Download - Kemiskinan (Ok)
LINGKUNGAN, KEMISKINAN, DAN PENGANGGURAN(Oleh : Abd. Wahab Hasyim)
Renungan ummat manusia yang paling mendalam pada milinium ke-21 adalah
masyarakat bisnis dunia mengalami “sock” karena terjadi pergeseran arus perdangangan
dunia dari “atlantic area” ke “pacific area” yang ditandai dengan berbagai perlombaan dari
Negara-negara maju dan industri untuk dapat menguasai berbagai potensi (resources) di
wilayah-wilayah negara berkembang dalam zone Asia-Pasifik.
Perlombaan untuk menguasai wilayah Asia- Pasifik dilakukan dengan pendekatan
politik, hubungan internasional, perdagangan internasional, maupun melalui pendekatan
Hak Asasi Manusia (HAM), selain dimaksudkan untuk kemitraan dalam bisnis ekonomi juga
yang tidak kalah penting adalah untuk mendapatkan superioritas Negara adi-ekonomi,
maupun adi-sains/tekhnologi.
Nyaris semua negara maju membicarakan proses penerapan system pasar bebas
(free market system) secara global, melalui pendekatan kerjasama ekonomi regional
maupun global, seperti : World Trade Organization (WTO), European Cooperation (EC),
North American Free Trade Area (NAFTA), sedangkan untuk mengantisipasinya Negara-
negara Asia-Pasifik pun melalui Asia Pasifik economic Cooperation (APEC) dan Asia Free
Trade (AFTA).
Korelasi sinergis trend regionalisasi dan globalisasi perdagangan dunia yang
berada pada level “pure competitive” adalah sebuah revolusi ekonomi terbesar yang
diinjeksi oleh ruh revolusi industri/tekhnologi informasi (Jhon Naisbitt, Global Paradox, 1994
dan Megatrends Asia, 1996). Karena sumberdaya potensialnya sangat banyakdi kawasan
Asia-Pasifik serta pertumbuhan GNP (Gross National Product) dan GDP (Gross Domestic
Product)
beberapa Negara Asia-Pasifik, menjadi dasar alasan optimisme banyak pihak, wilayah ini
diprediksikan akan berkembang sangat pesar bahkan dapat menjadi kawasan yang
1
mempunyai kekuatan ekonomi global yang dapat menyisihkan peran “adi-ekonomi” Jepang
dan Amerika serikat.
Benefid dari globalized economy adalah terhapusnya beberapa boundary atau
“constrain tariff” dan “non tariff” serta revolusi tekhnologi informasi merupakan sebuah free
trade yang dapat dipercaya sebagai : ”angina surga” bagi bisnisman dan pelaku ekonomi
pasar bebas, karena diyakini dapat memberikan “maximum benefit” bagi ummat manusia,
seperti:
1. meletakan expansi industri manufaktur pada basis yang lebih rasional
2. distribusi keuntungan perdagangan ke dalam komunitas yang lebih luas
3. terjadinya efisiensi karena adanya persaingan yang intens
4. mendekatkan pada harapan “welfare globalized stat”
Namun harus disadari bahwa “public discurs” yang telah menyemrakan blantika
pembicaraan ekonomi global dan free trade belum menyentuh beberapa aspek substansial
yang menyangkut implikasi negatif dibalik “euphoria globalized economy” , seperti:
1. meningkatkan biaya eksternalitas (externalitas cost)
2. mekanisme transfer industri kotor dari Negara maju ke Negara sedang berkembang
(NSB)
3. intrik dikotomis antara “development countries” dengan “undevelopment countries”.
4. tingkat pengangguran dan kemiskinan di Negara-negara sedang berkembang.
Untuk itu tulisan ini mencoba mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya:
degradasi lingkungan, kemiskinan dan pengangguran yang merupakan dilemma
kebuntuan ekonomi sebagi akibat terjadinya eksploitasi sumberdaya alam.
Sekalipun sebagian besar para ekonom maupun politisi yakin bahwa jika kita bisa
meninkatkan produksi, akan bisa`memecahkan beberapa masalah mendasar yang
meracuni ekonomi nasional maupun internasional, melalui perbaikan pada pertumbuhan
produksi industri dapat menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan, kemerosotan
lingkungan dan pengangguran.
2
Namun dilema-dilema esensial tersebut telah mengganas dan dapat mengancam
kelestarian bumi lingkungan hidup dan sustanaible development, terbukti baik secara teori
maupun praktek tidak dapat di pecahkan oleh system perekonomian sekarang karena
ketika strategis dan perencanaan pembangunan didominasi oleh kelompok
developmentalis, semua perhitungan statistikal agregate seperti GNP dan GDP menjadi
parameter penting yang di pandang sanggup menjelaskan segala hal. Padahal GNP dan
GDP bukanlah satu-satunya peralatan yang secara general dapat mencerminkan tingkat
akurat pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan pertumbuhan ekonomi atau pembangunan dengan mengunakan
formula GDP dan GNP selalu mengesampingkan biaya ekstrenalitas (externalitas cost),
biaya sosial (social cost), dan biaya masa depan (future cost), croppenvironmental cost
factor, deplesi sumberdaya alam dan kualitas kesehatan, dampak terhadap masyarakat
setempat diabaikan. Pada tataran ini, aktifitas produksi sesunguhnya dapat dikatakan tidak
memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi sebab sumberdaya (resources) yang bersifat
langka (scarcity) di bumi kian menyusut, sementara besarnya penyusutan atau depresiasi
“unrenewable resources” tidak tercantum dalam neraca yang berisi perhitungan
pertumbuhan ekonomi.
Hogendijk Willem (Revolusi ekonomi, 1996) mengibaratkan bumi kita saat ini ibarat
sebuah kereta api yang tengah kencang melaju menuju jurang. Sumberdaya-sumberdaya
langka semakin menipis dan tidak dapat direnewable, sementara aktifitas produksi massal
terus menaikan biaya eksternalitas, yang pada gilirannya rekening tagihan, rusaknya
ekosistem global, pemanasan suhu bumi, munculnya penyakit-penyakit aneh, bencana
alam, hilangnya beberapa spesies menjadi beban generasi mendatang.
