). Pada sisi lain, kedua orientalis tersebut sepakat dengan terma ummah yang
bermakna “imam”. Hal ini didasarkan pada satu pengecualian dimana al-Qur`ân menggunakan
terma tersebut yang menunjuk satu individu, yaitu Nabi Ibrahim (lihat Q.S. al-Nahl/16: 120). 22 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`ân: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 1996), 325.
18
manusia (jama’ah), (2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada seorang
Nabi, dan (3) setiap generasi manusia sebagai satu umat.23
Kata “umat” kembali pada maknanya عةاالم yaitu jamaah yang saling topang
menopang dan tolong menolong. Menurut pendapat Imâm al-Râghib al-Asfahâni,
umat Nabi Muhammad Saw. merupakan jamaah yang bermaksud membenarkan
beliau, bersepakat dalam inti ajaran agamanya. Asal katanya dapat diambil dari
yaitu perkumpulan (umat, karena memenuhi keutuhan jamaah). Kemudian المع
kata “imam” merupakan pemimpin, terhadap perkumpulan kaumnya. Kata “ibu”
untuk mengumpulkan urusan anaknya. Salah satu bentuk kata “umat” yang terdapat
dalam al-Qur`ân yaitu dikatakan sesuai dengan firman Allah اك ن ت ماخياأ م ةراأ خرجتا .(Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia) للن اسا
Maksudnya adalah bahwa hal tersebut merupakan dikhususkan terhadap umat Nabi
Muhammad Saw. dan umat itu pula telah dijadikan sebagai umat pertengahan yang
adil.24
Selain itu, Imâm al-Râghib al-Asfahâni dalam “Mufradât al-Qur`ân”
mengemukakan pula makna generik umat sebagai setiap jamaah atau perkumpulan
manusia yang dipersatukan oleh urusan tertentu; apakah faktor pemersatu itu
berupa agama yang sama serta apakah urusan yang mempersatukan mereka itu
mengandung unsur paksaan atau bersifat pilihan semata.25
Kemudian ‘Alî Sharî’atî berpendapat bahwa, umat berasal dari kata ام ا yang
artinya “bermaksud” )قصدا( dan “berniat keras” )26.)عزما Pengertian seperti ini terdiri
atas tiga arti, yakni “gerakan”, “tujuan”, dan “ketetapan hati yang sadar”. Kata ام ا, pada mulanya juga mencakup arti “taqaddum” atau “kemajuan”. Dengan demikian,
23 Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab Juz XII (Beirut: Dar Syadir, 1994), h. 22. 24 Al-Râghib al-Asfahâni, Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân, h. 31-35. 25 Lihat kutipan pendapat al-Râgib tersebut dalam Yûsuf Qardhâwî, al-Ummah al-
Islâmiyyah: Haqîqah Lâ Wahm (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995), h. 7. 26 Sharî’atî juga melihat beberapa arti yang berbeda yang terbentuk dari asal kata ini yang
semakin memperkaya arti Umat dan yang semakin membuatnya bertambah jelas. Contoh
pengungkapan arti paling jauh yang berbeda, antara lain “amām” (depan) sebagai lawan kata (warā)
dan “khalaf” (belakang). ‘Am al-ra’s yang berarti pemimpin, panutan dan teladan. Sementara
ta’mīm berarti mengubah kemampuan khusus menjadi umum dan bersifat sosial yang dimiliki oleh
umat. Lihat ‘Alî Sharî’atî, Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis ter. Afif Muhammad
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 50. (Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam (Jakarta: PT Gaya Media Pratama, 2001), h. 177.
19
kata tersebut terdiri dari empat arti, yaitu usaha atau ikhtiar, gerakan, kemajuan, dan
tujuan.27
‘Alî Sharî’atî menjelaskan pula bahwa “dasar tatanan umat, adalah kesamaan
akidah dan kesamaan dalam kepemimpinan yang satu agar individu-individunya
bergerak menuju kiblat yang sama. Ini menjadi ciri khas umat atau masyarakat
Islam untuk memperjelas jalan dan kiblat anggotanya. Karena itu, kata umat adalah
suatu istilah yang mengandung arti bergerak dan dinamis.28
Secara tegas, al-Qur`ân dan hadits tidak membatasi pengertian umat hanya
pada kelompok manusia saja, seperti dalil berikut ini:29
ضاولاط ئررايطي ابارأ ثال ك مام اوماامناداب ةرافاٱلأ هاإل اأ مم اأمأ
كت باناحيأ ناافاٱلأ ااف ر طأا ارب مأ ءراث اإل شر ونامناشيأأ ٣٨ي
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang
terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu.
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Q.s. al-An‘âm/6: 38.)
Rasulullah Saw. bersabda:
ارواهامسلما–الن مل اأ م ة امناال مماSemut (juga) merupakan umat dari umat-umat (Tuhan). (HR. Muslim).
M. Quraish Shihab menambahkan bahwa ikatan persamaan apapun yang
menyatukan makhluk hidup manusia atau binatang seperti jenis, suku, bangsa,
ideologi, atau agama, dan sebagainya maka ikatan itu telah menjadikan mereka satu
umat.30
Al-Qur`ân menggunakan kata umat ini untuk arti yang menggambarkan
adanya ikatan-ikatan tertentu yang menghimpun sesuatu. Manusia adalah umat
pada saat terjalinnya ikatan yang menghimpun mereka, burung pun demikian, juga
27 ‘Alî Sharî’atî, Al-Ummah wa al-Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, ter. Afif Muhammad,
h. 52. 28 ‘Alî Sharî’atî, Al-Ummah wa al-Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, ter. Afif Muhammad,
h. 37-38. Dalam Ensiklopedi Oxford, umat diberikan definisi sebagai “sekelompok orang yang
memiliki orientasi keagamaan yang sama”. Lihat John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the
Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), vol. VI, h. 93. 29 M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur`ân: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2013), cet. I, h. 430. 30 M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur`ân: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,
cet. I, h. 431.
20
waktu yang dialami bersama oleh satu kelompok, bahkan termasuk juga seorang
tokoh yang sangat berpengaruh. Himpunan juga dinamai al-Qur`ân “umat”, seperti
“agama” dan waktu.31
Ummah dalam Bahasa Indonesia, ditulis dengan kata “umat”32 adalah sebuah
konsep yang telah akrab dalam masyarakat, namun sering dipahami secara keliru.
Istilah ini, karena begitu dekatnya dalam kehidupan sehari-hari, tak jarang
terabaikan dan tidak dianggap sebagai pengertian ilmiah.33
Istilah tersebut megandung tiga buah konsep yang saling bertautan, yaitu (1)
kebersamaan dalam arah dan tujuan, (2) gerakan menuju arah dan tujuan tersebut,
dan (3) keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Dengan demikian, umat
bagi Sharî’atî adalah “kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan
yang sama, yang satu sama lain saling bahu-membahu agar dapat bergerak menuju
tujuan yang mereka cita-citakan, berdasarkan suatu kepemimpinan kolektif.”34
Ensiklopedia Indonesia menyebutkan beberapa istilah “umat” yang berasal
dari kata ummah itu berarti empat macam. Pertama, mengandung arti bangsa,
rakyat, kaum yang hidup bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan. Kedua,
diartikan sebagai penganut suatu agama atau nabi. Ketiga, khalayak ramai.
Keempat, umum, seluruh, umat manusia.35
B. Telaah Dalil tentang Khaira Ummah
1. Dalil Al-Qur`ân
Kata Khaira ummah (اأمة muncul dalam al-Qur`ân hanya sekali (خي
yaitu yang terdapat di dalam ayat 110 Qur`ân sûrah Âli ‘Imrân.
a. Teks Ayat
31 M. Quraish Shihab. Lentera Al-Qur`ân: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan,
2008), cet. II, h. 306. 32 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “umat” diartikan sebagai; (1) para penganut
(pemeluk, pengikut) suatu agama, (2) penganut nabi, dan (3) makhluk manusia. Lihat Lukman Ali
et.al., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 1101. 33 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: PT Gaya
Media Pratama, 2001), h. 177. 34 ‘Alî Sharî’atî, Al-Ummah wa al-Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, ter. Afif Muhammad,
h. 52. 35 Muhammad Nur Kholis Setiawan dan Djaka Soetapa. Meniti Kalam Kerukunan: Beberapa
Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen, 1 (Yogyakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
21
Al-Qur`ân telah memuat secara jelas bahasan tentang umat terbaik.
Dalam mekanisme kelembagaan ataupun non kelembagaan yang memiliki ciri
yaitu melaksanakan amar ma‘rûf dan nahî munkar serta penduduk
masyarakatnya beriman,36 seperti firman Allah Swt.:
م ر وناأاللن اسات رجتأ اأ م ةراأ خأ
اخيأ م نكااك نت مأناعناٱلأ هوأ ر وفاوت ن أ
معأ من ونابٱلأ راوت ؤأراكت بالكاناخيأ ل اٱلأ
اءامناأهأ اولوأ من وناوأابٱلل م ؤأه م اٱلأ
سق ونااال مام ن أ ف ث ر ه م اٱلأكأ
اا١١٠“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110).
Abdullâh Yûsuf ‘Alî, sebagaimana para ahli tafsir pada umumnya,
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan umat pilihan itu adalah kaum
muslimin.37 Dari penafsiran itu timbul pertanyaan, apakah yang dimaksud
dengan kaum muslimin atau umat islam itu adalah kaum muslimin sepanjang
masa atau mereka yang hidup pada zaman Rasulullah Saw.
Kata kuntum yang digunakan dalam ayat di atas ada yang memahaminya
sebagai kata kerja yang sempurna (kâna tammah) sehingga diartikan wujud
yakni kamu wujud dalam keadaan sebaik-baik umat. Ada juga yang
memahaminya dalam arti kata kerja yang tidak sempurna (kâna naqîsah) dan
dengan demikian ia mengandung makna wujudnya sesuatu pada masa lampau
tanpa diketahui kapan itu terjadi dan tidak juga mengandung isyarat bahwa dia
pernah tidak ada atau suatu ketika akan tiada. Jika demikian, maka ayat ini
kamu dahulu dalam ilmu Allah adalah sebaik-baik umat.38
b. Asbâb al-Nuzûl
Mengenai asbâb al-nuzûl ayat ini, penulis mendapatkan keterangan
dalam tafsir al-Munîr karangan Wahbah al-Zuhaili terkait asbâb al-nuzûl ayat
ini, yaitu diterangkan bahwa ‘Ikrimah dan Muqatil berkata, “Ayat ini turun
36 Asrori S. Karni. Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi
(Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999), h. 55-56. 37 Abdullâh Yûsuf ‘Ali, The Meaning of Holy Qur`ân (Maryland: Amana Corporation, 1992),
h. 602; lihat juga dalam Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbâh, vol. II, h. 173. 38 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh, vol. II, h. 173.
22
berkaitan dengan Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b, Mu’adz bin Jabal dan Salim
budak Abu Hudzaifah. Ceritanya adalah bahwa ada dua orang Yahudi, yaitu
Malik bin al-Saif dan Wahb Yahudza berkata kepada mereka, “Sesungguhnya
agama kami lebih baik dari pada agama yang kalian dakwahkan kepada kami
dan kami jauh lebih baik dan lebih mulia dari kalian”. Lalu Allah Swt.
menurunkan ayat 110 surah Âli ‘Imrân.39
2. Dalil Hadits
a. Sahîh Muslim
Salah satu hadits Rasulullah Saw. yang menerangkan mengenai hal umat
terbaik atau Khaira ummah, yaitu:
اهللاا خي اأ م تاالقرن اال ذينا»صل ىاهللا اعليهاوسل م:اعناعبداهللااقال:اقالارس ول ه اي ل ون،اث اال ذيناي ل ون ماث اال ذيناي ل ون م،اث اييء اق وم اتسبق اشهادة اأحدهمايينا
يء اأق وام الايذك راهن اد االقرنا«اويين ه اشهادته ا بة :اث اي 40فاحديثه،اوقالاق ت ي
“Hadis riwayat ‘Abdullah bin Mas‘ud r.a., ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda: Sebaik-baik umatku adalah yang hidup pada kurun sahabatku,
kemudian setelah kurun mereka (tabiin), kemudian setelah kurun mereka
(tabiit tabiin).
Ulama telah bersepakat bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi yang
hidup pada masa Rasulullah Saw., yaitu generasi sahabat. Mayoritas ulama
berpendapat bahwa setiap muslim yang melihat Rasulullah Saw., meskipun
hanya sebentar itu sudah dinamakan Sahabat.
Predikat keutamaan sahabat ini bersifat umum. Artinya, mereka secara
global, bukan secara personal adalah generasi terbaik. Sehingga tidak bisa
seorang Sahabat mengungguli para Nabi ‘Alaihimussalâm dan tidak juga
seorang sahabat wanita mengungguli Maryam, Aisyah dan lainnya. Jadi,
generasi mereka secara global lebih baik dibandingkan dengan generasi lainnya
secara global pula.
39 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 373. 40 Imâm al-Hâfidz Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî. Sahîh
Muslim (Riyaḏ: Dâr al-Ṯaibah, 1426 H), Kitâb Fadâ’ilu al-Sahâbah, Bâb Fadila al-Sahâbah Tsumma
alladzîna yalûnahum, tsumma alladzîna yalûnahum, nomor hadis 208/2533, h. 1177-1178.
23
Al-Qadi berkata, bahwa Ulama berbeda pendapat tentang arti Qarn
(kurun) ini; Al-Mughirah berkata, Kurun Rasulullah Saw. berarti sahabatnya,
kurun berikutnya adalah anak-anak mereka, lalu kurun selanjutnya adalah
cucu-cucu mereka. Ulama lain mendefinisikannya sebagai setiap golongan
yang hidup bersamaan dalam satu waktu. Dan dikatakan pula bahwa kurun
adalah sebutan khusus bagi orang-orang yang hidup dalam masa diutusnya
seorang nabi, baik dalam rentang waktu yang lama ataupun hanya sebentar.
