THE TRUTH BEHIND VACCINE COVER UP
Kebenaran Di Balik Cover Up Vaksin
Dr. Russell L. Blaylock, M.D.
THE TRUTH BEHIND VACCINE COVER UP
KEBENARAN DI BALIK COVER-UP VAKSIN
Russell L. Blaylock, M.D. (c) 2004
Ketika saya diminta untuk menulis makalah berisi mekanisme yang lebih baru mengenai
kerusakan yang ditimbulkan vaksin pada sistem saraf, saya menemukan sebuah dokumen luar
biasa yang akan mengungkap penipuan yang diprakarsai oleh pabrik-pabrik obat yang
bekerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah yang berkuasa.
Semuanya bermula ketika seorang sahabat mengirimi saya salinan surat dari Senator David
Weldon, M.D. (Partai Republik, negara bagian Florida) kepada direktur CDC, dr. Julie L.
Gerberding. Dalam surat itu, dia menyinggung sebuah kajian oleh dr. Thomas Verstraeten,
yang saat itu mewakili CDC, mengenai hubungan antara bayi yang terpapar vaksin yang
mengandung thimerosal dan cederanya perkembangan saraf.
Dalam surat yang mengejutkan itu, Weldon merujuk pada kajian dr. Verstraeten yang
memeriksa data dari Vaccine Safety Datalink dan menemukan suatu hubungan nyata antara
paparan thimerosal melalui vaksin dan sejumlah kelainan dalam perkembangan saraf,
termasuk gemetar, tertundanya kemampuan bicara serta (penguasaan) bahasa, dan
kemungkinan ADD.
Weldon bertanya kepada direktur CDC, mengapa –setelah pertemuan ini— dr. Verstraeten
mempublikasikan hasil kajiannya hampir empat tahun kemudian di jurnal Pediatrics dengan
kesimpulan yang berlawanan, yaitu tidak ada hubungan antara masalah kelainan-kelainan
perkembangan saraf dan paparan thimerosal pada bayi. Dalam suratnya, Weldon merujuk
pada sebuah laporan yang mencatat pertemuan di Georgia yang mengekspos beberapa
pernyataan yang sulit dipercaya dari ‘para pakar’ yang terkumpul dalam kelompok kajian ini.
Kesulitan Besar
Saya menghubungi asisten legislatif Weldon dan dengan senang hati dia mengirimi saya
salinan lengkap dari laporan ini. Sekarang, seperti biasa, dalam kasus ini, pemerintah tidak
bersedia memberikan laporan ini. Untuk mendapatkannya, diperlukan legalitas Freedom of
Information Act. Setelah membaca dua kali dan menganalisisnya dengan hati-hati, saya bisa
memahami alasan mereka yang tidak ingin orang luar membacanya. Laporan itu adalah suatu
kajian dahsyat, seperti yang nanti akan Anda ketahui.
Dalam analisis ini, saya tidak hanya akan mendeskripsikan dan mendiskusikan laporan itu, tapi
saya juga akan sering mengutip langsung perkataan mereka dan melengkapinya dengan nomor
halaman, sehingga pembaca bisa mengecek sendiri.
Judul resmi pertemuan ini adalah ‘Tinjauan Ilmiah Tentang Informasi dari Vaccine
Safety Datalink.’ Konferensi ini diadakan pada 7-8 Juni 2000 di Simpsonwood Retreat
Center, Norcross, Georgia. Di situ berkumpul 51 ilmuwan dan dokter, termasuk lima
perwakilan dari pabrikan vaksin (Smith Kline Beecham, Merck, Wyeth, North American
Vaccine dan Aventis).
Selama konferensi ini, para ilmuwan berfokus pada kajian terhadap material dari Datalink,
dengan pengkaji utama dr. Thomas Verstraeten, yang memperkenalkan diri bekerja pada
Program Vaksinasi Nasional CDC.
(Senator Weldon memergoki dr. Verstraeten keluar dari CDC tidak lama setelah pertemuan
itu untuk bekerja pada Glaxo Smith Kline (GSK) di Belgia yang memproduksi vaksin, suatu
pola berulang yang disebut ‘pintu berputar.’ Menarik juga untuk dicatat bahwa GSK terlibat
dalam beberapa tuntutan hukum akibat komplikasi sekunder vaksin mereka).
Mengawali pertemuan itu, dr. Roger Bernier, Associate Director for Science di Program
Vaksinasi Nasional CDC, menghubungkan sejumlah sejarah yang ada sangkut pautnya. Dia
menyatakan bahwa tuntutan kongres di tahun 1997 menyaratkan FDA agar meninjau merkuri
yang dipakai dalam obat-obatan dan sediaan biologis (vaksin). Untuk memenuhinya, FDA
meminta informasi dari pabrikan vaksin dan obat. Dia mencatat bahwa sekelompok pembuat
undang-undang dan pabrikan bertemu pada bulan April 1999 dan memberikan perhatian pada
masalah itu, tetapi mereka tidak merekomendasikan perubahan.
Dengan kata lain, pertemuan itu sekadar formalitas.
Rahasia Terbongkar
Sampai di sini, dr. Bernier mengatakan hal yang sulit dipercaya (halaman 12). Dia katakan,
“Di Amerika Serikat, terjadi peningkatan penyadaran bahwa paparan kumulatif mungkin
melampaui jumlah garis pedoman.” Yang dimaksud garis pedoman di sini adalah level
keamanan paparan merkuri yang ditetapkan oleh beberapa lembaga yang mengeluarkannya.
Ada tiga garis pedoman yang ditetapkan masing-masing oleh Agency for Toxic Substances
and Disease Registry (ATSDR), Food and Drug Administration (FDA) dan Environment
Protection Agency (EPA). Yang paling sering dilanggar adalah pedoman EPA. Lebih lanjut, dia
menjelaskan bahwa dirinya merujuk pada anak-anak yang terpapar thimerosal di dalam
vaksin.
Atas dasar kesadaran adanya pelanggaran batas-batas keamanan itu, dr. Bernier kemudian
berkata, “…hasilnya adalah pernyataan bersama dari Public Health Service (PHS) dan
American Academy of Pediatrics (AAP) pada bulan Juli tahun lalu (1999), yang
menyatakan bahwa untuk tujuan jangka panjang, sangat perlu mengeluarkan merkuri
dari vaksin karena zat itu berpotensi sebagai sumber paparan yang dapat dicegah.”
(halaman 12)
Semestinya orang bertanya, kemana PHS dan AAP selama ini, saat merkuri bertahun-tahun
dipakai dalam vaksin, dan mengapa, tidak tahukah mereka bahwa:
Merkuri itu melebihi level keamanan yang ditetapkan
Mengapa mereka tidak mengetahui melimpahnya literatur yang menunjukkan efeknya
yang merusak sistem saraf yang sedang berkembang pada bayi?
Seperti yang kita lihat, bahkan para ‘pakar’ ini pun tampaknya bingung dengan literatur
(tentang merkuri).
Pertemuan Sebelumnya
Dokter Bernier menyebutkan bahwa pada Agustus 1999, sebuah workshop umum digelar di
Lister Auditorium, Bathesda, Maryland, oleh National Vaccine Advisory Group dan
Interagency Working Group on Vaccines untuk membahas risiko thimerosal dalam vaksin.
Dari diskusi itu, thimerosal dikeluarkan dari vaksin Hepatitis B (HepB).
Menarik untuk diperhatikan bahwa media tidak begitu peduli pada hasil pertemuan itu, yang
mungkin juga menjadi pertemuan rahasia. Nanti akan kita ketahui, ada suatu alasan mengapa
mereka berusaha sekuat tenaga agar isi dari pertemuan-pertemuan itu tersembunyi dari
publik.
Kemudian dr. Bernier berkata, pada Oktober 1999 (halaman 13), Advisory Committee on
Immunization Practices (ACIP) “lagi-lagi memeriksa hal ini dan tidak menyatakan
keinginan akan tersedianya vaksin yang bebas thimerosal.” Lebih jauh, dalam diskusi ini
dia menengarai ACIP menyimpulkan bahwa vaksin-vaksin yang mengandung thimerosal bisa
dipakai, namun “tujuan jangka panjangnya adalah mengusahakan dihilangkannya
thimerosal sesegera mungkin.”
Kita perlu berhenti sejenak dan merenungkan apa yang telah terjadi. Ada sebuah lembaga
penting, ACIP, yang berperan penting dalam kebijakan vaksin yang berdampak pada jutaan
anak setiap tahunnya. Dan, kita memiliki bukti dari pertemuan tahun 1999 tentang
thimerosal yang menyatakan seriusnya kemungkinan terjadinya cedera otak bayi sehingga
ada rekomendasi kebijakan untuk menghilangkannya dari vaksin.
Terlebih lagi, mereka semua menyadari bahwa bayi-bayi mungil itu mendapat dosis merkuri
di atas batas aman, bahkan batas yang ditetapkan oleh EPA, tapi yang bisa mereka katakan
adalah kita harus “berusaha menghilangkan thimerosal sesegera mungkin?” Apakah mereka
tidak mengkhawatirkan (keselamatan) puluhan juta bayi yang akan terus mendapat vaksin
berthimerosal sampai mereka berhasil menghentikan penggunaan thimerosal tersebut?
Solusi yang Jelas
Harus juga dicatat, adalah keliru mengatakan, “penghilangan thimerosal” karena mereka
tidak menghilangkan apapun. Mereka hanya berencana menghentikannya pada vaksin yang
dibuat di waktu mendatang. Sebelum itu terlaksana, mereka memakai vaksin yang ada di stok
yang berjumlah jutaan dosis. Dan herannya, pemerintah mengizinkannya.
Lebih susah dipercaya lagi bahwa AAP dan American Academy of Family Practice (AAFP)
sama-sama merekomendasikan kebijakan gila ini. Kenyataannya, secara khusus mereka
menyatakan anak-anak harus terus diimunisasi dengan vaksin-vaksin berthimerosal itu
sampai vaksin baru yang bebas thimerosal dapat diproduksi sesuai keinginan pabrik. Apakah
mereka takut akan terjadi wabah difteri mendadak di Amerika, atau wabah tetanus?
Solusi paling jelas adalah dengan (mengemas vaksin dalam) vial dosis tunggal, sehingga tidak
memerlukan pengawet. Jadi, mengapa mereka tidak melakukannya?
Oh, mereka katakan hal itu akan memperberat biaya vaksin. Jelas, kita sebatas mengatakan
paling banyak butuh sedikit dolar per vaksin, yang tentu akan berharga bagi otak dan masa
depan anak Anda. Mereka bisa memakai ratusan juta dolar yang dihabiskan untuk promosi
vaksin tiap tahunnya untuk menutup biaya pengemasannya untuk rakyat miskin. Itu akan
mengurangi tebalnya dompet kita dan kita tidak melakukannya.
Terungkap bahwa thimerosal ada dalam seluruh vaksin flu, DPT (dan sebagian besar DTaP)
dan seluruh vaksin HepB.
Saat mereka mulai berkonsentrasi pada masalah di hadapan, kita mulai belajar bahwa
problem terbesar dalam pertemuan ini adalah, mereka nyaris tidak tahu apa-apa yang tengah
mereka lakukan. Pada halaman 15 misalnya, mereka mengakui bahwa data farmakokinetik
(etilmerkuri, sebagai bentuk merkuri dalam thimerosal) adalah sangat sedikit. Faktanya,
mereka berkata tidak ada data ekskresi dan data toksisitasnya sangat kecil. Tetapi,
thimerosal dikenal menyebabkan hipersensitifitas, masalah neurologis dan bahkan kematian,
dan diketahui dengan mudah menerobos sawar darah-otak dan plasenta.
Karena itu, mereka mengakui bahwa kita punya satu bentuk merkuri yang telah dipergunakan
dalam vaksin sejak tahun 1930an dan tidak seorangpun yang tergerak untuk mengkaji
efeknya terhadap sistem biologis, khususnya pada otak bayi. Pembelaan diri mereka di
sepanjang konferensi ini berlangsung adalah “kami tidak mengetahui efek dari etilmerkuri.”
Solusinya, mereka kembali ke kajian terhadap metilmerkuri, karena terdapat ribuan
penelitian terhadap bentuk merkuri ini. Sumber utama metilmerkuri berasal dari konsumsi
makanan laut.
Perlu waktu sesaat bagi mereka untuk memahami kedua bentuk merkuri itu, karena di
beberapa halaman laporan itu, mereka mengatakan bahwa yang terdapat di dalam vaksin
adalah metilmerkuri, bukan etilmerkuri. Hal itu bisa dimaafkan.
Di halaman 16, dr. Johnson, seorang imunolog dan dokter anak di University of Colorado
School of Medicine dan National Jewish Center for Immunology and Respiratory Medicine,
mengatakan bahwa dia ingin melihat pelibatan keamanan dengan margin yang luas, yaitu 3
hingga 10 kali lipat untuk “menjelaskan ketidakpastian data.” Yang dimaksudkannya adalah,
kita tidak tahu tentang toksin ini sehingga lebih baik kita menggunakan margin keamanan
yang sangat luas. Pada sebagian besar zat (aktif), FDA memakai margin keamanan 100 kali
lipat.
Alasannya, dan itu tidak mereka sebutkan, di masyarakat yang terdiri dari ratusan juta
orang terdapat kelompok-kelompok orang yang jauh lebih sensitif pada toksin dibandingkan
kelompok yang lain. Misalnya, orang yang sudah tua, orang yang punya penyakit kronis,
kekurangan gizi, bayi bertubuh kecil, bayi prematur, orang yang mengonsumsi obat-obatan
tertentu, orang yang memiliki kelainan detoksifikasi sejak lahir dan masih banyak lagi.
