KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG,
JAWA BARAT
SRI MURNI SOENARNO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi KESETARAAN GENDER DALAM
PEMBANGUNAN PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG,
JAWA BARAT adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2007
Sri Murni Soenarno
P. 062024051
RINGKASAN SRI MURNI SOENARNO. Kesetaraan Gender dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, RUDY C. TARUMINGKENG dan AIDA VITAYALA S. HUBEIS.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, di mana 65 persen penduduknya, termasuk nelayan, hidup di wilayah pesisir. Perbandingan persentase penduduk perempuan dan lelaki hampir sama, maka potensi perempuan dapat dijadikan modal pembangunan. Perempuan banyak berperan dalam kegiatan perikanan, seperti pedagang ikan, pengolah ikan dan pengelola keuangan, tetapi peran perempuan belum terdokumentasikan sehingga mereka tidak dilibatkan dalam pembangunan perikanan.
Produksi perikanan Kabupaten Subang yang berasal dari laut adalah lima puluh persen dari jumlah total produksi perikanan. Pendaratan ikan laut tangkapan banyak dilakukan di dua pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang terletak di Kecamatan Blanakan yaitu PPP Blanakan dan PPP Ciasem.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis kesetaraan gender dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang saat ini, (2) menganalisis sikap masyarakat pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai, dan (3) menyusun alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Analisis data yang digunakan adalah kombinasi analisis gender (Gender Analysis Pathway dan analisis Moser), analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).
Kesimpulan yang diperoleh adalah (1) Pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang saat ini belum responsif gender. Dalam lingkup keluarga, istri bertanggungjawab dan lebih dominan sebagai pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga dan keluarga serta keuangan. Suami bertanggungjawab dan pengambil keputusan yang dominan dalam kegiatan produksi dan urusan kemasyarakatan bersifat politik. (2) Sikap masyarakat pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dipengaruhi oleh faktor ekonomi berupa adanya peluang kerja dan faktor budaya berupa sosialisasi gender melalui pendidikan keluarga. (3) Program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dan yang paling berpeluang serta dianggap penting oleh pelaku (Pemda, KUD Mina dan nelayan) untuk dilaksanakan adalah program pengembangan sumberdaya manusia (SDM) masyarakat lelaki dan perempuan. Kata kunci: Perikanan pantai, gender, Kabupaten Subang
ABSTRACT SRI MURNI SOENARNO. Gender Equality in Coastal Fisheries Development:
The case of Subang District, West Jawa. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, RUDY C. TARUMINGKENG and AIDA VITAYALA S. HUBEIS.
Indonesia is the biggest archipelagic state in the world where about 65 percent of their population, including fishermen, lives in the coastal area. The percentage ratio between male and female population is almost equal, so women can be a potential capital for development. Women play multiple roles in fishery activities, such as fish-trader, fish-processor, and financial administrator. However, their roles are not well documented. Fifty percent of Subang fisheries come from the sea. The most of fishes have been landed at Blanakan and Ciasem coastal port.
This research is aimed at: (1) Analyzing gender responsive of the Subang District marine and fishery programs; (2) Analyzing the attitude of coastal community toward gender equality in coastal fisheries; and (3) Developing alternative programs for coastal fishery to be gender responsive. The data analyses used the combination of gender analysis (Gender Analysis Pathway and Moser Analysis), Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) analysis and Analytical Hierarchy Process (AHP) approach.
The results of the research conclude that: (1) Marine and fishery programs of Subang District have not yet been gender responsive. In a family, wife responsible and becomes a dominant decision maker in domestic and social activities and as a financial administrator. On the other hand, husband responsible and becomes a dominant decision maker in production activities and political decision. (2) The community attitude may be influenced by work opportunity and culture through family education. (3) The coastal fishery development program which is gender responsive has the most chance and is considered important by stakeholders (local government, Mina Village Unit Cooperative, and fishermen) to be implemented is human resource development program for male and female.
Key words: Coastal fisheries, gender, Subang District
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007.
Hak cipta dilindungi undang-undang.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KESETARAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN
PERIKANAN PANTAI: KASUS KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT
OLEH: SRI MURNI SOENARNO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Titik Sumarti Penguji pada Ujian Terbuka : Prof.Dr. Meutia Hatta-Swasono Prof.Dr.Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira
Judul Disertasi : Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai:
Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat
Nama Mahasiswa : Sri Murni Soenarno
Nomor Pokok : P. 062024051
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja Ketua
Prof. Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF Dr.Ir. Aida Vitayala S. Hubeis
Anggota Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan Prof.Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal ujian: 4 Oktober 2007 Tanggal lulus: ……………………
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga disertasi ini dapat tersusun sesuai jadwal yang direncanakan. Disertasi dengan judul “Kesetaraan Gender Dalam Pembangunan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan akademis pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Prof.Dr.Ir. Daniel R. Monintja, Prof.Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF dan Dr.Ir. Aida Vitayala S. Hubeis selaku Komisi Pembimbing yang telah memberi bekal yang memadai sampai tersusunnya disertasi ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Dr. Titik Sumarti selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup serta kepada Prof.Dr Meutia Hatta Swasono dan Prof.Dr.Ir. Tb. Sjafri Mangkuprawira yang telah bertindak sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran penelitian lapangan yaitu pejabat di Dinas Kelautan Dan Perikanan dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa, aparat di Kantor Desa Blanakan dan Desa Muara, pengurus KUD Fajar Sidik dan KUD Mina Bahari, serta pihak-pihak lainnya yang tidak tersebutkan namanya di Kabupaten Subang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada jajaran Pengurus, Pembina dan Pengawas serta kolega di The Indonesian Wildlife-Conservation Foundation (IWF), yaitu Ir. Soedjadi Hartono, Prof.Dr. Abdul Bari, Drs. Ismu S. Suwelo, Ir. Koes Saparjadi, MF, Sukandi, SH., Prof.Dr. Dedi Sudharma, Drs. Djoko Setiono, Ir. Ervizal A.M. Zuhud, serta staf lainnya, atas bantuan beasiswa dan dukungannya. Terima kasih yang tak terucapkan kepada almarhum Prof.Dr. Rubini Atmawidjaja, dan almarhum Burhanuddin, BcKN atas dukungan yang pernah diberikan, serta kepada almarhum Prof.Dr. Kasijan Romimohtarto, MSc atas wawasan awal tentang peran perempuan pesisir di bidang perikanan.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada suami, Ir. Muhammad Ikhsan, MSi atas dukungan semangat, waktu, doa, kesabaran dan materi sejak awal perkuliahan hingga kelulusan penulis, serta kepada putrinda Astari Miranti dan Irena Ganesha atas dukungan semangat dan doa serta kesabarannya. Terakhir terima kasih kepada ayahanda, Ir. Soenarno Josodarsono (alm) atas didikan tentang pentingnya memiliki semangat juang, dan kepada ibunda, Siti Moersijam Prodjosoewito atas informasi awal tentang masalah gender.
Penulis memohon maaf kepada semua pihak jika ada kesalahan baik perkataan dan perilaku yang sengaja maupun tidak sengaja telah dilakukan oleh penulis selama masa perkuliahan, penelitian hingga lulus.
Bogor, Oktober 2007
Sri Murni Soenarno
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 9 Juni 1963 sebagai anak ketiga dari empat anak pasangan Ir. Soenarno Josodarsono (alm) dan Siti Moersijam Projosoewito. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta, UNJ), lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1984, penulis terpilih menjadi Mahasiswa Teladan II IKIP Jakarta, saat menjabat sebagai Ketua Sub Unit Karawitan IKIP Jakarta. Setelah lulus S1, pada tahun 1987, penulis diterima di Program Studi S2 Ilmu Lingkungan–Ekologi Manusia (ILEM) pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) dan menamatkannya sebagai Magister Sains (MSi) pada tahun 1990. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor (S3) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2003. Biaya kuliah diperoleh dari instansi kerja penulis yaitu The Indonesian Wildlife-Conservation Foundation, IWF (Yayasan Pelestarian Alam dan Kehidupan Liar Indonesia).
Penulis bekerja sebagai konsultan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) sejak tahun 1990. Pada tahun 1992 sampai 1997, penulis bekerja sebagai konsultan di PT. Selaras Rona Consultant, Jakarta.
Penulis bekerja di IWF sejak tahun 1990 hingga sekarang. Saat ini, penulis adalah anggota pengurus dan berkedudukan sebagai Sekretaris Yayasan IWF serta sebagai Pimpinan Redaksi WARTA IWF, terbitan berkala IWF. Bidang tugas kekhususan yang menjadi tanggung jawab penulis saat ini adalah pusat informasi dan pangkalan data.
Makalah ilmiah yang berjudul “Pemberdayaan Wanita Nelayan Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam Secara Lestari” telah disajikan pada Lokakarya Nasional “Optimalisasi Peran Wanita Nelayan di Pesisir Pantai” yang diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis Universitas Hang Tuah Surabaya ke 16 pada tgl 24 April 2003 di Surabaya. Artikel berjudul ”Analisis Gender Terhadap Kegiatan Perikanan Pantai: Kasus Kabupaten Subang, Jawa Barat” dimuat pada Buletin PSP Volume XVI Nomer 1 April 2007, yaitu jurnal terakreditasi dari Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (Departemen PSP) Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan (FPIK) IPB. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
Penulis menikah dengan Ir. Muhammad Ikhsan, MSi pada tahun 1990 dan dikaruniai dua puteri yaitu Astari Miranti (lahir tahun 1991) dan Irena Ganesha (lahir tahun 1993).
Penulis dinyatakan lulus dalam Ujian Doktor Terbuka pada hari Kamis tanggal 4 Oktober 2007.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xvi DAFTAR LAMPIRAN xvii DAFTAR SINGKATAN xviii DAFTAR ISTILAH xix
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 5 1.3.1 Tujuan penelitian 5 1.3.2 Manfaat penelitian 5 1.4 Hipotesis 6 1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian 6 1.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan 8 1.7 Novelty 12 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan 14 2.2 Pembangunan Perikanan Pantai 23 2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan
Indonesia 23
2.2.2 Peran perempuan dalam komunitas pesisir 24 2.2.3 Perikanan pantai 27 2.3 Sikap dan Pengambilan Keputusan 31 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 34 3.2 Metode Penelitian 34 3.2.1 Rancangan penelitian 34 3.2.2 Pelaksanaan penelitian 36 3.3 Analisis Data 39 3.3.1 Analisis gender 40 3.3.2 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and
Threats (SWOT) 42
3.3.3 Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) 43 3.4 Definisi Operasional 43 4 KONDISI UMUM 4.1 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Subang 45
xii
Halaman 4.2 Kondisi Kependudukan Kabupaten Subang 47 4.2.1 Distribusi penduduk 47 4.2.2 Pendidikan 51 4.2.3 Kesehatan 52 4.2.4 Kegiatan ekonomi 54 4.3 Perikanan Kabupaten Subang 56 4.3.1 Ekosistem pesisir Kabupaten Subang 56 4.3.2 Kegiatan dan hasil perikanan laut 57 4.3.3 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang 58 4.4 Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Subang 60 4.4.1 Landasan hukum 60 4.4.2 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD)
Kabupaten Subang 63
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Masyarakat Umum Kecamatan Blanakan 66 5.1.1 Karakteristik sosial budaya 66 5.1.2 Kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut 71 5.1.3 Rona lingkungan hidup 84 5.2 Pengarusutamaan Gender Dalam Perikanan Pantai 87 5.3 Sikap Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Kegiatan
Perikanan Pantai 115
5.4 Pembangunan Perikanan Pantai Yang Responsif Gender 124 5.4.1 Strategi pembangunan perikanan pantai berbasis
kesetaraan gender 124
5.4.2 Prioritas untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
126
5.6 Pembahasan Umum 136 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 146 6.2 Saran 148 DAFTAR PUSTAKA 150 LAMPIRAN 159
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Metode penelitian untuk pengumpulan data dan analisis data
sesuai tujuan penelitian di Desa Blanakan dan Desa Muara, Kabupaten Subang, tahun 2006
39
2 Perbandingan distribusi penduduk Indonesia, Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005
48
3 Jumlah penduduk lahir, mati, datang dan pindah menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005
48
4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
49
5 Jumlah penduduk kelompok umur produktif dan kelompok umur tidak produktif menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
49
6 Status perkawinan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2000-2004
50
7 Persentase perempuan pernah kawin menurut umur perkawinan pertama di Kabupaten Subang tahun 1998-2003
50
8 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang buta huruf menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004
51
9 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004
51
10 Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004
52
11 Jumlah dan rasio fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang tahun 2003
53
12 Persentase penduduk menurut jenis pengobatan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003
53
13 Persentase balita menurut status gizi di Kabupaten Subang tahun 1999-2005
53
14 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004
54
15 Rasio pekerja menurut lapangan pekerjaan utama menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004
55
16 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja menurut sektor, status pekerjaan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004
55
17 Produksi sub sektor perikanan laut menurut tempat pendaratan ikan Kabupaten Subang tahun 2005
57
18 Pendidikan terakhir responden menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005
69
19 Sekolah di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005 70
xiv
Halaman
20 Perahu/kapal motor yang mendaratkan ikan di PPP Blanakan dan PPP Muara Ciasem Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005
72
21 Produksi KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005
72
22 Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan program pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun anggaran 2005-2009
88
23 Program, tujuan umum, indikasi, kegiatan dan sasaran kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
90
24 Bentuk dan sumber data serta jumlah pekerja di bidang kelautan dan perikanan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
91
25 Kegiatan dan alokasi waktu dalam satu hari menurut musim ikan dan jenis kelamin pada rumahtangga komunitas di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
97
26 Pembagian tugas dalam rumahtangga menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
100
27 Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menurut kegiatan di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
103
28 Unsur kesetaraan gender dalam pembangunan pada komunitas perikanan laut di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
107
29 Analisis akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi lelaki dan perempuan dalam program dan kegiatan bidang kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
108
30 Faktor kesenjangan gender berdasarkan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dalam program kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
109
31 Faktor penyebab dari masalah kesenjangan gender dan isu gender di bidang perikanan dan kelautan di Kabupaten Subang tahun 2006
110
32 Reformulasi kebijakan dan kegiatan berdasarkan isu gender pada pembangunan kelautan dan perikanan pantai Kabupaten Subang
112
33 Rekapitulasi analisis gender dan rencana aksis pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang
113
34 Sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
119
35 Bobot, peringkat dan skor dari faktor internal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006
125
36 Bobot, peringkat dan skor dari faktor eksternal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006
125
xv
Halaman
37 Kepentingan faktor untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku
129
38 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut aparat Pemda
132
39 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut pengurus KUD Mina
134
40 Rekapitulasi urutan program terpenting dalam pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku di Kabupaten Subang
135
41 Rekapitulasi alternatif program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan di Kabupaten Subang
145
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian 82 Kerangka sistem perikanan berkelanjutan (Charles 2001) 303 Kerangka kerja KIE (modifikasi DENR et al. 2001) 334 Posisi pembangunan perikanan pantai saat ini dengan analisis
SWOT 126
5 Hirarki pembangunan perikanan pantai yang responsif gender 128
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta Kecamatan Blanakan 1592 Rencana kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan
Kabupaten Subang tahun 2005-2009 160
3 Kuesioner sikap terhadap pengelolaan perikanan dan kesetaraan gender
163
4 Skor-T dari sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai
164
5 Hasil pengolahan data dengan SPSS 1666 Strategi SWOT untuk pembangunan perikanan pantai di
Kabupaten Subang 168
7 Hasil pengolahan data AHP 170
xviii
DAFTAR SINGKATAN AHP : Analytical Hierarchy Process
BPMD : Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Dislutkan : Dinas Kelautan dan Perikanan
DKP : Departemen Kelautan dan Perikanan
GAP : Gender Analysis Pathway
GDI : Gender-related Development Index
GEM : Gender Empowerment Measured
HDI : Human Development Index
IPM : Indeks Pembangunan Masyarakat
KUD : Koperasi Unit Desa
MDGs : Millennium Development Goals
PPP : Pelabuhan Perikanan Pantai
PUG : Pengarusutamaan Gender
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
SDM : Sumberdaya Manusia
SWOT : Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats
TPI : Tempat Pelelangan Ikan
xix
DAFTAR ISTILAH
Bias gender : Pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lainnya sebagai akibat pengaturan dan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada jenis kelamin tertentu, misalnya, lebih berpihak kepada lelaki daripada kepada perempuan atau sebaliknya.
Data terpilah menurut jenis kelamin
: Informasi statistik yang membedakan perempuan dan lelaki, misalnya, ‘prosentase perempuan dan lelaki dalam angkatan kerja” bukan “jumlah penduduk dalam angkatan kerja”
Isu gender : Isu-isu dan permasalahan yang disebabkan oleh ketimpangan gender. Bagian dari permasalahan adalah diskriminasi terhadap perempuan, terutama dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber kehidupan, kesempatan, status, peran, hak, dan penghargaan.
Keadilan gender : Adalah proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki. Agar proses yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil dari peran yang dimainkannya. Keadilan gender mengantar ke kesetaraan gender.
Kesetaraan gender Berarti perempuan dan laki-laki menikmati status yang sama dan memiliki kondisi yang sama untuk menggunakan hak-haknya dan kemampuannya secara penuh dalam memberikan kontribusinya kepada pembangunan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan demikian, kesetaraan gender merupakan penilaian yang sama yang diberikan masyarakat atas kesamaan dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, dan atas berbagai peran yang mereka lakukan.
Kesenjangan gender : Suatu istilah yang mengacu kepada perbedaan-perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam akses ke dan kontrol atas sumber-smber daya penting, perbedaan dalam pekerjaan dan upah dimana laki-laki menerima lebih banyak dibandingkan permepuan. Selain itu terkandung juga dalam kesenjangan gender ini yaitu ketidak-seimbangan hubungan antara perempuan dan laki-laki di dalam proses pembangunan, dimana perempuan tidak berpartisipasi dalam proses pembangunan (merencanakan, memutuskan, melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi). Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui analisis gender.
xx
Pengarusutamaan gender
: Adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan gender melalui kebijakan publik. Selain itu, ia juga merupakan suatu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan yang memasukkan pengalaman-pengalaman dan permasalahan-permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program dalam bidang-bidang politik, ekonomi, dan kemasyarakatan. Tujuan pengarusutamaan gender adalah untuk memastikan apakah perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati manfaat pembangunan sehingga kesenjangan gender tidak ada lagi).
Perencanaan yang responsif gender
: Perencanaan yang responsif gender adalah penggunaan dan pengintegrasian kerangka gender dan Pembangunan ke dalam keseluruhan siklus perencanaan pembangunan dari suatu proyek.Siklus suatu proyek yaitu perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dimana ditiap tahap tersebut partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki terjadi sehingga kebutuhan-kebutuhan dan potensi-potensi mereka yang berbeda diperhatikan.
Perspektif gender : Menggunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu di dalam bidang-bidang: politik, ekonomi, sosial, hukum, budaya, agama, psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek, dan kegiatan-kegiatan. Dalam pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang.
Responsif gender : Perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan-hambatan struktural dalam mencapai kesetaraan.
Sensitif gender : Adalah kemampuan untuk mengenali kesenjangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki di dalam keluarga dan di dalam komunitas; dampak pembagian kerja berdasarkan gender terhadap perempuan dan laki-laki; bahwa pengalaman, permasalahan, kebutuhan, kepentingan, aspirasi perempuan dan laki-laki juga berbeda. Kesadaran ini membawanya kepada kepekaan gender yang artinya selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, proyek, kegiatan adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan hasilnya juga sama-sama dinikmati oleh perempuan dan laki-laki.
Sumber: www.menegpp.go.id
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di
dunia. Hal itu dikarenakan Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau besar dan
kecil, dengan garis panjang pantai lebih kurang 81.000 km dan luas laut sekitar
3,1 juta km2 yang terdiri dari 0,3 juta km2 Perairan Teritorial dan 2,8 juta km2
Perairan Nusantara. Pesisir dan laut Indonesia banyak mengandung kekayaan
sumberdaya alam, seperti keanekaragaman hayati laut, baik flora dan fauna,
ekosistem, dan kandungan bahan mineral seperti minyak dan gas bumi.
Sumberdaya alam (SDA) tersebut dimanfaatkan oleh berbagai pihak, mulai dari
pemerintah, swasta hingga masyarakat didalam menyokong keberlangsungan
hidup dan pembangunan. Sekitar 65 persen penduduk Indonesia hidup di sekitar
wilayah pesisir (Nontji 1993; Dahuri et al. 2001). Penduduk pesisir yang
berprofesi sebagai nelayan kecil sekitar 90 persen dari total nelayan Indonesia
(Murdiyanto 2004) dan jumlah nelayan Indonesia pada tahun 2004 adalah 3,4 juta
orang (DKP 2006).
Permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 antara lain
adalah: (1) adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan
yang merusak lingkungan, meningkatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan
di kawasan pesisir yang menurunkan kemampuan daya dukung lingkungan serta
tidak menyatunya kegiatan perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan
kegiatan pemanfaatan SDA; (2) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya
tingkat kemiskinan nelayan; dan (3) kualitas SDM Indonesia masih rendah.
Pembangunan pendidikan belum merata, masih terdapat disparitas tingkat
pendidikan yang cukup tinggi antara penduduk lelaki dan perempuan. Dalam
pembangunan pemberdayaan perempuan, masalah mendasarnya antara lain adalah
rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, adanya bentuk praktik
diskriminasi terhadap perempuan, rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan,
serta rendahnya angka GDI dan GEM (RI 2005).
2
Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI (Human
Development Index) Indonesia adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108
dari 177 negara. Angka GDI (Gender-related Development Index) Indonesia
adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara (UNDP 2006). Angka
GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan masih adanya kesenjangan
gender di Indonesia. Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004,
angka GEM (Gender Empowerment Measured) Indonesia adalah 0,546 yang
menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur (BPS, Bappenas & UNDP
2004). Data tersebut menunjukkan bahwa potensi perempuan di Indonesia belum
sepenuhnya diberdayakan dalam arus pembangunan ataupun dalam memutuskan
kebijakan, walaupun perbandingan populasinya hampir seimbang. Menurut data
BPS (2006), persentase penduduk Indonesia adalah 49,9 persen perempuan
banding 50,1 persen lelaki dari jumlah penduduk sekitar 219,205 juta jiwa. Rasio
jenis kelamin (sex ratio) penduduk Indonesia adalah 100,4 yang berarti dari 100
penduduk perempuan terdapat 101 penduduk lelaki. Menurut Moerpratomo
(1999), perempuan memiliki potensi yang dapat menjadi salah satu modal dasar
pembangunan dan dapat dikembangkan sebagai tenaga produktif. Tanpa
pengembangan secara berencana, jumlah yang besar itu dapat berubah menjadi
beban nasional.
Kiprah perempuan Indonesia dalam pembangunan tidaklah sedikit.
Kontribusi ekonomi mereka banyak diwujudkan dalam kegiatan di sektor informal
seperti menjadi pedagang, buruh, pekerja rumahan dan pekerja keluarga, demikian
halnya dengan kegiatan masyarakat pesisir yang menampakkan kerjasama antara
kaum lelaki dan perempuan. Menurut Sharma (2003) dan Kumar (2004),
perempuan nelayan memainkan peran penting di bidang perikanan dan dalam
memelihara struktur sosial dari rumahtangga dan komunitas mereka, tetapi
kontribusi ekonomi mereka tetap tidak dikenali dan peran mereka pun tidak
terdokumentasikan.
Peran perempuan pada masyarakat pesisir di Indonesia, khususnya pada
masyarakat nelayan, selain sebagai pengelola rumahtangga yang mengerjakan
pekerjaan domestik, juga sebagai mitra kerja suami dalam melakukan pekerjaan
produktif seperti pengumpul kerang atau nener, pengolah ikan hasil tangkapan
3
dan pedagang ikan. Waktu kerja nelayan tergantung jarak melautnya, sehingga
dapat dikategorikan dua macam nelayan yaitu yang melaut harian dan yang
melaut lebih dari satu hari bahkan hingga mingguan untuk satu kali perjalanan
(trip). Istri nelayan yang suaminya harus melaut dalam jangka waktu lama dapat
digolongkan sebagai kepala rumahtangga (KRT) perempuan sementara
(temporer). Mereka harus dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sendirian
dan akibatnya beban yang ditanggung pun semakin berat. KRT perempuan harus
bertanggungjawab terhadap urusan rumahtangga dan sekaligus bekerja mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, persentase penduduk perempuan Indonesia
yang menjadi kepala rumahtangga (KRT) adalah 12,44 persen dibandingkan 87,56
persen KRT lelaki (BPS 2003). Namun demikian, kaum perempuan di komunitas
pesisir jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan
perikanan karena dianggap bukan kepala keluarga dan juga bukan nelayan yang
sesungguhnya. Menurut Dwi et al. (2002), program pemerintah di wilayah pesisir
belum berhasil membangun kesetaraan perempuan pada sektor ekonomi, sosial
dan perencanaan pengelolaan sumberdaya pesisir.
Minimnya data kuantitatif yang terpilah jenis kelamin dalam dokumen atau
data statistik perikanan di Indonesia menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan
di dalam pembangunan perikanan pantai belum banyak terdokumentasikan.
Dalam rangka mencapai tujuan dari pembangunan perikanan berkelanjutan yaitu
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemanfaatan sumberdaya ikan (SDI)
secara berkelanjutan, diperlukan keterlibatan semua pemangku kepentingan di
bidang perikanan, termasuk kaum perempuan. Diperkirakan jika keterlibatan
kaum perempuan dalam pembangunan perikanan dan mutu sumberdaya manusia
(SDM) perempuan dapat lebih ditingkatkan maka akan dapat membantu
pencapaian tujuan pembangunan perikanan berkelanjutan dengan suatu asumsi
bahwa kemampuan SDM perempuan dan lelaki dapat saling melengkapi. Hal
inilah yang melatarbelakangi perlunya dilakukan penelitian ini.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam rangka Revitalisasi
Pertanian sebagaimana tercantum dalam Perpres No 7 Tahun 2005 yang terkait
4
dengan komunitas nelayan adalah (1) rendahnya kesejahteraan dan relatif
tingginya tingkat kemiskinan nelayan; (2) terbatasnya akses ke sumberdaya
produktif, terutama akses terhadap sumber permodalan yang diiringi dengan
rendahnya kualitas SDM; dan (3) penguasaan teknologi masih rendah. Arah
kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP) antara lain ditempuh melalui (1) peningkatan kemampuan
nelayan dan pembudidaya ikan serta penguatan lembaga pendukungnya; dan (2)
peningkatan produktivitas, produksi, daya saing dan nilai tambah produk
perikanan dengan tetap memperhatikan kesetaraan gender dan kepentingan
pembangunan berkelanjutan (RI 2005).
Terkait dengan kesetaraan gender, komitmen DKP dalam upaya
pemberdayaan perempuan sudah tampak dari adanya program Pemberdayaan
Perempuan Nelayan, yang merupakan bagian dari proyek Pemberdayaan
Masyarakat Pesisir. Program Pemberdayaan Perempuan Nelayan ini ditujukan
untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian sumberdaya perempuan dalam hal
teknis produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha dan pengambilan keputusan,
serta meningkatkan akses pada informasi dan sumberdaya perikanan (DKP
2005b).
Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan sudah dilakukan,
tetapi kondisi komunitas nelayan belum berubah, maka perlu adanya alternatif
dalam kebijakan pengembangannya. Selama ini kontribusi ekonomi kaum
perempuan pada komunitas nelayan belum dicatat dan belum ada pelibatan kaum
perempuan dalam pembangunan, oleh karena itu penelitian yang menyangkut
pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan perikanan pantai menjadi
penting untuk dilakukan mengingat Indonesia adalah negara maritim dan kondisi
kesejahteraan komunitas nelayannya masih rendah dan belum berubah, dengan
tetap memperhatikan pemanfaatan SDI yang berkelanjutan. PUG sudah tercantum
dalam arahan kebijakan pemerintah di bidang perikanan, dimana.definisi PUG
menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman PUG dalam Pembangunan
Nasional adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi
satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan
evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional.
5
Pertanyaan penelitian (research question) yang diajukan adalah
bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di
mana terdapat partisipasi yang setara antara lelaki dan perempuan selaku
pemangku kepentingan perikanan pantai dengan memperhatikan kebutuhan dan
potensi mereka yang berbeda? Pertanyaan rinci yang diajukan dalam penelitian
adalah sebagai berikut
(1) Dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi institusi teknis perikanan,
apakah perempuan sudah dilibatkan? Apakah pencatatan pelaku kegiatan di
bidang perikanan sudah terpilah berdasarkan jenis kelamin? Bagaimana lelaki
dan perempuan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di bidang
perikanan?
(2) Bagaimanakah sikap komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam
perikanan pantai?
(3) Bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kebijakan pemerintah?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun program pembangunan perikanan
pantai yang responsif gender yang memperhatikan kebutuhan dan potensi berbeda
dari pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan. Tujuan penelitian tersebut
akan dicapai melalui tujuan-tujuan antara yang meliputi kegiatan
(1) Melakukan analisis responsif gender dalam pelaksanaan program
pembangunan kelautan dan perikanan saat ini.
(2) Menganalisis sikap komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam
perikanan pantai.
(3) Menyusun akternatif program bagi pembangunan perikanan pantai yang
responsif gender.
1.3.2 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
(1) Ilmu pengetahuan, di dalam menambah wawasan kesetaraan gender dan
ekologi manusia.
6
(2) Pemerintah, baik tingkat daerah maupun pusat, sebagai pengambil keputusan
di bidang perikanan, berupa acuan dalam membuat kebijakan yang berkaitan
dengan pembangunan bidang perikanan pantai yang responsif gender.
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
(1) Pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan saat ini belum
responsif gender.
(2) Sikap pelaku perikanan pantai terhadap pembangunan perikanan pantai
berbasis kesetaraan gender memiliki hubungan dengan latar belakang sosial-
ekonomi-budaya, dengan anak hipotesis sebagai berikut
(a) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap
kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan tingkat pendidikan formal
terakhir.
(b) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap
kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan matapencaharian.
(c) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap
kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan status pekerja.
(d) Terdapat hubungan antara sikap pelaku perikanan pantai terhadap
kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan pendapatan.
1.5 Kerangka Pemikiran
Perhatian utama dari pengelolaan perikanan ditujukan pada hubungan antara
sumberdaya ikan (SDI) dengan kesejahteraan manusia dan konservasi sumberdaya
untuk digunakan oleh generasi mendatang (Pomeroy 1995). Menurut Charles
(2001), pembangunan perikanan yang berkelanjutan tergantung empat aspek yaitu
berkelanjutan dari aspek sosio-ekonomi, komunitas, kelembagaan dan ekologi.
Perikanan dipandang sebagai suatu sistem yang terintegrasi antara komponen
ekologi, biofisik, ekonomi, sosial dan budaya, setiap komponen tersebut saling
berkaitan dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, pembangunan perikanan
berkelanjutan tidak hanya bertujuan melindungi stok ikan saja, tetapi juga
meliputi pengelolaan semua aspek dari perikanan.
Menurut Simatauw et al. (2001), gender sangat berhubungan dengan
penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam, karena di dalamnya terkait
7
persoalan hubungan kuasa (kontrol) dan peran antara lelaki dan perempuan dalam
menjadikan alam sebagai sumber kehidupan. Menurut Depdagri dan BCEOM
(1998), keterlibatan pengguna atau pemangku kepentingan dalam proses
perencanaan merupakan hal kritis bagi keberhasilan rencana pengelolaan
perikanan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterlibatan dan peranserta
pengguna atau masyarakat umum dalam perencanaan pengelolaan perikanan
adalah merupakan suatu tantangan.
Kerangka pemikiran penelitian ini adalah sebagai berikut: Kondisi
perikanan pantai di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh kegiatan pemanfaatan
sumberdaya ikan dengan cara yang merusak, kerusakan dan pencemaran
lingkungan, tidak menyatunya kegiatan perlindungan dan pemanfaatan
sumberdaya alam serta kesejahteraan masyarakat pesisir yang masih rendah. Oleh
karena itu, perlu dilakukan pembangunan perikanan pantai yang bertujuan untuk
pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat pesisir. Keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan
perikanan pantai membutuhkan partisipasi dari pemangku kepentingan, baik lelaki
dan perempuan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimanakah program
pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dengan memperhatikan
kebutuhan dan potensi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan, agar
tercapai tujuan pembangunan perikanan pantai. Untuk menjawab pertanyaan
penelitian tersebut dilakukan analisis gender di tingkat kebijakan dan masyarakat
serta analisis sikap masyarakat terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai
untuk mengetahui kecenderungan pengambilan keputusan. Setelah itu, dilakukan
penyusunan strategi dan program pembangunan perikanan pantai yang responsif
gender serta skala prioritas pelaksanaan program. Pelaksanaan program-program
pembangunan perikanan pantai yang responsif gender ini diharapkan dapat
meningkatkan kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai, dengan
demikian tujuan pembangunan perikanan pantai yaitu pemanfaatan sumberdaya
alam yang berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat
tercapai. Kerangka pemikiran penelitian tampak pada Gambar 1.
8
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
1.6 Penelitian Yang Pernah Dilakukan
Penelitian tentang peran dan partisipasi perempuan nelayan serta yang
terkait gender di bidang perikanan laut dan pantai yang sudah pernah dilakukan
oleh berbagai peneliti, yaitu antara lain
Kondisi perikanan pantai saat ini
- Pemanfaatan SDA berkelanjutan - Peningkatan kesejahteraan masyarakat
Kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai
Kesejahteraan masyarakat rendah
- Kegiatan pemanfaatan yg merusak - Kerusakan & pencemaran lingkungan - Kegiatan perlindungan dan pemanfaatan yang tidak menyatu
Pembangunan perikanan pantai
Partisipasi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan
Analisis gender Analisis sikap
Analisis kebijakan Analisis relasi gender dalam
komunitas
Strategi dan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
Skala Likert
GAP
Moser
Prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
SWOT
AHP
= lingkup penelitian
9
(1) “Determinan-determinan Peranan Wanita Nelayan Dalam Meningkatkan
Kesejahteraan Rumahtangga. Studi Kasus Di Desa Haria, Kecamatan Saparua,
Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku” adalah judul tesis Demianus
Resusun, Fakultas Pascasarjana IPB, tahun 1985. Tujuan penelitiannya adalah
mengkaji pengaruh nilai sosial budaya, faktor pendidikan, bentuk dan sifat
usaha serta pola hubungan kerja nelayan yang diduga mempengaruhi status
dan peranan perempuan nelayan dalam berbagai aktivitas. Penelitiannya
bersifat deskriptif dan eksplanatoris, dengan wawancara dan kuesioner.
Hasilnya yaitu: (a) Peranan perempuan nelayan pada umumnya menonjolkan
kegiatan rumahtangga dan sosial dibanding lelaki. Perempuan dari golongan
rumahtangga menengah dan kurang mampu ternyata turut menyumbang
pendapatan tambahan bagi rumahtangga dibanding perempuan dari strata
mampu. (b) Peranan perempuan dalam pengambilan keputusan rumahtangga
lebih menonjol pada bidang pengeluaran kebutuhan pokok, sedangkan bidang
lain seperti produksi, pembentukan dan pembinaan rumahtangga serta sosial
berlaku tipe keputusan bersama dan setara.
(2) “Kehidupan Wanita Dalam Rumahtangga Miskin Di Desa Pantai. Studi Kasus
Kegiatan Sosial Ekonomi Istri Nelayan Di Desa Samudera Jaya Bekasi”
adalah judul tesis Masngudin, Program Pascasarjana UI, tahun 1997. Tujuan
penelitiannya adalah mengkaji bagaimana pengaruh kebudayaan kemiskinan
dan kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat Jawa dan Sunda yang
telah mantap terhadap posisi atau derajat istri nelayan dalam rumahtangganya.
Metode penelitiannya adalah pengamatan dan wawancara. Hasilnya adalah:
(a) Sosialisasi dalam hal pekerjaan yaitu ayah mengarahkan anak lelakinya
untuk menjadi nelayan, dan ibu mengarahkan anak perempuan untuk
mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan bekerja sebagai buruh tani; (b) Dari
pengerahan tenaga kerja anggota rumahtangga dalam menanggulangi
kebutuhannya, memperlihatkan adanya keseimbangan derajat atau posisi
suami istri atau lelaki perempuan dalam rumahtangga nelayan miskin. Namun
pengaruh kebudayaan yang telah mantap dalam masyarakat tetap
membedakan derajat atau posisi antara suami istri dalam keluarga.
10
(3) “Studi Rekayasa Model Pembinaan Kelompok Masyarakat Nelayan Miskin Di
Pedesaan Pantai Jawa Timur” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh A.
Qoid, H. Nursyam, P. Purwanti dan Soemarno dimuat dalam Jurnal Penelitian
Ilmu-ilmu Sosial Vol. 12 No. 1 Februari 2000. Tujuan penelitian adalah
melakukan rekayasa sosial dan kelembagaan. Metode penelitiannya adalah
kaji tindak, yaitu pengujian terhadap rancangan model. Hasilnya menunjukkan
bahwa strategi pola pembinaan kelompok nelayan miskin di perdesaan pantai
perlu dilakukan melalui penerapan lima unsur pembinaan: pertama, yaitu dua
unsur pokok yang mencakup industrialisasi perdesaan pantai dan inovasi
teknologi penangkapan, dan kedua adalah tiga unsur penunjang yaitu
pembenahan kelembagaan keuangan dan perkreditan bagi hasil, renovasi
sistem pemasaran komoditi perikanan dan pembinaan perilaku masyarakat
perdesaan pantai diarahkan kepada perilaku yang lebih produktif.
(4) “Gender, Work, And Household Survival In South Indian Fishing
Communities: A Preliminary Analysis” adalah judul penelitian yang dilakukan
oleh H.M. Hapke dimuat dalam The Professional Geographer Vol 53 No 3
tahun 2001. Tujuan penelitian adalah mempelajari saling mempengaruhi
antara gender, agama dan kasta, serta formasi strategi mempertahankan hidup
keluarga antara masyarakat nelayan Islam dan Kristen di India Selatan.
Metode yang digunakan adalah survei terhadap pola kerja lelaki dan
perempuan di dua desa. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana ideologi
gender dan pekerjaan tertentu terkait dengan komunitas agama dan kasta yang
berbeda akan mempengaruhi pengadopsian atau pemakaian strategi
rumahtangga individual yang berbeda pula.
(5) “Community Formation And Fisheries Conservation In Southern Thailand”
adalah judul penelitian oleh C. Johnson yang dimuat dalam Development And
Change Vol 32 tahun 2001. Penelitian ini mengeksplorasi teori komunitas,
milik umum (common property) dan aksi kolektif melalui pemikiran pada
pengelolaan dan pemagaran dari perikanan pantai di Thailand Selatan. Tujuan
penelitian adalah (a) mengeksplorasi insentif yang memotivasi penduduk desa
untuk mendukung dan menjalankan common property regime (CPR); (b)
mempertimbangkan isu kepemimpinan, mengidentifikasi alasan perorangan
11
berminat untuk berhubungan dengan perikanan yang mahal; dan (c) menguji
cara-cara dimana agama dan identitas suku membantu menempa
penggambaran komunitas yang dapat mendorong aksi kolektif. Hasilnya
menunjukkan bahwa usia, gender dan kelas masyarakat memiliki dampak
yang besar pada keinginan perorangan untuk ikutserta dalam kegiatan sosio-
politik penting ini. Dalam melakukannya, digambarkan cara yang dinamis
dimana kekuasaan, struktur dan sejarah hubungan sosial dapat membentuk
komunitas, milik umum dan aksi kolektif.
(6) “Peranan Istri Nelayan Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Rumahtangga
Nelayan Di Pedesaan Pantai Pondokdadap Malang Selatan” adalah judul
penelitian yang dilakukan oleh D. Arfiati, P. Purwanti dan A. Tumulyadi
dimuat dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) Vol. 13 No. 2 Agustus
2001. Tujuan penelitian adalah mempelajari seluruh waktu istri nelayan yang
tersedia dan jenis pekerjaan yang dilakukan wanita nelayan. Metode yang
digunakan adalah metode survei. Dari analisis diperoleh hasil: (a) Waktu yang
dialokasikan untuk kegiatan produksi rumahtangga (memasak, mencuci,
membersihkan rumah, mengasuh anak dan menyiapkan makan) dalam sehari
rataan sebesar 26,47 persen, untuk kegiatan pada pasar tenaga kerja (sebagai
buruh atau penjual) sebesar 46,26 persen, dan penggunaan waktu luang
sebesar 46,22 persen (bersantai, makan, tidur, ibadah dan kegiatan sosial); (b)
Keputusan untuk bekerja dan mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan
ditentukan oleh wanita itu sendiri dan suami memberikan dukungan.
(7) “Curahan Waktu Dan Produktivitas Kerja Wanita Nelayan Di Pedesaan Pantai
Kabupaten Pasuruan” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh P. Purwanti,
E.Y. Herawati dan A.R. Dani dari Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya
dimuat dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences) Vol. 16 No. 1
Februari 2004. Tujuan penelitian adalah menelaah seluruh waktu istri nelayan
yang tersedia serta produktivitas kerja wanita nelayan, mempelajari faktor-
faktor yang mempengaruhi curahan kerja wanita nelayan. Metode yang
digunakan adalah metode survei. Hasil penelitiannya adalah: (a) Waktu yang
dihabiskan oleh perempuan untuk kegiatan produksi pasar tenaga kerja adalah
4-7 jam, untuk kegiatan produksi rumahtangga adalah 4 jam, dan sisanya
12
sekitar 13-16 jam untuk penggunaan waktu luang; (b) Curahan kerja wanita
nelayan secara bersama-sama dipengaruhi oleh upah, banyaknya anak, umur,
pendidikan, dan status pekerjaan; (c) Wanita nelayan pengolah ikan kering
memiliki produktivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis usaha
lainnya; (d) Keputusan untuk bekerja adalah atas kemauan sendiri.
(8) “Women And Natural Resource Management: Illustrations From India And
Nepal” adalah judul penelitian yang dilakukan oleh B. Upadhyay dari
International Water Management Institute (IWMI) Gujarat dimuat dalam
Natural Resources Forum Vol. 29 tahun 2005. Tujuan penelitian adalah untuk
menggambarkan peran perempuan dalam pengelolaan sumberdaya alam
(SDA) dengan penekanan peran mereka dalam pengelolaan air, pertanian,
peternakan, kehutanan dan perikanan. Teknik yang digunakan adalah
partisipasi dengan menggunakan in-depth survey, focus group discussion dan
observasi–partisipasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perempuan
mengalahkan lelaki dalam hal keterlibatan mereka memanfaatkan dan
mengelola semua sektor yang diteliti. Namun, mereka menghadapi pengabaian
dan penolakan pembagian yang sama dari keuntungan yang diperoleh dari
SDA tersebut.
Hasil-hasil penelitian yang terdahulu menunjukkan bahwa kaum perempuan dari
komunitas nelayan banyak berperan di kegiatan domestik. Namun demikian,
perempuan dari keluarga nelayan miskin juga terlibat dalam berbagai kegiatan
produktif dalam rangka menambah pendapatan rumahtangga.
1.7 Novelty
Kebaruan (novelty) dari penelitian ini terletak pada
(1) Penggunaan kombinasi analisis gender (GAP dan Moser), analisis Strengths,
Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan pendekatan Analytical
Hierarchy Process (AHP).
(a) Gender Analysis Pathway (GAP) merupakan alat analisis
pengarusutamaan gender (PUG) di tingkat kebijakan dan program
pembangunan kelautan dan perikanan di Dinas Kelautan dan Perikanan
(Dislutkan) Kabupaten Subang;
13
(b) Analisis Moser merupakan alat analisis untuk perencanaan program
pembangunan dengan menganalisis masalah dan isu gender di tingkat
rumahtangga komunitas perikanan;
(c) Analisis SWOT untuk menyusun strategi pembangunan perikanan pantai
yang responsif gender.
(d) Pendekatan AHP untuk membuat urutan prioritas program pembangunan
perikanan pantai yang responsif gender.
Secara bersama-sama kombinasi analisis ini akan menjawab pertanyaan
tentang bagaimanakah program pembangunan perikanan pantai yang
mengintegrasikan aspirasi, pengalaman dan masalah lelaki dan perempuan
selaku pemangku kepentingan perikanan, dan selanjutnya akan menyusun
alternatif program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.
(2) Pengembangan konsep pembangunan perikanan pantai yang dilandaskan atas
prinsip kesetaraan gender yang melibatkan pemangku kepentingan, lelaki dan
perempuan.
(3) Obyek penelitian yang bersifat holistik mencakup masyarakat pesisir,
kelembagaan pemerintah daerah (Dislutkan, Badan Pemberdayaan
Masyarakat Desa/koordinator Forum Komunikasi, Konsultasi dan Koordinasi
Gender Kabupaten Subang) dan kelembagaan ekonomi (KUD Mina, Bakul
Ikan) di Kabupaten Subang.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan
Dalam Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 tercantum
bahwa salah satu permasalahan yang menyangkut pembangunan sumberdaya
manusia (SDM) yang dihadapi Indonesia adalah kesenjangan pencapaian
pembangunan antara lelaki dan perempuan (RI 2005). Kondisi perempuan
Indonesia dibandingkan dengan lelaki pada tahun 2002 berdasarkan Hasil Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002 (BPS 2003) antara lain adalah sebagai
berikut:
• Angka Partisipasi Sekolah penduduk (APS) usia sekolah 7-18 tahun adalah
80,67 persen perempuan banding 80,53 persen lelaki.
• Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf: 12,69 persen
perempuan banding 5,85 persen lelaki.
• Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk usia 15 tahun ke atas:
50,20 persen perempuan banding 85,60 persen lelaki.
• Persentase penduduk perempuan yang menjadi kepala rumahtangga (KRT):
12,44 persen perempuan banding 87,56 persen lelaki.
Alat ukur yang digunakan dalam pembangunan SDM adalah HDI (Human
Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan GDI (Gender-
related Development Index). HDI dan GDI mengukur pencapaian pembangunan
manusia dari dimensi dan indikator yang sama, tetapi GDI memperhitungkan
kesenjangan pencapaian antara lelaki dan perempuan. Selisih yang semakin kecil
antara angka GDI dan HDI menyatakan semakin kecilnya kesenjangan gender.
Dimensi dari pengukuran GDI dan HDI adalah kesehatan (indikatornya usia
harapan hidup), pendidikan (indikatornya melek aksara dan lamanya mengikuti
pendidikan formal) dan standar hidup layak (Pendapatan Domestik Bruto per
kapita). Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI Indonesia
adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108 dari 177 negara. Angka GDI
Indonesia adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara (UNDP
2006). Angka GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan adanya
kesenjangan gender.
15
Ukuran lain dalam pembangunan pemberdayaan gender, disamping GDI,
adalah GEM (Gender Empowerment Measured). Berdasarkan Indonesia Human
Development Report 2004, angka GEM untuk Indonesia adalah 0,546 yang
menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur. Dimensi dari pengukuran
GEM adalah partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang politik
(indikatornya partisipasi perempuan di parlemen), partisipasi dan pengambilan
keputusan di bidang ekonomi (indikatornya perempuan berposisi sebagai
legislator, pejabat tinggi, manajer, pekerja teknis dan profesional), dan kekuatan
terhadap sumberdaya ekonomi (indikatornya perempuan dalam angkatan kerja
dan rata-rata upah di sektor non-pertanian) (BPS-Bappenas-UNDP, 2004).
Menurut Johansson (2004), “While GDI shows women’s capabilities, GEM shows
womens opportunities in economic and political life”.
Pengertian gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara lelaki
dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat (KPP 2002a).
Jika pembagian peran lebih banyak merugikan salah satu pihak, maka akan timbul
masalah gender. Dalam ruang lingkup pembangunan, kaum perempuan banyak
yang belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi seperti dalam kegiatan
pembinaan untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) atau pengambilan
keputusan. Menurut KPP (2002b), kesenjangan gender merupakan hambatan
utama bagi peningkatan kualitas SDM, perwujudan hak asasi manusia,
pengembangan pembinaan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dengan
pemerataan. Semua ini merupakan kunci peningkatan posisi perempuan dalam
keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan dan pemanfaatan
serta penikmat hasil pembangunan.
Gender, menurut Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang
Pedoman Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, adalah
konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab lelaki dan
perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan
budaya masyarakat (RI 2000). Gender bukanlah kodrat dari ketentuan Tuhan.
Gender ini berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya lelaki dan
perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur,
ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada (KPP 2002b).