Hadis ini menunjukkan kemukjizatan Nabi Muhammad Saw., dan juga
keutamaan yang dimiliki oleh generasi Sahabat, Tabi‘in dan Atba‘ Tabi‘in.41
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa manusia
terbaik adalah untuk manusia, kamu datang membawa mereka dengan rantai
pada leher-leher mereka hingga mereka masuk Islam.42 Begitu juga perkataan
Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah dan selain dari mereka, yakni manusia terbaik
adalah untuk manusia. Maknanya adalah bahwasannya mereka adalah umat
terbaik dan manusia paling bermanfaat untuk manusia, oleh karena itu firman-
Nya, “Menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110).43
b. Musnad Imam Ahmad
Dalam Musnad Imam Ahmad, juga dalam Jâmi‘ al-Tirmidzi, Sunan Ibn
Mâjah, dan Mustadrak al-Hakim, diriwayatkan dari Hakim bin Mu`awiyah bin
Haidah, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda:
.وت عالات باركااىاهللاالاااعاهام اراكاأااا،اواهاي اخاامات ان ا،اأاةرام اأ ااياعاباسااناواف اوات اامات ان اأا“Kalian sebanding dengan 70 (tujuh puluh) umat dan kalian adalah
sebaik-baik dan semulia-mulia umat bagi Allah Swt.”44
Hadis di atas masyhur, dan dinyatakan hasan oleh al-Tirmidzi. Umat ini
menjadi sang juara dalam menuju kepada kebaikan tiada lain karena Nabinya,
41 Imam Al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah: Fathoni Muhammad dan Futuhal
Arifin, II (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), h. 533-534. 42 Al-Bukhari (8/169 Fath) mauquf secara lafazh, tapi marfu’ secara hukum. Sebagaimana
riwayat yang sama dari Al-Bukhari secara marfu’ juga (6/101 Fath), begitu juga Ahmad
meriwayatkan di dalam Al-Musnad (8000), Ibnu Hibban di dalam Shahihnya (134) secara marfu’. 43 Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsîr Jilid 1, II (Jakarta: Darus Sunnah
Press, 2014), h. 950-951. 44 Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ‘Abdillâh Ahmad ibn Hanbal (Riyadh:
Baît al-Afkâr al-Dauliyyah linnasyri wa al-Tauzî‘, 1998), nomor 20264 , h. 1467.
24
Muhammad Saw. Sebab beliau adalah makhluk paling terhormat dan Rasul
yang paling mulia di hadapan Allah Swt. Beliau diutus Allah Swt. dengan
syari’at yang sempurna nan agung yang belum pernah diberikan kepada
seorang Nabi maupun Rasul sebelumnya. Maka pengamalan sedikit dari
manhaj dan jalannya menempati posisi yang tidak dicapai oleh pengamalan
banyak dari manhaj dan jalan umat lainnya. Sebagaimana yang diriwayatkan
Imam Ahmad dari Muhammad bin ‘Ali Ibn al-Hanafiyah, bahwa ia pernah
mendengar ‘Alî ibn Abi Ṯalib r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda:
“Aku telah diberi sesuatu yang tidak diberikan kepada seorang Nabi
pun.” Lalu kami bertanya: “Apakah sesuatu itu, ya Rasulullah?” Beliau
Saw. bersabda: “Aku dimenangkan dengan ketakutan (musuh), aku
diberi kunci-kunci bumi, diberikan kepadaku nama Ahmad, dan
dijadikan tanah ini bagiku suci, serta dijadikan umatku ini sebagai umat
yang terbaik.” (Melalui jalan tersebut hadis ini hanya diriwayatkan
Ahmad dengan isnad hasan).45
C. Karakteristik Khaira Ummah
1. Amar Ma‘rûf dan Nahî Munkar
a. Amar Ma‘rûf
Kata ma‘rûf adalah isim maf‘ûl, kata kerjanya adalah ‘arafa yang
mengandung arti mengetahui (to know), mengenal atau mengakui (to
recognize), melihat dengan tajam atau mengenali perbedaan (to discern). Kata
ma’rûf kemudian diartikan sebagai sesuatu yang diketahui, yang dikenal atau
yang diakui. Adakalanya juga diartikan sebagai menurut nalar (reason),
sepantasnya dan secukupnya. Imâm al-Râghib al-Asfahâni mengartikan
sebagai (ابلعقلاأواالشرعاح سنه ا (ي عرف , yaitu “apa yang dianggap baik syariat
dan akal”.46
Kata ma‘rûf dalam al-Qur`ân terulang sebanyak 32 kali. Dalam setiap
kali penyebutan, maknanya diberi konteks tertentu. Jika hanya dilihat makna
harfiahnya saja, maknanya menjadi terlalu umum atau abstrak. Untuk
45 M. Abdul Ghoffar, dkk. Tafsir Ibnu Katsîr. Terj. Lubâb al-Tafsîr min Ibn Katsîr (Bogor:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004). 46 Muhammad Fuâd ‘Abd al-Bâqi, Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Fâdz al-Qur`ân al-Karîm,
(Beirut: Dâr al-Saqafah al-Islâmiyyah), h. 582-583.
25
mengetahui maknanya yang lebih konkret harus dilihat konteksnya. Sebagai
contoh ungkapan qaulun ma‘rûfun dalam al-Qur`ân terulang sebanyak lima
kali, masing-masing dalam Q.s. al-Baqarah/2: 235 dan 263; Q.s. al-Nisâ`/4: 5
dan 8; Q.s. Muhammad/47: 21. Secara harfiah ungkapan tersebut mengandung
arti “perkataan yang baik”.
Dalam Q.s. Al-Baqarah/2: 263 disebutkan,
اوٱلل اغناحليم ا ب ع هااأذرى ام ناصدقةراي ت أ
فرة اخيأ اومغأ ر وف ام عأ ل ٢٦٣۞ق وأ
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang
diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah
Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (Q.s. Al-Baqarah/2: 263)
Dalam ayat tersebut ungkapan qaulun ma‘rûfun dipertentangkan dengan
kebalikannya yaitu sadaqatun yatba‘uhâ adzâ sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan si penerima. Penjelasan ayat ini sangat berhubungan
dengan ayat sebelumnya yaitu Q.s. Al-Baqarah/2: 262:
افا ل مأ و اٱل ذيناي نفق وناأمأ ر ه مأاأجأ بع ونامااأنفق واامنااولاأذرىال مأ
اث الاي تأ سبيلاٱلل زن ونا ايأ اولاه مأ همأ اعليأ ف اولاخوأ ٢٦٢عندارب مأ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-
nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.
Dan ayat sesudahnya, yaitu ayat Q.s. Al-Baqarah/2: 270 terdapat
penjelasan sebagai berikut:
اأنصاررا لم ه ۥاومااللظ لميامنأاي عأ ررافإن اٱلل
ام نان ذأ ت انذرأ ت مام نان فقةراأوأومااأنفقأ٢٧٠
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat
zalim tidak ada seorang penolongpun baginya”.
Dari dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian ucapan atau
perkataan yang ma‘rûf. Bahwa itu shadaqah pada dasarnya adalah baik, namun
jika perbuatan baik tersebut diikuti dengan mengungkit-ungkit dan menyakiti
orang yang menerima maka kebaikan tersebut tidak akan bernilai sama sekali.
Perkataan baik menjadi lebih baik daripada sedekah yang disertai dengan
26
mengungkit dan menyakiti.47 Itulah pengertian qaulun ma‘rûfun yang
merupakan kebalikan dari ucapan yang mengungkit dan menyakitkan hati.
b. Nahî Munkar
Secara bahasa, kata munkar berasal dari nakara yang berasal dari akar
kata nûn, kâf, dan râ’. Akar kata ini mengandung arti, aneh,48 sulit,49 buruk,50
tidak dikenal (lawan ma’rûf), dan juga mengingkari.51
Secara bahasa, munkar diartikan sebagai segala sesuatu yang dipandang
buruk, baik dari norma syariat maupun norma akal yang sehat.52 Makna ini
kemudian menjadi lebih meluas dalam pandangan syariat, sebagai segala
sesuatu yang melanggar norma-norma agama dan budaya atau adat istiadat
suatu masyarakat.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa pengertian munkar lebih luas
jangkauan pengertiannya dibanding ungkapan lain yang juga dipakai oleh al-
Qur`ân untuk menunjuk perbuatan yang buruk seperti ma‘siyat (perbuatan
maksiat).53
2. Beriman Kepada Allah Swt.
47 Ali al-Sâbuni, Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, I (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th), h. 3595 48 Ali al-Sâbuni, Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, Jilid II, h. 167. 49 Makna ini dapat ditemukan dalam Q.s. Hûd/11: 70:
جساما اوأوأ هانكره مأ الاتصل اإليأ دي ه مأ نااف لم اارءااأيأ سلأ اأ رأ اإن اقال واالاتفأاخيفةر ه مأ
مال وطراان أ اق وأ ٧٠ إل “Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh
perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: "Jangan kamu
takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth"”. 50 Makna ini antara lain dapat ditemukan dalam Q.s. al-Kahfi/18: 87,
ارب ها ب ه ۥاث اي رد اإل فان عذ ررااقالاأم اامناظلمافسوأان كأ ب ه ۥاعذابر ٨٧ۦاف ي عذ
“Berkata Dzulkarnain: "Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya,
kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang
tidak ada taranya”. 51 Makna ini dapat ditemukan antara lain dalam Q.s. Luqmân/31: 19:
اإن اأنكرا تك امناصوأ ض ضأيكاوٱغأ افامشأ صدأ تااوٱقأ و صأ مياٱلأ اٱلأ ت ١٩الصوأ
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai”. 52 Al-Râghib al-Asfahâni, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur`ân, h. 505. 53 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.
203.
27
Karakteristik umat yang terbaik selanjutnya menurut al-Qur`ân adalah sebuah
masyarakat ideal yang ditopang oleh keimanan yang kokoh kepada Allah Swt. Hal
ini antara lain disebutkan dalam Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110.
م ر وناباأاللن اسات رجتأ اأ م ةراأ خأ
اخيأ م نكراواك نت مأناعناٱلأ هوأ ر وفاوت ن أ
معأ اٱلأ من ونابٱلل ت ؤأراال مام ا
كت بالكاناخيأ ل اٱلأاءامناأهأ ف اولوأ ث ر ه م اٱلأ
من وناوأكأ م ؤأه م اٱلأ
سق ونان أ“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110).
Dalam ayat tersebut keimanan kepada Allah diletakkan dalam urutan yang
ketiga dari syarat-syarat masyarakat ideal, salah satu penjelasannya sebagaimana
disampaikan oleh Al-Marâghi adalah bahwa amar ma‘rûf dan nahî munkar
merupakan pintu keimanan dan yang memelihara keimanan tersebut, pada
umumnya pintu itu posisinya berada di depan.54
Kemudian, kata iman terambil dari kata amn yang berarti keamanan atau
ketenteraman. Dalam kamus-kamus bahasa kata tersebut sering diartikan sebagai
lawan dari khawatir atau takut.55 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata iman
diartikan sebagai kepercayaan (yang berkenaan dengan agama) dan keyakinan
kepada Allah, nabi, kitab, dan sebagainya.
Selanjutnya, iman dari segi bahasa diartikan sebagai “pembenaran dalam
hati”, makna ini kemudian meluas dan dianggap sebagai hakikat iman yaitu:
ابلركان اواعمال ابلسان ابلقلباوإقرار pembenaran dengan hati, ucapan) تصديق
dengan lidah serta pengalaman dengan anggota badan) terhadap apa yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad Saw.56ا
54 Sebagian mufassir ketika menjelaskan ayat ini juga meletakkan iman pada urutan pertama
baru kemudian amar ma‘ruf nahî munkar. Lihat Abdullâh Yûsuf ‘Ali, The meaning of The Holly
Qur`an, (Maryland: Amana corporation, 1991), h. 155, catatan no. 434. 55 Ali Nurdin, Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.
159. 56 Al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, jilid IX, h. 85; peristiwa tersebut kemudian dikenal dengan
perjanjian Hudaibiyah pada tahun ke-6 H. Isi pokok perjanjian tersebut adalah: (1) peletakan senjata
antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, (2) orang Quraisy muslim yang datang kepada kaum
muslimin dengan tidak seizin walinya hendaklah ditolak kaum muslimin, (3) Quraisy tidak menolak
orang muslim yang kembali kepada mereka, (4) barangsiapa yang hendak membuat perjanjian
dengan Muhammad dibolehkan, begitu juga siapa yang hendak membuat perjanjian Quraisy juga
28
Iman dalam arti kebahasaan sebagaimana disebutkan sebelumnya yang
diambil dari akar kata yang berarti aman atau tenteram, namun dalam al-Qur`ân
terdapat informasi bahwa iman khususnya pada tahap awal tidak selalu
menghasilkan ketenteraman jiwa. Informasi antara lain terdapat dalam Q.s. Al-
Baqarah/2: 260, yang menceritakan tentang keraguan Ibrâhîm a.s.
ر ها اقالاإب أ اأرناكيأاا اوإذأ مام ارب ياٱلأ أ اقالاب لى افات من ات ؤأ اقالاأوالأتى مئن اوأ
اول كنال يطأه ن ا افص رأ ب عةرام ناٱلط يأ اأرأ
اقالافخ ذأ باك ل اجبلراق لأ اعلى علأ
كاث اٱجأ ءراااإليأاج زأ ه ن
ام ن أا لمأ يرااوٱعأ
تينكاسعأأاي ع ه ن
احكيم ااأن اٱلل اث اٱدأ ااعزيز “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah
kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati". Allah
berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah
meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah
berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah
semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan di atas tiap-tiap satu
bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka,
niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.s. Al-Baqarah/2: 260)
Ayat tersebut menggambarkan bahwa Nabi Ibrāhīm a.s, ketika itu telah
beriman, tetapi belum mencapai suatu tingkat yang menghasilkan ketenangan dan
ketenteraman jiwa. Dengan kata lain ketika itu masih terlintas di dalam hatinya
tersebut pertanyaan-pertanyaan yang dapat dinilai sebagai macam keraguan.
Namun demikian bagi para nabi dan orang-orang mukmin lintasan pikiran seperti
dicontohkan di atas tidak lagi muncul dikarenakan hati mereka telah mantap
dengan keimanan mereka.57 Hal ini juga dipertegas dalam Q.s. Al-Hujurât/49: 15.
اورا ابٱلل من وناٱل ذيناءامن وا م ؤأاٱلأ ا اواإن تب وا اي رأ اس ولهۦاث الأ هد وا افاباج اوأنف سهمأ لمأ و مأ
دق وناا اأ ول ئكاه م اٱلص سبيلاٱلل “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka
dibolehkan, (5) kaum muslimin tidak jadi mengerjakan umrah di tahun ini, akan tetapi ditangguhkan
sampai tahun depan. Di tahun depan kaum muslimin memasuki kota Mekah tidak diperbolehkan
membawa senjata, kecuali pedang di dalam sarungnya, dan mereka tidak boleh tinggal di dalam kota
Mekah lebih dari tiga hari tiga malam. (Muhammad Rasyîd Ridhâ, Muhammad Rasûlullâh, (Beirut:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1395/1975)), h. 252-256. 57 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.
160.
