KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN
SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO.41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
( Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat )
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
AHMAD PATONI
NIM: 104044101387
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF (Studi pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat) telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Progranm Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah.
Jakarta, 31 Agustus 2010-09-21
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM NIP. 19550505 198203 1 012 PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH
Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (....................) NIP.19500306 197603 1 001 Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (....................) NIP.19720224 199803 1 003 Pembimbing : Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (....................) NIP.150050917 Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA (....................) NIP.19500306 197603 1 001 Penguji II : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (....................) NIP.19550505 198203 1 012
KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN
SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO.41 TAHUN 2004
TENTANG WAKAF
(Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok Ranji Ciputat)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh
Ahmad Patoni NIM:104044101387
Di Bawah Bimbingan
Prof.Dr.H.Hasanudin AF, MA NIP: 1 5 0 0 5 0 9 1 7
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431/2010 M
Oleh :
RAHMAT HIDAYAT
NIM : 203046101755
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A Nomor : Istimewa Jakarta, 06 januari
2010
Lampiran :
Perihal : Pengajuan Judul Skripsi
Kepada Yth.
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI……………………………………………………..... i
KATA PENGANTAR……………………………………………………… ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………..... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………..... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………… .. 7
D. Metode Penelitian dan tehnik penulisan……………………….. .. 8
E. Sistematika Penulisan…………………………………………... . 11
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Wakaf………………………………………………... 12
B. Dasar hukum wakaf…………………………………………….... 20
C. Rukun dan Syarat wakaf………………………………………. ... 27
D. Tujuan dan Hikmah Wakaf……………………………………. ... 33
BAB III GAMBARAN UMUM PONPES DAAR EL-HIKAM
A. Sejarah Berdirinya……………………………………………….. 34
B. Tujuan, Visi, dan Misi………………………………………….... 38
C. Struktur Yayasan……………………………………………….... 40
D. Program Kegiatan………………………………………………. . 41
BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN
SEBELUM TAHUN 2004
A. Kondisi dan Situasi Perwakafan Tanah di Indonesia …................ . 43
B. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam dan UU No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf …………………………………….. . 50
C. Kedudukan Tanah Wakaf Yang didaftarkan Sebelum Tahun
2004…………………………………………………………….... 61
D. Analisa Penulis…………………………………………………... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………. 75
B. Saran-Saran…………………………………………………… .... . 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PENGHIMPUNAN DAN PEMBERDAYAAN WAKAF UANG
TUNAI MODEL DOMPET DHUAFA REPUBLIKA SEBELUM
DAN SESUDAH BERLAKU UU NO.41 TAHUN 2004 TENTANG
WAKAF
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SYAIFUL AMRI NIM: 106044101442
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1431/2010
PENGHIMPUNAN DAN PEMBERDAYAAN WAKAF UANG
TUNAI MODEL DOMPET DHUAFA REPUBLIKA SEBELUM
DAN SESUDAH BERLAKU UU NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG
WAKAF
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi PersyaratanMemperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Syaiful Amri NIM : 106044101442
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 19550505 198203 1 012
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1431/2010
BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH
A. Pendahuluan
Allah SWT menurunkan Agama Islam ke Dunia ini melalui rasulnya yang
mulia yaitu Muhammad SAW, sebagai Agama yang rahmatan lil alamin, dalam artian
islam berlaku bagi seluruh alam tak terkecuali manusia itu sendiri yang notabene
telah Allah jadikan sebagai khalifah fil ardh.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, sudah barang tentu menyentuh
seluruh dimensi-dimensi kehidupan manusia yang sangat kompleks. Islam juga
mengatur aspek-aspek kehidupan manusia yang kadang manusia itu sendiri tidak
memahaminya bahwa aspek tesebut sangat penting bagi manusia itu sendiri. Dari
urusan-urusan yang bernilai kecil sampai yang bernilai besar, dari urusan bangun
tidur hingga ingin tidur kembali, semuanya diatur oleh islam. Pokoknya tiada satu hal
pun yang terabaikan dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak diatur oleh
Islam. Makanya tidak bertentangan dengan fakta dan logika, jika Islam adalah agama
yang sempurna, kaffah, dan agama paripurna bagi agama sebelumnya.
Sebagai agama yang mengatur urusan dunia dan akhirat sudah pastinya semua
perbuatan itu tak terlepas dari perbuatan yang bernilai ibadah, baik itu ibadah yang
bersifat mahdhoh ataupun yang bersifat ghoiru mahdhoh. Atau dengan kata lain
ibadah yang bersifat vertikal, antara si hamba dengan penciptanya, yang dalam
1
2
terminologi islam biasa disebut dengan hablum minallah, Maupun ibadah yang
bersifat horizontal yaitu antara si hamba dengan sesama mahluk ciptaan sang Khalik.
Berbicara mengenai ibadah, maka sudah pastinya ibadah tersebut mempunyai
tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokok ibadah adalah menghadapkan diri
kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepadanya dalam setiap
keadaan. Dengan demikian seseorang akan mencapai derajat tertinggi di akhirat.
Sedangkan tujuan tambahan ibadah adalah agar terciptanya kemaslahatan diri
manusia dan terwujudnya usaha yang baik.1
Seperti dijelaskan diatas dalam agama Islam ada ibadah yang berimplikasi
personal dan ada juga ibadah yang berimplikasi sosial, ibadah yang tergolong
berimplikasi personal seperti, shalat, dzikir, puasa dan sebagainya. Sedangkan ibadah
yang berimplikasi sosial diantaranya adalah wakaf, dan ibadah yang terakhir ini
implikasinya adalah jika kita melakukannya, selain untuk kemaslahatan personal
orang yang melakukannya juga berimplikasi bagi kemaslahatan masyarakat yang
menerima dan membutuhkannya dan pesan sosialnya jelas terasa.
Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah wakaf. Wakaf
merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum islam, ia mempunyai
jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi
masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ilahiyah ubudiyah, Ia juga berfungsi
sosial kemasyarakatan, ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan
1 A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah. (Jakarta: Gaya Media Pratama )
3
seseorang yang mantap dan rasa sosialitas yang tinggi terhadap sesama umat
manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “ hablum minallah wa hablum minannas”,
hubungan vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama
manusia.2
Berbicara mengenai wakaf, banyak sekali term atau definisi tentang wakaf
yang diungkapkan oleh para ulama, Undang-undang, baik yang terdapat dalam kitab
klasik, kontemporer, maupun buku[buku. Dalam kitab hasyiyah baijuri, wakaf arti
wakaf secara bahasa adalah al-habs (menahan), Sedangkan secara istilah adalah
menahan harta yang tertentu, yang menerima pemindahan dimana memungkinkan
pengambilan manfaat dari harta tersebut.yang mana harta itu tetap utuh dan tidak
berkurang sedikitpun dan adanya kepastian mendayagunakan harta itu pada jalan
kebaikan karena semata-mata beribadah kepada Allah SWT.3
Sedang dalam kitab fathul mu’in definisi wakaf diartikan secara lughoh atau
bahasa adalah menahan, sedang secara istilah adalah menahan harta yang
memungkinkan pengambilan manfaat dan hartanya tetap utuh dengan kepastian
mendayagunakan atas pendayagunaan yang dibolehkan.4
2 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press.2005) hal 3 3 Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, (Semarang Toha
Putra) hal.42
4 Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al- Malibary, Fathul Mu’in (Daar Ihya al-Kutub al- Arabiyyah, Indonesia) hal.87
4
Dalam perkembangan selanjutnya praktek wakaf yang dilakukan di Indonesia
masih sangat bersifat tradisionalis, ini bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat
muslim indonesia yang dalam berwakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan
keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini
wakaf, masih menggunakan tradisi lisan, yang mana atas dasar saling kepercayaan
semata kepada seseorang atau lembaga tertentu. Kebiasaan memandang wakaf
sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat Tuhan tanpa harus melalui
prosedur administratif. Dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja
tidak akan berani mengganggu gugat, apalagi mengambilnya tanpa seijin Allah SWT.
Tradisi wakaf tersebut memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan
perwakafan di indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan
menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak, bahkan banyak benda wakaf
yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis
seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain. 5
Dalam masalah perwakafan banyak sekali ditemui kasus-kasus sengketa tanah
wakaf, baik itu sengketa intern maupun ekstern. Misalnya dalam sengketa intern
adalah karena adanya suatu kepentingan ahli waris si wakif menarik kembali tanah
yang telah di wakafkan. Sehingga menimbulkan sengketa antara ahli waris dengan
pihak pengelola yaitu nazhir. Kalau kita fahami mengapa kasus-kasus seperti diatas
banyak terjadi, benang merahnya adalah karena ketiadaan sertifikat wakaf, sehingga
5 Paradigma baru wakaf di Indonesia, ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas
Islam: 2006 ) hal 98.
5
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melihat ini sebagai sebuah peluang untuk
merebut tanah wakaf yang belum atau tidak mempunyai sertifikat wakaf.
Berbicara mengenai sertifikat wakaf sudah tentunya takkan terlepas dari
peraturan perundang undangan yang mengaturnya, di indonesia ada beberapa
peraturan yang mengatur tentang masalah wakaf, baik berbentuk PP, Inpres dan UU
bermula dari PP no.7 tahun 1977, Inpres no.21 tahun 1991 dan yang terbaru UU
no.41 tahun 2004 tentang wakaf. Dengan adanya Undang-undang yang baru tersebut
semakin memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf. Tersebab adanya jaminan
kepastian hukum karena ada UU yang memayunginya. Yang jadi permasalahan
sekarang adalah bagaimanakah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf ? mungkin untuk tanah wakaf yang
didaftarkan sesudah berlakunya UU ini tak jadi masalah, apakah masih terikat dengan
peraturan lama, atau mengikut pada UU yang baru? apakah UU yang baru dalam hal
ini UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf mengakomodasi permasalahan ini?
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, penulis berpikir sungguh
sangat menarik mengkaji masalah ini lebih lanjut ke dalam sebuah penelitian dan
menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul: “KEDUDUKAN TANAH
WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM DIBERLAKUKAN UU NO. 41
TAHUN 2004 TENTANG WAKAF ( Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok
Ranji Ciputat )
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-batasan
dari masalah penelitian yang akan diteliti, batasan masalah ini berguna untuk
identifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah
penelitian.
Selanjutnya dalam penelitian ini, mengingat objek yang akan diteliti
cakupannya sangat luas, maka penulis memberi batasan hanya pada kedudukan tanah
wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ialah usaha untuk menyatakan secara tersirat pertanyaan
penelitian apa saja yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahan masalahnya.
Perumusan masalah merupakan identifikasi dari masalah dan pembatasan masalah,
dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci
mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti yang didasarkan atas identifikasi
masalah dan pembatasan masalah.
Yang menjadi permasalahan disini adalah dalam UU No.41 Tahun 2004
Tentang Wakaf dinyatakan bahwa tanah wakaf yang dilakukan sebelum berlakunya
UU ini dinyatakan sah sebagai tanah wakaf dengan catatan harus didaftarkan dan
diumumkan paling lama 5 tahun sejak UU ini diundangkan, dalam kenyataannya
ponpes Daar el-Hikam sudah lebih dari 5 tahun sejak UU ini berlaku, tidak
7
melakukan ketentuan sebagaimana yang diharuskan dalam pasal 69 UU ini. Inilah
yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini.
Selanjutnya untuk mempermudah dalam penyusunannya maka perlu
dirumuskan permasalahan dalam skripsi ini yang mana tertuang dalam pernyataan
sebagai berikut
1. Bagaimana konsep wakaf dalam Islam ?
2. Bagaimana konsep hukum positip mengenai tanah wakaf ?
3. Bagaimana kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum diberlakukan
UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf ?
4. Bagaimana sertifikasi tanah wakaf ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk menjelaskan konsep wakaf dalam Islam
2. Untuk menjelaskan konsep wakaf menurut hukum Positip
3. Untuk menjelaskan kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya UU tentang wakaf
4. untuk mengetahui sertifikasi tanah wakaf
Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis memberikan pemahaman tentang ilmu yang telah didapatkan
kepada masyarakat khususnya tentang keperdataan Islam.
8
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah
khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam masalah perwakafan di
Indonesia.
3. Secara praktis diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan
wawasan dan pengertian tentang konsep tanah wakaf dan tanah wakaf yang
kembali disengketakan serta prosedur sertifikasi tanah wakaf.
4. Melengkapi khazanah keilmuan tentang Wakaf.
D. Metode penelitian dan Tehnik Penulisan
1. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif
dengan jenis metode deskriptif, sebuah metode untuk mengungkapkan masalah
dengan cara memaparkan atau menggambarkan situasi atau peristiwa dari penelitian.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kedudukan tanah
wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf
sedangkan objek dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Daar el- Hikam
Pondok Ranji Ciputat
3. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan menggunakan data yang terdiri
dari :
9
a. Primer
Adalah data lapangan yang didapat dari sumber utama, misalnya hasil
wawancara, dan pengamatan. Dalam data primer ini penulis melakukan sendiri
pengamatan di lapangan.
b. Data Sekunder
Adalah data yang berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian
ini. Seperti Al-quran, Hadits, kitab-kitab klasik atau kontemporer, Undang-undang,
PP, Inpres, Buku-buku, dan bahan-bahan informasi lainnya yang memiliki relevensi
atau kaitan dengan penulisan skripsi ini.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam tehnik pengumpulan data dengan cara field research ini penulis
menggunakan 3 instrumen pengumpulan data.
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan langsung yaitu tehnik pengumpulan data di
mana peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala subjek yang
diteliti.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses dalam mencari keterangan untuk tujuan penelitian
dengan jalan tanya jawab secara tatap muka antara penanya dan nara sumber, yang
mana dengan wawancara tersebut dapat memberikan informasi yang akurat
sehubungan dengan topik penelitian.
10
c. Dokumentasi
Agar data-data yang telah penulis peroleh menjadi lengkap, penulis
melakukan penelitian dokumentasi dengan jalan meneliti berbagai macam literatur
yang terkait baik itu berupa Dokumen-dokumen tentang wakaf, buku, UU dan lain
sebagainya.
5. Tehnik Analisa Data
Untuk mengolah data yang telah diperoleh penulis menggunakan metode
deskriptif analaisis, yaitu dimana penulis mendekripsikan semua data yang diperoleh
kemudian diklasifikasikan untuk kemudian dianalisis sesuai dengan rumusan masalah
dan tujuan penelitian yang selanjutnya disajikan dalam sebuah laporan ilmiah.
11
E. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh, skripsi ini ditulis
dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Membahas tentang landasan teori mengenai wakaf yang meliputi : dasar
hukum wakaf, rukun dan syarat wakaf, tujuan dan hikmah wakaf.
BAB III PROFIL PONPES DAAR EL HIKAM
Membahas tentang gambaran umum Ponpes Daar el-Hikam, yang
menyangkut : Sejarah berdirinya, tujuan, visi, dan misi, struktur ponpes, dan program
kegiatan.
BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM
TAHUN 2004
Membahas mengenai: kondisi dan situasi perwakafan tanah Indonesia, tanah
wakaf yang tanpa sertifikat menurut hukum Islam dan UU No. 41 tahun 2004 tentang
wakaf, kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan tahun 2004, dan analisa.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab akhir dari skripsi ini yang berupa kesimpulan dan Saran-
saran.
BAB II
A. Pengertian Wakaf
Berbicara mengenai wakaf banyak sekali term atau definisi yang membahas,
mengungkap, mengupas mengenai wakaf baik secara terminologis (bahasa) ataupun
secara etimologis (istilah). Baik itu yang terdapat dalam kitab-kitab klasik,
kontemporer, buku-buku terjemahan dan lain sebagainya. Berikut ini akan dijelaskan
pengertian wakaf menurut Fikih dan Undang-undang yang berlaku.
1. Pengertian Wakaf Menurut Fikih
a. Wakaf Secara Bahasa
Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu-waqfan yang berarti
berhenti, berdiri, mencegah, atau menahan.1 Sedangkan wakaf dalam bahasa arab
berarti ”al-habsu” yan berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan yang berarti
menahan atau memenjarakan. Kemudian berkembang menjadi “habbasa” yang
berarti mewakafkan harta karena Allah.2
Hal yang serupa dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang mana mengartikan
wakaf dengan al-habsu yang berarti menahan.3 Pengertian yang sama juga bisa kita
dapatkan dalam kitab klasik atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning di mana di
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka
Progressif, 1997 ) cet. Ke 25, hal. 1576 2 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 25 3 Sayyid Sabiq, Fiqhu Al-Sunnah, ( Daar al-Kitab al-Arabi, tanpa tahun ) juz 2, hal. 515
12
13
katakana wakaf artinya al-habsu yang berarti menahan, sebagaimana yang dikatakan
dalam hasyiyah Al-Baijuri wakaf diartikan dengan al-habsu yang berarti menahan.4
Hal senada juga diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili dimana kata waqaf dan tahbis
adalah mempunyai makna yang satu yaitu menahan 5
Kalau kita perhatikan dari uraian diatas kata waqafa identik dengan kata
habasa, hal ini dikarenakan para ahli fikih dalam mengartikan wakaf secara
terminologi mereka menggunakan dua kata yaitu habas dan waqaf.6 Dalam kamus al-
wasith dikatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan
al- imsak ( menahan ), hal yang senada juga diungkapkan oleh Az-Zubaidi dalam
kamus Taj Al-Arus sebagaimana dikutip oleh DR. Mundzir Qahaf dimana kata Al-
habsu artinya al- man’u dan al-imsak yang berarti menahan. 7
Kesimpulannya baik kata al-habsu maupun al-waqfu sama sama mengandung
makna al-imsak ( menahan ), al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan at-tamakkust
( diam ). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua
tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Sedangkan dikatakan menahan
4 Syaikh Ibrahim Al- Baajuri, Hasyiyah Al-Baijuri, (Semarang : Toha Putra, tanpa tahun) hal.
42 5 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10,
hal. 7599 6 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta :
Khalifa, 2004 ) hal. 44 7 Ibid. hal. 45
14
karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-
orang yang berhak atas wakaf tersebut.8
b. Wakaf Secara Istilah
Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum).
Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan
perbedaan mazhab yang mereka anut. Ketika mendefinisikan wakaf para ulama
merujuk kepada para imam mazhab. Seperti Abu Hanifah, Syafi’i, Malik, Ahmad,
dan para imam-imam lainnya.9
Definisi wakaf yang dibuat oleh para ahli fikih pada umumnya memasukkan
syarat-syarat wakaf sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Al-Minawi misalnya
mendefinisikan wakaf dengan “menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan
manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiaannya yang berasal
dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata
karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”. 10
Sementara itu Al-Kabisi mendefiniskan wakaf dengan “menahan benda
dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang
miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya“.
8 Ibid. hal. 45 9 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 53
10 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta :
Khalifa, 2004 ) hal. 46
15
Dari dua definisi diatas Al-Minawi yang bermazhab Syafi’i dalam definisinya
mempertegas makna “keabadian” sebagimana dalam mazhab Syafi’i. sedangkan Al-
Kabisi yang bermazhab Hanafi mempertegas makna “masih berlanjutnya kepemilikan
wakif ”, sebagaimana pendapat yang dimunculkan oleh Imam Abu Hanifah.11
Sementara menurut pendapat mazhab Maliki menyebutkan wakaf adalah
“memberikan manfaat sesuatu ketika sesuatu itu ada dan bersifat lazim dalam
kepemilikan pemberinya meskipun hanya bersifat simbolis”.12
Menurut Muhammad ibn Ismail as-san’aniy wakaf adalah menahan harta yang
mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (‘ainnya)
dan digunakan untuk kebaikan.13
Beberapa istilah wakaf menurut istilah yang diuraikan oleh para imam
mazhab.
1. Menurut Mazhab Syafi’i
Para ulama mazhab syafi’i mendefinisikan wakaf dengan beragam definisi,
sebagai berikut :
a. Imam Nawawi dari kalangan mazhab syafi’I, mendefinisikan wakaf dengan :
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya,
sementara benda itu tetap ada dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan
mendekatkan diri kepada Allah.
11 Ibid. hal. 47 12. Ibid. hal. 48 13 Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Editor Hasan M.Noer
dan Musyafa-Ullah, ( Jakarta : Permadani, 2004 ) cet. Ke 1, hal. 127
16
b. Al-Syarbini Al-Khatib dan Ramli Al-Kabir mendefinikan wakaf dengan :
Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan
benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya
untuk hal-hal yang dibolehkan.
c. Ibn Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah mendefinisikannya dengan :
menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta
tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya
untuk hal yang di bolehkan.
d. Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi mendefinisikannya dengan : Menahan harta
untuk dimanfaatkan dalam hal yang dibolehkan, dengan menjaga keutuhan
harta tersebut.14
2. Menurut mazhab Hanafi
a. Imam Al-Syarkhasi mendefinisikan wakaf dengan : Menahan harta dari
jangkauan ( kepemilikan )orang lain.
b. Al-Murghinani memberikan definisi wakaf menurut imam Abu Hanifah
Sebagai berikut : Menahan harta dibawah tangan pemiliknya, disertai
pemberian manfaat sebagai sedekah.
14 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 41
17
c. Sedang alauddin Al-Ashfaqy, pengarang kitab Al-Dur Al-Mukhtar wakaf
adalah : penahanan harta dengan memberikan legalitas hukum milik pada si wakif
dan mendermakan manfaat harta tersebut meskipun tidak terperinci.
3. Menurut Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki wakaf adalah penahanan benda wakaf dari
penggunaan secara kepemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk
tujuan kebaikan. Dengan kata lain wakaf tidak melepaskan harta yang diwakafkan
dari kepemilikan si wakif namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan
yang dapat melepaskan kepemilikannya terhadap harta tersebut. misalnya menjual
harta wakaf tersebut.15
4. Menurut Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah
Ulama Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf sebagai
berikut:
a. Menurut ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah, wakaf adalah menahan
yang asal dan memberikan hasilnya.16
b. Syamsudin Al-Maqdisy dari kalangan Hanabilah juga mendefinisikan wakaf
dengan menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.17
15 Depag, Fiqih Wakaf, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006 )cet ke.4, hal. 2 16 Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al- Muqni, ( Daar ‘Aalim Al-Kutub ) Juz ke 6, hal. 361 17 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 59
18
c. Al-Muhaqiq Al-Huly dari kalangan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf dengan
akad yang hasilnya adalah menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.18
2. Pengertian wakaf menurut hukum Positif Indonesia
Ada beberapa pengertian tentang wakaf yang dirumuskan oleh hukum positif
yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, baik itu berupa UU, PP, maupun
Kompilasi hukum islam atau KHI.
a. Menurut PP No. 28 tahun 1977 pasal 1 (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.19
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam ( KHI )
Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.20
18 Ibid, hal. 59 19 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 26 20 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo,
2007 ) cet.ke 1, hal. 165
19
c. Menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
kepentingan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.21
Kalau kita cermati dari pengertian-pengertian mengenai wakaf yang
diuraikan oleh hukum positif Indonesia yang mengatur masalah wakaf khususnya,
sepertinya redaksional dari pengertian wakaf itu tidak jauh berbeda, baik itu yang ada
di PP, Inpres, KHI, maupun UU no.41 tahun 2004 itu sendiri, baik itu dari segi makna
dan tujuan dari wakaf itu sendiri.
Hal ini terjadi dikarenakan sumber pengambilan rujukan mengenai wakaf
memang berasal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama mazhab, dan memang semua
peraturan mengenai perwakafan yang ada di Indonesia sumber pengambilan
rujukannya bersumber dari hukum Islam yang terpetakan dalam berbagai mazhab
fikih.
Dapat disimpulkan dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna
yang sama yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap, artinya biarpun
faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda itu masih tetap ada selamanya,
sedangkan hak kepemilikannya berakhir, tidak boleh di jual, di wariskan, di hibahkan.
21 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Dirjen Bimas
Islam, 2006 ) hal. 150
20
B. Dasar Hukum Wakaf
Berbicara mengenai dalil atau dasar hukum tentang wakaf memang tidak ada
nash al-Qur’an yang secara tersurat di temui di dalam al-Qur’an .Hal ini bisa diteliti
dari tidak adanya satupun ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung kata “ wakaf “
Karena dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari
pemahaman teks ayat al-Qur’an dan juga as-Sunnah.22
Sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama
disyariatkannya ajaran ini adalah lebih dipahami berdasarkan konteks ayat al-Qur’an,
sebagai sebuah amal kebajikan.23 Ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang
dipahami dan dijadikan hujjah mengenai penetapan dan pensyariatan dalam ibadah
wakaf ini, ayat-ayat tersebut tidak khusus membahas mengenai masalah wakaf,
melainkan dapat mencakup masalah wakaf, begitu menurut kebanyakan para ulama.
Ayat-ayat yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana berikut :
“Wahai orang-orang yang beriman ruku dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan agar kamu termasuk orang-orang yang beruntung”(QS: al-Hajj:77)
22 Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 59
23 Ibid, hal 60
21
Selanjutnya dalam surat Ali-Imran ayat 92 :
☺
⌧
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS: Ali-Imran:92)
Kata (al-birr) pada mulanya adalah keluasan dalam kebajikan. Dan dari akar
kata yang sama daratan dinamai dengan al-barr, karena luasnya. Dan karena luasnya,
kebajikan mencakup segala bidang, termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus,
kegiatan badaniah, dan tentu saja termasuk menginfakkan harta di jalan Allah SWT
sebagaimana dikuatkan dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 177.24
Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang contoh kebajikan sempurna antara lain
berupa kesediaan memberikan/mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain.
Dimana seseorang tidak akan sampai pada kebaikan amal dari Allah SWT dengan
memperoleh rahmat, karunia dan ridhoNya sebelum memberikan harta yang terbaik
dan yang paling ia cintai yaitu dengan jalan mewakafkan sebagian harta yang
dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan.25
24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ( Jakarta :
Lentera Hati, 2002 ) hal. 152 25 Syekh Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, ( Bandung: CV Rosda
Karya, 1987 ) juz 3, hal. 275
22
Selanjutnya Allah SWT juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 261 dan
267 sebagai berikut :
☺⌧
☺
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui “ (QS: Al-Baqarah :261)
☺
☺ ☺
☺
☺ ⌧ ☺
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS: Al-Baqarah: 267)
23
Selain ayat-ayat al-Qur’an, dalil mengenai pensyariatan ibadah wakaf juga
terdapat dalam beberapa hadis nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Wahbah Zuhaili
mengatakan dalam kitabnya bahwa ada dua hadis yang dijadikan sebagai dasar
pensyariatan wakaf, yaitu hadis umar yang terdahulu, “jika kau kehendaki tahanlah
olehmu asalnya dan sedekahkan olehmu hasilnya dan sabda Nabi “jika meninggal
anak adam maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shodaqoh jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. 26
Berikut redaksional dari hadis yang dimaksud :
عن أبي هريرة رضى اهللا تعلى عنه، أن رسول اهللا صلى اهللا عليه صدقة : ا ت ابن آدم إنقطع عنه عمله إال من ثلاث إذا م:وسلم قال
27)رواه مسلم(جارية، أوعلم ينتفع به، أوولد صالح يدعوله
“ Dari Abu hurairah ra,. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “ Apabila anak adam (manusia) meningal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim).
