KEWAJIBAN PENYATUAN PAJAK DAN ZAKAT
DALAM PANDANGAN DIDIN HAFIDUDIN
DAN MASDAR FARID MAS’UDI
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi
Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S. H)
dalam Ilmu Syariah
Oleh
LILIYANI
NPM. 14 21030252
Program Studi: Muamalah
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
TAHUN 2018
KEWAJIBAN PENYATUAN PAJAK DAN ZAKAT
DALAM PANDANGAN DIDIN HAFIDUDIN
DAN MASDAR FARID MAS’UDI
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi
Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S. H)
dalam Ilmu Syariah
Oleh
LILIYANI
NPM. 1421030252
Program Studi: Muamalah
Pembimbing Akademik I :Dr. Drs. H. M. Wagianto, S. H., M. H.
Pembimbing Akademik 11 : Khoiruddin, M. S. I.
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
TAHUN 2018
ABSTRAK
Dalam khazanah pemikiran hukum Islam, terdapat beberapa pandangan
seputar kewajiban penyatuan pajak dan zakat. Ada yang berpendapat pembayaran
pajak dan zakat secara terpisah menjadi beban tersendiri sehingga akan lebih baik
jika dilakukan penyatuan pajak dan zakat. Ada pula yang berpendapat bahwa
pajak dan zakat sangatlah berbeda sehingga tidak dapat disatukan. Permasalahan
inilah yang menjadi kajian para tokoh ulama di antaranya Didin Hafiduddin dan
Masdar Farid Mas‟udi. Dari perbedaan pendapat kedua tokoh tersebut, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah sebagai
berikut: 1) Bagaimana pandangan Didin Hafidudin dan Masdar Farid Mas‟udi
mengenai kewajiban penyatuan pajak dan zakat? dan 2) Bagaimana persamaan
antara Didin Hafidudin dan Masdar Farid Mas‟udi tentang penyatuan pajak dan
zakat?
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dan membandingkan
mengenai pendapat-pendapat Didin Hafiduddin dan Masdar Farid Mas‟udi
tentang kewajiban penyatuan pajak dan zakat. Penelitian yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah ini adalah metode penelitian kepustakaan (library
research) dengan menelaaah dari buku karangan Didin Hafiduddin dan Masdar
Farid Mas‟udi serta buku lain yang membahas mengenai kewajiban penyatuan
pajak dan zakat. penelitian ini bersifat desktiptif analisis komparatif.
Hasil penelitian yang telah dilakukan, Adanya persamaan pandangan baik
Didin dan Masdar yaitu segala keputusan berlandaskan dengan menimbang
kemaslahatan dan keadilan untuk keseluruhan. Selain itu, Didin dan Masdar juga
menyetujui adanya zakat sebagai pengurang pajak agar tidak adanya yang merasa
terbebani atas kedua kewajiban tersebut. Dengan melihat zakat sebagai keharusan
yang wajib bagi umat Islam dan pajak sebagai keharusan atas ulil amri.
Kemudian, terdapat perbedaan terhadap dua tokoh tersebut. Didin Hafiduddin
menganggap pajak dan zakat berbeda baik dari segi manfaat maupun tujuannya.
Selain itu, dalam tatanan lembaga pengelola zakat dan pajak dilakukan secara
terpisah karena zakat merupakan keharusan yang dilakukan muslim sedangkan
pajak merupakan kewajiban terhadap negara. Sedangkan menurut Masdar Farid
Mas‟udi menawarkan adanya pembentukan baru dalam suatu kewajiban
pembayaran antara zakat dan pajak, masdar menawarkan adanya penyatuan atau
pun pengurangan pajak. Beranggapan bahwa dua kewajiban sekaligus (zakat dan
pajak) yang harus dibayarkan oleh orang Islam di Indonesia merupakan suatu
bentuk madharat yang menyalahi kemaslahatan dan harus dihindarkan. Konsep ini
menekankan zakat sebagai ruh dan pajak sebagai raga yang tidak dapt dipisahkan.
Sehingga dalam penerapannya pun menjadikan suatu pajak dan zakat merupakan
suatu kesatuan dimana zakat lebih diutamakan daripada pajak
MOTTO
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi allah.
Sesungguhnya alah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah
[2]: 110)
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini dipersembahkan pada seseorang yang selalu mendukung akan
terselesaikannya karya ini, diantaranya :
1. Kepada orang tuaku Bapak Rusli dan Ibu Susilawaati yang telah mendidik
dan membesarkanku dengan do‟a dan segenap jasa-jasanya yang tak
terbilang demi keberhasilan cita-citaku, aku semakin yakin bahwa Ridho
Allah SWT adalah keridhoanmu.
2. Kakak Ida Zulaida S.Pd yang telah banyak membantu baik dari segi
materil maupun moril serta masukan sehingga penulis dapat meraih
keberhasilan dan tercapai cita-cita.
3. Bapak Drs Hapni yang telah memberikan motivasi sehingga penulis dapat
menjadi lebih baik lagi dalam segala hal. Baik dalam penulisan maupun
dalam sikap perilaku sehari-hari.
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap Liliyani, dilahirkan pada tanggal 04 Februari 1995 di
kalianda Lampung Selatan. Putri kedua dari dua bersaudara, buah perkawinan
pasangan Bapak Rusli dan Ibu Susilawati
1. Mulai menempuh dari Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita pada tahun
2000.
2. Kemudian melanjutkan pendidikan dasar di SD Negeri 2 Pratama
Mandira, Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten OKI dan lulus pada
tahun 2007.
3. Melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Budi Pratama,
Kecamatan Sungai Menang, Kabupaten OKI lulus pada tahun 2010.
4. Melanjutkan pendidikan di SMA Bina Dharma Mandira, Kecamatan
Sungai Menang, Kabupaten OKI lulus pada tahun 2013. Selama di SMA
aktif di ekstrakulikuler rebana .
5. Pada tahun 2014 melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi,
pada Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Bandar Lampung,
mengambil program studi Muamalah pada Fakultas Syariah.
Bandar Lampung, 02 Mei 2018
Liliyani
NPM. 1421030252
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil „alamiin
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang senantiasa memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh
semangat dan kelancaran, Engkaulah faktor utama dalam keberhasilan penulisan
skripsi ini. Selanjutnya shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
baginda Nabi Muhammad SAW, yang merupakan uswatun hasanah atau suri
tauladan bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Dengan telah terselesaikannya skripsi ini yang berjudul “KEWAJIBAN
PENYATUAN PAJAK DAN ZAKAT DALAM PANDANGAN DIDIN
HAFIDUDIN DAN MASDAR FARID MAS’UDI”. Penulis menyadari bahwa
dalam proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dar
semua pihak dengan berbagai bentuk kontribusi yang diberikan, baik secara moril
ataupun materil. Dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Moh Mukri, M. Ag, selaku rektor UIN Raden Intan Lampung
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu
di kampus tercinta ini.
2. Dr. Alamsyah, S. Ag., M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Raden
Intan Lampung, yang telah memberikan berbagai kebijakan untuk
memanfaatkan segala fasilitas di Fakultas Syariah.
3. H.A Khumedi Ja‟far, M.H., dan Khoiruddin, M.S.I selaku Ketua Jurusan
Mu‟amalah dan Sekretaris Jurusan Mu‟amalah Fakultas Syariah UIN
Raden Intan Lampung yang telah memberikan arahan, serta bimbingan
dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Dr. Drs. H. M. Wagianto, S. H., M. H. selaku Pembimbing I dan
Khoiruddin, M. S. I. selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan
arahan, bimbingan, serta memberikan masukan yang sangat berarti dan
membangun atas penyelesaian skripsi ini. Mohon maaf atas segala
kekurangan. Semoga Allah senantiasa melindungi Bapak. Aamiin
Allahumma aamiin.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Raden Intan Lampung
yang telah banyak memberikan pelajaran dan pengajaran kepada penulis
sehingga dapat mencapai akhir perjalanan di kampus UIN Raden Intan
Lampung.
6. Bapak dan Ibu staf karyawan perpustakaan syariah dan perpustakaan pusat
UIN Raden Intan Lampung.
7. Bapak, mama, kakak dan keluarga tercinta yang selalu memberikan
support, terimakasih atas segala pengorbanan yang telah dilakukan. Do‟a
restu kalian menjadi kekuatan untuk penulis.
8. Sahabat-sahabat tersayang Tri Setia, Mega Septriyani, Sifa Fauziah,
Windiyan Ngesti, Hernik S, Lisdiana, yang telah menemani penulis dalam
mengarungi dinamika kehidupan kampus, terimakasih atas segala warna
yang telah kalian berikan. Serta teman-teman Asrama An-Nisa yang
mendukung serta menjadi penyemangat dalam penulisan ini.
9. Teman-teman Muamalah C dan seluruh teman seangkatan. Terimakasih
atas pertemanan yang penuh kehangatan.
10. Sahabat KKN Kelompok 4 Abdul Rosyid, Irsyad Al Gifari, Oriza
Wulandari, Farida Aryani, Ovan Wijaya S, Harfi Dwi Zulita, dan Rizky
Yuldaningsi.
11. Almamater tercinta.
Semoga amal baik kalian mendapat balasan dari Allah SWT. Pada
akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Untuk itu penulis mengharapkan masukan baik berupa saran maupun
kritik demi kelengkapan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Penulis, 02 Mei 2018
Penulis,
Liliyani
NPM.1421030252
DAFTAR ISI
COVER LUAR ......................................................................................................... i
COVER DALAM ..................................................................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................................ iii
PERSETUJUAN ....................................................................................................... iv
PENGESAHAN ........................................................................................................ v
MOTTO .................................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ..................................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ix
DAFTAR ISI xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul ................................................................................... 1
B. Alasan Memilih Judul .......................................................................... 2
C. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 3
D. Rumusan Masalah ................................................................................ 8
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 9
F. Metode Penelitian ................................................................................. 9
BAB II TINJAUAN TENTANG PAJAK DAN ZAKAT
A. Gambaran Umum Pajak ....................................................................... 14
1. PengertianPajak ............................................................................. 14
2. Dasar Hukum Pajak ....................................................................... 27
3. Pendapat Ahli Tentang Wajib Pajak .............................................. 29
B. Gambaran Umum Zakat ....................................................................... 36
1. Pengertian Zakat ............................................................................ 36
2. Dasar Hukum Zakat ....................................................................... 53
3. Pendapat Ahli Tentang Wajib Zakat .............................................. 54
C. Hubungan Pajak dan Zakat Di Indonesia ............................................. 60
1. Pajak dan Zakat dalam Perundang-Undangan ............................... 60
2. Persamaan dan Perbedaan Tentang Pajak dan Zakat ..................... 63
BAB III PENDAPAT DIDIN HAFIDUDIN DAN MASDAR FARID
MAS’UDI TENTANG KEWAJIBAN PENYATUAN PAJAK
DAN ZAKAT
A. Pendapat Didin Hafidudin Tentang Penyatuan Pajak dan Zakat.
1. Biografi Didin Hafidudin ............................................................... 71
2. Karya-Karya Didin Hafidudin ....................................................... 73
3. Pendapat Didin Hafidudin Tentang Penyatuan Pajak dan Zakat ... 74
B. Pendapat Masdar Farid Mas‟udi Tentang Penyatuan Pajak dan
Zakat.
1. Biografi Masdar Farid Mas‟udi ..................................................... 81
2. Karya-Karya Masdar farid Mas‟udi ............................................... 84
3. Pendapat Masdar Farid Mas‟udi Tentang Penyatuan Pajak dan
Zakat .................................................................................................. 85
BAB IV ANALISIS DATA
A. Persamaan Pendapat Didin Hafidudin dan Masdar Farid Mas‟udi
Mengenai Kewajiban Penyatuan Pajak dan Zakat .................................. 95
B. Perbedaan Pendapat Didin Hafidudin dan Masdar Farid Mas‟udi
Mengenai Kewajiban Penyatuan Pajak dan Zakat .................................. 96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 102
B. Saran ..................................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 105
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Untuk memudahkan dan menghindari kesalahpahaman dalam memahami isi
materi ini, maka perlu kiranya dijelaskan terlebih dahulu mendefinisikan kata-kata
yang terkait dengan judul “Kewajiban Penyatuan Pajak Dan Zakat Dalam
Pandangan Masdar Farid Mas’udi Dan Didin Hafidudin”. Adapun uraian
kata-kata tersebut sebagai berikut :
1. Kewajiban adalah sesuatu yang harus dilaksanakan.1 Maksud kewajiban
disini adalah kewajiban atas pembayaran pajak dan zakat.
2. Penyatuan adalah proses, cara, perbuatan menyatukan.2 Maksud dalam
penyatuan disini adalah penyatuan dalam pajak dan zakat
3. Pajak adalah iuaran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat timbal balik
secara langsung.3
4. Zakat adalah jatah tertentu, dari harta tertentu, diwaktu tertentu, dan
disalurkan kepada pihak tertentu.4
5. Masdar Farid Mas’udi adalah salah satu pengurus PBNU yang lahir
pada 18 September 1954.5
6. Didin hafidudin adalah salah satu tokoh pemikir Islam Indonesia yang
1 W. I. S. Poerdaminto, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1613.
2 Ibid., h. 1273.
3 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak,edisi 4 (Bandung: Refika
Aditama, 2003), h. 6. 4 Syaikh Abu Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ensiklopedi Puasa Dan Zakat,
Terjemahan Abu Syafiq, dkk (Jakarta: Roemah Buku, 2013), h. 142. 5 http://Masdarmasudi.blogspot.co.id/2010/03/riwayat-hidup-kh- Masdar- farid masudi
Pada tanggal 23 oktober 2017 pukul 13.32.
lahir pada tanggal 21 oktober 1951.6
Berdasarkan penegasan judul di atas, maksud judul dari proposal ini adalah
suatu kajian tentang bagaimana kewajiban penyatuan pajak dalam pandangan
Didin Hafidudin dan Masdar Farid Masudi, karena diantara keduanya memiliki
pendapat yang berbeda dalam mengqiyaskan pembayaran pajak dan zakat di
Indonesia.
B. Alasan Memilih Judul
Adapun beberapa alasan yang mendasari penulis sehingga terdorong untuk
membahas dan meneliti masalah ini dalam bentuk skripsi adalah:
1. Alasan Objektif
a. Karena di Indonesia terutama yang beragama Islam terdapat dua dasar
hukum yang wajib diikuti yaitu hukum agama dan hukum positif, hal
ini memunculkan dualisme pemungutan atas objek yang sama yaitu
pemungutan pajak dan zakat.
b. Adanya perbedaan dalam penafsiran hukum positif dan hukum agama
yang berkaitan dengan pajak dan zakat, sehingga menimbulkan
perbedaan pendapat mereka tentang kewajiban penyatuan pajak dan
zakat.
2. Alasan Subjektif
a. Judul yang diambil erat relevansinya dengan jurusan Muamalah
sehingga sesuai dengan ilmu yang penulis tekuni saat ini.
b. Berdasarkan data Fakultas, belum ada yang membahas pokok
6 Didin Hafidudin, Islam Aplikatif, Cet. 3 (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 253.
permasalahan ini, sehingga memungkinkan untuk mengangkatnya
sebagai judul sekarang.
C. Latar Belakang Masalah
Harta yang di miliki hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang
memberikan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu di keluarkan
zakatnya. Hal ini terdapat dalam dalil sebagai berikut:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu
itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar Lagi
Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah [9]: 103).7
Selintas dari pemahaman zakat dari ayat di atas, zakat membersihkan dan
mensucikan harta yang di miliki. Namun di Indonesia terdapat penarikan oleh
Negara selain zakat yaitu pajak. Pajak sendiri bukan lah berasal dalam bahasa
arab. Melainkan dalam kata lain yang artinya sama dengan pajak berupa jizyah,
dharibah dan kharaj. Seperti dalam dalil sebagai berikut:
.
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
7 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-qur‟an dan Terjemahan, (Bandung: Diponorogo,
2014), h. 203.
Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan
tunduk.(QS At-Taubah [9]:29).8
Zakat pada hakikatnya adalah bagian tertentu yang ada pada harta seorang
muslim yang wajib dikeluarkan atas perintah Allah SWT untuk kepentingan
orang lain menurut kadar yang ditentukan-Nya. Sedangakn, pajak pada
hakikatnyaadlah kewajiban material seorang warga pada negaranya untuk
membayar berdasarkan ukuran tertentu atas kekayaan dan pribadi seseorang yang
akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. Dengan
demikian, zakat dan pajak memiliki persamaan dan perbedaan baik untuk tujuan
maupun dalam distributor.9
Praktik di Indonesia, terdapat dualisme penarikan pajak dan zakat yang
bertujuan sama yaitu mensejahterakan umat.10
Hal ini menjadi beban disaat
tertentu.
Diskusi mengenai hubungan zakat dan pajak nampaknya telah dimulai sejak
masa-masa awal pengembangan Islam. Itu terjadi tatkala pasukan muslimin baru
saja berhasil menaklukkan Irak. Khalifah Umar, atas saran- saran pembantunya
memutuskan untuk tidak membagikan harta rampasan perang, termasuk tanah
bekas wilayah taklukan.11
Tanah-tanah yang direbut dengan jalan perang menjadi
milik kaum muslimin. Sementara tanah yang ditaklukkan dengan perjanjian damai
tetap dianggap milik penduduk setempat. Konsekuensinya, penduduk diwilayah
8 Ibid.
9 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1988), h. 50. 10
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 7. 11
Mursyid, Mekanisme Pengumpulan Zakat, Infaq dan Shadaqah Menurut Hukum Syara
dan Undang-Undang, (Yogyakarta: Magista Insania Press, 2006), h. 69
tersebut diwajibkan membayar pajak (kharaj), bahkan sekalipun pemiliknya telah
memeluk ajaran Islam. Inilah kiranya yang menjadi awal berlakunya pajak bagi
kaum muslimin di luar zakat.
Penarikan pajak di luar zakat selanjutnya terus berlangsung meski dengan
alasan yang berbeda-beda. Seiring berjalannya waktu, hubungan zakat dan pajak
menjadi terkait. Dimulai dengan kemunduran kaum Muslimin, penjajahan Eropa,
dan hegemoni peradaban Barat sehingga hukum-hukum syar‟i semakin
ditinggalkan, dan sebaliknya hukum-hukum Barat buatan manusia diutamakan.
Kewajiban zakat disubordinasikan dan diganti dengan kewajiban pajak. Akibatnya
muncul pertanyaan: Wajibkah kaum Muslimin membayar zakat sementara ia telah
membayar pajak, Padahal sebenarnya pajak tidak mempunyai hubungan
keterkaitan langsung dengan keyakinan agama. Oleh sebab itu antara zakat dan
pajak tidaklah bisa dipersamakan, sehingga munculah perdebatan tentang
kewajiban membayar zakat setelah pajak ataupun sebaliknya.12
Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan UU No. 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan. Mulai tahun 2001 sebenarnya para pembayar zakat
penghasilan (zakat mall) sudah dapat menjadikan jumlah zakat yang dibayar
sebagai faktor pengurang atas Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Pajak
Penghasilan. Ini adalah langkah awal yang baik, walaupun langkah ini belumlah
cukup karena zakat bukan hanya ada pada penghasilan kena pajak tapi meliputi
banyak hal yang di antaranya justru oleh pemerintah tidak dikenakan pajak, tapi
merupakan sesuatu yang zakatnya sangat ditekankan dalam Agama. Sebagai misal
12
Siti Arifah, Konstitusi Negara Berbicara: Zakat Mengurang Penghasilan Kena Pajak,
http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=20&no=15, akses 20 oktober 2017
adalah zakat hasil pertanian, dan zakat hewan temak. Namun demikian,
Pemerintah secara tidak langsung menghargai zakat sebagai salah satu kewajiban
(rukun) bagi yang beragama Islam untuk mendorong sekaligus mengingatkan
bahwa zakat adalah suatu kewajiban yang harus ditaati dan dilaksanakan.13
Peranan pajak penerimaan kas Negara, secara bersamaan muncul sebuah
kesadaran umat akan peranan zakat. Dua hal ini menuntut pengelolaan yang tepat.
Manajemen yang buruk terhadap kenyataan ini tentu akan menimbulkan efek
yang kontra produktif dalam pembangunan nasional. Setidaknya sejak Tahun
1990-an pembahasan keduanya memunculkan beberapa isu penting yang berkisar
pada permasalahan eksistensi, pada aspek ini diskusi berkembang dari persoalan
eksistensi sampai posisi pajak dan zakat. Seperti salah satu pendapat yang
mendudukkan keduanya dalam hubungan substitusi. Menurut pendapat Umar Bin
Khatab, pajak dan zakat dapat saling menggantikan dan saling menghapus
kewajiban.Umat Islam yang sudah membayar pajak tidak perlu membayar zakat
dan sebaliknya. Problem dari pendapat ini adalah tidak tersedianya alat legislasi
yang mendukung pendapat ini.