A. Lingkungan
Lonceng kematian yang dibunyikan oleh “Roma Club” di awal tahun 1970-an
adalah peringatan kepada ummat manusia penghuni planet bumi tentang batas-batas
pertumbuhan. Degradasi lingkungan dan kemerosotan sumberdaya alam yang mencuat
3
dibatas-batas pertumbuhan telah menjadi kenyataan pada banyak tempat di dunia. Pada
saat yang sama orang mulai sadar bahwa udara bersih, air bersih, tanah yang subur dan
ketenangan, adalah faktor-faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Kesadaran
akan pentingnya “clean environment”, ketersediaan sumberdaya alam bagi kelangsungan
hidup, “safety of life” dan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development)
maka pada tanggal 5 sampai 16 Juni 1972 di Stocklhom diadakan konferensi tentang
lingkungan hidup yang lebih dikenal “ The United Nations Conference on the human
Environment” yang melahirkan deklarasi Stocklhom dengan 26 butir principles states the
common conviction, yang melingkupi 5 masalah besar yakni :
(1) mengurangi/menghentikan pencemaran;
(2) melestarikan sumberdaya alam;
(3) menjaga ekosistem; (4) sosial politik; (5) ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK)
yang mempertahankan lingkungan hidup.
Meskipun terdapat perkembangan dengan adanya upaya-upaya konstruktif dari
Negara-negara maju maupun Negara sedang berkembang (NSB) tentang lingkungan
hidup, namun dalam kenyataan selama kurang lebih tiga (3) dasawarsa terakhir ini,
kemerosotan dan degradasi lingkungan memburuk secara drastic di hampir semua Negara.
Salah satu hambatan structural, kurangnya peran aktif eksekutif Negara dalam
menindaklanjuti kesepakatan Stocklhom, sehingga pada tahun 1990 di Washinton D.C
dilaksanakan “ The interparliamentary Conference on the global Environment”
dimaksudkan agar lembaga legislative dapat berperan dalam mengontrol kebijakan-
kebijakan lingkungan yang dilaksanakan eksekutif Negara. Selanjutnya pada tahun 1992
dengan fasilitator Maurice Strong, diadakan konferensi di Brasil yang menyerukan isu-isu
lingkungan dalam pandangan yang lebih jauh ke depan dari pada hasil konferensi
Stocklhom. Konferensi yang dikenal dengan “ United Nations Conferences on Environment
and Development (UNCED) atau “ Earth Summit” di Brasil.
1. Lapisan Ozon
4
Penipisan lapisan ozon merupakan suatu ancaman serius lingkungan terhadap
manusia, vegetasi dan hewan. Menurut Environmental almanac, 1993 dari “World
Resources Institute” penipisan ozon telah melampaui kabut dan hujan asam, dan
merupakan urutan teratas dari perusakan atmosfir bumi yang dapat mengakibatkan kanker
kulit, katarak, merusaktanaman, menganggu rantai makanan yang halus, mengurangi daya
tahan benda-benda yang berada di “open space”. Pada tahun 1987, sebanyak 44 negara
telah menandatangani dokumen penting “Montreal Protocol on Substance that deplete the
ozon layer” untuk mengrangi produksi CFC hingga 50% pada tahun 2000. Tekanan yang
lebih kuat lagi datang setelah akibat yang ditimbulkan dari letusan gunung Pinatubo di
Philipina (1991) yang memuntahkan ± 20 juta ton Aerosolfot Sulfat partikel yang merusak
ozon. Para ahli sejak awal telah menganalisa bahwa untuk menyelamatkan lapisan ozon
perlu pengurangan CFC hingga 90% sampai 95% karena “lag effect” yang tertinggal di
atmosfir mengakibatkan perusakan ozon masih tetap berlangsung sampai pertengahan
abad-21. Untuk mengikut sertakan Negara-negara sedang berkembang, pada tanggal 1
Januari 1991 didirikan dana ozon multinasional (Multinational ozon fund) untuk membantu
pendanaan transfer tekhnologi baru ke Negara-negara dunia ke tiga.
2. Pemanasan Global
Pemanasan suhu bumi adalah musibah fatal bagi ummat manusia, sebab
meningkatnya suhu yang disebabkan terganggunya siklus karbon mengakibatkan
terjadinya akumulasi karbon di udara, kemudian mempengaruhi terjadinya perubahan iklim,
meningkatkan suhu, selanjutnya es di kutub utara mencair yang menyebabkan naiknya
permukaan laut, sehingga banyak pantai yang hilang tergenang air.
Temperatur yang tinggi juga akan mengakibatkan musim kemarau yang lebih
panjang dari biasanya, banjir yang lebih parah, perbedaan kawasan yang lebih dan
kekurangan debit. Gangguan siklus alami ini dapat merusak kemampuan dan
keseimbangan alam dalam menghasilkan sumberdaya alam dan bahan pangan bagi
ummat manusia.
5
3. Hujan Masam
Perhatian terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan polusi udara juga
harus difokuskan pada masalah hujan masam. Penggunaan cerobong asap pada pabrik-
pabrik industri, adalah memindahkan polusi udara dari satu tempat ke tempat lain sesuai
arah angina bertiup. Sebagai contoh hujan masam yang jatuh di Kanada berasal dari
Amerika Serikat, hampir 85% danau-danau di New Hamsphire tidak mampu menahan
dampak yang diakibatkan jatuhnya hujan masam, sehingga lebi dari 50% jumlah danau
tersebut mengandung Sulfurdioksida yang sangat tinggi. Sedangkan lebih dari 75% hutan-
hutan di eropa mengalami adanya deposit belerang lebih dari ambang batas yang
merusak/membahayakan. Di Belanda hutan tidak lagi tumbuh subur, di Jerman separuh
dari hutan telah rusak kibat hujan masam. Di beberapa Negara Skandinavia hujan masam
telah meracuni ikan-ikan di danau, sedangkan di Swedia diperkirakan kurang lebih 4000
sungai mati secara biologis. Hujan masam dapat melampaui antar Negara karena itu isu ini
menjadi isu global, sehingga parlemen eropa mencanangkan “delta plan” melawan hujan
masam.