29
pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”. (Q.s. Al-
Hujurât/49: 15)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110
memiliki objek keimanan yaitu yang disebut hanyalah Allah. Hal ini bukan berarti
tidak ada objek keimanan yang lain. Salah satu ciri redaksi al-Qur`ân adalah
ringkas dan padat. Penyebutan objek keimanan yang hanya Allah tersebut tentu
saja sudah mencakup objek-objek keimanan yang lain, karena Allah adalah puncak
kegaiban dari segala yang gaib dan objek keimanan yang utama adalah Yang
Mahagaib.58
Kaitannya dengan ciri masyarakat yang diidealkan al-Qur`ân menjadi umat
terbaik adalah bahwa iman yang dimaksud adalah keimanan yang diajarkan oleh
al-Qur`ân. Dalam al-Qur`ân dan hadis Nabi Saw. diperkenalkan objek keimanan
yang harus diimani oleh seorang mukmin. Penjelasan ini sekaligus menjawab
pendapat sementara orang yang menganggap tidak ada kaitannya antara iman
seseorang dengan iman sebagaimana diajarkan oleh al-Qur`ân.59
Urgensi iman dalam kehidupan bermasyarakat ini juga diperkuat dalam Q.s.
al-‘Asr/103, yang secara umum menyatakan bahwa semua manusia tanpa
terkecuali akan mengalami kerugian kecuali orang-orang yang mempunyai empat
sifat umum yaitu: iman, amal saleh, berwasiat kepada kebenaran, dan berwasiat
kepada kesabaran.60
58 Quraish Shihab ketika menjelaskan tentang penyebutan objek keimanan yang hanya dua
ini menyatakan bahwa penyebutan kedua objek tersebutbukan berarti hanya kedua hal tersebut yang
dituntut dari orang-orang yang beriman, tapi keduanya merupakan istilah yang biasa digunakan al-
Qur’āan dan Sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya. Lihat Quraish
Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Vol. 1, h. 208. 59 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.
163. 60 Ali Nurdin. Quranic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-Qur`ân, h.
165.
30
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MUFASIR DAN TAFSIR AYAT KHAIRA
UMMAH
A. Mufasir dan Sistematika Tafsir
1. Al-Qurṯubî
a. Biografi
Seorang ulama cerdas sekaligus mufasir pemilik nama lengkap Abu ‘Abdillâh
Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Malikî al-Qurṯubî (w. 671 H/ 1273 M). Beliau
lahir di lingkungan keluarga petani di Cordoba pada masa kekuasaan Bani
Muwahhidûn tahun 580 H/ 1184 M.1 Dalam buku “Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern”2 diterangkan bahwa syaikh al-Dzahabi memberikan penjelasan mengenai
Imam Al-Qurṯubî yaitu seorang imam yang memiliki ilmu yang luas dan mendalam.
Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan menunjukkan betapa luas
pengetahuannya dan sempurna kepandaiannya. Beliau meninggal dunia di Mesir
pada malam Senin, tepatya pada tanggal 9 Syawal tahun 671 H. Makamnya berada
di El Meniya, di Timur sungai Nil dan berbagai kalangan sering kali mengunjungi
makamnya. Sehingga pada tahun 1971 M di sana dibangun sebuah masjid sekaligus
diabadikan nama Imam al-Qurṯubî.3
Al-Qurṯubî dalam perjalanan intelektualnya tentunya dibarengi dengan
pemahaman teologi madzhab sebagai bagian cara berpikirnya dalam menuangkan
kitab tafsirnya. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa al-Qurṯubî adalah
seorang penganut sunni asy‘ari dan beliau membela dan mempertahankan ahlu
sunnah.4 Beliau tidak membiarkan terhadap serangan seorang mu’tazilah terhadap
pemikiran sunni apakah dalam persoalan hukum maupun aqidah.5
b. Sistematika Tafsir al-Jâmi‘ Li Ahkâm al-Qur`ân
1 Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufasirûn: Hayatuhum wa Manhâjuhum (Teheran:
Mu’assasah al-Ṯiba‘ah wa al-Nasyr, 1414 H), h. 408. 2 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 20. 3 Al-Qasabi Mahmud Zalaṯ, Al-Qurṯubi wa Manhâjuhum fî Tafsîr (Kuwait: Dar al-Qalam,
1981), h. 6 dan 30. 4 Muhammad ‘Ali Iyâzi, Al-Mufasirûn Hayâtuhum Wamanhâjuhum, h. 411. 5 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 20.
31
Kitab tafsir al-Qurṯubî dikenal sebagai kitab tafsir yang banyak mengurai isi
ayat-ayat kandungan al-Qur`ân yang objek kajiannya lebih prioritas terhadap
persoalan hukum, sehingga dengan objek kajiannya ini beliau menamai tafsirnya
dengan “al-Jâmi‘ Li Ahkâm al-Qur`ân wa al-Mubayyin Limâ Taḏammanah min al-
Sunnah wa Ayi al-Furqân” yang berarti “Penghimpun hukum-hukum al-Qur`ân dan
penjelas bagi sunnah dan ayat-ayat pembeda antara yang haq dan baṯil.6
Di dalam tafsirnya, al-Qurṯubî tidak membatasi kajiannya pada ayat-ayat
hukum saja, tetapi komprehensif. Metodologi tafsirnya adalah menyebutkan asbab
al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), mengemukakan ragam qira`at dan i‘rab,
menjelaskan lafaẕ-lafaẕ yang gharib (asing), melacak dan menghubungkan
berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraf khusus bagi kisah
para mufasir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama
terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia
mengutip dari Ibn Jarir al-Ṯabarî, Ibn ‘Aṯiyyah, Ibn ‘Arabi, Alkiya Harrasy, dan
Abu Bakar al-Jassas.7
Al-Qurṯubî dalam tafsirnya menerapkan metode penafsiran dengan
menggunakan metode tahlîli, karena al-Qurṯubî mencoba menjelaskan dan
memetakan kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari berbagai seginya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur`ân sebagaimana yang tercantum di dalam
mushaf. Bukan berarti dengan tahlîli yang digunakan oleh al-Qurṯubî sehingga
secara keseluruhan penafsirannya itu bentuk tahlîli, namun metode ijmâli pun
terkadang menjadi cara untuk menafsirkan al-Qur`ân yang berarti secara ringkas
dan dengan bahasa yang komunikatif.8
2. Ibn Katsîr
a. Biografi
Pemilik nama lengkap ‘Imaduddîn Abu al-Fida` Isma‘îl bin ‘Umar bin Katsîr
al-Qurasyi al-Busrawi al-Dimasyqi9 merupakan seorang ulama yang memiliki
6 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 22. 7 Syaikh Manna‘ al-Qaṯṯan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-
Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), h. 471. 8 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 26. 9 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer (Depok: Lingkar Studi al-Qur`ân, 2013), h. 117.
32
keluasan ilmu terutama dalam bidang tafsir, hadits, dan sejarah.10 Beliau dilahirkan
pada 705 H dan wafat pada 774 H, sesudah menempuh kehidupan panjang yang
syarat dengan keilmuan. Menurut Ibn Hajar, Ibn Katsî merupakan seorang ahli
hadits yang fakih. Karya-karyanya tersebar luas di berbagai negeri semasa hidupnya
dan bermanfaat bagi orang banyak setelah wafatnya.11
b. Sistematika Tafsir al-Qur`ân al-‘Aẕîm
Dalam tafsirnya terhadap Kalam Allah, biasanya Ibn Katsîr menggunakan
hadits dan riwayat, menggunakan ilmu Jarh wa Ta‘dil, melakukan komparasi
berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagiannya, serta mempertegas kualitas
riwayat-riwayat hadits yang sahîh dan yang ḏa‘îf. Keistimewaan Ibn Katsîr terletak
pada seringnya memberikan peringatan akan riwayat-riwayat yang berbau Israiliyat
yang banyak terdapat dalam kitab tafsir bi al-Ma‘tsûr. Selain itu, ia selalu
memaparkan masalah-masalah hukum yang ada dalam berbagai madzhab,
kemudian mendiskusikannya secara komprehensif.12
3. Wahbah Al-Zuhaili
a. Biografi
Syekh Wahbah al-Zuhaili dilahirkan di kota Dair ‘Aṯiyyah, yang merupakan
sebuah daerah yang terletak di kawasan al-Qalmun dan termasuk dalam wilayah al-
Nabak, di Provinsi Rif Damaskus. Di kawasan Dair ‘Aṯiyyah itulah Syaikh Wahbah
al-Zuhaili, Abû ‘Ubadah, lahir pada tanggal 6 Maret 1932 M/ 1351 H dari orang
tua yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaannya.13 Meski bapaknya hanya
seorang petani, namun beliau memiliki cita-cita yang tinggi dan semangat yang kuat
dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Sehingga di daerah Syam, beliau sangat
10 Syaikh Manna‘ al-Qaṯṯan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-
Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, h. 456. 11 Syaikh Manna‘ al-Qaṯṯan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-
Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, h. 478. 12 Syaikh Manna‘ al-Qaṯṯan. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-
Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni, h. 456. 13 Ikatan Alumni Syam Indonesia. ‘Allâmah Asy-Syam Syekh Wahbah Az-Zuhaili, I (Depok:
Al-Hikam Press, 2017), h. 15-16.
33
dikenal, baik sebagai ulama maupun cendekiawan muslim; beliau pun juga seorang
hafiẕ al-Qur`ân.14
b. Sistematika Tafsir al-Munîr
Kitab ini menafsirkan seluruh ayat al-Qur`ân, terdiri dari 16 jilid, yang mulai
ditulis pada tahun 1408 H. Ia diterbitkan oleh beberapa penerbit, antara lain Dar al-
Fikr, Syria dan Dar al-Fikr Mu‘asir, Beirut, dan dicetak pertama kali pada tahun
1411 H/1991 M.15
Syekh Wahbah al-Zuhaili menyatakan:
“Kitab tafsir al-Munîr, bukan hanya sekedar ringkasan atau kumpulan
dari beberapa pendapat mufassir. Namun, juga bukan kitab yang baru sama
sekali. Hanya saja, di dalam penulisan kitab ini didasarkan pada pilihan-
pilihan dari beberapa pendapat yang dipandang paling sahîh dan lurus,
dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan serta yang paling mendekati
kebenaran sesuai dengan semangat ayat tersebut. Baik dari kitab tafsir klasik
maupun modern. baik bi al-ma’tsûr maupun bi al-ma‘qûl. Tafsir ini sengaja
menghindari pertentangan-pertentangan, dalam persoalan ilmu kalam, yang
seringkali tidak ada relevansinya dengan tafsir itu sendiri, yang oleh
karenanya ia tidak dibutuhkan”.
Penulisan tafsir al-Munîr dari sisi runtun penafsiran, yang dimulai dari surah
al-Fâtihah dan diakhiri surah al-Nâs, merupakan tafsir yang menggunakan metode
penafsiran tahlili.16 Berdasarkan metode ini Wahbah menuliskan tafsirnya dari
berbagai sisi secara rinci, dimulai dari membahas keutamaan surah, membahas
makna kosa kata, mengulas kandungan sastranya, menafsirkan kandungan ayatnya
kemudian menyimpulkan kandungan ayat tersebut di bawah tema fiqh al-hayah,
tanpa mengabaikan sisi munasabah antara ayat dan sebab nuzulnya.
Dalam buku “Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern”, Faizah Ali
Syibromalisi dan Jauhar Azizy mengungkapkan bahwa dalam penafsiran ayat-ayat
Tafsir al-Munîr, Wahbah melakukan beberapa hal dalam penulisan tafsirnya yaitu
pengelompokkan ayat yang berdasarkan keterkaitan isi yang dikandung ayat-ayat
14 Lihat A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir
dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 227 15 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 228 16 Secara etimologis kata tahlili berasal dari Bahasa Arab dari akar kata hallala-yuhallilu-
tahlilan, artinya mengurai dan menganalisa. Menurut al-Farmawi metode penafsiran tahlili adalah
metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur`ân dari seluruh aspeknya.
Lihat Abdul Hay al-Farmawi, Muqaddimah fi Tafsir al-Maudhu’i (Kairo: al-Hadhoroh al-Arabiyah,
1977), h. 23.
34
tersebut, pemberian tema sesuai dengan kandungannya, merujuk pada ayat-ayat
dari surah-surah yang lain yang terkait dengan ayat yang sedang ditafsrikannya,
menjelaskan tujuan utama surah dan ayat dan petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik
darinya, untuk lebih memperjelas ulasannya, sehingga penafsirannya menjadi lebih
utuh dan menyeluruh.17 Menurut para pakar tafsir, bahwa metode penulisan dengan
langkah-langkah tersebut tergolong dalam metode tafsir semi tematik (maudhu’i),
yaitu metode yang diterapkan pertama kali oleh Syaikh al-Azhar Mahmud Syaltut
dalam karya tafsirnya “Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm”.18
Berikut ini merupakan sistematika penulisan Tafsir al-Munîr, yaitu:
1. Disetiap awal surah Wahbah selalu mendahulukan pembahasan tentang
keutamaan dan kandungan surat tersebut secara global.
2. Pengelompokkan ayat-ayat yang memiliki keterkaitan isi dan
kandungannya di bawah tema yang sesuai dengan kandungan ayat-ayat
tersebut.
3. Menyajikan ulasan kebahasaan dan sastra yang terkandung dalam ayat,
seperti pemaknaan kosa kata, menjelaskan posisi kata dalam kalimat
(i‘rab) dan menjelaskan aspek-aspek sastra (balaghah) yang dikandung
ayat.
4. Menjelaskan munasabah dan asbâb al-nuzûl.
5. Menjelaskan kandungan ayat secara rinci di bawah tema “tafsîr wa al-
bayân”.
6. Membuat kesimpulan dengan menyebutkan poin-poin penting yang
terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan di bawah tema “fiqh al-hayat
wa al-ahkam”.
17 Kedua penulis buku “Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern” mengungkapkan pula
bahwa langkah penafsiran yang diambil Wahbah ini mungkin didasari oleh kesadaran adanya
kritikan terhadap metode tahlili yang dianggap memiliki kekurangan yaitu memberi pemahaman
yang bersifat parsial. Itu sebabnya mengapa Baqir al-Sadr menamakannya sebagai metode tajzi’l,
karena menjadikan pembahasan mengenai petunjuk al-Qur`ân secara terpisah-pisah, karena tidak
kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surah yang terpisah-
pisah. Lihat Baqir al-Sadr, Pedoman Tafsir Modern, terjemah Hidayaturrahman (Jakarta: Risakah
Masa, 1992), h. 9. Lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`ân (Penerbit Mizan, 1999),
h. 113. 18 Langkah penafsiran Wahbah bisa dikatakan semi tematik karena tidak mengikuti seluruh
langkah yang seharusnya dijalankan oleh mufassir tematik, sebagaimana yang digagas oleh al-
Farmawi. Lihat al-Farmawi, Muqaddimah fî Tafsîr al-Mauḏu’i (Kairo: al-Haḏarah al-‘Arabiyyah,
1977), h. 61-62.
