Download - Jurnal Vol 11
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 i
Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam
Pembangunan (Kajian Atas Perpres No.
65 Tahun 2006);
Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan UU
No. 16 Tahun 2004;
Kewenangan PTUN Dalam Penanganan Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU
PTUN;
Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata;
Sengketa Pegawai Negeri Sipil Akibat Terbitnya Keputusan Tata Usaha
Negara;
Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang Bea
baliknama Kendaraan Bermotor;
Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa.
Volume 11, No.1 Mei 2011 ISSN 1412-2928
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 ii
JURNAL YUSTITIA
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Hukum Universitas Madura
Pimpinan Redaksi
Muhammad, S.H.,MH.
Wakil Pimpinan Redaksi
Achmad Rifai, S.H., M.Hum.
M.Amin Rachman, S.H., MH.
Sekretaris Redaksi
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.
Konsultan Redaksi
Drs. H. Kutwa, M.Pd.
Drs. H. Abd. Roziq, MH.
Dr. H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.
Redaksi Pelaksana
H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.
Dr. Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.
Win Yuli Wardani, S.H.,M.Hum.
Adrianana Pakendek, S.H., MH.
Anni Puji Astutik, S.H., MH.
Pembantu Umum
Hj.Wasilaning Rahayu
Toyyib Muniri
Alamat Redaksi Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan
E-mail: [email protected]
Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam
media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 iii
EDITORIAL
Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan
adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah terhadap
tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa
apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk
kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, , maka
pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan
dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.Hal ini
diangkat sebagai tulisan utama dalam volume ini.
Tulisan ke dua memaparkan tentang kedudukan, tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi ( KPK ) berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara
hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi. Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah yang
dilaksanakan sendiri oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam kaitannya itu dengan
implementasi wewenang BPN membatalkan pemberian Hak Atas Tanah berbenturan
dengan wewenang mengadili Peradilan Tata Usaha Negara.
Akibat hukum yang timbul dalam perjanjian hutang menurut Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, selama ini perjanjian penanggungan merupakan jaminan
perorangan maupun corporate guarantee, maka perjanjian penanggungan ini selalu
diadakan antara kreditur dan pihak ketiga guna kepentingan kreditur mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatannya debitur bilamana debitur sendiri tidak memenuhinya
Perlindungan hukum terhadap hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan
publik oleh pemerintah daerah merupakan pengakuan dan jaminan terhadap hak masyarakat baik secara yuridis konstitusional maupun secara etika sosial.
. Dalam transaksi jual beli sepeda motor, selain harus dilakukan penyerahan
nyata atas sepeda motor dari tangan penjual kepada tangan pembeli, juga harus
dilakukan penyerahan yuridis, dan akan melahirkan perobahan nama pemilik dalam
BPKB dan STNK sepeda motor yang bersangkutan;
Perlindungan hukum Advokat selaku penerima kuasa dalam pemberian
bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 baru dalam batas
tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata adapun hak seorang advokat dalam
rangka pengumpulan bukti baru dalam hak yang tidak diimbangi dengan kewajiban dan
sanksi terhadap pihak lain untuk menyerahkan bukti yang dibutuhkan
Editor
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 iv
DAFTAR ISI
EDITORIAL ii 1. Dr.H.Akh.Munif, S.H.,M.Hum.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak-Hak Rakyat Atas Tanah Dalam
Pembangunan (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006) . 1
2. Nur Hidayat, S.H., M.Hum.
Kedudukan Jaksa Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 .. 26
3. H.Hofney Setyo Poernamo, SH.,M.Hum.
Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Penanganan
Sengketa Pertanahan Berdasarkan UU PTUN .............................................. 52
4. Sri Sulastri, SH.M.Hum.
Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Hutang Menurut KUH Perdata ....... 83
5. Win Yuli Wardani, SH.,M.Hum.
Perlindungan Hukum Terhadap Hak Masyarakat Dalam Memperoleh
Pelayanan Publik ............................................................................................. 103
6. M.Amin Rachman, S.H.,MH.
Tinjauan Yuridis Terhadap Pasal 174 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ........................................................... 123
7. Achmad Rifai, SH.M.Hum.
Perlindungan Hukum Advokat Sebagai Penerima Kuasa ........ 147
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 v
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK RAKYAT ATAS TANAH
DALAM PEMBANGUNAN (Kajian Atas Perpres No. 65 Tahun 2006)
Oleh:
H. Akh.Munif.1*
ABSTRAK
Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam
pembangunan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang
hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah
perlu dibuat klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari
diketahui ternyata pengadaan tanahnya bukan untuk kepentingan umum
melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-lain, maka pengadaan
tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah diterima akan
dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak atas tanah.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum Hak-Hak Rakyat Atas Tanah.
LATAR BELAKANG
Peranan pembangunan dalam masa-masa sekarang ini, sangatlah dirasakan
adanya peningkatan kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai macam aspek
dalam menumbuhkan pembangunan yang merata bagi lapisan masyarakat, terutama
pembangunan dibidang fisik baik desa maupun kota. Tanah sebagai modal dasar
pembangunan memegang peranan yang sangat penting untuk melaksanakan kegiatan pembangunan, seperti mendirikan gedung sekolah, pelebaran jalan dan lain sebagainya.
Akan tetapi banyaknya tanah yang tersedia untuk keperluan pembangunan sangatlah
terbatas.
Adapun faktor yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul di atas,
berawal dari seringnya muncul sengketa mengenai tanah diantara kelompok-kelompok
yang ada di masyarakat yang sangat mengharapkan suatu keadilan. Adapun ukuran
keadilan itu subyektif dan relatif. Subyektif, karena ditentukan oleh manusia (hakim)
yang mempunyai wewenang untuk memutuskan, namun tidak mungkin memiliki
kesempurnaan yang absolut. Relatif, karena bagi seseorang dirasa sudah adil, tetapi
bagi orang lain dirasa sama sekali tidak adil.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 vi
Oleh kerena itu dalam setiap kegiatan pembangunan tidak saja menjadi
tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga dibutuhkan peran aktif dari pihak swasta
dan masyarakat pada umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah bagi
pemerintah maupun perusahaan swasta, kecil sekali kemungkinannya menggunakan
tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara dikarenakan persediaan tanahnya yang
terbatas. Sebagai solusinya adalah menggunakan tanah-tanah hak rakyat dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah. Sebagaimana ditentukan
dalam undang-undang pokok agraria (UUPA) pada pasal 6 telah disebutkan bahwa
semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah
dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau disesuaikan dengan keadaannya dan
sifat dari haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam
ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan
perseorangan haruslah saling mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapailah
tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Berhubungan dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa
tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah
kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula
dari setiap badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan
tanah itu. Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak yang
ekonomis lemah.2
Pranata hukum yang mengatur pengambilan tanah-tanah penduduk untuk
keperluan pembangunan, dilakukan dengan melalui :
1. Pengadaan tanah Pengadaan tanah ialah setiap kegiatan yang mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Pelepasan adalah kegiatan melepaskan hubungan antara pemegang hak atas tanah
dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar
musyawarah.
Pengadaan tanah erat sekali hubungannya dengan pembebasan atau pelepasan
hak atas tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun untuk
kepentingan swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam masyarakat. Hal ini
disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling bertentangan antara yang
satu dengan yang lainnya.
2 Arif, Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. III, CV. Mandar Maju, Bandung,
1994, h. 45.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 vii
Menurut Soedharyo Soimin, pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas tanah dengan cara
pemberian ganti rugi.2
Namun dalam prakteknya, rakyat sering dijadikan akses para penguasa. Rakyat
seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan mengambil suatu kebijaksanaan
yang menyangkut nasib dan masa depan mereka. Pada umumnya mereka hanya diberi pengarahan yang harus diterima dengan penuh kepatuhan, bahkan rakyat seringkali
dibodohi dengan janji-janji yang menggiurkan, sehingga mereka merasa kecewa dan
merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bila persoalan
semacam ini tidak mendapatkan perhatian yang serius, pada gilirannya akan
menimbulkan masalah yang berdampak politik.
Hal-hal tersebut di atas tentunya menimbulkan keresahan dalam masyarakat
yang dirugikan secara moril dan materiil. Padahal dalam pelaksanan pengadaan tanah
harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum yang sesuai dengan
prinsip bahwa negara kita adalah suatu negara hukum. Oleh karenanya, dalam
pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan diperlukan suatu
pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach (pendekatan dari segi hukum),
prosperty approach (pendekatan dari segi kesejahteraan), security approach (pendekatan dari segi ketertiban umum) dan humanity approach (pendekatan dari segi
kemanusiaan). Dengan legal approach dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan
ketentuan-ketentuan hukum tetap dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa
negara kita adalah negara hukum. Prosperty approach dimaksudkan kita harus
memperhatikan asas-asas ketertiban keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap
terpelihara.3
Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat merupakan faktor
dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan pembangunan dan perlu
ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan baik melalui investigasi
dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat berarti memberikan setiap
manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan untuk rakyat berarti menjamin bahwa
setiap kemajuan yang diperoleh sebagai hasil pembangunan adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat banyak.