Adalah fakta jika dalam kajian ini mereka tidak memasukkan bayi prematur dan bayi
berbobot lahir rendah dalam kajian utama, yang beberapa dari bayi-bayi itu memiliki level
merkuri tertinggi, karena hal ini akan sulit dikaji dan karena bayi-bayi itu paling banyak
terkena gangguan perkembangan, yang kemungkinan terkait dengan merkuri.
Masih di halaman 16, dr. Johnson membuat pernyataan yang sulit dipercaya, yang
menegaskan masalah yang kita hadapi di negeri ini dengan para penganjur vaksin ini. Katanya,
“Di lain sisi, kita menemukan adanya perbedaan kultural antara para vaksinolog dan
pegiat kesehatan lingkungan dan pada kita (yang berkecimpung) di bidang vaksin,
faktor-faktor ketidakpastian ini tak pernah terpikirkan sebelumnya. Kita cenderung
untuk berpikir secara relatif konkrit.” Lanjutnya, “Salah satu peristiwa kultural yang
besar dalam pertemuan itu adalah saat dr. Clarkson berulangkali menyampaikan bahwa
kita tidak mengerti mengenai ketiadakpastian itu, dan saat itu beliau sungguh benar.”
Ini pengakuan yang susah dipercaya. Pertama, apa itu vaksinolog? Apakah Anda bersekolah
untuk menjadi seorang vaksinolog? Berapa tahun yang dipersyaratkan untuk residency
training? Adakah ujian boardnya? Vaksinolog adalah sebuah istilah bodoh yang dipakai untuk
mendeskripsikan orang yang terobsesi dengan vaksin, bukan karena mereka benar-benar
mempelajari dampak vaksin, seperti yang akan kita lihat selama pertemuan itu.
Yang paling penting adalah pengakuan dr. Johnson bahwa dirinya dan rekan-rekan
‘vaksinolog’nya sangat terbutakan oleh obsesi mereka dengan memaksakan vaksin kepada
masyarakat. Para ‘vaksinolog’ itu belum pernah berpikir tentang kemungkinan adanya faktor-
faktor yang terlibat dan bisa berpengaruh besar bagi kesehatan manusia, yaitu yang mereka
sebut sebagai ‘ketidakpastian.’
Lebih jauh, mereka suka berpikir secara konkret, yaitu berpikir dengan sangat sempit
sambil memakai penutup mata yang mencegah mereka untuk melihat banyaknya masalah yang
sedang terjadi setelah vaksinasi besar-besaran pada bayi dan anak-anak. Tujuan dalam hidup
mereka adalah memvaksin sebanyak mungkin orang dengan vaksin yang jumlahnya semakin
banyak saja.
Pada halaman 17, sekali lagi ‘pemikiran konrit’nya mengemuka. Dokter Johnson merujuk pada
pertemuan Bathesda mengenai isu keamanan thimerosal dan berkata, “tidak ada bukti
adanya suatu masalah, (itu) sekadar keprihatinan teoritis bahwa otak bayi yang sedang
berkembang terpapar pada suatu organomerkurial.”
Tentu, seperti yang akan saya tunjukkan nanti, hal itu lebih dari sekadar ‘keprihatinan
teoritis.’ Kemudian dia berkata, “Sementara tidak ada bukti adanya masalah, kami
sepakat bahwa dengan semakin banyaknya vaksin yang disuntikkan ke anak, maka
secara teori risiko paparan merkuripun meningkat.”
Sulit untuk memahami, seorang ilmuwan tulen tidak melihat ironi luar biasa dari pernyataan
ini. Literatur kedokteran itu dipenuhi dengan kajian-kajian tentang efek yang mengganggu
dari merkuri pada banyak enzim, produksi energi mitokondria, fungsi sinaps, retraksi
dendrit, disolusi neurotubular dan eksitotoksisitas, namun, dia hanya mengetahui ‘risiko
teoritis’ yang terhubung dengan meningkatnya penambahan vaksin berthimerosal.
Penting juga untuk dicatat bahwa para jenius ini bahkan belum pernah melihat suatu masalah
secara langsung. Masalah itu merupakan tekanan dari ilwuwan-ilmuwan luar, para orang tua
yang anak-anaknya terkena dampak (buruk) vaksin dan kelompok-kelompok yang mewakili
merekalah yang menunjukkan permasalahan itu. Intinya, para pakar dalam pertemuan itu
bereaksi terhadap tekanan dari luar ‘klub vaksinolog’ dan secara internal tidak menemukan
bahwa suatu masalah ‘mungkin’ terjadi.
Kenyataannya, bila kelompok-kelompok luar ini tidak terlibat, para ‘vaksinolog’ ini akan terus
saja memperbanyak vaksin bermerkuri ke daftar vaksin yang diharuskan. Hanya ketika
masalahnya menjadi sangat jelas, yaitu telah menjadi wabah (sekarang itu hampir terjadi)
dan praktisi hukum terlibat, baru mereka mengerti bahwa telah terjadi suatu masalah. Ini
adalah tema berulang yang terjadi di lembaga-lembaga regulasi pemerintah, seperti yang
kita saksikan terjadi pada masalah fluoride, aspartam, MSG, dioksin dan pestisida.
Menarik juga ketika dr. Johnson benar-benar mengakui bahwa risiko paling berat menimpa
bayi berbobot lahir rendah dan bayi prematur. Sekarang, mengapa hal itu terjadi jika telah
diterapkan keamaan bermargin luas pada merkuri yang digunakan dalam vaksin? Dapatkah
selisih berat beberapa pon menyebabkan perbedaan sedramatis itu?
Secara nyata, itu memang bisa, namun hal itu juga berarti bahwa anak berbobot lahir
normal, khususnya yang jaraknya mendekati batas bawah bobot lahir normal, juga terancam
bahaya yang lebih besar. Itu juga berarti bahwa anak-anak yang mendapat merkuri dengan
dosis di atas 75 µg pada studi ini juga akan terkena risiko tinggi karena besarnya dosis,
berdasar pada berat badan, akan sebanding dengan anak berbobot lahir rendah yang
menerima dosis yang dengan angka dibawahnya. Hal ini bahkan tidak pernah dipertimbangkan
oleh ‘pakar-pakar vaksinologis’ yang menentukan kebijakan bagi anak-anak Anda.
Sekarang, pernyataan berikut mestinya membuat setiap orang terguncang, terutama orang
awam yang berpikir bahwa ‘para vaksinolog ini’ menginginkan hal terbaik (untuk kesehatan
manusia). Dokter Johnson berkata pada halaman 17, “Kita setuju untuk menghilangkan
merkuri dari vaksin-vaksin yang dilisensi Amerika Serikat, tapi kami tidak setuju jika
ini menjadi rekomendasi universal karena terkait dengan pengawet untuk vaksin yang
dikirim ke negara lain, khususnya negara-negara berkembang, tidak didukung data yang
menunjukkan kenyataan bahwa hal itu bermasalah.”
Anda lihat di sini. Data itu cukup meyakinkan sehingga membuat AAP dan AAFP, juga
lembaga-lembaga regulasi dan CDC bersama-sama merekomendasikan penghilangannya
secepat mungkin karena peduli akan efek samping merkuri terhadap perkembangan otak,
terkecuali anak-anak di negara berkembang.
Tujuan Program Kesehatan Anak yang Sebenarnya
Dulu saya pikir gagasan program kesehatan anak di Amerika Serikat yang ditujukan untuk
negara-negara berkembang adalah untuk membuka kesempatan bagi anak-anak dari keluarga
miskin di dunia yang semakin ketat bersaing. Kebijakan yang disahkan (ternyata) akan
meningkatkan masalah-masalah perkembangan saraf yang terlihat pada anak-anak miskin di
negara berkembang, termasuk di Amerika sendiri, mengurangi kemampuan mereka untuk
belajar dan mengembangkan pemikiran yang kompetitif.
Ingat, di situ ada perwakilan dari WHO, dr. John Clements, yang didapuk sebagai ‘pakar.’
Sedikitpun dia tidak menentang pernyataan dr. Johnson tadi.
Perlu juga diperhatikan jika anak-anak di negara berkembang terkena risiko yang jauh lebih
besar akibat toksisitas merkuri dalam vaksin dibandingkan anak-anak di negara maju.
Penyebabnya adalah gizi buruk, infeksi parasit dan bakteri yang bersamaan dan tingginya
angka bayi berbobot lahir rendah pada anak-anak itu.
Kita kini menyaksikan suatu bencana di negara-negara Afrika yang disebabkan oleh
penggunaan vaksin virus hidup polio lama yang menyebarkan wabah polio yang terkait vaksin;
artinya, polio yang ditimbulkan oleh vaksin itu sendiri. Faktanya, di beberapa negara Afrika,
polio tidak ditemukan hingga vaksin itu diperkenalkan di sana.
Bagaimana WHO dan para ‘pakar vaksin’ dari negeri ini kini membenarkan berlanjutnya
program vaksinasi polio dengan vaksin berbahaya itu? Mereka telah menciptakan wabah
polio, mereka tidak bisa menghentikan program itu.
Dalam sebuah artikel terkini, ditekankan bahwa ini adalah alasan yang paling gila, karena
semakin banyak vaksin berarti semakin banyak kasus polio terkait vaksin. Namun, para
‘vaksinolog’ kesulitan menghadapi ‘ketidakpastian-ketidakpastian’ ini. (Jacob JT, A
Developing Country Perspective on Vaccine-Associated Paralytic Poliomyelitis, Bulletin WHO
2004; 82: 53-58. Lihat komentar oleh DM Salisbury di akhir artikel).
Dokter Johnson kembali menekankan filosofi kesehatan anak-anak itu adalah nomor dua
setelah ‘program ini’ dengan mengatakan, “Kita melihat sejumlah data yang meyakinkan
bahwa penundaan vaksin HepB setelah kelahiran akan memicu penyakit yang nyata
sebagai konsekuensi dari lepasnya kesempatan untuk mengimunisasi.” Pernyataan ini
menyiratkan anak-anak kita akan terbahayakan oleh risiko terkena hepatitis B apabila
program vaksin berhenti memvaksin bayi yang baru lahir dengan vaksin HepB.
Pada kenyataan, pernyataan ini sama sekali tidak berdasar pada risiko yang didapat oleh
anak-anak di Amerika Serikat dan dia memperlugasnya dengan kata-kata, “dampak yang
memungkinkan terjadi di negara-negara yang memiliki 10-15 persen bayi baru lahir
dengan risiko terpapar hepatitis B sangat sulit untuk dipertimbangkan.” (halaman 18)
Taktik Menakut-nakuti
Dengan kata lain, risiko itu tidak normal terjadi pada anak-anak Amerika, tapi wajar terjadi
di negara-negara berkembang. Satu-satunya kelompok anak yang terkena risiko ini adalah
mereka yang terlahir dari orang tua pecandu obat-obatan, para ibu yang terinfeksi hepatitis
B atau orang tua yang terinveksi HIV. Alasan untuk memvaksin bayi yang baru lahir adalah
untuk memerangkap mereka sebelum mereka bisa lolos dari program vaksin para ‘vaksinolog.’
Inilah taktik yang sering dipakai untuk menakut-nakuti para ibu agar memvaksin anak-anak
mereka. Sebagai contoh, mereka katakan bila anak-anak tidak divaksin campak, jutaan anak
bisa meninggal selama terjadi wabah campak.
Mereka tahu ini bohong. Yang mereka lakukan adalah membawa contoh yang diambil dari
negara-negara berkembang dengan fungsi imun dan gizi yang buruk, sehingga kematian
akibat wabah itu bisa terjadi. Di Amerika Serikat, kita tidak akan melihatnya karena
pemenuhan gizi, fasilitas kesehatan dan sanitasi yang lebih baik. Adalah fakta bahwa
sebagian besar kematian ketika campak berjangkit di Amerika Serikat terjadi pada situasi
seperti berikut:
Vaksinasi dikontraindikasikan
Vaksin tidak bekerja
Anak-anak dengan penyakit kronis, yang menekan kekebalan tubuh.
Faktanya, pada hampir semua penelitian, anak-anak yang terkena campak atau penyakit
kanak-kanak yang lain ini telah diimunisasi lengkap atau sebagian. Rahasia besar di antara
‘vaksinolog’ adalah bahwa 20-50 persen anak tidak kebal terhadap penyakit yang mereka
telah mendapat vaksinnya.
Masih pada halaman 18, dr. Johnson berkata di depan komite bahwa dr. Walt Orensteinlah
yang “mengajukan pertanyaan paling provokatif yang memantik diskusi dengan porsi
besar. Pertanyaannya adalah, haruskah kita mencari hasil dari perkembangan saraf
pada anak-anak yang terpapar beragam dosis merkuri dengan menggunakan data dari
Vaccine Safety Datalink, yang bersumber dari satu website atau lebih.”
Dari sini saya simpulkan bahwa tidak seorangpun yang berpikiran untuk memeriksa data yang
telah bertahun-tahun ada di sana tanpa tinjauan. Bisa saja terjadi kematian anak dalam
jumlah besar atau anak-anak mengalami kecacatan dalam perkembangan saraf akibat
program vaksin dan tidak seorangpun di pemerintahan mengetahuinya. Begitulah kenyataan
yang terjadi yang tersampaikan lewat data ini, setidaknya tentang keterlambatan dalam
perkembangan saraf.
Kita seharusnya juga berterimakasih pemerintah mensponsori dua konferensi mengenai
peran yang mungkin dimainkan oleh logam, aluminium dan merkuri di dalam vaksin tanpa ada
perubahan kebijakan vaksin sesudah berlangsungnya pertemuan itu. Dua konferensi itu
diadakan setahun sebelum pertemuan di Georgia ini dan sebelum data yang dipegang erat
oleh CDC ini diperiksa; data ini tidak boleh sampai ke para peneliti lain yang independen dan
berkualitas bagus. (Saya akan bicara tentang perihal yang dibahas dalam konferensi
aluminium di lain waktu).