35
7. Mencantumkan catatan kaki (foot note) dalam pengutipan karya orang
lain.19
4. M. Husain Ṯabâṯabâ`î
a. Biografi
Seorang ulama, pemikir, dan sekaligus filosof Islam, pemilik nama lengkap
al-Allamah20 al-Sayid21 Muhammad Husain al-Ṯabâṯabâ`î (al-Allamah al-
Ṯabâṯabâ`î) datang dari keluarga Tabriz kenamaan, yaitu keluarga Ṯabâṯabâ`î22.
Selama tiga abad terakhir, keluarga ini telah mencetak generasi demi generasi
ulama terkenal di Azarbaijan (Iran). Mereka adalah keturunan Imam kedua, al-
Hasan bin Ali a.s. Keluarga besar ini juga dirujuk dengan gelar al-Qadhi.23
Al-Allamah al-Ṯabâṯabâ`î adalah putra al-Sayid Muhammad bin al-Sayid
Muhammad Husain al-Ṯabâṯabâ`î. Al-Allamah lahir di Tabriz pada 30/12/1321 H
(17/3/1904 M). Ayahnya meninggal pada 1330 (1912). Anak yatim ini tumbuh
besar di Tabriz, dan setelah menyelesaikan pendidikan keagamaan di sana, pada
sekitar 1341 (1923) dia pergi ke al-Najaf al-Asyraf (Irak), pusat paling penting
untuk pendidikan keagaman Islam.24
b. Sistematika Tafsir al-Mîzân
Tafsir al-Mîzân diterbitkan pertama kali oleh Dâr al-Kutub al-Islamiyah,
Teheran, pada tahun 1375 H, kemudian dicetak lagi tahun 1389 H dan cetakan
19 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern, h. 179-
180. 20 Allamah adalah ungkapan atau gelar kehormatan dalam Bahasa Arab Persia dan Bahasa-
bahasa Islam lainnya yang berarti “sangat terpelajar, atau sangat pandai.” Lihat: Syarîf Alî bin
Muhammad al-Jurjânî, al-Ta‘rifât (Jakarta: Dar al-Kutub Islami, 2012), h. 163. 21 Sayyid adalah gelar yang menunjukkan bahwa beliau keturunan Nabi Muhammad. Lihat
Syarîf Alî bin Muhammad al-Jurjânî, al-Ta‘rifât, h. 132. 22 Kata Ṯabâṯabâ`î merujuk pada salah satu nama kakeknya yaitu Ibrâhîm Ṯabâṯabâ`î bin
Ismâil al-Dibay. Nama julukan Ṯabâṯabâ`î dikarenakan ketika ayahnya akan memotong pakaian
untuknya (semasa ia masih kecil) maka sang ayah memilihkan baju dan memotongnya sambal
berkata “ṯaba-ṯaba” sedang yang dimaksud adalah “qaba-qaba”. Dikatakan bahwa pemberian nama
laqab (julukan) oleh al-Sa‘ad. Lihat Miqaddimah Tafsîr al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân, juz I
(Lebanon: Dâr al-Kutub, 1991), h. 5. 23 ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ’î. Tafsir Al-Mîzân. Penerjemah: Ilyas
Hasan, I (Jakarta: Penerbit Lentera, 2011), h. 11. 24 ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ’î. Tafsir Al-Mîzân. Penerjemah: Ilyas
Hasan, I, h. 11.
36
ketiga tahun 1392 H. Lalu diterbitkan oleh Mu`assasah al-A‘lami, Beirut, tahun
1393 H.25
Tafsir al-Mîzân bisa disebut juga sebagai kitab tafsir Syi‘ah ternama dan
komprehensif, yang terlahir setelah kitab Majma‘ al-Bayân (Imam al-Ṯabarsi). Al-
Mîzân juga merupakan kitab tafsir yang concern dalam membahas persoalan-
persoalan kekinian, dengan berpedoman kepada kaidah tafsîr al-Qur`ân bi al-
Qur`ân.26
Menurut al-Usi, munculnya tafsir al-Mîzân ini disebabkan adanya kebutuhan
yang mendesak dari kalangan masyarakat akan adanya satu tafsir alternatif, yang
dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang makna-makna
yang tersurat maupun tersirat dari ayat-ayat al-Qur`ân, sebagai teks yang paling
tinggi kedudukannya dan paling penting dalam wacana keilmuan Islam. Sebab,
kitab tafsir yang telah ada banyak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat pribadi,
sehingga terkadang mereduksi sedemikian dalam makna-makna tekstual dan
kontekstual dari ayat-ayat al-Qur`ân.27
Ṯabâṯabâ`î mendasarkan penafsirannya kepada kitab-kitab lain yang
dipandang cukup relevan dan bisa mendukung penafsirannya, baik bidang tafsir,
hadis, sirah, sejarah, bahasa, dan lain-lain. Namun, beliau tetap memberikan
kritikan dan komentar. Di sinilah letak keunggulan beliau di antara mufasir-mufasir
lainnya.28
Sementara dalam persoalan kebahasaan, beliau mendasarkan pada beberapa
kitab, antara lain, al-Mufradât (al-Râghib al-Isfahani), al-Sihâh (al-Jauhari), Lisân
al-‘Arab (Ibn al-Manzhur), Qâmûs al-Muhîṯ (al-Fairuzzabadi). Sebelum memulai
menafsirkan, terlebih dahulu dijelaskan beberapa corak tafsir dan mazhab para
mufasir, juga perbedaan pendapat di kalangan mufasir, menyangkut riwayat, kalam,
25 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 187. 26 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 187. 27 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 187. 28 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 188.
37
filsafat, tasawuf, teori-teori ilmiah, baru kemudian menjelaskan dengan manhaj
yang diyakininya sebagai yang paling tepat. Dalam hal ini, Ṯabâṯabâ`î berkata:29
“Jika anda merenungkan berbagai macam manhaj tafsir yang sudah
ada, maka anda akan melihat bahwa mereka sesungguhnya telah berserikat
dalam kekurangan. Mereka telah membawa kepada pembahasan ilmiah dan
filsafat yang jauh dari apa yang ditunjukkan oleh ayat. Pada tataran penerapan
mereka terkadang merubahnya jika tidak sesuai dengan manhaj-nya,
sehingga makna-makna hakiki sengaja diubah menjadi makna majazi.
Perhatikan, bagaimana al-Qur`ân memperkenalkan dirinya sendiri dengan
kalimat hudan li al-muttaqîn, nûr mubîn, tibyân likulli syai`. Artinya, al-
Qur`ân memberi petunjuk kepada yang lain dan menyinarinya.”
Kemudian Ṯabâṯabâ`î menegaskan kembali bahwa metode yang paling tepat
untuk memahami al-Qur`ân adalah dengan membiarkan al-Qur`ân menjelaskannya
sendiri. Tugas pembaca hanya menganalisa untuk meperoleh pemahaman yang
bersifat Qur`âni, sambil diperkuat dengan hadis dan riwayat dari ahli bait yang
secara konsisten senantiasa menapaki jejak beliau.30
Selain itu, Ṯabâṯabâ`î juga kerap mengutip pendapat-pendapat para mufasir
sebelumnya, baik klasik maupun kontemporer. Sebut saja seperti Ibnu Abbâs, Tafsir
al-Ṯabârî, Tafsir al-Kasysyâf Zamahsyârî, Tafsir Mafâtih al-Ghâib Fakhrurazi,
Tafsir al-Manâr, dan sejumlah tafsir lainnya.31
Sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Ṯabâṯabâ`î bahwa tafsir al-Mîzân
menggunakan metode atau kaidah tafsîr al-Qur`ân bi al-Qur`ân, konsisten
termasuk menyangkut masalah kaidah dan kisah-kisah. Sementara metode
penafsirannya adalah metode tahlîlî dengan menggunakan dua pendekatan
sekaligus yaitu bi al-ma`tsûr dan bi al-ra`yi. Adapun menurut ‘Ali al-Usi dan al-
Iyazi, jenis bi al-ma`tsûr-nya al-Mîzân adalah dengan cara mauḏû‘i.32
Namun, jenis bi al-ma`tsûr-nya tafsir al-Mîzân berbeda, misalnya, dengan
tafsir al-Ṯabârî. Hal ini karena al-Mîzân, sebagai kitab tafsir yang bercorak Syi’ah,
juga didasarkan kepada para Imam yang diyakini sebagai orang-orang yang
29 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 188-189. 30 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 189. 31 Ali al-Ausî, Muqaddimah al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur`ân (Beirut: Mu’assasah al-A‘lami li
al-Matbu’ah, 1393 H/ 1973 M), h. 3. 32 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 190.
38
maksum. Bahkan Ṯabâṯabâ’î juga menggunakan rasio untuk memahami ayat,
terutama ayat-ayat yang menuntunya untuk dijelaskan secara filosofis dan logis,
seperti masalah tauhid, ‘ismah, keadilan Tuhan, perbuatan manusia antara jabr dan
qadr.
Metode Tahlili33 yang diterapkan oleh Ṯabâṯabâ`î dalam menafsirkan al-
Qur`ân terlihat sangat jelas. Ṯabâṯabâ`î menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân dengan
memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang sedang ditafsirkan,
serta menerangkan makna-makna yang tercakup seperti kosa kata, sebab-sebab
turunnya dan mengaitkan ayat-ayat lain dengan pendapat sahabat dan para tabi’in.
Dalam menjelaskan ayat, Ṯabâṯabâ`î berpedoman kepada pendapat para pakar
dari berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, hadis, târikh, dan lain-lain, baik yang
bersumber dari para Imam Syi‘ah Imamiyah, maupun dari kalangan ulama sunni.
Ini dimaksudkan untuk menyingkap sisi-sisi pembahasan yang dikehendaki oleh
tema tersebut dan menjaga kejujuran pandangannya terhadap masalah yang
dibahas.34
Dalam teknik penafsirannya, Ṯabâṯabâ`î mengambil beberapa ayat, lalu
disusun dalam satu konteks bahasan. Selanjutnya, dijelaskan tujuan pokok dan
kandungan globalnya, kemudian dijelaskan ayat per ayat.35
5. Ibrâhîm Al-Qummî
a. Biografi
Al-Qummî memiliki nama lengkap Abû al-Hasan ‘Alî bin Ibrâhîm al-
Qummî, seorang tokoh Syiah Imamiyah. Beliau dibesarkan dan menjadi ulama di
33 Metode Tahlili, berasal dari kata hallala yuhallilu, Tahlili yang berarti menguraikan atau
menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur`ân dengan memaparkan
segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-
Qur`ân Mushaf Utsmâni. Tafsir ini disebut juga dengan Tajz’i (parsial). Lihat M. Quraish Shihab,
Tafsīr al-Qur`ân al-Karīm, h. 5. Lihat juga : Manna al-Qaṯṯân, Sejarah ‘Ulum al-Qur`ân (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999), h. 172-179 34 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 190-191 35 A. Husnul Hakim IMZI. Ensiklopedi Kitab-kitab Tafsir-Kumpulan Kitab-kitab Tafsir dari
Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, h. 192.
39
kota Qum di Iran, kota yang seluruh penduduknya diklaim bermadzhab Syiah
Imamiyah Isna ‘Asyariyah.36
Al-Qummî sendiri lahir di kota Kufah Irak kemudian pindah ke kota Qum
dan dianggap sebagai orang yang pertama kali menyebarkan hadis Nabi di kota
Qum. Al-Qummî sendiri tidak diketahui tanggal lahirnya, namun diketahui bahwa
dia hidup sezaman dengan Imam al-‘Askari, salah seorang tokoh utama dalam
madzhab Syiah Imamiyyah yang lahir di tahun 307 H.37 Al-Qummî menurut catatan
sejarah diperkirakan meninggal tahun 991 M.38 Dia meninggalkan banyak karya39
yang salah satu masterpiece-nya adalah Tafsir al-Qummî ini.
b. Sistematika Tafsir al-Qummî
Tafsir al-Qummî adalah tafsir Syi‘ah yang paling terkenal, salah satu referensi
terpenting dalam kitab-kitab tafsir Imamiyyah lainnya dan tidak ada kitab lain yang
tidak menukilkan hadis yang tertera dalam kitab ini.
Metode umum pengarang adalah ia menukilkan hadis-hadis tafsir dari Ibpara
Imam as. Pengarang dalam mukaddimah atas kitab tafsir ini menuliskan tentang
dasar-dasar dan metode penafsirannya. Sebagian dari metodenya adalah:
1) Aliran Ali bin Ibrâhîm dalam kitab tafsir ini adalah riwayat. Aliran hadis
ini menyebabkan pengarang dengan mudah untuk menemukan sisi lahir
atas ayat al-Qur`ân dengan menyandarkan kepada riwayat.
2) Kitab ini termasuk kitab yang mengandung takwil.
3) Membahas tentang syarah kata-kata, asbâb al-nuzûl, kisah al-Qur’ân,
peperangan, dan ayat-ayat ahkam secara singkat.
4) Membahas permasalahan-permasalahan akidah dan menolak firkah-firkah
batil.
5) Menjelaskan pembahasaan ‘Ulûm al-Qur`ân.
36 Pengantar tentang pengarang dan kitab Tafsîr al-Qummî dalam Abu al-Hasan ‘Alî bin
Ibrâhîm al-Qummî, Tafsîr al-Qummî, I (Beirut: Mu`assasah al-A‘lami li al-Maṯbu’at, 1991), h. 5.
Selanjutnya disebut Tafsîr al-Qummî edisi Tim Muassasah. 37 Abu al-Hasan ‘Alî bin Ibrâhîm al-Qummî, Tafsîr al-Qummî, h. 6-7. 38 Rohmana, “Qur`ân and Exegesis in History,” h. 6. 39 Lihat ‘Abd Allâh Sâlim Milyaṯân, Banû Umayyah ‘Alâ Minbar al-Rasûl fî Mutûn al-Tafsîr
al-Siyâsi li al-Qur`ân al-Karîm (Kairo: Ru’yah, 2012), h. 23. Lihat pula Ahmad Zainal Abidin,
“Tafsîr Al-Qummî dan Politik: Telaah atas Kecenderungan Tashayyu’ dalam Penafsiran Surat Al-
Baqarah”. IAIN Tulungagung: Al-Tahrir 16, no. 2 (2016): 439-459.
40
6) Membela maktab Imamah dan wilayah, mengurai keutamaan ahlul bait
dan mencela musuh-musuhnya dalam ayat dalam ayat yang sedang
dibahas.
7) Permulaan tafsir dimulai dengan sûrah al-Qur`ân dan diakhiri dengan
surah yang terakhir.