Dalam kitab Nailul Authar di jelaskan bahwa maksud dari shadaqah jariyah
tersebut adalah apa yang dikenal saat ini dengan nama wakaf, dan ibnu hajar berkata
dalam fathul bari bahwa hadis umar ini adalah asal mula disyariatkannya wakaf.28
26 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr: 2007/1428 H ) juz 10,
hal. 7603 27 Al-Hafidz ibnu Hajar al-‘Asqalani, Buluughul Maraam fii Adillatil Ahkam, ( Maktabah
Daar Ihya al-Kutub )tt, hadis ke 951, hal. 191 28 Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadis-hadis Hukum, Penerjemah Mu’ammal Hamidi,
Imran A.M, Umar Fanani, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001) Jilid ke 5, cet ke 3, hal. 2004
24
Sedangkan dalam kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar Al-‘Asqalany,
dijelaskan bahwa shadaqah jariyah adalah rumah, kebun, tanah, atu apa saja yang
dapat digunakan oleh manusia sebagai wakaf, inilah yang dinamakan shadaqah
jariyah, shadaqah yang berjalan terus menerus oleh sebab ini adalah amalnya sendiri
maka ia mendapat ganjarannya selama benda yang ia wakafkan itu masih ada.29
Selain hadis diatas ada hadis yang secara tegas menggambarkan
dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin
Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang berada di khaibar. 30
ان عمر أصاب أرضا بخيبر فأتي النبي : عن ابن عمر رضي اهللا عنه قال
يا رسول اهللا إني اصبت أرضا : ستأمر فيها فقال صلى اهللا عليه وسلم يله رسول اهللا : بخيبر لم أصب ماال قط أنفس عندى منه فما تأمرني به قال
قت بها فتصدق بها صلى اهللا عليه وسلم ، إن شئت حبست أصلها وتصدوتصدق بها في الفقراء : عمر أنها ال تباع وال توهب وال تورث ، قال
وذوي القربى والرقاب وفي سبيل اهللا وابن السبيل ، والضيف ال جناح على 31)رواه مسلم( يأآل منها بالمعروف ويطعم غير متمول من وليها أن
Artinya :
“Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Umar Khattab mendapat bagian sebidang kebun di khaibar. Lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta nasehat tentang harta itu. Ia berkata: “ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah
29 Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Bulughul Maram, terj. oleh A. Hassan, ( Bandung: CV Diponegoro, 2006 ) cet ke 27, hal. 411
30 Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 ) hal. 19
31 Imam Muslim, Shahih Muslim, ( Maktabah Daar Ihya al-Kutub ) tt, Juz II, hal. 14
25
di khaibar yang belum aku pernah aku peroleh tanah seperti itu, apakah nasehat engkau kepadaku tentang tanah itu? Rasulullah menjawab : “jika kamu menginginkan, tahanlah aslinya dan shadakahkan hasilnya. Maka bershadakahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan dan menshadakahkan kepada orang-orang fakir;, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (Nazir) memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan asal tidak bermaksud mencari kekayaan”. (H.R Muslim)
Mengenai hukum wakaf ini, para sahabat sepakat bahwa hukum wakaf sangat
dianjurkan dalam Islam dan tidak satu-pun diantara para sahabat yang menafikan
wakaf. Sedangkan mengenai hukum wakaf menurut shahibul mazhab ( Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal ) tidak terdapat
perbedaan yang signifikan.32
Menurut mereka kecuali ulama Hanafiyah, hukum wakaf adalah mandub
(sunah) sedang menurut Ulama Hanafiyah hukum wakaf adalah mubah (boleh).
Sebab wakaf dari non muslim pun hukumnya sah.
Semua Imam mazhab sependapat, bahwa perbuatan mewakafkan benda, yaitu
menyedekahkan manfaat dari harta yang diwakafkan itu merupakan amal saleh yang
institusinya terdapat dalam syariat islam. Mereka sependapat bahwa perbuatan itu
mempunyai efek keagamaan, yaitu pahala yang terus menerus selama benda yang
diwakafkan itu masih diambil manfaatnya (sebagai amal jariah). 33
42 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta :
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 ) hal.35 33 Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara dan Direktorat
Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, 1992 ) hal. 241
26
1. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Positif
Mengenai masalah wakaf, ada beberapa peraturan dan Undang-undang yang
melandasi atau menjadi pijakan legal atas praktek wakaf yang terjadi di Indonesia.
a. Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang wakaf
Dalam undang-undang ini dapat dijelaskan dalam beberapa substansi di
bawah ini :
1. wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan / atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
2. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan ketentuan ini merupakan
paying hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda wakaf tidak boleh
dicabut kembali atau dikurangi volumenya oleh wakif dengan alas an apapun.
3. Adapun tujuan dari perbuatan wakaf itu sendiri berfungsi untuk menggali
potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan untuk kepentingan
ibadah serta untuk memajukan kesejahteraan umum.
b. Undang-undang pokok agraria (UUPA)
Dalam undang-undang pokok agrarian (UUPA) masalah perwakafan dapat
diketahui pada pasal 5 dan pasal 14 ayat 91 dan pasal 49. dimana dalam pasal UUPA
dinyatakan bahwa hokum adatlah yang menjadi dasar hokum agraria Indonesia, yaitu
27
hokum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan republic
Indonesia yang disana-sini mengandung unsure agama yang telah diresipir dalam
lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.
Dalam rumusan pasal 14 UUPA terkandung perintah kepada pemerintah pusat
dan pemerintah daerah untuk membuat skala prioritas penyedian, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibentuk oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturan tentang
penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya
Sedangkan dalam pasal 49 UUPA meyatakan bahwa hak milik tanah-tanah
badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang
keagamaan social, diakuai dan dilindungi. Perwakafan tanah milik dilindungi dan
diatur dengan peraturan pemerintah dan pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-
soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnyadalam hokum
aagraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
c. Peraturan pemerintah no 28 tahun 1977
Maksud dikeluarkannya PP No 28 tahun 1977 adalah untuk memberikan
jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan
tujuan wakaf itu sendiri. Sehingga berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf
dengan demikian dapat dikurangi.
C. Rukun dan Syarat Wakaf
1. Rukun Wakaf
28
Secara terminologi rukun adalah sisi yang terkuat, sedang secara etimologi
rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, dimana ia
merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri.34 Menurut Abu Hanifah yang
dimaksud dengan rukun adalah bagian dari sesuatu yang mana sesuatu itu tidak akan
terealisasi kecuali dengan bagian itu.35 Sedangkan menurut Jumhur ulama yang
dimaksud dengan rukun adalah tidaklah sempurna sesuatu kecuali dengan sesuatu
tersebut.36
Di dalam literature kitab-kitab fikih klasik, kita dapat menemukan bahwa
rukun wakaf itu ada empat. Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya. Dimana rukun wakaf itu ada empat : 37
a. Wakif ( orang yang mewakafkan )
b. Mauquf bih ( harta yang diwakafkan )
c. Mauquf alaih ( pihak yang di beri wakaf / peruntukan wakaf )
d. Shighat ( ikrar wakaf )
Hal senada juga dikatakan oleh Rachmadi Usman dalam bukunya, dimana
beliau mengatakan rukun atau unsu-unsur wakaf ada 4 yaitu
34 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 87
35 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10,
hal. 7605 36 Ibid, hal. 7606 37 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen
Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal. 21
29
a. adanya orng yang berwakaf (sebagai subjek wakaf) (wakif)
b. adanya benda yang diwakafkan (maukuf bih) (sebagai objek wakaf)
c. adanya penerima wakaf (sebagai subjek wakaf) (nadzir)
d. adanya ‘aqad atau lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan
wakif kepada orang atau tempat berwakaf (si mauquf alaih)
Lebih lanjut lagi dikatakan dalam bukunya beliau, menurut jumhur, mazhab
Syafii, Maliki, dan Hambali dikatakan bahwa rukun wakaf itu ada 4 sebagaimana
disebutkan diatas.38
Di dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, pada pasal 6, disebutkan
bahwa wakaf dapat dilaksanakan jika memenuhi unsur wakaf sebagai berikut : 39
a. Wakif
b. Nazhir
c. Harta benda wakaf
d. Ikrar wakaf
e. Peruntukan harta benda wakaf
f. Jangka waktu wakaf
Selain harus memenuhi rukun-rukun seperti yang disebutkan diatas, sahnya
wakaf juga ditentukan oleh memenuhi syarat atau tidaknya rukun wakaf tersebut.
Dalam UU wakaf yang baru, disebutkan syarat sahnya wakaf.
38 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ) hal.
59 39 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 5
30
Dalam fikih dan UU positip yang berlaku di Indonesia khususnya yang
mengatur tentang wakaf tidak ditemukan sesuatu yang bertentangan mengenai syarat-
syarat wakaf hal ini dikarenakan sumber rujukan dari UU tersebut bersumber dari
kitab-kitab fikih klasik karya para ulama terdahulu. Seperti dalam UU No.41 tahun
2004 yang mengatur tentang wakaf disebutkan secara terperinci mengenai syarat-
syarat sahnya wakif sebagai berikut:40
1. Wakif
Didalam UU ini pada pasal 7 disebutkan bahwa wakif terdiri dari tiga bentuk:
a.) perseorangan
b.) organisasi
c.) badan hukum
Didalam kitab-kitab fikih klasik tidak dikenal wakif selain wakif
perseorangan. Pada pasal 8 dijelaskan wakif peseorangan harus memiliki kriteria :
a.) dewasa
b.) berakal sehat
c.) tidak terhalang dalam melakukan pebuatan hukum
d.) pemilik sah harta benda wakaf
Syarat dalam UU tersebut sedikit berbeda dengan yang ada dalam kitab-kitab
fikih klasik, dimana dalam UU tidak diharuskan wakif harus merdeka, sedangkan
40 Ibid, hal. 5
31
syarat yang senada dengan kitab-kitab fikih klasik adalah seperti yang terdapat dalam
buku fiqih wakaf terbitan Depag, dimana disebutkan syarat wakif itu ada empat : 41
a.) merdeka
b.) berakal sehat
c.) dewasa (baligh)
d.) tidak berada dalam pengampuan
2. Nazhir
Yang dimaksud dengan nazhir adalah pengelola wakaf yang dapat berbentuk
pengelola perseorangan, organisasi atau badan hukum.42 Mengenai nazhir
perseorangan dalam pasal 10 UU wakaf disebutkan harus memenuhi syarat sebagai
berikut :43
a.) warga negara Indonesia
b.) beragama Islam
c.) dewasa
d.) amanah
e.) mampu secara rohani dan jasmani
f.) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
41 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen
Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal . 22 42 CSRC UIN Jakarta dan Ford Foundation, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan (Studi
tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosal di Indonesia), ( Jakarta: CSRC UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, 2006 ) hal. 96
43 Departemen Agama RI, Peraraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 7
32
c. Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 15 disebutkan harta benda wakaf dapat diwakafkan apabila
dimiliki dan dikuasai wakif secara sah. Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan harta
benda wakaf terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak.44 Sedangkan dalam fikih
dijelaskan syarat harta wakaf harus : 45
a.) harus mutaqawwam
b.) diketahui dengan yakin ketika diwakafkan (tidak ada sengketa)
c.) milik sempurna wakif
d.) terpisah, bukan milik bersama
d. Ikrar Wakaf
Ikrar dalam bahasa fikih dikenal dengan shighat, yaitu segala ucapan, tulisan
atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan
apa yang diinginkannya.46 Dalam hal ini (wakaf) berarti keinginan atau kehendak
mewakafkan sesuatu yang keluar dari si wakif. Status shighat sendiri termasu
kedalam rukun wakaf.
Dalam UU wakaf, masalah ikrar diatur dalam pasal 17, dimana dinyatakan
bahwa ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW dengan
44 Ibid, hal. 9 45 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen
Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal. 27 46 Ibid, hal. 55
33
disaksikan oleh dua orang saksi (ayat 1). Dalam ayat 2 dijelaskan ikrar bisa berupa
lisan dan tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
e. Peruntukan Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 22 UU wakaf tahun 2004 dijelaskan dalam rangka mencapai
tujuan dan fungsi dari wakaf itu sendiri, maka peruntukan harta benda wakaf hanya
untuk : 47
a.) sarana dan kegiatan ibadah
b.) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c.) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;
d.) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e.) kemajuan dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
D. TUJUAN DAN HIKMAH WAKAF
Setiap mukallaf yang melakkan suatu perbuatan pasti mempunyai tujuan dan
maksud tertentu, begitu juga dengan wakaf, ia juga mempunya tujuan dan hikmah.
Mengenai masalah tujuan dari wakaf telah dibahas dalam pasal 22 UU tentang wakaf.
Setiap perbuatan yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada mahluknya baik
berupa perintah ataupun larangan, pasti mempunyai hikmah dan manfaat bagi
kehidupan manusia khususnya bagi umat Islam. Ibadah wakaf yang tergolong pada
47 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 13
34
perbuatan sunnah ini banyak sekali hikmah yang terkandung di dalam ibadah wakaf
ini, antara lain:48
a.) Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin
kelangsungannya, tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan,
karena barang wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwairskan.
b.) pahala dan keuntungan akan tetap mengalir bagi si wakif, walaupu ia telah
meninggal dunia, selagi benda wakaf itu ada dan masih bisa dimanfaatkan.
c.) penopang dan penggerak kehidupan sosial kemasyarakatnumat Islam, baik
aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya yang tidak bertentanan
dengan syariat Islam.
d.) wakaf merupakan salah satu ssumber dana yang sangat penting manfaatnya
bagi kehidupan dan umat. Antara lain untuk pembangunan mental, spiritual,
dan pembangunan dari segi fisik, selain itu selain mempunyai fungsi ibadah
juga mempunyai fungsi sosial. Dimana diharapkan dengan wakaf jurang
antara si miskin dan si kaya akan semakin menipis. 49
e.) selain itu wakaf juga mempunyai fungsi sosial yaitu wakaf merupakan aset
yang sangat bernilai bagi pembangunan sosial yang tidak memperhitungkan
jangka waktu dan keuntungan materi bagi orang yang mewakafkan.
48 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Ciputat : Ciputat Press, 2005 ) hal. 40 49 Ibid, hal 41
35
f.) selain itu dengan dana wakaf dapat menyantuni fakir miskin dan dapat
dibangun berbagai lembaga-lembaga sosial, rumah-rumah sakit, dan panti-
panti asuhan.50
50 Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, ( Jakarta, Dirjen Bimas Islam,
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006 ) hal. 80
BAB I
LATAR BELAKANG MASALAH
A. Pendahuluan
Allah SWT menurunkan Agama Islam ke Dunia ini melalui rasulnya yang
mulia yaitu Muhammad SAW, sebagai Agama yang rahmatan lil alamin, dalam artian
islam berlaku bagi seluruh alam tak terkecuali manusia itu sendiri yang notabene
telah Allah jadikan sebagai khalifah fil ardh.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, sudah barang tentu menyentuh
seluruh dimensi-dimensi kehidupan manusia yang sangat kompleks. Islam juga
mengatur aspek-aspek kehidupan manusia yang kadang manusia itu sendiri tidak
memahaminya bahwa aspek tesebut sangat penting bagi manusia itu sendiri. Dari
urusan-urusan yang bernilai kecil sampai yang bernilai besar, dari urusan bangun
tidur hingga ingin tidur kembali, semuanya diatur oleh islam. Pokoknya tiada satu hal
pun yang terabaikan dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak diatur oleh
Islam. Makanya tidak bertentangan dengan fakta dan logika, jika Islam adalah agama
yang sempurna, kaffah, dan agama paripurna bagi agama sebelumnya.
Sebagai agama yang mengatur urusan dunia dan akhirat sudah pastinya semua
perbuatan itu tak terlepas dari perbuatan yang bernilai ibadah, baik itu ibadah yang
bersifat mahdhoh ataupun yang bersifat ghoiru mahdhoh. Atau dengan kata lain
ibadah yang bersifat vertikal, antara si hamba dengan penciptanya, yang dalam
terminologi islam biasa disebut dengan hablum minallah, Maupun ibadah yang
bersifat horizontal yaitu antara si hamba dengan sesama mahluk ciptaan sang Khalik.
Berbicara mengenai ibadah, maka sudah pastinya ibadah tersebut mempunyai
tujuan pokok dan tujuan tambahan. Tujuan pokok ibadah adalah menghadapkan diri
kepada Allah yang Maha Esa dan mengkonsentrasikan niat kepadanya dalam setiap
keadaan. Dengan demikian seseorang akan mencapai derajat tertinggi di akhirat.
Sedangkan tujuan tambahan ibadah adalah agar terciptanya kemaslahatan diri
manusia dan terwujudnya usaha yang baik.1
Seperti dijelaskan diatas dalam agama Islam ada ibadah yang berimplikasi
personal dan ada juga ibadah yang berimplikasi sosial, ibadah yang tergolong
berimplikasi personal seperti, shalat, dzikir, puasa dan sebagainya. Sedangkan ibadah
yang berimplikasi sosial diantaranya adalah wakaf, dan ibadah yang terakhir ini
implikasinya adalah jika kita melakukannya, selain untuk kemaslahatan personal
orang yang melakukannya juga berimplikasi bagi kemaslahatan masyarakat yang
menerima dan membutuhkannya dan pesan sosialnya jelas terasa.
Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh Islam adalah wakaf. Wakaf
merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari hukum islam, ia mempunyai
jalinan hubungan antara kehidupan spiritual dengan bidang sosial ekonomi
masyarakat muslim. Wakaf selain berdimensi ilahiyah ubudiyah, Ia juga berfungsi
sosial kemasyarakatan, ibadah wakaf merupakan manifestasi dari rasa keimanan
1 A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqih Ibadah. (Jakarta: Gaya Media Pratama )
seseorang yang mantap dan rasa sosialitas yang tinggi terhadap sesama umat
manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “ hablum minallah wa hablum minannas”,
hubungan vertikal kepada Allah SWT dan hubungan horizontal kepada sesama
manusia.2
Berbicara mengenai wakaf, banyak sekali term atau definisi tentang wakaf
yang diungkapkan oleh para ulama, Undang-undang, baik yang terdapat dalam kitab
klasik, kontemporer, maupun buku[buku. Dalam kitab hasyiyah baijuri, wakaf arti
wakaf secara bahasa adalah al-habs (menahan), Sedangkan secara istilah adalah
menahan harta yang tertentu, yang menerima pemindahan dimana memungkinkan
pengambilan manfaat dari harta tersebut.yang mana harta itu tetap utuh dan tidak
berkurang sedikitpun dan adanya kepastian mendayagunakan harta itu pada jalan
kebaikan karena semata-mata beribadah kepada Allah SWT.3
Sedang dalam kitab fathul mu’in definisi wakaf diartikan secara lughoh atau
bahasa adalah menahan, sedang secara istilah adalah menahan harta yang
memungkinkan pengambilan manfaat dan hartanya tetap utuh dengan kepastian
mendayagunakan atas pendayagunaan yang dibolehkan.4
2 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press.2005) hal 3 3 Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, (Semarang Toha
Putra) hal.42
4 Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al- Malibary, Fathul Mu’in (Daar Ihya al-Kutub al- Arabiyyah, Indonesia) hal.87
Dalam perkembangan selanjutnya adalah wakaf menurut Ulama-ulama fiqh,
para ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf menurut istilah,
sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berikut
ini berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah5 :
a. Mazhab Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif,
dalam rangka mempergunakan manfaatnya guna untuk kebajikan. Berdasarkan
definisi tersebut maka kepemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia
dibenarkan menariknya kembali bahkan menjualnya, dan jika si wakif meninggal
dunia harta tersebut menjadi harta warisan untuk ahli warisnya. Jadi yang timbul dari
wakaf adalah menyumbangkan manfaat, oleh karenanya mazhab Hanafi
mendefinisikan wakaf dengan:
adalah tidak melakukan tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap sebagai hak
milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial) baik
sekarang ataupun akan datang.
b. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan si wakif. Namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannyaatas harta tersebut
kepada yang lain, dan wakif berkewajiban mnyedekahkan manfaatnya serta tidak
boleh menarik kembali manfaatnya.
5 Fiqih Wakaf, ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimas Islam Depag RI. 2006 )
c. Mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif. Setelah sempurna prosedur perwakafan wakif
tidak boleh melakukan apapun terhadap harta yang diwakafkan. Jika si wakif wafat,
harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisioleh ahli warisnya. Oleh karenya
mazhab Syafii mendefinisikan wakaf dengan : tidak melakukan suatu tindakan atas
suatu benda yang berstatus milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya
kepada suatu kebajikan ( sosial ).
Kemudian dalam Undang-undang hukum positif di Indonesia ada beberapa
peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah wakaf seperti :
a. PP no. 28 tahun 1977 (pasal 1b)
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya.6
b.UU no.41 tahun 2004 Tentang Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
6 Depag RI, Peraturan Perundangan Perwakafan ( Dirjen Bimas Islam 2006 ) hal.150
untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.7
c. Menurut KHI pasal 215 (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna keperluan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan
ajaran islam. 8
Dalam perkembangan selanjutnya praktek wakaf yang dilakukan di Indonesia
masih sangat bersifat tradisionalis, ini bisa dilihat dari masih banyaknya masyarakat
muslim indonesia yang dalam berwakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan
keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini
wakaf, masih menggunakan tradisi lisan, yang mana atas dasar saling kepercayaan
semata kepada seseorang atau lembaga tertentu. Kebiasaan memandang wakaf
sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat Tuhan tanpa harus melalui
prosedur administratif. Dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja
tidak akan berani mengganggu gugat, apalagi mengambilnya tanpa seijin Allah SWT.
Tradisi wakaf tersebut memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan
perwakafan di indonesia tidak mengalami perkembangan yang signifikan dan
menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak, bahkan banyak benda wakaf
7 Ibid, hal. 2 8 Depag RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf .(Direktorat Pemberdayaan
Wakaf Dirjen Bimas Islam. Jakarta 2006) hal. 38
yang hilang atau bersengketa dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis
seperti ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain. 9
Dalam masalah perwakafan banyak sekali ditemui kasus-kasus sengketa tanah
wakaf, baik itu sengketa intern maupun ekstern. Misalnya dalam sengketa intern
adalah karena adanya suatu kepentingan ahli waris si wakif menarik kembali tanah
yang telah di wakafkan. Sehingga menimbulkan sengketa antara ahli waris dengan
pihak pengelola yaitu nazhir. Kalau kita fahami mengapa kasus-kasus seperti diatas
banyak terjadi, benang merahnya adalah karena ketiadaan sertifikat wakaf, sehingga
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab melihat ini sebagai sebuah peluang untuk
merebut tanah wakaf yang belum atau tidak mempunyai sertifikat wakaf.
Berbicara mengenai sertifikat wakaf sudah tentunya takkan terlepas dari
peraturan perundang undangan yang mengaturnya, di indonesia ada beberapa
peraturan yang mengatur tentang masalah wakaf, baik berbentuk PP, Inpres dan UU
bermula dari PP no.7 tahun 1977, Inpres no.21 tahun 1991 dan yang terbaru UU
no.41 tahun 2004 tentang wakaf. Dengan adanya Undang-undang yang baru tersebut
semakin memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf. Tersebab adanya jaminan
kepastian hukum karena ada UU yang memayunginya. Yang jadi permasalahan
sekarang adalah bagaimanakah kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf ? mungkin untuk tanah wakaf yang
didaftarkan sesudah berlakunya UU ini tak jadi masalah, apakah masih terikat dengan
9 Paradigma baru wakaf di Indonesia, ( Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas
Islam: 2006 ) hal 98.
peraturan lama, atau mengikut pada UU yang baru? apakah UU yang baru dalam hal
ini UU no.41 tahun 2004 tentang wakaf mengakomodasi permasalahan ini?
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, penulis berpikir sungguh
sangat menarik mengkaji masalah ini lebih lanjut ke dalam sebuah penelitian dan
menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul: “KEDUDUKAN TANAH
WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM BERLAKUNYA UU NO. 41
TAHUN 2004 TENTANG WAKAF ( Studi Pada Ponpes Daar el-Hikam Pondok
Ranji Ciputat )
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah merupakan usaha untuk menetapkan batasan-batasan
dari masalah penelitian yang akan diteliti, batasan masalah ini berguna untuk
identifikasi faktor mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah
penelitian.
Selanjutnya dalam penelitian ini, mengingat objek yang akan diteliti
cakupannya sangat luas, maka penulis memberi batasan hanya pada kedudukan tanah
wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ialah usaha untuk menyatakan secara tersirat pertanyaan
penelitian apa saja yang perlu dijawab dan dicarikan jalan pemecahan masalahnya.
Perumusan masalah merupakan identifikasi dari masalah dan pembatasan masalah,
dengan kata lain perumusan masalah merupakan pertanyaan yang lengkap dan rinci
mengenai ruang lingkup masalah yang akan diteliti yang didasarkan atas identifikasi
masalah dan pembatasan masalah.
Selanjutnya untuk mempermudah dalam penyusunannya maka perlu
dirumuskan permasalahan dalam skripsi ini yang mana tertuang dalam pernyataan
sebagai berikut
1. Bagaimana konsep wakaf dalam Islam ?
2. Bagaimana konsep hukum positip mengenai tanah wakaf ?
3. Bagaimana kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU
No.41 Tahun 2004 tentang wakaf ?
4. Bagaimana sertifikasi tanah wakaf ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk menjelaskan tentang konsep wakaf dalam Islam
2. Untuk menjelaskan konsep wakaf menurut hukum Positip
3. Untuk menjelaskan kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya UU tentang wakaf
4. untuk mengetahui pensertifikasian tanah wakaf
Sedangkan manfaat yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. bagi penulis memberikan pemahaman tentang ilmu yang telah didapatkan
kepada masyarakat khususnya tentang keperdataan Islam.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah
khazanah ilmu pengetahuan, terutama dalam masalah perwakafan di
Indonesia.
3. Secara praktis diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan
wawasan dan pengertian tentang konsep tanah wakaf dan tanah wakaf yang
kembali disengketakan serta prosedur sertifikasi tanah wakaf.