16
Peran terkait dengan status yang keduanya merupakan konsep pokok dalam
struktur sosial. Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok dan
dalam masyarakat (Popenoe 1989) atau sekumpulan hak dan kewajiban (Sunarto
2004). Status dibagi menjadi dua yaitu status yang tergariskan (ascribed status)
dan status yang diperoleh dengan usaha sengaja (achieved status). Status
tergariskan adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dasar keturunan
atau yang dibawa sejak lahir, seperti jenis kelamin, tingkat umur dan kelahiran
dalam kelompok khusus; sedangkan status yang diperoleh adalah status yang
diberikan kepada seseorang atas dari kemampuan atau prestasi (Koentjaraningrat
1986; Abdulsyani 1994; Sunarto 2004).
Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang terkait dengan
kedudukannya (Popenoe 1989; Abdulsyani 1994) atau suatu perbuatan seseorang
dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai
dengan status yang dimilikinya (Abdulsyani 1994). Peran adalah aspek dinamis
dari status (Abdulsyani 1994; Sunarto 2004). Berkembangnya suatu masyarakat
dan lancarnya roda kehidupan masyarakat karena anggota masyarakat tidak
bertindak melampaui batas-batas peranannya; sebaliknya, kehidupan masyarakat
akan rusak jika anggota masyarakat berbuat melampaui atas peranannya atau tidak
menyadari akan peranannya (Kartasapoetra dan Kreimers 1987). Peran gender
adalah peran sosial yang dihubungkan dengan keadaan lelaki atau perempuan.
Peran gender yang diharapkan ini diajarkan dan diperkuat melalui sosialisasi sejak
lahir (Popenoe 1989). Dalam sosialisasi gender, agen penting yang berperan
adalah keluarga, kelompok bermain (teman bergaul), sekolah dan media massa
(Popenoe 1989; Sunarto 2004).
Berbagai pembedaan peran dan kedudukan (status) antara lelaki dan
perempuan baik langsung berupa perlakuan atau sikap maupun tidak langsung
berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat,
norma ataupun struktur masyarakat. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat
diskriminasi gender itu (KPP 2002c; Fakih 2004) meliputi
(1) Marjinalisasi perempuan yang mendeskripsikan rendahnya status dan akses serta penguasaan seseorang terhadap sumberdaya ekonomi dan politik. Contoh: tidak adanya hak waris untuk kaum perempuan di beberapa suku di Indonesia.
17
(2) Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau utama dibanding lainnya. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu emosional sehingga perempuan tidak dapat memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
(3) Pandangan stereotipi (pelabelan) yaitu citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum melahirkan ketidakadilan. Contoh: anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami, sehingga pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
(4) Kekerasan yang merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu di lingkungan rumahtangga atau tempat umum, juga dalam masyarakat. Contoh: pelecehan seksual yang bersifat non fisik hingga penyiksaan yang bersifat fisik.
(5) Beban kerja yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Hampir 90 persen pekerjaan dalam rumahtangga dikerjakan oleh perempuan, sehingga bagi perempuan yang bekerja akan memikul beban kerja ganda, di rumah dan di tempat kerja. Pekerjaan domestik adalah jenis “pekerjaan perempuan” dan dikategorikan “pekerjaan bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara.
Istilah gender terkait dengan istilah feminisme. Feminisme adalah suatu
kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan, di tempat kerja
dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk
mengubah keadaan tersebut (Bhasin dan Khan 1995; Fakih 2004). Fakih (2004)
membagi aliran feminisme menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran
fungsionalisme dan aliran konflik, sebagai berikut
(1) Aliran fungsionalisme atau fungsionalisme struktural. Teori ini meyakini
bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang
saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus-menerus mencari
keseimbangan dan harmoni. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai
tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Teori ini mempengaruhi
pemikiran feminisme liberal dan pengaruh feminisme liberal terwujud dalam
program Women In Development (WID). Dasar pemikiran feminisme liberal
(Umar 2001; Fakih 2004; lihat Ritzer dan Goodman 2003) adalah semua
manusia, lelaki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya
tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok ini
18
menghendaki agar perempuan terintegrasikan secara total di dalam semua
peran, sehingga tidak ada kelompok gender yang lebih dominan.
(2) Aliran konflik. Menurut Fakih (2004), teori konflik meyakini bahwa setiap
kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan
pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan lelaki dan perempuan.
Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan mengubah posisi
dan hubungan. Teori ini dianut oleh feminisme marxis, feminisme sosialis dan
feminisme radikal. Feminisme marxis memandang bahwa penindasan
perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi.
Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme,
dan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Feminisme sosialis
berusaha memerangi konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur
dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Feminisme sosialis
(Ritzer dan Goodman 2003) mendeskripsikan penindasan gender sebagai
sesuatu yang muncul dari usaha sistem patriarki dan kapitalis untuk
mengontrol produksi dan reproduksi sosial. Menurut Umar (2001), kelompok
feminisme radikal memandang perempuan tidak harus bergantung kepada
lelaki. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional bahwa lelaki adalah
masalah bagi perempuan.
Dalam rangka menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi kepada kaum
perempuan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi pertama yang menyangkut
kesetaraan dan keadilan gender yaitu Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms
Of Discrimination Against Women, CEDAW), selanjutnya Inpres No. 9 Tahun
2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional diterbitkan dalam rangka
mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 1984 tersebut dan Beijing Platform for
Action (BPFA). BPFA merupakan hasil dari Konperensi Internasional Perempuan
Keempat yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1995 di Beijing. Salah satu
hasil dari BPFA adalah pentingnya untuk mendisain, menerapkan dan memantau
kebijakan dan program pembangunan yang sensitif gender pada semua tingkatan
yang akan membantu pemberdayaan dan kemajuan perempuan (KPP 2002a;
19
Handayani dan Sugiarti 2002). Saat ini yang menjadi landasan pokok untuk
meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan adalah
Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.
Belenggu budaya patriarkhi telah mengakibatkan perempuan tidak
menyadari proses diskriminasi dan subordinasi yang selama ini terjadi di
masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses pewacanaan konsep
kesetaraan dan keadilan gender pada semua warga, baik lelaki dan perempuan
(Dwi et al. 2002; Subhan 2002). Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000,
kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lelaki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan;
sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap lelaki
dan perempuan (RI 2000).
Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender maka perlu
dikembangkan kebijakan pembangunan yang responsif gender, yaitu kebijakan
yang memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan
lelaki dan perempuan dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan
struktural dalam mencapai kesetaraan. Sesuai amanat Inpres No. 9 Tahun 2000
maka pembangunan di semua sektor perlu mengintegrasikan pendekatan gender
dalam kebijakan dan programnya dengan melalui strategi Pengarusutamaan
Gender (PUG). PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional. Tujuan PUG adalah untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara (RI 2000). Dengan demikian, melalui strategi PUG dapat
dikembangkan kebijakan dan program yang responsif gender. Untuk
pembangunan di daerah, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan
No. 132 (Kepmendagri No. 132 Tahun 2003) tentang Pedoman Umum
20
Pelaksanaan PUG Dalam Pembangunan Di Daerah (Depdagri 2003; Depdagri
2004). Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 mengatur tentang pembentukan
organisasi pelaksanaan PUG yaitu koordinator pelaksana, kelompok kerja dan
focal point PUG serta pembiayaan untuk pelaksanaan PUG sebesar lima persen
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah masing-
masing.
Faktor empiris menunjukkan masih adanya kelemahan dalam perencanaan
pembangunan yang belum mengakomodasi kepentingan dan aspirasi perempuan
secara seimbang sehingga mengakibatkan potensi, posisi, peran, dan kedudukan
perempuan sering diabaikan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasil
pembangunan (KPP 2002b). Penyebab perempuan terisolir dari proses
pembangunan adalah karena: (1) beban ganda dimana perempuan melakukan
pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah; dan (2) kebijakan
pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap
sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang
lebih luas (Krisnawaty 1993). Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan
pembangunan berperspektif gender yang merupakan suatu upaya untuk
mentransformasikan PUG kedalam kegiatan nyata institusi sektor. Intinya adalah
mengintegrasikan permasalahan diskriminasi terhadap lelaki dan perempuan
kedalam seluruh komponen perencanaan pembangunan yaitu kebijakan, program
dan kegiatan, sehingga kepentingan, aspirasi dan kebutuhan peningkatan peran
dan partisipasi perempuan dan lelaki dalam pembangunan dapat diakomodasikan
secara proporsional kedalam kepentingan dan tujuan pembangunan pada institusi
sektor (KPP 2002d). Hal ini sesuai dengan pendapat Moser (1993), “The goal of
gender planning is the emancipation of women from their subordination, and their
achievement of equality, equity and empowerment”.
Perencana kebijakan menggunakan analisis gender untuk menilai dampak
kebijakan bagi perempuan dan lelaki atas program dan atau peraturan yang
diusulkan dan dilaksanakan. Analisis gender mengakui bahwa realitas kehidupan
perempuan dan lelaki adalah berbeda, sedangkan kesempatan yang sama tidak
harus berarti menghasilkan output yang sama (KPP 2002b; Handayani dan
Sugiarti 2002). Analisis gender mengidentifikasi isu gender yang disebabkan oleh
adanya perbedaan antara lelaki dan perempuan dalam:
21
(1) memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya; (2) berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pada pengambilan
keputusan; dan (3) memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari
kebijakan, program maupun kegiatan pembangunan (KPP 2002d).
Metode analisis gender yang disebut dalam Kepmendagri No. 132 Tahun
2003 adalah Gender Analysis Pathway (GAP). GAP ini digunakan untuk
membantu perencana dalam melakukan PUG dalam perencanaan kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan (Depdagri 2003). GAP adalah suatu metode
analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses,
kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh lelaki dan perempuan dalam
program pembangunan (KPP 2003).
Metode analisis gender lainnya adalah Model Moser atau Teknik Analisis
Moser yang dibuat oleh Caroline O.N. Moser. Model Moser adalah suatu teknik
analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi,
merumuskan usulan dalam tingkat kebijakan, program dan kegiatan yang lebih
peka gender, dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan,
identifikasi terhadap peranan gender perempuan (produktif, reproduktif dan sosial
kemasyarakatan) dan identifikasi kebutuhan praktis-strategis gender (Moser 1993;
Handayani dan Sugiarti 2002; KPP 2003).
Regulasi di Indonesia sudah banyak yang mengarusutamakan gender dalam
pembangunan, namun regulasi saja tidak cukup, diperlukan komitmen untuk
pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bemmelen (1995) yang
menyatakan bahwa persamaan hak di depan hukum jelas tidak menjamin
kesetaraan de facto. Oleh karena itu, menurut Aguilar dan Castaneda (2001),
untuk mengejar tujuan pembangunan yang berkelanjutan, tiap orang mempunyai
tanggungjawab dan kewajiban, dengan melakukan bersama semua tindakan yang
akan memungkinkan realisasi ubahan yang diusulkan. Jika orang yang
berpartisipasi berada pada posisi yang subordinasi dan tertindas (dipandang dari
sudut gender, usia, etnis, kelas atau kondisi sosial-ekonomi, agama, politik), hal
ini akan sulit untuk mencapai persetujuan minimum yang dibutuhkan untuk
membawa mereka mengakui satu sama lain sebagai setara yaitu sebagai orang
dengan kewajiban yang akan dibagi dan yang dapat dipercayai.
22
Program pembangunan secara formal seringkali dikuasai oleh lelaki dan
karena sumberdaya yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat hampir
selalu dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan
politik yang lebih kuat maka adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan
dalam pengambilan keputusan sering diabaikan. Hal ini terjadi karena perempuan
memang jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat
formal. Pelibatan perempuan ke dalam wacana yang bersifat pengaturan
sumberdaya kolektif di tingkat komunitas (lokal) masih belum banyak dibahas
dalam pendekatan pembangunan. Padahal, isu pengaturan sumberdaya di tingkat
komunitas merupakan isu penting yang terkait langsung dengan kehidupan
perempuan miskin (Anonim, 2003).
Menurut Soetrisno (1993), kemiskinan dari sudut pandang perempuan
berarti tidak hanya kekurangan ekonomis, tetapi juga penderitaan fisik maupun
pengorbanan dari kehormatannya sebagai perempuan seperti menjual dirinya
sebagai perempuan. Menurut Hubeis (2004)
“Kombinasi kendala ketiadaan akses pada unsur ekonomi, sosial, dan kekuasaan yang dihadapi oleh perempuan (miskin) menyebabkan terjadinya peningkatan feminization of poverty. Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan telah meningkat menjadi 50 persen dibanding dengan 30 persen lelaki. Lebih dari 70 persen dari 1.300 juta orang miskin saat kini adalah perempuan. Untuk kasus Indonesia, keadaan tersebut tak jauh beda.”
Rumahtangga dalam isu gender dan kemiskinan merupakan salah satu sumber
diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Ketidaksetaraan di dalam
alokasi sumberdaya dalam rumahtangga memperlihatkan lelaki dan perempuan
mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda (Anonim 2003).
Pada tingkat dunia sudah ada satu komitmen internasional yang terkait
dengan persoalan perempuan, kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan yaitu
The Millennium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan hasil komitmen
The Millenium Declaration, yaitu suatu konsensus global dari 189 negara anggota
PBB (termasuk Indonesia) yang lahir pada tahun 2000. Delapan komitmen kunci
yang dikemukakan dalam MDGs (UNIFEM and BMZ 2004) sebagai berikut
(1) Eradicate extreme poverty and hunger (2) Achieve universal primary education (3) Promote gender equality and women’s empowerment (4) Reduce child mortality
23
(5) Improve maternal health (6) Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases (7) Ensure environmental sustainability (8) Develop a global partnership for development.
Dari delapan komitmen MDGs, enam komitmen pertama berhubungan langsung
dengan kondisi dan kebutuhan perempuan yang perlu ditangani serta memberikan
berbagai bentuk partisipasi kepada perempuan untuk berkiprah dalam
pembangunan, sedangkan dua komitmen lainnya terkait dengan pembangunan
berkelanjutan. Menurut OECD (1996), perempuan termasuk pelaku kunci dalam
pengelolaan lingkungan yang terkait dengan peran mereka yang menonjol sebagai
pengguna utama sumberdaya untuk keperluan rumahtangga mereka. Penguatan
posisi perempuan melalui intervensi pembangunan dapat membawa kemajuan
pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya mempertinggi
harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
2.2 Pembangunan Perikanan Pantai
2.2.1 Kebijakan dan program pembangunan perikanan Indonesia
Dalam Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009, salah satu
sasaran pokok dari Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat Indonesia adalah
untuk menurunkan jumlah penduduk miskin melalui upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia; terkait dengan sasaran pokok tersebut terdapat
prioritas untuk Revitalisasi Pertanian. Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia
dalam rangka Revitalisasi Pertanian yang terkait dengan komunitas nelayan
adalah (1) rendahnya kesejahteraan dan relatif tingginya tingkat kemiskinan
nelayan; (2) terbatasnya akses ke sumberdaya produktif, terutama akses terhadap
sumber permodalan yang diiringi dengan rendahnya kualitas SDM; (3)
penguasaan teknologi masih rendah; dan (4) belum optimalnya pengelolaan
sumberdaya perikanan. Arah kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) ditempuh dengan tiga langkah pokok
yaitu (1) peningkatan kemampuan nelayan dan pembudidaya ikan serta penguatan
lembaga pendukungnya; (2) pengamanan ketahanan pangan (termasuk
ketersediaan ikan dari dalam negeri); dan (3) peningkatan produktivitas, produksi,
daya saing dan nilai tambah produk perikanan dengan tetap memperhatikan
kesetaraan gender dan kepentingan pembangunan berkelanjutan (RI 2005).
24
Program pembangunan yang terkait dengan bidang perikanan dalam Perpres
No. 7 Tahun 2005 yaitu Program Pengembangan Sumberdaya Perikanan. Program
ini bertujuan untuk mengelola, mengembangkan, dan memanfaatkan sumberdaya
perikanan secara optimal, adil, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan
devisa, nilai tambah hasil perikanan, serta pendapatan nelayan dan masyarakat
pesisir lainnya. Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini meliputi unsur
berikut.
(1) Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir. (2) Pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perikanan. (3) Peningkatan usaha perikanan skala kecil. (4) Pengendalian dan peningkatan pelayanan perizinan usaha. (5) Penyusunan kebijakan dan perencanaan pengelolaan perikanan
untuk setiap kawasan. (6) Peningkatan pemasaran, standar mutu, dan nilai tambah produk
perikanan. (7) Penguatan kelembagaan dan tata laksana kelembagaan. (8) Pengembangan iptek (ilmu pengetahuan) dan peningkatan riset
perikanan. (9) Pengembangan sistem data, statistik dan informasi perikanan. (10) Peningkatan sumberdaya manusia (nelayan, penyuluh dan
pendamping perikanan). (11) Peningkatan profesionalisme perencanaan dan pengawasan
pembangunan perikanan (RI 2005).
Institusi pemerintah yang berwenang untuk mengelola sektor kelautan dan
perikanan adalah Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Pada saat ini upaya
pemberdayaan perempuan yang sudah dilakukan oleh DKP adalah program
Pemberdayaan Perempuan Pesisir yang merupakan salah satu kelompok sasaran
dari Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, yang merupakan bagian dari
proyek Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir. Program ini berada di
bawah wewenang Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Program ini ditujukan untuk
meningkatkan keterampilan dan keahlian sumberdaya wanita pesisir dalam hal
teknis produksi, kewirausahaan, pengelolaan usaha dan pengambilan keputusan,
serta meningkatkan akses pada informasi dan sumberdaya perikanan (DKP,
2005b).
2.2.2 Peran perempuan dalam komunitas pesisir
Wilayah pesisir ialah jalur saling pengaruh antara darat dan laut,
mempunyai ciri geosfer khusus; ke arah darat dibatasi oleh pengaruh sifat fisik
25
laut dan sosial ekonomi bahari, sedangkan ke arah laut dibatasi oleh proses serta
akibat kegiatan manusia terhadap lingkungan darat (Sumawidjaya et al. 2000).
Dengan demikian, masyarakat yang hidup dan menetap di wilayah pesisir disebut
masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir umumnya mencari nafkah atau bekerja di
bidang perikanan, baik sebagai nelayan, pembudidaya ikan, pengolah hasil
perikanan atau pedagang ikan.
Menurut Satria (2002), untuk membangun masyarakat pesisir diperlukan
pemahaman sosiologis tentang masyarakat pesisir. Kajian sosiologis masyarakat
pesisir bersumber pada aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya
perikanan. Menurut Kusumastanto (2003), sifat dan karakteristik masyarakat
pesisir dipengaruhi oleh aspek sosial budaya (seperti pendidikan dan mentalitas)
dan jenis kegiatan usaha (seperti perikanan tangkap, perikanan tambak dan
pengolahan hasil perikanan).
Komunitas nelayan mempunyai jam kerja yang tidak tetap. Banyak nelayan
yang pergi melaut pada malam hari, bahkan ada yang melaut lebih dari satu hari
dan jauh dari rumah atau keluarga, dengan demikian bila sudah berada di laut
nelayan tidak dapat melakukan pekerjaan lainnya. Akibatnya waktu untuk
melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan di darat pun relatif kurang,
komunikasi kurang dan informasi yang diterimanya pun kurang. Bagi mereka pun
akan sulit untuk memisahkan waktu untuk berpartisipasi dalam program
penyuluhan yang berhubungan dengan perikanan. Akibat dari aktivitas nelayan
yang sedemikian rupa maka peran mereka sebagai kepala rumahtangga atau
kepala keluarga menjadi minim dan kegiatan sosial kemasyarakatan di darat pada
umumnya dilakukan oleh pihak perempuan atau istri. Menurut Satria (2002),
akibat sedikitnya waktu dan kesempatan nelayan untuk berinteraksi dengan
masyarakat lain, maka posisi sosial nelayan dapat dikategorikan rendah. Hal ini
menyebabkan ketiadaan kemampuan nelayan untuk mempengaruhi kebijakan
publik.
Perempuan nelayan adalah perempuan yang bergerak di bidang perikanan,
baik sebagai bakul ikan, pengolah hasil perikanan atau pengumpul biota laut, yang
umumnya suami atau ayahnya berprofesi sebagai nelayan (DKP 2001). Peran
perempuan nelayan (Aguilar and Castaneda 2001; Sharma 2003; Murdiyanto
2004) adalah melalui kegiatan penangkapan langsung (mengumpulkan ikan dari
26
terumbu karang atau menggunakan jaring tarik dari pantai), pengolahan,
perdagangan dan pendistribusian ikan kepada sanak famili yang merupakan
bentuk tanggungjawab kepada komunitas.
Berdasarkan laporan pengamatan Ikhsan (2003) terhadap kegiatan
perempuan di bidang perikanan di Pulau Jawa diketahui bahwa ada beberapa
tingkatan peran perempuan di bidang perikanan sebagai berikut.
(1) Peran sebagai istri yang mengurus anak dan suami, termasuk membantu membersihkan jaring, menyulam jaring, mengelola hasil tangkapan agar siap dipasarkan sampai dengan menjual hasil tangkapan ikan oleh suami.
(2) Sebagai pekerja hasil laut rumahan (seperti: fillet atau pemotong ikan, picker atau pengupas kulit rajungan, kerang, keong dan udang, perebus kerang atau keong).
(3) Sebagai pekerja pabrik perikanan (seperti: fillet, pembekuan ikan atau udang, pengepak dan pemberi label).
(4) Menjadi bakul yang memasok hasil tangkapan nelayan atau panen ikan kepada para supplier atau pabrik.
(5) Menjadi bendahara (pemegang keuangan) dari perusahaan keluarga (supplier).
(6) Menjadi Supplier yang memasok bahan baku ke pabrik. (7) Menjadi Quality Control pabrik. (8) Menjadi eksportir perikanan ke mancanegara.
Menurut Sharma (2003), peran perempuan di bidang perikanan di Asia ada
empat yaitu: (1) sebagai pekerja di bidang perikanan (dibayar atau tidak dibayar);
(2) sebagai pekerja di pemrosesan ikan (penuh atau paro-waktu); (3) orang yang
bertanggungjawab terhadap keluarga dan komunitas; dan (4) sebagai pekerja di
luar bidang perikanan (seperti pedagang warung). Pekerjaan yang dilakukan
perempuan ini jarang dianggap sebagai pekerjaan produktif, umumnya dianggap
sebagai perpanjangan dari pekerjaan domestik. Nilai sosial rendah dilekatkan
kepada pekerjaan domestik dan komunitas yang dilakukan oleh perempuan.
Dalam hal partisipasi perempuan nelayan dalam proses pengambilan
keputusan, menurut Kumar (2004), perempuan nelayan umumnya tidak
terorganisir dengan baik dan kurang efektif sebagai kekuatan politik dibandingkan
dengan lelaki. Ketika perempuan diberi tempat dalam suatu organisasi dan proses
pengambilan keputusan, maka mereka akan membawa suatu perspektif yang
meletakkan peningkatan kualitas hidup dan matapencaharian berbasis perikanan
sebagai suatu hal yang mendasar.
27
Dalam dokumen FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No.
10 Increasing the contribution of small-scale fisheries to poverty alleviation and
food security (2005) ditegaskan bahwa untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan suatu sistem pengelolaan sumberdaya perikanan perlu
diadopsi perspektif kesetaraan gender dan pengakuan terhadap posisi perempuan
dalam komunitas dan dalam sektor perikanan. Menurut panduan FAO, “How
small-scale fishers are defined in legislation is important, and has potentially
significant gender impacts. For example, processing and marketing activities
where typically women are more active, in addition to capture fisheries”.
2.2.3 Perikanan pantai
Perikanan pantai (coastal fishery) yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di perairan tepi laut, dekat atau sekitar
pantai. Menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
“Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan atau mengawetkannya.”;
sedangkan definisi perikanan (UU No. 31 Tahun 2004) adalah sebagai berikut:
“semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.”.
Perikanan pantai dikenal juga sebagai perikanan rakyat dan subsisten atau
perikanan artisanal (berskala kecil). Perikanan pantai meliputi hampir lebih dari
90 persen nelayan Indonesia. Lebih dari 10 juta nelayan kecil dapat mendaratkan
20 juta ton ikan per tahun (Murdiyanto 2004). Sebagian besar nelayan artisanal
tersebut tergolong miskin. Karakteristik nelayan kecil (small-scale fishermen)
adalah sebagai berikut: memiliki kapasitas teknologi yang masih sederhana,
jumlah armada yang sedikit, biasanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari (subsisten) jadi bukan untuk diinvestasikan kembali untuk
pengembangan skala usaha, cenderung menggunakan sistem pembagian hasil
penjualan tangkapan ikan antara pemilik perahu dan nelayan yang melaut.
Komunitas nelayan kecil sangat rentan secara ekonomi terhadap timbulnya
28
ketidakpastian yang berkaitan dengan musim-musim produksi (Charles 2001;
Satria et al. 2002; DKP 2005c).
Bagi mayoritas rumahtangga di negara berkembang yang terlibat dalam
kegiatan perikanan (nelayan penuh atau temporer), kegiatan menangkap ikan
tidak mendatangkan penghasilan tinggi tetapi dapat menolong mereka untuk
mempertahankan hidup dan mencegah mereka jatuh ke situasi yang lebih buruk.
Nelayan miskin sangat mengandalkan sektor pascapanen dimana perempuan
merupakan mayoritas pekerjanya. Sektor pascapanen memberikan penghasilan
yang nyata dan peluang kerja bagi perempuan yang memiliki keterbatasan pilihan,
khususnya di lokasi perdesaan yang terpencil. Sektor pascapanen perikanan
menawarkan kontribusi yang sangat potensial untuk pengentasan kemiskinan
(FAO 2005).
The FAO’s Advisory Committee on Fishery Research (ACFR) Working
Group on Small-Scale Fisheries (FAO 2005) memberikan satu pernyataan tentang
visi perikanan skala kecil sebagai berikut
The vision for small-scale fisheries is one in which their contribution to sustainable development is fully realized. It is a vision where: • they are not marginalized and their contribution to national
economies and food security is recognized, valued and enhanced; • fishers, fish workers and other stakeholders have the ability to
participate in decision-making, are empowered to do so, and have increased capability and human capacity, thereby achieving dignity and respect; and
• poverty and food insecurity do not persist; and where the social, economic and ecological systems are managed in an integrated and sustainable manner, thereby reducing conflict.
Menurut Kusnadi (2002, 2004), faktor kelangkaan sumberdaya perikanan
dan kemiskinan memiliki kontribusi dalam peningkatan intensitas konflik. Untuk
meminimalisasi konflik tersebut diperlukan peraturan daerah tentang pengelolaan
sumberdaya perikanan lokal dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri.
Untuk membantu nelayan pantai yang tergolong nelayan kecil ini, maka
dilakukan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Tujuan dari pelaksanaan
pengelolaan sumberdaya perikanan pantai (Murdiyanto 2004) adalah untuk:
(1) mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan dan kelanjutan kegiatan produksi ikan melalui pemanfaatan sumberdaya pantai sebagai matapencaharian masyarakat pantai yang bersangkutan,
29
(2) meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan pantai, dan
(3) menjamin upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri terhadap sumber makanan dari perikanan pantai.
Kemitraan (co-management) antara pemangku kepentingan utama
(pemerintah dan masyarakat) dalam pengelolaan wilayah pesisir merupakan hal
yang penting untuk mencapai pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan.
Tanpa dukungan kebijakan dan peraturan pemerintah, sistem pengelolaan yang
dihasilkan tidak akan memiliki kekuatan hukum (Savitri dan Khazali 1999).
Pengelolaan perikanan (fisheries management) merupakan upaya penting
dalam menjaga kesinambungan sumberdaya. Hal ini dimaksudkan agar generasi
sekarang dan generasi mendatang dapat menikmati kekayaan sumberdaya
perikanan (Satria, 2002). Menurut Fauzi dan Anna (2005), apabila kaidah-kaidah
pembangunan berkelanjutan dan holistik tidak dipenuhi, pembangunan perikanan
akan mengarah ke degradasi lingkungan, eksploitasi-lebih dan praktik perikanan
yang destruktif. Hal ini sesuai dengan definisi pengelolaan perikanan (UU No. 31
Tahun 2004) yaitu:
“semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”.
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) harus
ada pemaduan dan keseimbangan antara pembangunan dan konservasi alam,
karena dengan mengkonservasi alam maka pembangunan dapat berkelanjutan
(KLH dan UNDP 2000). Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, “Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup,
termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan” (RI 1997).
Menurut Charles (2001), konsep pembangunan perikanan yang
berkelanjutan mengandung empat aspek berikut.
30
(1) Ecological sustainability (ekologi berkelanjutan) memberi perhatian utama terhadap memelihara stok atau biomassa sehingga tidak melewati daya dukungnya dan meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem.
(2) Socioeconomic sustainability (sosio-ekonomi berkelanjutan) mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan berkelanjutan kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu.
(3) Community sustainability (komunitas berkelanjutan) mengandung makna bahwa kesejahteraan dari sisi masyarakat harus menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
(4) Institutional sustainability (kelembagaan berkelanjutan) menyangkut pemeliharaan aspek finansial, administrasi dan organisasi yang sehat yang merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan lainnya.
Dalam konsep sistem perikanan berkelanjutan (sustainable fishery system),
perikanan adalah suatu jaringan dari komponen ekologi, biofisik, ekonomi, sosial
dan budaya yang saling terkait dan berinteraksi (Charles 2001). Kerangka yang
menggambarkan interaksi dari empat aspek tersebut dilukiskan pada Gambar 2.
Gambar 2 Kerangka Sistem Perikanan Berkelanjutan (Charles 2001)
Sistem perikanan berkelanjutan (sustainable fishery system) merupakan
konsep baru sebagai pengganti konsep lama yaitu hasil yang berkelanjutan
(sustainable yield). Fokus dari sustainable fishery system adalah sistem perikanan
yang memperhatikan ekosistem dan masyarakat; sedangkan sustainable yield
berfokus pada output fisik yaitu hasil perolehan ikan yang berkelanjutan (Charles
2001). Perubahan pola pikir ini terjadi karena penghitungan fisik dari stok ikan
saja dianggap tidak menjamin hasil tangkapan yang berkelanjutan karena
Ecological sustainability
Socioeconomic sustainability
Community sustainability
Institusional sustainability
31
perikanan berkelanjutan banyak tergantung kepada perilaku dan pengambilan
keputusan dari pemangku kepentingan di bidang perikanan.
2.3 Sikap dan Pengambilan Keputusan
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pengambilan keputusan dilandaskan
intuisi, padahal dengan intuisi banyak kemungkinan untuk keliru. Untuk
mengatasinya kemudian dikembangkan sistematika baru yaitu analisis keputusan
yang diharapkan dapat memperoleh keputusan yang berlandaskan logika. Tiga
aspek yang berperan dalam analisis keputusan adalah kecerdasan, persepsi dan
falsafah (Marimin 2004).
Pengambilan keputusan adalah suatu proses kognitif yang mengarahkan ke
pemilihan suatu aksi diantara berbagai pilihan. Proses kognitif rutin seperti
ingatan, pemikiran atau pertimbangan dan formasi konsep pada diri individu
memainkan peranan penting dalam pengambilan keputusan (TIP 2006).
Tindakan pengambilan keputusan seseorang akan dilandasi oleh motif orang
tersebut. Menurut Gerungan (2004), motif adalah semua penggerak, alasan atau
dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Motif
memberikan tujuan dan arah kepada tingkah laku manusia. Upaya pendidikan
motif diarahkan untuk membentuk kerangka pengertian dan kesadaran pada
seseorang yang dapat merangsangnya untuk menggunakan potensi diri secara
konstruktif dan produktif bagi seluruh masyarakat.
Motivasi seseorang terkait dengan sikap orang tersebut terhadap suatu
obyek. Menurut Gerungan (2004), sikap senantiasa terarah kepada suatu obyek,
jadi tidak ada sikap tanpa ada obyeknya. Sikap terhadap sesuatu obyek, gagasan
atau orang tertentu adalah suatu sistem yang berlangsung terus yang mengandung
komponen kognitif, komponen afektif dan kecenderungan untuk bertindak.
Komponen kognitif menyangkut kepercayaan atau keyakinan terhadap obyek
sikap; komponen afektif menyangkut perasaan emosional yang terkait dengan
keyakinan tersebut; dan kecenderungan untuk bertindak adalah kesiapan untuk
merespon dengan cara yang tertentu. (Freedman et al. 1978; Azwar 1988).
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh
individu. Dalam interaksi sosial, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu
terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang
32
lain yang dianggap penting, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga
agama serta faktor emosi dalam diri individu (seperti prasangka) (Azwar 1988).
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti ikut sertanya masyarakat
dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan pembangunan, dan ikut serta
memanfaatkan dan menikmati hasil pembangunan. Tanpa partisipasi masyarakat
dalam memanfaatkan (hasil) pembangunan berarti tingkat hidup atau tingkat
kesejahteraan masyarakat tidak naik. Keberhasilan pembangunan nasional
ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam menyumbangkan
asupan maupun menikmati hasil pembangunan (Slamet 2003).
Terkait dengan pembangunan perdesaan, hasil penelitian Prawoto (2001)
menyimpulkan bahwa pembangunan masyarakat desa perlu didorong dengan
proses motivasi, peningkatan partisipasi, serta memperhatikan dan
mempertimbangkan inspirasi dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan.
Sarannya adalah bahwa dalam proses pembuatan keputusan desa, diharapkan
melibatkan secara aktif partisipasi masyarakat. Untuk itu pemimpin formal
(kepala desa) maupun informal (ulama dan guru) sangat dibutuhkan untuk
memberikan motivasi kepada masyarakat desa.
Peran dari masyarakat dalam pengelolaan pesisir luas jangkauannya dan
tergantung pada banyak faktor seperti isu-isu yang terlibat, konteks pemerintahan,
motivasi dan kemampuan masyarakat serta proses kebijakan. Masyarakat
mempunyai beberapa peran penting dan potensial yang memberikan sumbangan
kepada perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir (Cicin-Sain and Knecht
1998; Kay and Alder 1999).
Sehubungan dengan peranserta masyarakat dalam pengelolaan pesisir,
Pollnac et al. (2003) melakukan evaluasi tentang faktor yang mempengaruhi
keberlanjutan proyek pengelolaan wilayah pesisir terpadu di Jawa Tengah dan
Sulawesi Utara. Hasil temuannya adalah faktor yang paling penting
mempengaruhi keberlanjutan proyek pengelolaan wilayah pesisir tersebut adalah
partisipasi individual dan komunitas dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Partisipasi atau peranserta masyarakat tersebut dipengaruhi oleh keuntungan
(manfaat) yang dirasakan masyarakat.
Menurut DENR et al. (2001) isu lingkungan di wilayah pesisir umumnya
kompleks. Untuk melibatkan masyarakat tersebut maka kesadaran mereka
33
terhadap lingkungannya perlu ditingkatkan. Pendidikan lingkungan atau
komponen kesadaran masyarakat dari program pengelolaan wilayah pesisir (PWP)
memerlukan pendekatan komprehensif dan holistik untuk tahap komunikasi pada
tingkat komunitas, sehingga diperlukan pendekatan melalui upaya komunikasi,
informasi dan edukasi (KIE). Kerangka kerja KIE ini terlukis pada Gambar 3.
Gambar 3 Kerangka Kerja KIE (modifikasi DENR et al. 2001)
Upaya KIE juga digunakan dalam PUG sebagaimana tercantum dalam
Kepmendagri No. 132 Tahun 2003. Dalam Pasal 3 Bab Pelaksanaan PUG
Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tercantum bahwa Pemerintah Daerah
(Provinsi, Kabupaten dan Kota) perlu meningkatkan upaya Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) melalui sosialisasi, penyuluhan, advokasi,
pendidikan dan pelatihan tentang pengarusutamaan gender kepada seluruh
aparatur pemerintah dan seluruh komponen masyarakat (Depdagri 2003). Melalui
upaya KIE ini diharapkan terbentuk sikap baru masyarakat terhadap kesetaraan
gender dan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Etika lingkungan Nilai
sosial
Perubahan perilaku
Aksi/advokasi lingkungan
Melek lingkungan
Pendidikan lingkungan
PWP
3 METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Subang. Alasan
penetapannya karena di kabupaten ini terdapat dua pelabuhan perikanan pantai
(PPP) yang dilengkapi oleh tempat pelelangan ikan (TPI) yang dikelola oleh
koperasi unit desa (KUD) bidang bahari (Mina) yang sudah maju yaitu KUD
Mandiri Inti Fajar Sidik yang mengelola TPI di Desa Blanakan dan KUD Mandiri
Mina Bahari yang mengelola TPI di Desa Muara Ciasem, keduanya terletak di
Kecamatan Blanakan (lihat Lampiran 1).
Penelitian lapangan dilakukan dalam rentang waktu 8 (delapan) bulan, mulai
pada bulan Januari 2006 hingga Agustus 2006. Kegiatan penelitian lapangan ini
meliputi pengumpulan data primer dan sekunder.
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang
digabungkan dengan penelitian kuantitatif. Data dikumpulkan dengan wawancara
mendalam dan observasi serta diperkuat dengan kuesioner (Moleong 1994;
Singarimbun 1989). Subyek dari penelitian ini adalah pelaku di bidang perikanan
pantai, baik lelaki dan perempuan. Desain penelitian ini adalah desain penelitian
analitis. Menurut Nazir (1999), tujuan studi analitis untuk menguji hipotesis dan
mengadakan interpretasi yang lebih mendalam tentang hubungan atau proses.
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dan in-depth study (studi
mendalam). Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu
populasi dengan menggunakan alat pengumpulan data kuesioner dan wawancara
(Singarimbun 1989; Vredenbregt 1984). Tujuan penelitian survei ini adalah untuk
mencari data seluas mungkin dalam rangka mempelajari kondisi sosial dari suatu
kelompok manusia, hubungan antar-manusia, dan juga pola kelakuan manusia
(Vredenbregt 1984; Faisal 2003). In-depth study digunakan untuk memperdalam
informasi dari data yang diperoleh dari metode survei dan in-depth interview
(wawancara mendalam).
35
Alat pengumpulan data adalah dengan menggunakan kuesioner dan
pedoman wawancara yang digunakan untuk memperoleh data primer. Kuesioner
memuat pertanyaan yang bersifat tertutup dan terbuka. Kuesioner ditujukan ke
responden masyarakat perikanan pantai, lelaki dan perempuan. Pedoman
wawancara digunakan untuk mewawancarai informan. Informan yang terkait
dengan kehidupan masyarakat pesisir di Kecamatan Blanakan ini adalah guru,
pemuka agama, pamong desa dan pegawai Puskesmas. Menurut Koentjaraningrat
(1989), informasi mengenai profil masyarakat pesisir dapat diperoleh melalui
wawancara dengan informan.
Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara, observasi dan Focus
Group Discussion (FGD). Metode wawancara digunakan untuk mengumpulkan
informasi yang terkait dengan data pribadi, sikap dan pengetahuan tentang kondisi
sosial setempat. Metode observasi digunakan untuk memperoleh data mengenai
gejala nyata di lapangan. FGD (DENR et al. 2001) adalah diskusi kecil mengenai
isu tertentu yang digunakan untuk memperoleh informasi, menjernihkan persepsi
dan membangun konsensus. Topik FGD dalam penelitian ini adalah peran dan
partisipasi perempuan dalam perikanan pantai serta relasi gender dalam
masyarakat setempat.
Unit penelitiannya adalah pengambil keputusan (decision-makers) dan
pelaku di bidang perikanan pantai. Responden dibagi menjadi dua tingkatan yaitu
tingkat instansi beserta penunjang perikanan dan tingkat rumahtangga: responden
di tingkat instansi dan penunjangnya yang terkait kebijakan dan program adalah
pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Subang, pejabat
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Subang yang
membidangi urusan pemberdayaan perempuan, pengurus Koperasi Unit Desa
(KUD) Mina; responden di tingkat rumahtangga masyarakat pesisir adalah
nelayan, pengolah ikan serta pedagang (Bakul) ikan, lelaki dan perempuan. Jika
yang terlibat dalam usaha perikanan tersebut adalah suami-istri, keduanya menjadi
obyek penelitian ini. Menurut Hubeis (2001), pada umumnya perempuan (istri)
berkedudukan sebagai pengelola di usaha keluarga tersebut.
Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling. Menurut
Nasution (1982) dan Lynn (2002), purposive sampling merupakan teknik
36
pengambilan sampel dengan cara sampel dipilih oleh peneliti sehingga relevan
dengan desain penelitian. Responden diambil dari Desa Blanakan dan Desa Muara
Ciasem di Kecamatan Blanakan dengan alasan pelabuhan perikanan pantai (PPP)
Kabupaten Subang terletak di dua desa ini. Secara spesifik, responden dipilih dari
mereka yang memiliki matapencaharian di bidang perikanan yaitu nelayan,
pengolah ikan dan Bakul Ikan. Responden diambil sebanyak 60 orang yang terdiri
dari 30 orang lelaki dan 30 orang perempuan.
3.2.2 Pelaksanaan penelitian
(1) Data primer
Data primer dikumpulkan dengan kuesioner, wawancara mendalam, FGD
dan observasi. Data yang menyangkut kebijakan dan program dikumpulkan
dengan wawancara mendalam untuk menjawab tujuan tentang pelaksanaan
pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang sudah responsif
gender atau belum. Data yang dikumpulkan adalah:
i. Pelaksanaan pengarusutamaan gender (PUG) di Kabupaten Subang yang
mencakup kegiatan yang dilaksanakan, struktur organisasi, hambatan,
anggaran dan pembinaan yang dilakukan.
ii. Pelaksanaan Perikanan Pantai di Kabupaten Subang yang mencakup
tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) serta rencana strategis (Renstra)
Dislutkan.
Data primer yang menyangkut rumahtangga yang merupakan kombinasi
data kualitatif dan kuantitatif dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner,
wawancara mendalam dan observasi. Data ini untuk mencari profil gender di
dalam rumahtangga dan pengetahuan tentang lingkungan di sekitar rumahtangga.
Cakupan data yang menyangkut profil rumahtangga sebagai berikut:
i. Profil sosial-ekonomi-budaya keluarga mencakup:
• data karakteristik sosial ekonomi keluarga yang meliputi umur,
jumlah anggota keluarga, status pernikahan, pekerjaan pokok dan
sampingan, pendapatan dan belanja keluarga, dan kegiatan yang
dilakukan sehari-hari, dan
37
• data karakteristik sosial budaya yang meliputi asal suku, agama yang
dianut, adat istiadat yang masih dilakukan, pendidikan dan
penyuluhan yang pernah diikuti.
ii. Analisis gender di lingkungan tempat kerja dan rumahtangga meliputi
akses, kontrol, partisipasi, manfaat yang diterima, pengambilan
keputusan, pembagian kerja dan alokasi waktu (lihat Sayogyo 1981,
Hubeis 1985).
iii. Pengetahuan responden tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan
pantai dan lingkungan hidup mencakup:
• kualitas keseluruhan dari sumberdaya pesisir saat ini,
• kepatuhan terhadap peraturan sumberdaya pesisir dan perikanan,
• penyelesaian konflik komunitas pada isu-isu yang berhubungan
dengan sumberdaya pesisir dan perikanan,
• keterlibatan masyarakat dalam kegiatan perikanan, dan
• masalah lingkungan hidup setempat seperti pendangkalan sungai,
pengalihan fungsi kawasan hutan menjadi kawasan budidaya,
pencemaran lingkungan.
Data primer tentang sikap pelaku perikanan terhadap kesetaraan gender
dalam perikanan pantai dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dengan
skala Likert. Data ini untuk menjawab pertanyaan tentang sikap masyarakat
terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Jawabannya tersusun atas
lima kategori (Azwar 1988, 2003) yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), antara
setuju dan tidak (N), tidak setuju (TS) dan sangat tidak setuju (STS).
Focus Group Discussion (FGD) digunakan untuk memperoleh informasi
dan menyamakan persepsi tentang peran dan partisipasi perempuan di bidang
perikanan pantai dan relasi gender dalam masyarakat setempat. Peserta FGD
adalah aparat Pemda (Dislutkan dan BPMD), pegawai KUD Mina, nelayan dan
perempuan nelayan. FGD di kalangan masyarakat dilaksanakan secara terpisah
antara lelaki dan perempuan.
Data primer yang menyangkut profil masyarakat pesisir dikumpulkan
dengan melakukan wawancara terhadap tokoh masyarakat, antara lain guru,
38
tenaga medis, pemuka agama, dan pamong desa. Data tersebut meliputi
pendidikan, kesehatan, kondisi religius, kehidupan sehari-hari dan perekonomian.
(2) Data sekunder
Sumber data sekunder adalah laporan, hasil penelitian, data statistik institusi
dan literatur. Data sekunder yang dikumpulkan dari dokumentasi dan arsip berupa
fotokopi dan file komputer, antara lain adalah sebagai berikut.
i. Kebijakan dan program PUG di Kabupaten Subang.
ii. Kebijakan dan program perikanan pantai di Kabupaten Subang.
iii. Data statistik perikanan tangkap dari TPI setempat sebagai berikut:
• jumlah dan jenis kapal atau perahu yang berlabuh,
• jumlah dan jenis ikan yang dilabuhkan,
• jumlah nelayan pemilik perahu dan nelayan buruh,
• jumlah peserta lelang di TPI,
• jumlah dan kondisi sarana-prasarana perikanan yang tersedia,
• penyaluran kredit perikanan, dan
• pemasaran hasil.
iv. Data statistik pengolahan hasil perikanan sebagai berikut:
• jumlah pengolah hasil perikanan,
• jenis produk pengolahan,
• teknologi yang digunakan, dan
• pemasaran hasil.
v. Data profil masyarakat yang diambil sebagai berikut:
• struktur penduduk menurut kelompok umur, jenis kelamin,
matapencaharian, pendidikan, agama, tingkat kepadatan serta
pertumbuhan penduduk (tingkat kelahiran dan kematian),
• ketenagakerjaan,
• perekonomian lokal meliputi sarana perekonomian, kegiatan
ekonomi,
• kesehatan masyarakat meliputi sarana layanan kesehatan, pengobatan
dan status gizi balita,
• pendidikan meliputi tingkat partisipasi sekolah, angka buta huruf,
pendidikan tertinggi yang ditamatkan, dan
39
• perkawinan dan perceraian.
Metode pengumpulan data, data yang dibutuhkan dan analisis data yang
disesuaikan dengan tujuan penelitian direkapitulasi pada Tabel 1.
Tabel 1 Metode penelitian untuk pengumpulan data dan analisis data sesuai tujuan penelitian di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang, tahun 2006
No Tujuan penelitian Data yang dibutuhkan
Metode pengumpulan data Responden Analisis data
1
Analisis responsif gender terhadap pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan
Kebijakan tentang perikanan pantai dan PUG
Wawancara, data sekunder Dislutkan, BPMD
Analisis dokumen, GAP
Profil relasi gender dalam masyarakat
Wawancara dan kuesioner, FGD
Komunitas pesisir Analisis Moser
2 Analisis sikap terhadap kesetaraan gender di perikanan pantai
Sikap masyarakat terhadap kesetaraan gender
Kuesioner skala Likert
Komunitas pesisir Skor T
3
Penyusunan program yang responsif gender
Kondisi internal dan eksternal pelaksanaan perikanan pantai
Data sekunder, FGD Aparat Pemda SWOT
Pemrioritasan pelaksanaan program
Program yang responsif gender Hasil SWOT
Aparat Pemda, KUD Mina, nelayan
AHP
3.3 Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan bantuan analisis statistik dan analisis
deskriptif. Analisis statistik merupakan bentuk analisis kuantitatif. Data yang
dikumpulkan dengan kuesioner dianalisis dengan tabulasi silang. Selanjutnya,
dilakukan pengujian hipotesis yang telah disusun dengan menggunakan uji
korelasi untuk mencari hubungan antara skor sikap dan aspek pendidikan formal,
jenis pekerjaan, pendapatan dan status pekerja.
Analisis deskriptif merupakan penganalisisan secara kualitatif dimana
semua data yang tersedia dari berbagai sumber ditelaah dan kemudian dilakukan
reduksi data, sesuai dengan tujuan penelitian. Langkah selanjutnya adalah
menyusun dalam satuan yang kemudian dikategorisasi sambil membuat koding.
Tahap akhir adalah pemeriksaan keabsahan data, setelah itu dilakukan tahap
penafsiran data (Moleong 1994). Data kualitatif hasil wawancara mendalam
dianalisis secara deskriptif.