8) Riwayat-riwayat Ali ibn Ibrâhîm sebagian besarnya terdiri dari tafsir yang
ia nukil dari ayahnya sendiri, Ibnu Abi ‘Umair, dan para syaikh lainnya.40
B. Penjelasan Umum Ayat Khaira Ummah dalam Tafsir
Allah Swt. mengabarkan tentang umat Islam ini bahwasannya mereka
disebut-sebut sebagai umat terbaik dan menjadi ikon bagi umat Islam, diterangkan
dalam Sûrah Âli ‘Imrân ayat 110. Berikut firman-Nya:
مرون ب هون عن ٱلمنكر و كنتم خي أمة أخرجت للناس ت ٱلمعروف وت ن ت ؤمنون بٱلل
م م هم ٱلمؤمنون وأكث ولو ءامن أهل ٱلكتب لكان خيا ل .سقون رهم ٱلف ن “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik”. (Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110)
Dalam ayat tersebut terdapat kewajiban yang dikarenakan kamu (umat Islam)
adalah umat terbaik dan paling utama di sisi Allah yang dilahirkan, yaitu
ditampakkan untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, karena kamu
menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman
kepada Allah dengan iman yang benar, sehingga kalian menjalankan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya serta beriman kepada rasul-rasul-Nya. Itulah tiga faktor
yang menjadi sebab umat Islam mendapatkan julukan umat terbaik.41
1. Al-Qurṯubî dalam Tafsir al-Jami‘ Li Ahkâm al-Qur`ân
Imâm al-Qurṯubî menafsirkan sûrah Âli ‘Imrân ayat 110 setidaknya
membaginya ke dalam tiga permasalahan yaitu:
40 Id.mobile.wikishia.net/index.php/Tafsir_al-Qummi_(buku)#cite_note-4 (diakses pada hari
Kamis pukul 00.35 WIB) 41 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`ân Balitbang dan Diklat Kemenag RI. Tafsir Ringkas
Al-Qur`ân Al-Karîm (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`ân, 2016), Cet. II, J. I, h. 177.
41
Pertama: al-Tirmidzi meriwayatkan dari Bahaz bin Hâkim, dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwasannya dia mendengar Rasulullah bersabda mengenai firman
Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” Sabda
beliau:
.أكرمها عند للا مة، أن تم خيها و أن تم تتمون سبعي أ “Kalian menyempurnakan jumlah 70 (tujuh puluh) umat. Kalian adalah umat
yang terbaik dan paling mulia di sisi Allah Swt.”
Al-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.42 Abu Hurairah berkata,
“Kita adalah sebaik-baik manusia yang dilahirkan untuk manusia. Kita harus
mengajak mereka kepada ajaran Islam.” Ibn Abbas berkata, “Mereka adalah orang-
orang yangberhijrah dari Makkah menuju Madinah, dan ikut serta dalam perang
Badar dan perjanjian Hudaibiyah.” Umar ibn Khaṯṯab berkata, “Siapa saja yang
berbuat seperti perbuatan mereka maka dia termasuk seperti golongan mereka.”43
Kedua: Berdasarkan dengan nash yang diturunkan tersebut telah diyakini
bahwa umat ini adalah umat terbaik. Para imam meriwayatkan dari hadits Imran
bin Hashin, dari Rasulullah, bahwasannya beliau bersabda,
ذين ي لونم خي الناس ق رن ث الذين ي لونم ث ال
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian mereka
yang hidup setelahnya, kemudian mereka yang hidup setelahnya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa umat pertama dari umat ini adalah umat yang
paling baik daripada umat setelahnya. Seperti inilah pendapat sebagian para ulama.
Mereka mengatakan bahwa orang yang menjadi sahabat Rasulullah dan sempat
melihat beliau meski hanya sekali dalam hidupnya, mereka adalah orang-orang
yang lebih baik daripada mereka yang hidup setelahnya. Sesungguhnya keutamaan
persahabatan dengan Rasulullah tidak dapat dibandingkan dengan amal
perbuatan.44
Ketiga: Firman Allah, “Menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari
yang munkar,” adalah pujian bagi umat ini, selama mereka melaksanakannya dan
42 Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam Tafsir 5/226, no 3001. 43 Atsar ini disebutkan oleh al-Ṯabarî dalam Tafsîr-nya 4/29. Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî.
Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 421-422. 44 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 423-428.
42
memiliki sifat tersebut. Firman Allah, “Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka,” adalah pemberitahuan bahwa jika ahli kitab beriman
kepada Nabi Muhammad Saw. maka itu adalah kebaikan bagi mereka. Ayat ini juga
memberitahukan bahwa di antara mereka (kaum ahli kitab) ada yang beriman dan
ada pula yang fasik. Namun, orang fasik di antara mereka lebih banyak.45
2. Ibn Katsîr dalam Tafsir al-Qur`ân al-‘Aẕîm
Dalam kitab tafsirnya46, Ibn Katsîr menafsirkan bahwa Allah Swt.
memberitahukan mengenai umat Muhammad Saw., bahwa mereka adalah sebaik-
baik umat seraya berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia.”
Imam al-Bukhari meriwayatakan dari Abu Hurairah, mengenai ayat 110 surah
Âli ‘Imrân, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” ia
berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia lain. Kalian datang
membawa mereka dengan belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka
masuk Islam.”
Demikian juga yang dikatakan Ibn ‘Abbas, Mujahid, ‘Aṯiyyah al-‘Aufi,
‘Ikrimah, ‘Aṯa`, Rabi‘ bin Anas. Karena itu Dia berfiman, “Menyuruh kepada yang
ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.”
3. Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munîr
Dalam Tafsir al-Munîr ini, Wahbah al-Zuhaili memberikan penjelasan bahwa
ayat 110 surah Âli ‘Imrân ini selain sebagai sebuah peneguhan hai kaum Mukminin
dalam berpegangan kepada Allah Swt. dalam menjalankan yang hak dan mengajak
kepada kebenaran, ayat ini juga merupakan sebagai bentuk penyemangat bagi kaum
Mukminin untuk selalu menjaga ciri khusus dan karakteristik mereka dengan selalu
menunaikan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt.47
Allah Swt. menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik selama
mereka masih menjalankan amar ma‘rûf nahi munkar dan beriman kepada Allah
45 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 428-429. 46 Lihat ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn
Katsîr. Penerjemah: M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafii‘i, 2004), h. 110-117. 47 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munir Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 373
43
Swt. dengan keimanan yang lurus, benar, dan sempurna. Di dalam ayat 110 surah
Âli ‘Imrân ini, amar ma‘rûf nahi munkar didahulukan atas iman kepada Allah Swt.,
hal ini dikarenakan amar ma‘rûf nahi munkar adalah dua hal yang lebih bisa
menunjukkan dan membuktikan akan keutamaan umat Islam atas umat yang lain.
Juga karena iman, umat non-Muslim pun mengaku kalau mereka juga beriman.
Keunggulan dan keutamaan ini akan selalu dimiliki oleh umat Islam selama mereka
tetap beriman kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya iman, selalu
menjalankan amar ma‘rûf dan nahi munkar.48
4. M. Husain Ṯabâṯabâ`î dalam Tafsir al-Mîzân
M. Husain Ṯabâṯabâ`î dalam Tafsir al-Mîzân, menjelaskan bahwa Kamu
adalah sebaik-baik umat yang diciptakan untuk (kemanfaatan) manusia; Dalam
sebuah hadis Rasulullah Saw. bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain”
(HR. al-Ṯabrani dan Daruquṯni).
Kata “kuntum” ( كنتم= secara harfiah yaitu kamu) yang terdapat dalam surah
Âli ‘Imrân ayat 110, bahwa kata tersebut merupakan sebuah waktu lampau dan
merujuk kepada kondisi kaum mukmin dalam masa-masa awal Islam. Ayat ini
berbicara tentang orang-orang yang terdepan di kalangan kaum Muhajir dan kaum
Anshar; iman di sini merujuk kepada tanggapan positif mereka terhadap seruan
berpegang kuat pada tali Allah tanpa terpecah belah; iman ini adalah lawan kata
tidak mengimani seruan itu, tidak mengimani yang disebutkan dalam kata-kata:
“Apakah kamu tidak mengimani setelah kamu beriman?” Begitu pula makna iman
dalam kaitannya dengan Ahli Kitab dalam ayat ini, “dan jika Ahli Kitab beriman.”49
Dengan kata lain, maknanya adalah sebagai berikut:
Wahai orang-orang Muslim! Ketika kalian ditampilkan pertama-tama untuk
manusia, sebaik-baik kelompok yang pernah terbentuk, karena pada waktu itu
kalian beramar ma’ruf dan bernahi mungkar, dan dengan berpegang kuat pada tali
48 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munir Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 373 49 ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsîr Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.
384.
44
Allah maka kalian bersatu dan jadi satu seperti satu tubuh dan satu jiwa; dan jika
Ahli Kitab juga seperti itu, hal itu akan lebih baik bagi mereka, tetapi mereka
terpecah belah dan tidak bersatu sebagian beriman, sementara sebagian besarnya
suka melanggar dan berbuat dosa.50
Dijelaskan pula bahwa Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Ja‘far as yang
berkata tentang ayat: Kamu adalah sebaik-baik umat yang dicptakan untuk
(kemanfaatan) manusia..: “Ahlu bait Nabi Saw.”51
Kemudian Ahmad meriwayatkan melalu isnad yang kuat dari Ali as yang
berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Aku telah diberi apa yang tidak diberikan
kepada nabi: Aku telah ditolong dengan perasaan kagum, dan aku telah diberi
kunci-kunci bumi, dan aku telah diberi nama Ahmad, dan bumi telah dijadikan
sebagai suatu sarana untuk pembersihan bagiku, dan umatku telah dijadikan sebagai
sebaik-baik umat.”52
5. Al-Qummî dalam Tafsir al-Qummî
‘Alî bin Ibrâhîm al-Qummî, yang merupakan seorang ulama syi’ah berkata
dalam tafsirnya, bahwa dalam firman Allah Swt.: “Kalian adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (Q.s. Âli ‘Imrân/3:
110). Abu Abdillah berkata kepada yang membaca ayat ini, “Umat yang terbaik,
lantas membunuh amirul mukminin Hasan dan Husain bin ‘Alî ‘alaihima al-
salâm??” Lantas ada yang bertanya, “Bagaimana sebenarnya ayat tersebut
diturunkan wahai putra Rasulullah?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ayat
tersebut diturunkan: yaitu (Kalian para imam terbaik yang dilahirkan untuk
manusia)”)).53
50 ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsîr Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.
384. 51 Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî. Al-Durru al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr, 3 (Kairo: Markaz
Hajar lil Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah, 2003), h. 727. 52 Lihat ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsîr Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan,
h. 392. 53 ‘Alî bin Ibrâhîm al-Qummî. Tafsîr Al-Qummî, I (Qom: Dâr al-Kitâb, 1435), h. 164.
45
BAB IV
KLASIFIKASI KHAIRA UMMAH MENURUT MUFASIR SUNNI DAN
SYI‘AH DALAM Q.S. ÂLI ‘IMRÂN/3: 110
Berdasarkan uraian penjelasan dalam beberapa kitab tafsir yang dijadikan
sebagai sumber utama, penulis mengklasifikasikan tiga hal yang akan dijelaskan
dalam bab pembahasan ini. Berikut ini merupakan hasil analisa penulis berdasarkan
pengklasifikasian atau pengelompokkan yang tercantum dalam dalil Khaira ummah
yaitu Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110.
A. Syarat-Syarat Khaira Ummah
Terdapat tiga hal yang telah dikelompokkan ke dalam syarat-syarat Khaira
ummah. Pengelompokkan tersebut meliputi:
1. Bentuk Ajakan kepada Kebaikan (amar ma‘rûf nahî munkar)
Tabel 4.1 Syarat Khaira Ummah terkait Ajakan kepada Kebaikan (amar ma‘rûf
nahî munkar)
Nama Tafsir Syarat Khaira Ummah
Tafsir Al-
Qurṯubî
Mengajak mereka kepada ajaran Islam
Mengajak kepada yang ma‘rûf
Mencegah dari yang munkar
Amar ma‘rûf nahî munkar sudah tersebar luas di
kalangan muslimin
Tafsir Ibn Katsîr Menyuruh yang ma‘rûf, mencegah yang munkar
Paling giat menyuruh yang ma‘rûf dan mencegah yang
munkar
Tafsir Al-Munîr Menjalankan amar ma‘rûf nahî munkar
Tafsir Al-Mîzân Menunaikan amar ma‘rûf nahî munkar
Tafsir Al-
Qummi Mengerjakan yang ma‘rûf dan melarang yang munkar
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, penulis menganalisa dan menjelaskan
bahwasannya beberapa mufasir sepakat terkait karakteristik atau syarat-syarat yang
harus dimiliki oleh umat Islam agar mendapatkan julukan sebagai Khaira ummah,
yang pertama harus dimiliki yaitu dengan mengajak kepada kebaikan atau ber-amar
ma‘rûf nahî munkar.
46
Dalam Tafsir al-Qurṯubî, penulis menemukan beberapa hal yang bisa
mewakili syarat dari Khaira ummah yaitu mengajak kepada kebaikan dan amar
ma‘rûf nahî munkar. Pada awal penjelasan tafsiran ayat 110 surah Âli ‘Imrân
terlihat bahwa al-Qurṯubî awalnya membagi penjelasannya dengan tiga bagian dan
di dalam penjelasan tersebut beliau menukil serta mengemukakan pendapat dari
para ulama sebagai penguat atas penjelasan tafsiran ayat tersebut.1
Al-Qurṯubî mencantumkan riwayat Abu Hurairah, sebagaimana dijelaskan
bahwa beliau berkata, “Kita adalah sebaik-baik manusia yang dilahirkan untuk
manusia. Kita harus mengajak mereka kepada ajaran Islam.”2 Dengan demikian,
jika ingin menjadi sebaik-baik manusia, maka sepatutnya untuk saling berbuat
ajakan kebaikan terhadap ajaran Islam.