4. Biodiversifikasi
Penjarahan dan eksploitasi manusia terhadap biodiversity, menyebabkan dunia
dan ummat manusia kehilangan keanekaragaman hayati. Laporan UNEP (United nations
environment program) dan FAO (Food and agriculture organization) bahwa kurang lebih 40
tahun ke depan 30% sampai 40% spesies yang diketahui sekarang akan musnah.
Kehilangan biodiversity ini akan mengurangi persediaan bahan makanan bagi generasi
sekarang dan mendatang, bahkan mengancam kelestarian lingkungan hidup berbagai
organisme dan manusia. Pembabatan hutan tropis dan hutan basah yang walaupun hanya
7% dari permukaan bumi, namun memiliki 50% spesies dunia, perusakan ekosistem
samudera dan laut, yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi yang mengejar
6
keuntungan sebesar-besarnya, sudah pada saatnya untuk dirubah dengan memasukan
konsep pengelolaan “sustainable forest management” demi generasi berikut.
5. Hutan dan Pengundulan hutan
Hutan merupakan suatu wilayah bentangan alam yang didalamnya tempat tinggal
dan hidup berbagai jenis tumbuhan (vegetasi), binatang (satwa), burung (unggas), dan
spesies-spesies mikro maupun makro, yang saling berinteraksi membentuk suatu
ekosistem kehidupan. Disamping itu, kawasan hutan merupakan kawasan tempat tinggal
suku-suku asli yang masih mempertahankan isitem budaya para leluhur manusia.
Sesuai Peta Vegetasi Indonesia, sampai tahun 1950 luas tutupan hutan primer di
Indonesia sekita 162 juta Ha. Kemudian, pada tahun 1985 tutupan hutan primer di
Indonesia menjadi 119 juta Ha (Survei RePPProT, 1990). Artinya, selama 35 tahun jumlah
tutupan hutan berkurang seluas 43 juta Ha (27 persen). Selanjutnya, hasil analisis Global
Forest Watch, menunjukkan pada tahun 1997 luasan tutupan hutan Indonesia sebesar 95
juta ha. Berarti, selama 12 tahun tutupan hutan primer di Indonesia berkurang seuas 24
juta Ha (20 persen). Kemudian, FWI melaporkan luas tutupan hutan primer Indonesia
sampai pada tahun 2009 diperkirakan sebesar 88,17 juta Ha. Dengan demikian, selama 12
tahun (1997 sampai 2009) jumlah luasan tutupan hutan Indonesia berkurang sebesar 6,83
juta Ha.
Hasil paduserasi TGHK-RTRWP (Tata Guna Hutan Kesepakatan - Rencana Tata
Ruang Wilayah Propinsi) tahun 2002 sebesar 139.429.694 Ha dengan rincian, sebagai
berikut:
1. Hutan lindung 32.221.389 hektar
2. Hutan suaka alam, hutan wisata dan taman nasional 22.318.463 hektar
3. Hutan produksi terbatas 23.398.154 hektar dan hutan produksi tetap 35.925.314
hektar
4. Hutan produksi yang dapat dikonversi 25.433.485 hektar
5. Hutan dengan fungsi khusus 132.889 hektar.
7
Penafsiran satelit tahun 2005, luas kawasan hutan di indonesia diperkirakan mencapai
93,92 Juta Ha, dengan rincian pemanfaatannya sebagai berikut:
1. Hutan tetap seluas 88,27 juta ha
2. Hutan konservasi seluas 15,37 juta ha
3. Hutan lindung seluas 22,10 juta ha
4. Hutan produksi terbatas seluas 18,18 juta ha
5. Hutan produksi tetap seluas 20,62 juta ha
6. Hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 10,69 juta ha
7. Areal penggunaan lain (non-kawasan hutan) seluas 7,96 juta ha
Tabe.1 : Luas Kawasan Hutan Indonesia
No Kawasan HutanLuas Kawasan Hutan (Juta Ha)
Paduserasi TGHK & RTRWP
Penunjukan & TGHK
1 Kawasan Hutan Tetap 112,27 110,892 Hutan Produksi yang dapat dikonversi 8,08 22,803 Total luas kawasan hutan 120,35 133,69
Sumber : Kementrian Kehutanan RI, 2009
Laporan Kementrian Kehutanan, bacaan citra satelit tahun 2007, ditemukan total
luas kawasan hutan Indonesia mencapai 132, 39 juta Ha, namun kawasan yang masih
berhutan hanya seluas 92 juta ha. Kondisi penutupan lahan hutan di Indonesia dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 2 : Kondisi Penutupan Lahan Hutan Indonesia
Penutupan Lahan
Kawasan hutan Areal Penggunaan Lain
Jumlah
Areal (Jt Ha)
% Areal (Jt Ha)
% Areal (Jt Ha)
%
Berhutan 92,328 49 8,412 4 100,740 54Tidak berhutan 40,071 21 46,976 25 87,047 46Jumlah 132,399 71 55,388 29 187,787 100
Sumber : Kementrian Kehutanan RI (2009), berdasarkan penafsiran citra satelit (2007)
8
Adanya perbedaan data luas kawasan hutan di Indonesia, disebabkan karena
perbedaan metode dan teknologi yang digunakan. Lepas dari perdebatan tentang
perbedaan luas hutan tersebut, secara kewilayahan Papua memiliki luas hutan terluas di
Indonesia, yaitu 40,46 juta ha; kemudian Kalimantan Tengah (15,30 juta ha) dan
Kalimantan Timur (14,98 juta); menyusul Sumatera (14,65 juta ha); lalu Sulawesi (8,87 juta
ha); selanjutnya Maluku dan Maluku Utara (4,02 juta ha); berikut Jawa (3,09 juta ha), serta
Bali dan Nusa Tenggara (2,7 juta ha). Sementara DKI Jakarta memiliki luas kawasan hutan
yang paling sedikit, yaitu 475 ha.