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka dapat diangkat
permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah hak dan kewajiban rakyat atas tanah ?
2 Soedharyo Soimin, Stutas Hak Dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2001, h. 76. 3Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan
Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 viii
b. Bagaimanakah perlindungan hukumnya terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam Pembangunan ?
HAK DAN KEWAJIBAN RAKYAT ATAS TANAH
A. Pengertian Hak Penguasaan Atas Tanah
Berbicara tentang masalah tanah, jika ditinjau dari hukum adat merupakan
suatu hal yang cukup esensiil dalam kehidupan manusia. Menurut Suyono Wignjodipuro
ada dua hak pokok yang menyebabkan tanah mempunyai kedudukan penting, yaitu :
a. Karena sifatnya: Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bagaimanapun
keadaannya masih tetap bersifat tetap atau kadang-kadang bahkan
menguntungkan.
b. Karena fakta Suatu kenyataan bahwa tanah itu :
- merupakan tempat tinggal persekutuannya; - merupakan penghitungan bagi warga persekutuan; - merupakan tempat warga dikebumikan; - dan juga merupakan tempat tinggal para roh dan dayang-dayang leluhur
persekutuan.4
Untuk kedudukan tanah karena sifatnya dalam hukum adat, sebagaimana
dimaksud di atas contohnya sebidang tanah yang dibakar atau di atasnya dijatuhkan
bom, tanah tersebut tidak akan lenyap, sebab setelah api itu padam atau setelah
pemboman selesai, sebidang tanah tersebut akan muncul kembali dan telah berwujud
tanah seperti semula. Memandang betapa tanah mempunyai arti yang sangat
penting, maka hal-hal yang berkaitan dengan tanah selalu mendapatkan perhatian
khusus, terutama tentang transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah termasuk juga persewaan tanah pertanian.
Transaksi tanah, sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat riil, di dalam
lapangan hukum harta kekayaan, merupakan salah satu perbuatan tunai dan berobyek
tanah. Intinya ialah penyerahan benda (sebagai prestasi) yang berjalan serentak dengan
penerimaan pembayaran tunai (seluruhnya, kadang-kadang sebagian, selaku kontra
prestasi). Perbuatan menyerahkan itu dinyatakan dengan istilah jual(Indonesia), adol (Jawa).
4 Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, CV. Haji
Masagung, Jakarta, 1968, h. 197.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 ix
Oleh karena itu transaksi tanah segi dua atau timbal balik tersebut di atas
menyimpulkan pokok pikiran sebagai berikut : saya melepaskan tanah setelah saya menerima sejumlah uang tertentu, dan anda menjadi pemegang hak atas tanah itu :
1. atau untuk selamanya; 2. atau selama saya tidak menebusnya; 3. atau untuk beberapa lama saja.5 Dengan demikian transaksi-transaksi semacam itu digolongkan ke dalam perjanjian riil
atas tanah, berhadapan dengan perjanjian-perjanjian jenis lain yaitu:
1. perjanjian yang biasanya digolongkan kedalam transaksi yang bersangkutan
dengan tanah, di mana tanah merupakan faktor penting, namun tidak dapat
disebut obyek transaksi dan tidak bermaksud seperti pada transaksi jual;
2. perjanjian di mana tanah memegang peranan sangat penting dan didalamnya
terdapat perbuatan tunai.
B. Hak-Hak Rakyat Atas Tanah
Dalam membicarakan hak dan kewajiban atas tanah ada beberapa hak atas tanah yang penting harus diketahui yang berasal dari hukum agraria sebelum adanya
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Hak atas tanah menurut hukum Adat sebelum berlakunya UUPA yaitu :
1. Hak ulayat
Hak ulayat ialah hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota
masyarakat hukum adat secara bersama-sama (komunal). Dengan hak ulayat ini
masyarakat hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara
menyeluruh.
Adapun hak warga masyarakat atas tanah yang berwujud dalam hak ulayat ini
pada dasarnya berupa :
a. Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada di
wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka yang bersangkutan. b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah/wewenang hukum masyarakat mereka.
Tetapi dalam konsepsi hak ulayat yang bersifat komunal ini pada hakikatnya
tetap terdapat juga hak anggota masyarakat yang bersangkutan untuk secara
perseorangan menguasai sebagian dari obyek penguasaan hak ulayat tersebut secara
tertentu (dengan menggunakan tanda-tanda tertentu) agar diketahui para anggota
masyarakat lainnya dalam waktu yang tertentu pula.
2. Hak milik dan hak pakai
5 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,
Yogyakarta, 1979, h. 177.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 x
Hak milik (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh
perseorangan atas sebidang tanah tertentu yang terletak di dalam wilayah hak ulayat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Contohnya tanah yang dikuasai dengan hak
milik dalam hukum adat itu berupa sawah dan beralih turun temurun, sedangkan hak
pakai (adat) atas tanah ialah suatu hak atas tanah menurut hukum adat yang telah
memberikan wewenang kepada seseorang tertentu untuk memakai sebidang tanah tertentu bagi kepentingannya. Biasanya tanah yang dikuasai dengan hak pakai dalam
Hukum Adat itu berupa ladang.6
Hak atas tanah menurut hukum (Perdata) Barat sebelum berlakunya UUPA
yaitu :7
1. Hak Eigendom (pasal 570 KUHPer/BW).
Hak eigendom atas tanah ialah suatu hak yang terkuat dalam hukum barat.
Tidaklah sama hakikatnya hak milik atas tanah menurut konsepsi hukum (perdata) Barat ini dengan hakikat hak milik atas tanah menurut konsepsi UUPA kita dewasa ini.
Dengan hak eigendom hak atas tanah, pemilik (eigenaar) tanah yang bersangkutan
mempunyai hak mutlak atas tanahnya. Hal ini dapat kita mengerti mengingat konsepsi hukum Barat ini dilandasi oleh jiwa dan pandangan hidup yang bersifat individualistis-
materialistis, yaitu suatu pandangan hidup yang lebih mengagungkan kepentingan perorangan dari pada kepentingan umum maupun kebendaan dari pada keahlakan.
2. Hak opstal (pasal 711 KUH Per/BW).
Hak opstal ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk memiliki segala sesuatu yang terdapat di atas tanah eigendom
orang lain sepanjang sesuatu tersebut bukanlah kepunyaan eigenaar tanah yang bersangkutan. Segala sesuatu yang dapat dimiliki itu misalkan rumah atau bangunan,
tanaman dan sebagainya. Disamping wewenang untuk dapat memiliki benda-benda
tersebut, hak opstal juga memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk :
- Memindahtangankan (benda yang menjadi) haknya itu kepada orang lain;
- Menjadikan benda tersebut sebagai jaminan hutangnya (dengan Hak Tanggungan, UU No. 4 Tahun 1996 );
- Mengalihkannya kepada ahli warisnya sepanjang jangka waktu berlakunya hak opstal itu belum habis menurut perjanjian yang telah ditetapkan
bersama pemilik tanah.
3. Hak erfpacht (pasal 720 KUHPer/BW).
6 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Sendi-sendi Hukum Agraria, Ghalia
Indonesia, Jakarta, h. 27. 7 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Cet. III,
Alumni Bandung, 1992, h. 128.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xi
Hak erfpacht ialah hak untuk dapat mengusahakan atau mengolah tanah orang
lain dan menarik manfaat atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah tersebut. Di
samping menggunakan tanah orang lain itu untuk dimanfaatkan hasilnya, pemegang hak
atas tanah, pemegang hak erfpacht ini berwenang pula untuk memindahtangankan
haknya itu kepada orang lain, menjadikannya sebagai jaminan hutang (dengan Hak
Tanggungan) dan mengalihkannya pula kepada ahli warisnya sepanjang belum habis masa berlakunya.
4. Hak gebruik (pasal 818 KUHPer/BW).
Hak gebruik ialah suatu hak atas tanah sebagi hak pakai atas tanah orang lain
(gebruik = pakai). Hak gebruik ini memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
dapat memakai tanah eigendom orang lain guna diusahakan dan diambil hasilnya bagi
diri dan keluarganya saja. Di samping itu pemegang hak gebruik in boleh pula tinggal di
atas tanah tersebut selama jangka waktu berlaku hak itu.
Hak atas tanah menurut hukum agraria Indonesia, setelah berlakunya UUPA
yaitu :
1. Hak milik (pasal 20 sampai dengan 27 UUPA)
Hak milik ialah suatu hak atas tanah yang terpenuh, terkuat dan paling sempurna di antara hak-hak atas tanah lainnya. Tetapi pengertian terkuat, terpenuh dan
paling sempurna di sini tidaklah berarti bahwa si pemilik tanah itu boleh bertindak atau
melakukan apa saja atas tanahnya itu.