Kemudian al-Qurṯubî juga mencantumkan pendapat Mujahid, menurutnya
bahwa “Kalian adalah sebaik-baik umat jika kalian mengajak pada yang ma‘rûf dan
mencegah dari yang munkar. Ulama lain mengatakan bahwa sesungguhnya umat
Muhammad menjadi umat terbaik karena amar ma‘rûf nahî munkar sudah tersebar
luas di kalangan mereka.3 Firman Allah, “Menyuruh kepada yang ma‘rûf dan
mencegah dari yang munkar,” dalam surah Âli ‘Imrân ayat 110 adalah sebagai
bentuk pujian bagi umat ini, selama mereka melaksanakannya dan memiliki sifat
tersebut.4
Ibn Katsîr menjelaskan dalam tafsirnya terkait amar ma‘rûf nahî munkar
sebagai syarat Khaira ummah ini bahwa dalam surah Âli ‘Imrân ayat 110 dijelaskan
“menyuruh kepada yang ma‘rûf dan mencegah dari yang munkar”.5
Imam Ahmad meriwayatkan dari Durrah binti Abu Lahab, ia berkata, ada
seseorang berdiri menghadap Nabi Saw., ketika itu beliau berada di mimbar, lalu
orang itu berkata,”6
“‘Ya Rasulullah, siapakah manusia terbaik itu?’ Beliau bersabda: ‘Sebaik-
baik manusia adalah yang paling hafal al-Qur`ân, paling bertakwa kepada
1 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), h. 421. 2 Atsar ini disebutkan oleh al-Ṯabarî dalam Tafsîr-nya 4/29. 3 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 422. 4 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 428. 5 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.
Penerjemah: M. Abdul Ghoffar (Bogor: Pustaka Imam al-Syafii‘i, 2004), h. 110. 6 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.
Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111.
47
Allah, paling giat menyuruh berbuat yang ma‘rûf dan paling gencar
mencegah kemunkaran dan paling rajin bersilaturahmi di antara mereka.’”
(HR. Ahmad).
Wahbah al-Zuhaili pun menyebutkan bahwa syarat umat menjadi Khaira
ummah adalah dengan mengerjakan amar ma‘rûf nahî munkar. Dalam tafsirnya
bahwa ayat 110 surah Âli ‘Imrân ini, amar ma‘rûf nahî munkar didahulukan atas
iman kepada Allah Swt., hal ini dikarenakan amar ma‘rûf nahî munkar adalah dua
hal yang lebih bisa menunjukkan dan membuktikan akan keutamaan umat Islam
atas umat yang lain serta merupakan pintu dari keimanan itu sendiri. Juga karena
iman, umat non-Muslim pun mengaku kalau mereka juga beriman. Keunggulan dan
keutamaan ini akan selalu dimiliki oleh umat Islam selama mereka tetap beriman
kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya iman, selalu menjalankan amar ma‘rûf
dan nahî munkar.7
Sedangkan Ṯabâṯabâ`î menjelaskan amar ma‘rûf nahî munkar dalam ayat 110
surah Âli ‘Imrân ini dengan sebagai berikut: Wahai kaum Muslim! Kalian adalah
sebaik-baik kelompok yang telah Allah munculkan untuk umat manusia dengan
memandunya, karena kamu bersatu, kamu mengimani Allah, dan menunaikan tugas
kembar ber-amar ma‘rûf dan ber-nahî munkar. Tak dapat diragukan lagi, gelar
terhormat ini telah diberikan kepada seluruh umat hanya karena sebagian dari umat
telah sampai pada iman sejati dan memenuhi kewajiban-kewajiban ber-amar
ma‘rûf dan ber-nahî munkar. Dengan kata lain, bahwa hal ini adalah apa yang telah
ditulis oleh beberapa mufasir tentangnya.8 Ma‘rûf menurutnya adalah sesuatu yang
dianggap benar sedangkan munkar adalah sesuatu yang dianggap sesat. Maka,
Ṯabâṯabâ`î berpandangan bahwa amar ma‘rûf nahî munkar merupakan sesuatu hal
sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya, yang mana
ditujukan kepada kelompok umat manusia yang berada di pertengahan.
Demikian pula Ibrâhîm al-Qummî, dalam tafsirnya beliau sepakat dengan
syarat Khaira ummah yang pertama ini yaitu mengerjakan yang ma‘rûf dan
mencegah atau meninggalkan yang munkar.
7 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 373 8 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h. 384.
48
Ibrâhîm al-Qummî juga sepakat mengatakan dalam tafsirnya, bahwa syarat
Khaira ummah yang pertama adalah menjalankan perintah amar ma‘rûf nahî
munkar.
Jika dilihat pada bab sebelumnya, pembahasan tentang amar ma‘rûf nahî
munkar telah dijelaskan yang mana merupakan syarat atau karakteristik dari
khaira ummah, sebagaimana telah tercantum dalam ayat al-Qur`ân sendiri. Maka,
setiap dari mufasir pun sepakat bahwa syarat ini merupakan hal yang utama dari
bentuk khaira ummah tersebut.
2. Bentuk Beriman kepada Allah Swt.
Tabel 4.2 Syarat Khaira Ummah terkait Beriman kepada Allah Swt.
Nama Tafsir Syarat Khaira Ummah
Tafsir Al-
Qurṯubî Beriman kepada Allah Swt.
Tafsir Ibn Katsîr Beriman kepada Allah Swt.
Tafsir Al-Munîr Beriman kepada Allah Swt.
Tafsir Al-Mîzân Beriman kepada Allah Swt.
Berpegang pada tali (agama) Allah Swt.
Tafsir Al-
Qummi
Memuji Allah Swt.
Beriman kepada Allah Swt.
Berdasarkan keterangan tabel di atas, bahwa diketahui jika seluruh mufasir
yang tertera di tabel sepakat bahwa syarat lain terbentuknya Khaira ummah yaitu
beriman kepada Allah Swt.
Dalam penjelasan al-Qurṯubî di dalam kitab tafsirnya bahwa ada seorang
ulama yang tidak diketahui namanya yang berpendapat bahwa makna dari surah Âli
‘Imrân ayat 110 tentang Khaira ummah yaitu “Kalian yang telah beriman adalah
sebaik-baik umat.9
Kemudian dalam penjelasan Ibn Katsîr pun, beriman kepada Allah Swt.
merupakan syarat bagi Khaira ummah, dijelaskan dalam surah Âli ‘Imrân ayat 110.
Dalam tafsir al-Munîr, Wahbah menjelaskan dalam ayat, وت ؤمنون بٱلل “dan
kalian beriman kepada Allah Swt.” dengan maksud menjadikan iman kepada segala
9 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421.
49
sesuatu yang memang wajib diimani sebagai bentuk keimanan kepada Allah Swt.
karena orang yang hanya beriman kepada sebagian hal-hal yang wajib diimani saja
(tidak sepenuhnya), seperti beriman kepada rasul atau kitab suci atau hari
kebangkitan atau hisab (penghitungan amal) atau siksa atau pahala atau hal-hal
yang wajib diimani lainnya, maka keimanan orang tersebut tidak dianggap dan ia
bagaikan orang yang tidak beriman kepada Allah Swt.10 Dengan kata lain,
bahwasannya Wahbah sependapat dengan apa yang dimaksud dalam kalimat yang
telah dijelaskan di atas. Keimanan dalam ayat Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110 tersebut
tertulis beriman kepada Allah, akan tetapi secara tersirat bahwa hal-hal keimanan
yang lainnya telah mencakup di dalamnya, jika umat telah mencapai keutamaan
sebagai umat terbaik, tentu mereka mengimani seluruhnya baik beriman kepada
Allah maupun mengimani sesuai dengan rukun iman.
Ṯabâṯabâ`î sendiri dalam Tafsir al-Mîzân, berpendapat bahwa perintah dalam
ayat 110 surah Âli ‘Imrân ini ditujukan kepada orang-orang beriman, yang mana
orang-orang beriman tersebut berada ditengah-tengah umat pada umumnya.
Kalimat “dan kamu mengimani Allah”, ditempatkan setelah penyebutan totalitas
ihwalnya atau akarnya setelah menggambarkan beberapa komponen atau cabang.11
Mereka orang-orang beriman tersebut tetap setia menjalankan sebuah komponen
yang menjadikannya sebagai golongan umat terbaik. Lalu sebaik-baik kelompok
yang pernah terbentuk, karena pada waktu itu berpegang kuat pada tali agama Allah
Swt. Hal ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya yaitu surah Âli ‘Imrân
ayat 104.
Hal yang sama pun dari Ibrâhîm al-Qummî, dalam tafsirnya beliau sepakat
dengan syarat Khaira ummah yang selanjutnya yaitu beriman kepada Allah Swt.
seorang periwayat mengatakan “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan:
(Kalian “para imam” terbaik yang dilahirkan untuk manusia, ketahuilah agar
kamu memuji Allah atas mereka. Bahwa dia berkata: mengerjakan yang ma’ruf
10 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 374 11 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.
383-384.
50
dan melarang yang munkar dan beriman kepada Allah)”.12 Memuji dan beriman
kepada Allah Swt. merupakan syarat yang harus dilakukan jika umat ingin
disebutkan sebagai Khaira ummah.
3. Bentuk Lain
Tabel 4.3 Syarat lain yang menunjukkan kepada Khaira Ummah
Nama Tafsir Syarat Khaira Ummah
Tafsir Al-
Qurṯubî
Menyempurnakan 70 umat
Kaum muslimin jumlahnya lebih banyak
Tafsir Ibn Katsîr Umat yang adil dan pilihan
Sebanding dengan 70 umat
Tafsir Al-Munîr -
Tafsir Al-Mîzân Bersatu
Tafsir Al-
Qummi -
Berdasarkan keterangan tabel di atas, diketahui terdapat beberapa perbedaan
antara mufasir satu dengan yang lainnya terkait dengan syarat Khaira ummah yang
ketiga ini. Syarat ini hanya terdapat di tiga mufasir yang tertera di atas, dua mufasir
sunni dan satu mufasir syi‘ah.
Dalam tafsir al-Qurṯubî, terdapat dua syarat lain sebagai syarat dari Khaira
ummah yaitu menyempurnakan tujuh puluh umat dan jumlahnya lebih banyak.
Dijelaskan bahwa dari riwayat al-Tirmidzi “Kalian menyempurnakan jumlah tujuh
puluh umat. Kalian umat yang terbaik dan paling mulia di sisi Allah Swt.”13 Lalu
ada ulama lain yang tidak diketahui namanya mengatakan sesungguhnya umat
Muhammad menjadi umat terbaik karena kaum muslimin jumlahnya lebih banyak,
dan amar ma‘rûf nahî munkar sudah tersebar luas di kalangan mereka.14
Kemudian dalam tafsir Ibn Katsîr, terdapat dua syarat lain juga sebagai syarat
dari Khaira ummah yaitu umat yang adil dan pilihan dan sebanding dengan tujuh
puluh umat. Ibn Katsîr menafsirkan bahwa ayat 110 surah Âli ‘Imrân bersifat umum
mencakup seluruh umat pada setiap generasi berdasarkan tingkatannya. Lalu
12 ‘Alî bin Ibrâhîm al-Qummî. Tafsîr Al-Qummî, I (Qom: Dâr al-Kitâb, 1435), h. 164. 13 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421. 14 Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 422.
51
sebaik-baik generasi mereka adalah para Sahabat Rasulullah Saw., kemudian yang
setelah mereka, lalu generasi berikutnya. Sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..” (Q.s.
Al-Baqarah/2: 143)
Dalam Musnad Imam Ahmad, Jâmi‘ al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah, dan
Mustadrak al-Hakim bin Mu`awiyah bin Haidah, dari ayahnya, ia berkata,
Rasulullah Saw. bersabda:
“Kalian sebanding dengan 70 (tujuh puluh) umat dan kalian adalah sebaik-
baik dan semulia-mulia umat bagi Allah Swt.”
Hadits tersebut masyhur, dan dinyatakan hasan oleh al-Tirmidzi.15
Selanjutnya, Ṯabâṯabâ`î dari mufasir syi‘ah menyebutkan dalam tafsirnya
bahwa ada satu syarat lagi sebagai syarat Khaira ummah, yaitu bersatu. Dijelaskan
dalam tafsirnya, bahwa sebaik-baik kelompok yang pernah terbentuk, karena pada
waktu itu kalian bersatu dan jadi satu seperti satu tubuh dan satu jiwa.16
Syarat-syarat yang berada dalam kategori ketiga ini, tentu berbeda dengan
sebelumnya, yang mana dua kategori sebelumnya telah dijelaskan dalam ayat al-
Qur`ân, namun yang terakhir ini merupakan penambahan pandangan dari beberapa
mufasir saja.
B. Objek dari Khaira Ummah
Terdapat tiga hal yang telah dikelompokkan ke dalam objek yang ditujukan
kepada Khaira ummah. Pengelompokkan tersebut meliputi:
1. Golongan Sahabat dan orang-orang yang sezaman dengan Nabi
Tabel 4.4 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan Sahabat
dan orang-orang yang sezaman dengan Nabi Muhammad Saw.
Nama Tafsir Untuk siapa Khaira Ummah diberikan ?
Sahabat Nabi
15 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.
Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111. 16 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.
384.
52
Tafsir Al-
Qurṯubî
Orang-orang yang berhijrah dari Makkah menuju
Madinah
Orang-orang yang ikut perang Badar
Orang-orang yang melakukan perjanjian Hudaibiyah
Sebaik-baik umat daripada pendahulu kalian
Orang-orang yang Nabi diutus kepada mereka
Orang-orang yang hidup pada masa Nabi
Tafsir Ibn Katsîr Orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah dari
Makkah ke Madinah
Tafsir Al-Munîr Generasi awal umat
Tafsir Al-Mîzân Ahlul bait nabi
Tafsir Al-
Qummi -
Berdasarkan tabel 4.4 di atas, penulis menganalisa dan menjelaskan bahwa
terdapat tiga buah pengelompokkan atas objek yang ditujukan pada Khaira ummah.
Pengelompokkan tersebut meliputi:
Sebagaimana yang tertera dalam tabel di atas, bahwasannya beberapa mufasir
memberikan pendapat dan ada sebagian yang menyepakati terkait objek atau siapa
yang berhak mendapatkan julukan Khaira ummah. Klasifikasi objek dari Khaira
ummah yang pertama ini yaitu ditujukan kepada golongan Sahabat dan orang-orang
yang sezaman dengan Nabi Muhammad Saw.
Al-Qurṯubî memberikan penjelasan dalam tafsirnya mengenai objek dari
Khaira ummah yaitu Abu Hurairah telah berkata bahwa “Kita adalah sebaik-baik
manusia yang dilahirkan untuk manusia. Kita harus mengajak mereka kepada ajaran
Islam.” Ibn Abbas juga berkata “Mereka adalah orang-orang yang berhijrah dari
Makkah menuju Madinah, dan ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian
Hudaibiyah.” Lalu, mufasir menyimpulkan bahwa kalian adalah sebaik-baik umat
daripada pendahulu kalian, yaitu para ahli kitab.17 Sebagaimana kalimat yang
terakhir tersebut dijelaskan dalam ayat 110 surah Âli ‘Imrân. Ada pula ulama yang
berpendapat bahwa istilah ini adalah untuk para sahabat Rasulullah Saw.
sebagaimana sabda beliau, yaitu:
17 Lihat: Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421-422.
53
ىنر ق اس الن ي خ
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku.”18
Maksudnya adalah orang yang aku diutus kepada mereka. Para imam
meriwayatkan dari hadits Imran bin Hashin, dari Rasulullah, bahwasannya beliau
bersabda,
م ن و ل ي ن ي ذ ال ث م ن و ل ي ن ي ذ ال ث ىن ر ق اس الن ي خ
“Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian
mereka yang hidup setelahnya, kemudian mereka yang hidup
setelahnya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa umat pertama dari umat ini adalah umat yang
paling baik daripada umat setelahnya. Seperti inilah pendapat sebagian para ulama.