Konferensi aluminium itu sangat penting dan hanya dirujuk dalam pertemuan ini karena hal
itu memang benar. Seandainya masyarakat tahu apa yang didiskusikan dalam pertemuan
aluminium itu, maka tak akan ada orang yang mau divaksin dengan jenis vaksin yang
diproduksi sekarang ini.
Di samping isu yang dibahas dalam konferensi aluminium dan literatur ilmiah tentang
neurotoksisitas aluminium, dr. Johnson menyatakan seperti ini, “Garam-garam aluminium
memiliki margin keamanan yang sangat luas. Aluminium dan merkuri sering diberikan
secara bersama kepada bayi, pada tempat penyuntikan yang sama dan berbeda.”
Masih di halaman 20, dia berkata, “Tetapi, kita telah mempelajari bahwa sama sekali
tidak ada data, termasuk data dari binatang, mengenai potensi terjadinya sinergi,
adisi, atau antagonisme, yang semua itu bisa terjadi dalam campuran logam biner
(berpasangan).”
Sampai di sini, penting bagi kita untuk memahami penipuan yang kerap dipakai oleh mereka
yang berusaha membela suatu praktik yang tidak bisa dipertahankan. Mereka menggunakan
bahasa yang sama (seperti) yang dikutip barusan, yaitu tidak ada data yang menunjukkan,
dan sebagainya, dan sebagainya. Mereka bermaksud untuk menyampaikan ide bahwa masalah
itu telah diperiksa dan dikaji secara teliti dan tidak ada toksisitas yang ditemukan.
Sesungguhnya, itu bermakna bahwa tidak seorangpun yang sudah memeriksa kemungkinan ini
dan belum pernah ada kajian yang akan memberi kita jawaban begini atau begitu.
Fakta: kita tahu aluminium adalah neurotoksin (racun saraf) yang nyata-nyata memiliki
banyak mekanisme yang sama dengan merkuri sebagai neurotoksin. Sebagai contoh,
keduanya bersifat toksik terhadap neurotubulus saraf, mengganggu enzim-enzim
antioksidan, meracuni enzim-enzim perbaikan DNA, mengacaukan produksi energi
mitokondria, menghalangi protein-protein pengabsorbsi glutamat (GLT-1 dan GLAST),
berikatan dengan DNA dan mengganggu fungsi membran saraf. Toksin-toksin yang memiliki
kesamaan mekanisme hampir seluruhnya bersifat aditif dan seringnya sinergis dalam hal
toksisitas. Jadi, pernyataan dr. Johnson itu bohong belaka.
Sejumlah studi telah menunjukkan kedua logam itu berperan nyata dalam semua kelainan
nurodegeneratif. Penting pula untuk diingat, keduanya menumpuk di otak dan saraf tulang
belakang. Hal ini menjadikan mereka toksin yang bersifat menumpuk dan karena itu jauh
lebih berbahaya daripada toksin-toksin yang dikeluarkan dengan cepat.
Melompat ke halaman 23, dr. Tom Sinks, Associate Director for Science di Pusat Kesehatan
Lingkungan Nasional CDC dan Acting Division Director for Division of Birth Defects,
Developmental of Disabilities and Health, bertanya, “Saya ingin tahu, adakah hasil yang
berhubungan dengan garam-garam aluminium yang mungkin bermakna untuk diskusi kita
hari ini?”
Dokter Martin Meyers, Acting Director di Kantor Program Vaksin Nasional menjawab,
“Tidak, saya tidak percaya ada soal kesehatan khusus yang diangkat.” Ini dikatakan
setelah suatu konferensi aluminium diselenggarakan setahun sebelumnya yang di sana
memang ditemukan masalah kesehatan yang nyata, dan sebuah literatur ilmiah yang
ekstensif menunjukkan perhatian yang besar terhadap aluminium.
Pada halaman 24, dr. William Weil, dokter anak yang mewakili Committee on Environmental
Health of the American Academy of Pediatrics, mengemukakan pendiriannya dalam diskusi
itu dengan mengingatkan, “Ada sejumlah besar data data (tentang) perkembangan saraf
yang akan merekomendasikan bahwa kita punya suatu masalah yang serius. Semakin
awal, semakin serius pula masalahnya.” Yang dr. Weil maksudkan adalah, semakin awal
Anda memvaksin dalam masa perkembangan otak anak, semakin besar kemungkinan
kerusakan itu terjadi pada bayi. Saya harus memberinya kredit; setidaknya dengan jelas dia
menyadari bahwa sejumlah perkembangan otak yang penting terjadi kemudian. Dia juga
mengingatkan kolega-koleganya bahwa aluminium menyebabkan dimensia yang parah dan
kematian pada kasus-kasus dialisis. Dia menyimpulkan, “Berpikir bahwa tidak ada masalah
serius yang timbul adalah jauh dari kenyataan.” (halaman 25)
Tidak rela berhenti disitu, dr. Meyers menambahkan, “Kami mengadakan pertemuan
tentang aluminium dan ion-ion logam dalam pertemuan biologi dan obat-obatan, kami
cepat mengenali bahwa dengan ketiadaan data, kami tidak tahu tentang aktivitas adisi
atau inhibisi.” Sekali lagi kita melihat permainan ‘tidak ada data.’ Ada data yang melimpah
tentang efek aluminium yang merunsak otak, dengan jumlah yang berarti yang diungkap di
pertemuan itu.
Dokter Johnson juga mengutip dr.Thomas Clarkson, yang mengenalkan diri sebagai berasal
dari program merkuri di Universitas Rochester, yang mengatakan bahwa menunda vaksin
HepB selama sekitar 6 bulan tidak akan mempengaruhi beban merkuri (halaman 20). Dia
membuat kesimpulan yang benar dengan mengatakan, “Saya akan memikirkan bahwa
perbedaan itu terletak pada waktunya. Yaitu Anda melindungi masa enam bulan
pertama selama perkembangan sistem saraf pusat.”
Puji Tuhan, sekilas saya pikir mereka telah menemukan konsep yang paling mendasar dalam
neurotoksikologi. Lalu dr. Meyers menggetok harapan saya dengan berkata bahwa vaksin
dosis tunggal, yang terpisah, tidak akan berpengaruh pada level darah sama sekali. Kali ini,
kita perlu sedikit pencerahan. Penting untuk dipahami kalau merkuri adalah logam yang larut
dalam lemak. Artinya, merkuri disimpan dalam lemak tubuh. Sekarang, dalam diskusi ini
mereka menetapkan bahwa metilmerkuri yang dicerna dieksresi dalam waktu beberapa
bulan. Sebuah studi terkini menemukan etilmerkuri memiliki waktu paruh 7 hari.
Meski demikian, sejumlah merkuri yang signifikan akan masuk ke dalam otak (merkuri telah
terbukti mampu melewati sawar darah otak dengan mudah), yang di situ disimpan dalam
fosfolipid (lemak). Dengan tiap dosis baru, dan ingat bahwa anak-anak menerima sebanyak
22 dosis vaksin bermerkuri ini, dosis lain ini akan ditambahkan ke tempat penyimpanan
otak. Inilah alasan kami menyebut merkuri sebagai racun akumulatif (bersifat menumpuk).
Satu kalipun mereka tidak menyebutkan fakta vital ini selama konferensi berlangsung. Tidak
sekalipun. Lebih jauh, mereka melakukannya karena sesungguhnya, tindakan yang mereka
ambil memberi jaminan bagi orang-orang yang tidak waspada, yang tidak terlatih dalam
neurosains, bahwa yang penting adalah level darah.
Ternyata, di halaman 163, dr. Robert Brent, seorang developmental biologist dan dokter
anak di Thomas Jefferson University dan Dupont Hospital for Children, berkata bahwa kita
tidak mempunyai data yang menunjukkan akumulasi dan “dengan paparan berlipat ganda
Anda memperoleh level yang lebih tinggi, dan kita tidak tahu apakah hal itu benar atau
tidak.” Dia berlepas diri dengan mengatakan bahwa sejumlah kerusakan bersifat tak dapat
diperbaiki dan dengan tiap dosis (yang ditambahkan), semakin banyak kerusakan yang tak
bisa diperbaiki yang terjadi dan dengan begitu merkuri bersifat akumulatif.
Di halaman 21, dr. Thomas Clarkson membuat pernyataan yang sulit dipercaya yang
menyiratkan dirinya tidak mengetahui adanya kajian yang menunjukkan paparan merkuri
setelah kelahiran atau pada bulan keenam akan punya efek yang mengganggu. Dokter
Isabelle Rapin, seorang neurolog anak di Albert Einstein College of Medicine, melanjutkan
dengan berkata, “Saya bukan seorang pakar merkuri pada bayi”, namun dia tahu bahwa
merkuri bisa mempengaruhi saraf (sistem saraf perifer/tepi).
Jadi, inilah salah seorang diantara para ‘pakar’ kita yang mengakui dirinya hanya tahu sedikit
tentang efek merkuri pada bayi. Pertanyaan saya: mengapa dia hadir di sini? Dokter Rapin
adalah seorang neurolog anak di Albert Einstein College of Medicine yang menyatakan bahwa
dia punya minat yang mendalam pada kelainan-kelainan perkembangan, khususnya kelainan
yang melibatkan bahasa dan autisme, tapi dia hanya tahu sedikit mengenai efek merkuri
terhadap otak bayi.
Pengetahuan yang Sangat Sedikit
Konferensi ini membahas efek merkuri dalam bentuk thimerosal terhadap perkembangan
otak bayi. Tapi, sepanjang konferensi, para pakar kita, khususnya ‘vaksinolog’ tampak hanya
mengetahui sedikit hal tentang merkuri, yaitu sebatas literatur yang menunjukkan tidak
adanya efek toksik kecuali pada level yang sangat tinggi.
Tidak ada pakar yang memiliki keahlian di bidang ini yang diundang, misalnya dr. Ascher dari
Bowman Grey School of Medicine atau dr. Haley Boyd, yang telah banyak meriset efek
toksik merkuri berkonsentrasi rendah terhadap sistem saraf pusat. Mereka tidak diundang
karena akan membahayakan tujuan yang sebenarnya dari pertemuan ini, yaitu agar merkuri
dalam vaksin tidak dituding sebagai penyebab masalah.
Selama konferensi, dr. Brent beberapa kali mengingatkan para peserta bahwa masa paling
sensitif bagi otak yang sedang berkembang adalah pada awal kehamilan. Dia menegaskan
bahwa minggu ke 8-18 sebagai masa pematangan saraf.
Di kenyataan, masa pematangan otak, perkembangan sinap dan perkembangan jaringan otak
yang paling cepat terjadi selama trimester terakhir kehamilan dan berlanjut hingga dua
tahun setelah bayi dilahirkan. Hal ini sering diistilahkan sebagai ‘brain growth spurt.’ Ini
juga tidak disebutkan satu kalipun dalam konferensi, lagi-lagi karena jika para ibu
mengetahui otak anaknya sedang sibuk berkembang sampai masa dua tahun setelah
kelahiran, mereka akan kurang bisa menerima pernyataan kosong para vaksinolog tentang
keamanan merkuri.
Otak mengembangkan lebih dari 100 triliun koneksi sinap dan puluhan triliun koneksi dendrit
selama periode yang sangat sensitif ini. Baik dendrit maupun sinap bersifat sangat sensitif
bahkan terhadap merkuri yang berdosis sangat rendah dan racun-racun lainnya. Merkuri di
bawah dosis toksik telah menunjukkan kemampuan menghalangi protein-protein pembawa
glutamat yang berperan vital dalam melindungi otak dari eksitotoksisitas.
Penelitian-penelitian yang meyakinkan menunjukkan bahwa kerusakan pada sistem
perlindungan ini berperan besar dalam hampir semua penyakit neurodegeneratif, juga
perkembangan otak yang tidak normal.
Penelitian-penelitian terkini telah menunjukkan penumpukan glutamat di dalam otak anak-
anak autis, namun para ahli ini sepertinya tidak peduli terhadap suatu zat (merkuri) yang
sangat kuat dalam memicu eksitotoksisitas otak.
Menarik juga untuk menghitung berapa kali dr. Brent menekankan bahwa kita tidak
mengetahui batasan toksisitas merkuri pada otak yang sedang berkembang. Lagi-lagi ini
tidak benar; kita sebenarnya tahu, dan Journal of Toxicology menyatakan bahwa apapun di
atas 100 µg bersifat neurotoksik (meracuni saraf). Di kenyataan, WHO menyatakan tidak
ada level aman bagi merkuri.
Pemikiran Konkret
Pada halaman 164, dr. Robert Davis, Associate Professor of Pediatrics and Epidemiology di
Universitas Wasington mengadakan pengamatan yang sangat penting. Dia menyatakan, di
populasi seperti Amerika Serikat, terdapat individu dengan berbagai level merkuri yang
didapat dari sumber yang berbeda-beda (makanan, tinggal di dekat fasilitas pembakaran
batubara, dan sebagainya). Dengan memvaksin semua orang, berarti menaikkan level merkuri
pada mereka yang sudah berlevel merkuri paling tinggi dan mempertinggi mereka yang
berlevel sedang.
Para ‘vaksinolog’ yang bermasalah dalam hal ‘berpikir konkret’ ini sepertinya tidak menyadari
sepenuhnya bahwa tidak semua orang itu sama. Mereka gagal menangkap ‘ketidakpastian’ ini.