Pendapat yang lain menolak pendapat pertama. Yusuf Qardawi menyatakan
bahwa pajak dan zakat bersifat eksklusif satu dengan lainnya. Pembayaran pajak
bukan merupakan pembayaran zakat, dan pembayaran zakat bukan merupakan
pembayaran pajak.14
Problem yang muncul dari pendapat yang kedua ini adalah
munculnya dualisme pemungutan atas objek yang sama. Dualisme pemungutan
ini pada gilirannya tentu akan menyulitkan pemilik harta atau pemilik
13
UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat terhadap UU No. 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan. 14
Yusuf Al-Qardawi, Fiqhuz Az-Zakat, (Beirut: Muasassah Al-Risalah, 1980), h. 1005.
penghasilan. Kontraksi dana dengan dualisme sistem ini potensial menimbulkan
efek yang kontra produktif dalam konteks menyejahterakan rakyat.15
Sehingga hal
ini bisa menjadi pemicu di kalangan umat muslim untuk lebih memprioritaskan
pembayaran pajak daripada zakat.
Umat Islam di Indonesia khusunya dan juga di Negara-negara Islam lainnya
(Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Mesir) menghadapi
masalah yang aktual mengenai pajak dan zakat. Yaitu, seandainya umat Islam di
Negara yang pemerintahannya tidak menangani langsung pengelolaan zakat,
seperti Indonesia, dan pemerintah memungut pajak yang jumlahnya melebihi
jumlah zakatnya, tetapi pemerintah menggunakan sebagian pajak itu untuk semua
sebagian dari delapan pos penggunaan zakat yang dapat diketahui lewat GBHN,
Pelita dan APBN. Maka apakah pembayaran zakatnya bisa diniatkan sebagai
pembayaran zakatnya, atau haruskah dicari jalan keluar lain untuk menghindari
double duties.16
Didin Hafidhuddin merupakan seorang ulama yang tentunya paham tentang
permasalahan zakat di Indonesia, ia pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan
Badan Amil Zakat Nasional (BAZ-NAS), selain aktif di kegiatan-kegiatan sosial
yang berbau keIslaman, Didin juga aktif di dunia akademik sehingga
ketokohannya tidak terbantahkan.17
15
Eko Novianto Nugroho, Optimalisasi Pajak dan Zakat, http://www.suaramerdeka.
com/harian/0510/27/opi3.htm, akses 20 Oktober 2017 16
M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara, (Jakarta: Nuansa
Madani, 2001), h. 54 17
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, cet. ke-2 (Jakarta: Gema
Insani Press, 2002), h. 5
Masdar farid mas‟udi (selanjutnya disebut Masdar) adalah seorang pemikir
yang mengidolakan umar bin khatab dan juga seorang cendikiawan yang rajin
menulis secara serius dan tajam analisisnya. Di bidang organisasi, beliau pernah
menjadi direktur P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)
serta dalam bidang akademis beliau aktif sebagai dosen Islamologi pada STF
(Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta dan wakil penanggungjawab
Pesantren Al-Hamidiyah, Depok.18
Pemikiran Masdar dan Didin tentang pajak dan zakat merupakan sebuah
upaya demi terwujudnya pemerataan, keadilan, serta kesejahteraan sosial
masyarakat, dan merupakan bentuk usaha untuk membangkitkan kembali
kesadaran umat dan pemerintah tentang tidak kalah pentingnya zakat dibanding
pajak. Gagasan-gagasan dari kedua tokoh tersebut diharapkan dapat menjadi
solusi alternatif untuk memecahkan berbagai problem kemiskinan yang semakin
membelit rakyat Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menelaah serta
mengkaji lebih lanjut dalam skripsi ini dengan judul “Kewajiban Penyatuan
Pajak Dan Zakat Dalam Pandangan Didin Hafidudin Dan Masdar Farid
Mas’udi”.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang maka penulis rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1. Apa persamaan Didin Hafidudin dan Masdar Farid Mas‟udi mengenai
kewajiban penyatuan pajak dan zakat?
18
Zusiana Elly Triantini, “Integrasi Hukum Pajak dan Zakat di Indonesia”, dalam jurnal
Al-Ahkam Pemikiran Hukum Islam, Volume 23 nomor 2, Oktober 2013, h. 187.
2. Apa perbedaan Didin Hafidudin dan Masdar Farid Mas‟udi mengenai
kewajiban penyatuan pajak dan zakat?
E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan pendapat antara Didin
Hafiduddin dan Masdar Farid Mas‟udi tentang kewajiban penyatuan
pajak dan zakat.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi ilmu pengetahuan, dan diharapkan berguna sebagai bahan
referensi dalam rangka pengembangan Hukum Islam.
b. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi
hukum positif dan hukum Islam, serta masyarakat lebih memahami
mengenai kewajiban paenyatuan zakat dan pajak.
F. Metode Penelitian
Untuk menghindari dan untuk memahami suatu permasalahan agar hasil
penelitian yang dilaksanakan dapat mencapai hasil yang optimal sebagaimana
yang diharapkan, maka perlu bagi seorang peneliti menggunakan suatu metode
dalam melaksanakan penelitian. Penulis menggunakan metode penelitian.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenisnya penelitian ini adalah penelitian ini termasuk dalam
penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik berupa
buku-buku, catatan,19
penelitian yang bersumber dari Undang-Undang,
dokumen resmi, dan publikasi karya ilmiah.20
Dengan meneliti dan
membaca buku-buku yang berkenaan dengan materi pembahasan yang
bertujuan untuk mengumpulkan data-data informasi dengan bantuan
bermacam-macam materi yang terdapat diruang perpustakaan, karena
setiap penelitian memerlukan bahan yang bersumber dari perpustakaan.21
Penelitian ini menelaah tulisan Masdar Farid Mas‟udi dan Didin Hafidudin
tentang pajak dan zakat.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat desktiptif analisis komparatif, yaitu suatu metode
dalam meneliti suatu objek yang bertujuan untuk mendeskripsikan,
gambaran, secara sistematis dan objektif mengenai fakta-fakta, sifat dan
ciri serta hubungan antara unsur-unsur yang ada dan membandingkan dari
hasil analisis kedua objek dan subjek penelitian tersebut.22
Dalam hal ini
mendeskripsikan pandangan Masdar Farid Mas‟udi dan Didin Hafidudin
tentang kewajiban penyatuan pajak dan zakat.
19 Susiadi, Metode Penelitian, (Bandar Lampung: LP2M Institut Agama Islam Negeri
Raden Intan Lampung, 2015), h. 10.
20
Zainuddin Ali, Metode Penellitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),h. 107.
21
S Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h.
145.
22
Kaclan M.S., Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, (Yogyakarta: Paradigma,
2005),h. 58.
2. Sumber Data
a. Data primer adalah data yang diperoleh dan berkaitan langsung dengan
sumber data tersebut,23
data ini terdapat dalam buku karangan Didin
Hafidudin berjudul Zakat Dalam Perekonomian Modern Dan Masdar
Farid Mas‟udi berjudul Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam
Islam.
b. Data sekunder di peroleh dari tulisan-tulisan orang lain yang
berhubungan dengan kewajiban penyatuan pajak dan zakat menurut
Masdar Farid Mas‟udi dan Didin Hafidudin. Serta bahan-bahan
sekunder lainnya yang meliputi Undang-Undang, hasil karya ilmiah,
hasil penelitian dan dokumen pribadi, data arsip resmi dan publikasi
pada pemerintahan.24
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data diawali dengan diawali dengan kegiatan penelusuran
hukum Islam serta dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan
sumber hukum positif dari sistem hukum yang relevan dengan pokok
persoalan hukum yang sedang dihadapi.25
Sebuah penelitian hukum pada
umumnya memiliki beberapa pendekatan. Dalam penulisan karya ilmiah ini
penulis mengumpulkan data melalui sumber-sumber literatur yang tersedia di
perpustakaan dengan cara membaca dan menelaah buku-buku atau sumber-
sumber yang berkaitan dengan masalah penelitian.
23 Saifudin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h.91.
24
P Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), h. 88-89.
25
Zainuddin Ali, Op. Cit., h. 109.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah sumber (literatur) mengenai data dikumpulkan berdasarkan sumber
di atas, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data yang diproses yang
sesuai dengan kode etik penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Pemeriksaan data yaitu mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah
cukup, lengkap, benar dan sudah sesuai atau relevan dengan masalah.
b. Penandaan Data (Coding)
Penandaan data yaitu memberikan catatan atau tanda yang menyatakan
jenis sumber data (Al-Quran, Hadits, dan buku-buku lainnya).
c. Rekontruksi Data (Recontructing)
Rekontruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur, berurutan
dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.
d. Sistematika Data (Sistematizing)
Sistematika data yaitu menempatkan data menurut kerangka sistematika
bahasan berdasarkan urutan masalah.26
5. Analisis Data
Studi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan Didin Hafidudin dan
Masdar Farid Mas‟udi mengenai kewajiban penyatuan pajak dan zakat. Untuk
menganalisis data digunakan metode sebagai berikut:
a. Menggunakan metode Induktif yaitu, menganalisis dan memaparkan
data-data yang khusus, kemudian menguraikannya dalam bentuk
26 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004), h.126.
umum.27
Metode induktif ini digunakan untuk menjawab pokok
masalah yang pertama.
b. Menggunakan metode komparatif yaitu, menganalisis data yang ada
dengan cara membandingkan antara data yang satu dengan data
lainnya untuk sampai pada satu titik kesimpulan yang bertujuan untuk
mengetahui sebab-sebab adanya perbedaan kedua pendapat tersebut.28
Metode komparatif ini digunakan untuk menjawab pokok masalah
yang kedua.
27
Saifudin Azwar, Op. Cit., h. 40. 28
Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990), h. 83.
BAB II
TINJAUAN TENTANG PAJAK DAN ZAKAT
A. Gambaran Umum Pajak
1. Pengertian Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikulir ke sektor
pemerintah) berdasarkan Undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tiada
mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
membiayai keperluan umum.29
Definisi menurut Smeets pajak adalah prestasi
kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang
dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapat ditunjukkan
dalam hal yang individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.
Definisi Soeparman Soemahamidjaja, pajak adalah iuran wajib, berupa
uang atau barang, yang dipungut oleh Penguasa berdasarkan norma-norma
hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum.30
Guna pajak itu ialah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat.
Menurut Andriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi
29
Rocmat sumitro, Asas dan dasar perpajakan,( Bandung: Eresco, 1992), h. 2. 30
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Jakarta: Eresco, 1982), h.
4.
kembali yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.31
Menurut Feldman pajak yaitu prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan
terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara
umum) tanpa adaanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk
menutup pengeluaran-pengeluaran umum.32
Undang-undang perpajakan sendiri tidak memberikan definisi pajak
sampai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.
Adapun definisi pajak menurut undang-undang tersebut, yaitu pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.33
Pajak menurut para ahli keuangan, ialah kewajiban yang ditetapkan
terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara sesuai dengan
ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari negara, dan hasilnya untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk
merealisir sebagian tujuan ekonomi, social, politik dan tujuan-tujuan lain
yang ingin dicapai oleh negara.34
31
Andrian Sutedi, Hukum Pajak,Cet 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 2. 32
Ibid., h. 3. 33
Ibid., h. 5. 34
Yusuf Qardhawi, OP. Cit., h. 999.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur
sebagai berikut:
a. Iuran atau pemungutan. Dilihat dari segi arah arus dana pajak, jika arah
datangnya pajak berasal dari wajib pajak, maka disebut iuran.
Sedangkan jika arah datangnya kegiatan untuk mewujudkan pajak
tersebut berasal dari pemerintah, maka pajak itu disebut pungutan.
b. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Salah satu karakteristik
pokok dari pajak adalah bahwa pemungutannya harus berdasarkan
undang-undang. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya pajak
adalah beban yang harus dipikul oleh rakyat banyak, sehingga dalam
perumusan macam, jenis, dan berat ringannya tarif pajak itu, rakyat
harus ikut serta menentukan dan menyetujuinya, melalui wakil-
wakilnya di parlemen atau dewan perwakilan rakyat.
c. Dalam pembayaran pajak tidak ada kontraprestasi secara langsung oleh
pemerintah.35
d. Digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
Berdasarkan beberapa pengertian pajak di atas dapat disimpulkan bahwa
pajak adalah iuran wajib masyarakat kepada negara berdasarkan undang-
undang yang berlaku tanpa mendapat prestasi kembali secara langsung untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran serta mencapai tujuan-tujuan negara
dalam berbagai bidang. Dilihat dari definisi pajak diatas, pajak mempunyai
fungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum. Namun sebenarnya
35
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 2, (Jakarta : Granit, 2003), h. 12.
fungsi membiayai pengeluaran umum hanyalah salah satu fungsi pajak sebab
pajak memiliki dua fungsi, yaitu:
a. Fungsi penerimaan (budgetair). Dalam fungsi budgetair, pajak
berfungsi sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran negara. contoh: penerimaan yang berasal dari sector pajak
mencapai 71,4% dari keseluruhan penerimaan negara pada RAPBN
2001.
b. Fungsi mengatur (regulair). Pajak berfungsi sebagai alat untuk
mengatur atau melaksanakan kebijakan negara di bidang sosial dan
ekonomi. Contohnya : 1) pajak yang tinggi dikenakan terhadap
minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras. 2) pajak
yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif. 3) tarif pajak untuk ekspor sebesar
0%, bertujuan untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran
dunia.36
Pemungutan pajak di Indonesia harus berdasarkan pada undang-undang
yang berlaku dan Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2018. Agar
pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan). Pemungutan pajak yang
adil berarti pajak yang dipungut harus adil dan merata, sehingga harus
36
Supramono, Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan, (Yogyakarta: Andi
Offset, 2005), h. 2.
sebanding dengan kemampuan membayar pajak dan sesuai dengan
manfaat yang diminta wajib pajak dari pemerintah.
b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).
DiIndonesia pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini
memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi
negara maupun warganya.
c. Pemungutan pajak tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi).
Negara menghendaki agar perekonomian negara dan masyarakat dapat
senantiasa meningkat. Oleh karena itu, pemungutan pajak tidak boleh
mengganggu kelancaran kegiatan produksi dan perdagangan yang akan
mengakibatkan kelesuan perekonomian negara. Oleh karena itu
dimungkinkan pemberian fasilitas perpajakan sejauh pemberian fasilitas
ini berdampak positif bagi perekonomian negara.
d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat financial). Sesuai fungsi
budgetair, biaya pemungutan pajak harus lebih kecil dari pajak yang
dipungut.
e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Pemungutan pajak
hendaknya dilaksanakan secara sederhana sehingga syarat
kesederhanaan akan memudahkan wajib pajak untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya. Dengan demikian kesadaran wajib pajak
untuk membayar pajak dapat terwujud.37
37
Ibid., h. 6.
Pajak di Indonesia dapat dibedakan menurut golongan, sifat dan lembaga
pemungutnya, sebagaimana akan diuraikan sebagai berikut:
a. Jenis pajak menurut golongannya
1) Pajak langsung adalah Pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung
wajib pajak yang bersangkutan. Contohnya pajak penghasilan (PPh).
2) Pajak tak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan ke pihak lain. Contohnya pajak pertambahan nilai
(PPN) dan pajak penjualan.
b. Jenis pajak menurut sifatnya
1) Pajak subyektif adalah pajak yang didasarkan atas keadaan
subyeknya, memperhatikan keadaan diri wajib pajak yang
selanjutnya dicari dari syarat objektifnya (memperhatikan keadaan
wajib pajak). Contohnya pajak pendapatan nya adalah 1944 dan
pajak penghasilannya 1984.
2) Pajak obyektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya tanpa
memperhatikan diri wajib pajak. Contohnya pajak bumi dan
bangunan (PBB), karena pajak bumi dan bangunan dikenakan
terhadap keadaan dari tanah dan bangunan, bukan dari keadaan
pemiliknya.
c. Jenis pajak menurut lembaga pemungutannya
1) Pajak pusat (negara) adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
contohnya bea materai, PBB, PPh, PPN dan lainnya.
2) Pajak daerah adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
dan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah. Pajak daerah
diatur dalam PP no. 18 Tahun 1997 sebagaimana diubah PP no. 34
Tahun 2000. Pajak daerah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Pajak propinsi. Contohnya: pajak kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air, bea balik nama kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor,
pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan lainnya.
b) Pajak kabupaten/kota. Contohnya : pajak hotel, pajak restoran,
pajak hiburan, pajak reklame dan pajak penerangan jalan.38
Dalam pemungutan pajak terdapat beberapa tata cara yang dapat dilakukan
selain berdasarkan undang-undang yang berlaku, lebih lanjut dijelaskan
sebagai berikut:
a. Stelsel pajak. Pemungutan pajak dapat dilakukan dengan 3 stelsel yaitu:
1) Stelsel nyata (real stelsel). Pengenaan pajak didasarkan pada objek
(penghasilan yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat
dilakukan pada akhir Tahun pajak yaitu setelah penghasilan yang
sesungguhnya diketahui. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang
38
Ibid., h. 3.
dikenakan lebnih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak
baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil
diketahui).
2) Stelsel anggapan (fictieve stelsel). Pengenaan pajak didasarkan pada
suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Misalnya
penghasilan suatu Tahun dianggap sama dengan Tahun sebelumnya,
sehingga pada awal Tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya
pajak. Kelebihan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama Tahun
berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir Tahun. Sedangkan
kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada
keadaan yang sesungguhnya.
3) Stelsel campuran. Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel
nyata dan anggapan. Pada awal Tahun, besarnya pajak dihitung
berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir Tahun besarnya
pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya
pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak menurut
anggapan, maka wajib pajak harus menambah, dan sebaliknya.
b. Asas pemungutan pajak
1) Asas domisili (asas tempat tinggal). Negara berhak mengenakan
pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di
wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar
negeri.
2) Asas sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan
yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal
wajib pajak.
3) Asas kebangsaan. Pengenaan pajak dihubungkan dengan
kebangsaan suatu negara, misalnya pajak bangsa asing di Indonesia
dikenakan pada setiap orang yang bukan berkebangsaan Indonesia
yang bertempat tinggal di Indonesia.
c. System pemungutan pajak
1) Official assessment system adalah suatu system pemungutan yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Cirri – cirinya :
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
b) Wajib pajak bersifat pasif.
c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
2) Self assessment system adalah suatu system pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya:
a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
wajib pajak sendiri.
b) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3) With holding system adalah suatu system pemungutan pajak yang
member wewenang kepada hihak ketiga (bukan fiskus dan bukan
wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh wajib pajak. Dengan memiliki ciri-ciri wewenang
menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga,
pihak selain fiskus dan wajib pajak.39
Berbeda dengan pajak, hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang
mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyat atau wajib pajak.
Pemerintah sebagai pemungut pajak dan wajib pajak atau rakyat sebagai
pembayar pajak. Hukum pajak sering disebut hukum fiskal. Pemerintah
sebagai pemungut dan administratur pajak disebut dengan Fiskus. Hukum
pajak dapat dibagi menjadi 2 macam; yaitu hukum pajak materiel dan hukum
pajak formil.40
Hukum pajak materil adalah hukum pajak yang memuat norma-norma
tentang:
a. Obyek pajak: yaitu obyek apa yang dikenakan pajak. Obyek pajak
sering disebut tatsbestand.
b. Subyek pajak; yaitu siapa yg dikenakan pajak.
c. Tarif pajak.
39
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi, (Yogyakarta : Andi Offset, 2003), h. 6. 40
Kesit Bambang Prakosa, Hukum Pajak. (Yogyakarta: EKONISIA, 2005), h. 5.
d. Sanksi-sanksi dalam hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib
pajak.
Hukum pajak formil adalah hukum pajak yang memuat cara-cara untuk
mewujudkan hukum pajak materiel menjadi suatu kenyataan atau realisasi.
Hukum pajak formil antara lain memuat:
a. Tata cara (prosedur) penetapan jumlah utang pajak.
b. Hak-hak fiskus untuk mengadakan monitoring dan pengawasan.
c. Kewajiban mengadakan pembukuan atau pencatatan.
d. Prosedur pengajuan surat keberatan, banding dan sebagainya.
Istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah,41
yang
artinya adalah beban. Adh-Dharibah disebut beban karena merupakan
kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya
akan dirasakan sebagai sebuah beban. Secara bahasa maupun tradisi, dharibah
dalam penggunaannya memang mempunyai banyak arti, namun para ulama
memakai ungkapan dharibah untuk menyebut harta yang dipungut sebagai
kewajiban dan menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sedangkan
kharaj adalah berbeda dengan dharibah, karena kharaj adalah pajak yang
obyeknya adalah tanah (taklukan) dan subyeknya adalah non-muslim.
Sementara jizyah obyeknya adalah jiwa (an-nafs) dan subyeknya adalah juga
non-muslim.42
41
Gazi Inayah, al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-dharibah, Dirasah Muqaranah, 1995,
Edisi terjemah oleh Zainuddin Adnan dan Nailul Falah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan
Pajak. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 24. 42
Gusfahmi, Op.Cit., h. 27-30.
Adapun pengertian pajak menurut Yusuf Qaradhawi adalah kewajiban
yang ditetapkan terhadap wajib pajak, yang harus disetorkan kepada Negara
sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat prestasi kembali dari Negara, dan
hasilnya untuk membiayai pengeluran-pengeluaran umum di satu pihak dan
untuk merealisasi sebagian tujuan ekonomi, social, politik dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai oleh Negara.43
Gazi Inayah berpendapat bahwa pajak
adalah kewajiban untuk membayar tunai yang ditentukan oleh pemerintah
atau pejabat berwenang yang bersifat mengikat tanpa adanya imbalan
tertentu. Ketentuan pemerintah ini sesuai dengan kemampuan si pemilik harta
dan dialokasikan untuk mencukupi kebutuhan pangan secara umum dan untuk
memenuhi tuntutan politik keuangan bagi pemerintah.44
Abdul Qadim berpendapat pajak adalah harta yang diwajibkan Allah Swt
kepada kaum muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos
pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal
tidak ada uang/harta.45
Dari berbagai definisi tersebut, nampak bahwa definisi
yang dikemukakan Abdul Qadim lebih dekat dan tepat dengan nilai-nilai
Syariah, karena di dalam definisi yang dikemukakannya terangkum lima
unsur penting pajak menurut Syariah, yaitu:
a. Diwajibkan oleh Allah Swt .
b. Obyeknya harta.
c. Subyeknya kaum muslim yang kaya.
43
Yusuf Qardhawi, OP.Cit., h. 998. 44
Gazi Inayah, Op.Cit., h. 24. 45
Abdul Qadim, al-Amwal fi daulah al-Khilafah, (Dar al-ilmi lilmalayin, 1988), Edisi
terjemah oleh Ahmad dkk, Sistem Keuangan di Negara Khilafah. (Bogor: Pustaka Thariq al-Izzah,
2002), h. 138.
d. Tujuannya untuk membiayai kebutuhan mereka.
e. Diberlakukan karena aanya kondisi darurat (khusus), yang harus segera
diatasi oleh Ulil Amri.
Adapun karakteristik pajak (dharibah) menurut Syariat, yang hal ini
membedakannya dengan pajak konvensional adalah sebagai berikut:
a. Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinyu, hanya boleh
dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul
mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan.
Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi
pihak yang membutuhkan (mustahik). Sedangkan pajak dalam
perspektif konvensional adalah selamanya (abadi).
b. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan sebatas jumlah yang
diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.
Sedangkan pajak dalam perspektif konvensional ditujukan untuk
seluruh warga tanpa membedakan agama.
c. Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim, tidak kaum non-
muslim. Sedangkan teori pajak konvensional tidak membedakan
muslim dan non-muslim dengan alasan tidak boleh ada diskriminasi.
d. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak
dipungut dari selainnya. Sedangkan pajak dalam perspektif
konvensional, kadangkala juga dipungut atas orang miskin, seperti
PBB.
e. Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan
yang diperlukan, tidak boleh lebih.
f. Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut
teori pajak konvensional, tidak akan dihapus karena hanya itulah
sumber pendapatan.46
Pajak atau ad-dharibah menurut Islam memiliki perbedaan dengan pajak
konvensional. Sehingga dalam Alqur‟an terdapat istilah-istilah yang mirip
dengan pajak atau dharibah sebagai berikut:
a. Al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan
Islam).
b. Al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam).
c. Al-„Usyur (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke
negara Islam)
2. Dasar Hukum Pajak
Kewajiban tentang pembayaran pajak memang masih perlu ditanyakan,
karena tidak ada nash yang sahih jelas dalam Al Qur‟an. Akan tetapi, dalam
Al-Quran terdapat ayat yang merujuk pada pajak seperti sebagai berikut:
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab
46
Yahya Abdurrahman, http://Hayatulislam.net, diakses 14 Februari 2018
kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam Keadaan tunduk. (QS. At-Taubah [9]: 29).47
Selintas dari ayat di atas “sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh…” terdapat kata Jizyah yang merupakan salah satu istilah yang
menunjukan kepada pajak. Jizyah sebenarnya berbeda dengan pajak, akan
tetapi dalam kitab Al-Umm karya Imam Syafi‟I, jizyah diterjemahkan dengan
pajak. Jizyah secara bahasa adalah nama suatu kharraj (pajak) yang
dibebankan kepada kafir ahli dzimmah. Disebut demikian karena
sesungguhnya jizyah dapat melindungi nyawa mereka. Dan secara syara‟
adalah harta yang disanggupi oleh orang kafir dengan akad tertentu.48
Pembayaran pajak di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi “Segala Pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang. Oleh karena pajak dipungut berdasarkan
undang-undang, maka pemungutannya dilakukan dengan system administrasi
yang akurat dan wajib pajak yang tidak mau membayar pajak dikenakan
sanksi denda bahkan dikenakan sanksi pidana.
Aturan-aturan perpajakan sendiri telah banyak yang diundangkan lengkap
dengan revisiannya ataupun yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik
Indonesia dengan berbentuk peratura pemerintah, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
47
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 191. 48
Imam Syafi‟I, Mukhtashar Kitab Al Umm Fi Al-Fiqh, (Beirut: Lubnan, 1979), h. 233-
284.
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan
Surat Paksa.
e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun2000 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983.
f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983.
g. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, dan lain-lain.
3. Pendapat Ahli Tentang Wajib Pajak
Mengatur kekayaan, Islam menjadikan kemaslahatan bersama misalnya
untuk mensucikan kekayaan maka terdapat zakat yang mana berfungsi untuk
membantu sesama makhluk Allah SWT.
Pendapat para ahli tidak saling menutupi dan tidak bertentangan. Ulama
berbeda pendapat terkait apakah ada kewajiban kaum muslim atas harta selain
zakat. Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa zakat adalah satu-satunya
kewajiban kaum muslim atas harta. Barang siapa telah menunaikan zakat,
maka bersihlah hartanya dan bebaslah kewajibannya. Dasarnya adalah
berbagai hadis Rasulullah. Di sisi lain ada pendapat ulama bahwa dalam
harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat. Jalan tengah dari dua
perbedaan pendapat ini adalah bahwa kewajiban atas harta yang wajib adalah
zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya keperluan
tambahan (darurah), maka aka nada kewajiban tambahan lain berupa pajak
(dharibah). Pendapat ini misalnya dikemukakan oleh Qadhi Abu Bakar Ibn al-
Aarabi, Imam Malik, Imam Qurtubi, Imam Syatibi, Mahmud Syaltut, dan
lain-lain.49
Ada kaum muslim lain sejak zaman sahabat sampai masa tabi‟in yang
berpendapat, bahwa dalam harta kekayaan ada kewajiban lain selain zakat.
Pendapat tersebut datang dari Umar, Ali, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu
Hurairah, Hasan bin Ali dan Fatimah binti Qais dari kalangan sahabat ra.
Pendapat itu disahkan oleh Sya‟bi, Mujahid, Thawus, „Atha, dan lain-lain dari
kalangan tabi‟in.50
Dalil-dalil yang mereka kemukakan yaitu:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
49
Yusuf Qardhawi, Op.Cit., h. 169-181. 50
Yusuf Qardhawi, Op.Cit., h. 973.
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Baqarah
[2]: 177).51
Ayat ini menurut mereka merupakan alasan yang kuat, sebagai dalil
mengenai adanya kewajiban atas harta selain zakat. Ayat itu telah menjadikan
pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak yatim, fakir miskin,
musafir, dan seterusnya, sebagai pokok dan unsur kebaikan.52
Pemungut pajak yang dibolehkan menurut para ulama tersebut di atas,
alasan utamanya adalah untuk kemaslahatan umat, karena dana pemerintah
tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika
pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemadaratan. Sedangkan
mencegah kemudaratan adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah
ushul fiqh:
Perkara yang menjadi penyempurna dari perkara wajib, hukumnya juga
wajib.53
Untuk memenuhi kebutuhan negara akan berbagai hal, seperti
menanggulangi kemiskinan, menggaji tentara dan lain- lain yang tidak
terpenuhi dari zakat dan sedekah, maka harus muncul alternative sumber
baru. Pilihan kewajiban pajak ini sebagai solusi, telah melahirkan bahwa
pemungutan pajak itu diperbolehkan dan tidaknya.
Menanggapi adanya kewajiban terhadap pembayaran pajak, Qadhi Abu
bakr bin Al-Arabi seorang ahli fikihgolongan Maliki menyatakan dalam
51
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 27. 52
Gusfahmi, Op.Cit., h. 148. 53
Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 23.
Ahkam Al-Qur‟an bahwa pada harta tak ada kewajiban selain zakat. Apabila
telah diselesaikan, kemudian sesudah itu datang kebutuhan mendesak, maka
wajib bagi orang kaya mengeluarkan hartanya untuk keperluan tersebut.54
Abu Yusuf menyatakan dalam kitab Al-Kharaj, semua khulafaurrasyidin,
terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan
bahwa pajak harus dikumpulkan dengan kemurahan dan keadilan, tidak
diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan
sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.55
Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan
pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani.
Marghinani dalam kitabnya Al-Hidayah berpendapat bahwa jika sumber-
sumber daya negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun dana dari
rakyat untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu memang
dinikmati rakyat, kewajiban mereka membayar ongkosnya.56
Menurut M. umer Chapra dalam bukunya Islam and The Economic
Challenge menyatakan bahwa hal negara Islam untuk meningkatkan sumber-
sumber daya lewat pajak di samping zakat telah dipertahankan oleh sejumlah
fuqaha yang pada prinsipnya telah mewakili semua mazhab fiqih. Hal ini
disebabkan karena dana zakat dipergunakan pada prinsipnya untuk
kesejahteraan kaum muslim padahal negara memerlukan fungsi-fungsi
alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif.57
54
Yusuf Qardhawi, Op. Cit., h. 991. 55
Umer Chapra, Islam and The Economic challenge. (Herndon: IIIT, 1995), h. 294. 56
Ibid., h. 294. 57
Ibid.
Ibnu Taimiyah mendukung kuat diterapkannya pajak (dharibah) tambahan.
Selain itu, menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmuatul Fatawa mengatakan
larangan penghindaran pajak sekalipun tidak adil berdasarkan argument
bahwa tidak membayar pajak oleh mereka yang berkewajiban akan
mengakibatkan beban yang lebih besar bagi kelompok lain.58
Sejumlah fuqaha menyatakan pajak itu boleh dipungut, sebagian lagi
mempertanyakan (menolak) hak negara untuk meningkatkan sumber-sumber
daya melalui pajak. Menurut Hasan Turobi dalam bukunya Principle of
Governance, Freedom, and Responsibility in Islam, menyatakan
pemerintahan yang ada di Dunia Muslim dalam sejarah yang begitu lama
pada umumnya tidak sah. Karena itu, para fuqaha khawatir jika
diperbolehkan menarik pajak akan disalahgunakan dan menjadi suatu alat
penindasan.59
Yusuf Qardhawi mengakui adanya perbedaan yang tajam mengenai hal ini.
Masing-masing memiliki dalil dan argument yang sangat kuat.60
Akan tetapi,
menurut Yusuf Qardhawi bahwa terdapat persamaan dalam pendapat para
fuqaha yaitu para ulama tidak menantang bahwa kewajiban atas harta yang
wajib adalah zakat, namun jika datang kondisi yang menghendaki adanya
keperluan tambahan (dharurah), maka akan ada kewajiban tambahan lain
berupa pajak (dharibah).
Oleh karena itu pajak tidak boleh dipungut dengan cara paksa dan
kekuasaan semata, melainkan karena ada kewajiban kaum muslimin yang
58
Ibid.. h. 297. 59
Ibid., h. 294. 60
Yusuf Qardhawi, Op.Cit., h. 974.
dipikulkan kepada Negara, seperti memberi rasa aman, pengobatan dan
pendidikan dengan pengeluaran seperti nafkah untuk para tentara, gaji
pegawai, hakim, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pajak memang
merupakan kewajiban warga Negara dalam sebuah Negara muslim, tetapi
Negara berkewajiban pula untuk memenuhi dua kondisi (syarat):
a. Penerimaan hasil-hasil pajak harus dipandang sebagai amanah dan
dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan
pajak.
b. Pemerintah harus mendistribusikan beban pajak secara merata di antara
mereka yang wajib membayarnya.61
Para ulama yang mendukung diperbolehkannya memungut pajak
menekankan bahwa yang mereka maksud adalah sistem perpajakan yang adil,
yang selaras dengan spirit Islam. Menurut mereka, sistem perpajakan yang
adil adalah apabila memenuhi tiga kriteria:
a. Pajak dikenakan untuk membiayai pengeluaran yang benar-benar
diperlukan untuk merealisasikan maqasid Syariah.
b. Beban pajak tidak boleh terlalu kaku dihadapkan pada kemampuan
rakyat untuk menanggung dan didistribusikan secara merata terhadap
semua orang yang mampu membayar.
c. Dana pajak yang terkumpul dibelanjakan secara jujur bagi tujuan yang
karenanya pajak diwajibkan.62
61
Ibid., h. 299. 62
Ibid., h. 295.
Islam memiliki berbagai sumber pendapatan negara selain dari zakat dan
pajak. Sumber utama pendapatan Negara menurut Islam dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 1
Klasifikasi Sumber Pendapatan Negara dalam Sistem Ekonomi Islam
No Nama
Pendapatan
Jenis
Pendapatan
Subjek Objek Tarif Tujuan
Penggunaan
1 Ghanimah Tdk Resmi Non
Muslim
Harta Tertentu 5 Kelompok
2 Zakat Tdk Resmi Muslim Harta Tertentu 8 Kelompok
3 Ushr –
Shadaqah
Tdk Resmi Muslim Hasil
Pertanian
/dagang
Tetap 8 Kelompok
4 Jizyah Resmi Non
Muslim
Jiwa Tidak
tetap
Umum
5 Kharaj Resmi Non
Muslim
Sewa
Tanah
Tidak
tetap
Umum
6 Ushr – Bea
Cukai
Resmi Non
Muslim
Barang
dagang
Tidak
tetap
Umum
7 Waqaf Tdk Resmi Muslim Harta Tidak
tetap
Umum
8 Dharibah
(Pajak )
Resmi Muslim Harta Tidak
tetap
Umum
Sumber Data: Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah
Selain itu, Negara juga mendapatkan sumber pendapatan sekunder, yaitu
dari denda-denda (kafarat), hibah, hadiah, dan lain-lain yang diterima secara
tidak tetap.63
B. Gambaran Umum Zakat
1. Pengertian Zakat
Zakat adalah salah satu rukun Islam. Zakat secara etimologi merupaka
bentuk isim masdar dari akar kata yang bermakna tumbuh, barakah, bersih,
kebaikan, jernihnya sesuatu, dan pujian. Pengertian zakat secara etimologi ini
terangkum dalam ayat:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (At-Taubah [9]: 103).64
Ayat tersebut bermaksud bahwa zakat itu akan membersihkan, mensucikan
dan menumbuhkan pahala orang yang melaksanakannya.65
Adapun
pengertian secara terminologi zakat merupakan sebagian dari harta orang
kaya yang telah ditentukan kadarnya oleh agama pada sebagian jenis harta
dan telah ditentukan nisabnya pada sebagian jenis harta yang lain.66
63
Gusfahmi, OP.Cit., h. 85-86. 64
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 203. 65
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamy Wa‟adillatuhu, (Damaskus: Daar El-Fikr,
1997), h. 83. 66
Hasbi Ash-Shiddieqy, Zakat Sebagai Salah Satu Unsur Pembinaan Masyarakat
Sejahtera, (Purwokerto: Matahari Masa, 1969), h. 11.
Banyak ulama yang mendefinisikan zakat. Berikut ini merupakan definisi
zakat menurut para Ulama Fuqaha :
a. Malikiyah memberikan definisi bahwa zakat adalah mengeluarkan
sebagian yang khusus pula yang telah mencapai nisab (batas kuantitas
yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya
(mustahiq)-nya. Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai
haul (setahun), bukan barang tambang dan bukan pertanian.67
b. Hanafiyah memberikan definisi bahwa zakat adalah pemberian hak
kepemilikan atas sebagian harta tertentu dari harta tertentu kepada
orang tertentu yang telah ditentukan oleh syariat, semata-mata karena
Allah SWT.68
c. Syafi‟iyah memberikan definisi bahwa zakat adalah nama untuk barang
yang dikeluarkan untuk harta atau badan (diri manusia untuk zakat
fitrah) kepada pihak tertentu.
d. Hanabillah memberikan definisi bahwa zakat adalah hak yang wajib
pada harta tertentu kepada kelompok tertentu pada waktu tertentu.
e. Menurut Nawawi, Zakat adalah “sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah SWT diserahkan kepada orang-orang yang berhak”,
di samping berarti “mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.” Jumlah
yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang
67
Gusfahmi, Op.Cit., h. 93. 68
Abdul Qadim, Op.Ci., h. 147.
dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti, dan
melindungi kekayaan itu dari kebinasaan.
f. Menurut Al Mawardi, Zakat adalah sebutan untuk pengambilan tertentu
dari harta yang tertentu, menurut sifat-sifat yang tertentu untuk
diberikan kepada golongan tertentu.
g. Menurut Asy Syaukani, Zakat adalah memberi suatu bagian dari harta
yang sudah sampai nishab kepada orang fakir dan sebagainya, yang
tidak berhalangan syara‟ sebagai penerima.
h. Para pemikir ekonomi Islam kontemporer mendefinisikan zakat sebagai
harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang,
kepada masyarakat umum atau individu yang bersifat mengikat, tanpa
mendapat imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan
kemampuan pemilik harta, yang dialokasikan untuk memenuhi
kebutuhan delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al-Qur‟an serta
untuk memenuhi tuntutan politik bagi keuangan Islam.69
Zakat memiliki manfaat dan hikmah yang demikian besar dan mulia, baik
yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya
keseluruhan.70
Hikmah dan manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai
berikut.
Pertama, perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-
Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi,
69
Ghazi Inayah, Op. Cit., h. 3 70
Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), h. 82.
menghilangkan sifat kikir, rakus, dan materialistis, menumbuhkan ketenangan
hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki.
Kedua, karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk
menolong, membantu, dan membina mereka terutama fakir miskin, ke arah
kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya layak, dapat beribadah kepada Allah SWT,
terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki
dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat
orang kaya yang memiliki harta cukup banyak. Zakat sesungguhnya bukanlah
sekadar memenuhi kebutuhan para mustahik, terutama fakir miskin, yang
bersifat komsumtif dalam waktu sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan
dan kesejahteraan kepada penerimanya, dengan cara menghilangkan ataupun
memperkecil penyebab kehidupan menjadi miskin dan menderita.71
Ketiga, sebagai pilar amal bersama (jama‟i) dan salah satu bentuk konkret
dari jaminan social yang disyariatkan oleh ajaran Islam.
Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana
maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam. Seperti sarana ibadah,
pendidikan, kesehatan, social maupun ekonomi, sekaligus sarana
pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim. Hampir semua ulama
sepakat bahwa orang yang menuntut ilmu berhak menerima zakat atas nama
golongan fakir dan miskin maupun sabilillah.
71
Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, cet. ke-2, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2002), h.10.
Kelima, untuk memasyarakatkanetika bisnis yang benar, sebab zakat itu
bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian
dari hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar
sesuai dengan ketentuan Allah SWT.72
Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan
salah satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola
dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan pendapatan.73
Monzer Kahf menyatakan zakat dan system
pewarisan Islam cenderung kepada distributsi harta yang egalitir dan bahwa
sebagai manfaat dari zakat, harta akan selalu beredar.74
Sedangkan menurut
Mustaq Ahmad, zakat adalahsumber utama kas negara dan sekaligus
merupakan sokongan dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al-Qur‟a.75
Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta pada satu tangan dan pada
saat yang sama mendorong manusia untuk melakukan investasi dan
mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan institusi yang
komprehensif untuk distribusi harta karena hal ini menyangkut harta setiap
muslim secara praktis, saat hartanya telah mencapai nishab.