Hak milik menurut UUPA ialah hak milik yang mempunyai fungsi sosial
seperti juga semua hak atas tanah lainnya (pasal 6 UUPA) sehingga hal ini mengandung
arti bahwa :
a. Hak milik atas tanah tersebut di samping hanya memberikan manfaat bagi
pemiliknya, harus diusahakan pula agar sedapat mungkin dapat bermanfaat
pula bagi orang lain atau kepentingan umum, bila keadaan memang
memerlukan.
b. Penggunaan hak milik tersebut tidak boleh mengganggu ketertiban dan kepentingan umum.
Hakikat hak milik menurut UUPA adalah demikian karena UUPA sebagai hukum
agraria nasional telah dijiwai dan dilandasi oleh Pncasila sebagai pandangan hidup
bangsa, yang menempatkan kehidupan manusia dalam taraf keserasian antara demensi
individual dan demensi sosialnya. Dengan demikian, maka hal ini tentu saja berarti
bahwa di Indonesia pemenuhan kepentingan individu dan kepentingan sosial sama-sama
dijamin dan dilindungi penuh oleh hukum dalam taraf keseraisian pula. Akibatnya hak
milik sebagai suatu lembaga yang merupakan kepentingan individual seseorang atau
suatu pihak, memang dilindungi oleh hukum (proteksi hukum) tetapi disamping itu
tentu saja tetap dibatasi pula (restriksi hukum) sampai pada batas-batas kelayakan dan
kewajaran tertentu.
2. Hak guna usaha (pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA)
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xii
Hak guna usaha ialah suatu hak yan memberikan wewenang kepada
pemegfangnya untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai oleh negara untuk
kegiatan-kegiatan pertanian saja. Jadi apabila yang bnersangkutan tidak berkegiatan
dalam bidang pertanian, hak guna usaha atas tanah ini tidak akan diberikan. Kegiatan
pertanian sendiri pada asasnya mengandung pengertian pertanian dalam arti luas dan
dalam arti sempit. Yang dimaksud dengan pertanian dalam arti luas ilah kegiatan pertanian yang disertai atau meliputi juga kegiatan-kegiatan peternakan, perkebunan,
perikanan dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan pertanian dalam arti
sempit ialah pertanian yang kegiatannya hanyalah pertanian semisim panen belaka.
Disamping itu wewenang untuk mengusahakan tanah tersebut, pemegang hak
guna usaha yang bersangkutan juga berhak untuk menjadikan hak guna usaha atas tanah
ini sebagai jaminan hutang, atau memindahtangankannya dan mengalihkannya kepada
ahli warisnya sepanjang jangka waktu berlakunya hak tersebut belum habis.
3. Hak guna bangunan (pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA)
Hak guna bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk dapat mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, baik tanah itu merupakan milik orang atau pihak lain maupun berupa tanah yang langsung dikuasai negara.
Disamping itu pemegang hak guna bangunan atas suatu tanah berwenang pula
untuk memindahtangankan hak tersebut, menjadikannya sebagai jaminan hutang dan
mengalihkannya epada ahli warisnya sepanjang belum habis jangka waktunya.
4. Hak pakai (pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA)
Hak pakai ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk
menggunakan tanah pihak lain untuk keperluan penggunaan apa saja misalkan untuk
ditanami atau didiami dan didrikan bangunan diatsnya dan sebagainya selama waktu
tertentu menurut perjanjian. Sedangkan tanah yang dimaksud dalam hal ini bisa saja
tanah milik orang lain atau taah yang langsung dikuasai negara. Dalam hal yang terakhir maka hak pakai UUPA analog dengan hak pakai Adat.
5. Hak sewa untuk bangunan (pasal 44 sampai dengan pasal 45 UUPA).
Hak sewa untuk bangunan ialah suatu hak yang memberikan wewenang bagi
pemegangnya untuk mempergunakan tanah milik orang lain guna keperluannya
mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.
6. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (pasal 53 UUPA).
a. Hak gadai ialah suatu hak yang dipegang oleh seorang kreditur yang
memberikan wewenang kepadanya untuk menguasai tanah debiturnya dan
turut menikmati atau mengambil hasilnya selama si reditur itu belum dapat
melunaskan hutangnya. Taah yang dibebankan hak gadai ini dapat tanah
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xiii
pertanian atau dapat juga tanah untuk bangunan. (Hak gadai UUPA tidak
analog dengan hak gadai Adat).
b. Hak usaha bagi hasil, yaitu hak yang memberkan wewenang kepada seorang
penggarap untuk dapat mengerjakan atau mengusahakan tanah milik orang lain
dengan memberikan sebagian tertentu dari jumlah hasil tanah tersebut kepada
pemiliknya menurut perjanjian. c. Hak menumpang, ialah suatu hak yang memberikan wewenang kepada
seseorang atau suatu pihak untuk menumpang tinggal diatas tanah milik orang
lain baik dengan menempati bangunan yang sudah ada maupun dengan
membangun sendiri bila seandainya tanah tersebut masih kosong.8
C. Kewajiban Rakyat Atas Tanah Dalam Pembangunan
Merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak di situ
ada kewajiban dan sebaliknya. Karena itu maka dengan adanya hak atas tanah lahirlah
kewajiban atas tanah. Hal ini disebabkan karena pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa
Takaran Hak ialah Kewajiban sehingga hal ini mengandung arti bahwa seseorang atau suatu pihak yang menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya untuk dapat menikmati hak tersebut. Karena itu maka sebanding dengan hak yang dapat diperoleh atas tanah, tentu saja ada pula kewajiban
yang harus dipenuhi oleh pihak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah, menurut Hukum Adat
yaitu :
1. Kewajiban pemegang hak ulayat.
Pemegang hak ulayat pada dasarnya berkewajiban untuk :
a. Menggunakan haknya sebagaimana mestinya untuk meramu atau berburu dalam
hutan wilayah hukum masyarakatnya itu;
b. Menepati ketentuan dan kata sepakat yang telah tercapai antar warga dalam
penggunaan hak ulayat tersebut baik secara bersama-sama maupun secara
pribadi atas tanah yang bersangkutan; c. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi alam tempat mereka
melakukan mata pencahariannya tersebut.
2. Kewajiban pemegang hak milik dan hak pakai.
Pemegang hak milik adat pada dasarnya berkewajiban untuk :
a. Menggunakan tanahnya secara semestinya menurut tujuannya;
b. Menjaga agar penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan
kepentingan orang lain atau kepentingan umum, dan memelihara tanah tersebut
dengan baik sehingga tanahnya dapat berfungsi sosial, sebagaimana hal ini
sudah menjadi jiwa asli yang melandasi hukum adat Indonesia.
8 Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Op. Cit, h. 31.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xiv
Pemegang hak pakai adat bila dipandang sebagai masing-masing individu
yang menjadi bagian dari masyarakatnya, pada dasarnya berkewajiban untuk :
a. Sedapat mungkin berusaha agar ia dapat menambah kegunaan dari tanah yang
dipakai atau digarapnya itu. Peningkatan hasil tersebut tentunya berguna bagi
dirinya sendiri sebagai orang yang berhak memungut hasilnya selaku
penggarap. Disamping itu dengan adanya kewajiban ini, maka orang lain yang nantinya (menurut giliran berikutnya) menjadi pemakai/penggarap tanah
tersebut tentunya akan beruntung pula karena ia mendapat tanah garapan yang
sudah meningkat daya hasilnya. Dengan demikian maka sistem penggarapan
tanah menurut hak ulayat ini dapatlah disimpulkan bahwa setiap orang atau
kepala keluarga akan sedapat mungkin berusaha untuk meninggalkan tanah
bekas garapan mereka dalam keadaan yang sebaik mungkin.
b. Menjaga dan memelihara dengan sebaik mungkin kondisi tanah garapan yang
telah baik dan sedapat mungkin pula meningkatkan kondisi tanah yang masih
kurang daya hasilnya selama masa garapan mereka masing-masing.
Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah menurut Hukum Perdata
Barat yaitu :
1. Kewajiban pemegang hak eigendom. Kalau diresapi secara mendalam dan dibandingkan secara cermat antara hak
dan kewajiban atas tanah yang termaktub dalam hak eigendom ini bagi pemegangnya,
maka dengan segera akan terkesan bahwa antara hak dan kewajiban yang ada dalam
suatu hak eigendom tersebut sama sekali tidak berimbang. Hal ini disebabkan karena
bila dibandingkan dengan haknya yang demikian besar dan demikian banyaknya
melahirkan wewenang bagi pemegangnya, maka kewajiban pemegang hak tersebut
dapat dikatakan sangatlah ringan dan bahkan hampir tidak ada kewajiban lain selain
mungkin hanya membayar pajak milik atas tanah itu semata-mata.