Untuk lebih memahami hal ini, kita ambil contoh sebuah keluarga petani yang tinggal dalam
radius 3 mil dari instalasi pembakaran batubara. Karena mereka juga hidup dekat laut,
mereka pun menyantap hidangan laut sehari-harinya. Pupuk, pestisida, dan herbisida yang
digunakan pada tanaman mengandung merkuri dengan level yang perlu diperhatikan.
Instalasi pembakaran batubara memancarkan merkuri berlevel tinggi ke udara yang dihirup
oleh keluarga petani itu setiap hari dan makanan laut yang mereka konsumsi mengandung
merkuri dengan level yang melebihi standar EPA.
Artinya, setiap bayi yang terlahir dari orang-orang ini akan memiliki level merkuri yang
sangat tinggi.
Begitu lahir, bayi-bayi itu diberi berbagai vaksin yang bahkan mengandung merkuri yang
lebih banyak, sehingga secara nyata mempertinggi level merkuri dalam tubuh mereka.
Apakah para ‘vaksinolog’ ini mencoba meyakinkan kita bahwa anak-anak itu baik-baik saja dan
mereka dikorbankan di altar ‘kebijakan vaksin?’
Penelitian-penelitian terkini oleh para pakar neurotoksikologi telah mengamati bahwa seiring
dengan meningkatnya kemampuan kita mendeteksi efek toksik yang samar, khususnya pada
perilaku dan fungsi-fungsi saraf yang lain, kita menurunkan paparan yang bisa diterima.
Faktanya, dr. Sinks mengemukakan hal yang pasti itu dengan menjadikan timbal sebagai
contoh. Dia mengamati, seiring dengan kemampuan kita menguji perilaku saraf, dosis timbal
yang berterima kita turunkan secara berkesinambungan.
Dokter Johnson tanpa takut menambahkan, “Semakin kita cerdas, semakin rendahlah
batas aman itu.” Namun dia, juga peserta lain agaknya tidak menjadi semakin cerdas
terkait hal ini (merkuri dalam vaksin).
Dokter Robert Chen, kepala Vaccine Safety and Development di Program Imunisasi Nasional
CDC, kemudian mengungkap alasan mereka menolak bertindak terkait masalah itu.
“Persoalannya, adalah tidak memungkinkan, tidak etis apabila kita biarkan anak-anak
tidak diimunisasi, sehingga Anda tidak akan pernah menyelesaikan hal itu. Jadi, kita
harus mengesampingkannya.” (halaman 169) Intinya, (program) imunisasi anak lebih
diutamakan daripada masalah keamanan vaksin itu sendiri.
Kerentanan Genetik
Jika permasalahan toksisitas vaksin tidak dapat diselesaikan, sepertinya dr. Chen berkata,
karena itu kita harusnya menerima (kenyataan) adanya anak-anak yang terbahayakan oleh
vaksin.
Dokter Brent menyatakan dirinya mengetahui tidak ada data kerentanan genetik yang
dikenali dari merkuri. Karena itu, dia yakin tidak ada batas toksisitas yang pasti. Maksudnya,
semua orang rentan terhadap merkuri berdosis sama dan tidak ada kelompok yang
hipersensitif secara genetik.
Adalah fakta, sebuah penelitian baru menemukan adanya kerentanan genetik pada tikus.
Pada penelitian itu, mereka mendapati tikus-tikus yang rentan terhadap autoimunitas
mengembangkan efek neurotoksik pada hipokampus, termasuk eksitotoksisitas, yang tidak
terlihat pada tikus jenis lain. Mereka bahkan berhipotesis bahwa hal yang sama terjadi pada
manusia, karena autoimunitas keluarga meningkatkan kemungkinan autisme pada
keturunannya. (Hornig M, Chian D, Lipkin WI: Neurotoxic Effect of Postnatal Thimerosal
are Mouse Strain Dependent, Mol Psychiatry, 2004 (in press).
Untuk kutipan selanjutnya, kita perlu membahas lebih dalam untuk memahami maknanya.
Mereka mendiskusikan fakta bahwa dalam penelitian dr. Verstraeten, ditemukan hubungan
mengerikan antara dosis thimerosal yang lebih tinggi dan masalah-masalah dalam
perkembangan saraf, termasuk ADD dan autisme.
Yang menjadi masalah pada studi itu adalah sedikitnya anak yang mendapat vaksin tidak
berthimerosal, kelompok kontrol asli yang tidak dipakai. Alih-alih, mereka menggunakan
anak-anak yang menerima 12,5 µg merkuri sebagai kontrol dan bahkan ada beberapa yang
ingin memakai dosis control 37,5 µg. Maka, kelompok kontrol pun memiliki level merkuri yang
sungguh bisa menyebabkan masalah-masalah perkembangan saraf.
Bahkan dengan kekeliruan mendasar ini, ditemukan suatu korelasi positif yang kuat antara
dosis merkuri yang diberikan dan masalah perkembangan saraf ini.
Dalam penelitian, diharapkan mereka membandingkan kelompok anak yang menerima vaksin
berthimerosal dengan yang tidak. Kenyataannya, kita kemudian tahu bahwa mereka memiliki
sejumlah besar kelompok anak yang bebas thimerosal yang bisa dipakai sebagai kelompok
kontrol. Tampaknya, selama dua tahun sebelum konferensi ini digelar, Bathesda Naval
Hospital hanya memakai vaksin bebas thimerosal untuk mengimunisasi anak-anak. Mereka
mengetahuinya dan saya kira seseorang memberitahu dr. Verstraeten tentang fakta penting
ini sebelum dia melakukan penelitian.
Sekarang, tentang kutipan itu. Dokter Braun merespon ide untuk memulai sebuah studi baru
dengan memakai kontrol yang bebas thimerosal, katanya, “Tentu kita akan memperoleh
jawaban dalam masa lima tahun. Pertanyaannya adalah, apa yang bisa kita lakukan
dengan data yang kita miliki sekarang?” (halaman 170)
Kita punya jawaban atas pertanyaanya, mereka hanya menutupi penelitian ini, menyatakan
bahwa thimerosal tidak bermasalah dan melanjutkan kebijakan yang tidak berubah itu.
Dengan begitu, mereka bisa merekomendasikan kepada pabrikan vaksin untuk membuang
thimerosal namun tidak mewajibkannya, atau memeriksa vaksin untuk memastikan bahwa
thimerosal telah dihilangkan.
Mari kita intip seberapa besar kita bisa mempercayai pabrik-pabrik farmasi untuk
melakukan hal yang benar. Sejumlah laporan tentang pelanggaran-pelanggaran besar
terhadap kebijakan pembuatan vaksin telah disitat oleh lembaga-lembaga regulasi.
Diantaranya, dalam mendapatkan donasi plasma tanpa melakukan pengecekan riwayat yang
memadai terhadap donor seperti paparan penyakit dan masalah kesehatan yang dialami
sebelumnya, penyimpanan catatan para donor yang seadanya, dan ketidaktepatan dalam
prosedur dan penyerahan spesimen.
Bahwa ini bukanlah pelanggaran kecil ditegaskan dengan ditemukannya seorang wanita
dengan penyakit varian sapi gila yang diizinkan untuk mendonorkan plasmanya untuk dipakai
dalam pembuatan vaksin di Inggris. Hal itu baru ketahuan setelah plasma yang
terkontaminasi dikombinasi dan dipakai untuk membuat jutaan dosis vaksin, yang dengan
demikian penyakitnya ditemukan. Para pejabat kesehatan Inggris berkata kepada jutaan
orang yang divaksin agar tidak mengkhawatirkannya, karena kami tidak berpikir bila vaksin
akan benar-benar menyebarkan penyakit itu.
Kontaminasi vaksin juga menjadi permasalahan utama di negeri ini, seperti pelanggaran
perundangan yang jelas ini. Penting pula dicatat bahwa tidak ada denda yang dibebankan,
pelanggar hanya diberi peringatan.
Kesimpulan oleh Kelompok Kajian
Di akhir konferensi, sebuah poling berisi dua pertanyaan diedarkan. Pertama, ‘Apakah
menurut Anda terdapat data yang mencukupi untuk menyimpulkan hubungan sebab akibat
antara penggunaan vaksin berthimerosal dan tertundanya perkembangan saraf?’ Kedua,
‘Menurut Anda, perlukah penelitian lebih lanjut dilakukan berdasarkan hasil kajian ini?’
Pertama, mari kita lihat beberapa komentar mengenai penelitian lanjutan. Dokter Paul
Stehr-Green, Associate Professor of Epidemiology di University of Washington School of
Public Health and Community Medicine, yang memvoting iya, memberikan alasannya,
“Implikasinya sangat besar sehingga ini harus diuji lebih lanjut.” (halaman 180) Tetapi,
dr. Brent mengungkapkan kekhawatirannya bila para pengacara akan mengetahui informasi
ini dan mulai mengajukan tuntutan hukum. Katanya, “Mereka menginginkan bisnis dan
kemungkinan ini bisa menjadi bisnis yang besar.” (halaman 191)
Dokter Loren Koller, seorang ahli patologi dan imunotoksikologi di College of Veterinary
Medicine, Oregon State University, perlu kita beri ucapan selamat karena dia menyadari
bahwa ada lebih banyak zat yang terlibat di dalam vaksin, tidak hanya etilmerkuri. (halaman
192) Dia menyebutkan aluminium dan bahkan bahan-bahan virus yang dipakai sebagai
kemungkinan yang lain. Ini penting, khususnya terlepas dari identifikasi dr. Gherardi
mengenai macrophagic myofascitis, sebuah kondisi yang menyebabkan kelemahan yang parah
dan sindrom neurologis ganda, yang sangat menyerupai sklerosis ganda. Baik kajian pada
manusia maupun binatang sama-sama menunjukkan suatu hubungan sebab yang kuat dengan
aluminium hidroksida atau aluminium fosfat yang digunakan sebagai adjuvan vaksin. Ada
lebih dari 200 kasus di negara-negara Eropa dan di Amerika Serikat yang sudah
diidentifikasi dan dideskripsikan sebagai ‘penyakit yang muncul.’
Berikut ini beberapa masalah neurologis yang diketahui terkait dengan penggunaan
aluminium hidroksida dan aluminium fosfat dalam vaksin. Pada dua anak berusia 3 dan 5
tahun, dokter-dokter di All Children’s Hospital di St. Petersburg, Florida, mendeskripsikan
pseudo-obstruksi usus besar kronis, retensi urin dan temuan-temuan lain yang menunjukkan
hilangnya sistem saraf otonom tergeneralisasi (disotonomia difus). Anak yang berusia 3
tahun mengalami keterlambatan perkembangan dan hipotonia (hilangnya tonus/kontraksi
otot). Biopsi pada tempat penyuntikan vaksin pada anak-anak itu menunjukkan peningkatan
level aluminium.
Dalam suatu penelitian terhadap 92 pasien yang mengalami sindrom yang muncul ini, 8 orang
diantaranya berkembang menjadi demielinasi (robeknya selubung myelin) sistem saraf pusat
alias sklerosis ganda. [Authier FJ, Cherin P, dkk, Central Nervous System Disease in
Patients with Macrophagic Myofascitis, Brain 2001; 124: 974-983] Kelainan ini termasuk
gejaja sensorik dan motorik, hilangnya penglihatan, disfungsi kantung kemih, tanda-tanda
cerebellar (hilangnya keseimbangan dan koordinasi) dan kelainan perilaku.
Dokter Gherardi, dokter Perancis yang pertama kali menjelaskan kondisi itu pada tahun
1998, telah mengumpulkan lebih dari 200 kasus yang telah terbukti, yang sepertiganya
mengembangkan penyakit autoimun, seperti sklerosis ganda. Yang sangat penting dalam
penemuan beliau adalah, terdapat bukti stimulasi imun yang kronis yang disebabkan oleh
aluminium yang diinjeksikan --yang dikenal sebagai adjuvan imun yang sangat kuat-- bahkan
ketika penyakit autoimun jelas-jelas tidak ada.
Ini sangat penting karena ada bukti yang melimpah bahwa aktivasi imun otak (aktivasi sel-sel
mikroglia di dalam otak) adalah penyebab utama terjadinya kerusakan dalam banyak
penyakit degenerasi otak, dari sklerosis ganda hingga penyakit-penyakit neurodegeneratif
klasik (alzeimer, parkinson dan ALS). Saya sendiri telah mengemukakan bukti bahwa aktivasi
imun kronis pada mikroglia sistem saraf pusat menjadi penyebab utama dari autisme, ADD
dan sindrom Perang Teluk.
Dokter Gherardi menekankan bahwa, begitu aluminium disuntikkan ke dalam otot, aktivasi
imun berlangsung selama bertahun-tahun. Tambahan, kita harus mempertimbangkan efek
dari aluminium yang masuk ke otak. Banyak penelitian yang telah menunjukkan efek
berbahaya ketika aluminium menumpuk di otak. Bukti yang semakin banyak menunjukkan
tingginya level aluminium di otak sebagai kontributor utama penyakit alzeimer dan
kemungkinan parkinson dan ALS (penyakit Lou Gehrig).
Ini mungkin juga menjelaskan terjadinya peningkatan 10 kali penyakit alzeimer pada
penerima vaksin flu selama 5 tahun berturut-turut. [dr. Huge Fudenberg, in press, Journal
of Clinical Investigation] Menarik juga untuk ditandai bahwa sebuah studi terkini
menemukan bahwa aluminium fosfat membuat level darah aluminium berlipat 3X, seperti
halnya aluminium hidroksida. [Flarend RE, Hem SL, dkk, In Vivo Absorbtion of Aluminum
Containing Vaccine Adjuvants Using 26 Al Vaccine, 1997; 15: 1314-1318]
Tentu, dalam konferensi ini, pakar-pakar kita yang termasyhur mengatakan kepada kita
‘tidak ada data yang menunjukkan efek aditif atau sinergis antara merkuri dan aluminium.’