Selain terdapat sumber daya kayu, kawasan hutan juga memiliki sumber daya non
kayu, seperti : tambang (batu bara, nikel, asbes, pasir besi, mangan, gas, dan lain-lain) ,
satwa, unggas dan spesies lain yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi bagi manusia
dalam melangsungkan kehidupan, dan sebagai bahan baku (raw material) pembangunan
ekonomi daerah maupun negara.
Di Indonesia terdapat beberapa suku asli, yang masih memanfaatkan kawasan
hutan sebagai tempat tinggal dan melangsungkan kehidupan. Di Pulau Halmahera
misalnya, kita dapat melihat Suku Tugutil (Tobelo dalam) yang umumnya hidup di kawasan
hutan di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah. Demikian halnya, suku Tobaru yang
masih mendiami kawasan Hutan di Halmahera Barat dan kawasan hutan Kepulauan
Tidore. Di Pulau Seram Maluku, masih hidup suku Alifuru, dan di kawasan lain di
Indonesia. Begitu bermanfaatnya fungsi hutan bagi kehidupan manusia, maka pengelolaan
yang baik dan lestari (good forestry).yang tidak bisa dinafikan. Degradasi, atau punahnya
hutan, akan dapat mengurangi kualitas hidup manusia, bahkan mengancam keberadaan
bumi dan pada gilirannya menamatkan kehidupan manusia.
Sebagai negara yang memiliki luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia (setelah
Brazil dan Republik Demokratik Kongo), posisi ini menunjukan sebuah anugrah Agung dari
Allah SWT yang mestinya tetap harus dijaga keutuhan dan keberlanjutannya. Anugrah
keberlimpahan komoditas hutan (kayu dan non kayu) terdapat di hampir seluruh pulau
besar dan kecil di Nusantara. Dengan luas tersebut, kekayaan ekosistem dan
9
biodevercitas, Indonesia berada pada posisi kedua dunia setelah Brazil. Natural capital ini
merupakan salah satu asset untuk mensejahterakan rakyat dan menciptakan kemakmuran
bangsa, seperti pesan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 1 yang mengamanatkan
bahwa : bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 membagi hutan menjadi
(1) hutan; kehutanan, dan (3) hasil hutan.
Hutan adalah sekumpulan ekosistem dalam wujud hamparan lahan yang
didalamnya terdapat sumber daya nabati terutama pepohonan dalam persekutuan alam
dan lingkungannya, yang saling berinteraksi dan tidak dapat dipisahkan. Secara ekologis,
hutan merupakan lingkungan hidup manusia, di mana pada kawasan tersebut akan selalu
berlangsung interaksi berkelanjutan, antara manusia dengan hutan (Wirakusuma, 2003).
Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kehutanan, menyebutkan “hutan merupakan suatu
lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan
hidup alam hayati beserta alam lingkungannya.
Kehutanan, merupakan semua bentuk kegiatan (mulai dari fisik biologik sampai
administrasi pengurusan hutan) yang terkait dengan hutan sebagai lingkungan yang dapat
menyediakan berbagai barang dan jasa (good and serrvices) secara tangibles dan
intengibles mampu memberikan nilai ekonomi bagi generasi sekarang dan jika
kelestariannya dapat dipertahankan, akan bermanfaat bagi transgenerasi.
Komoditas hasil hutan meliputi seluruh komoditi barang dan jasa dari lingkungan
hutan baik secara tangibles maupun intengibles. Dilihat dari fungsi ekologi kawasan hutan
hanya dapat dibatasi oleh batas-batas ekologis. Dengan demikian satu ekosistem hutan
dapat memiliki wilayah yang melintasi batas-batas kabupaten, bahkan provinsi. Jadi, hutan,
kehutanan, dan hasil hutan adalah sumber daya yang memiliki potensi sebagai barang dan
jasa ekonomi (economy good and services) yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan sebagai energi bagi pembangunan daerah serta negara.
10
Nurrochmat dan Hasan (2012) menyatakan sektor kehutanan memegang tiga
peran sentral pada pembangunan ekonomi suatu kawasan, daerah dan negara, karena
mampu memberikan sumbangan (kontribusi) berupa:
(1) membuka lapangan kerja baru;
(2) menaikkan pendapatan masyarakat sekitar;
(3) masuknya investasi sebagai modal
Kehutanan dan industri kehutanan memberi kontribusi pada tersedianya lapangan
kerja baru, meningkatkan pendapatan rumah tangga khususnya rumah tangga
berpenghasilan rendah di perdesaan (Hadianto, 2010). Dilihat dari peran dan kontribusi
sektor kehutanan tersebut, dapat dikatakan bahwa investasi untuk menggerakan
eksploitasi sektor kehutanan dan kegiatan olahan yang berbasis bahan baku kehutanan,
selain meningkatkan perolehan manfaat ekonomi, juga dapat memberikan manfaat sosial
ketenagakerjaan seperti mencegah/menahan terjadinya laju urbanisasi, bahkan dapat
menjadi daya penarik terjadinya reruralisasi kerja dari kota ke desa (Hasyim, 2010).
Selain hasil hutan kayu, di hutan tumbuh beribu-ribu jenis tumbuhan obat-obatan,
damar, buah-buahan alam, sumber mata air, burung, satwa liar, air sungai dengan
ekosistemnya, dan orang hutan. Hutan yang mula-mula menyediakan bahan kayu dan
dedaunan yang dapat dijadikan atap, sebagai bahan rumah tempat hidup, aktifitas dan
manusia berkembang-biak. Hutan merupakan gudang penampung karbon dioksida (carbon
dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologi, serta pelestari tanah, dan
merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting. Peranan hutan dalam
proses menyumbang jasa keberlangsungan kehidupan mahluk (termasuk manusia) adalah
menyerap karbon dioksida (CO2) kemudian memproses menjadi oksigen (O2) yang sangat
dibutuh makhluk hidup. Karena fungsi dan perannya yang demikian fital bagi kehidupan
manusia, maka hutan sering disebut paru-paru dunia.