Para pemegang hak eigendom itu tidak wajib memperhatikan apakah
penggunaan tanah yang dilakukan dengan seenaknya itu merugikan/mengganggu
kepentingan orang lain atau tidak. Hal ini dapat dimengerti mengingat landasan dari pada hak eigendom ini ialah Hukum (Perdata) Barat yang tentu saja konsepsinya masih
dilandasi pula oleh jiwa yang individualistis, yakni jiwa yang berpandangan bahwa
kepentingan perorangan harus lebih diperhatikan dan didahulukan dari pada
kepentingan umum. Karena itulah maka konsepsi hak eigendom ini sama sekali tidak
terpakai lagi dalam pembentukan konsepsi hak milik atas tanah menurut UUPA.
2. Kewajiban pemegang hak opstal.
Hampir sama halnya dengan hak eigendom, kewajiban pemegang hak opstal
inipun hampir tidak ada selain hanya menggunakan hak tersebut selaras dengan
perjanjian dan tujuannya selama jangka waktu berlakunya, dengan maksud tentunya
agar hak opstal itu sendiri jangan terhapus karena kadaluwarsaan akibat tidak pernah
digunakan selama masa berlakunya.
3. Kewajiban pemegang hak erfpacht. Pemegang hak erfpacht pun tidak banyak kewajibannya, selain hanya :
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xv
a. Menggunakan tanah yang bersangkutan secara baik, dalam arti tidak merusak
keadaannya sehingga mendatangkan kerugian bagi pemiliknya;
b. Membagi hasil tanah garapannya itu kepada pemiliknya dengan cara yang
pantas dan jumlah yang adil, selama ia menjadi penggarap tanah tersebut
menurut jangka waktunya;
4. Kewajiban pemegang hak gebruik.
Kewajiban pemegang hak gebruik pada dasarnya hanyalah menjaga dan
memelihara kondisi dan keadaan tanah yang garapannya itu selama masa berlakunya
hak gebruik yang bersangkutan.9
Kewajiban atas tanah pendamping hak atas tanah berdasarkan Hukum Agraria
Indonesia, setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa
kewajiban harus dipenuhi oleh pemegang hak milik atas tanah pada dasarnya ialah :
a. Sebelum menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus
memenuhi syarat bahwa ia itu adalah orang yang berkewarganegaraan Indonesia
secara tunggal atau badan hukum yang telah ditunjuk pemerintah sebagai badan
hukum yang dapat atau boleh memegang hak milik atas tanah di Indonesia (pasal
21 ayat (1) dan (2) UUPA); b. Kalau yang bersangkutan adalah orang asing (termasuk didalamnya bekas warga
negara Indonesia) yang telah menjadi warga negara lain atau orang Indonesia yang
tidak berkewarganegaraan Indonesia secara tunggal tetapi telah terlanjur memiliki
tanah di Indonesia, maka orang tersebut wajib melepaskan hak milinya atas tanah
tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, terhitung sejak hak milik itu
diperolehnya atau sejak ia kehilangan kewarganegaraan Indonesianya secara
tunggal (pasal 21 ayat (3) dan 4 UUPA);
c. Setelah menjadi pemegang hak milik atas tanah, yang bersangkutan harus
mendaftarkan hak miliknya tersebut, lengkat dengan segala hal yang berkaitan
didalamnya,misalkan ada tidaknya hak-hak lain yang dibebankan atas hak milik
tersebut, peralihannya kepada pihak lain (kalau hak milik tersebut dialihkan kepada pihak lain baik sebagian maupun seluruhnya) dan sebagainya (*pasal 23 ayat (1) jo.
Pasal 19 UUPA);
d. Menggunakan hak miliknya atas tanah tersebut sebagaimana mestinya dalam arti :
- Tanah miliknya itu tidak diterlantarkan;
- Tanah miliknya itu tidak digunakan untuk kepentingan apa pun juga yang
sifatnya merugikan atau mengganggu kepentingan umum.
e. Menjaga dan memelihara tanah tersebut sedemikian rupa sehingga selalu ada fungsi
sosialnya, dalam arti selalu dapat juga bermanfaat bagi orang lain (kepentingan
umum) bila sewaktu-waktu diperlukan (pasal 6 UUPA).10
9 Ibid, h. 31-34. 10 Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1999, h. 128.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xvi
Sedangkan kewajiban rakyat atas tanah dalam pembangunan, maka dapat
diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah oleh
pemegang hak atas tanah. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Perpres No. 36 Tahun
2005 yang dimaksud dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan
melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah. Sebelum
memperoleh hak atas tanah, Instansi Pemerintah (pemerintah) yang memerlukan tanah
terlebih dahulu melaksanakan musyawarah dengan pemegang hak atas tanah.
Musyawarah tersebut dilaksanakan untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi
atas tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah.11
Sedangkan pengertian dari musyawarah ialah kegiatan yang mengandung
proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta
keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan
masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan
dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-
benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.
Rumusan musyawarah menunjukkan adanya proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara demokratis. Prinsip mendengar dan saling mendengar (to give a
little and to take a little) untuk mencapai kesepakatan yang bulat terhadap masalah yang
menyangkut kepentingan seluruh masyarakat.
Musyawarah diharapkan dapat dilaksanakan oleh pemegang hak atas tanah
dengan instansi yang memerlukan tanah. Jika pemegang hak atas tanah berhalangan
dapat menguasakan kepada wakil-wakilnya. Proses musyawarah akan berjalan
seimbang manakala masing-masing pihak yang melakukannya dalam keadaan
seimbang, baik dalam hal pengetahuannya, kekuatan bargainingnya, maupun sumber
daya ekonomis serta politisnya.
Salah satu prinsip yang penting dalam musyawarah dalam rangka pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah ialah prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Disini diperlukan kesamaan persepsi, apresiasi terhadap sesuatu hak yang
memperhatikan prinsip kewajaran, kepatutan, keadilan, dan kemanusiaan. Prinsip fungsi
sosial (pasal 6 UUPA) tidak dapat dipakai sebagai dasar melanggar bahkan
melenyapkan hak individual secara tidak wajar, adil, patut, dan berperikemanusiaan.12
11 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, PRO JUSTIA, tahun XVI No. 4, Oktober, 1998, Fak. Hukum
UNPAR, Bandung, 1998, h. 32. 12 Achmad Sodiki, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Materi
Penataran dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang dan Hukum Ekonomi,
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Batu, 29-31-Juli, 1996, h. 6-8.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xvii
Apabila dalam musyawarah antara pemegang hak atas tanah dan instansi
pemerintah yang memerlukan hak atas tanah tercapai kesepakatan dalam penetapan
bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka pemegang hak atas tanah mengisi surat
pernyataan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang telah disiapkan oleh Panitia
Pengadaan Tanah, dan bersamaan itu pula ganti kerugian tersebut diserahkan oleh
instansi pemerintah yang memerlukan tanah langsung kepada pemegang hak atas tanah. Akan tetapi bilamana tidak terdapat kesepakatan dalam musyawarah antara
pihak-pihak mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian walaupun keperluan akan
tanah tersebut sifatnya mendesak untuk kepentingan umum sedangkan lokasinya tidak
dapat dipindahkan ketempat lain, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah
tidak dapat menggunakan konsinyasi, tetapi langsung mengajukan pencabutan hak atas
tanah kepada pihak yang berwenang.
BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK
RAKYAT ATAS TANAH DALAM PEMBANGUNAN
A. Perangkat Peraturan Perundang-undangan Dibidang Pertanahan
Peraturan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum sebagaimana diatur dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai mengandung
beberapa kelemahan. Oleh karena itu Pemerintah memandang perlu untuk menerbitkan
Perpres No. 36 Tahun 2005 dan sekarang sudah dirubah dengan Perpres No. 65 Tahun
2006, penerbitan peraturan dalam bentuk Perppres di samping untuk meningkatkan
legitimasi peraturan pengadaan tanah untuk pembangunan, juga memenuhi ketentuan
dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur tata urutan peraturan perundang-
undangan di Indonesia.
Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut pasal 5
Perppres No. 65 Tahun 2006, hanya dibatasi untuk pembangunan yang dilakukan dan
selanjutnya dimiliki oleh pemerintah daerah serta tidak digunakan mencari keuntungan
dalam bidang lain sebagai berikut : a. Jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang tanah, ataupun
diruang bawah tanah), saluran air minum / bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam dan cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Persoalan mengenai kepentingan umum secara konsepsional memang sulit sekali dirumuskan dan lebih-lebih kalau kita secara operasional. Akan tetapi dalam
rangka penggunaan tanah masyarakat penegasan tentang kepentingan umum yang akan
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xviii
menjadi dasar dan kreterianya perlu ditentukan secara tegas sehingga pengambilan
tanah-tanah dimaksud benar-benar sesuai dengan landasan hukum yang berlaku.13
Dalam konsinyasi instansi pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan
uang ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri setempat, terserah kepada pemegang hak
atas tanah mau mengambil atau tidak uang ganti kerugian tersebut di Pengadilan Negeri
setempat. Instansi pemerintah menganggap bahwa dirinya telah melaksanakan kewajiban memberikan ganti kerugian yang dinilai telah memadai kepada pemegang
hak atas tanah melalui penitipan uang di Pengadilan Negeri setempat. Untuk
selanjutnya, tanah beserta benda-benda yang ada diatasnya dibebaskan oleh panitia
Pembebasan Tanah, sehingga proyek pembangunan yang telah direncanakan tersebut
segera dilaksanakan.14
Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan tanah untuk kepentingan
pemerintah diatur dalam pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 adalah sebagai berikut :
(1). Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat
dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ketempat atau lokasi lain,
maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua
puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.