Dokter Rapin menyuarakan perhatiannya tentang opini publik begitu informasi ini bocor.
Kata dia (halaman 197), “…informasi-informasi itu akan tertangkap publik dan lebih baik
kita memastikan bahwa a) kita membimbing mereka dengan hati-hati dan b) kita
mengejarnya karena begitu pentingnya kesehatan masyarakat dan implikasi publik dari
data itu.” “Kepentingan bisnisnya begitu tinggi…,” tambah dr. Johnson.
Dari sini, bagaimana kita tidak menyimpulkan apapun kecuali fakta bahwa setidaknya para
ilmuwan ini sangat memperhatikan hal yang ditemukan oleh kajian yang memeriksa materi
keamanan vaksin Datalink? Mereka jelas-jelas ketakutan seandainya informasi itu jatuh ke
publik. Pada bagian paling atas tiap halaman kajian itu distempel kata-kata “JANGAN
DISALIN ATAU DIRILIS” dan “RAHASIA” dengan huruf tebal.
Ini bukanlah kata-kata yang orang harapkan terdapat pada studi klinis keamanan vaksin.
Namun, Anda akan mengiranya terdapat di file-file top secret NSA atau CIA. Mengapa
informasi ini dirahasiakan?
Rahasia Vaksin
Jawabannya terang: informasi itu akan membahayakan program vaksin dan mendakwa
lembaga-lembaga regulasi federal lalai terhadap bahaya ini selama bertahun-tahun.
Masyarakat kita terkotori oleh jutaan anak yang sedikit banyak telah dibahayakan oleh
kebijakan vaksin ini. Tambahan, mari kita tidak lupakan jutaan orang tua yang tanpa daya
harus menyaksikan anak-anak mereka rusak oleh program vaksin yang membawa kehancuran
ini.
Pada halaman 183, dr. Bernier berkata, “Penemuan negatif perlu diamankan dan
dipublikasikan.” Mengapa dia begitu mendesak supaya ‘penemuan negatif’ dipublikasikan?
Karena katanya, “pihak-pihak lain yang kurang bertanggungjawab akan memperlakukannya
sebagai tanda.” Maksudnya, sebuah tanda adanya masalah dengan vaksin yang mengandung
thimerosal.
Lebih lanjut, di halaman 198, dr. Rapin mencatat bahwa sebuah studi di Kalifornia
menemukan peningkatan 300% kasus autisme setelah pengenalan vaksin-vaksin tertentu.
Dengan cepat dia menyandarkan hal itu pada pengenalan para dokter yang lebih baik
(terhadap autisme). Dua hal kritis perlu dicatat pada bagian ini.
1. Dokter Rapin membuat pernyataan ini atau pengenalan dokter yang lebih baik tanpa
didukung data sama sekali, hanya berupa angan-angannya. Bila seseorang
menyampaikan bahaya dari vaksinlah penyebabnya, dia akan berteriak ‘sains sampah.’
2. Pada halaman 207, dr. Weil menyerang alasan ini dengan berkata, “Angka (yang
menunjukkan) hubungan terkait dosis itu linier dan secara statistik signifikan.
Anda bisa bermain dengan statistik semau Anda. Angka-angka itu linier. Mereka
secara statistik signifikan.” Dengan kata lain, bagaimana bisa Anda membantah hasil
yang menunjukkan adanya hubungan terkait dosis yang kuat antara dosis merkuri dan
hasil perkembangan saraf? Semakin tinggi tingkat merkuri dalam tubuh anak-anak,
semakin besarlah angka masalah-masalah neurologis itu.
Selanjutnya dr. Weil mengatakan bahwa peningkatan masalah perilaku saraf itu kemungkinan
nyata adanya. Dia mengungkapkan dirinya bekerja di sebuah sistem sekolah dengan program
pendidikan khusus dan “Harus saya katakan, jumlah anak-anak yang dibantu dalam
pendidikan khusus tumbuh secara nasional dan di negara-negara bagian pada kecepatan
yang belum terlihat sebelumnya. Jadi ada sejumlah peningkatan. Kita bisa berdebat
tentang penyebabnya.” (halaman 207)
Momen Eureka
Dokter Johnson tampaknya terkesan pula dengan penemuan-penemuan itu. Katanya pada
halaman 199, “Hubungan ini menuntun saya untuk mendukung rekomendasi bahwa bayi
tidak diimunisasi dengan vaksin berthimerosal hingga usia dua tahun bila sediaaan
alternatif yang cocok tersedia.” Luar biasanya dia menambahkan, “Saya tidak percaya
diagnosis itu membenarkan kompensasi dalam Program Kompensasi Vaksin.” Menariknya,
salah seorang pakar yang hadir adalah dr. Vito Caserta, Chief Officer di Program
Kompensasi Cedera Vaksin.
Di titik ini, dr. Johnson menyampaikan perhatiannya terhadap cucu laki-lakinya. Katanya
(halaman 200), “Maafkan komentar pribadi ini, tapi saat itu saya ditelepon pada jam
delapan untuk keperluan darurat dan menantu saya melahirkan lewat pembedahan.
Putra sulung saya dan saya sendiri tidak ingin bayi itu mendapat vaksin berthimerosal
sampai kami tahu lebih jauh tentang apa yang sebenarnya berlangsung. Mungkin akan
perlu waktu yang lama. Dalam pada itu, dan saya tahu kemungkinan adanya implikasi
hal ini secara internasional, tapi sementara ini saya pikir saya ingin cucu saya hanya
diberi vaksin yang bebas thimerosal.”
Jadi, kita punya seorang ilmuwan yang duduk dalam panel ini yang akhirnya merumuskan
kebijakan pada seluruh anak di negara ini, juga di negara-negara lain, yang takut bila sang
cucu mendapat vaksin berthimerosal, namun dia tidak cukup peduli tentang anak Anda dan
bersuara untuk menghentikan kegilaan ini. Dia mengizinkan penutup-nutupan terjadi seusai
pertemuan ini dan tetap bungkam.
Juga menarik dicatat jika dia merasa bahwa jawaban itu akan datang dalam waktu yang lama,
tapi dalam rentang waktu itu, cucunya akan dilindungi. AAP, AAFP, AMA, CDC dan setiap
organisasi lain akan mendukung vaksin berthimerosal ini dan mengumumkan vaksin-vaksin itu
seaman mata air pegunungan, tapi dr. Johnson dan sejumlah pakar lainnya akan tetap diam.
Hanya di hari terakhir konferensi kita mengetahui bahwa sebagian besar keberatan terkait
hubungan positif antara vaksin berthimerosal dan ADD juga ADHD adalah palsu. Sebagai
contoh, dr. Rapin di halaman 200 mengatakan bahwa semua anak dalam penelitian itu berusia
di bawah 6 tahun, sehingga ADD dan ADHD sangat sulit untuk didiagnosis pada anak usia
pra-sekolah. Dia juga mengatakan bahwa sejumlah anak diikuti (dimonitor) hanya dalam
waktu yang singkat.
Dokter Stein menambahkan, adalah fakta bila usia rata-rata yang didiagnosis ADHD itu 4
tahun 1 bulan. Suatu diagnosis yang sangat sulit dilakukan dan karena itu garis pedoman yang
diterbitkan oleh AAP membatasi diagnosis pada usia 6 hingga 12 tahun. Tentu, dia
menyiratkan bahwa ada terlalu banyak yang terdiagnosis ADHD. Tapi, satu studi terkini
menemukan bahwa penelitian dari Denmark yang terkenal itu, yang membuat Institute of
Medicine mengumumkan ketiadaan hubungan antara autisme dan vaksin MMR, menggunakan
taktik yang sama. Mereka memotong masa follow-up pada usia 6 tahun.
Diketahui bahwa banyak kasus yang muncul setelah masa usia ini, terutama ADD dan ADHD.
Faktanya, nyaris sebagian besar masalah (gangguan) belajar mencul ketika anak dipanggil
untuk mengerjakan tugas yang memerlukan lebih banyak pelibatan intelijensi. Karena itu,
kemungkinannya mereka gagal mendiagnosis sejumlah kasus dengan menghentikan penelitian
terlalu dini.
Beberapa peserta berusaha mengatakan bahwa autisme adalah kelainan genetik dan
karenanya tidak punya hubungan apapun dengan vaksin. Dokter Weil menghabisinya dengan
berkomentar, “Kita tidak melihat terjadinya perubahan genetik dalam 30 tahun.” Dengan
kata lain, bagaimana kita tiba-tiba melihat peningkatan kelainan yang berhubungan dengan
genetik sebanyak 300% terjadi dalam waktu sesingkat itu? Juga, ada dua bentuk autisme
yang dikenal, pertama yang tampak ketika lahir dan satunya berkembang di kemudian hari
pada masa kanak-kanak. Autisme bentuk pertama belum berubah kejadiannya karena
statistiknya telah terjaga, sedangkan bentuk yang kedua mewabah.
Dalam sebuah diskusi yang menarik yang berakhir dengan pembenaran pandangan bahwa
merkuri di dalam tubuh anak yang diimunisasi dengan vaksin berthimerosal tidak berbahaya,
diketengahkan dua penelitian pada anak-anak yang lahir dari para ibu yang mengonsumsi
sejumlah banyak ikan yang terkontaminasi merkuri. Penelitian kesatu yang dilaporkan di
jurnal Neurotoxicology memeriksa anak-anak yang hidup di Republik Seychelles. Dalam studi
ini, mereka memeriksa efek merkuri pra-kelahiran melalui makanan sang ibu yang
mengonsumsi ikan dengan kandungan metilmerkuri yang tinggi.
Sebuah baterai untuk menguji kejadian penting dalam tonggak perkembangan dipasang dan
tidak ada efek samping yang dilaporkan dalam penelitian yang dilaporkan oleh dr. Clarkson
dan rekan-rekannya, orang yang sama yang hadir di konferensi ini. Dia tidak pernah
menyebutkan bahwa sebuah penelitian lanjutan terhadap anak-anak yang sama, benar-benar
menemukan hubungan positif antara paparan metilmerkuri dan performa buruk dalam tes
memori. Pada penelitian kedua yang dilakukan pada anak-anak yang yang hidup di Kepulauan
Faroe yang terpapar metilmerkuri, para peneliti menemukan kerusakan dalam perkembangan
saraf. Eksperimen ini dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan dari Jepang.
Selama diskusi itu, dr. Clarkson dan yang lain merujuk pada dua penelitian ini. Ketika mereka
diingatkan bahwa penelitian Faroe memang menemukan cedera neurologis pada anak-anak,
mereka membantah dengan berkata ini paparan merkuri sebelum kelahiran, bukan setelah
kelahiran seperti yang akan terlihat dengan vaksinasi. Pemikiran bahwa pada masa pra
kelahiran otak mengalami pembentukan dan perkembangan saraf membuatnya semakin
rentan. Seperti yang sudah saya sebutkan, pertumbuhan dan perkembangan otak yang cepat
berlanjut hingga dua tahun setelah lahir dan bahkan pada usia 6 tahun, otak hanya
terbentuk 80% saja.
Dokter Clarkson terus saja merujuk pada penelitian Seychelles yang memperlihatkan bahwa
anak-anak mencapai tonggak perkembangan saraf yang normal seperti yang ditunjukkan oleh
sejumlah tes. Dokter Weil (halaman 216) mengatakan tes itu tidak memuat informasi apapun
tentang fungsi otak anak-anak itu di masa depan. Katanya, “Saya telah memeriksa banyak
riwayat anak-anak yang bermasalah di sekolah. Riwayat itu berupa tonggak
perkembangan yang normal atau lebih maju namun mereka tidak dapat membaca di
kelas dua, mereka tidak bisa menulis di kelas tiga, mereka tidak mampu mengerjakan
matematika di kelas empat dan sejauh yang bisa saya katakan tidak ada hubungannya
dengan riwayat yang kami dapatkan dari tongggak perkembangan. Jadi saya kira ini
adalah pengukuran yang sangat mentah tentang perkembangan saraf.”
Dengan kata lain, kedua penelitian ini tidak memberi informasi apa-apa mengenai
perkembangan fungsi otak anak-anak itu yang sesungguhnya, kecuali bahwa mereka mencapai
tonggak yang paling dasar. Dengan kata lain, anak Anda mungkin bisa menyusun balok,
mengenali bentuk dan memiliki kemampuan berbahasa yang mendasar, tetapi di kemudian
hari kemampuan itu nyata-nyata melemah ketika mereka menghadapi soal matematika yang
lebih tinggi, ketrampilan bahasa yeng lebih lanjut (pemahaman) dan kemampuan untuk
bersaing di lingkungan intelektual yang sangat kompetitif, seperti di perkuliahan atau
sekolah menengah. Masa depan mereka akan terbatas pada pekerjaan biasa dan terbatas
secara intelektual.
Perkembangan otak paska kelahiran, yaitu dari saat lahir hingga usia 6 atau 7, melibatkan
penyesuaian yang bagus dari koneksi sinap, perkembangan dendrit dan pemurnian jalur, yang
kesemuanya mempersiapkan otak untuk berpikir lebih kompleks. Elemen-elemen otak ini
sangat peka terhadap toksin dan stimulasi imun yang berlebihan selama masa ini. Hal ini
tidak pernah diungkap selama konferensi.
Lebih jauh, harus pula diingat bahwa anak-anak dalam kedua penelitian tersebut hanya
terpapar metilmerkuri dan bukan efek neurotoksik terkombinasi dari merkuri, aluminium dan
aktivasi sistem imun otak (mikroglia) yang berlebih dan kronis. Inilah yang membuatnya
sangat tidak masuk akal, bahwa beberapa dari ‘vaksinolog’ dan mereka yang disebut ahli akan
meragukan ‘kemasukakalan biologis’ dari thimerosal atau tiap komponen vaksin menyebabkan
masalah-masalah perkembangan saraf. Literatur medis disesaki oleh penelitian semacam itu.