11
Kawasan hutan, meliputi hutan pelestarian alam, hutan lindung, hutan wisata,
hutan produksi, dan kawasan lainnya. Hutan sangat vital bagi kehidupan manusia, dengan
peranannya sebagai berikuti :
Pertama; hutan memiliki peranan ekologik, seperti :
1. sebagai pelindung daerah tangkapan air (cutchment area).
2. pengendali laju aliran permukaan (run off).
3. irigasi alam, air tampungan (resapan) yang terdapat di kawasan-kawasan hutan,
mengalir masuk ke badan sungai dan danau, selanjutnya mengalir ke dataran rendah
(sawah dan lahan pertanian)
4. menjaga keseimbangan hara tanah.
5. sebagai wadah produksi dan penyimpan oksigen;
6. sebagai tempat konservasi ekologi dan tempat hidup-berkembang satwa liar, tempat
rekreasi-wisata alam, taman nasional, serta kawasan perlindungan flora dan fauna
7. hutan berperan menahan laju erosi, serta penghambat dan pemecah laju angin.
Kedua, kawasan hutan yang terdapat di pulau besar maupun pulau-pulau kecil
merupakan “supermarket” bahan pangan alam untuk konsumsi masyarakat lokal,
seperti:
1. bahan nabati, seperti pohon sagu, sayur-sayuran, buah, ikan air sungai, dan
hewan dapat diperoleh di hutan
2. bahan kayu bakar dan arang
3. lahan pertanian, perkebunan, pengembalaan ternak, dan kawasan penghasil
nitrogen
4. bahan kayu untuk (rumah masyarakat dan, kantor), bahan tenun (tali-temali), rotan
(keranjang dan perabot rumah)
12
5. di hutan juga terdapat madu, bahan lilin, lak, dan apotik alam (bahan obat dan
jamu tradisional)
Ketiga, hutan memiliki peran sebagai penyedia bahan baku (raw materials), baik
hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu, seperti : (a) karet, resin, minyak kayu
putih, dan lain-lain; (b) arang kayu untuk bahan besi baja, sel kering, dll; (c) kayu, untuk
industri meubel, kapal-motor, kayu lapis, kertas, bangunan, dan tekstil;
Keempat, tempat hidup dan berkembang biak orang hutan. Beberapa kawasan
hutan di Indonesia, diantaranya di Kalimantan masih terdapat satwa orang hutan yang
oleh pemerintah kawasan tersebut telah lindungi.
Kelima, tempat hidup suku-suku terasing dan cagar alam budaya masyarakat
tradisional/terasing. Hampir semua pulau-pulau besar di Indonesia, masih terdapat
komunitas suku asli yang penghidupannya sangat tradisional mengacu pada kondisi alam
dengan sistem pengelolaan yang natural dan yang penghidupannya sangat tradisional
mengacu pada kondisi alam dengan sistem pengelolaan yang natural dan local wisdom.
Pengrusakan Hutan
Pengundulan hutan dan erosi merupakan dua hal yang paling kritis dari perusakan
ekologis di Negara-negara berkembang. Meskipun telah mendapat perhatian besar pada
saat ini, namun perhatian ekstra tersebut belum menghentikan pengrusakan. Pad athun
1989 para pekerja telah menebang dan membakar pohon yang luasnya sebanding dengan
tiga setengah kali permukaan danau Ontario di Kanada atau Negara bagian Vermont,
Amerika Serikat, dan pengundulan hutan yang terjadi antara tahun 1979 sampai 1989
meningkat 90%. Jika kecepatan perusakan hutan tidak dapat dikendalikan, maka
diperkirakan kurang lebih 28 tahun mendatang hutan Amazona di Brasil akan musnah
(Norman Myers). Perusakan juga terjadi di Philipina, Indonesia, Serawak, India, Thailand,
Madagaskar, Pantai Gading, dan Zaire. Dampaknya tingkat erosi yang tinggi, banjir dan
perubahan iklim, terjadinya perluasan padang pasir yang diperkirakan enam (60 juta hektar
pertahun di seluruh dunia atau 35% permukaan tanah dunia berada dalam penggurunan
13
pasir (UNEP). Dan sekitar 25% karbondioksida yang dilepas ke atmosfir adalah berasal
dari penebangan dan pembakaran hutan (environmental almanac, 1993).
Tidak dapat dimungkiri bahwa eksploitasi sumber daya hutan yang terjadi
berpuluh-puluh tahun sejak kemerdekaan, telah banyak mengantarkan negara pada
penerimaan negara, dan untuk masyarakat telah menambah dan menaikan pendapatan.
Namun, kesejahteraan di bidang ekonomi dan penerimaan negara tersebut telah
menambah daftar panjang angka kerusakan lahan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan
semakin berkurangnya luas kawasan hutan lindung, hilangnya keanekaraagaman hayati
dan spesies-spesies endemik, deplesi kualitatif sumberdaya air, pendangkalan sungai dan
kerusakan ekosistemnya dalam skala yang sangat mengharubirukan perwajahan
pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan di Indonesia.
Era sebelum reformasi, kerusakan hutan yang terjadi di Propinsi Kalimantan Barat
diperkirakan seluas 1,6 juta hektar; Propinsi Jawa Tengah seluas 914 ribu hektar; Propinsi
Kalimantan Timur seluas 11 ribu hektar; Sulawesi Selatan seluas 502 ribu hektar; dan
Propinsi Lampung seluas 310 ribu hektar. Rata-rata laju kerusakan hutan Indonesia tahun
2000 - 2005 mencapai 1,8 Juta hektar per tahun (Kantor Kementerian Kehutanan). Dalam
kurun waktu 1985-1997 luas hutan yang berkurang mencapai 21,65 juta hektar
(Handadhari, 2001). Akibatnya, selain kerugian secara ekonomi, kerusakan hutan telah
menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Sejumlah spesies yang terancam punah,
meliputi: 126 jenis burung; 63 jenis mamalia; dan 21 jenis reptil; dan 36 jenis kayu di
Indonesia terancam punah (laporan Kementerian Negara Lingkungan Hidup).