Hasil perhitungan dari kuesioner skala Likert merupakan skor mentah, oleh
karena itu perlu penginterpretasian skor lebih lanjut. Menurut Azwar (1988), suatu
40
cara untuk memberi interpretasi terhadap skoring individual adalah dengan
membandingkannya dengan harga rataan (mean) skor kelompok dimana subyek
itu termasuk. Hasil dari perbandingan ini merupakan interpretasi skor individual
sebagai lebih atau kurang favorable (mendukung) dibandingkan dengan rataan
kelompoknya. Skor standar dalam skala model Likert adalah skor-T, yaitu:
T = 50 + 10 [ XX− ] s
dimana
X = skor individual yang diperoleh dari skor total pada skala sikap, X = mean skor kelompok, dan s = deviasi standar skor kelompok
3.3.1 Analisis gender
Teknik analisis gender adalah satu teknik yang dapat memberikan gambaran
tentang adanya perbedaan maupun saling ketergantungan antara lelaki dan
perempuan dalam proses pembangunan, serta adanya perbedaan tingkat manfaat
yang diperoleh lelaki dan perempuan dari hasil pembangunan. Sebagai suatu alat,
analisis gender ini tidak hanya melihat peran, aktivitas, tetapi juga hubungan yang
meliputi: siapa yang membuat keputusan, siapa yang memperoleh keuntungan,
siapa yang menggunakan sumberdaya pembangunan (seperti tanah, kredit), siapa
yang menguasai sumberdaya pembangunan, faktor-faktor apa (hukum, ekonomi
atau sosial) yang mempengaruhi hubungan tersebut (Handayani dan Sugiarti
2002). Dalam penelitian ini analisis gender yang digunakan adalah Gender
Analysis Pathway (GAP) dan Moser.
(1) Gender Analysis Pathway (GAP)
GAP digunakan untuk menganalisis data tentang tingkat responsif gender di
program kelautan dan perikanan saat ini dengan responden dari instansi di bidang
perikanan yaitu Dinas Perikanan dan Kelautan (Dislutkan) Kabupaten Subang.
GAP terdiri dari tiga tahap, yaitu: tahap pertama, adalah menganalisis kebijakan
kelautan dan perikanan apakah sudah responsif gender atau belum; tahap kedua,
yaitu merumuskan kembali atau reformulasi kebijakan tersebut hingga responsif
gender; tahap ketiga, adalah menyusun rencana kegiatan yang sudah responsif
gender (KPP 2003). Alur kerja GAP (KPP 2002d) sebagai berikut.
41
i. Identifikasi tujuan umum dari kebijakan dan program yang ada, apakah
sudah terformulasi bahwa hasilnya bermanfaat bagi lelaki dan
perempuan.
ii. Penyajian data kualitatif dan kuantitatif yang diuraikan menurut jenis
kelamin sebagai pembuka wawasan guna mengungkap dampak
perbedaan kebijakan dan program terhadap perempuan dan lelaki.
iii. Menganalisis faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender.
iv. Merumuskan isu gender yang terjadi pada langkah ketiga.
v. Merumuskan kembali langkah program atau kegiatan sehingga
menghasilkan rumusan program dan kegiatan yang responsif gender.
vi. Mengidentifikasi indikator gender dari hasil rumusan langkah kelima.
vii. Menyusun rencana aksi yang dapat mengatasi kesenjangan antara
perempuan dan lelaki.
viii. Identifikasi sasaran program atau kegiatan.
(2) Analisis Moser
Analisis gender di tingkat rumahtangga masyarakat nelayan dilakukan
dengan menggunakan analisis Moser. Dalam penelitian ini yang dianalisis
menggunakan teknik Moser yaitu identifikasi peran gender, pengambilan
keputusan dan penilaian kebutuhan gender.
Pengidentifikasian peran gender dilakukan dengan penyusunan pembagian
kerja gender atau pemetaan kegiatan atau pembagian tugas lelaki dan perempuan
dalam rumahtangga selama 24 jam (KPP 2003). Metode yang digunakan untuk
keperluan ini adalah dengan wawancara mendalam. Metode yang digunakan
adalah dengan recall period method. Metode recall pendek digunakan untuk
mengetahui kegiatan rutin sehari-hari, sedangkan recall panjang untuk
mengetahui kegiatan insidentil responden satu bulan terakhir (Handayani dan
Sugiarti 2002).
Analisis pengambilan keputusan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
pola pengambilan keputusan dalam keluarga, antara suami dan istri, dan dalam
kehidupan sehari-hari. Analisis ini menggunakan pembagian yang telah dilakukan
oleh Sayogyo (1981), yaitu keputusan istri atau suami sendiri, dan keputusan
42
bersama (dengan posisi istri atau suami dominan, dan setara antara suami-istri).
Metode yang digunakan adalah dengan melakukan wawancara mendalam.
Penilaian kebutuhan gender dibedakan menjadi kebutuhan praktis dan
strategis gender. Kebutuhan praktis gender (KPG) menyangkut kebutuhan untuk
memperbaiki kondisi perempuan, sedangkan kebutuhan strategis gender (KSG)
menyangkut kebutuhan untuk memperbaiki posisi perempuan (KPP 2003).
Penilaian kebutuhan gender dilakukan dengan wawancara mendalam.
3.3.2 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT)
Teknik SWOT merupakan suatu analisis manajemen dengan cara
mengidentifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara
eksternal mengenai peluang dan ancaman. Aspek internal dan eksternal ini
dipertimbangkan dalam rangka menyusun program aksi, tindakan untuk mencapai
sasaran dan tujuan kebijakan atau kegiatan (Rangkuti 1999). Analisis SWOT ini
dilaksanakan setelah analisis data lainnya selesai dilakukan dengan tujuan mencari
alternatif strategi pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Langkah
SWOT yang dilakukan (Rangkuti 1999; KPP 2003) sebagai berikut:
i. mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan (internal),
ii. mengidentifikasi peluang dan ancaman (eksternal),
iii. analisis keterhubungan kunci internal dan eksternal, dan
iv. menyusun rencana aksi yang responsif gender.
Pembobotan dan penetapan peringkat dalam analisis dilakukan setelah
berdiskusi dengan para pemangku kepentingan perikanan laut dan pantai. Jumlah
total semua bobot adalah 1, dimana rentangnya adalah bobot 1 (sangat penting)
hingga bobot 0 (tidak penting). Nilai peringkat peluang dan kekuatan yang
tertinggi adalah 4, sedangkan yang terendah adalah 1; sebaliknya, ancaman dan
kelemahan yang terbesar diberi nilai -1, sedangkan yang terkecil adalah -4.
Evaluasi lingkungan internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan untuk melaksanakan pembangunan perikanan pantai yang responsif
gender. Evaluasi internal tersebut disusun dalam matriks IFAS (Internal Strategic
Factors Analysis Summary). Evaluasi lingkungan eksternal dilakukan untuk
mengetahui berbagai kemungkinan peluang dan ancaman dalam melaksanakan
pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Evaluasi disusun dalam
43
matriks EFAS (External Strategic Factors Analysis Summary). Dari hasil IFAS
dan EFAS dapat diketahui posisi pembangunan perikanan pantai saat ini.
3.3.3 Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP)
AHP merupakan suatu pendekatan untuk pengambilan keputusan dengan
menstruktur masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan berbagai
pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif (Saaty 1991; Saaty and
Vargas 1994). AHP dilakukan setelah diperoleh hasil analisis SWOT yaitu untuk
membuat urutan prioritas program pembangunan perikanan pantai yang responsif
gender dengan bantuan program komputer Super Decisions. Respondennya adalah
adalah pejabat Dislutkan, pejabat BPMD, pengurus KUD Mina serta ketua
kelompok nelayan. Prinsip kerja AHP (Marimin 2004) sebagai berikut.
i. Penyusunan hirarki yang terdiri dari unsur kriteria dan alternatif.
ii. Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan (pairwise
comparation).
iii. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan
peringkat relatif dari seluruh alternatif.
iv. Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara
konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
3.4 Definisi Operasional
1) Data pembuka wawasan adalah data yang terpilah menurut jenis kelamin yang
bertujuan untuk mengungkapkan apakah terdapat perbedaan yang cukup
berarti antara lelaki dan perempuan dalam program atau kegiatan
pembangunan. Data ini terdiri dari data kuantitatif dan kualitatif.
2) Identifikasi peran gender adalah mengidentifikasi kegiatan yang dilakukan
oleh individu lelaki dan perempuan dalam rumahtangga dalam 24 jam.
Kegiatan tersebut meliputi: pekerjaan produktif (pekerjaan yang menghasilkan
uang atau barang), pekerjaan reproduktif (untuk kelangsungan hidup individu
dan keluarga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci, membersihkan
rumah), waktu luang atau bersantai (termasuk bertandang ke rumah tetangga
menonton televisi, melakukan kegiatan kemasyarakatan) dan tidur.
3) Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan laki-laki dan
perempuan atau ketimpangan gender, yaitu adanya kesenjangan antara kondisi
44
sebagaimana yang dicita-citakan (kondisi normatif) dengan kondisi gender
sebagaimana adanya (kondisi obyektif).
4) Kesenjangan gender mengidentifikasikan suatu ketidaksamaan dalam
hubungan antara lelaki dan perempuan dalam proses pembangunan.
Kesenjangan gender didasarkan pada empat faktor yaitu akses, kontrol,
partisipasi dan manfaat yang dirasakan oleh lelaki dan perempuan.
5) Pembagian tugas dalam keluarga adalah pembagian tugas dalam keluarga baik
di lingkungan rumah maupun di luar rumah oleh individu lelaki dan
perempuan. Pembagian tersebut meliputi: kegiatan produktif (kegiatan yang
menyumbang pendapatan keluarga dalam bentuk uang atau barang), kegiatan
reproduktif (kegiatan yang menjamin kelangsungan hidup manusia dan
keluarga), dan kegiatan sosial kemasyarakatan (kegiatan yang menyangkut
masyarakat).
6) Responsif gender adalah memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis
terhadap perbedaan-perbedaan antara perempuan dan lelaki dalam masyarakat
dengan suatu pandangan yang ditujukan kepada keterbatasan-keterbatasan dari
keadilan.
BAB 4 KONDISI UMUM
4.1 Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Subang
Menurut Indonesia Human Development Report 2004 (BPS, Bappenas dan
UNDP 2004), angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human
Development Index (HDI) Kabupaten Subang pada tahun 2002 adalah 0,630 dan
sedikit menurun dibandingkan HDI pada tahun 1999 yaitu 0,631. Penurunan ini
disebabkan adanya penurunan angka pada aspek pendidikan, meskipun juga
terjadi sedikit peningkatan di aspek kesehatan dan ekonomi.
Pada komponen usia harapan hidup yang terkait dengan aspek kesehatan,
terjadi sedikit peningkatan. Pada tahun 1999, angka usia harapan hidup adalah 65
tahun, sedangkan pada tahun 2002 angka tersebut naik menjadi 65,6 tahun (BPS,
Bappenas dan UNDP 2004).
Pada aspek pendidikan, komponen melek huruf orang dewasa, terjadi
penurunan persentase: pada tahun 1999, angka melek huruf adalah 86,2 persen,
sedangkan pada tahun 2002 persentase melek huruf turun dua persen menjadi 84,2
persen. Demikian halnya dengan komponen rataan lama bersekolah yang juga
terjadi penurunan angka. Pada tahun 1999, rataan lama bersekolah adalah 5,4
tahun dan pada tahun 2002 turun sedikit menjadi 5,3 tahun (BPS, Bappenas dan
UNDP 2004).
Pada aspek ekonomi terjadi peningkatan nilai pada komponen belanja per
kapita riil. Pada tahun 1999, nilai belanja per kapita riil adalah Rp.591.000,00,
sedangkan pada tahun 2002 terjadi peningkatan sedikit menjadi Rp.591.300,00
(BPS, Bappenas dan UNDP 2004).
Terjadinya lebih banyak penurunan angka dibandingkan angka yang
meningkat pada komponen-komponen HDI maka wajarlah jika angka HDI
Kabupaten Subang menurun. Peringkat HDI Kabupaten Subang diantara
kabupaten/kota se-Indonesia juga mengalami penurunan. Pada tahun 1999,
peringkat Kabupaten Subang adalah 182, pada tahun 2002 turun sebesar 88
tingkat menjadi peringkat 270 (BPS, Bappenas dan UNDP 2004).
Dilihat dari Gender-related Development Index (GDI), angka GDI
Kabupaten Subang pada tahun 1999 adalah 0,557, sedangkan pada tahun 2002
46
angka GDI turun menjadi 0,530 (BPS, Bappenas dan UNDP 2004). Hal ini
menunjukkan adanya angka GDI tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 0,027
dibandingkan angka tahun 1999.
Pada komponen usia harapan hidup, pada tahun 1999 perempuan
mempunyai harapan hidup sampai usia 66,9 tahun, sedangkan lelaki memiliki
harapan hidup hingga usia 63,1 tahun. Pada tahun 2002, perempuan memiliki usia
harapan hidup 67,5 tahun, sedangkan lelaki mempunyai usia harapan hidup 63,6
tahun. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan usia harapan hidup penduduk
Kabupaten Subang, baik lelaki maupun perempuan, meskipun sedikit. Namun
demikian, usia harapan hidup perempuan (sekitar 67 tahun) masih tetap lebih
panjang daripada usia harapan hidup lelaki (sekitar 63 tahun).
Pada komponen melek huruf orang dewasa, pada tahun 1999 persentase
perempuan yang melek huruf (80,6%) lebih rendah dibandingkan lelaki yang
melek huruf (91,9%). Pada tahun 2002 persentase penduduk dewasa baik
perempuan dan lelaki yang melek huruf menurun. Persentase perempuan yang
melek huruf turun 1,6 persen menjadi 79 persen, dan persentase lelaki yang melek
huruf turun 2,3 persen menjadi 89,6 persen. Berarti, penurunan persentase lelaki
yang melek huruf lebih besar dibandingkan penurunan persentase perempuan
melek huruf. Demikian halnya dengan komponen rataan lama bersekolah, sedikit
terjadi penurunan angka. Pada tahun 1999 perempuan bersekolah rataan 4,7 tahun,
sedangkan lelaki bersekolah rataan 6 tahun. Pada tahun 2002, lama rataan
bersekolah perempuan tidak mengalami kenaikan yaitu tetap 4,7 tahun, tetapi
lama rataan bersekolah lelaki mengalami sedikit penurunan 0,1 tahun yaitu
menjadi 5,9 tahun (BPS, Bappenas dan UNDP 2004).
Terkait dengan aspek ekonomi, pada tahun 1999 perempuan yang termasuk
tenaga kerja adalah 33,8 persen, yang kemudian turun menjadi 33,7 persen di
tahun 2002. Pada tahun 2002, andil perempuan dalam memperoleh pendapatan
adalah 27,4 persen, sedangkan andil lelaki 72,6 persen (BPS, Bappenas dan
UNDP 2004). Hal ini menunjukkan bahwa lelaki di Kabupaten Subang masih
merupakan pencari nafkah utama jika dilihat dari perbedaan persentase yang
tinggi antara lelaki dan perempuan dalam hal ketenagakerjaan tersebut.
47
Berbeda dengan angka HDI dan GDI yang turun pada tahun 2002
dibandingkan angka pada tahun 1999, sebaliknya angka Gender Empowerment
Measured (GEM) Kabupaten Subang pada tahun 2002 meningkat dibandingkan
pada tahun 1999. Dalam hal pemberdayaan perempuan, Kabupaten Subang
mempunyai angka GEM pada tahun 1999 adalah 0,501, yang naik 0,022 menjadi
0,523 pada tahun 2002 (BPS, Bappenas dan UNDP 2004).
Persentase partisipasi perempuan dalam parlemen di tahun 1999 sebesar 6,7
persen, yang meningkat menjadi 11,1 persen di tahun 2002. Perempuan yang
menduduki posisi sebagai pegawai senior sebesar 37,9 persen di tahun 1999;
sedangkan pada tahun 2002 tidak diperoleh data yang tertulis. Rataan upah kerja
non-pertanian yang diterima perempuan di tahun 1999 sebesar Rp.207.102,00 dan
lelaki menerima Rp.247.476,00. Pada tahun 2002, rataan upah kerja non-pertanian
yang diterima perempuan sebesar Rp.354.000,00 dan lelaki menerima
Rp.474.900,00 (BPS, Bappenas dan UNDP 2004). Dalam hal rataan upah ini
terjadi peningkatan besaran upah, yaitu upah perempuan naik Rp.146.898,00 atau
sekitar 71 persen, sedangkan upah lelaki naik Rp.227.424,00 atau sekitar 92
persen. Hal ini menunjukkan bahwa rataan upah lelaki naik lebih besar daripada
kenaikan upah yang diterima oleh perempuan selain upah yang diterima oleh
lelaki juga lebih besar dibanding upah yang diterima oleh perempuan.
4.2 Kondisi Kependudukan Kabupaten Subang
4.2.1 Distribusi penduduk
Berdasarkan data statistik kependudukan Kabupaten Subang tahun 2005
(BPS Subang 2006), jumlah penduduk Kabupaten Subang adalah 1.391.997 jiwa.
Dari jumlah tersebut, jumlah penduduk lelaki adalah 699.783 jiwa dan perempuan
692.214 jiwa, dengan demikian sex ratio-nya sebesar 101,09. Keseluruhan jumlah
rumahtangga adalah 398.031 dan dengan rataan penduduk per rumahtangga
adalah 3,50. Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 205.177 ha atau 2051,77
km2, maka kepadatan penduduk per km2 adalah 678,44 jiwa.
Jumlah penduduk Kecamatan Blanakan akhir tahun 2005 adalah 60.268
jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah penduduk lelaki adalah 30.145 jiwa dan
perempuan 30.123 jiwa, dengan demikian sex ratio-nya sebesar 100,07.
Keseluruhan jumlah rumahtangga adalah 18.057 maka rataan penduduk per
48
rumahtangga adalah 3,34 jiwa. Luas wilayah Kecamatan Blanakan adalah 96,60
km2, maka kepadatan penduduk per km2 adalah 620,36 jiwa (BPS Subang 2006).
Dari data kependudukan Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan itu,
kemudian dibandingkan dengan data kependudukan Indonesia untuk indikator
yang sama (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan bahwa distribusi penduduk Indonesia,
Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tidak terlalu berbeda dilihat dari sex
ratio dan rataan penduduk per rumahtangga. Perbedaan menyolok terdapat pada
kepadatan penduduk per km2. Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan
terletak di Pulau Jawa yang merupakan pulau yang terpadat penduduknya di
Indonesia, sehingga adalah hal yang wajar jika angka kepadatan penduduknya
lebih tinggi daripada kepadatan penduduk Indonesia.
Tabel 2 Perbandingan distribusi penduduk Indonesia, Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005
Indikator Indonesia Kabupaten Subang Kecamatan Blanakan Sex ratio 100,40 101,09 100,07 Rataan per rumahtangga (jiwa/RT) 3,70 3,50 3,34 Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 116,00 678,44 620,36 Sumber: BPS 2006; BPS Subang 2006
Dinamika kependudukan Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan
dapat dilihat dari jumlah penduduk yang lahir, mati, datang dan pindah (Tabel 3).
Persentase kelahiran bayi perempuan di Kabupaten Subang lebih tinggi daripada
lelaki, tetapi di Kecamatan Blanakan lebih banyak lahir bayi lelaki daripada
perempuan. Sebaliknya, persentase penduduk lelaki yang mati di Kabupaten
Subang dan Kecamatan Blanakan lebih besar daripada penduduk perempuan.
Mobilitas penduduk yang datang dan pindah di Kabupaten Subang dan
Kecamatan Blanakan adalah serupa yaitu lebih besar penduduk perempuan yang
melakukan mobilitas dibandingkan penduduk lelaki (BPS Subang 2006).
Tabel 3 Jumlah penduduk lahir, mati, datang dan pindah menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang dan Kecamatan Blanakan tahun 2005
Kabupaten Subang Kecamatan Blanakan Kondisi Lelaki Perempuan Jumlah Lelaki Perempuan Jumlah Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa % Jiwa % Lahir 4.781 49,5 4.883 50,5 118.664 100 233 52,4 212 47,6 445 100 Mati 3.106 53,1 2.744 46,9 114.850 100 148 52,9 132 47,1 280 100 Datang 1.102 47,5 1.219 52,5 111.321 100 15 41,6 21 58,4 36 100 Pindah 1.153 49,9 1.156 50,1 111.309 100 10 45,4 12 54,6 22 100 Sumber: Diolah dari BPS Subang 2006
49
Tabel 4 menyajikan distribusi penduduk Kabupaten Subang menurut
kelompok umur dan jenis kelamin pada akhir tahun 2005. Penduduk kelompok
umur 0-19 tahun lebih banyak lelaki daripada perempuan, sedangkan kelompok
umur 20-44 lebih banyak perempuan daripada lelaki, selanjutnya kelompok umur
45-59 lebih banyak lelaki daripada perempuan. Kelompok umur di atas 60 tahun
lebih banyak perempuan dibanding lelaki, hal ini menunjukkan bahwa harapan
hidup perempuan lebih tinggi daripada lelaki (BPS Subang 2006).
Tabel 4 Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
Kelompok Umur Lelaki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) 0 – 4 65.491 62.542 128.033 5 – 9 66.948 63.378 130.326
10 – 14 62.722 60.470 123.192 15- 19 58.148 53.470 111.618 20 – 24 63.024 64.501 127.525 25 – 29 56.376 59.525 115.901 30 – 34 59.548 60.756 120.304 35 – 39 52.840 54.393 107.233 40 – 44 48.871 49.490 98.361 45 – 49 40.518 38.648 79.166 50 – 54 36.909 32.449 69.358 55 – 59 22.139 22.008 44.147
60 + 66.249 70.584 136.833 Jumlah 699.783 692.214 1.391.997
Sumber: BPS Subang 2006
Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Subang yang
produktif (15-54 tahun) lebih banyak berjenis kelamin lelaki (416.234 jiwa)
daripada perempuan (413.232 jiwa). Disamping itu, jumlah penduduk kelompok
umur produktif (829.466 jiwa) lebih besar daripada jumlah penduduk kelompok
umur tidak produktif (562.531 jiwa).
Tabel 5 Jumlah penduduk kelompok umur produktif dan kelompok umur tidak produktif menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
Kelompok Umur Lelaki (jiwa) Perempuan (jiwa) Jumlah (jiwa) Produktif
15- 54 416.234 413.232 829.466 Tidak produktif
0-14 195.161 186.390 381.551 55+ 88.388 92.592 180.980
Total tidak produktif 283.549 278.982 562.531 Jumlah 699.783 692.214 1.391.997
Sumber: Diolah dari BPS Subang 2006
50
Distribusi penduduk Kabupaten Subang menurut status perkawinan
disajikan pada Tabel 6. Perbedaan yang mencolok antara perempuan dan lelaki
terletak pada status perkawinan cerai, baik cerai mati maupun cerai hidup. Lebih
banyak persentase perempuan berstatus cerai dibanding dengan lelaki berstatus
cerai, perbedaannya lebih dari dua kali lipat. Menurut Bapeda (2005), penyebab
persentase penduduk perempuan berstatus cerai lebih tinggi daripada lelaki karena
masa trauma pada perempuan terhadap perceraian baik karena cerai mati atau
cerai hidup, sehingga perempuan cenderung lebih berhati-hati untuk menikah lagi;
dan adanya keterbatasan untuk segera menikah lagi dengan adanya masa iddah
(saat penungguan bagi istri yang dicerai atau ditinggal mati suami, apakah dia
hamil atau tidak) bagi penganut agama Islam.
Tabel 6 Status perkawinan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2000-2004
Status Jenis Tahun Perkawinan kelamin 2000 2001 2002 2003 2004
Belum kawin Lelaki (%) 33,09 30,95 27,75 29,53 40,69 Perempuan (%) 23,64 21,62 22,51 21,49 33,33 Kawin Lelaki (%) 63,03 66,10 68,20 66,98 56,95 Perempuan (%) 61,54 66,07 64,91 65,28 56,78 Cerai hidup Lelaki (%) 2,24 1,40 1,83 1,76 1,02 Perempuan (%) 4,48 3,44 3,53 4,31 3,51 Cerai mati Lelaki (%) 1,61 1,55 2,22 1,73 1,34 Perempuan (%) 10,42 9,23 9,05 8,93 6,38 Sumber: Bapeda Subang 2006
Terkait dengan status perkawinan adalah umur perkawinan pertama
perempuan. Hal ini berkaitan dengan kematangan emosi dan fisik perempuan
untuk menjadi seorang ibu. Tabel 7 menyajikan persentase penduduk perempuan
menurut umur perkawinan pertama. Menurut Bapeda (2005), penyebab
perempuan cepat menikah dibandingkan lelaki antara lain: (1) tingkat pendidikan
yang masih rendah mempengaruhi keputusan menikah; (2) budaya malu jika anak
perempuan yang memasuki usia remaja belum menikah; dan (3) perempuan cukup
menjadi ibu rumahtangga saja.
Tabel 7 Persentase perempuan pernah kawin menurut umur perkawinan pertama di Kabupaten Subang tahun 1998-2003
Umur perkawinan Tahun pertama (tahun) 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Kurang dari 16 (%) 41,37 40,44 47,03 39,04 46,50 40,81 17-18 (%) 29,53 33,86 31,11 34,26 31,40 36,48 19-24 (%) 27,74 24,67 19,84 25,81 20,44 21,63 Lebih dari 25 (%) 1,36 1,04 2,03 0,89 1,67 1,08 Sumber: Bapeda Subang 2005
51
4.2.2 Pendidikan
Salah satu ukuran dari tingkat pendidikan adalah kemampuan membaca dan
menulis. Penduduk Kabupaten Subang yang berumur di atas 10 tahun yang buta
huruf lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan lelaki. Perbedaan
persentasenya cukup nyata, yaitu perempuan yang buta huruf di atas 10 persen,
sedangkan lelaki yang buta huruf di bawah 10 persen, bahkan perbedaan antara
lelaki dan perempuan itu mencapai dua kali lipat. Tabel 8 menyajikan persentase
penduduk Kabupaten Subang berumur 10 tahun keatas yang buta huruf pada tahun
1999-2004.
Tabel 8 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang buta huruf menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004
Tahun Buta huruf Lelaki (%) Perempuan (%)
1999 7,23 17,28 2000 8,74 19,49 2001 8,38 16,81 2002 9,39 18,70 2003 7,58 16,78 2004 7,98 16,36
Sumber: Bapeda Subang 2006
Ukuran untuk tingkat pendidikan lainnya adalah angka partisipasi sekolah.
Tabel 9 menyajikan angka partisipasi sekolah (APS) menurut kelompok umur dan
jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004.
Tabel 9 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 1999-2004
Kelompok Jenis Angka partisipasi sekolah umur kelamin 1999 2000 2001 2002 2003 2004 7-12 Lelaki 98,38 92,02 93,89 95,94 96,82 98,45
Perempuan 98,27 95,93 97,09 95,67 97,78 97,13 13-15 Lelaki 67,92 68,60 73,80 79,28 76,18 85,44
Perempuan 72,94 81,20 87,67 87,04 84,42 78,88 16-18 Lelaki 38,28 25,51 36,08 49,79 47,41 48,65
Perempuan 35,58 37,32 29,53 49,06 25,70 45,22 19-24 Lelaki 6,58 6,32 8,72 3,15 2,70 10,34
Perempuan 1,01 3,94 0,80 2,05 8,02 5,66 Sumber: Bapeda Subang 2006
Tabel 9 menunjukkan bahwa pada umumnya APS dari perempuan lebih
rendah dibanding dengan lelaki. Pada tingkat pendidikan dasar (kelompok umur
7-12), APS lelaki dan perempuan cukup tinggi, diatas angka 90. Namun dengan
pertambahan usia dan tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan maka
APS pun semakin menurun, baik bagi lelaki dan perempuan. APS lelaki pun tetap
52
lebih tinggi daripada APS perempuan. Menurut Bapeda Subang (2006), penyebab
rendahnya APS perempuan diduga adanya budaya yang lebih banyak memberikan
kesempatan bersekolah kepada anak lelaki dibanding dengan perempuan;
disamping itu keberadaan sekolah di suatu wilayah tertentu menyebabkan
orangtua lebih memilih mengirimkan anak lelakinya ke sekolah yang relatif lebih
jauh daripada anak perempuannya.
Dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan, persentase
pencapaian pendidikan perempuan lebih rendah dibanding dengan lelaki (Tabel
10). Pada tingkat pendidikan dasar, pencapaian lelaki dan perempuan hampir
sama, tetapi semakin meningkat tingkat pendidikannya maka persentase
pencapaian perempuan pun lebih rendah dibandingkan lelaki. Menurut Bapeda
(2006), penyebab perbedaan yang mencolok ini diduga karena adanya budaya
yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada
akhirnya akan bekerja di dapur dan hanya akan mengurus anak saja.
Tabel 10 Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004
Tingkat Tahun 2003 Tahun 2004 Pendidikan Lelaki (%) Perempuan (%) Lelaki (%) Perempuan (%)
Tidak tamat SD/ belum sekolah
34,54 42,52 30,03 40,67
SD sederajat 39,01 39,16 35,32 37,24 SLTP sederajat 13,96 11,44 22,23 15,87 SLTA sederajat 10,28 5,48 10,62 5,19 Perguruan tinggi 2,21 1,40 1,80 1,03 Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Bapeda Subang 2006
4.2.3 Kesehatan
Ketersediaan dan keterjangkauan fasilitas kesehatan dapat menentukan
tingkat pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Rasio antara ketersediaan
fasilitas kesehatan dan jumlah penduduk Kabupaten Subang umumnya tinggi
menunjukkan masih kurangnya ketersediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
Tabel 11 menampilkan ketersediaan fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang dan
rasio dengan jumlah penduduk.
53
Tabel 11 Jumlah dan rasio fasilitas kesehatan di Kabupaten Subang tahun 2003 Fasilitas kesehatan Jumlah Rasio fasilitas-penduduk
Rumah sakit (RS) 3 449.038 Rumah bersalin (RB) 3 449.038 Poliklinik 116 11.613 Puskesmas 39 34.541 Puskesmas pembantu 72 18.710 Balai pengobatan (BP) 116 11.613 Tempat praktek dokter (TPD) 140 9.622 Tempat praktek bidan (TPB) 116 11.613 Posyandu 1.605 839 Polindes 107 12.590 Apotik 51 26.414 Pos obat desa (POD) 37 36.408 Toko obat 54 24.947 Sumber: Bapeda Subang 2005
Jika penduduk Kabupaten Subang mengalami gangguan kesehatan, tindakan
yang mereka lakukan adalah mengobati sendiri atau berobat jalan ke paramedis.
Pengobatan sendiri ini dilakukan dengan mencari dan membeli obat tanpa
konsultasi ke paramedis, baik dengan obat modern atau obat tradisional. Hal ini
dilakukan karena menurut mereka (penduduk) pengobatan ke paramedis mahal.
Tabel 12 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang melakukan pengobatan
sendiri lebih banyak daripada dengan berobat jalan, dilakukan baik oleh penduduk
lelaki dan perempuan.
Tabel 12 Persentase penduduk menurut jenis pengobatan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003 Jenis pengobatan Lelaki (%) Perempuan (%)
Berobat sendiri 81,19 81,93 Berobat jalan 18,81 18,07 Jumlah 100,00 100,00 Sumber: Bapeda Subang 2005
Status gizi balita terkait dengan kondisi kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat. Balita dengan status gizi baik di Kabupaten Subang sudah diatas 80
persen. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua sudah memberikan makanan yang
bergizi kepada anak mereka (Tabel 13).
Tabel 13 Persentase balita menurut status gizi di Kabupaten Subang tahun 1999-2005
Tahun Status gizi Baik (%) Kurang (%) Buruk (%)
1999 83,16 13,66 2,97 2000 87,33 11,82 0,80 2001 89,25 10,07 0,68 2002 88,09 9,92 0,71 2003 86,42 11,26 0,71 2004 89,76 9,57 0,67 2005 91,92 7,47 0,61
Sumber: Bapeda Subang 2005, BPS 2006
54
4.2.4 Kegiatan ekonomi
Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan porsi
penduduk yang masuk dalam pasar kerja (bekerja atau mencari kerja), yang
disebut Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Tabel 14 menyajikan TPAK
dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kabupaten Subang. Tabel 14
menunjukkan bahwa angka TPAK lelaki lebih stabil daripada TPAK perempuan,
angka TPAK perempuan dalam tiga tahun tersebut naik turun cukup nyata. Akan
tetapi, TPT lelaki dan perempuan dalam tiga tahun tersebut cenderung meningkat.
Menurut Bapeda (2006), peningkatan TPT perempuan diduga karena tenaga kerja
perempuan lebih banyak diserap oleh pekerjaan di sektor informal; sedangkan
peningkatan TPT lelaki meningkat diduga karena adanya kecenderungan lelaki
untuk memilih jenis pekerjaan, baik dilihat dari sifat dan besar penghasilannya.
Tabel 14 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Terbuka menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004
Indikator 2002 2003 2004 Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
77,28 38,18 78,06 57,99 77,69 29,40
Tingkat Pengangguran Terbuka
4,04 4,92 7,00 12,25 9,04 14,78
Sumber: Bapeda Subang 2006
Lapangan pekerjaan utama di Kabupaten Subang yang banyak menyerap
tenaga kerja adalah di sektor pertanian dan sektor perdagangan. Lapangan
pekerjaan ketiga yang banyak menyerap tenaga kerja pada tahun 2003 adalah
sektor jasa, namun pada tahun 2004 terjadi perubahan menjadi sektor keuangan
yang menggantikan sektor jasa dalam hal penyerapan tenaga kerja. Hal ini pun
tampak dari rasio pekerjanya; rasio pekerja adalah perbandingan banyaknya
perempuan yang bekerja untuk setiap 100 lelaki yang bekerja (Tabel 15). Pada
tahun 2003 rasio pekerja terbesar adalah di sektor perdagangan, pertanian dan
jasa; sedangkan pada tahun 2004 rasio pekerja terbesar adalah di sektor
perdagangan, pertanian dan keuangan.
55
Tabel 15 Rasio pekerja menurut lapangan pekerjaan utama menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2003-2004
Lapangan 2003 2004 pekerjaan utama Lelaki
(jiwa) Perempuan
(jiwa) Rasio
pekerja Lelaki (jiwa)
Perempuan (jiwa)
Rasio pekerja
Pertanian 231.154 120.287 52,04 206.535 83.515 57,40 Pertambangan 1.082 0 0,00 • • 0,00 Industri 28.587 3.204 11,21 12.620 3.835 30,39Listrik, gas, air 1.126 0 0,00 • • 0,00 Bangunan 23.128 519 2,24 34.035 • 0,00 Perdagangan 60.711 55.765 91,85 53.730 47.735 88,84Angkutan 41.529 519 1,25 70.845 550 0,78 Keuangan 2.597 520 20,02 1.095 545 49,77 Jasa 25.433 11.613 45,66 29.580 9.305 31,46
Total 415.347 192.427 46,33 408.440 145.485 35,62 Sumber: Bapeda Subang 2006 Catatan: • = Ukuran sampel tidak cukup menggambarkan sektor lapangan pekerjaan
Menurut Bapeda (2006), penyebab perempuan banyak bekerja di sektor
perdagangan karena di sektor ini tidak memerlukan keahlian yang tinggi dan dapat
dilakukan bersamaan dengan mengurus rumahtangga. Lapangan pekerjaan yang
memiliki rasio paling rendah yaitu sektor angkutan (0,78), yang berarti hanya ada
satu pekerja perempuan di antara 100 pekerja lelaki. Hal ini menunjukkan masih
adanya pandangan yang berbeda antara lelaki dan perempuan dalam hal jenis
pekerjaan yang dilakukannya.
Penduduk lelaki berumur 10 tahun keatas yang bekerja paling banyak
berstatus sebagai buruh di sektor formal atau berwirausaha di sektor informal.
Penduduk perempuannya banyak menjadi buruh di sektor formal, tetapi di sektor
informal mereka banyak menjadi pekerja tak dibayar atau pekerja keluarga (Tabel
16). Menurut Bapeda (2006), hal ini terkait dengan kondisi perekonomian
Kabupaten Subang yang masih didominasi oleh sektor pertanian sehingga
lapangan kerja yang tercipta sebagian besar merupakan pekerjaan informal.
Tabel 16 Persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang bekerja menurut sektor, status pekerjaan dan jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2002-2004
Sektor Status 2002 2003 2004 pekerjaan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan
Formal Berusaha dibantu pekerja dibayar
3,37 1,66 3,09 0,83 4,97 1,51
Buruh/ karyawan 30,89 28,46 36,56 33,20 29,44 40,76 Informal Berusaha sendiri 28,61 15,91 28,75 15,17 36,28 17,72 Berusaha dibantu pekerja
tak dibayar 34,01 28,82 29,30 21,05 27,56 12,45
Pekerja tak dibayar/ pekerja keluarga
3,13 31,15 2,30 29,75 1,75 27,56
Sumber: Bapeda Subang 2006
56
4.3 Perikanan Kabupaten Subang
4.3.1 Ekosistem pesisir Kabupaten Subang
Kabupaten Subang berjarak 58 kilometer dari Bandung, ibukota Jawa Barat
dan 161 kilometer dari Jakarta, ibukota negara serta terletak di jalur pantai utara
Jawa yang merupakan jalur transportasi angkutan darat. Kabupaten ini memiliki
pantai sepanjang 68 km dengan wilayah laut yang dapat dimanfaatkan sekitar
empat mil dari garis pantai ke arah laut (Dislutkan dan IPB 2003). Kecamatan
Blanakan yang merupakan daerah penelitian terletak di pesisir Kabupaten Subang.
Kecamatan ini mempunyai luas wilayah 96,60 km2 yang terdiri atas sembilan
desa, diantaranya dua desa pesisir yang menjadi lokasi penelitian yaitu Desa
Blanakan dan Desa Muara (BPS dan Bapeda 2005) (Lampiran 1).
Ekosistem di wilayah pesisir Kabupaten Subang terdiri dari ekosistem
mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Hutan mangrove ini merupakan
hutan mangrove binaan yang berada dibawah otoritas pengelola Perum Perhutani
Unit III Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Purwakarta Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Ciasem–Pamanukan. Pada periode 1988-1992 terjadi
pengurangan luasan dari 2.087,7 ha pada tahun 1988 turun menjadi 1.729,9 ha
pada tahun 1990 dan akhirnya menjadi 958,2 ha pada tahun 1992. Pengurangan
ini diakibatkan oleh kegiatan konversi lahan. Pada tahun 1992-1995 terjadi
penambahan luas hutan mangrove menjadi 3.074,3 ha melalui program
perhutanan sosial yang dilakukan melalui tambak tumpangsari yang melibatkan
masyarakat yang tinggal di daerah pesisir (BPLHD Jabar dan ITB 2001; Dislutkan
dan IPB 2003).
Daerah perairan pesisir Kabupaten Subang memiliki kondisi oseanografis
yang memungkinkan tumbuhnya ekosistem terumbu karang. Kondisi ekosistem
terumbu karang sudah kurang bagus akibat banyaknya muara sungai yang
membawa muatan sedimen dan diperburuk lagi oleh aktivitas intensif penduduk
dalam hal pemanfaatan lahan pertanian dan tambak. Terumbu karang tersebar dari
perairan Kecamatan Blanakan sampai perairan Kecamatan Legonkulon (Dislutkan
dan IPB 2003). Upaya pengadaan terumbu karang buatan telah dilakukan oleh
Dislutkan dengan Terumbu Karang Buatan (TKB) ban mobil (BPLHD Jabar dan
ITB 2001).
57
Kondisi jumlah dan luasan ekosistem terumbu karang yang tinggal sedikit
mengakibatkan jumlah dan luasan ekosistem padang lamun juga tinggal sedikit,
karena ekosistem terumbu karang merupakan pelindung dari ekosistem padang
lamun dari hempasan arus dan gelombang. Tingginya laju sedimentasi dan
masuknya zat pencemar yang berasal dari rumahtangga dan industri juga
menghambat perkembangan ekosistem padang lamun di Kabupaten Subang
(Dislutkan dan IPB 2003).
4.3.2 Kegiatan dan hasil perikanan laut
Jumlah seluruh produksi kelautan dan perikanan Kabupaten Subang pada
tahun 2005 mencapai 36.001,3 ton. Total produksi ini meningkat sebesar 0,19
persen (68,2 ton) dibandingkan dengan produksi tahun 2004 (BPS Subang 2006).
Pada tahun 2004, total produksi sektor kelautan dan perikanan sebesar 35.933,1
ton dan hasil penangkapan ikan di laut sebesar 17.967,5 ton. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa dari total produksi perikanan Kabupaten Subang pada
tahun 2004, 50 persen produksi berasal dari tangkapan ikan laut (Dislutkan 2006).
Pada tahun 2005, produksi perikanan laut masih merupakan produksi terbesar
dibandingkan yang lainnya yaitu sebesar 48,74 persen dengan jumlah produksi
sebesar 17.552,1 ton, yang berarti turun sebesar 415,4 ton (BPS Subang 2006).
Produksi sub sektor perikanan laut menurut tempat pendaratan ikan dapat dilihat
pada Tabel 17.
Tabel 17 Produksi sub sektor perikanan laut menurut tempat pendaratan ikan Kabupaten Subang tahun 2005
Kecamatan/tempat pendaratan ikan Produksi (ton) Nilai produksi (Rp) A. Kecamatan Blanakan 1. Cilamaya Girang 662,1 5.776.882.500 2. Rawameneng 311,2 2.715.220.000 3. Blanakan 9.947,2 86.789.320.000 4. Muara 3.559,8 31.059.255.000 5. Tanjungtiga 259,8 2.266.755.000B. Kecamatan Legonkulon 1. Pangarengan 390,3 3.405.367.500 2. Tegalurung 194,2 1.694.395.000 3. Mayangan 361,9 3.157.577.500 4. Patimban 1.865,6 16.277.360.000Kabupaten Subang 17.552,1 153.142.132.500Sumber: BPS Subang 2006
Penyerapan tenaga kerja pada sektor penangkapan di laut atau nelayan pada
tahun 2005 meningkat sebesar 0,5 persen yaitu 4.483 orang dibandingkan pada
58
tahun 2004 sebanyak 4.461 orang (Dislutkan 2006). Hal ini menunjukkan bahwa
sektor penangkapan di laut masih dapat diandalkan sebagai mata pencaharian
penduduk.
Penyerapan tenaga kerja pada sektor pengolahan hasil perikanan pada tahun
2005 meningkat sebesar lima persen yaitu 1.003 orang dibanding pada tahun 2004
sebanyak 955 orang (Dislutkan 2006). Jenis hasil pengolahan ikan laut di
Kabupaten Subang adalah ikan asin, pindang dan terasi.
4.3.3 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang disingkat dengan
Dislutkan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Subang No. 23 Tahun 2002
tentang Tugas Pokok Dan Fungsi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Subang, Dislutkan mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian kewenangan
Pemerintah Daerah di bidang kelautan dan perikanan serta tugas pembantuan yang
diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Dislutkan
mempunyai fungsi untuk:
(1) perumusan kebijakan teknis di bidang kelautan dan perikanan; (2) pelaksanaan sebagian kewenangan Pemerintah Daerah di bidang
kelautan dan perikanan sesuai dengan kebijakan Bupati; (3) pemberian perijinan dan rekomendasi dalam rangka pelaksanaan
pelayanan umum di bidang kelautan dan perikanan; (4) penyelenggaraan pembinaan di bidang kelautan dan perikanan
yang meliputi program perikanan tangkap dan budidaya, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, usaha serta unit pelaksana teknis dinas; dan
(5) pengelolaan administrasi umum, meliputi urusan umum, urusan keuangan, urusan kepegawaian dan perlengkapan dinas.
Visi dari Dislutkan adalah terwujudnya agribisnis, industri kelautan dan
perikanan yang berwawasan lingkungan serta berdaya-saing melalui
pemberdayaan masyarakat yang berbasis gotong royong. Untuk mendukung visi
tersebut, maka misi yang diembannya, adalah:
(1) meningkatkan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh;
(2) memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan;
(3) menjaga dan melindungi sumberdaya kelautan dan perikanan; dan (4) penerapan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang
kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan.
59
Rencana Kegiatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Subang Tahun 2005-2009 tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) Dislutkan
(Lampiran 2). Program strategisnya yaitu:
(1) program peningkatan SDM perikanan, (2) program pengembangan sumberdaya kelautan, (3) program pengembangan sumberdaya perikanan, (4) program konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan, (5) program rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan, (6) program pengendalian hama dan penyakit ikan, dan (7) program riset dan pengembangan teknologi tepat guna.
Dislutkan Kabupaten Subang memiliki pegawai berjumlah 95 orang mulai
dari Kepala Dinas hingga staf. Dari jumlah tersebut, 77 pegawai adalah lelaki dan
18 pegawai adalah perempuan. Dari 18 pegawai perempuan tersebut yang
menjabat tingkat Kepala Seksi (Kasie) atau Kepala Cabang Dinas di tingkat
kecamatan (KCD) ada tiga orang (7,9%) dari 38 posisi jabatan. Tenaga fungsional
yang mempunyai tugas pokok melaksanakan kegiatan dinas secara profesional
sesuai kebutuhan yang ada di Dislutkan baru satu orang yaitu arsiparis. Tenaga
fungsional yang dibutuhkan oleh Dislutkan adalah penyuluh perikanan dan
kelautan, penyidik PNS dan petugas pengendalian penyakit ikan (Dislutkan 2006).
Selama tahun anggaran 2005, jumlah nelayan dan pembudidaya yang telah
mengikuti pelatihan, kursus dan magang terdiri atas 615 nelayan dan 4.080
pembudidaya ikan. Salah satu dari Program Pengembangan Sumberdaya Kelautan
dilaksanakan melalui pembinaan kepada anggota Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) yaitu nelayan, pembudidaya ikan dan pengurus KUD Mina.
Materi utama pembinaan tersebut adalah peningkatan pendapatan nelayan dan
pembudidaya yang disertai peningkatan ketaatan terhadap peraturan, terutama
yang berkaitan dangan kewajiban pajak dan retribusi. Metode pembinaan adalah
dengan diskusi, temu wicara dan ceramah yang dilaksanakan langsung oleh
pengurus HNSI Kabupaten Subang didampingi tim teknis dari Dislutkan
(Dislutkan 2006).
Kegiatan lain dari Program Pengembangan Sumberdaya Kelautan adalah
bantuan alat tangkap jaring rampus untuk kelompok nelayan. Kegiatan ini baru
tersalurkan kepada Kelompok Nelayan Cinta Bahari Desa Muara Kecamatan
Blanakan. Hasil dari kegiatan ini adalah berkurangnya jumlah nelayan yang
60
menggunakan jaring yang dilarang yaitu jaring arad sehingga jenis ikan hasil
tangkapan dapat dikendalikan yaitu hanya ikan yang berukuran layak tangkap
saja. Dampak yang diharapkan dari kegiatan ini adalah terjaganya kelestarian
sumberdaya ikan dan produksi pun tetap stabil (Dislutkan 2006).
Dislutkan juga melaksanakan kegiatan pembinaan kepada pengolah ikan
laut. Pembinaan tersebut berbentuk penyuluhan dan pelatihan. Pembinaan
dilakukan dalam rangka peningkatan mutu hasil olahan dan peningkatan nilai
komoditi, seperti penyuluhan tentang bahan pengawet yang berbahaya untuk
kesehatan, pemasaran produk, pelatihan tentang jenis baru olahan ikan. Peserta
pembinaan adalah pengolah ikan baik lelaki dan perempuan. Lokasi
penyelenggaraan pembinaan (penyuluhan atau pelatihan) tergantung pihak
penyelenggara. Jika penyelenggara adalah Dislutkan maka pelaksanaannya
berlokasi di lingkungan kerja (kecamatan); jika penyelenggara adalah Dinas
Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat maka pelaksanaannya berlokasi di
Bandung; dan jika Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang
menyelenggarakan maka berlokasi di Tegal, Jawa Tengah (Dislutkan 2006).
4.4 Pengarusutamaan Gender Di Kabupaten Subang
4.4.1 Landasan hukum
Pelaksanaan pemberdayaan perempuan di Kabupaten Subang belum berada
di bawah wewenang instansi atau unit yang khusus. Upaya pemberdayaan
perempuan dan pengarusutamaan gender tersebut tidak berada pada satu sektor,
pelaksanaannya terdapat di berbagai sektor, tergantung subtansinya.