Mereka mengatakan bahwa orang yang menjadi sahabat Rasulullah dan sempat
melihat beliau meski hanya sekali dalam hidupnya, mereka adalah orang-orang
yang lebih baik daripada mereka yang hidup setelahnya. Sesungguhnya keutamaan
persahabatan dengan Rasulullah tidak dapat dibandingkan dengan amal
perbuatan.19
Ibn Katsîr meriwayatkan dalam kitab tafsirnya dan mengutip penjelasan Al-
Nasâ`i dalam kitab Sunan dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak meriwayatkan
dari hadits Samak, dari Sa‘id bin Jubair, dari Ibn ‘Abbas, mengenai firman Allah
Swt., اس لن ل ت ج ر خ أ ة م أ ي خ م ت ن ك “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia.” Ia berkata: “Mereka itu adalah orang-orang yang berhijrah
bersama Rasulullah Saw. dari Makkah menuju Madinah.20
Lalu, dalam tafsir al-Munîr, Wahbah al-Zuhaili meriwayatkan bahwa berita
gembira terkait Khaira ummah sebagaimana dalam surah Âli ‘Imrân ayat 110,
pemberitaan tersebut telah dapat diraih oleh umat Islam terdahulu, sehingga mereka
berhasil mengalahkan kaum Yahudi bani Qainuqa`, bani Nadhir, bani Quraizhah,
18 Hadits ini diriwayatkan oleh para imam: Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, dan
Ahmad dari Ibn Mas‘ud. Hadits ini memiliki riwayat yang beragam dan kalimat-kalimat yang saling
berdekatan. Lihat kitab Al-Jami‘ Al-Kabir 2/1769 dan setelahnya. 19 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 422-423. 20 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.
Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111.
54
dan kaum Yahudi Khaibar.21 Seperti yang telah dijelaskan dalam riwayat hadits
Imam Bukhari, Muslim, dan al-Tirmidzi dari Ibn Mas‘ud ra. Bahwasannya generasi
awal umat ini lebih utama dan lebih baik dari generasi setelahnya. Riwayat ini
merupakan yang menjadi mayoritas para ulama dalam mengatakan terkait Khaira
ummah atau sebaik-baik umat.
Dalam Kitab tafsir al-Mîzân, Ṯabâṯabâ`î mengutip pendapat Ibn Abi Hatim
yang meriwayatkan dari Abu Ja‘far as. yang berkata tentang ayat: “Kamu adalah
sebaik-baik umat yang diciptakan untuk (kemanfaatan) manusia..:” ‘Ahlul bait
Nabi.’22
2. Golongan orang yang dikhususkan
Tabel 4.5 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan orang yang
dikhususkan
Nama Tafsir Untuk siapa Khaira Ummah diberikan ?
Tafsir Al-
Qurṯubî
Orang-orang shalih dan memiliki keistimewaan
Orang-orang yang menjadi saksi bagi umat manusia di
Hari Kiamat
Orang-orang yang telah tercatat di Lauh al-Mahfûẕ
Orang-orang yang telah beriman
Sebaik-baik pemeluk agama
Orang yang panjang usianya dan baik amal
perbuatannya
Tafsir Ibn Katsîr Orang yang paling hafal al-Qur`ân, paling bertakwa
kepada Allah Swt.
Paling rajin bersilaturahmi
Tafsir Al-Munîr -
Tafsir Al-Mîzân Golongan orang yang diangkat oleh Allah Swt.
Umat yang tengah
Tafsir Al-
Qummi Para Imam terbaik
21 Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj. Abdul
Hayyie al-Kattani, dkk, h. 376. 22 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.
392. Lihat juga Al-Suyuṯi Jalâluddîn. Al-Durru al-Mantsur fî al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr (Beirut-
Lebanon: Dar al-Fikr, 1983), h. 727.
55
Al-Qurṯubî menjelaskan dalam riwayat tafsirnya bahwa selain ditujukan
kepada sahabat atau orang yang hidup pada zaman Rasulullah, Khaira ummah pun
ditujukan kepada golongan orang-orang dikhususkan sesuai keterangan tabel di
atas, sehingga mereka pantas mendapat gelar tersebut. Kelompokkelompok tersebut
yaitu orang-orang shalih dan memiliki keistimewaan, merupakan pendapat riwayat
ulama yang tidak diketahui namanya. Beliau mengungkapkan bahwasannya mereka
adalah umat Nabi Muhammad, yaitu orang-orang yang shalih dan memiliki
keistimewaan. Mereka adalah orang-orang yang menjadi saksi bagi umat manusia
di hari kiamat, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah Al-Baqarah. Ulama
lainnya berpendapat bahwa maknanya adalah kalian sebelumnya telah tercatat di
Lauh al-Mahfuẕ. Ada yang berpendapat bahwa maknanya yaitu kalian yang telah
beriman adalah sebaik-baik umat. Ulama lain mengatakan ayat ini turun untuk
menyampaikan kabar gembira akan kedatangan Rasulullah dan umatnya. Lalu Al-
Akhfasy mengatakan bahwa maksudnya adalah sebaik-baik pemeluk agama.23
.ه ل م ع آء س و ه ر م ع ال ط ن م اس لن ا ر ش , و ه ل م ع ن س ح و ه ر م ع ال ط ن م اس الن ي خ “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang usianya adan baik amal
perbuatannya. Sedangkan manusia paling buruk adalah manusia yang
panjang usianya namun buruk amal perbuatannya.”24
Ibn Katsîr meriwayatkan dalam kitab tafsirnya dan mengutip riwayat Imam
Ahmad dari Durrah binti Abu Lahab, ia berkata, ada seseorang berdiri menghadap
Nabi Muhammad Saw., ketika itu beliau berada di mimbar, lalu orang itu berkata,
م ه ر آم ، و لل م اه ق ت أ ، و م ه أ ر ق ، أ اس لن ا ي : )خ ال ؟ ق ير خ اس الن ي أ للا ل و س ر ي (.م ح لر ل م ه ل ص و أ ، و ر ك ن م ال ن ع م اه ن أ و ف و ر ع م ل ب
“‘Ya Rasulullah, siapakah manusia terbaik itu?’ Beliau bersabda: ‘Sebaik-
baik manusia adalah yang paling hafal al-Qur`ân, paling bertakwa kepada
Allah, paling giat menyuruh berbuat yang ma‘rûf dan paling gencar
mencegah kemunkaran dan paling rajin bersilaturahmi di antara mereka.’”
(HR. Ahmad).
23 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421-422. 24 Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidzi. Dia berkata, “Hadits ini hasan sahîh.”
Diriwayatkan pula oleh al-Ṯabrani, Hakim, dan Baihaqi dari Abu Bakrah. Lihat Kitab Al-Jâmi‘ Al-
Kabîr 2/1776 dan Al-Sagîr, no 4039 dan mendapat tanda “hasan”. Lihat juga Syaikh Imâm al-
Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 428.
56
Dalam riwayat hadits Imam Ahmad tersebut dijelaskan bahwa golongan
orang yang dikhususkan terkait objek Khaira ummah yaitu orang yang paling hafal
al-Qur`ân dan orang yang paling rajin bersilaturahmi.25
Ṯabâṯabâ`î mengutip pendapat Abu Amr al-Zubairi yang meriwayatkan dari
al-Sadiq as. tentang firman Allah: “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diciptakan
untuk (kemanfaatan manusia)..,” yang mengatakan: “Allah memaksudkan umat
(kelompok, bangsa) yang untuk mereka doa Ibrahim as. dikabulkan, dan mereka
adalah orang-orang yan di antara mereka diangkat oleh Allah (Rasul-Nya) dan dari
mereka dan untuk mereka; dan mereka adalah umat tengah, dan mereka adalah
sebaik-baik umat yang telah diciptakan untuk manusia.”26
Ibrâhîm al-Qummî, dalam tafsirnya ada yang mengatakan
bahwa “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan: (Kalian “para imam” terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, ketahuilah agar kamu memuji Allah atas
mereka..)”. Dalam ayat 110 surah Âli ‘Îmrân ini dikatakan bahwa Khaira ummah
tertuju kepada para imam.
3. Golongan orang atau manusia secara umum
Tabel 4.6 Objek dari Khaira Ummah yang ditujukan kepada golongan orang atau
manusia secara umum
Nama Tafsir Untuk siapa Khaira Ummah diberikan ?
Tafsir Al-
Qurṯubî
Untuk manusia
Orang yang melakukan perbuatan seperti perbuatan
kalian maka dia seperti kalian
Tafsir Ibn Katsîr Sebaik-baik manusia untuk manusia lain
Seluruh umat pada setiap generasi berdasarkan
tingkatan
Tafsir Al-Munîr Umat Islam
Tafsir Al-Mîzân Seluruh umat manusia
(Kemanfaatan) manusia
Tafsir Al-
Qummi -
25 ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr.
Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111. 26 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.
391-392. Lihat juga Al-Muhaddits Al-Jalîl Abî Al-Nasr Muhammad bin Mas‘ûd Ibn ‘Ayyâsy Al-
Salamî Al-Samarqandî, Tafsîr al-‘Ayyâsyî (Beirut: Muassasah al-A‘lamî lilmatbû‘at, 1991) h. 219
57
Al-Qurṯubî menjelaskan dalam kitab tafsirnya, bahwa gelar Khaira ummah
yang ditujukan kepada umat manusia ini, sebagaimana tercantum secara jelas dalam
surah Âli ‘Imrân ayat 110. Bahwasannya “Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia”. Kemudian sahabat Umar bin Khaṯṯab meriwayatkan
bahwa, “Siapa saja yang berbuat seperti perbuatan mereka maka dia termasuk
seperti golongan mereka”.27
Kemudian, Ibn Katsîr dalam tafsirnya juga menjelaskan riwayat Imam al-
Bukhari yang meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., mengenai ayat 110 sûrah Âli
‘Imrân, “Kamu adalah uamt yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” ia
berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia untuk manusia lain. Kalian datang
membawa mereka dengan belenggu yang melilit di leher mereka sehingga mereka
masuk Islam.”28
Wahbah al-Zuhaili menerangkan dalam tafsirnya, Q.s. Âli ‘Imrân/3: 110
Allah telah menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik selama
mereka masih menjalankan amar ma‘rûf nahî munkar dan beriman kepada Allah
Swt. dengan keimanan yang lurus, benar dan sempurna.29
Dalam tafsir al-Mîzân, Ṯabâṯabâ`î mengungkapkan makna ayat 110 surah Âli
‘Imrân yaitu “Kamu adalah sebaik-baik umat yang diciptakan untuk (kemanfaatan)
manusia..” di sini dimaksudkan bahwa kaum Muslim merupakan sebaik-baik
kelompok yang dimunculkan untuk umat manusia.
C. Dampak dari Khaira Ummah
Penulis menganalisa dan menjelaskan bahwa terdapat dua buah
pengelompokkan atas dampak atau hal apa yang didapatkan oleh objek terkait
Khaira ummah. Pengelompokkan tersebut meliputi:
1. Kemuliaan di hadapan Allah dan Rasul
27 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421. 28 Lihat ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn
Katsîr. Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111. 29 Lihat Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 373.
58
Tabel 4.7 Dampak Khaira Ummah terhadap kemuliaan umat di hadapan Allah dan
Rasul
Nama Tafsir Dampak Khaira Ummah
Tafsir Al-
Qurṯubî Paling mulia di sisi Allah Swt.
Tafsir Ibn Katsîr Semulia-mulia umat bagi Allah Swt.
Akan masuk surga
Tafsir Al-Munîr -
Tafsir Al-Mîzân Doa Nabi Ibrahim dikabulkan
Rasul mendapatkan apa yang tidak didapatkan oleh
Nabi lain
Rasul ditolong dengan perasaan kagum
Rasul diberi kunci-kunci bumi
Rasul diberi nama Ahmad
Tanah yang Suci bagi Rasul
Tafsir Al-
Qummi -
Adapun dampak bagi umat yang disebut sebagai Khaira ummah yaitu
kemuliaan di sisi Allah. Sebagaimana riwayat dari al-Tirmidzi, bahwa Rasulullah
pernah bersabda, “Kalian menyempurnakan jumlah tujuh puluh umat, kalian
adalah umat terbaik dan paling mulia di sisi Allah Swt.”30 hal ini artinya jika umat
telah mendapatkan suatu penghargaan khusus dari Allah Swt. yaitu Khaira ummah
sebagai umat yang terbaik, maka Allah pun menambah kenikmatan dengan
menjadikan umat tersebut kemuliaan di sisi Allah Swt.
Hal yang sama juga dalam Musnad Imam Ahmad, Jâmi‘ al-Tirmidzi, Sunan
Ibn Majah, dan Mustadrak al-Hakim, diriwayatkan dari Hakim bin Mu‘awiyah bin
Haidah, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Kalian sebanding
dengan tujuh puluh umat dan kalian adalah sebaik-baik dan semulia-mulia umat
bagi Allah ‘azza wa jalla.”31 Kemudian hal lain riwayat Tsauban, sebuah hadits
yang pernah didengar langsung dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Akan masuk
30 Lihat Syaikh Imâm al-Qurṯubî. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi, h. 421. 31 Hadits masyhur, dan dinyatakan hasan oleh al-Tirmidzi.