(2). Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan besarnya ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan menitipkan ganti
rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi
tanah yang bersangkutan.
(3). Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri
yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.
Pelaksanaan asas musyawarah dalam rangka pengadaan tanah bagi
peleksanaan pembangunan untuk kepentingan umum seperti yang disebut dalam ayat 2
Pasal 10 Perppres No. 65 Tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa asas musyawarah
merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi dalam rangka pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum. Oleh karena itu
peranan panitia dalam hal ini sangat menentukan kualitas wakil dalam pelaksanaan
musyawarah ini dan perlu dihindari adanya wakil yang tidak aspiratif, tidak mampu
menyuarakan keinginan yang diwakili, mempunyai sikap yang jelas tetapi tidak kau dan
juga sebaliknya jangan sampai ditunjuk wakil yang sulit memehami maksud baik
pemerintah. Tegasnya wakil tersebut diharapkan adalah mereka yang mampu
menjembatani keinginan Panitia Pengadaan Tanah dan keinginan masyarakat.
Penggunaan cara konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah untuk
kepentingan pemerintah jelas sangat merugikan pemegang hak atas tanah, karena
13 Abdurrahman, Op. Cit, h. 51. 14 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Lok Cit,
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xix
pemegang hak atas tanah tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan besarnya ganti
kerugian dan pemegang hak atas tanah tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus
menerima besarnya ganti kerugian yang telah dititipkan kepada Pengadilan Negeri
setempat. Oleh karena itu untuk menjamin dan memberikan perlindungan hukum serta
kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dalam menentukan besarnya ganti rugi
Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan pemilik/pemegang hak atas tanah berdasakan harga umum setempat, selain itu juga menentukan bahwa
dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Lokasi dan faktor strategi lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus
berpedoman ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan
Umum/Dinas Pertanian setempat;
b. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah, dan fasilitas lain.15 Ketentuan tentang konsinyasi dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang diatasnya ada bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah
dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa dari mereka
tidak ditemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak ditemukan
tersebut, dikonsinyasikan di Pengadikan Negeri setempat oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
Ketentuan diatas mengenai konsinyasi masih menimbulkan persoalan yuridis
yaitu :
1. Jika beberapa pemilik yang secara bersama-sama memiliki tanah, bangunan,
tanaman atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah telah diketahui tidak
menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang
membutuhkan tanah, apakah dapat dibenarkan ganti kerugiannya dikonsinyasikan
di Pengadilan Negeri setempat ?
2. Bagaimanakah prosedur Konsinyasi atas ganti kerugian bagi seorang pemilik atau
beberapa orang pemilik, bangunan, tanaman atau benda-benda yang berkaitan
dengan tanah, yang tidak ditemukan oleh instansi pemerintah yang membutuhkan? Dengan demikian hal ini dapat menyulitkan dalam pelaksanaan konsinyasi. Oleh
karena itu Soedalhar berpendapat bahwa uang ganti kerugian baru dapat
dikonsinyasikan bilamana :
a. Musyawarah mengenai ganti kerugian tercapai dalam arti beberapa pemilik tanah
atas sebidang tanah menyetujui ganti kerugian, sedang satu atau beberapa orang
pemilik atas sebidang tanah tadi tidak dapat ditemukan,
15 Muhadar, Viktimisasi Kejahatan Pertanahan, LaksBang, Yogyakarta, 2006,
h. 156.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xx
b. Yang memerlukan tanah adalah instansi pemerintah.16
Untuk memahami satu pasal dalam suatu peraturan harus dikaitkan dengan pasal-
pasal yang lain dalam peraturan tersebut. Atas dasar intepretasi ini, pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan apabila pemegang hak atas tanah
menyetujui besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah. Dengan demikian konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat diterapkan apabila beberapa pemilik tanah atas sebidang
tanah, bangunan, atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah telah memberikan
persetujuan mengenai besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa orang dari
mereka tidak dapat ditemukan tempat tinggalnya.
Mengenai prosedur konsinyasi atas ganti kerugian bagi satu atau beberapa
pemilik sebidang tanah, bangunan, tanaman, atau benda-benda lain yang terkait dengan
tanah yang tidak ditemukan tempat tinggalnya oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah, maka hal ini dapat menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan
konsinyasi tersebut. Sebagai jalan keluarnya pihak instansi pemerintah berupaya untuk
mencari tempat tinggal pemilik hak atas tanah dengan jalan memasang iklan nama-
nama orang yang berhak atas tanah yang tidak diketahui tempat tinggalnya di media
cetak dan elektronik dengan biaya pemasangan iklan ditanggung oleh isntansi pemerintah yang memerlukan tanah. Jika dalam waktu 30 hari setelah pemasangan iklan
tersebut tetap tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak ada tanggapan, maka instansi
pemerintah yang memerlukan tanah baru dapat menkonsinyasikan uang ganti kerugian
kepada Pengadilan Negeri setempat. Namun sebaliknya jika ada tanggapan dalam
waktu tiga puluh hari setelah pemasangan iklan, maka instansi pemerintah yang
memerlukan tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pihak dengan dipandu
oleh Panitia Pengadaan Tanah untuk menetapkan bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Meskipun sebagian besar pemegang hak atas tanah dalam suatu kawasan telah
menyetujui bentuk dan besarnya ganti kerugian yang ditawarkan oleh instansi
pemerintah yang memerlukan tanah, namun demikian masih ada satu atau beberapa
pemegang hak atas tanah yang berbeda bidang tanahnya dalam kawasan tersebut belum menyetujui bantuk dan besarnya ganti kerugian, maka terhadap satu atau beberapa
pemegang hak atas tanah ini uang ganti kerugiannya tidak dibenarkan dikonsinyasikan
oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
Menurut AP. Parlindungan tidak mungkin lagi konsinyasi bagi orang yang
tidak bersedia menerima uang ganti kerugiannya karena alasan-alasan tertentu
16 Soedalhar, Fungsi Hukum Mengendalian Pembebasan Tanah Dalam
Pembangunan Berkesinambungan, Makalah, Seminar Hukum Sebagai Pengenadalian
Kesinambungan Pembangunan Nasional, Surabaya, 24 Oktober 1993, h. 8.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxi
sebagaimana praktek-praktek yang sudah banyak berlangsung dibanyak daerah dan
telah dibenarkan pula oleh beberapa pengadilan tertentu.17
Upaya yang seharusnya ditempuh oleh instansi pemerintah yang
membutuhkan tanah apabila dalam musyawarah untuk menetapkan bentuk dan besarnya
ganti kerugian tidak tercapai kesepakatan dan lokasi pembangunan yang bersangkutan
tidak dapat dipindahkan adalah mengajukan permohonan pencabutan hak atas tanah kepada Presiden berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-hak Atas tanah dan Benda-benda Yang Ada diatasnya.
Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
memang dibuat tidak mudah dilakukan oleh instasi pemerintah yang memerlukan tanah.
Hal ini dimaksudkan agar pemegang hak atas tanah mendapatkan perlindungan hukum
terhadap hak-hak atas tanahnya dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
instansi pemerintah yang membutuhkan tanah.18
Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah jenis yang pertama yakni
untuk kepentingan umum diawali dengan pembentukan Panitia pengadaan Tanah.
Panitia ini dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi, panitia ini juga dibentuk
ditiap Kabupaten atau Kotamadya. Jika pengadaan tanah menyangkut dua wilayah
Kabupaten/Kotamadya, maka panitia diketuai atau dibentuk oleh Gubernur yang susunan anggotanya mencerminkan instansi terkait dari propinsi maupun daerah tingkat
II yang bersangkutan (pasal 6).
Adapun susunan pantia terdiri dari seorang Ketua (Bupati/Walikota)
merangkap anggota, enam anggota, dua sekretaris (I dan II) bukan anggota. Tidak
dijelasklan mengapa dalam komposisi Panitia Pengadaan tanah tidak mengikut sertakan
wakil rakyat pemilik/pemegang hak atas tanah. Dengan mengikutkan sertakan wakil
rakyat diharapkan proses penentuan ganti kerugian maupun prosedur yang harus
ditempuh akan berlangsung lebih transparan dan obyektif.
Jika komposisi panitia ini benar-benar mencerminkan wakil-wakil mereka
yang terlibat dalam proses pengadaan tanah, berarti aspirasi mereka lebih dapat
diakomodasikan dengan lebih baik, sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan jurang perbedaan yang mungkin timbul.