Landasan hukum dari upaya pemberdayaan perempuan dan PUG di
Kabupaten Subang adalah Surat Keputusan (SK) Bupati Subang No. 21 Tahun
2003 tentang Tim Koordinasi Pemberdayaan Perempuan dan SK No.
147.143/Kep.789-BPMD/2004 tentang Pembentukan Forum Komunikasi
Konsultasi dan Koordinasi Gender Kabupaten Subang. Landasan hukum dari
keputusan Bupati Subang tersebut adalah UU No 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan dan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam
Pembangunan.
61
SK Bupati Subang No. 21 Tahun 2003 tentang Tim Koordinasi
Pemberdayaan Perempuan ditandatangani oleh Bupati H. Rohimat pada tanggal 2
September 2003. Menurut SK ini, tim koordinasi adalah lembaga non struktural
dan merupakan unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada Bupati. Tim mempunyai tugas pokok membantu semua instansi, dinas,
badan, lembaga serta organisasi perempuan dalam rangka penanganan
pemberdayaan perempuan di daerah. Tim mempunyai fungsi:
(1) pengkoordinasian perumusan kebijakan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan program Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Daerah,
(2) pengkoordinasian pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang Pemberdayaan Perempuan dalam Pembangunan Daerah,
(3) pengkoordinasian kegiatan instansi, dinas, badan, lembaga serta organisasi perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi program-program dalam kegiatan Pemberdayaan Perempuan di Daerah, dan
(4) peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya Pemberdayaan Perempuan di Daerah.
Pembiayaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi (Tupoksi) tim dibebankan kepada: (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Kabupaten Subang; (2) Dana swadaya masyarakat; dan (3)
Sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
Susunan organisasi dari tim terdiri dari:
• Ketua : Wakil Bupati Kabupaten Subang • Ketua Harian : Sekretaris Daerah Kabupaten Subang • Koordinator :
- Kepala Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang - Ketua Tim Pengelola Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kabupaten
Subang - Kepala Dinas Sosial Kabupaten Subang - Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang - Kepala Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana Kabupaten
Subang - Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Subang - Ketua Komisi E DPRD Kabupaten Subang - Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten Subang - Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Subang - Ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Subang
• Kepala Sekretariat : Asisten Sekretaris Daerah I Kabupaten Subang • Kelompok-kelompok kerja (Pokja) terdiri dari:
- Pokja PUG,
62
- Pokja Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, - Pokja Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, dan - Pokja Peningkatan Peran Perempuan Menuju Keluarga Sehat Sejahtera.
Pada tanggal 7 Desember 2004 dikeluarkan SK No. 147.143/Kep.789-
BPMD/2004 tentang Pembentukan Forum Komunikasi Konsultasi dan Koordinasi
Gender Kabupaten Subang, yang kemudian disebut dengan Forkom Gender, yang
ditandatangani oleh Bupati Eep Hidayat. Pada saat ini kegiatan Forkom Gender
masih berjalan.
Forkom Gender memiliki tugas pokok untuk membantu Bupati dalam
menyelenggarakan koordinasi, komunikasi, konsultasi dan layanan fasilitasi di
bidang kesetaraan dan keadilan gender, tindakan kekerasan terhadap perempuan,
dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan dengan
dinas/badan/lembaga teknis terkait, perguruan tinggi, LSM yang mempunyai
minat terhadap pemberdayaan perempuan. Untuk melaksanakan tugas pokok
tersebut, Forkom Gender mempunyai fungsi:
(1) pelaksanaan koordinasi layanan konsultasi dan fasilitasi di bidang kesetaraan dan keadilan gender, tindakan kekerasan terhadap perempuan, dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan dengan dinas/badan/lembaga teknis terkait, perguruan tinggi, LSM yang mempunyai minat terhadap pemberdayaan perempuan,
(2) penyusunan rencana operasional Forum Komunikasi Gender yang bersifat regional sebagai implementasi kebijakan pemerintah pusat di bidang Pemberdayaan Perempuan,
(3) pemberian fasilitasi dan dukungan terbentuknya Forum Komunikasi di Kabupaten Subang,
(4) pelaksanaan sosialiasi kebijakan pemerintah mengenai Pengarusutamaan Gender (PUG), dan
(5) pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Forum Komunikasi Gender.
Biaya untuk pelaksanaan tugas Forkom Gender Kabupaten Subang
dibebankan kepada APBD II, anggaran sektor-sektor yang bersangkutan dan
anggaran swadaya dari Organisasi Perempuan LSM serta usaha atau bantuan yang
tidak mengikat dan sesuai ketentuan yang berlaku.
Susunan organisasi dari tim terdiri dari:
• Ketua : Sekretaris Daerah Kabupaten Subang • Ketua Harian : Asisten Sekretaris Daerah I Kabupaten Subang • Wakil Ketua Harian : Kepala BPMD Kabupaten Subang
63
• Sekretaris : Kepala Bagian Sosial Setda Kabupaten Subang • Kepala Sekretariat : Kepala Bidang Ketahanan Masyarakat Desa (KMD) –
BPMD Kabupaten Subang • Anggota :
- Kasubagian Pemuda Olahraga dan Peranan Wanita (POPW) Setda Kabupaten Subang
- Kasubidang Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa/Kelurahan BPMD Kabupaten Subang
- Kasi Pengembangan Ketahanan Keluarga dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Keluarga Dinas Kependudukan dan KB
- Kasubidang Pembinaan dan Peningkatan Kinerja Kader Pembangunan Desa/Kelurahan BPMD Kabupaten Subang
- Tiga orang pelaksana pada Bidang KMD BPMD Kabupaten Subang • Komisi-komisi terdiri dari:
- Komisi Kesetaraan dan Keadilan Gender - Komisi Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan, dan - Komisi Pemampuan dan Peningkatan Kemandirian Lembaga Dan
Organisasi Perempuan.
4.4.2 Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Subang
Sesuai SK Bupati Subang No. 147.143/Kep.789-BPMD/2004, Wakil Ketua
Harian Forkom Gender di Kabupaten Subang adalah Kepala BPMD dengan
Kepala Sekretariat Forkom Gender yang merupakan pelaksana harian PUG dan
pemberdayaan perempuan berada di bawah wewenang Kepala Bidang Ketahanan
Masyarakat Desa (KMD) dengan anggota jajaran di bawahnya.
BPMD melalui Bidang KMD merupakan pelaksana sosialisasi dan
penyuluhan di bidang pemberdayaan perempuan dan PUG di Kabupaten Subang.
Biaya penyelenggaraan kegiatan tersebut berasal dari APBD tingkat I, APBD
tingkat II atau bantuan luar negeri (misal dari United Nations Population Fund,
UNFPA). Tema program yang dibiayai oleh APBD I disesuaikan dengan
kebijakan dan program propinsi. Program yang dibiayai oleh APBD II, temanya
disesuaikan dengan kebijakan dan program dari instansi yang bersangkutan yaitu
BPMD Kabupaten Subang. Umumnya penentuan program dari instansi yang
bersangkutan dilaksanakan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) yang melibatkan pihak-pihak yang terkait atau pemangku
kepentingan dari program pembangunan terkait. Program yang akan dibiayai oleh
APBD II dilaksanakan berdasarkan skala prioritas, disesuaikan dengan sumber
dana yang dimiliki. Program yang dibiayai oleh bantuan luar negeri umumnya
merupakan program Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pemberdayaan
64
Perempuan (KPP), dengan demikian tema program disesuaikan dengan program
KPP.
Pada tahun 2004, BPMD telah menyelenggarakan 14 kegiatan yang
berhubungan dengan pemberdayaan perempuan dan PUG dari jumlah keseluruhan
23 kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah daerah. Dari jumlah
tersebut, Dislutkan menyelenggarakan satu kegiatan yaitu “Penyuluhan
Pemanfaatan Lahan Pekarangan, Cara Memilih Ikan Yang Baik, Manfaat Omega-
3 Pada Ikan Dan Kesehatan” yang ditujukan kepada keluarga binaan di lokasi
P2W-KSS (Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera).
Pada tahun 2005, BPMD menyelenggarakan “Workshop Penyusunan Dan
Penyajian Program Sektoral Yang Responsif Gender Di Kabupaten Subang”
sebanyak tiga tahap dengan masing-masing tahap selama dua hari. Peserta
workshop berjumlah 30 orang berasal dari 17 instansi pemerintah daerah. Setiap
instansi mengirimkan antara satu hingga tiga pegawainya, Dislutkan mengirim
satu pegawai sebagai peserta. Biaya penyelenggaraan workshop berasal dari
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan United Nations Population
Fund (UNFPA). Disamping itu, BPMD juga telah menyelenggarakan enam
kegiatan yang berhubungan dengan pemberdayaan perempuan dan PUG dari
jumlah keseluruhan 32 kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah
daerah; sedangkan Dislutkan sama sekali tidak menyelenggarakan kegiatan
sejenis.
Pada tahun 2006, BPMD menyelenggarakan delapan kegiatan yang
berhubungan dengan pemberdayaan perempuan dan PUG dari jumlah keseluruhan
14 kegiatan yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah daerah. Pada tahun
yang sama Dislutkan menyelenggarakan “Pelatihan Sumberdaya Perikanan dan
Kelautan” yang ditujukan kepada 40 orang lelaki pembudidaya ikan dan nelayan
serta 40 perempuan pengolah ikan.
Pada tahun 2007, BPMD menyelenggarakan lima kegiatan terkait
pemberdayaan perempuan dan PUG. Lima kegiatan tersebut adalah sebagai
berikut:
• Sosialisasi tentang Pengarusutamaan Gender
• Sosialisasi tentang Pemberantasan Buta Aksara Bagi Perempuan
65
• Sosialisasi tentang Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)
• Sosialisasi tentang Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat
Sejahtera (P2WKSS), dan
• Sosialisasi tentang Ibu dan Anak.
Salah satu sasaran pemberdayaan perempuan adalah terhadap perempuan
kepala keluarga. Proyek percontohan pemberdayaan perempuan kepala keluarga
(PEKKA) di Kabupaten Subang dilaksanakan di Kecamatan Tanjungsiang yang
meliputi delapan desa. Anggota kelompok PEKKA pada akhir tahun 2005 ini
berjumlah 13 kelompok yang terdiri dari 283 orang. Anggota PEKKA umumnya
berumur antara 41-50 tahun dan menanggung beban sekitar satu anggota keluarga.
Sebagian besar dari mereka menjadi kepala keluarga karena suami meninggal
dunia.
Tujuan dari PEKKA adalah menumbuhkan rasa kebersamaan antar anggota
untuk dapat mengembangkan kemandirian mereka sehingga dapat memperbaiki
taraf hidup mereka sendiri. Pencapaian tujuan ini melalui berbagai kegiatan yang
meliputi pelaksanaan pelatihan dan lembaga keuangan mikro (LKM).
Tema pelatihan yang telah dilaksanakan adalah kewirausahaan, pemasaran,
dan kepemimpinan. Pelatihan kewirausahaan dan pemasaran ditujukan kepada
anggota PEKKA, sedangkan pelatihan kepemimpinan ditujukan kepada pimpinan
kelompok PEKKA untuk kaderisasi.
Lembaga keuangan mikro dari kelompok PEKKA Kecamatan Tanjungsiang
bernama LKM Harapan Perempuan. Anggota LKM ini telah diajarkan oleh
pendamping lapang (PL) mengenai neraca pembukuan kas masuk dan kas keluar,
sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh ibu-ibu anggota kelompok PEKKA. LKM
ini pun menangani simpan-pinjam anggota PEKKA. Nilai total modal simpanan
kelompok LKM Harapan Perempuan pada tahun 2005 adalah Rp.242.056.700;
sedangkan kumulatif pinjaman pada tahun 2005 adalah Rp.14.819.950. Fasilitas
pinjaman dari LKM ini dimanfaatkan oleh anggota kelompok PEKKA untuk
modal kerja mereka. Usaha yang telah mereka lakukan antara lain adalah
membuat keripik tempe dan sapu ijuk serta berdagang. Umumnya para anggota
kelompok ini berusaha untuk membayar kembali pinjaman mereka kepada LKM
agar dapat meminjam kembali di kemudian hari (PEKKA 2006).
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Masyarakat Kecamatan Blanakan
5.1.1 Karakteristik sosial budaya
Data karakteristik sosial budaya penduduk di lokasi penelitian diperoleh
melalui wawancara dengan responden dan informan serta diperkuat melalui
pengamatan terhadap perilaku dan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan.
Disamping itu, data diolah dari data sekunder berupa Profil Kecamatan dan Profil
Kabupaten.
(1) Struktur sosial
Struktur sosial dalam komunitas menunjukkan bahwa status lelaki yang
menikah adalah menjadi suami yang merangkap kepala keluarga, sedangkan
status perempuan yang menikah adalah istri. Status suami, sang kepala keluarga,
mewajibkan lelaki untuk mencari nafkah guna membiayai keluarga, disamping itu
dia berhak atas kepatuhan istri. Sebaliknya, perempuan berstatus istri wajib
mengurus rumahtangga dan berhak dinafkahi oleh suami. Pernyataan responden
bapak S dan ibu C sebagai berikut:
“Suami kan cari uang buat keluarga, istri yang urus rumah (rumahtangga), jadi istri harus patuh pada suami. Urusan luar rumah biar suami saja.”
Meskipun demikian, pada umumnya istri bekerja untuk mencari nafkah guna
menambah uang belanja. Menurut ibu M dan ibu C:
“Wajar, kalau istri juga kerja jika penghasilan suami sedikit. Itu (penghasilan istri) dapat menambah uang dapur (uang belanja). Kalau tidak begitu, keluarga bisa tidak makan. Hasil dari melaut tidak tentu.”
Dua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembagian peran terkait dengan
status suami-istri pada komunitas setempat tidak berlaku secara ketat. Dengan
kata lain, meskipun mencari nafkah adalah tugas utama suami, tetapi mereka tidak
berkeberatan jika istri juga bekerja mencari nafkah.
Dalam kegiatan sehari-hari, lelaki bekerja di luar rumah, sedangkan
perempuan mengurus rumah dan dapat bekerja di luar rumah. Di TPI dan di
pengolahan ikan banyak dijumpai perempuan yang bekerja. Dalam lingkungan
keluarga, anak lelaki yang sudah lulus SD, usia di atas 13 tahun, banyak yang
membantu pekerjaan ayahnya, sedangkan anak perempuan yang berusia lulus SD
67
membantu ibu mengurus rumah, bahkan mulai bekerja di industri pengolahan
ikan. Pendapat yang serupa dari beberapa responden lelaki dan perempuan di
lokasi penelitian tentang anak yang ikut bekerja sebagai berikut:
“Saya dulu juga begitu. Awalnya, saya membantu orangtua (lelaki ikut melaut atau perempuan ikut mengolah ikan) dulu, baru bekerja sendiri. Anak saya pun begitu (melakukan hal yang sama). Jadi mereka terbiasa bekerja.”
Dari sejak dini dan dalam lingkungan keluarga, orangtua sudah membiasakan
anak mereka bekerja sesuai dengan jenis kelaminnya, yaitu anak perempuan
dididik oleh ibunya untuk melakukan pekerjaan domestik, sedangkan anak lelaki
dididik oleh ayahnya untuk melakukan pekerjaan produktif (nelayan). Anak
perempuan dari ibu yang bekerja di luar rumah juga dididik melakukan pekerjaan
yang sama, misal mengolah ikan atau berjualan, tetapi anak lelaki tidak dilibatkan
dalam melakukan pekerjaan domestik seperti membersihkan rumah, mencuci
piring, belanja. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sosialisasi gender di
lingkungan keluarga dari usia dini dan berlangsung turun temurun sebagaimana
diutarakan oleh beberapa responden di lokasi penelitian:
“Saya ajari anak saya seperti orangtua saya mengajar saya. Anak perempuan diajar oleh ibunya, anak lelaki diajar oleh bapaknya. Jadi anak perempuan membantu ibunya mengurus rumah, (sedangkan) anak lelaki bekerja seperti bapaknya.”
(2) Sosial budaya
Penduduk yang tinggal dekat dengan daerah pesisir umumnya merupakan
pendatang yang sudah hidup turun-temurun bertempattinggal di lokasi tersebut.
Daerah asal orangtua mereka antara lain dari pesisir pantai utara Pulau Jawa
seperti Indramayu, Cirebon, Brebes dan Tegal. Penyebab mereka berpindah dari
tempat asal mereka ke pesisir Subang adalah mencari lokasi penangkapan ikan
yang lebih baik bagi mereka, karena pada umumnya matapencaharian utama
mereka adalah sebagai nelayan, yang bersifat turun-temurun.
Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk di lokasi penelitian
adalah bahasa Jawa pesisir utara, bercampur bahasa Indonesia. Logat bicara
mereka masih mirip dengan logat Jawa pesisir utara. Dalam kehidupan sehari-hari
adat istiadat yang masih digunakan umumnya adalah untuk keperluan pernikahan.
Adat istiadat perkawinan yang digunakan adalah adat Jawa Tengah pesisir, yang
68
meliputi pemakaian busana pengantin dan orangtua pengantin, penyelenggaraan
acara siraman dan midodareni yang merupakan acara adat yang dilaksanakan
sehari sebelum acara pokok pernikahan, yaitu acara ijab kabul secara agama
Islam.
Penduduk di lokasi penelitian mayoritas (99,97%) menganut agama Islam
(BPS dan Bapeda Subang 2005). Masyarakat di dua desa tersebut aktif
menghadiri acara pengajian mingguan (minggonan) atau Majelis Taklim, baik
lelaki maupun perempuan. Pengajian perempuan banyak dilaksanakan di rumah,
sedangkan pengajian lelaki banyak dilakukan di masjid. Hari besar Islam seperti
Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Idul Fitri dan Idul ’Adha diperingati dengan meriah
secara bersama-sama oleh kaum lelaki dan perempuan. Perayaan tersebut berupa
pengajian dan ceramah yang banyak dihadiri oleh penduduk setempat. Perayaan
hari raya Idul Fitri lebih meriah daripada hari raya Idul ’Adha. Pada saat Idul Fitri
terjadi tradisi mudik atau pulang kampung yang umumnya hanya dilakukan oleh
nelayan pendatang dan pekerja pendatang lainnya, sedangkan penduduk setempat
yang sudah hidup turun-temurun di desa tersebut merayakan hari raya di desa
mereka.
Setiap hari Jum’at kegiatan nelayan lokal banyak yang berhenti atau libur
melaut. Alasan libur adalah untuk beribadah sekaligus beristirahat. Waktu istirahat
seperti di tempat pelelangan ikan (TPI) dan pengolahan ikan dilakukan lebih lama
(pukul 11.00-14.00) dibanding hari lainnya (pukul 12.00-13.00). Alasan
penetapan waktu istirahat yang lebih panjang tersebut adalah untuk memberikan
waktu untuk beribadah yang lebih panjang (sholat Jum’at) kepada pelaku
perikanan.
Tempat ibadah yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari 42 mesjid dan
121 musholla (BPS dan Bapeda Subang 2005). Pada umumnya tempat ibadah
tersebut mudah dijumpai dan mudah didatangi. Selain untuk keperluan ibadah,
masjid dan musholla juga dimanfaatkan untuk pendidikan agama. Menurut
responden, mereka menyekolahkan anak usia SD ke TPA (Tempat Pendidikan Al
Qur’an) atau mengikutsertakannya pada pengajian di mesjid atau musholla. Hal
ini menunjukkan bahwa penduduk setempat memberi perhatian yang lebih
terhadap pendidikan agama anak mereka.
69
Dari hasil survei dan wawancara, diketahui bahwa perempuan memiliki
tingkat pendidikan formal terakhir yang lebih rendah dibanding lelaki. Hal
tersebut tampak dari persentase pencapaian pendidikan terakhir responden (Tabel
18) yang menunjukkan bahwa perempuan yang bersekolah hingga tingkat SD
sebanyak 76,67 persen, sedangkan lelaki sebanyak 83,34 persen. Demikian halnya
dengan persentase responden yang tidak sekolah yaitu perempuan tidak sekolah
sebanyak 16,67 persen sedangkan lelaki sebanyak 10 persen.
Tabel 18 Pendidikan terakhir responden menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
Pendidikan akhir Lelaki Perempuan Jumlah (jiwa) Persentase (%) Jumlah (jiwa) Persentase (%)
Tidak sekolah 3 10,00 5 16,67 Tidak lulus SD 16 53,34 15 50,00 Lulus SD 9 30,00 8 26,67 Tidak lulus SMP 0 0,00 2 6,67 Lulus SLTP 1 3,33 0 0,00 Tidak lulus SLTA 1 3,33 0 0,00
Total 30 100,00 30 100,00
Penyebab rendahnya pendidikan formal pada responden perempuan
umumnya karena mereka tidak didorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, disamping orangtua mereka tidak mempunyai cukup uang untuk
menyekolahkan mereka, sehingga mereka cenderung untuk menikah dalam usia
muda. Sebaliknya, responden lelaki banyak yang memilih berhenti sekolah karena
ingin bekerja. Menurut responden lelaki, bekerja (seperti melaut) akan
menghasilkan uang, sebaliknya sekolah harus mengeluarkan uang, dan mereka
lebih memilih untuk bekerja.
Pada saat ini umumnya anak-anak dari keluarga nelayan bersekolah hingga
lulus SD, tetapi tidak selalu melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP. Jika ada anak
yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP, menurut informan belum tentu
mereka lulus sekolah, karena pengaruh lingkungan di pesisir yang lebih menarik
minat mereka untuk bekerja dibanding bersekolah. Orangtuapun, umumnya, tidak
mendorong anaknya belajar lebih lanjut, mereka menyerahkan pengambilan
keputusan untuk melanjutkan sekolah atau tidak kepada anaknya. Bahkan ada
responden yang mengatakan bahwa sekolah tinggi-tinggi (sampai ke tingkat
perguruan tinggi) hanya menghabiskan uang dan waktu. Bahkan kalau sudah
luluspun terkadang sulit mencari kerja atau menganggur
70
Diantara responden ada yang menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi (SLTP ke atas). Mereka menyekolahkan anak ke luar wilayah
kecamatan, meskipun di Kecamatan Blanakan sudah ada sekolah menengah
pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) (lihat Tabel 19). Alasan
mereka adalah karena lingkungan di wilayah pesisir cenderung lebih
mengutamakan bekerja akan menghambat minat anak untuk bersekolah ke jenjang
lebih tinggi.
Tabel 19 Sekolah di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005 Sekolah Jumlah
Taman kanak-kanak 1 SD/sederajat 29 SLTP/sederajat 2 SLTA/sederajat 1 Sumber: BPS Subang 2006
Sarana komunikasi yang umum tersedia di lokasi penelitian adalah televisi
dan radio serta telepon. Secara rinci, jumlah televisi sebanyak 7.916 buah, jumlah
radio sebanyak 10.163 buah dan telpon sebanyak 238 buah (BPS dan Bapeda
Subang 2005). Menurut responden, mereka menonton televisi pada saat santai.
Acara televisi yang diminati oleh perempuan adalah yang bersifat hiburan seperti
sinetron, Hal ini diungkapkan oleh beberapa perempuan nelayan di lokasi
penelitian sebagai berikut:
“Saya nonton TV saat menganggur, biasanya pagi hari setelah selesai mengurus rumah dan belanja, sambil menunggu suami pulang dari melaut. Biasanya nonton lagi setelah makan malam. Kalau siang, nonton acara Buser, Patroli. Kalau malam, nonton sinetron.”
Acara yang diminati oleh lelaki adalah acara berita dan olahraga khususnya
sepakbola. Kadangkala nelayan dan istri nelayan menonton TV sambil
memperbaiki jaring. Hal ini diutarakan oleh beberapa nelayan di lokasi penelitian
sebagai berikut:
“Saya nonton TV setelah makan malam atau setelah maghrib. Kadang-kadang nonton sambil memperbaiki jaring. Acara yang ditonton biasanya berita, kalau ada bola (pertandingan sepakbola) pasti nonton.”
Radio sebagai sumber infomasi juga dimiliki oleh penduduk setempat dan
nelayan yang tinggal di perahu. Menurut responden, hiburan bagi nelayan saat
melaut adalah radio dan tape recorder, oleh karena itu umumnya di perahu
nelayan tersedia radio-tape recorder. Umumnya acara radio yang didengar
71
responden adalah acara hiburan dan berita. Hal ini diungkapkan oleh beberapa
nelayan sebagai berikut:
“Sambil menunggu jaring diangkat lagi (setelah ditebar), saya tidur-tiduran atau mendengar lagu-lagu (dari radio atau tape) juga kadang berita dari radio.”
Prasarana telepon terbagi menjadi dua yaitu telepon publik dan telepon
pribadi. Telepon publik yang tersedia berupa telepon umum dan warung telepon
(Wartel), sedangkan yang tergolong telepon pribadi berupa telepon rumah
(jaringan Telkom) maupun telepon seluler (handphone). Jaringan telepon seluler
yang terjangkau di lokasi penelitian adalah jaringan Telkomsel dan Indosat.
Banyak aparat desa, pengurus KUD, pedagang ikan, pengolah ikan dan nelayan
yang sudah memiliki telepon seluler dan dimanfaatkan untuk keperluan
perdagangan ikan, seperti memantau harga terakhir dan keperluan pemesanan
komoditas ikan. Bakul ikan bapak J mengungkapkan sebagai berikut:
“HP (handphone atau telpon seluler) sangat berguna untuk mengecek harga-harga ikan di pedagang besar. Jadi bisa mengurangi kerugian.”
Sumber informasi lain, seperti suratkabar dan majalah jarang dijumpai di
lokasi penelitian. Selama penelitian dilakukan, di rumah-rumah responden jarang
dijumpai suratkabar baru yang sengaja dibeli untuk dibaca. Pada umumnya
mereka membeli atau mencari suratkabar bekas untuk penggunaan keperluan
produksi yaitu peng-es-an atau pengepakan ikan.
5.1.2 Kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut
Kabupaten Subang memiliki dua pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang
keduanya berlokasi di Kecamatan Blanakan. Kegiatan di bidang perikanan laut
dan permukiman nelayan terpusat di dekat atau di sekitar PPP yang terletak di
pinggir sungai Ciasem (Desa Muara Ciasem) dan sungai Blanakan (Desa
Blanakan). Keberadaan PPP di lokasi penelitian telah dilengkapi dengan Tempat
Pelelangan Ikan (TPI). PPP dan TPI ini dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD)
Mina.
Keberadaan PPP/TPI di Desa Blanakan dan Desa Muara Ciasem ini
menunjang aktivitas perekonomian bidang perikanan di dua desa tersebut seperti
perdagangan ikan basah dan pengolahan ikan laut, disamping itu juga telah
72
membangkitkan usaha ekonomi lainnya seperti pusat perdagangan baik sandang
dan pangan, serta bidang telekomunikasi seperti warung telekomunikasi (wartel).
(1) Koperasi Unit Desa (KUD) Mina
Pelabuhan Blanakan dan Muara Ciasem termasuk pelabuhan perikanan
pantai (PPP), yaitu pelabuhan yang dirancang untuk melayani kapal perikanan
berukuran 5-15 GT dan kapal ikan yang beroperasi di perairan pantai (PIPP 2006).
Tabel 20 menunjukkan perahu atau kapal motor yang mendaratkan ikan di dua
PPP di Kecamatan Blanakan.
Tabel 20 Perahu/kapal motor yang mendaratkan ikan di PPP Blanakan dan PPP Muara Ciasem Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005
Ukuran perahu/kapal motor Jumlah perahu/kapal motor (buah) (Gross Ton/GT) PPP Blanakan PPP Muara
< 5 37 78 5 - 9,99 198 47 10 - 15 29 59 Total 264 184 Sumber: Fajar Sidik 2005, Mina Bahari 2005
Pengelola Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan pelabuhan perikanan pantai
(PPP) di lokasi penelitian adalah KUD (Koperasi Unit Desa) Mina Mandiri, yaitu
KUD Mandiri Mina Fajar Sidik yang mengelola TPI Blanakan dan KUD Mandiri
Mina Bahari yang mengelola TPI Muara. PPP di lokasi penelitian tergolong maju,
karena sudah dilengkapi dengan TPI, dermaga, listrik, dan air tawar. Bahkan PPP
di Desa Blanakan sudah memiliki perumahan nelayan tipe RSS (Rumah Sangat
Sederhana) dan stasiun penyediaan solar untuk nelayan atau SPDN (Solar Packed
Dealer Nelayan).
Hasil total produksi dua KUD/TPI tersebut menempati peringkat pertama
dan kedua untuk semua KUD/TPI di Kabupaten Subang (lihat Tabel 17 di Bab 4)
dengan total produksi sebesar 76,95 persen dari total produksi perikanan laut
Kabupaten Subang. Hasil pelelangan ikan atau produksi dari KUD/TPI Fajar
Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21 Produksi KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005
KUD/TPI Volume produksi (ton) Nilai produksi (Rp) Fajar Sidik 9.947,2 86.789.320.000
Mina Bahari 3.559,8 31.059.255.000 Total 13.507,0 117.848.575.000
Sumber: BPS 2006
73
KUD/TPI Fajar Sidik dan KUD/TPI Mina Bahari terletak di wilayah
kecamatan yang sama dan merupakan pesaing satu sama lain, disamping itu
sistem honorarium pengurus dan pegawai KUD/TPI tergantung nilai pelelangan
ikan. Oleh karena itu, masing-masing KUD berusaha untuk memberikan
pelayanan yang memuaskan bagi pembeli dan pemasok ikan, khususnya nelayan
dari luar daerah yang mempunyai armada perikanan yang lebih besar dan lebih
moderen dibanding nelayan lokal yang masih menggunakan perahu sope. Inilah
yang menyebabkan para pengurus KUD selalu berusaha untuk menarik minat
nelayan dari luar wilayah Kabupaten Subang untuk menjadi anggota KUD
setempat dan melelang ikan hasil tangkapannya di TPI yang mereka kelola.
Berbagai cara dilakukan untuk melayani nelayan tersebut, antara lain dengan
menyediakan kemudahan dalam memperoleh keperluan melaut seperti BBM, es
balok, air tawar, dan bahan pangan; harga lelang ikan yang lebih tinggi daripada
harga di TPI lain; adanya kepastian bahwa ikan tangkapan akan habis terjual di
tempat pelelangan; pembayaran tunai bagi nelayan yang melelang ikan; dan
keamanan saat perahu atau kapal bersandar untuk mendaratkan ikan.
Dua KUD Mina ini juga mengelola berbagai bidang usaha lain disamping
mengelola TPI dan PPP. KUD Mina Fajar Sidik di Desa Blanakan mempunyai
lima unit usaha, yaitu unit TPI, unit pabrik es, unit simpan pinjam, unit warung
telekomunikasi (Wartel) dan unit SPDN (Fajar Sidik 2005). KUD Mina Bahari di
Desa Muara Ciasem mempunyai lima unit usaha, yaitu unit TPI, unit simpan
pinjam, unit warung serba ada (Waserda), unit kios pembayaran listrik PLN (unit
listrik) dan unit kios telekomunikasi (Kiostel) (Mina Bahari 2005).
Unit simpan-pinjam di dua KUD hanya melayani anggota KUD yang aktif.
Yang disebut anggota aktif yaitu aktif dalam hal (i) menyimpan uang di KUD; dan
(ii) ikut lelang dan melelang ikan di TPI yang dikelola KUD yang bersangkutan.
Nelayan atau pedagang ikan yang tidak menjadi anggota KUD dan tidak aktif
terlibat dalam pelelangan ikan serta nilai simpanan lebih rendah daripada nilai
pinjamannya maka dia tidak dapat meminjam uang karena dana simpanan
berfungsi sebagai agunan.
TPI merupakan tempat pertemuan antara nelayan yang memasok ikan dan
pembeli ikan, pedagang ikan segar atau pengolah ikan. Jadi TPI sekaligus
74
berfungsi sebagai tempat usaha penyedia jasa. Adanya Perda Propinsi Jawa Barat
No 5 Tahun 2005 tentang retribusi dan penyelenggaraan TPI yang mewajibkan
penjualan hasil ikan tangkapan dilakukan di TPI menyebabkan nelayan harus
menjual ikan secara lelang di TPI dan tidak menjual ke Bakul Ikan. Dengan
demikian, para Bakul Ikan harus membeli ikan melalui sistem lelang di TPI. Biaya
untuk lelang yang dikenakan kepada nelayan sebesar dua persen, sedangkan
kepada bakul (pembeli) sebesar tiga persen dan dari hasil pemotongan untuk biaya
lelang tersebut, Pemda memperoleh 1,6 persen.
Melelang ikan hasil tangkapan di TPI ada keuntungan. Keuntungan nelayan
menjual ikan di TPI adalah: (i) hasil ikan tangkapan pasti terjual, karena pihak
KUD dapat memaksa pedagang besar atau pembeli yang bermodal besar untuk
membeli ikan tangkapan tersebut, (ii) adanya peluang ikan akan dapat terjual
dengan harga cukup tinggi dengan adanya sistem lelang yang mengharuskan
pembeli bertarung harga untuk mendapatkan ikan. Kerugian nelayan dari menjual
ikan di TPI adalah: (i) adanya pemotongan dari TPI terhadap hasil lelang tersebut
dengan besaran yang bervariasi yaitu 7 persen di TPI Fajar Sidik dan 11 persen di
TPI Mina Bahari, (ii) sistem antrian dalam keikutsertaan pelelangan yang cukup
melelahkan bagi nelayan sepulang melaut, apalagi bagi mereka yang memperoleh
hasil tangkapan ikan sedikit. Hal ini dialami oleh nelayan Desa Muara yang harus
menjual hasilnya sendiri dan bukan dibantu oleh istri seperti nelayan di Desa
Blanakan, (iii) penjualan ikan dengan cara pemajangan ikan kurang memuaskan
nelayan karena adanya penaksiran berat ikan yang berbeda antara nelayan dengan
yang terlelang; (iv) sulitnya meminjam uang untuk keperluan perbaikan mesin
atau pembelian perbekalan melaut, walau dengan besaran berkisar antara 100-200
ribu rupiah saja, akibat nilai simpanan di KUD lebih rendah dari nilai pinjaman.
Harga pelelangan ikan tidak dapat dipastikan, sewaktu-waktu dapat naik dan
kapan saja dapat turun, tergantung pasokan. Pada saat paceklik, harga ikan
cenderung tinggi akibat pasokan yang sedikit. Sebaliknya, pada saat panen, harga
ikan turun karena banyaknya ikan yang dilelang. Menurut nelayan, pada musim
paceklik, harga ikan pada saat pelelangan pagi atau siang hari lebih rendah
daripada harga pelelangan sore hari dimana para pembeli harus bertarung untuk
dapat membeli ikan dan akibatnya harga lelang ikan dapat meningkat sekitar 30
75
persen. Sebaliknya, pada musim panen, harga ikan pada saat pelelangan pagi hari
lebih tinggi daripada harga pelelangan sore hari, karena mutu ikan lebih baik dan
pembeli pun bersaing ketat untuk mendapatkan ikan segar, perbedaan harga dapat
mencapai 50 persen.
Kantor KUD Fajar Sidik di Desa Blanakan dan juga KUD Mina Bahari di
Desa Muara Ciasem sering digunakan sebagai tempat penyelenggaraan
pembinaan bidang perikanan laut untuk tingkat kecamatan oleh Dislutkan dan
perguruan tinggi seperti Institut Pertanian Bogor (IPB). Pembinaan tersebut
umumnya berupa penyuluhan dan pelatihan. Penyuluhan yang pernah
diselenggarakan di kantor KUD tersebut antara lain tentang sosialisasi Peraturan
Daerah (Perda) Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang Retribusi dan
Penyelenggaraan TPI, sosialisasi tentang hukum laut dan navigasi, pelatihan
tentang perbaikan mesin dan alat tangkap yang kesemuanya ditujukan kepada
nelayan. Pembinaan kepada pengolah ikan yang pernah diselenggarakan berupa
pelatihan tentang teknologi pengolahan ikan dan sosialisasi tentang mutu olahan
ikan dipandang dari segi kesehatan manusia, seperti larangan penggunaan
formalin sebagai bahan pengawet ikan.
Karyawan di KUD Fajar Sidik berjumlah 50 orang dengan komposisi 43
lelaki dan 7 perempuan. Karyawan di KUD Mina Bahari berjumlah 26 orang
dengan komposisi 24 lelaki dan dua perempuan. Karyawan perempuan umumnya
bertugas di bagian administrasi dan kerumahtanggaan. Petugas di TPI umumnya
adalah lelaki, alasan yang dikemukakan oleh bapak S sebagai berikut:
“Kerja di pelelangan ikan itu berat, jadi dikerjakan oleh lelaki. Perempuan tidak kuat kerja berdiri dan berteriak seharian untuk melelang ikan.”
(2) Komunitas perikanan laut
Pelaku yang terkait dengan kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut ini
adalah (i) nelayan, (ii) pedagang ikan, dan (iii) pengolah ikan.
(i) Nelayan
Nelayan lokal, sebagai nelayan kecil, umumnya memiliki perahu motor
tempel (PMT) yang disebut perahu sope yang menggunakan satu mesin motor.
Perahu sope berukuran dibawah 5 GT, dengan jenis alat tangkap ikannya (jaring)
adalah jaring rampus, jaring udang, jaring kada dan jaring arad. Wilayah tangkap
76
ikan nelayan lokal adalah di sekitar pantai. Jenis ikan yang dapat ditangkap oleh
nelayan yang menggunakan jenis jaring tersebut adalah sebagai berikut: ikan
kembung, ikan kurau, ikan blanak, ikan tigawaja, ikan petek, udang dogol, dan
rebon. Harga ikan yang tergolong mahal dari tangkapan nelayan kecil tersebut
adalah udang dogol, ikan kurau, ikan kembung, ikan blanak dan ikan tiga waja,
sedangkan ikan yang tergolong harga murah adalah ikan petek dan rebon. Pada
saat panen ikan kembung, nelayan akan mendapat uang banyak yang disebut
dengan along.
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di akhir tahun 2005
menyebabkan banyak nelayan yang berhenti melaut, sehingga produksi menurun.
Pada saat musim paceklik ikan yang ditambah dengan kenaikan harga BBM yang
meningkat tajam maka banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut daripada
merugi besar. Pada saat wawancara dengan nelayan dan istri nelayan, tercetus
keluhan dari mereka tentang kenaikan harga solar per liter dari Rp.2.100 menjadi
Rp.4.300 yang menyebabkan pendapatan mereka menjadi sangat menurun karena
meningkatnya ongkos melaut, sedangkan harga ikan tidak meningkat karena
dipengaruhi oleh harga pasar. Tingginya komponen bahan bakar dan
ketidakpastian memperoleh hasil tangkapan ikan jelas akan sangat merugikan dan
meningkatkan jumlah hutang para nelayan. Untuk menyiasati tingginya harga
solar, mereka mengganti bahan bakar perahu dengan minyak tanah dengan harga
eceran per liter sebesar Rp.3.000. Ungkapan responden di lokasi penelitian
mengenai kenaikan harga BBM adalah sebagai berikut:
“Itu (harga solar naik) sih ganti harga, bukan kenaikan harga. Bikin nelayan tambah susah. Harga ikan tidak pasti, tapi belanja minyak (solar) sudah pasti banyak. Biar ada kelebihan hasil (uang penjualan ikan), solar diganti minyak tanah.”
Pada awalnya, untuk melumasi mesin perahu agar bekerja dengan mulus,
nelayan mencampur (meng-oplos) 20 liter minyak tanah dengan satu liter oli
motor bekas. Perkembangan selanjutnya (saat penelitian dilakukan April 2006),
nelayan di dua desa sudah tidak lagi mencampur oli bekas dengan minyak tanah
karena mereka beranggapan bahwa mesin perahu sudah dapat beradaptasi dengan
minyak tanah. Menurut nelayan, bapak K:
77
“Awalnya sih, minyak tanah dicampur oli bekas untuk ganti solar. Sekarang mesin perahu sudah biasa dengan minyak tanah saja, jadi tak perlu ditambah oli bekas.”
Menurut nelayan, biaya kerusakan mesin (sparepart) akibat penggunaan minyak
tanah masih lebih rendah daripada hasil penjualan tangkapan ikan, sehingga
mereka lebih memilih untuk menggunakan minyak tanah daripada solar sebagai
bahan bakar mesin perahu. Pada umumnya mesin perahu sope yang digunakan
nelayan adalah mesin buatan Cina yang disebut mesin dompleng yang
memungkinkan terjadinya penggantian penggunaan jenis bahan bakar yang tidak
mempengaruhi kerja mesin kapal motor. Nelayan yang menggunakan kapal motor
besar (bukan perahu sope) dengan penggunaan mesin sejenis Kubota sangat
dipengaruhi oleh harga solar yang tinggi sebagai bahan bakar mesin dan tidak
dapat diganti dengan minyak tanah.
Di PPP (pelabuhan perikanan pantai) Blanakan sudah ada fasilitas SPDN
(Solar Packed Dealer Nelayan) yang menjual solar dengan harga yang telah
ditetapkan oleh Pertamina (yaitu Rp.4.300/liter). PPP di Desa Muara belum
memiliki SPDN sehingga nelayan setempat harus membeli solar secara eceran
dengan harga yang lebih tinggi yaitu antara Rp.4.700 sampai Rp.5.000. Hal ini
menunjukkan bahwa kemudahan mendapat pasokan BBM sesuai harga pasar juga
mempengaruhi besarnya biaya untuk melaut. Disamping itu, kelangkaan atau
keterlambatan pemasokan BBM juga mempengaruhi kinerja nelayan yang tidak
dapat berangkat melaut.
Nelayan di Desa Muara Ciasem yang membutuhkan BBM juga perlu
menjaga hubungan baik dengan penjual BBM tersebut. Adanya konflik antara
pembeli (nelayan) dengan penjual BBM dapat menghambat pasokan BBM,
sehingga nelayan harus membeli BBM ke luar desa yang membutuhkan biaya
transportasi tambahan untuk membawa BBM tersebut ke perahu yang disandarkan
di tepi sungai Ciasem. Hal ini berarti adanya biaya tambahan untuk mendapatkan
pasokan BBM.
Kebutuhan akan bahan bakar menentukan lamanya nelayan melaut yaitu
semakin jauh jarak melaut dan semakin lama di laut maka bahan bakar yang
dibutuhkan juga semakin banyak. Biaya pengadaan bahan bakar merupakan
komponen terbesar (50-60%) dari keseluruhan biaya perbekalan melaut,
78
disamping konsumsi dan rokok. Rincian biaya operasional nelayan perahu sope
melaut selama satu hari dan dengan dua atau tiga orang awak perahu (1 Jurumudi
dan 1-2 Bidak) adalah BBM (minyak tanah) 10 liter @ Rp.3.000, 2-3 bungkus
rokok @ Rp.2.500, 2-3 bungkus nasi @ Rp.5.000, dan 2-6 bungkus mi instant @
Rp.1.000. Total pengeluaran adalah sebesar Rp.47.000-58.500. Pada musim
paceklik, biaya melaut dapat ditekan melalui pengurangan biaya untuk komponen
konsumsi.
Istri nelayan memegang peranan penting dalam pengaturan keuangan usaha
perikanan. Istri yang membagikan uang hasil penjualan ikan kepada jurumudi dan
Bidak yang melaut, karena istri yang menjual ikan ke TPI dan yang menerima
uang. Pembagian uang hasil penjualan ikan yang umum dilakukan di lokasi
penelitian adalah sebagai berikut: 50 persen untuk Juragan dan 50 persen lainnya
untuk Jurumudi dan Bidak, dengan demikian semakin banyak awak perahu yang
melaut akan semakin sedikit uang yang diperoleh. Oleh karena biaya pembelian
perbekalan melaut ditanggung oleh pihak Juragan, maka Juragan memperoleh
bagian yang lebih besar. Temuan ini membuktikan bahwa perempuan nelayan
berperan dalam pengelolaan usaha keluarga sesuai pendapat Hubeis (2001).
Pengelolaan keuangan rumahtangga umumnya dilakukan oleh istri atau
kaum perempuan. Pengelolaan keuangan oleh perempuan di daerah didasarkan
persepsi masyarakat bahwa kaum perempuan lebih hati-hati dalam mengatur
keuangan baik keluarga atau usaha dibandingkan dengan kaum lelaki. Disamping
itu, pelabelan negatif (stereotipi) yang umum dan terkait dengan pengelolaan
keuangan dalam komunitas pesisir adalah kaum perempuan itu pelit dan pintar
mengurus uang, sedangkan kaum lelaki itu boros dan tak dapat mengurus uang.
Hal ini diungkapkan oleh bapak S, ibu M, bapak M, dan ibu C:
“Perempuan itu pelit, maka pintar simpan uang. Lelaki itu boros, enggak (tidak) bisa simpan uang.”
Pendapat yang senada diutarakan oleh bapak C, ibu M, bapak S dan ibu C sebagai
berikut:
“Kalau laki (suami) pegang uang, dalam sekejab uang habis. Biar istri saja yang pegang (mengelola) uang. Suami tinggal terima uang rokok.”
79
Stereotipi ini yang menyebabkan kaum perempuan dianggap sesuai sebagai
pengelola keuangan. Pada saat along (panen ikan) terjadi peningkatan biaya
belanja untuk keperluan makan keluarga dan jajan anak serta investasi berupa
pembelian perhiasan emas yang kelak dapat dijual lagi saat paceklik.
Pengaturan yang dilakukan oleh istri pada saat memiliki banyak uang dari
hasil melaut, yaitu dengan cara (a) dengan membayar utang-utang yang dilakukan
pada saat musim paceklik, (b) menabung mengikuti arisan yang dibayar harian
dan akan diundi (dikocok) setiap 10 hari; semakin banyak peserta maka semakin
besar jumlah uang arisan yang akan diperoleh dan bagi keluarga nelayan berfungsi
sebagai tabungan, dan (c) membeli perhiasan emas yang dijual lagi pada saat
musim paceklik.
Menurut beberapa aparat Pemda, masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai
nelayan cenderung hidup boros. Pernyataan mereka adalah sebagai berikut
“Pengelola uang keluarga dan usaha (perikanan) adalah istri atau perempuan. Kebanyakan nelayan masih berorientasi pada hidup hari ini dan jarang yang memikirkan hari esok, sehingga pendapatan tinggi pada saat panen ikan juga dibarengi dengan pengeluaran konsumtif yang tinggi. Tabungan yang mereka miliki umumnya berupa perhiasan emas sehingga mudah untuk dijual kembali pada saat paceklik. Dari perhiasan emas yang dipakai mereka dapat dijadikan ukuran untuk menentukan apakah keluarga tersebut sedang memiliki uang atau tidak.”
Di sebelah utara komplek TPI terdapat warung remang-remang atau daerah
prostitusi. Pada saat nelayan memperoleh uang banyak atau along, daerah utara ini
ramai dikunjungi oleh nelayan pendatang atau nelayan lokal bujangan. Istilah
setempat untuk menyebut orang yang pergi berfoya-foya di daerah utara adalah
ngalor. Selain Pekerja Seks Komersial (PSK), di lokasi tersebut juga terdapat
tempat hiburan cafe yang menjual minuman keras (miras). Miras inilah yang
menjadi penyebab timbulnya gangguan atau kerawanan keamanan setempat
karena timbulnya perkelahian antar-nelayan ketika mereka mabuk.
(ii) Pedagang ikan
Di sekitar PPP Desa Muara Ciasem, masih dapat dijumpai pedagang ikan
yang dikenal dengan Bakul Ikan yang menerima penjualan ikan dari nelayan
secara langsung. Pada umumnya bakul ikan ini adalah lelaki, dalam pelaksanaan
usaha dibantu oleh istri dan anak atau menantu. Bakul Ikan seperti ini tidak dapat
80
dijumpai di Desa Blanakan karena penjualan ikan hasil tangkapan nelayan harus
dilakukan melalui lelang di TPI Blanakan. Pengawasan oleh pihak berwenang di
Desa Blanakan terhadap praktik Bakul Ikan sedemikian ketatnya sehingga Bakul
Ikan tidak dapat beroperasi di desa tersebut.
Hubungan jual-beli langsung tersebut terjadi karena nelayan Muara dapat
meminjam uang (berhutang) kepada Bakul Ikan untuk berbagai keperluan seperti
memperbaiki mesin atau membeli perbekalan. Selanjutnya, nelayan akan menjual
hasil ikan tangkapannya kepada Bakul Ikan tersebut sebagai pembayaran hutang.
Jika nelayan tidak menjual ikannya kepada Bakul Ikan yang bersangkutan, maka
Bakul dapat menagih hutang nelayan yang bersangkutan dalam bentuk uang.