59
Surga dari umatku tujuh puluh ribu orang tanpa hisab dan adzab bagi mereka,
setiap seribu orang disertai lagi tujuh puluh ribu orang.”32
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Ṯabâṯabâ`î mengutip pendapat Abu
Amr al-Zubairi yang mengatakan bahwa salah satu makna dari “sebaik-baik umat
yang diciptakan untuk (kemanfaatan) manusia..” yaitu (Allah) memaksudkan
umat, yang untuk mereka doa Nabi Ibrahim dikabulkan. Kemudian beliau megutip
kembali pendapat dari Ahmad yang meriwayatkan melalui isnad yang kuat dari ‘Alî
as. yang berkata: “Rasulullah Saw. bersabda: ‘Aku telah diberi apa yang tidak
diberikan kepada nabi: Aku telah ditolong dengan perasaan kagum, dan aku telah
diberi kunci-kunci bumi, dan aku telah diberi nama Ahmad, dan bumi telah
dijadikan sebagai suatu sarana atau tempat untuk pembersihan (yang suci) bagiku,
dan umatku telah dijadikan sebagai sebaik-baik umat.”33
2. Hal atau kebaikan umum lainnya
Tabel 4.8 Dampak Khaira Ummah terhadap kebaikan lain
Nama Tafsir Dampak Khaira Ummah
Tafsir Al-
Qurṯubî -
Tafsir Ibn Katsîr Menjadi saksi atas perbuatan manusia
Juara menuju kepada kebaikan
Tafsir Al-Munîr Amal perbuatan menjadi suci dan baik
Tafsir Al-Mîzân -
Tafsir Al-
Qummi -
Selain berdampak terkait kemuliaan di hadapa Allah Swt. Dalam kitab tafsir
Ibn Katsir juga terdapak dampak lain dari Khaira ummah yaitu menjadi saksi atas
pebuatan manusia. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Baqarah/2: 143
bahwa “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kmau (umat Islam), umat yang
32 Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dan sanad para perawinya tsiqat (dapat
dipercaya), mereka dari orang-orang Syam dan Himsha, maka hadits ini adalah sahîh. Lihat ‘Abd
Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn Katsîr. Penerjemah: M.
Abdul Ghoffar, h. 112. 33 ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Ṯabâṯabâ`î. Tafsir Al-Mîzân. Terj. Ilyas Hasan, h.
391-392. Lihat juga Al-Suyuṯi Jalâluddîn. Al-Durru al-Mantsur fî al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr (Beirut-
Lebanon: Dar al-Fikr, 1983), h. 727.
60
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” Lalu
sebagaimana penjelasan dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi (pada
pembahasan sebelumnya) bahwa umat ini menjadi sang juara dalam menuju kepada
kebaikan tiada lain karena Nabinya, Muhammad Saw. Sebab beliau adalah makhluk
paling terhormat dan Rasul paling mulia di hadapan Allah Swt.34
Dalam kitab tafsir al-Munîr, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa amal
perbuatan dari generasi akhir umat akan menjadi suci dan baik mana kala mampu
menyerupai generasi awal umat ini. Pada dasarnya keutamaan orang-orang yang
sezaman dengan Nabi Muhammad Saw. dikarenakan mereka adalah golongan
minoritas dengan keimanan mereka di saat jumlah orang-orang kafir waktu itu jauh
lebih banyak, mereka sabar dan tabah menghadapi segala gangguan dari orang-
orang kafir serta kuat di dalam memegang agama dan keimanan mereka. Generasi
akhir umat pun akan mengalami seperti hal tersbeut tatkala menegakkan agama,
memegangnya dengan erat dan sabar di dalam menjalankan ketaatan kepada
Tuhan.35
34 Lihat ‘Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu al-Syaikh. Tafsir Ibn
Katsîr. Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, h. 111. 35 Lihat Wahbah Al-Zuhaili. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h. 378.
61
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penulis melihat bahwa pemaknaan Khaira ummah merupakan sebutan yang
istimewa bagi umat Islam, umat Nabi Muhammad Saw. dan telah Allah jelaskan
dalam firman-Nya yaitu surah Âli ‘Imrân ayat 110.
Dilihat dari pengklasifikasian tentang Khaira ummah, terdapat tiga hal yang
ditunjukkan berdasarkan telaah dari penjelasan beberapa tafsir Sunni dan Syi‘ah
yaitu syarat-syarat dari Khaira ummah, objek yang ditujukan siapa yang berhak
mendapatkan gelar Khaira ummah, dan terakhir dampak dari Khaira ummah itu
sendiri. Dalam syarat Khaira ummah, kelima mufasir yang penulis teliti sepakat
dengan syarat amar ma‘rûf nahî munkar dan beriman kepada Allah Swt., namun
bagi sebagian mufasir menambahkan syarat lain yaitu seperti al-Qurṯubî dalam
tafsirnya menyatakan dikarenakan kaum muslimin jumlahnya lebih banyak dan
menyempurnakan tujuh puluh umat, lalu Ibn Katsîr menambahkan syarat lain yaitu
umat yang adil dan pilihan, dan Ṯabâṯabâ`î menambahkan pula dalam tafsir al-
Mîzân bahwa syaratnya umat Islam harus bersatu.
Lalu objek dari Khaira ummah menurut kelima mufasir, ditujukan pada
golongan orang-orang sezaman dengan Rasulullah, atau bahkan ditujukan bagi
seluruh umat manusia, namun bagi al-Qummî, beliau menafsirkannya yang
ditujukan kepada para Imam terbaik dari golongan Syi‘ah. Kemudian dampak dari
Khaira ummah itu sendiri sebagian mufasir sepakat bahwa umat dan Rasul
mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Swt., dan Wahbah menambahkannya bahwa
amal perbuatan umat menjadi suci dan baik.
Akhirnya, mengenai penjelasan Khaira ummah dari mufasir sunni dan syi‘ah
yang penulis gunakan tersebut, bahwasannya ternyata di kedua belah pihak baik
mufasir sunni maupun syi‘ah menafsirkan ayat 110 surah Âli ‘Imrân mereka tidak
partisan, walaupun ada sebagian yang menyatakan penafsiran dari Khaira ummah
dengan berbeda. Khaira ummah secara tekstual lebih cenderung pada golongan
orang-orang yang hidup dan sezaman pada masa Nabi Muhammad Saw. Akan
tetapi secara kontekstual yang digunakan adalah mereka yang mampu
mempertahankan eksistensi umat sebagai umat pilihan yang diberi gelar Khaira
62
ummah, menjaga gelar kehormatan tersebut dengan menjalankan kebaikan,
menunaikan tugas amar ma‘rûf nahî munkar dan beriman Allah Swt.
B. KRITIK DAN SARAN
Penelitian ini tentunya banyak sekali memiliki kekurangan. Penulis
menyadari bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan, sehingga perlu adanya
penelitian lebih lanjut. Penulis menyarankan kepada peneliti setelah ini untuk
melakukan penelitian dengan menggunakan penelitian lapangan, atau mengikuti
konteks pada zaman modern ini, tentunya pada pembahasan utama dari penelitian
ini secara langsung, agar pembaca bisa lebih memahami dan belajar mengenai
materi ini berdasarkan keadaan umat.
Akhir kata, semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis, umumnya
bagi pembaca. Semoga kekurangan dalam penelitian ini, bisa dimaklumi dan bisa
diperbaiki oleh peneliti selanjutnya.
63
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Karya Ilmiah :
Abidin, Ahmad Zainal. “Tafsîr Al-Qummî dan Politik: Telaah atas Kecenderungan
Tashayyu’ dalam Penafsiran Surat Al-Baqarah”. IAIN Tulungagung: Al-
Tahrir 16, no. 2 (2016): 439-459.
Anwar, Harles dan Kari Sabara. “Prinsip-Prinsip Khairu Ummah Berdasarkan
Surah Âli ‘Imrân Ayat 110”. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Palangka Raya: Jurnal Kajian Islam 4, no. 2 (2012): 191-210.
Asmudin, Dede. 2012. “Konsep Ummatan Wasaṯan dalam al-Qur`ân Kajian surat
Al-Baqarah ayat 143 menurut Sayyid Quthb”. Skripsi. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Al-Asfahâni, Al-Râghib. Mufradât al-Fâdz al-Qur`ân. Beirut: al-Dâr al-
Syâmiyyah, 2009.
Al-Bâqi, Muhammad Fuâd ‘Abd. Al-Mu‘jam al-Mufahras li al-Fâdz al-Qur`ân al-
Karîm. Beirut: Dâr al-Saqafah al-Islâmiyyah.
Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1997.
Fatimah, Putri Ajeng. 2011. “Waris Kalâlah dalam Pandangan Wahbah al-Zuhaili:
Tafsir Q.s. Al-Nisâ/4: 12 dan 176”. Skripsi. UIN Syarif Hidatullah Jakarta.
Ghoffar, M. Abdul, dkk. Tafsir Ibnu Katsîr. Terj. Lubâb al-Tafsîr min Ibn Katsîr
(Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004.
Hakim, A. Husnul. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir: Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir
dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer. Depok: Lingkar Studi Al-
Qur`ân, 2013.
Hanbal, Ahmad ibn. Musnad al-Imâm al-Hâfiẕ Abî ‘Abdillâh Ahmad ibn Hanbal.
Riyadh: Baît al-Afkâr al-Dauliyyah linnasyri wa al-Tauzî‘, 1998.
Herman. 2012. “Konsep Masyarakat Islami Sayyid Quṯb dalam Tafsir fî Ẕilâl al-
Qur’ân”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hitami, Munzir. Revolusi Sejarah Manusia: Peran Rasul sebagai Agen Perubahan.
Yogyakarta: LkiS, 2009.
Ikatan Alumni Syam Indonesia. ‘Allâmah Asy-Syam Syekh Wahbah Az-Zuhaili, I
(Depok: Al-Hikam Press, 2017.
64
Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:
PT Gaya Media Pratama, 2001.
Karni, Asrori S. Civil Society dan Ummah: Sintesa Diskursif “Rumah” Demokrasi.
Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`ân Balitbang dan Diklat Kemenag RI. Tafsir
Ringkas Al-Qur`ân Al-Karîm. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur`ân, 2016.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki.
Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Al-Naisâbûrî, Imâm al-Hâfidz Abî al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî.
Sahîh Muslim. Riyaḏ: Dâr al-Ṯaibah, 1426 H.
Nurdin, Ali. Quranic Society. Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam Al-
Qur`ân. Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006.
Nurdin, M. Amin, Eva Nugraha, dan Dadi Darmadi, Sosiologi Al-Qur`ân: Agama
dan Masyarakat dalam Islam. Ciputat: UIN Jakarta Pres, 2015.
Prestiawan, Budy. 2014. “Menikahi Orang Musyrik Perspektif Al-Jashash dan al-
Qurthubi: Analisa terhadap surah al-Baqarah/2: 221 dalam Tafsir Ahkam
al-Qur’an dan Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an”. Skripsi. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Al-Qarḏawi, Yûsuf. Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur`ân dan Sunnah. Solo:
Citra Islami Press, 1997.
Al-Qaṯṯan, Syaikh Manna‘. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur`ân. Terj. Mabâhits Fî
‘Ulûm al-Qur`ân. Penerjemah: H. Aunur Rafiq El-Mazni (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005.
Al-Qummî, ‘Alî bin Ibrâhîm. Tafsîr Al-Qummî, I. Qom: Dâr al-Kitâb, 1435. Al-Qurṯubî, Syaikh Imâm. Tafsir Al-Qurṯubî. Penerjemah: Dudi Rosyadi. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedia Al-Qur`ân Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, 1996.
Rahman, Zayad Abd. 2015. “Konsep Ummah: Sebuah Upaya Melerai Miskonsepsi
Negara-Bangsa”. Religi: Jurnal Studi Islam 6, no.1 (2015): 1-18. Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Kediri.
Al-Sâbunî, ‘Alî. Mukhtasar Tafsîr Ibn Katsîr, I. Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th.
Setiawan, Muhammad Nur Kholis dan Djaka Soetapa. Meniti Kalam Kerukunan:
Beberapa Istilah Kunci dalam Islam dan Kristen, 1. Yogyakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009.
65
Shadiq, Akhmad Fajarus. 2016. “Konsep Ummah dalam al-Qur`ân: Sebuah
Analisis Semantik Toshihiko Izutsu”. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Shariati, Ali. Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis. Penerjemah: Afif
Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Shihab, M. Quraish. Lentera Al-Qur`ân: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung:
Mizan, 2008.
. Tafsir Al-Misbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`ân. Ciputat:
Lentera Hati, 2000.
. Wawasan Al-Qur`ân: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan, 2013.
Sobhani, Ayatollah Jafar. Doctrines of Shi’I Islam, Reza Shah. Kazemi, trans, and
ed. London: I. B. Tauris, 2001.
Sutrisno, Tomi. 2013. “Konsep Umatan Wahidatan Perspektif al-Qur`ân dan
Dampaknya di Indonesia: Studi Perbandingan Penafsiran Sayyid Quthb
Dan M. Quraish Shihab”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Al-Suyûṯî, Jalâl al-Dîn. Al-Durru al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Ma`tsûr, 3. Kairo:
Markaz Hajar lil Buhûts wa al-Dirâsât al-‘Arabiyyah wa al-Islâmiyyah,
2003.
Al-Syaikh, Abd Allâh bin Muhammad bin ‘Abd Rahmân bin Ishaq Alu. Tafsir Ibn
Katsîr. Penerjemah: M. Abdul Ghoffar. Bogor: Pustaka Imam al-Syafi‘i,
2004.
Syakir, Syaikh Ahmad. Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsîr Jilid 1, II (Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2014.
Syibromalisi, Faizah Ali dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern.
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Ṯabâṯabâ’î, ‘Allâmah Sayyid Muhammad Husain. Tafsir Al-Mîzân. Penerjemah:
Ilyas Hasan. Jakarta: Penerbit Lentera, 2011.
Thohir, Moh Abdullah. 2017. “Implementasi Penafsiran Q.s. Âli ‘Imrân ayat 110
dalam Tafsir Jalalain Terhadap Pembentukan Generasi Khairu Ummah di
Pondok Pesantren an-Nur al-Islami Kauman Jekulo Kudus”. Skripsi.
STAIN Kudus.
Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Tohidin, Pipin. 2010. “Nikah Mut’ah dalam Pandangan Al-Syaukani dan
Ṯabâṯabâ’î: Studi Komparatif atas Penafsiran Imam al-Syaukani dan Imam
Ṯabâṯabâ’î terhadap surah al-Nisa/4: 24”. Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
66
Al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Al-Munîr: Aqidah, Syariah, dan Manhaj Jilid 2. Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2013.
Website :
https://almanhaj.or.id/3118-sunnah-dan-syiah-bersandingan-mustahil.html
(diakses pada tanggal 30 Agustus 2018, pukul 21:52 WIB)
https://muslim.or.id/417-kesesatan-agama-syiah-2.html (diakses pada tanggal 30
Agustus 2018, pukul 21:52 WIB)
Id.mobile.wikishia.net/index.php/Tafsir_al-Qummi_(buku)#cite_note-4 (diakses
pada hari Kamis pukul 00.35 WIB)
kisahmuslim.com/2831-kisah-tokoh-tabiin-amir-bin-syurahbil-asy-syabi.html
(diakses pada Kamis, 18 Oktober 2018 pukul 11.15 WIB)
Tafaqquh Video. “Ciri Ummat Terbaik - Ustaz Abdul Somad, Lc., MA.” Klip video
daring. YouTube, 03 Oktober 2016. Web. 11 Juli 2018.