Sedangkan tugas dari panitia berdasarkan pasal 7 Perppres No. 65 Tahun 2006
antara lain :
a. Mengadakan penelitian dan inventarisasi tanah, bangunan, tanaman dan benda-
benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
17 AP. Parlindungan, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah dan
Swasta, Makalah., Dialog Agraria HUT UUPA, Fak. Hukum USU, Medan, 24
September 1993, h. 7. 18 Urip santoso, Aspek Konsinyasi, Op.Cit, h. 35.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxii
b. Mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan
atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
c. Menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
d. Memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana
pembangunan dan /atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka,
media cetak, maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh
masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
e. Mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi
pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka
menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;
f. Menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas
tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang ada di atas tanah;
g. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
h. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan
menyerahkan kepada pihak yang berkopeten.
Tugas inventarisasi tanah, bangunan maupun status haknya adalah untuk19 memenuhi asas spesialitas dan legalitas hak tersebut. Keduanya mengarah kepada asas
kepastian hukum. Kepastian hukum baik bagi subyek maupun obyeknya. Dengan
demikian akan jelas siapa yang akan diundang dalam musyawarah untuk menetapkan
atau menyetujui ganti rugi yang akan diberikan.
Berkenaan dengan kepentingan umum dalam pengadaan tanah untuk
kepentingan pemerintah masih dapat menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya.
Misalnya dalam suatu pengadaan tanah Panitia Pengadaan Tanah menyampaikan
kepada pemegang hak atas tanah bahwa tanahnya diperlukan untuk proyek
pembangunan yang mempunnyai sifat kepentingan umum. Oleh karena itu pemegang
hak atas tanah melepaskan atau menyerahkan hak atas tanahnya dengan pemberian uang
ganti kerugian yang telah disepakati bersama. Ternyata, dikemudian hari, pemegang hak atas tanah mengetahui bahwa hak atas tanah yang sudah dilepaskan atau diserahkan
tersebut digunakan bukan untuk proyek pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan perusahaan swasta. Dalam keadaan
seperti ini, apakah pemegang hak atas tanah dapat meminta tanahnya kembali dengan
mengembalikan ganti kerugian yang telah diserahkan atau meminta tambahan ganti
kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.20 Oleh karena itu untuk mengantisipasi
timbulnya praktek tersebut diatas dan memberikan perlindungan hukum bagi pemegang
hak atas tanah terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau
19 Achmad Sodiki, Op.Cit, h. 18-21. 20 Urip Santoso, Aspek Kepentingan, Op.Cit, h. 47.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxiii
penyerahan hak atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat
klausula yang menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan
tanahnya bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan
swasta, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal demi hukum dan uang ganti
kerugian yang telah diterima akan dikembalikan kepada Panitia pengadaan Tanah, atau
pemegang hak atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.
Oleh karena itu latar belakang diterbitkannya Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005 yang sekarang sudah dirobah dengan Pepres No. 65 Tahun 2006, karena
dua alasan, yaitu pertama, meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan
dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah. Kedua, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum sebagaimana yang ditetapkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 dinilai sudah
tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum bagi pengadaan tanah untuk pembangunan
demi kepentingan umum. Penerbitan Perpres No. 36 Tahun 2005 yang sudah dirobah
dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 berdasarkan beberapa peraturan perundang-
undangan, yaitu : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahu8n 1945;
2. Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043);
3. Undang-Undang Nomor 51 /Prp./Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Ijin Yang Berhak Atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1960 Nomor 158. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2106);
4. Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan hak Atas Tanah dan Benda-
benda yang ada diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961
Nomor 288. Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara R.I Tahun 1992 Nomor 115. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501).21
Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan pelaksanaan pasal 18
UUPA, yaitu untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi
ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
Kriteria kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum
yaitu suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembangunan mempunyai sifat
kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a. Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau,
21 Muhadar, Op. Cit, h. 132.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxiv
b. Kepentingan masyarakat, dan/atau,
c. Kepentingan rakyat banyak, dan/atau,
d. Kepentingan pembangunan.
Dalam pengajuan usul penyelesaian pengadan tanah untuk kepentingan umum
dengan cara pencabutan hak atas tanah oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi kepada
Presiden melalui Menteri Agraria/Kepala BPN. Usul ini penyelesaiannya dilakukan karena upaya penyelesaian yang ditempuh oleh Gubernur Kepala Daerah Propinsi tetap
tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang
bersangkutan tidak dapat dipindahkan.
Pada acara perolehan hak atas tanah akan menemui masalah terhadap
penerapan bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan
umum, maka untuk penyelesaiannyai dapat menggunakan salah satu asas perundang-
undangan, yaitu : Lex Posteriori derogat Legi Priori.22 Atas dasar asas ini, maka peraturan tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum maka peraturan yang lebih baru yang dijadikan dasar walaupun
peraturan tersebut sama-sama dibuat oleh presiden dan materinya juga sama-sama
mengatur tentang bidang-bidang kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum.
B. Prosedur Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Untuk mempercepat proses perolehan hak atas tanah dalam rangka
pengadaan tanah untuk kepentingan umum, isntansi pemerintah yang memerlukan tanah
mengajukan permohonan untuk mengkonsinyasikan uang ganti kerugiannya melalui
Pengadilan Negeri setempat.
Pengadilan Negeri setempat berkewajiban menerima berkas permohonan
konsinyasi uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk
diperiksa lebih lanjut. Adalah kewajiban Pengadilan Negeri untuk menerima setiap
perkara yang masuk seperti yang ditegaskan dalam ketentuan pasal 14 UU No. 04
Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu : 1. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya.
2. Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian
perkara perdata secara perdamaian.
Kewajiban memeriksa dan mengadili permohonan konsinyasi atas uang ganti
kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah oleh Pengadilan Negeri tidak
berarti secara otomatis mengabulkan permohonan tersebut, akan tetapi Pengadilan
22 Hartono Hadisuprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1982, h. 30.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxv
Negeri sebelum mengambil keputusan atas permohonan konsinyasi tersebut harus
mempelajari dengan baik ketentuan-ketentuan tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum.
Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap ketentuan-ketentuan tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun asas-asas, peraturan, dan hukum
pertanahan, maka putusan Pengadilan Negeri tentang permohonan konsinyasi atas uang ganti kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah dapat berakibat
timbulnya kerugian bagi pemegang hak atas tanah dan tidak adanya penghormatan
terhadap hak-hak rakyat atas tanah.
Pengadilan Negeri seharusnya mengabulkan permohonan konsinyasi atas uang
ganti kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum apabila unsur-unsur
yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yaitu beberapa pemilik atas
sebidang tanah telah menyetujui besarnya ganti kerugian, sedangkan satu atau beberapa
pemilik tanah tersebut benar-benar tidak diketahui tempat tinggalnya setelah instansi
pemerintah yang memerlukan tanah berupaya secara maksimal mengumumkan melalui
media cetak dan elektronik. Sebaliknya kalau unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi
seharusnya Pengadilan Negeri menolak permohonan konsinyasi atas uang ganti
kerugian dari instansi pemerintah yang memerlukan tanah.23 Putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan konsinyasi yang diajukan
oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah walaupun belum tercapai kesepakatan
antara para pihak mengenai besarnya ganti kerugian merupakan penyimpangan terhadap
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini karena tidak ada dalam satu
pasal atau ayatpun yang membenarkannya adanya konsinyasi bilamana para
pihak dalam musyawarah tidak tercapai kesepakatan. Boedi Harsono mengatakan
bahwa dengan adanya praktek konsinyasi dalam pembebasan hak atas tanah
(pengadaan tanah) timbul kesan seakan-akan bagi rakyat yang bersangkutan hanya ada
satu pilihan, yaitu mengambil uang ganti rugi tersebut di Pengadilan Negeri, atau akan
kehilangan tanahnya tanpa ganti rugi.24 Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum merupakan bentuk pemaksaan, perlakuan secara sepihak oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah terhadap pemegang hak atas tanah. Upaya
ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk pencabutan hak atas tanah secara terselubung
oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah. Praktek yang demikian dapat
dikatakan telah melangkahi kewenangan Presiden, karena pengambilan tanah-tanah
secara sepihak untuk kepentingan umum adalah kewenangan presiden melalui upaya
pencabutan hak atas tanah. 25
23 Ibid, h. 36. 24Boedi Harsono, Aspek Yuridis Penyediaan Tanah, Majalah Hukum dan
Pembangunan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,No. 2 Tahun XX,Jakarta, April
1990, h. 168. 25 Urip Santoso, Aspek Konsinyasi, Op Cit, h. 37.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxvi
Menurut Ali Sofwan Husein, praktek konsinyasi dalam pengadaan tanah
sebenarnya tidak dibenarkan oleh hukum karena lembaga konsinyasi itu mensyaratkan adanya hubungan hukum (perdata) terlebih dahulu antar pihak sebelum
uang tersebut dititipkan di pengadilan. Sedangkan dalam pengadaan tanah tidak ada
hubungan hukum yang dimaksudkan itu. Dari sini jelas bahwa penguasa hanya
mengambil gampangnya saja untuk mencari keabsahan dan legalitas atas tindakannya, yaitu ketika tidak tercapai kesepakatan ganti rugi, maka uang yang dianggarkan itu
langsung dititipkan di pengadilan dan kemudian menganggap masalah penggusuran
tanah telah beres dan selesai.26
Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum
yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah tidak dapat
dibenarkan. Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, instansi pemerintah
sebagai pihak yang memerlukan tanah harus memberikan ganti kerugian kepada
pemegang hak atas tanah berdasarkan kesepakatan yang telah disepakati bersama
mengenai besarnya ganti kerugian. Bersamaan dengan pemberian ganti kerugian,
pemegang hak atas tanah membuat surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah sehingga tanah tersebut menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Untuk selanjutnya instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan hak atas tanah yang baru atas tanah yang dilepaskan tersebut kepada Badan
Pertanahan Nasional.