Ketujuh, dorongan ajaran Islam yang begitu kuat kepada orang yang
beriman untuk berzakat, berinfak, dan bersedekah menunjukan bahwa ajaran
Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja dan berusaha sehingga
72
Ibid., h. 12. 73
Ahmad Muflih Saefuddin, Pengelolaan Zakat Ditinjau dari Aspek Ekonomi, (Bontang:
Badan Dakwah Islamiah, 1986), h. 99. 74
Monzer Kahf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1955), h. 88. 75
Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Islam, (Jakarta: Pustaka Al- Kausar, 2001), h. 75.
memiliki harta kekayaan yang di samping dapat memenuhi kebutuhan hidup
diri dan keluarganya, juga berlomba-lomba menjadi muzaki dan munfik.
Zakat yang dikelola dengan baik, akan mampu membuka lapangan kerja dan
usaha yang luas, sekaligus penguasa asset-aset umat Islam.
Adapun orang-orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat yaitu harus
memenuhi syarat dan ketentuan sebagai berikut:
a. Merdeka. Berdasarkan kesepakatan ulama tidak wajib zakat atas budak.
Sebab, dia tidak memiliki. Tuannya adalah pemilik atas apa yang ada di
tangan budaknya, budak mukatab dan sejenisnya, meskipun dia
mempunyai kepemilikan. Hanya saja, kepemilikannya tidak sempurna.
Menurut mayoritas ulama, zakat hanya wajib atas tuannya. Sebab, dia
adalah pemilik harta hambanya. Maka, zakatnya adalah seperti yang
ada pada tangan rekanan kerjanya dan wakilnya. Malikiyah
mengatakan, tidak ada kewajiban zakat pada harta budak, tidak atas
budak itu, tidak pula tuannya. Sebab, sebab kepemilikan budak adalah
kurang. Zakat hanya wajib pada kepemilikan sempurna. Juga, karena
tuannya tidak memiliki harta budaknya.
b. Islam. Tidak ada wajib zakat atas orang kafir berdasarkan ijma‟ ulama.
Sebab ibadah zakat adalah ibadah menyucikan. Sedangkan orang kafir
bukanlah termasuk ahli kesucian. Syaf‟iyah berbeda dengan yang
lainnya, mewajibkan orang murtad membayar zakat hartanya sebelum
dia murtad. Artinya pada saat Islam, zakat tidak gugur darinya. Berbeda
dengan Abu Hanifah, dia menggugurkan kewajiban zakat atas orang
murtad. Sebab, orang murtad menjadi seperti orang kafir asli. Adapun
zakat hartanya pada waktu murtad, maka menurut pendapat yang paling
shahih pada madzhab Syafi‟i, hukum zakat adalah seperti hukum
hartanya. Hartanya ditahan, jika dia kembali kepada Islam dan tampak
bahwa hartanya masih, maka wajib zakat, jika tidak tampak maka tidak.
c. Baligh-akal. Syarat ini menurut Hanafiyah. Oleh karena itu, tidak ada
kewajiban zakat bagi anak kecil dan orang gila pada harta mereka.
Sebab, mereka tidak dikhitabi untuk melaksanakan ibadah seperti shalat
dan puasa. Mayoritas ulama berpendapat, baligh-akal tidak disyaratkan.
Karena adanya pendapat yang masih mempertanyakan adanya zakat
orang gila yang di wakilkan atau anak yang diwakilkan kepada walinya.
Secara umum dan global Al-Qur‟an menyatakan bahwa zakat itu diambil
dari setiap harta yang kita miliki dan juga diambil dari setiap hasil usaha yang
baik dan halal. Ahmad Musthafa Al- Maraghi ketika menjelaskan firman
Allah SWT Surah Al-Baqarah ayat 267 menyatakan bahwa ayat ini
merupakan perintah Allah kepada orang-orang yang beriman untuk
mengeluarkan zakat dari hasil usaha yang terkait, baik yang berupa mata
uang, hasil tani, , hasil pertambangan, maupun hasil ternak76
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan harta (al-
amwaal) merupakan bentuk jamak dari kata maal, yang bahasanya Al-Qur‟an
diturunkan, adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk
menyimpan dan memilikinya. Ibnu Asyr, sebagaimana yang dikutip Yusuf
76
Al-Maraghi, Tafsir Al-maraghi , Jilid 1, (Kairo: Maktabah Djarisah, 1365 H), h. 39.
Qardhawi, mengemukakan bahwa harta itu pada mulanya berarti emas dan
perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang
disimpan dan dimiliki.77
Sejalan dengan ketentuan ajaran Islam yang selalu menetapkan standar
umum pada setiap kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, maka dalam
penetapan harta menjadi sumber atau objek zakat pun terdapat beberapa
ketentuan yang harus dipenuhi. Apabila harta seorang muslim tidak
memenuhi salah satu ketentuan, misalnya belum mencapai nishabnya, maka
harta tersebut belum menjadi sumber atau objek yang wajib dikeluarkan
zakatnya. Meskipun demikian, ajaran Islam telah membuka pintu yang sangat
longgar yang dapat dilakukan oleh setiap muslim dalam setiap situasi dan
kondisi, yaitu infak dan sedekah.
Adapun persyaratan harta menjadi sumber atau objek zakat adalah sebagai
berikut. Pertama, harta tersebut harus didapatkan dengan cara yang baik dan
halal. Artinya harta yang haram, baik substansi bendanya maupun cara
mendapatkannya, jelas tidak dapat dikenakan kewajiban zakat. Di dalam
Shahih Bukhari terdapat satu bab yang menguraikan bahwa zakat tidak akan
diterima dari harta yang ghulul (harta yang didapatkan dengan cara menipu)
dan tidak akan diterima pula, kecuali dari hasil usaha yang baik dan halal.78
Kedua, harta tersebut berkembang atau berpotensi untuk dikembangkan,
seperti melalui kegiatan usaha, perdagangan, melalui pembelian saham, atau
ditabungkan, baik dilakukan sendiri maupun bersama orang atau pihak lain.
77
Yusuf Qardhawi, Op.Cit., h. 57. 78
Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Op.Cit., h. 20.
Harta yang tidak berkembang atau tidak berpotensi untuk berkembang, maka
tidak dikenakan kewajiban zakat.
Ketiga, milik penuh yaitu harta tersebut berada di bawah control dan di
dalam kekuasaan pemiliknya, atau seperti menurut sebagian ulama bahwa
harta itu berada di tangan pemiliknya, di dalamnya tidak tersangkut dengan
hak orang lain, dan ia dapat menikmatinya.79
Adapun yang menjadi alasan
penetapan syarat ini adalah penetapan kepemilikan yang jelas (misalnya harta
kamu atau harta mirip).
Keempat, menurut pendapat jumhur ulama harta tersebut harus mencapai
nishabnya yaitu jumlah minimal yang menyebabkan harta terkena kewajiban
zakat. Contohnya nishab zakat emas adalah 85 gram, nishab zakat hewan
ternak kambing adalah 40 ekor, dan sebagainya. Persyaratan adanya nishab
ini merupakan suatu keniscayaan sekaligus merupakan suatu kemaslahatan,
sebab zakat itu diambil dari orang yang kaya (mampu) dan diberikan kepada
orang-orang yang tidak mampu. Indicator kemampuan itu harus jelas, dan
nisablah merupakan indikatornya. Jika kurang dari nishab, ajaran Islam
membuka pintu untuk mengeluarkan sebagian dari penghasilan tanpa adanya
nishab, yaitu infak dan sedekah.80
Kelima, sumber-sumber zakat tertentu, seperti perdagangan, peternakan,
emas dan perak harus sudah berada atau dimiliki ataupun diusahakan oleh
muzzaki dalam tenggang waktu satu tahun. Sedangkan zakat pertanian, tidak
terikat dengan ketentuan haul (berlaku waktu satu tahun), ia harus
79
Ibid., h. 22. 80
Ibid., h. 24.
dikeluarkan pada saat memetiknya atau memanennya, jika mencapai
nishabnya.
Keenam, sebagian ulama mazhab Hanafi mensyaratkan kewajiban zakat
setelah terpenuhi kebutuhan pokok, atau dengan kata lain, zakat dikeluarkan
setelah terdapat kelebihan dari kebutuhan hidup sehari-hari yang terdiri atas
kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka berpendapat bahwa yang
dimaksud kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi, akan
mengakibatkan kerusakan dan kesengsaraan dalam hidup.81
Adapun orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) adalah
mereka yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur‟an. Mereka adalah delapan
golongan seperti tercantum dalam dalil sebagai berikut.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (At-Taubah [9]: 60).82
Ayat di atas menjelaskan bahwa penyaluran zakat itu hanya diserahkan
kepada delapan golongan. Berikut adalah penjelasan satu persatu dari delapan
golongan tersebut:
81
Ibid., h. 26. 82
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 196.
a. Fakir, yaitu orang yang tidak mempunyai harta, pekerjaan dan usaha
atau orang ynag memiliki harta, pekerjaan, dan usaha, tetapi hasilnya
sangat kecil, sehingga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Pada prinsipnya orang fakir adalah orang yang hidup
materialnya sangat kurang. Orang fakir itu, baik ia menyatakan maupun
tidak dinyatakan kepayahannya hidupnya, diketahui oleh umum.83
Jumhur Ulama berpendapat bahwa fakir adalah mereka yang
kekurangan dan dalam kebutuhan. Berkenaan dengan masalah fakir ini
perlu diperhatikan:
1) Orang yang jauh dari hartanya, atau mempunyai piutang tetapi
belum jatuh temponya, tetap berhak atas zakat sebagai orang fakir.
2) Orang yang cakap berusaha, tetapi tidak dapat melakukanya karena
sibuk dengan kegiatan menuntut dan mengajarkan al-Qur‟an atau
ilmu-ilmu lain yang tergolong fardhu kifayah, boleh menerima zakat
sebagai fakir, tetapi mereka yang dapat belajar sambil berusaha, atau
yang tidak cukup cerdas untuk dapat menguasai ilmu-ilmu yang
dipelajarinya, atau yang tinggal di madrasah tanpa belajar, tidak
berhak menerima zakat.
3) Orang yang tidak berusaha karena menyibukan diri dengan
melakukan ibadah-ibadah sunnah (nawafil), tidak dibenarkan
menerima zakat sebagai orang fakir, sebab berusaha dan hidup
83
Slamet Abidin dan Moh. Suyono, Fiqih Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h.
226.
mandiri lebih baik daripada melakukan ibadah sunnah, tetapi
tergantung atau selalu mengharapkan batuan orang lain.
4) Orang yang keutuhanya dicukupi oleh kerabat atau suaminya tidak
berhak atas zakat sebagai fakir.84
b. Miskin, yaitu orang yang mempunyai harta , usaha, dan pekerjaan,
tetapi hasilnya masih belum mencukupi keperluan hidupnya, namun
tidak kekurangan seperti orang fakir, Oleh karena itu, orang miskin
jarang menampakan kekurangan hidupnya dari segi material, sehingga
kadang-kadang tidak diketahui orang bahwa ia itu miskin.85
c. Amilin, yaitu orang-orang yang melaksanakan segala kegiatan urusan
zakat, mulai dari mengumpulkan, menyimpan, menjaga, mencatat
berapa zakat masuk dan keluar serta sisanya dan juga menyalur atau
mendistribusikannya kepada mustahik zakat. Allah menyediakan upah
bagi mereka dari harta zakat sebagai imbalan dan tidak diambil dari
selain harta zakat. Mereka diangkat oleh pemerintahan dan memperoleh
izin darinya atau dipilih oleh instansi pemerintahan yang berwenang
oleh masyarakat Islam untuk memungut dan membagikan serta tugas
lain yang berhubungan dengan zakat, seperti penyadaran atau
penyuluhan masyarakat tentang hukum zakat, menerangkan sifat-sifat
pemilik harta yang dikenakan kewajiban membayar zakat.86
Amil tetap diberi zakat walaupun ia kaya karena yang diberikan
kepadanya adalah imbalan kerjanya bukan merupakan pertolongan bagi
84
Lahmuddin Nasution, Fiqih 1, (Jakarta: Ogos, 1995), h. 175-176. 85
Ibid., h. 226. 86
Hikmat Kurnia, Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultummedia, 2008), h. 142
yang membutuhkan. Kelompok amil zakat berhak mendapat bagian dari
zakat, maksimal 1/8 atau 12,5 %, dengan catatan bahwa petugas zakat
ini memang melakukan tugas-tugas keamilan dengan sebaik-baiknya
dan waktunya sebagian besar atau seluruhnya untuk tugas tersebut. Jika
hanya di akhir bulan ramadhan saja (dan biasanya hanya untuk
pengumpulan zakat fitrah saja), maka seyogianya tidak mendapatkan
bagian zakat 1/8, melainkan hanyalah sekedarnya saja untuk keperluan
administrasi ataupun konsumsi yang mereka butuhkan, misalnya 5%
saja. Bagian untuk amil ini pun termasuk untuk biaya transportasi
maupun biaya-biaya lain yang dibutuhkan untuk melaksakan
tugasnya.87
d. Mualaf, yaitu orang yang dibujuk hatinya karena imannya masih lemah.
Mereka diberi zakat agar bertambah kesungguhan dalam memeluk
Islam dan bertambah keyakinan mereka, bahwa segala pengorbanan
mereka dengan masuk Islam tidak sia-sia.88
Dengan menempatkan
golongan ini sebagai sasaran zakat, maka jelas bagi kita bahwa zakat
dalam pandangan Islam bukan sekedar perbuatan baik yang bersifat
kemanusiaan melulu dan bukan pula sekedar ibadah yang dilakukan
secara pribadi, akan tetapi juga merupakan tugas penguasa atau mereka
yang berwewenang untuk mengurus zakat. Imam Malik, Syafi‟i, dan
Ahmad, berpendapat bahwa muallaf itu ada 4 golongan:
87
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Op. Cit., h. 134. 88
Ibid., h. 135.
1) Orang-orang ynag baru masuk islam dan imannya masih lemah.
Mereka diberi zakat, sebagai bantuan untuk meningkatkan imannya.
2) Orang Islam yang berpengaruh yang diharapkan akan mempengaruhi
kaumnya yang masih kafir untuk masuk islam.
3) Orang Islam yang berpengaruh terhadap orang kafir, yang dengan
pengaruhnya kaum muslimin dapat terpelihara dari kejahatan orang-
orang kafir.
4) Orang-orang yang dapat mencegah tindakan orang-orang yang tidak
mau membayar zakat (anti zakat).89
e. Fi al-Riqab, yaitu hamba sahaya yang dijanjikan merdeka. Maksud al-
Riqab di sini adalah para budak yang mukatab, yang dijanjikan akan
merdeka bila membayar sejumlah harta kepada tuannya. Budak yang
telah mengikat perjanjian kitabah secara sah dengan tuan-tuannya,
tetapi tidak mampu membayarnya, dapat diberikan bagian dari zakat
untuk membantu mereka memerdekakan dirinya.90
Mengingat golongan
ini sekarang tidak ada lagi, maka zakat mereka dialihkan ke golongan
mustahik lain menurut pendapat mayoritas ulama fiqh (jumhur).
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa golongan ini masih ada,
yaitu para tentara muslim yang menjadi tawanan.91
f. Gharim, yaitu orang-orang yang berhutang karena kegiatannya dalam
urusan kepentingan umum. Menurut Iman Syafi‟i, golongan Al-Gharim
ada 3 macam:
89
Ibid., h. 227. 90
Ibid., h. 178. 91
Hikmat Kurnia, Op.Cit., h. 146.
1) Orang yang berhutang untuk mengurangi biaya mendamaikan antara
orang-orang yang berselih.
2) Orang yang berutang untuk kepentingan dirinya karena perbuatan
yang bukan maksiat, dapat bagian zakat bila ia tidak mampu lagi
membayar.92
3) Orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain.93
g. Fi Sabilillah, yaitu orang-orang yang berjuang di jalan Allah. Sabilillah
ini meliputi kepentingan agama Islam dan umatnya. Orang yang
berperang membela dan menegakkan kalimat Allah, mendapat bagian
zakat bila tidak digaji, atau tentara sukarela walaupun ia orang kaya,
diberikan zakat itu untuk sekadar biaya perang. Pada zaman sekarang
bagian fi sabilillah dipergunakan untuk membebaskan orang Islam dari
hukuman orang kafir, bekerja mengembalikan hukum Islam termasuk
jihad fi sabilillah diantaranya melalui pendirian pusat Islam yang
mendidik pemuda muslim, menjelaskan ajaran Islam yang benar,
memelihara aqidah dan kekufuran serta mempersiapkan diri untuk
membela Islam dari musuh-musuhnya.
h. Ibnu sabil, yaitu orang yang, atau akan, melakukan perjalan (musafir).
Orang musafir dapat diberi dari zakat, dengan syarat:
1) Perjalan itu tidak ditujukan untuk maksiat. Para ulama sepakat
bahwa orang yang melakukan perjalanan untuk ketaatan berhak
mendapat zakat. Menurut pendapat yang sahih, orang yang
92
Slamet Abidin dan Moh. Suyono, OP. Cit., h. 227. 93
Lahmuddin Nasution, Loc.Cit.
melakukan perjalanan untuk tujuan yang mubah pun dapat diberikan
bagian zakat, sebagaimana ia berhak mendapat rukhsah seperti
berbuka puasa dan mengqashar shalat.
2) Ia kehabisan bekal, tidak mempunyai, atau kekurangan biaya untuk
perjalannya sekalipun ia memiliki harta di tempat lain.94
Tujuan pemberian zakat untuk mengatasi ketelantaran, meskipun di
kampung halamannya ia termasuk mampu. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa Islam memberikan perhatian kepada orang yang
terlantar. Penerima zakat pada kelompok ini disebabkan oleh
ketidakmampuan yang sementara. Para ulama sepakat bahwa mereka
hendaknya diberi zakat dalam jumlah yang cukup untuk menjamin
mereka pulang. Pemberian ini juga diikat dengan syarat bahwa
perjalanan dilakukan atas alasan yang bisa diterima dan dibolehkan
dalam Islam. Tetapi jika musafir itu orang kaya di negerinya dan bisa
menemukan seseorang yang meminjaminya uang, maka zakat tidak
diberikan kepadanya.95
Zakat sendiri dapat dibagi menjadi dua yaitu zakat fitrah dan zakat maal.
Zakat fitrah biasa disebut juga zakat badan atau tubuh kita. Setiap menjelang
Idul Fitri orang Islam diwajibkan membayar zakat fitrah sebanyak 3 liter dari
jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Maal sendiri menurut bahasa
berarti harta. Jadi, zakat maal yaitu zakat yang harus dikeluarkan setiap umat
94
Ibid., h. 179. 95
Yasin Ibrahim al-Syaikh, Kitab Zakat, (Bandung : Penerbit Marja, 2008), h. 9.
muslim terhadap harta yang dimiliki, yang telah memenuhi syarat, haul, dan
nishabnya
.
2. Dasar Hukum Zakat
Kesejahteraan umum merupakan salah satu tujuan nasional negara
Replublik Indonesia yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, bangsa Indonesia
senantiasa melaksanakan pembangunan yang bersifat fisik materiil dan
spiritual antara lain melalui pembangunan di bidang agama yang mencakup
terciptanya suasana kehidupan beragama yang penuh keimanan dan
ketakwaan terhadap Allah SWT, meningkatnya akhlak mulia, terwujudnya
kerukunan hidup umat beragama yang dinamis sebagai landasan persatuan
dan kesatuan bangsa, dan meningkatkannya peran serta masyarakat dalam
pembangunan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan
berbagai upaya, antara lain melalui dana zakat.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Di dalam Al-Qur‟an banyak
terdapat ayat yang secara tegas memerintahkan pelaksanaan zakat. Perintah
Allah SWT tentang zakat dalam Al-Qur‟an ditemukan sebanyak 32 kali, 26
kali di antaranya disebut bersamaan dengan kata salat. Hal ini mengisyaratkan
bahwa kewajiban mengeluarkan zakat seperti halnya kewajiban mendirikan
salat, merupakan salah satu perintah yang sangat penting dan mendapat
perhatian besar dalam ajaran Islam.96
Salah satu ayat menjadi acuan berzakat
adalah sebagai berikut:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikanmmereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. At-Taubah [9]: 103).97
Pemahaman dalam “ambillah zakat dari sebagian harta mereka,…”
menjelaskan bahwa ditekankannya untuk mengeluarkan zakat dari harta telah
ditentukan. Selain dalam Al-Qur‟an terdapat dalam hadist. Imam Bukhori dan
Muslim menghimpun hadist-hadist yang berkaitan dengan zakat sekitar 800
hadist. Di antara hadist yang paling popular mengenai zakat adalah:
Hadist riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Nabi Saw. Bersabda: Islam
dibangun di atas lima perkara, mengesakan Allah, mendirikan shalat,
membayar zakat, puasa bulan Ramadhan dan menunaikan haji. (HR Muslim,
no. [16]- 19).98
3. Pendapat Ahli Tentang Wajib Zakat
96
Ujang Mahadi, Pelaksanaan Zakat Profesi di Kalangan Pns, Jurnal Ilmiah Madania,
Transformasi Islam dan Kebudayaan, (Bengkulu: PPIK, 1998), h. 13. 97
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 203. 98
Abu Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, Jilid I, (Beirut:Dar al Fikr, 1995
M), h. 253.