Selain uang, Bakul Ikan di Muara juga menyediakan berbagai fasilitas kepada
nelayan pendatang seperti tempat tinggal sementara sebagai pengikat bagi nelayan
tersebut. Hubungan nelayan dan bakul ini diakui oleh pegawai Dislutkan masih
tetap ada, karena:
“Bakul ikan selalu siap membantu jika nelayan membutuhkan uang. Hal ini sulit terpenuhi oleh Dinas (Dislutkan), maka bakul ikan masih tetap dapat dijumpai di daerah nelayan.”
Sistem pembelian ikan di Bakul Ikan adalah dengan menggunakan
timbangan, berbeda dengan di TPI yang menggunakan cara taksir berat ikan
berdasarkan besar ikan yang dipajang. Penjualan ini memberikan kepastian
berdasarkan berat ikan jualan bagi nelayan, ditambah lagi Bakul Ikan dapat
menerima ikan dari nelayan, kapan saja karena mereka banyak yang berlokasi di
pinggir sungai Ciasem, berbeda dengan TPI yang sudah tutup sore hari jika
penjualan ikan sedikit. Umumnya ikan yang dijual ke Bakul Ikan adalah ikan
berkualitas ekspor dan berharga mahal seperti jenis udang besar, ikan bawal,
sedangkan ikan yang harganya murah dijual ke TPI. Bagi nelayan kecil yang
memperoleh tangkapan yang sedikit, penjualan ikan ke TPI dengan sistem antrian
juga melelahkan bagi mereka, sehingga mereka menjual ikan ke Bakul Ikan yang
tidak perlu antri panjang, apalagi setelah lelah melaut nelayan ingin cepat pulang
dengan membawa uang hasil penjualan. Ibu D mengungkapkan keluhannya
tentang lelahnya mengantri melelang ikan di TPI:
“Di TPI kadang-kadang capek menunggu antrian ikan yang dilelang. Ikan yang dijual tak seberapa (tidak banyak), nunggu gilirannya lama,
81
hasil yang didapat sedikit lagi. Enakan (lebih enak) jual di Bakul, cepat selesai.”
Kerugian bagi nelayan jika menjual ke Bakul Ikan adalah dari segi harga
karena ditetapkan oleh Bakul secara sepihak. Namun demikian, bagi nelayan yang
tidak ada utang kepada Bakul, dia dapat menjual ikannya kepada Bakul siapa saja
secara bebas. Oleh karena itu, Bakul berusaha untuk memberikan ikatan kepada
nelayan agar nelayan tetap menjual ikan kepada mereka, apalagi masih banyak
bakul lain sebagai pesaing mereka. Menurut bapak J tentang ikatan ini sebagai
berikut
“Untuk mendapatkan ikan, Bakul perlu memberi ikatan uang dan servis (seperti menyediakan tempat untuk tinggal, minuman kopi, rokok tambahan). Kalau tidak (beri), tak ada yang mau jual ke saya (Bakul).”
Pada bulan Mei 2006, terjadi penggerebekan Bakul Ikan di Desa Muara oleh
pihak berwenang menyusul pemberlakuan Perda No 5 Tahun 2005, karena praktik
Bakul Ikan dinilai merugikan TPI, sehingga pemasukan dana hasil retribusi
pelelangan ikan ke Pemda pun menurun. Bakul Ikan pun menghilang dari tepi
Sungai Ciasem, tetapi beberapa Bakul masih menerima kiriman ikan secara diam-
diam, yaitu pada saat sebelum pagi, sehingga sering disebut dengan “Serangan
Fajar” dan dilakukan di tempat yang tersembunyi. Transaksi ini dapat terjadi
karena nelayan masih membutuhkan jasa Bakul ini baik dari segi dana berupa
pinjaman modal dan harga ikan yang dianggap lebih tinggi daripada dijual melalui
lelang. Namun pada akhir Agustus 2006, praktik Bakul Ikan ini mulai beroperasi
dengan terang-terangan lagi, setelah tidak ada lagi pengawasan ketat dari pihak
yang berwenang.
Pada umumnya Bakul Ikan di Desa Muara adalah lelaki, tetapi dalam
pelaksanaan kerja sehari-hari Bakul dibantu oleh istrinya. Jika sang Bakul lelaki
ikut proses pelelangan ikan, istri menggantikan tugas di rumahnya, karena pada
umumnya transaksi terjadi di rumah Bakul Ikan. Dengan demikian, istri Bakul
Ikan juga terlibat dalam proses perdagangan, termasuk mengetahui informasi
harga ikan yang diperdagangkan, dan pengelolaan keuangannya.
(iii) Pengolahan ikan
Usaha pengolahan ikan laut yang banyak dijumpai di lokasi penelitian
adalah pengolahan ikan asin. Disamping itu juga terdapat usaha fillet ikan yang
82
merupakan bahan baku untuk kerupuk, baso ikan, serta olahan lanjutan lainnya.
Usaha pengolahan ikan ini mudah dijumpai di dekat tepi sungai Ciasem dan kali
Blanakan serta di sepanjang jalan raya menuju TPI, karena umumnya sumber ikan
yang menjadi bahan baku diperoleh dari pelelangan di TPI. Tempat pengolahan
ikan asin tersebut mudah ditemukan dengan melihat banyaknya tempat
penjemuran hasil olahan. Jika tidak ada ikan yang dilelang di TPI maka tempat
pengolahan sepi dari kegiatan dan akibatnya desa-desa tersebut pun menjadi sepi.
Pengolahan ikan asin di lokasi penelitian ada dua jenis yaitu ikan asin
rendaman dan ikan asin rebusan. Perbedaan tersebut terletak pada teknik
pengolahan, hasil akhir dan pangsa pasar. Rinciannya sebagai berikut: (i)
Pengolahan ikan asin rendaman dimulai dengan penyiangan dan pembelahan ikan
menjadi dua, sehingga sering disebut juga belekan (istilah Bahasa Jawa untuk
belah). Proses pembelahan ini umumnya dilakukan oleh kaum perempuan; tetapi
kaum lelaki di Desa Blanakan banyak juga yang bekerja sebagai buruh
pembelahan ikan dan fillet. Selanjutnya, ikan belahan tersebut direndam air garam
yang kemudian dijemur hingga kering dan siap untuk dipasarkan. Pemasaran ikan
asin rendaman adalah ke wilayah Propinsi Jawa Barat seperti Cianjur, Sukabumi
hingga ke wilayah Propinsi Banten seperti Serang. (ii) Pengolahan ikan asin
rebusan tanpa melalui proses penyiangan dan pembelahan. Ikan utuh tersebut
langsung direbus dalam air yang bergaram dengan menggunakan kompor minyak
tanah. Setelah perebusan selesai kemudian ikan asin dijemur. Pekerja di
pengolahan ikan rebusan ini adalah lelaki karena diperlukan kekuatan fisik untuk
mengangkat bakul ikan rebusan. Pemasaran ikan asin rebusan ini adalah ke
wilayah Propinsi Lampung.
Pengusaha ikan asin rebusan umumnya adalah kaum lelaki, sedangkan
pengusaha ikan asin rendaman dan fillet baik lelaki maupun perempuan.
Pembagian tugas antara anggota keluarga lelaki dan perempuan di usaha
pengolahan ikan yaitu kaum lelaki ikut pelelangan ikan, sedangkan kaum
perempuan sebagai pengelola keuangan usaha. Namun ada istri yang menangani
pengiriman barang dan pemasaran, karena sang suami harus tetap hadir sebagai
peserta lelang. Reputasi pengusaha juga mempengaruhi kesempatan untuk
83
menang dalam lelang. Bapak C dan Ibu K mengungkapkan alasan mengapa lelaki
yang ikut lelang ikan di TPI:
“Yang ikut lelang di TPI itu kebanyakan laki. Mereka harus tarung (berusaha keras) untuk mendapatkan ikan. Kalau tidak tarung, tidak dapat uang. Di TPI tak kenal saudara. Sesama saudara yang jadi pengolah ikan, ya ... tetap tarung juga.”
Usaha pengolahan ikan di lokasi penelitian tergantung dari ada-tidaknya
ikan yang dilelang di TPI. PPP Blanakan dan PPP Muara Ciasem sering
disinggahi oleh perahu atau kapal motor besar yang menangkap ikan dari berbagai
wilayah yang kadangkala jauh dari wilayah Kabupaten Subang, bahkan hingga
laut di sekitar Propinsi Jawa Timur dan Lampung. Dua TPI ini dapat melelang
ikan dengan harga yang cukup tinggi sehingga disukai oleh nelayan luar. Kendala
yang dihadapi oleh TPI Desa Muara Ciasem adalah adanya pendangkalan sungai
Ciasem yang menghambat kapal motor merapat di PPP, sehingga sering kalah
bersaing dengan TPI Desa Blanakan. Hal ini menyebabkan pengolahan ikan di
Desa Blanakan terus beroperasi karena adanya pasokan ikan di TPI. Dengan
demikian, kesinambungan pasokan bahan baku pengolahan ikan sangat penting
untuk menunjang usaha pengolahan ikan tetap dapat beroperasi. Hal ini akan
menguntungkan bagi pengusaha serta buruh pengolahan yang bekerja tergantung
dari ada-tidaknya ikan sebagai bahan baku.
Pengusaha pengolahan ikan yang tergolong besar dan kuat mendapat
insentif dari KUD pada saat panen ikan. Pada saat panen ikan, TPI berusaha agar
semua ikan yang masuk harus terjual, maka pihak KUD memberikan kemudahan
berupa penundaan pembayaran kepada pengusaha pengolahan ikan dan pedagang
ikan yang tergolong besar agar dapat membeli ikan. Hal ini dikarenakan jika ikan
yang masuk ke TPI tidak terjual, maka nelayan dikhawatirkan akan enggan
menjual ikannya ke TPI tersebut dan pindah ke TPI lainnya, lalu akan merugikan
pihak KUD dan industri pengolahan ikan lainnya, akhirnya akan merugikan
perekonomian desa setempat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada
keterkaitan yang erat antara nelayan khususnya nelayan pendatang, KUD/TPI
Mina, industri pengolahan ikan laut dan masyarakat setempat.
84
5.1.3 Rona lingkungan hidup
Untuk mengetahui rona lingkungan hidup di lokasi penelitian dilakukan
dengan wawancara yang kemudian diperkuat dengan pengamatan. Rona
lingkungan hidup ini diperlukan untuk mengetahui kondisi lingkungan hidup
terkini (pada saat penelitian) di wilayah pesisir tersebut terkait dengan asepek
berkelanjutannya usaha perikanan pantai setempat. Responden yang diwawancarai
adalah masyarakat pesisir yang meliputi nelayan, pedagang ikan dan pengolah
ikan, baik lelaki dan perempuan. Pertanyaan yang diajukan meliputi cara
pemanfaatan sumberdaya perikanan laut dan pantai, pengetahuan responden
tentang lingkungan hidup sekitar mereka baik darat dan laut, pendangkalan
sungai, pengalihan fungsi lahan dan pencemaran lingkungan.
Salah satu alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan kecil setempat
adalah jaring arad yaitu sejenis jaring trawl kecil. Penggunaan jaring arad
sesungguhnya telah dilarang oleh pemerintah, karena dapat merusak habitat laut
karena semua biota laut, baik yang berukuran kecil hingga besar dapat ikut
terseret dan terjaring. Walaupun nelayan sudah mengetahui hal ini dari sosialisasi
yang dilakukan oleh Dislutkan tentang pelarangan penggunaan jaring arad,
ternyata masih banyak nelayan lokal yang tetap menggunakannya. Bahkan
menurut pengakuan responden, lelaki dan perempuan hampir semua nelayan di
lokasi penelitian masih mempunyai jaring arad ini. Pengakuan ibu E dan bapak
M:
“Pakai (menggunakan) jaring arad, nelayan sudah pasti akan mendapat ikan (tangkapan) tapi hasil penjualannya lebih kecil (rendah) daripada hasil tangkapan dengan menggunakan jenis jaring lain. Yang jelas, pakai (jaring) arad pasti dapat ikan.”
Dengan penggunaan jaring arad, kualitas ikan tangkapan yang diperoleh rendah
jika dibandingkan dengan kualitas ikan tangkapan dengan menggunakan jaring
rampus dan jaring udang (jaring kantong). Kualitas ikan tersebut dilihat dari jenis
ikan dan ukuran ikan yang ditangkap. Jaring arad termasuk jaring yang non
selektif, jadi semua jenis biota dengan ukuran berapapun yang mampu ditampung
akan terjaring.
Pada tahun 2005 di Desa Muara Ciasem sudah pernah ada pelaksanaan
program pemerintah daerah berupa penggantian jaring arad dengan jaring yang
85
ramah lingkungan yaitu jaring rampus termodifikasi (rampus sirang). Jaring arad
memiliki ukuran petak jaring 1x1 inci, jaring rampus memiliki ukuran petak
jaring 2x2 inci, sedangkan jaring rampus termodifikasi memiliki ukuran petak
jaring 1,75x1,75 inci. Hasil yang diperoleh nelayan dengan jaring rampus
termodifikasi relatif banyak dan dengan kualitas tangkapan ikan yang juga baik
sehingga dapat dijual ke TPI dengan harga yang cukup tinggi, selain itu jaring ini
bersifat ramah lingkungan karena tidak merusak habitat laut. Sayangnya, program
Pemda Kabupaten Subang hanya mengganti sebagian dari jumlah jaring arad yang
dimiliki nelayan. Kekecewaan diutarakan oleh bapak M:
“Pemerintah hanya ganti lima pis jaring arad saja, padahal nelayan butuh 40 pis untuk menangkap ikan, jelas tidak cukup. Dari mana uang untuk ganti 35 pis lainnya? Nelayan balik (kembali) pakai jaring arad.”
Bantuan jaring rampus sebanyak lima pis (pieces) untuk tiap Juragan perahu yang
menjadi anggota KUD atau kelompok nelayan, sedangkan jumlah yang
dibutuhkan oleh nelayan adalah sebanyak 40 pis. Dengan demikian, nelayan
masih memerlukan tambahan modal untuk memenuhi kebutuhan jaring, sekitar
Rp.5.000.000 hingga Rp.6.000.000 untuk pembelian 35 pis jaring. Nelayan yang
menjadi anggota KUD dapat memperoleh pinjaman dana dari KUD untuk
pembelian jaring tersebut, tetapi akibat penghasilan yang sedikit dari penjualan
ikan tangkapannya maka nelayan tidak dapat meminjam uang sesuai kebutuhan,
akibatnya nelayan masih tetap menggunakan jaring arad sebagai alat penangkap
ikan.
Saat diwawancarai mengenai kondisi lingkungan hidup setempat, responden
yang berprofesi sebagai nelayan menyatakan bahwa sepanjang pantai masih
banyak dijumpai hutan mangrove. Pengutaraan bapak K dan bapak D sebagai
berikut:
“Pantai di daerah sini (wilayah Blanakan) masih banyak bakau-nya. Dulu pernah ada yang babat, tetapi sekarang sudah rimbun lagi.”
Memang pernah terjadi pembabatan hutan mangove menjadi tambak, tetapi
kemudian dilakukan penanaman bakau kembali oleh pemerintah. Kawasan
mangove tersebut yang sekarang telah menjadi jalur hijau (green belt) bagi pesisir
setempat. Adanya hutan mangrove ini menjadi lokasi pemijahan hewan laut
86
sehingga biota laut akan mudah dijumpai dan akan menguntungkan untuk
perikanan pantai.
Di wilayah kecamatan ini banyak terjadi tanah timbul akibat pendangkalan
dari sungai besar yang mengalir ke laut. Daerah tanah timbul ini banyak yang
ditumbuhi oleh tumbuhan mangrove, hutan mangrove ini banyak yang dibabat
dan dijadikan tambak. Selain itu, daerah tanah timbul ini juga digunakan sebagai
daerah permukiman nelayan dan pembuangan sampah padat. Bapak R dan bapak J
menyatakan:
“Tanah timbul ada yang dipakai buat (lokasi) bangun (mendirikan) rumah, ada yang dibuat tambak ikan bandeng, ada yang dibiarkan kosong bisa untuk buang sampah.”
Adanya tanah timbul ini menyebabkan adanya konflik pemilikan antara
pemerintah dan masyarakat. Menurut Dislutkan dan IPB (2003), di sekitar pantai
Blanakan proses sedimentasi menyebabkan adanya tanah timbul seluas 400 ha
dan dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan untuk
pertambakan. Disamping itu, sedimentasi mengganggu aktivitas perikanan
tangkap, salah satunya adalah mengakibatkan adanya pendangkalan di sekitar
muara sungai yang dapat menghambat jalur transportasi kapal atau
perahu. Menurut BPLHD Jabar dan ITB (2001), pendangkalan yang terjadi karena
adanya banjir rutin dengan frekwensi yang cukup tinggi menghasilkan endapan
limbah banjir tahun demi tahun dan berkembangnya muara-muara sungai yang
cukup jauh ke arah laut. Menurut responden, banjir yang terjadi hampir setiap
tahun ini sangat mengganggu mereka, karena dapat menghentikan kegiatan
perikanan setempat apalagi kemudian disusul oleh pendangkalan sungai. Kapal
motor dan perahu motor berukuran besar akan mengalami kesulitan untuk
memasuki sungai Ciasem dan kali Blanakan akibat pendangkalan sungai.
Di lokasi penelitian tidak ada tempat pembuangan sampah padat yang tetap.
Menurut responden, sampah padat umumnya dibuang ke sungai atau tambak dan
dikumpul pada tanah kosong untuk kemudian dibakar. Ibu C dan ibu K
menyatakan:
“Buang sampah ke tanah kosong, tambak atau ke kali (sungai). Tak tempat pembuangan khusus.”
87
Sampah yang dibuang ke badan air berupa sampah domestik atau limbah
padat olahan ikan, disamping itu nelayan juga membuang sampah dari atas
perahunya. Pembuangan sampah ke badan air ini mengganggu pelayaran di
perairan sungai yang menuju ke laut akibat sampah yang menyangkut di kipas
mesin perahu dan menyangkut pada jaring ikan.
Salah satu wilayah penangkapan ikan baru adalah di wilayah kerja
Pertamina. Menurut beberapa responden yang berprofesi sebagai nelayan,
“Saya melaut sampai ke daerah Pertamina. Dulu di situ jarang ada ikan, tetapi sekarang banyak, setelah bangunan Pertamina itu ada. Hasilnya lumayan banyak.”.
Di perairan laut antara wilayah Kabupaten Karawang dan Kabupaten Subang
terdapat pengeboran minyak lepas pantai (off-shore) yang dikelola Pertamina.
Adanya bangunan eksploitasi minyak (platform) ini menguntungkan bagi nelayan,
karena perairan di bawah platform ini menjadi habitat ikan sehingga daerah itu
menjadi wilayah penangkapan ikan baru bagi nelayan lokal, memang sebelum
platform dibangun, daerah tersebut bukan daerah wilayah penangkapan karena
jarang dijumpai ikan di sana.
5.2 Pengarusutamaan Gender Dalam Perikanan Pantai
Tujuan antara yang pertama dari penelitian ini adalah menganalisis
pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan pada saat ini apakah
sudah responsif gender atau belum. Hipotesis pertama penelitian adalah
pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan saat ini belum
responsif gender.
(1) Pengaruh pengarusutamaan gender di tingkat kebijakan
Analisis kebijakan responsif gender dilakukan terhadap Rencana Strategis
(Renstra) Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Kabupaten Subang
Tahun 2005-2009 dengan menggunakan Gender Analysis Pathway (GAP).
Langkah pertama dari GAP adalah pemaparan tujuan umum dari kebijakan dan
program yang ada saat ini. Visi, misi dan strategi pembangunan Dislutkan
Kabupaten Subang tahun 2005-2009 tersaji pada Tabel 22.
88
Tabel 22 Visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan dan program pembangunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang tahun anggaran 2005-2009
Visi Misi Tujuan Sasaran Kebijakan Program
Terwujudnya agribisnis,
industri kelautan dan
perikanan yang
berwawasan lingkungan
serta berdaya-
saing melalui pemberda-
yaan masyarakat
yang berbasis gotong royong
1. Meningkatkan sumberdaya manusia (SDM) kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh
Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh
SDM sebagai pelaku usaha kelautan dan perikanan meningkat secara perorangan maupun secara berkelompok
Peningkatan kemampuan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh
Peningkatan SDM perikanan
2. Memanfaatkan dan mengem-bangkan potensi sumbedaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan
Mengembangkan dan meningkatkan potensi sumbedaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan
1. Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan dapat ditingkatkan, baik potensi yang ada di laut maupun di daratan
Pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan
1. Pengem-bangan sumberdaya kelautan
2. Pengem-bangan sumberdaya perikanan
3. Konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan
4. Rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan
2. Kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan dapat terjaga baik yang ada di laut, perairan umum, pantai maupun di daratan
3. Menjaga dan melindungi sumberdaya perikanan dari serangan hama penyakit
Meningkatkan kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan melalui rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan
1. Kelestarian sumberdaya kelautan dan perikanan dapat terjaga baik yang ada di laut, perairan umum, pantai maupun di daratan
Peningkatan sanitasi lingkungan dan pemberantasan hama dan penyakit ikan
Pengendalian hama penyakit ikan
2. Ekosistem lingkungan kelautan dan perikanan dapat terjaga
4. Penerapan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan
Meningkatkan dan mengembangkan teknologi tepat guna bidang kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan
1. Meningkatnya kualitas produk perikanan
2. Teknologi tepat guna bidang kelautan dan perikanan meningkat dan berkembang
Peningkatan penerapan dan melaksanakan teknologi tepat guna bidang kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan
Riset dan pengembangan teknologi tepat guna
Sumber: Dislutkan 2004
Tabel 22 menunjukkan bahwa program-program Dislutkan sesuai Renstra
2005-2009 adalah sebagai berikut.
89
1. Program peningkatan SDM perikanan 2. Program pengembangan sumberdaya kelautan 3. Program pengembangan sumberdaya perikanan 4. Program konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan 5. Program rehabilitasi sumberdaya kelautan dan perikanan 6. Program pengendalian hama dan penyakit ikan 7. Program riset dan pengembangan teknologi tepat guna
Untuk kebutuhan penelitian yang berhubungan dengan pembangunan perikanan
pantai serta masyarakat nelayan maka dilakukan pemilahan dari tujuh program
tersebut berdasarkan kegiatan yang akan dilakukan (Lihat Lampiran 2) sehingga
akhirnya diperoleh dua program yang terkait dengan perikanan laut dan pantai
yaitu Program Peningkatan SDM Perikanan dan Program Pengembangan
Sumberdaya Kelautan. Lima program lainnya memiliki kegiatan-kegiatan yang
lebih ditekankan pada sektor perikanan budidaya dan perikanan darat, sehingga
tidak dianalisis dalam penelitian ini.
Pelaksanaan dua program tersebut kemudian dijabarkan dalam kegiatan dan
sasaran kegiatan (Tabel 23). Tabel 23 menunjukkan bahwa peserta yang dijadikan
sasaran kegiatan Dislutkan ternyata belum dipilah berdasarkan jenis kelamin,
yaitu lelaki dan perempuan. Perorangan atau kelompok yang dijadikan sasaran
kegiatan hanya disebutkan profesinya saja.
90
Tabel 23 Program, tujuan umum, indikasi, kegiatan dan sasaran kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
No Program Tujuan umum Indikasi Kegiatan Sasaran kegiatan 1 Peningkatan
sumberdaya manusia perikanan
Meningkatkan sumberdaya manusia masyarakat di bidang kelautan dan perikanan
1. Peningkatan keterampilan sumberdaya manusia
2. Peningkatan informasi perkembangan teknologi kelautan dan perikanan
3. Peningkatan gizi masyarakat
1. Pelatihan sumberdaya manusia penangkapan ikan
2. Pelatihan sumberdaya manusia pengolahan hasil
3. Pelatihan
penerapan teknologi tepat guna
1. Nelayan 2. Pengolah ikan 3. Masyarakat
perikanan
2 Pengem-bangan sumberdaya kelautan
Meningkatkan sumberdaya, sarana dan prasarana kelautan
Pengembangan usaha dan peningkatan sarana dan prasarana kelautan
1. Pengembangan usaha penangkapan ikan di laut
2. Pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan
3. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir
4. Pengembangan pemasaran ikan
5. Pemberdayaan usaha budidaya laut
1. Nelayan 2. Pengolah ikan 3. Masyarakat
pesisir 4. Pedagang ikan 5. Masyarakat
pesisir
Sumber: Dislutkan 2004
Langkah selanjutnya adalah pemaparan data pembuka wawasan yang
menyajikan data kuantitatif dan kualitatif yang terpilah berdasarkan jenis kelamin.
Pada Tabel 24, data kuantitatif yang bersumber dari dokumen Dislutkan
menunjukkan bahwa pelaku di kegiatan perikanan belum dipilah menurut jenis
kelamin. Pada tahun 2005, sasaran pembinaan yang dilakukan oleh Dislutkan
adalah nelayan (615 orang) dan pembudidaya ikan (4.080 orang) (Dislutkan
2006). Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan jumlah lelaki dan perempuan
dalam pembinaan pun belum dicatat.
Berdasar pengamatan di lapangan yang tersaji dalam data kualitatif pada
Tabel 24, di tempat pelelangan ikan (TPI) banyak dijumpai perempuan yang ikut
terlibat dalam pelelangan ikan, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Hal
ini menunjukkan bahwa peran perempuan di kegiatan perikanan laut pada
91
kegiatan pemasaran termasuk pelelangan ikan dan pengolahan ikan cukup
menonjol, selain di bidang pengolahan ikan.
Tabel 24 Bentuk dan sumber data serta jumlah pekerja di bidang kelautan dan perikanan menurut jenis kelamin di Kabupaten Subang tahun 2005
Bentuk Data Sumber data Pekerjaan (orang) Nelayan Pengolah ikan Bakul ikan
Kuantitatif Evaluasi Dislutkan (2006)
4.483 1.003 835 Pembinaan dari Dislutkan kepada 615 nelayan
Kualitatif
- Pengamatan di lapangan - Evaluasi Dislutkan (2006)
Perempuan ada yang melaut menangkap ikan
Lelaki dan perempuan banyak terlibat di usaha pengolahan ikan. Partisipasi dalam pembinaan tidak terpilah gender, jumlah peserta lelaki dan perempuan tidak tercatat.
Lelaki dan perempuan banyak terlibat di kegiatan pelelangan dan perdagangan ikan
Hal ini menunjukkan bahwa pencatatan peran dan jumlah pelaku di bidang
kelautan dan perikanan belum terinci lebih mendalam berdasar fakta lapangan
dan hanya pada pencatatan peran yang dianggap biasa dilakukan oleh nelayan,
lelaki dan perempuan. Hal ini ditegaskan oleh pegawai Dislutkan sebagai berikut:
“Penentuan jenis kelamin tidak perlu. Dari jenis pekerjaan dan kegiatan sudah dapat diketahui jenis kelaminnya. Nelayan adalah lelaki, pekerja pengolah ikan rebusan adalah lelaki. Memang pekerja pengolah ikan rendaman bisa lelaki, bisa perempuan. Yang penting adalah orang tersebut memang pekerja di bidang tersebut.”.
(2) Pengaruh pengarusutamaan gender di lapangan
Dalam hal peran perempuan pesisir di bidang perikanan laut dan pantai, dari
hasil FGD, aparat Pemda dari Dislutkan dan BPMD menyatakan:
“Perempuan pesisir sangat berperan dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Jarang ada perempuan dewasa yang menganggur di rumah saja. Mereka bekerja membantu suami untuk menunjang ekonomi keluarga. Pekerjaan yang dilakukan umumnya (berlokasi) tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Pekerjaan tersebut umumnya di bidang perikanan laut, seperti menjadi buruh di usaha pengolahan ikan laut, pedagang ikan atau penjual makanan olahan ikan laut; ada juga yang membuka usaha warung di rumah masing-masing.”.
Menurut mereka, pembagian tugas antara lelaki dan perempuan sudah nyata di
bidang perikanan laut dan pantai yang terwujud dalam pekerjaan di bidang
pengolahan ikan dan perdagangan ikan. Upaya pemberdayaan perempuan melalui
92
pembinaan pernah dilakukan terhadap Kelompok Wanita Nelayan. Tema
pembinaan terkait dengan kesehatan masyarakat dan makanan olahan yang berasal
dari laut. Disamping itu, Dislutkan telah menyelenggarakan pelatihan bagi
pengolah ikan, tetapi pembinaan ini tidak dikhususkan kepada perempuan, juga
kepada pengolah ikan atau buruh lelaki. Peran dan partisipasi perempuan di
bidang lainnya seperti pemasaran dan pengelolaan keuangan belum diperhatikan
untuk mendapatkan pembinaan.
Beberapa perempuan nelayan ikut melaut untuk menangkap ikan atas
keinginannya sendiri. Hal ini banyak terjadi akibat kemiskinan yang mereka derita
sehingga mereka ingin mendapatkan uang lebih untuk keluarga, uang hasil
penjualan ikan tangkapan tidak perlu dibagi dengan orang di luar keluarga.
Menurut ibu D yang sudah lebih dari lima tahun menjadi bidak:
“Daripada saya nganggur di rumah, saya ikut suami melaut. Uang penjualan ikan untuk sendiri, jadi dapatnya lebih banyak. Apalagi waktu paceklik, tak ada bidak yang mau melaut, nanti suami juga tidak melaut, berarti tak ada uang dapur (uang belanja), lebih baik saya ikut saja. Awalnya sih mabuk (laut), sekarang sudah biasa.”.
Alasan ketidakadanya bidak lelaki yang bersedia membantu Juragan perahu untuk
melaut sehingga istri Juragan tersebut harus ikut melaut ini dibenarkan dan
diperkuat oleh beberapa istri nelayan lainnya. Perempuan nelayan ini tetap
melakukan kegiatan reproduktif yang dilakukan, seperti memasak, mencuci
pakaian atau alat dapur serta membersihkan rumah, sebelum dan atau sesudah
melaut, tergantung kapan waktu berangkat melautnya, jadi sesempat mereka untuk
melakukannya. Hal ini menunjukkan perempuan nelayan tersebut menanggung
beban ganda yaitu melakukan kegiatan reproduktif di darat dan kegiatan produktif
di laut.
Persepsi masyarakat tentang perempuan yang pergi melaut berbeda-beda
sesuai dengan profesi responden. Lelaki nelayan melihat fenomena ini sebagai
bentuk bantuan istri kepada suami pada saat sulit, lagi pula pergi melautnya tidak
jauh ke tengah laut, hanya sekitar pesisir. Lelaki yang berprofesi selain nelayan
tidak mudah menerima fenomena ini, menurut mereka perempuan tidak kuat
menjadi nelayan karena pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan berat secara
fisik, mulai dari langsung terkena panasnya sinar matahari hingga beratnya
pekerjaan untuk menebar dan menarik jaring ikan.
93
Persepsi aparat Pemda tak jauh berbeda. Pada umumnya aparat mengatakan
bahwa nelayan itu adalah lelaki. Pada saat diutarakan bahwa diketemukan
beberapa perempuan menjadi Bidak di lokasi penelitian, kesan yang timbul dari
mereka adalah kagum atau tidak percaya. Persepsi aparat Pemda terhadap bidak
perempuan yang ditampilkan dari kesan spontan dan jawaban mereka adalah
sebagai berikut.
(i) Persepsi positif. Persepsi positif ini muncul dari aparat yang memang
berkecimpung dalam program pemberdayaan masyarakat dan kesetaraan
gender yaitu pegawai BPMD. Pendapat mereka adalah sebagai berikut:
”Itu menunjukkan bahwa sudah terjadi kesetaraan gender pada masyarakat nelayan. Meskipun pekerjaan melaut berat, tetapi ada perempuan yang mau dan mampu melakukannya.”.
(ii) Persepsi negatif. Persepsi negatif banyak muncul dari aparat dari Dislutkan
dan aparat desa setempat. Menurut mereka:
“Tak mungkinlah ada perempuan yang mampu pergi melaut mencari ikan. Paling-paling (mungkin) perempuan itu melaut hanya untuk sekedar berekreasi saja, bukan bekerja yang sesungguhnya pekerjaan. Jikalau memang benar ada perempuan yang melakukannya maka jarak melautnya pun hanya sekitar pantai. Pekerjaan sebagai nelayan adalah berat sehingga tidak mungkin dilakukan oleh perempuan; bekerja di tengah laut berarti bekerja di bawah terik matahari dan membutuhkan kekuatan fisik karena harus kuat menarik jaring ikan.”
Dalam hal ini tampak bahwa masih adanya bias gender dari pihak lelaki yaitu
pekerjaan untuk kaum perempuan adalah pekerjaan yang ringan dan tidak
memerlukan kekuatan fisik. Meskipun pada kenyataannya, dapat dijumpai
perempuan nelayan yang kuat pergi melaut sebagai bidak perahu yang
dikemudikan oleh sang suami, meski dalam jumlah sedikit. Temuan ini tidak
berbeda dengan pendapat Sharma (2003) bahwa pekerjaan yang dilakukan
perempuan ini dianggap sebagai perpanjangan dari pekerjaan domestik, yaitu
untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga.
Penelitian kemudian dilanjutkan ke tingkat komunitas, yaitu untuk lebih
mendalami mengenai relasi gender dalam rumahtangga komunitas pesisir dengan
menggunakan analisis gender yang dikembangkan oleh Caroline Moser. Analisis
Moser digunakan untuk mengetahui identifikasi peran gender dalam rumahtangga
dan pola pengambilan keputusan dalam keluarga komunitas pesisir baik yang
94
berprofesi sebagai nelayan dan yang bukan nelayan (pengolah dan pedagang
ikan), kemudian dilakukan penilaian kebutuhan gender praktis dan strategis.
(i) Peran gender dalam rumahtangga
Identifikasi peran gender dilakukan melalui pembagian tugas dan alokasi
waktu sehari-hari yang rutin dilakukan dalam keluarga yang digunakan dengan
recall method jangka pendek. Di lokasi penelitian kaum lelaki mengerjakan
kegiatan produktif sedangkan kaum perempuan mengerjakan kegiatan reproduktif
ditambah membantu suami dalam mengerjakan pekerjaan produktif. Dengan
demikian, kaum perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
melakukan peran reproduktif dan produktif dibandingkan dengan kaum lelaki.
Lelaki yang bermatapencaharian sebagai nelayan menghabiskan sebagian
besar waktunya di laut. Pada saat nelayan berada di darat, waktunya dihabiskan
untuk istirahat dan memperbaiki jaring (ngiteng) di rumah atau di perahu,
sedangkan urusan yang menyangkut rumahtangga diselesaikan oleh istri atau
anggota keluarga perempuan lainnya. Hal serupa dilakukan oleh lelaki yang
bekerja sebagai bakul atau pengolah ikan, mereka menghabiskan waktu di rumah
untuk beristirahat.
Musim panen atau paceklik ikan memberi pengaruh besar karena pekerjaan
melaut atau menjual ikan atau mengolah ikan akan tergantung dari banyaknya
ikan yang dapat ditangkap. Menurut nelayan di lokasi penelitian, musim panen
ikan yang terbanyak disebut timuran selama empat bulan yaitu sekitar Juni-
September. Pada saat itu angin bertiup dari timur dengan membawa ombak tetapi
sedikit angin dan jarang hujan dan laut agak keruh, dan ikan mudah dijumpai dan
ditangkap. Dua bulan selanjutnya (sekitar Oktober–November) yaitu saat angin
bertiup dari selatan atau daratan disebut masa teduh dimana angin tidak membawa
ombak dan laut pun bening, pada saat ini ikan agak sulit diperoleh sehingga
disebut masa paceklik. Musim panen yang lebih sedikit dibanding timuran disebut
baratan yaitu saat bertiupnya angin dari arah barat yang kencang selama empat
bulan (sekitar Desember-Maret). Saat ini ombak banyak, tetapi hujan dan
anginnya pun banyak sehingga jumlah hasil tangkapan ikan lebih sedikit
dibanding musim timuran. Pada musim baratan ikan cukup banyak tetapi karena
banyak hujan nelayan tidak banyak yang melaut. Masa selanjutnya adalah masa
95
teduh yaitu masa transisi dari baratan ke timuran sekitar dua bulan (April–Mei).
Keputusan nelayan untuk melaut atau tidak lebih banyak ditentukan oleh kencang
atau lembutnya angin bertiup hari itu dan sehari sebelumnya, jika tiupan angin
kencang nelayan tidak melaut, dan sebaliknya.
Pada saat musim panen ikan, nelayan banyak menghabiskan waktunya di
laut untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya yang disebut dengan along
(booming). Hampir setiap hari nelayan lokal berangkat melaut karena mereka
umumnya adalah nelayan kecil yang melaut pulang-pergi dalam satu hari atau dua
hari. Dalam satu bulan nelayan dapat pergi melaut antara 25-30 kali jika perahu
tidak mengalami kerusakan mesin, sehingga mereka jarang berada di rumah.
Sebaliknya, pada saat paceklik, dalam satu minggu nelayan pergi melaut satu–dua
kali sehingga dalam satu bulan hanya melaut sekitar lima kali. Pada saat paceklik
ini pun kaum lelaki tetap tidak banyak terlibat dalam kegiatan rumahtangga dan
yang umum mereka lakukan adalah memperbaiki jaring (ngiteng) atau membuat
jaring (ngirad), memperbaiki perahu atau melakukan pekerjaan lainnya seperti
memancing di tambak.
Istri dari anak buah nelayan (Bidak) banyak yang menjadi buruh pengolahan
ikan asin atau fillet adalah untuk menambah penghasilan keluarga. Istri Juragan
yang menjadi buruh pengolahan ikan bertujuan untuk mengisi waktu dan
sekaligus menambah penghasilan keluarga. Istri yang tidak bekerja umumnya
menggunakan waktunya untuk mengurus anak yang masih kecil dan mengurus
rumah.
Tugas buruh pengolahan ikan adalah menggesek ikan yaitu menyiangi ikan
dan membuang tulangnya. Jam kerja di pengolahan ikan adalah mulai pukul
08.00-17.00 WIB yang berarti mereka lebih banyak menghabiskan waktu di luar
rumah. Jika sedang booming, kadangkala diteruskan sampai jam 22.00. Jika
perempuan yang bekerja masih mempunyai anak kecil, biasanya si anak dibawa
ke tempat kerja atau dititipkan ke sanak keluarga. Perempuan pekerja ini
menyelesaikan semua pekerjaan rumahtangganya mulai dari membersihkan
rumah, mencuci pakaian, memasak hingga mencuci peralatan dapur sebelum
berangkat ke tempat kerja, jadi mereka melakukan pekerjaan reproduktif setelah
96
selesai sholat subuh sampai jam 07.30 WIB yaitu saat menjelang berangkat ke
tempat kerja.
Pada saat paceklik, Bidak sering mencari pekerjaan lainnya seperti
memancing, sedangkan juragan perahu memperbaiki perahu dan jaring atau
membuat jaring yang kadangkala dikerjakan bersama istri. Pada saat menganggur,
istri atau perempuan setempat umumnya bertandang ke rumah tetangga atau
menonton TV, sedangkan ibu yang masih mempunyai anak kecil menggunakan
waktunya untuk mengurus atau bermain dengan anaknya.
Pekerjaan Bakul Ikan dan pengolah ikan tergantung pada pasokan ikan laut,
jika tidak ada pasokan ikan mereka akan menganggur. PPP-TPI Blanakan banyak
dilabuhi oleh perahu atau kapal ikan besar seperti purse seine, cantrang, krakat
yang berasal dari luar wilayah Blanakan, selain perahu kecil jenis sope yang
dimiliki oleh nelayan lokal. PPP-TPI Muara pun juga disinggahi oleh nelayan
pendatang tetapi tidak seramai di Blanakan, hal ini disebabkan oleh pendangkalan
sungai Ciasem lebih sering terjadi dibandingkan pendangkalan kali Blanakan.
Pendangkalan ini yang menghambat masuknya perahu atau kapal besar
(berukuran lebih dari 5 GT) berlabuh ke PPP-TPI Muara. Keramaian pendaratan
ikan menyebabkan jumlah dan jenis ikan yang dilelang pun bertambah banyak. Di
TPI Blanakan pelelangan menjadi ramai pada saat timuran atau baratan
disebabkan banyak perahu atau kapal luar yang masuk dengan membawa ikan
tangkapan dari wilayah barat seperti pulau Sumatera atau wilayah timur seperti
Karimunjawa. Adanya pasokan ikan tersebut menghidupkan kegiatan pengolahan
ikan di wilayah Blanakan. Sebaliknya PPP-TPI Muara sepi dilabuhi perahu atau
kapal besar saat masa teduh, sehingga kegiatan Bakul Ikan dan pengolahan ikan
pun jadi terhenti, apalagi saat sungai Ciasem mengalami pendangkalan. Oleh
karena itu, Pemerintah Kabupaten Subang menyediakan kapal pengerukan untuk
membantu meningkatkan kelancaran lalulintas sungai.
Alokasi (pemanfaatan) waktu dalam rumahtangga dibuat berdasarkan
persentase penggunaan waktu sehari-hari oleh lelaki dan perempuan anggota
rumahtangga. Kegiatan sehari-hari yang dilakukan digolongkan dalam empat
kategori yaitu kegiatan produktif, kegiatan reproduktif, bersantai dan tidur.
Kegiatan produktif yang dimaksud adalah melakukan pekerjaan yang
97
mendatangkan uang atau barang; kegiatan reproduktif adalah melakukan
pekerjaan yang berhubungan dengan rumahtangga dan keluarga; yang dimaksud
dengan bersantai adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu luang
seperti bertandang ke rumah tetangga, menonton TV atau pelesiran, termasuk
melakukan kegiatan sosial kemasyarakatan; dan tidur dalam arti sesungguhnya
yang dilakukan di rumah. Alokasi waktu dalam satu hari (24 jam) pada
rumahtangga komunitas pesisir tersaji pada Tabel 25.
Tabel 25 Kegiatan dan alokasi waktu dalam satu hari menurut musim ikan dan jenis kelamin pada rumahtangga komunitas di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
Kegiatan
Alokasi waktu dalam satu hari Musim panen Musim paceklik
Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Jam (%) Jam (%) Jam (%) Jam (%)
Kerja produktif 14 58,34 7 29,17 10 41,67 6 25,00 Kerja reproduktif - 0.00 7 29,17 - 0,00 8 33,33 Bersantai 5 20,83 5 20.83 8 33,33 5 20,83 Tidur 5 20,83 5 20,83 6 25,00 5 20,83 Total 24 100,00 24 100,00 24 100,00 24 100,00
Tabel 25 menunjukkan bahwa kaum perempuan di lokasi penelitian lebih
banyak menghabiskan waktunya dibanding kaum lelaki dalam hal pemanfaatan
waktu dalam urusan rumahtangga. Dalam satu hari (24 jam) perempuan
melakukan empat jenis kegiatan yaitu mengerjakan pekerjaan reproduktif berkisar
selama 7-8 jam dengan rataan 7,5 jam, pekerjaan produktif berkisar selama 6-7
jam dengan rataan 6,5 jam, bersantai berkisar selama 5 jam dan tidur berkisar
selama 5 jam. Sebaliknya, lelaki hanya melakukan tiga jenis kegiatan yaitu
mengerjakan pekerjaan produktif berkisar selama 10-14 jam dengan rataan 12
jam, bersantai berkisar selama 5-8 jam dengan rataan 6,5 jam dan tidur berkisar
selama 5-6 jam dengan rataan 5,5 jam. Bahkan pada musim paceklik, saat ikan
sedikit, kaum lelaki tetap jarang melakukan pekerjaan domestik untuk membantu
pekerjaan domestik kecuali memperbaiki rumah jika ada yang rusak. Umumnya
mereka mencari atau melakukan pekerjaan sambilan seperti memancing,
memperbaiki perahu atau jaring dan membuat jaring. Temuan tentang penggunaan
waktu sehari-hari oleh perempuan tidak banyak berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Arfiati et al. (2001) dan Purwanti et al. (2004) terhadap
rumahtangga nelayan di Jawa Timur (Lihat Subbab 1.6).
98
Dalam mengetahui kegiatan dan alokasi waktu responden di bidang sosial
kemasyarakatan, dilakukan dengan recall method satu minggu terakhir (jangka
pendek) untuk mengetahui kegiatan rutin dan satu bulan terakhir (jangka panjang)
untuk mengetahui kegiatan insidentil responden. Kegiatan sosial kemasyarakatan
umumnya dilakukan oleh masyarakat pada saat waktu luang (bersantai), yaitu
pada siang hari bagi kaum perempuan dan pada malam hari bagi kaum lelaki.
Kegiatan rutin yang dilakukan responden adalah pengajian dan arisan.
Pengajian rutin dilakukan oleh kaum lelaki dan perempuan umumnya selama 1-
1,5 jam per minggu, yaitu pengajian malam untuk lelaki dan pengajian siang
untuk perempuan. Kegiatan rutin lainnya adalah arisan yang dilakukan oleh kaum
perempuan setiap 10 hari sekali. Arisan ini umumnya dilaksanakan pada saat
banyak ikan tangkapan (musim panen), maka pada saat musim paceklik tidak ada
penyelengggaraan arisan. Uang arisan diambil setiap hari oleh bendahara ke
tempat bekerja (tempat pengolahan ikan) atau ke rumah peserta. Pengocokan
arisan umumnya dilaksanakan pada saat istirahat kerja atau saat bersantai dan
selama 15-30 menit serta berlokasi di sekitar tempat kerja mereka.
Pada saat penelitian dilaksanakan, kegiatan insidentil satu bulan terakhir
hanya ada satu yaitu perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan Maulid
Nabi yang merupakan kegiatan agama Islam ini diisi dengan acara ceramah di
mesjid-mesjid. Perayaan yang dilakukan pada siang hari umumnya dihadiri oleh
kaum perempuan, sedangkan kaum lelaki banyak menghadiri perayaan yang
dilaksanakan pada malam hari.
Kaum perempuan banyak melakukan kegiatan produktif, reproduktif dan
sosial di sekitar lingkungan rumah. Tingginya pemanfaatan waktu perempuan di
sekitar lingkungan rumah menunjukkan bahwa masih kuatnya persepsi lelaki
terhadap peran perempuan yaitu keberadaan dan kegiatan perempuan dilakukan di
sekitar keluarga dan rumah. Hal ini dikarenakan kaum perempuan tetap harus
melakukan pekerjaan reproduktif meskipun dia juga bekerja untuk mencari uang
guna menambah pendapatan keluarga.
Pada masyarakat nelayan, pekerjaan produktif yang dilakukan di darat
umumnya dikerjakan oleh kaum perempuan seperti pekerjaan menyortir dan
menjual ikan di TPI, atau belanja perbekalan melaut. Tugas nelayan adalah
99
melaut, sehingga mereka jarang terlibat dalam pekerjaan rumahtangga, bahkan
tugas memperbaiki rumah kadangkala yang dilakukan oleh perempuan.
Disamping mengerjakan urusan rumahtangga, perempuan nelayan banyak yang
membantu suami membuat jaring (ngirad) khususnya jaring udang atau
memperbaiki jaring (ngiteng) (lihat Tabel 26).
100
Tabel 26 Pembagian tugas dalam rumahtangga menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
Kegiatan Pembagian tugas Lelaki Perempuan
1. Reproduktif Memasak - v Menjaga anak - v Memandikan anak - v Menyuapi anak - v Mendidik anak v v Membersihkan rumah - v Belanja rumahtangga - v Menyediakan air - v Mencuci baju - v Setrika baju - v Mencuci piring/peralatan masak - v Mengantar anak # v Memperbaiki rumah v v 2. Produktif Nelayan
Melaut v # Memperbaiki jaring v v Membersihkan perahu v # Belanja perbekalan v # Balanja BBM/solar v - Menyortir ikan v v Menjual hasil v v Mengurus keuangan - v
Pengolahan ikan Membersihkan tempat kerja v v Mencuci peralatan v v Belanja ikan/ ikut lelang v - Belanja bahan lainnya v - Mengolah ikan v v Menjual hasil olahan v v Mengurus keuangan - v
Bakul ikan Belanja ikan/ ikut lelang v v Menjual ikan v v Mengurus keuangan - v
3. Kemasyarakatan Pengajian v v Arisan v v Distribusi ikan kepada keluarga - v Kelompok nelayan/KTN/HNSI v - Kerja bakti v - Acara adat/ruwatan/pesta laut v - Keagamaan v v PKK - v Posyandu - v Koperasi v # Kematian v v Perkawinan v v Penyuluhan v # Rapat desa v # Keterangan: (v) = yang melakukan; (-) = tidak melakukan; (#) = kadang-kadang melakukan
101
Tabel 26 menunjukkan bahwa kaum perempuan melakukan tugas lebih
banyak dibandingkan dengan kaum lelaki dalam rumahtangga di lokasi penelitian.