4. Melengkapi khazanah keilmuan tentang Wakaf.
D. Metode penelitian dan Tehnik Penulisan
1. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif
dengan jenis metode deskriptif, sebuah metode untuk mengungkapkan masalah
dengan cara memaparkan atau menggambarkan situasi atau peristiwa dari penelitian.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Adapun yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah kedudukan tanah
wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf
sedangkan objek dalam penelitian ini adalah Pondok Pesantren Daar el- Hikam
Pondok Ranji Ciputat
3. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan menggunakan data yang terdiri
dari :
a. Primer
Adalah data lapangan yang didapat dari sumber utama, misalnya hasil
wawancara, dan pengamatan. Dalam data primer ini penulis melakukan sendiri
pengamatan di lapangan.
b. Data Sekunder
Adalah data yang berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian
ini. Seperti Al-quran, Hadits, kitab-kitab klasik atau kontemporer, Undang-undang,
PP, Inpres, Buku-buku, dan bahan-bahan informasi lainnya yang memiliki relevensi
atau kaitan dengan penulisan skripsi ini.
4. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam tehnik pengumpulan data dengan cara field research ini penulis
menggunakan 3 instrumen pengumpulan data.
a. Observasi
Observasi adalah pengamatan langsung yaitu tehnik pengumpulan data di
mana peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala subjek yang
diteliti.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses dalam mencari keterangan untuk tujuan penelitian
dengan jalan tanya jawab secara tatap muka antara penanya dan nara sumber, yang
mana dengan wawancara tersebut dapat memberikan informasi yang akurat
sehubungan dengan topik penelitian.
c. Dokumentasi
Agar data-data yang telah penulis peroleh menjadi lengkap, penulis
melakukan penelitian dokumentasi dengan jalan meneliti berbagai macam literatur
yang terkait baik itu berupa Dokumen-dokumen tentang wakaf, buku, UU dan lain
sebagainya.
5. Tehnik Analisa Data
Untuk mengolah data yang telah diperoleh penulis menggunakan metode
deskriptif analaisis, yaitu dimana penulis mendekripsikan semua data yang diperoleh
kemudian diklasifikasikan untuk kemudian dianalisis sesuai dengan rumusan masalah
dan tujuan penelitian yang selanjutnya disajikan dalam sebuah laporan ilmiah.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang utuh dan menyeluruh, skripsi ini ditulis
dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang diawali dengan latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Membahas tentang landasan teori mengenai wakaf yang meliputi : dasar
hukum wakaf, rukun dan syarat wakaf, tujuan dan hikmah wakaf.
BAB III PROFIL PONPES DAAR EL HIKAM
Membahas tentang gambaran umum Ponpes Daar el-Hikam, yang
menyangkut : Sejarah berdirinya, tujuan, visi, dan misi, struktur ponpes, dan program
kegiatan.
BAB IV KEDUDUKAN TANAH WAKAF YANG DIDAFTARKAN SEBELUM
TAHUN 2004
Membahas mengenai: kondisi dan situasi perwakafan tanah Indonesia, tanah
wakaf yang tanpa sertifikat menurut hukum Islam dan UU No. 41 tahun 2004 tentang
wakaf, kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan tahun 2004, dan analisa.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab akhir dari skripsi ini yang berupa kesimpulan dan Saran-
saran.
BAB II
A. Pengertian Wakaf
Berbicara mengenai wakaf banyak sekali term atau definisi yang membahas,
mengungkap, mengupas mengenai wakaf baik secara terminologis (bahasa) ataupun
secara etimologis (istilah). Baik itu yang terdapat dalam kitab-kitab klasik,
kontemporer, buku-buku terjemahan dan lain sebagainya. Berikut ini akan dijelaskan
pengertian wakaf menurut Fikih dan Undang-undang yang berlaku.
1. Pengertian Wakaf Menurut Fikih
a. Wakaf Secara Bahasa
Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqafa-yaqifu-waqfan yang berarti
berhenti, berdiri, mencegah, atau menahan.10 Sedangkan wakaf dalam bahasa arab
berarti ”al-habsu” yan berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan yang berarti
menahan atau memenjarakan. Kemudian berkembang menjadi “habbasa” yang
berarti mewakafkan harta karena Allah.11
Hal yang serupa dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang mana mengartikan
wakaf dengan al-habsu yang berarti menahan.12 Pengertian yang sama juga bisa kita
dapatkan dalam kitab klasik atau yang lebih dikenal dengan kitab kuning di mana di
10 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, ( Surabaya : Pustaka
Progressif, 1997 ) cet. Ke 25, hal. 1576 11 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 25 12 Sayyid Sabiq, Fiqhu Al-Sunnah, ( Daar al-Kitab al-Arabi, tanpa tahun ) juz 2, hal. 515
katakana wakaf artinya al-habsu yang berarti menahan, sebagaimana yang dikatakan
dalam hasyiyah Al-Baijuri wakaf diartikan dengan al-habsu yang berarti menahan.13
Hal senada juga diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili dimana kata waqaf dan tahbis
adalah mempunyai makna yang satu yaitu menahan 14
Kalau kita perhatikan dari uraian diatas kata waqafa identik dengan kata
habasa, hal ini dikarenakan para ahli fikih dalam mengartikan wakaf secara
terminologi mereka menggunakan dua kata yaitu habas dan waqaf.15 Dalam kamus
al-wasith dikatakan bahwa al-habsu artinya al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan
al- imsak ( menahan ), hal yang senada juga diungkapkan oleh Az-Zubaidi dalam
kamus Taj Al-Arus sebagaimana dikutip oleh DR. Mundzir Qahaf dimana kata Al-
habsu artinya al- man’u dan al-imsak yang berarti menahan. 16
Kesimpulannya baik kata al-habsu maupun al-waqfu sama sama mengandung
makna al-imsak ( menahan ), al-man’u ( mencegah atau melarang ) dan at-tamakkust
( diam ). Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua
tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Sedangkan dikatakan menahan
13 Syaikh Ibrahim Al- Baajuri, Hasyiyah Al-Baijuri, (Semarang : Toha Putra, tanpa tahun) hal.
42 14 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10,
hal. 7599 15 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta :
Khalifa, 2004 ) hal. 44 16 Ibid. hal. 45
karena manfaat dan hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-
orang yang berhak atas wakaf tersebut.17
b. Wakaf Secara Istilah
Para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum).
Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan
perbedaan mazhab yang mereka anut. Ketika mendefinisikan wakaf para ulama
merujuk kepada para imam mazhab. Seperti Abu Hanifah, Syafi’i, Malik, Ahmad,
dan para imam-imam lainnya.18
Definisi wakaf yang dibuat oleh para ahli fikih pada umumnya memasukkan
syarat-syarat wakaf sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Al-Minawi misalnya
mendefinisikan wakaf dengan “menahan harta benda yang dimiliki dan menyalurkan
manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiaannya yang berasal
dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata
karena ingin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”. 19
Sementara itu Al-Kabisi mendefiniskan wakaf dengan “menahan benda
dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang
miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya“.
17 Ibid. hal. 45 18 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 53
19 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Penerjemah Muhyiddin Mas Rida, ( Jakarta :
Khalifa, 2004 ) hal. 46
Dari dua definisi diatas Al-Minawi yang bermazhab Syafi’i dalam definisinya
mempertegas makna “keabadian” sebagimana dalam mazhab Syafi’i. sedangkan Al-
Kabisi yang bermazhab Hanafi mempertegas makna “masih berlanjutnya kepemilikan
wakif ”, sebagaimana pendapat yang dimunculkan oleh Imam Abu Hanifah.20
Sementara menurut pendapat mazhab Maliki menyebutkan wakaf adalah
“memberikan manfaat sesuatu ketika sesuatu itu ada dan bersifat lazim dalam
kepemilikan pemberinya meskipun hanya bersifat simbolis”.21
Menurut Muhammad ibn Ismail as-san’aniy wakaf adalah menahan harta yang
mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya (‘ainnya)
dan digunakan untuk kebaikan.22
Beberapa istilah wakaf menurut istilah yang diuraikan oleh para imam
mazhab.
1. Menurut Mazhab Syafi’i
Para ulama mazhab syafi’i mendefinisikan wakaf dengan beragam definisi,
sebagai berikut :
a. Imam Nawawi dari kalangan mazhab syafi’I, mendefinisikan wakaf dengan :
menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya,
sementara benda itu tetap ada dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan
mendekatkan diri kepada Allah.
20 Ibid. hal. 47 21. Ibid. hal. 48 22 Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam Dan Pluralitas Sosial, Editor Hasan M.Noer
dan Musyafa-Ullah, ( Jakarta : Permadani, 2004 ) cet. Ke 1, hal. 127
b. Al-Syarbini Al-Khatib dan Ramli Al-Kabir mendefinikan wakaf dengan :
Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan
benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya
untuk hal-hal yang dibolehkan.
c. Ibn Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah mendefinisikannya dengan :
menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta
tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemiliknya
untuk hal yang di bolehkan.
d. Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi mendefinisikannya dengan : Menahan harta
untuk dimanfaatkan dalam hal yang dibolehkan, dengan menjaga keutuhan
harta tersebut.23
2. Menurut mazhab Hanafi
a. Imam Al-Syarkhasi mendefinisikan wakaf dengan : Menahan harta dari
jangkauan ( kepemilikan )orang lain.
b. Al-Murghinani memberikan definisi wakaf menurut imam Abu Hanifah
Sebagai berikut : Menahan harta dibawah tangan pemiliknya, disertai
pemberian manfaat sebagai sedekah.
23 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 41
c. Sedang alauddin Al-Ashfaqy, pengarang kitab Al-Dur Al-Mukhtar wakaf
adalah : penahanan harta dengan memberikan legalitas hukum milik pada si wakif
dan mendermakan manfaat harta tersebut meskipun tidak terperinci.
3. Menurut Mazhab Maliki
Menurut mazhab Maliki wakaf adalah penahanan benda wakaf dari
penggunaan secara kepemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk
tujuan kebaikan. Dengan kata lain wakaf tidak melepaskan harta yang diwakafkan
dari kepemilikan si wakif namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan
yang dapat melepaskan kepemilikannya terhadap harta tersebut. misalnya menjual
harta wakaf tersebut.24
4. Menurut Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah
Ulama Hanabilah, Syiah, dan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf sebagai
berikut:
a. Menurut ibnu Qudamah dari kalangan Hanabilah, wakaf adalah menahan
yang asal dan memberikan hasilnya.25
b. Syamsudin Al-Maqdisy dari kalangan Hanabilah juga mendefinisikan wakaf
dengan menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.26
24 Depag, Fiqih Wakaf, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2006 )cet ke.4, hal. 2 25 Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al- Muqni, ( Daar ‘Aalim Al-Kutub ) Juz ke 6, hal. 361 26 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 59
c. Al-Muhaqiq Al-Huly dari kalangan Ja’fariyah mendefinisikan wakaf dengan
akad yang hasilnya adalah menahan yang asal dan memberikan manfaatnya.27
2. Pengertian wakaf menurut hukum Positif Indonesia
Ada beberapa pengertian tentang wakaf yang dirumuskan oleh hukum positif
yang mengatur masalah perwakafan di Indonesia, baik itu berupa UU, PP, maupun
Kompilasi hukum islam atau KHI.
a. Menurut PP No. 28 tahun 1977 pasal 1 (1)
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.28
b. Menurut Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 menyatakan :
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.29
27 Ibid, hal. 59 28 Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2002 ) hal. 26 29 Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran Hukum, dan
Perkembngannya, ( Bandung : Yayasan Piara, 1995 ) hal. 7
c. Menurut Kompilasi Hukum Islam ( KHI )
Perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.30
d. Menurut UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan / atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
kepentingan ibadah dan / atau kesejahteraan umum menurut syariah.31
Kalau kita cermati dari pengertian-pengertian mengenai wakaf yang
diuraikan oleh hukum positif Indonesia yang mengatur masalah wakaf khususnya,
sepertinya redaksional dari pengertian wakaf itu tidak jauh berbeda, baik itu yang ada
di PP, Inpres, KHI, maupun UU no.41 tahun 2004 itu sendiri, baik itu dari segi makna
dan tujuan dari wakaf itu sendiri.
Hal ini terjadi dikarenakan sumber pengambilan rujukan mengenai wakaf
memang berasal dari kitab-kitab klasik ulama-ulama mazhab, dan memang semua
peraturan mengenai perwakafan yang ada di Indonesia sumber pengambilan
30 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akademika Pressindo,
2007 ) cet.ke 1, hal. 165 31 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Dirjen Bimas
Islam, 2006 ) hal. 150
rujukannya bersumber dari hukum Islam yang terpetakan dalam berbagai mazhab
fikih.
Dapat disimpulkan dari definisi di atas pada dasarnya mengandung makna
yang sama yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap, artinya biarpun
faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda itu masih tetap ada selamanya,
sedangkan hak kepemilikannya berakhir, tidak boleh di jual, di wariskan, di hibahkan.
B. Dasar Hukum Wakaf
Berbicara mengenai dalil atau dasar hukum tentang wakaf memang tidak ada
nash al-Qur’an yang secara tersurat di temui di dalam al-Qur’an .Hal ini bisa diteliti
dari tidak adanya satupun ayat di dalam al-Qur’an yang menyinggung kata “ wakaf “
Karena dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari
pemahaman teks ayat al-Qur’an dan juga as-Sunnah.32
Sedangkan pendasaran ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama
disyariatkannya ajaran ini adalah lebih dipahami berdasarkan konteks ayat al-Qur’an,
sebagai sebuah amal kebajikan.33 Ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang
dipahami dan dijadikan hujjah mengenai penetapan dan pensyariatan dalam ibadah
wakaf ini, ayat-ayat tersebut tidak khusus membahas mengenai masalah wakaf,
melainkan dapat mencakup masalah wakaf, begitu menurut kebanyakan para ulama.
Ayat-ayat yang dimaksud tersebut adalah sebagaimana berikut :
32 Departemen Agama RI, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, ( Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 59 33 Ibid, hal 60
“Wahai orang-orang yang beriman ruku dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan agar kamu termasuk orang-orang yang beruntung”(QS: al-Hajj:77)
Selanjutnya dalam surat Ali-Imran ayat 92 :
☺
⌧
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS: Ali-Imran:92)
Kata (al-birr) pada mulanya adalah keluasan dalam kebajikan. Dan dari akar
kata yang sama daratan dinamai dengan al-barr, karena luasnya. Dan karena luasnya,
kebajikan mencakup segala bidang, termasuk keyakinan yang benar, niat yang tulus,
kegiatan badaniah, dan tentu saja termasuk menginfakkan harta di jalan Allah SWT
sebagaimana dikuatkan dengan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 177.34
Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang contoh kebajikan sempurna antara lain
berupa kesediaan memberikan/mengorbankan kepentingan pribadi demi orang lain.
34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, ( Jakarta :
Lentera Hati, 2002 ) hal. 152
Dimana seseorang tidak akan sampai pada kebaikan amal dari Allah SWT dengan
memperoleh rahmat, karunia dan ridhoNya sebelum memberikan harta yang terbaik
dan yang paling ia cintai yaitu dengan jalan mewakafkan sebagian harta yang
dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan.35
Selanjutnya Allah SWT juga berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 261 dan
267 sebagai berikut :
☺⌧
☺
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui “ (QS: Al-Baqarah :261)
☺
☺ ☺
☺
☺ ⌧ ☺
35 Syekh Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, ( Bandung: CV Rosda Karya, 1987 ) juz 3, hal. 275
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS: Al-Baqarah: 267)
Selain ayat-ayat al-Qur’an, dalil mengenai pensyariatan ibadah wakaf juga
terdapat dalam beberapa hadis nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Wahbah Zuhaili
mengatakan dalam kitabnya bahwa ada dua hadis yang dijadikan sebagai dasar
pensyariatan wakaf, yaitu hadis umar yang terdahulu, “jika kau kehendaki tahanlah
olehmu asalnya dan sedekahkan olehmu hasilnya dan sabda Nabi “jika meninggal
anak adam maka terputuslah amalnya kecuali 3 hal, shodaqoh jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. 36
Berikut redaksional dari hadis yang dimaksud :
رة رضى اهللا تعلى عنه، أن رسول اهللا صلى اهللا عليه عن أبي هريصدقة : إذا ما ت ابن آدم إنقطع عنه عمله إال من ثلاث:وسلم قال
37)ه مسلمروا(جارية، أوعلم ينتفع به، أوولد صالح يدعوله
“ Dari Abu hurairah ra,. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “ Apabila anak adam (manusia) meningal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim).
36 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr: 2007/1428 H ) juz 10,
hal. 7603 37 Al-Hafidz ibnu Hajar al-‘Asqalani, Buluughul Maraam fii Adillatil Ahkam, ( Maktabah
Daar Ihya al-Kutub )tt, hadis ke 951, hal. 191
Dalam kitab Nailul Authar di jelaskan bahwa maksud dari shadaqah jariyah
tersebut adalah apa yang dikenal saat ini dengan nama wakaf, dan ibnu hajar berkata
dalam fathul bari bahwa hadis umar ini adalah asal mula disyariatkannya wakaf.38
Sedangkan dalam kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar Al-‘Asqalany,
dijelaskan bahwa shadaqah jariyah adalah rumah, kebun, tanah, atu apa saja yang
dapat digunakan oleh manusia sebagai wakaf, inilah yang dinamakan shadaqah
jariyah, shadaqah yang berjalan terus menerus oleh sebab ini adalah amalnya sendiri
maka ia mendapat ganjarannya selama benda yang ia wakafkan itu masih ada.39
Selain hadis diatas ada hadis yang secara tegas menggambarkan
dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW kepada Umar bin
Khattab untuk mewakafkan tanahnya yang berada di khaibar. 40
أصاب أرضا بخيبر فأتي النبي ان عمر : عن ابن عمر رضي اهللا عنه قال
يا رسول اهللا إني اصبت أرضا : صلى اهللا عليه وسلم يستأمر فيها فقال له رسول : بخيبر لم أصب ماال قط أنفس عندى منه فما تأمرني به قال
هللا صلى اهللا عليه وسلم ، إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها فتصدق اوتصدق بها في الفقراء : بها عمر أنها ال تباع وال توهب وال تورث ، قال
اهللا وابن السبيل ، والضيف ال جناح وذوي القربى والرقاب وفي سبيل
38 Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadis-hadis Hukum, Penerjemah Mu’ammal Hamidi,
Imran A.M, Umar Fanani, ( Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001) Jilid ke 5, cet ke 3, hal. 2004 39 Ibnu Hajar Al-‘Asqalany, Bulughul Maram, terj. oleh A. Hassan, ( Bandung: CV
Diponegoro, 2006 ) cet ke 27, hal. 411 40 Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, ( Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 ) hal. 19
رواه (على من وليها أن يأآل منها بالمعروف ويطعم غير متمول 41٤١)مسلم
Artinya :
“Dari Ibnu Umar r.a bahwasanya Umar Khattab mendapat bagian sebidang kebun di khaibar. Lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk meminta nasehat tentang harta itu. Ia berkata: “ya Rasulullah, aku telah memperoleh sebidang tanah di khaibar yang belum aku pernah aku peroleh tanah seperti itu, apakah nasehat engkau kepadaku tentang tanah itu? Rasulullah menjawab : “jika kamu menginginkan, tahanlah aslinya dan shadakahkan hasilnya. Maka bershadakahlah Umar, tanah tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan dan menshadakahkan kepada orang-orang fakir;, budak-budak, pejuang di jalan Allah, Ibnu Sabil, dan tamu-tamu. Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (Nazir) memakan sebagian harta itu secara patut atau memberi makan asal tidak bermaksud mencari kekayaan”. (H.R Muslim)
Mengenai hukum wakaf ini, para sahabat sepakat bahwa hukum wakaf sangat
dianjurkan dalam Islam dan tidak satu-pun diantara para sahabat yang menafikan
wakaf. Sedangkan mengenai hukum wakaf menurut shahibul mazhab ( Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal ) tidak terdapat
perbedaan yang signifikan.42
Menurut mereka kecuali ulama Hanafiyah, hukum wakaf adalah mandub
(sunah) sedang menurut Ulama Hanafiyah hukum wakaf adalah mubah (boleh).
Sebab wakaf dari non muslim pun hukumnya sah.
41 Imam Muslim, Shahih Muslim, ( Maktabah Daar Ihya al-Kutub ) tt, Juz II, hal. 14
42 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 ) hal.35
Semua Imam mazhab sependapat, bahwa perbuatan mewakafkan benda, yaitu
menyedekahkan manfaat dari harta yang diwakafkan itu merupakan amal saleh yang
institusinya terdapat dalam syariat islam. Mereka sependapat bahwa perbuatan itu
mempunyai efek keagamaan, yaitu pahala yang terus menerus selama benda yang
diwakafkan itu masih diambil manfaatnya (sebagai amal jariah). 43
C. Dasar Hukum Wakaf Menurut Hukum Positif
Mengenai masalah wakaf, ada beberapa peraturan dan Undang-undang yang
melandasi atau menjadi pijakan legal atas praktek wakaf yang terjadi di Indonesia.
1. Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang wakaf
Dalam undang-undang ini dapat dijelaskan dalam beberapa substansi di
bawah ini :
a. wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan / atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya
atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
b. Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan ketentuan ini merupakan
paying hukum bagi perbuatan wakaf, sehingga harta benda wakaf tidak boleh
dicabut kembali atau dikurangi volumenya oleh wakif dengan alas an apapun.
43 Ismail Muhammad Syah dkk, Filsafat Hukum Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara dan Direktorat
Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, 1992 ) hal. 241
c. Adapun tujuan dari perbuatan wakaf itu sendiri berfungsi untuk menggali
potensi ekonomi harta benda wakaf dan dimanfaatkan untuk kepentingan
ibadah serta untuk memajukan kesejahteraan umum.
2. Undang-undang pokok agraria (UUPA)
Dalam undang-undang pokok agrarian (UUPA) masalah perwakafan dapat
diketahui pada pasal 5 dan pasal 14 ayat 91 dan pasal 49. dimana dalam pasal UUPA
dinyatakan bahwa hokum adatlah yang menjadi dasar hokum agraria Indonesia, yaitu
hokum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan republic
Indonesia yang disana-sini mengandung unsure agama yang telah diresipir dalam
lembaga hukum adat, khususnya lembaga wakaf.
Dalam rumusan pasal 14 UUPA terkandung perintah kepada pemerintah pusat
dan pemerintah daerah untuk membuat skala prioritas penyedian, peruntukan dan
penggunaan bumi, air dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibentuk oleh
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah termasuk pengaturan tentang
penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan kepentingan suci lainnya
Sedangkan dalam pasal 49 UUPA meyatakan bahwa hak milik tanah-tanah
badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang
keagamaan social, diakuai dan dilindungi. Perwakafan tanah milik dilindungi dan
diatur dengan peraturan pemerintah dan pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-
soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnyadalam hokum
aagraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya.
3. Peraturan pemerintah no 28 tahun 1977
Maksud dikeluarkannya PP No 28 tahun 1977 adalah untuk memberikan
jaminan kepastian hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan
tujuan wakaf itu sendiri. Sehingga berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf
dengan demikian dapat dikurangi.
C. Rukun dan Syarat Wakaf
1. Rukun Wakaf
Secara terminologi rukun adalah sisi yang terkuat, sedang secara etimologi
rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu, dimana ia
merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri.44 Menurut Abu Hanifah yang
dimaksud dengan rukun adalah bagian dari sesuatu yang mana sesuatu itu tidak akan
terealisasi kecuali dengan bagian itu.45 Sedangkan menurut Jumhur ulama yang
dimaksud dengan rukun adalah tidaklah sempurna sesuatu kecuali dengan sesuatu
tersebut.46
44 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama
Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, ( Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press ) cet ke 1, hal. 87
45 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, ( Daar El-Fikr, 2007/1428 H ) juz 10,
hal. 7605 46 Ibid, hal. 7606
Di dalam literature kitab-kitab fikih klasik, kita dapat menemukan bahwa
rukun wakaf itu ada empat. Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya. Dimana rukun wakaf itu ada empat : 47
a. Wakif ( orang yang mewakafkan )
b. Mauquf bih ( harta yang diwakafkan )
c. Mauquf alaih ( pihak yang di beri wakaf / peruntukan wakaf )
d. Shighat ( ikrar wakaf )
Hal senada juga dikatakan oleh Rachmadi Usman dalam bukunya, dimana
beliau mengatakan rukun atau unsu-unsur wakaf ada 4 yaitu
a. adanya orng yang berwakaf (sebagai subjek wakaf) (wakif)
b. adanya benda yang diwakafkan (maukuf bih) (sebagai objek wakaf)
c. adanya penerima wakaf (sebagai subjek wakaf) (nadzir)
d. adanya ‘aqad atau lafaz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan
wakif kepada orang atau tempat berwakaf (si mauquf alaih)
Lebih lanjut lagi dikatakan dalam bukunya beliau, menurut jumhur, mazhab
Syafii, Maliki, dan Hambali dikatakan bahwa rukun wakaf itu ada 4 sebagaimana
disebutkan diatas.48
Di dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, pada pasal 6, disebutkan
bahwa wakaf dapat dilaksanakan jika memenuhi unsur wakaf sebagai berikut : 49
47 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen
Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal. 21 48 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ) hal.
59
a. Wakif
b. Nazhir
c. Harta benda wakaf
d. Ikrar wakaf
e. Peruntukan harta benda wakaf
f. Jangka waktu wakaf
Selain harus memenuhi rukun-rukun seperti yang disebutkan diatas, sahnya
wakaf juga ditentukan oleh memenuhi syarat atau tidaknya rukun wakaf tersebut.
Dalam UU wakaf yang baru, disebutkan syarat sahnya wakaf.