Ekonomi Islam membatasi asas-asas zakat dalam beberapa teori yang
memiliki berbagai macam pemahaman dan landasan hukum. Beban-beban
keislaman itu tidak mungkin bersumber pada transaksi keuangan antara
pejabat pemerintah dengan orang mukallaf. Sesungguhnya kewajiban zakat
dasarnya adalah hukum ilahi, yang bersumber pada Al-Qur‟an dan Al-Hadist,
aplikasinya adalah merealisasikan hukum dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadist
secara sempurna dan benar melalui pemerintahan sabagai pemungut zakat
dari masyarakat. Akan tetapi, masih banyak perbedaan pendapat mengenai
harta sebagai objek yang dizakati.
Para fuqaha berselisih pendapat mengenai zakat berkaitan dengan barang
atau pertanggungannya. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa menurut salah
satu di antara dua pendapat Asy-Syafi‟I, zakat itu wajib dibayar menurut
pertanggungan. Yang kedua, zakat itu wajib dibayar sesuai dengan
barangnya. Adapun dibolehkannya pengeluaran zakat selain ketentuan nisab
tersebut di atas adalah rukhshah (keringanan).
Perbedaan pendapat tersebut mempunyai arti, bahwa kalau zakat itu
menurut pertanggungan, sedang harta itu berulang sampai dua tahun tapi
belum juga dizakati, maka wajib dikeluarkan zakatnya sejak tahun lalu
sampai dengan tahun yang kedua tanpa dikurangi. Dan begitu pula kalau
harta itu melebihi dari nishab, juga zakatnya tak boleh dikurangi sekalipun
telah berulang bertahun-tahun.99
99
Syauqi Ismail Syahhatih, Penerapan Zakat dalam Dunia Modern, terjemahan oleh
Anshori Umar Sitanggal, (Jakarta: Pustaka Dian, 1987), h. 122.
Zakat mulai diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriah. Adapun mengenai fardhu
dan wajibnya zakat atas orang Islam sudah merupakan ketetapan yang
tercantum tegas sekali di dalam kitab Allah dan tak mungkin di takwilkan
kemana-mana . seperti dalam surah sebagai berikut:
Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat. (QS. Al-Hajj [22]:
78).100
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi
orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa
(yang tidak mau meminta). (QS. Al-Ma‟arij [70]: 24-25).101
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa zakat itu fardhu „ain. Sedang
orang yang telah mengakui fardhunya zakat apabila tak mau berzakat, maka
zakat itu tetap diambil darinya secara paksa dan dipaksa menunaikannya.
Kalau tetap menolak maka wajib diperangi sampai zakat itu berhasil
diperoleh. Hal ini pernah dilakukan oleh khalifah pertama Abu Bakar As-
Siddiq dan Umar. Meskipun hal ini awalnya di tentang oleh Umar.102
Nash-
nash hukum juga banyak yang mengakui adanya kewajiban zakat, bahwa
zakat adalah merupakan hak dalam harta.
Realisasi dari hukum yang tertulis dalam Al-Qur‟an dan Al-Hadist adalah
bukti pelaksanaan dan tanggung jawab terhadap hukum Islam, di dalamnya
ada hak kepemimpinan sebagai warga masyarakat dan sebagai mukallaf yang
100
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 341. 101
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 571. 102
Ibid., h. 39-52.
terpanggil untuk merealisasikan prinsip-prinsip solidaritas social dengan
mewajibkan masyarakatnya untuk membayar zakat sebagai saham dalam
mengemban beban masyarakat luas. Oleh karena itu terdapat beberapa teori
yang menjadi alasan kewajiban zakat sebagai berikut:
a. Teori khilafah. Dasar teori ini adalah bahwa semua harta itu milik Allah
sedangkan manusia hanyalah sebagai pengemban saja, maka
manusiaharus mampu mengemban beban khilafah itu. Allah berfirman:
Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi,
semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah.
(Thaha [20]: 6).103
Semua yang ada di jagad ini adalah milik Allah SWT bahkan
sampai debu kecil di langit dan di bumi. Wakil itu menduduki tempat
yang diwakilkan dengan ketaatan, membelanjakan dan infak.
b. Teori beban umum. Teori ini muncul atas dasar bahwa hak Allah dalam
menetapkan beban terhadap hamba-Nya dan sesuai dengan kehendak-
Nya, seperti ibadah fisik atau ibadah amaliyah yang murni hanya untuk
Allah, memuji kepada-Nya serta taat kepada-nya. Asas kehidupan
manusia adalah ibadah dan ibadah adalah taklif (beban). Barang siapa
taat, maka ia selamat dan barang siapa tidak taat, maka ia selamat dan
barang siapa tidak taat maka ia akan durhaka. Manusia akan dimintai
pertanggungjawaban amalnya, baik amal yang baik maupun yang
103
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 312.
buruk. Manusia itu mukallaf dan dia diciptakan bukan untuk main-
main.
c. Teori jaminan social. Dasar teori ini adalah hak masyarakat dalam
mengelola hartanya. Sebagai anggota masyarakat mereka
mempunyaihak yang harus dilindungi, dibantu apa yang mereka
lakukan, diringankan bebannya dan diayomi, bukan karena belas
kasihan. Warga masyarakat harus memiliki solidaritas, saling
membantu. Hal ini karena manusia adalah makhluk social yang tidak
dapat hidup sendiri, atau keluar dari masyarakat. Manusia dapat bekerja
dan mendapat kemudahan karena bantuan orang lain dan harta yang
diperoleh juga dari masyarakat. Oleh karena itu masyarakat tidak boleh
mengeluarkan hartanya kecuali pada hal yang bermanfaat bagi
kesejahteraan mereka, setiap pemborosan belanja akan berdampak
negative bagi masyarakat.
d. Teori persaudaraan. Teori ini muncul berdasarkan kaidah-kaidah
persaudaraan dalam keyakinan dan kemanusiaan, kaidah persaudaraan
dalam keyakinan itu adalah system rohani yang saling terkait, mendarah
daging, belas kasih dan solidaritas antara saudara dalam masyarakat
insani yang satu. Islam menjelaskan kaidah-kaidah interaksi manusia,
Islam membangun hubungan manusia dengan yang lain, maka
kemudian disyari‟atkannya zakat untuk merealisasikan hubungan
manusia supaya saling menolong, menahan kesengsaraaan, memenuhi
kebutuhan orang miskin dan lain-lain.104
Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim untuk
membayarnya dan diperuntukan bagi mereka yang berhak menerimanya.
Zakat merupakan fardhu „ain bagi orang-orang yang telah cukup syarat-
syaratnya.105
Zakat diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua
Hijriah. Pewajibannya terjadi setelah pewajiban puasa Ramadhan dan zakat
fitrah. Tetapi zakat tidak diwajibkan atas para nabi. Pendapat ini disepakati
para ulama karean zakat dimaksudkan sebagai penyucian untuk orang-orang
yang berdosa, sedangkan para Nabi terbebaskan dari hal demikian.106
Lagi
pula, mereka mengemban titipan-titipan Allah, disamping itu mereka tidak
memiliki harta, dan tidak diwarisi.
Mula-mula zakat itu berbentuk ibadah dan syiar agama yang dilakukan
untuk mendekatkan diri selaku Muslim kepada Allah SWT. Pada waktu
menunaikan zakatnya, merasa talah menunaikan satu rukun Islam dan satu
cabang Iman. Dengan zakat itu, telah menolong orang untuk mentaati
perintah Allah. Ditinjau dari segi ini, membayarkan zakat itu berarti
membantu ketaatan dan menolak kefasikan dan kekufuran.107
Zakat adalah hak Allah yang tidak gugur karena penagihan yang terlambat,
kelalaian pihak pemerintah, atau karena lewat tahun. Zakat tetap wajib baik
ditagih oleh pemerintah ataupun tidak apabila sudah mencapai nisabnya.
104
Gazi Inayah, Op.Cit., h. 36-42. 105
Sulaiman Rosyid, Fiqh Islam, cet. Ke-30, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1997), h.
192. 106
Wahbah Al-Zuhaili, Op.Cit., h. 89. 107
Yusuf Qardhawi, Op.Cit., h. 1006.
Hukum syara menentukan batas nishab dari jenis harta yang dipergunakan
untuk menolong itu dan diperhitungkan pada besarnya kewajiban itu dengan
factor biaya dan tenaga.108
C. Hubungan Pajak dan Zakat Di Indonesia
1. Pajak dan Zakat dalam Perundang-Undangan
Indonesia adalah negara semi sekuler yang berupaya memisahkan antara
hukum positif kenegaraan dengan hukum agama. Oleh karena itu, system
penerimaan dalam kebijakan fiskal negara didasarkan pada pajak, dan bukan
pada zakat. Akibatnya, seorang muslim yang berkeinginan membayar zakat
akan terkena beban ganda. Pertama, membayar pajak sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Kedua, membayar zakat menurut ajaran Islam.109
Membayar zakat sama nilainya dengan membayar pajak, yakni sama-sama
dimaksudkan untuk melaksanakan kewajiban yang bertujuan untuk
kemaslahatan umat dan bangsa. Namun kedua-duanya memiliki tujuan yang
sama yakni merupakan pengabdian kepada masyaakat bangsa dan nagara
dalam kehidupan dunia kini nyata.110
Berkaitan dengan penempatan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
(sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983) tentang
108
Ibid., h. 1007. 109
Mursyid, Op. Cit., h. 72. 110
Pengantar Didin Hafiduddin dan Miranty Abidin, Titik Temu Zakat dan Pajak,
(Jakarta:Peduli umat, 2001), h. 5.
Pajak Penghasilan dapat di pandang sebagai langkah maju menuju sinergi
zakat dan pajak.
Pertama, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 telah mengakui bahwa
sesungguhnya zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap
muslim warga Negara Indonesia yang mampu. Undang-undang ini memang
tidak menyebutkan hukum bagi yang melanggar kewajiban zakat, tetapi
setidaknya pemerintah telah secara eksplisit bertanggungjawab memberikan
perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzaki, mustahiq , dan amil
zakat.
Kedua, pemerintahan telah melibatkan diri lebih jauh dalam pengelolaan
zakat dengan membentuk Badan Amil Zakat di berbagai tingkat kewilayahan,
dari kecamatan hingga nasional. Pemerintah juga mengukuhkan, membina,
melindungi dan mengawasi Lembaga Badan Amil Zakat yang dibentuk secara
swadaya oleh masyarakat sehingga pengelolaan dana zakat dapat lebih
dipertanggungjawaban.
Ketiga, seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat akan
dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang
bersangkutan.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 juga ditetapkan bahwa zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan secara resmi oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi pemeluk Islam tersebut, dan atau Wajib Pajak Badan Dalam
Negeri yang dimiliki kaum muslimin, dapat dikurangkan atas penghasilan
kena pajak. Dengan kata lain sebagaimana diatur dalam keputusan Dirjen
Pajak Nomor KEP-163/PJ/2003 bahwa zakat atas penghasilan dapat
dikurangkan atas penghasilan bruto maupun neto.
Sebagai catatan, bahwa antara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
daari Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tidaklah konsisten. Sebab
seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa di dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa yang dapat dikurangkan atas
penghasilan kena pajak hanyalah zakat penghasilan. Padahal, di dalam
Undang-Undang Nomor 38 Tahun1999 disebutkan bahwa zakat (tanpa
tambahan atas penghasilan) dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak.
Sementara sangat jelas bahwa yang dimaksud zakat di dalam Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 adalah (semua) harta atau kekayaan yang wajib
disisihkan oleh kaum muslimin sesuai dengan ketentuan agama, yang terdiri
atas emas, perak, dan uang, perdagangan dan perusahaan, hasil pertanian,
hasil perkebunan, dan hasil perikanan, hasil pertambangan, hasil peternakan,
hasil pendapatan, jasa dan rikaz.
Kesalahpahaman ini disebabkan dua alasan. Pertama, karena
kesalahpahaman atau ketidakmengertian anggota legislatif terhadap
pengertian zakat. Kedua, karena perbedaan pendapat tentang seberapa jauh
zakat berhak masuk dalam wilayah fiskal kenegaraan.
Aturan tata hukum negara Indonesia, pembayaran zakat bisa jadi
pengurang penghasilan kena pajak. Zakat atas penghasilan dapat dikurangkan
atas penghasilan bruto maupun neto. Hal ini dilandaskan pada Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.163/PJ./2003 tentang Perlakuan zakat
atas penghasilan dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak dalam Pajak
Penghasilan, dijelaskan dengan tegas bahwa zakat dapat mengurangi pajak
setelah memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Zakat harus nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi
pemeluk agama Islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama Islam.
b. Zakat dibayarkan kepada BAZ atau LAZ yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolan Zakat.
c. Zakat yang dibayarkan adalah penghasilan yang merupakan objek pajak
yang dikenakan pajak penghasilan yang tidak bersifat final.
d. Zakat penghasilan yang dibayarkan diakui sebagai pegurangan PPh
pada zakat tersebut dibayarkan.
e. Melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotokopinya yang
telah dilegalisir oleh BAZ atau LAZ penerima setoran zakat yang
bersangkutan pada SPT tahunan pajak penghasilan tahun pajak
dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut.111
2. Persamaan dan Perbedaan Tentang Pajak dan Zakat
Pajak dan zakat dalam hal ini memiliki persamaan dan perbedaan yang
nampak. Menurut Yusuf Qardhawi, persamaan mengenai pajak dan zakat
adalah sebagai berikut:
111
Iqbal M. Ambara, Problematika Zakat dan Pajak di Indonesia, (Yogyakarta: Sketsa,
2009), h. 33-38.
a. Sama-sama mempunyai unsur paksaan dan kewajiban yang merupakan
cara untuk menghasilkan pajak, juga terdapat dalam zakat. Bila seorang
muslim terlambat membayar zakat, karena keimanan dan keislamannya
belum kuat, disini pemerintah Islam akan memaksanya, bahkan
memerangi mereka yang enggan membayar zakat, bila mereka
mempunyai kekuatan. Demikian pula halnya seorang yang sudah
termasuk kategori wajib pajak, dapat dikenakan tindakan paksa
kepadanya baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan
tersebut dilakukan secara bertingkat mulai dari peringatan, teguran,
surat paksa, sampai dengan penyitaan.112
b. Bila pajak harus disetorkan kepada lembaga masyarakat (negara) pusat
maupun daerah, maka zakat pun demikian, karena pada dasarnya zakat
itu harus diserahkan pada pemerintah sebagai badan yang disebut dalam
Al-Qur‟an : amil zakat.
c. Dalam ketentuan pajak ialah tidak adanya imbalan tertentu. Para wajib
pajak menyerahkan pajaknya selaku anggota masyarakat. Ia hanya
memperoleh berbagai fasilitas untuk dapat melangsungkan kegiatan
usahanya. Demikian halnya dalam zakat. Pezakat tidak memperoleh
suatu imbalan. Ia membayar zakat, adalah selaku anggota masyarakat
Islam. Ia hanya memperoleh lindungan, penjagaan, dan solidaritas dari
masyarakatnya. Ia wajib memberikan hartanya untuk menolong warga
masyarakat dan membantu mereka dalam menanggulangi kemiskinan,
112
Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Op. Cit., h. 53.
kelemahan, dan penderitaan hidup. Selain itu pula ia menunaikan
kewajibannya untuk menanggulangi kepentingan umat Islam demi
tegaknya kalimat Allah dan tersebarnya dakwah kebenaran di muka
bumi, tanpa mendapat prestasi kembali atas pembayaran zakatnya.
d. Pajak pada zaman modern mempunyai tujuan kemasyarakatan, ekonomi
dan politik disamping tujuan keuangan, maka zakat pun mempunyai
tujuan yang lebih jauh dan jangkauan yang lebih luas pada aspek-aspek
yang disebutkan tadi dan aspek –aspek lain, semua itu sangat besar
pengaruhnya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.113
Adapun segi perbedaan antara zakat dan pajak sangatlah banyak. Menurut
Yusuf Qardhawi perbedaan tersebut dapat dilihat dari berbagai segi. Akan
tetapi terdapat segi yang paling penting yang di kemukaannya. Adapun
perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Dari Segi Nama dan Etikanya:
Perbedaan antara zakat dan pajak sepintas nampak dari etikatnya, baik
arti maupun kiasan. Kata zakat menurut bahasa, berarti suci, tumbuh dan
berkembang. Dalam syari‟at islam zakat untuk mengungkapkan arti dari
bagian harta yang wajib dikeluarkan untuk fakir miskin dan para mustahik
lainya. Kata tersebut memiliki gambaran yang indah dalam jiwa, berbeda
dengan gambaran dari kata pajak. Sebagai mana firman Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat: 276 yang artinya:‟‟Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah“ Sedangakan pajak diambil dari kata dharaba,
113
Yusuf Qardhawi, Op.Cit, h. 999.
yang artinya utang, pajak, tanah atau upeti. Yaitu sesuatu yang mesti
dibayar, sesuatu yang menjadi beban. Seperti yang dikatakan dalam Al-
Qur‟an surat Al-Baqarah ayat: 61 yang artinya: “ Dan timpakan atas
mereka kehinaan dan kemiskinan.” Demikian biasanya orang memandang
pajak sebagai paksaan dan beban yang berat.114
Adapun kata zakat dan makna yang terkandung di dalamnya, seperti
kesucian, pertumbuhan dan berkah. Mengisyaratkan bahwa harta yang
ditimbun dan dipergunakan untuk kesenangan dirinya serta tidak
dikeluarkan hak yang diwajibkan Allah atasnya, akan menjadi harta yang
kotor dan najis. Harta tersebut akan menjadi suci bila dikeluarkan zakatnya
dan untuk menghilangkan segala kotoran, sifat tamak, dan kikir.Zakat
memberikan berkah bukan hanya yang mengeluarkan tetapi juga bagi yang
menerima pula.
b. Mengenai Hakikat dan Tujuannya
Zakat adalah ibadah yang diwajibkan kepada orang islam, sebagai tanda
syukur kepada Allah SWT dan mendekatkan diri kepadanya. Adapun
pajak adalah kewajiban dari negara semata-mata yang tidak ada
hubungannya dengan makna ibadat dan pendekatan diri.115
Zakat dalam fiqih Islam dimasukan ke dalam bab ibadah, karena
mengikuti jejak Qur‟an dan sunah yang menyebutkan zakat bersama
dengan salat. Zakat itu ibadah, syiar agama, dan rukun Islam, maka tidak
diwajibkan kecuali kepada kaum Muslimin. Syariat Islam yang bersifat
114
Ibid., h. 1001. 115
Ibid., h. 1002.
toleran tidak mewajibkan suatu kewajiban harta yang bercorak ibadah dan
syiar itu kepada mereka yang bukan Islam. Berbeda dengan pajak yang
diwajibkan kepada semua orang, sesuai dengan ketentuan wajib setor.
c. Mengenai Batas Nisab dan Ketentuanya
Zakat adalah hak yang ditentukan oleh Allah, sebagai pembuat syariat.
Dialah yang menentukan batas nisab bagi setiap macam benda dan
membebaskan kewajiban itu terhadap harta yang kurang dari
senisab.selain itu, Allah memberikan ketentuan atas kewajiban zakat itu
seperlima, sepersepuluh, separuh, sampai seperempat puluh. Seorang pun
tidak boleh mengubah atau mengganti apa yang telah ditentukan oleh
syari‟at. Tidak boleh pula menambah atau mengurangi ketentuan
kewajiban tersebut. Oleh karena itu, kita tidak membenarkan orang-orang
yang berbuat semena-mena menyeru untuk menambah ketentuan
mengenai kewajiban itu karena adanya perubahan ekonomi, sosial yang
terjadi pada zaman sekarang. Berbeda dengan pajak yang tergantung pada
kebijaksanaan dan kekuatan penguasa baik mengenai objek, presentase,
harga dan ketentuannya. Bahkan ditetapkan dan dihapuskan pajak
tergantung pada penguasa sesuai dengan kebutuhan.116
d. Mengenai Kelestarian dan Kelangsungan.