Kebakaran hutan yang cenderung berkorelasi dengan El-Nino, juga turut
memperburuk kondisi ekologi, kesehatan manusia, dan aktifitas ekonomi sosial. Tahun
1997 terjadi kebakaran hutan di 25 propinsi dengan luas 383.870 hektar. Berdasarkan
laporan State of the World's Forests 2007 yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture
Organization's (FAO), setiap hari kerusakan hutan di Indonesia kira-kira 51 kilometer
persegi, setara dengan luas 300 lapangan bola setiap jam. Dalam pandangan
Greenpeace, Indonesia pantas masuk di dalam the Guinness Book of World Records
14
sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia. Selanjutnya oleh Badan Planologi
(2004), ditemukan kerusakan hutan di kawasan produksi mencapai 44,42 juta Ha; di
kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta Ha; dan di kawasan hutan konservasi
mencapai 4,69 juta Ha. Tingkat kerusakan hutan yang sangat mengerikan ini, perlu
dilakukan pengelolaan yang mengacu pada sustainable forest management agar sumber
daya hutan dan ekosistemnya dapat berkelanjutan.
Tabel : Luas Lahan Kritis di Indonesia, Tahun 2006
No Fungsi Hutan/Lahan Lahan Kritis
(Ha)
Lahan Kritis
Prioritas (Ha)
1 Hutan Konservasi 4.355.352,43 1.353.091,30
2 Hutan Lindung 9.303.698,60 3.251.934,28
3 Hutan Produksi 15.255.894,70 6.336.785,36
4 Hutan Produksi Dapat
di Konversi
10.549.322,68 5.181.954,31
5 Hutan Produksi Terbatas 11.569.367,32 3.382.722,94
Jumlah dalam kawasan 51.033.635,73 19.506.488,19
6 Areal Penggunaan Lain 26.773.245,05 10.690.311,73
Total 77.806.880,78 30.196.799,92
B. Kemiskinan
Mahatma Ghandi pernah berucap “Bumi cukup persediaan untuk memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan kita”. Lester R.
Brown dalam bukunya yang berjudul Twenty Ninth Day (1978), mengutip teka-teki
matematis Perancis yang berkisar tentang kolam yang berisi teratai. Kolam itu berisi
sehelai daun teratai di hari pertama, kemudian setiap hari daunnya bertambah dua kali
lipat, hari kedua bertambah dua helai, empat helai di hari ketiga, enam belas helai di hari
ke empat, dan seterusnya. Jika kolam tersebut penuh pada hari ke-30, pada hari keberapa
kolam itu berisi separuh. Jawabnya, di hari ke-29.
Menurut Brown, dewasa ini generasi kita berada pada hari ke-29 di kolam teratai
yang bernama planet bumi. Pada generasi berikut, kolam bumi telah penuh dan mungkin
15
akan habis. Sumber-sumber energi, sumberdaya alam, pangan, hutan kini mulai menipis,
berkurang bahkan merosot kualitas, mungkin generasi mendatang sudah licin tandas.
Masalah lingkungan dan kemiskinan merupakan dua hal yang tidak berdiri sendiri dan
selalu eksis bersamaan dengan problem lainnya, misalnya ketimpangan.
Di awal tahun 1950-an pembicaraan tentang pembangunan menjadi sangat intens
pada pertemuan-pertemuan internasional. Dalam empat butir pidato Presiden Amerika
Serikat, Harry Truman menguraikan tanggungjawab Negara barat dan Amerika Serikat,
Harry Truman, menguraikan tangung jawab Negara barat dan amerika serikat terhadap
kemiskinan. Transfer modal secara ekstensif dalam bentuk pinjaman jangka dua puluh (20)
sampai tiga puluh (30) tahun dapat mengatasi kemiskinan. Selain untuk mengatasi
keterbatasan faktor-faktor produksi, manfaat lain yang diharapkan yang dapat di
kembangkan oleh Negara. Donor adalah perkembangan sumberdaya manusia yang
professional dalam bidang teknologi. Penekanan Truman, adalah Negara–negara barat
(development countries) harus membentuk mesin ekonomi bagi Negara-negara
berkembang (undevelopment countries) dan Negara-negara miskin (underdevelopment
countries) dengan sebuah dorongan yang kuat (big push) yang lebih menekankan pada
pembangunan ekonomi dan sosial (social economic overhead capital).
Selama kurun waktu 40 tahun (sejak 1950-an sampai sekarang ) “big push” telah
memunculkan lima (5) tema utama, yaitu:
1. Meningkatkan produksi, penurunan pendapatan. Pertumbuhan produksi di Negara-
negara berkembang rata-rata 3, 3% perkapita pada tahun 1960 dan 2,4% pada tahun
1970-an, produksi pertanian dan beberapa sector industri meningkat. Namun, tahun
1980-an pendapatan dalam hubungannya dengan pertumbuhan produksi mengalami
penurunan. Secara keseluruhan pada tahun 1990 pendapatan perkapita Negara-
negara berkembang di Sub Sahara Afrika rata-rata 0,9%, di Timur Tengah 2,5%, Afrika
Utara, Amerika Latin dan Karibia,5%, ini terjadi karena adanya resesi pada tahun 1970-
an yang bagi Negara-negara dunia ke tiga merupakan kemerosotan antara 30% s/d
50% dalam nilai ekspornya. Sekalipun pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan
16
produksi di beberapa Negara dunia ke tiga terutama di asia dan amerika Latin, namun
tidak sebanding dengan derita yang dialami oleh Afrika.