Dalam fikih dan UU positip yang berlaku di Indonesia khususnya yang
mengatur tentang wakaf tidak ditemukan sesuatu yang bertentangan mengenai syarat-
syarat wakaf hal ini dikarenakan sumber rujukan dari UU tersebut bersumber dari
kitab-kitab fikih klasik karya para ulama terdahulu. Seperti dalam UU No.41 tahun
2004 yang mengatur tentang wakaf disebutkan secara terperinci mengenai syarat-
syarat sahnya wakif sebagai berikut:50
1. Wakif
Didalam UU ini pada pasal 7 disebutkan bahwa wakif terdiri dari tiga bentuk:
a.) perseorangan
b.) organisasi
49 Departemen Agama RI, Peraraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 5 50 Ibid, hal. 5
c.) badan hukum
Didalam kitab-kitab fikih klasik tidak dikenal wakif selain wakif
perseorangan. Pada pasal 8 dijelaskan wakif peseorangan harus memiliki kriteria :
a.) dewasa
b.) berakal sehat
c.) tidak terhalang dalam melakukan pebuatan hokum
d.) pemilik sah harta benda wakaf
Syarat dalam UU tersebut sedikit berbeda dengan yang ada dalam kitab-kitab
fikih klasik, dimana dalam UU tidak diharuskan wakif harus merdeka, sedangkan
syarat yang senada dengan kitab-kitab fikih klasik adalah seperti yang terdapat dalam
buku fiqih wakaf terbitan Depag, dimana disebutkan syarat wakif itu ada empat : 51
a.) merdeka
b.) berakal sehat
c.) dewasa (baligh)
d.) tidak berada dalam pengampuan
2. Nazhir
Yang dimaksud dengan nazhir adalah pengelola wakaf yang dapat berbentuk
pengelola perseorangan, organisasi atau badan hukum.52 Mengenai nazhir
51 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen
Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal . 22 52 CSRC UIN Jakarta dan Ford Foundation, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan (Studi
tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosal di Indonesia), ( Jakarta: CSRC UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, 2006 ) hal. 96
perseorangan dalam pasal 10 UU wakaf disebutkan harus memenuhi syarat sebagai
berikut :53
a.) warga negara Indonesia
b.) beragama Islam
c.) dewasa
d.) amanah
e.) mampu secara rohani dan jasmani
f.) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
c. Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 15 disebutkan harta benda wakaf dapat diwakafkan apabila
dimiliki dan dikuasai wakif secara sah. Selanjutnya dalam pasal 16 disebutkan harta
benda wakaf terdiri dari benda bergerak dan tidak bergerak.54 Sedangkan dalam fikih
dijelaskan syarat harta wakaf harus : 55
a.) harus mutaqawwam
b.) diketahui dengan yakin ketika diwakafkan (tidak ada sengketa)
c.) milik sempurna wakif
d.) terpisah, bukan milik bersama
d. Ikrar Wakaf
53 Departemen Agama RI, Peraraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 7 54 Ibid, hal. 9 55 Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen
Bimas Islam Depag RI, 2006 ) hal. 27
Ikrar dalam bahasa fikih dikenal dengan shighat, yaitu segala ucapan, tulisan
atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan
apa yang diinginkannya.56 Dalam hal ini (wakaf) berarti keinginan atau kehendak
mewakafkan sesuatu yang keluar dari si wakif. Status shighat sendiri termasu
kedalam rukun wakaf.
Dalam UU wakaf, masalah ikrar diatur dalam pasal 17, dimana dinyatakan
bahwa ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW dengan
disaksikan oleh dua orang saksi (ayat 1). Dalam ayat 2 dijelaskan ikrar bisa berupa
lisan dan tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
e. Peruntukan Harta Benda Wakaf
Dalam pasal 22 UU wakaf tahun 2004 dijelaskan dalam rangka mencapai
tujuan dan fungsi dari wakaf itu sendiri, maka peruntukan harta benda wakaf hanya
untuk : 57
a.) sarana dan kegiatan ibadah
b.) sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan
c.) bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;
d.) kemajuan dan peningkatan ekonomi umat
e.) kemajuan dan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
56 Ibid, hal. 55 57 Departemen Agama RI, Peraraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Depag RI,2006 ) hal. 13
D. TUJUAN DAN HIKMAH WAKAF
Setiap mukallaf yang melakkan suatu perbuatan pasti mempunyai tujuan dan
maksud tertentu, begitu juga dengan wakaf, ia juga mempunya tujuan dan hikmah.
Mengenai masalah tujuan dari wakaf telah dibahas dalam pasal 22 UU tentang wakaf.
Setiap perbuatan yang disyariatkan oleh Allah SWT kepada mahluknya baik
berupa perintah ataupun larangan, pasti mempunyai hikmah dan manfaat bagi
kehidupan manusia khususnya bagi umat Islam. Ibadah wakaf yang tergolong pada
perbuatan sunnah ini banyak sekali hikmah yang terkandung di dalam ibadah wakaf
ini, antara lain:58
a.) Harta benda yang diwakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin
kelangsungannya, tidak perlu khawatir barangnya hilang atau pindah tangan,
karena barang wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwairskan.
b.) pahala dan keuntungan akan tetap mengalir bagi si wakif, walaupu ia telah
meninggal dunia, selagi benda wakaf itu ada dan masih bisa dimanfaatkan.
58 Abdul Halim, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Ciputat : Ciputat Press, 2005 ) hal. 40
c.) penopang dan penggerak kehidupan sosial kemasyarakatnumat Islam, baik
aspek ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan lainnya yang tidak bertentanan
dengan syariat Islam.
d.) wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya
bagi kehidupan dan umat. Antara lain untuk pembangunan mental, spiritual,
dan pembangunan dari segi fisik, selain itu selain mempunyai fungsi ibadah
juga mempunyai fungsi sosial. Dimana diharapkan dengan wakaf jurang
antara si miskin dan si kaya akan semakin menipis. 59
e.) selain itu wakaf juga mempunyai fungsi sosial yaitu wakaf merupakan aset
yang sangat bernilai bagi pembangunan sosial yang tidak memperhitungkan
jangka waktu dan keuntungan materi bagi orang yang mewakafkan.
f.) selain itu dengan dana wakaf dapat menyantuni fakir miskin dan dapat
dibangun berbagai lembaga-lembaga sosial, rumah-rumah sakit, dan panti-
panti asuhan.60
59 Ibid, hal 41 60 Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, ( Jakarta, Dirjen Bimas Islam,
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006 ) hal. 80
BAB III
GAMBARAN UMUM PONPES DAAR EL-HIKAM
A. Sejarah Berdirinya
1. Potret singkat Ponpes Daar el-Hikam
Pondok pesantren daar el-hikam berlokasi di Jl. Menjangan Raya No. 27
RT.004 RW.001 Kelurahan Pondok Ranji Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang
Selatan ini berdiri diatas tanah seluas 5.877 m². Pondok pesantren ini didirikan pada
tanggal 03 Februari 1999, dimana pada awalnya Pesantren ini bernama Assulaiman
dan pada tanggal 12 juni 2007 berganti nama Menjadi Pondok Pesantren Daar el-
Hikam Yang dipimpin dan diasuh oleh K.H. Bahrudin S.Ag.
Adapun sejarah awal berdirinya pesantren ini adalah ketika K.H. Bahrudin
belajar di pesantren Sunanul Husna. Dimana ketika pada masa beliau belajar dan
mengajar, beliau menikah dengan salah seorang putrid dari bapak H.Rasyid bin H.
Sulaiman, yang merupakan salah seorang warga Pondok Ranji yang secara kebetulan
bapaknya H. Rasyid yaitu H. Sulaiman ingin mewakafkan sebidang tanah seluas
5.877 m² untuk didirikan sebuah pesantren. Maka diserahkannya tanah wakaf tersebut
kepada menantunya agar dikelola untuk dijadikan sebuah pondok pesantren, dengan
demikian maka terwujudlah cita-cita KH. Bahrudin yang merupakan wasiat dari
bapak mertuanya (H. Sulaiman) yang ingin mendirikan sebuah pondok pesantren.
Sebelumnya pesantren ini adalah sebuah komplek kontrakan, lalu dipecah
menjadi dua, sebagian kontrakan sebagian lagi pesantren. Lambat laun seiring dengan
berjalannya waktu maka semakin banyaklah santri yang belajar dipesantren ini, dan
akhirnya dihilangkanlah system kontrakan dan berubahlah seutuhnya menjadi
pesantren seutuhnya. Pesantren ini diresmikan pada bulan Dzul Hijjah 1421 H
tepatnya pada tahun 2000 M.
Di awal berdirinya pesantren ini, santri pertama yang belajar disini berjumlah
tiga orang mahasiswa UIN, waktu itu masih bernama IAIN Jakarta. Lalu lambat laun
seiring dengan penerimaan mahasiswa baru UIN Jakarta banyak santri yang
berdatangan untuk mendaftarkan diri di pesantren ini, dimana setiap tahunnya
pesantren ini membuka penerimaan santri baru melalui dua tes, yaitu tes wawancara
dan tes membaca kitab kuning. Maksud dari diadakannya tes ini adalah untuk
menentukan di kelas mana calon santri tersebut akan belajar. Hingga saat ini semua
santri yang belajar di pesantren ini seluruhnya adalah para mahasiswa UIN Jakarta,
baik putra maupun putri yang keseluruhannya berjumlah 90 santri.
2. Sarana dan Prasarana
Dalam perjalanannya Pesantren Dar el-Hikam ini banyak mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, baik dari segi bangunan dan jumlah santri
yang belajar di Pondok ini. Mengenai jumlah santri, baik putra maupun putri yang
belajar di Pondok ini, dari data yang didapatkan dari tahun ke tahun semakin
meningkat, ini tak lepas dari strategi publikasi pondok yang sudah semakin baik dari
tahun ke tahun. Di samping itu juga materi yang dikaji di pesantren ini yaitu tentang
pengajaran kitab kuning yang notabene adalah kitab klasik peninggalan Ulama-ulama
klasik tempo dulu juga turut menjadi daya tarik tersendiri bagi calon santri.
Selanjutnya mengenai sarana dan prasarana yang terdapat di Pondok
pesantren ini dari tahun ke tahun semakin baik, hal ini ditandai dengan adanya dua
lokal baru yang dibangun pada awal tahun 2007, dimana keberadaan lokal ini cukup
representatif bagi kelancaran belajar para santri yang merangkap sebagai mahasiswa
UIN.
Berbicara mengenai sarana dan prasarana pondok pesantren ini, khususnya
mengenai bangunan tempat tinggal para santri putra kalu diflashback ke tiga tahun
yang lalu, memang sungguh memprihatinkan, dimana mereka (santri putra) waktu itu
masih menempati bangunan bekas kontrakan yang sudah berumur 30 tahunan, bisa
dibayangkan keadaannya ketika itu sungguh memprihatinkan, tapi berbekal tekad dan
semangat mencari ilmu yang kuat hal tersebut tidak menyurutkan semangat dan nyali
para santri untuk tetap belajar di pondok ini.
Adapun mengenai sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pondok pesantren
Daar el-hikam saat ini sudah semakin lengakap dan semakin baik tidak seperti pada
awal berdirinya pondok ini, dimana bangunannya sangat memprihatinkan karena
bekas bangunan bekas kontrakan tahun 70 an. Semenjak tahun 2007 pondok
pesantren ini telah memiliki bangunan permanen yang layak bagi tempat tinggal para
santri.
Disamping itu pondok ini juga memiliki sebuah musholah yang digunakan
selain sebagai tempat shalat juga berfungsi sebagai tempat belajar santri dan kegiatan
majlis ta’lim ibu-ibu. Berikut adalah sarana dan prasarana yang dimiliki pondok
pesantren daar el-hikam :
1. Bangunan
1. Tiga buah gedung asrama santri putra
2. Satu buah gedung asrama santri putri ( dua lantai )
3. Dua buah gedung sekretariat
4. Satu buah gedung TPA
5. Tiga lokal kelas ( dikontrakkan )
6. Satu buah musholah
2. Kamar Mandi
1. Lima buah kamar mandi santri putra
2. Tiga buah kamar mandi santri putri
3. Lahan pertanian
1. ±1000 m² lahan hijau untuk pertanian, yang terdiri dari pertanian pisang,
rambutan, singkong, umbi jalar dan lain sebagainya.
2. Satu buah empang peternakan ikan lele seluas ± 30 m²
B.Tujuan, Visi dan Misi
Pesantren sebagai sebuah lembaga syiar Islam yang sudah mempunyai akar
sejarah yang sangat panjang bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi umat Islam
Indonesia maka keberadaannya tentunya mempunyai tujuan, maupun visi dan misi.
Begitu juga dengan keberadaan pesantren Daar el-Hikam ini, tentunya ketika pada
awal didirikannya mempunya tujuan, visi dan misi. Adapun tujuan, visi dan misi dari
didirikannya pesantren ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan
Tujuan didirikannya pondok pesantren Daar el-hikam adalah :
a) Menciptakan sarana dan prasarana pembinaan umat sebagai modal pokok
pembentukan lingkungan yang Islami.
b) Meningkatkan kegiatan pendidikan Islam yang lebih terarah dengan
menggunakan fasilitas yang memadai.
c) Meningkatkan Syiar Islam dan mempererat tali Ukhuwah Islamiyah.
d) Memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk beramal shodaqoh
demi kemajuan dan kepentingan umat Islam.
2. Visi dan Misi
Adapun visi dan misi dari pesantren Daar el-Hikam adalah sebagai barikut :
a) Menciptakan generasi manusia-manusia yang selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai akhlak keislaman dalam kehidupannya melalui pengajaran
pesantren salafi.
Sedangkan misi dari didrikannya pondok pesantren Daar el-Hikam ini adalah
adalah :
a) Menciptakan generasi yang berakhlakul karimah
b) Menggali nilai-nilai keilmuan klasik yang bersumber dari kitab-kitab
salafi klasik.
c) Mensyiarkan dan melestarikan warisan luhur para ulama klasik dengan
jalan mengkaji kitab-kitab mereka.
d) Melestarikan tradisi pengajian kitab kuning
C. Struktur Yayasan
1. Skema Kepengurusan Ponpes Daar el-Hikam
PELINDUNG
Allah SWT
PENASEHAT H.Rasyid
PENGAWAS KETUA PONPES Hj. Lenih KH.Bahrudin
KETUA Rahmat Hidayatulloh
WAKIL Rizki Apriliantinas
BENDAHARA I Nurmansyah Lulu
SEKRETARIS Syatibi
PENDIDIKAN
Koor. Huffadzullah
HUMAS
Koor. Mishbah Attaloki
BENDAHARA II Ahmad
KEBERSIHAN
Koor. Ahmad Kahfi
KEAMANAN
Koor. Saiful Amri
DANUS
Koor. Firman Adi Saputra
DEPARTEMEN
D. Program Kegiatan
Seperti pada umumnya sebuah pesantren yang memiliki program kajian ilmu-
ilmu keislaman maka pondok pesantren Daar el-Hikam juga memiliki program-
program kegiatan harian mingguan dan tahunan. Seperti diketahui sebelumnya
pondok ini menitik beratkan pada pengajaran kitab-kitab kuning karena memang
pesantren ini adalah pesantren salafiyah yang ditujukan untuk mahasiswa yang
sedang menempuh S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Program kegiatan harian Pondok Pesantren Daar el-Hikam
Program pengajian rutin kitab kuning
a. Ba’da Subuh
1. Kitab Tauhid ( Jauhar at-Tauhid )
2. Kitab Fiqh ( kifayatul Akhyar )
3. Kitab Tasawuf ( Syarah Hikam )
b. Ba’da Ashar
1. Kitab Hadis ( Shahih Muslim )
2. Kitab Ilmu Hadis ( Baiquni )
3. Kitab Ushul Fiqh ( Lathoiful Isyaraat )
c. Ba’da Maghrib
1. Kitab Ilmu Nahwu ( Ajurumiyah )
2. Kitab Ilmu Sharaf ( Kailani )
3. Kitab Ilmu Sharaf ( Matan bina )
d. Ba’da Isya
1. Kitab Ihya ‘Ulumiddin
2. Kitab Tafsiir (Tafsiir Jalalain )
3. Kitab Nahwu (Mutamimah )
4. Kitab Nahwu ( Nadzom Imriti)
2. Selain itu ada juga program setoran hafalan harian.
1. Malam senin, selasa, rabu, kamis dan sabtu hafalan Nadzom Imriti
2. Ahad pagi setoran hafalan Nadzmul Maqsud
3. Program Mingguan
1. Pengajian mingguan bapak-bapak.
2. Dzikiran tiap kamis malam
4. Program Tahunan
1. Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw
2. Peringatan Isra dan Mi’raj
3. Penyebaran Hewan Qurban
4. Panitia Pengumpulan dan Penyaluran Zakat Fitrah
BAB IV
A. Kondisi dan Situasi Perwakafan Tanah di Indonesia
Sejak Islam datang ke Indonesia berabad-abad lalu yang mana banyak sekali
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial dan religius masyarakat Indonesia,
dalam bidang kehidupan beragama misalnya adalah praktek wakaf. Praktek
perwakafan yang sudah lama dianut oleh masyarakat islam Indonesia.
1. Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Sejak dan setelah datangnya Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia
melaksanakan wakaf berdasarkan faham keagamaan yang dianut yaitu faham
Syafi’iyah dan adat kebiasaan setempat. Pada waktu itu perwakafan tanah masih
menggunakan tradisi lisan atas dasar saling percaya, karena kebiasaaan memandang
wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat tuhan tanpa harus
melalui prosedur administratif dan harta wakaf dianggap sebagai milik Allah SWT
semata yang siapa saja tidak ada yang berani mengganggu gugat tanpa seijin Allah
SWT. 61
Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia, lembaga perwakafan sering
dilakukan oleh masyarkat yang beragama Islam. Hal ini sebagai konsekuensi logis
dari banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Seperti kerajaan Demak,
Samudera Pasai dan sebagainya. Sejak masa dahulu praktek wakaf ini telah diatur
61 Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, ( Jakarta : Mitra Abadi Press, 2006 ) hal. 47
oleh hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan berlandaskan ajaran yang
bersumber dari nilai-nilai Islam. Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia masalah
perwakafan sendiri telah mendapatkan perhatian dari pihak kolonialisme belanda.
Hal ini dikarenakan untuk menyikapi banyaknya praktek perwakafan yang
dilakukan oleh umat Islam Indonesia. 62 Di antara peraturan-peraturan tersebut adalah
sebaagai berikut :
1. Surat edaran Governemen pertama tertanggal 31 januari 1905 No.436 yang
termuat dalam bijblad 1905 No. 6196. dimana dalam surat edarannya ini pihak
colonial tidak menghalangi atau melarang praktek wakaf yang dilakukan umat
islam untuk memenuhi keagamaannya.
2. Surat edaran dari sekretaris Governemen tanggal 04 januari 1934 1361/A
yang termuat dalam bijblad 1931 No. 125/A. inti dari surat edaran ini adalah
untuk bisa mewakafkan harta benda harus ada persetujuan dari Bupati, dimana
Bupati akan menilai permohonan tersebut dari segi tempat dan maksud dari
pendirian itu. Tujuannya tidak lain agar tanah tersebut terdaftar.
3. Surat edaran sekretaris Governemen tertanggal 24 desember 1934 No.
3088/A yang termuat dalam bijblad tahun 1934 No. 13390. isi dari surat
edaran ini sifatnya hanya mempertegas apa yang telah disebutkan dalam surat
edaran sebelumnya. Dimana memberikan wewenang kepada Bupati untuk
62 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta :
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 ) hal. 25
menyelesaikan perkara jika terjadi perselisihan atau persengketaan tentang
tanah-tanah wakaf tersebut.
4. Surat edaran sekretaris Governemen tertanggal 27 mei 1933 No. 1273/A yang
termuat dalam bijblad 1935 No. 13480. sama seperti surat edaran sebelumnya,
surat edaran ini pun bersifat penegasan terhadap surat-surat edaran
sebelumnya, dimana diatur mengenai tata cara perwakafan sebagai realisasi
dari bijblad No. 6169/1905 yang menginginkan registrasi dari tanah-tanah
wakaf tersebut.63
2. Setelah Kemerdekaan dan Sebelum PP No. 28 Tahun 1977
Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17
Agustus 1945, maka berakhirlah era kolonialisme belanda di Indonesia, akan tetapi
tidak berarti semua peraturan-peraturan peninggalan mereka hengkang pula dari tanah
air tercinta. Ada pula yang masih dipergunakan, seperti peraturan-peraturan tentang
perwakafan pada masa belanda masih berlaku ketika Indonesia merdeka. Berdasarkan
pasal II aturan peralihan UU 1945 yang berbunyi “ segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut
UUD ini ”. 64
Selanjutnya pemerintah pada waktu itu, dengan tujuan untuk menyesuaikan
dengan alam kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka dikeluarkanlah
63 Ibid, hal 27 64 Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 ) hal. 5
beberapa petunjuk tentang perwakafan seperti petunjuk dari Departemen Agama
Republik Indonesia pada tanggal 22 desember 1953 tentang petunjuk-petunjuk
mengenai wakaf. Dalam perkembangan selanjutnya, dikarenakan pada waktu itu
masih dalam masa euphoria kemerdekaan dimana sendi-sendi peraturan dan
pemerintahan masih belum stabil, maka peraturan perwakafan tanah tersebut
dirasakan kurang memadai dan masih banyak kelemahan-kelemahannya, seperti
belum memberikan kepastian hukum mengenai tanah-tanah wakaf.65
Berdasarkan hal tersebut makanya tak heran jika permasalahan mengenai
perwakafan tanah ini mendapat perhatian yang khusus, dalam pasal 49 UU No. 5
tahun 1960 Tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian ( UUPA ) yang berbunyi
seperti berikut : 66
1. hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan
tersebut dijamin pada akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan
dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dengan hak pakai.
3. perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
65 Ibid, hal. 5 66 Ibid, hal. 6
Bisa disimpulkan dari ketentuan pasal 49 ayat (3) tersebut dapat disimpulkan
bahwa dalam rangka menertibkan dan melindungi tanah-tanah wakaf, pemerintah
harus memberikan pengaturannya yang tertuang dalam bentuk suatu peraturan
pemerintah. Akan tetapi peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh pasal 49 ayat (3)
tersebut baru ada pada 17 tahun kemudian sehingga praktis pada periode ini mau
tidak mau digunakan juga peraturan yang ada sebelumnya.
3. Setelah berlakunya PP No. 28 Tahun 1977
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa peraturan-peraturan yang
mengatur tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan
maupun belum dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka rangka melindungi
tanah-tanah wakaf yang ada, dalam artian peraturan-peraturan tersebut belum secara
sempurna dan komprehensif didalam menghandle permasalahan perwakafan tanah
yang kompleks. 67
Berangkat dari hal tersebut maka sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3)
UUPA maka pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapakan PP No. 28 Tahun
1977 tentang perwakafan tanah milik.
Dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun1977, pemerintah
mempunyai beberapa pertimbangan yang dapat dinyatakan sebagai berikut :
1. bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan
sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan,
khususnya umat yang beragama Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan
67 Ibid, hal. 7
spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
2. bahwa perundang-perundangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang
perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara
perwakafan juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak di
inginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai
tanah wakaf yang diwakafkan.
Seiring dengan berlakunya peraturan pemerintah nomer 28 tahun 1977 ini,
maka semua peraturan prundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya
sepanjang bertentangan dengan PP nomer 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku
lagi. Sedangkan hal-hal yang belum diatur akan diatur lebih lanjut oleh Menag dan
Mendagri sesuai bidangnya masing-masing.
4. Setelah berlakunya UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf
Perbincangan mengenai wakaf memang tiada habisnya, hal ini terjadi seiring
dengan berkembangnya sistem perekonomian dan pembangunan yang memunculkan
inovasi-inovasi baru.68 Pada medio tahun 2000 hingga tahun 2004 isu yang paling
menonjol adalah ketika Prof. M.A. Mannan, seorang ekonom asal Bangladesh,
menggulirkan gagasan wakaf tunai.69 Yang disampaikan Mannan pada tahun 2001
68 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, ( Jakarta : Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 31 69 Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, ( Jakarta :
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 6
yang mana dipresentasikan dalam forum Internasional di Harvard University. Dimana
konsep wakaf ini sudah secara sukses dipraktekkan secara sukses di Bangladesh.70
Makanya tak heran ketika wacana wakaf tunai digulirkan oleh M.A. Mannan,
seolah memecah kebekuan pemahaman dunia perwakafan tanah air yang selama ini
terkerangkeng pada salah satu mazhab fikih yang selama ini dianut oleh mayoritas
bangsa Indonesia.
Maka muncullah berbagai seminar dan pembahasan-pembahasan mengenai
penerapan wakaf tunai di Indonesia. Dan wakaf tunai adalah salah satu unsur yang
diakomodasi dalam UU No.41 Tahun 2004 ini, dimana dalam PP No.28 Tahun 1977
tidak dibahas mengenai jenis wakaf ini.
Selanjutnya perkembangan mengenai wakaf setelah adanya dan berlakunya
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah adanya payung Hukum yang jelas dan
legal didalam melakukan kegiatan perwakafan dengan kata lain semakin jelas dan
kuatnya peraturan yang mengatur tentan perwakafan khususnya tentang wakaf tanah
di Indonesia.
Hal ini menjadi penting karena PP No.28 tahun 1977 masih belum sempurna
ditambah lagi dengan kebiasaan masyarakat Islam Indonesia yang masih
menggunakan tradisi lisan dalam berwakaf dimana mengabaikan aspek administrasi
yang saat ini menjadi unsur yang sangat penting didalam perwakafan tanah.
70 PSTTI-UI, Wakaf Tunai Inovasi Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Umat, ( Jakarta : PSTTI-UI, 2006 ) hal. 6
B. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan UU No.41 Tahun
2004 Tentang Wakaf
Berbicara mengenai aspek legal dalam praktek perwakafan dalam hal ini
mengenai administrasi perwakafan tanah yang menyangkut keabsahan wakaf dimata
hukum positif memang sangat menarik, seperti yang kita ketahui dalam hukum Islam
tidak diatur mengenai aspek prosedural administrasi dalam berwakaf. Dalam hukum
Islam, wakaf dianggap sah jika telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya dan tidak
memerlukan prosedur administrasi seperti didalam hukum positif.
Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Indonesia, dimana sejak dan setelah
datangnya Islam ke Indonesia masyarakat kita melaksanakan wakaf berdasarkan
paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan
setempat. Dimana perwakafan tanah dilakukan secara tradisi lisan atas dasar saling
percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu. Dan menganggap bahwa perbuatan
wakaf sebagai amal shaleh tanpa harus melalui prosedur administratif dan harta
wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu
gugat tanpa seizin Allah Swt.71
Paham masyarakat Indonesia tersebut terlihat sangat lugu karena tingginya
sikap jujur dan saling percaya antara satu dengan yang lain. Praktek pelaksanaan
wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui memunculkan persoalan
mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya
71Ahmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Sebuah Upaya
Progresif untuk Kesejahteraan Umat), ( Jakarta : Mitra Abadi Press, 2006 ) hal. 47
persengketaan-persengketaan karena ketiadaan bukti tertulis dan legal yang
menunjukkan bahwa harta tersebut telah diwakafkan.72 Dalam kaitannya dengan hal
tersebut maka ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu bagaimana perwakafan
tanah procedural administratif menurut Islam dan UU No.41 Tahun 2004 tentang
wakaf.
1. Tanah wakaf tanpa sertifikat menurut hukum Islam
Berbicara mengenai tanah wakaf tanpa sertifikat, berarti kita harus berbicara
juga mengenai hukum pendaftaran tanah wakaf menurut hukum Islam. Di dalam
fikih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf
secara rinci,73 berbeda halnya dengan hukum positif yang telah mengatur masalah
perwakafan dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan yang berupa Peraturan
Pemerintah yakni PP No28 Tahun 1977 Maupun dalam bentuk Peraturan yang baru
yaitu Undang-undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Kenapa dalam fikih Islam tidak dibahas mengenai urgensi pendaftaran tanah
wakaf, karena memang dalam Islam wakaf sudah dianggap sah apabila telah
memenuhi rukun dan syaratnya tanpa adanya prosedural pendaftaran seperti yang
terdapat dalam hukum positif. Karena pandangan masyarkat muslim saat itu masih
sangat religius dan mempunyai kepercayaan yang sangat tinggi sehingga menganggap
tanah wakaf adalah milik Allah SWT dan berpikir tidak akan ada orang yang berani
72 Ibid, hal. 48 73 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktik, ( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada ) hal. 37
mengganggu gugat apalagi sampai memperjual belikan tanah wakaf yang notabene
adalah milik Allah SWT.