Zakat adalah kewajiban yang bersifat tetap dan terus-menerus. Zakat
akan berjalan terus menerus selagi Islam dan kaum Muslimin ada di muka
bumi ini. Kewajiban tersebut tidak dapat dihapuskan oleh siapapun.
116
Ibid., h. 1003.
Adapun pajak tidak memiliki sifat yang tetap dan terus-menerus, baik
mengenai macam, presentase, dan kadarnya. Tiap pemerintah dapat
mengurangi atau mengubah atas dasar pertimbangan para cendikia, bahkan
adanya pajak itu sendiri tidak kekal. Pajak akan tetap ada selagi diperlukan
dan lenyap bila sudah tidak dibutuhkan lagi.117
e. Mengenai Pengeluarannya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah SWT
dalam Qur‟an dan dijelaskan oleh Rosulullah SAW dengan perkataan dan
perbuatannya. Sasaran itu kemanusiaan dan keislaman, sedangkan pajak
dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum negara,
sebagai mana ditetapkan pengaturan oleh penguasa. Oleh karena itu,
anggaran zakat terpisah dari Anggaran Belanja Negara secara umum.
Zakat harus dikeluarkan melalui pos-pos yang telah ditentukan Al-Qur‟an
sebagai suatu kewajiban.118
f. Hubungannya dengan Penguasa
Pajak selalu berhubungan antara wajib pajak dengan pemerintah yang
berkuasa. Karena pemerintah yang mengadakan, pemerintah yang
memungutnya dan juga membuat ketentuan wajib pajak. Pemerintah pula
yang berwenang untuk mengurangi besar pajak dalam keadaan dan kasus
tertentu, bahkan berwenang pula mencabut suatu macam pajak atau semua,
bila menghendaki. Apabila pemerintah membiarkan atau terlambat
menarik pajak, maka wajib pajak tidak diberi teguran dan tidak dikenakan
117
Ibid. 118
Ibid., h. 1004.
denda. Adapun zakat adalah hubungan pezakat dengan Tuhannya. Allah
lah yang memberinya harta dan mewajibkan membayar zakat. Semata-
mata karena mengikuti perintahnya dan mengharapkan ridho-Nya. Apabila
tidak ada pemerintah Islam yang dapat menghimpun zakat dari para wajib
zakat , maka diperintahkan oleh Agama Islam untuk membagikan zakatnya
sendiri kepada yang berhak.119
Kewajiban zakat tidak gugur daripadanya karena adanya sebab tadi.
Dengan demikian seorang Muslim wajib membayarkan zakatnya dengan
sukarela karena mengharap diterima oleh Allah SWT. Oleh karena itu
seorang muslim ingin sekali menunaikan zakatnya dan tak mau
menghindari dari membayar zakat seperti kebanyakan orang, selalu ingin
menghindari dari membayar pajak. Jika tidak dapat menghindar, maka
mereka membayarnya juga meski terpaksa. Tapi seringkali menemukan
orang dari kalangan kaum Muslimin yang membayar zakat lebih dari batas
kewajibannya karena mengharapkan pahala dengan rida Allah SWT.120
g. Maksud dan Tujuan
Zakat mempunyai tujuan spiritual dan moral yang lebih tinggi dari
pajak. Tujuan yang luhur itu tersirat pada kata zakat yang terkandung di
dalamnya. Tujuannya cukup jelas dan tegas dalam firman Allah mengenai
keadaan pemilik harta yang berkewajiban mengeluarkan zakat, Firmannya
adalah : ‟‟ Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah
119
Ibid. 120
Ibid., h. 1005.
itu kamu membersihkan dan mensucikan dan berdoalah buat mereka,
sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentuan jiwa bagi mereka.
Pajak tidak mempunyai tujuan yang luhur seperti zakat. Para ahli
keuangan berabad-abad lamanya menolak adanya tujuan lain pada pajak.
Selain untuk menghasilkan pembiayaan (uang) untuk mengisi kas negara
(mazhab netral pajak). Setelah timbul kemajuan berfikir dan terjadi
perubahan sosial politik dan ekonomi, maka mazhab tersebut menjadi
surut (terkalahkan), dan timbullah berbagai pajak sebagai alat untuk
mencapai tujuan ekonomi dan sosial tertentu, seperti anjuran untuk derma,
menabung, dan lain-lain. Tujuan tersebut merupakan tujuan sampingan di
luar tujuan utama, yaitu tujuan keuangan akan tetapi para perencana
perpajakan dan ahli-ahli keuangan pada umumnya. Selain itu, para ahli
fikir bidang itu tidak dapat keluar lebih jauh dari jangkauan tujuan-tujuan
materi, seperti tujuan spritual dan moral yang menjadi tujuan utama
zakat.121
121
Ibid.
BAB III
PENDAPAT DIDIN HAFIDUDIN DAN MASDAR FARID MAS’UDI
TENTANG PENYATUAN PAJAK DAN ZAKAT
A. Pendapat Didin Hafidudin Tentang Penyatuan Pajak dan Zakat
1. Biografi Didin Hafidudin
Didin Hafiduddin lahir di Bogor, 21 Oktober 1951. Dalam dirinya
mengalir darah biru pesantren, sebab masih keturunan keluarga besar
Pesantren Gunung Puyuh dan Cantayan. Jenjang pendidikan diawali dari
Sekolah Dasar Islam (lulus 1963), melanjutkan ke SMP (lulus 1966), dan
SMA (lulus 1969).122
Setelah itu Didin kuliah di Fakultas Syariah IAIN Syarief Hidayatullah,
selesai pada 1979. Kemudian melanjutkan ke Program Pascasarjana IPB
mengambil Jurusan Penyuluhan Pembangunan. Jenjang S2 ini ditempuh
hanya dalam waktu setahun, 1986-1987. Untuk memperdalam bahasa Arab,
pada 1994 ia kuliah di Universitas Islam Madinah Saudi Arabia selama
setahun.123
Wawasan keagamaan Didin sangat dipengaruhi oleh perjalanan menuntut
ilmu dari pesantren ke pesantren. Ia pernah menimba ilmu di Pesantren ad-
Dakwah Cibadak, Pesantren Miftahul Huda Cibatu Cisaat, Pesantren
Bobojong, dan Pesantren Cijambe Cigunung Sukabumi.
Setelah menamatkan pendidikan S1, pada 1980 Didin dipercaya sebagai
staf pengajar Pendidikan Agama Islam di IPB. Selain itu juga mengampu
122
Didin hafiduddin, Islam Aplikatif, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 253. 123
Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, Syariah principles onmanagement inpractive,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 216.
matakuliah Tafsir Al-Qur‟an di Fakultas Agama Islam Universitas Ibnu
Khaldun (UIK) Bogor. Di universitas ini, Didin sempat menjabat sebagai
Dekan Fakultas Syariah periode 1983-1986, rektor periode 1987-1991, lalu
Dekan Fakultas Agama Islam universitas yang sama. Jabatan lain yang
disandangnya adalah Sekretaris Majelis Pimpinan BKSPPI dan Anggota
Pimpinan Pusat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI).
Didin memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap dunia mahasiswa.
Hal ini mengantarnya menjadi pemimpin Pesantren Ulil Albab, yakni
lembaga pendidikan di bidang ilmu-ilmu keislaman bagi mahasiswa umum.
Pesantren ini terbentuk oleh gagasan Muhammad Natsir dan AM
Saefuddin.124
Selain memimpin pesantren, Didin kerap menggelar pengajian rutin di
berbagai majelis taklim. Misalnya, pengajian bulanan yang diselenggarakan
Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI). Di sini ia
membacakan kitab Tafsîr Jalâlain dan Sahîh Bukhari. Juga pada pengajian
Mu‟allimin Bogor. Ia membacakan kitab Tafsîr Jalâlain, Mukhtâr al-
Ahâdîŝ, dan Kifâyah al-Akhyâr.
Didin aktif sebagai dosen IPB dan dosen Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor,
Pemimpin Pesantren Sarjana dan mahasiswa “Ulil Albaab” Bogor. Serta
Direktur Syari‟ah and Banking Institute (SEBI), Ketua Dewan Syari‟ah
Dompet Dhuafa Republika, Ketua Dewan Pertimbangan Badan Amil Zakat
124 Ibid., h. 217.
Nasional (BAZNAS) Anggota Dewan Syari‟ah Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Ketua Dewan Syari‟ah Bank Syari‟ah BUKOPIN, Bank Syari‟ah IFI,
Bank Syari‟ah Amanah Umah Bogor, Anggota Dewan Syari‟ah Syarikat
Takaful Indonesia (STI), Dewan Syari‟ah PT. PermodalanNasional Madani
(PNM), Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syari‟ah (MES), dan Dewan
Pleno Forum Zakat (FOZ).125
2. Karya-Karya Didin Hafidudin
Karya-karya Didin Hafidhuddin dalam bentuk tulisan yang sudah
dibukukan antara lain :126
a. Zakat Dalam Perekonomian Modern (Gema Insani, 2002).
b. Panduan Praktis tentang Zakat, Infak, dan Sedekah (Gema Insani,
2002).
c. Manajemen Syari‟ah dalam Praktek (Gema Insani, 2003).
d. Islam Aplikatif (Gema Insani, 2003).
e. Solusi Islam Atas Problematika Umat (Gema Insani Press, 2000).
f. Refleksi Tiga Kyai (Republika, 2004).
g. Sederhana Itu Indah (Republika, 2000).
h. Dakwah Aktual (Gema Insani, 1999).
i. Menjadi Pribadi Qur‟ani.
j. Tafsir al-Hijri (Kalimah,), mengulas tentang kajian Tafsir al-Qur‟an
Karya-karya beliau dalam bentuk terjemahan dari karya penulis lain,
125
Ibid., h.232. 126
Ibid., h. 233.
diantaranya :127
a. Hukum Zakat (terjemah kitab Fiqhu az-Zakat, Yusuf al-Qardlawi).
b. Pedoman Hidup Muslim (terjemah kitab Minhajul Muslimin,
Abdurrahaman al-Jazairi).
c. Konsep Ekonomi Islam (Yusuf Qardhawi)
3. Pendapat Didin Hafidudin Tentang Penyatuan Pajak dan Zakat
Didin dalam karya-karyanya berpendapat bahwa pajak merupakan suatu
tuntutan (ajaran) yang ada dalam Islam. Hal ini, ia kaitkan dengan ajaran
Islam yang mendorong umatnya untuk tidak hanya menunaikan kewajiban
zakat saja, tetapi juga menunaikan infak dan sedekah yang tidak terbatas
jumlahnya sekaligus pemanfaatan dan pendayagunaannya yang sangat luas
dan fleksibel, mencakup semua bidang dan sector kehidupan yang
diperintahkan oleh ajaran Islam.128
Akan tetapi, dengan syarat apabila dana
zakat belum memenuhi secara menyeluruh dan optimal. Allah SWT
berfirman:
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (QS
Al-Baqarah [2]: 195).129
127
Ibid., h. 234. 128
Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Op. Cit., h. 60. 129
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 30.
Pembayaran pajak yang ditetapkan oleh pemerintah melalui undang-
undangnya, menurut pemikiran didin wajib ditunaikan oleh kaum muslimin,
selama itu untuk kepentingan pembangunan di berbagai bidang dan sector
kehidupan yang dibutuhkan masyarakat. Seperti sarana dan prasarana
pendidikan, kesehatan, transportasi, pertahanan, keamanan, atau bidang-
bidang lainnya.
Pendapatnya tentang kaum muslimin wajib menunaikan kewajiban pajak
yang ditetapkan negara, di samping penunaian kewajiban zakat. Didin
berlandaskan pada alasan dan nash yang mendukung pendapatnya:
Pertama , pada firman Allah SWT:
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan,
penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah
[2]: 177).130
Didin mengikuti penjelasan ayat tersebut (“… Dan memberikan harta
yang dicintainya…”) kepada penafsiran yang dilontarkan oleh Imam
Qurthubi yang menjelaskan bahwasannya para ulama telah sepakat, jika kaum
muslimin walaupun telah menunaikan zakat , memiliki berbagai kebutuhan
dan keperluan yang harus ditanggulangi, maka oleh karena itu wajib
mengeluarkan harta untuk keperluan tersebut.
Didin menegaskan bahwasannya, apabila dana pajak dipergunakan untuk
hal-hal yang secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dan
bertentangan pula dengan kemaslahatan umum, maka tidak ada alasan bagi
umat Islam untuk membayar pajak.
Kedua, kewajiban menaati perintah ulil amri (pemerintah) selama
menyuruh pada kebaikan dan kemaslahatan umum. Hal ini berlandaskan pada
firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisaa [4]: 59).131
Didin mengecualikan apabila dana pajak dipergunakan untuk hal-hal yang
130
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 27. 131
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 87.
secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan bertentangan pula
dengan kemaslahatan bersama, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk
membayar pajak.
Muhammad Ali Ash-Shabuni ketika menafsirkan ayat tersebut
menyatakan bahwa ketaatan kepada penguasa jika mereka adalah kaum
muslimin yang berpegang teguh pada syariat Islam, dan tidak ada ketaatan
kepada makhluk jika bermaksiat kepada khaliq.132
Ketiga, solidaritas social dan tolong menolong antara sesama kaum
muslimin dan sesama umat manusia dalam kebaikan dan taqwa merupakan
kewajiban yang harus dipenuhi,133
sebagaimana yang dinyatakan dalam
firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar
Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
132
Didin Hafiduddin, Mutiara Dakwah, (Jakarta: Kuwais, 2006), h. 235. 133
Ibid.
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maidah [5]: 2).134
Keempat, kaidah-kaidah hukum syara‟. Didin mengambil penjelasan dari
Yusuf Qardhawi yang menyatakan bahwa dalam menetapkan suatu kewajiban
ataun menetapkan suatu fatwa, di samping berlandaskan pada kaidah-kaidah
dan prinsip umum hukum syara‟.135
Kaidah-kaidah tersebut timbul berbagai istilah seperti memelihara
kepentingan umum, menolak bahaya didahulukan atas manfaat dari dua hal
yang sama-sama bermanfaat, memilih sesuatu yang bahayanya lebih kecil
dari dua hal atau dua keadaan yang sama-sama berbahaya.
Menurut Imam Al-Ghazali, seorang ulama Yusuf Qardhawi jarang sekali
mempergunakan kaidah al-mashalih al-mursalah (kemaslahatan bersama yang
disepakati) menyatakan bahwa jika negara sangat membutuhkan dan untuk
kepentingan militer atau pertahanan dan keamanan, karena khawatir adanya
gangguan dan serangan dari musuh, maka boleh saja negara mengambil pajak
dari orang-orang kaya untuk menutupi keperluan tersebut.
Sementara menurut mazhab Maliki, bahwa berdasarkan prinsip al-
mashalih al-mursalah jiwa sewaktu-waktu baitul mal mengalami defisit,
sedangkan anggaran negara tidak mampu membiayai, maka pada saat itu
pemerintah boleh memungut secara teratur dari orang-orang kaya, harta
secukupnya, sampai baitul mal terisi kembali, atau dapat mencukupi. Selain
itu, pemerintah yang adil hendaklah melaksanakan pungutan ini secara teratur
134
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 106. 135
Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Op. Cit., h. 64.
pada musim panen atau saat mengetam buah-buahan sehingga tidak
menyulitkan orang-orang kaya dan hati mereka pun tetap merasa lega. Atas
dasar itu semua, adalah sah-sah saja adanya dua pemungutan atas kaum
muslimin.136
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Bab IV
pasal 14 ayat (3) bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada Badan Amil
Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) dikurangi dari laba atau
pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Didin juga lebih menekankan urgensi pengelolaan zakat dilakukan oleh
lembaga pengelola zakat dari pada negara.137
Ia menerangkan adanya anjuran
dalam nash untuk mengelola zakat oleh lembaga pengelola. Didin mengambil
dari keterangan Imam Qurthubi dalam kitabnya ketika menafsirkan surah At-
Taubah ayat 60:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS At-Taubah [9]: 60)138
136
Didin Hafiduddin, Mutiara Dakwah, Op.Cit., h. 236. 137
Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Op. Cit., h. 126. 138
Departemen Agama RI, Op. Cit., h. 196.
Maksud ayat tersebut yaitu menyatakan bahwa amil itu adalah orang-orang
yang ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menulis,
menghitung, dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki
untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya. Oleh karena itu
Rasulullah SAW pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad
yang bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim.139
Didin juga berpendapat bahwasannya pengelolaan zakat oleh lembaga
zakat yang memiliki kekuatan hukum formal akan memiliki keuntungan,
antara lain:140
a. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
b. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahiq zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzzaki.
c. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam
penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu
tempat.
d. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat penyelenggaraan
pemerintahan yang Islami.
Urgensi lembaga pengelolaan zakat yaitu jika zakat serahkan secara
lansung dari muzaki kepada mustahik meskipun secara hukum syariah adalah
sah, akan tetapi di samping akan terabaikannya hal-hal di atas serta hikmah
dan fungsi zakat terutama berkaitan dengan kesejahteraan umat akan sulit
diwujudkan.
139
Iqbal M. Ambara, Op. Cit., h. 54. 140
Didin Hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Loc. Cit.
Berbeda dengan pajak, Didin berpendapat bahwa pajak memang harus
diatur oleh negara. Hal itu sejalan dengan pengertian pajak itu sendiri, yaitu
iuran kepada negara yang terutang oleh wajib pajak menurut undang-undang
yang berlaku dengan tidak mendapatkan prestasi kembali secara langsung
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
dengan tugas negara untuk menjalankan suatu pemerintahan.
B. Pendapat Masdar Farid Mas’udi Tentang Penyatuan Pajak dan Zakat
1. Biografi Masdar Farid Mas’udi
Masdar Farid Mas‟udi lahir dari pasangan KH Mas‟udi bin Abdurrahman
dan ibunda Hj. Hasanah, di dusun Jombor, Cipete, Cilongok, Purwokerto
pada tanggal 18 September 1954.141
Ayahnya merupakan seorang tokoh
masyarakat atau sering disebut sebagai kyai yang cukup terkenal oleh
masyarakat melalui kegiatan ta‟lim (pengajian) dari kampong kekampung.
Kakeknya, kyai Abdurrahman Jombor, dikenal dengan pesantren salaf yang
sebelumnya telah dirintis oleh moyangnya, yang konon merupakan turunan
keenam dari mbah kyai Abdussomad yang sampai sekarng pun makam beliau
masih selalu diziarahi oleh masyarakat Islam Banyumas khususnya.142
Pendidikan formal Masdar Farid Mas‟udi diawali dari pendidikan Dasar
atau Ibtidaiyah yang diselesaikannya pada tahun 1966.143
Masdar langsung
dikirim ayahnya ke Pesantren salaf di Tegalrejo Magelang, dibawah asuhan
kyai Khudlori. Tiga tahun di Tegalrejo, Masdar telah menamatkan dan
141 Imdadun Rahmat, dkk, Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga,
2003), h. 234. 142 Ahmad Kosasi Marzuki, http://www.pondokpesantren.net/ponpren, akses pada tanggal 23 Februari
2018. 143 www.nu.or.id, akses pada tanggal 23 Februari 2018.
menghafalkan Alfiyah Ibnu Aqil. Selanjudnya Masdar pindah ke pesantren Al
Munawwir Krapyak Yogyakarta, berguru kepada kyai Ali Maksoem (Rois
Am PBNU tahun 1988-1999). Meskipun dari Tegalrejo baru menyelesaikan
pendidikan setara dengan kelas 3 Tsanawiyah, di Krapyak Masdar langsung
diterima dikelas 3 Aliyah.