Kaum perempuan mengerjakan kegiatan rumahtangga, kegiatan produktif di luar
rumah untuk membantu suami dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Sebaliknya,
suami atau kaum lelaki hanya mengerjakan kegiatan produktif dan kegiatan sosial
kemasyarakatan. Pada saat suami berhalangan hadir dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan seperti rapat desa atau acara koperasi karena sedang melaut maka
istri yang menghadiri acara tersebut sebagai wakil suami sehingga tugas istri
bertambah. Pada saat di darat, umumnya nelayan banyak beristirahat, setelah
bekerja sekian lama di laut, hal ini diutarakan oleh bapak M dan bapak S:
“Setelah capek (be-)kerja di laut, di darat ya...istirahat, kalau tidak, ya... mbetulin (memperbaiki) jaring yang rusak”.
Di TPI Blanakan banyak dijumpai perempuan nelayan yang menyortir dan
menjual ikan tangkapan, sedangkan perempuan nelayan di Desa Muara Ciasem
tidak banyak terlibat dalam penyortiran dan penjualan ikan di TPI Muara, oleh
karena itu banyak perempuan nelayan di Desa Muara Ciasem yang menganggur
dan menjadi buruh pengolahan ikan. Perbedaan ini terjadi karena letak TPI jauh
atau dekat dengan permukiman nelayan. Di Desa Blanakan, lokasi TPI dekat
dengan permukiman nelayan, sedangkan TPI Desa Muara yang jauh dari
permukiman nelayan sehingga nelayan membutuhkan biaya tambahan berupa
ongkos angkut jika ikan tangkapan didaratkan di dekat rumah mereka.
Perempuan yang menyortir dan menjual ikan hasil tangkapan di TPI tidak
selalu mendapat upah kerja, tergantung status dalam keluarga: Jika perempuan
tersebut adalah anak atau menantu, mereka kadangkala memperoleh upah kerja,
tergantung besarnya hasil penjualan ikan. Sebaliknya, istri yang menjadi
pengelola keuangan keluarga tidak mendapat upah kerja. Mereka berpendapat
bahwa istri yang mengelola keuangan keluarga dan usaha, maka istri yang
menentukan keperluan belanja keluarga, termasuk untuk keperluan pribadi istri.
(ii) Pola pengambilan keputusan dalam keluarga
Pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga komunitas di lokasi
penelitian, umumnya mencontoh dari kehidupan rumahtangga orangtua mereka:
suami merupakan pengambil keputusan yang dominan dalam urusan pekerjaan
produktif dan kemasyarakatan bersifat politik seperti rapat desa, penyuluhan,
102
koperasi dan kelompok nelayan, sedangkan istri lebih dominan sebagai pengambil
keputusan dalam urusan rumahtangga dan keluarga, termasuk PKK dan Posyandu.
Dalam hal keuangan, istri sedikit lebih dominan dalam pengambilan keputusan,
baik untuk keperluan belanja hidup sehari-hari, usaha dan arisan. Arisan ini
merupakan suatu bentuk tabungan dan modal usaha agar pendapatan mereka tidak
langsung habis untuk belanja sehari-hari.
Istri merupakan pengambil keputusan utama di lingkup rumahtangga, mulai
dari jenis makanan yang disajikan, pelayanan kesehatan dan KB serta keperluan
belanja sehari-hari lainnya. Hal ini menunjukkan keputusan di bidang kesehatan
yaitu gizi makanan, pemilihan layanan kesehatan jika sakit dan keikutsertaan
dalam program KB termasuk jenis alat kontrasepsi yang digunakan sepenuhnya
tergantung pilihan sang istri. Sang istri adalah pengelola keuangan rumahtangga
sehingga dia yang memutuskan secara rinci keperluan keluarga yang disesuaikan
dengan anggaran yang dimiliki. Pola pengambilan keputusan dalam keluarga di
lokasi penelitian mengikuti pola pemikiran Sayogyo (1981); lihat Bab 3, dapat
dilihat pada Tabel 27.
103
Tabel 27 Pola pengambilan keputusan dalam keluarga menurut kegiatan di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
Kegiatan
Pengambilan keputusan Istri
sendiri Keputusan bersama Suami
sendiri Istri dominan Setara Suami dominan 1. Reproduktif
Jenis makanan v - - - - Pendidikan anak - - v - - Belanja rumahtangga v - - - - Pelayanan kesehatan v - - - - Keluarga berencana/KB v - - - - Memperbaiki rumah - - - v -
2. Produktif Nelayan
Waktu melaut - - - - v Pembuatan/belanja jaring - - - - v Perbaikan perahu - - - - V Tenaga kerja - - - - V Belanja perbekalan - - - - v Belanja BBM/solar - - - - v Menyortir ikan - - V - - Menjual hasil tangkapan - - V - - Mengurus keuangan - v - - -
Pengolahan ikan Jenis olahan ikan - - - - v Belanja ikan/ikut lelang - - - - v Tenaga kerja - - - - v Penjualan hasil olahan - - - v - Mengurus keuangan - v - - -
Bakul ikan Belanja ikan/ikut lelang - - - - v Penjualan ikan - - - - v Mengurus keuangan - v - - -
3. Kemasyarakatan:
Pengajian/keagamaan - - v - - Arisan - v - - - Distribusi ikan kepada keluarga - - v - - Kelompok nelayan - - - - v Kerja bakti - - v - - Acara adat/pesta laut - - - - v PKK v - - - - Posyandu v - - - - Koperasi - - - - v Kematian - - v - - Perkawinan - - v - - Penyuluhan - - - - v Rapat desa - - - - v
Keterangan: tanda (v) = yang melakukan (-) = tidak melakukan
Hal yang menonjol di lokasi penelitian ini adalah dalam hal KB, perempuan
menikah sudah sadar akan perlunya mengikuti program keluarga berencana
sebagai akseptor KB. Pada umumnya mereka menggunakan metode suntik KB
atau pil KB dan mereka secara aktif mendatangi bidan untuk keperluan KB.
Kesertaan dalam program KB ini didasarkan atas keputusan sang istri yang
didukung oleh suami. Keluarga muda di masyarakat nelayan rata-rata memiliki
104
anak sebanyak dua orang. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Dwi et al. (2002),
bahwa program pemerintah di wilayah pesisir pantai lebih banyak terpolarisasi
dengan program keluarga berencana, sehingga rata-rata tingkat kelahiran dapat
diturunkan.
Suami dan istri bersama-sama menjadi pengambil keputusan dan saling
berembug dalam hal pendidikan anak, baik dalam hal pendidikan formal maupun
non formal seperti pengajian. Namun demikian, jika anak ingin berhenti sekolah
atas kehendak sendiri, kadangkala orangtua mengikuti keinginan tersebut, kecuali
untuk beberapa responden yang mengirimkan anak mereka mengikuti pendidikan
di sekolah berasrama yang jauh dari rumah.
Keputusan untuk memperbaiki rumah tergantung kepada sang suami,
khususnya untuk perbaikan yang membutuhkan biaya besar dan tenaga kerja
terampil. Kerusakan rumah yang tergolong kecil kadangkala ditangani sendiri
oleh istri, mengingat suami jarang di rumah karena pergi bekerja untuk melaut
atau untuk kegiatan pemasaran, terutama dalam hal pengaturan keuangan untuk
keperluan perbaikan rumah.
Dalam urusan pekerjaan, suami atau kaum lelaki adalah pengambil
keputusan utama dalam hal produksi maupun pemilihan tenaga kerja. Dalam hal
penjualan ikan atau olahan ikan, istri ikut terlibat dalam pengambilan keputusan
karena umumnya mereka yang menjualkan ikan atau hasil olahan tersebut. Istri
merupakan pengambil keputusan yang cukup dominan dalam hal keuangan,
karena pengelolaan keuangan usaha telah disepakati oleh suami untuk diatur oleh
istri.
Keterlibatan istri dalam kegiatan sosial kemasyarakatan cukup menonjol dan
dalam pengambil keputusan mereka pun setara dengan suami. Kegiatan sosial
yang banyak melibatkan suami istri adalah acara keagamaan atau pengajian,
pendistribusian ikan hasil tangkapan nelayan kepada keluarga, acara pernikahan
dan kematian warga serta kerja bakti. Pada umumnya di lokasi penelitian masih
ada kerjasama dan gotong royong antar-warga. Untuk urusan kemasyarakatan
yang bersifat politik, pada umumnya istri mengikuti keputusan suami.
Pada kegiatan politik seperti Pilkades (Pemilihan Kepala Desa), Pilkada
(Pemilihan Kepala Daerah) dan Pemilu (Pemilihan Umum), semua penduduk di
105
lokasi penelitian, lelaki dan perempuan, ikut berpartisipasi. Namun demikian,
tidak semua istri bebas memilih (men-coblos) pilihannya sendiri, ada responden
yang memilih sesuai dengan pilihan suami, khususnya istri yang tidak pernah
bersekolah atau berpendidikan lebih rendah daripada suami.
Istri yang berstatus sebagai pengolah ikan akan ikutserta dalam kegiatan
penyuluhan jika tempat penyelenggaraan berlokasi di sekitar tempat tinggal. Jika
penyuluhan dilakukan jauh dari rumah, umumnya pesertanya adalah lelaki, karena
pekerja perempuan dilarang oleh suami atau keluarga pergi jauh dari rumah.
Keterangan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pegawai Dislutkan dan
beberapa responden. Dahulu di lokasi penelitian pernah ada Kelompok Wanita
Nelayan dengan berbagai kegiatan di bidang pengolahan ikan, tetapi sekarang
kelompok tersebut sudah tidak aktif lagi, karena tidak ada dana atau anggaran.
Menurut responden perempuan, pada umumnya perempuan pesisir akan aktif
dalam suatu kegiatan jika kegiatan tersebut akan langsung menghasilkan uang.
Partisipasi atau peranserta masyarakat pesisir dalam proses pengambilan
keputusan dipengaruhi oleh keuntungan (manfaat) yang mereka rasakan. Nelayan
akan hadir dalam acara pembinaan dari pemerintah jika berhubungan langsung
dengan pekerjaannya, perempuan nelayan pun demikian. Oleh karena itu,
Kelompok Wanita Nelayan di lokasi penelitian tidak berkembang bahkan
berhenti karena dianggap tidak mendatangkan keuntungan finansial bagi
perempuan nelayan. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Pollnac et al.
(2003) yaitu kesertaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dipengaruhi
oleh manfaat yang dirasa oleh masyarakat.
(iii) Penilaian kebutuhan gender
Penilaian kebutuhan gender praktis dan strategis pada responden perempuan
di komunitas pesisir ini dilandaskan pada pendapat mereka saat dilakukan
wawancara mendalam. Sikap yang ditunjukkan oleh responden terhadap
kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai dapat digunakan untuk menilai
kebutuhan gender menurut analisis Moser, apakah kebutuhan praktis untuk
perbaikan kondisi atau kebutuhan strategis untuk perbaikan posisi perempuan di
masyarakat.
106
Sikap responden di lokasi penelitian mengungkapkan bahwa perempuan
masih mementingkan perbaikan kondisi mereka dibandingkan posisi mereka di
masyarakat. Terkait dengan lapangan pekerjaan baru, pendapat yang diutarakan
oleh ibu M, ibu C dan ibu K adalah sebagai berikut:
“Yang dibutuhkan perempuan adalah pekerjaan baru, juga buat laki-laki apalagi waktu paceklik. Biar ada uang dapur.”
Menurut bapak R dan bapak J:
“Waktu paceklik di sini nggak (tidak) ada kerjaan. Jadi kalau ada pekerjaan baru, akan lebih baik.”
Terkait dengan pembinaan dari pemerintah daerah, pendapat yang
diutarakan oleh ibu W dan ibu K sebagai berikut:
“Perempuan jarang terima penyuluhan, yang sering (menjadi peserta penyuluhan adalah) nelayan.”
Dengan demikian, kebutuhan mereka saat ini masih berkisar di pemenuhan
kebutuhan praktis gender, belum mementingkan kebutuhan strategis mereka. Hal
ini tampak dari sikap menerima mereka akan posisi perempuan saat ini, yaitu di
satu pihak mereka tidak perlu banyak terlibat dalam kegiatan politik
kemasyarakatan, di lain pihak mereka memegang kontrol dalam hal keuangan.
Hal ini diutarakan oleh ibu E, bapak S, ibu D dan bapak T:
“Kalau ada rapat desa yang datang (hadir) laki (suami) saja. Istri tidak datang, juga tak apa. Istri mengurus rumah dan uang.”
Dari hasil analisis Moser diketahui bahwa perempuan nelayan di lokasi
penelitian dalam aspek akses dan kontrol telah mengalami kesetaraan gender,
tetapi dari aspek partisipasi dan manfaat belum mengalami kesetaraan. Analisis
gender dari unsur-unsur kesetaraan gender yaitu aspek akses, kontrol, partisipasi
dan manfaat pembangunan bagi komunitas perikanan di lokasi penelitian, hasil
dari wawancara, observasi dan olahan kuesioner, direkapitulasi pada Tabel 28.
107
Tabel 28 Unsur kesetaraan gender dalam pembangunan pada komunitas perikanan laut di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
Unsur kesetaraan gender dalam pembangunan Lelaki Perempuan
Akses
Mempunyai akses dalam kegiatan penangkapan, pascatangkap, perdagangan dan pengolahan hasil tangkapan.
Mempunyai akses dalam kegiatan pascatangkap, perdagangan dan pengolahan hasil tangkapan.
Kontrol Kontrol dalam pengelolaan keuangan bersama istri, dan kontrol dalam penentuan tenaga kerja dan produk
Kontrol dalam pengelolaan keuangan bersama suami.
Partisipasi
Lelaki banyak menjadi anggota KUD Mina, baik nelayan, pedagang dan pengolah ikan. Mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan di bidang perikanan.
Perempuan nelayan jarang menjadi anggota KUD Mina. Perempuan pedagang yang menjadi anggota KUD untuk persyaratan ikut lelang. Perempuan jarang ikut proses pengambilan keputusan.
Manfaat
Pembinaan banyak dituju-kan kepada lelaki (nelayan) dan banyak diikuti oleh lelaki (pengolah ikan).
Perempuan belum merasakan manfaat pembangunan bidang perikanan, karena tidak banyak dilibatkan dalam program pemerintah.
Tabel 28 menjadi sumber data bagi analisis program dan kegiatan
pembangunan kelautan dan perikanan Kabupaten Subang berdasarkan aspek
akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi lelaki dan perempuan pelaku kegiatan.
Tabel 29 menunjukkan bahwa program dan kegiatan yang ada saat ini belum
banyak memberikan keuntungan bagi perempuan, pelaksanaan program dan
kegiatan lebih banyak ditujukan kepada lelaki, dengan demikian dapat dikatakan
masih terdapat kesenjangan gender.
108
Tabel 29 Analisis akses, kontrol, partisipasi dan manfaat bagi lelaki dan perempuan dalam program dan kegiatan bidang kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
Program dan kegiatan
Akses Kontrol Partisipasi Manfaat Sumber data Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan Lelaki Perempuan
Program peningkatan sumberdaya manusia perikanan
Wawancara dengan pimpinan Dislutkan; Renstra Dislutkan; wawancara dengan komunitas perikanan laut
1. Pelatihan sumberdaya manusia penangkapan ikan
++ - ++ - ++ - ++ -
2. Pelatihan sumberdaya manusia pengolahan hasil
++ + ++ + ++ + ++ ++
3. Pelatihan penerapan teknologi tepat guna
++ - ++ - ++ - ++ -
Program pengembangan sumberdaya kelautan
1. Pengembangan usaha penangkapan ikan di laut
++ - ++ - ++ - ++ -
2. Pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan
++ + ++ + ++ + ++ ++
3. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir
++ + ++ + ++ + ++ +
4. Pengembangan pemasaran ikan
++ + ++ + ++ + ++ +
5. Pemberdayaan usaha budidaya laut
++ + ++ - ++ + ++ +
Keterangan: tanda (-) berarti tidak ada; (+) berarti ada; (++ ) berarti banyak
Tabel 29 menunjukkan masih adanya kesenjangan gender di dalam program
dan kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang.
Analisis lebih rinci pada Tabel 30. Ditinjau dari aspek akses, peluang lelaki lebih
banyak daripada perempuan, karena ruang gerak untuk perempuan lebih terbatas
dibandingkan dengan lelaki: Nelayan lelaki dapat pergi bekerja atau pergi melaut
dalam jangka waktu lama dan jarak yang jauh dari rumah, sebaliknya perempuan
dibatasi oleh waktu dan dalam jarak yang tidak terlalu jauh dari lingkungan
rumahnya. Ditinjau dari aspek kontrol, kekuasaan lelaki lebih besar daripada
perempuan, apalagi dalam urusan pekerjaan dan kemasyarakatan. Lelaki masih
dianggap sebagai pengambil keputusan karena mereka dianggap sebagai pelaku
utama dalam kegiatan kelautan dan perikanan. Ditinjau dari aspek partisipasi,
109
peranserta lelaki dalam proses pengambilan keputusan lebih besar daripada
perempuan, karena lelaki adalah pelaku utama kegiatan. Ditinjau dari aspek
manfaat, lelaki juga yang menerima banyak manfaat dari pelaksanaan program
kelautan dan perikanan karena merupakan pelaku utama kegiatan. Akibat dari
peran perempuan dalam kegiatan kelautan yang tidak tercatat dan tidak
didokumentasikan kaum perempuan jarang dilibatkan dalam program pemerintah,
apalagi yang dianggap sebagai pelaku utama atau pemangku kepentingan dalam
kegiatan perikanan adalah kaum lelaki.
Tabel 30 Faktor kesenjangan gender berdasarkan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat dalam program kelautan dan perikanan Kabupaten Subang tahun 2005-2009
Program Faktor kesenjangan gender Kesenjangan Akses Kontrol Partisipasi Manfaat
Peningkatan sumberdaya manusia perikanan; dan Pengembangan sumberdaya kelautan
Peluang lelaki lebih banyak daripada perempuan karena perempuan lebih banyak bekerja di sekitar keluarga dan rumah
Lelaki mempunyai kekuasaan lebih besar daripada perempuan dalam urusan pekerjaan dan kemasyarakatan
Lelaki lebih berpartisipasi daripada perempuan dalam pengambilan keputusan di pekerjaan dan kemasyarakatan
Lelaki lebih banyak menerima manfaat daripada perempuan karena merupakan pelaku utama kegiatan
Peran perempuan dalam kegiatan kelautan dan perikanan tidak dicatat yang mengakibatkan perempuan jarang dilibatkan dalam program pemerintah
Masalah kesenjangan gender berupa tidak tercatatnya peran perempuan di
bidang kelautan dan perikanan (Tabel 30) kemudian dianalisis faktor
penyebabnya. Dilihat dari faktor sosial budaya (sosbud), ruang gerak perempuan
memang dibatasi di sekitar rumah dan keluarga. Kaum perempuan tidak mudah
untuk diijinkan bepergian jauh tanpa maksud yang jelas, apalagi sendirian,
sehingga harus didampingi. Dilihat dari faktor agama, mayoritas penduduk lokasi
penelitian adalah penganut agama Islam. Menurut ajaran Islam, suami adalah
kepala keluarga sehingga pencari nafkah utama adalah suami atau kaum lelaki.
Oleh karena itu, pekerjaan perempuan dianggap sebagai tambahan. Dilihat dari
faktor ekonomi, peluang kerja yang tersedia di bidang kelautan dan perikanan
lebih banyak berlokasi di laut, selain di bidang pengolahan ikan dan pemasaran
ikan. Oleh karena orang yang membutuhkan pekerjaan banyak, maka yang
umumnya didahulukan adalah penggunaan tenaga kerja lelaki dibanding tenaga
kerja perempuan, kecuali jika terjadi kekurangan tenaga kerja maka barulah
perempuan dipekerjakan. Faktor lain yang menimbulkan masalah kesenjangan
110
gender adalah rendahnya mutu sumberdaya manusia perempuan dibandingkan
lelaki, baik dari segi keterampilan untuk pekerjaan di bidang kelautan dan
perikanan. Ditinjau dari faktor-faktor penyebab tersebut, kesenjangan gender
terjadi karena pengabaian peran produktif dalam pengelolaan perikanan pada
tahap pra dan pasca-penangkapan ikan seperti persiapan perbekalan, penyortiran
dan penjualan ikan serta pengelolaan keuangan. Padahal, pada tahap-tahap
tersebut justru peran perempuan menonjol. Dengan demikian, isu gender yang
timbul dalam hal ini adalah adanya bias gender dalam proses pencatatan peran
produktif di kalangan masyarakat nelayan dan dalam partisipasi masyarakat pada
proses pengambilan keputusan (lihat Tabel 31).
Tabel 31 Faktor penyebab dari masalah kesenjangan gender dan isu gender di bidang perikanan dan kelautan di Kabupaten Subang tahun 2006
Masalah kesenjangan
gender
Penyebab Klasifikasi kesenjangan
Isu gender Faktor sosbud
Faktor agama
Faktor ekonomi
Lain-lain
Peran perempuan dalam kegiatan kelautan dan perikanan tidak tercatat mengakibatkan perempuan jarang dilibatkan dalam program pemerintah
Ruang gerak perempuan terbatas di lingkungan rumah dan keluarga
Suami sebagai kepala keluarga
Sempitnya lapangan kerja yang tersedia. Perempuan hanya menjadi pembantu suami
Perempuan memiliki kekurangan dalam hal ketrampilan
Adanya pengabaian peran perempuan nelayan dalam tahapan pra- dan pasca- tangkap: penyiapan perbekalan, penyortiran, pemasaran dan pengelolaan keuangan
Bias gender dalam: - Proses
pencatatan peran produktif
- Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
Hasil analisis kebijakan dan analisis Moser terbukti bahwa kebijakan dan
program pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang saat ini
belum responsif gender, maka hipotesis pertama penelitian ini diterima. Oleh
karena itu, untuk dapat membuat pembangunan perikanan pantai berbasis
kesetaraan gender diperlukan reformulasi kebijakan dan program di bidang
pembangunan kelautan dan perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia telah
melaksanakan Program Pemberdayaan Wanita Pesisir (lihat Subbab 1.2). Namun,
program ini belum tercantum dalam program kerja bahkan Renstra Pembangunan
Kelautan dan Perikanan Dislutkan Kabupaten Subang. Hal ini lebih memperkuat
hasil analisis kebijakan GAP dan analisis Moser yang menyimpulkan kebijakan
dan program Dislutkan Kabupaten Subang saat ini belum responsif gender.
111
Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang mengatur
perikanan yaitu UU No. 31 Tahun 2004 sudah mencantumkan adanya kegiatan
pengolahan dan pengawetan ikan dalam definisi penangkapan ikan, tetapi
kegiatan pemasaran ikan belum tercantum, padahal peran perempuan sangat
menonjol pada tiga kegiatan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa UU Perikanan
belum secara tegas melibatkan peran perempuan dalam kegiatan penangkapan
ikan karena belum ada pemilahan pemangku kepentingan perikanan berdasarkan
jenis kelamin. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UU No. 31 Tahun 2004
juga belum responsif gender. FAO (2005) menyarankan agar kegiatan pengolahan
ikan dan pemasaran ikan dimasukkan ke dalam kegiatan penangkapan ikan,
dengan demikian peraturan perundang-undangan akan lebih bersifat responsif
gender. Jikalau peraturan perundang-undangan belum responsif gender, kebijakan
dan program di tingkat teknis akan sulit untuk mengimplementasikan program
yang responsif gender.
Hasil wawancara dengan aparat Pemda dan anggota komunitas perikanan
laut menunjukkan bahwa peran perempuan dalam kegiatan kelautan dan perikanan
sangat menonjol. Mengingat ruang gerak perempuan terbatas di sekitar rumah
sehingga tidak memungkinkan melakukan perjalanan yang lebih dari satu hari
maka perlu penegasan wilayah kegiatan perikanan yang mencakup wilayah pantai,
di mana peran dan partisipasi perempuan sangat menonjol. Pembatasan wilayah
laut untuk istilah perikanan akan mempersempit ruang gerak perempuan, karena
istilah laut selalu dikaitkan dengan wilayah kerja yang luas dan jauh dari daratan
yang umumnya sulit dijangkau oleh kaum perempuan. Perempuan yang menjadi
Bidak nelayan pun pada umumnya hanya melaut di sekitar pantai dengan rentang
waktu satu hari (daily fishing). Selain menangkap ikan dan mengumpulkan biota
laut lainnya, kegiatan perikanan pantai yang dapat melibatkan peran kaum
perempuan adalah budidaya laut.
(3) Reformulasi kebijakan pembangunan perikanan pantai
Isu gender dalam program Dislutkan (lihat Tabel 31) yaitu adanya bias
gender dalam pencatatan peran produktif dan partisipasi masyarakat pada proses
pengambilan keputusan dari pemangku kepentingan kegiatan kelautan dan
perikanan. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa ruang gerak perempuan
112
adalah di sekitar rumah dan keluarga, sehingga menyebabkan wilayah kegiatan
mereka pun hanya di sekitar pantai, oleh karena itu perlu dilakukan reformulasi
wilayah kegiatan perikanan dengan memperluas wilayah menjadi wilayah laut dan
pantai. Berdasar isu gender tersebut dan pengembangan wilayah kegiatan yaitu
wilayah pantai, kemudian dilakukan reformulasi kebijakan dan kegiatan pada
pembangunan perikanan pantai seperti tercantum pada Tabel 32.
Tabel 32 Reformulasi kebijakan dan kegiatan berdasarkan isu gender pada pembangunan kelautan dan perikanan pantai Kabupaten Subang
No Isu gender Reformulasi kebijakan Rincian kegiatan 1 Bias gender dalam proses
pencatatan peran produktif Pencatatan kembali data pemangku kepentingan di bidang perikanan laut dan pantai, terpilah lelaki dan perempuan
Sensus pelaku di bidang perikanan laut dan pantai terpilah, lelaki dan perempuan
2 Bias gender dalam partisipasi masyarakat pada proses pengambilan keputusan
Pemetaan kembali kegiatan di bidang perikanan laut dan pantai sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan
Pengembangan sumberdaya manusia pelaku perikanan laut dan pantai, lelaki dan perempuan
Berdasarkan reformulasi kebijakan dan kegiatan pada Tabel 32 kemudian
dilakukan reformulasi program, tujuan, indikator serta rencana aksi dari
pembangunan perikanan pantai yang responsif gender Dislutkan yang tersaji pada
Tabel 33. Reformulasi program yang diajukan akan lebih responsif gender setelah
adanya pemilahan gender dari pemangku kepentingan di bidang kelautan dan
perikanan pantai serta melihat kebutuhan gender komunitas saat ini yang lebih
ditekankan kepada kebutuhan praktis gender. Dengan demikian, peran dan
partisipasi perempuan tidak akan terabaikan lagi dalam pembangunan kelautan
dan perikanan Kabupaten Subang.
113
Tabel 33 Rekapitulasi analisis gender dan rencana aksi pembangunan perikanan pantai yang responsif di Kabupaten Subang Data
pembuka wawasan
Masalah kesenjangan
Isu gender
Kondisi saat ini Reformulasi Rencana aksi Indikator
gender Sasaran Kebijakan Program Tujuan Kebijakan Program Tujuan (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12)
- Data kuantitatif kurang mencer-minkan kenyataan di lapangan.
- Keterli-batan perem-puan di perda-gangan dan pengo-lahan ikan, belum dicatat.
Peran perempuan di kelautan dan perikanan tidak tercatat yang mengakibatkan perempuan jarang dilibatkan dalam program pemerintah
Bias gender dalam: - Proses
penca-tatan peran produktif
- Partisi-pasi masya-rakat l dalam proses pengam-bilan kepu-tusan
Peningkatan kemampuan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh.
Peningkatan sumberdaya manusia perikanan
Meningkatkan sumberdaya manusia masyarakat di bidang perikanan
Peningkatan kemampuan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh dengan pencatatan kembali pemangku kepentingan di bidang perikanan laut dan pantai terpilah lelaki-perempuan
Peningkatan sumberdaya manusia perikanan bagi pelaku lelaki dan perempuan
Meningkatkan sumberdaya manusia masyarakat, lelaki dan perempuan di bidang perikanan
- Sensus pelaku di bidang perikanan laut dan pantai terpilah lelaki dan perempuan.
- Tersedianya data kuantitatif terpilah gender tentang pelaku perikanan pantai.
Komunitas perikanan laut dan pantai, pegawai Dislutkan, pengurus KUD Mina, lelaki dan perempuan
- Perem-puan jarang diibatkan dalam pembinaan dan pengam-bilan keputusan.
- Pengem-bangan sumberdaya manusia pelaku perikanan laut dan pantai, lelaki dan perempuan
- Peningkatan peserta, lelaki dan perempuan, dalam pembinaan
114
Tabel 33 (Sambungan)
Data
pembuka wawasan
Masalah kesenjangan
Isu gender
Kondisi saat ini Reformulasi Rencana aksi Indikator
gender Sasaran Kebijakan Program Tujuan Kebijakan Program Tujuan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) - seperti di
atas - - seperti di
atas - - seperti di
atas - Pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan
Pengembangan sumberdaya kelautan
Meningkatkan sumberdaya, sarana dan prasarana kelautan
Pemetaan kembali kegiatan di bidang perikanan laut dan pantai sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan lelaki-perempuan dalam rangka pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan
Pengembangan sumberdaya kelautan dan pantai bagi pelaku lelaki dan perempuan
Meningkatkan sumberdaya, sarana dan prasarana kelautan dan pantai dengan melibatkan pelaku lelaki dan perempuan
- Peningkatan partisipasi pelaku perikanan pantai, lelaki dan perempuan dalam pengambilan keputusan
- Perluasan
lapangan kerja bagi perempuan dan lelaki
- Peningkatan jumlah partisipan, lelaki dan perempuan, yang terlibat dalam pengam-bilan keputusan.
- Tersedianya
lapangan kerja mandiri bagi perempuan seimbang dengan lelaki
Komunitas perikanan laut dan pantai, lelaki dan perempuan
115
Secara keseluruhan, baik dari hasil GAP dan analisis Moser, perempuan
terabaikan dari proses pembangunan karena: (1) kebijakan pembangunan tidak
diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap sebagai kepala
rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang lebih luas; dan
(2) menanggung beban ganda. Perempuan melakukan pekerjaan reproduktif dan
sekaligus mencari nafkah. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Krisnawaty
(1993). Namun demikian, dengan melakukan reformulasi kebijakan dengan
melihat kebutuhan masyarakat pesisir baik lelaki dan perempuan maka dapat
dilakukan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.
5.3 Sikap Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Kegiatan Perikanan Pantai
Tujuan antara yang kedua dari penelitian ini adalah menganalisis sikap
komunitas pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Untuk
mengukur sikap responden terhadap pembangunan perikanan pantai dan
kesetaraan gender digunakan kuesioner dengan rskala Likert (lihat Lampiran 3).
Skor mentah dari skala Likert kemudian diubah menjadi skor T dan
diinterpretasikan menjadi kategori sikap setuju (sikap positif) atau tidak setuju
(sikap negatif) terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai (Lampiran 4).
Hipotesis kedua dari penelitian ini yaitu sikap pelaku perikanan pantai
terhadap pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender memiliki
hubungan dengan latar belakang sosial-ekonomi-budaya. Untuk menguji hipotesis
tersebut dilakukan uji korelasi antara sikap responden terhadap kesetaraan gender
dalam perikanan dengan beberapa variabel sosial budaya dan sosial ekonomi.
Hasil uji korelasi (hasil olah data dengan software SPSS versi 11.5 pada Lampiran
5) adalah sebagai berikut.
(1) Analisis korelasi antara sikap dan tingkat pendidikan formal
Analisis korelasi Spearman digunakan untuk menganalisis hubungan antara
sikap dan tingkat pendidikan formal responden. Analisis korelasi Spearman
bertujuan untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara dua variabel yang
mempunyai skala pengukuran ordinal. Tingkat pendidikan formal responden yang
paling rendah adalah tidak bersekolah, sedangkan yang paling tinggi adalah tidak
lulus SLTA. Hipotesis penelitiannya adalah terdapat hubungan yang signifikan
antara sikap dan tingkat pendidikan formal.
116
Hasil analisis menunjukkan bahwa korelasi antara sikap dan tingkat
pendidikan formal yaitu sebesar -0,063 dengan nilai signifikansi sebesar 0,633.
Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi
yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan tingkat pendidikan formal.
(2) Analisis korelasi antara sikap dan matapencaharian
Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan matapencaharian responden,
digunakan uji Chi-Square. Uji Chi-Square bertujuan untuk mengetahui korelasi
atau hubungan antara dua variabel yang mempunyai skala pengukuran nominal
atau ordinal. Sikap mempunyai skala pengukuran ordinal, sedangkan
matapencaharian memiliki skala pengukuran nominal. Matapencaharian
dibedakan menjadi nelayan dan bukan nelayan. Hipotesisnya adalah terdapat
hubungan yang signifikan antara sikap dan matapencaharian.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai statistik Chi-Square yang diperoleh
adalah sebesar 27,879 dengan nilai signifikansi sebesar 0,417. Oleh karena nilai
signifikansi yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan
yaitu sebesar 0,05 (5%) maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara sikap dan matapencaharian.
(3) Analisis korelasi antara sikap dan status pekerja
Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan status pekerja responden,
digunakan uji Chi Square. Sikap mempunyai skala pengukuran ordinal,
sedangkan status pekerja memiliki skala pengukuran nominal. Status pekerja
dibedakan antara juragan dan buruh (termasuk bidak). Hipotesisnya adalah
terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan status pekerja.
Hasil analisis hubungan dua variabel tersebut menunjukkan bahwa nilai
statistik Chi-Square yang diperoleh adalah sebesar 32,436 dengan nilai
signifikansi sebesar 0,216. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh lebih
besar dari taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%) maka
hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
sikap dan status pekerja.
117
(4) Analisis korelasi antara sikap dan pendapatan
Untuk menganalisis hubungan antara sikap dan pendapatan responden, pada
saat panen dan paceklik, digunakan korelasi Spearman. Variabel sikap dan
pendapatan mempunyai skala pengukuran ordinal.
(i) Pendapatan saat panen
Hipotesis penelitian yang diuji adalah terdapat hubungan yang signifikan
antara sikap dan pendapatan pada saat panen. Hasil analisis menunjukkan bahwa
korelasi antara sikap dan pendapatan saat panen adalah sebesar -0,071 dengan
nilai signifikansi sebesar 0,591. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh
lebih besar dari nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%)
maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara sikap dan pendapatan saat panen.
(ii) Pendapatan saat paceklik
Hipotesis penelitian yang diuji adalah terdapat hubungan yang signifikan
antara sikap dan pendapatan saat paceklik. Hasil analisis menunjukkan bahwa
korelasi antara sikap dan pendapatan saat paceklik yaitu sebesar -0,095 dengan
nilai signifikansi sebesar 0,470. Oleh karena nilai signifikansi yang diperoleh
lebih besar dari nilai taraf signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05 (5%)
maka hipotesis ditolak, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara sikap dan pendapatan saat paceklik.
Hasil keseluruhan dari uji korelasi menunjukkan bahwa semua hipotesis
ditolak yang artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dan
pendidikan formal, pendapatan, matapencaharian dan status pekerja. Dengan
demikian, hipotesis kedua dari penelitian ini yaitu sikap pelaku perikanan pantai
terhadap pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender memiliki
hubungan dengan latar belakang sosial-ekonomi-budaya adalah ditolak. Akibat
hipotesis ditolak maka kemudian dilakukan analisis lebih lanjut untuk mencari
penyebabnya.
Dilihat dari aspek pendidikan formal, rataan pendidikan terakhir dari
responden, lelaki dan perempuan (lihat Tabel 18) dikategorikan rendah, yaitu
tingkat sekolah dasar. Ini menunjukkan mutu SDM baik lelaki dan perempuan
dalam komunitas setempat adalah sama-sama masih rendah, apalagi informasi
118
yang mereka terima umumnya hanya terkait dengan masalah perikanan saja,
sehingga mereka tidak banyak mengalami perubahan di bidang lainnya. Dengan
demikian adalah wajar jika tidak terdapat korelasi yang signifikan antara sikap
responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai dan pendidikan
formal.
Dalam hal pekerjaan, semua responden berkecimpung di bidang perikanan,
mulai dari nelayan sebagai penangkap ikan, pedagang ikan dan pengolah ikan
hasil tangkapan, disamping itu pekerjaan mereka tergantung dari pasokan ikan
laut hasil tangkapan yang tergantung pada musim. Pola kerjasama antara lelaki
dan perempuan dalam bidang pekerjaan tersebut tidak banyak berbeda. Tabel 26
menunjukkan bahwa pembagian tugas dalam rumahtangga baik nelayan maupun
bukan nelayan ternyata hampir sama, sama halnya dengan pengambilan keputusan
dalam keluarga (Tabel 27). Dilihat dari status pekerja pun, sikap Juragan dan
pekerjanya tidak banyak berbeda. Meskipun kedudukannya Juragan tetapi mereka
masih tetap melakukan pekerjaan yang sama dengan pekerja, apalagi asal usul
Juragan juga berasal dari pekerja. Dilihat dari pendapatan, Juragan nelayan kecil
tidak banyak berbeda dengan bidak-nya, mereka menanggung resiko lebih besar
daripada bidak, akibatnya Juragan masih harus pergi melaut untuk mengurangi
beban biaya melaut, sehingga mereka tidak sempat melakukan upaya
pengembangan diri diluar bidang perikanan. Demikian halnya dengan Juragan
pengolahan ikan, pendapatan mereka memang lebih besar daripada pekerjanya,
tetapi sikap mereka ternyata juga tidak berbeda dengan sikap pekerjanya, karena
mereka tidak melakukan pengembangan diri diluar bidang perikanan yang sudah
digelutinya. Dengan demikian dapat dikatakan wajar jika tidak terdapat korelasi
yang signifikan antara sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam
perikanan dan status pekerja, matapencaharian serta pendapatan, akibat tidak
adanya upaya pengembangan diri diluar bidang perikanan melalui komunikasi,
informasi, dan edukasi.
Distribusi sikap setuju atau tidak setuju responden terhadap kesetaraan
gender dalam perikanan pantai dapat dilihat pada Tabel 34. Secara
keseluruhannya, responden yang setuju dan tidak setuju kesetaraan gender dalam
perikanan pantai adalah sama banyak, yaitu 30 orang (50%) berbanding 30 orang
119
(50%). Namun dari 30 responden yang setuju, lebih banyak lelaki berjumlah 18
orang (30%) dibandingkan dengan perempuan sebanyak 12 orang (20%).
Sebaliknya, perempuan lebih banyak tidak setuju kesetaraan gender dalam
perikanan (30%) dibandingkan dengan lelaki (20%).
Tabel 34 Sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
Sikap terhadap Jumlah Total kesetaraan gender Lelaki Perempuan dalam perikanan pantai Orang % Orang % Orang %
Setuju 18 30 12 20 30 50 Tidak setuju 12 20 18 30 30 50 Jumlah 30 50 30 50 60 100
Perempuan lebih banyak tidak setuju dengan kesetaraan gender dalam
perikanan pantai dibandingkan dengan lelaki sungguh di luar dugaan. Pada saat
pengisian kuesioner, responden kadangkala memberikan komentar terhadap
penyataan dari Skala Likert. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner Skala Likert
(lihat Lampiran 3) yang mendapat banyak respon jawaban negatif atau tidak
setuju dari perempuan dan komentar dari responden adalah sebagai berikut:
o “Perempuan dapat mengambil kredit dari lembaga keuangan/bank untuk usaha
perikanan atas nama sendiri”. Menurut ibu M:
“Biar lelaki (suami) yang berhutang (mengambil kredit), sehingga dia akan bekerja (berusaha) untuk melunasinya. Jika perempuan yang ambil kredit, perempuan sendiri yang harus menanggung beban untuk melunasi hutang, sedangkan suami dapat berbuat seenaknya sendiri.”
Salah satu pengurus KUD Mina Bahari Desa Muara Ciasem menyatakan tentang keseriusan perempuan untuk membayar hutang, ungkapnya:
“Perempuan lebih serius membayar hutang mereka dibandingkan lelaki. Jarang ada kredit macet dari nasabah perempuan. Lebih banyak lelaki yang tidak mau bayar hutang mereka.”
Pada kenyataannya, memang kaum perempuan jarang mengambil kredit kepada
lembaga keuangan. Umumnya perempuan berutang untuk keperluan sehari-hari
seperti bahan pangan kepada pedagang kelontong setempat yang akan dibayar
saat along (musim panen ikan).
o “Lelaki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama untuk mengelola
keuangan usaha perikanan”. Ketidaksetujuan beberapa responden diungkapkan
sebagai berikut:
120
“Lelaki tidak dapat pegang uang. Jika sedang memiliki uang banyak, lelaki sering berfoya-foya.”
Pada komunitas tersebut masih terdapat stereotipi bahwa perempuan pelit dan
pandai mengatur keuangan, sebaliknya, lelaki boros dan tak dapat mengatur
keuangan.
o “Perempuan memperoleh upah langsung dari hasil kerjanya di usaha keluarga”.
Pernyataan ini juga mendapat komentar dari responden lelaki. Menurut
beberapa responden,
“Istri yang pegang uang (pengelola keuangan), jadi dia dapat mengatur keuangan (keluarga atau usaha) sesuai dengan kebutuhan, dia tidak perlu (men-)dapat upah langsung dari pekerjaannya.”
Hal ini terkait dengan stereotipi tentang pengelola keuangan pada komunitas
tersebut, sehingga mereka menganggap perempuan, khususnya istri, tak perlu
mendapat upah. Dengan demikian, sesungguhnya perempuan secara pribadi
tidak memperoleh materi apapun dari hasil kerjanya, karena uang keuntungan
atau hasil kerjanya tersebut digunakan untuk keperluan rumahtangga (disebut
juga uang dapur). Sebaliknya, lelaki masih mendapatkan hasil berupa uang
rokok yang besarnya tergantung besarnya pendapatan yang mereka peroleh.
o “Perempuan dapat menjadi wakil keluarga dalam pertemuan atau rapat warga
di kantor desa atau kecamatan”. Menurut beberapa responden, baik perempuan
dan lelaki:
“Urusan rapat di kantor desa adalah urusan lelaki. Kalau terpaksa, baru perempuan dapat wakili suami untuk hadir, tetapi jika tidak terpaksa, tidak perlu hadir atau menjadi wakil suami meskipun suami berhalangan hadir. “
Pada kenyataannya, kehadiran mereka baik lelaki atau perempuan pada
pertemuan, tergantung topik pertemuan. Jika topik dianggap tidak penting bagi
mereka, mereka pun tidak hadir pada pertemuan tersebut.
o “Suami-istri dapat terlibat dalam lembaga perdesaan mewakili kepentingan
kelompok masing-masing”. Menurut beberapa responden, baik lelaki dan
perempuan, jika suami-istri mewakili kelompoknya masing-masing dan terlibat
dalam lembaga perdesaan dapat menimbulkan pertengkaran, apalagi jika
pendapat mereka berbeda. Lebih baik dalam satu rumahtangga cukup satu
121
suara saja, agar tidak timbul konflik. Pengungkapan mereka adalah sebagai
berikut:
”Kalau suami dan istri beda pendapat di rapat desa bisa-bisa ribut di rumah. Mendingan (lebih baik) lelaki saja yang hadir.”
Hal ini menunjukkan bahwa jelas tampak pembagian peran dalam rumahtangga
pada komunitas tersebut terkait politik kemasyarakatan, khususnya pada proses
pengambilan keputusan.
o “Pemerintah telah membuat program di bidang perikanan yang dapat
membantu kemajuan perempuan”. Ketidaksetujuan beberapa responden
diutarakan dengan pendapat yang senada sebagai berikut:
“Program pemerintah lebih banyak (ditujukan kepada) untuk lelaki, untuk perempuan jarang.”
Jawaban ini menunjukkan bahwa program pemerintah lebih banyak ditujukan
kepada lelaki yang dianggap sebagai pelaku utama di bidang perikanan laut,
khususnya perikanan tangkap.
Analisis hasil wawancara menunjukkan bahwa faktor yang diduga
mempengaruhi terbentuknya sikap responden baik lelaki maupun perempuan
setuju atau tidak setuju dengan kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai
adalah faktor budaya dan faktor ekonomi. Secara rinci adalah sebagai berikut
(1) Sikap yang setuju atau sikap positif disebabkan oleh faktor ekonomi. Hal ini
ditunjukkan dari pernyataan bahwa perempuan akan dapat berbuat lebih
banyak lagi dibandingkan apa yang telah mereka perbuat saat ini, jika lebih
banyak terdapat peluang kerja atau usaha untuk mereka. Faktor ekonomi
berupa ada atau tidaknya peluang kerja atau usaha dapat mempengaruhi
terbentuknya sikap seseorang terhadap kesetaraan gender dalam kegiatan
perikanan pantai terkait dengan persaingan untuk mendapatkan pekerjaan.
Dari hasil pengamatan dan wawancara diketahui bahwa di sekitar PPP
Blanakan banyak dijumpai peluang kerja bagi perempuan yaitu di bidang
pengolahan ikan dan perdagangan ikan, sehingga kaum lelakinya banyak yang
setuju dengan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan
gender, karena akan lebih menguntungkan dari segi perekonomian bagi
mereka dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Disamping itu, motivasi
kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari cenderung
122
akan menimbulkan sikap positif perempuan terhadap kesetaraan gender dalam
perikanan pantai. Hal ini sudah terbukti dengan adanya bidak nelayan
perempuan di lokasi penelitian.
(2) Sikap yang tidak setuju atau sikap negatif dengan penyebab:
(i) faktor budaya. Hal ini ditunjukkan dari pernyataan bahwa status suami atau
kaum lelaki adalah pemimpin keluarga, dengan kata lain status suami
lebih tinggi daripada status istri. Oleh karena itu, pengambilan keputusan
terletak pada suami, maka istri harus patuh pada keputusan tersebut.
Menurut mereka, kondisi pada saat ini sudah baik; perempuan dapat
bekerja untuk membantu suami sambil mengurus keluarga. Dalam hal ini,
unsur budaya banyak mempengaruhi sikap responden baik lelaki dan
perempuan di dua desa.
(ii) faktor ekonomi. Semakin sedikit terdapat peluang kerja atau usaha maka
sikap negatif umumnya timbul dari kaum lelaki, karena adanya persaingan
antara lelaki dan perempuan dalam mendapatkan peluang tersebut.
Peluang kerja di sekitar PPP Muara Ciasem tidak terlalu banyak akibat
pengaruh pasokan ikan tangkapan yang tidak menentu, maka kaum
lelakinya cenderung tidak setuju dengan program pembangunan perikanan
pantai berbasis kesetaraan gender tersebut.
Unsur budaya dalam pembagian peran dan kedudukan (status) di lingkungan
rumahtangga dan keluarga memberi pengaruh terhadap kesetaraan gender. Status
suami memberikan memiliki kelebihan dibandingkan status istri, karena status
suami selaku kepala keluarga harus dipatuhi oleh istri dan anak-anak mereka,
disamping itu suami pun merupakan wakil keluarga dalam tingkat komunitas.
Dalam pembagian peran pun, suami lebih banyak berperan dalam kegiatan
produktif dan politik kemasyarakatan selaku pencari nafkah utama dan kepala
keluarga. Status anak lelaki juga demikian halnya, karena anak lelaki sudah
dipersiapkan untuk menjadi kepala keluarga, oleh karena itu mereka jarang
dilibatkan dalam kegiatan reproduktif di lingkungan rumahtangga. Sebaliknya,
anak perempuan sudah diarahkan untuk melakukan kegiatan reproduktif. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa status tergariskan (ascribed status) terkait dalam
123
pembagian peran dalam keluarga masih menonjol dalam komunitas lokasi
penelitian.
Sosialisasi gender tersebut melalui pendidikan informal dalam keluarga
yang dapat memberikan pengaruh kepada pembentukan sikap. Temuan dari
penelitian ini menunjukkan bahwa orang yang banyak memberikan pengaruh
terhadap sikap responden adalah orangtua dan atau suami bagi responden
perempuan. Responden mengatakan bahwa sejak kecil mereka sudah diajarkan
oleh orangtua mereka tentang pembagian tugas antara lelaki dan perempuan yang
kemudian diajarkan kepada anak-anak mereka. Di lokasi penelitian ini umum
terjadi dalam satu rumah tinggal hidup bersama tiga generasi yaitu kakek-nenek,
orangtua dan cucu, sehingga sosialisasi tentang peran gender semakin mudah
dilakukan. Tugas lelaki adalah mencari uang atau bekerja di luar rumah,
sedangkan tugas perempuan adalah mengurus rumahtangga dan keluarga.