Akan tetapi zaman terus berubah dan permasalahan kehidupan semakin
kompleks begitu juga dengan permasalahan perwakafan tanah yang semakin
kompleks seiring dengan modernnya zaman ditambah lagi dengan kehidupan era
ekonomi kapitalis global yang saat ini sungguh dominan dirasakan sehingga
memunculkan orang-orang dengan watak kapitalis yang tak lagi mengindahkan nilai-
nilai Agama. Dan tanah wakaf yang tak mempunyai legalitas resmi sungguh sangat
riskan terhadap oknum-oknum yang tak bertanggung jawab seperti itu, dan
perwakafan tanah dengan tradisi lisan berdasarkan Hukum Islam dirasa belum cukup
karena tidak mempunyai kekuatan hukum jika sewaktu-waktu terjadi sengketa.
Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam sudah lama mengenal
lembaga wakaf, tujuan pokok yang menjadi common basic idie wakaf sebagai salah
satu lembaga keagamaan Islam adalah sebagai sarana pendukung pengembangan
kehidupan keagamaan, dan sejak Islam datang ke Indonesia, peraturan perwakafan
diatur menurut hukum agama Islam (fiqih). Tata cara perwakafan cukup dengan ikrar
dari wakif bahwa dia mewakafkan miliknya, seperti tanah, sawah, rumah dan lain-
lain untuk kepentingan agama atau masyarakat, dengan tidak usah ada Kabul menurut
kitab kuning dari semua mazhab fikih.74
74 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ) hal.
118
Sesungguhnya dalam perspektif pengaturan masalah perwakafan ini tidak
hanya menyangkut masalah dibidang keagamaan Islam belaka, namun kini
menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan, sehingga wakaf sebagai sebuah
lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna
pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat yang beragama Islam.75
Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan
pendaftaran tanah wakaf apalagi pensertifikasian tanah wakaf, karena memang dalam
Islam sendiri praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya76 tanpa adanya syarat-syarat administrasi seperti yang dimaksud dan
dituntut dalam hukum positif dalam hal ini Undang-undang No.41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
Dan harus kita akui bahwa ketika Ulama-ulama fikih menyusun kitab-kitab
fikih terutama yang membahas masalah wakaf tidak sebutkan dan dicatatkan
mengenai pembahasan masalah pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf karena
kehidupan umat ketika itu belum kompleks seperti saat ini, dan tingkat keimanan
masyarakat muslim saat itu masih tinggi, tidak seperti saat ini dimana tingkat
keimanan masyarkat muslim sangat memprihatinkan, ditambah lagi berkembangnya
75 Ibid, hal. 119 76 Depag RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam,
Depag RI, 2006 ) hal.21
faham kapitalisme dan materialisme yang mengubah cara berpikir mereka mengenai
hal-hal kebendaan.
Seperti sudah kita ketahui dalam hukum Islam tidak ada ketentuan khusus
yang mengharuskan pencatatan, pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf, dalam
praktek wakaf. Begitu juga para ulama fiqih terutama para Imam mazhab yang empat
tidak mencantumkan keharusan pengadministrasian dalam praktek berwakaf. Akan
tetapi dengan keadaan sekarang ini banyak terjadi persengketaan dalam wakaf maka
selayaknya kita lihat Firman Allah SWT, yaitu
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah yang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya “ (QS. Al-baqarah: 282)
Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah
seperti jual beli, sewa menyewa, hutang-piutang dan lain sebagainya. Selanjutnya
Adijani al-alabij meyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan penyerahan hak
yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya seperti jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya, seperti yang dimaksud dalam ayat diatas, mengingat
penyerahan wakaf menyangkut status hak atas tanah wakaf untuk jangka waktu yang
tidak terbatas. Jika untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk
mencatatkannya maka secara analogi untuk wakaf pun seyogyanya harus ditulis juga.
Karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut adalah agar dibelakang hari tidak
terjadi sengketa atau gugat menggugat diantara para pihak yang bersangkutan.77
Walaupun secara eksplisit ayat ini tidak menegaskan keharusan pencatatan wakaf
akan tetapi jika kita mengacu pada kondisi saat ini akan kerawanan harta benda wakaf
yang tidak memiliki bukti tertulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk
pencatatan dan pengadministrasian harta benda wakaf agar terhindar dari
penyelewengan, persengketaan dikemudian hari.
Selain itu ada beberapa kaidah fiqhiyyah yang senada dengan pendapat diatas
yaitu: kaidah (adh-dharaaru yuzaalu) yang berarti “kemudharatan harus
dihilangkan” dan kaidah (dar ul mafaasid wa jalbul mashaalih) yang berarti
“menolak kemudharatan dan menarik maslahah” dimana penyelewengan dan
persengketaan akibat tidak adanya pengadministrasian tanah wakaf adalah mudharat
yang harus dihilangkan.
Oleh karenanya berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa para Imam mazhab tidak memberikan keterangan atau membahas mengenai
pengadministrasian tanah wakaf. Akan tetapi dengan pertimbangan argument-
argumen diatas yaitu surah al-baqarah ayat 282 dan beberapa kaidah fiqhiyyah
bahwa sebenarnya pencatatan dan pengadministrasian tanah wakaf adalah sangat
dianjurkan dan bisa disimpulkan bahwa berdasarkan alasan tersebut tanah wakaf yang
77 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, ( Jakarta: CV. Rajawali, 1992) hal.100
tidak dicatatkan dan didaftarkan adalah tidak sah menurut ketentuan tersebut. Maka
berdasarkan hal tersebut status tanah wakaf tanpa sertifikat menurut hukum Islam
sejauh dia sudah terdaftar dan tercatat pada instansi yang berwenang maka tanah
tersebut telah memiliki kekuatan dimata hukum. Karena hal ini senada seperti
dinyatakan dalam Undang-undang Nomer 41 tahun 2004 tanah wakaf adalah sah
apabila telah dicatatkan dan didaftarkan, adapun mengenai apakah tanah tersebut
sudah memiliki sertifikat tanah wakaf atau belum dalam Undang-undang ini tidak
dibahas apalagi dalam hukum Islam.
2. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut UU Nomer 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf
Dalam Undang-undang wakaf yang baru ini, dijelaskan bahwasanya tanah
wakaf dinyatakan sah dan legal dalam artian mempunyai kekuatan hukum apabila
telah diikrarkan dan didaftarkan menurut mekanisme dan peraturan yang berlaku
dalam hal ini adalah Undang-undang tentang wakaf yang baru yaitu Undang-undang
Nomer 41 tahun 2004 tentang wakaf. Adapun tata cara pendaftaran tanah wakaf
menurut UU dan prosedur yang berlaku adalah :
a. Telah melakukan Ikrar Wakaf di hadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf
(PPAIW), dalam hal ini adalah pegawai KUA setempat. Selanjutnya dalam UU
Nomer 41 tahun 2004 diatur dan dijelaskan mengenai ikrar wakaf dalam bagian
ketujuh pasal 17,18,19,20 dan pasal 21 sebagai berikut :
Pasal 17
1. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nadzir di hadapan PPAIW
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
2. Ikrar wakaf sebagai mana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan
dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Pasal 18
Dalam hal wakif tidak dapat melakukan ikrar wakaf secara lisan atau tidak
dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alas an yang dibenarkan
oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang
diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
Pasal 19
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan
surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan :
a. dewasa
b. beragama Islam
c. berakal sehat
d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
Pasal 21
1. Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.
2. Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat :
a. nama dan identitas Wakif
b. nama dan identitas Nadzir
c. data dan keterangan harta benda wakaf
d. peruntukan harta benda wakaf
e. jangka waktu wakaf
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 (dua) diatur dengan peraturan pemerintah.
b. setelah melakukan ikrar wakaf di depan PPAIW maka langkah selanjutnya sesuai
dengan UU ini adalah seperti diatur dalam pasal berikut:
Pasal 32
PPAIW atas nama Nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi
yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf
ditandatangani.
Pasal 33
Dalam hal pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimksud dalam pasal
32, PPAIW menyerahkan :
a. salinan akta ikrar wakaf
b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait
lainnya.
Pasal 34
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 35
Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 34
disampaikan oleh PPAIW kepada Nadzir.
Pasal 37
Menteri dan badan wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta
benda wakaf.
Pasal 38
Menteri dan badan wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta
benda wakaf yang telah terdaftar.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan
pengumuman harta benda wakaf diatur dengan peraturan pemerintah.78
Didalam UU ini tidak dibahas mengenai sertifikasi tanah wakaf, padahal
selain tata cara pendaftaran tanah wakaf, tata cara pensertifikasian tanah wakaf juga
perlu karena menyangkut aspek legal hukum dari segi agraria tanah wakaf tersebut.
Sebenarnya mengapa dalam Undang-undang ini tidak dibahas mengenai sertifikat
tanah wakaf itu dikarenakan sertifikasi tanah wakaf merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan dalam pencacatan dan pendaftaran tanah wakaf, dengan kata lain
tidak mungkin terbit sertifikat tanah wakaf sebelum tanah wakaf tersebut didaftarkan
ke instansi yang berwenang dalam hal ini adalah KUA yang mewilayahi lokasi dari
tanah wakaf tersebut berada.
Selanjutnya, kaitannya dengan tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat
tanah wakaf, bagaimana Undang-undang ini melihatnya, apakah ia sudah sah dan
memiliki kekuatan hukum yang kuat atau tidak? Untuk menjawab permasalahan ini
78 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Dirjen Bimas
Islam, Depag RI, 2006 ) hal. 17
maka sebaiknya kita perhatikan dahulu bahwa wakaf secara hukum Islam dikatakan
sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukunnya, terlepas apakah dicatatkan atau
tidak pada instansi yang berwenang, karena memang dalam hukum Islam sendiri
tidak diharuskan adanya pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf.
Dalam prakteknya mayoritas umat Islam Indonesia melakukan praktek wakaf
seperti dikatakan diatas, akibatnya banyak tanah wakaf yang disalah gunakan karena
memang tidak ada bukti otentik bahwa tanah tersebut adalah tanah wakaf. Oleh
karenanya lahirnya beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai
permasalahan wakaf, dan yang terbaru adalah Undang-undang Nomer 41 tahun 2004
tentang wakaf. Dalam Undang-undang ini dinyatakan dengan jelas dalam pasal 2
bahwa wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah.79 Dalam penjelasan Undang
–undang ini dinyatakan bahwa untuk menciptakan dan tertib administrasi wakaf guna
melindungi harta benda wakaf maka UU ini menegaskan bahwa perbuatan hukum
wakaf wajib dicatatkan dan dituangkan dalam dalam akta ikrar wakaf ( AIW ) dan
didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan dilakukan sesuai
dengan tata cara yang diatur dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai
wakaf.80
79 Departemen Agama RI, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, ( Jakarta: Depag RI, Dirjen Bimas Islam dan Haji, 2004 ) hal. 4 80 Ibid, hal. 41
Artinya menurut Undang-undang ini wakaf yang dilakukan sesuai dengan
syariah sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang ini dianggap sah,
dalam artian praktek wakaf tersebut telah memiliki legalitas hukum yang kuat. Dan
bagaimana status tanah wakaf tanpa sertifikat menurut Undang-undang ini? Seperti
telah dijelaskan diawal bahwa pencatatan dan pendaftara tanah wakaf adalah hal yang
urgen, dan sertifikat tanah wakaf tidak bisa diperoleh sebelum adanya dua hal
tersebut. Selagi tanah wakaf tersebut belum dicatatkan dan didaftarkan maka
sertifikat pun tidak bisa di terbitkan karena syarat dalam memiliki sertifikat tanah
wakaf adalah telah dicatatkan dan didaftarkan pada instansi yang berwenang.
Satu hal yang penting dalam Undang-undang ini adalah tanah wakaf yang sah
adalah tanah wakaf yang telah dicatatkan dan didaftarkan walaupun tanah tersebut
belum memiliki sertifikat wakaf. Sertifikat tanah wakaf disini berfungsi sebagai
syarat dari pembebasan tanah wakaf tersebut sebagai objek pajak.81
3. Cara Pensertifikasian Tanah Wakaf
Di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang wakaf baik
dalam Peraturan Pemerintah no.28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik
maupun di dalam Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang no.41 tahun 2004
tentang wakaf, tidak diatur masalah tata cara sertifikasi tanah wakaf. Akan tetapi agar
tanah wakaf tersebut dapat memiliki sertifikat tanah wakaf, maka tanah wakaf
81 Wawancara Pribadi Penulis dengan Bpk. Afkar Bakarudin, Pejabat KUA Ciputat Timur
Kamis 31 Mei 2010.
tersebut harus mengikuti prosedur pensertifikasian yang mekanismenya sangat sulit
dan lama.
Berdasarkan wawancara penulis dengan pegawai KUA kecamatan Ciputat,
bahwasanya ada beberapa prosedur agar tanah wakaf bisa mendapatkan sertifikat
tanah wakaf diantaranya yaitu dengan memenuhi terlebih dahulu beberapa
persyaratan sebagai berikut :
.a. AIW (akta ikrar wakaf)
Dimana untuk mendapatkan AIW ini harus ada ikrar wakaf, yang syaratnya
adalah :
1. sertifikat/akte jual-beli/girik (bukti kepemilikan tanah)
2. surat pernyataan tanah yang ditandatangani oleh Lurah setempat
3. surat pernyataan tanah tidak dalam sengketa/belum pernah dijual belikan ditandatangani oleh Lurah dan Camat
4. keterangan tanah ditandatangani oleh Lurah dan Camat
5. surat PBB terakhir (asli)
6. foto kopi KTP wakif
7. foto kopi KTP nazhir 5 orang
8. foto kopi KTP saksi 2 orang
9. pernyataan waris dan kuasa waris (apabila wakif telah meninggal dunia) yang ditandatangani oleh semua ahli waris bermaterai 6000, diketahui oleh Lurah dan Camat
10. materai 6000, 10 lembar
11. surat akta notaries (yayasan atau lembaga hukum)82
b. dokumen-dokumen penting lainnya ( SHM yang asli, PBB terakhir, Denah/peta
tanah wakaf)
Setelah semua syarat-syarat diatas terpenuhi maka selanjutnya adalah adalah
diserahkan ke KUA wilayah dimana tanah wakaf itu berada, selanjutnya pihak KUA
akan memeriksa apakah semua dokumen-dokumen yang diperlukan sudah lengkap
dan sesuai, jika sudah maka selanjutnya pihak KUA akan menyerahkannya ke pihak
BPN tingkat kabupaten yang membawahi wilayah tenpat tanah wakaf tersebut berada.
Dan selanjutnya pihak BPN akan memeriksa berkas-berkas yang diterima jika
memang sudah lengkap dan sesuai maka pihak BPN akan melakukan kunjungan dan
pengukuran tanah wakaf tersebut. Adapun setelah itu maka pihak BPN akan segera
menerbitkan sertifikat tanah wakaf dengan jangka waktu yang kondisional.83
C. Kedudukan Tanah Wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No.41
Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Sebelum adanya Undang-Undang No.41 tahun 2004 ini ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perwakafan yaitu peraturan
pemerintah No 28 tahun 1977 yang mengatur masalah perwakafan tanah milik.
82 Ibid. 83 Ibid.
Dimana dalam peraturan pemerintah ini dijelaskan memngenai tata cara perwakafan
tanah milik.
Berbicara mengenai sertifikat wakaf berarti berbicara mengenai aspek
administrative, dalam kitab fikih diterangkan bahwa wakaf telah berlaku dengan
sebuah lafazh, walaupun tidak diumumkan oleh hakim dan hilang miliknya wakif
darinya walaupun barang tersebut masih ada ditangannya, demikian pendapat Syafii
yang diikuti oleh Imam Malik dan Imam Ahmad. Akan tetapi menurut Imam Abu
Hanifah tidak akan berlaku wakaf itu apabila tidak terlepas dari milik wakif, apabila
hakim memberikan putusan dengan mengumumkan barang wakaf tersebut. Ini berarti
menurut beliau bahwa benda wakaf akan berlaku apabila telah diumumkan oleh
hakim atau pengadilan.
Kaitannya dengan hal diatas adalah dalam hukum Islam wakaf dianggap sah
apabila telah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan. Selain
itu tidak dikenal pula istilah pendaftaran dan sertifikat mengenai tanah wakaf yang
ditemukan dalam literatur fikih. Selain itu dalam hukum Islam tidak ada ketentuan
khusus yang mengharuskan adanya pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf.
Makanya tak heran jika umat Islam khususnya umat Islam di Indonesia dalam
melakukan praktek wakaf ini hanya berdasarkan tradisi lisan, yaitu asas saling
kepercayaan antara wakif dan nazhir, dan faham seperti ini menndikasikan lugunya
pemahaman muslim Indonesia saat itu yang mendasarkan praktek wakaf hanya
dengan tradisi lisan karena menganggap ketika tanah sudah diwakafkan berarti sudah
dianggap sebagai milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu
gugat tanpa seizin Allah84.
Pemahaman mengenai wakaf masyarakat muslim Indonesia yang masih lugu
tersebut memang sangat di pengaruhi oleh faham bermazhab masyarakat muslim
Indonesia yang mayoritas mengikut kepada mazhab Imam Syafi’i yang notabene
mazhab yang dianut dan diikuti oleh masyarakat muslim negri ini sejak dahulu.
Seperti kita ketahui dalam mazhab Imam Syafi’i, wakaf dianggap sah apabila
telah memenuhi rukun dan syaratnya tanpa adanya pencatatan, pernyataan lisan
secara jelas (sharih) menurut pandangan Imam Syafi’i merupakan bentuk dari
pernyataan wakaf yang sah. 85dan memang tak hanya mazhab Imam Syafi’i saja yang
tidak mensyaratkan adanya pencatatan, Imam mazhab yang lainnya juga tidak
membahas atau mensyaratkan adanya pencatatan ketika membahas masalah wakaf
ini. Tradisi wakaf seperti inilah (tradisi lisan) yang secara turun temurun dan sudah
mendarah daging dipraktekkan oleh masyarakat muslim Indonesia dalam melakukan
kegiatan perwakafan, hingga terbitnya Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun 1977
yang mengatur mengenai perwakafan tanah milik.
Dalam peraturan pemerintah no.28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah
milik diatur mengenai peraturan perwakafan tanah yang mengharuskan adanya
pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf, karena sebelum adanya PP tersebut praktek
84 Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Depag RI,
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006) hal. 97 85 Achmad Djunaidi, dan Thobieb Al-Asyhar,. Menuju era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif untuk kesejahteraan umat. (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006) hal. 48
wakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan seperti melakukan wakaf
hanya dengan lisan dan atas dasar saling percaya.86
Akibat dari praktek wakaf seperti itu perwakafan tidak berkembang alias
stagnan, bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak
ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain.87
Dengan adanya Peraturan Pemerintah ini, sebenarnya pemerintah pada waktu itu
ingin mengatur kegiatan perwakafan tanah sekaligus sebagai upaya tertib hukum,
karena pemerintah menyadari besarnya potensi wakaf dan banyaknya masyarakat
muslim Indonesia yang melaksanakan praktek wakaf tanah tanpa adanya pencatatan
dan pengadministrasian, disamping ingin menyediakan landasan atau payung hukum
yang menaungi kegiatan wakaf, karena ini ada kaitannya dengan masalah agraria
yang mana terkait dengan hukum perdata sangat kompleks permasalahannya apabila
tidak ada peraturan dan tertib hukum yang mengaturnya.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan keharusan adanya
pencatatan ikrar wakaf yang diatur dalam pasal 9 ayat (1)
Pasal 9
(1) Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf. 88
86 Ibid, hal. 97 87 Ibid, hal, 98 88 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Dirjen Bimas
Islam, Depag RI, 2006) hal.134
Setelah melakukan ikrar wakaf dihadapan PPAIW maka selanjutnya adalah
pendaftaran tanah wakaf tersebut, hal ini diatur dalam bagian kedua dan pasal 10
Peraturan Pemerintah ini. Artinya setelah wakif tanah wakaf tersebut mengikuti
serangkaian prosedur diatas maka bisa dikatakan tanah wakaf tersebut sah secara
hukum dan mempunyai kekuatan yang legal dimata hukum.
Selain Peraturan Pemerintah Nomer.28 Tahun 1977 ini, ada peraturan yang
baru yang mengatur tentang perwakafan, yaitu Undang-undang Nomer 41 tahun 2004
tentang wakaf, dalam Undang-undang ini senada dengan PP Nomer.28 tahun 1977
tanah wakaf dikatakan sah apabila telah dicatat dan didaftarkan menurut prosedur dan
peraturan yang berlaku hal ini sebagaimana tercantum dalam penjelasan UU ini
dalam bagian umum dijelaskan pada nomer 1 bahwa perbuatan hukum wakaf wajib
dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan dan diumumkan dan
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan dengan tata cara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus
dilakukan.89
Selanjutnya bagaimana status atau kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan
sebelum berlakunya Undang-undang Nomer 41 Tahun 2004 tentang wakaf ini?
Seperti dijelaskan dalam peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah nomer 28
tahun 1977 tentang wakaf tanah milik, dalam pasal 15 Bab VII dijelaskan bahwa
tanah wakaf yang terjadi sebelum terbitnya PP ini maka pendaftarannya dilakukan
oleh nadzir kepada KUA setempat seperti pada prosedur ikrar wakaf dan
89 Ibid, hal. 36
pendaftarannya hal ini disebabkan karena tanah wakaf yang terjadi sebelum PP
Nomer 28 Tahun 1977 ini, dilakukan hanya dengan kebiasaan secara lisan atas dasar
kepercayaan ini, mungkin secara hukum Islam sah tapi secara hukum positif belum
sah karena tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh PP ini, yaitu adanya
keharusan pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomer 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
dijelaskan bahwa status atau kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya Undang-undang ini apabila telah dicatatkan dan didaftarkan berdasarkan
peraturan yang berlaku pada saat itu yaitu Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun
1977 dinyatakan sah sebagai wakaf dan secara hukum. Dan wajib didaftarkan paling
lama 5 tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Hal ini sesuai dan sebagaimana
diatur dalam pasal 69 ayat (1) dan (2) pada BAB X tentang ketentuan peralihan
sebagai berikut :
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, wakaf yang yang dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum diundangkannya Undang-ndang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf
menurut undang-undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan
diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan.90
Dari pasal peralihan dalam UU Nomer 41 tahun 2004 ini, jelas sudahlah
bahwa tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya Undang-undang ini selama
tanah wakaf tersebut memang sudah terdaftar menurut peraturan yang berlaku pada
saat praktek wakaf itu dilakukan adalah sah sebagai wakaf. Sebagaimana tertulis
dalam dalam ketentuan peralihan pasal 69 ayat (1) dan (2).
D. Analisa
1. Letak Geografis Pondok Pesantren
Seperti diketahui Pondok Pesantren Daar el-Hikam yang terletak di Jl.
Menjangan Raya No.27 pada awal didirikannya adalah bernama Pondok Pesantren
Assulaiman yang mana merupakan sebuah pesantren berbasis salafiyah yang
memang didirikan untuk mensyiarkan Islam dan melestarikan warisan Ulama-ulama
salafiyah melalui pengkajian kitab-kitab kuning peninggalan para Ulama klasik, dan
memang tradisi dan corak khas sebuah pesantren salafi seperti itu.
Dari data yang penulis dapatkan tanah wakaf ini ini terletak di desa Pondok
Ranji kecamatan Ciputat Timur, kota Tangerang Selatan Propinsi Banten. Tanah
wakaf ini berupa tanah darat atau wakaf benda tidak bergerak, dengan sertifikat
nomer 1813. Tanah wakaf ini mempunyai panjang 800 m², lebar 700 m² dengan total
luas 5.877 m². Batas sebelah timur berbatasan dengan jalan raya, sebelah barat
90 Ibid, hal. 31
berbatasan dengan tanah milik H. Musa, sebelah utara berbatasan dengan tanah milik
Desa, sedangkan sebelah selatan berbatasan tanah milik H. Mustofa.91
Pada awal berdirinya pondok ini belum memiliki bangunan, sarana dan
prasarana yang mencirikan bahwa itu adalah sebuah pesantren, dikarenakan masih
menempati beberapa bangunan bekas kontrakan tahun 70-an, selain itu ketika pondok
ini berdiri yaitu pada tahun 2001 hanya memiliki beberapa orang santri saja dan ini
adalah hal yang biasa terjadi pada sebuah pesantren atau lembaga ketika awal berdiri.
Seiring berjalannya waktu, pelan tapi pasti pondok pesantren ini mulai dikenal
oleh masyarakat luas terutama dikalangan para mahasiswa yang sedang menempuh
pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dahulu masih bernama IAIN
Jakarta. Pondok yang pada awal berdirinya hanya memiliki beberapa gelintir
santri.saja maka hingga saat ini sudah memiliki puluhan santri putra dan putri yang
mana mereka semua adalah mahasiswa UIN Jakarta. Hal ini sungguh menarik dan
menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang masih konsen dan tertarik
dengan kehidupan dan pengajian kitab klasik atau kitab kuning ditengah arus
kehidupan mahasiswa yang sangat hedonis.
Ketika pertengahan 2007 pondok pesantren yang awalnya bernama pondok
pesantren Assulaiman berubah menjadi Pondok pesantren Daar el-Hikam dengan alas
an agar lebih umum dan tidak terkesan personal. Dan itu terbukti makin banyaknya
santri dari kalangan mahasiswa UIN Jakarta yang belajar dan pesantren di sini.
2. Status Wakaf Pondok Pesantren Daar el-Hikam
91 Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf, tertanggal 15 Maret 2002
Pondok pesantren Daar el-Hikam yang awalnya bernama Assulaiman, terletak
di jalan Menjangan Raya No.27 yang didirikan pada tahun 1999 adalah adalah
berstatus tanah wakaf. Sejarah awalnya adalah ketika para anak dari H. Sulaiman bin
H. Jaih yaitu H. Rasyid, Dra. Nurwahdah, Tuti Rosmaya Amd, Salbiyah, Nurika dan
Saidih berkumpul dikediaman H. Rasyid (anak tertua dari H. Sulaiman) pada sekitar
awal tahun 2002 untuk bermusyawarah dengan tujuan merealisasikan pesan dari
bapak mereka yaitu almarhum H. Sulaiman untuk mewakafkan tanahnya seluas 5.877
m² (seperti yang tertera dalam Akta Ikrar Wakaf).92 Maka pada hari Ju’mat tanggal 1
Muharram 1423 H atau bertepatan dengan 15 Maret 2002 terbitlah Akta Ikrar Wakaf.