Kemasukakalan biologis itu sangatlah kuat.
Efek Merusak dari Merkuri
Merkuri, misalnya, bahkan dalam konsentrasi rendah, diketahui merusak produksi energi
oleh enzim-enzim mitokondria. Otak memiliki salah satu angka metabolisme tertinggi
diantara organ-organ lain dan kerusakan pada suplai energi, khususnya selama masa
perkembangan, bisa membawa akibat yang menghancurkan. Terlebih lagi, bahkan dalam
konsentrasi yang lebih rendah, merkuri diketahui merusak DNA dan mengacaukan enzim-
enzim perbaikan DNA, yang sekali lagi, berperan vital dalam perkembangan otak.
Merkuri dikenal mengganggu stabilitas neurotubulus dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Neurotubulus berperan sangat penting dalam fungsi sel otak yang normal. Merkuri
mengaktifkan sel-sel mikroglia yang meningkatkan eksitotoksisitas dan produksi radikal
bebas otak juga peroksidasi lipid, (yang merupakan) mekanisme sentral dalam cedera otak.
Sebagai tambahan, dengan dosis di bawah angka yang jelas-jelas menyebabkan cedera sel,
merkuri mengganggu sistem transportasi glutamat, yang pada saatnya memicu
eksitotoksisitas, suatu mekanisme sentral dalam autisme dan gangguan neurologis yang lain.
Ironisnya, aluminium juga melumpuhkan sistem ini.
Pada halaman 228, kita temukan pengakuan lain bahwa pemerintah tidak berkepentingan
dalam mendemonstrasikan keamanan vaksin berthimerosal di samping adanya 2000 lebih
artikel yang menunjukkan efek berbahaya dari merkuri. Kita mengetahui referensi dari
fakta bahwa FDA “memiliki sebuah fasilitas yang bagus di Arkansas berisi ratusan ribu
binatang” yang tersedia untuk setiap penelitian demi menjawab isu keamanan ini. Pertanyaan
besarnya adalah, mengapa pemerintah mengabaikan perlunya riset untuk menjawab
pertanyaan tentang keamanan thimerosal? Anda akan mengingat bahwa di awal, para peserta
konferensi mengeluhkan sedikit atau nihilnya penelitian mengenai ‘masalah’ ini.
Ilmuwan Sampah
Lagi, di halaman 229, dr. Brent menyinggung soal tuntutan hukum. Dia berkata di depan
forum bahwa dirinya telah terlibat dalam tiga tuntutan hukum terkait cedera vaksin yang
memicu bayi lahir cacat dan menyimpulkan, “Jika Anda ingin melihat ilmu sampah, lihatlah
kasus-kasus itu…” Dia kemudian mengeluhkan jenis ilmuwan yang bersaksi dalam kasus
tersebut. Dia menambahkan, “Tapi merupakan fakta bila para ilmuwan itu ada di Amerika
Serikat.” Intinya, dia melabeli siapapun yang melawan ‘kebijakan resmi’ pada vaksin sebagai
ilmuwan sampah. Kita telah mengetahui dalam diskusi ini siapa ‘ilmuwan-ilmuwan sampah’ itu
yang sebenarnya.
Mengetahui temuan mereka dapat menimbulkan masalah besar, dr. Brent menambahkan,
“Penemuan medis/legal dalam penelitian ini, baik sebab akibat atau bukan, adalah
sangat tidak mengenakkan… Bila dibuat tuduhan adanya temuan dalam perilaku saraf
yang disebabkan oleh vaksin berthimerosal, Anda dapat segera temukan seorang
ilmuwan sampah yang mendukung klaim itu dengan kepastian yang cukup masuk akal.”
Pada halaman 229, dia lalu mengakui bahwa mereka berada di posisi sulit karena tidak
memiliki data untuk mendukung argumen mereka. Sekarang, siapakah para ilmuwan sampah
itu?
Apakah ‘ilmuwan tulen’ adalah seorang yang tidak memiliki data, hanya angan-angan dan
‘perasaan’ kalau semua akan baik-baik saja? Apakah ilmuwan sejati itu mereka yang
mengesampingkan para ahli yang dikenal dalam masalah yang masih dipertanyakan selama
konferensi, karena mungkin berbahaya bagi ‘program?’ Atau, apakah ilmuwan asli itu mereka
yang menyatakan bahwa mereka tidak menginginkan sang cucu mendapat vaksin
berthimerosal sampai masalah itu terpecahkan, tapi kemudian mengatakan kepada jutaan
orang tua bila vaksin-vaksin itu sepenuhnya aman bagi anak-anak dan cucu mereka?
Di halaman 231, dr. Meyers berkata, “Yang menjadi perhatian saya, dan sebagian dari
Anda telah ungkapkan, ada hubungan antara vaksin dan hasil yang membuat para orang
tua dan dokter anak khawatir.” Ia mengutip kemungkinan hubungan antara perilaku saraf
akibat vaksin dan masalah-masalah perkembangan otak termasuk jumlah vaksin yang
diberikan, jenis antigen yang dipakai dan bahan tambahan vaksin lainnya.
Dokter Caserta mengemukakan dirinya menghadiri konferensi aluminium tahun lalu dan
mengetahi bahwa logam seringkali bertindak secara berbeda dari bentuk ionnya dalam
lingkungan biologis. Ini menarik, di samping penemuan bahwa fluoride, saat berkombinasi
dengan aluminium membentuk sebuah senyawa yang bisa menghancurkan saraf-saraf
hipokampus pada konsentrasi 0,5 ppm dalam air minum. Tampaknya, aluminium telah
berkombinasi dengan fluoride untuk membentuk senyawa toksik ini. Dengan angka flouridasi
penduduk di atas 60%, air minum menjadi perhatian besar.
Telah diketahui pula bahwa senyawa fluoroaluminium meniru senyawa fosfat dan dapat
mengaktifkan protein G. protein G berperan utama dalam berbagai sistem biologis, termasuk
endokrin (hormon), neurotransmitter dan sebagai pembawa pesan seluler kedua. Beberapa
reseptor glutamat dijalankan oleh mekanisme protein G.
Sanggupkah Anda Menyimpan Rahasia?
Pada 10-15 halaman berikutnya, mereka membahas cara mengontrol informasi ini sehingga
tidak akan bocor, dan jika sampai terjadi kebocoran, bagaimana menanggulangi dampaknya.
Di halaman 284, dr. Clements berkata, “Namun ada titik kala hasil-hasil penelitian ini
harus dijaga, dan bahkan bila komite ini memutuskan tidak adanya hubungan dan
informasi itu bocor, pekerjaan telah terlaksana dan melalui kebebasan informasi yang
akan diambil oleh pihak-pihak lain dan akan dipergunakan untuk hal lain di luar kendali
kelompok ini. Dan saya sangat peduli akan hal itu karena saya kira sudah sangat
terlambat untuk melakukan apapun terlepas dari badan profesional dan apa yang
mereka katakan.”
Dengan kata lain, dia ingin informasi ini terahasiakan, tidak hanya dari masyarakat, tapi juga
dari para ilmuwan lain dan dokter anak sampai mereka mendapat bimbingan yang memadai.
Pernyataan berikutnya, dr. Clements mengungkap rahasia mengapa dia memutuskan agar tak
ada orang luar yang mendapatkan informasi menyudutkan ini. Katanya, “Kewajiban saya
hadir di sini, di konferensi ini, adalah untuk memastikan pada akhirnya 100 juta anak
diimunisasi DTP, Hepatitis B dan jika memungkinkan Hib, tahun ini, tahun depan dan
tahun-tahun yang akan datang, dan imunisasi itu harus dengan vaksin yang mengandung
thimerosal kecuali terjadi sebuah keajaiban dan suatu alternatif ditemukan dengan
cepat, diujicoba dan terbukti aman.”
Ini adalah salah satu pernyataan yang paling mengejutkan yang pernah saya dengar. Intinya,
dia berkata, saya tidak peduli jika vaksin terbukti berbahaya dan merusak perkembangan
otak anak-anak, vaksin-vaksin ini akan diberikan sekarang dan selamanya. Yang dia pedulikan
dengan pengakuannya sendiri hanyalah untuk melindungi program vaksin, meskipun tidak
aman. Dokter Brent mengatakan kalimat dr. Clements itu sebagai ‘pernyataan yang elok.’
Di halaman 253, kita kembali melihat para ilmuwan ini memberlakukan standar ganda ketika
itu menyangkut anak-anak dan cucu mereka. Dokter Rapin mengemukakan masalah hilangnya
skor IQ satu poin akibat paparan thimerosal. Dia katakan, “Bisakah kita mengukur IQ
dengan seakurat itu, bahwa satu poin kecil itu relevan?” Kemudian pertanyaan itu dia
jawab sendiri, “Bahkan untuk cucu saya, satu poin IQ pun akan saya perjuangkan.”
Tetapi, secara serempak mereka berkata, yang intinya, PERSETAN DENGAN ANAK ANDA,
kepada seluruh Amerika.
Yang juga menarik, mereka mengangkat sejarah timbal sebagai toksin neurobehavioral
(mempengaruhi perilaku saraf). Dokter Weil mengatakan bahwa para ahli toksikologi dan
lembaga-lembaga regulasi telah menurunkan level timbal yang berterima dari 10 ke 5 µg.
Adalah nyata bila sejumlah orang merasakan bahwa dengan level yang lebih rendah pun,
timbal masih bersifat neurotoksik terhadap otak yang sedang berkembang. Sebelum para
ahli toksikologi mulai memeriksa timbal sebagai toksin otak pada anak-anak, sebagian besar
‘pakar’ itu menyangka zat itu tidak beracun bahkan pada level yang tinggi sekalipun. Lagi-lagi,
hal itu menunjukkan para ‘pakar’ bisa salah dan masyarakatlah yang menjadi korban.
Dokter Chen (halaman 256) mengungkapkan kekhawatirannya bila informasi ini jatuh ke
publik. Katanya, “Sejauh ini kita telah diberi hak istimewa karena sensitifnya informasi,
kita telah mampu mengatur dan menjaganya dari, katakan saja, tangan-tangan yang
kurang bertanggung jawab…” Dokter Bernier sependapat dan berujar, “Informasi ini telah
dipegang cukup erat.” Lalu dia mengistilahkannya ‘informasi yang diembargo’ dan informasi
yang sangat-sangat dilindungi.’
Bahwa mereka mengetahui implikasi dari temuan mereka terilustrasi dari pernyataan dr.
Chen di halaman 258. Katanya, “Saya kira seluruhnya adalah aura ini yang membuat kita
terlibat dalam sesuatu yang sama pentingnya dengan hal lain yang pernah kita lakukan.
Jadi saya pikir ini adalah elemen lain yang membuat pertemuan ini spesial.”
Anda mungkin ingat, dr. Weil menekankan bahwa analisis data itu tidak menyisakan keraguan
adanya korelasi kuat antara masalah-masalah perkembangan saraf dan paparan vaksin
berthimerosal. Maka, kalau mereka memahami pentingnya penemuan ini dan ini hal paling
penting yang pernah mereka hadapi, mengapa pula disembunyikan dari publik? Adalah fakta
bila hal itu menjadi lebih buruk.
Dengan demikian Anda tidak akan meragukan pernyataan saya bila konferensi para ahli ini
tidak obyektif. Saya hadirkan kata-kata dr. Walter Orenstein, direktur Program Imunisasi
Nasional di CDC, pada halaman 259. Dia mengatakan, “Saya telah melihatnya (Verstraeten)
di pertemuan demi pertemuan yang berurusan dengan pribadi-pribadi yang terlalu
skeptis…” ‘Pribadi-pribadi yang terlalu skeptis’, apakah ini terdengar seperti ilmuwan-
ilmuwan obyektif yang ingin melihat data dengan pikiran yang jernih ataukah mereka para
ilmuwan yang yakin sebelum pertemuan diadakan sehingga tidak ada bahaya pada anak dari
thimerosal atau komponen vaksin yang lain?
Dalam salah satu pernyataan penutup, dr. Bernier (halaman 257) berkata, “hal lain yang
menampar saya adalah sains,” artinya, sains yang diungkapkan oleh para hadirin dalam
pertemuan itu. Lalu dr. Orenstein menambahkan, “Saya ingin berterimakasih kepada Roger
Bernier yang telah menuntaskan pertemuan ini lebih awal…” Inilah pertemuan yang telah
disebut sebagai salah satu pertemuan terpenting yang pernah mereka adakan dan kita
mengetahui pertemuan itu diselesaikan dalam waktu lebih awal. Lebih jauh, kita diberitahu
bahwa hasil pertemuan ini pada akhirnya akan menuntun kebijakan vaksin.
Kemudian dia bernyali untuk menambahkan, “Pertemuan ini membahas persoalan-persoalan
yang kita temukan pada musim panas lalu saat kita berusaha merumuskan kebijakan
tanpa adanya tinjauan ilmiah yang hati-hati. Saya kira sekarang kita telah
memahaminya dengan jelas.”
Saya benci menjadi satu-satunya orang yang mengungkapnya, tapi dia tidak memahaminya.
Hanya sedikit atau tidak ada sains di pertemuan ini; pertemuan ini lebih didominasi tawar-
menawar dan pembahasan detil yang tidak penting tentang metodologi epidemiologi dan detil
statistik untuk mendiskreditkan data tanpa hasil. Pada kenyataan, mereka yang disebut
pakar-pakar merkuri mengakui bahwa mereka harus melakukan pekerjaan rumah kilat untuk
menyegarkan ingatan dan belajar sesuatu tentang subyek itu.