C. Pemberian Konpensasi Ganti Rugi dan Konsinyasi
Masalah pokok yang banyak mendapat perhatian dalam pelaksanaan
pengadaan tanah itu adalah persoalan mengenai ganti kerugian, karena persoalan ganti
kerugian adalah menyangkut masalah hak-hak dari si pemilik tanah yang tanahnya
dibebaskan sehingga dapatlah dikatakan bahwa unsur yang mutlak harus ada dalam
pelaksanaan pengadaan tanah. Dalam pasal 13 Perpres No. 65 Tahun 2006 ditentukan
bentuk ganti kerugian berupa :
a. Uang b. Tanah pengganti c. Pemukiman kembali d. Gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana huruf b dan
huruf c
e. Bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yangbersangkutan. Sesuai dengan Perpres No.65 Tahun 2006 pasal 15 ditegaskan bahwa dasar
dan cara penghitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar :
26 Ali Sofwan Husein, Konflik Pertanahan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1997, h. 94.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxvii
a. Nilai jual objek pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan nilai objek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga/tim penilai harga
tanah yang ditunjuk oleh panitia.
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab dibidang bangunan
c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab dibidang pertanian.
Menurut pasal 6 ayat (1) pembebasan hak atas tanah Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, juga menegaskan pula bahwa, didalam penafsiran
atau penetapan mengenai besarnya ganti kerugian, oleh panitia pembebasan tanah harus
mengadakan musyawarah dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah dan benda atau
tanaman yang diatasnya berdasarkan harga setempat.27
Berdasarkan uraian diatas untuk menetapkan besarnya ganti kerugian harus
diperhatikan antara lain :
a. Penetapan ganti kerugian haruslah didasarkan musyawarah antara panitia dengan para pemegang hak atas tanah. Didalam mengadakan
penafsiran/penetapan besar ganti kerugian panitia pengadaan tanah hendaknya
benar-benar mengusahakan tercapainya persetujuan antara kedua belah pihak berdasarkan musyawarah.
b. Penetapan ganti kerugian haruslah dengan memperhatikan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.
Dalam menentukan besarnya ganti kerugian, panitia pengadaan tanah juga
telah memakai cara penghitungan ganti kerugian yang telah ditetapkan, atas dasar pasal
15 (1) Perpres No. 65 Tahun 2006, yaitu : Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek pajak bumi dan
bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan.
Selain itu panitia pengadaan tanah juga telah mempertimbangkan kerugian
imaterial yang dipikul oleh pemegang hak atas tanah setelah tanahnya dibebaskan,
misalkan kerugian karena mereka akan kehilangan sebagian dari tanah, yang menjadi mata pencaharian mereka. Dalam pertimbangan lainnya panitia pengadaan tanah dalam
memberikan gati kerugian, dengan melihat harga tanah sekitarnya yang terjadi dalam
tahun ang sama di wilayah yang digunakan untuk pembangunan.
Setelah ada kata sepakat antara kedua belah pihak, maka panitia pengadaan
tanah memberikan ganti kerugian tersebut kepada pemegang hak atas tanah dengan
disaksikan oleh anggota panitia pengadaan tanah diantaranya Camat dan Kepala Desa
yang wilayahnya terkena proyek pembangunan.
27 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Kebebasan
Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung, 1995, h. 51.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxviii
Pada intinya, tata cara pelaksanaan kongsinya dalam penyelesaian masalah
ganti kerugian pengadaan tanah, dapat dijelaskan sebagai berikut :
(1) Instansi pemerintah yang memerlukan tanah membuat daftar nominatif pemberi ganti kerugian berdasarkan hasil
inventarisasi.
(2) Pemberian ganti kerugian dalam bentuk yang dibayarkan secara langsung kepada yang berhak dilokasi yang ditentukan
oleh panitia, dengan disaksikan dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
anggota panitia.
(3) Pemberi ganti kerugian dalam bentuk uang dibuktikan dengan tanda terima.
Lebih jauh dalam pasal 29 peraturan yang bersangkutan diatur mengenai
pembayaran ganti kerugian ini sebagai berikut :
(1) Pemberi ganti kerugian selain berupa uang, dituangkan dalam berita acara pemberian ganti kerugian yang ditandatangani oleh penerimaan ganti
kerugian yang bersangkutan dan ketua atau wakil ketua panitia serta
sekurang-kurangnya 2 (dua) arang anggota panitia.
(2) Pemberian ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk tanah wakaf dilakukan melalui nadzir yang bersangkutan
(3) Untuk pemberian ganti kerugian tanah ulayat dilakukan dalam bentuk prasarana yag dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat.
Namun belakangan dinyatakan oleh banyak pihak bahwa pengadaan tanah
melalui lembaga konsinya merupakan kebijakan yang menyimpang dari konteks
kelembagaan hukum yang ada, sebagaimana pernah dinyatakan oleh J. Prihatmoko
seorang peneliti muda LIPI dan ketua LSPN (Lingkar Studi Pendidikan Nasional)
Semarang (Jayakarta, 14 Januari 1993).
Pengadaan tanah pada hakekatnya merupakan hubungan hukum jual beli,
yang masuk dalam lingkup perdata. Kegiatan musyawarah antara pemegang hak atas
tanah dengan panitia pengadaan tanah juga murni perdata. Ini membutuhkan suatu kesepakatan diantara para pihak. Oleh karenanya itu sebenarnya tidak diperlukan
adanya kegiatan konsinya uang ganti rugi di pengadilan terhadap ketidaksediaan rakyat
yang tanahnya dibebaskan. Jika kegiatan konsinya tersebut tetap dilaksanakan, itu
berarti syarat kesepakatan tidak tercapai, akrena terjadi pemaksaan terhadap pemilik
atau pemegang hak atas tanah yang mau tak mau diharuskan menerima keputusan dari
pantia pengadaan tanah.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam pembahasan permasalahan sebagaimana telah
diketengahkan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Hak dan kewajiban rakyat atas tanah merupakan konsepsi yang hakiki dari pada hukum bahwa bila ada hak disitu ada kewajiban, oleh karena itu apabila seseorang
menggunakan haknya harus memenuhi kewajiban yang merupakan syarat baginya
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxix
untuk dapat menikmati hak tersebut. Dengan demikian pemegang hak atas tanah
rakyat agar menjaga penggunaan tanah tersebut tidak mengganggu atau merugikan
kepentingan orang lain atau kepentingan umum. Sedangkan kewajiban rakyat atas
tanah dalam pembangunan dapat diperoleh hak atas tanah rakyat dalam rangka
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan cara pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah. b. Bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat atas tanah dalam pembangunan
adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah
terhadap tanahnya, maka dalam surat pernyataan pelepasan atau penyerahan hak
atas tanah yang dibuat oleh pemegang hak atas tanah perlu dibuat klausula yang
menyatakan bahwa apabila dikemudian hari diketahui ternyata pengadaan tanahnya
bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan perusahaan dan lain-
lain, maka pengadaan tanah tersebut dianggap batal dan uang ganti rugi yang telah
diterima akan dikembalikan kepada panitia pengadaan tanah atau pemegang hak
atas tanah meminta tambahan ganti kerugian kepada Panitia Pengadaan Tanah.
SARAN
a. Hendaknya penyuluhan hukum terhadap masyarakat lebih ditingkatkan agar supaya
pemegang hak atas tanah yang terkena proyek pembangunan benar-benar mengerti
tentang arti pembangunan untuk kepentingan umum.
b. Pihak Pemerintah yang memerlukan tanah hendaknya memberikan petunjuk kepada
petugas yang melaksanakan pengadaan tanah dalam memberikan ganti kerugian
terhadap pemegang hak atas tanah sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan, dengan demikian hak-hak atas tanah rakyat yang
diperlukan untuk pembangunan dapat terlindungi.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxx
KEDUDUKAN JAKSA DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004
Oleh:
Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK )
berasaskan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum dan proporsionalitas. Kepastian hukum dalam negara
hukum mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kata Kunci: Kedudukan Jaksa Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.