Dari data yang penulis dapatkan yaitu dari Akta pengganti Akta Ikrar Wakaf dengan
Nomer W3/366/16 tahun 2002 diketahui susunannya sebagai berikut :
Wakif : Saidih
Nadzir : Drs. Karta Dinata
Saksi 1 : M. Yunus
Saksi 2 : M. Yani. 93
Dari keterangan diatas bisa disimpulkan bahwa tanah wakaf Pondok Pesantren
Daar el-Hikam adalah sah dimata Hukum, karena sudah memiliki Akta Ikrar Wakaf
dan sudah didaftarkan di KUA Kecamatan Ciputat tempat tanah wakaf itu berada.
Kalau kita lihat dari keterangan yang ada di Akta Ikrar Wakaf, disitu tertulis tahun
92 Wawancara pribadi penulis dengan ustadz H. Bahrudin Ketua dan Pengasuh Pondok
Pesantren Daar el-Hikam, pada Jum;at 28 Mei 2010. 93 Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf, tertanggal 15 Maret 2002 yang disahkan di
Ciputat.
2002 artinya ketika tanah wakaf ini terjadi peraturan yang berlaku saat itu adalah
Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
dimana diatur dalam BAB III pasal 9 tentang tata cara perwakafan dan
pendaftarannya.94 Dalam Peraturan Pemerintah ini dalam dalam BAB VII dijelaskan
bahwa perwakafan tanah yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini,
dalam artian perwakafan yang mengunakan tradisi lisan, maka harus didaftarkan pada
kantor KUA setempat karena perwakafan tanah yang terjadi sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini hanya berdasarkan tradisi lisan dengan dasar kepercayaan
tanpa adanya bukti-bukti otentik yang tertulis.
Sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun 1977 yang mengatur
tentang perwakafan tanah milik dimana mengharuskan adanya pencatatan dan
pendaftaran tanah wakaf seteah diikrarkan. Dimana hal ini dimaksudkan agar seluruh
perwakafan dapat dikontrol dengan baik dan bisa dihindari penyelewengan yang tidak
perlu baik oleh nadzir maupun oleh pihak ketiga.95 Begitu juga dengan Undang-
undang perwakafan yang baru yaitu Undang-undang Nomer 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dimana diatur dalam BAB III yang diperinci oleh pasal 32 sampai dengan
pasal 39 dimana wakaf sah apabila dicatakan dan didaftarkan pada lembaga yang
berwenang, dalam hal ini pejabat KUA.
94 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Dirjen Bimas
Islam, Depag RI, 2006) hal.132 95 Achmad Djunaidi, dan Thobieb Al-Asyhar,. Menuju era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif untuk kesejahteraan umat. (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006) hal. 91
Selanjutnya bagaimana kedudukan dengan tanah wakaf yang didaftarkan
sebelum berlakunya Undang-undang ini? Dalam Undang-undang yang baru ini
perwakafan tanah yang dilakukan dan didaftarkan sebelum adanya Undang –undang
ini adalah sah sebagai wakaf, sebagaimana diatur dalam BAB X tentang ketentuan
peralihan yang diperinci pada pasal 69 dan 70 didalam pasal tersebut disebutkan
bahwa “Dengan berlakunya Undang-undang ini, wakaf yang yang dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
diundangkannya Undang-ndang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut undang-
undang ini.”
Kemudian kaitannya dengan tanah wakaf pondok pesantren Daar el-Hikam
yang sebagaimana dketahui dari data-data yang penulis dapat bahwa pesantren ini
adalah berstatus tanah wakaf yang sah akan tetapi tanah wakaf ini didaftarkan
sebelum berlakunya Undang-undang yang baru dalam artian didaftarkan ketika masih
berada dibawah peraturan yang lama yaitu Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun
1977. Menurut Undang-undang yang baru ini kedudukannya adalah sah sebagaimana
diatur dalam pasal 69 Undang-undang ini, dengan catatan tanah wakaf tersebut wajib
didaftarkan paling lambat lima (5) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan
atau berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Ciputat Press, Ciputat : 2000
Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, Semarang: Toha Putra, tt.
Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al- Malibary, Fathul Mu’in Daar Ihya al-Kutub al- Arabiyyah, Indonesia, tt. Djunaidi, Achmad dan Al-asyhar, Thobieb. Menuju era Wakaf Produktif,Sebuah Upaya Progresif untuk kesejahteraan umat. Jakarta: Mitra abadi Press, 2006. Wajdy Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat ( Filantrofi Islam yang Hampir Terlupakan ). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Qahaf, DR Mundzir. Manajemen wakaf Produktif, penerjemah, Muhyiddin Mas Rida. Jakarta : Khalifa, 2004. Usman, Suparman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darululum Press, 1999.
Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia. Jakarta, 2006.
Departemen Agama RI, UU RI no 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, Dirjen
Bimas Islam. Jakarta : 2004. Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, Dirjen Bimas
Islam. Jakarta : 2006 Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, Jakarta : 2006. Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, Dirjen Bimas Islam. Jakarta : 2006.
Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Jakarta: 2006. Departemen Agama RI, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf. Jakarta: 2004. Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Jakarta: 2006. Zuhaili, Dr.Wahbah, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Daar el-Fikr, Juz 10, Beirut: 2007/1428 H.
Al-Qardawi, Yusuf, Hikmah Pelarangan Riba, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2002. Al-Asqalani, ibnu Hajar, terjemah buughul maram, alih bahasa: A.Hassan, Bandung: CV. Diponegoro, 2006. Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Al-Maraghi, Syeikh Ahmad Mushthofa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Bandung: CV. Rosda Karya, 1987.
CSRC UIN, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan (Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia)
BAB III
GAMBARAN UMUM PONPES DAAR EL-HIKAM
A. Sejarah Berdirinya
1. Potret singkat Ponpes Daar el-Hikam
Pondok pesantren daar el-hikam berlokasi di Jl. Menjangan Raya No. 27
RT.004 RW.001 Kelurahan Pondok Ranji Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang
Selatan ini berdiri diatas tanah seluas 5.877 m². Pondok pesantren ini didirikan pada
tanggal 03 Februari 1999, dimana pada awalnya Pesantren ini bernama Assulaiman
dan pada tanggal 12 juni 2007 berganti nama Menjadi Pondok Pesantren Daar el-
Hikam Yang dipimpin dan diasuh oleh K.H. Bahrudin S.Ag.
Adapun sejarah awal berdirinya pesantren ini adalah ketika K.H. Bahrudin
belajar di pesantren Sunanul Husna. Dimana ketika pada masa beliau belajar dan
mengajar, beliau menikah dengan salah seorang putri dari bapak H.Rasyid bin H.
Sulaiman, yang merupakan salah seorang warga Pondok Ranji yang secara kebetulan
bapaknya H. Rasyid yaitu H. Sulaiman ingin mewakafkan sebidang tanah seluas
5.877 m² untuk didirikan sebuah pesantren. Maka diserahkannya tanah wakaf
tersebut kepada menantunya agar dikelola untuk dijadikan sebuah pondok pesantren,
dengan demikian maka terwujudlah cita-cita KH. Bahrudin yang merupakan wasiat
dari bapak mertuanya (H. Sulaiman) yang ingin mendirikan sebuah pondok
pesantren.
35
36
Sebelumnya pesantren ini adalah sebuah komplek kontrakan, lalu dipecah
menjadi dua, sebagian kontrakan sebagian lagi pesantren. Lambat laun seiring dengan
berjalannya waktu maka semakin banyaklah santri yang belajar dipesantren ini, dan
akhirnya dihilangkanlah system kontrakan dan berubahlah seutuhnya menjadi
pesantren seutuhnya. Pesantren ini diresmikan pada bulan Dzul Hijjah 1421 H
tepatnya pada tahun 2000 M.
Di awal berdirinya pesantren ini, santri pertama yang belajar disini berjumlah
tiga orang mahasiswa UIN, waktu itu masih bernama IAIN Jakarta. Lalu lambat laun
seiring dengan penerimaan mahasiswa baru UIN Jakarta banyak santri yang
berdatangan untuk mendaftarkan diri di pesantren ini, dimana setiap tahunnya
pesantren ini membuka penerimaan santri baru melalui dua tes, yaitu tes wawancara
dan tes membaca kitab kuning. Maksud dari diadakannya tes ini adalah untuk
menentukan di kelas mana calon santri tersebut akan belajar. Hingga saat ini semua
santri yang belajar di pesantren ini seluruhnya adalah para mahasiswa UIN Jakarta,
baik putra maupun putri yang keseluruhannya berjumlah 90 santri.
2. Sarana dan Prasarana
Dalam perjalanannya Pesantren Dar el-Hikam ini banyak mengalami
perkembangan yang sangat signifikan, baik dari segi bangunan dan jumlah santri
yang belajar di Pondok ini. Mengenai jumlah santri, baik putra maupun putri yang
belajar di Pondok ini, dari data yang didapatkan dari tahun ke tahun semakin
meningkat, ini tak lepas dari strategi publikasi pondok yang sudah semakin baik dari
tahun ke tahun. Di samping itu juga materi yang dikaji di pesantren ini yaitu tentang
37
pengajaran kitab kuning yang notabene adalah kitab klasik peninggalan Ulama-ulama
klasik tempo dulu juga turut menjadi daya tarik tersendiri bagi calon santri.
Selanjutnya mengenai sarana dan prasarana yang terdapat di Pondok
pesantren ini dari tahun ke tahun semakin baik, hal ini ditandai dengan adanya dua
lokal baru yang dibangun pada awal tahun 2007, dimana keberadaan lokal ini cukup
representatif bagi kelancaran belajar para santri yang merangkap sebagai mahasiswa
UIN.
Berbicara mengenai sarana dan prasarana pondok pesantren ini, khususnya
mengenai bangunan tempat tinggal para santri putra kalau diflashback ke tiga tahun
yang lalu, memang sungguh memprihatinkan, dimana mereka (santri putra) waktu itu
masih menempati bangunan bekas kontrakan yang sudah berumur 30 tahunan, bisa
dibayangkan keadaannya ketika itu sungguh memprihatinkan, tapi berbekal tekad dan
semangat mencari ilmu yang kuat hal tersebut tidak menyurutkan semangat dan nyali
para santri untuk tetap belajar di pondok ini.
Adapun mengenai sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pondok pesantren
Daar el-hikam saat ini sudah semakin lengkap dan semakin baik tidak seperti pada
awal berdirinya pondok ini, dimana bangunannya sangat memprihatinkan karena
bangunan bekas kontrakan tahun 70 an. Semenjak tahun 2007 pondok pesantren ini
telah memiliki bangunan permanen yang layak bagi tempat tinggal para santri.
Disamping itu pondok ini juga memiliki sebuah musholah yang digunakan
selain sebagai tempat shalat juga berfungsi sebagai tempat belajar santri dan kegiatan
38
majlis ta’lim ibu-ibu. Berikut adalah sarana dan prasarana yang dimiliki pondok
pesantren daar el-hikam :
1. Bangunan
1. Tiga buah gedung asrama santri putra
2. Satu buah gedung asrama santri putri ( dua lantai )
3. Dua buah gedung sekretariat
4. Satu buah gedung TPA
5. Tiga lokal kelas ( dikontrakkan )
6. Satu buah musholah
2. Kamar Mandi
1. Lima buah kamar mandi santri putra
2. Tiga buah kamar mandi santri putri
3. Lahan pertanian
1. ±1000 m² lahan hijau untuk pertanian, yang terdiri dari pertanian pisang,
rambutan, singkong, umbi jalar dan lain sebagainya.
2. Satu buah empang peternakan ikan lele seluas ± 30 m²
B.Tujuan, Visi dan Misi
Pesantren sebagai sebuah lembaga syiar Islam yang sudah mempunyai akar
sejarah yang sangat panjang bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi umat Islam
Indonesia maka keberadaannya tentunya mempunyai tujuan, maupun visi dan misi.
Begitu juga dengan keberadaan pesantren Daar el-Hikam ini, tentunya ketika pada
39
awal didirikannya mempunya tujuan, visi dan misi. Adapun tujuan, visi dan misi dari
didirikannya pesantren ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan
Tujuan didirikannya pondok pesantren Daar el-hikam adalah :
a) Menciptakan sarana dan prasarana pembinaan umat sebagai modal pokok
pembentukan lingkungan yang Islami.
b) Meningkatkan kegiatan pendidikan Islam yang lebih terarah dengan
menggunakan fasilitas yang memadai.
c) Meningkatkan Syiar Islam dan mempererat tali Ukhuwah Islamiyah.
d) Memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk beramal shodaqoh
demi kemajuan dan kepentingan umat Islam.
2. Visi dan Misi
Adapun visi dan misi dari pesantren Daar el-Hikam adalah sebagai barikut :
a) Menciptakan generasi manusia-manusia yang selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai akhlak keislaman dalam kehidupannya melalui pengajaran
pesantren salafi.
Sedangkan misi dari didrikannya pondok pesantren Daar el-Hikam ini adalah
adalah :
a) Menciptakan generasi yang berakhlakul karimah
b) Menggali nilai-nilai keilmuan klasik yang bersumber dari kitab-kitab
salafi klasik.
40
c) Mensyiarkan dan melestarikan warisan luhur para ulama klasik dengan
jalan mengkaji kitab-kitab mereka.
d) Melestarikan tradisi pengajian kitab kuning
41
C. Struktur Yayasan
1. Skema Kepengurusan Ponpes Daar el-Hikam
PELINDUNG
Allah SWT
PENASEHAT H.Rasyid
PENGAWAS KETUA PONPES Hj. Lenih KH.Bahrudin
KETUA Rahmat Hidayatulloh
WAKIL Rizki Apriliantinas
BENDAHARA I Nurmansyah Lulu
SEKRETARIS Syatibi
PENDIDIKAN
Koor. Huffadzullah
HUMAS
Koor. Mishbah Attaloki
BENDAHARA II Ahmad
KEBERSIHAN
Koor. Ahmad Kahfi
KEAMANAN
Koor. Saiful Amri
DANUS
Koor. Firman Adi Saputra
DEPARTEMEN
42
D. Program Kegiatan
Seperti pada umumnya sebuah pesantren yang memiliki program kajian ilmu-
ilmu keislaman maka pondok pesantren Daar el-Hikam juga memiliki program-
program kegiatan harian mingguan dan tahunan. Seperti diketahui sebelumnya
pondok ini menitik beratkan pada pengajaran kitab-kitab kuning karena memang
pesantren ini adalah pesantren salafiyah yang ditujukan untuk mahasiswa yang
sedang menempuh S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Program kegiatan harian Pondok Pesantren Daar el-Hikam
Program pengajian rutin kitab kuning
a. Ba’da Subuh
1. Kitab Tauhid ( Jauhar at-Tauhid )
2. Kitab Fiqh ( kifayatul Akhyar )
3. Kitab Tasawuf ( Syarah Hikam )
b. Ba’da Ashar
1. Kitab Hadits ( Shahih Muslim )
2. Kitab Ilmu Hadits ( Baiquni )
3. Kitab Ushul Fiqh ( Lathoiful Isyaraat )
c. Ba’da Maghrib
1. Kitab Ilmu Nahwu ( Ajurumiyah )
2. Kitab Ilmu Sharaf ( Kailani )
3. Kitab Ilmu Sharaf ( Matan bina )
43
d. Ba’da Isya
1. Kitab Ihya ‘Ulumiddin
2. Kitab Tafsiir (Tafsiir Jalalain )
3. Kitab Nahwu (Mutamimah )
4. Kitab Nahwu ( Nadzom Imriti)
2. Selain itu ada juga program setoran hafalan harian.
1. Malam senin, selasa, rabu, kamis dan sabtu hafalan Nadzom Imriti
2. Ahad pagi setoran hafalan Nadzmul Maqsud
3. Program Mingguan
1. Pengajian mingguan Bapak-bapak.
2. Dzikiran tiap kamis malams
4. Program Tahunan
1. Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw
2. Peringatan Isra dan Mi’raj
3. Penyebaran Hewan Qurban
4. Panitia Pengumpulan dan Penyaluran Zakat Fitrah
BAB IV
A. Kondisi dan Situasi Perwakafan Tanah di Indonesia
Sejak Islam datang ke Indonesia berabad-abad lalu yang mana banyak sekali
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial dan religius masyarakat Indonesia,
dalam bidang kehidupan beragama misalnya adalah praktek wakaf. Praktek
perwakafan yang sudah lama dianut oleh masyarakat islam Indonesia …….
1. Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Sejak dan setelah datangnya Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia
melaksanakan wakaf berdasarkan faham keagamaan yang dianut yaitu faham
Syafi’iyah dan adat kebiasaan setempat. Pada waktu itu perwakafan tanah masih
menggunakan tradisi lisan atas dasar saling percaya, karena kebiasaaan memandang
wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat tuhan tanpa harus
melalui prosedur administratif dan harta wakaf dianggap sebagai milik Allah SWT
semata yang siapa saja tidak ada yang berani mengganggu gugat tanpa seijin Allah
SWT. 50
Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia, lembaga perwakafan sering
dilakukan oleh masyarkat yang beragama Islam. Hal ini sebagai konsekuensi logis
dari banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Seperti kerajaan Demak,
Samudera Pasai dan sebagainya. Sejak masa dahulu praktek wakaf ini telah diatur
50 Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, ( Jakarta : Mitra Abadi Press, 2006 ) hal. 47
oleh hokum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan berlandaskan ajaran yang
bersumber dari nilai-nilai Islam. Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia masalah
perwakafan sendiri telah mendapatkan perhatian dari pihak kolonialisme belanda. Hal
ini dikarenakan untuk menyikapi banyaknya praktek perwakafan yang dilakukan oleh
umat Islam Indonesia. 51
51 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta :
BAB IV
A. Kondisi dan Situasi Perwakafan Tanah di Indonesia
Sejak Islam datang ke Indonesia berabad-abad lalu yang mana banyak sekali
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial dan religius masyarakat Indonesia,
dalam bidang kehidupan beragama misalnya adalah praktek wakaf. Praktek
perwakafan yang sudah lama dianut oleh masyarakat islam Indonesia.
1. Sebelum Kemerdekaan Indonesia
Sejak dan setelah datangnya Islam, sebagian besar masyarakat Indonesia
melaksanakan wakaf berdasarkan faham keagamaan yang dianut yaitu faham
Syafi’iyah dan adat kebiasaan setempat. Pada waktu itu perwakafan tanah masih
menggunakan tradisi lisan atas dasar saling percaya, karena kebiasaaan memandang
wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat tuhan tanpa harus
melalui prosedur administratif dan harta wakaf dianggap sebagai milik Allah SWT
semata yang siapa saja tidak ada yang berani mengganggu gugat tanpa seijin Allah
SWT. 1
Pada masa pra kemerdekaan Republik Indonesia, lembaga perwakafan sering
dilakukan oleh masyarkat yang beragama Islam. Hal ini sebagai konsekuensi logis
dari banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Seperti kerajaan Demak,
Samudera Pasai dan sebagainya. Sejak masa dahulu praktek wakaf ini telah diatur
1 Ahmad Djunaidi dan Thobieb al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif Untuk Kesejahteraan Umat, ( Jakarta : Mitra Abadi Press, 2006 ) hal. 47
43
44
oleh hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan berlandaskan ajaran yang
bersumber dari nilai-nilai Islam. Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia masalah
perwakafan sendiri telah mendapatkan perhatian dari pihak kolonialisme belanda. Hal
ini dikarenakan untuk menyikapi banyaknya praktek perwakafan yang dilakukan oleh
umat Islam Indonesia.2 Di antara peraturan-peraturan tersebut adalah sebaagai berikut
:
1. Surat edaran Governemen pertama tertanggal 31 januari 1905 No.436 yang
termuat dalam bijblad 1905 No. 6196. dimana dalam surat edarannya ini
pihak colonial tidak menghalangi atau melarang praktek wakaf yang
dilakukan umat islam untuk memenuhi keagamaannya.
2. Surat edaran dari sekretaris Governemen tanggal 04 januari 1934 1361/A
yang termuat dalam bijblad 1931 No. 125/A. inti dari surat edaran ini adalah
untuk bisa mewakafkan harta benda harus ada persetujuan dari Bupati, dimana
Bupati akan menilai permohonan tersebut dari segi tempat dan maksud dari
pendirian itu. Tujuannya tidak lain agar tanah tersebut terdaftar.
3. Surat edaran sekretaris Governemen tertanggal 24 desember 1934 No.
3088/A yang termuat dalam bijblad tahun 1934 No. 13390. isi dari surat
edaran ini sifatnya hanya mempertegas apa yang telah disebutkan dalam surat
edaran sebelumnya. Dimana memberikan wewenang kepada Bupati untuk
2 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, ( Jakarta :
Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006 ) hal. 25
45
menyelesaikan perkara jika terjadi perselisihan atau persengketaan tentang
tanah-tanah wakaf tersebut.
4. Surat edaran sekretaris Governemen tertanggal 27 mei 1933 No. 1273/A yang
termuat dalam bijblad 1935 No. 13480. sama seperti surat edaran sebelumnya,
surat edaran ini pun bersifat penegasan terhadap surat-surat edaran
sebelumnya, dimana diatur mengenai tata cara perwakafan sebagai realisasi
dari bijblad No. 6169/1905 yang menginginkan registrasi dari tanah-tanah
wakaf tersebut.3
2. Setelah Kemerdekaan dan Sebelum PP No. 28 Tahun 1977
Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17
Agustus 1945, maka berakhirlah era kolonialisme belanda di Indonesia, akan tetapi
tidak berarti semua peraturan-peraturan peninggalan mereka hengkang pula dari tanah
air tercinta. Ada pula yang masih dipergunakan, seperti peraturan-peraturan tentang
perwakafan pada masa belanda masih berlaku ketika Indonesia merdeka. Berdasarkan
pasal II aturan peralihan UU 1945 yang berbunyi “ segala badan Negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut
UUD ini ”. 4
Selanjutnya pemerintah pada waktu itu, dengan tujuan untuk menyesuaikan
dengan alam kemerdekaan Negara Republik Indonesia, maka dikeluarkanlah
3 Ibid, hal 27 4 Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, 2006 ) hal. 5
46
beberapa petunjuk tentang perwakafan seperti petunjuk dari Departemen Agama
Republik Indonesia pada tanggal 22 desember 1953 tentang petunjuk-petunjuk
mengenai wakaf. Dalam perkembangan selanjutnya, dikarenakan pada waktu itu
masih dalam masa euphoria kemerdekaan dimana sendi-sendi peraturan dan
pemerintahan masih belum stabil, maka peraturan perwakafan tanah tersebut
dirasakan kurang memadai dan masih banyak kelemahan-kelemahannya, seperti
belum memberikan kepastian hukum mengenai tanah-tanah wakaf.5
Berdasarkan hal tersebut makanya tak heran jika permasalahan mengenai
perwakafan tanah ini mendapat perhatian yang khusus, dalam pasal 49 UU No. 5
tahun 1960 Tentang peraturan dasar pokok-pokok agrarian ( UUPA ) yang berbunyi
seperti berikut : 6
1. hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan
untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan
tersebut dijamin pada akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan
dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana
dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dengan hak pakai.
3. perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
5 Ibid, hal. 5 6 Ibid, hal. 6
47
Bisa disimpulkan dari ketentuan pasal 49 ayat (3) tersebut dapat disimpulkan
bahwa dalam rangka menertibkan dan melindungi tanah-tanah wakaf, pemerintah
harus memberikan pengaturannya yang tertuang dalam bentuk suatu peraturan
pemerintah. Akan tetapi peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh pasal 49 ayat (3)
tersebut baru ada pada 17 tahun kemudian sehingga praktis pada periode ini mau
tidak mau digunakan juga peraturan yang ada sebelumnya.
3. Setelah berlakunya PP No. 28 Tahun 1977
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa peraturan-peraturan yang
mengatur tentang perwakafan tanah di Indonesia masih belum memenuhi kebutuhan
maupun belum dapat memberikan kepastian hukum dalam rangka rangka melindungi
tanah-tanah wakaf yang ada, dalam artian peraturan-peraturan tersebut belum secara
sempurna dan komprehensif didalam menghandle permasalahan perwakafan tanah
yang kompleks. 7
Berangkat dari hal tersebut maka sesuai dengan ketentuan pasal 49 ayat (3)
UUPA maka pemerintah pada tanggal 17 Mei 1977 menetapakan PP No. 28 Tahun
1977 tentang perwakafan tanah milik.
Dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun1977, pemerintah
mempunyai beberapa pertimbangan yang dapat dinyatakan sebagai berikut :
1. bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan
sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan,
khususnya umat yang beragama Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan
7 Ibid, hal. 7
48
spiritual dan material menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
2. bahwa perundang-perundangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang
perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara
perwakafan juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak di
inginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai
tanah wakaf yang diwakafkan.
Seiring dengan berlakunya peraturan pemerintah nomer 28 tahun 1977 ini,
maka semua peraturan prundang-undangan tentang perwakafan sebelumnya
sepanjang bertentangan dengan PP nomer 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku
lagi. Sedangkan hal-hal yang belum diatur akan diatur lebih lanjut oleh Menag dan
Mendagri sesuai bidangnya masing-masing.
4. Setelah berlakunya UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf
Perbincangan mengenai wakaf memang tiada habisnya, hal ini terjadi seiring
dengan berkembangnya sistem perekonomian dan pembangunan yang memunculkan
inovasi-inovasi baru.8 Pada medio tahun 2000 hingga tahun 2004 isu yang paling
menonjol adalah ketika Prof. M.A. Mannan, seorang ekonom asal Bangladesh,
menggulirkan gagasan wakaf tunai.9 Yang disampaikan Mannan pada tahun 2001
8 Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, ( Jakarta : Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 31 9 Departemen Agama RI, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, ( Jakarta :
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006 ) hal. 6
49
yang mana dipresentasikan dalam forum Internasional di Harvard University. Dimana
konsep wakaf ini sudah secara sukses dipraktekkan secara sukses di Bangladesh.10
Makanya tak heran ketika wacana wakaf tunai digulirkan oleh M.A. Mannan,
seolah memecah kebekuan pemahaman dunia perwakafan tanah air yang selama ini
terkerangkeng pada salah satu mazhab fikih yang selama ini dianut oleh mayoritas
bangsa Indonesia.
Maka muncullah berbagai seminar dan pembahasan-pembahasan mengenai
penerapan wakaf tunai di Indonesia. Dan wakaf tunai adalah salah satu unsur yang
diakomodasi dalam UU No.41 Tahun 2004 ini, dimana dalam PP No.28 Tahun 1977
tidak dibahas mengenai jenis wakaf ini.