Setelah menamatkan Aliyah Masdar tidak langsung melanjutkan di
Perguruan Tinggi, namun tetap tinggal di pesantren dan mengajar serta
menjadi asisten pribadi kyai Ali Maksoem sebagai dosen luar biasa di IAIN
Sunan Kalijaga. Baru pada tahun 1972, Masdar melanjutkan pendidikan di
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Fakultas Syari‟ah Jurusan Tafsir Hadits
dan selesai pada tahun 1980. Selama menjadi mahasiswa, Masdar membut
tradisi baru, yakni pengajian kitab kuning dan mengkaji Alfiyah bagi
kalangan mahasiswa di Masjid Jami‟ IAIN Sunan Kalijaga.144
Setelah melalui berbagai pengalaman, Masdar melanjutkan Program pasca
sarjananya di Fakultas Filsafat Universitas Indonesia, Jakarta pada tahun
1994-1997.145
Perjalanan karirnya dimulai ketika semangatnya berkobar sebagai aktivis
mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga. Pada tahun 1973, terpilih sebagai ketua
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Krapyak,
Yogyakarta hingga tahun 1975. Kemudian terpilih sebagai Sekjen Dewan
Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga. Kemudian sekitar tahun 1983, Masdar
terpilih sebagai ketua 1 PB-PMII (Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa
144 Ahmad Kosasi Marzuki, loc. cit.,
145 Imdadun Rahmat, dkk, op. cit., h. 234.
Islam Indonesia).146
Setelah menyelesaikan kuliah, tahun 1980 Masdar hijrah
ke Jakarta, dan bekerja untuk lembaga Misi Islam NU dan menjadi wartawan
diberbagai mass media ibu kota.147
Sebagai kordinator program P3M (Penghimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masyarakat) Masdar sempat menerbitkan jurnal Pesantren,
yang pertama dan satu-satunya jurnal ilmiah Islam yang terbit 1984-1993
serta mengorganisir pelatihan-pelatihan bersama para kyai muda pada saat
itu.148
Dipihak lain dengan didukung oleh Rabitah Ma‟ahid Islam (RMI)
dibawah pimpinan (alm) KH. Imran Hamzah dan (alm) KH. Wahid Zaini,
Masdar merintis berbagai kegiatan kajian khazanah keislaman salaf melalui
berbagai halaqah. Dimulai dari halaqah watucongkol tahun 1989, dengan
tema “Memahami Kitab Kuning Secara Kontekstual”, kegiatan ini terus
bergulir diberbagai daerah dengan keikutsertaan para kyai, baik kyai sepuh
ataupun kyai muda. Salah satu dari bentuk outputnya yang monumental
adalah Rumusan Metode Pengambilan Hukum yang menjadi keputusan
Munas NU Lampung 1992.149
Saat ini, Masdar menduduki jabatan sebagai Ketua Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) sekaligus sebagai direktur P3M Jakarta, Anggota
Dewan Etik ICW ( Indonesia Corruption Watch), serta Komisi Ombudsman
Republik Indonesia.150
2. Karya-Karya Masdar Farid Mas’udi
146 www.nu.or.id, loc. cit., 147 Ahmad Kosasi Marzuki, loc. cit., 148 Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h.
222. 149 Ahmad Kosasi Marzuki, loc. cit., 150 www.nu.or.id, loc. cit.,
Terhitung cukup banyak kontribusi pemikiran Masdar dalam hal sosial
yang berbasis keagamaan, terutama sejak aktif di P3M, diantara karya-
karyanya adalah:
a. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta: P3M,
1993.
b. Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh
Pemberdayaan, Bandung: Mizan, 1997.
c. Pajak Itu Zakat Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat, Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2010.
d. Artikel berjudul,” Zakat Sebagai Paradigma Pajak dan Negara”, dalam
M. Tuwah dkk, Islam Humanis: Islam dan Persoalan Kepeimpinan,
Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat
Marginal, Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2001.
e. Artikel berjudul, ”Hak Milik dan Ketimpangan Sosial (Telaah Sejarah
dan Kerasulan) ”, dalam Nurcholish Madjid dkk, Islam Universal,
Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2007.
f. Artikel berjudul,” Zakat dan Keadilan Sosial”, dalam M. Imdadun
Rahmat et., Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas,
Jakarta: Erlangga, 2003.
3. Pendapat Masdar Farid Mas’udi Tentang Penyatuan Pajak dan Zakat
Pemikiran Masdar Farid Mas‟udi Secara umum bisa dikatakan bahwa
dalam rentang waktu yang demikian panjang, 13 abad bahkan lebih,
pemikiran dan praktik zakat dikalangan umat Islam secara berangsur-angsur
ditandai oleh tiga kelemahan dasar dan sekaligus menjadi ciri pokok yang
saling terkait. Pertama, kelemahan pada segi filosofinya. Kedua, segi struktur
dan kelembagaannya. Ketiga, kelemahan pada segi manajemen
operasionalnya. Gabungan dari ketiga kelemahan tersebut telah menyebabkan
zakat yang pada mulanya merupakan sebuah proses sosial dengan
jangkauannya yang menyentuh realitas sosio-kultur teredusir hanya menjadi
aktivitas personal yang sangat tergantung kepada kesadaran masing-masing
individu dengan dampak yang juga bersifat individu.151
Sejarah pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw bersama para sahabat
membentuk suatu negara tersebut dengan meyakinkan bahwa masyarakat
tentang pentingnya kontrol sosial, sehingga keberadaan suatu lembaga negara
tetap sebagai alat bukan hanya untuk kepentingan tertentu saja, melainkan
kepentingan seluruh warga negara.
Konsep keadilan dalam Islam sangat relevan dihubungkan dengan zakat.
Keadilan yang bersifat primer dan mendasar adalah dalam sistem ekonomi,
dalam rangka mengentaskan kemiskinan harus ada tanggung jawab sosial dan
tanggung jawab untuk menegakkan keadilan yang mulia dari keadilan
ekonomi. Itulah salah satu rukun dalam Islam yang bisa menggunakan
kekuasaan negara (sebagai pajak).
Berdasarkan pengamatan Masdar Farid Mas‟udi, zakat merupakan ajaran
pokok Islam yang paling dekat dengan persoalan manusia, terutama mengenai
keadilan. Umat islam terutama para pemimpin tidak bisa melepaskan
151
Masdar Farid Mas’udi, Pajak Itu Zakat Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2005), h. 18.
tanggung jawab atas terjadinya ketidakadilan yang disebabkan oleh negara,
dengan memisahkan ajaran zakat dari lembaga pajak maka umat Islam harus
menanggung beban yang berat karena harus melaksanakan dua kewajiban
negara. Oleh karena itu, kewajiban zakat menjadi terkalahkan oleh kewajiban
pajak.
Sejak awal zakat adalah ajaran moral untuk pajak, visi dan bentuk negara
akan sangat ditentukan ketika basis material negara ini diberi makna. Konsep
yang diberikan masyarakat terhadap pajak, akan sangat menentukan konsep
negara yang dibangunnya. Ada tiga konsep makna yang pernah diberikan
kepada pranata pajak, sebagai berikut.152
Pertama, pajak dengan konsep upeti atau “persembahan kepada raja”.
Negara dengan pajak upeti ini adalah negara yang sepenuhnya tunduk kepada
kepentingan raja atau penguasa. Sesuai dengan kodratnya setiap penguasa
cenderung menyiasati rakyatnya untuk kepentingan-kepentingan pribadinya,
pajak-upeti adalah bukti ketundukan rakyat kepada raja selaku penguasa.
Karena negara adalah sang raja, maka segala sesuatu harus diukur dari sudut
kepentingan sang raja. Rakyat belum dianggap penting, hak-hak rakyat tidak
dikenal, konstitusi sebagai acuan normatif yang didalamnya terdapat hak-hak
dan kewajiban negara tidak terlaksana.
Kedua, Pajak dengan konsep “kontra-prestasi” atau jizyah. Negara dengan
pajak jizyah ini adalah negara yang mengabdi pada kepentingan elite
penguasa dan kelompok yang kaya. Pemaknaan pajak sebagai jizyah
152 Ibid., h. 88.
merupakan satu langkah maju dibandingkan dengan pemaknaan pajak sebagai
upeti. kesadaran jizyah ini, rakyat mulai membuat perhitungan dengan negara
atau penguasa yang menerimanya. Dengan semangat memperhitungkan
keseimbangan dari penguasa atau pemerintah ini, muncul tradisi kenegaraan
baru yang kemudian menjadi ciri khas sistem pemerintah modern. Diantara
yang penting adalah lahirlah lembaga parlemen sebagai penyuara kepentingan
rakyat pembayar pajakyang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
Tetapi, pemaknaan pajak sebagai jizyah yang telah membawa banyak
perubahan terhadap sistem pemerintah atau kenegaraan dalam nalar jizyah
sebagai sistem makna yang menjiwai pembayaran pajak warga kepada
negara. Kesadaran moral tertinggi umat manusia mengatakan bahwa negara
adalah melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat warganya, terutama rakyat
yang lemah yang tidak bisa melindungi hak-haknya.
Ketiga, pajak dengan konsep etik atau ruh zakat, yakni pajak sebagai
sedekah karena Allah yang diamanatkan kepada negara untuk kemaslahatan
segenap rakyat. Evolusi pemaknaan pajak, dari udhhiyah (upeti) ke jizyah
(kontra-prestasi), kemudian ke zakat (sedekah karena Allah untuk rakyat),
dalam hak pemajakan merupakan amanat dari Allah, maka dana pajak yang
dikumpulkan dipandang bukan sebagai milik pribadi penguasa, melainkan
sebagai milik Allah. Sejak lama para raja mengklaim kekuasaan dan uang
yang ada ditangannya sebagai milik Tuhan, yang terpenting memang bukan
soal siapa yang memilikinya melainkan untuk siapa uang tersebut
diperuntukkan.153
Sebagai milik Allah, pajak yang dihimpun oleh pemerintah haruslah
digunakan untuk kepentingan yang diizinkan oleh Allah, yakni kemaslahatan
seluruh rakyatnya, terutama rakyat yang tidak berdaya. Dalam konsep Islam
penggunaan pajak ditunjukkan untuk kepentingan rakyat sebagaimana
diperintahkan oleh Allah SWT, melainkan harus dipertanggung jawabkan
kepada rakyat, secara ruhaniah di akhirat dipertanggungjawabkan kepada
Allah.
Kontrol sosial terhadap negara atau pemerintah sebagai pengelola uang
pajak, karena uang pajak adalah uang Allah dan rakyat sekaligus, dengan
kontrol yang menyeluruh dari segenap lapisan masyarakat, maka lahirlah
pemerintah yang bersih.
Untuk mencapai tujuan etiknya, yakni keadilan dan kesejahteraan bagi
semua, terutama yang lemah, untuk pertama dalam sejarah administrasi
pemerintah Rasulullah SAW, kepala negara atau pemerintah mencanangkan
sistem perpajakkan yang didalamnya terdapat tarif pajak (miqdar zakah),
objek pajak (mal zakawf), batas minimal kekayaan atau pendapatan terkena
pajak yang ditetapkan dengan jelas, tegas, berlaku untuk semua warga yang
tergolong sebagai wajib pajak.
Fungsi pajak sebagai instrument vital bagi keadilan keadilan sosial dengan
tegas ditetapkan bahwa pajak-zakat merupakan kewajiban sosial yang harus
dibayarkan oleh mereka yang telah memiliki tingkat kekayaan atau
153
Ibid., h. 87.
penghasilan tertentu. Mereka yang belum mencapai nisab dibebaskan dari
beban pajak, prinsip bahwa kewajiban ini hanya dikenakan atas orang-orang
yang mampu.154
Dalam pemerintahan Rasulullah SAW, pajak dikenakan atas
jiwa dan harta. Pajak atas jiwa dalam disebut sebagai zakat fitrah, sedangkan
pajak atas harta yaitu zakat maal yang dikenakan atas kekayaan dan
penghasilan. Sementara kekayaan yang dikenakan pajak adalah emas dan
perak Dalam konteks ini, Rasulullah SAW menetapkan jenis-jenis
penghasilan dan kekayaan sebagai objek pajak yang sesuai dengan kondisi
saat itu, meliputi :
a. Hasil Pertanian (zuru)
b. Hasil kebun (tsamar)
c. Ternak (mawasy)
d. Niaga (urudh ti jarah)
e. Hasil tambang (ma‟din)
f. Harta temuan (rikaz, atau harta karun)
Tarif pajak sangat rendah karena tuntutan kemaslahatan umum yang harus
ditangguhkan dengan dana pajak relatif masih sederhana jauh dibawah tingkat
kebutuhan masyarakat modern. Kadar relatif dari tarif pajak dilihat dari sektor
ekonomi yang dikembangkan pada satu pihak, atas dasar pertimbangan
tersebut Rasulullah SAW menetapkan tarif pajak yang lebih tinggi atas hasil
pertanian dibandingkan pajak atas niaga. Penunaian pajak-zakat harus
melewati pihak ketiga atau amil yang secara struktural memiliki kewenangan
154
Ibid., h. 101.
yang baik untuk mewujudkan proyek keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat
banyak.155
Pajak memang bukan satu-satunya sumber dana negara, melainkan
merupakan sumber yang sangat dominan untuk pemasukan negara seluruh
dunia. Acuan moral untuk penyusunan Anggaran Belanja disemua level, ini
adalah etik yang paling mendasar menyangkut maksud dan tujuan moral dari
lembaga kekuasaan paling berdaya yaitu negara. Sasaran-sasaran alokasi
anggaran negara tersebut dapat dikelompokkan kedalam tiga sektor besar,
yaitu:
a. Sektor pemberdayaan masyarakat lemah.
b. Sektor biaya rutin (amilin).
c. Sektor sabilillah atau layanan publik.156
Pemikiran Masdar Farid Mas‟udi yang meyakini bahwa zakat adalah
sebuah mekanisme spiritual bermasyarakat melalui pintu masuk yang paling
material. Pintu material dalam sebuah negara yaitu pajak. Karena tidak ada
negara yang bisa berkembang tanpa adanya pajak. Islam mensucikan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berpolitik melalui zakat (pajak).
Masdar menyarankan agar pajak menggunakan ruh zakat (sedekah karena
Allah untuk rakyat). Dengan ruh zakat ini, diharapkan bisa tercipta keadilan
sosial. Bukankah zakat diperuntukkan terutama untuk orang fakir dan miskin,
pajak seharusnya demikian pula. Konsep pajak dengan ruh zakat inilah yang
pernah dipraktekkan nabi ketika memimpin sebuah pemerintahan di Madinah.
155
Ibid., h. 105. 156
Ibid., h. 112.
Untuk bisa menerapkan konsep pajak dengan ruh zakat tidak boleh ada
lagi dualisme yang dikhotomis, pajak dan zakat harus disatukan sebagaimana
ruh dengan badan atau jiwa dengan raga.157
Keberanian Masdar untuk
menyamakan pajak dan zakat, sebagai konsekuensi untuk mengembalikan
zakat sebagai ajaran bisa menuwudkan keadilan sosial, menurut penulis bisa
dimengerti dan sudah seharusnya dilakukan untuk mengembalikan Islam
sebagai agama pembebas bagi umat manusia termasuk pembebas dari
kemiskinan dan kezaliman.
Mengenai objek pajak/zakat (mal qakawi), Masdar berpendapat bahwa
Nabi (syari') hanya menetapkan objek pajak/zakat yang sekunder, yaitu jiwa
dan semua jenis harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat dimana
pajak/zakat ditetapkan yakni pada abad ke-7.158
Dengan demikian, untuk
konteks modern banyak sekali kegiatan-kegiatan perekonomian yang tidak
disebutkan oleh Nabi dan bukan berarti itu tidak wajib dizakati/pajaki. Jikalau
hal-hal baru ini sudah ada pada masa Nabi tentu hal-hal itu dikenakan
zakat/pajaknya.
Pendapat Masdar mengenai tarif (miqdar) pajak/zakat menjadi salah satu
hal penting. Menurutnya, Nabi dalam menetapkan tarif pajak/zakat adalah
berdasarkan berat ringannya tantangan keadilan dan kesejahteraan yang
dihadapi. Tarif pajak/zakat pada masa rasul antara 2,5-10% kecuali rikaz
(harta karun) yang sampai 20% dikarenakan upaya memperolehnya gampang.
Jadi tarif 2,5-10% menurut Masdar dikarenakan 1) faktor kebutuhan yang
157
Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 117. 158
Ibid., h. 137.
pada waktu itu masih sederhana. Artinya dengan pengenaan pajak/zakat
segitu sudah dapat mencukupi kebutuhan anggaran belanja negara Islam. 2)
faktor kesenjangan sosial ekonomi antara si kaya dan si miskin pada masa itu
belum terlalu jauh.159
Pada masa Nabi sektor perekonomian yang sangat dominan dan
menimbulkan kesenjangan di antara masyarakat Madinah adalah sektor
pertanian. Oleh sebab itu, tarif pajak/zakat pertanian lebih besar yakni 5%
daripada tarif pajak/zakat niaga yang hanya sebesar 2,5%. Dengan demikian,
kalau sektor yang dominan dan menimbulkan kesenjangan masyarakat juga
berubah idealnya tarif pajak/zakat juga bisa berubah.
Pemisahan lembaga zakat dan pajak adalah salah satu kekeliruan, karena
konsep zakat adalah merupakan konsep pajak yang harus digunakan untuk
kemaslahatan rakyat tanpa memandang agama, ras dan suku bangsa. Pada
dasarnya, hakekat menbayar pajak pada saat ini sama dengan membayar zakat
karena setiap yang membayar pajak harus disertai nilai membayar zakat
kemudian harus melakukan kontrol terhadap negara agar dana yang
dibayarkan tersebut tidak diselewengkan.
Pendapat Masdar Farid Mas'udi untuk menyamakan pajak dengan zakat.
Dengan begitu, orang yang sudah membayar zakat sudah dianggap membayar
pajak, begitu pula sebaliknya orang yang sudah membayar pajak sudah
dianggap gugur kewajiban zakatnya. Kalau pun langkah seperti ini tidak bisa
dijalankan, bisakah pembayaran zakat mengurangi kewajiban pembayaran
159
Ibid., h. 139-142.
pajak.
Usulan yang pertama, untuk saat ini memang agak sulit dilaksanakan
karena masih ada anggapan bahwa kalau pajak disamakan dengan zakat
jumlah penerimaan pajak akan menurun dan penerimaan zakat akan
meningkat.
Usulan yang kedua yaitu pembayaran zakat dapat mengurangi kewajiban
pembayaran/setoran pajak sudah terlaksana. Meskipun demikian, zakat baru
sekedar diakui sebagai biaya tetapi belum menjadi bagian dari pembayaran
pajak. Oleh sebab itu, hal ini masih menjadi tuntutan dari umat Islam.
Pembayaran pajak dengan niat zakat akan memperolah pahala spiritual-
ukhrawi, karena dengan niat tersebut menjadi harapannya. Niat adalah ruh,
persambungannya adalah Tuhan. Sedangkan amal adalah badan
persambungannya dengan manusia. keduanya berbeda tetapi tidak bisa
dipisahkan. Dalam konsep zakat, harta diserahkan kepada negara sebagai
lembaga yang berkepentingan untuk mangatur kehidupan. Sedangkan untuk
Tuhan, cukup niat yang menjiwai dan melatar belakangi penyerahan pajak
itu.
Pemikiran masdar Farid Mas‟udi secara keseluruhan adalah memiliki
paradigma yang banyak didominasi oleh pembahasan kemaslahatan dan
keadilan yang muncul sebagai tujuan agama Islam dalam rangka pencapaian
agama tersebut, melalui penyatuan zakat dan pajak ini ada dalam Konsep
Kemaslahatan Sosial.
Masdar Farid Mas‟udi meyakini bahwa hukum syariat yang diturunkan
oleh Tuhan adalah aturan dengan kemaslahatan. Artinya aturan yang harus
mengabdi pada kemaslahatan bukan sebaliknya. Tetapi bukan seluruh aturan
bisa dirubah dengan alasan kemaslahatan.
Konteks kemaslahatan semua manusia ingin meraih kemalahatan untuk
individu masing-masing yang berlandaskan hukum Islam. Kemaslahatan yang
ada termasuk salah satu ijtihad dengan syarat, sebagai berikut:
a. Kemaslahatan tersebut sudah jelas tidak akan menimbulkan mudharat.
b. Kemaslahatan timbul bukan atas kepentingan individu, tetapi harus
obyektif.
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Persamaan Pendapat Didin Hafidudin dan Masdar Farid Mas’udi
Mengenai Kewajiban Penyatuan Pajak dan Zakat
Terdapat beberapa persamaan mengenai kewajiban penyatuan pajak dan zakat
dalam pandangan Didin Hafiduddin dan Masdar Farid Mas‟udi adalah sebagai
berikut:
1. Mengutamakan kemaslahatan dan keadilan secara menyeluruh. Didin dan
Masdar meski berbeda pendapat mengenai kewajiban penyatuan zakat dan
pajak akan tetapi memiliki syarat sebagai suatu keputusan yaitu tidak
memberatkan masyarakat akan suatu kebijakan. Hal ini merupakan dasar
dalam mengambil langkah yang menjadi titik awal dalam melaksanakan
suatu keharusan baik untuk manfaat secara langsung maupun secara tidak
langsung dirasakan oleh seorang individu tersebut. Didin dan Masdar
berpegangan pada salah satu kaidah yang mana mengutamakan
kemaslahatan orang banyak yang merupakan salah satu ajaran Islam.