Menurut mereka, seorang istri harus mematuhi suaminya sebagai pemimpin dalam
keluarga, demikian yang telah diajarkan dalam lingkungan keluarga secara turun-
temurun. Dengan demikian, keputusan apapun dari suami harus dituruti istri,
sehingga tidak akan ada perbedaan pendapat atau keputusan di lingkup luar
rumahtangga. Sosialisasi gender dari keluarga ini yang memberikan pengaruh
terhadap sikap kaum perempuan terhadap kesetaraan gender dalam perikanan
pantai.
Dalam lingkup keluarga, bentuk sosialisasi yang terkait pekerjaan yaitu
arahan sang ayah kepada anak lelakinya untuk menjadi nelayan, dan ibu
mengarahkan anak perempuannya untuk mengerjakan pekerjaan rumahtangga dan
bekerja sebagai buruh. Dari pengerahan tenaga kerja anggota rumahtangga dalam
menanggulangi kebutuhannya, terlihat adanya keseimbangan derajat atau posisi
suami istri atau lelaki perempuan dalam rumahtangga nelayan miskin. Namun
demikian, pengaruh kebudayaan yang telah mantap dalam masyarakat tetap
membedakan posisi antara suami istri. Hasil penelitian ini memperkuat hasil
penelitian Masngudin (1997) yaitu adanya sosialisasi dalam keluarga yang terkait
dengan peran gender.
Secara keseluruhan, dari hasil wawancara dan pengamatan diketahui bahwa
unsur ekonomi berupa adanya peluang kerja dan unsur budaya melalui pendidikan
124
informal dalam keluarga yang merupakan dapat mempengaruhi terbentuknya
sikap pesisir terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai. Sikap setuju atau
tidak setuju ini menjadi penting karena menyangkut partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender.
Sikap inilah yang melatarbelakangi kecenderungan bertindak dalam pengambilan
keputusan seseorang.
5.4 Pembangunan Perikanan Pantai Yang Responsif Gender
Tujuan antara yang ketiga dari penelitian ini adalah menyusun alternatif
program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Berdasarkan hasil
analisis gender di tingkat program Dislutkan dan di tingkat rumahtangga
masyarakat pesisir, analisis sikap responden, FGD serta data sekunder, kemudian
dilakukan perumusan strategi pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan
gender dengan menggunakan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities and
Threats (SWOT), yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan skala prioritas
untuk mencapai tujuan program pembangunan perikanan pantai yang responsif
gender dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).
5.4.1 Strategi pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender
Tujuan akhir dari analisis SWOT adalah untuk merumuskan strategi
pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender di Kabupaten Subang.
Analisis SWOT dilakukan terhadap pelaksanaan pembangunan perikanan pantai
di Kabupaten Subang saat ini yaitu dengan menganalisis faktor eksternal dan
faktor internal pelaksanaan pembangunan perikanan pantai.
Pembobotan dan penetapan peringkat dalam analisis dilakukan setelah
berdiskusi dengan para pemangku kepentingan perikanan laut dan pantai. Evaluasi
lingkungan internal dilakukan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan untuk
melaksanakan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Evaluasi
internal tersebut disusun dalam matriks IFAS (Internal Strategic Factors Analysis
Summary) seperti tercantum pada Tabel 35.
125
Tabel 35 Bobot, peringkat dan skor dari faktor internal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006
Faktor internal Bobot Peringkat Skor (1) (2) (3)=(1)x(2)
Kekuatan (Strengths): - Potensi PAD (Pendapatan Asli Daerah) 0,100 4 0,400 - PPP dan TPI yang dikelola KUD mandiri 0,075 3 0,225 - Kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan 0,100 3 0,300 - Membuka peluang industri baru perikanan 0,100 3 0,300 - Membuka lapangan kerja lainnya di pesisir 0,075 3 0,225 - Letak geografi yang strategis di pantura Jawa 0,025 2 0,050 - Tingginya aksesibilitas ke pasar 0,025 2 0,050 - Keuletan perempuan dalam berusaha 0,050 2 0,100 - Jumlah populasi perempuan-lelaki seimbang 0,050 2 0,100 Kelemahan (Weaknesses): - Kurangnya alokasi APBD bagi pembanguinan perikanan 0,100 -1 -0,100 - Tidak ada lembaga keuangan mikro untuk nelayan 0,100 -1 -0,100 - Rendahnya mutu SDM (pendidikan dan ketrampilan) 0,100 -1 -0,100 - Rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan 0,025 -2 -0,050 - Rendahnya kesadaran akan lingkungan 0,025 -2 -0,050 - Kurangnya pembinaan tenaga kerja perempuan 0,025 -3 -0,750 Total skor kekuatan − kelemahan (x) 1,000 0,600
Evaluasi lingkungan eksternal dilakukan untuk mengetahui berbagai
kemungkinan peluang dan ancaman dalam melaksanakan pembangunan perikanan
pantai yang responsif gender. Evaluasi disusun dalam matriks EFAS (External
Strategic Factors Analysis Summary) seperti tercantum pada Tabel 36.
Tabel 36 Bobot, peringkat dan skor dari faktor eksternal pembangunan perikanan pantai yang responsif gender di Kabupaten Subang tahun 2006
Faktor eksternal Bobot Peringkat Skor (1) (2) (3)=(1)x(2)
Peluang (Opportunities): - Komitmen pemerintah terhadap kesetaraan gender 0,150 3 0,450 - Peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun 0,075 3 0,225 - Inovasi usaha perikanan 0,075 3 0,225 - Otonomi daerah dapat membuat perda perlindungan
lingkungan hidup 0,075 3 0,225
- Perkembangan teknologi dan informasi 0,050 2 0,100 - Peningkatan jumlah tenaga kerja 0,075 1 0,075 Ancaman (Threats): - Tingginya harga BBM 0,150 -1 -0,150 - Kerusakan lingkungan pesisir dan laut 0,075 -2 -0,150 - Pencemaran perairan sungai dan laut 0,050 -2 -0,100 - Harga ikan yang fluktuatif 0,050 -2 -0,100 - Perdagangan bebas dunia 0,075 -2 -0,150 - Pendangkalan sungai menghambat aksesibilitas 0,050 -3 -0,150 - Nelayan pendatang dengan peralatan lebih canggih 0,050 -3 -0,150 Total skor peluang – ancaman (y) 1,000 0,350
Dari matriks IFAS (Tabel 35) dan EFAS (Tabel 36) maka dapat diketahui bahwa
posisi internal dan eksternal pembangunan perikanan pantai adalah dalam kuadran
I pada titik X (0,600; 0,350) seperti tercantum pada Gambar 4.
126
Gambar 4 Posisi pembangunan perikanan pantai saat ini dengan analisis SWOT
Posisi pembangunan perikanan pantai saat ini yang terletak pada kuadran I
menunjukkan bahwa situasi pembangunan perikanan pantai saat ini sangat
menguntungkan. Strategi yang dapat diterapkan adalah strategi yang mendukung
kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy), yaitu strategi
Strengths-Opportunities (SO). Keseluruhan strategi pembangunan perikanan
pantai yang terbagi atas strategi Strengths-Opportunities (SO), Weaknesses-
Opportunities (WO), Strengths-Threats (ST) dan Weaknesses-Threats (WT) dapat
dilihat pada Lampiran 6.
Posisi pembangunan perikanan pantai Kabupaten Subang saat ini terletak di
kuadran I yang berarti strategi SO adalah yang paling tepat untuk dilaksanakan,
dengan program-program berikut
(1) Pencatatan data kegiatan dan pelaku perikanan dipilah menurut jenis
kelamin.
(2) Pembinaan tentang perikanan pantai dan kelautan kepada masyarakat, lelaki
dan perempuan. Kegiatan pembinaan kepada masyarakat meliputi kegiatan
sosialisasi, penyuluhan dan pelatihan.
(3) Peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan di bidang perikanan
pantai bagi masyarakat lelaki dan perempuan.
(4) Pengembangan teknologi perikanan pantai tepatguna berbasis lokal bagi
lelaki dan perempuan.
(5) Perluasan akses usaha terkait perikanan pantai bagi lelaki dan perempuan
5.4.2 Prioritas untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
Fokus dari penelitian ini adalah pembangunan perikanan pantai yang
responsif gender. Fokus ini diletakkan di puncak hirarki atau di tingkat pertama.
X (0,600, 0,35)
Threats
Strengths Weaknesses
Opportunities
127
Tingkat di bawahnya atau tingkat kedua adalah pelaksana atau pelaku yang dapat
mewujudkan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Pelaku ini
terdiri dari tiga unsur yaitu aparat pemerintah daerah (Pemda), pengurus KUD
Mina dan nelayan.
Tingkat ketiga dari hirarki ini adalah faktor penting yang diperlukan agar
program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dapat tercapai.
Dalam pelaksanaan program, faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan adalah
kebijakan (policy) yang melandasi pelaksanaan program, pendanaan untuk
pelaksanaan program, sarana-prasarana untuk pelaksanaan program dan
sumberdaya manusia (SDM) yang akan melaksanakan program tersebut.
Tingkat keempat atau yang paling bawah dari hirarki ini adalah program-
program yang perlu dilakukan untuk mencapai pembangunan perikanan pantai
yang responsif gender. Program tersebut merupakan hasil analis SWOT berupa
program-program untuk pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang
responsif gender di Kabupaten Subang kemudian dianalisis dengan AHP. Program
tersebut terkait langsung dengan pemangku kepentingan pembangunan perikanan
pantai yaitu pemerintah, KUD dan masyarakat perikanan laut (nelayan). Program
pencatatan atau inventarisasi kegiatan perikanan laut dan pelakunya yang
termasuk strategi SO, sudah dapat dilaksanakan bersamaan dengan inventarisasi
produksi perikanan laut lainnya, sehingga program tersebut tidak dimasukkan
dalam hirarki AHP. Mengingat tingkat SDM masyarakat nelayan dan penduduk
pesisir lainnya pada umumnya masih rendah (lihat Subbab 5.1.2), maka
diperlukan tambahan satu program untuk dilaksanakan yaitu pengembangan
sumberdaya manusia (SDM) masyarakat, lelaki dan perempuan, melalui
peningkatan pendidikan yang termasuk strategi WO. Peningkatan pendidikan ini
ditujukan untuk memberantas buta aksara bagi penduduk yang belum pernah
sekolah dan tidak lulus melalui Paket Kelompok Belajar (Kejar) A, sedangkan
penduduk yang tidak lulus SMP dapat mengikuti Paket Kejar B dan yang tidak
lulus SMA dapat mengikuti Paket Kejar C. Program peningkatan pendidikan
dimasukkan ke dalam hirarki AHP karena tinggi-rendahnya tingkat SDM dapat
mempengaruhi pelaksanaan program secara keseluruhan dan berkelanjutan.
128
Bentuk hirarki AHP untuk mencapai pembanguan perikanan pantai yang responsif
gender terlukis dalam Gambar 5.
Gambar 5 Hirarki Pembangunan Perikanan Pantai Yang Responsif Gender
(1) Analisis prioritas tingkat kepentingan pelaku
Hasil analisis AHP (lihat Lampiran 7) menunjukkan bahwa pencapaian
tujuan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender (fokus yang terletak
pada tingkat satu), pelaku (terletak pada tingkat kedua) yang paling berperan
penting adalah Pemerintah Daerah (Pemda) dengan nilai prioritas 0,4679. Temuan
dari AHP ini memperkuat isi Inpres No. 9/2000 tentang PUG dan Kepmendagri
No 132 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan PUG Di Daerah bahwa
pengarusutamaan gender ke dalam seluruh proses pembangunan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan fungsional semua instansi dan
lembaga pemerintahan di tingkat pusat dan daerah. Nelayan merupakan pelaku
kedua yang dianggap dapat berperan dalam membuat program pembangunan
perikanan pantai berbasis kesetaraan gender ini dapat terlaksana dengan nilai
prioritas 0,3227, dan yang tingkat ketiga yang berperan adalah KUD Mina dengan
nilai prioritas 0,2094.
Responden rata-rata berpendapat bahwa keberhasilan pembangunan
perikanan pantai yang responsif gender banyak tergantung kepada pemerintah,
namun program pemerintah yang bagus pun tidak akan berhasil tanpa peranserta
masyarakat perikanan laut yang bersangkutan yaitu nelayan. KUD Mina sebagai
pengelola PPP dan TPI yaitu lembaga penyedia jasa antara nelayan dan pembeli
Tingkat 1 : Fokus : Pembangunan perikanan pantai yang responsif gender Tingkat 2 : Pelaku: Pemda KUD Nelayan Tingkat 3 : Faktor: Kebijakan Sarana Pendanaan SDM Tingkat 4 : Program: Pembinaan Peningkatan Peningkatan Pengembangan Perluasan
masyarakat, pendidikan, partisipasi, teknologi akses lelaki- lelaki- lelaki- perikanan laut usaha, perempuan perempuan perempuan & pantai, lelaki- lelaki- perempuan perempuan
129
dan yang memperoleh keuntungan dari uang jasa lelang penjualan ikan hasil
tangkapan (Perda Propinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2005), sudah seharusnya
terlibat sepenuhnya dalam pembangunan perikanan pantai.
(2) Analisis prioritas tingkat kepentingan faktor pelaksanaan program
Tingkat ketiga hirarki adalah tentang faktor-faktor penting pelaksanaan
program. Pada tingkat ini, responden yang diwawancarai adalah aparat Pemda dan
pengurus KUD Mina, karena mereka merupakan lembaga yang terkait dengan
penyelenggaraan program pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan
gender. Menurut Pemda, faktor yang terpenting untuk melaksanakan suatu
program adalah adanya kebijakan yang melandasi pelaksanaan program (0,6042),
hal ini terkait kedudukan pemerintah adalah sebagai pembuat kebijakan (policy
maker). Menurut pengurus KUD Mina yang terpenting adalah ketersediaan SDM
(0,3700) yang akan melaksanakan program tersebut, hal ini disebabkan oleh
pelaksanaan program perikanan banyak diselenggarakan di lingkungan kerja
mereka. Hasil analisis berdasarkan kepentingan faktor untuk pembangunan
perikanan pantai menurut pelaku dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 37 Kepentingan faktor untuk pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku
Pelaku Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4
Pemda Kebijakan (0,6042)
Sarana (0,2176)
Pendanaan (0,1064)
SDM (0.0718)
KUD Mina SDM (0,3700)
Pendanaan (0,2768)
Sarana (0,2317)
Kebijakan (0,1214)
Menurut aparat Pemda, faktor yang paling penting untuk pelaksanaan
program, adalah kebijakan. Penentuan kebijakan dilakukan sebelum
melaksanakan program untuk menentukan arah dan tujuannya program. Kebijakan
yang melandasi program pembangunan perikanan pantai berkelanjutan berbasis
kesetaraan gender adalah Inpres 9 Tahun 2000 tentang PUG, diperkuat oleh
Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 tentang PUG Di Daerah yang diarahkan oleh
Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2005-2009, yaitu program perlu
memperhatikan kesetaraan gender dan untuk kepentingan pembangunan
berkelanjutan. Kebijakan yang bersifat nasional ini menjadi landasan untuk
program pembangunan perikanan pantai di daerah. Berdasarkan GAP (lihat
Subbab 5.2.2) telah diketahui bahwa program Dislutkan Kabupaten Subang belum
130
responsif gender, oleh karena itu untuk melaksanakan PUG dalam kebijakan
pembangunan kelautan dan perikanan maka diperlukan komitmen dari pimpinan
Dislutkan untuk membuat pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan
gender. Hal ini sesuai dengan pendapat Bemmelen (1995) yang menyatakan
bahwa untuk melaksanakan program yang responsif gender diperlukan peraturan
perundang-undangan dan komitmen dari pemerintah.
Faktor kedua yang terpenting menurut aparat Pemda adalah sarana
penunjang program. Setelah kebijakan ditentukan, apakah sudah tersedia sarana
penunjangnya? Jika sarana sudah tersedia, pelaksanaan pun akan lebih mudah
dilakukan. Dislutkan dapat menyediakan sarana untuk pelaksanaan program
pembangunan perikanan pantai yang responsif gender, tergantung kebijakan
Dislutkan sendiri. Sarana penunjang program dari segi PUG untuk pelaksanaan
pembangunan perikanan pantai berbasis kesetaraan gender, menurut Kepmendagri
No 132 Tahun 2003, adalah pembentukan Kelompok Kerja PUG dan Focal Point
PUG. Kelompok Kerja PUG adalah wadah konsultasi bagi para pelaksana dan
penggerak PUG dari berbagai instansi/lembaga. Focal Point PUG adalah
individu-individu yang telah sensitif gender yang berasal dari
instansi/lembaga/organisasi yang mampu melaksanakan PUG ke dalam setiap
kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan di
wilayah masing-masing. Dislutkan Kabupaten Subang, pada saat penelitian
dilakukan, belum mempunyai Kelompok Kerja PUG, bahkan belum ada Focal
Point PUG-nya. Untuk mencapai tujuan pembangunan perikanan pantai yang
responsif gender, Dislutkan perlu mengadakan Kelompok Kerja PUG dan Focal
Point PUG.
Faktor ketiga yang terpenting untuk pelaksanaan pembangunan perikanan
pantai berbasis kesetaraan gender menurut aparat Pemda adalah pendanaan. Jika
kebijakan sudah ditentukan, sarana sudah mencukupi maka keperluan dana pun
dapat dihitung, dan jika dana memungkinkan maka program pun dilaksanakan.
Menurut Kepmendagri No. 132 Tahun 2003, pembiayaan untuk keperluan PUG di
daerah dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing Propinsi,
Kabupaten dan Kota sekurang-kurangnya minimal sebesar 5 (lima) persen dari
131
APBD. Dalam hal ini, komitmen pimpinan Pemda untuk menyediakan biaya
untuk keperluan PUG menjadi penting, terkait dengan kebijakan yang telah
dibuat. Menurut responden dari BPMD, anggaran untuk PUG di Kabupaten
Subang belum mencapai lima persen sesuai Kepmendagri 132 Tahun 2003,
pembiayaan kegiatan dari APBD II didasarkan pada skala prioritas pembangunan
daserah. Menurut responden dari Dislutkan, anggaran untuk Dislutkan tidak
banyak dan tidak mencukupi untuk pelaksanaan semua program sesuai Renstra,
maka pembiayaan untuk pelaksanaan program disesuaikan dengan skala prioritas
kepentingan program tersebut.
Faktor keempat yang terpenting menurut aparat Pemda adalah SDM. Mutu
SDM yang telah dimiliki oleh BPMD untuk PUG sudah mencukupi, meskipun
dari segi kuantitas kurang, tetapi untuk pelaksanaan program sudah
memungkinkan. Namun SDM di Dislutkan yang pernah mengikuti sosialisasi
PUG baru satu orang dan bukan pengambil keputusan sehingga belum
memberikan pengaruh kepada proses perencanaan pembangunan yang responsif
gender. Oleh karena itu, Dislutkan perlu meningkatkan SDM pegawai agar
sensitif gender sehingga tujuan program pembangunan perikanan pantai yang
responsif gender dapat terlaksana.
Menurut pengurus KUD Mina, faktor SDM-lah yang paling penting atau
utama. Kemampuan SDM yang tinggi akan memperlancar pelaksanaan program,
tanpa SDM yang mampu maka pelaksanaan dapat tidak mencapai sasaran. Pada
saat ini, SDM dari KUD Mina masih perlu ditingkatkan, karena kekhususan
(spesialisasi) KUD Mina di bidang perikanan laut adalah pelelangan, sehingga
untuk perlu program pengembangan dari SDM KUD Mina sendiri sebelum
melaksanakan program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender.
Faktor terpenting kedua adalah pendanaan. Jika dana tersedia maka
pelaksanaan program pun lancar, dengan kata lain, ada dana maka ada kegiatan.
Dalam kondisi keuangan KUD Mina saat ini, penyisihan dana untuk pelaksanaan
pembangunan perikanan pantai yang responsif gender ini perlu dibuat skala
prioritas kegiatannya dahulu sesuai sumber dana yang ada.
Menurut pengurus KUD Mina, sarana pelaksanaan program merupakan
faktor ketiga terpenting karena ketersediaan sarana penunjang dapat membantu
132
terlaksananya program. Sarana yang dimiliki oleh KUD Mina untuk pelaksanaan
program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender saat ini adalah
terbatas, oleh karena perlu pengadaan sarana dan berarti perlu biaya
pengadaannya.
Faktor terpenting keempat adalah kebijakan. Jika faktor SDM yang
mencukupi, dana dan sarana tersedia, maka kebijakan pelaksanaan program akan
dibuat atau diputuskan. Hal ini merupakan kebalikan dari pendapat aparat Pemda,
dengan demikian komitmen dari KUD Mina baru akan dibuat setelah kebutuhan
fisik terpenuhi.
(3) Analisis prioritas tingkat kepentingan program
Tingkat keempat dari hirarki AHP adalah tingkatan kepentingan program
yang perlu dilaksanakan dalam mewujudkan tujuan pembangunan perikanan
pantai berbasis kesetaraan gender. Hasil analisis program terpenting berdasarkan
pelaku dan faktor untuk pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang
responsif gender dapat dilihat pada Tabel 38-39 (hasil analisis lengkap dapat
dilihat pada Lampiran 7).
Hasil analisis menunjukkan bahwa aparat Pemda memprioritaskan program
yang sama untuk semua faktor yang penting bagi pelaksanaan pembangunan
perikanan pantai yang responsif gender. Hasil dapat dilihat pada Tabel 38.
Tabel 38 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut aparat Pemda
Faktor Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Kebijakan Pembinaan
(0,3999) Pendidikan
(0,3108) Partisipasi (0,1349)
Teknologi (0,0954)
Akses (0,0591)
Pendanaan Pembinaan (0,3747)
Pendidikan (0,2388)
Partisipasi (0,1923)
Teknologi (0,1037)
Akses (0,0906)
Sarana Pembinaan (0,4233)
Pendidikan (0,2502)
Partisipasi (0,1628)
Teknologi (0,0947)
Akses (0,0689)
SDM Pembinaan (0,3783)
Pendidikan (0, 2599)
Partisipasi (0,1783)
Teknologi (0,0963)
Akses (0,0873)
Menurut aparat Pemda, program pembinaan kepada masyarakat baik lelaki
dan perempuan dan program peningkatan pendidikan bagi pemangku kepentingan
lelaki dan perempuan perlu didahulukan karena terkait dengan pengembangan
SDM baik melalui jalur pembinaan yaitu sosialisasi berbagai program pemerintah,
penyuluhan dan pelatihan yang digolongkan sebagai pendidikan non formal, juga
melalui program peningkatan pendidikan yang bersifat formal, seperti jalur
133
sekolah atau paket Kelompok Belajar (Kejar) A untuk setara tingkat SD dan paket
Kejar B setara tingkat SMP serta paket Kejar C setara tingkat SMA. Masyarakat
pesisir yang sudah berusia di atas 25 tahun pada umumnya tidak lulus SD,
sedangkan generasi yang lebih muda umumnya lulus SD tetapi tidak lanjut ke
SMP atau tidak lulus SMP. Oleh karena itu, untuk dapat mengubah pola pikir
masyarakat tersebut diutamakan program pembinaan dan pendidikan agar mereka
termotivasi untuk mengubah nasib mereka sendiri.
Program yang diprioritaskan pada tingkat ketiga untuk dilaksanakan adalah
peningkatan partisipasi pemangku kepentingan, lelaki dan perempuan. Menurut
aparat Pemda, tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
program pemerintah akan membantu keberhasilan program tersebut, jadi semakin
banyak anggota masyarakat yang terlibat akan menambah tingkat partisipasi
mereka.
Program keempat yang berpeluang untuk dilaksanakan adalah program
pengembangan teknologi perikanan laut dan pantai tepat guna berbasis lokal bagi
pemangku kepentingan lelaki dan perempuan. Menurut aparat Pemda, adanya
pengembangan teknologi baru berarti dapat membuat peluang baru yang berarti
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir sehingga tidak terlalu hanya
tergantung kepada usaha menangkap ikan. Program ini berhubungan dengan
program perluasan akses usaha.
Program yang kelima adalah perluasan akses usaha yang terkait dengan
usaha perikanan laut dan pantai bagi lelaki dan perempuan. Program ini terkait
dengan usaha membangun kemandirian masyarakat sehingga mereka sendiri yang
termotivasi untuk memperbaiki nasibnya sendiri.
Menurut pengurus KUD Mina program yang paling berpeluang untuk
dilaksanakan adalah berdasarkan faktor kepentingan dari pelaksanaan program
yang bersangkutan. Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 39.
134
Tabel 39 Program terpenting pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan faktor penting dan menurut pengurus KUD Mina
Faktor Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Kebijakan Teknologi
(0, 3175) Akses
(0,2412) Pembinaan
(0,1780) Partisipasi (0,1356)
Pendidikan (0,1276)
Pendanaan Pembinaan (0,3322)
Partisipasi (0,2815)
Pendidikan (0,1830)
Akses (0,1097)
Teknologi (0,0935)
Sarana Akses (0,3089)
Partisipasi (0,2311)
Teknologi (0,2167)
Pendidikan (0,1224)
Pembinaan (0,1210)
SDM Pembinaan (0,3360)
Pendidikan (0,2219)
Akses (0,1784)
Teknologi (0,1323)
Partisipasi (0,1313)
Dilihat dari faktor kebijakan, program pertama yang paling berpeluang
dilaksanakan adalah pengembangan teknologi perikanan laut dan pantai tepat
guna bagi lelaki dan perempuan. Menurut pengurus KUD Mina, pengembangan
teknologi perikanan ini mungkin dapat meningkatkan jumlah produksi perikanan,
sehingga dapat dilelang dengan harga yang lebih baik, selain itu dengan adanya
penjualan jenis baru olahan ikan akan meningkatkan pendapatan KUD.
Dilihat dari faktor pendanaan, program yang paling berpeluang untuk
dilaksanakan pertama adalah pembinaan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan
biaya pelaksanaan program pembinaan cukup rendah dibandingkan dengan
pelaksanaan program lainnya.
Dilihat dari faktor sarana, program yang paling berpeluang adalah perluasan
akses usaha. Hal ini dikarenakan sarana untuk menunjang program tersebut sudah
tersedia di dua KUD di lokasi penelitian, sehingga dapat mempermudah
pelaksanaan program.
Dilihat dari faktor SDM, program yang paling berpeluang adalah pembinaan
kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan SDM untuk pelaksanaan program
tersebut sudah ada.
Masyarakat perikanan laut yang umumnya nelayan berpendapat lain
mengenai program-program tersebut. Masyarakat nelayan adalah pelaku dari
kegiatan perikanan laut dan pantai. Menurut nelayan, faktor yang terpenting bagi
mereka adalah kemampuan SDM sebagai nelayan.
Program pembangunan perikanan pantai yang paling penting bagi nelayan
adalah pembinaan (seperti sosialisasi, pelatihan, penyuluhan) kepada masyarakat
lelaki dan perempuan (0,2722). Alasan mereka adalah program tersebut tidak
memerlukan waktu lama dan program tersebut sudah mempunyai tujuan yang
135
jelas untuk pengembangan SDM. Program kedua yang penting adalah
peningkatan pendidikan bagi lelaki dan perempuan (0,2291). Program ketiga
adalah perluasan akses usaha (0,1973), disusul dengan program keempat adalah
pengembangan teknologi tepat guna (0,1607), dan yang terakhir adalah
peningkatan partisipasi (0,1407).
Prioritas bagi nelayan yang diperlukan oleh mereka adalah pengembangan
SDM, pengembangan peluang usaha yang mencakup aspek, baik dari segi
teknologi dan diversitas usaha dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup mereka. Program terakhir yang nelayan anggap penting adalah peningkatan
partisipasi mereka dalam pelaksanaan program karena menurut mereka
keikutsertaan mereka saat ini dalam pelaksanaan program pemerintah sudah
cukup baik.
Tiga pelaku dalam pembangunan perikanan pantai memiliki kepentingan
dan alasan masing-masing untuk memilih program yang sesuai dengan situasi dan
kondisi yang mereka miliki. Secara umum, hasil analisis menunjukkan bahwa
program yang paling banyak dipilih oleh tiga pelaku sebagai program yang paling
berpeluang dan penting untuk dilaksanakan lebih dahulu adalah program
pembinaan tentang perikanan pantai dan kelautan kepada masyarakat lelaki dan
perempuan (lihat Tabel 40). Saat ini program pembinaan sudah dilaksanakan
tetapi lebih banyak ditujukan kepada lelaki, sedangkan perempuan jarang
dilibatkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformulasi program-program agar
lebih responsif gender sehingga SDM perempuan pesisir dapat meningkat dan
kesejahteraan keluarga pun dapat meningkat, karena potensi semua anggota
keluarga, lelaki dan perempuan, termanfaatkan dengan optimal.
Tabel 40 Rekapitulasi urutan program terpenting dalam pelaksanaan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender menurut pelaku di Kabupaten Subang
Urutan program yang terpenting
Program terpenting menurut pelaku Pemda KUD Mina Nelayan
Prioritas 1 Pembinaan Pembinaan Pembinaan Prioritas 2 Pendidikan Partisipasi Pendidikan Prioritas 3 Partisipasi Teknologi Akses Prioritas 4 Teknologi Pendidikan Teknologi Prioritas 5 Akses Akses Partisipasi
136
5.5 Pembahasan Umum
Guna mendukung pembangunan perikanan pantai yang responsif gender,
Dislutkan tidak harus bekerja sendiri tetapi perlu bekerjasama dengan sektor
lainnya, antar-sektoral. Kerjasama antar sektoral tersebut dapat terjalin antara
dinas teknis (Dislutkan) dengan instansi yang terkait dengan pemberdayaan
masyarakat yaitu BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kabupaten
Subang yang menjadi koordinator Forkom Gender yang melaksanakan program
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, dan Dinas Pendidikan
Kabupaten Subang yang terkait dengan pengembangan SDM masyarakat. KUD
Mina yang mengelola TPI pun perlu dilibatkan dalam pelaksanaan program
karena KUD Mina juga memperoleh keuntungan dari jerih payah nelayan.
Disamping itu, KUD dapat mengembangkan usaha baru dari pemasaran produk
baru dari nelayan dan pengolah ikan, tidak seperti saat ini yang hanya
mengandalkan pelelangan ikan basah. Kerjasama terintegrasi ini diharapkan akan
dapat memberikan hasil yang tepat sasaran (efektif) dan menekan biaya (efisien),
karena program pengembangan SDM khususnya kepada masyarakat nelayan
berkaitan pada upaya mengubah pola pikir dan perilaku yang membutuhkan usaha
jangka panjang dan bersinambung. Hal ini sesuai dengan pernyataan FAO (2005)
dan Perpres No. 7 Tahun 2005 bahwa perencanaan dan proses kebijakan
terintegrasi antar sektoral akan berpengaruh untuk meningkatkan profil perikanan
skala kecil dalam arena kebijakan. Selama ini perikanan skala kecil sering
ditinggalkan dari mekanisme perencanaan nasional dan proses pengambilan
keputusan yang mengakibatkan perikanan skala kecil diabaikan dalam
pembangunan perdesaan atau program pengentasan kemiskinan.
Menurut Charles (2001), empat aspek pembangunan perikanan yang
berkelanjutan meliputi aspek sosio-ekonomi, komunitas, kelembagaan dan
ekologi. Tinjauan kesetaraan gender dalam pembangunan perikanan pantai juga
terkait dengan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan menurut Charles,
namun karena aspek ekologi tidak terkait secara langsung dengan isu gender,
maka dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis ekologi. Analisis gender terkait
langsung dengan aspek sosio-ekonomi, komunitas dan kelembagaan, sedangkan
137
dalam bahasan dalam aspek ekologi dikaitkan dengan perilaku nelayan sebagai
pemangku kepentingan dalam kegiatan perikanan pantai.
Masyarakat nelayan mengandalkan sumberdaya ikan sebagai sumber
matapencahariannya, oleh karena itu kelestarian sumberdaya ikan menjadi sangat
penting. Nelayan lokal melaut di wilayah pesisir utara Subang dan kadangkala
hingga ke pesisir Kabupaten Karawang, dengan waktu melaut satu hari masih
dapat menangkap ikan. Untuk saat ini kondisi ekologi setempat masih
memungkinkan untuk habitat ikan, tetapi penggunaan jaring arad yang merusak
lingkungan oleh nelayan lokal, cepat atau lambat, akan menghancurkan ekosistem
laut, yang berarti aspek ekologi yang berkelanjutan pun akan terancam. Untuk
menjamin aspek ekologi berkelanjutan maka program pemerintah berupa
penggantian jaring arad dengan jaring yang tidak merusak lingkungan laut (ramah
lingkungan) seperti jaring rampus modifikasi seyogyanya dilanjutkan dengan
berbagai kemudahan bagi nelayan kecil untuk memperolehnya, sesuai kebutuhan
untuk melaut. Sosialisasi tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
penggunaan jaring arad sudah pernah dilakukan kepada nelayan, tetapi kesulitan
memperoleh jaring pengganti menyebabkan jaring arad masih tetap digunakan
oleh para nelayan. Kesulitan memperoleh jaring yang ramah lingkungan dapat
dilakukan melalui pelatihan pembuatan jaring. Pelatihan ini ditujukan kepada
nelayan dan perempuan nelayan. Pada umumnya perempuan nelayan banyak
membantu suaminya untuk memperbaiki jaring yang rusak dan membuat jaring
baru. Pelatihan ini dapat menjadi salah satu upaya pengembangan SDM dan
perekonomian bagi keluarga nelayan. Keluarga nelayan yang mampu membuat
jaring yang ramah lingkungan, selain untuk memenuhi kebutuhan sendiri juga
dapat menjualnya. Dengan demikian, dapat menjadi sumber pendapatan baru bagi
keluarga nelayan.
Kaum perempuan yang memasarkan ikan mengetahui tentang mutu ikan
yang diminta oleh pasar serta harga jualnya. Melalui pengetahuan akan mutu ikan
ini, kaum perempuan akan mengingatkan kaum lelaki untuk menangkap ikan
secara selektif yaitu yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan demikian,
nelayan akan berhati-hati dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan, termasuk
dalam hal penggunaan jenis jaring ikan, mengingat hasil tangkapan ikan dengan
138
jaring ikan umumnya adalah ikan dengan mutu rendah yang dihargai rendah juga
oleh pasar. Aspek ekologi juga terkait dengan aspek sosio-ekonomi, khususnya
dalam hal penggunaan alat tangkap. Perempuan yang beran sebagai penjual ikan
merupakan pengambil keputusan dalam hal produksi dengan menentukan jenis
dan mutu ikan yang akan dijual.
Ancaman terhadap perairan laut juga datang dari pencemaran air akibat
pembuangan limbah. Pada umumnya masyarakat membuang sampah padat dan
limbah cair baik dari perumahan atau usaha perikanan ke sungai. Limbah ini dapat
merusak habitat ikan, khususnya yang terletak di dekat pantai. Sampai saat ini
belum ada tindakan untuk mengurangi pembuangan limbah ke perairan umum.
Dengan demikian, perlu ada pembinaan kepada masyarakat baik lelaki dan
perempuan tentang bahaya membuang limbah ke perairan lingkungan laut yang
dapat mengakibatkan rusaknya habitat ikan karena akan mengganggu stok ikan
yang hidup di perairan sekitar pantai dan akhirnya akan merugikan kaum nelayan
sendiri. Pembinaan kepada masyarakat baik lelaki dan perempuan tentang
lingkungan hidup diharapkan akan menumbuhkan kesadaran mereka terhadap
pemeliharaan lingkungan hidup dan mampu meningkatkan partisipasi dalam
bertindak dan mempertahankan ekologi agar berkelanjutan, karena mereka sendiri
yang akan terkena dampak. Pembinaan ini merupakan suatu upaya pendidikan
lingkungan hidup (PLH) kepada komunitas pesisir dan nelayan. Upaya pendidikan
lingkungan lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan Kerangka Kerja
Komunikasi, Informasi dan Edukasi atau KIE (lihat Subbab 2.3) disertai
sosialisasi kesetaraan gender. Dengan demikian, keterlibatan pemangku
kepentingan dalam pembangunan perikanan pantai secara nyata ditujukan kepada
komunitas pesisir, lelaki dan perempuan. Sikap dan perilaku komunitas pesisir
tidak akan dapat berubah tanpa adanya pembinaan dari pemerintah sebagai pihak
pengambil keputusan dan pemegang otoritas pengelolaan kelautan dan perikanan.
Hal ini memperkuat pernyataan OECD (1996) bahwa melalui intervensi
pembangunan maka posisi perempuan dapat diperkuat dan dapat membawa
kemajuan pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya
mempertinggi harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan.
139
Ditinjau dari aspek sosio-ekonomi, bidang perikanan laut di Kabupaten
Subang cukup baik, 50 persen dari produksi perikanan pada tahun 2005 adalah
hasil penangkapan di laut. Pada tahun 2005 penyerapan tenaga kerja di bidang
penangkapan laut meningkat 0,5 persen dibanding tahun 2004, sedangkan
penyerapan tenaga kerja bidang pengolahan hasil perikanan pada tahun 2005
meningkat 5 persen dibanding tahun 2004 (lihat Subbab 4.2). Kaum nelayan
jarang yang beralih profesi dan meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan. Jika ada
yang beralih profesi, lingkup pekerjaan barunya tidak jauh dari usaha perikanan
laut, seperti pedagang atau pengolah ikan. Dengan demikian, melihat
ketergantungan ini maka program pembangunan perikanan pantai seyogyanya
memperhatikan kesejahteraan pelaku perikanan.
Di lokasi penelitian tampak banyak orang yang mengandalkan hidup pada
kegiatan perikanan. Secara individual, nelayan lokal masih hidup secara subsisten.
Pendapatan sehari-hari mereka hanya cukup untuk makan. Untuk menambah
pendapatan keluarga, banyak perempuan nelayan yang menjadi buruh pengolahan
ikan. Pelatihan kepada perempuan nelayan dapat membantu meningkatkan SDM
mereka; pembinaan tersebut harus ada pendampingan baik oleh aparat Pemda atau
lembaga lain seperti KUD Mina, agar tujuan pembinaan tercapai. Pelatihan
tentang pengolahan ikan yang dapat dibarengi dengan pelatihan kewirausahaan.
Keterampilan yang diperoleh lewat pembinaan akan membuka kemungkinan bagi
mereka untuk dapat mengolah hasil tangkapan ikan suami sehingga hasil produksi
ikan yang dijual sudah mempunyai nilai tambah. Tujuan dari pengembangan
kewirausahaan adalah meningkatkan kesejahteraan keluarga nelayan yang
mungkin dapat menurunkan tekanan terhadap stok ikan dan mencegah kerusakan
lingkungan alam karena mereka sudah menyeleksi jenis ikan yang diperlukan
untuk diolah yang berarti mereka harus menggunakan alat tangkap yang tertentu
ukurannya dan yang dapat berarti alat tangkap ramah lingkungan. Namun kendala
yang mungkin dihadapi oleh pelaksana program adalah masyarakat pesisir
umumnya berorientasi “hari ini” yaitu mereka cukup puas dengan hasil yang
diperoleh hari ini dan tidak terlalu memikirkan hari esok. Oleh karena itu,
pembinaan tersebut perlu disertai oleh pendampingan karena pelaksanaannya
memerlukan waktu yang cukup lama dan bersinambung. Peran KUD Mina pun
140
menjadi penting, karena mereka harus mengembangkan usaha baru untuk menjual
hasil olahan ikan, tidak sekedar melelang ikan basah. SDM dari pengurus dan
pegawai KUD Mina pun perlu ditingkatkan untuk keperluan pengembangan usaha
baru ini agar KUD pun dapat memetik keuntungan dari diversifikasi usaha
mereka. Hal ini memperkuat pendapat Kusumastanto (2003) yang mengemukakan
bahwa di Indonesia sulit ditemukan koperasi yang sudah beroperasi pada
peningkatan mutu produk, pengolahan hasil, dan pemasaran.
Aspek komunitas ini terkait dengan aspek sosio-ekonomi, karena pelaku
kegiatan perikanan merupakan perseorangan yang menjadi anggota dari suatu
komunitas. Jika nelayan masih dapat hidup dari hasil menangkap ikan di laut
maka keberadaan komunitas nelayan pun akan tetap ada. Kegiatan perikanan laut
di lokasi penelitian tertolong dengan adanya nelayan pendatang dengan armada
perahu yang lebih moderen sehingga dapat menangkap ikan di wilayah yang jauh
dari pantai dan jauh dari wilayah Kabupaten Subang. Namun demikian, perlu
adanya inovasi usaha dan pengembangan teknologi tepat-guna di bidang
perikanan laut dan pantai agar nelayan lokal yang banyak menganggur di musim
paceklik ikan masih dapat menghidupi keluarganya, disamping itu waktu luang
tersebut dapat dimanfaatkan untuk penyelenggaraan acara pembinaan kepada
masyarakat, lelaki dan perempuan.
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan perikanan yang berkelanjutan,
pembinaan kepada masyarakat pesisir bertujuan untuk meningkatkan partisipasi
mereka dalam melestarikan lingkungan karena kehidupan mereka banyak
tergantung pada sumberdaya ikan. Pembinaan kepada masyarakat harus
memperhatikan tiga unsur dalam pendidikan yaitu peningkatan pengetahuan
(kognitif), pengubahan sikap ke arah yang positif (afektif) dan pengubahan
perilaku ke arah yang lebih baik. Pembinaan masyarakat ini memerlukan waktu
yang cukup panjang dan perlu dilaksanakan secara berkesinambungan. Oleh
karena itu, pelibatan lintas instansi secara terkoordinasi lebih memungkinkan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu perubahan perilaku masyarakat
pesisir. Pembinaan dan pengembangan SDM masyarakat pesisir, lelaki dan
perempuan sebagai pemangku kepentingan, dapat menggunakan upaya KIE atau
komunikasi, informasi dan edukasi.
141
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan kepada masyarakat
nelayan dan pesisir, lelaki-perempuan, adalah sulitnya memotivasi mereka untuk
bersedia hadir sebagai peserta pembinaan. Masyarakat perlu dimotivasi bahwa
tujuan kegiatan pembinaan adalah untuk pengembangan diri mereka. Selama ini
ini masyarakat setempat banyak memperhitungkan keuntungan apa yang akan
diperoleh jika hadir dalam acara pembinaan dibanding dengan perolehan
pekerjaan mereka sebagai bakul atau pengolah ikan yang sehari-hari mereka
lakukan dan keuntungan tersebut langsung diperoleh atau tidak. Oleh karena itu,
penyelenggaraan pembinaan kepada masyarakat nelayan sebaiknya dilakukan
pada saat paceklik dimana mereka banyak menganggur sehingga mereka bersedia
hadir pada acara pembinaan tersebut. Selain itu, pembinaan kepada kaum
perempuan sebaiknya diselenggarakan tidak jauh dari tempat tinggal mereka,
karena umumnya para suami melarang istri mereka pergi jauh meninggalkan
keluarga dan rumah.
Media lain untuk pembinaan adalah melalui kegiatan keagamaan. Ketaatan
masyarakat dalam menjalankan perintah agama membuat mereka rajin menghadiri
pengajian atau majelis taklim setiap minggu. Untuk memotivasi masyarakat untuk
meningkatkan kemampuan diri sendiri, ustadz (guru lelaki) atau ustadzah (guru
perempuan) dapat berperan dalam penyampaian informasi atau pengetahuan
(knowledge) baru kepada masyarakat sehingga menimbulkan kesadaran atau sikap
(attitude) baru yang diharapkan dapat mengubah perilaku mereka yang
berorientasi hari ini menjadi berorientasi ke masa depan. Interaksi yang intensif
antara guru agama dengan muridnya melalui upaya KIE diharapkan akan dapat
memotivasi masyarakat untuk mengembangkan SDM mereka sendiri. Temuan ini
memperkuat hasil penelitian Prawoto (2001) yang menyatakan bahwa salah satu
motivator di perdesaan adalah ulama atau pemuka agama.
Usaha untuk meningkatkan pengembangan diri masyarakat, khususnya usia
dewasa, juga dapat dimulai dengan upaya KIE. Upaya KIE ini bertujuan untuk
menyadarkan mereka akan pentingnya pendidikan bagi pengembangan SDM,
sehingga mereka bersedia untuk mengikuti paket Kejar dan upaya pembinaan
lainnya serta dapat mendorong atau memotivasi anak-anak mereka untuk
melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
142
Ditinjau dari aspek kelembagaan, pengelolaan perikanan pantai di
Kabupaten Subang berada dalam kewewenangan Dinas Kelautan dan Perikanan
(Dislutkan). Oleh karena perempuan nelayan berperan aktif dalam kegiatan
perikanan laut dan pantai maka diperlukan reformulasi program dan kegiatan
Dislutkan agar lebih responsif gender.
Dalam rangka pembinaan kepada masyarakat, Dislutkan perlu
meningkatkan kemampuan SDM tenaga penyuluh kelautan dan perikanan baik
dari segi kualitas dan kuantitas (lihat Subbab 4.3.3), disamping itu petugas
lapangan pun perlu dipilah berdasarkan gender. Berhubung masyarakat pesisir
umumnya taat beragama maka akan lebih baik jika pengajar dari acara pembinaan
berjenis kelamin yang sama dengan peserta didiknya sehingga interaksi antara
pengajar dan peserta akan berlangsung dalam kondisi yang lebih kondusif atau
lebih santai dan terbuka.
Kerjasama antar-sektoral, seperti BPMD dan Dinas Pendidikan serta
lembaga lain seperti KUD Mina dan perguruan tinggi diperlukan untuk tujuan
pengembangan SDM masyarakat pesisir. Kerjasama ini disesuaikan dengan
kebutuhan di lapangan, sehingga dalam pelaksanaannya program dapat berjalan
efektif dan efisien. Kerjasama dengan BPMD dan Dinas Pendidikan banyak
terkait dengan upaya peningkatan pengetahuan, sehingga masyarakat termotivasi
untuk maju dan mensejahterakan diri. Dalam hal pengembangan teknologi
perikanan laut dan pantai berbasis lokal, Dislutkan dapat bekerjasama dengan
perguruan tinggi untuk mencari inovasi baru yang sesuai dengan kondisi
setempat, sehingga masyarakat bersedia ikut berpartisipasi melaksanakannya,
karena bermanfaat bagi mereka.
Partisipasi masyarakat nelayan, lelaki dan perempuan, dalam proses
pengambilan keputusan perlu ditingkatkan. Peningkatan tersebut dapat dilakukan
melalui pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan hingga pelaksanaan
program pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Dengan demikian,
program disusun berdasarkan kesepakatan antara kebijakan pengambil keputusan
yaitu pemerintah dan kebutuhan masyarakat pelaku lelaki dan perempuan,
sehingga masyarakat pun bersedia untuk berpartisipasi sehingga tujuan program
tercapai.
143
Dalam hal kelembagaan, KUD Mina juga memegang peranan penting dalam
membantu pelaksanaan program pemerintah yang terkait dengan pemberdayaan
masyarakat. KUD Mina di lokasi penelitian sampai saat ini baru menyediakan jasa
pelelangan ikan hasil tangkapan laut dan simpan pinjam uang untuk anggota.
Memang tidak dipungkiri bahwa keberadaan KUD Mina telah menghidupkan
kegiatan ekonomi di lokasi penelitian, sehingga pasokan ikan untuk dilelang di
TPI dapat berlangsung terus tanpa musim, karena ikan laut yang dilelang berasal
dari berbagai wilayah, termasuk dari luar wilayah Kabupaten Subang. KUD Mina
perlu melakukan pengembangan usaha untuk memajukan nelayan lokal agar lebih
sejahtera seperti pemasaran hasil olahan ikan produksi nelayan lokal.
Masalah yang umum dihadapi oleh nelayan kecil adalah modal kerja.