Selanjutnya perkembangan mengenai wakaf setelah adanya dan berlakunya
UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf adalah adanya payung Hukum yang jelas dan
legal didalam melakukan kegiatan perwakafan dengan kata lain semakin jelas dan
kuatnya peraturan yang mengatur tentan perwakafan khususnya tentang wakaf tanah
di Indonesia.
Hal ini menjadi penting karena PP No.28 tahun 1977 masih belum sempurna
ditambah lagi dengan kebiasaan masyarakat Islam Indonesia yang masih
menggunakan tradisi lisan dalam berwakaf dimana mengabaikan aspek administrasi
yang saat ini menjadi unsur yang sangat penting didalam perwakafan tanah.
10 PSTTI-UI, Wakaf Tunai Inovasi Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Umat, ( Jakarta : PSTTI-UI, 2006 ) hal. 6
50
B. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut Hukum Islam Dan UU No.41 Tahun
2004 Tentang Wakaf
Berbicara mengenai aspek legal dalam praktek perwakafan dalam hal ini
mengenai administrasi perwakafan tanah yang menyangkut keabsahan wakaf dimata
hukum positif memang sangat menarik, seperti yang kita ketahui dalam hukum Islam
tidak diatur mengenai aspek prosedural administrasi dalam berwakaf. Dalam hukum
Islam, wakaf dianggap sah jika telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya dan tidak
memerlukan prosedur administrasi seperti didalam hukum positif.
Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Indonesia, dimana sejak dan setelah
datangnya Islam ke Indonesia masyarakat kita melaksanakan wakaf berdasarkan
paham keagamaan yang dianut, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan
setempat. Dimana perwakafan tanah dilakukan secara tradisi lisan atas dasar saling
percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu. Dan menganggap bahwa perbuatan
wakaf sebagai amal shaleh tanpa harus melalui prosedur administratif dan harta
wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu
gugat tanpa seizin Allah Swt.11
Paham masyarakat Indonesia tersebut terlihat sangat lugu karena tingginya
sikap jujur dan saling percaya antara satu dengan yang lain. Praktek pelaksanaan
wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus diakui memunculkan persoalan
mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang berujung pada timbulnya
11Ahmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Sebuah Upaya
Progresif untuk Kesejahteraan Umat), ( Jakarta : Mitra Abadi Press, 2006 ) hal. 47
51
persengketaan-persengketaan karena ketiadaan bukti tertulis dan legal yang
menunjukkan bahwa harta tersebut telah diwakafkan.12 Dalam kaitannya dengan hal
tersebut maka ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu bagaimana perwakafan
tanah procedural administratif menurut Islam dan UU No.41 Tahun 2004 tentang
wakaf.
1. Tanah wakaf tanpa sertifikat menurut hukum Islam
Berbicara mengenai tanah wakaf tanpa sertifikat, berarti kita harus berbicara
juga mengenai hukum pendaftaran tanah wakaf menurut hukum Islam. Di dalam
fikih Islam tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf
secara rinci,13 berbeda halnya dengan hukum positif yang telah mengatur masalah
perwakafan dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan yang berupa Peraturan
Pemerintah yakni PP No28 Tahun 1977 Maupun dalam bentuk Peraturan yang baru
yaitu Undang-undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Kenapa dalam fikih Islam tidak dibahas mengenai urgensi pendaftaran tanah
wakaf, karena memang dalam Islam wakaf sudah dianggap sah apabila telah
memenuhi rukun dan syaratnya tanpa adanya prosedural pendaftaran seperti yang
terdapat dalam hukum positif. Karena pandangan masyarkat muslim saat itu masih
sangat religius dan mempunyai kepercayaan yang sangat tinggi sehingga menganggap
tanah wakaf adalah milik Allah SWT dan berpikir tidak akan ada orang yang berani
12 Ibid, hal. 48 13 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktik, ( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada ) hal. 37
52
mengganggu gugat apalagi sampai memperjual belikan tanah wakaf yang notabene
adalah milik Allah SWT.
Akan tetapi zaman terus berubah dan permasalahan kehidupan semakin
kompleks begitu juga dengan permasalahan perwakafan tanah yang semakin
kompleks seiring dengan modernnya zaman ditambah lagi dengan kehidupan era
ekonomi kapitalis global yang saat ini sungguh dominan dirasakan sehingga
memunculkan orang-orang dengan watak kapitalis yang tak lagi mengindahkan nilai-
nilai Agama. Dan tanah wakaf yang tak mempunyai legalitas resmi sungguh sangat
riskan terhadap oknum-oknum yang tak bertanggung jawab seperti itu, dan
perwakafan tanah dengan tradisi lisan berdasarkan Hukum Islam dirasa belum cukup
karena tidak mempunyai kekuatan hukum jika sewaktu-waktu terjadi sengketa.
Masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Islam sudah lama mengenal
lembaga wakaf, tujuan pokok yang menjadi common basic idie wakaf sebagai salah
satu lembaga keagamaan Islam adalah sebagai sarana pendukung pengembangan
kehidupan keagamaan, dan sejak Islam datang ke Indonesia, peraturan perwakafan
diatur menurut hukum agama Islam (fiqih). Tata cara perwakafan cukup dengan ikrar
dari wakif bahwa dia mewakafkan miliknya, seperti tanah, sawah, rumah dan lain-
lain untuk kepentingan agama atau masyarakat, dengan tidak usah ada Kabul menurut
kitab kuning dari semua mazhab fikih.14
14 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009 ) hal.
118
53
Sesungguhnya dalam perspektif pengaturan masalah perwakafan ini tidak
hanya menyangkut masalah dibidang keagamaan Islam belaka, namun kini
menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan, sehingga wakaf sebagai sebuah
lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna
pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat yang beragama Islam.15
Dalam hukum Islam sendiri tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan
pendaftaran tanah wakaf apalagi pensertifikasian tanah wakaf, karena memang dalam
Islam sendiri praktek wakaf dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan
syaratnya16 tanpa adanya syarat-syarat administrasi seperti yang dimaksud dan
dituntut dalam hukum positif dalam hal ini Undang-undang No.41 Tahun 2004
Tentang Wakaf.
Dan harus kita akui bahwa ketika Ulama-ulama fikih menyusun kitab-kitab
fikih terutama yang membahas masalah wakaf tidak sebutkan dan dicatatkan
mengenai pembahasan masalah pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf karena
kehidupan umat ketika itu belum kompleks seperti saat ini, dan tingkat keimanan
masyarakat muslim saat itu masih tinggi, tidak seperti saat ini dimana tingkat
keimanan masyarkat muslim sangat memprihatinkan, ditambah lagi berkembangnya
15 Ibid, hal. 119 16 Depag RI, Fiqih Wakaf, ( Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam,
Depag RI, 2006 ) hal.21
54
faham kapitalisme dan materialisme yang mengubah cara berpikir mereka mengenai
hal-hal kebendaan.
Seperti sudah kita ketahui dalam hukum Islam tidak ada ketentuan khusus
yang mengharuskan pencatatan, pendaftaran dan pensertifikasian tanah wakaf, dalam
praktek wakaf. Begitu juga para ulama fiqih terutama para Imam mazhab yang empat
tidak mencantumkan keharusan pengadministrasian dalam praktek berwakaf. Akan
tetapi dengan keadaan sekarang ini banyak terjadi persengketaan dalam wakaf maka
selayaknya kita lihat Firman Allah SWT, yaitu
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah yang tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya “ (QS. Al-baqarah: 282)
Ayat ini menegaskan keharusan mencatat kegiatan transaksi muamalah
seperti jual beli, sewa menyewa, hutang-piutang dan lain sebagainya. Selanjutnya
Adijani al-alabij meyatakan bahwa berwakaf adalah suatu kegiatan penyerahan hak
yang tak kalah pentingnya dengan kegiatan muamalah lainnya seperti jual beli, sewa
menyewa dan sebagainya, seperti yang dimaksud dalam ayat diatas, mengingat
penyerahan wakaf menyangkut status hak atas tanah wakaf untuk jangka waktu yang
tidak terbatas. Jika untuk muamalah lainnya Allah memerintahkan untuk
55
mencatatkannya maka secara analogi untuk wakaf pun seyogyanya harus ditulis juga.
Karena jiwa yang terkandung dalam ayat tersebut adalah agar dibelakang hari tidak
terjadi sengketa atau gugat menggugat diantara para pihak yang bersangkutan.17
Walaupun secara eksplisit ayat ini tidak menegaskan keharusan pencatatan wakaf
akan tetapi jika kita mengacu pada kondisi saat ini akan kerawanan harta benda wakaf
yang tidak memiliki bukti tertulis, maka ayat ini bisa dijadikan sandaran untuk
pencatatan dan pengadministrasian harta benda wakaf agar terhindar dari
penyelewengan, persengketaan dikemudian hari.
Selain itu ada beberapa kaidah fiqhiyyah yang senada dengan pendapat diatas
yaitu: kaidah (adh-dharaaru yuzaalu) yang berarti “kemudharatan harus
dihilangkan” dan kaidah (dar ul mafaasid wa jalbul mashaalih) yang berarti
“menolak kemudharatan dan menarik maslahah” dimana penyelewengan dan
persengketaan akibat tidak adanya pengadministrasian tanah wakaf adalah mudharat
yang harus dihilangkan.
Oleh karenanya berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan
bahwa para Imam mazhab tidak memberikan keterangan atau membahas mengenai
pengadministrasian tanah wakaf. Akan tetapi dengan pertimbangan argument-
argumen diatas yaitu surah al-baqarah ayat 282 dan beberapa kaidah fiqhiyyah
bahwa sebenarnya pencatatan dan pengadministrasian tanah wakaf adalah sangat
dianjurkan dan bisa disimpulkan bahwa berdasarkan alasan tersebut tanah wakaf yang
17 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, ( Jakarta: CV. Rajawali, 1992) hal.100
56
tidak dicatatkan dan didaftarkan adalah tidak sah menurut ketentuan tersebut. Maka
berdasarkan hal tersebut status tanah wakaf tanpa sertifikat menurut hukum Islam
sejauh dia sudah terdaftar dan tercatat pada instansi yang berwenang maka tanah
tersebut telah memiliki kekuatan dimata hukum. Karena hal ini senada seperti
dinyatakan dalam Undang-undang Nomer 41 tahun 2004 tanah wakaf adalah sah
apabila telah dicatatkan dan didaftarkan, adapun mengenai apakah tanah tersebut
sudah memiliki sertifikat tanah wakaf atau belum dalam Undang-undang ini tidak
dibahas apalagi dalam hukum Islam.
2. Tanah Wakaf Tanpa Sertifikat Menurut UU Nomer 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf
Dalam Undang-undang wakaf yang baru ini, dijelaskan bahwasanya tanah
wakaf dinyatakan sah dan legal dalam artian mempunyai kekuatan hukum apabila
telah diikrarkan dan didaftarkan menurut mekanisme dan peraturan yang berlaku
dalam hal ini adalah Undang-undang tentang wakaf yang baru yaitu Undang-undang
Nomer 41 tahun 2004 tentang wakaf. Adapun tata cara pendaftaran tanah wakaf
menurut UU dan prosedur yang berlaku adalah :
a. Telah melakukan Ikrar Wakaf di hadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf
(PPAIW), dalam hal ini adalah pegawai KUA setempat. Selanjutnya dalam
UU Nomer 41 tahun 2004 diatur dan dijelaskan mengenai ikrar wakaf dalam
bagian ketujuh pasal 17,18,19,20 dan pasal 21.
57
b. Setelah melakukan ikrar wakaf di depan PPAIW maka langkah selanjutnya sesuai
dengan UU ini adalah PPAIW atas nama Nadzir mendaftarkan harta benda wakaf
kepada instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar
wakaf ditandatangani. Hal ini diatur dalam pasal 32. Dalam hal pendaftaran harta
benda wakaf sebagaimana dimksud dalam pasal 32, PPAIW menyerahkan : salinan
akta ikrar wakaf dan surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen
terkait lainnya. Sebagaimana diatur dalam pasal 33. selanjutnya ketentuan ini juga
tercantum dalam pasal 34, 35, 36, 37, 38 dan 39 UU No.41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf.18
Didalam UU ini tidak dibahas mengenai sertifikasi tanah wakaf, padahal
selain tata cara pendaftaran tanah wakaf, tata cara pensertifikasian tanah wakaf juga
perlu karena menyangkut aspek legal hukum dari segi agraria tanah wakaf tersebut.
Sebenarnya mengapa dalam Undang-undang ini tidak dibahas mengenai sertifikat
tanah wakaf itu dikarenakan sertifikasi tanah wakaf merupakan satu kesatuan yang
tak terpisahkan dalam pencacatan dan pendaftaran tanah wakaf, dengan kata lain
tidak mungkin terbit sertifikat tanah wakaf sebelum tanah wakaf tersebut didaftarkan
ke instansi yang berwenang dalam hal ini adalah KUA yang mewilayahi lokasi dari
tanah wakaf tersebut berada.
18 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, ( Jakarta : Dirjen Bimas
Islam, Depag RI, 2006 ) hal. 17
58
Selanjutnya, kaitannya dengan tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat
tanah wakaf, bagaimana Undang-undang ini melihatnya, apakah ia sudah sah dan
memiliki kekuatan hukum yang kuat atau tidak? Untuk menjawab permasalahan ini
maka sebaiknya kita perhatikan dahulu bahwa wakaf secara hukum Islam dikatakan
sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukunnya, terlepas apakah dicatatkan atau
tidak pada instansi yang berwenang, karena memang dalam hukum Islam sendiri
tidak diharuskan adanya pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf.
Dalam prakteknya mayoritas umat Islam Indonesia melakukan praktek wakaf
seperti dikatakan diatas, akibatnya banyak tanah wakaf yang disalah gunakan karena
memang tidak ada bukti otentik bahwa tanah tersebut adalah tanah wakaf. Oleh
karenanya lahirnya beberapa peraturan perundangan yang mengatur mengenai
permasalahan wakaf, dan yang terbaru adalah Undang-undang Nomer 41 tahun 2004
tentang wakaf. Dalam Undang-undang ini dinyatakan dengan jelas dalam pasal 2
bahwa wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah.19 Dalam penjelasan Undang
–undang ini dinyatakan bahwa untuk menciptakan dan tertib administrasi wakaf guna
melindungi harta benda wakaf maka UU ini menegaskan bahwa perbuatan hukum
wakaf wajib dicatatkan dan dituangkan dalam dalam akta ikrar wakaf ( AIW ) dan
didaftarkan serta diumumkan yang pelaksanaannya dilakukan dilakukan sesuai
19 Departemen Agama RI, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, ( Jakarta: Depag RI, Dirjen Bimas Islam dan Haji, 2004 ) hal. 4
59
dengan tata cara yang diatur dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai
wakaf.20
Artinya menurut Undang-undang ini wakaf yang dilakukan sesuai dengan
syariah sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 Undang-undang ini dianggap sah,
dalam artian praktek wakaf tersebut telah memiliki legalitas hukum yang kuat. Dan
bagaimana status tanah wakaf tanpa sertifikat menurut Undang-undang ini? Seperti
telah dijelaskan diawal bahwa pencatatan dan pendaftara tanah wakaf adalah hal yang
urgen, dan sertifikat tanah wakaf tidak bisa diperoleh sebelum adanya dua hal
tersebut. Selagi tanah wakaf tersebut belum dicatatkan dan didaftarkan maka
sertifikat pun tidak bisa di terbitkan karena syarat dalam memiliki sertifikat tanah
wakaf adalah telah dicatatkan dan didaftarkan pada instansi yang berwenang.
Satu hal yang penting dalam Undang-undang ini adalah tanah wakaf yang sah
adalah tanah wakaf yang telah dicatatkan dan didaftarkan walaupun tanah tersebut
belum memiliki sertifikat wakaf. Sertifikat tanah wakaf disini berfungsi sebagai
syarat dari pembebasan tanah wakaf tersebut sebagai objek pajak.21
3. Cara Pensertifikasian Tanah Wakaf
Di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang wakaf baik
dalam Peraturan Pemerintah no.28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, KHI
20 Ibid, hal. 41 21 Wawancara Pribadi Penulis dengan Bpk. Afkar Bakarudin, Pejabat KUA Ciputat Timur
Kamis 31 Mei 2010.
60
maupun di dalam Undang-undang yang baru yaitu Undang-undang no.41 tahun 2004
tentang wakaf, tidak diatur masalah tata cara sertifikasi tanah wakaf. Akan tetapi agar
tanah wakaf tersebut dapat memiliki sertifikat tanah wakaf, maka tanah wakaf
tersebut harus mengikuti prosedur pensertifikasian yang mekanismenya sangat sulit
dan lama.
Berdasarkan wawancara penulis dengan pegawai KUA kecamatan Ciputat,
bahwasanya ada beberapa prosedur agar tanah wakaf bisa mendapatkan sertifikat
tanah wakaf diantaranya yaitu dengan memenuhi terlebih dahulu beberapa
persyaratan sebagai berikut :
.a. AIW (akta ikrar wakaf)
Dimana untuk mendapatkan AIW ini harus ada ikrar wakaf, yang syaratnya
adalah :
1. sertifikat/akte jual-beli/girik (bukti kepemilikan tanah)
2. surat pernyataan tanah yang ditandatangani oleh Lurah setempat
3. surat pernyataan tanah tidak dalam sengketa/belum pernah dijual belikan ditandatangani oleh Lurah dan Camat
4. keterangan tanah ditandatangani oleh Lurah dan Camat
5. surat PBB terakhir (asli)
6. foto kopi KTP wakif
7. foto kopi KTP nazhir 5 orang
8. foto kopi KTP saksi 2 orang
61
9. pernyataan waris dan kuasa waris (apabila wakif telah meninggal dunia) yang ditandatangani oleh semua ahli waris bermaterai 6000, diketahui oleh Lurah dan Camat
10. materai 6000, 10 lembar
11. surat akta notaries (yayasan atau lembaga hukum)22
b. Dokumen-dokumen penting lainnya ( SHM yang asli, PBB terakhir, Denah/peta
tanah wakaf)
Setelah semua syarat-syarat diatas terpenuhi maka selanjutnya adalah adalah
diserahkan ke KUA wilayah dimana tanah wakaf itu berada, selanjutnya pihak KUA
akan memeriksa apakah semua dokumen-dokumen yang diperlukan sudah lengkap
dan sesuai, jika sudah maka selanjutnya pihak KUA akan menyerahkannya ke pihak
BPN tingkat kabupaten yang membawahi wilayah tenpat tanah wakaf tersebut berada.
Dan selanjutnya pihak BPN akan memeriksa berkas-berkas yang diterima jika
memang sudah lengkap dan sesuai maka pihak BPN akan melakukan kunjungan dan
pengukuran tanah wakaf tersebut. Adapun setelah itu maka pihak BPN akan segera
menerbitkan sertifikat tanah wakaf dengan jangka waktu yang kondisional.23
C. Kedudukan Tanah Wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya UU No.41
Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Sebelum adanya Undang-Undang No.41 tahun 2004 ini ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perwakafan yaitu peraturan
22 Ibid. 23 Ibid.
62
pemerintah No 28 tahun 1977 yang mengatur masalah perwakafan tanah milik.
Dimana dalam peraturan pemerintah ini dijelaskan memngenai tata cara perwakafan
tanah milik.
Berbicara mengenai sertifikat wakaf berarti berbicara mengenai aspek
administrative, dalam kitab fikih diterangkan bahwa wakaf telah berlaku dengan
sebuah lafazh, walaupun tidak diumumkan oleh hakim dan hilang miliknya wakif
darinya walaupun barang tersebut masih ada ditangannya, demikian pendapat Syafii
yang diikuti oleh Imam Malik dan Imam Ahmad. Akan tetapi menurut Imam Abu
Hanifah tidak akan berlaku wakaf itu apabila tidak terlepas dari milik wakif, apabila
hakim memberikan putusan dengan mengumumkan barang wakaf tersebut. Ini berarti
menurut beliau bahwa benda wakaf akan berlaku apabila telah diumumkan oleh
hakim atau pengadilan.
Kaitannya dengan hal diatas adalah dalam hukum Islam wakaf dianggap sah
apabila telah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan. Selain
itu tidak dikenal pula istilah pendaftaran dan sertifikat mengenai tanah wakaf yang
ditemukan dalam literatur fikih. Selain itu dalam hukum Islam tidak ada ketentuan
khusus yang mengharuskan adanya pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf.
Makanya tak heran jika umat Islam khususnya umat Islam di Indonesia dalam
melakukan praktek wakaf ini hanya berdasarkan tradisi lisan, yaitu asas saling
kepercayaan antara wakif dan nazhir, dan faham seperti ini menndikasikan lugunya
pemahaman muslim Indonesia saat itu yang mendasarkan praktek wakaf hanya
dengan tradisi lisan karena menganggap ketika tanah sudah diwakafkan berarti sudah
63
dianggap sebagai milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu
gugat tanpa seizin Allah24.
Pemahaman mengenai wakaf masyarakat muslim Indonesia yang masih lugu
tersebut memang sangat di pengaruhi oleh faham bermazhab masyarakat muslim
Indonesia yang mayoritas mengikut kepada mazhab Imam Syafi’i yang notabene
mazhab yang dianut dan diikuti oleh masyarakat muslim negri ini sejak dahulu.
Seperti kita ketahui dalam mazhab Imam Syafi’i, wakaf dianggap sah apabila
telah memenuhi rukun dan syaratnya tanpa adanya pencatatan, pernyataan lisan
secara jelas (sharih) menurut pandangan Imam Syafi’i merupakan bentuk dari
pernyataan wakaf yang sah. 25dan memang tak hanya mazhab Imam Syafi’i saja yang
tidak mensyaratkan adanya pencatatan, Imam mazhab yang lainnya juga tidak
membahas atau mensyaratkan adanya pencatatan ketika membahas masalah wakaf
ini. Tradisi wakaf seperti inilah (tradisi lisan) yang secara turun temurun dan sudah
mendarah daging dipraktekkan oleh masyarakat muslim Indonesia dalam melakukan
kegiatan perwakafan, hingga terbitnya Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun 1977
yang mengatur mengenai perwakafan tanah milik.
Dalam peraturan pemerintah no.28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah
milik diatur mengenai peraturan perwakafan tanah yang mengharuskan adanya
pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf, karena sebelum adanya PP tersebut praktek
24 Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Depag RI,
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, 2006) hal. 97 25 Achmad Djunaidi, dan Thobieb Al-Asyhar,. Menuju era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif untuk kesejahteraan umat. (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006) hal. 48
64
wakaf masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan seperti melakukan wakaf
hanya dengan lisan dan atas dasar saling percaya.26
Akibat dari praktek wakaf seperti itu perwakafan tidak berkembang alias
stagnan, bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa dengan pihak
ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis ikrar wakaf, sertifikat tanah dan lain-lain.27
Dengan adanya Peraturan Pemerintah ini, sebenarnya pemerintah pada waktu itu
ingin mengatur kegiatan perwakafan tanah sekaligus sebagai upaya tertib hukum,
karena pemerintah menyadari besarnya potensi wakaf dan banyaknya masyarakat
muslim Indonesia yang melaksanakan praktek wakaf tanah tanpa adanya pencatatan
dan pengadministrasian, disamping ingin menyediakan landasan atau payung hukum
yang menaungi kegiatan wakaf, karena ini ada kaitannya dengan masalah agraria
yang mana terkait dengan hukum perdata sangat kompleks permasalahannya apabila
tidak ada peraturan dan tertib hukum yang mengaturnya.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan keharusan adanya
pencatatan ikrar wakaf yang diatur dalam pasal 9 ayat (1) sebagaimana berikut :
(1) Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf. 28
Setelah melakukan ikrar wakaf dihadapan PPAIW maka selanjutnya adalah
pendaftaran tanah wakaf tersebut, hal ini diatur dalam bagian kedua dan pasal 10
26 Ibid, hal. 97 27 Ibid, hal, 98 28 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Dirjen Bimas
Islam, Depag RI, 2006) hal.134
65
Peraturan Pemerintah ini. Artinya setelah wakif tanah wakaf tersebut mengikuti
serangkaian prosedur diatas maka bisa dikatakan tanah wakaf tersebut sah secara
hukum dan mempunyai kekuatan yang legal dimata hukum.
Selain Peraturan Pemerintah Nomer.28 Tahun 1977 ini, ada peraturan yang
baru yang mengatur tentang perwakafan, yaitu Undang-undang Nomer 41 tahun 2004
tentang wakaf, dalam Undang-undang ini senada dengan PP Nomer.28 tahun 1977
tanah wakaf dikatakan sah apabila telah dicatat dan didaftarkan menurut prosedur dan
peraturan yang berlaku hal ini sebagaimana tercantum dalam penjelasan UU ini
dalam bagian umum dijelaskan pada nomer 1 bahwa perbuatan hukum wakaf wajib
dicatat dan dituangkan dalam akta ikrar wakaf dan didaftarkan dan diumumkan dan
pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan dengan tata cara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai wakaf dan harus
dilakukan.29
Selanjutnya bagaimana status atau kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan
sebelum berlakunya Undang-undang Nomer 41 Tahun 2004 tentang wakaf ini?
Seperti dijelaskan dalam peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah nomer 28
tahun 1977 tentang wakaf tanah milik, dalam pasal 15 Bab VII dijelaskan bahwa
tanah wakaf yang terjadi sebelum terbitnya PP ini maka pendaftarannya dilakukan
oleh nadzir kepada KUA setempat seperti pada prosedur ikrar wakaf dan
pendaftarannya hal ini disebabkan karena tanah wakaf yang terjadi sebelum PP
Nomer 28 Tahun 1977 ini, dilakukan hanya dengan kebiasaan secara lisan atas dasar
29 Ibid, hal. 36
66
kepercayaan ini, mungkin secara hukum Islam sah tapi secara hukum positif belum
sah karena tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh PP ini, yaitu adanya
keharusan pencatatan dan pendaftaran tanah wakaf.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomer 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
dijelaskan bahwa status atau kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum
berlakunya Undang-undang ini apabila telah dicatatkan dan didaftarkan berdasarkan
peraturan yang berlaku pada saat itu yaitu Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun
1977 dinyatakan sah sebagai wakaf dan secara hukum. Dan wajib didaftarkan paling
lama 5 tahun sejak Undang-undang ini diundangkan. Hal ini sesuai dan sebagaimana
diatur dalam pasal 69 ayat (1) dan (2) pada BAB X tentang ketentuan peralihan
sebagai berikut :
(1) Dengan berlakunya Undang-undang ini, wakaf yang yang dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum diundangkannya Undang-ndang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf
menurut undang-undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan
diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini
diundangkan.30
Dari pasal peralihan dalam UU Nomer 41 tahun 2004 ini, jelas sudahlah
bahwa tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya Undang-undang ini selama
tanah wakaf tersebut memang sudah terdaftar menurut peraturan yang berlaku pada
30 Ibid, hal. 31
67
saat praktek wakaf itu dilakukan adalah sah sebagai wakaf. Sebagaimana tertulis
dalam dalam ketentuan peralihan pasal 69 ayat (1) dan (2).