2. Meningkatnya jumlah kemiskinan, bank dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin
dunia terus meningkat. Pada tahun 1990 jumlah penduduk miskin dunia sebesar 1,1
miliar jiwa, naik sebesar 0,1 miliar jiwa dari tahun 1985 (miskin menurut indicator
WHO). UNICEF memprediksikan 40.000 anak meninggal setiap hari atau sekitar 17
juta pertahun karena kekurangan makanan. Laporan dari Hunger 1992 dalam majalah
“The bread for the world institute of hunger and development” sepertiga dari semua
anak balita di Negara berkembang atau 177 juta anak di seluruh dunia menderita
kekurangan makan sehingga pertumbuhannya terganggu secara permanent. Akan
tetapi pada Negara tertentu sekalipun produksinya meningkat secara signifikan, namun
kemiskinan absolute masih tetap terjadi. Di Brasil sekalipun merupakan Negara
pengekspor makanan nomor 4 di dunia, namun merupakan Negara ke 6 kekurangan
gizi dan sebanyak 7 dari 10 orang menganggur.
3. Melebarnya jurang kemiskinan, sebagian besar Negara berkembang pertumbuhan
produksi tidak menguntungkan semua penduduk, yang kaya semakin kaya, dan yang
miskin semakin miskin. Akibatnya perbedaan kepentingan banyak timbul di Negara-
negara berkembang. Bukan hanya pendapatan penduduk yang sangat rendah, tetapi
mereka juga terus bertambah secara absolute. Selama priode empat puluh tahun ini
juga menandai awal perbedaan antara Negara-negara dunia ketiga yang miskin secar
relative dan miskin absolute. Human development report, 1992 oleh UNDP. Pada
tahun1960 sebanyak 20% penduduk dunia yang terkaya mempunyai pendapatan 30
kali dari 20% yang termiskin. Pada tahun 1990 sebanyak 20% penduduk terkaya itu
telah mendapakan 60 kali. Sementara sebanyak 20% penduduk termiskin
memperoleh hanya 0,2% dari pinjaman bank perdagangan, 1,3% dari investasi global,
1% dari perdagangan global, dan 1,4% dari pendapatan global. Dari pernyataan panitia
anggaran Senat Amerika Serikat, pada tahun 1980-an direktur utama sebuah
17
perusahaan berpenghasilan kurang lebih 29 kali rata-rata penghasilan buruh, namun di
awal tahun 2000-an sudah mendekati 100 kali.
4. Meningkatnya hutang, kemiskinan berhubungan dengan banyaknya hutang yang harus
dipikul oleh Negara berkembang/miskin. Sejak tahun 1982, jumlah pembayaran bunga
dan pokok hutang oleh Negara peminjam lebih besar dari investasi, kredit dan bantuan
yang mereka terima. Menurut human development report, 1992 transfer neto loan dari
Negara berkembang ke Negara maju mencapai 50 miliar dolar pertahun, dengan kata
lain meningkatnya standar hidup Negara kaya adalah subsidi Negara
berkembang/miskin. Pad athun 1990, total hutang eksternal Negara berkembang $1,35
triliun AS, ini berarti setiap penduduk Utara mempunyai saham sekitar $1.110 AS
kepada Negara Selatan, atau sama dengan setiap penduduk Utara menerima laba $
150 s/d $200 AS dari Negara-negara Selatan. Utang Negara yang paling miskin
mencapai $81 milar AS, rata-rata hutang setiap penduduk $ 176 AS kepada negara
kaya.
Gambaran statis hutang Negara ini merupakan dinamika yang mengungkap
kemiskinan yang sangat akut pada Negara-negara dunia ketiga. Terdapat empat ‘hukum”
yang mengatur dinamika hutang saat ini: (1) Negara miskin harus menanggung pukulan
terberat dari kejutan-kejutan eksternal diluar kendali mereka, seperti proteksi, kendala
ekspor dan harga impor; (2) hutang-hutang meningkat meskipun ada usaha-usaha yang
signifikan dari Negara-negara miskin untuk membayarnya; (3) hutang-hutang meningkat
karena ada usaha Negara-negara miskin untuk membayar hutangnya (Hukum Irving
Fischer); (4) kemiskinan meningkat di saat hutang harus dibayar. Menghadapi
ketidakmampuan membayar, Negara-negara kriditor mengharuskan Negara-negara miskin
untuk menyesuaikan ekonomi mereka secara structural; (5) Turunnya harapan, harapan-
harapan yang tertuang dalam ratifikasi “Charter of Economic Rights dan Duties of States”
(1989), dengan visi menuju tatanan ekonomi internasonal yang lebih baik, melalui upaya
pengentasan kemiskinan antar lembaga internasional, antar swasta, dan antar Negara,
serta upaya mendorong kesadaran internasional bahwa idologi invisible hand telah
18
menyebabkan derita ummat manusia, serta struktur ekonomi internasional telah salah jalur,
upaya ini tidak tercapai karena. Pertama, negara-negara berkembang liberalisasi politik
tidak mengarah kepada terbentuknya hubungan baru dan berbeda dengan struktur
ekonominya. Kedua, pembangunan menghasilkan ide-ide masa depan yang terencana
baik, namuntidak ada “political will” untuk implementasi konstruktif, terutama dari Negara-
negara Barat.
C. Pengangguran
Salah satu dari enam paradoks yang muncul di tengah-tengah Negara
berkembang adalah paradoks ketenagakerjaan, yakni: “kebutuhan akan tenaga kerja
sangat mendesak namun penggangguran terus meningkat” . peringatan tampaknya bukan
hanya masalah biosfir, tetapi masalah “sosiosfer” merupakan hal yang sangat signifikan
terhadap berbagai persoalan lingkungan. Pengangguran dan kemiskinan secara langsung
maupun tidak langsung telah menyebabkan degradasi lingkungan. Lingkungan yang telah
terkuras, melahirkan kesenjangan sosial berupa kemiskinan dan pengangguran. Jadi
merupakan mata rantai yang saling ketergantungan dan saling berpengaruh. Konflik sosial,
budaya kekerasan (culture of violence), penjarahan, penggurunan lahan, penggundulan
hutan, lingkungan yang kotor, dan lain-lain adalah tidak terlepas dari efek pengangguran.