Kesimpulan
Pertemuan super rahasia ini diadakan untuk membahas sebuah penelitian yang dilakukan oleh
dr. Thomas Verstraeten dan rekan-rekannya dengan menggunakan data dari Vaccine Safety
Datalink sebagai suatu proyek kolaborasi antara Program Imunisasi Nasional (NIP) milik CDC
dan empat organisasi pemeliharaan kesehatan (HMO). Penelitian itu memeriksa 110.000
anak. Dalam batasan data itu, mereka melakukan kajian yang sangat cermat dan menemukan
hal-hal berikut ini:
1. Paparan terhadap vaksin berthimerosal pada usia satu bulan dikaitkan dengan
penderitaan dan kelainan kebahagiaan yang berhubungan dengan dosis. Semakin tinggi
paparan thimerosal pada anak, semakin tinggi pula kelainan yang dialami. Kelainan ini
ditandai dengan menangisnya bayi tanpa terkendali dan lebih banyak bertingkah
daripada bayi yang normal.
2. Ditemukan suatu peningkatan risiko ADD yang hampir signifikan dengan paparan 12,5
µg pada satu usia bulan.
3. Pada pparan di usia 3 bulan, mereka menemukan peningkatan risiko kelainan
perkembangan saraf seiring paparan thimerosal yang menigkat. Hal ini secara
statistik signifikan. Kelainan ini termasuk gangguan bicara.
Penting untuk diingat bahwa kelompok kontrol yang digunakan bukanlah anak-anak yang tidak
terpapar thimerosal, namun anak-anak dengan paparan thimerosal 12,5 µg. Artinya, ada
kemiripan yang nyata sehingga terdapat lebih banyak masalah perkembangan saraf yang
akan terlihat seandainya mereka memakai kontrol yang bebas thimerosal.
Tidak seorangpun yang menolak jika penemuan ini signifikan dan mengusik. Tetapi, pada
kajian final yang dipublikasikan di jurnal Pediatrics, dr. Verstraeten dan kawan-kawan
melaporkan tidak adanya hubungan yang konsisten antara vaksin berthimerosal dan masalah-
masalah perkembangan saraf. Tambahan, dia menyebutkan dirinya bekerja di di CDC, tidak
membuka fakta bahwa saat artikel itu diterima, dia bekerja untuk Glaxo Smith Kline,
sebuah pabrik vaksin.
Jadi, bagaimana mereka melakukan trik sulap itu? Mereka hanya menambahkan HMO lain ke
data, yaitu Harvard Pilgrimage. Senator Dave Weldon menulis dalam suratnya ke direktur
CDC bahwa HMO ini telah diambil alih oleh negara bagian Massachusetts akibat rekam
jejaknya yang kacau. Tapi, penelitian ini mampu melenyapkan data yang memalukan dari
penelitiannya terdahulu. Usaha Senator Weldon untuk memaksa CDC agar merilis data itu ke
peneliti independen, dr. Mark Geier, seorang peneliti yang memiliki kredensial tanpa cacat
dan terpublikasi secara luas di jurnal-jurnal peer-reviewed (karya pengarang dievaluasi oleh
satu atau lebih pakar lain di bidang yang sama) telah berulang kali gagal.
Jalaslah bahwa penutup-nutupan yang masif sedang berlangsung, seperti yang telah kita
lihat dalam banyak skandal lainnya, fluoride, eksitotoksin dalam makanan, pestisida,
aluminium dan kini vaksin. Saya memperingatkan mereka yang kritis terhadap vaksin agar
tidak hanya menyoroti satu zat saja, yaitu thimerosal sebagai biang masalah utama. Tidak
perlu dipertanyakan lagi bila thimerosal punya peran besar, tapi ada faktor-faktor lain yang
juga penting, termasuk aluminium, kompleks fluoroaluminium dan aktivasi kronis mikroglia
otak.
Adalah fakta jika aktivasi mikroglia yang berlebih dan kronis dapat menjelaskan banyak
efek dari paparan vaksin berlebihan seperti yang saya tunjukkan dalam dua artikel yang
terbit baru-baru ini. Satu sifat dari aluminium dan merkuri adalah aktivasi mikroglia. Dengan
aktivasi mikroglia, eksitotoksin berkonsentrasi besar dan sitokin neurotoksik pun
dikeluarkan. Keduanya telah terbukti merusak koneksi sinap, dendrit dan menyebabkan
perkembangan jalur saraf yang tidak normal pada otak yang sedang berkembang, juga pada
otak orang dewasa.
Intinya, ada terlalu banyak vaksin yang diberikan kepada anak-anak selama masa
pertumbuhan otak yang paling cepat. Logam-logam yang diketahui beracun dipakai dalam
vaksin sehingga mengganggu metabolisme otak, enzim-enzim antioksidan, merusak DNA dan
enzim-enzim perbaikan DNA dan memicu eksitotoksisitas. Mengeluarkan merkuri akan
membantu namun tidak akan menyelesaikan masalah karena aktivasi berlebihan sistem imun
otak akan menyebabkan kerusakan neurologis dengan tingkat keparahan yang bervariasi
pada otak yang sedang berkembang yang (sifatnya) sangat rentan.
Catatan kami:
Artikel ini adalah terjemahan dari analisis dr. Russell Blaylock tentang dokumen dari
pertemuan 'rahasia' tahun 2000 yang membahas hasil kajian dr. Verstraeten dkk. Terlepas
dari kerahasiaan itu, Wikipedia -yang bisa diedit oleh semua- pun jelas menyebutkannya.
CDC telah melepas informasi ini ke publik. Tetapi, tautan untuk mendownload
dokumen/transkrip hasil konferensi Simpsonwood yang disediakan oleh Wiki adalah link
mati.
Transkrip asli dari dokumen Simpsonwood yang dr. Blaylock kaji bisa didownload dari
sini atau sana.
Sumber: http://wnho.net/vaccine_coverup.htm
References For This Article
1. Lorscheider, FL; Vimy, MJ; Pendergrass, JC; Haley, BE. Mercury vapor exposure
inhibits tubulin binding to GTP in rat brain: A molecular lesion also present in human
Alzheimer brain From: FASEB J. 9(4): A-3845. FASEB Annual Meeting, Atlanta,
Georgia, 10 March 1995.
2. Grandjean P, Budtz-Jorgensen E, White RF, Jorgensen PJ, Weihe P, Debes F,
Keiding N Methylmercury exposure biomarkers as indicators of neurotoxicity in
children aged 7 years. From: Am J Epidemiol 1999 Aug 1;150(3):301-5.
3. Albers JW, Kallenbach LR, Fine LJ, Langolf GD, Wolfe RA, Donofrio PD, Alessi AG,
Stolp-Smith KA, Bromberg MB Neurological abnormalities associated with remote
occupational elemental mercury exposure. Ann Neurol 1988 Nov;24(5):651-9.
4. Aschner M, Lorscheider FL, Cowan KS, Conklin DR, Vimy MJ, Lash LH
Metallothionein induction in fetal rat brain and neonatal primary astrocyte cultures
by in utero exposure to elemental mercury vapor (Hg0). From: Brain Res 1997 Dec
5;778(1):222-32.
5. Soederstroem S, Fredriksson A, Dencker L & Ebendal T The effect of mercury
vapour on cholinergic neurons in the fetal brain: studies on the expression of nerve
growth factor and its low- and high-affinity receptors. Developmental Brain
Research 85(1):96-108 (1995).
6. Drasch G, Schupp I, Hofl H, Reinke R & Roider G. Mercury burden of human fetal
and infant tissues. Eur J Pediatr 153:607-610 (1994).
7. Szucs A, Angiello C, Salanki J, Carpenter DO Effects of inorganic mercury and
methylmercury on the ionic currents of cultured rat hippocampal neurons. Cell Mol
Neurobiol 1997 Jun;17(3):273-88.
8. Low-Level Exposure to Methylmercury Modifies Muscarinic Cholinergic Receptor
Binding Characteristics in Rat Brain and Lymphocytes: Physiologic Implications and
New Opportunities in Biologic Monitoring Teresa Coccini,1 Giovanna Randine,2
Stefano M. Candura,1,3 Rossella E. Nappi,2,3 Leon D. Prockop,4 and Luigi Manzo.
9. Sorg O, Schilter B, Honegger P, Monnet-Tschudi F Increased vulnerability of
neurones and glial cells to low concentrations of methylmercury in a prooxidant
situation. Acta Neuropathol (Berl) 1998 Dec;96(6):621-7.
10. Liang YX, Sun RK, Sun Y, Chen ZQ, Li LH Psychological effects of low exposure to
mercury vapor: application of a computer-administered neurobehavioral evaluation
system. Environ Res 1993 Feb;60(2):320-7.
11. Sundberg J, Jonsson S, Karlsson MO, Oskarsson A Lactational exposure and
neonatal kinetics of methylmercury and inorganic mercury in mice. Toxicol Appl
Pharmacol 1999 Jan 15;154(2):160-9.
12. Inouye M., Murao K., Kajiwara Y., Behavorial and neuropathological effects of
prenatal methyl Mercury exposure in mice.. Neurobehav.Toxicol Teratol.
,1985:7;227-232.
13. Koos et al., Mercury toxicity in pregnant women, fetus and newborn infant. Am J
Obstet And Gynecol., 1976:126;390-409.
14. Khera et al., Teratogenic and genetic effects of Mercury toxicity. The biochemistry
of Mercury in the environment. Nriagu, J.O.Ed Amsterdam Elsevier, 503-18,1979.
15. Drasch G, Schupp I, Hofl H, Reinke R, Roider G Mercury burden of human fetal and
infant tissues. Eur J Pediatr 1994 Aug;153(8):607-10.
16. Yoshida M, Yamamura Y, Satoh H Distribution of mercury in guinea pig offspring
after in utero exposure to mercury vapor during late gestation Arch Toxicol 1986
Apr;58(4):225-8.
17. Yuan,Y; Atchison,WD. Comparative effects of inorganic divalent mercury,
methylmercury and phenylmercury on membrance excitability and synaptic
transmission of CA1 neurons in hippocampal slices of the rat Neurotoxicology.
14(2):403-411, 1994.
18. Desi I, Nagymajtenyi L, Schulz H Effect of subchronic mercury exposure on
electrocorticogram of rats. Neurotoxicology 1996 Fall-Winter;17(3-4):719-23.
19. Bucio L, Garcia C, Souza V, Hernandez E, Gonzalez C, Betancourt M, Gutierrez-Ruiz
MC Uptake, cellular distribution and DNA damage produced by mercuric chloride.
Mutat Res 1999 Jan 25;423(1-2):65-72.
20. Hua MS, Huang CC, Yang YJ Chronic elemental mercury intoxication:
neuropsychological follow-up case study. Brain Inj 1996 May;10(5):377-84.
21. Grandjean P, Weihe P, White RF, Debes F Cognitive performance of children
prenatally exposed to "safe" levels of methylmercury. Environ Res 1998
May;77(2):165-72.
22. Hock C, Drasch G, Golombowski S, Muller-Spahn F, Willershausen-Zonnchen B,
Schwarz P, Hock U, Growdon JH, Nitsch RM Increased blood mercury levels in
patients with Alzheimer's disease. J Neural Transm 1998;105(1):59-68.
23. Oskarsson A, Palminger Hallen I & Sundberg J. Exposure to toxic elements via
breast milk. Analyst 120(3):765-770 (1995).
24. Hock C, Drasch G, Golombowski S, Muller-Spahn F, Willershausen-Zonnchen B,
Schwarz P, Hock U, Growdon JH, Nitsch RM Increased blood mercury levels in
patients with Alzheimer's disease. J Neural Transm 1998;105(1):59-68.
25. Wenstrup D, Ehmann WD, Markesbery WR Trace element imbalances in isolated
subcellular fractions of Alzheimer's disease brains. Brain Res 1990 Nov
12;533(1):125-31
26. Basun H, Forssell LG, Wetterberg L, Winblad B Metals and trace elements in plasma
and cerebrospinal fluid in normal aging and Alzheimer's disease. J Neural Transm
Park Dis Dement Sect 1991;3(4):231-58.
27. Hock C, Drasch G, Golombowski S, Muller-Spahn F, Willershausen-Zonnchen B,
Schwarz P, Hock U, Growdon JH, Nitsch RM Increased blood mercury levels in
patients with Alzheimer's disease. J Neural Transm 1998;105(1):59-68.
28. Pendergrass JC, Haley BE, Vimy MJ, Winfield SA, Lorscheider FL Mercury vapor
inhalation inhibits binding of GTP to tubulin in rat brain: similarity to a molecular
lesion in Alzheimer diseased brain. Neurotoxicology 1997;18(2):315-24.
29. Opitz H, Schweinsberg F, Grossmann T, Wendt-Gallitelli MF, Meyermann R
Demonstration of mercury in the human brain and other organs 17 years after
metallic mercury exposure. Clin Neuropathol 1996 May-Jun;15(3):139-44.
30. Sanfeliu C, Sebastia J, Cristofol R, Rodriguez-Farre E. Neurotoxicity of
organomercurial compounds. Neurotox Res. 2003;5(4):283-305.
31. el-Fawal HA, Gong Z, Little AR, Evans HL Exposure to methylmercury results in
serum autoantibodies to neurotypic and gliotypic proteins.Neurotoxicology 1996
Summer;17(2):531-9.
32. Faustman EM, Ponce RA, Ou YC, Mendoza MA, Lewandowski T, Kavanagh T.
Investigations of methylmercury-induced alterations in neurogenesis. Environ Health
Perspect. 2002 Oct;110 Suppl 5:859-64.
33. Reading R. Thimerosal and the occurrence of autism: negative ecological evidence
from Danish population-based data. Child Care Health Dev. 2004 Jan;30(1):90-1.