D. Analisa Penulis
1. Letak Geografis Pondok Pesantren
Seperti diketahui Pondok Pesantren Daar el-Hikam yang terletak di Jl.
Menjangan Raya No.27 pada awal didirikannya adalah bernama Pondok Pesantren
Assulaiman yang mana merupakan sebuah pesantren berbasis salafiyah yang
memang didirikan untuk mensyiarkan Islam dan melestarikan warisan Ulama-ulama
salafiyah melalui pengkajian kitab-kitab kuning peninggalan para Ulama klasik, dan
memang tradisi dan corak khas sebuah pesantren salafi seperti itu.
Dari data yang penulis dapatkan tanah wakaf ini ini terletak di desa Pondok
Ranji kecamatan Ciputat Timur, kota Tangerang Selatan Propinsi Banten. Tanah
wakaf ini berupa tanah darat atau wakaf benda tidak bergerak, dengan sertifikat
nomer 1813. Tanah wakaf ini mempunyai panjang 800 m², lebar 700 m² dengan total
luas 5.877 m². Batas sebelah timur berbatasan dengan jalan raya, sebelah barat
berbatasan dengan tanah milik H. Musa, sebelah utara berbatasan dengan tanah milik
Desa, sedangkan sebelah selatan berbatasan tanah milik H. Mustofa.31
Pada awal berdirinya pondok ini belum memiliki bangunan, sarana dan
prasarana yang mencirikan bahwa itu adalah sebuah pesantren, dikarenakan masih
menempati beberapa bangunan bekas kontrakan tahun 70-an, selain itu ketika pondok
31 Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf, tertanggal 15 Maret 2002
68
ini berdiri yaitu pada tahun 2001 hanya memiliki beberapa orang santri saja dan ini
adalah hal yang biasa terjadi pada sebuah pesantren atau lembaga ketika awal berdiri.
Seiring berjalannya waktu, pelan tapi pasti pondok pesantren ini mulai dikenal
oleh masyarakat luas terutama dikalangan para mahasiswa yang sedang menempuh
pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dahulu masih bernama IAIN
Jakarta. Pondok yang pada awal berdirinya hanya memiliki beberapa gelintir
santri.saja maka hingga saat ini sudah memiliki puluhan santri putra dan putri yang
mana mereka semua adalah mahasiswa UIN Jakarta. Hal ini sungguh menarik dan
menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang masih konsen dan tertarik
dengan kehidupan dan pengajian kitab klasik atau kitab kuning ditengah arus
kehidupan mahasiswa yang sangat hedonis.
Ketika pertengahan 2007 pondok pesantren yang awalnya bernama pondok
pesantren Assulaiman berubah menjadi Pondok pesantren Daar el-Hikam dengan alas
an agar lebih umum dan tidak terkesan personal. Dan itu terbukti makin banyaknya
santri dari kalangan mahasiswa UIN Jakarta yang belajar dan pesantren di sini.
2. Status Wakaf Pondok Pesantren Daar el-Hikam
Pondok pesantren Daar el-Hikam yang awalnya bernama Assulaiman, terletak
di jalan Menjangan Raya No.27 yang didirikan pada tahun 1999 adalah adalah
berstatus tanah wakaf. Sejarah awalnya adalah ketika para anak dari H. Sulaiman bin
H. Jaih yaitu H. Rasyid, Dra. Nurwahdah, Tuti Rosmaya Amd, Salbiyah, Nurika dan
Saidih berkumpul dikediaman H. Rasyid (anak tertua dari H. Sulaiman) pada sekitar
awal tahun 2002 untuk bermusyawarah dengan tujuan merealisasikan pesan dari
69
bapak mereka yaitu almarhum H. Sulaiman untuk mewakafkan tanahnya seluas 5.877
m² (seperti yang tertera dalam Akta Ikrar Wakaf).32 Maka pada hari Ju’mat tanggal 1
Muharram 1423 H atau bertepatan dengan 15 Maret 2002 terbitlah Akta Ikrar Wakaf.
Dari data yang penulis dapatkan yaitu dari Akta pengganti Akta Ikrar Wakaf dengan
Nomer W3/366/16 tahun 2002 diketahui susunannya sebagai berikut :
Wakif : Saidih
Nadzir : Drs. Karta Dinata
Saksi 1 : M. Yunus
Saksi 2 : M. Yani. 33
Dari keterangan diatas bisa disimpulkan bahwa tanah wakaf Pondok
Pesantren Daar el-Hikam adalah sah dimata Hukum, karena sudah memiliki Akta
Ikrar Wakaf dan sudah didaftarkan di KUA Kecamatan Ciputat tempat tanah wakaf
itu berada. Dari keteerangan yang penuuulis dapatkan walaupun tanah wakaf ini
sudah didaftarkan akan tetapi tanah wakaf ini belum memiliki sertifikat tanah wakaf
dikarenakan adanya kendala birokrasi dalam pengurusannya, dimana berbelit-belit.
Kalau kita lihat dari keterangan yang ada di Akta Ikrar Wakaf, disitu tertulis
tahun 2002 artinya ketika tanah wakaf ini terjadi peraturan yang berlaku saat itu
adalah Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
dimana diatur dalam BAB III pasal 9 tentang tata cara perwakafan dan
32 Wawancara pribadi penulis dengan ustadz H. Bahrudin Ketua dan Pengasuh Pondok
Pesantren Daar el-Hikam, pada Jum;at 28 Mei 2010. 33 Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf, tertanggal 15 Maret 2002 yang disahkan di
Ciputat.
70
pendaftarannya.34 Dalam Peraturan Pemerintah ini dalam dalam BAB VII dijelaskan
bahwa perwakafan tanah yang terjadi sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini,
dalam artian perwakafan yang mengunakan tradisi lisan, maka harus didaftarkan pada
kantor KUA setempat karena perwakafan tanah yang terjadi sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini hanya berdasarkan tradisi lisan dengan dasar kepercayaan
tanpa adanya bukti-bukti otentik yang tertulis.
Sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun 1977 yang mengatur
tentang perwakafan tanah milik dimana mengharuskan adanya pencatatan dan
pendaftaran tanah wakaf seteah diikrarkan. Dimana hal ini dimaksudkan agar seluruh
perwakafan dapat dikontrol dengan baik dan bisa dihindari penyelewengan yang tidak
perlu baik oleh nadzir maupun oleh pihak ketiga.35 Begitu juga dengan Undang-
undang perwakafan yang baru yaitu Undang-undang Nomer 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf dimana diatur dalam BAB III yang diperinci oleh pasal 32 sampai dengan
pasal 39 dimana wakaf sah apabila dicatakan dan didaftarkan pada lembaga yang
berwenang, dalam hal ini pejabat KUA.
Selanjutnya bagaimana kedudukan dengan tanah wakaf yang didaftarkan
sebelum berlakunya Undang-undang ini? Dalam Undang-undang yang baru ini
perwakafan tanah yang dilakukan dan didaftarkan sebelum adanya Undang –undang
34 Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, (Jakarta: Dirjen Bimas
Islam, Depag RI, 2006) hal.132 35 Achmad Djunaidi, dan Thobieb Al-Asyhar,. Menuju era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif untuk kesejahteraan umat. (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2006) hal. 91
71
ini adalah sah sebagai wakaf, sebagaimana diatur dalam BAB X tentang ketentuan
peralihan yang diperinci pada pasal 69 dan 70 didalam pasal tersebut disebutkan
bahwa
“Dengan berlakunya Undang-undang ini, wakaf yang yang dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum
diundangkannya Undang-ndang ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut undang-
undang ini.”
Kemudian kaitannya dengan tanah wakaf pondok pesantren Daar el-Hikam
yang sebagaimana diketahui dari data-data yang penulis dapat bahwa pesantren ini
adalah berstatus tanah wakaf yang sah dan terdaftar di KUA kecamatan Ciputat
Timur akan tetapi tanah wakaf ini didaftarkan sebelum berlakunya Undang-undang
yang baru dalam artian didaftarkan ketika masih berada dibawah peraturan yang lama
yaitu Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun 1977.
Selanjutnya kedududukan atau status hukum tanah wakaf yang didaftarkan
sebelum tahun 2004 (sebelum berlakunya Undang-Undang Nomer 41 Tahun 2004)
kedudukannya adalah sah, dengan catatan, tanah wakaf tersebut telah dicatatkan dan
didaftarkan menurut peraturan yang berlaku sebelum tahun 2004 yaitu PP Nomer 28
Tahun 1977. oleh karenanya pondok pesantren Daar el-Hikam yang pada waktu itu
masih bernama Assulaiman sebagai tanah wakaf dari H. Sulaiman adalah sah sebagai
wakaf karena telah dicatatkan dan didaftarkan di KUA setempat berdasarkan
peraturan yang berlaku saat itu yaitu Peraturan Pemerintah Nomer 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan tanah milik, hal ini bias dilihat dari bukti otentik mengenai tanah
72
wakaf ini dalam hal ini adanya Akta Ikrar Wakaf. Hal ini sesuai dengan Undang-
Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, sebagaimana diatur dalam pasal 69 ayat
(1)Undang-undang ini, dengan catatan tanah wakaf tersebut wajib didaftarkan paling
lambat lima (5) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan atau berlaku,
sebagaimana disebutkan dalam pasal 70 Undang-Undang ini :
Pasal 69 ayat (2)
“ Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan
diumumkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan “
Yang menarik dari pasal diatas adalah tanah wakaf yang telah didaftarkan
sebelum berlakunya UU Nomer 41 Tahun 2004 adalah sah sebagai wakaf, akan tetapi
dengan catatan tanah wakaf tersebut wajib didaftarkan dan diumumkan lagi paling
lama lima (5) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.36 Dengan kata lain ada
semacam proses administrasi baru, yang masih membingungkan dari pasal 69 ayat (2)
diatas adalah yang wajib mendaftarkan lagi dan mengumumkan tanah wakaf yang
sudah terdaftar berdasarkan peraturan yang lama adalah apakah pihak nazhir sebagai
pemegang amanah sekaligus pengelola atau pihak pejabat PPAIW sebagai pejabat
lembaga yang berwenang dalam hal pencatatan dan pendaftaran wakaf? Dalam
Undang-Undang tidak dijelaskan mengenai hal ini, dan hanya dijelaskan wajib bagi
wakaf yang terdaftar pada peraturan sebelumnya untuk mendaftarkan dan
mengmumkan kembali dalam jangka waktu lima tahun sejak Undang-Undang yang
36 Departemen Agama RI, Proses Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam Depag RI, 2006) hal. 296
73
baru diundangkan tanpa adanya penjelasan ataupun sanksi apa yang akan diterima
seandainya tanah wakaf itu tidak didaftarkan dan diumumkan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 69 ayat 2 Undang-Undang wakaf yang baru ini.
Hal ini menjadi penting dalam kaitannya dengan kasus status tanah wakaf
yang terjadi pada Pondok Pesantren Daar el-Hikam, sebagaimana diketahui ponpes
ini berstatus sebagai tanah wakaf yang sah dalam artian tercatat dan terdaftar di KUA
setempat, tetapi terdaftar ketika sebelum berlakunya Undang-Undang wakaf yang
baru. Sebagaimana diketahui dalam Undang-Undang tersebut bahwa tanah wakaf
yang dilakukan berdasrkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum diundangkannnya Undang-Undang ini dinyatakan sah dan tanah wakaf
tersebut wajib didaftarakan dan diumumkankan paling lama lima tahun setelah
berlakunya UU ini.
Lalu bagaimana dengan kedudukan tanah wakaf Ponpes Daar-el-Hikam yang
didaftarkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomer 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf? Berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang tentang Wakaf
yang baru, tanah wakaf yang demikian adalah sah sebagai wakaf, karena tanah wakaf
ini telah mempunyai Akta Ikrar Wakaf dan sudah terdaftar di KUA kecamatan
Ciputat Timur, lokasi tanah wakaf ini berada. Artinya kalau dilihat dari pasal 69 ayat
1 Undang-Undang ini, maka kedudukan atau status tanah wakaf Pondok Pesantren
Daar el-Hikam adalah sah sebagai wakaf karena Undang-Undang tentang wakaf yang
baru ini tidak menghapus ketentuan perwakafan yang terjadi sebelum tahun 2004,
atau sebelum berlakunya Undang-Undang Nomer 1 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
74
Akan tetapi kalau kita lihat ayat 2 dari pasal 69 Undang-Undang ini maka
dalam waktu paling lama lima tahun wakaf tersebut wajib didaftarkan dan
diumumkan, sedangkan dari hasil wawancara penulis dengan Pimpinan Ponpes Daar
el-Hikam diketahui bahwa beliau tidak tahu adanya ketentuan seperti pasal 69 ayat 2
Undang-undang yang baru ini37, bahkan adanya Undang-Undang Nomer 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf saja beliau tidak tahu, padahal Undang-Undang ini sudah
diundangkan terhitung sejak oktober 2004 artinya Undang-Undang ini telah berlaku
selama 6 tahun. Walaupun demikian tanah wakaf Pondok Pesantren ini
kedudukannya atau statusnya sah dimata hukum, karena telah tercatat dan terdaftar.
Satu hal yang menjadi sorotan penulis dalam kasus ini adalah kurangnya
sosialisasi mengenai Undang-Undang wakaf yang baru ini, Padahal sosialisasi kepada
masyarakat mengenai sebuah produk Undang-Undang adalah sebuah hal yang urgen
agar, hal ini agar produk Undang-Undang tersebut bisa diketahui dan diterima tengah
masyarakat Indonesia. Artinya peran pemerintah dan lembaga terkait dalam hal
pengurusan wakaf perlu bekerja ektra agar suksesnya sebuah produk Undang-
Undang.
37 Wawancara pribadi penulis dengan ustadz H. Bahrudin Ketua dan Pengasuh Pondok
Pesantren Daar el-Hikam, pada Jum;at 28 Mei 2010.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang penulis dapatkan menngenai
kedudukan tanah wakaf yang didaftarkan sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomer 41 Tahun 2004 Tentang wakaf dapat ditarik kesimpulan:
1. Konsep wakaf dalam Islam adalah menahan atau mengawetkan modal
dalam artian menahan pokoknya atau asalnya dan memanfaatkan hasilnya
untuk kepentingan kebaikan, merupakan sebuah instrument ekonomi
dalam Islam yang jika di kelola dengan baik, professional dan maksimal
hasilnya akan luar biasa, dalam menopang ekonomi umat, khususnya
kaum dhuafa.
2. Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia sendiri konsep wakaf
tidak jauh berbeda dalam hukum Islam. Kegiatan perwakafan telah diatur
regulasinya dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seperti dalam
Undang-Undang Pokok Agraria Nomer 5 tahun 1960 dan Peraturan
Pemerintah Nomer 28 Tahun1977 Tentang perwakafan tanah milik,
sedangkan peraturan yang terbaru adalah Undang-Undang Nomer 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf yang lebih komprehensif dalam
mengakomodir masalah perwakafan, dimana tidak hanya diatur mengenai
76
3. Kedudukan atau status tanah wakaf Pondok Pesantren Daar el-Hikam
yang didaftarkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomer 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf, adalah sah sebagai wakaf. Hal ini sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang yang baru pada pasal 69 ayat 1, dimana
dinyatakan perwakafan yang terjadi berdasarkan ketentuan yang berlaku
sebelum diundangkannya peraturan yang baru ini adalah sah sebagai
wakaf menurut Undang-Undang ini.
4. Mengenai sertifikasi tanah wakaf, banyak tanah wakaf yang berada di
wilayah Kecamatan Ciputat Timur yang sudah terdaftar tapi belum
memiliki sertifikat tanah wakaf karena kendala berbelit-belitnya birokrasi
dalam pengurusannya serta lamanya waktu dalam terbitnya sertifikat.
Untuk bisa mendapatkan sertifikat wakaf adalah meyerahkan dokumen
AIW dan dokumen pendukung lainnya yang disyaratkan oleh pejabat
KUA untuk selanjutnya diserahkan pada mereka yang selanjutnya mereka
akan mengurusnya secara kolektif ke pihak BPN.
77
B. SARAN
Sesungguhnya berbicara masalah perwakafan terutama masalah perwakafan
tanah tidak lepas dari aspek hukum agraria, oleh karenanya diperlukan suatu
peraturan yang benar-benar bisa menjadi payung hukum bagi legalnya tanah wakaf
tersebut artinya ada semacam kekuatan hukum yang legal secara positif tidak hanya
secara hukum Islam saja, karena Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan
hukum. Kaitannya dengan permasalahan ini ada beberapa saran-saran yang ingin
penulis sampaikan :
1. Perlunya sosialisasi sebelum dan sesudah sebuah produk hukum dibuat,
dalam hal ini adalah pihak pemerintah dan DPR sebagai pembuat Undang-
undang dan pemerintah dalam pengesah dari Undang-Undang tersebut.
Sosialisasi bisa melalui media massa cetak, elektronik maupun melalui
seminar-seminar yang diadakan di kampus kampus terkemuka.
2. Kaitannya pihak KUA yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai
PPAIW, diharapkan untuk berperan lebih aktif terutama dalam proses
pembuatan sertifikat tanah wakaf agar birokrasinya jangan terlalu rumit,
sehingga tidak membuat para nazhir wakaf menjadi enggan dalam
pengurusan sertifikat tanha wakaf karena birokrasi yang sulit.
3. Kepada pihak pengelola tanah wakaf dalam hal ini Pondok Pesantren Daar
el-Hikam untuk seyogyanya mengikuti perkembangan mengenai peraturan
perundang-undangan mengenai perwakafan, agar kejadian ketidaktahuan
mengenai peraturan mengenai tanah wakaf tidak terjadi di kemudian hari.
78
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim Al-Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Al-Asqalani, ibnu Hajar, terjemah buughul maram, alih bahasa: A.Hassan, Bandung: CV. Diponegoro, 2006.
Abdul Halim, Hukum Perwakafan Di Indonesia, Ciputat Press, Ciputat : 2000
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.
Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah, HUKUM WAKAF Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi Dan Pengeolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani Faturrahman dan rekan-rekan, Jakarta : Dompet Dhuafa Republika dan IIMan Press.
Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah, Al- Muqni, Daar ‘Aalim Al-Kutub, tt, Juz ke 6 Al-Maraghi, Syeikh Ahmad Mushthofa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Bandung: CV.
Rosda Karya, 1987. sAl-Munawwar, Said Agil Husin, Hukum Islam DanPluralitasSosial, EditorHasan
M.Noer dan Musyafa-Ullah, Jakarta : Permadani, 2004. Al-Qaradhawi, Yusuf, Hikmah Pelarangan Riba, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2002. CSRC UIN, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan Studi tentang Wakaf dalam
Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perwakafan, Jakarta: Dirjen Bimas Islam,
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006 Departemen Agama RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia. Jakarta, 2006.
79
Departemen Agama RI, UU RI no 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, Dirjen Bimas Islam. Jakarta : 2004.
Departemen Agama RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, Dirjen Bimas Islam.
Jakarta : 2006 Departemen Agama RI, Proses Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
Jakarta : 2006. Departemen Agama RI, Fiqih Wakaf, Dirjen Bimas Islam. Jakarta : 2006. Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Jakarta:
2006. Departemen Agama RI, Strategi Pengamanan Tanah Wakaf. Jakarta: 2004. Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, Direktorat
Pemberdayaan Wakaf, Dirjen Bimas Islam, Jakarta: 2006. Djunaidi, Achmad dan Al-asyhar, Thobieb. Menuju era Wakaf Produktif,Sebuah
Upaya Progresif untuk kesejahteraan umat. Jakarta: Mitra abadi Press, 2006. Muhammad Syah dkk, Ismail, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara dan
Direktorat Jenderal pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag, 1992 Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997. Muslim, Imam, Shahih Muslim, Maktabah Daar Ihya al-Kutub, tt. Qahaf, DR Mundzir. Manajemen wakaf Produktif, penerjemah, Muhyiddin Mas Rida.
Jakarta : Khalifa, 2004. Sabiq, Sayyid, Fiqhu Al-sunnah, Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, tt, Juz 2 Shihab, M.Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Jakarta: Lentera Hati, 2002. S. Praja, Juhaya, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran Hukum, dan
Perkembangannya, Bandung : Yayasan Piara, 1995 Syaikh Ibrahim al-Baijuri. Hasyiyah al-Baijuri ‘ala ibni Qasim al- Guzza, Semarang:
Toha Putra, tt.
80
Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al- Malibary, Fathul Mu’in Daar Ihya al-Kutub al-
Arabiyyah, Indonesia, tt. Terjemah Nailul Authar, Himpunan Hadis-hadis Hukum, Penerjemah Mu’ammal
Hamidi, Imran A.M, Umar Fanani, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2001. Usman, Suparman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darululum Press, 1999. Wajdy Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat ( Filantrofi Islam yang
Hampir Terlupakan ). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007. Zainuddin, A. Rahman Ritonga, Fiqih Ibadah, Jakarta : Gaya Media Pratama Zuhaili, Dr.Wahbah, al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, Daar el-Fikr, Juz 10, Beirut:
2007/1428 H.
QUESTION LIST Pewawancara : Ahmad Patoni
Yang diwawancara : Afkar Bakarudin S.Pdi
Jabatan : Penghulu/Bagian Perwakafan
Tanggal : 31 Mei 2010
Tempat : KUA Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Banten
1. Bagaimana mekanisme dalam pensertifikasian tanah wakaf ?
Jawab : secara global mekanismenya adalah pertama wakif mendatangi KUA
setempat sambil membawa persyaratan administrasi yang diperlukan, setelah itu pihak
KUA mengecek kelengkapannya setelah dinyatakan lengkap maka pihak KUA
meneruskannya ke pihak Kantor Kementrian Kabupaten, setelah itu diteruskan ke pihak
BPN, dimana pihak BPN akan mengecek tanah wakaf tersebut apakah sudah layak atau
tidak diterbitkannya sertifikat wakaf.
2. Syarat apa saja yang diperlukan dalam pensertifikasian tanah wakaf ?
Jawab : syarat yang diperlukan adalah AIW, surat bukti kepemilikan tanah yang
asli (SHM), surat pajak, surat keterangan tanah dari Lurah dan Camat yang menerangkan
bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa, foto kopi KTP wakif, nadzir dan saksi-saksi,
surat keterangan ahli waris jika wakif telah meninggal dunia, dan akta notaris jika yang
mewakafkan adalah berbentuk yayasan .
3. Berapa lama waktu yang dibutuhkan dan biaya yang diperlukan dalam pensertifikasian
ini ?
Jawab : mengenai masalah waktu tidak bisa ditentukan artinya bersifat
kondisional dan ini sangat ini tergantung dari kelengkapan administrasi yang dibawa dari
pihak wakif.disamping itu pihak BPN juga tidak hanya mengurusi masalah tanah wakaf
saja. Mengenai biaya, ada dana hibah dari Pemda atau Bupati.
4. Apakah tanah wakaf yang sudah terdaftar wajib disertifikasi ?
Jawab : ya, wajib. Agar tanah wakaf tersebut memiliki kekuatan hukum jika suatu
saat nanti ada sengketa mengenai tanah wakaf tersebut.
5 Apakah manfaat dari pensertifikasian tanah wakaf ?
Jawab : pertama tanah wakaf tersebut sudah memiliki kekuatan hukum, kedua
tanah wakaf tersebut bebas dari pajak, dan terjamin dari segala macam bentuk sengketa
mengenai tanah wakaf tersebut.
6. Upaya apa saja yang telah dilakukan oleh KUA kecamatan Ciputat terhadap tanah
wakaf yang belum memiliki sertifikat tanah wakaf ?
Jawab : Himbauan kepada masyarakat untuk segera didaftarkan tanah wakaf yang
belum diikrarkan atau yang belum bersertifikat melalui PAH (penyuluh agama Honorer)
dan pertemuan-pertemuan baik dalam kegiatan-kegiatan para amil (penghulu), rapat-rapat
tingkat kecamatan serta pengajian MUI tingkat Kecamatan.
7. Kendala apa saja yang ditemukan dilapangan berkaitan dengan upaya ini ?
Jawab : kendala utamanya adalah tidak adanya bukti otentik mengenai kepemilika
tanah wakaf tersebut dan adanya perselisihan antara nadzir dengan ahli waris dari pihak
wakif.
QUESTION LIST
Pewawancara : Ahmad Patoni
Nara Sumber : KH. Bahrudin S.Ag
Jabatan : Ketua Ponpes Daar el-Hikam
Tanggal : 28 Mei 2010
Alamat : Jl. Menjangan Raya No.27 Pondok Ranji Ciputat
1. Bagaimana sejarah terjadinya tanah wakaf Ponpes ini ?
Jawab : sejarah teradinya tanah wakaf ponpes ini bermula ketika H. sulaiman bin
H.Jaih berniat ingin mewakafkan tanahnya untuk pondok pesantren kepada anaknya yang
bernama H. Rasyid. Lalu sepeninggal H. Sulaiman, H. Rasyid sebagai anak tertua
mengadakan musyawarah keluarga pada sekitar awal 2002 untuk merealisasikan niat dari
bapak mereka yaitu ingin mewakafkan tanahnya untuk sebuah pondok pesantren. Hingga
pada hari jumat tanggal 1 Muharam bertepatan dengan 15 maret 2002 terbitlah AIW
dengan No. W3/366/16 tahun 2002.
2. Dalam UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ada ketentuan bahwa tanah wakaf yang
terjadi sebelum terbitnya UU tersebut maka tanah wakaf tersebut harus didaftarkan ulang
setelah UU ini terbit, apakah tanah wakaf ponpes ini telah didaftarkan Ulang ?
Jawab : belum,
3. Kenapa ?
Jawab : karena tidak tahu adanya ketentuan tersebut disamping itu saya juga
tidak tahu adanya Undang-Undang yang baru yang mengatur mengenai wakaf tersebut.
4. Apakah tanah wakaf ini sudah memiliki sertifikat tanah wakaf ?
Jawab : belum.
5 Kenapa ?
Jawab : pertama malas mengurusnya dan kita di sini bersikaf pasif artinya bersikap
menunggu.
6. Apakah pernah mencoba mengurusnya ?
Jawab : Dulu pernah mengurusnya akan tetapi dikarenakan birokrasi yang
berbelit-belit akhirnya dibiarkan sajalah seperti ini.
7. Apakah Pak Kiayi tahu akibat tanah wakaf yang belum memiliki sertifikat wakaf ?
Jawab : setahu saya tanah wakaf tersebut masih harus dikenakan kewajiban
membayar pajak atas tanah tersebut.