Keperluan memperoleh modal kerja bagi nelayan belum dapat dipenuhi
seluruhnya oleh KUD Mina. KUD Mina hanya dapat memberikan pinjaman dana
berdasarkan kemampuan nelayan memperoleh ikan yang dapat mereka jual ke
TPI. Oleh karena itu, di Desa Muara masih dapat dijumpai Bakul Ikan yang
memberi pinjaman uang dan fasilitas kepada nelayan dengan kompensasinya
adalah nelayan menjual ikan kepada Bakul Ikan tersebut. Di lokasi penelitian
sudah ada Bank Rakyat Indonesia (BRI), tetapi nelayan kecil tidak mampu
menyediakan agunan untuk permohonan kredit, sehingga jarang nelayan kecil
menjadi nasabah BRI. Selain itu, proses peminjaman yang memerlukan waktu
lama membuat nelayan terhambat untuk berangkat melaut karena tidak ada modal
kerja. Kekurangan modal kerja ini dapat mempengaruhi kinerja nelayan untuk
berangkat melaut.
Salah satu lembaga yang mungkin dapat memberi bantuan modal kerja
adalah lembaga keuangan mikro dan belum ada di lokasi penelitian. Salah satu
bentuk lembaga keuangan mikro adalah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang
membantu nelayan kecil melalui program qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga).
Disamping itu, BMT merupakan lembaga keuangan yang menggunakan prinsip
Islam, agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat setempat, dengan demikian
pemuka dan guru agama lokal dapat membantu terlibat dalam sosialisasi tentang
BMT kepada masyarakat. Kendala yang dihadapi oleh lembaga keuangan
umumnya adalah kredit macet, karena peminjam tidak dapat atau tidak mau
144
membayar hutangnya, padahal saat panen nelayan mendapat uang banyak, tetapi
kadangkala habis untuk berfoya-foya atau konsumerisme. Selain itu, perlu
penanaman prinsip keharusan untuk membayar hutang yang dipinjam kepada
nelayan atau kaum lelaki di pesisir melalui ajaran agama sebagai suatu prinsip
hidup. Selama ini yang cenderung rajin membayar hutang adalah kaum
perempuan, tetapi mereka enggan untuk mengambil kredit karena kuatir tidak
dapat membayar hutang tersebut. Oleh karena itu, KUD Mina dan Bakul Ikan
menetapkan kebijakan penjualan ikan sebagai kompensasi pemotongan hutang
dari nelayan, agar tidak terjadi kredit macet yang dapat merugikan KUD dan
Bakul Ikan.
Rekapitulasi dari kegiatan dari program untuk pembangunan perikanan
pantai yang responsif gender yang dikaitkan dengan aspek pembangunan
perikanan berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 41.
145
Tabel 41 Rekapitulasi alternatif program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender berdasarkan aspek pembangunan perikanan berkelanjutan di Kabupaten Subang
Aspek pembangunan perikanan yang berkelanjutan
Program dan kegiatan pembangunan perikanan pantai yang responsif gender
Ekologi Pembinaan kepada lelaki dan perempuan: sosialisasi tentang jaring yang merusak lingkungan, sosialisasi tentang pencemaran lingkungan, pelatihan pembuatan jaring yang ramah lingkungan.
Sosio-ekonomi
Pembinaan kepada lelaki dan perempuan: pelatihan tentang pengolahan ikan, pelatihan kewirausahaan Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan, termasuk budidaya pantai, pengolahan ikan. Pengembangan akses usaha atau bisnis bagi lelaki dan perempuan, termasuk kemudahan memperoleh modal kerja, pemasaran jaring ramah lingkungan buatan masyarakat lokal.
Komunitas Pembinaan kepada lelaki dan perempuan tentang motivasi diri atau pengembangan diri Peningkatan pendidikan kepada lelaki dan perempuan, seperti paket Kelompok Belajar (Kejar) A, B dan C Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan Pengembangan akses usaha atau bisnis bagi lelaki dan perempuan.
Kelembagaan Pembinaan kepada SDM Dislutkan dan KUD Mina, lelaki dan perempuan tentang pengarusutamaan gender Peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan bagi lelaki dan perempuan Pengembangan teknologi yang tepat guna berbasis lokal bagi pengguna lelaki dan perempuan. Kerjasama Dislutkan dengan perguruan tinggi Pengembangan akses usaha bagi lelaki dan perempuan seperti pendirian lembaga keuangan mikro, pengembangan pemasaran dari KUD Mina dalam bentuk hasil olahan ikan.
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah menganalisis pelaksanaan program
pembangunan kelautan dan perikanan pada saat ini apakah sudah responsif gender
atau belum. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan dan program
pembangunan kelautan dan perikanan di Kabupaten Subang belum responsif
gender. Kesenjangan gender yang terjadi adalah karena pengabaian pentingnya
kontribusi peran perempuan pada tahap pra- dan pasca penangkapan ikan seperti
persiapan perbekalan, penyortiran dan penjualan ikan dimana pada tahap-tahap
tersebut peran perempuan menonjol. Dalam hal pengelolaan keuangan, kontrol
perempuan lebih besar daripada lelaki, hal ini disebabkan oleh stereotipi dalam
komunitas setempat bahwa perempuan itu pelit dan pintar mengatur keuangan,
sebaliknya lelaki itu boros dan tak dapat mengatur keuangan. Hal ini
menunjukkan bahwa isu gender yang mengemuka adalah adanya bias gender
dalam proses pencatatan peran produktif di kalangan komunitas nelayan dan
dalam partisipasi masyarakat pada proses pengambilan keputusan yang tidak
dilakukan berdasar data terpilah menurut jenis kelamin.
Kaum perempuan menanggung beban lebih banyak dibandingkan dengan
kaum lelaki dalam rumahtangga di lokasi penelitian. Hal tersebut tampak dari
banyaknya tugas dan alokasi waktu yang harus disediakan kaum perempuan untuk
mengerjakan kegiatan dalam lingkup rumahtangga, kegiatan produktif dan
kegiatan kemasyarakatan. Namun dari segi pengambilan keputusan, suami
merupakan pengambil keputusan yang dominan dalam urusan pekerjaan produktif
dan kemasyarakatan yang bersifat politik, sedangkan istri lebih dominan sebagai
pengambil keputusan dalam urusan rumahtangga, termasuk mengelola keuangan.
Kebutuhan gender pada komunitas perikanan laut dan pantai saat ini masih
ditekankan pada kebutuhan praktis gender (KPG) yaitu memperbaiki kondisi
perempuan.
Secara keseluruhan, perempuan terabaikan dari proses pembangunan
karena: (1) kebijakan pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan.
Kaum lelaki dianggap sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil
147
dalam komunitas; dan (2) menanggung beban ganda. Perempuan melakukan
pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah.
Tujuan kedua dari penelitian ini adalah menganalisis sikap masyarakat
pesisir terhadap kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai. Hasil uji
korelasi antara sikap dengan pendidikan formal, pekerjaan, status pekerja dan
pendapatan menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan. Hal ini dapat
terjadi akibat mutu sumberdaya manusia (SDM) lelaki dan perempuan komunitas
pesisir yang relatif rendah (umumnya berpendidikan akhir sekolah dasar),
pekerjaan yang tergantung pada sumber yang sama yaitu perikanan laut dimana
adanya pasokan tergantung musim menyebabkan adanya kesamaan sikap terhadap
kesetaraan gender dalam kegiatan perikanan pantai. Hal-hal yang diduga dapat
memberi pengaruh terbentuknya sikap responden terhadap kesetaraan gender
dalam perikanan pantai adalah: (1) faktor budaya yang menekankan status suami
yang lebih tinggi dari istri dan harus dipatuhi oleh istri. Hal ini tersosialisasikan
melalui peran gender, dengan cara pendidikan informal dalam keluarga. Individu
meniru perilaku orangtua mereka dalam pembagian tugas di lingkup keluarga dan
rumahtangga. Sikap tidak setuju dari responden banyak dilatarbelakangi oleh
faktor budaya ini; dan (2) faktor ekonomi berupa ada-tidaknya peluang kerja bagi
lelaki dan perempuan. Semakin banyak tersedianya peluang kerja bagi lelaki dan
perempuan maka sikap individu cenderung setuju terhadap kesetaraan gender
dalam perikanan pantai. Sikap setuju dari responden banyak dilatarbelakangi oleh
faktor ekonomi ini.
Tujuan ketiga dari penelitian ini adalah menyusun alternatif program
pembangunan perikanan pantai yang responsif gender. Kondisi pembangunan
perikanan pantai Kabupaten Subang saat ini ada pada posisi Strengths-
Opportunies, pada kondisi ini sudah dapat dikembangkan program pembangunan
perikanan pantai yang berbasis kesetaraan gender. Pelaku pembangunan perikanan
pantai yang berperan penting dalam melaksanakan pembangunan yang berbasis
kesetaraan gender adalah Pemda, disusul nelayan kemudian KUD Mina.
Pelaksana program pembangunan yaitu Pemda dan KUD Mina. Pemda
menekankan pentingya kebijakan yang berbasis kesetaraan gender untuk
ditetapkan dahulu; sebaliknya, KUD Mina menekankan pentingnya ketersediaan
148
SDM karena umumnya pelaksanaan program bertempat di lingkup KUD Mina
maka SDM pelaksana menjadi penting. Semua pelaku (aparat Pemda, pengurus
KUD Mina dan nelayan) memilih mengutamakan program yang terkait
pengembangan SDM masyarakat setempat yaitu: (1) program pembinaan kepada
masyarakat lelaki dan perempuan untuk dilakukan terlebih dahulu; kemudian
dilanjutkan dengan (2) program peningkatan pendidikan masyarakat lelaki dan
perempuan.
6.2 Saran
Dari hasil penelitian ini, disarankan kepada Dislutkan untuk melaksanakan
pengarusutamaan gender dalam pembangunan perikanan sebagaimana
diamanatkan oleh Perpres No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN, yaitu pembangunan
yang memperhatikan kesetaraan gender dan pembangunan yang berkelanjutan.
Langkah PUG tersebut mengikuti arahan dalam Kepmendagri No. 132 Tahun
2003 tentang Pelaksanaan PUG Di Daerah mengingat pemangku kepentingan di
bidang perikanan dan kelautan tidak saja lelaki tetapi juga perempuan yang
keduanya merupakan sumberdaya untuk pembangunan perikanan dan kelautan di
Kabupaten Subang yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan pemanfaatan SDI yang berkelanjutan.
Agar pembangunan perikanan pantai yang responsif gender dapat segera
terwujudkan, Dislutkan bekerjasama dengan BPMD Kabupaten Subang untuk
melakukan sosialisasi, penyuluhan, advokasi, pendidikan dan pelatihan tentang
PUG kepada seluruh pegawai Dislutkan, pengurus KUD dan komunitas
perikanan. Luaran (output) yang diharapkan adalah komunitas perikanan laut baik
lelaki dan perempuan dapat segera terlibat dalam proses pembangunan, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dengan demikian, tujuan
pembangunan perikanan pantai yang berkelanjutan dapat tercapai.
Untuk meningkatkan motivasi komunitas pesisir mengenai pentingnya
pengembangan diri melalui pendidikan dan partisipasi dalam pengambilan
keputusan baik kepada lelaki dan perempuan, disarankan melalui upaya
komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Peningkatan motivasi tersebut dapat
melibatkan guru agama setempat, mengingat komunitas pesisir masih rajin terlibat
149
dalam pengajian atau majelis taklim. Instansi Pemda perlu melakukan pembinaan
terlebih dahulu kepada para guru agama.
Disarankan adanya penelitian lebih lanjut tentang pengembangan teknologi
tepat guna berbasis lokal bagi lelaki dan perempuan, serta tentang pengembangan
akses usaha bagi lelaki dan perempuan mengingat komunitas nelayan sangat
tergantung pada musim panen atau paceklik ikan, sehingga mereka memerlukan
alternatif pekerjaan di saat paceklik dan tingkat kesejahteraan mereka umumnya
masih rendah. Penelitian tersebut terkait dengan aspek sosio-ekonomi dan
komunitas dari pembangunan perikanan pantai yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulsyani. 1994. Sosiologi. Skematika, Teori dan Terapan. Pnerbit Bumi Aksara. Jakarta.
Aguilar, L. and I. Castaneda. 2001. About Fishermen, Fisherwomen, Oceans And Tides: A Gender Perspective In Marine-Coastal Zone. IUCN. San Jose.
Anonim. 2003. Perempuan, Kemiskinan dan Pengambilan Keputusan. Jurnal Analisis Sosial. 8(2):v-xi.
Arfiati, D., P. Purwanti dan A. Tumulyadi. 2001. Peranan Istri Nelayan Dalam Upaya Peningkatan Pendapatan Rumahtangga Nelayan Di Pedesaan Pantai Pondokdadap Malang Selatan. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences). 13(2):201-210.
Azwar, S. 1988. Sikap Manusia. Teori Dan Pengukurannya. Liberty. Yogyakarta.
Azwar, S. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Bainar dan A. Halik (Eds). 1999. Jagat Wanita Dalam Pandangan Para Tokoh Dunia. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
[Bapeda Subang] Badan Perencanaan Daerah Subang. 2005. Analisis Indikator Gender Kabupaten Subang Tahun 2004. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. Subang.
[Bapeda Subang] Badan Perencanaan Daerah Subang. 2006. Pengarusutamaan Gender Dalam Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Subang Tahun 2005. Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. Subang.
Bemmelen, S.van. 1995. Jender dan Pembangunan: Apakah Yang Baru? Di dalam Kajian Wanita Dalam Pembangunan. T.O. Ihromi (Ed). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Hlm 175-226.
Bhasin, K dan N.S. Khan. 1995. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme Dan Relevansinya. PT Gramedia Pustaka Utama-Kalyanamitra. Jakarta.
[BPLHD Jabar dan ITB] Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat dan Institut Teknologi Bandung. 2001. Atlas Pesisir Dan Laut Jawa Barat Bagian Utara. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat dan Lembaga Penelitian Institut Teknologi Bandung. Bandung.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Profil Wanita Indonesia. Profile of Indonesian Women 2002. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia 2005/2006. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
[BPS, Bappenas, and UNDP] BPS-Statistics Indonesia, Bappenas, and UNDP. 2004. Indonesia Human Development Report 2004. The Economics of Democracy. Financing Human Development in Indonesia. BPS, Bappenas and UNDP. Jakarta.
151
[BPS dan Bapeda Subang] Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Subang. 2005. Kecamatan Blanakan Dalam Angka Tahun 2004. Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Subang. Subang.
[BPS Subang] Badan Pusat Statistik. 2005. Profil Kabupaten Subang Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. Subang.
[BPS Subang] Badan Pusat Statistik. 2006. Kabupaten Subang Dalam Angka Tahun 2005. Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang. Subang.
Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science. Oxford.
Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Concept and Practices. Island Press. Washington D.C.
Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
[DENR, DA-BFAR, and DILG] Department of Environment and Natural Resources, Bureau of Fisheries and Aquatic Resources of the Department of Agriculture, and Department of the Interior and Local Government. 2001. Philippine Coastal Management Guidebook Series No. 4: Involving Communities In Coastal Management. Coastal Resource Management Project of the Department of Environment and Natural Resources. Cebu City.
[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2003. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Di Daerah.
[Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2004. Perempuan Bukan Lagi Konco Wingking. http://www.depdagri.go.id dikunjungi 19 Mei 2005
[Depdagri dan BCEOM] Departemen Dalam Negeri dan BCEOM. 1998. Pedoman Perencanaan Dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri dan BCEOM French Consulting Group. Jakarta.
[Dislutkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2004. Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2005-2009. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Subang.
[Dislutkan] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. 2006. Evaluasi Program Pembangunan Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang Tahun 2005. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang. Subang.
[Dislutkan dan IPB] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang dan Institut Pertanian Bogor. 2003. Pemetaan Potensi Kelautan dan Perikanan (ATLAS) Kabupaten Subang Jawa Barat. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang dan Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Subang.
Djuwansah, M.R., E.M. Arsadi, T.P. Sastramihardja, R.M. Delinom dan D. Marganingrum (Eds). 2000. Dinamika Kawasan Pesisir Wilayah Tropis
152
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bandung.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2001. Petunjuk Teknis Pemberdayaan Wanita Nelayan. Bagian Proyek Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Jakarta.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2005a. Sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Pada Acara Gelar Informasi dan Refleksi Pelaksanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2004 di Jakarta, 5 Januari 2005. http://www.dkp.go.id dikunjungi 20 Maret 2005.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2005b. Kiprah Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. http://www.dkp.go.id dikunjungi 12 Maret 2005.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2005c. Kemiskinan Nelayan: Permasalahan dan Upaya Penanggulangan. http://www.dkp.go.id dikunjungi 26 Oktober 2005.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2006. Pengkayaan Stok (Stock Enhancement) dalam Mewujudkan Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. http://www.dkp.go.id dikunjungi 9 Agustus 2007.
Dwi, A., S.D. Rochimah, dan PATTIRO Surakarta. 2002. Kebijakan Publik dan Partisipasi Perempuan. Seri Forum Warga. PATTIRO dan The Asia Foundation. Jakarta.
Effendi, S. dan C. Manning. 1989. Prinsip-prinsip Analisa Data. Di dalam Metode Penelitian Survai. M. Singarimbun dan S. Effendi (Eds). LP3ES. Jakarta. Hlm 263-298.
Faisal, S. 2003. Format-format Penelitian Sosial. Dasar-dasar dan Aplikasi. Ed. 1. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Fajar Sidik, KUD. 2005. Laporan Rapat Anggota Tahunan Tahun Buku 2005. KUD Mandiri Mina Fajar Sidik. Blanakan, Subang.
Fakih, M. 2004. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2005. Increasing the contribution of small-scale fisheries to poverty alleviation and food security. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No. 10. FAO. Rome
Fauzi, A dan S. Anna. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Freedman, J.L., D.O. Sears and J.M. Carlsmith. 1978. Social Psychology. 3rd Ed. Prentice-Hall Inc. New Jersey.
Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial. Ed Ketiga. Refika Adtama. Bandung.
153
Hagul, P., C. Manning, dan M. Singarimbun. 1989. Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar Variabel. Di dalam Metode Penelitian Survai. M. Singarimbun dan S. Effendi (Eds). LP3ES. Jakarta. Hlm 48-69.
Handayani, T. dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Universitas Muhammadyah Malang Press. Malang.
Hapke, H.M. 2001. Gender, Work, And Household Survival In South Indian Fishing Communities: A Preliminary Analysis. The Professional Geographer 53(3):313-331.
Hubeis, A.V.S. 1985. Women, Food, Health and Development. A Case Study of Cipari Village in West Java, Indonesia (Dissertation). IPB. Bogor.
Hubeis, A.V. 2001. Gender Analysis Pathway (GAP) in Policy Outlook and Action Planning In Co-operative and Small-Medium Enterprises. Bureau of Women Empowerment National Planning Board (Bappenas) RI with Expansion Employment Opportunity for Women (EEOW) Project –ILO. Jakarta.
Hubeis, A.V. 2004. Pemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan. Makalah pada Sarasehan dan Kongres LEI Menuju CBO: Sertifikasi Di Simpang Jalan: Politik Perdagangan, Kelestarian dan Pemberantasan Kemiskinan. Jakarta, 19-22 Oktober.
Ihromi, T.O (Ed). 1995. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ikhsan, M. 2003. Laporan Pengamatan Peran Dan Kondisi Perempuan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Di Pulau Jawa. The Indonesian Wildlife Fund. Jakarta.
Johansson, C. 2004. Human Development Indices. Human Development Report Office. United Nations Development Program. http://hdr.undp.org dikunjungi 25 April 2005.
Johnson, C. 2001. Community Formation And Fisheries Conservation In Southern Thailand. Development And Change. Vol 32 :951-974.
Kartasapoetra, G. dan L.J.B.Kreimers 1987. Sosiologi Umum. Penerbit PT. Bina Aksara. Jakarta.
Kay, R. and J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London.
[KLH dan UNDP] Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan United Nations Development Program. 2000. Agenda 21 Sektoral Buku 1 Seri Panduan Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan. Membuat Pembangunan Berlanjut. Upaya Mencapai Kehidupan Yang Makin Berkualitas. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan United Nations Development Program. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Penerbit Aksara Baru. Jakarta.
154
Koentjaraningrat. 1989. Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta.
[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2002a. Menyisir Cakrawala Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.
[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2002b. Apa Itu Gender. Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender Buku 1. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.
[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2002c. Bagaimana Mengatasi Kesenjangan Gender. Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender Buku 2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.
[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2002d. Panduan Perencanaan Berperspektif Gender. Bahan Informasi Pengarusutamaan Gender Buku 3. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.
[KPP] Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. 2003. Bahan Pembelajaran Analisis Gender Dalam Rangka Penyusunan Kebijakan, Program, Proyek Dan Kebijakan Yang Responsif Gender. Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Jakarta.
Krisnawaty, T. 1993. Peluang Kerja Perempuan Miskin dan Strategi Survive. Di dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Rijal, F., L. Margiyani dan A.F. Husein (Eds). PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. Hlm 159-166
Kumar, K.G (Ed). 2004. Gender Agenda. Women in Fisheries: A Collection of Articles From Samudra Report. International Collective in Support of Fishworkers (ICSF). Chennai.
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan Dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Lkis. Yogyakarta.
Kusnadi. 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Pondok Edukasi dan Pokja Pembaruan. Bantul.
Kusumastanto, T. 2003. Ocean Policy Dalam Membangun Negeri Bahari Di Era Otonomi Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Lynn, P. 2002. Principles of Sampling. In Research Methods for Postgraduates. T. Greenfield (Ed). Arnold. New York.
Marimin, 2004. Teknik Dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. PT. Grasindo. Jakarta.
Masngudin, H.M.S. 1997. Kehidupan Wanita Dalam Rumahtangga Miskin Di Desa Pantai. Studi Kasus Kegiatan Sosial Ekonomi Istri Nelayan Di Desa Samudera Jaya, Bekasi (Tesis). UI. Jakarta
Mina Bahari, KUD. 2005. Laporan Rapat Anggota Tahunan Tahun Buku 2005. KUD Mandiri Mina Bahari. Muara, Subang
155
Moerpratomo, A.S. 1999. Pembangunan Yang Berwawasan Kemitrasejajaran. Di dalam Jagat Wanita dalam Pandangan Para Tokoh Dunia. Bainar dan A. Halik (Eds). Pustaka Cidesindo. Jakarta. Hlm 3-19.
Moleong, L.J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Moser, C.O.N. 1993. Gender Planning and Development. Theory, Practice and Trainining. Routledge. London.
Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Pantai. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Nasution, S. 1982. Metode Research. Penerbit Jemmars. Bandung.
Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.
[OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 1996. Capacity Development in Environment. Principles in Practice. Organisation for Economic Co-operation and Development. Paris.
PEKKA. 2006. Laporan Perkembangan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga Kecamatan Tanjungsiang Subang 2005. PEKKA. Jakarta
[PIPP] Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan. 2006. Pelabuhan Perikanan Pantai. http://www.pipp.dkp.go.id/pipp2/pelabuhan_list.html?offset=15&pgnum=2&kls=C dikunjungi 14 Agustus 2007
Pollnac, R., R. Pomeroy, L. Bunce., Erwiantono, R. Kinseng, T. Kodiran, Paryono, F. Kaligis, J. Polii, J. Rangan, E. Sitanggang and S. Sondakh. 2003. Factors Influencing The Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indonesia. Jurnal Pesisir & Lautan. Special Edition (1):24-33.
Pomeroy, R.S. 1995. Community-based and Co-management Institutions for Sustainable Coastal Fisheries Management in Southeast Asia. Ocean and Coastal Management. 27(3):143-162.
Popenoe, D. 1989. Sociology. 7th Ed. Prentice Hall, Englewood Cliffs. New Jersey.
Prawoto, R.B. 2001. Proses Pembuatan Keputusan Pembangunan Desa (Studi kasus di Desa Randu Agung Kecamatan Singosari Kabupaten Malang). Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences). 13(2):237-246.
Purwanti, P., E.Y Herawati dan A.R Dani. 2004. Curahan Waktu dan Produktivitas Kerja Wanita Nelayan Di Pedesaan Pantai Kabupaten Pasuruan. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences). 16(1):1-10.
Rangkuti, F. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
156
Resusun, D. 1985. Determinan-determinan Peranan Wanita Nelayan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rumahtangga. Studi Kasus Di Desa Haria, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku (Tesis). IPB. Bogor.
[RI] Republik Indonesia. 1990. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara RI Tahun 1990, No. 49. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.
[RI] Republik Indonesia. 1997. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara RI Tahun 1997, No. 68. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.
[RI] Republik Indonesia. 2000. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.
[RI] Republik Indonesia. 2004. Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 118. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.
[RI] Republik Indonesia. 2005. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 – 2009. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta.
Rijal, F., L. Margiyani, dan A.F. Husein (Eds). 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta
Ritzer, G. dan D.J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi 6. Prenada Media. Jakarta.
Saaty, T.L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks. Seri Manajemen No. 134. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Saaty, T.L.and L.G. Vargas. 1994. Decision Making in Economic, Political, Social and Technological Environments with the Analytic Hierarchy Process. The Analytic Hierarchy Process Series Volume VII. University of Pittsburgh. Pittsburgh.
Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Cidesindo. Jakarta.
Satria, A., A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza dan Z. Imran. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Cidesindo, Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor dan Partnership For Governance Reform in Indonesia. Jakarta.
Savitri, L.A dan M. Khazali. 1999. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pengalaman Pelaksanaan Pengembangan Tambak Ramah Lingkungan dan Rehabilitasi Mangrove Di Indramayu. PKSPL IPB-Wetlands International Indonesia Programme-KNIP The Netherlands. Bogor.
Sayogyo, P. 1981. Peranan Wanita Dalam Keluarga, Rumahtangga Dan Masyarakat Yang Lebih Luas Di Pedesaan Jawa. Dua Kasus Penelitian Di
157
Kabupaten Sukabumi Dan Kabupaten Sumedang Di Jawa Barat (Disertasi). Universitas Indonesia. Jakarta.
Sharma. C. 2003. The Impact of Fisheries Development and Globalization Processes on Women of Fishing Communities in the Asian Region. APRN Journal Volume 8 June 2003. http://www.aprnet.org/journals/8/v8-2.htm dikunjungi 18 Juni 2005.
Simatauw, M., L. Simanjuntak dan P.T. Kuswardono. 2001. Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: Sebuah Panduan Analisis. Yayasan PIKUL. Kupang.
Singarimbun, M. 1989. Metode dan Proses Penelitian. Di dalam Metode Penelitian Survai. M. Singarimbun dan S. Effendi (Eds). LP3ES. Jakarta. Hlm 3-15
Singarimbun, M. dan S. Effendi (Eds). 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta
Slamet, M. 2003. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Perdesaan. Di dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. I. Yustina dan A. Sudradjat (Eds). IPB Press. Bogor. Hlm 7-13
Soetrisno, L. 1993. Pokok-pokok Pikiran Tentang Kemiskinan Dari Perspektif Perempuan. Di dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Rijal, F., L. Margiyani dan A.F. Husein (Eds). PT. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. Hlm 155-157
Subhan, Z. 2002. Peningkatan Kesetaraan dan Keadilan Jender dalam Membangun Good Governance. Penerbit el-Kahfi. Jakarta.
Sumawidjaya, N, Tjiptasmara dan P. Hartanto. 2000. Pendahuluan. Di dalam Dinamika Kawasan Pesisir Wilayah Tropis Indonesia. M.R. Djuwansah, E.M. Arsadi, T.P. Sastramihardja, R.M. Delinom dan D. Marganingrum (Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bandung. Hlm I.1-I.9
Sunarto, K. 2004. Pengantar Sosiologi. Edisi ketiga. Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
[TIP] The Theory Into Practice. 2006. Decision Making. The Theory Into Practice Database. http://tip.psychology.org/decision.htm dikunjungi 13 September 2006
Umar, N. 2001. Argumen Kesetaraan Jender. Perspektif Al Qur’an. Seri Disertasi. Penerbit Paramadina. Jakarta.
[UNDP] United Nations Development Programme. 2006. Human Development Report 2006. http://hdr.undp.org/hdr2006/Indonesia Human Development Report 2006.htm dikunjungi 15 Januari 2007
[UNIFEM and BMZ] United Nations Development Fund For Women and German Federal Ministry for Economic Cooperation and Development. 2004. Pathway To Gender Equality. UNIFEM (United Nations Development Fund For Women), German Federal Ministry for Economic Cooperation and
158
Development (BMZ), Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ). New York.
Upadhyay, B. 2005. Women And Natural Resource Management: Illustrations From India And Nepal. Natural Resources Forum 29 (2005):224-232
Vredenbregt, J. 1984. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia. Jakarta.
[WCC] World Coast Conference. 1993. Preparing To Meet The Coastal Challenges Of The 21st Century. Conference Report. The Netherlands. Noordwijk.
Yustina, I dan A. Sudradjat (Eds). 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. IPB Press. Bogor.
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
Gambar Peta Kabupaten Subang
Gambar Peta Kecamatan Blanakan
6°15'00'' LS
107°37'30'' BT
160
Lampiran 2 Rencana kegiatan pembangunan kelautan dan perikanan kabupaten subang tahun 2005-2009
NO PROGRAM TUJUAN SASARAN INDIKASI KEGIATAN SASARAN KEGIATAN
PROGRAM PROGRAM KEGIATAN 2005 2006 2007 2008 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 11
Strategi 1: Peningkatan kemampuan SDM kelautan dan perikanan yang maju, mandiri dan tangguh
1 Peningkatan SDM perikanan
Meningkatkan SDM masyarakat di bidang kelautan dan perikanan
Meningkatnya SDM masyarakat di bidang kelautan dan perikanan
1. Peningkatan gizi masyarakat
2. Peningkatan keterampilan SDM
3. Peningkatan informasi perkembangan teknologi kelautan dan perikanan
1. Pelatihan SDM Budidaya Perikanan
2. Pelatihan SDM Penangkapan Ikan 3. Pelatihan SDM Pengolahan hasil 4. Pelatihan Pengendalian Hama dan
Penyakit 5. Pelatihan Penerapan Teknologi
Tepat Guna
V
V V V
V
V
V V V
V
V
V V V
V
V
V V V
V
V
V V V
V
Strategi 2:
Pengembangan, pemeliharaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang
berorientasi pasar serta berwawasan lingkungan
2 Program Pengembangan Sumber Daya Kelautan
Meningkatkan sumber daya, sarana dan prasarana kelautan
Meningkatnya sumber daya, sarana dan prasarana kelautan
Pengembangan usaha dan peningkatan sarana dan prasarana kelautan
1. Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan di Laut
2. Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Perikanan
3. Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir
4. Pembangunan dan Pelelangan Tempat Pelelangan Ikan
5. Pengembangan Pemasaran Ikan 6. Pemberdayaan Usaha Budidaya
Laut 7. Pengerukan Muara Sungai
V
V - - - - -
V
V
V - - -
V
V
V
V
V
V - -
V
V
V - - V
V
V
V
V
V - V -
161
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 11 3 Program
Pengembangan Sumber Daya Perikanan
Meningkatkan sumber daya, sarana dan prasarana perikanan
Meningkatnya sumber daya, sarana dan prasarana perikanan
Pengembangan usaha dan peningkatan sarana dan prasarana perikanan
1. Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Air Tawar
2. Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Terintegrasi
3. Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Hias
4. Pengembangan Usaha Ikan di Tambak
5. Pemberdayaan Budidaya Ikan di Pedesaan
6. Pembangunan dan Pengembangan Tempat Pelelangan Ikan Hasil Tambak
7. Pengembangan Sarana dan Prasarana Balai Benih Ikan
8. Normalisasi Saluran Tambak 9. Pengembangan Pemasaran Ikan 10. Pendampingan Program Inbud
V - -
V -
V
V
V - V
V
V
V
V
V -
V - V V
V
V
V
V
V
V -
V - V
V
V
V
V - - - - - V
V
V
V
V - -
V
V - V
4 Konservasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Memelihara dan menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan
Terpelihara dan terjaganya kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan
Konservasi ekosistem laut dan tawar
Pengadaan Media Buatan sebagai Tempat Perlindungan Ikan
V V V V V
5. Rehabilitasi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Memperbaiki sumber daya kelautan dan perikanan yang mengalami kerusakan
Pulihnya kembali sumber daya kelautan dan perikanan yang telah rusak
Rehabilitasi kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan
1. Pengelolaan perikanan di perairan umum
2. Rehabilitasi sumber daya perikanan budidaya
3. Penangkaran jenis ikan langka 4. Pendampingan program
pengembangan produktivitas perikanan berwawasan lingkungan
V -
-- V
V
V
V V
V
V
V V
V
V - V
V
V - V
162
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) 11 Strategi 3:
Penigkatan Sanitasi Lingkungan dan Pemberantasan Hama Penyakit Ikan
6 Pengendalian hama dan penyakit ikan
Menanggulangi ikan dari serangan hama penyakit
Tertanggulanginya ikan dari serangan hama penyakit
Pemberantasan hama penyakit ikan
1. Penanggulangan hama penyakit ikan air tawar
2. Penanggulangan hama penyakit ikan air payau
3. Pengadaan sarana dan peralatan pengujian kesehatan ikan
V
V -
V
V -
V
V
V
V
V -
V
V -
Strategi 4: Pelaksanaan Teknologi Tepat Guna Bidang
Kelautan dan Perikanan
7 Riset dan pengembangan teknologi tepat guna
Menjalin kemitraan dengan lembaga perguruan tinggi/ penelitian dalam rangka meningkatkan usahanya
Meningkatnya produktivitas usaha ekonomi melalui teknologi tepat guna
1. Uji coba teknologi tepat guna
2. Penerapan teknologi informasi data
1. Uji coba budidaya rumput laut 2. Uji coba budidaya kerang hijau 3. Uji coba budidaya ikan jaring
apung di bekas galian C 4. Uji coba budidaya ikan sistem
Biosecurity 5. Pengembangan teknologi
informasi data kelautan dan perikanan
- - V - -
V - - -
V
- V - -
V
- - -
V -
- - - - -
Sumber: Dislutkan 2004
163
Lampiran 3 Kuesioner sikap terhadap pengelolaan perikanan dan kesetaraan gender
Nama: ………………. ID: ……………. Mohon berilah tanda X pada satu jawaban yang anda pilih yaitu: SS = Sangat Setuju S = Setuju N = Antara setuju dan tidak TS = Tidak Setuju STS = Sangat Tidak Setuju Akses
A1. Lelaki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dalam bekerja di usaha perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
A2. Anak-anak lelaki dan perempuan di bawah umur 15 tahun wajib bersekolah dan tidak bekerja. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
A3. Perempuan dapat mengambil kredit dari lembaga keuangan/bank untuk usaha perikanan atas nama sendiri. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
A4. Lelaki dan perempuan dapat mempunyai lahan untuk usaha perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
A5. Perempuan memperoleh upah yang sama dengan lelaki untuk pekerjaan yang sama. [STS] [TS] [N] [S] [SS] Kekuasaan
K1. Lelaki dan perempuan secara bersama bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian alam di lingkungan tempat tinggalnya. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
K2. Lelaki dan perempuan mempunyai kemampuan yang sama untuk mengelola keuangan usaha perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
K3. Pembagian tugas dan kekuasaan dalam usaha perikanan dapat dilakukan bersama antara lelaki dan perempuan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
K4. Perempuan memperoleh upah langsung dari hasil kerjanya di usaha keluarga. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
K5. Pembagian tugas untuk produksi, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan pada usaha keluarga diputuskan di antara suami istri. [STS] [TS] [N] [S] [SS] Partisipasi
P1. Lelaki dan perempuan dapat berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan bersama pemerintah. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
P2. Perempuan dapat menjadi wakil keluarga dalam pertemuan/rapat warga di kantor desa/kecamatan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
P3. Lelaki dan perempuan mempunyai suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan di pengelolaan perikanan dan pesisir. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
P4. Pembentukan kelompok perempuan nelayan/petani ikan berguna untuk meningkatkan keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan di bidang perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
P5. Suami istri dapat terlibat dalam lembaga perdesaan mewakili kepentingan kelompok masing-masing. [STS] [TS] [N] [S] [SS] Manfaat
M1. Pemerintah telah membuat program di bidang perikanan yang dapat membantu kemajuan perempuan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
M2. Peserta penyuluhan perikanan adalah lelaki dan perempuan yang bekerja di bidang perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
M3. Penyuluhan usaha perikanan kepada perempuan dapat membantu kemampuan mereka dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
M4. TV dan radio memberikan informasi tentang pengembangan perikanan sama baik dengan penyuluhan dari petugas Dinas Perikanan. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
M5. Kemudahan pemberian kredit usaha langsung kepada kaum perempuan akan membantu kemajuan usaha mereka. [STS] [TS] [N] [S] [SS]
Lampiran 4Skor-T dari sikap responden terhadap kesetaraan gender dalam perikanan pantai
No ID Skor mentah (x) mean x SD Skor-T SikapBL01 56 55,73 3,33 50,80 SetujuBL02 51 55,73 3,33 35,79 Tidak setujuBL03 53 55,73 3,33 41,80 Tidak setujuBL04 59 55,73 3,33 59,81 SetujuBL05 51 55,73 3,33 35,79 Tidak setujuBL06 56 55,73 3,33 50,80 SetujuBL07 59 55,73 3,33 59,81 SetujuBL08 56 55,73 3,33 50,80 SetujuBL09 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBL10 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBL11 59 55,73 3,33 59,81 SetujuBL12 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBL13 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBL14 61 55,73 3,33 65,81 SetujuBL15 62 55,73 3,33 68,81 SetujuBP01 58 55,73 3,33 56,80 SetujuBP02 60 55,73 3,33 62,81 SetujuBP03 54 55,73 3,33 44,80 Tidak setujuBP04 48 55,73 3,33 26,79 Tidak setujuBP05 48 55,73 3,33 26,79 Tidak setujuBP06 56 55,73 3,33 50,80 SetujuBP07 54 55,73 3,33 44,80 Tidak setujuBP08 55 55,73 3,33 47,80 Tidak setujuBP09 54 55,73 3,33 44,80 Tidak setujuBP10 57 55,73 3,33 53,80 SetujuBP11 58 55,73 3,33 56,80 SetujuBP12 55 55,73 3,33 47,80 Tidak setujuBP13 54 55,73 3,33 44,80 Tidak setujuBP14 55 55,73 3,33 47,80 Tidak setujuBP15 55 55,73 3,33 47,80 Tidak setuju
Bersambung
164
Sambungan
No ID Skor mentah (x) mean x SD Skor-T SikapML01 50 51,10 6,42 48,29 Tidak setujuML02 55 51,10 6,42 56,08 SetujuML03 56 51,10 6,42 57,63 SetujuML04 44 51,10 6,42 38,94 Tidak setuju
ML05 60 51,10 6,42 63,87 SetujuML06 58 51,10 6,42 60,75 SetujuML07 55 51,10 6,42 56,08 SetujuML08 47 51,10 6,42 43,61 Tidak setujuML09 40 51,10 6,42 32,71 Tidak setujuML10 57 51,10 6,42 59,19 SetujuML11 31 51,10 6,42 18,68 Tidak setujuML12 58 51,10 6,42 60,75 SetujuML13 53 51,10 6,42 52,96 SetujuML14 56 51,10 6,42 57,63 SetujuML15 51 51,10 6,42 49,84 Tidak setujuMP01 51 51,10 6,42 49,84 Tidak setujuMP02 55 51,10 6,42 56,08 SetujuMP03 40 51,10 6,42 32,71 Tidak setujuMP04 51 51,10 6,42 49,84 Tidak setujuMP05 54 51,10 6,42 54,52 SetujuMP06 56 51,10 6,42 57,63 SetujuMP07 55 51,10 6,42 56,08 SetujuMP08 52 51,10 6,42 51,40 SetujuMP09 54 51,10 6,42 54,52 SetujuMP10 50 51,10 6,42 48,29 Tidak setujuMP11 41 51,10 6,42 34,26 Tidak setujuMP12 49 51,10 6,42 46,73 Tidak setujuMP13 50 51,10 6,42 48,29 Tidak setujuMP14 53 51,10 6,42 52,96 SetujuMP15 51 51,10 6,42 49,84 Tidak setuju
Keterangan: > 50 = memiliki sikap setuju< 50 = memiliki sikap tidak setuju50 = memiliki sikap antara setuju dan tidak setuju (netral)SD = standar deviasiL = Lelaki P = PerempuanB = Blanakan M = Muara Ciasem
165
166
Lampiran 5 Hasil pengolahan data dengan SPSS
(1) Analisis Hubungan antara Sikap dengan Tingkat Pendidikan H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Tingkat Pendidikan H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Tingkat Pendidikan Kriteria pengambilan keputusan untuk signifikansi adalah : Jika probabilitas (sig) < 0,05, Tolak H0 Jika probabilitas (sig) > 0,05, Terima H0
Correlations
1.000 -.063. .633
60 60-.063 1.000.633 .
60 60
Correlation CoefficientSig. (2-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (2-tailed)N
Skor T
Pendidikan
Spearman's rhoSkor T Pendidikan
(2) Analisis Hubungan antara Sikap dengan Matapencaharian H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Matapencaharian H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Matapencaharian Kriteria pengambilan keputusan untuk Chi-Square adalah : Jika probabilitas (sig) < 0,05, Tolak H0 Jika probabilitas (sig) > 0,05, Terima H0
Chi-Square Tests
27.879a 27 .41737.030 27 .095
.817 1 .366
60
Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)
56 cells (100.0%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is .45.
a.
(3) Analisis Hubungan antara Sikap dengan Pekerjaan H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Pekerjaan H1: Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Pekerjaan
Chi-Square Tests
32.436a 27 .21643.110 27 .025
2.099 1 .147
60
Pearson Chi-SquareLikelihood RatioLinear-by-LinearAssociationN of Valid Cases
Value dfAsymp. Sig.
(2-sided)
56 cells (100.0%) have expected count less than 5. Theminimum expected count is .48.
a.
167
(4) Analisis Hubungan antara Sikap dengan Pendapatan a. Analisis Hubungan antara Sikap dengan Pendapatan Saat Panen H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Pendapatan Saat Panen H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Pendapatan Saat
Panen Correlations
1.000 -.071. .591
60 60-.071 1.000.591 .
60 60
Correlation CoefficientSig. (2-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (2-tailed)N
Skor T
Pendapatan saat panen
Spearman's rhoSkor T
Pendapatansaat panen
b. Analisis Hubungan antara Sikap dengan Pendapatan Saat Paceklik. H0 : Tidak terdapat hubungan antara Sikap dengan Pendapatan Saat Paceklik H1 : Terdapat hubungan yang signifikan antara Sikap dengan Pendapatan Saat
Paceklik Correlations
1.000 -.095. .470
60 60-.095 1.000.470 .
60 60
Correlation CoefficientSig. (2-tailed)NCorrelation CoefficientSig. (2-tailed)N
Skor T
Pendapatan saat paceklik
Spearman's rhoSkor T
Pendapatansaat paceklik
168
Lampiran 6 Strategi SWOT untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang
Strategi Strengths-Opportunities (SO) untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang
Strengths Opportunities Strategi SO o Potensi PAD o PPI dan TPI yang dikelola KUD
mandiri o Kesetaraan gender dalam
kegiatan perikanan o Membuka peluang industri baru
perikanan o Membuka lapangan kerja lainnya
di pesisir o Letak geografi yang strategis di
pantura Jawa o Tingginya aksesibilitas ke pasar o Keuletan perempuan dalam
berusaha o Jumlah populasi perempuan-lelaki
seimbang o Rajin beribadah
o Komitmen pemerintah terhadap kesetaraan gender
o Peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun
o Inovasi usaha perikanan o Perkembangan teknologi dan
informasi o Peningkatan jumlah tenaga
kerja
o Pencatatan kegiatan &danpelaksana dipilah menurut jenis kelamin
o Pembinaan kepada masyarakat, lelaki &danperempuan
o Peningkatan partisipasi masyarakat, lelaki dan perempuan
o Pengembangan teknologi tepatguna berbasis lokal
o Perluasan akses usaha terkait perikanan pantai
Strategi Weaknesses-Opportunities (WO) untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang
Weaknesses Opportunities Strategi WO o Kurangnya alokasi APBD bagi
PPP o Tidak adanya lembaga keuangan
mikro untuk nelayan o Rendahnya mutu SDM o Rendahnya tingkat
kesejahteraan nelayan o Rendahnya kesadaran akan
lingkungan o Kurangnya pembinaan tenaga
kerja perempuan
o Komitmen pemerintah terhadap kesetaraan gender
o Peningkatan konsumsi ikan per kapita per tahun
o Inovasi usaha perikanan o Perkembangan teknologi dan
informasi o Peningkatan jumlah tenaga kerja
o Sosialisasi tentang pengelolaan perikanan berkelanjutan kepada masyarakat, lelaki dan perempuan
o Pengembangan SDM masyarakat perikanan laut melalui Kelompok Belajar (Kejar A, B)
o Peningkatan keterlibatan masyarakat lokal, lelaki dan perempuan dalam KUD
o Mempercepat pengadaan lembaga keuangan mikro
o Pelibatan KUD dalam pembinaan masyarakat
169
Strategi Strengths-Threats (ST) untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang
Strengths Threats Strategi ST o Potensi PAD o PPI dan TPI yang dikelola KUD
mandiri o Kesetaraan gender dalam
kegiatan perikanan o Membuka peluang industri baru
perikanan o Membuka lapangan kerja lainnya
di pesisir o Letak geografi yang strategis di
pantura Jawa o Tingginya aksesibilitas ke pasar o Keuletan perempuan dalam
berusaha o Jumlah populasi perempuan-
lelaki seimbang o Rajin beribadah
o Tingginya harga BBM o Kerusakan lingkungan pesisir
dan laut o Pencemaran perairan sungai dan
laut o Harga ikan yang fluktuatif o Perdagangan bebas dunia o Pendangkalan sungai akibat
erosi o Nelayan pendatang dengan
peralatan lebih canggih
o Sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan kepada masyarakat perikanan, lelaki dan perempuan
o Peningkatan kegiatan peduli lingkungan pada masyarakat perikanan, lelaki dan perempuan
o Mempercepat usaha penggantian jaring arad dengan jaring lain yang ramah lingkungan kepada nelayan
Strategi Weaknesses-Threats (WT) untuk pembangunan perikanan pantai di Kabupaten Subang
Weaknesses Threats Strategi WT o Kurangnya alokasi APBD bagi
PPP o Tidak adanya lembaga keuangan
mikro untuk nelayan o Rendahnya mutu SDM o Rendahnya tingkat
kesejahteraan nelayan o Rendahnya kesadaran
lingkungan o Kurangnya pembinaan tenaga
kerja perempuan
o Tingginya harga BBM o Kerusakan lingkungan pesisir
dan laut o Pencemaran perairan sungai dan
laut o Harga ikan yang fluktuatif o Perdagangan bebas dunia o Pendangkalan sungai akibat
erosi o Nelayan pendatang dengan
peralatan lebih canggih
o Membantu pendistribusian BBM kepada nelayan
o Membantu kelancaran pengadaan kebutuhan melaut seperti es
o Memperluas jaringan pemasaran ikan segar
o Pembinaan kepada nelayan lokal tentang teknologi perikanan moderen
170
Lampiran 7 Hasil pengolahan data AHP
Nilai prioritas program pembangunan perikanan pantai menurut tingkat hirarki AHP di
Kabupaten Subang tahun 2006
Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4 Nilai prioritas Pelaku Nilai prioritas Faktor Nilai prioritas Program
0.4679 PEMDA 0.6042 Kebijakan 0.0591 Akses 0.1349 Partisipasi 0.3999 Pembinaan 0.3108 Pendidikan 0.0954 Teknologi 0.1064 Pendanaan 0.0906 Akses 0.1923 Partisipasi 0.3747 Pembinaan 0.2388 Pendidikan 0.1037 Teknologi 0.2176 Sarana 0.0689 Akses 0.1628 Partisipasi 0.4233 Pembinaan 0.2502 Pendidikan 0.0947 Teknologi 0.0718 SDM 0.0873 Akses 0.1783 Partisipasi 0.3783 Pembinaan 0.2599 Pendidikan 0.0963 Teknologi
0.2094 KUD 0.1214 Kebijakan 0.2412 Akses 0.1356 Partisipasi 0.1780 Pembinaan 0.1276 Pendidikan 0.3175 Teknologi 0.2768 Pendanaan 0.1097 Akses 0.2815 Partisipasi 0.3322 Pembinaan 0.1830 Pendidikan 0.0935 Teknologi 0.2317 Sarana 0.3089 Akses 0.2311 Partisipasi 0.1210 Pembinaan 0.1224 Pendidikan 0.2167 Teknologi 0.3700 SDM 0.1784 Akses 0.1313 Partisipasi 0.3360 Pembinaan 0.2219 Pendidikan 0.1323 Teknologi