34. Qvarnstrom J, Lambertsson L, Havarinasab S, Hultman P, Frech W. Determination
of methylmercury, ethylmercury, and inorganic mercury in mouse tissues, following
administration of thimerosal, by species-specific isotope dilution GC-inductively
coupled plasma-MS. Anal Chem. 2003 Aug 15;75(16):4120-4.
35. Shanker G, Syversen T, Aschner M. Astrocyte-mediated methylmercury
neurotoxicity. Biol Trace Elem Res. 2003 Oct;95(1):1-10.
36. Zheng W, Aschner M, Ghersi-Egea JF. Brain barrier systems: a new frontier in
metal neurotoxicological research. Toxicol Appl Pharmacol. 2003 Oct 1;192(1):1-11.
37. Kawase T, Ishikawa I, Orikasa M, Suzuki A. An assessment of the impact of
thimerosal on childhood neurodevelopmental disorders. Geier DA, Geier MR. J
Biochem (Tokyo). 1989 Jul; 106(1): 8-10. Aluminum enhances the stimulatory effect
of NaF on prostaglandin E2 synthesis in a clonal osteoblast-like cell line, MOB 3-4, in
vitro. Pediatr Rehabil. 2003 Apr-Jun;6(2):97-102.
38. Geier MR, Geier DA. Thimerosal in childhood vaccines, neurodevelopmental
disorders, and heart disease in the United States. J Amer Physc Surg 8: 6-11, 2003.
39. Allen JW, Shanker G, Tan KH, Aschner M. The consequences of methylmercury
exposure on interactive functions between astrocytes and neurons. Neurotoxicology
23: 755-759, 2002.
40. Hansen JC, Reske-Nielsen E, et al. Distribution of dietary mercury in a dog.
Quantitation and localization of total mercury in organs and central nervous system.
Sci Total Environ 78: 23-43, 1989.
41. Zanoli P, Cannazza G, Baraldi M. Prenatal exposure to methyl mercury in rats: focus
on changes in kyrenine pathway. Brain Res Bull 55: 235-238, 2001.
42. Olivieri G, Brack C, et al. Mercury induces cell cytotoxicity and oxidative stress and
increases beta-amyloid secretion and tau phosphorylation in SHY5Y neuroblastoma
cells. J Neurochem 74: 231-236, 2000.
43. Juarez BI, Mattinez M, et al. Methylmercury increases glutamate extracellular
levels in frontal cortex of awake rats. Neurotoxicology and Teratology 24: 767-771,
2002.
44. Geier DA, Geier MR. An assessment of the impact of thimerosal on childhood
neurodevelopmental disorders. Pediatric Rehabil 6: 97-102, 2003.
45. Geier DA, Geier MR. A comparative evaluation of the effects of MMR immunization
and mercury doses from thimerosal-containing childhood vaccines on the population
prevalence of autism. Med Sci Monit 10: P133-139, 2004.
46. Baskin DS, Ngo H, Didenko VV. Thimerosal indices DNA breaks, caspase-3
activation, membrane damage, and cell death in cultured human neurons and
fibroblast. Toxicol Sci 74: 361-368, 2003.
47. Pichichero ME, et al. Mercury concentrations and metabolism in infants receiving
vaccines containing thimerosal: a descriptive study. Lancet 360: 1737-1741, 2002.
48. Murata K, Dakeishi M. Impact of prenatal methylmercury exposure on child
neurodevelopment in the Faroe Islands. Nippon Eiseigaku Zasshi 57: 564-570, 2002.
49. Davidson PW, Myers GJ, et al (Clarkson TW-member of panel) Effects of prenatal
and postnatal exposure from fish consumption on neurodevelopment: outcomes at 66
months of age in the Seychelles Child Development Study. JAMA 280: 701-707,
1998.
50. Palumbo DR, Cox C, et al. (ClarksonTW) Association between prenatal exposure to
methylmercury and cognitive functioning in Seychellois children: a reanalysis of the
McCarthy Scales of Children's Ability from the main cohort study. Environ Res 84:
81-88, 2000.
51. Hornig M, Chian D, Lipkin WI. Neurotoxic effects of postnatal thimerosal are mouse
strain dependent. Mol Psychiatry (In press).
52. Ueha-Ishibashi T, et al. Property of thimerosal-induced decrease in cellular content
of gluatathione in rat thymocytes: a flow cytometric study with 5-
chloromethylfluorescein. Toxicol in Vitro 18: 563-569, 2004.
53. Ueha-Ishibaschi T, et al. Effect of thimerosal, a preservative in vaccines, on
intracellular Ca+2 concentration of ra cerebellar neurons. Toxicology 195: 77-84,
2004.
54. Havarinasab S, Lambertsson L, et al. Dose-response study of thimerosal-induced
murine systemic autoimmunity. Toxicol Appl Pharmacol 194: 169-179, 2004.
55. Verstraeten T, Davis RL, DeStefano F, et al. Safety of thimerosal-containing
vaccines: a two-phase study of computerized health maintenance organization
databases. Pediatrics 112: 1039-1048, 2003. (This is the published study that was
discussed in the conference. Here the damaging data is erased and the public is told
the thimerosal-containing vaccines are perfectly safe. In this paper Dr. Verstraeten
identified himself as working for the CDC, but in fact he is working for
GlaxoSmithKline. The editors of the journal Pediatrics should have been willing to
disclose this information once it was brought to their attention but they would not.).
Aluminum References
1. Murayama H, Shin RW, Higuchi J, Shibuya S, Muramoto T, Kitamoto T. Interaction
of aluminum with PHFtau in Alzheimer's disease neurofibrillary degeneration
evidenced by desferrioxamine-assisted chelating autoclave method.Am J Pathol.
1999 Sep;155(3):877-85.
2. Shin RW, Kruck TP, Murayama H, Kitamoto T. A novel trivalent cation chelator
Feralex dissociates binding of aluminum and iron associated with
hyperphosphorylated tau of Alzheimer's disease. Brain Res. 2003 Jan
24;961(1):139-46.
3. Li W, Ma KK, Sun W, Paudel HK. Phosphorylation sensitizes microtubule-associated
protein tau to Al(3+)-induced aggregation. Neurochem Res. 1998 Dec;23(12):1467-
76.
4. Singer SM, Chambers CB, Newfry GA, Norlund MA, Muma NA. Tau in aluminum-
induced neurofibrillary tangles. Neurotoxicology. 1997;18(1):63-76.
5. Toda S, Yase Y. Effect of aluminum on iron-induced lipid peroxidation and protein
oxidative modification of mouse brain homogenate. Biol Trace Elem Res. 1998
Feb;61(2):207-17.
6. Sayre LM, Perry G, Harris PL, Liu Y, Schubert KA, Smith MA. In situ oxidative
catalysis by neurofibrillary tangles and senile plaques in Alzheimer's disease: a
central role for bound transition metals. J Neurochem. 2000 Jan;74(1):270-9.
7. Xie CX, Yokel RA. Aluminum facilitation of iron-mediated lipid peroxidation is
dependent on substrate, pH and aluminum and iron concentrations. Arch Biochem
Biophys. 1996 Mar 15;327(2):222-6.
8. Kawase T, Ishikawa I, Orikasa M, Suzuki A. Aluminum enhances the stimulatory
effect of NaF on prostaglandin E2 synthesis in a clonal osteoblast-like cell line, MOB
3-4, in vitro. J Biochem (Tokyo). 1989 Jul; 106(1): 8-10.
9. Jope RS. Modulation of phosphoinositide hydrolysis by NaF and aluminum in rat
cortical slices. J Neurochem. 1988 Dec; 51(6): 1731-6.
10. Blair HC, Finch JL, Avioli R, Crouch EC, Slatopolsky E, Teitelbaum SL. Micromolar
aluminum levels reduce 3H-thymidine incorporation by cell line UMR 106-01. Kidney
Int. 1989 May; 35(5): 1119-25.
11. Shainkin-Kestenbaum R, Adler AJ, Berlyne GM, Caruso C. Effect of aluminium on
superoxide dismutase. Clin Sci (Lond). 1989 Nov; 77(5): 463-6.
12. Kawase T, Orikasa M, Suzuki A. Aluminofluoride- and epidermal growth factor-
stimulated DNA synthesis in MOB 3-4-F2 cells. Pharmacol Toxicol. 1991 Nov; 69(5):
330-7.
13. Gomes MG, Moreira CA, Mill JG, Massaroni L, Oliveira EM, Stefanon I, Vassallo DV.
Effects of aluminum on the mechanical and electrical activity of the Langendorff-
perfused rat heart. Braz J Med Biol Res. 1994 Jan; 27(1): 95-100.
14. Jope RS. Modulation of phosphoinositide hydrolysis by NaF and aluminum in rat
cortical slices. J Neurochem. 1988 Dec; 51(6): 1731-6.
15. Husaini Y, Rai LC, Mallick N. Impact of aluminium, fluoride and fluoroaluminate
complex on ATPase activity of Nostoc linckia and Chlorella vulgaris. Biometals. 1996
Jul; 9(3): 277-83.
16. Blair HC, Finch JL, Avioli R, Crouch EC, Slatopolsky E, Teitelbaum SL. Micromolar
aluminum levels reduce 3H-thymidine incorporation by cell line UMR 106-01. Kidney
Int. 1989 May; 35(5): 1119-25.
17. Lai JC, Lim L, Davison AN. Effects of Cd2+, Mn2+, and Al3+ on rat brain
synaptosomal uptake of noradrenaline and serotonin. J Inorg Biochem. 1982 Nov;
17(3): 215-25.
18. Shainkin-Kestenbaum R, Adler AJ, Berlyne GM, Caruso C. Effect of aluminium on
superoxide dismutase. Clin Sci (Lond). 1989 Nov; 77(5): 463-6.
19. Department of Health and Human Services National Vaccine Program Office
Presents: Workshop on Aluminum in Vaccines. Caribe Hilton International Hotel, San
Juan, Puerto Rico: Jointly sponsored by: task Force for Child Survival and
Development. May 12, 200.
20. Varner JA, Jenson KF, Harvath W, Isaacson RL. Chronic administration of aliminum-
fluoride or sodium-fluoride to rats in drinking water: alterations in neuronal and
cerebrovascular integrity. Brain Res 784: 284-298, 1998.
21. Strunecka A, Pataocka J. Aluminofluoride complexes: new phosphate analogues for
laboratory investigations and potential danger for living organisms.
http://www.fluoridation.com/brain3.htm
22. Candura SM, Castildi AF, et al. Interaction of aluminum ions with phosphoinositide
metabolism in rat cerebral cortical membranes. Life Sci 49: 1245-1252, 1991.
23. Publicover SJ. Brief exposure to the G-protein activator NaF/ AlCl3 induces
prolonged enhancement of synaptic transmission in area of rat hippocampal slices.
Expl Brain Res 84: 680-684, 1991.
24. Brenner A. Macrophagic myofascitiitis: a summery of Dr. Supp 3): S5-6,
2002.Gherardi's presentations. Vaccine 20
25. Lacson AG, D'Cruz CA, et al. Aluminum phagocytosis in quadriceps muscle following
vaccination in children: relationship to macrophagic myofasciitis. Pediatr Dev Pathol
5: 151-158, 2002.
26. Flarend RE, Hem SL, et al. In vivo absorption of aluminum-containing vaccine
adjuvants using 26 Al. Vaccine 15: 131401318, 1997.
27. Authier FJ Cherin P, et al. Central nervous system disease in patients with
macrophagic myofasciitis. Brain 124: 974-983, 2001.
28. Gherardi RK. Lessons from macrophagic myofasciitis: towards definition of a vaccine
adjuvant-related syndrome. Rev Neurol (Paris) 159: 162-164, 2003.
29. Bergfors E, Trollfors B, Inerot A. Unexpectantly high incidence of persistent
itching and delayed hypersensitivity to aluminum in children after the used of
absorbed vaccines from a single manufacturer. Vaccine 22: 64-69, 2003.
30. Deloncle R, Fauconneau B, et al. Aluminum L-glutamate complexes in rat brain cortex:
in vivo prevention of aluminum deposit by magnesium D-aspartate. Brain Res 946:
247-252, 2002.
31. Mundy WR, Freudenrich TM, Kodavanti PR. Aluminum potentates glutamate-induced
calcium accumulation and iron-induced oxygen free radical formation in primary
neuronal cultures. Mol Chem Neuropathol 32: 41-57, 1997.
References Concerning Lead
1. Naatala JT, Loikkanen JJ, et al. Lead amplifies glutamate-induced oxidative stress.
Free Radical Biology Medicine 19: 689-693, 1995.
2. Morgan RE, Garavan H, et al. Early lead exposure produces lasting changes in
sustained attention, response initiation, and reactivity to errors. Neurotoxicology
and Teratology 23: 519-531, 2001.
3. Needleman HL, McFarland C, et al. Bone lead levels in adjudicated delinquents: A
case control study. Neurotoxicology and Teratology 24: 711-717, 2002.
4. Dietrich KN, Ris MD, et al. Early exposure to lead and juvenile delinquency.
Neurotoxicology and Teratology 23: 511-518, 2001.
My References
1. Blaylock R. Interaction of cytokines, excitotoxins, and reactive nitrogen and oxygen
species in autism spectrum disorders. J. Amer Nutr Assoc 6: 21-35, 2003.
2. Blaylock RL. The central role of excitotoxicity in autism spectrum disorders. J Amer
Nutra Assoc 6: 7-19, 2003.
3. Blaylock RL. Chronic microglial activation and excitotoxicity secondary to excessive
immune stimulation: possible factors in Gulf War Syndrome and autism. J Amer Phys
Surg 9: 46-51, 2004.
Translation copyright / more about vaccine: http://curhatanmanis.blogspot.com