2. Menjadikan zakat pengurang pajak sebagai alternative lain dalam
kewajiban penyatuan pajak dan zakat. Masdar dan Didin mengajukan
usulan sebagai alternative untuk mencapai keadilan secara keseluruhan.
Hal ini diperkuat dengan adanya peraturan pemerintahan. Dalam UU
Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan yang menjelaskan adanya
potongan pajak karena pembayaran zakat dengan syarat beragama Islam dan
benar-benar sudah membayar zakat dengan bukti pembayaran zakat dari Badan
Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat. Meski belum optimal dalam menjalankan
dan masih ada kekurangan dalam pelaksanaan terutama dalam pengaturan
dana. Hal ini dikarenakan lembaga pengelolaan pajak dan zakat berbeda.
B. Perbedaan Pendapat Didin Hafidudin dan Masdar Farid Mas’udi
Mengenai Kewajiban Penyatuan Pajak dan Zakat
Didin Hafiduddin terfokuskan pada konsep pemikiran zakat di Indonesia yang
bersifat teoritis ilmiah dalam perkembangan fiqh zakat di Indonesia. Didin
menganggap pajak dan zakat berbeda baik dari segi manfaat maupun tujuannya.
Didin menganggap menaati ulil amri yang bertujuan kemaslahatan dan kebaikan
merupakan suatu keharusan. Selain itu pula, dalam Islam mengajarkan tolong
menolong dalam kebaikan, dari pajak maupun zakat memiliki perannya masing-
masing. 160
Pajak dalam pandangan Didin merupakan bentuk sedekah dalam agama Islam
dimana dana atau harta yang diberikan kepada negara akan digunakan untuk
keadilan menyeluruh meskipun tidak secara langsung. Dana pajak tersebut akan
digunakan untuk prasarana atau pembangunan suatu wilayah yang sudah
ditentukan sebelumnya.
Didin juga memberikan perhatiannya terhadap urgensi pengelolaan zakat.
Didin menyatakan bahwa pengelolaan zakat sangatlah penting namun tidak
menekankan pengelolaan zakat harus dilakukan langsung oleh negara
(pemerintah) melainkan hanya menekankan bahwa pengelolaan zakat tersebut
dilakukan oleh lembaga pengelola zakat yang ditunjuk dan disahkan oleh
pemerintah. Didin menggaris bawahi bahwa pengelolaan zakat tersebut haruslah
160 Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Op.Cit., h. 60.
memenuhi syarat-syarat termasuk legalitasnya dari pemerintah.161
Hal ini dapat
diartikan bahwa yang harus dikelola dan diatur oleh pemerintah adalah lembaga
pengumpul zakat, dengan demikian diharapkan akan muncul lembaga pengelola
zakat yang profesional terutama yang berkonsentrasi dalam pengelolaan zakat
profesi.Pemikiran Didin ini di latarbelakangi oleh pemikirannya yang menyatakan
bahwa zakat tidak dapat disatukan dengan pajak serta dipengaruhi oleh
pengalamannya yang pernah menjabat sebagai Ketua BAZNAS sehingga
paradigma yang muncul pun sesuai dengan apa yang dia dapatkan dilapangan.
Akan tetapi jika sekiranya pembayaran pajak dan zakat memberatkan, Didin lebih
mengusulkan bahwa zakat sebagai pengurang pajak dengan ketentuan yagn telah
dikemukakan sebelumnya.
Berbeda dengan pemikiran Masdar yang bercorak populis, yaitu
menjunjung tinggi keutamaan rakyat kecil. Hal ini terbukti dalam setiap
pemikirannya mengarah dengan pembelaan kaum lemah. Sebagaimana
diketahui, tawaran yang dimaksud “kemaslahatan” oleh Masdar adalah
“kemaslahatan bagi kaum lemah (dhuafa)”.162
Dalam salah satu tulisannya ia
menyamakan istilah kemaslahatan dengan “keadilan sosial”. Selanjutnya
pemikiran Masdar mengenai penyatuan zakat dengan pajak menjadi titik pusat
bahwa negara/pemerintah harus mengelola zakat sebagaimana halnya zakat
dikelola oleh negara/pemerintah pula. Dalam konteks ini, gagasan zakat Masdar
yang diorientasikan guna merumuskan suatu paradigma fiqh untuk menggugah
161 Ibid., h. 132. 162
Masdar Farid Mas’udi, Pajak Itu Zakat Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat, Op.
Cit, h. 116.
kesadaran umat akan pentingnya kepedulian terhadap kaum lemah, sangat
dilatarbelakangi oleh paham populis.
Masdar menganggap bahwa dua kewajiban sekaligus (zakat dan pajak) yang
harus dibayarkan oleh orang Islam di Indonesia merupakan suatu bentuk madharat
yang menyalahi kemaslahatan dan harus dihindarkan. Bisa jadi pajak yang
awalnya hanya sebagai factor pendukung dalam pemasukan negara saat ini
menjadi suatu kewajiban yang lebih diutamakan dari pada zakat. Hal ini sangatlah
menyalahi ketentuan di awal dan juga memberatkan.
Perlunya tindakan untuk mengedepankan zakat di atas pajak yang menjadi
kewajiban utama sebagai muslim terlebih lagi negara Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Masdar meyakini zakat dan pajak yang menjadi kewajiban dapat
diperkecil dengan disatukan untuk mengurangi kedzaliman. Masdar menyarankan
agar pajak menggunakan ruh zakat (sedekah karena Allah untuk rakyat). Dengan
ruh zakat ini, diharapkan bisa tercipta keadilan sosial. Bukankah zakat
diperuntukkan terutama untuk orang fakir dan miskin, pajak seharusnya demikian
pula. Konsep pajak dengan ruh zakat inilah yang pernah dipraktekkan nabi ketika
memimpin sebuah pemerintahan di Madinah.163
Penerapan konsep pajak dengan ruh zakat tidak boleh ada lagi dualisme yang
dikhotomis, pajak dan zakat harus disatukan sebagaimana ruh dengan badan atau
jiwa dengan raga. Keberanian Masdar untuk menyamakan pajak dan zakat,
sebagai konsekuensi untuk mengembalikan zakat sebagai ajaran bisa mewujudkan
keadilan social. Islam sebagai agama pembebas bagi umat
163 Ibid., h. 40.
manusia termasuk pembebas dari kemiskinan dan kezaliman. Sesuai dengan
kaidah fiqih:
إذا تزاحمت المصالح قدم األعلى منها وإذا تزاحمت المفاسد قدم األخف منها
Jika ada beberapa kemaslahatan bertabrakan, maka maslahat yang lebih
besar (lebih tinggi) harus didahulukan. Dan jika ada beberapa mafsadah
(bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang
paling ringan. 164
Kaidah fiqih inilah yang menjadi titik berat dalam suatu alasan pemikiran
untuk Masdar dalam pengajuan penyatuan pajak dan zakat dengan mengutamakan
pembayaran zakat dari pajak sebagai kewajiban dalam hukum Islam.
Selain dari penyatuan antara zakat dan pajak masdar juga mengajukan adanya
tindakan sebagai zakat mengurangi pajak. Artinya orang yang sudah
mengeluarkan zakat atas suatu harta dalam ketentuan dapat mengurangi pajak
pula yang telah ditentukan oleh negara. Sehingga hal ini tidak memberatkan
masyarakatnya dalam memperoleh kemaslahatan bersama dan tidak adanya
ketimpangan yang mencolok.
Pemikiran Masdar tentang zakat merupakan manifestasi sikap atau tanggung
jawab intelektual pemikir muslim ketika melihat fenomena “ketidakadilan sosial”,
yakni adanya jarak antara kelompok sosial kaya dengan kelompok sosial miskin.
Jadi wajar, jika “keadilan sosial” menjadi fenomena yang menggelisahkan bagi
Masdar, karena itu termasuk pemikir populis. Dengan berpijak pada perspektif
agama, Masdar melihat bahwa problem tersebut bisa diselesaikan melalui
164 Shalih Bin Ghanim As-Sadlan, Al-Qawâ‟id Al-Fiqhiyyah Al-Kubrâ Wa Mâ Tafarra‟a
„Anha, (Riyad: Dar Al-Belnesia, 1417 H), h. 527.
penggalian dana zakat. Karena zakat merupakan salah satu kelima rukun Islam
yang paling memiliki akses kepada keprihatinan Masdar yakni “ketidakadilan
sosial”. Pemikiran Masdar yang populis ini dipengaruhi oleh paham populis
(kerakyatan)-nya sehingga melahirkan pernyataan bahwa zakat dan pajak sama-
sama dikelola oleh negara, sehingga dapat menjadi awal titik temu antara pajak
dan zakat.
Indonesia memiliki peraturan khusus mengenai pajak dan zakat agar dapat
berjalan sesuai tujuan serta membatasi wewenang sesuai peraturan yang berlaku.
Hal ini merupakan cara lain agar terciptanya keadilan dan kemaslahatan secara
menyeluruh. Meskipun dalam pelaksanaannya masih sangat kurang. Terlebih lagi
lembaga pajak dan zakat dilakukan secara terpisah. Sehingga menjadi pemicu
tindakan yang kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan tersebut.
Zakat atas penghasilan sesuai UU Nomor 36 tahun 2008 sudah boleh
dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak atau bisa dianggap sebagai biaya.
Tetapi harus ada syaratnya. Zakat atas penghasilan yang dapat dikurangkan
(dianggap sebagai biaya) tersebut harus nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri
yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang secara resmi sudah diakui, diakreditasi pemerintah dalam hal ini
Departemen Agama. Dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan huruf b dijelaskan bahwa zakat dapat dikurangkan dari penghasilan.165
165
www.businessnews.com. Diakses pada tanggal 20 Maret 2018.
Besarnya zakat yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak adalah
sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari jumlah penghasilan. Pemotongan
zakatnya adalah sebelum penghasilan dihitung dengan tarif progresif. Atau
dengan kata lain, zakat dikenakan pada penghasilan bruto.
Kemudian di dalam Undang-undang Pajak Nomor 17 Tahun 2000 dikemukan
dalam pasal 9 ayat (1) bahwa harta yang dihibahkan bantuan atau sumbangan, dan
warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah.166
Diktum tersebut secara
jelas menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah
menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Dengan demikian, sudah terjadi
kesesuaian antara Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 dan Undang-undang
Pajak Nomor 17 Tahun 2000 dalam hal bolehnya pembayaran zakat menjadi
pengurang pajak. Meskipun demikian, zakat baru sekedar diakui sebagai biaya
tetapi belum menjadi bagian dari pembayaran pajak. Oleh sebab itu, hal ini masih
menjadi tuntutan dari umat Islam.
166
Undang-undang Pajak Nomor 17 Tahun 2000
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah pemaparan terhadap analisis “Kewajiban Penyatuan Pajak Dan
Zakat Dalam Pandangan Didin Hafidudin Dan Masdar Farid Mas‟udi”, dari hasil
pemaparan penulis yang telah penulis telaah, maka penulis mengambil
kesimpulan diantaranya:
1. Persamaan pandangan baik Didin dan Masdar yaitu segala keputusan
berlandaskan dengan menimbang kemaslahatan dan keadilan orang banyak
karena hal ini sangat berpengaruh kepada keseluruhan. Selain itu, Didin
dan Masdar juga menyetujui adanya zakat sebagai pengurang pajak agar
tidak adanya yang merasa terbebani atas kedua kewajiban tersebut.
Dengan melihat zakat sebagai keharusan yang wajib bagi umat Islam dan
pajak sebagai keharusan atas ulil amri.
2. Perbedaan Pendapat Didin Hafiduddin yang terfokuskan pada konsep
pemikiran zakat di Indonesia yang bersifat teoritis ilmiah dalam
perkembangan fiqh zakat di Indonesia. Didin menganggap pajak dan zakat
berbeda baik dari segi manfaat maupun tujuannya. Selain itu, dalam
tatanan lembaga pengelola zakat dan pajak dilakukan secara terpisah
karena zakat merupakan keharusan yang dilakukan muslim sedangkan
pajak merupakan kewajiban terhadap negara. Dalam melaksanakan pajak
dan zakat, Didin mengajukan adanya zakat sebagai pengurangan pada
pajak. Hal ini dilakukan agar masyarakat yang merasa adanya dualisme
kewajiban pembayaran pajak tersebut tidak memberatkan.
Sedangkan menurut Masdar melihat dari corak mengutamakan kaum
rakyat, dimana rakyat lebih diutamakan kemaslahata dan keadilannya.
Menawarkan adanya pembentukan baru dalam suatu kewajiban
pembayaran antara zakat dan pajak, masdar menawarkan adanya
penyatuan atau pun pengurangan anatara keduanya. Masdar menganggap
bahwa dua kewajiban sekaligus (zakat dan pajak) yang harus dibayarkan
oleh orang Islam di Indonesia merupakan suatu bentuk madharat yang
menyalahi kemaslahatan dan harus dihindarkan. Konsep pajak dengan ruh
zakat tidak boleh ada lagi dualisme yang dikhotomis, pajak dan zakat
harus disatukan sebagaimana ruh dengan badan atau jiwa dengan raga.
Sehingga dalam penerapannya pun menjadikan suatu pajak dan zakat
merupakan suatu kesatuan dimana zakat lebih diutamakan daripada pajak.
B. Saran
Saran-saran yang penulis uraikan dalam karya ilmiah ini yaitu:
1. Zakat adalah pemberian hak kepemilikan atas sebagian harta tertentu dari
harta tertentu kepada orang tertentu yang telah ditentukan oleh syariat,
semata-mata karena Allah SWT. Pajak adalah iuran wajib masyarakat
kepada negara berdasarkan undang-undang yang berlaku tanpa mendapat
prestasi kembali secara langsung untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran serta mencapai tujuan-tujuan negara dalam berbagai bidang.
Meskipun zakat dan pajak berbeda, akan tetapi memiliki tujuan yang sama
yaitu mencapai keadilan bersama.
2. Adapun adanya perbedaan pendapat dari kedua tokoh ini dalam metode
qiyas yang memiliki pandangan berbeda merupakan lumrah dan
manusiawi, pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu: melakukan
pembayaran dengan mengutamakan keadilan baik pada zakat maupun
pajak dengan ketentuan yang berlaku.
3. Di Indonesia sendiri memiliki peraturan mengenai zakat dan pajak. Zakat
atas penghasilan sesuai UU Nomor 36 tahun 2008 sudah boleh
dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak atau bisa dianggap sebagai
biaya. Tetapi harus ada syaratnya. Zakat atas penghasilan yang dapat
dikurangkan (dianggap sebagai biaya) tersebut harus nyata-nyata
dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau
Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam
kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang secara resmi sudah
diakui, diakreditasi pemerintah dalam hal ini Departemen Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet dan Moh. Suyono. Fiqih Ibadah, Bandung: Pustaka Setia, 1998.
Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis Islam. Jakarta: Pustaka Al- Kausar, 2001.
Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat Dan Wakaf. Jakarta:
Universitas Indonesia, 1988.
Ali, Zainuddin. Metode Penellitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Al-Syaikh, Yasin Ibrahim. Kitab Zakat. Bandung : Penerbit Marja, 2008.
Al-Maraghi. Tafsir Al-maraghi. Jilid 1. Kairo: Maktabah Djarisah, 1365 H.
Al Hajjaj, Abu Husain Muslim. Shahih Muslim. Jilid I. Beirut:Dar al Fikr, 1999
M.
Ambara, Iqbal M. Problematika Zakat dan Pajak di Indonesia. Yogyakarta:
Sketsa, 2009.
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islamy Wa‟adillatuhu. Damaskus: Daar El-Fikr,
1997
Azwar, Saifudin. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Brotodihardjo, R. Santoso. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, edisi 4. Bandung:
Refika Aditama, 2003.
Bruinessen, Martin Van. NU: Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Wacana,
Yogyakarta: LKIS, 1994.
Chapra, Umer. Islam and The Economic challeng. Herndon: IIIT, 1995.
Departemen Agama RI. Al-Hikmah Al-qur‟an Dan Terjemahan. Bandung:
Diponorogo, 2014.
Doa, M. Djamal. Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara. Jakarta: Nuansa
Madani, 2001.
Gusfahmi. Pajak Menurut Syariah. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Hafidudin, Didin. Islam Aplikatif, Cet. 3. Jakarta: Gema Insani, 2003.
-------. Zakat dalam Perekonomian Modern, cet. ke-2. Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
-------. Mutiara Dakwah. Jakarta: Kuwais, 2006.
------- dan Hendri Tanjung. Syariah principles onmanagement inpractive. Jakarta:
Gema Insani Press, 2003.
------- dan Miranty Abidin. Titik Temu Zakat dan Pajak. Jakarta:Peduli umat,
2001.
Imam Syafi‟I. Mukhtashar Kitab Al Umm Fi Al-Fiqh. Beirut: Lubnan, 1979.
Inayah, Gazi. Al-Iqtishad al-Islami az-Zakah wa ad-dharibah. Dirasah
Muqaranah, 1995. Edisi terjemah oleh Zainuddin Adnan dan Nailul Falah.
Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak. Yogyakarta: Tiara Wacana,
2005.
Kaclan M.S.. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta:
Paradigma, 2005.
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1955.
Kurnia, Hikmat. Panduan Pintar Zakat. Jakarta: Qultummedia, 2008.
Mahadi, Ujang. Pelaksanaan Zakat Profesi di Kalangan Pns, Jurnal Ilmiah
Madania, Transformasi Islam dan Kebudayaan. Bengkulu: PPIK, 1998.
Mardiasmo. Perpajakan. Edisi Revisi. Yogyakarta : Andi Offset, 2003.
Mas’udi, Masdar Farid. Pajak Itu Zakat Uang Allah Untuk Kemaslahatan
Rakyat. Bandung: Mizan Pustaka, 2005.
-------. Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004.
Mursyid. Mekanisme Pengumpulan Zakat, Infaq dan Shadaqah Menurut Hukum
Syara dan Undang-Undang. Yogyakarta: Magista Insania Press, 2006.
Nasution, Lahmuddin. Ushul Fiqih 1. Jakarta: Ogos, 1995.
Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan. Edisi 2. Jakarta : Granit, 2003.
Prakoso, Kesit Bambang. Hukum Pajak. Yogyakarta: Ekonisia, 2005.
Rahmat, Imdadun dkk. Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca
Realitas. Jakarta: Erlangga, 2003.
Rosyid, Sulaiman. Fiqh Islam, cet. Ke-30. Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1997.
Salim, Syaikh Abu Malik Kamal Bin As-Sayyid Ensiklopedi Puasa Dan Zakat.
Terjemahan Abu Syafiq, dkk. Jakarta: Roemah Buku, 2013).
Saefuddin, Ahmad Muflih. Pengelolaan Zakat Ditinjau dari Aspek Ekonomi.
Bontang: Badan Dakwah Islamiah, 1986.
S Nasution. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT.Bumi Aksara,
2012.
Shalih Bin Ghanim As-Sadlan. Al-Qawâ‟id Al-Fiqhiyyah Al-Kubrâ Wa Mâ
Tafarra‟a „Anha. Riyad: Dar Al-Belnesia, 1417 H
Subagyo, P Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta, 2006.
Sumitro, Rocmat. Asas dan Dasar perpajakan. Bandung: Eresco, 1992.
Supramono. Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan. Yogyakarta:
Andi Offset, 2005.
Susiadi. Metode Penelitian. Bandar Lampung: LP2M Institut Agama Islam Negeri
Raden Intan Lampung, 2015.
Sutedi, Andrian. Hukum Pajak. Cetakan ke-2. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Syahhatih, Syauqi Ismail. Penerapan Zakat dalam Dunia Modern. Terjemahan
oleh Anshori Umar Sitanggal. Jakarta: Pustaka Dian, 1987.
Usman, Muchlis. Kaidah-Kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Undang-undang Pajak Nomor 17 Tahun 2000
Qadim, Abdul. Al-Amwal fi daulah al-Khilafah. Dar al-ilmi lilmalayin, 1988.
Edisi terjemah oleh Ahmad dkk. Sistem Keuangan di Negara Khilafah.
Bogor: Pustaka Thariq al-Izzah, 2002.
Qadir, Abdurrahman. Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998.
W. I. S. Poerdaminto. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Yusuf Al-Qardawi. Fiqhuz Az-Zakat. Beirut: Muasassah Al-Risalah, 1980.