LATAR BELAKANG
Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang di hadapi oleh Indonesia
dewasa ini. Setiap penguasa baru pada awalnya selalu menjanjikan akan melakukan
tindakan hukum yang tegas terhadap para koruptor. Termasuk dalam hal ini adalah
penguasa baru Indonesia pada saat ini . Umumnya janji tersebut tidak pernah
dilaksanakan dan dipenuhi secara sungguh-sungguh. Namun demikian janji-janji serupa
yang dibuat oleh penguasa, tetap disambut dengan suatu harapan bahwa janji tersebut dapat dilaksanakan secara serius. Meski upaya pemberantasan korupsi semakin
meningkat dalam tahun-tahun terakhir, harus diakui belum terlihat tanda-tanda yang
meyakinkan bahwa masalah korupsi dapat segera diatasi . Indonesia masih tetap saja
termasuk dalam peringkat lima negara tertinggi tingkat korupsinya di seluruh dunia. 1
Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan itu terlihat semakin rumit,
karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level
masyarakat . Meski demikian, berbagai upaya tetap dilakukan, sehingga secara bertahap
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira. 1 Hukum Online, Indonesia Masih Lima Besar Negara Terkorup , 20 Oktober
2004.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxi
korupsi setidak-tidaknya bisa dikurangi, jika tidak bisa dilenyapkan sama
sekali.Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi. Pembentukan dua institusi ini
merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Karena dalam praktek,
baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan terjadi, ternyata pelaksanaan kerja
pemberantasan Korupsi terbentur banyak permasalahan. Permasalahan tersebut antara
lain adalah hubungan kordinasi antara KPK dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan
sebagai sub sistem dari Peradilan Pidana Terpadu dan juga tugas dan peranan KPK itu
sendiri sebagai super body.
Dalam rangka membangun kembali kepercayaan publik terhadap peran dan
citra lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka salah satu mekanisme dalam sub
sistem peradilan pidana yaitu penyidikan dan penuntutan, perlu untuk diberdayakan
secara lebih optimal.
Keberadaan ketiga lembaga yang masing masing mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana Korupsi yaitu
Kepolisian Negara Indonesia , Kejaksaan serta Komisi Pemberantasan Korupsi ,
dimana kewenangan dari ketiga lembaga itu didasarkan pada ketentuan Undang Undang yaitu Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 , Undang Undang Nomor 16 tahun 2004 , Undang Undang Nomor 30 tahun 2002 serta Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 sebagai payung nya , justru akan menyebabkan timbulnya suatu tarik
ulur dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi, serta akan
menyebabkan pula saling berebut kue perkara diantara tiga lembaga tersebut .
Tumpang tindihnya kewenangan yang ada pada ketiga lembaga tersebut
dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Korupsi akan menyebabkan pula
semakin sulit dan susahnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.. Pernyataan bahwa sama sama mempunyai kewenangan atau sebaliknya akan selalu dijadikan sebagai dasar untuk melemparkan tanggung jawabnya kepada pihak lain .
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana ( yang selanjutnya disingkat
KUHAP ) sebagai hukum acara pidana yang bersifat unifikasi menyebutkan bahwa
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat
polisi negara Republik Indoneia dan yang mempunyai kewenangan penyidikan adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia , serta pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang undang . Akan tetapi ternyata ketentuan ini dapat dikesampingkan oleh ketentuan yang sifatnya khusus , yaitu dalam hal ini
ketentuan yang ada dalam Undang Undang Kejaksaan , dan Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi . Undang Undang Kejaksaan didalam pasal 30 ayat 1d menyebutkan di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxii
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang ,
tindak pidana tertentu disini yang dimaksud adalah tindak pidana Korupsi seperti yang
diatur didalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 , sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001. Selanjutnya dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi pasal 6 huruf c menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( selanjutnya disingkat KPK ) mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa permasalahan Korupsi diperlukan
penangan secara khusus apalagi korupsi yang terjadi di Indonesia sudah merambah
kesemua sektor baik ekonomi , hukum , sosial dan hankam dan bahkan korupsi
seperti menjadi budaya dari bangsa Indonesia , hal ini dapat kita lihat dari hasil survie
lembaga Internasional , dimana Indonesia sebagai peringkat ke 5 ( lima ) sebagai
negara terkorup didunia .
Penanganan secara sungguh sungguh terhadap korupsi di Indonesia sangat diperlukan , dan pada saat ini sejak Susilo Bambang Yudoyono menjadi Presiden ada
sedikit harapan untuk mengikis sedikit demi sedikit korupsi yang terjadi di Indonesia ,
terbukti pemerintah saat ini ada keberanian untuk menyeret pelaku pelaku korupsi yang sebelumnya sulit dijerat dengan pidana , sekarang sudah banyak para koruptor
kelas kakap yang menjadi penghuni baru lembaga pemasyarakatan mulai dari para
Bupati , Anggota Dewan Perwakilan Rakyat , Gubenur dan bahkan para penegak
hukumpun sudah ada yang dikenakan pidana berdasarkan Undang Undang Tindak
Pidana Korupsi .
Permasalahan yang ada dan timbul pada saat ini adalah dalam hal
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi , karena pada saat ini ada tiga
lembaga yang mempunyai kompetensi melakukan tugas pemberantasan tindak pidana
korupsi .
Terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK merupakan
suatu komisi khusus yang dasar pendiriannya diatur dalam pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan secara lebih
dalam diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi , menjadikan dua lembaga yang sudah ada sebelumnya yaitu
Kepolisian dan Kejaksaan yang berdasarkan ketentuan undang undang yang ada juga mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi, seakan - akan tugas dan wewenangnya diambil alih sepenuhnya oleh
KPK.
Bertitik tolak dari penjelasan diatas, maka dapat penulis uraikan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kedudukan Penyidik Polri dalam Tindak Pidana Korupsi ? 2. Bagaimanakah tugas dan wewenang KPK dalam penyidikan tindak pidana
korupsi ?
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiii
KEDUDUKAN PENYIDIK POLRI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Penyidik
Kepolisian Republik Indonesia , sebagai aparat penegak hukum yang
merupakan bagian dari Criminal Justice System , menduduki posisi sebagai diferensiasi fungsional sebagaimana digariskan didalam KUHAP , sehingga Polisi diberikan peran ( role ) yang berupa kekuasaan umum menangani kriminal ( general policing authority in criminal matter ) di seluruh wilayah Hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia3. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut , Polri
berperan melakukan kontrol kriminal ( crime control ) dalam bentuk investigasi - penangkapan penahanan penggeledahan penyitaan .
Posisi sebagaimana yang telah digariskan didalam KUHAP tersebut harus dijaga kebebasan polisi dari politik ( police politically independent )4 , sehingga dalam pelaksanaan operasional dan penggunaan desisi maupun diskresi tidak boleh
didiktekan oleh dan atau untuk kepentingan penguasa atau pemerintah , maupun oleh kepentingan partai politik tertentu , serta boleh kooperatif dan partisipatif secara saling
menguntungkan ( mutual beneficiary ) dengan pihak manapun atas informasi kriminal
yang diketahuinya . Dalam menegakkan hukum dan mendeteksi tindak pidana harus
benar benar bebas , dengan pEngertian menentukan sendiri tanpa pengaruh , apakah seorang tersangka diajukan untuk dituntut atau tidak , dan polisi tidak boleh menjadi
budak ( servant ) dari siapa pun , karena polisi hanya bertanggungjawab terhadap law enforcement .
Kebebasan yang dimiliki oleh polisi dalam penegakan hukum seperti yang
diuraikan diatas akan terlaksana apabila polisi dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya selalu berpedoman kepada ketentuan ketentuan yang telah ada khususnya ketentuan yang diatur didalam KUHAP.
Sesuai dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh polisi dalam
penegakan hukum , maka KUHAP menentukan bahwa apabila ada laporan dan atau
pengaduan mengenai telah terjadi suatu tindak pidana , harus terlebih dahulu dilakukan
penyelidikan yaitu berupa serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu
3 M . Yahya Harahap Pembahasan , Permasalahan , dan Penerapan KUHAP,
Penyelidikan dan Penuntutan , Edisi kedua , Sinar Grafika, Jakarta, 2000 , h. 91. 4 Ibid , h. 93.
-
Volume 11, No.1 Mei 2011 xxxiv
keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak
pidana atau yang diduga sebagai tindak pidana , dengan maksud untuk menentukan
sikap pejabat penyelidik , apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan
atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP . Jadi , sebelum dilakukan
tindakan penyidikan , terlebih dahulu dilakukan penyelidikan oleh pejabat penyelidik
untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan penyidikan .
Jika diperhatikan dengan seksama , motivasi dan tujuan penyelidikan
merupakan bentuk tuntutan tanggungjawab kepada aparat penyidik , untuk tidak
melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat dan martabat
manusia , serta juga sebagai tuntutan dan tanggung jawab moral yang sekaligus juga
sebagai peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak hati hati .
Penyidikan sebagai tindak lanjut dari penyelidikan han