Di Negara-negara industri prosentase pengangguran jauh lebih sedikit dibanding
dengan negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, pengangguran kira-kira 7,8%, di
Kanada sekitar 11%, Negara-negara belahan barat eropa 10%, dibelahan timur eropa lebih
besar disbanding eropa barat, sedangkan di Negara-negara brkembang berkisar 30% s/d
40%. Di Negara-negar industri barat, pada tahun 1980-an prosentase pengangguran
mengalami penurunan, namun pada tahun 1990-an terjadi kenaikan relative yang
signifikan. Menurunnya pengangguran karena berhubungan dengan meningkatnya
pekerjaan paruh waktu (Goods jobs dari economic Council Kanada). Kemajuan kombinasi
metode produksi dan inovasi tekhnologi memberi dampak berkurangnya lapangan kerja,
19
sepert tahun 1980-1990. Sungguh tampaknya kita sedang menuju pada masyarakat kerja
tanpa pekerjaan (Hannah Arendt).
Hubungan Degradasi Lingkungan, kemiskinan, dan Pengangguran
Pemikiran ekonomi klasik, tidak dapat memecahkan dilemma ekonomi yang ada
saat ini, terutama masalah kemiskinan, pengangguran, dan dampak eksternalitas kegiatan
ekonomi. Dengan tidak teridentifikasinya masalah-masalah tersebut oleh pasar, berbagai
instrument ekonomi yang telah dan pernah dipakai, ternyata masalah kemiskinan,
pengangguran dan dampak lingkungan hidup semakin memprihatinkan ummat manusia.
Dengan menggunakan konsep ekonomi alternative yang didukung dengan pemikiran-
pemikiran Fred Hirsch dan Herman daly, dapat dilihat pada diagram berikut.
Dalam tatanan ekonomi, faktor produksi dikombinasikan dengan proses produksi
menghasilkan barang dan jasa. Proses produksi menggunakan faktor lingkungan untuk
menghasilkan pendapatan. Secara progresif produksi dan konsumsi meningkat yang
kemudian berpengaruh kepada kecepatan eksploitasi sumberdaya alam, lingkungan,
energi, tenaga kerja, secara missal.
Kegiatan ekonomi yang pada akhirnya terjadi penipisan (kelangkaan) akan
sumberdaya alam dan bahan mentah, akibatnya masyarakat Negara menjadi miskin dan
menganggur, karena ketiadaan makanan dan lapangan kerja. Penggunaan tekhnologi
dalam skala luas dan ketidaktepatan penggunaannya serta capital intensive menyebabkan
timbulnya stagnasi pertumbuhan tenaga kerja; pengusahaan lahan menyebabkan para
petani terusir dari lahan garapan mereka, yang kemudian terjadi urbanisasi.
Penyebab dan akibat kemiskinan
Di Negara-negara miskin dan berkembang degradasi lingkungan, pertumbuhan
penduduk, kelangkaan (scarcity), dan deplesi sumberdaya alam (land resources) serta
ketidakmertaan distribusi sumberdaya adalah variable-variabel yang sangat signifikan
dalam menentukan membiaknya problema kemiskinan dan ketimpangan. Faktor-faktor
20
tersebut saling berintekrasi dalam satu mata rantai “vicious circle” jaringan problematika
yang harus disandang ummat manusia. Karena itu kelaparan, kebodohan dan
memburuknya kesehatan buka hanya sebuah “even” tau produk dari sebuah prose salami,
melainkan sebuah proses pemiskinan, yang berawal dari krisis lingkungan dan kelangkaan
sumberdaya.
Ketika ada sebagian masyarakat “the have” menikmati hampir sebagian besar
sumberdaya, pangan dan papan, serta menikmati lingkungan yang sehat, disisi lain
mayoritas penduduk miskin mendapatkan kelangkaan sumberdaya, kekurangan gizi, air
bersih, udara bersih, sanitasi lingkungan yang tidak layak, serta lingkungan yang rawan
konflik. Adalah suatu paradoks bahwa ketimpangan sosial ekonomi membuat lapisan
masyarakat tertentu melakukan tindakan yang memboroskan sumberdaya lebih dari
kelompok masyarakat lain. Lebih paradoks lagi, ketika dalam kasus air bersih misalnya,
kelompok miskin perkotaan harus membayar harga air lebih mahal disbanding dengan
orang kaya yang biasa dengan mudah mendapatkan layanan air minu, milik Negara yang
bersubsidi.
Jack Goldstone (1991) memperkirakan akibat-akibat tekanan krisis lingkungan
dapat mengancam stabilitas sosial. Tekanan demografi, kelangkaan sumberdaya,
timpangnya distribusi sumberdaya, telah memperlihatkan munculnya berbagai konflik baik
di level internasional maupun level nasinal. Di level nasional kerusuhan local yang
kemudian diinjeksi dengan kemauan politik hirkan upaya-upaya disintegrasi, perpecahan
dan konflik horizontal (ras, dan agama).
Penguasaan hutan oleh pemilik HPH yang menyebabkan terjadinya kemerosotan
biodiversity, genetic hayati dan hewan, hilangnya persediaan sumberdaya alam untuk
generasi sekarang dan masa depan, hilang dan berkurangnya persediaan sumber bahan
makanan, hilangnya sumber mata air bersih, polusi udara. Sementara pembangunan
property yang lebih bayak menggusur habitat hidup masyarakat marginal, kurangnya lahan
pemukiman, pembuangan limbah ke sungai adalah cermin ketidakpedulian masyarakat
kelas atas terhadap problema ekologis dan kehidupan masyarakat miskin.
21
Daftar Pustaka
Bob Goudzwaard and Harry de Lange, 1995. Beyond Povverty and Affluence. Genewa. WW Publications.
Brown, Lester R, 1978. The Twenty Ninth Day. New York
Hari Purwanto, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan, Dalam Perspektif Antropologi. Penerbit Pustaka Pelajar Yogjakarta.
Hogendijk, Willem, 1996. Revolusi Ekonomi Menuju Masa Depan Berkelanjutan dengan Membebaskan Perekonomian dar Pengejaran Uang Semata. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Indra Ismawan, 1999. Resiko Ekologis. Di Balik Pertumbuhan Ekonomi. Penerbit Media Presinda. Yogjakarta.
Goldstone, Jack. 1997. Revolution and Rebellion in The Early Modern World. Berkeley University California Press.
22